Tanpa sesadarnya Tundun mengangguk sambil menjawab,
“Ya.”
“Nah,
ketahuilah kami terlampau baik. Kami masih tetap menawarkan tenaga kami untuk
kepentingan kalian.” Tambak Wedi diam sesaat. Namun kemudian diteruskannya,
“Tetapi kalau
Macan Kepatihan menolak, apa boleh buat. Meskipun demikian, ada yang wajib
kalian ketahui. Macan Kepatihan kini tidak lagi mempunyai tempat yang akan
dijadikannya pencadan dalam gerakannya. Ia berada di mana-mana, seperti kapuk
diterbangkan angin. Tetapi aku dan muridku itu, masih mempunyai tempat untuk
berpijak. Sedang kalian telah melihat sendiri, bahwa muridku tidak kalah dengan
Macan Kepatihan.” Kembali Tambak Wedi berhenti sesaat, namun segera
diteruskannya,
“Aku hanya
ingin kalian dapat menilai keadaan kami.”
Tundun dan
kawan-kawannya masih belum dapat mengerti dengan pasti maksud Tambak Wedi itu. Beberapa
orang di antara mereka saling berpandangan dan bertanya-tanya di dalam hati. Ki
Tambak Wedi yang melihat kebingungan itu berusaha untuk menjelaskan.
“Kisanak.
Kalian menurut tangkapanku, adalah prajurit-prajurit yang baik.
Prajurit-prajurit yang setia pada cita-cita. Bukan sekedar prajurit yang
bertempur tanpa arah, selain untuk membunuh atau dibunuh. Karena itulah maka
kalian tetap berada dalam lingkungan Macan Kepatihan. Tetapi aku ingin
mengatakan, bahwa Macan Kepatihan dengan caranya sekarang tidak akan dapat
memenangkan perjuangannya. Sedang tawaran kami untuk membantunya telah
ditolaknya. Nah, kalau kalian memang setia kepada cita-cita kalian, menolak
kekuasaan Pajang, maka kalian dapat mempertimbangkan antara Macan Kepatihan dan
Sidanti. Macan Kepatihan yang telah kehilangan landasan perjuangannya dan
Sidanti yang baru muIai dengan tekad yang masih segar. KeIebihan Sidanti yang
lain adalah, Sidanti berkuasa di lereng Gunung Merapi. Suatu daerah yang cukup
luas untuk membangun kekuatan dam benteng pertahanan. Dan ia berkuasa pula di
suatu daerah yang luas di sebelah Alas Mentaok, Bukit Menoreh.”
Tundun dan
kawan-kawannya kini baru menjadi jelas maksud Ki Tambak Wedi itu. Ternyata Ki
Tambak Wedi telah menawarkan pilihan kepada para prajurit itu. Dan tawaran itu
tenyata telah mempengaruhi perasaan mereka. Namun Tundun, seorang prajurit yang
sudah lama menjadi bawahan Tohpati, sejak terjadi parselisihan antara Jipang
dan Pajang, tidak akan segera dapat melepaskan ikatan itu. Karena itu maka
jawabnya,
“Ki Tambak
Wedi. Tawaranmu bagus sekali. Tetapi jangan mencoba mempengaruhi kesetiaan kami
kepada pimpinan kami. Kalau kau ingin menyatukan dirimu ke dalam lingkungan
kami, maka mengharap, mudah-mudahan pimpinan kami dapat menerimanya. Tetapi
kalau kau mencoba mempengaruhi kesetiaan kami itu, jangan mengharap.”
Tambak Wedi
mengerutkan keningnya. Tetapi kemudian ia tertawa.
“Aku tahu,
bahwa jawaban kalian akan berbunyi demikian. Memang aku mengharap kalian
menjawab seperti yang diucapkan oleh pimpinan kalian ini. Kalau tidak demikian,
maka kalian sama sekali tidak berharga. Bagi kamipun tidak. Tetapi karena
kesetiaan itulah maka kalian baru dapat disebut seorang prajurit jang baik.
Jawaban itu kalian ucapkan sebab kalian belum mempunyai kesempatan untuk berpikir.
Kalau kalian belum sempat berpikir, tatapi segera mempercayai kata-kata orang
lain, maka kalian adalah sampah jang tidak berarti. Tetapi kamipun tidak ingin
mendengar jawaban kalian sekarang ini. Seperti aku katakan, jawaban yang akan
aku dengar sudah aku ketahui. Namun aku mengharap kalian sempat memikirkan
tawaran itu. Aku hanya ingin kalian memikirkan dan mempertimbangkan. Lain
tidak.”
Tundun terdiam
untuk sesaat. Ia menjadi heran kembali mendengar jawaban Tambak Wedi. Tetapi
dengan demikian ia terpaksa untuk mencari sebab-ebabnya. Yang terdengar
kemudian adalah kata-kata Tambak Wedi itu kembali.
“Meskipun
seandainya, kami tidak dapat bertemu dalam pembicaraan, karena kesetiaan kalian
terhadap pimpinan kalian, namun biarlah hubungan persaudaraan ini kita
langsungkan. Kami akan selalu menunggu kalian di tempat kediaman kami. Dan
dalam keadaan yang memuncak, muridku akan dapat membangun kekuasaan tandingan
dari Pajang itu di daerah asalnya, di sebelah Barat Alas Mentaok. Daerah itu
akan dapat dibukanya menjadi daerah yang akan dapat mangimbangi kekuasaan
Pajang. Setidak-tidaknya di daerah Barat, dan Selatan.”
Tundun dan
kawan-kawannya seolah-olah menjadi beku mendengar keterangan itu. Ki Tambak
Wedi yang mempunyai pengamatan yang tajam, melihat bahwa kata-katanya bergolak
di dalam hati para prajurit Jipang itu. Maka katanya selanjutnya,
“Nah.
Bandingkan dengan hari depan Tohpati. Sidanti mempunyai kekuasaan atas suatu
daerah. Meskipun daerah itu kini seakan-akan masih asing bagi kalian. Daerah
yanq masih jarang-jarang diketemukan pedukuhan dan padesan. Tetapi di daerah
itu dapat dibangun kekuasaan yang besar. Apalagi dengan bantuan
prajurit-prajurit yang berpengalaman.”
Terasa sesuatu
menyentuh hati para prajurit itu. Seakan-akan di hadapan mereka ditunjukkan
oleh Ki Tambak Wedi, betapa suram hari depan mereka. Betapa suram hari depan
Macan Kepatihan. Tetapi dengan suatu perubahan di dalam hidup mereka, maka hari
depan merekapun akan dapat berubah pula.
Tiba-tiba
merayap di dalam hati para prajurit itu pertanyaan,
“Kenapa
Tohpati menolak uluran tangan Ki Tambak Wedi?”
Tetapi
pertanyaan itu disimpannya di dalam hati. Mereka kini seakan-akan telah menjadi
patung yang hanya boleh mendengarkan Ki Tambak Wedi berbicara. Katanya
meneruskan,
“Selanjutnya
terserah kepada kalian. Tetapi aku telah memberikan perbandingan-perbandingan.”
Suasana di
perkemahan itu kemudian menjadi sepi. Beberapa oranq berdiri tegak dengan
senjata di tangan. Namun ujung-ujung senjata itu sudah terkulai di tanah.
Mereka berdiri saja seperti patung mengerumuni dalam jarak yang tidak jauh,
seorang tua namanya ditakuti karena kesaktiannya bersama seoreng muridnya yang
garang. Dalam suasana yang sepi itulah maka kata-kata Tambak Wedi seakan-akan
meresap semakin dalam di hati para prajurit Jipang yang memang sudah terlalu
lama mengalami kepahitan hidup di hutan-hutan dan pengembaraan sebagai
orang-orang liar. Apabila mereka menemukan tempat yang baik, maka keadaan
mereka pasti akan lebih baik. Seandainya mereka masih haruss berjuang untuk menghancurkan
Pajang, maka landasan mereka akan Iebih kokoh. Sejenak Ki Tambak Wedi pun
berdiam diri pula. Dibiarkannya para prajurit Jipang itu mencernakan
kata-katanya. Ia mengharap seandainya tidak sekarang, namun orang-orang itu
pasti akan memperbincangkan kata-katanya denqan beberana orang kawan-kawannya.
Semakin lama akan menjalar semakin luas di antara orang-orang Macan Kepatihan. Tetapi
kesepian itu kemudian dipecahkan oleh kehadiran seorang tua, juru masak Macan
Kepatihan yang malas, Sumangkar, yang dengan terbata-bata berkata. “Tundun,
Tunduu, rusa itu sudah masak. Apakah kau tidak mencium baunya? Aku bumbui rusa
panggang itu dengan tanganku sendiri.”
Dalam suasana
yang sepi tegang, kehadiran Sumangkar benar-benar mengejutkan. Apalagi sebelum
ia sendiri hadir di tengah-tengah kesepian itu, suaranya telah lebih dahulu
melengking di antara mereka. Sehingga ketika Sumangkar berlari-lari, maka
beberapa orang telah berloncatan menyibak tanpa mereka kehendaki sendiri. Tundun
pun terperanjat pula. Ia melihat Sumangkar berlari-lari ke arahnja dan kemudian
berdiri di hadapannja sambil terengah-engah.
“Gila!” teriak
Tundun yang masih berdebar-debar karena terkejut.
“Rusa itu
sudah masak Tundun,” ulang Sumangkar.
“Gila. Aku
sangka apa saja yang kau teriakkan itu. Apakah kau tidak melihat apa jang
sedang terjadi di sini?”
Sumangkar
terdiam sesaat. Dipandangnya beberapa orang yang berdiri di sekitarnya. Dan
kemudian dipandanginya kedua orang yang berdiri di antara mereka. Guru dan
murid. Tetapi sebelum Sumangkar berkata-kata sepatah katapun, maka kembali
terdengar Tundun membentak.
“He orang tua
yang bodoh. Coba lihat tangan-tangan kami masih menggenggam senjata. Dan
keringat kami masih belum kering. Ayo, pergi. Atau kepalamu kami pangkas dengan
pedang kami.”
“Jangan
Tundun,” sahut Sumangkar.
“Aku datang
sekedar memberitahukan, bahwa apa yang harus kukerjakan sudah selesai. Rusa
panggang. Dahulu Adipati Arya Penangsang gemar sekali akan rusa panggang pula.
Dahulu ketika Adipati Jipang itu masih berkuasa di Jipang.”
“Tutup
mulutmu!” bentak Tundun.
Tetapi
Sumangkar berbicara terus, seakan-akan ia tidak mendengar Tundun
membentak-bentak dan tidak melihat kehadiran orang-orang di sekitarnya,
orang-orang Jipang sendiri dan kedua orang asing itu. Katanja,
“Tetapi sayang
Adipati Jipang itu sudah tidak ada lagi. Dahulu Adipati Jipang tidak pernah
melupakan rusa panggang dalam setiap perburuan. Pamanda Kepatihan, Mantahun pun
senang sekali akan rusa panggang pula. Sayang, giginja telah hampir habis
karena usianya, sehingga Patih Mantahun tidak dapat ikut menikmatinja.”
“He, orang
gila,” potong Tundun berteriak keras sekali,
“pergi dari
sini sebelum aku bunuh kau.”
“Ternyata
sekarang Macan Kepatihan, kemanakan Mantahun itu, gemar pula akan rusa
panggang. Tetapi kasihan Macan Kepatihan itu. Ia kini hidup seperti sehelai
kapuk diterbangkan angin. Tidak mempunyai tempat landasan bagi perjuanganya.
Dahulu Arya Jipang mempunjai landasan yang kuat. Satu Kadipaten Jipanq
memihaknja, lengkap dengan seluruh pasukan Wira Tamtama dari Kadipaten itu.
Jipanq adalah Kadipaten yang lengkap. Bukan sekedar padukuhan atau padesan yang
masih harus dibangun, meskipun dibantu oleh prajurit-prajurit yang
berpengalaman. Tetapi Jipang sudah besar sejak permulaan mengangkat senjata.
Prajuritnja sudah lengkap di bawah pimpinan Patih Mantahun di samping Arya
Penangsang sendiri. Dan kemudian dibantu oleh Raden Tohpati. Bukan suatu daerah
asing di seberang hutan belantara. Namun Jipang yang kuat itu dapat dipecahkan
oleh kekuatan Pajang di bawah pimpinan Adipati Adiwijaja, yang bermama Mas
Karebet semasa ia masih menjadi seorang anak gembala. Apalagi daerah-daerah
terpencil, padukuhan dan padesan yang ringkih dan sepi.”
“Cukup!”
tiba-tiba hutan itu tergetar oleh suara Tambak Wedi yang marah bukan buatan. Ia
tahu benar maksud kata-kata Sumangkar itu. Demikian marahnya, sehingga hantu
dari lereng Gunung Merapi itu berteriak sekuat-kuatnya.
Semua orang
yang berdiri memutarinya terkejut. Hampir saja mereka berloncatan menjauh.
Tundun pun terkejut pula mendengar teriakan itu.
Bukan saja
terkejut karena Tambak Wedi berteriak. Tetapi segera Tundun pun menjadi cemas
melihat Tambak Wedi itu terbakar oleh kamarahan. Wajahnya merah dan sepasang
matanya seolah-olah menyala seperti bara.
“Kalau Tambak
Wedi ini menjadi marah, dalam suasana yang telah menjadi tenang ini, dan
membunuh kami sekalian, maka kami tidak akan dapat malawannya,” pikir Tundun.
Karena itu maka segera ia menimpakan kesalahan itu kepada Sumangkar. Untuk
mengurangi kemarahan Tambak Wedi, maka Tundun itupun berteriak pula.
“He Sumangkar
yang gila. Bukan orang lain yang akan membunuhmu karena mulutmu yang lancang
itu. Tetapi aku sendiri. Dengan pedangku dan tanganku, maka kepalamu akan aku
pancung di muka kawan-kawanmu ini.”
Tetapi
Sumangkar itu seolah-olah tidak mendengar suara Tundun dan Tambak Wedi. Dan
Tundun itupun kemudian terkejut bukan buatan. Ketika ia melangkah setapak maju
untuk menyingkirkan Sumangkar yang telah membangkitkan kemarahan Tambak Wedi
yang menakutkan itu, tiba-tiba dilihatnya Sumangkar memutar tubuhnja,
membelakanginya dan menghadap Ki Tambak Wedi. Bahkan kemudian dilihatnja
Sumangkar itu tersenyum sambil berkata,
“Jangan marah
Kakang Tambak Wedi. Jangan marah supaya kau tidak menjadi lekas tua.”
“Sumangkar,”
teriak Tambak Wedi,
“kehadiranmu
di sini benar-benar mengejutkan aku. Kenapa kau tidak ikut pergi ke medan
pertempuran Setan tua?”
Sumangkar
menggeleng. “Tidak Kakang. Aku adalah seorang juru masak.”
“Tetapi kau
kali ini benar-benar ingin merusak semua rencana yang sudah aku susun bersama
muridku ini.”
Sumangkar
tertawa. Sekali ia berpaling, dan dilihatnja Tundun berdiri ternganga di
belakangnya. Alangkah peningnya kepala pemimpin prajurit pengawal perkemahan
ini. Tiba-tiba saja ia melihat seolah-olah Sumangkar, juru masak yang malas itu
telah mengenal dan dikenal olah Ki Tambak Wedi.
“Jangan heran
Tundun,” berkata Sumangkar,
“aku kini
berjumpa dengan kawan bermain di waktu muda. Tatapi sayang bahwa ia kini
menjadi seorang guru yang ternama, dan aku menjadi seorang juru masak yang
malas. Yang sehari ini selalu kau bentak-bentak saja.”
Namun
kata-kata itu terputus oleh teriakan Ki Tambak Wedi.
“Jangan
mengigau. Apakah kehendakmu sebenarnya?”
Mendengar
teriakan Tambak Wedi itu, sekali lagi Sumangkar tersenyum. Dan sekali lagi ia
berkata,
“Jangan marah
Kakang Tambak Wedi.”
“Persetan!”
teriak Tambak Wadi.
“Lihat, kalau
kau masih saja berdiri di situ, aku bunuh kau dan prajurit-prajurit Jipang
seluruhnya.”
Ancaman itu
telah menyadarkan Tundun dari keheranannya. Kini kembali ia dicengkam oleh
ketakutan. Dan sekali lagi Tundun menimpakan kesalahan itu kepada Sumangkar,
katanya,
“He, juru
masak yang malas. Untuk membebaskan kami dari kemarahan Ki Tambak Wedi, maka
aku terpaksa membunuhmu.”
Kali ini
Sumangkar terpaksa berpaling dan menjawab,
“Jangan
Tundun. Jangan mengorbankan kawan sendiri untuk memuaskan orang lain karena kau
melihat kepentinganmu sendiri. Karena kau ingin kau dihidupi. Tentu aku tidak
mau menjadi korban. Kalau kita menjadi korban bersama-sama, marilah, biarlah aku
mati paling awal dari kalian. Tetapi kalau aku sendiri harus mati karena kalian
ketakutan akan mati itu, nanti dulu.”
Tundun
menggeram mendengar kata-kata itu. Terbersit di hatinya kebenaran kata-kata
Sumangkar. Tetapi ketakutannya kepada Ki Tambak Wedi telah mengatasi segalanya,
maka katanya,
“Jangan banyak
bicara. Kau tidak berarti di sini.”
“Kalau kau
bunuh aku Tundun, Macan Kepatihan pasti akan marah. Aku adalah juru masak yang
dibawanya sejak dari istana kepatihan. Tentu. Tentu kau belum mengenal aku,
sebab saat-saat itu kau adalah seorang Wira Tamtama yang tidak bertugas di
istana Kadipaten maupun di istana Kepatihan. Hanya orang-orang tua dan mereka
yang bertugas di istana dan istana Kepatihan sajalah yang mengenal Sumangkar.
Di antaranya adalah Sanakeling. Dan Ki Tambak Wedi. Bukankah begitu Kakang?”
“Tutup
mulutmu, Sumangkar! Lihat, kawanmu sudah siap akan membunuhmu,” sahut Ki Tambak
Wedi, yang kemudian berkata kepada Tundun,
“Kalau kau
bunuh tikus tua itu, aku maafkan kalian.”
Tundun yang
lebih sayang kepada jiwanya sendiri menggeram. Selangkah ia maju dan pedangnya
telah siap menusuk punggung Sumangkar. Tetapi ia mendengar Sumangkar berkata,
“Cara yang
baik untuk mengadu sesama kawan. Kini tinggallah kita sendiri, Tundun. Apakah
kita ini sebangsa domba-domba yang siap untuk diadu, ataukah kita ini sebangsa
prajurit yang setia kepada tugas dan pimpinan kami. Pilihlah olehmu Tundun.”
Tundun
terhenti. Kembali dadanya berdesir. Kata-kata Sumangkar yang terakhir telah
benar-benar menggugah kesadarannya. Namun ketika sekali lagi dilihatnya Ki
Tambak Wedi ia menyahut,
“Adalah
salahmu sendiri Sumangkar. Kau ternyata ikut campur dalam persoalan yang hampir
dapat aku selesaikan dengan caraku. Tetapi karena kelancanganmu, maka
persoalannya menjadi panas kembali. Dan nyawamu akan dapat menjadi tebusan dari
sekian banyak orang. Karena itu bersedialah untuk mati.”
“Baik Tundun,
aku bersedia untuk mati. Tetapi biarlah Ki Tambak Wedi sendirilah yang membunuh
Sumangkar. Itu kalau ada keberanian padanya. Sebab Tambak Wedi sudah mengenal
siapakah Sumangkar itu. Tetapi aku tidak akan bersedia mati karena pedang kawan
sendiri.” Kemudian kepada Tambak Wedi ia berkata,
“Kakang,
jangan mengharap akan timbul perkelahian di antara kita. Kau tahu, bahwa Tundun
tidak akan dapat membunuh Sumangkar, dan kau tahu, bahwa apabila dikehendaki
Sumangkar akan mampu membunuh semua orang Jipang yang bertugas di sini
sekaligus seperti apa yang akan dilakukan oleh Tambak Wedi. Tetapi kalau
lidahmu barhasil mengadu kekuatan di antara kami, maka aku dapat menghindari,
melarikan diri dari tempat ini tanpa seorangpun yang dapat menangkapnya. Kaupun
tidak.”
Dada setiap
orang yang mendengar kata-kata itu berdesir. Namun Tundun yang lebih
mementingkan keselamatan diri dan kawannya, dan sejak semula menganggap
Sumangkar tidak berguna itu, agaknya lebih baik mengorbankanya. Dengan marah ia
mendengar seakan-akan kata-kata Sumangkar itu sebagai kicauan burung yang
memuakkan. Karena itu tiba-tiba ia meloncat dan menusuk punggung Sumangkar dari
belakang. Geraknya cepat seperti kilat meloncat di langit. Kawan-kawannya yang
melihat loncatan itu terkejut. Apalagi seorang yang bernama Bajang. Tardengar
ia bertariak nyaring,
“Kau gila
Tundun. Aku sudah terluka. Kau sekarang ingin mengorbankan kawan sendiri. Ayo,
biarlah aku jadi benteng. Aku akan mati bersama Sumangkar.”
Tetapi suara
itu tak didengar oleh Tundun. Ia sama sekali tidak mengurungkan niatnya. Bahkan
loncatannya dipercepatnya sebab ia melihat Bajang bergerak untuk mencegahnya.
Kawan-kawannya
yang lain berdiri saja seperti patung. Tak seorangpun yang mampu mencegah atau
membenarkan tindakan Tundun dan Bajang. Mereka benar-benar dicengkam oleh
kebingungan dan kekaburan pikiran. Mereka menganggap kata-kata Tundun dan
tindakannya itu dapat menyelamatkan mereka, tetapi perasaan mereka hampir tidak
rela melihat Sumangkar dikorbankan tanpa belas kasihan. Betapapun juga
Sumangkar telah berada di dalam lingkungan mereka, sejak mereka meninggalkan
Jipang.
Tetapi Bajang
yang berdiri agak jauh itu terlambat. Tundun telah berhasil mencapai Sumangkar
dengan ujung pedangnya yang langsung mengarah punggung. Beberapa orang yang
tidak sampai melihat pembunuhan itu memejamkan matanya. Bajang sendiri
langkahnya terhenti. Sesaat ia tertegun, namun kemudian ia memalingkan wajahnya
sambil berteriak,
“Gila kau
Tundun. Aku kelak yang akan membunuhmu.”
Tetapi
alangkah dahsyatnya goncangan perasaan mereka saat itu. Seakan-akan darah
mereka membeku dan nafas mereka terhenti mengalir. Yang mereka lihat kemudian
sama sekali bukan Sumangkar yang jatuh tersungkur dan menyemburkan darah dari luka
di punggungnya. Tetapi yang mereka lihat, Tundun terdorong beberapa langkah ke
samping dan mereka melihat Sumangkar itu berdiri dengan garangnya dengan pedang
di tangannya. Belum lagi gelora di dada mereka berhenti, terdengar Sumangkar
berkata,
“Terima kasih
Tundun. Ternyata kau baik hati. Kau telah memberi aku senjata untuk mengusir
Tambak Wedi yang tamak ini.”
Yang paling
terkejut atas peristiwa itu adalah Tundun sendiri. Ketika ia meloncat menusuk
punggung Sumangkar, maka ia sudah pasti bahwa pedangnya akan menghunjam sampai
ke jantung. Meskipun di dalam dadanya, merayap juga keraguan-raguan dan
kekhawatiran, bahwa Macan Kepatihan akan marah kepadanja, serta bagaimanapun
juga ada rasa kasihan kepada orang tua itu, namun hasratnya untuk hidup telah
memaksanya melakukan tindakan itu, dan ia akan dapat mengatakan berbagai alasan
kelak kepada Macan Kepatihan. Tetapi tanpa disangka-sangka, maka terasa bahwa
pedangnya tergetar. Bukan karena ujungnya menyobek kulit orang tua itu, tetapi,
ia melihat, orang tua itu bergeser cepat sekali ke samping. Pedangnya berlari
tidak lebih dari tebal jari tangannya di samping tubuh juru masak yang malas
itu. Namun sasaat kemudian dunianya seakan-akan berguncang. Ia sendiri
terdorong ke samping oleh kekuatan yang dahsyat dan tangannya terasa nyeri
bukan buatan, sehingga tangannya itu terasa lumpuh. Ketika ia menyadari
keadaannya, pedangnya telah terlepas dari tangannya berpindah ke tangan
Sumangkar, juru masak yang memuakkannya. Sesaat Tundun membeku di tempatnya.
Tangannya masih terasa sakit bukan buatan di pergelangan. Bahkan Tundun itu
menjadi cemas bahwa tangannya menjadi retak, dan cacat di tubuhnya
bertambah-tambah lagi.
“Menepilah
anak manis,” berkata Sumangkar itu,
“jangan turut
mencampuri urusan orang tua-tua.”
Tundun
memandangnya dengan pandangan yang bergejolak. Matanya memancarkan beribu macam
perasaan yang aneh di dalam dirinya, yang justru telah mendorongnya ke dalam
suatu keadaan yang tak dikenalnya. Sumangkar itu telah membingungkannya.
Tetapi Tambak
Wedi dan Sidanti sama sekali tidak terkejut melihat peristiwa itu. Mereka sudah
mengetahui, bahwa akan demikianlah akhirnya. Tetapi mereka mengharap, bahwa
kawan-kawan Tundun akan membela pemimpinnya itu dan bersama-sama menyerang
Sumangkar. Dengan demikian maka ia dengan bebas dapat membunuh Sumangkar
bersama muridnya tanpa gangguan apapun, meskipun orang-orang Jipang itu sama
sekali tidak akan berarti. Tetapi keadaan itu berkembang menurut iramanya
sendiri. Sumangkar yang telah menggenggam pedang di tangannya cepat-cepat
berteriak sebelum Ki Tambak Wedi berhasil mempengaruhi suasana.
“Nah,
orang-orang Jipang. Sekarang, apakah kalian akan berdiam diri? Apakah kalian
akan mengikuti perbuatan Tundun membunuhku? Dengar. Kalian bersama-sama telah
dapat mengalahkan, setidak-tidaknya membuat murid Tambak Wedi itu tidak
berdaya. Apakah kalian tidak berbangga karenanya. Murid Tambak Wedi yang
menakutkan itu dapat kalian kalahkan. Sekarang, meskipun Tundun tidak akan
mampu ikut berkelahi, namun kalian masih cukup kekuatan untuk mengulangi
kemenangan itu. Sedang Tambak Wedi, serahkanlah kepadaku. Kalau aku tidak mampu
memancung kepalanya, biarlah kepalaku yang kalian pancung di hadapan Tambak
Wedi.”
Bukan main
besar pengaruh kata-kata Sumangkar itu. Yang pertama-tama menyadari
kedudukannya adalah Bajang. Dengan sigapnya ia meloncat maju sambil berkata,
“Aku telah
dilukainya. Kini aku akan membalasnya.”
“Bagus Bajang,
kesempatan itu akan datang. Bagaimana yang lain. Apakah kalian lebih senang
melihat kawan sendiri terbunuh, atau kalian ingin melihat kita bersama-sama
melakukan kewajiban dengan baik?”
Apa yang
terjadi telah benar-benar menggerakkan hati prajurit-prajurit Jipang itu.
Ketika mereka kemudian melihat Bajang yang telah melelehkan darah itu bergerak,
maka serentak merekapun bergerak pula. Tanpa disadari, maka lingkaran di
sekitar Tambak Wedi dan Sidanti telah pulih kembali. Kedua orang itu kini
berdada di tengah-tengah kepungan.
“Gila,” geram
Tambak Wedi,
“ternyata
kalian telah sekarat.”
“Setiap
prajurit menyadari, bahwa kemungkinan itu dapat terjadi. Mati di peperangan.
Tetapi bukan mati karena pedang kawan sendiri,” sahut Sumangkar.
“Persetan! Aku
akan menunjukkan bahwa Tambak Wedi tidak dapat dilawan oleh siapapun juga.”
“Sumangkar
adalah salah satu perkecualian,” sahut Sumangkar lantang.
Sidanti
ternyata tidak dapat mengekang dirinya lagi. Tiba-tiba ia memutar pedangnya,
dan dengan derasnya pedang itu menyambar kepala Sumangkar. Yang melihat gerakan
itu berdesir. Gerak itu terlampau cepat. Jauh lebih cepat dari yang dilakukan
oleh Tundun. Karena itu, maka terdengar desis tertahan. Seakan-akan mereka
pasti bahwa kepala Sumangkar akan terpangkas. Tetapi sekali lagi mereka menjadi
heran. Ternyata Sumangkar mampu menghindari serangan. Dengan cepat pula ia
berhasil merendahkan dirinya dan melontar ke samping. Bahkan dengan satu
gerakan yang lebih cepat dari gerakan Sidanti, Sumangkar berhasil memukul
pedang anak muda itu. Demikian keras dan dahsyatnya sehingga pedang itu
terpental, lepas dari genggaman dan jatuh beberapa langkah. Tambak Wedi yang
melihat peristiwa itu menggeram marah sekali. Ia sudah tentu tidak akan
membiarkan muridnya terbunuh di hadapan hidungnya. Cepat seperti petir yang
meloncat di langit, Tambak Wedi menyerang Sumangkar. Di tangannya telah
tergenggam sepasang gelang yang melindungi tangannya, sekaligus merupakan
senjata yang berbahaya pula. Sentuhan dari gelang itu akan dapat memecahkan
tulang-tulang kepala dan merontokkan iga. Seandainya Tohpati ada di tempat itu
dan bertempur berpasangan bersama Sumangkar, maka Sidanti sudah tidak akan
dapat keluar lingkaran pertempuran itu dengan tubuhnya. Tohpati pasti akan
dapat menyesuaikan dirinya, selagi pedang Sidanti itu terjatuh. Sebab Sumangkar
telah langsung melawan Tambak Wedi dengan sekuat tenaganya, sehingga Tambak
Wedi tidak sempat untuk menolong muridnya itu. Tetapi kali ini yang ada di
sekitar perkelahian itu adalah prajurit-prajurit Jipang yang berdiri keheranan.
Mereka baru menyadari keadaan itu ketika Sidanti telah berhasil memungut
pedangnya kembali dan siap bertempur melawan mereka itu. Sumangkar yang melihat
Sidanti telah berhasil menguasai dirinya kembali menjadi kecewa. Karena itu
segera ia berteriak,
“He, anak-anak
Jipang yang berani. Kenapa kalian berdiri saja seperti tonggak. Ayo, selesaikan
tugasmu.”
Suara
Sumangkar itu seolah-olah jatuhnya sebuah perintah dari seorang panglima yang
mereka segani. Serentak mereka berloncatan yang menyerang sejadi-jadinya.
Tetapi Sidanti pun telah bersiap pula. Karena itu, demikian serangan itu
datang, maka dengan sekuat tenaganya, serangan itu dilawannya. Dengan lincahnya
ia menari-nari di antara ujung-ujung senjata lawannya. Namun lawannya ternyata
terlalu banyak, sehingga dengan seluruh kekuatan dan kecakapannya ia harus
mempertahankan dirinya. Tetapi terasa jari-jari tangannya menjadi nyeri karena
senjatanya beradu dengan senjata Sumangkar sampai terlepas, sehingga betapapun
kecilnya berpengaruh juga atas kelincahan tangannya.
Tambak Wedi
yang melihat keadaan muridnya menjadi cemas. Sidanti ternyata mengalami
tekanan-tekanan yang berat. Sedang dirinya sendiri terikat pada lawannya yang
menyerangnya seperti orang yang sedang mabuk, meskipun pasti tak akan dapat
menjatuhkannya. Sumangkar memang berjuang dengan sepenuh tenaga. Diperasnya
segenap kemampuan dan kekuatannya. Menurut perhitungannya, seandainya ia akan
kehabisan tenaga, namun Sidanti akan lebih dahulu runtuh daripadanya, sebab
betapapun saktinya anak muda itu, tetapi melawan prajurit-prajurit Jipang yang
sekian banyaknya adalah pekerjaan yang mustahil dapat dilakukannya. Tambak Wedi
yang telah menyimpan pengalaman yang banyak sekali di dalam dirinya melihat
pula keadaan itu. Setidak-tidaknya ia mengerti apa yang dikehendaki oleh Sumangkar.
Namun sebagai seorang yang sakti, segera ia dapat mengerti pula, bahwa
sebenarnya muridnya akan banyak mengalami kesulitan, sedang dirinya sendiri
tidak akan dapat segera memberinya pertolongan.
“Sumangkar ini
benar-benar gila,” desahnya di dalam hati. Karena itu segera ia mencari cara
untuk melepaskan diri dari keadaan yang mengkhawatirkan itu.
Tiba-tiba
dalam keriuhan pertempuran terdengar Tambak Wedi menggeram.
“Sidanti
jangan kau lukai lawan-lawanmu. Jangan kau sakiti hatinya. Meskipun Sumangkar
yang gila ini merusakkan rencana kita, namun aku masih tetap dalam pendirianku.
Kami harus membuka pintu untuk menolong anak-anak yang malang ini.”
Sidanti tidak
segera mengerti maksud gurunya. Bahkan ia mengumpat-umpat di dalam hatinya.
Beberapa kali terasa ujung-ujung senjata lawannya telah menyentuh pakaiannya,
dan bahkan beberapa kali terasa goresan pada kulitnya, namun kenapa gurunya
masih melarangnya untuk melukai lawannya.
Dan terdengar
kembali suara Tambak Wedi.
“Sidanti,
bukankah maksud kita kali ini hanya segera memperkenalkan diri. Nah kini
pekerjaan kita sudah selesai. Marilah kita tinggalkan perkemahan ini.”
Barulah
Sidanti menyadari maksud gurunya. Betapapun kemarahan meluap di hatinya, tetapi
ia harus mengakui pula keadaannya. Ia harus menyadari bahwa ia tidak akan mampu
melawan orang-orang Jipang itu sekaligus, apalagi jari-jari tangannya kini
terasa menjadi nyeri.
Dalam pada itu
terdengar kembali suara gurunya.
“Nah, Sidanti
lepaskanlah lawan-lawanmu. Biarlah mereka tetap dalam keadaannya. Kita akan
tetap menanti kedatangan mereka di padukuhan kita atau di tempat asalmu kelak
apabila perlu.”
Sidanti tahu
benar akan kesulitannya sendiri. Alasan gurunya mengorbankan harga dirinya.
Karena itu, tiba-tiba ia meloncat dengan memberinya kesempatan meninggalkan
pertempuran itu dengan lincahnya, memutar senjata untuk menerobos
lawan-lawannya yang selalu berusaha untuk mengepungnya. Geraknya benar-benar
cepat tidak terduga, sehingga sesaat kemudian Sidanti telah berhasil keluar
dari lingkungan pertempuran. Dengan tangkasnya kemudian Sidanti menghindari
setiap sergapan sambil melangkah surut.
“Aku sudah
bebas guru,” katanya sambil terus-menerus mengundurkan dirinya sambil melawan
dan berusaha untuk tidak masuk ke dalam kepungan.
“Bagus,” sahut
gurunya,
“kau adalah
muridku yang baik. Betapapun juga kau mengalami kesulitan, tetapi kau tetap
tidak mau menyakiti hati prajurit-prajurit Jipang yang berani. Nah, tinggalkan
mereka. Akupun akan segera pergi.”
Sidanti tidak
menunggu perintah gurunya itu diulangi. Segera ia bersiap melontar surut dan
melepaskan diri dari daerah perkemahan itu.
Sumangkar yang
melihat cara Tambak Wedi dan muridnya melepaskan diri mengumpat tak
habis-habisnya. Katanya,
“Pengecut.
Kalian telah berani masuk ke dalam sarang srigala. Tetapi sifat-sifat kalian
lari, meskipun alasan kalian tampaknya terlalu menyakinkan?”
Sidanti yang
sudah agak jauh mendengar teriakan itu. Darah mudanya kembali menyala di dalam
dadanya, sehingga tiba-tiba ia berhenti sambil menyahut.
“Ayo,
kelinci-kelinci yang mengaku srigala, Inilah Sidanti.”
“Jangan
hiraukan,” teriak gurunya,
“kalau kau
bertempur lagi Sidanti, mungkin kau akan terpaksa membunuh lawan-lawanmu.
Dengan demikian di antara kita akan timbul persoalan-persoalan yang sulit kita
lupakan. Tinggalkan tempat ini.”
Sidanti
menggeram ketika ia mendengar Sumangkar tertawa.
“Bagus. Apapun
alasanmu, tetapi kami di sini akan mendapat kesan atas nilai-nilai pribadi
Tambak Wedi dan muridnya.”
Tambak Wedi lah
yang menyahut kata-kata itu.
“Suatu ketika
kau akan berkata lain, Sumangkar.”
Sumangkar
tidak menjawab. Tetapi ia menyerang terus dan bahkan terdengar ia meneriakkan
aba-aba.
“Jangan
lepaskan Sidanti. Ia akan kembali dengan dendam di dalam hatinya. Jangan
biarkan ia dapat melepaskan diri.”
“Jangan
hiraukan, Sidanti,” teriak Tambak Wedi.
Betapapun
juga, namun Sidanti dapat mengerti perintah gurunya. Karena itu, meskipun darah
di dalam jantungnya serasa menyala, namun ia terpaksa meninggalkan pertempuran
itu.
Demikian
Sidanti menghilang, maka demikian pula Tambak Wedi melontarkan dirinya,
menghindari serangan-serangan Sumangkar yang datang bertubi-tubi. Sekali ia
melawan namun di saat-saat lain ia meloncat surut, semakin lama semakin jauh,
tetapi Sumangkar masih belum melepasnya. Namun ternyata Tambak Wedi yang sebenarnya
tidak kalah dari Sumangkar itu, berhasil pula melepaskan dirinya. Dengan
menyusup ke dalam gerumbul-gerumbul liar di sekitar tempat itu, ia dapat
menghindari serangan-serangan dan kejaran Sumangkar. Sumangkar menggeram marah
sekali. Terdengar ia berteriak di antara kawan-kawannya,
“Ayo, kenapa
kalian hanya berdiri terpaku seperti nonton pacuan kuda? Kepung setan itu.”
Tetapi
betapapun usahanya, namun Tambak Wedi benar-benar berhasil lolos dari mereka,
seolah-olah mampu menghilang. Namun di kejauhan terdengar suaranya melingkar-lingkar
di dalam hutan.
“Sumangkar,
suatu ketika kau akan menyesal.”
“Setan!” sahut
Sumangkar dengan suara yang keras,
“sekarang kami
siap menunggumu.”
Tetapi Tambak
Wedi itupun lenyap dari antara mereka.
Meskipun
demikian, meskipun Tambak Wedi tidak berhasil mempengaruhi orang-orang Jipang
pada saat itu, namun ia telah berhasil melontarkan tawarannya. Ia telah
berhasil menyatakan perbandingan antara diri mereka dengan Macan Kepatihan.
Sehingga bagaimanapun juga, Tambak Wedi yakin bahwa di saat-saat mereka duduk
termenung, tawarannya akan berkumandang kembali di dalam hati mereka. Dengan
demikian, Tambak Wedi itu telah berhasil meletakkan sebuah persoalan di dalam
hati prajurit-prajurit Jipang yang sedang mengalami kesulitan lahir dan hatin. Tetapi
yang mula-mula menggoncangkan hati anak-anak Jipang itu adalah Sumangkar itu
sendiri. Juru masak yang malas itu telah menimbulkan berbagai pertanyaan di
dalam hati setiap orang yang telah melihat apa saja yang telah dilakukannya. Apalagi
Tundun, yang kini berdiri membeku. Sekali-sekali mulutnya menyeringai karena
sengatan rasa sakit pada tangannya. Ketika ia melihat Tambak Wedi yang ganas
itu melarikan dirinya, maka hatinya benar-benar bergelora. Ia tidak menyangka
bahwa juru masak itu berhasil mengusir Tambak Wedi yang menakutkan di seluruh
wilayah lereng Gunung Merapi itu. Namun setelah itu, setelah Tambak Wedi tidak
nampak lagi di mata mereka, timbullah kecemasan dan ketakutan yang lain di dada
Tundun itu. Betapa Sumangkar akan membalasnya. Ia pasti tidak akan mampu
berbuat apa-apa, seperti ia tidak akan mampu melawan Tambak Wedi.
Karena itu,
maka kemudian dipandangnya Sumangkar itu dengan gelora di dalam dirinya.
“Apakah yang
akan dilakukannya?” katanya dalam hati.
”Aneh. Orang
itu adalah orang yang aneh. Apakah ada setan yang manjing ke dalam dirinya?”
Sumangkar
sendiri kemudian berdiri kaku di tempatnya. Ia menjadi sangat kecewa atas
lenyapnya Tambak Wedi dan Sidanti. Kedua orang itu tidak kalah berbahayanya
daripada pasukan Pajang di Sangkal Putung bagi Macan Kepatihan dan pasukannya.
Mungkin suatu saat Macan Kepatihan akan kehilangan kewibawaannya atas anak
buahnya karena pokal Tambak Wedi itu. Mungkin anak buahnya satu demi satu akan
menghilang dan menggabungkan diri dengan Hantu Lereng Merapi itu. Dengan
demikian persoalannya akan menjadi semakin sulit. Macan Kepatihan harus
menghadapi persoalan baru yang tidak kalah rumitnya dengan persoalan-persoalan
yang telah ada, apalagi hal itu pasti akan langsung menyentuh harga diri Macan
Kepatihan itu. Sedangkan apabila Macan Kepatihan menerima kehadiran mereka di
dalam lingkungannya, maka keadaannya sama sekali tidak akan bertambah baik.
Hubungan antara pasukan Jipang dengan Pajang pasti akan bertambah buruk.
Pertentangan akan semakin menyala dan membakar rakyat Jipang dan Pajang
sendiri. Kematian dan bencana akan menjadi semakin bertambah-tambah. Sedangkan
tujuan terakhir dari perlawanan itu sama sekali tidak akan dapat diharapkan.
Pajang tidak saja berisi Untara, Widura dan anak buahnya di Sangkal Putung.
Tetapi Pajang memiliki panglima-panglima yang mumpuni. Ki Gede Pamanahan adalah
lambang dari kekuatan Wira Tamtama Pajang, dan puteranya Loring Pasar adalah
kekuatan yang tidak ada taranya di antara angkatan mudanya. Sesaat Sumangkar itu
tenggelam dalam angan-angannya. Tetapi kemudian disadarinya, bahwa di
sekitarnya masih berdiri para prajurit Jipang. Bahkan mereka yang lukapun masih
belum mendapat perawatan sama sekali.
“He, kenapa
kalian menjadi bingung,” katanya kemudian.
“Lihat kawan-kawanmu
yang luka. Nah, tolonglah dan obati mereka.”
Beberapa orang
tersadar dari kekagumannya. Segera mereka mencoba merawat kawan-kawan mereka
dan membawa mereka kembali ke perkemahan. Tetapi ketika seseorang mengajak
Bajang kembali, terdengar Bajang menjawab,
“Aku masih
mampu berjalan sendiri.”
Tetapi
sepeninggal kawannya itu, Bajang berjalan perlahan-lahan mendekati Sumangkar.
Dengan hormatnya ia mengangguk sambil berkata,
“Maafkan aku.
Bagaimana aku harus bersikap setelah aku melihat apa yang telah kau lakukan.”
“Oh,” seru
Sumangkar,
“aku tidak
menuntut perubahan sikap kalian terhadapku. Aku tetap seorang juru masak.”
“Hem,” desah
Bajang,
“alangkah
bodohnya aku. Kenapa aku tidak melihat keadaan ini sebelumnya. Kenapa aku tidak
tahu siapakah sebenarnya Sumangkar itu.”
“Jangan
ribut,” sahut Sumangkar.
“Kembalilah
dan pelihara lukamu. Mungkin Sidanti dan Tambak Wedi akan datang di saat-saat
lain.”
Kembali Bajang
mengangguk hormat. Kemudian ia melangkah pergi meninggalkan Sumangkar yang
masih berdiri di tempatnya. Yang tinggal kemudian adalah Tundun sendiri. Dengan
cemas ia melihat Sumangkar masih menggenggam pedangnya. Orang tua itu masih
belum meninggalkan tempatnya dan bahkan kemudian perlahan-lahan melangkah
mendekatinya.
“Kenapa kau
masih berdiri di situ?” terdengar orang tua itu bertanya.
Tundun itupun
kemudian menjawab dengan gemetar, “Tidak, tidak.”
“Apa yang
tidak?” bertanya Sumangkar pula.
Tundun menjadi
bingung. Ia tidak tahu, bagaimana menjawab pertanyaan itu.
Perlahan-lahan
Sumangkar datang kepadanya sambil berkata,
“Kenapa kau
tidak kembali ke perkemahan?”
“Ya, ya,”
sahut Tundun terbata-bata, “aku akan kembali.”
“Nah
kembalilah,” berkata Sumangkar pula.
Tundun
memandang Sumangkar tanpa berkedip. Terasa tengkuknya meremang, seakan-akan Sumangkar
itu telah mencengkamnya dan dengan penuh kemarahan membantingnya jatuh di
tanah.
Tetapi
Sumangkar masih tegak. Bahkan kembali ia mendengar suaranya.
“Marilah kita
kembali bersama-sama.”
Seperti orang
kehilangan kesadaran ketika Tundun melihat Sumangkar berjalan mendahului, iapun
berjalan pula di belakangnya dengan kepala tunduk. Hanya sekali-sekali terasa
sakit di tangannya masih menyengat-nyengat. Tetapi ia sama sekali tidak berani
mengeluh. Bahkan ia terkejut ketika tiba-tiba Sumangkar berkata,
“Apakah
tanganmu masih sakit?”
Sesaat Tundun
menjadi bingung. Namun kemudian ia menjawab,
“Tidak. Sudah
tidak sakit.”
Mendengar
jawaban itu Sumangkar berhenti. Ketika ia berpaling, dilihatnya tangan kiri
Tundun meraba-raba tangan kanannya. Dan Tundun pun terkejut pula.
Tergagap-gagap ia berkata,
“Masih.
Tanganku masih sakit.”
Sumangkar
tersenyum. Ia masih menggenggam pedang Tundun. Karena itu maka katanya sambil
menyerahkan pedang itu,
“Inilah
pedangmu.”
Tundun
memandang Sumangkar seperti memandang hantu sehingga Sumangkar tertawa
karenanya.
“Jangan cemas,
aku tidak apa-apa.”
Kata-kata
Sumangkar itu seolah-olah telah mengembalikan segenap kesadaran Tundun.
Tiba-tiba ia merasa betapa besar kesalahan yang telah dilakukan atas orang tua
itu sehari ini. Sehingga sampai pada puncak kebodohannya mencoba membunuhnya.
Karena itu tiba-tiba Tundun itu berjongkok di hadapan Sumangkar sambil berkata,
“Maafkan aku.
Maafkan aku. Aku tidak tahu siapa sebenarnya Tuan.”
“E, e,”
Sumangkar terkejut melihat sikap itu. Dengan serta merta ditariknya lengan
Tundun.
“Berdirilah,
aku bukan orang berpangkat di sini. Aku adalah seorang juru masak.”
“Tetapi apa
yang Tuan lakukan telah benar-benar mengejutkan. Tuan telah berhasil mengusir
Ki Tambak Wedi.”
“Bukan aku
seorang diri,” jawab Sumangkar, “tetapi bersama-sama.”
“Tetapi aku
telah berani mencoba membunuh Tuan.”
“Jangan
sebut-sebut itu lagi. Lupakanlah. Namun hal ini dapat kau jadikan pelajaran,
bahwa kau harus lebih banyak mempergunakan otakmu daripada tenaga dan
perasaanmu.”
“Baik Tuan.”
“Jangan
panggil aku tuan.”
Tundun tidak
menyahut, tetapi ia hanya mengangguk saja.
“Nab,
kembalilah dahulu,” berkata Sumangkar, “rusa panggang itu telah masak.”
“Bukan
untukku,” sahut Tundun.
Kembali
Sumangkar tertawa. Dipandanginya saja kemudian, ketika Tundun itu
meninggalkannya kembali ke perkemahan. Sekali-sekali ia masih meraba-raba
tangannya yang seakan-akan terkilir. la hanya merasakan sebuah tangkapan pada
pergelangan tangannya. Dan yang diketahui kemudian pedangnya terlepas dan
berpindah ke tangan Sumangkar, sedang dirinya sendiri terdorong beberapa
langkah ke samping.
“Benar-benar
di luar dugaanku,” keluh Tundun.
Sepeninggal
Tundun, Sumangkar berdiri seorang diri dalam terik cahaya matahari yang
menyusup di antara celah-celah dedaunan. Sekali-sekali ia memandangi matahari
itu. Dan setiap kali ia bergumam dengan lirih,
“Apa yang
terjadi di pertempuran itu?”
Kedatangan
Tambak Wedi dan Sidanti telah menambah hati orang tua itu menjadi gelisah. Ia
tidak sampai hati melihat Macan Kepatihan kehilangan kewibawaannya, kehilangan
kepercayaan kepada diri sendiri, sebagai penerus keturunan ilmu Kedung Jati.
Tetapi ia sebenarnya tidak bisa melihat perkembangan yang semakin suram dari
murid saudara seperguruannya itu dalam perjuangannya. Sebenarnya Sumangkar
tidak dapat menyetujui seluruh apa yang dilakukan oleh Tohpati. Tetapi ia tidak
dapat mencegahnya. Ia tidak dapat berbuat lain daripada apa yang dilakukannya
sampai saat terakhir. Justru karena Tohpati tahu, bahwa ia tidak sependapat
dalam beberapa hal, maka diletakkannya Sumangkar di sudut-sudut perkemahan, di
tepi-tepi perapian, seperti kesenangannya sendiri. Memasak.
“Saat ini anak
itu sedang berjuang melawan maut,” desis Sumangkar itu sambil sekali lagi
menatap matahari,
“mudah-mudahan
ia selamat.”
Namun hatinya
berdesir mengenang pertempuran kali ini. Pertempuran yang menurut kata-kata
Macan Kepatihan sendiri, adalah pertempuran terakhir?
“Kenapa
terakhir?” gumamnya.
Sumangkar
kemudian berjalan menepi. Perlahan-lahan diletakkannya tubuhnya di bawah
rindangnya pohon Benda. Sekali-sekali dikenangnya wajah Tambak Wedi yang
bengis dan sekali dibayangkannya wajah-wajah yang tegang di medan peperangan
sangkal Putung.
“Keduanya
merupakan bahaya,” desisnya,
“kenapa aku
tidak diperbolehkannya ikut serta.” Sumangkar itu berkata kepada diri sendiri.
“Tetapi kalau
aku pergi, maka perkemahan ini pasti akan menjadi ajang pengaruh Tambak Wedi
itu. Mungkin Tundun dan kawan-kawannya telah pergi meninggalkan Macan
Kepatihan. Dengan demikian, maka perkemahan ini akan menjadi kosong. Nanti
apabila laskar itu datang kembali, maka mereka akan menjadi semakin parah.
Parah karena pertempuran itu, dan parah karena mereka datang di tempat yang
kosong. Tanpa penyambutan, tanpa makanan. Alangkah sedihnya Macan Kepatihan.
Apalagi kalau usahanya kali ini untuk merebut sangkal Putung tidak berhasil.”
Sumangkar
menggelengkan kepalanya. Namun ia tidak juga berdoa supaya Macan Kepatihan
berhasil merebut Sangkal Putung. Ia tidak ingin membayangkan bagaimana
perempuan dan kanak-kanak Sangkal Putung menjadi ketakutan dan menjadi barang
rayahan yang akan diperlakukan dengan semena-mena.
Karena itu
Sumangkar menjadi bingung. Apakah yang sebaiknya dilakukan?
Ketika
kemudian ia melihat seseorang di kejauhan, maka segera ia berdiri dan berjalan
ke perkemahan kembali. Kepada orang yang dilihatnya itu Sumangkar melambaikan
tangannya memanggil. Orang yang dipanggilnya itupun datang mendekat,
seolah-olah sedang menyongsongnya.
“Akan
kemanakah kau?” bertanya Sumangkar.
“Mengambil
air,” jawab orang itu.
Sumangkar
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya,
“Apakah luka
Bajang sudah diobati?”
“Sudah.”
“Bagaimana
keadaannya?”
“Tidak
apa-apa. Ia sudah dapat bekerja lagi di dapur.”
“Tolong
panggil anak itu kemari.”
Orang itupun
segera kembali untuk memanggil Bajang. Sumangkar sendiri tidak meneruskan langkahnya.
Kini kembali ia duduk di bawah rimbunnya dedaunan hutan. Sekali-sekali
diamat-amatinya burung-burung liar yang berterbangan, hinggap dari dahan yang
satu ke dahan yang lainnya. Bajangpun segera datang mendekatinya. Tetapi sikap
anak itu telah jauh berbeda dari sikapnya sehari-hari.
“Kiai
memanggiI aku?” ia bertanya.
Mendengar
pertanyaan itu Sumangkar terkejut, tetapi iapun tersenyum.
“Sejak kapan
kau menyebut aku demikian?”
Bajang menjadi
tersipu-sipu sehingga ia tidak dapat menjawab pertanyaan itu.
“Duduklah
Bajang,” minta Sumangkar.
Bajang pun
segera duduk di samping Sumangkar. Terasa beberapa pertanyaan melonjak-lonjak
di dalam dadanya. Dalam tanggapannya Sumangkar yang duduk di sampingnya itu
sama sekali bukan Sumangkar yang dikenalnya setiap hari. Sumangkar itu
seolah-olah adalah orang baru di dalam perkemahan itu. Orang baru yang sakti
melampaui kesaktian Macan Kepatihan sendiri.
“Bajang,”
berkata Sumangkar. Sumangkar sendiri tidak tahu, kenapa tiba-tiba ia menaruh
kepercayaan kepada anak itu. Tiba-tiba saja ia melihat kelebihan Bajang dari
orang-orang lain, sejak ia melihat sikap anak itu menghadapi kekasaran Tundun
atasnya. Dan kemudian dilanjutkannya kata-katanya.
“Apakah
pekerjaanmu sudah siap?”
“Belum
seluruhnya Kiai, tetapi segera akan selesai.”
“Maksudku,
bagaimanakah kalau aku hari ini berhalangan membantumu di dapur? Apakah
pekerjaan kita dapat selesai sebelum petang?”
“Oh, tentu,
tentu. Dan seharusnya Kiai tidak lagi bersusah payah bekerja di dapur. Kiai
dapat memerintahkan Tundun untuk melakukannya. Ia pasti tidak berani membantah
lagi.”
“Tidak Bajang.
Aku sendiri memang memilih pekerjaan itu. Jangan kau sangka bahwa Macan
Kepatihan tidak mengenal aku. Sanakeling dan Alap-alap Jalatunda itupun
mengenal siapa Sumangkar. Tetapi sengaja aku minta mereka untuk membiarkan aku
melakukan pekerjaan yang aku senangi.”
“Oh, jadi
Raden Tohpati telah mengenal Kiai?”
“Sudah Bajang.
Sejak di kepatihan Jipang. Mantahun adalah kakak seperguruanku.”
“Oh,” Bajang
menjadi pucat.
Tetapi
cepat-cepat Sumangkar menyambung,
“Tetapi aku
sama sekali bukan seorang pejabat pemerintahan seperti Patih Mantahun. Aku
sejak di kepatihan, adalah seorang juru masak.”
Bajang
menundukkan kepalanya. Baru kini ia menjadi jelas siapakah kawannya yang selama
ini dianggapnya sebagai seorang tua yang telah tidak lagi mampu bekerja terlalu
keras, yang oleh orang-orang lain disebutnya juru masak yang malas.
“Tetapi Bajang,”
berkata Sumangkar kemudian,
“jangan kau menganggapku
berlebih-lebihan. Sikapmu jangan kau rubah seperti terhadap seorang pemimpin.”
“Bajang,” kembali
terdengar suara Sumangkar,
“bagaimana
dengan pertanyaanku? Hari ini aku tidak dapat membantumu?”
“Tidak apa-apa
Kiai. Betul, aku dan kawan-kawan yang lain akan dapat menyelesaikannya.
Silahkan Kiai beristirahat.”
Sumangkar
menggeleng. Katanya,
“Aku tidak
ingin beristirahat, Bajang.”
Sekilas Bajang
berpaling. Dilihatnya wajah Sumangkar yang suram. Lalu terdengar ia bertanya,
“Apa yang akan
Kiai lakukan sekarang?”
“Aku akan
pergi.”
“Pergi?”
“Ya.”
“Kiai akan
pergi ke mana?” desak Bajang.
Sesaat
Sumangkar menjadi ragu-ragu. Tetapi kemudian jawabnya,
“Sebenarnya
sejak Macan Kepatihan berangkat, hatiku menjadi gelisah. Seolah-olah aku
melepas anak di tepi sungai.”
Bajang
mengangkat wajahnya. Tiba-tiba ia bertanya,
“Kenapa Kiai
tidak turut ke Sangkal Putung. Bukankah tenaga Kiai akan sangat berguna untuk
merebut daerah itu?”
“Aku tidak
tahu, kenapa Macan Kepatihan menolak tawaranku. Disuruhnya aku tinggal di
perkemahan ini.”
“Apakah
sekarang Kiai akan menyusul ke Sangkal Putung?”
Sumangkar
mengangguk. “Ya,” jawabnya,
“aku ingin
melihat pertempuran itu.”
Bajang
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya,
“Apakah aku
dapat ikut serta Kiai.”
Sumangkar menggeleng.
“Jangan.
Perjalananku mempunyai bentuk yang lain dari perjalanan sebuah pasukan. Karena
itu, biarlah aku pergi sendiri. Bukankah kau mempunyai pekerjaan yang cukup
penting di sini, menyiapkan makan untuk pasukan itu.”
Bajang
mengangguk. Gumamnya, “Baik Kiai.”
Mereka berdua,
Bajang dan Sumangkar, untuk sesaat saling berdiam diri. Mata Sumangkar yang
redup memandang jauh menembus rimbunnya hutan. Hatinya kini sedang dilibat oleh
kebimbangan dan keragu-raguan. Ia merasa bahwa seakan-akan kini ia berdiri di
simpang jalan. Dan diketahuinya bahwa kedua simpangan itu sama-sama tidak
dikehendakinya. Bahkan kembalipun tidak akan dapat ditempuhnya. Tiba-tiba
Sumangkar itu tersentak ketika ia mendengar seperti jerit seseorang. Ketika ia
mengangkat wajahnja, barulah disadarinya, bahwa suara itu adalah suara seekor
burung elang yang bertempur di udara.
“Hem,”
desahnya, “aku harus pergi Bajang.”
Bajang
berpaling sambil mengangguk,
“Silahkan
Kiai. Kedatangan Kiai akan banyak memberi bantuan kepada pasukan itu.”
Sumangkar
menggeleng.
“Belum tentu.
Bahkan mungkin aku akan diusir oleh angger Tohpati.”
“Kalau Raden
Tohpati itu memerlukannya, maka kehadiran Kiai akan sangat membesarkan
hatinya.”
Sumangkar
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia berdiri, membenahi pakaiannya dan
berbisik seakan-akan kepada dirinya sendiri,
“Aku akan
pergi. Tetapi aku harus kembali dulu ke perkemahan.”
“Marilah
Kiai,” sahut Bajang.
Sumangkar
kemudian tidak berkata-kata lagi. Cepat-cepat ia berjalan ke perkemahan
langsung masuk ke dalam gubugnya. Bajang yang mengikutinja, berdiri tegak di
muka pintu gubug sambil mengawasi apa yang sedang dicari oleh Sumangkar itu di
bawah tumpukan jerami, tempat ia tidur di malam hari. Bajang terkejut ketika ia
melihat benda itu. Ia pergi ke mana saja bersama pasukan dan ia pergi ke mana
saja bersama Sumangkar, tetapi ia belum pernah melihat benda itu.
“Benda ini
adalah benda peninggalan,” desis orang tua itu.
“Jarang kau
melihatnya. Aku selalu membawanya di antara barang-barang yang lain dan
terbalut kain.”
Benda itu
mirip benar dengan benda yang paling berharga dalam pasukan itu, meskipun agak
lebih kecil. Tongkat baja putih, dengan kepala yang berwarna kekuning-kuningan.
Mirip benar dengan tongkat baja putih milik Tohpati.
Dengan suara
gemetar Bajang bertanya,
“Apakah benda
itu lain dengan yang dimiliki oleh Raden Tohpati?”
“Gurunya
adalah seperguruan dengan aku. Kami masing-masing menerima senjata serupa. Dan
Senjata kakak seperguruanku itu kini telah jatuh ke tangan Tohpati, murid
satu-satunja.”
Bajang
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia belum pernah melihat Sumangkar menjinjing
senjata, selain menjinjing kapak, pisau dapur atau sebuah kelewang pembelah
kayu. Kini orang tua itu menjinjing sebatang tongkat baja putih berkepala
kekuning-kuningan berbentuk tengkorak, agak lebih pendek sedikit dari tongkat
Tohpati. Alangkah jauh bedanya. Sumangkar yang setiap hari berjongkok di dapur
dan Sumangkar yang menjinjing tongkat itu. Karena itu maka terasa hatinya
berdesir.
“Kiai,
ternyata Kiai adalah seorang yang menakjubkan. Meskipun Kiai dapat mengimbangi
kesaktian Tambak Wedi, namun selama ini Kiai dapat merendam diri dalam
keprihatinan,” berkata Bajang kemudian.
“Kau salah sangka
Bajang,” sahut Sumangkar.
“Selama ini
aku sama sekali tidak merendam diri dalam keprihatinan. Bahkan aku merasa bahwa
aku mendapat istirahat yang panjang. Aku tidak perlu lagi bekerja terlalu berat
di peperangan. Betapapun saktinya seseorang, namun perang adalah pekerjaan yang
berat. Mungkin aku merasa bahwa seseorang tidak berarti dalam olah senjata,
namun di dalam peperangan ia tidak berdiri sendiri. Dan aku tidak hanya melawan
musuh-musuh itu seorang lawan seorang. Seandainya musuh-musuhku adalah
orang-orang yang lemah dan sama sekali tidak berarti sehingga aku akan dapat
membunuhnya seperti menebas batang ilalang, namun dalam keadaan yang demikian,
musuh yang terberat adalah perasaan sendiri. Apakah aku akan dapat tidur dengan
tenang setelah aku mengotori tanganku dengan darah orang yang lemah dan tidak
berarti itu? Apakah aku akan dapat tidur nyenyak kalau aku sempat menghitung
orang yang telah aku bunuh? Tidak Bajang. Aku tidak bisa. Karena itu pekerjaan
di dapur adalah pekerjaan yang menyenangkan bagiku. Bagi seorang pemalas.”
Bajang tidak
menjawab. Kini ia melihat Sumangkar itu telah siap. Dan Bajang itu mendengar
Sumangkar berkata,
“Lakukan
pekerjaanmu baik-baik Bajang. Aku akan pergi ke Sangkal Putung untuk melihat
peperangan itu.”
Bajang
melangkah ke samping ketika Sumangkar berjalan ke pintu. Lamat-lamat terdengar
ia berdesis,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar