“APAKAH kau melihat hantu-hantu itu melempari barak ini dengan batu?”
“He” orang
yang kekurus-kurusan itu justru terperanjat, bahkan ia bertanya,
“apakah rumah
ini dilempari dengan batu?”
“Ya. Tepat
pada saat suara hantu-hantu itu mengitari barak ini.”
“Bodoh kau,”
orang yang tinggi kekar itu berteriak,
“hantu-hantu
tidak perlu melemparkan batu-batu itu dengan tangannya seperti kita manusia
yang kerdil ini. Hantu-hantu hanya cukup berniat untuk melakukan dan batu-batu
itu akan terbang sendiri mengenai sasarannya.”
“O,”
orang-orang yang mendengar mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kalau begitu,
hantu-hantu itu tidak marah karena orang tua yang bersandar dinding ini, tetapi
karena kau yang berani berada di luar rumah ketika mereka lewat.”
“Kalau mereka
marah kepadaku, mereka dapat berbuat apa saja seketika itu. Mereka dapat
membakar aku dengan sinar matanya yang menyala seperti api. Atau mematuk
tubuhku dengan belaian rambutnya yang terdiri dari ular-ular yang hidup. Atau
dengan cara apa pun yang sangat mudah mereka lakukan.”
Orang yang
tinggi kekar itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tampak merenung sejenak.
Lalu tiba-tiba dipandanginya Kiai Gringsing dengan tatapan mata yang tajam.
Selangkah demi alangkah ia mendekat. Sambil menunjuk wajah orang tua ia
berkata,
“Kau, kau
sumber dari bencana ini.”
Perlahan-lahan
Kiai Gringsing bergeser. Tetapi ia masih tetap duduk di tempatnya.
“Kau adalah
sumber dari semua bencana yang akan menimpa kita kelak. Kali ini
lemparan-lemparan batu. Lain kali apa lagi. Mungkin hantu-hantu itu akan
menyebar racun dan membunuh kita semuanya.”
Kiai Gringsing
masih tetap duduk di tempatnya. Tetapi ia masih belum menjawab.
“He, orang
yang sombong. Hantu itu marah bukan karena kau telah menghinanya pada saat
mereka lewat. Tetapi mereka pasti marah dan mendendammu karena kau tetap pada
pendirianmu, menebas hutan terlarang itu. Sekarang kau melihat sendiri akibat
apakah yang sudah terjadi atas kita di sini.”
Kiai Gringsing
masih tetap duduk di tempatnya. Meskipun ia mengangguk-anggukkan kepalanya,
tetapi wajahnya sama sekali tidak menunjukkan perubahan apa pun juga.
“Dengar hai
orang yang keras kepala. Sekarang, di hadapan orang-orang yang ada di dalam
barak ini kau harus berjanji, bahwa kau akan menghentikan pekerjaanmu yang
bodoh itu.”
Kiai Gringsing
masih belum menjawab.
“Kenapa kau
diam saja, he? Apakah aku harus memaksamu untuk berbicara dan menyanggupi
kehendak kami untuk kepentingan kita semua di sini? Kami berjanji bahwa kau
akan mendapat bagian pada salah satu kelompok yang ada di sini, sehingga kau
tidak perlu cemas memandang ke hari depanmu, hari depan anak-anakmu yang masih
panjang. Kau mengerti? Kau mengerti, he?”
Kiai Gringsing
tidak segera menyahut, ia sendiri menjadi bimbang karenanya. Bukan
keragu-raguan apakah ia akan melanjutkan kerjanya atau tidak. Tetapi ia
ragu-ragu, bagaimanakah sebaiknya menghadapi orang yang tinggi kekar ini.
“He, kenapa
kau tidak menjawab?”
“Tenanglah,”
berkata Kiai Gringsing,
“aku ingin
mendapat kesempatan untuk menjelaskan.”
“Kau hanya
dapat menjawab dengan satu kata, ‘ya’. Tidak ada jawaban lain yang dapat kau
sebutkan.”
“Tunggu dulu.”
“Tutup
mulutmu. Aku tidak mau mendengar kata-kata lain.”
Kiai Gringsing
menarik nafas. Tetapi ia diam saja.
“Ayo jawab.”
Kiai Gringsing
tidak menyahut.
“Apa kau bisu,
he?”
“Apakah kau
mau mendengarkan jawabku?” bertanya Kiai Gringsing kemudian.
“Kau tinggal
mengucapkan ‘ya’.”
“Kau atau aku
yang harus menjawab. Kalau kau sendiri yang akan menjawabnya, jawablah. Tetapi
kalau aku yang harus menjawab pertanyaanmu, maka kau harus mau
mendengarkannya.”
Wajah orang
itu menjadi merah. Hampir saja ia kehilangan kesabaran. Namun seperti biasanya
orang-orang lain selalu berusaha menahannya.
“Jangan.
Jangan terlampau cepat marah. Sebaiknya dengar apa yang akan dikatakannya,”
berkata seseorang yang sudah berambut putih.
“Ia sombong
sekali,” geram orang yang tinggi itu.
Kini beberapa
orang telah berdiri dan mengerumuni orang yang berdiri di hadapan Kiai
Gringsing yang sudah berdiri pula. Agung Sedayu dan Swandaru pun telah tegak
pula di belakang gurunya. Wajah-wajah mereka pun menjadi tegang. Namun mereka
masih berusaha untuk menahan diri. Mereka masih belum tahu benar, apakah yang
akan dilakukan oleh gurunya.
“Cobalah dengar,”
berkata Kiai Gringsing,
“aku masih
ingin mendapat kesempatan sekali lagi atas tanggung jawabku sendiri. Aku yakin
bahwa pada suatu saat aku akan dapat berkata kepada mereka dalam suasana yang
sebaik-baiknya. Aku yakin bahwa Kiai Damar bukan seorang pembohong.”
Orang yang
bertubuh tinggi kekar itu mengerutkan keningnya,
“Kenapa kau
singgung-singgung nama Kiai Damar.”
“Ya, Kiai
Damar adalah seorang dukun sakti yang mampu berhubungan langsung dengan
hantu-hantu. Bukankah semua orang sudah mengenalnya, meskipun belum mengenal
namanya.”
Orang yang
tinggi kekar itu tidak menyahut. Tetapi ketika Kiai Gringsing mengedarkan
tatapan matanya, maka setiap orang yang dipandanginya menganggukkan kepalanya.
“Nah, aku
yakin akan hal itu. Yakin bahwa Kiai Damar adalah seorang yang dapat
dipercaya.”
Orang yang
tinggi besar itu tampak termangu-mangu.
“Bukankah
begitu?”
“Apa katanya?”
bertanya orang itu.
“Ketika aku
datang kepadanya untuk minta obat bagi anakku, ia sudah tahu apa yang
sebenarnya terjadi. Itulah sebabnya aku percaya sepenuhnya kepadanya.”
“Apa yang
diketahuinya.”
“Ia berkata
kepadaku saat itu ‘Pulanglah, anakmu akan sembuh dengan sendirinya.’ Ternyata
anakku benar-benar telah sembuh. Sudah tentu setelah Kiai Damar berbicara
dengan hantu-hantu.” Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu,
“Di dalam
persoalan tanah garapan itu pun Kiai Damar sudah berbicara dengan mereka
menurut keterangan Kiai Damar.”
“Bohong!”
“Sebenarnya
aku tidak boleh mengatakannya kepada siapa pun sebelum aku berhasil.”
“Apa?”
“Pada saatnya
akan aku katakan. Tetapi di antaranya dapat kalian ketahui, bahwa Kiai Damar
menganjurkan aku bekerja terus. Bekerja menurut petunjuknya.”
“Apa petunjuk
itu?”
“Sudah aku
katakan, pada saatnya kalian akan mengetahui. Aku takut mengatakannya
sekarang.”
Orang yang
kekar itu menjadi ragu-ragu sejenak.
“Ada sesuatu
yang harus aku lakukan di tanah garapan itu.”
“Kau membual.”
“Aku akan
menghadap Kiai Damar sekali lagi. Kalau aku memang tidak diijinkan untuk
meneruskan kerja ini, maka biarlah persoalannya akan aku serahkan kembali
kepada Kiai Damar.”
Orang yang
tinggi kekar itu menjadi semakin ragu-ragu.
“Atau apakah
ada di antara kalian yang akan bertanya kepadanya? Aku akan berterima kasih
kalau seseorang memerlukan membuktikan kebenaran kata-kataku.”
Sejenak
orang-orang yang mengerumuninya itu terdiam. Orang yang tinggi itu pun terdiam
pula. Tanpa sesadarnya ia berpaling memandang orang yang kekurus-kurusan.
Tetapi wajah orang yang kekurus-kurusan itu pun membayangkan keragu-raguan
pula.
“Baiklah,”
tiba-tiba orang yang kekar itu berkata,
“kalau kau
memang sudah mendapat suatu pesan dari Kiai Damar. Tetapi kalau kau berbohong
maka lehermu menjadi taruhan.” Orang itu berhenti sejenak, lalu,
“Tetapi kenapa
hantu-hantu itu marah?”
“Mungkin ada
persoalan lain yang tidak kita mengerti. Hantu-hantu itu pasti tidak akan
mempersoalkan kerjaku lagi. Kerja yang sudah mendapat ijin mereka atau
setidak-tidaknya sepengetahuan mereka.”
Orang yang
tinggi kekar itu masih berdiri di tempatnya. Namun kemudian ia menggeram,
“Kita akan
membuktikan, apakah kau sekedar berbohong, atau sebenarnya memang demikian.
Kita akan melihat akibat selanjutnya.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan bersungguh-sungguh ia memandang orang
yang tinggi kekar itu. Kemudian kepada wajah-wajah yang tegang di sekitarnya.
“Aku tidak
berbohong,” ia berdesis.
Orang yang
tinggi kekar tidak menyahut lagi. Dengan mengumpat-umpat ia pergi meninggalkan
Kiai Gringsing dan kedua anak-anaknya. Sepeninggal orang yang tinggi kekar itu,
maka beberapa orang masih tetap mengerumuninya. Namun kemudian seorang demi
seorang mereka pun meninggalkannya. Ketika tidak banyak lagi orang yang berdiri
di dekat Kiai Gringsing maka seseorang telah bertanya,
“Apakah kau
berkata sebenarnya?”
Kiai Gringsing
yang tidak mengenal orang itu sampai ke dalam jantungnya mengangguk dan
menjawab,
“Ya, tentu aku
berkata sebenarnya.”
“Dan kau masih
akan mencoba seperti yang kau katakan?”
“Ya.”
“Berbahaya
sekali.”
“Aku yakin
Kiai Damar akan melindungi aku.”
Orang itu
menarik nafas dalam-dalam. Kemudian perlahan-lahan melangkah meninggalkan Kiai
Gringsing. Kiai Gringsing kemudian bersama-sama kedua murid-muridnya duduk
kembali di tempatnya. Sejenak mereka saling berdiam diri. Namun demikian Kiai
Gringsing menyadari betapa kedua murid-muridnya telah menahan hati mereka.
“Pada suatu
saat, dada ini akan meledak,” desah Swandaru.
Kiai Gringsing
tersenyum. Dilihatnya beberapa orang telah berbaring kembali di tempatnya.
“Suatu latihan
kesabaran yang paling baik, Swandaru.”
“Tetapi sampai
kapan?”
“Sampai pada
suatu saat yang tidak akan lama lagi.”
“Saat yang
tidak akan lama lagi itu adalah suatu waktu yang tidak dapat dibayangkan.”
Kiai Gringsing
tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab. Agung Sedayu yang tidak bertanya apa pun
itu kemudian berbaring pula. Betapa darahnya serasa mengalir semakin cepat,
namun ia masih tetap mencoba menguasai perasaannya. Swandaru pun kemudian
menyusulnya pula. Berbaring di sampingnya agak berdesak-desakkan. Sedang Kiai
Gringsing duduk bersandar dinding sambil memandang orang-orang yang sudah mulai
mencoba untuk dapat tidur kembali.
“Kasihan. Jiwa
mereka bagaikan daun kering yang diombang-ambingkan gelombang di permukaan
wajah lautan. Tidak menentu dan sama sekali tanpa pegangan.”
Tetapi Kiai
Gringsing masih belum dapat berbuat apa-apa. Yang dapat dilakukannya adalah
mengusap dadanya dengan penuh iba.
“Mudah-mudahan
kalian tidak akan lebih lama lagi mengalami tekanan perasaan serupa itu,” ia
berkata di dalam hatinya.
Ternyata sisa
malam sudah tidak terlampau panjang lagi. Sejenak kemudian langit di ujung
Timur pun telah mulai menjadi kemerah-merahan.
Barak itu pun
tidak lama kemudian menjadi terbangun pula karenanya. Beberapa orang dengan
sikap ragu-ragu telah keluar dan turun ke halaman. Seorang demi seorang mereka
pergi ke sumur dan ke parit yang tidak begitu jauh dari barak itu. Namun
bagaimana pun juga mereka masih tetap dibayangi oleh ketakutan apabila mereka
teringat kepada suara-suara hantu semalam.
“Tetapi
hantu-hantu tidak akan mau menampakkan dirinya setelah ayam jantan berkokok
untuk terakhir kalinya,” berkata mereka di dalam hati untuk menenteramkan
perasaan masing-masing. Demikianlah maka pada saatnya mereka pun telah
meninggalkan barak dan gardu pengawas pergi ke tempat kerja masing-masing
sambil membawa rangsum masing-masing. Demikian juga Kiai Gringsing dan kedua
muridnya. Mereka pun telah pergi ke tempat kerja mereka, yang sampai saat
terakhir masih menjadi persoalan.
“Kalau mereka
berhasil mengusir kita dan setiap orang yang akan melanjutkan kerja ini, maka
lambat laun mereka akan berhasil mengusir orang-orang yang berada di dalam
barak itu pula dengan cara mereka. Semakin lama maka semakin tipislah usaha
untuk memperluas tanah garapan ini, sehingga pada suatu saat, maka hantu-hantu
itu akan masuk ke tempat-tempat yang lebih ramai dan mengusir orang-orang dari
daerah Mataram yang sedang dibangun ini,” berkata Kiai Gringsing kepada
murid-muridnya. Lalu,
“Karena itu,
apa pun yang akan terjadi, kita harus tetap bertahan. Mungkin kita memang harus
berkelahi dengan hantu-hantu itu. Tetapi apa boleh buat.”
Kedua
murid-muridnya mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang sangat menarik sekali
apabila pada suatu saat mereka dapat berkelahi dengan hantu-hantu yang telah
mencoba mengganggu ketenteraman orang-orang yang sedang membuka hutan itu.
“Guru,” tiba-tiba
saja Agung Sedayu berkata,
“supaya kita
dapat berbuat lebih leluasa, bagaimanakah kalau kita minta kepada para pengawas
untuk dapat tinggal di gubug-gubug kecil yang telah ditinggalkan oleh
penghuninya itu? Kita dapat berbuat sesuai dengan rencana kita sendiri tanpa
ada orang yang menghalanginya, dan sudah tentu, kita tidak akan mengganggu dan
menggelisahkan orang di dalam barak itu apabila kita dikatakan telah membuat
hantu-hantu itu marah yang kemarahannya akan menimpa semua orang di dalam barak
itu.”
Kiai Gringsing
merenung sejenak. Katanya,
“Itu suatu
pendapat yang baik. Aku setuju. Aku akan mencoba mengatakannya agar kita diberi
kesempatan untuk tinggal di gubug-gubug kecil yang kosong itu.”
Demikianlah,
ketika mereka telah selesai bekerja sehari penuh, mereka pun segera kembali.
Sebenarnya tidak ada yang mereka kerjakan selain membersihkan beberapa bagian
dari rerumputan liar dan mengawasi tempat itu dengan lebih saksama lagi. Mereka
tidak segera kembali ke barak, tetapi Kiai Gringsing bersama kedua muridnya
telah menemui para pengawas untuk menyampaikan maksudnya itu. Para pengawas
yang mendengar permintaan Kiai Gringsing itu menjadi heran. Ada di antara
mereka yang tidak langsung mempercayai pendengarannya sehingga bertanya,
“Apakah kau
sekedar bergurau?”
“Tidak, Tuan,”
jawab Kiai Gringsing, “kami bersungguh-sungguh.”
Beberapa orang
pengawas menarik nafas dalam-dalam. Seseorang yang gemuk pendek berambut jarang
menggeleng-gelengkan kepalanya sambil bergumam,
“Aku tidak
mengerti.”
Ki Wanakerti,
salah seorang dari para pengawas itu berkata,
“Kalian
menunjukkan sikap yang lain dari orang-orang yang ada di sini sejak kalian
datang. Kalian pernah mengalami banyak hal yang dapat mendesak kalian untuk
meninggalkan tempat ini, namun justru kalian menjadi semakin berani.”
“Bukan begitu,
Tuan. Kami hanya bermaksud sekedar menghindari sikap yang dapat berakibat
kurang baik dari beberapa orang yang tidak senang terhadap kami. Karena itu,
memang sebaiknya kami memisahkan diri dari mereka.”
“Aku mengerti,
tetapi apakah kalian pada suatu saat tidak akan mati ketakutan?”
“Bukankah
beberapa keluarga tinggal juga di gubug-gubug itu?”
“Tetapi
gubug-gubug yang sangat berdekatan. Dan gubug-gubug itu sudah berjejal-jejal
diisi oleh beberapa keluarga.”
“Tetapi
bukankah masih ada yang kosong?”
Wanakerti
mengerutkan keningnya. Sejenak ditatapnya wajah Kiai Gringsing, kemudian
dipandanginya wajah kawannya yang keheran-heranan.
“Apa boleh
buat,” berkata pemimpin pengawas itu,
“kalau kau
memang berniat demikian. Ternyata niat itu telah menimbulkan sesuatu yang lain
di dalam hatiku.” Orang itu berhenti sejenak, lalu,
“Tetapi bukan
maksudku untuk menentukan sesuatu atas niatmu itu,” sekali lagi ia berhenti.
Wajahnya menjadi ragu-ragu sejenak, namun kemudian ia berkata,
“Memang aneh.
Tetapi aku memang ingin melihat, apakah yang akan terjadi atas kalian. Atas
tempat tinggal yang akan kalian pilih dan tentang tanah garapan kalian itu.
Tetapi sekali lagi, sama sekali bukan maksudku untuk mempergunakan kalian
sebagai bahan percobaan.”
“Kami mengerti,”
jawab Kiai Gringsing.
“Memang sama
sekali bukan percobaan. Hal ini tumbuh dari keinginan kami sendiri. Dan kami
tidak akan meletakkan tanggung jawab kepada orang lain di dalam hal ini.”
“Baiklah,”
pemimpin petugas itu menganggukkan kepalanya,
“pilihlah
sendiri tempat tinggal yang akan kau pergunakan.”
“Terima kasih,
Tuan. Terima kasih. Sejak malam ini kami akan menempatinya.”
“Sejak malam
ini?”
“Ya.”
Sekali lagi
para pengawas itu menjadi heran. Salah seorang dari mereka berkata,
“Tingkah laku
kalian memang sangat menarik perhatian.”
“Sama sekali
tidak, Tuan. Kami hanya ingin menjauhkan diri dari pertengkaran yang tidak
perlu. Sebenarnyalah bahwa kami agak merasa takut menghadapi orang yang tinggi
kekar dan orang yang kekurus-kurusan, yang selalu saja mengancam kami.”
“Apakah kau
menjadi sedemikian ketakutan sehingga mengatasi ketakutanmu terhadap
hantu-hantu yang hampir membunuh anakmu?”
Kiai Gringsing
mengerutkan keningnya. Kemudian jawabnya,
“Terhadap
hantu-hantu itu aku sudah mempunyai jaminan. Kiai Damar dan hantu-hantu
pendatang. Di antaranya dari Gunung Merapi. Tetapi terhadap orang yang tinggi
kekar itu aku sama sekali tidak mempunyai pelindung.”
Petugas itu
menggeleng-gelengkan kepalanya pula. Katanya,
“Terserah
kepada kalian. Kalian akan bertanggung jawab atas kalian sendiri.”
Demikianlah,
maka pada malam itu Kiai Gringsing minta diri kepada kawan-kawannya yang ada di
dalam barak. Dijinjingnya sebungkus pakaian kumal yang hampir tidak berharga
lagi.
“Kalian memang
orang-orang aneh. Berani tetapi bodoh,” desis seseorang.
Kiai Gringsing
tersenyum. Tetapi ia tidak menanggapinya.
Namun ia
terpaksa berhenti ketika di depan pintu dijumpainya orang yang tinggi kekar itu
berdiri di samping orang yang kekurus-kurusan.
“Kalian memang
orang-orang gila,” geram orang yang tinggi.
“Maksud kami,
agar kami terpisah dari kalian. Agar kesalahan-kesalahan yang kami perbuat
tidak akan menimpa kalian pula apabila hantu itu menjadi marah. Misalnya,
apabila mereka melempari kami dengan batu atau cara apa pun juga.”
“Persetan.
Tetapi kalian harus mengurungkan niat ini, atau kalian benar-benar akan ditelan
oleh bahaya yang tidak terkirakan.”
“Relakanlah
kami. Kami sangat berterima kasih atas nasehat dan usaha kalian menyelamatkan
kami. Tetapi kami adalah orang-orang yang keras kepala, yang hanya akan
menumbuhkan kesulitan saja pada kalian.”
Orang yang
tinggi itu menggeram. Namun tiba-tiba saja orang yang kekurus-kurusan berkata,
“Lepaskan
mereka. Mereka tidak lagi menjadi tanggung jawab kami.”
Orang yang
tinggi besar itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun menepi sambil
berkata,
“Baiklah.
Silahkan. Tetapi jalan yang kau tempuh adalah jalan yang paling mengerikan,
yang pernah dikenal orang selama ini.”
Kiai Gringsing
tertegun sejenak. Namun kemudian ia mengangguk-angguk sambil menjawab,
“Mudah-mudahan
kami dapat keluar dengan selamat. Kami terlampau percaya kepada Kiai Damar dan
Kiai Dandang Wesi. Mudah-mudahan kami mendapat perlindungan.”
Orang yang
tinggi besar itu memandang Kiai Gringsing dengan sorot mata yang aneh.
Terbayang di balik tatapan matanya itu, sesuatu yang ditahankannya. Kemarahan
dan kedengkian yang tiada taranya.
Orang-orang yang
ada di dalam barak itu pun kemudian melepaskan tiga orang ayah beranak itu
dengan tatapan mata yang dibayangi oleh berbagai macam pertanyaan. Mereka sama
sekali tidak dapat mengerti jalan pikiran orang tua itu. Menurut mereka,
ketiganya seakan-akan sengaja membunuh dirinya di dalam gubug yang telah
dipilihnya. Meskipun demikian masih juga terngiang di telinga orang-orang itu
nama-nama Kiai Damar dan Kiai Dandang Wesi.
“Apakah benar
orang tua dan kedua anak-anaknya itu akan mendapat perlindungan dari mereka?”
Sepeninggal
Kiai Gringsing orang yang tinggi kekar itu bergumam seolah-olah kepada diri
sendiri,
“Kenapa mereka
dibiarkan pergi?”
Tanpa
berpaling orang yang kekurus-kurusan menyahut,
“Mereka akan
menyesal apabila mereka sempat menyadari tindakan mereka.”
Orang yang
tinggi itu hanya dapat menarik nafas. Kemudian sambil bersungut-sungut
melangkah pergi ke serambi. Beberapa orang telah duduk-duduk di tempat
masing-masing karena tidak ada yang akan mereka kerjakan, selain merenungi
jalan hidup yang sampai saat itu mereka tempuh.
Seseorang
mengerutkan keningnya, ketika orang yang tinggi besar itu duduk di sampingnya
sambil berdesah,
“Ada juga
orang gila di tempat ini.”
Orang yang
duduk di sampingnya tidak menyahut.
“Memang kita
semua adalah orang gila,” desis orang yang tinggi kekar itu kemudian.
Tidak seorang
pun yang menyahut. Orang yang duduk di sebelah-menyebelah pun hanya berpaling
memandanginya dengan dahi yang berkerut-merut. Tetapi tidak ada yang
mengucapkan sepatah kata pun.
Dan orang yang
tinggi itu berkata selanjutnya,
“Apakah
sebenarnya yang telah menarik kita ke neraka ini?”
Masih tidak
ada seorang pun yang menjawab.
“Ini adalah
kegilaan yang sebenarnya melampaui kegilaan ketiga ayah-beranak itu,” orang itu
berhenti sejenak. Tetapi agaknya ia memang tidak ingin mendapat jawaban dari
siapa pun juga, karena itu ia berbicara terus,
“Kita sama
sekali tidak berpengharapan apa pun di sini. Sebentar lagi hantu-hantu di Alas
Mentaok pasti akan mengerahkan semua pasukannya untuk mengusir kita. Dan kita
akan kehilangan segala-galanya. Waktu, kesempatan, dan tanah garapan.
Daerah-daerah yang sudah dibuka itu akan segera menjadi hutan kembali, jauh
lebih lebat dari yang sekarang.”
Orang yang
tinggi itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian tanpa menghiraukan orang-orang
lain, ia pun segera berbaring menelentang. Orang-orang yang lain pun kemudian
tidak menghiraukannya lagi. Namun kata-kata yang dilontarkan oleh orang yang
tinggi itu masih saja terngiang di hampir setiap telinga yang mendengarnya.
“Kita sama sekali
tidak berpengharapan apa pun di sini.”
“Kita tidak
berpengharapan apa pun,” hati mereka pun bahkan menyahut pula.
Dan sebuah
pertanyaan telah timbul di dalam dada mereka,
“Kenapa kita
sampai saat ini masih di sini?”
Pertanyaan itu
tidak dapat ditemukan jawaban. Sekilas terbayang pula harapan-harapan yang
membubung setinggi langit selagi mereka mulai membuka hutan ini. Kelak Mataram
akan menjadi sebuah negeri yang besar dan mereka akan mendapatkan kesempatan
hidup tenteram di dalamnya.
“Tetapi
gambaran sebuah negeri yang besar itu justru semakin lama menjadi semakin
pudar,” hati mereka pun menjadi semakin kuncup.
“Selama ini
kita tidak pernah berpikir, bahwa di Mentaok kita akan berhadapan dengan
hantu-hantu.”
Sementara itu,
Kiai Gringsing dan kedua muridnya telah sampai ke sebuah gubug yang kosong,
yang telah mereka pilih menjadi tempat tinggal mereka. Dari para petugas mereka
mendapatkan sebuah dlupak yang telah terisi minyak kelapa, untuk menerangi
gubug itu.
“Kita tidak
sempat membersihkan tempat ini,” desis Swandaru.
“Biarlah,”
sahut gurunya,
“besok,
pagi-pagi sebelum kita berangkat, kita mengambil waktu sejenak untuk
membersihkannya. Sayang sekali. Gubug ini adalah gubug yang kuat.”
Swandaru pun
kemudian menyalakan dlupak minyak kelapa dan meletakkannya di atas planggrangan
bambu yang memang sudah ada di dalam gubug itu. Sinar yang kekuning-kuningan
memancar ke seluruh ruangan. Sarang laba-laba yang kehitam-hitaman tersangkut
di setiap sudut. Swandaru terkejut ketika tiba-tiba saja seekor tikus tanah
yang besar berlari melintasi lantai di ruang dalam.
“He, tikus
yang cukup besar.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Di mana kita
tidur nanti, Guru?” bertanya Swandaru pula.
Kiai Gringsing
tidak segera menyahut. Ketika ia berpaling ke arah Agung Sedayu, dilihatnya
Agung Sedayu sedang memperhatikan lantai tanah yang kotor dan lembab.
“Kita tidak
dapat tidur di lantai,” desis Agung Sedayu.
“Kenapa?”
bertanya gurunya.
“Serangga
berkeliaran di sana-sini. Mungkin juga binatang-binatang melata yang lain.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Kita tidak
akan tidur malam ini.”
“He?” Swandaru
membelalakkan matanya.
“Seorang
perantau harus dapat mencegah kantuk tidak hanya semalam suntuk,” berkata
gurunya pula.
Swandaru tidak
menyahut. Tetapi ia menarik nafas dalam-dalam sambil menggaruk tengkuknya.
“Aku mendapat
firasat, bahwa sesuatu akan terjadi. Besar atau kecil,” berkata gurunya pula.
“Hantu-hantu?”
desis Swandaru.
Kiai Gringsing
mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun tersenyum. Katanya,
“Kita akan
duduk untuk semalam suntuk. Nanti lampu minyak itu akan kita sisihkan di balik
dinding itu.”
Agung Sedayu
dan Swandaru saling berpandangan sejenak. Namun kemudian mereka pun
mengangguk-anggukkan kepala mereka. Dipandanginya sebuah amben bambu kecil yang
sudah hampir roboh, yang tidak mungkin sama sekali dipakai untuk berbaring. Apa
lagi tiga orang, untuk Swandaru sendiri pun sudah terlampau kecil. Tetapi amben
bambu itu masih cukup untuk tempat duduk mereka bertiga. Di atas amben itulah
mereka kemudian duduk sambil merenungi suasana, sementara malam di luar menjadi
semakin kelam. Sejenak kemudian Kiai Gringsing pun berkata,
“Pindahkan
lampu itu, supaya tidak seorang pun yang dapat melihat kita duduk di sini dari
luar.”
“Siapakah
kira-kira yang akan mengintip kita, Guru?” bertanya Agung Sedayu.
“Hantu-hantu
itu?”
Kiai Gringsing
menggeleng. Tetapi ia hanya menjawab,
“Itu hanya
suatu dugaan. Mudah-mudahan tidak ada.”
Swandaru pun
kemudian memindahkan lampu minyak tanah itu ke balik dinding penyekat ruangan
yang sempit itu, sehingga mereka pun kemudian berada di dalam bayangan yang
kegelap-gelapan. Seperti yang dikatakan oleh Kiai Gringsing, ketiganya sama
sekali tidak dapat membaringkan dirinya. Mereka harus tetap duduk, betapa pun
kantuk telah menjalari mata mereka. Sekali-sekali Swandaru terlena sehingga
kepalanya terangguk-angguk. Namun kemudian digosok-gosoknya matanya sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya. Sampai tengah malam, mereka tidak menjumpai
sesuatu yang aneh di dalam gubug itu. Tidak ada tanda-tanda bahwa akan terjadi
sesuatu seperti yang dikatakan oleh Kiai Gringsing, sehingga dengan demikian
Agung Sedayu dan Swandaru pun kemudian bersandar dinding sambil memejamkan mata
mereka meskipun mereka tidak juga berani tidur. Hanya Kiai Gringsing sajalah
yang masih tetap duduk bersila di atas amben itu. Tangannya bersilang di dada,
sedang kepalanya tertunduk meskipun matanya tetap terbuka. Tiba-tiba orang tua
itu mengerutkan keningnya. Perlahan-lahan diangkatnya kepalanya, seakan-akan ia
mendengar sesuatu. Ketika Agung Sedayu dan Swandaru melihatnya, mereka pun
mencoba untuk mendengar. Namun ketika Swandaru akan membuka mulutnya untuk
menanyakan sesuatu, Kiai Gringsing memberi isyarat kepadanya, agar ia tetap
berdiam diri di tempatnya dan tidak mengucapkan sepatah kata pun. Akhirnya
kedua anak-anak muda itu pun mendengarnya. Desir yang lembut di sudut rumah
itu. Dada mereka menjadi berdebar-debar karenanya. Apakah mereka pada malam ini
harus berhadapan dengan hantu-hantu? Sejenak mereka bertiga menahan nafas.
Bahkan Kiai Gringsing sendiri tidak tahu, apakah yang akan dihadapinya malam
ini. Tetapi ia yakin, bahwa ia akan berhadapan dengan bahaya yang sebenarnya.
Lambat atau cepat. Dalam pada itu suara gemerisik di sudut rumah itu menjadi
semakin jelas. Bahkan kemudian mereka mendengar seakan-akan dinding bambu yang
sudah sangat lemah itu berpatahan. Ketiga orang yang berada di dalam gubug itu
menjadi tegang. Apalagi Agung Sedayu dan Swandaru. Tanpa mereka sadari
tangan-tangan mereka telah meraba lambung. Ketika tersentuh tangkai cambuk
mereka yang melingkar di bawah baju, hati mereka menjadi agak tenang. Di dalam
keadaan yang memaksa, maka senjata-senjata itulah yang akan dapat membantu
mereka mengatasi kesulitan.
Namun sejenak
kemudian, suara itu pun seolah-olah lenyap begitu saja. Mereka tidak mendengar
lagi bambu berpatahan. Tetapi telinga mereka yang tajam itu masih dapat
mendengar desah nafas yang tertahan-tahan. Karena itu, mereka yang ada di dalam
gubug itu masih tetap duduk di tempatnya tanpa bergerak sama sekali bahkan
nafas mereka pun seolah-olah tidak lagi dapat didengar oleh orang lain.
“Mereka telah
berhasil membuka sudut gubug ini,” berkata Swandaru di dalam hatinya.
“Kini mereka
sedang meyakinkan diri mereka, apakah mereka akan dapat masuk dengan aman atau
tidak.”
Sedang Agung
Sedayu berpikir di dalam hatinya,
“Pasti bukan
hantu. Hantu tidak memerlukan lubang apa pun karena tubuhnya yang lembut.
Menurut kata orang, hantu tidak mengenal lagi batas, sehingga batas itu tidak
berlaku bagi mereka. Kalau ada yang memasuki gubug ini dengan memecah sudut
itu, pasti bukan apa yang selalu diributkan orang dengan nama hantu.”
Namun dalam
pada itu, mereka masih tetap dicengkam oleh ketegangan. Semakin lama semakin
tegang, sehingga dada kedua anak-anak muda itu seolah-olah akan meledak
karenanya. Mereka masih harus tetap berada di tempat mereka sambil menunggu apa
yang akan terjadi kemudian. Tetapi sejenak mereka saling berpandangan ketika
mereka mendengar desir langkah kaki. Tidak semakin dekat memasuki gubug itu,
tetapi justru menjadi semakin jauh.
“Apakah
artinya ini?” pertanyaan itu melonjak tidak saja di dalam dada Agung Sedayu dan
Swandaru, tetapi juga di hati Kiai Gringsing. Mereka tidak segera dapat
mengerti, kenapa mereka yang bersusah payah merusak sudut gubug itu, tidak
berbuat sesuatu?
“Apakah mereka
menyadari, bahwa kami masih belum tidur?” bertanya Kiai Gringsing pula di dalam
hatinya.
Meskipun
demikian, ketiganya masih tetap berdiam diri dengan tegangnya di tempat masing-masing.
Mereka masih menunggu apa yang kira-kira akan terjadi selanjutnya. Apakah
mereka yang merusak sudut gubug itu benar-benar telah pergi seluruhnya? Menilik
suara nafas mereka yang kini sudah tidak terdengar sama sekali maka mereka
pasti telah meninggalkan gubug ini. Namun dalam pada itu, mereka telah
dikejutkan oleh suara yang lain. Suara desis berkepanjangan di sudut gubug itu.
Semakin lama semakin keras. Sejenak ketiganya hanya dapat saling berpandangan.
Suara itu adalah suara yang belum mereka kenal. Desir dan desis yang semakin
jelas. Agaknya Swandaru tidak sabar lagi menunggu. Dengan serta-merta ia
meloncat dari tempat duduknya. Tetapi ia tertegun karena gurunya menggamitnya
dan memberinya isyarat untuk tetap duduk di tempatnya. Kening Swandaru menjadi
berkerut-merut. Tetapi ia tidak dapat melawan perintah gurunya. Sejenak
kemudian mereka masih tetap menunggu. Suara itu menjadi semakin jelas mendekati
mereka. Kiai Gringsing masih tetap membeku di tempatnya. Namun kemudian
tiba-tiba saja ia mengangkat kakinya sambil berdesis,
“Hati-hati.
Bahaya itu telah datang menyerang kita. Angkat kakimu. Kita harus melawannya.”
Agung Sedayu
dan Swandaru pun mengangkat kakinya. Begitu kakinya naik ke atas amben, mereka
pun segera melihat, beberapa ekor ular yang cukup besar menggeliat di atas
lantai.
“Apakah kalian
sudah melihat?” bertanya Kiai Gringsing.
Agung Sedayu
dan Swandaru yang dengan tanpa sesadarnya telah berdiri di atas amben,
memandangi ular-ular itu dengan tegangnya. Ular yang menyelusur lantai adalah
ular hitam yang berbelang-belang putih.
“Weling,”
desis Swandaru.
“Tidak.
Welang. Ular weling tidak dapat menjadi sebesar itu,” sahut Agung Sedayu.
“Ya. Welang,”
desis Kiai Gringsing.
“Agaknya ular
ini sudah terlatih. Mereka mengerti di mana kita berada. Dan mereka sudah siap
untuk menyerang kita.”
“Tetapi,
welang tidak mempunyai bintik-bintik yang bercahaya seperti itu, Guru,” berkata
Agung Sedayu kemudian.
“Memang, ular
welang pada umumnya tidak mempunyai bintik-bintik yang bercahaya. Tetapi kita
tidak tahu, apakah bintik-bintik bercahaya itu benar-benar bintik-bintik ular
welang itu.”
“Maksud Guru?”
“Bintik-bintik
dan noda-noda yang dapat memancarkan cahaya itu dapat dibuat.”
Agung Sedayu
dan Swandaru tidak sempat bertanya lagi. Ular-ular itu sudah menjadi semakin
dekat di bawah amben mereka.
“Hati-hati,
mereka dapat memanjat. Kita harus berkelahi melawan ular-ular ini.”
Tiba-tiba
Swandaru tidak menunggu lagi. Ia pun segera mengurai cambuk yang membelit di
lambungnya. Namun sebelum ia mempergunakannya gurunya berpesan,
“Jangan
menimbulkan bunyi terlampau keras. Kita harus tetap berusaha menyelubungi diri
sejauh mungkin, sebelum kita pasti, apakah yang sebenarnya kita hadapi.”
Swandaru
menjadi ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia melihat bagaimana gurunya menggenggam
senjatanya. Ternyata Kiai Gringsing memegang cambuknya tidak pada tangkainya,
tetapi pada ujungnya.
“Kalian tetap
di situ,” berkata gurunya. Ia tidak menunggu jawaban lagi. Dengan tangkasnya ia
melontarkan dirinya, dan ketika kakinya menjejak di atas tanah, ia sudah
berdiri justru di belakang ular-ular yang merayap maju.
Ternyata
seekor ular yang merayap di paling belakang menjadi terkejut karenanya. Tetapi
ketika ular itu berpaling, dan mencoba memutar diri untuk berbalik menyerang
Kiai Gringsing, tangkai cambuk orang tua itu telah menyambar kepalanya,
sehingga ular itu terpelanting membentur dinding bambu. Tetapi ular itu masih
mencoba menggeliat. Agaknya sentuhan tangkai cambuk Kiai Gringsing itu tidak
segera membunuhnya. Namun sekejap kemudan Kiai Gringsing telah berdiri di
sisinya. Sejenak tangkai cambuknya berputar, dan sejenak kemudian maka kepala
ular welang itu pun sekali lagi terpukul. Kali ini agaknya Kiai Gringsing tidak
perlu mengulanginya lagi. Tetapi selain ular yang telah mati itu, masih ada
beberapa ekor lagi yang sedang merayap mendekati amben tempat Agung Sedayu dan
Swandaru berdiri. Karena itu, maka Kiai Gringsing pun segera mendekatinya
dengan hati-hati. Agung Sedayu dan Swandaru yang berdiri di atas amben pun
telah memutar tangkai cambuk masing-masing. Ketika perlahan-lahan sebuah kepala
tersembul dari bawah amben, maka dengan serta-merta tangkai cambuk Agung Sedayu
dan Swandaru menyambar hampir bersamaan. Ular welang itu mencoba bertahan
sejenak. Namun kemudian ia pun terjatuh dan mati. Demikianlah Agung Sedayu dan
Swandaru telah berhasil membunuh beberapa ekor ular yang mencoba merambat naik
ke atas amben. Sedang yang tersisa sudah dibunuh pula oleh Kiai Gringsing
dengan tangkai cambuknya.
“Apakah sudah
habis Guru?” bertanya Swandaru yang merasa ngeri juga melihat ular-ular itu
berkeliaran.
Kiai Gringsing
menarik nafas dalam-dalam,
“Sudah.
Agaknya memang sudah habis.”
“Kita akan
menghitung jumlahnya,” desis Swandaru.
“Tetapi jangan
kau pegang dengan tanganmu. Kita masih belum tahu, apakah yang membuat
ular-ular itu berbintik-bintik dan bercahaya.”
Swandaru
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan sebatang tongkat bambu yang dilolosnya
dari dinding rumah itu, dikumpulkannya bangkai ular yang berserakan itu.
“Lima,” desis
Swandaru.
“Enam,” sahut
Agung Sedayu.
“Ya, enam. Besar
dan kecil,” berkata gurunya.
“Suatu
permainan yang mengerikan.” Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu,
“kita
benar-benar berhadapan dengan orang-orang yang sedang bermain-main dengan
racun. Hampir setiap hambatan yang kita jumpai pasti mengandung racun. Kuat
atau lemah. Kini kita telah terjerumus ke dalam sarang ular welang yang
berbahaya. Tidak mustahil bahwa bintik-bintik yang bercahaya itu pun mengandung
racun pula.” Kepada Swandaru ia berkata,
“Ambillah lampu
itu. Kita lihat apakah sebenarnya bintik-bintik yang bersinar kehijau-hijauan
ini.”
Swandaru pun
kemudian melangkah ke balik dinding yang menyekat ruangan di dalam gubug itu.
Diambilnya lampu minyak yang masih menyala kekuning-kuningan. Kiai Gringsing yang
kemudian menerima lampu itu mengamati bintik yang bercahaya pada tubuh
ular-ular itu. Namun kemudian ia menarik nafas dalam-dalam,
“Tidak
beracun,” katanya.
“Apa Guru?”
bertanya Agung Sedayu dan Swandaru hampir bersamaan.
“Rena dan
kunang-kunang yang dilekatkan dengan sebangsa getah pada tubuh ular ini,
sehingga binatang-binatang kecil itu masih tetap hidup untuk beberapa lama.”
“Hem,”
Swandaru menarik nafas dalam-dalam, “benar suatu permainan yang mengasyikkan.”
“Demikian
pulalah agaknya setiap cahaya yang terdapat pada hantu-hantu itu. Pada
tengkorak-tengkorak jerangkong dan pada kuda-kuda yang sering disebut-sebut
orang.”
“Apakah Guru
memastikan?”
“Belum. Tetapi
pendapat ini dapat menjadi bahan penyelidikan seterusnya. Kita harus meyakini,
dan kita harus berusaha memecahkan teka-teki itu. Kalau kita berhasil, kita pun
harus tahu, alasan apakah yang telah mendorong orang-orang itu berbuat
demikian.”
Agung Sedayu
dan Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka sadar, gurunya telah
mengambil kesimpulan, bahwa kepercayaannya terhadap hantu-hantu itu menjadi
semakin tipis.
“Tetapi
bagaimana dengan hantu-hantu yang datang dari luar Alas Mentaok?”
“Pada suatu
ketika kita akan mendapatkan jawabnya pula.”
“Dan Kiai
Damar?”
“Memang masih
banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab kini. Itulah sebabnya
kita masih harus tetap dalam keadaan kita sekarang.” Kiai Gringsing terdiam
sejenak,
“Namun setelah
ular-ular ini, mungkin kita masih akan mendapat mainan yang lain, yang kita
masih belum dapat mengetahuinya.”
Kedua muridnya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi mereka pun kemudian merenungi
bangkai-bangkai ular yang berserakan di lantai. Terbayang di dalam angan-angan
mereka, kemungkinan yang lain yang tidak kalah berbahayanya dari ular-ular itu.
“Guru,”
tiba-tiba Swandaru bertanya, “bagaimanakah dengan cambuk-cambuk kita?”
“Kenapa?”
“Kami telah
memukul ular-ular itu dengan tangkai cambuk ini.”
“Tidak
apa-apa. Tidak akan dikotori oleh racun-racun.”
Swandaru
mengangguk-angguk sekali lagi. Tetapi ia masih juga ragu-ragu ketika ia
melingkarkan cambuknya di lambungnya. Agung Sedayu pun kemudian menyimpan
senjatanya pula. Sementara Kiai Gringsing masih saja mengamati ular-ular yang
sudah tidak bernyawa lagi itu.
“Sudahlah,”
katanya,
“besok pagi
kita tanam di belakang rumah ini. Sekarang beristirahatlah, meskipun kalian
masih harus berjaga-jaga semalam suntuk. Mungkin masih ada persoalan-persoalan
lain yang akan menyusul kemudian.”
Agung Sedayu
dan Swandaru berpandangan sejenak. Namun tanpa mengucapkan kata-kata, mereka
segera duduk kembali di atas amben bambu bersandar dinding. Dan sejenak
kemudian gurunya pun ikut duduk pula terkantuk-kantuk, meskipun ia sama sekali
tidak kehilangan kewaspadaan. Ternyata sesudah itu, tidak ada apa-apa lagi yang
menyusul. Dari celah-celah dinding, mereka kemudian melihat bayangan fajar yang
kemerah-merahan.
“Kita masih
sempat melihat fajar,” desis Swandaru.
“Hus,” desis
Agung Sedayu.
“Ular-ular itu
hampir saja mengakhiri petualangan kita,” sahut Swandaru.
“Marilah kita
tanam di kebun belakang.”
Mereka pun
kemudian membawa ular-ular itu dengan galah-galah bambu ke belakang gubug.
Selagi fajar masih remang-remang, mereka dengan tergesa-gesa telah menanam
bangkai-bangkai ular itu.
“Kita tidak
perlu mengatakannya kepada siapa pun bahwa kita telah disambut oleh sekelompok
ular-ular yang sisiknya bercahaya,” berkata Kiai Gringsing.
Kedua
anak-anak muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ketika hari menjadi semakin
terang, maka mereka pun telah selesai dengan kerja mereka. Karena itu, maka
mereka pun segera berkemas. Karena di sekitar gubug itu tidak ada air, maka
mereka terpaksa pergi ke gardu pengawas untuk mencuci muka dan sekaligus
mengambil rangsum mereka sebelum mereka berangkat ke tanah garapan.
“He, apakah
kalian dapat tidur?” bertanya salah seorang petugas.
“Nyenyak
sekali. Ternyata tempat itu jauh lebih baik dari pada ikut berjejal-jejal di
dalam barak,” jawab Swandaru.
Kiai Gringsing
hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja, meskipun ia cemas juga, bahwa
kadang-kadang Swandaru berbicara asal saja melontarkan kata-kata. Tetapi
berkata Swandaru pula,
“Kami masih
harus membersihkan tempat yang masih terlampau kotor itu. Agaknya sejak gubug
itu dikosongkan, sama sekali tidak pernah disentuh tangan.”
“’Memang tidak
ada orang yang merasa berkepentingan untuk membersihkannya.”
“Sayang
sekali. Dan agaknya kami kerasan tinggal di dalam gubug itu.”
Petugas itu
mengerutkan keningnya. Tetapi di dalam hati ia berkata,
“Kalau pada
suatu ketika, kau didatangi oleh hantu-hantu, maka kau akan berkata lain.”
Setelah
mencuci muka, serta mengambil rangsumnya sama sekali, maka ketiganya pun
kemudian kembali ke gubug yang terpencil itu.
“Kita tidak
sempat membersihkannya pagi ini. Nanti saja setelah kita kembali dari tanah
garapan,” berkata Kiai Gringsing.
Agung Sedayu
dan Swandaru mengangguk-anggukkan kepala mereka. Agaknya matahari memang sudah
melonjak naik ke punggung bukit. Meskipun tidak ada seorang pun yang
mengharuskan mereka berangkat pada saat-saat yang lazim, tetapi rasa-rasanya
kurang baiklah kiranya apabila mereka berangkat terlampau siang.
“Tempatkan
barang-barangmu di tempat yang kau kenali baik-baik. Lihatlah segala
benda-benda yang ada. Nanti kalau kita kembali, kita akan melihat, apakah ada
perubahan betapa pun kecilnya di dalam gubug ini.”
“Baik, Guru,”
jawab keduanya hampir bersamaan.
Agung Sedayu
dan Swandaru pun kemudian mencoba mengenali setiap benda yang ada di dalam
gubug itu. Bahkan sudut-sudut dinding pun mereka amat-amati. Mereka masih
melihat sehelai kain yang kasar di sudut ruang yang terbuka, karena beberapa
potong bambu dindingnya telah dirusak semalam.
“Dengan kain
yang kasar dan tebal inilah mereka membawa enam ekor ular itu,” desis Swandaru.
“Ya. Ular yang
telah dilatih untuk menyerang manusia,” sahut Agung Sedayu.
“Benar
begitu?”
“Menurut
Guru.”
Swandaru
mengerutkan keningnya, tetapi ia tidak menjawab lagi. Sejenak kemudian setelah
mereka selesai mengamati setiap benda yang ada di dalam gubug itu, maka mereka
pun segera meninggalkannya setelah mereka menutup pintu lereg. Sambil
menjinjing rangsum mereka, mereka pun kemudian berjalan ke gardu pengawas.
Beberapa orang sudah berkerumun sambil membawa alat-alat mereka masing-masing.
Mereka akan segera berangkat ke tanah garapan masing-masing setelah mereka
mengambil rangsum mereka.
“He, kau sudah
membawa rangsum?” bertanya seseorang.
“Aku datang
jauh sebelum kalian,” jawab Kiai Gringsing.
“Bagaimana
dengan gubug itu?” bertanya yang lain.
“Menarik
sekali,” jawab Kiai Gringsing. Tetapi sebelum ia melanjutkan kata-katanya, terasa
lengannya digamit seseorang. Ketika Kiai Gringsing berpaling dilihatnya orang
yang kekurus-kurusan itu memandanginya dengan mata terbelalak,
“Kau sudah ada
di sini sepagi ini?” ia bertanya.
“Kalian juga
sudah ada di sini,” sahut Kiai Gringsing.
Sejenak orang
yang kekurus-kurusan itu memandangi Kiai Gringsing seperti orang yang
keheran-heranan.
“He, kenapa
kau memandang aku seperti itu?” bertanya Kiai Gringsing.
“Apakah kau
belum pernah melihat aku?”
“O,” orang itu
tergagap. Jawabnya,
“Kau memang
orang-orang yang berani. Apakah kau tidak diganggu oleh hantu-hantu dalam ujud
apa pun?”
Kiai Gringsing
menggelengkan kepalanya,
“Tidak. Tidak
ada yang mengganggu sama sekali.”
“Belum. Di
malam-malam berikutnya kau tidak akan dapat tidur sama sekali.”
“Mudah-mudahan
tidak ada gangguan apa pun seperti di malam pertama.”
Orang yang
kekurus-kurusan itu masih saja memandanginya dengan herannya. Namun sejenak
kemudian ia pun pergi meninggalkan Kiai Gringsing.
“Kenapa ia
tampak menjadi heran melihat Guru?” bertanya Agung Sedayu.
“Itulah yang
menarik perhatian,” jawab gurunya, “tetapi kita masih belum dapat mengambil
kesimpulan yang pasti.”
Agung Sedayu
tidak menyahut lagi. Tetapi ia terkejut ketika tiba-tiba saja seseorang telah
mengguncang-guncang tubuh gurunya.
“Kau masih
juga hidup?” terdengar seseorang menggeram.
Kiai Gringsing
dan kedua muridnya serentak berpaling. Dilihatnya orang yang tinggi kekar itu
berdiri di belakang Kiai Gringsing.
“O, pundakku
sakit,” desah Kiai Gringsing.
“Kau masih
hidup, he?” ulang orang itu.
“Seperti yang
kau lihat.”
“Kami seisi
barak menjadi cemas.”
“Kenapa?”
“Aku yang
kebetulan saja melihat. Kau tahu, bahwa aku tidur di serambi.”
“Ya.”
“Hampir tengah
malam kami mendengar suara berdesing berputaran di atas barak. Tetapi semua
orang sudah tertidur.”
“Kau saja yang
mendengar?”
“Ya,” orang
itu menjadi bersungguh-sungguh, “ternyata suara itu adalah suara ular Gundala.”
“He, ular
apakah itu?” bertanya Kiai Gringsing.
“Sejenis ular
yang dapat terbang. Ada dua jenis ular Gundala. Ular Gundala Seta yang berwarna
putih dan ada ular Gundala Wereng yang berwarna hitam.”
“Tetapi…..,”
Swandaru hampir saja menyahut kalau gurunya tidak menggamitnya.
“Lalu, ular
apakah yang kau lihat malam tadi? Yang putih atau yang hitam?”
“Bagaimana aku
tahu.”
“Tetapi,
kenapa kau tahu bahwa yang berdesing di udara itu ular Gundala.”
“Baik yang
putih mau pun yang hitam mempunyai ciri yang sama. Keduanya mempunyai
bintik-bintik yang bercahaya.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan orang yang tinggi itu berkata,
“Ular-ular itu
adalah salah satu dari jenis-jenis senjata pasukan kajiman di Alas Mentaok. Aku
sudah mencemaskan nasibmu, kalau-kalau ular itu menyerangmu.”
“Beruntunglah,
bahwa ular-ular itu tidak menyerang kami.”
“Tidak seorang
pun yang mampu mengelakkan serangannya.”
“Untunglah.
Dan bersyukurlah kami bahwa kami tidak menjadi korbannya. Aku berterima kasih
atas perhatianmu dan bukankah kau katakan seisi barak ini menjadi cemas?”
Orang yang
tinggi kekar itu mengerutkan keningnya. Sejenak ia memandangi wajah Kiai
Gringsing. Namun kemudian ia menyahut,
“Kenapa dengan
seisi barak ini?”
“Bukankah kau
yang mengatakan, bahwa seisi barak ini menjadi cemas?”
“Dan kau akan
mempertentangkan kata-kata itu dengan kata-kataku, bahwa hanya akulah yang
melihat ular itu terbang?”
Kiai Gringsing
tidak menyahut. Tetapi kesan di wajahnya membenarkannya.
“Tentu bukan
semua orang di barak ini. Aku memang mengatakan kepada beberapa orang.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kau memang
harus berhati-hati,” berkata orang yang tinggi itu.
“Kau sedang
dimusuhi oleh hantu-hantu. Apalagi kalau kau membuat musuh di antara kita.”
“O, tentu
tidak,” jawab Kiai Gringsing.
“Kau suka
mempersoalkan masalah-masalah yang kecil. Membuat orang lain menjadi bingung. Mempersoalkan
kata-kata yang sedikit terselip. Dan banyak lagi. Tetapi ingat, sebenarnya aku
memang ingin mendapat kesempatan untuk membuat kalian bertiga jera. Aku merasa
bahwa aku akan sanggup melaksanakannya tanpa hantu-hantu itu.”
“Maksudmu?”
Orang itu
tampak ragu-ragu sejenak. Tetapi karena agaknya tidak ada orang lain yang
memperhatikannya, ia berkata,
“Aku ingin
memukuli kalian pada suatu saat.”
“He, apakah
salah kami?”
“Kalian telah
mengabaikan segala nasehatku. Segala niat baikku. Itu suatu penghinaan. Dan
kalian merasa diri kalian pahlawan-pahlawan yang berani. Sombong dan banyak
bicara. Ingat, aku adalah orang yang paling ditakuti di sini. Para pengawas pun
tidak berani berbuat apa-apa atasku. Kalau aku memukuli kalian, tidak akan ada
orang yang berani mencegah apabila itu sudah terjadi. Memang kadang-kadang
mereka mencoba mengurungkan niatku. Mereka adalah orang-orang baik yang tidak
suka berselisih. Tetapi kalau kesabaranku habis, kalian akan menyesal.”
“Jangan
begitu,” desis Kiai Gringsing,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar