Jilid 011 Halaman 2


Tanpa sesadarnya Tundun mengangguk sambil menjawab,
“Ya.”
“Nah, ketahuilah kami terlampau baik. Kami masih tetap menawarkan tenaga kami untuk kepentingan kalian.” Tambak Wedi diam sesaat. Namun kemudian diteruskannya,
“Tetapi kalau Macan Kepatihan menolak, apa boleh buat. Meskipun demikian, ada yang wajib kalian ketahui. Macan Kepatihan kini tidak lagi mempunyai tempat yang akan dijadikannya pencadan dalam gerakannya. Ia berada di mana-mana, seperti kapuk diterbangkan angin. Tetapi aku dan muridku itu, masih mempunyai tempat untuk berpijak. Sedang kalian telah melihat sendiri, bahwa muridku tidak kalah dengan Macan Kepatihan.” Kembali Tambak Wedi berhenti sesaat, namun segera diteruskannya,
“Aku hanya ingin kalian dapat menilai keadaan kami.”

Tundun dan kawan-kawannya masih belum dapat mengerti dengan pasti maksud Tambak Wedi itu. Beberapa orang di antara mereka saling berpandangan dan bertanya-tanya di dalam hati. Ki Tambak Wedi yang melihat kebingungan itu berusaha untuk menjelaskan.
“Kisanak. Kalian menurut tangkapanku, adalah prajurit-prajurit yang baik. Prajurit-prajurit yang setia pada cita-cita. Bukan sekedar prajurit yang bertempur tanpa arah, selain untuk membunuh atau dibunuh. Karena itulah maka kalian tetap berada dalam lingkungan Macan Kepatihan. Tetapi aku ingin mengatakan, bahwa Macan Kepatihan dengan caranya sekarang tidak akan dapat memenangkan perjuangannya. Sedang tawaran kami untuk membantunya telah ditolaknya. Nah, kalau kalian memang setia kepada cita-cita kalian, menolak kekuasaan Pajang, maka kalian dapat mempertimbangkan antara Macan Kepatihan dan Sidanti. Macan Kepatihan yang telah kehilangan landasan perjuangannya dan Sidanti yang baru muIai dengan tekad yang masih segar. KeIebihan Sidanti yang lain adalah, Sidanti berkuasa di lereng Gunung Merapi. Suatu daerah yang cukup luas untuk membangun kekuatan dam benteng pertahanan. Dan ia berkuasa pula di suatu daerah yang luas di sebelah Alas Mentaok, Bukit Menoreh.”
Tundun dan kawan-kawannya kini baru menjadi jelas maksud Ki Tambak Wedi itu. Ternyata Ki Tambak Wedi telah menawarkan pilihan kepada para prajurit itu. Dan tawaran itu tenyata telah mempengaruhi perasaan mereka. Namun Tundun, seorang prajurit yang sudah lama menjadi bawahan Tohpati, sejak terjadi parselisihan antara Jipang dan Pajang, tidak akan segera dapat melepaskan ikatan itu. Karena itu maka jawabnya,
“Ki Tambak Wedi. Tawaranmu bagus sekali. Tetapi jangan mencoba mempengaruhi kesetiaan kami kepada pimpinan kami. Kalau kau ingin menyatukan dirimu ke dalam lingkungan kami, maka mengharap, mudah-mudahan pimpinan kami dapat menerimanya. Tetapi kalau kau mencoba mempengaruhi kesetiaan kami itu, jangan mengharap.”
Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Tetapi kemudian ia tertawa.
“Aku tahu, bahwa jawaban kalian akan berbunyi demikian. Memang aku mengharap kalian menjawab seperti yang diucapkan oleh pimpinan kalian ini. Kalau tidak demikian, maka kalian sama sekali tidak berharga. Bagi kamipun tidak. Tetapi karena kesetiaan itulah maka kalian baru dapat disebut seorang prajurit jang baik. Jawaban itu kalian ucapkan sebab kalian belum mempunyai kesempatan untuk berpikir. Kalau kalian belum sempat berpikir, tatapi segera mempercayai kata-kata orang lain, maka kalian adalah sampah jang tidak berarti. Tetapi kamipun tidak ingin mendengar jawaban kalian sekarang ini. Seperti aku katakan, jawaban yang akan aku dengar sudah aku ketahui. Namun aku mengharap kalian sempat memikirkan tawaran itu. Aku hanya ingin kalian memikirkan dan mempertimbangkan. Lain tidak.”

Tundun terdiam untuk sesaat. Ia menjadi heran kembali mendengar jawaban Tambak Wedi. Tetapi dengan demikian ia terpaksa untuk mencari sebab-ebabnya. Yang terdengar kemudian adalah kata-kata Tambak Wedi itu kembali.
“Meskipun seandainya, kami tidak dapat bertemu dalam pembicaraan, karena kesetiaan kalian terhadap pimpinan kalian, namun biarlah hubungan persaudaraan ini kita langsungkan. Kami akan selalu menunggu kalian di tempat kediaman kami. Dan dalam keadaan yang memuncak, muridku akan dapat membangun kekuasaan tandingan dari Pajang itu di daerah asalnya, di sebelah Barat Alas Mentaok. Daerah itu akan dapat dibukanya menjadi daerah yang akan dapat mangimbangi kekuasaan Pajang. Setidak-tidaknya di daerah Barat, dan Selatan.”
Tundun dan kawan-kawannya seolah-olah menjadi beku mendengar keterangan itu. Ki Tambak Wedi yang mempunyai pengamatan yang tajam, melihat bahwa kata-katanya bergolak di dalam hati para prajurit Jipang itu. Maka katanya selanjutnya,
“Nah. Bandingkan dengan hari depan Tohpati. Sidanti mempunyai kekuasaan atas suatu daerah. Meskipun daerah itu kini seakan-akan masih asing bagi kalian. Daerah yanq masih jarang-jarang diketemukan pedukuhan dan padesan. Tetapi di daerah itu dapat dibangun kekuasaan yang besar. Apalagi dengan bantuan prajurit-prajurit yang berpengalaman.”
Terasa sesuatu menyentuh hati para prajurit itu. Seakan-akan di hadapan mereka ditunjukkan oleh Ki Tambak Wedi, betapa suram hari depan mereka. Betapa suram hari depan Macan Kepatihan. Tetapi dengan suatu perubahan di dalam hidup mereka, maka hari depan merekapun akan dapat berubah pula.
Tiba-tiba merayap di dalam hati para prajurit itu pertanyaan,
“Kenapa Tohpati menolak uluran tangan Ki Tambak Wedi?”
Tetapi pertanyaan itu disimpannya di dalam hati. Mereka kini seakan-akan telah menjadi patung yang hanya boleh mendengarkan Ki Tambak Wedi berbicara. Katanya meneruskan,
“Selanjutnya terserah kepada kalian. Tetapi aku telah memberikan perbandingan-perbandingan.”

Suasana di perkemahan itu kemudian menjadi sepi. Beberapa oranq berdiri tegak dengan senjata di tangan. Namun ujung-ujung senjata itu sudah terkulai di tanah. Mereka berdiri saja seperti patung mengerumuni dalam jarak yang tidak jauh, seorang tua namanya ditakuti karena kesaktiannya bersama seoreng muridnya yang garang. Dalam suasana yang sepi itulah maka kata-kata Tambak Wedi seakan-akan meresap semakin dalam di hati para prajurit Jipang yang memang sudah terlalu lama mengalami kepahitan hidup di hutan-hutan dan pengembaraan sebagai orang-orang liar. Apabila mereka menemukan tempat yang baik, maka keadaan mereka pasti akan lebih baik. Seandainya mereka masih haruss berjuang untuk menghancurkan Pajang, maka landasan mereka akan Iebih kokoh. Sejenak Ki Tambak Wedi pun berdiam diri pula. Dibiarkannya para prajurit Jipang itu mencernakan kata-katanya. Ia mengharap seandainya tidak sekarang, namun orang-orang itu pasti akan memperbincangkan kata-katanya denqan beberana orang kawan-kawannya. Semakin lama akan menjalar semakin luas di antara orang-orang Macan Kepatihan. Tetapi kesepian itu kemudian dipecahkan oleh kehadiran seorang tua, juru masak Macan Kepatihan yang malas, Sumangkar, yang dengan terbata-bata berkata. “Tundun, Tunduu, rusa itu sudah masak. Apakah kau tidak mencium baunya? Aku bumbui rusa panggang itu dengan tanganku sendiri.”
Dalam suasana yang sepi tegang, kehadiran Sumangkar benar-benar mengejutkan. Apalagi sebelum ia sendiri hadir di tengah-tengah kesepian itu, suaranya telah lebih dahulu melengking di antara mereka. Sehingga ketika Sumangkar berlari-lari, maka beberapa orang telah berloncatan menyibak tanpa mereka kehendaki sendiri. Tundun pun terperanjat pula. Ia melihat Sumangkar berlari-lari ke arahnja dan kemudian berdiri di hadapannja sambil terengah-engah.
“Gila!” teriak Tundun yang masih berdebar-debar karena terkejut.
“Rusa itu sudah masak Tundun,” ulang Sumangkar.
“Gila. Aku sangka apa saja yang kau teriakkan itu. Apakah kau tidak melihat apa jang sedang terjadi di sini?”

Sumangkar terdiam sesaat. Dipandangnya beberapa orang yang berdiri di sekitarnya. Dan kemudian dipandanginya kedua orang yang berdiri di antara mereka. Guru dan murid. Tetapi sebelum Sumangkar berkata-kata sepatah katapun, maka kembali terdengar Tundun membentak.
“He orang tua yang bodoh. Coba lihat tangan-tangan kami masih menggenggam senjata. Dan keringat kami masih belum kering. Ayo, pergi. Atau kepalamu kami pangkas dengan pedang kami.”
“Jangan Tundun,” sahut Sumangkar.
“Aku datang sekedar memberitahukan, bahwa apa yang harus kukerjakan sudah selesai. Rusa panggang. Dahulu Adipati Arya Penangsang gemar sekali akan rusa panggang pula. Dahulu ketika Adipati Jipang itu masih berkuasa di Jipang.”
“Tutup mulutmu!” bentak Tundun.

Tetapi Sumangkar berbicara terus, seakan-akan ia tidak mendengar Tundun membentak-bentak dan tidak melihat kehadiran orang-orang di sekitarnya, orang-orang Jipang sendiri dan kedua orang asing itu. Katanja,
“Tetapi sayang Adipati Jipang itu sudah tidak ada lagi. Dahulu Adipati Jipang tidak pernah melupakan rusa panggang dalam setiap perburuan. Pamanda Kepatihan, Mantahun pun senang sekali akan rusa panggang pula. Sayang, giginja telah hampir habis karena usianya, sehingga Patih Mantahun tidak dapat ikut menikmatinja.”
“He, orang gila,” potong Tundun berteriak keras sekali,
“pergi dari sini sebelum aku bunuh kau.”
“Ternyata sekarang Macan Kepatihan, kemanakan Mantahun itu, gemar pula akan rusa panggang. Tetapi kasihan Macan Kepatihan itu. Ia kini hidup seperti sehelai kapuk diterbangkan angin. Tidak mempunyai tempat landasan bagi perjuanganya. Dahulu Arya Jipang mempunjai landasan yang kuat. Satu Kadipaten Jipanq memihaknja, lengkap dengan seluruh pasukan Wira Tamtama dari Kadipaten itu. Jipanq adalah Kadipaten yang lengkap. Bukan sekedar padukuhan atau padesan yang masih harus dibangun, meskipun dibantu oleh prajurit-prajurit yang berpengalaman. Tetapi Jipang sudah besar sejak permulaan mengangkat senjata. Prajuritnja sudah lengkap di bawah pimpinan Patih Mantahun di samping Arya Penangsang sendiri. Dan kemudian dibantu oleh Raden Tohpati. Bukan suatu daerah asing di seberang hutan belantara. Namun Jipang yang kuat itu dapat dipecahkan oleh kekuatan Pajang di bawah pimpinan Adipati Adiwijaja, yang bermama Mas Karebet semasa ia masih menjadi seorang anak gembala. Apalagi daerah-daerah terpencil, padukuhan dan padesan yang ringkih dan sepi.”
“Cukup!” tiba-tiba hutan itu tergetar oleh suara Tambak Wedi yang marah bukan buatan. Ia tahu benar maksud kata-kata Sumangkar itu. Demikian marahnya, sehingga hantu dari lereng Gunung Merapi itu berteriak sekuat-kuatnya.
Semua orang yang berdiri memutarinya terkejut. Hampir saja mereka berloncatan menjauh. Tundun pun terkejut pula mendengar teriakan itu.

Bukan saja terkejut karena Tambak Wedi berteriak. Tetapi segera Tundun pun menjadi cemas melihat Tambak Wedi itu terbakar oleh kamarahan. Wajahnya merah dan sepasang matanya seolah-olah menyala seperti bara.
“Kalau Tambak Wedi ini menjadi marah, dalam suasana yang telah menjadi tenang ini, dan membunuh kami sekalian, maka kami tidak akan dapat malawannya,” pikir Tundun. Karena itu maka segera ia menimpakan kesalahan itu kepada Sumangkar. Untuk mengurangi kemarahan Tambak Wedi, maka Tundun itupun berteriak pula.
“He Sumangkar yang gila. Bukan orang lain yang akan membunuhmu karena mulutmu yang lancang itu. Tetapi aku sendiri. Dengan pedangku dan tanganku, maka kepalamu akan aku pancung di muka kawan-kawanmu ini.”
Tetapi Sumangkar itu seolah-olah tidak mendengar suara Tundun dan Tambak Wedi. Dan Tundun itupun kemudian terkejut bukan buatan. Ketika ia melangkah setapak maju untuk menyingkirkan Sumangkar yang telah membangkitkan kemarahan Tambak Wedi yang menakutkan itu, tiba-tiba dilihatnya Sumangkar memutar tubuhnja, membelakanginya dan menghadap Ki Tambak Wedi. Bahkan kemudian dilihatnja Sumangkar itu tersenyum sambil berkata,
“Jangan marah Kakang Tambak Wedi. Jangan marah supaya kau tidak menjadi lekas tua.”
“Sumangkar,” teriak Tambak Wedi,
“kehadiranmu di sini benar-benar mengejutkan aku. Kenapa kau tidak ikut pergi ke medan pertempuran Setan tua?”
Sumangkar menggeleng. “Tidak Kakang. Aku adalah seorang juru masak.”
“Tetapi kau kali ini benar-benar ingin merusak semua rencana yang sudah aku susun bersama muridku ini.”
Sumangkar tertawa. Sekali ia berpaling, dan dilihatnja Tundun berdiri ternganga di belakangnya. Alangkah peningnya kepala pemimpin prajurit pengawal perkemahan ini. Tiba-tiba saja ia melihat seolah-olah Sumangkar, juru masak yang malas itu telah mengenal dan dikenal olah Ki Tambak Wedi.
“Jangan heran Tundun,” berkata Sumangkar,
“aku kini berjumpa dengan kawan bermain di waktu muda. Tatapi sayang bahwa ia kini menjadi seorang guru yang ternama, dan aku menjadi seorang juru masak yang malas. Yang sehari ini selalu kau bentak-bentak saja.”
Namun kata-kata itu terputus oleh teriakan Ki Tambak Wedi.
“Jangan mengigau. Apakah kehendakmu sebenarnya?”
Mendengar teriakan Tambak Wedi itu, sekali lagi Sumangkar tersenyum. Dan sekali lagi ia berkata,
“Jangan marah Kakang Tambak Wedi.”
“Persetan!” teriak Tambak Wadi.
“Lihat, kalau kau masih saja berdiri di situ, aku bunuh kau dan prajurit-prajurit Jipang seluruhnya.”

Ancaman itu telah menyadarkan Tundun dari keheranannya. Kini kembali ia dicengkam oleh ketakutan. Dan sekali lagi Tundun menimpakan kesalahan itu kepada Sumangkar, katanya,
“He, juru masak yang malas. Untuk membebaskan kami dari kemarahan Ki Tambak Wedi, maka aku terpaksa membunuhmu.”
Kali ini Sumangkar terpaksa berpaling dan menjawab,
“Jangan Tundun. Jangan mengorbankan kawan sendiri untuk memuaskan orang lain karena kau melihat kepentinganmu sendiri. Karena kau ingin kau dihidupi. Tentu aku tidak mau menjadi korban. Kalau kita menjadi korban bersama-sama, marilah, biarlah aku mati paling awal dari kalian. Tetapi kalau aku sendiri harus mati karena kalian ketakutan akan mati itu, nanti dulu.”
Tundun menggeram mendengar kata-kata itu. Terbersit di hatinya kebenaran kata-kata Sumangkar. Tetapi ketakutannya kepada Ki Tambak Wedi telah mengatasi segalanya, maka katanya,
“Jangan banyak bicara. Kau tidak berarti di sini.”
“Kalau kau bunuh aku Tundun, Macan Kepatihan pasti akan marah. Aku adalah juru masak yang dibawanya sejak dari istana kepatihan. Tentu. Tentu kau belum mengenal aku, sebab saat-saat itu kau adalah seorang Wira Tamtama yang tidak bertugas di istana Kadipaten maupun di istana Kepatihan. Hanya orang-orang tua dan mereka yang bertugas di istana dan istana Kepatihan sajalah yang mengenal Sumangkar. Di antaranya adalah Sanakeling. Dan Ki Tambak Wedi. Bukankah begitu Kakang?”
“Tutup mulutmu, Sumangkar! Lihat, kawanmu sudah siap akan membunuhmu,” sahut Ki Tambak Wedi, yang kemudian berkata kepada Tundun,
“Kalau kau bunuh tikus tua itu, aku maafkan kalian.”
Tundun yang lebih sayang kepada jiwanya sendiri menggeram. Selangkah ia maju dan pedangnya telah siap menusuk punggung Sumangkar. Tetapi ia mendengar Sumangkar berkata,
“Cara yang baik untuk mengadu sesama kawan. Kini tinggallah kita sendiri, Tundun. Apakah kita ini sebangsa domba-domba yang siap untuk diadu, ataukah kita ini sebangsa prajurit yang setia kepada tugas dan pimpinan kami. Pilihlah olehmu Tundun.”

Tundun terhenti. Kembali dadanya berdesir. Kata-kata Sumangkar yang terakhir telah benar-benar menggugah kesadarannya. Namun ketika sekali lagi dilihatnya Ki Tambak Wedi ia menyahut,
“Adalah salahmu sendiri Sumangkar. Kau ternyata ikut campur dalam persoalan yang hampir dapat aku selesaikan dengan caraku. Tetapi karena kelancanganmu, maka persoalannya menjadi panas kembali. Dan nyawamu akan dapat menjadi tebusan dari sekian banyak orang. Karena itu bersedialah untuk mati.”
“Baik Tundun, aku bersedia untuk mati. Tetapi biarlah Ki Tambak Wedi sendirilah yang membunuh Sumangkar. Itu kalau ada keberanian padanya. Sebab Tambak Wedi sudah mengenal siapakah Sumangkar itu. Tetapi aku tidak akan bersedia mati karena pedang kawan sendiri.” Kemudian kepada Tambak Wedi ia berkata,
“Kakang, jangan mengharap akan timbul perkelahian di antara kita. Kau tahu, bahwa Tundun tidak akan dapat membunuh Sumangkar, dan kau tahu, bahwa apabila dikehendaki Sumangkar akan mampu membunuh semua orang Jipang yang bertugas di sini sekaligus seperti apa yang akan dilakukan oleh Tambak Wedi. Tetapi kalau lidahmu barhasil mengadu kekuatan di antara kami, maka aku dapat menghindari, melarikan diri dari tempat ini tanpa seorangpun yang dapat menangkapnya. Kaupun tidak.”
Dada setiap orang yang mendengar kata-kata itu berdesir. Namun Tundun yang lebih mementingkan keselamatan diri dan kawannya, dan sejak semula menganggap Sumangkar tidak berguna itu, agaknya lebih baik mengorbankanya. Dengan marah ia mendengar seakan-akan kata-kata Sumangkar itu sebagai kicauan burung yang memuakkan. Karena itu tiba-tiba ia meloncat dan menusuk punggung Sumangkar dari belakang. Geraknya cepat seperti kilat meloncat di langit. Kawan-kawannya yang melihat loncatan itu terkejut. Apalagi seorang yang bernama Bajang. Tardengar ia bertariak nyaring,
“Kau gila Tundun. Aku sudah terluka. Kau sekarang ingin mengorbankan kawan sendiri. Ayo, biarlah aku jadi benteng. Aku akan mati bersama Sumangkar.”
Tetapi suara itu tak didengar oleh Tundun. Ia sama sekali tidak mengurungkan niatnya. Bahkan loncatannya dipercepatnya sebab ia melihat Bajang bergerak untuk mencegahnya.
Kawan-kawannya yang lain berdiri saja seperti patung. Tak seorangpun yang mampu mencegah atau membenarkan tindakan Tundun dan Bajang. Mereka benar-benar dicengkam oleh kebingungan dan kekaburan pikiran. Mereka menganggap kata-kata Tundun dan tindakannya itu dapat menyelamatkan mereka, tetapi perasaan mereka hampir tidak rela melihat Sumangkar dikorbankan tanpa belas kasihan. Betapapun juga Sumangkar telah berada di dalam lingkungan mereka, sejak mereka meninggalkan Jipang.

Tetapi Bajang yang berdiri agak jauh itu terlambat. Tundun telah berhasil mencapai Sumangkar dengan ujung pedangnya yang langsung mengarah punggung. Beberapa orang yang tidak sampai melihat pembunuhan itu memejamkan matanya. Bajang sendiri langkahnya terhenti. Sesaat ia tertegun, namun kemudian ia memalingkan wajahnya sambil berteriak,
“Gila kau Tundun. Aku kelak yang akan membunuhmu.”

Tetapi alangkah dahsyatnya goncangan perasaan mereka saat itu. Seakan-akan darah mereka membeku dan nafas mereka terhenti mengalir. Yang mereka lihat kemudian sama sekali bukan Sumangkar yang jatuh tersungkur dan menyemburkan darah dari luka di punggungnya. Tetapi yang mereka lihat, Tundun terdorong beberapa langkah ke samping dan mereka melihat Sumangkar itu berdiri dengan garangnya dengan pedang di tangannya. Belum lagi gelora di dada mereka berhenti, terdengar Sumangkar berkata,
“Terima kasih Tundun. Ternyata kau baik hati. Kau telah memberi aku senjata untuk mengusir Tambak Wedi yang tamak ini.”
Yang paling terkejut atas peristiwa itu adalah Tundun sendiri. Ketika ia meloncat menusuk punggung Sumangkar, maka ia sudah pasti bahwa pedangnya akan menghunjam sampai ke jantung. Meskipun di dalam dadanya, merayap juga keraguan-raguan dan kekhawatiran, bahwa Macan Kepatihan akan marah kepadanja, serta bagaimanapun juga ada rasa kasihan kepada orang tua itu, namun hasratnya untuk hidup telah memaksanya melakukan tindakan itu, dan ia akan dapat mengatakan berbagai alasan kelak kepada Macan Kepatihan. Tetapi tanpa disangka-sangka, maka terasa bahwa pedangnya tergetar. Bukan karena ujungnya menyobek kulit orang tua itu, tetapi, ia melihat, orang tua itu bergeser cepat sekali ke samping. Pedangnya berlari tidak lebih dari tebal jari tangannya di samping tubuh juru masak yang malas itu. Namun sasaat kemudian dunianya seakan-akan berguncang. Ia sendiri terdorong ke samping oleh kekuatan yang dahsyat dan tangannya terasa nyeri bukan buatan, sehingga tangannya itu terasa lumpuh. Ketika ia menyadari keadaannya, pedangnya telah terlepas dari tangannya berpindah ke tangan Sumangkar, juru masak yang memuakkannya. Sesaat Tundun membeku di tempatnya. Tangannya masih terasa sakit bukan buatan di pergelangan. Bahkan Tundun itu menjadi cemas bahwa tangannya menjadi retak, dan cacat di tubuhnya bertambah-tambah lagi.
“Menepilah anak manis,” berkata Sumangkar itu,
“jangan turut mencampuri urusan orang tua-tua.”
Tundun memandangnya dengan pandangan yang bergejolak. Matanya memancarkan beribu macam perasaan yang aneh di dalam dirinya, yang justru telah mendorongnya ke dalam suatu keadaan yang tak dikenalnya. Sumangkar itu telah membingungkannya.

Tetapi Tambak Wedi dan Sidanti sama sekali tidak terkejut melihat peristiwa itu. Mereka sudah mengetahui, bahwa akan demikianlah akhirnya. Tetapi mereka mengharap, bahwa kawan-kawan Tundun akan membela pemimpinnya itu dan bersama-sama menyerang Sumangkar. Dengan demikian maka ia dengan bebas dapat membunuh Sumangkar bersama muridnya tanpa gangguan apapun, meskipun orang-orang Jipang itu sama sekali tidak akan berarti. Tetapi keadaan itu berkembang menurut iramanya sendiri. Sumangkar yang telah menggenggam pedang di tangannya cepat-cepat berteriak sebelum Ki Tambak Wedi berhasil mempengaruhi suasana.
“Nah, orang-orang Jipang. Sekarang, apakah kalian akan berdiam diri? Apakah kalian akan mengikuti perbuatan Tundun membunuhku? Dengar. Kalian bersama-sama telah dapat mengalahkan, setidak-tidaknya membuat murid Tambak Wedi itu tidak berdaya. Apakah kalian tidak berbangga karenanya. Murid Tambak Wedi yang menakutkan itu dapat kalian kalahkan. Sekarang, meskipun Tundun tidak akan mampu ikut berkelahi, namun kalian masih cukup kekuatan untuk mengulangi kemenangan itu. Sedang Tambak Wedi, serahkanlah kepadaku. Kalau aku tidak mampu memancung kepalanya, biarlah kepalaku yang kalian pancung di hadapan Tambak Wedi.”
Bukan main besar pengaruh kata-kata Sumangkar itu. Yang pertama-tama menyadari kedudukannya adalah Bajang. Dengan sigapnya ia meloncat maju sambil berkata,
“Aku telah dilukainya. Kini aku akan membalasnya.”
“Bagus Bajang, kesempatan itu akan datang. Bagaimana yang lain. Apakah kalian lebih senang melihat kawan sendiri terbunuh, atau kalian ingin melihat kita bersama-sama melakukan kewajiban dengan baik?”
Apa yang terjadi telah benar-benar menggerakkan hati prajurit-prajurit Jipang itu. Ketika mereka kemudian melihat Bajang yang telah melelehkan darah itu bergerak, maka serentak merekapun bergerak pula. Tanpa disadari, maka lingkaran di sekitar Tambak Wedi dan Sidanti telah pulih kembali. Kedua orang itu kini berdada di tengah-tengah kepungan.
“Gila,” geram Tambak Wedi,
“ternyata kalian telah sekarat.”
“Setiap prajurit menyadari, bahwa kemungkinan itu dapat terjadi. Mati di peperangan. Tetapi bukan mati karena pedang kawan sendiri,” sahut Sumangkar.
“Persetan! Aku akan menunjukkan bahwa Tambak Wedi tidak dapat dilawan oleh siapapun juga.”
“Sumangkar adalah salah satu perkecualian,” sahut Sumangkar lantang.

Sidanti ternyata tidak dapat mengekang dirinya lagi. Tiba-tiba ia memutar pedangnya, dan dengan derasnya pedang itu menyambar kepala Sumangkar. Yang melihat gerakan itu berdesir. Gerak itu terlampau cepat. Jauh lebih cepat dari yang dilakukan oleh Tundun. Karena itu, maka terdengar desis tertahan. Seakan-akan mereka pasti bahwa kepala Sumangkar akan terpangkas. Tetapi sekali lagi mereka menjadi heran. Ternyata Sumangkar mampu menghindari serangan. Dengan cepat pula ia berhasil merendahkan dirinya dan melontar ke samping. Bahkan dengan satu gerakan yang lebih cepat dari gerakan Sidanti, Sumangkar berhasil memukul pedang anak muda itu. Demikian keras dan dahsyatnya sehingga pedang itu terpental, lepas dari genggaman dan jatuh beberapa langkah. Tambak Wedi yang melihat peristiwa itu menggeram marah sekali. Ia sudah tentu tidak akan membiarkan muridnya terbunuh di hadapan hidungnya. Cepat seperti petir yang meloncat di langit, Tambak Wedi menyerang Sumangkar. Di tangannya telah tergenggam sepasang gelang yang melindungi tangannya, sekaligus merupakan senjata yang berbahaya pula. Sentuhan dari gelang itu akan dapat memecahkan tulang-tulang kepala dan merontokkan iga. Seandainya Tohpati ada di tempat itu dan bertempur berpasangan bersama Sumangkar, maka Sidanti sudah tidak akan dapat keluar lingkaran pertempuran itu dengan tubuhnya. Tohpati pasti akan dapat menyesuaikan dirinya, selagi pedang Sidanti itu terjatuh. Sebab Sumangkar telah langsung melawan Tambak Wedi dengan sekuat tenaganya, sehingga Tambak Wedi tidak sempat untuk menolong muridnya itu. Tetapi kali ini yang ada di sekitar perkelahian itu adalah prajurit-prajurit Jipang yang berdiri keheranan. Mereka baru menyadari keadaan itu ketika Sidanti telah berhasil memungut pedangnya kembali dan siap bertempur melawan mereka itu. Sumangkar yang melihat Sidanti telah berhasil menguasai dirinya kembali menjadi kecewa. Karena itu segera ia berteriak,
“He, anak-anak Jipang yang berani. Kenapa kalian berdiri saja seperti tonggak. Ayo, selesaikan tugasmu.”
Suara Sumangkar itu seolah-olah jatuhnya sebuah perintah dari seorang panglima yang mereka segani. Serentak mereka berloncatan yang menyerang sejadi-jadinya. Tetapi Sidanti pun telah bersiap pula. Karena itu, demikian serangan itu datang, maka dengan sekuat tenaganya, serangan itu dilawannya. Dengan lincahnya ia menari-nari di antara ujung-ujung senjata lawannya. Namun lawannya ternyata terlalu banyak, sehingga dengan seluruh kekuatan dan kecakapannya ia harus mempertahankan dirinya. Tetapi terasa jari-jari tangannya menjadi nyeri karena senjatanya beradu dengan senjata Sumangkar sampai terlepas, sehingga betapapun kecilnya berpengaruh juga atas kelincahan tangannya.

Tambak Wedi yang melihat keadaan muridnya menjadi cemas. Sidanti ternyata mengalami tekanan-tekanan yang berat. Sedang dirinya sendiri terikat pada lawannya yang menyerangnya seperti orang yang sedang mabuk, meskipun pasti tak akan dapat menjatuhkannya. Sumangkar memang berjuang dengan sepenuh tenaga. Diperasnya segenap kemampuan dan kekuatannya. Menurut perhitungannya, seandainya ia akan kehabisan tenaga, namun Sidanti akan lebih dahulu runtuh daripadanya, sebab betapapun saktinya anak muda itu, tetapi melawan prajurit-prajurit Jipang yang sekian banyaknya adalah pekerjaan yang mustahil dapat dilakukannya. Tambak Wedi yang telah menyimpan pengalaman yang banyak sekali di dalam dirinya melihat pula keadaan itu. Setidak-tidaknya ia mengerti apa yang dikehendaki oleh Sumangkar. Namun sebagai seorang yang sakti, segera ia dapat mengerti pula, bahwa sebenarnya muridnya akan banyak mengalami kesulitan, sedang dirinya sendiri tidak akan dapat segera memberinya pertolongan.
“Sumangkar ini benar-benar gila,” desahnya di dalam hati. Karena itu segera ia mencari cara untuk melepaskan diri dari keadaan yang mengkhawatirkan itu.
Tiba-tiba dalam keriuhan pertempuran terdengar Tambak Wedi menggeram.
“Sidanti jangan kau lukai lawan-lawanmu. Jangan kau sakiti hatinya. Meskipun Sumangkar yang gila ini merusakkan rencana kita, namun aku masih tetap dalam pendirianku. Kami harus membuka pintu untuk menolong anak-anak yang malang ini.”
Sidanti tidak segera mengerti maksud gurunya. Bahkan ia mengumpat-umpat di dalam hatinya. Beberapa kali terasa ujung-ujung senjata lawannya telah menyentuh pakaiannya, dan bahkan beberapa kali terasa goresan pada kulitnya, namun kenapa gurunya masih melarangnya untuk melukai lawannya.
Dan terdengar kembali suara Tambak Wedi.
“Sidanti, bukankah maksud kita kali ini hanya segera memperkenalkan diri. Nah kini pekerjaan kita sudah selesai. Marilah kita tinggalkan perkemahan ini.”
Barulah Sidanti menyadari maksud gurunya. Betapapun kemarahan meluap di hatinya, tetapi ia harus mengakui pula keadaannya. Ia harus menyadari bahwa ia tidak akan mampu melawan orang-orang Jipang itu sekaligus, apalagi jari-jari tangannya kini terasa menjadi nyeri.
Dalam pada itu terdengar kembali suara gurunya.
“Nah, Sidanti lepaskanlah lawan-lawanmu. Biarlah mereka tetap dalam keadaannya. Kita akan tetap menanti kedatangan mereka di padukuhan kita atau di tempat asalmu kelak apabila perlu.”

Sidanti tahu benar akan kesulitannya sendiri. Alasan gurunya mengorbankan harga dirinya. Karena itu, tiba-tiba ia meloncat dengan memberinya kesempatan meninggalkan pertempuran itu dengan lincahnya, memutar senjata untuk menerobos lawan-lawannya yang selalu berusaha untuk mengepungnya. Geraknya benar-benar cepat tidak terduga, sehingga sesaat kemudian Sidanti telah berhasil keluar dari lingkungan pertempuran. Dengan tangkasnya kemudian Sidanti menghindari setiap sergapan sambil melangkah surut.
“Aku sudah bebas guru,” katanya sambil terus-menerus mengundurkan dirinya sambil melawan dan berusaha untuk tidak masuk ke dalam kepungan.
“Bagus,” sahut gurunya,
“kau adalah muridku yang baik. Betapapun juga kau mengalami kesulitan, tetapi kau tetap tidak mau menyakiti hati prajurit-prajurit Jipang yang berani. Nah, tinggalkan mereka. Akupun akan segera pergi.”
Sidanti tidak menunggu perintah gurunya itu diulangi. Segera ia bersiap melontar surut dan melepaskan diri dari daerah perkemahan itu.
Sumangkar yang melihat cara Tambak Wedi dan muridnya melepaskan diri mengumpat tak habis-habisnya. Katanya,
“Pengecut. Kalian telah berani masuk ke dalam sarang srigala. Tetapi sifat-sifat kalian lari, meskipun alasan kalian tampaknya terlalu menyakinkan?”
Sidanti yang sudah agak jauh mendengar teriakan itu. Darah mudanya kembali menyala di dalam dadanya, sehingga tiba-tiba ia berhenti sambil menyahut.
“Ayo, kelinci-kelinci yang mengaku srigala, Inilah Sidanti.”
“Jangan hiraukan,” teriak gurunya,
“kalau kau bertempur lagi Sidanti, mungkin kau akan terpaksa membunuh lawan-lawanmu. Dengan demikian di antara kita akan timbul persoalan-persoalan yang sulit kita lupakan. Tinggalkan tempat ini.”
Sidanti menggeram ketika ia mendengar Sumangkar tertawa.
“Bagus. Apapun alasanmu, tetapi kami di sini akan mendapat kesan atas nilai-nilai pribadi Tambak Wedi dan muridnya.”
Tambak Wedi lah yang menyahut kata-kata itu.
“Suatu ketika kau akan berkata lain, Sumangkar.”
Sumangkar tidak menjawab. Tetapi ia menyerang terus dan bahkan terdengar ia meneriakkan aba-aba.
“Jangan lepaskan Sidanti. Ia akan kembali dengan dendam di dalam hatinya. Jangan biarkan ia dapat melepaskan diri.”
“Jangan hiraukan, Sidanti,” teriak Tambak Wedi.
Betapapun juga, namun Sidanti dapat mengerti perintah gurunya. Karena itu, meskipun darah di dalam jantungnya serasa menyala, namun ia terpaksa meninggalkan pertempuran itu.

Demikian Sidanti menghilang, maka demikian pula Tambak Wedi melontarkan dirinya, menghindari serangan-serangan Sumangkar yang datang bertubi-tubi. Sekali ia melawan namun di saat-saat lain ia meloncat surut, semakin lama semakin jauh, tetapi Sumangkar masih belum melepasnya. Namun ternyata Tambak Wedi yang sebenarnya tidak kalah dari Sumangkar itu, berhasil pula melepaskan dirinya. Dengan menyusup ke dalam gerumbul-gerumbul liar di sekitar tempat itu, ia dapat menghindari serangan-serangan dan kejaran Sumangkar. Sumangkar menggeram marah sekali. Terdengar ia berteriak di antara kawan-kawannya,
“Ayo, kenapa kalian hanya berdiri terpaku seperti nonton pacuan kuda? Kepung setan itu.”
Tetapi betapapun usahanya, namun Tambak Wedi benar-benar berhasil lolos dari mereka, seolah-olah mampu menghilang. Namun di kejauhan terdengar suaranya melingkar-lingkar di dalam hutan.
“Sumangkar, suatu ketika kau akan menyesal.”
“Setan!” sahut Sumangkar dengan suara yang keras,
“sekarang kami siap menunggumu.”
Tetapi Tambak Wedi itupun lenyap dari antara mereka.

Meskipun demikian, meskipun Tambak Wedi tidak berhasil mempengaruhi orang-orang Jipang pada saat itu, namun ia telah berhasil melontarkan tawarannya. Ia telah berhasil menyatakan perbandingan antara diri mereka dengan Macan Kepatihan. Sehingga bagaimanapun juga, Tambak Wedi yakin bahwa di saat-saat mereka duduk termenung, tawarannya akan berkumandang kembali di dalam hati mereka. Dengan demikian, Tambak Wedi itu telah berhasil meletakkan sebuah persoalan di dalam hati prajurit-prajurit Jipang yang sedang mengalami kesulitan lahir dan hatin. Tetapi yang mula-mula menggoncangkan hati anak-anak Jipang itu adalah Sumangkar itu sendiri. Juru masak yang malas itu telah menimbulkan berbagai pertanyaan di dalam hati setiap orang yang telah melihat apa saja yang telah dilakukannya. Apalagi Tundun, yang kini berdiri membeku. Sekali-sekali mulutnya menyeringai karena sengatan rasa sakit pada tangannya. Ketika ia melihat Tambak Wedi yang ganas itu melarikan dirinya, maka hatinya benar-benar bergelora. Ia tidak menyangka bahwa juru masak itu berhasil mengusir Tambak Wedi yang menakutkan di seluruh wilayah lereng Gunung Merapi itu. Namun setelah itu, setelah Tambak Wedi tidak nampak lagi di mata mereka, timbullah kecemasan dan ketakutan yang lain di dada Tundun itu. Betapa Sumangkar akan membalasnya. Ia pasti tidak akan mampu berbuat apa-apa, seperti ia tidak akan mampu melawan Tambak Wedi.
Karena itu, maka kemudian dipandangnya Sumangkar itu dengan gelora di dalam dirinya.
“Apakah yang akan dilakukannya?” katanya dalam hati.
”Aneh. Orang itu adalah orang yang aneh. Apakah ada setan yang manjing ke dalam dirinya?”

Sumangkar sendiri kemudian berdiri kaku di tempatnya. Ia menjadi sangat kecewa atas lenyapnya Tambak Wedi dan Sidanti. Kedua orang itu tidak kalah berbahayanya daripada pasukan Pajang di Sangkal Putung bagi Macan Kepatihan dan pasukannya. Mungkin suatu saat Macan Kepatihan akan kehilangan kewibawaannya atas anak buahnya karena pokal Tambak Wedi itu. Mungkin anak buahnya satu demi satu akan menghilang dan menggabungkan diri dengan Hantu Lereng Merapi itu. Dengan demikian persoalannya akan menjadi semakin sulit. Macan Kepatihan harus menghadapi persoalan baru yang tidak kalah rumitnya dengan persoalan-persoalan yang telah ada, apalagi hal itu pasti akan langsung menyentuh harga diri Macan Kepatihan itu. Sedangkan apabila Macan Kepatihan menerima kehadiran mereka di dalam lingkungannya, maka keadaannya sama sekali tidak akan bertambah baik. Hubungan antara pasukan Jipang dengan Pajang pasti akan bertambah buruk. Pertentangan akan semakin menyala dan membakar rakyat Jipang dan Pajang sendiri. Kematian dan bencana akan menjadi semakin bertambah-tambah. Sedangkan tujuan terakhir dari perlawanan itu sama sekali tidak akan dapat diharapkan. Pajang tidak saja berisi Untara, Widura dan anak buahnya di Sangkal Putung. Tetapi Pajang memiliki panglima-panglima yang mumpuni. Ki Gede Pamanahan adalah lambang dari kekuatan Wira Tamtama Pajang, dan puteranya Loring Pasar adalah kekuatan yang tidak ada taranya di antara angkatan mudanya. Sesaat Sumangkar itu tenggelam dalam angan-angannya. Tetapi kemudian disadarinya, bahwa di sekitarnya masih berdiri para prajurit Jipang. Bahkan mereka yang lukapun masih belum mendapat perawatan sama sekali.
“He, kenapa kalian menjadi bingung,” katanya kemudian.
“Lihat kawan-kawanmu yang luka. Nah, tolonglah dan obati mereka.”
Beberapa orang tersadar dari kekagumannya. Segera mereka mencoba merawat kawan-kawan mereka dan membawa mereka kembali ke perkemahan. Tetapi ketika seseorang mengajak Bajang kembali, terdengar Bajang menjawab,
“Aku masih mampu berjalan sendiri.”
Tetapi sepeninggal kawannya itu, Bajang berjalan perlahan-lahan mendekati Sumangkar. Dengan hormatnya ia mengangguk sambil berkata,
“Maafkan aku. Bagaimana aku harus bersikap setelah aku melihat apa yang telah kau lakukan.”
“Oh,” seru Sumangkar,
“aku tidak menuntut perubahan sikap kalian terhadapku. Aku tetap seorang juru masak.”
“Hem,” desah Bajang,
“alangkah bodohnya aku. Kenapa aku tidak melihat keadaan ini sebelumnya. Kenapa aku tidak tahu siapakah sebenarnya Sumangkar itu.”
“Jangan ribut,” sahut Sumangkar.
“Kembalilah dan pelihara lukamu. Mungkin Sidanti dan Tambak Wedi akan datang di saat-saat lain.”

Kembali Bajang mengangguk hormat. Kemudian ia melangkah pergi meninggalkan Sumangkar yang masih berdiri di tempatnya. Yang tinggal kemudian adalah Tundun sendiri. Dengan cemas ia melihat Sumangkar masih menggenggam pedangnya. Orang tua itu masih belum meninggalkan tempatnya dan bahkan kemudian perlahan-lahan melangkah mendekatinya.
“Kenapa kau masih berdiri di situ?” terdengar orang tua itu bertanya.
Tundun itupun kemudian menjawab dengan gemetar, “Tidak, tidak.”
“Apa yang tidak?” bertanya Sumangkar pula.
Tundun menjadi bingung. Ia tidak tahu, bagaimana menjawab pertanyaan itu.
Perlahan-lahan Sumangkar datang kepadanya sambil berkata,
“Kenapa kau tidak kembali ke perkemahan?”
“Ya, ya,” sahut Tundun terbata-bata, “aku akan kembali.”
“Nah kembalilah,” berkata Sumangkar pula.
Tundun memandang Sumangkar tanpa berkedip. Terasa tengkuknya meremang, seakan-akan Sumangkar itu telah mencengkamnya dan dengan penuh kemarahan membantingnya jatuh di tanah.
Tetapi Sumangkar masih tegak. Bahkan kembali ia mendengar suaranya.
“Marilah kita kembali bersama-sama.”
Seperti orang kehilangan kesadaran ketika Tundun melihat Sumangkar berjalan mendahului, iapun berjalan pula di belakangnya dengan kepala tunduk. Hanya sekali-sekali terasa sakit di tangannya masih menyengat-nyengat. Tetapi ia sama sekali tidak berani mengeluh. Bahkan ia terkejut ketika tiba-tiba Sumangkar berkata,
“Apakah tanganmu masih sakit?”
Sesaat Tundun menjadi bingung. Namun kemudian ia menjawab,
“Tidak. Sudah tidak sakit.”
Mendengar jawaban itu Sumangkar berhenti. Ketika ia berpaling, dilihatnya tangan kiri Tundun meraba-raba tangan kanannya. Dan Tundun pun terkejut pula. Tergagap-gagap ia berkata,
“Masih. Tanganku masih sakit.”
Sumangkar tersenyum. Ia masih menggenggam pedang Tundun. Karena itu maka katanya sambil menyerahkan pedang itu,
“Inilah pedangmu.”
Tundun memandang Sumangkar seperti memandang hantu sehingga Sumangkar tertawa karenanya.
“Jangan cemas, aku tidak apa-apa.”
Kata-kata Sumangkar itu seolah-olah telah mengembalikan segenap kesadaran Tundun. Tiba-tiba ia merasa betapa besar kesalahan yang telah dilakukan atas orang tua itu sehari ini. Sehingga sampai pada puncak kebodohannya mencoba membunuhnya. Karena itu tiba-tiba Tundun itu berjongkok di hadapan Sumangkar sambil berkata,
“Maafkan aku. Maafkan aku. Aku tidak tahu siapa sebenarnya Tuan.”
“E, e,” Sumangkar terkejut melihat sikap itu. Dengan serta merta ditariknya lengan Tundun.
“Berdirilah, aku bukan orang berpangkat di sini. Aku adalah seorang juru masak.”
“Tetapi apa yang Tuan lakukan telah benar-benar mengejutkan. Tuan telah berhasil mengusir Ki Tambak Wedi.”
“Bukan aku seorang diri,” jawab Sumangkar, “tetapi bersama-sama.”
“Tetapi aku telah berani mencoba membunuh Tuan.”
“Jangan sebut-sebut itu lagi. Lupakanlah. Namun hal ini dapat kau jadikan pelajaran, bahwa kau harus lebih banyak mempergunakan otakmu daripada tenaga dan perasaanmu.”
“Baik Tuan.”
“Jangan panggil aku tuan.”
Tundun tidak menyahut, tetapi ia hanya mengangguk saja.
“Nab, kembalilah dahulu,” berkata Sumangkar, “rusa panggang itu telah masak.”
“Bukan untukku,” sahut Tundun.
Kembali Sumangkar tertawa. Dipandanginya saja kemudian, ketika Tundun itu meninggalkannya kembali ke perkemahan. Sekali-sekali ia masih meraba-raba tangannya yang seakan-akan terkilir. la hanya merasakan sebuah tangkapan pada pergelangan tangannya. Dan yang diketahui kemudian pedangnya terlepas dan berpindah ke tangan Sumangkar, sedang dirinya sendiri terdorong beberapa langkah ke samping.
“Benar-benar di luar dugaanku,” keluh Tundun.

Sepeninggal Tundun, Sumangkar berdiri seorang diri dalam terik cahaya matahari yang menyusup di antara celah-celah dedaunan. Sekali-sekali ia memandangi matahari itu. Dan setiap kali ia bergumam dengan lirih,
“Apa yang terjadi di pertempuran itu?”
Kedatangan Tambak Wedi dan Sidanti telah menambah hati orang tua itu menjadi gelisah. Ia tidak sampai hati melihat Macan Kepatihan kehilangan kewibawaannya, kehilangan kepercayaan kepada diri sendiri, sebagai penerus keturunan ilmu Kedung Jati. Tetapi ia sebenarnya tidak bisa melihat perkembangan yang semakin suram dari murid saudara seperguruannya itu dalam perjuangannya. Sebenarnya Sumangkar tidak dapat menyetujui seluruh apa yang dilakukan oleh Tohpati. Tetapi ia tidak dapat mencegahnya. Ia tidak dapat berbuat lain daripada apa yang dilakukannya sampai saat terakhir. Justru karena Tohpati tahu, bahwa ia tidak sependapat dalam beberapa hal, maka diletakkannya Sumangkar di sudut-sudut perkemahan, di tepi-tepi perapian, seperti kesenangannya sendiri. Memasak.
“Saat ini anak itu sedang berjuang melawan maut,” desis Sumangkar itu sambil sekali lagi menatap matahari,
“mudah-mudahan ia selamat.”
Namun hatinya berdesir mengenang pertempuran kali ini. Pertempuran yang menurut kata-kata Macan Kepatihan sendiri, adalah pertempuran terakhir?
“Kenapa terakhir?” gumamnya.
Sumangkar kemudian berjalan menepi. Perlahan-lahan diletakkannya tubuhnya di bawah rindangnya pohon Benda. Sekali-sekali dikenang­nya wajah Tambak Wedi yang bengis dan sekali dibayangkannya wajah-wajah yang tegang di medan peperangan sangkal Putung.
“Keduanya merupakan bahaya,” desisnya,
“kenapa aku tidak diperbolehkannya ikut serta.” Sumangkar itu berkata kepada diri sendiri.
“Tetapi kalau aku pergi, maka perkemahan ini pasti akan menjadi ajang pengaruh Tambak Wedi itu. Mungkin Tundun dan kawan-kawannya telah pergi meninggalkan Macan Kepatihan. Dengan demikian, maka perkemahan ini akan menjadi kosong. Nanti apabila laskar itu datang kembali, maka mereka akan menjadi semakin parah. Parah karena pertempuran itu, dan parah karena mereka datang di tempat yang kosong. Tanpa penyambutan, tanpa makanan. Alangkah sedihnya Macan Kepatihan. Apalagi kalau usahanya kali ini untuk merebut sangkal Putung tidak berhasil.”
Sumangkar menggelengkan kepalanya. Namun ia tidak juga berdoa supaya Macan Kepatihan berhasil merebut Sangkal Putung. Ia tidak ingin membayangkan bagaimana perempuan dan kanak-kanak Sangkal Putung menjadi ketakutan dan menjadi barang rayahan yang akan diperlakukan dengan semena-mena.
Karena itu Sumangkar menjadi bingung. Apakah yang sebaiknya dilakukan?

Ketika kemudian ia melihat seseorang di kejauhan, maka segera ia berdiri dan berjalan ke perkemahan kembali. Kepada orang yang dilihatnya itu Sumangkar melambaikan tangannya memanggil. Orang yang dipanggilnya itupun datang mendekat, seolah-olah sedang menyongsongnya.
“Akan kemanakah kau?” bertanya Sumangkar.
“Mengambil air,” jawab orang itu.
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya,
“Apakah luka Bajang sudah diobati?”
“Sudah.”
“Bagaimana keadaannya?”
“Tidak apa-apa. Ia sudah dapat bekerja lagi di dapur.”
“Tolong panggil anak itu kemari.”
Orang itupun segera kembali untuk memanggil Bajang. Sumangkar sendiri tidak meneruskan langkahnya. Kini kembali ia duduk di bawah rimbunnya dedaunan hutan. Sekali-sekali diamat-amatinya burung-burung liar yang berterbangan, hinggap dari dahan yang satu ke dahan yang lainnya. Bajangpun segera datang mendekatinya. Tetapi sikap anak itu telah jauh berbeda dari sikapnya sehari-hari.
“Kiai memanggiI aku?” ia bertanya.
Mendengar pertanyaan itu Sumangkar terkejut, tetapi iapun tersenyum.
“Sejak kapan kau menyebut aku demikian?”
Bajang menjadi tersipu-sipu sehingga ia tidak dapat menjawab pertanyaan itu.
“Duduklah Bajang,” minta Sumangkar.
Bajang pun segera duduk di samping Sumangkar. Terasa beberapa pertanyaan melonjak-lonjak di dalam dadanya. Dalam tanggapannya Sumangkar yang duduk di sampingnya itu sama sekali bukan Sumangkar yang dikenalnya setiap hari. Sumangkar itu seolah-olah adalah orang baru di dalam perkemahan itu. Orang baru yang sakti melampaui kesaktian Macan Kepatihan sendiri.
“Bajang,” berkata Sumangkar. Sumangkar sendiri tidak tahu, kenapa tiba-tiba ia menaruh kepercayaan kepada anak itu. Tiba-tiba saja ia melihat kelebihan Bajang dari orang-orang lain, sejak ia melihat sikap anak itu menghadapi kekasaran Tundun atasnya. Dan kemudian dilanjutkannya kata-katanya.
“Apakah pekerjaanmu sudah siap?”
“Belum seluruhnya Kiai, tetapi segera akan selesai.”
“Maksudku, bagaimanakah kalau aku hari ini berhalangan membantumu di dapur? Apakah pekerjaan kita dapat selesai sebelum petang?”
“Oh, tentu, tentu. Dan seharusnya Kiai tidak lagi bersusah payah bekerja di dapur. Kiai dapat memerintahkan Tundun untuk melakukannya. Ia pasti tidak berani membantah lagi.”
“Tidak Bajang. Aku sendiri memang memilih pekerjaan itu. Jangan kau sangka bahwa Macan Kepatihan tidak mengenal aku. Sanakeling dan Alap-alap Jalatunda itupun mengenal siapa Sumangkar. Tetapi sengaja aku minta mereka untuk membiarkan aku melakukan pekerjaan yang aku senangi.”
“Oh, jadi Raden Tohpati telah mengenal Kiai?”
“Sudah Bajang. Sejak di kepatihan Jipang. Mantahun adalah kakak seperguruanku.”
“Oh,” Bajang menjadi pucat.
Tetapi cepat-cepat Sumangkar menyambung,
“Tetapi aku sama sekali bukan seorang pejabat pemerintahan seperti Patih Mantahun. Aku sejak di kepatihan, adalah seorang juru masak.”

Bajang menundukkan kepalanya. Baru kini ia menjadi jelas siapakah kawannya yang selama ini dianggapnya sebagai seorang tua yang telah tidak lagi mampu bekerja terlalu keras, yang oleh orang-orang lain disebutnya juru masak yang malas.
“Tetapi Bajang,” berkata Sumangkar kemudian,
“jangan kau menganggapku berlebih-lebihan. Sikapmu jangan kau rubah seperti terhadap seorang pemimpin.”
“Bajang,” kembali terdengar suara Sumangkar,
“bagaimana dengan pertanyaanku? Hari ini aku tidak dapat membantumu?”
“Tidak apa-apa Kiai. Betul, aku dan kawan-kawan yang lain akan dapat menyelesaikannya. Silahkan Kiai beristirahat.”
Sumangkar menggeleng. Katanya,
“Aku tidak ingin beristirahat, Bajang.”
Sekilas Bajang berpaling. Dilihatnya wajah Sumangkar yang suram. Lalu terdengar ia bertanya,
“Apa yang akan Kiai lakukan sekarang?”
“Aku akan pergi.”
“Pergi?”
“Ya.”
“Kiai akan pergi ke mana?” desak Bajang.
Sesaat Sumangkar menjadi ragu-ragu. Tetapi kemudian jawabnya,
“Sebenarnya sejak Macan Kepatihan berangkat, hatiku menjadi gelisah. Seolah-olah aku melepas anak di tepi sungai.”
Bajang mengangkat wajahnya. Tiba-tiba ia bertanya,
“Kenapa Kiai tidak turut ke Sangkal Putung. Bukankah tenaga Kiai akan sangat berguna untuk merebut daerah itu?”
“Aku tidak tahu, kenapa Macan Kepatihan menolak tawaranku. Disuruhnya aku tinggal di perkemahan ini.”
“Apakah sekarang Kiai akan menyusul ke Sangkal Putung?”
Sumangkar mengangguk. “Ya,” jawabnya,
“aku ingin melihat pertempuran itu.”
Bajang mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya,
“Apakah aku dapat ikut serta Kiai.”
Sumangkar menggeleng.
“Jangan. Perjalananku mempunyai bentuk yang lain dari perjalanan sebuah pasukan. Karena itu, biarlah aku pergi sendiri. Bukankah kau mempunyai pekerjaan yang cukup penting di sini, menyiapkan makan untuk pasukan itu.”
Bajang mengangguk. Gumamnya, “Baik Kiai.”

Mereka berdua, Bajang dan Sumangkar, untuk sesaat saling berdiam diri. Mata Sumangkar yang redup memandang jauh menembus rimbunnya hutan. Hatinya kini sedang dilibat oleh kebimbangan dan keragu-raguan. Ia merasa bahwa seakan-akan kini ia berdiri di simpang jalan. Dan diketahuinya bahwa kedua simpangan itu sama-sama tidak dikehendakinya. Bahkan kembalipun tidak akan dapat ditempuhnya. Tiba-tiba Sumangkar itu tersentak ketika ia mendengar seperti jerit seseorang. Ketika ia mengangkat wajahnja, barulah disadarinya, bahwa suara itu adalah suara seekor burung elang yang bertempur di udara.
“Hem,” desahnya, “aku harus pergi Bajang.”
Bajang berpaling sambil mengangguk,
“Silahkan Kiai. Kedatangan Kiai akan banyak memberi bantuan kepada pasukan itu.”
Sumangkar menggeleng.
“Belum tentu. Bahkan mungkin aku akan diusir oleh angger Tohpati.”
“Kalau Raden Tohpati itu memerlukannya, maka kehadiran Kiai akan sangat membesarkan hatinya.”
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia berdiri, membenahi pakaiannya dan berbisik seakan-akan kepada dirinya sendiri,
“Aku akan pergi. Tetapi aku harus kembali dulu ke perkemahan.”
“Marilah Kiai,” sahut Bajang.
Sumangkar kemudian tidak berkata-kata lagi. Cepat-cepat ia berjalan ke perkemahan langsung masuk ke dalam gubugnya. Bajang yang mengikutinja, berdiri tegak di muka pintu gubug sambil mengawasi apa yang sedang dicari oleh Sumangkar itu di bawah tumpukan jerami, tempat ia tidur di malam hari. Bajang terkejut ketika ia melihat benda itu. Ia pergi ke mana saja bersama pasukan dan ia pergi ke mana saja bersama Sumangkar, tetapi ia belum pernah melihat benda itu.
“Benda ini adalah benda peninggalan,” desis orang tua itu.
“Jarang kau melihatnya. Aku selalu membawanya di antara barang-barang yang lain dan terbalut kain.”
Benda itu mirip benar dengan benda yang paling berharga dalam pasukan itu, meskipun agak lebih kecil. Tongkat baja putih, dengan kepala yang berwarna kekuning-kuningan. Mirip benar dengan tongkat baja putih milik Tohpati.
Dengan suara gemetar Bajang bertanya,
“Apakah benda itu lain dengan yang dimiliki oleh Raden Tohpati?”
“Gurunya adalah seperguruan dengan aku. Kami masing-masing menerima senjata serupa. Dan Senjata kakak seperguruanku itu kini telah jatuh ke tangan Tohpati, murid satu-satunja.”

Bajang mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia belum pernah melihat Sumangkar menjinjing senjata, selain menjinjing kapak, pisau dapur atau sebuah kelewang pembelah kayu. Kini orang tua itu menjinjing sebatang tongkat baja putih berkepala kekuning-kuningan berbentuk tengkorak, agak lebih pendek sedikit dari tongkat Tohpati. Alangkah jauh bedanya. Sumangkar yang setiap hari berjongkok di dapur dan Sumangkar yang menjinjing tongkat itu. Karena itu maka terasa hatinya berdesir.
“Kiai, ternyata Kiai adalah seorang yang menakjubkan. Meskipun Kiai dapat mengimbangi kesaktian Tambak Wedi, namun selama ini Kiai dapat merendam diri dalam keprihatinan,” berkata Bajang kemudian.
“Kau salah sangka Bajang,” sahut Sumangkar.
“Selama ini aku sama sekali tidak merendam diri dalam keprihatinan. Bahkan aku merasa bahwa aku mendapat istirahat yang panjang. Aku tidak perlu lagi bekerja terlalu berat di peperangan. Betapapun saktinya seseorang, namun perang adalah pekerjaan yang berat. Mungkin aku merasa bahwa seseorang tidak berarti dalam olah senjata, namun di dalam peperangan ia tidak berdiri sendiri. Dan aku tidak hanya melawan musuh-musuh itu seorang lawan seorang. Seandainya musuh-musuhku adalah orang-orang yang lemah dan sama sekali tidak berarti sehingga aku akan dapat membunuhnya seperti menebas batang ilalang, namun dalam keadaan yang demikian, musuh yang terberat adalah perasaan sendiri. Apakah aku akan dapat tidur dengan tenang setelah aku mengotori tanganku dengan darah orang yang lemah dan tidak berarti itu? Apakah aku akan dapat tidur nyenyak kalau aku sempat menghitung orang yang telah aku bunuh? Tidak Bajang. Aku tidak bisa. Karena itu pekerjaan di dapur adalah pekerjaan yang menyenangkan bagiku. Bagi seorang pemalas.”
Bajang tidak menjawab. Kini ia melihat Sumangkar itu telah siap. Dan Bajang itu mendengar Sumangkar berkata,
“Lakukan pekerjaanmu baik-baik Bajang. Aku akan pergi ke Sangkal Putung untuk melihat peperangan itu.”
Bajang melangkah ke samping ketika Sumangkar berjalan ke pintu. Lamat-lamat terdengar ia berdesis,


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar