Jilid 032 Halaman 1


MENDENGAR jawaban ayahnya, dan sikapnya yang lunak, Pandan Wangi menjadi lebih berani.
“Ayah,” suara Pandan Wangi agak bergetar. Sejenak ia menjadi ragu-ragu, tetapi kemudian diberanikannya bertanya,
“Ayah, kenapa Ayah tidak sependapat dengan Ki Tambak Wedi untuk melindungi Kakang Sidanti?”
“Aku tidak berkeberatan Wangi,” sahut ayahnya,
“Tetapi bukankah Ayah menolak?”
Argapati menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak segera menjawab. Ditatapnya wajah puterinya yang kemudian menundukkan kepalanya. Dada Pandan Wangi menjadi berdebar-debar. Katanya di dalam hati,
“Oh, agaknya Ayah tidak senang mendengar pertanyaanku.”
Dada gadis itu berdesir ketika ia mendengar ayahnya berkata,
“Pandan Wangi. Sekarang Kau sudah cukup dewasa untuk menghadapi segala macam persoalan. Bukankah begitu?, “
Pandan Wangi menjadi ragu-ragu, “Ya, Ayah.”
“Baiklah,” desis ayahnya, tetapi ayahnya itu  pun masih juga dicengkam oleh kebimbangan. Namun dipaksanya berkata,
“Kau sudah wajib berani melihat kenyataan-kenyataan yang ada di hadapanmu.”
“Ya, Ayah,” sahut gadis itu.
Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Di dalam hatinya ia berkata,
“Aku harus mengatakannya, supaya aku tidak bersalah kelak apabila anak ini mendengarnya dari orang lain, justru tidak tepat seperti yang terjadi, sudah dibumbui dan diputar-balikkan.”
“Baiklah, Wangi,” berkata Argapati kemudian,
“apakah kau sudah bersiap untuk mendengarkannya?”
Pandan Wangi mengerutkan keningnya,
“Apakah yang akan dikatakan oleh Ayah ini sehingga aku harus mempersiapkan diri untuk mendengarkannya?”
Dan gadis itu kemudian terperanjat ketika ia mendengar ayahnya berkata,
“Pandan Wangi, aku memang tidak segera dapat menerima pendapat Ki Tambak Wedi. Sebenarnya aku memang kurang mempercayainya. Aku sudah mengenal sifat-sifatnya sejak berpuluh tahun.”
“Tetapi, tetapi bukankah Ayah mempercayakan Kakang Sidanti kepadanya bertahun-tahun? Bukankah itu juga merupakan suatu bentuk kepercayaan Ayah kepadanya?” tanpa sesadarnya pertanyaan itu meluncur dari mulut Pandan Wangi.
Pertanyaan Pandan Wangi itu memang terlampau sulit untuk dijawab. Karena itu, maka sejenak Argapati terdiam. Namun kemudian Argapati itu berkata tanpa menjawab pertanyaan Pandan Wangi,
“Wangi, ternyata perbedaan pendapat itu telah mendorong Ki Tambak Wedi untuk bersikap keras dan bersungguh-sungguh.”
Wajah Pandan Wangi menjadi semakin pucat. Terbayang di dalam rongga matanya kemungkinan yang dapat terjadi dari sikap masing-masing yang keras itu.
“Ayah,” suara Pandan Wangi menjadi parau,
“apakah Ayah telah menentukan suatu saat untuk menyelesaikan persoalan ini seperti yang Ayah katakan? Pada saat purnama naik beberapa hari yang akan datang di bawah Pucang Kembar?”
Argapati menjadi ragu-ragu. Tetapi ia tidak dapat mengingkarinya karena agaknya Pandan Wangi telah mendengarnya.
“Tidak baik aku berbohong kepadanya,” berkata orang tua itu di dalam hatinya.
“Ia harus tahu sebelumnya. Kalau terjadi sesuatu, anak ini sudah mempersiapkan dirinya untuk menghadapinya.”

Argapati menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya lambat,
“Ya, Pandan Wangi. Kami telah memutuskan. Kami yang bersama-sama sedang dikaburkan oleh perasaan kami yang menyala telah membuat perjanjian itu.”
“Ayah,” suara Pandan Wangi menjadi semakin lambat. Argapati melihat mata puterinya itu menjadi basah. Orang tua itu dapat menduga, betapa kecemasan telah mencengkam hati Pandan Wangi. Ia sudah tidak beribu lagi. Apabila terjadi sesuatu dengan ayahnya, maka ia akan menjadi sebatang kara.
“Kalau Ki Tambak Wedi tidak memisahkannya dari kakaknya, maka ia masih mempunyai tempat untuk bergantung,” berkata Argapati di dalam hati.
“Tetapi Sidanti telah hanyut dibawa arus kegilaan gurunya.”
“Ayah,” Pandan Wangi kini seolah-olah berbisik, “kenapakah hal itu mesti terjadi?”
Ayahnya menggeleng lemah,
“Aku tidak tahu Wangi. Tetapi Aku tidak dapat menghindarkan diri daripadanya.”
“Ayah adalah seorang Kepala Tanah Perdikan. Apakah Ayah tidak dapat berbuat atas namanya? Kalau Ayah menganggap bahwa Ki Tambak Wedi tidak sepantasnya berbuat demikian, bukankah Ayah mempunyai kekuasaan dan pasukan untuk melaksanakan kekuasaan itu?”
Argapati menggeleng pula,
“Bukan Wangi. Masalahnya bukan kekuasaan dan wewenang mempergunakan kekuasaan dan alat-alat kekuasaan. Tetapi masalah ini adalah masalah pribadi. Aku, Argapati dan Ki Tambak Wedi.”
Mata Pandan Wangi kian menjadi basah. Berbagai macam persoalan membayang di dalam rongga matanya. Kemungkinan yang paling pahit sekalipun. Namun perlahan-lahan ia bertanya,
“Ayah, kasihan Kakang Sidanti. Ia akan kehilangan salah satu dari orang-orang yang paling penting di dalam hidupnya. Gurunya atau ayahnya.”
Sekali lagi Argapati menarik nafas. Ia tahu, bahwa Pandan Wangi sedang menyembunyikan kecemasannya sendiri. Namun orang tua itu tidak segera menyahut. Bahkan dilontarkannya pandangan matanya ke arah api pelita yang sedang menggapai-gapai. Sejenak keduanya saling berdiam diri. Masing-masing dihanyutkan oleh arus perasaan dan angan-angan sendiri. Jauh ke dalam dunia kemungkinan yang tidak bertepi.

Di luar angin malam yang lembab terasa semakin dingin. Para peronda di gardu regol halaman duduk bersila di atas tikar pandan sambil berkerudung kain. Lampu yang samar-samar tergantung di depan regol. Para peronda itu telah menutup sebelah sisi, supaya tempat mereka duduk menjadi gelap. Sedang para peronda yang nganglang masih saja berjalan perlahan-lahan di sekitar lingkungannya. Sekali-sekali terdengar mereka berbisik-bisik. Mereka saling bertanya, apakah yang sebenarnya terjadi di halaman rumah Kepala Tanah Perdikannya yang selama ini tidak pernah ada persoalan-persoalan yang mendebarkan. Tetapi tidak seorang  pun yang dapat menjawab. Meskipun demikian, berita tentang peristiwa itu segera menjalar dari mulut ke mulut. Tersebar ke seluruh pelosok. Di pringgitan, Pandan Wangi masih duduk tepekur menghadapi ayahnya. Sekali-sekali diusapnya matanya yang basah dengan ujung lengan bajunya. Namun anak itu bertahan sekuat-kuatnya untuk tidak menangis.
“Aku sudah bukan anak-anak lagi,” katanya di dalam hati,
“aku sudah tidak pantas lagi untuk menangis.” Namun setitik air telah meleleh di pipinya.
Ketika di kejauhan terdengar burung kedasih mengeluh berkepanjangan, terdengar Argapati berkata,
“Apakah kau belum mengantuk, Pandan Wangi?”
Pandan Wangi menggeleng, “Belum, Ayah.”
Argapati terdiam. Ia selalu dicengkam oleh keragu-raguan untuk mengatakan sesuatu yang dianggapnya terlampau penting.
Orang tua itu mengerutkan keningnya ketika ia mendengar Pandan Wangi bertanya,
“Ayah, apakah persoalan itu tidak dapat diselesaikan dengan cara lain?”
Argapati menggeleng,
“Kami telah berjanji Wangi. Kami adalah laki-laki. Dan kami telah mengatakannya, bahwa penyelesaian itu akan kami lakukan nanti jika purnama penuh naik, di bawah Pucang Kembar.”
“Tetapi,” suara Pandan Wangi tertahan. Lalu,
“persoalan itu berkembang terlampau cepat. Kenapa masalah itu segera mendapat keputusan untuk membuat penyelesaian yang begitu bersungguh-sungguh?”
“Apakah persoalan itu terasa berkembang terlampau cepat Wangi?”
“Ya, begitu Ayah dan Ki Tambak Wedi tidak sependapat, maka segera ketegangan semakin meningkat dengan cepatnya. Seolah-olah keduanya sama sekali tidak dapat menahan hati. Seperti persoalan yang tumbuh di dalam lingkungan anak-anak muda.”
Argapati menarik nafas dalam-dalam. Ia menyadari betapa sesak dada anak gadisnya. Dalam keadaan yang wajar, ia tidak akan berani berkata demikian kepadanya. Tetapi tanggapan Pandan Wangi itu agaknya telah meledak tanpa dapat ditahankannya.

Tetapi ketika Argapati tidak segera menyahut, maka Pandan Wangi itu pun menyesal karenanya. Agaknya ia memang telah terdorong mengatakan sesuatu yang sebenarnya terlampau jauh. Tetapi hal itu dilakukannya di luar sadarnya. Sehingga dengan demikian, maka kata-kata itu seolah-olah telah meloncat dengan sendirinya dari lubuk hatinya, tanpa terkendali.
“Oh, apakah Ayah marah kepadaku?” pertanyaan itu telah menggelisahkannya.
“Pandan Wangi,” suara ayahnya masih tetap lembut, “apakah tanggapanmu memang demikian?”
Pandan Wangi menjadi ragu-ragu, sehingga ia terdiam. Argapati menarik nafas dalam-dalam. Ditatapnya saja wajah puterinya dengan sorot mata yang aneh.
“Apakah sudah seharusnya aku mengatakanya?” Argapati selalu bertanya kepada diri sendiri. Dan pertanyaan itu telah membuatnya selalu gelisah dan bimbang.
Karena Pandan Wangi tidak menjawab, maka Argapati berkata pula,
“Mungkin kau benar, Pandan Wangi. Persoalan ini berkembang terlampau cepat, sehingga kami masing-masing tidak lagi sempat membuat pertimbangan-pertimbangan yang jernih.”
Dada Pandan Wangi menjadi semakin berdebar-debar, tetapi ia masih saja berdiam diri.
Dalam pada itu masih saja terjadi pergolakan di dalam dada Argapati. Namun akhirnya ia berkata di dalam hatinya,
“Tak ada jalan lain. Aku harus mengatakannya. Rahasia yang selama ini aku simpan dalam-dalam di dalam lubuk hatiku, kini terpaksa aku katakan. Agaknya Ki Tambak Wedi sudah tidak dapat berpikir bening lagi. Apa boleh buat.”
Sekali lagi Argapati menarik nafas dalam-dalam, seolah-olah dadanya menjadi sesak untuk bernafas. Sementara itu malam  pun menjadi semakin malam. Di kejauhan terdengar tengara yang dibunyikan oleh para peronda yang berada di gardu-gardu di ujung-ujung padukuhan. Sahut-menyahut. Semakin lama semakin jauh. Ketika suara kentongan itu lenyap, maka malam kembali terlempar ke dalam kesenyapan. Lamat-lamat terdengar bunyi burung kedasih yang ngelangut.
“Sudah terlampau malam Wangi. Apakah kau belum mengantuk?”
Pandan Wangi menggelengkan kepalanya, “Belum, Ayah.”
“Biasanya kau sudah tidur, Wangi.”
“Tetapi malam ini aku tidak akan dapat tidur, Ayah. Aku selalu berdebar-debar saja. Keputusan Ayah untuk membuat perhitungan dengan Ki Tambak Wedi telah membuat aku cemas.”
“Itu adalah wajar sekali. Tetapi jangan terlampau dicengkam oleh kecemasan itu. Percayalah, bahwa ayah masih ingin tetap hidup. Karena itu, ayah pasti tidak akan dengan sukarela menyerahkan keputusan terakhir kepada ujung senjata Tambak Wedi yang bertajam rangkap itu. Meskipun demikian, semuanya terserah kepada Yang Maha Kuasa, Yang Maha Tahu yang menentukan segala-galanya. Apabila datang saatnya, apa pun yang aku lakukan, maka saat itu pun akan tetap menjemputku. Bahkan seandainya aku bersembunyi di dalam gendaga besi sekalipun, maka kekuasaan itu pasti akan berlaku juga.”
Tetapi kata-kata ayahnya itu justru telah membuat nafas Pandan Wangi menjadi sesak. Kerongkongannya terasa tersumbat dan matanya menjadi panas. Betapa  pun ia menahan hatinya, tetapi titik air matanya jatuh satu-satu di pangkuannya.

Pandan Wangi menangis. Sebagai seorang gadis yang sudah tidak beribu, kemungkinan-kemungkinan yang pahit itu telah membayanginya. Meskipun pada dasarnya Pandan Wangi bukan seorang gadis yang cengeng, tetapi menghadapi kemungkinan itu, ia tidak dapat menahan perasaannya lagi. Pandan Wangi yang sedang menangis itu kini benar-benar di dalam perwujudannya sebagai seorang gadis. Seolah-olah Pandan Wangi yang menangis itu bukan Pandan Wangi yang berjalan dengan tenang dan penuh mempunyai kepercayaan kepada diri sendiri dengan pedang rangkap di kedua lambungnya. Terhadap sentuhan-sentuhan yang paling dalam di dalam lingkungan keluarganya, di dalam ikatan-ikatan batin yang kuat, maka Pandan Wangi tidak dapat membanggakan ketangkasan dan kelincahannya menggerakkan senjata untuk melawannya. Pandan Wangi mengusap matanya, ketika ia mendengar ayahnya berdesah. Ia tahu benar, bahwa ayahnya tidak senang melihat air matanya menitik. Setiap kali ia menangis sejak kecilnya, ayahnya selalu berkata,
“Jangan menangis, Wangi. Hanya mereka yang berhati kecil sajalah yang sering menangis.”
Tetapi kali ini ayahnya tidak berkata demikian. Ayahnya itu hanya berdesah dalam nada yang berat.
Pandan Wangi mengangkat wajahnya, ketika ia mendengar ayahnya berkata,
“Pandan Wangi. Kalau kau masih belum mengantuk, maka Ayah ingin mengatakan sesuatu kepadamu. Tetapi tangkaplah kata-kata Ayah nanti dengan sikap dewasa. Dengan sikap yang matang. Mungkin hatimu akan terluka. Namun kemudian kau akan menyadari, bahwa kau sudah bukan anak-anak lagi. Kau akan segera mengerti, kenapa persoalan Ayah dan Ki Tambak Wedi berkembang terlampau cepat dan tanpa terkendali. Bahkan kau pasti sudah mendengar pula, bahwa persoalan ini telah disangkutkan pula dengan persoalan berpuluh tahun yang lampau yang terjadi pula di bawah Pucang Kembar itu.”
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak menjawab.
“Kau bersedia bukan, Wangi?”
Pandan Wangi tidak tahu maksud ayahnya. Tetapi sebelum ia bertanya, ayahnya melanjutkan,
“Bukankah kau bersedia untuk menahan setiap gejolak perasaanmu? Bukankah kau telah cukup dewasa untuk bersikap?”
Hati gadis itu menjadi semakin berdebar-debar. Tetapi hampir di luar sadarnya ia menganggukkan kepalanya.
Argapati menggeser dirinya secengkang. Diedarkannya pandangan matanya berkeliling, seolah-olah ingin meyakinkan dirinya, bahwa tidak ada seorang  pun di dalam pringgitan itu kecuali ia berdua saja bersama puterinya. Di kejauhan masih saja terdengar suara burung kedasih yang seakan-akan sedang meratapi nasibnya.
“Pandan Wangi,” berkata Argapati,
“aku terpaksa mengatakan sebuah rahasia kepadamu. Sebenarnya sebaiknya kau tidak usah mendengarnya sepanjang umurmu. Aku berharap bahwa rahasia ini akan dikubur bersama tubuhku kelak. Tetapi agaknya sikap Ki Tambak Wedi telah mendorongku untuk mengatakan kepadamu, supaya kelak kau tidak akan terkejut karenanya. Seandainya Ki Tambak Wedi tidak mengancam akan mengatakan rahasia ini kepada kakakmu Sidanti, maka aku  pun tidak akan berbuat serupa itu kepadamu. Namun agaknya aku tidak akan dapat menyimpannya lebih lama lagi. Selagi aku masih hidup, Wangi, aku akan dapat memberikan penjelasan kepadamu. Karena apabila aku sudah tidak ada, dan kau mendengarnya dari orang lain, Sidanti sendiri misalnya, maka tanggapanmu pasti akan berbeda. Apalagi kalau kau mendengar dari Ki Tambak Wedi.”
Kening Pandan Wangi menjadi semakin berkerut. Hampir di luar sadarnya ia bertanya,
“Apakah rahasia itu hanya diketahui oleh Ayah dan Ki Tambak Wedi saja?”
Argapati mengangguk, “Ya, Wangi.”
Mata Pandan Wangi yang suram memancarkan sebuah pertanyaan yang mencengkam hatinya, “Kenapa Ayah dan Ki Tambak Wedi?” Tetapi pertanyaan itu tidak pernah terucapkan. Meskipun demikian, Argapati dapat menangkap ungkapan pertanyaan yang dipancarkannya lewat sorot mata puterinya itu.
“Pandan Wangi,” berkata Argapati,
“yang mengetahui rahasia ini hanyalah aku dan Ki Tambak Wedi. Kenapa aku dan Ki Tambak Wedi? Jawabnya adalah sebagian dari rahasia itu sendiri.”
Wajah Pandan Wangi semakin lama menjadi semakin suram namun tegang.
“Tetapi ingat, Wangi. Kau sudah dewasa. Tanggapilah secara dewasa.”
Pandan Wangi mengangguk.
“Kau akan mendengarkan sebuah ceritera yang sangat menarik, tetapi sangat tidak menyenangkan hati,” berkata Argapati,
“tetapi itu adalah sebuah kenyataan yang tidak terelakkan. Sebab sudah terjadi. Kenyataan yang sudah terjadi, terjadilah. Tidak ada seorang  pun yang akan dapat menghapusnya. Yang dapat dilakukan adalah melupakannya atau merahasiakannya supaya tidak ada seorang  pun atau orang-orang yang datang di hari kemudian mengetahuinya. Tetapi kenyataan itu sendiri sudah berlaku.”
Pandan Wangi duduk dengan cemasnya. Wajahnya membayangkan kegelisahan yang sangat. Tetapi ia membeku saja seperti sebuah patung batu. Ditatapnya wajah ayahnya tajam-tajam, namun kemudian kepalanya itu pun ditundukkannya. Ia menunggu, apakah yang akan dikatakan oleh ayahnya. Sejemput angin yang silir menyusup di sela-sela lubang dinding mengguncangkan nyala pelita di dalam pringgitan itu. Dingin malam semakin lama semakin tajam menggigit kulit. Ketika di kejauhan terdengar lolongan anjing-anjing liar, maka bergetarlah sebuah hati mendengarkan ceritera yang selama ini menjadi rahasia yang paling dalam disimpan di dalam lubuk hati.

Pada saat-saat yang demikian itu, Sidanti duduk di hadapan gurunya di rumah Argajaya. Argajaya sendiri yang duduk pula bersama mereka, memandangi wajah Ki Tambak Wedi dengan tanpa berkedip. Pada saat yang hampir bersamaan, Ki Tambak Wedi itu  pun telah mulai pada ujung ceritanya, rahasia yang selama ini disimpannya pula di dalam hatinya.
“Aku terpaksa mengatakannya untuk kepentinganmu sendiri, Sidanti, supaya kau tidak salah menanggapi keadaan. Aku memang tidak dapat berbuat lain daripada membuat penyelesaian yang kau sesali itu. Tetapi apabila kau sudah tahu persoalannya, maka kau tidak akan mengutuk sepanjang umurmu.”
Sidanti tidak menyahut.
“Persoalan ini tidak tumbuh dengan serta-merta pada malam ini saja,” berkata gurunya pula,
“tetapi persoalan ini telah tersimpan berpuluh tahun di dalam lubuk hati kami. Di dalam dadaku dan di dalam dada Argapati. Kami telah mencoba untuk mengendapkannya dan tidak akan menyebutnya lagi. Tetapi dalam sentuhan persoalan serupa yang kita hadapi, maka aku tidak dapat bertahan dalam pendirian itu. Aku harus mempersoalkannya dan memecahkannya dengan cara lain. Tidak sekedar merahasiakan dan membawanya mati. Sebab aku sekarang merasakan, bahwa dengan demikian persoalan itu ternyata tidak terselesaikan. Persoalan itu hanya tertunda-tunda saja dan pada saatnya akan meledak juga.” Ki Tambak Wedi terdiam sejenak, lalu,
“Aku kira Argapati akan mengatakannya juga kepada Pandan Wangi.”
“Apakah sangkut pautnya Pandan Wangi dengan persoalan ini?”
“Persoalan ini akan mengejutkan kau dan Pandan Wangi.”
Sidanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia bergumam, “Kalau apa yang Guru katakan rahasia itu akan menyakitkan hati Pandan Wangi, maka alangkah sedihnya gadis itu. Kasihan. Sejak ibu meninggal, ia agaknya selalu bersedih hati.
“Apa boleh buat. Ia memang harus mengetahuinya pula, supaya kita masing-masing dapat menempatkan diri kita di tempat yang sewajarnya.”
Sidanti menjadi semakin gelisah. Tetapi ia tidak bertanya lagi, supaya gurunya segera mengatakan, apakah yang disebutnya dengan rahasia yang telah bertahun-tahun didekapnya di dalam dadanya itu.
“Kau akan mendengar sebuah kisah, Sidanti. Kisah yang tidak begitu menyenangkan hati, tetapi yang dalam saat serupa ini harus kau dengar. Kau harus berani mendengarnya, karena kau seorang yang jantan. Bukankah begitu?”
Sidanti menganggukkan kepalanya. Meskipun ia tidak menjawab, tetapi gurunya menangkap getar sorot matanya, bahwa anak muda itu telah bersedia mendengarkan apa saja yang akan dikatakannya. Di dua tempat yang terpisah, dua orang tua sedang mengisahkan sebuah kisah yang sama. Sebuah kisah yang selama ini mereka rahasiakan dalam-dalam. Tetapi oleh sentuhan persoalan yang mendapat tanggapan berbeda, maka rahasia yang selama ini terpendam itu ternyata terangkat kembali.

Argapati yang bergelar Ki Gede Menoreh sedang menceriterakannya kepada puterinya, Pandan Wangi, dan Paguhan yang kemudian menamakan dirinya Ki Tambak Wedi sedang memberitahukannya kepada Sidanti dan Argajaya. Ternyata keduanya tidak berusaha untuk menyembunyikan lagi bagian-bagian dari rahasia itu, sehingga ceritera mereka  pun hampir bersamaan pula. Dan kisah yang mereka ceriterakan itu terjadi beberapa puluh tahun yang lama. Di sekitar seperempat abad yang lalu, sejauh umur Sidanti itu sendiri.
Ketika itu, ketika bekas peralatan pengantin yang cukup meriah masih belum lenyap sama sekali, Arya Teja, pengantin laki-laki telah dibingungkan oleh sikap isterinya yang baru saja dikawininya. Hampir semalam suntuk isterinya menangis, sehingga di pagi harinya, masih saja ia murung di dalam biliknya. Bahkan kadang-kadang meledaklah pula tangis isterinya itu sambil menyembah-nyembah di bawah kakinya. Tetapi pengantin perempuan itu sama sekali tidak mengatakan apa  pun juga. Ia tidak menyebutkan sebabnya, kenapa ia menjadi bingung dan gelisah. Bahkan ketakutan. Arya Teja mencoba menunggu sampai hari kedua dan ketiga. Mungkin perkawinan itu telah menggoncangkan perasaan isterinya. Sebagai seorang gadis, maka perkawinan adalah batas waktu yang memisahkan antara dua dunia kehidupannya. Ia akan meninggalkan masa-masa gadisnya dan terjun ke dalam suatu dunia baru yang belum dikenalnya. Memang dunia yang belum dikenal itu akan dapat menumbuhkan ketakutan dan kecemasan.
“Wulan,” bertanya Arya Teja kepada isterinya, “kenapa kau selalu cemas, gelisah dan takut?”
Rara Wulan, isterinya itu, tidak pernah menjawab. Hanya tangisnya sajalah yang meledak-ledak.
Arya Teja menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak tahu, apakah yang telah terjadi dengan isterinya. Apakah ia sedang dibayangi oleh perasaan takut tentang dunianya yang baru atau oleh sebab-sebab yang lain?
Akhirnya kesabaran Arya Teja  pun menjadi semakin lama semakin tipis. Ia tidak dapat bertahan dalam keadaan itu. Ia  pun menjadi bingung dan bahkan sedih pula, sehingga pada suatu saat ia bertanya kepada isterinya,
“Wulan. Apakah kau menyesal?”
Seperti di saat-saat yang lewat, Rara Wulan hanya dapat menangis tanpa menjawab pertanyaan itu.
“Aku tidak dapat hidup dengan cara ini, Wulan. Aku tidak mengerti apa yang kau tangiskan. Tubuhnya sendiri akan rusak karenanya. Kini kau menjadi semakin kurus dan kering. Kecantikanmu pudar oleh air mata,” Arya Teja berhenti sejenak, lalu,
“Wulan. Aku sekarang adalah suamimu. Kalau kau selalu dibayangi oleh tangismu, maka aku  pun akan menjadi bersedih pula. Wulan. Apakah kita tidak dapat membagi kesulitan itu. Katakanlah, apakah yang membuatmu selalu menangis? Aku akan berusaha untuk menolongmu. Karena itu adalah kuwajibanku.”

Tetapi Rara Wulan masih saja menangis tanpa menjawab sepatah kata pun, sehingga Arya Teja menjadi kehabisan akal karenanya. Perkawinan yang demikian lama ditunggu-tunggunya, yang dibayangkannya, bahwa perkawinan itu akan menjadikannya berbahagia dalam hidup berumah tangga dengan gadis yang selama ini diangan-angankannya, ternyata sia-sia belaka. Bahkan ia seakan-akan telah terjun ke dalam suatu neraka yang paling pahit. Kalau Rara Wulan hanya dikejutkan oleh suatu dunia baru yang belum dikenalnya, maka ia tidak akan menangis berkepanjangan. Sehari, dua hari, tiga hari, bahkan pada hari-hari berikutnya rumah tangga mereka terasa menjadi semakin suram.
“Wulan,” berkata Arya Teja itu,
“beberapa tahun aku pergi merantau untuk kepentingan hidup kita di hari-hari mendatang. Aku mendapat penghargaan yang baik selama aku berada di Demak. Sultan Demak sendiri telah menganugerahkan banyak sekali kesenangan buat bekal hidup kita. Bahkan Kademangan Menoreh kini telah menjadi tanah perdikan, karena aku dianggap berjasa. Kademangan ayah yang sempit, kini menjadi luas dan mendapat bentuk yang lebih baik, Tanah Perdikan. Tanah perdikan yang dalam pemerintahannya sehari-hari telah diserahkan kepadaku pula, karena ayah telah terlalu lelah. Selain memang akulah yang mendapat anugerah bentuk baru dari daerah kademangan ini. Semuanya itu juga untukmu, Wulan. Tetapi kenapa kau tanggapi persoalan ini dengan air mata tanpa penjelasan apa pun?”
Rara Wulan masih belum menjawab. Hanya tangisnya sajalah yang menjadi semakin keras. Isaknya hampir-hampir telah menyumbat pernafasannya.
Arya Teja menjadi semakin bingung. Waktu yang ditunggu-tunggunya ternyata tidak seperti yang diharapkannya. Sejak orang tuanya mempertemukannya dengan gadis yang bernama Rara Wulan itu atas persetujuan semua pihak, beberapa tahun yang lalu sejak mereka masih terlampau muda, maka hatinya telah tertambat olehnya. Agaknya Rara Wulan  pun tidak berkeberatan apabila kedua orang tua masing-masing melanjutkan pembicaraan tentang mereka. Tetapi apa yang dihadapinya benar-benar sebuah neraka yang menyiksanya siang dan malam. Apalagi beberapa saat kemudian, Wulan yang selalu dibayangi oleh air matanya itu menjadi sakit. Penyakit yang membuat suaminya semakin bingung. Muntah-muntah dan pening. Ia dapat mendengar Wulan mengeluh tentang penyakitnya, tetapi isterinya tidak pernah mengatakan apa  pun tentang dirinya.
“Wulan, bagaimanakah keadaanmu? Sebenarnya kau tidak sakit, Wulan. Tetapi kau telah disiksa oleh perasaanmu sendiri. Kalau kau mau mengatakannya, mungkin hatimu akan menjadi ringan. Kau tidak akan merasakan lagi penyakitmu yang aneh itu,” Arya Teja mencoba menenteramkan hati isterinya.
Tetapi semua usaha Arya Teja tidak ada yang dapat meredakan kemuraman hati Rara Wulan. Tak ada cara yang dapat dilakukan oleh suaminya. Hati Rara Wulan seolah-olah telah pecah tanpa dapat dibentuk kembali.
“Oh,” Arya Teja mengeluh di dalam hati,
“aku akan dapat menjadi gila apabila aku tidak segera terlepas dari keadaan ini.”
Kebingungan Arya Teja pun memuncak ketika pada suatu saat, pada waktu ia berusaha untuk menenteramkan hati isterinya, seperti yang biasa dilakukan tanpa mengenal jemu, meskipun kesabarannya hampir lenyap sama sekali, ia mendengar isterinya sambil menyembah-nyembah meminta kepadanya sesuatu yang sama sekali tidak dimengertinya. Permintaan yang tidak dapat masuk diakalnya.
“Kakang, Kakang Arya. Bunuh sajalah aku Kakang. Aku akan terlepas dari siksaan yang selama ini mencekikku,” tangis Rara Wulan.
Dada Arya Teja bergetar, melampaui getar guruh yang meledak di langit. Ia duduk membeku di tempatnya seperti patung. Sedang isterinya bersimpuh di hadapannya sambil membasahi kainnya dengan air matanya.
“Kutuk apakah yang menimpa diriku,” desis Arya Teja itu di dalam hatinya,
“kenapa aku terjerumus ke dalam neraka yang hampir membuatku gila ini.”
“Kakang,” sekali lagi terdengar suara Rara Wulan,
“bunuh saja aku, Kakang. Aku tidak pantas untuk menjadi isterimu.”
Arya Teja menarik nafas dalam-dalam. Ia masih mencoba berkata lembut,
“Aku tidak mengerti Wulan. Kenapakah kau sebenarnya? Apakah kau selalu diganggu oleh seseorang atau oleh hantu-hantu?”

Tangis Rara Wulan menjadi semakin keras. Tetapi ia sudah tidak menjawab lagi. Berkali-kali Arya Teja mendesaknya. Tetapi yang terdengar hanyalah isak tangis isterinya saja. Dunia semakin lama serasa semakin sesak. Arya Teja merasa bernafas  pun agaknya sudah tidak dapat dilakukan lagi. Apalagi apabila dibayangkannya masa-masa mendatang. Gelap. Lebih gelap dari malam yang paling kelam. Ketika pada suatu hari Arya Teja sudah tidak dapat menahan diri lagi, maka pergilah ia kepada bibinya yang telah tua. Diceriterakannya masalahnya, tentang isterinya dan tentang penyakitnya. Arya Teja itu menjadi terheran-heran, ketika ia melihat bibinya itu justru tertawa. Tertawa berkepanjangan, sehingga air matanya meleleh di pipinya yang berkerut-merut oleh garis-garis ketuaannya.
“Oh, Ngger, Ngger,” katanya,
“kau memang masih terlampau bodoh. Kau adalah anak muda yang lugu dan dungu. Seharusnya kau pernah mendengar serba sedikit tentang penyakit seperti penyakit isterimu itu.”
Arya Teja menjadi semakin bingung. Dan suara tertawa bibinya  pun menjadi semakin berkepanjangan.
“Aku tidak mengerti, Bibi. Aku hampir gila dibuatnya.”
“Angger Arya Teja,” berkata bibinya,
“ketahuilah, bahwa penyakit yang demikian adalah penyakit yang wajar, hinggap pada pengantin baru. Dalam keadaan yang demikian, perempuan memang kadang-kadang menjadi aneh. Sifatnya seakan-akan berubah. Ada-ada saja tingkahnya. Suami yang tidak dapat mengerti keadaan isterinya, memang dapat menjadi bingung, dan bahkan kadang-kadang ada yang setiap hari menjadi marah dan memaki-maki isterinya yang berbuat aneh-aneh itu.”
“Bibi?” dada Arya Teja menjadi berdebar-debar. Dan bibinya masih saja tertawa.
“Mungkin sekarang kau sudah mengetahuinya. Isterimu pasti sedang mengandung muda.”
Kata-kata itu meledak seperti petir yang menyambar kepalanya. Wajah Arya Teja menyadi tegang dan matanya seolah-olah membara. Keringat dingin mengalir dari segenap permukaan kulitnya.
“Bibi,” ia tergagap. Tetapi kata-katanya seakan-akan tersumbat di kerongkongan.
“Jangan gugup, Ngger,” berkata bibinya, “Kau harus mengucap syukur, bahwa perkawinanmu segera akan berbuah.”
“Tetapi ………”
“Tetapi, tetapi apalagi, Ngger. Tidak ada tetapi. Kau tinggal mengucap syukur dan terima kasih. Isterimu sudah sampai pada saatnya menyiapkan dirinya untuk menjadi ibu. Isterimu harus lebih sering lagi jejamu agar menjadi tetap sehat dan tidak menjadi pucat.”
“Bibi, tetapi, tidak mungkin. Tidak mungkin.”
“He?” bibinya mengerutkan keningnya yang memang sudah berkerut.
“Bagaimana mungkin, Bibi. Kami baru beberapa hari kawin. Sejak kami kawin, isteriku selalu menangis melolong-lolong. Bahkan isteriku pernah minta kepadaku, supaya aku membunuhnya saja.”
“He?” kini yang terkejut bukan buatan adalah bibinya.
Wajahnya yang berkerut-merut menjadi pucat. Terdengar suaranya gemetar, “Apa katamu he, Arya Teja?”
“Isteriku berlaku demikian sejak kami kawin. Kami sama sekali belum pernah menikmati ketenteraman di dalam hari-hari perkawinan kami. Apalagi ketika ia menjadi sakit-sakitan. Bahkan ia minta aku untuk membunuhnya.”
“Ampun, ampun,” orang tua itu tiba-tiba meratap,
“ya, ya. Aku lupa, bahwa kau baru beberapa minggu kawin. Tetapi isterimu itu? Tanda-tanda dan kelakuannya mengatakan kepadaku, bahwa isterimu sedang mengandung.”
“Tidak mungkin, Bibi. Tidak mungkin.”
“Oh, kalau begitu kau adalah laki-laki yang durhaka. He, agaknya kau tidak menunggu sampai saat perkawinanmu. Sekarang kau menjadi bingung sendiri. Persetan dengan kau, Arya Teja. Aku tidak senang mempunyai kemanakan seperti itu.”
“Bibi. Tidak. Itu  pun tidak. Sungguh Bibi. Aku adalah seorang putera demang yang kemudian mendapat anugerah untuk mengangkat diri sebagai Kepala Tanah Perdikan karena jasa-jasaku bagi Demak. Apakah aku masih sempat untuk mengotori namaku dengan nafsu yang gila itu.”
Bibi Arya Teja itu tidak segera menyahut. Ditatapnya saja wajah kemanakannya. Tetapi dari sorot matanya, Arya Teja dapat menangkap perasaan yang aneh pada bibinya itu. Apalagi ketika kemudian bibinya memalingkan wajahnya, melemparkan pandangan matanya ke luar, menembus lubang pintu yang tidak tertutup rapat.
“Bibi,” terdengar suara Arya Teja gemetar, “apakah Bibi tidak percaya?”
Perempuan tua itu berpaling. Sekilas ditatapnya sekali lagi wayah Arya Teja. Namun segera orang tua itu berpaling pula dan melontarkan pandangan matanya jauh-jauh.
“Bibi,” suara Arya Teja menjadi semakin bergetar, “apakah Bibi tidak percaya?”
Bibinya tidak menyahut. Tetapi wajah itu menjadi bersedih.
Arya Teja menarik nafas dalam-dalam. Terdengar ia berdesis,
“Baiklah kalau Bibi tidak percaya. Mudah-mudahan dugaan Bibi atas penyakit isteriku itu salah.”
Bibinya masih berdiam diri.
Arya Teja kemudian tidak lagi dapat duduk dengan tenang, ia menjadi gelisah dan cemas. Bahkan kadang-kadang terasa debar jantungnya menjadi semakin deras. Akhirnya Arya Teja tidak dapat bertahan lagi duduk di hadapan bibinya yang diam. Kalau sekali-sekali Arya Teja memandangi wajah orang tua itu, maka dilihatnya seolah-olah wajah yang sudah berkerut-merut itu menjadi terlampau suram.
“O, apakah anggapan Bibi terhadapku sebenarnya?” pertanyaan itu selalu mengganggu perasaan Arya Teja.
Karena itu, maka dadanya itu  pun kemudian bergolak.
“Aku harus mendapat penjelasan,” katanya di dalam hati,
“Penjelasan dari orang yang bersangkutan. Langsung. Aku tidak mau selalu dicengkam oleh pertanyaan-pertanyaan yang sangat menyakitkan hati.”
Tiba-tiba Arya Teja itu pun bergeser dari tempatnya sambil berkata,
“Bibi, aku mohon diri. Aku ingin tahu, apakah yang sebenarnya telah terjadi?”
“Arya Teja,” suara bibinya terlampau serak,
“aku tidak melihat keadaan isterimu. Sehingga dengan demikian, aku tidak akan dapat mengatakan apakah yang dideritanya dengan tepat. Aku hanya menduga-duga. Mudah-mudahan seperti katamu, dugaanku salah.”
Arya Teja menundukkan kepalanya. Ia tidak dapat menjawab kata-kata bibinya itu.
“Kalau kau mau pulang, pulanglah, Ngger. Tetapi kau jangan diburu oleh perasaanmu tentang isterimu. Kau harus bersabar dan mencoba melihat penyakitnya semakin teliti. Lain kali aku akan datang, dan melihat keadaan isterimu. Mudah-mudahan aku dapat mengatakan serba sedikit tentang penyakitnya, meskipun tidak tahu benar.”
“Ya, Bibi. aku sangat mengharap kedatangan Bibi di rumah. Aku belum mengatakan kepada orang lain kecuali Bibi. Kepada keluargaku yang lain  pun belum. Belum juga kepada ayah dan ibu.”

Perempuan itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Baiklah. Jangan kau katakan kepada siapa  pun juga. Kau sudah cukup dewasa untuk menyelesaikannya sendiri. Tetapi, kau harus cukup dewasa pula menanggapi setiap keadaan. Isterimu sedang sakit. Jangan kau perberat penyakitnya dengan berbagai macam dugaan.”
“Ya, Bibi,” jawab Arya Teja. Tetapi ia sendiri tidak dapat meyakini dirinya sendiri, apakah ia akan dapat menghadapi keadaan itu dengan bijaksana. Apalagi apabila kata-kata bibinya tentang penyakit isterinya itu benar.
Arya Teja  pun kemudian dengan tergesa-gesa pulang ke rumah. Rumah yang belum lama di tempatinya bersama isterinya. Rumah yang dibangunnya sesuai dengan kedudukan yang akan dipangkunya. Bukan sekedar seorang Demang menggantikan ayahnya yang sudah terlampau tua, tetapi ia berwenang menyebut dirinya Kepala Tanah Perdikan yang diperkuat dengan kekancingan yang diterimanya dari Sultan Demak sebagai tanda terima kasih kepada lelabuhan Arya Teja. Langkahnya yang panjang-panjang itu semakin lama menjadi semakin cepat seperti getar jantung di dadanya. Semakin lama ia merenungkan diri, melimbang-limbang apakah yang sebenarnya telah terjadi dengan isterinya, maka darahnya seakan-akan menjadi semakin cepat mengalir.
“Seandainya benar kata Bibi,” desahnya, “apakah dosa yang telah aku perbuat?”
Arya Teja hanya dapat menarik nafasnya dalam-dalam untuk menenteramkan hatinya. Tetapi setiap kali hati itu bergelora semakin dahsyat dan dahsyat. Sehingga sama sekali tidak diperhatikannya, ketika seorang yang berjalan di belakangnya, selalu saja mengikutinya dengan pandangan penuh kecurigaan. Arya Teja tidak pernah berjalan demikian tergesa-gesa, bahkan dengan sikap yang sangat gelisah. Dengan pandangan lurus ke depan, seolah-olah menembus segala macam gerumbul dan rerungkudan, langsung menghunjam ke pusat rumahnya, hinggap pada tubuh isterinya yang berbaring di pembaringannya sambil mengusap air mata.
“Hem, kenapa Arya Teja berjalan demikian tergesa-gesa setelah ia bertemu dengan bibinya?” pertanyaan itu tumbuh di hati orang yang mengikutinya itu. Namun ia sama sekali tidak berusaha menyusul Arya Teja dan bertanya kepadanya, meskipun orang itu telah mengenalnya dengan baik.
Ternyata gelora di dada Arya Teja sama sekali tidak mereda. Semakin dekat ia dengan halaman rumahnya, maka hatinya serasa semakin pepat, terhimpit oleh getar yang semakin bergejolak di dadanya. Berbagai bayangan hilir mudik di dalam rongga matanya. Bayangan tentang dirinya sendiri, tentang isterinya, tentang rumah tangganya dan tentang segala macam kemungkinan yang dapat terjadi. Bahkan kemungkinan yang paling pahit sekalipun. Dada Arya Teja terasa benar-benar menjadi pepat ketika ia telah menginjakkan kakinya di halaman rumahnya. Tubuhnya serasa menjadi gemetar, dan keringat yang dingin menghembus di segenap wajah kulitnya. Arya Teja menarik nafas dalam-dalam untuk mencoba menenangkan hatinya. Langkahnya pun kemudian diperlambatnya. Ketika kakinya sudah menyentuh tangga pendapa rumahnya, maka ditekankannya telapak tangannya di dadanya.
“Aku tidak boleh menjadi gila karenanya,” katanya di dalam hati. Terngiang kembali kata-kata bibinya.
“Tetapi Kau jangan diburu oleh perasaanmu tentang isterimu. Kau harus bersabar dan mencoba melihat penyakitnya semakin teliti,” dan kemudian,
“Kau sudah cukup dewasa untuk menyelesaikannya sendiri. Tetapi kau harus cukup dewasa menanggapi setiap keadaan, isterimu sedang sakit. Jangan kau perberat penyakitnya dengan berbagai-macam dugaan.”
“Ya,” Arya Teja berdesis,
“aku harus menyadari setiap persoalan. Aku tidak boleh kehilangan akal dan nalar.”

Perlahan-lahan Arya Teja melangkahkan kakinya. Pendapa yang diinjaknya serasa bergoncang. Kepalanya menjadi terlampau berat dan urat-urat di keningnya menjadi tegang.
“Ah, aku tidak boleh menjadi gila,” desisnya. Tetapi ia tidak dapat mengingkari, bahwa dadanya telah dilanda oleh arus darahnya yang menjadi semakin cepat menyusuri pembuluh-pembuluhnya. Dengan jantung yang berdentangan, Arya Teja memasuki rumahnya. Rumah yang dirasanya terlampau sepi. Bahkan rumah itu telah menjadi neraka yang membakarnya hidup-hidup sejak ia mengawini gadis yang selama ini diimpi-impikannya. Ketika Arya Teja masuk ke dalam biliknya, dilihatnya isterinya sedang berbaring. Tetapi desir telapak kakinya telah mengejutkannya sehingga isterinya itu bangkit dan duduk di tepi pembaringannya.
“Oh,” desahnya, “Kau sudah datang, Kakang?”
Arya Teja melihat wajah isterinya yang pucat. Tubuhnya yang semakin lama semakin kurus, bahkan semakin kering. Perlahan-lahan maka gelora di dalam dadanya menjadi lilih. Isterinya memang baru sakit. Dan bibinya berpesan,
“Jangan kau perberat penyakitnya dengan berbagai macam dugaan.”
“Tidurlah, Wulan,” tiba-tiba terloncat kata-kata itu dari mulutnya. Kata-kata yang lembut penuh iba,
“Bukankah kau baru sakit?”
Arya Teja melihat Rara Wulan menggelengkan kepalanya,
“Tidak, Kakang. Aku tidak sakit.”
Arya Teja tidak segera menjawab. Ia duduk di atas sebuah dingklik kayu dekat di samping pembaringan isterinya.
“Kau pucat, Wulan. Apakah kau masih pening dan akan muntah?” pertanyaan itu begitu saja meloncat dari mulut Arya Teja.
Rara Wulan tidak menjawab. Tetapi dada Arya Teja mulai bergetar lagi ketika ia melihat mata isterinya menjadi basah. Apalagi ketika sesaat kemudian isterinya mulai terisak. Dada Arya Teja mulai menjadi pepat. Karena itu maka justru ia terdiam. Ia duduk saja seperti patung sambil memandang jauh menembus lubang pintu bilik itu. Tetapi isak isterinya yang mengeras telah benar-benar mengganggunya. Setelah sejenak ia dicengkam oleh perasaan iba, maka kini ia kembali dilemparkan ke dalam kegelisahan yang sangat. Sejenak ruangan itu menjadi hening. Namun isak Rara Wulan menjadi semakin keras. Arya Teja itu terkejut ketika kemudian isterinya terbatuk-batuk dan mulai diganggu lagi oleh penyakitnya. Muntah-muntah. Arya Teja segera berdiri. Dipanggilnya seorang pelayannya untuk mengambil pasir dan ditaburkannya di bawah pembaringan Wulan yang sedang muntah-muntah.
“Wulan,” dada Arya Teja mulai gemetar, “apakah sebenarnya penyakitmu itu?”
Ketika pertanyaan itu menyentuh telinganya, maka meledaklah tangis Rara Wulan yang sedang muntah-muntah itu. Tetapi oleh tekanan perasaan yang menghimpit jantungnya, maka justru ia berhenti muntah. Kini ia duduk sambil menangis sejadi-jadinya.
“Wulan,” Arya Teja menjadi semakin cemas,
“apakah kau tidak dapat mengatakan, penyakit apakah yang sebenarnya sedang kau tanggungkan? Apakah kau sedang menderita sakit panas dingin? Apakah perutmu terasa mual ataukah sakit apa lagi?”
Tidak ada jawaban selain suara tangis isterinya.
“Oh,” Arya Teja menjadi semakin bingung. Ia berjalan mondar-mandir. Sekali-sekali dihentakkannya kakinya, namun kemudian diingatnya lagi pesan bibinya. Tetapi ternyata bukan saja pesan bibinya itu yang teringat olehnya. Tetapi juga sikap bibinya yang mengherankan pada mulanya. Bibinya itu justru tertawa-tawa mendengar keterangannya tentang penyakit isterinya.
“Benarkah?” tiba-tiba pertanyaan itu meledak di kepalanya. Dengan dada yang bergelora Arya Teja mendekati isterinya.
Ditatapnya isterinya yang sedang menangis itu berlama-lama. Tetapi pertanyaan itu tidak juga terloncat dari mulutnya. Arya Teja tidak mempunyai cukup kekuatan untuk melontarkan pertanyaan itu. Ia mencemaskan keadaan isterinya dan keadaannya sendiri apabila ia mendengar jawaban isterinya itu, jika dugaan bibinya itu benar.
“Tetapi, apakah aku akan tinggal di dalam neraka ini untuk seterusnya?” ia mencoba menggeretakkan giginya. Tetapi hatinya kemudian menjadi luluh lagi.
“Wulan,” katanya perlahan-lahan, “tidurlah. Kau harus segera sembuh. Kau tidak boleh selalu disiksa oleh duka dan air mata. Meskipun aku tidak tahu sebabnya, tetapi aku dapat merasakannya.”
Tiba-tiba Rara Wulan itu membanting dirinya bersimpuh di hadapan suaminya. Kata-kata yang lembut itu justru semakin menyiksanya. Dengan pilu ia meratap,
“Bunuh saja aku, Kakang. Bunuhlah aku.”

Dada Arya Teja terguncang mendengar permintaan itu. Permintaan itu telah seribu kali didengarnya. Tetapi setelah ia mendengar dugaan bibinya tentang penyakit isterinya, maka tanggapannya menjadi lain. Karena itu, maka tiba-tiba giginya gemeretak dan matanya menjadi seakan-akan menyala. Ditatapnya saja tubuh isterinya yang bersimpuh di hadapannya. Didengarnya suara tangisnya yang serak dan dilihatnya titik-titik air matanya yang menetes membasahi kakinya. Dada Arya Teja itu pun kemudian terasa bergolak semakin dahsyat. Bahkan serasa akan meledak karenanya. Berbagai macam prasangka telah mencengkam hatinya. Prasangka tentang isterinya, penyakitnya dan sikapnya.
Tiba-tiba saja terdengar Arya Teja itu menggeram,
“Pasti. Pasti hal itu telah terjadi.”
Tetapi isterinya yang menangis itu tidak mendengar suaminya menggeram dan menggeretakkan giginya. Ia masih saja menangis dan bahkan diulanginya permintaannya,
“Kakang, bunuh saya aku, Kakang, daripada hidupku akan tersiksa di sepanjang umurku.”
Tubuh Arya Teja menjadi gemetar. Pertanyaan yang selama ini tersimpan di dadanya, tiba-tiba meledak tanpa dapat dikendalikannya lagi. Justru karena selama ini ia tidak mempunyai cukup kekuatan untuk melontarkannya, maka ledakannya ternyata menjadi sangat mengejutkan tidak terkendali.
Tiba-tiba tangan Arya Teja yang kokoh kuat itu mencengkam pundak isterinya, Rara Wulan. Diguncangnya tubuh isterinya itu sambil berteriak,
“Wulan, Wulan. Katakan, katakan. Apakah kau sedang sakit?”
Rara Wulan terkejut sehingga tangisnya tertahan. Tetapi ketika ia menengadahkan wajahnya, hampir yang menjerit ketakutan. Dilihatnya wajah suaminya yang tegang, dan sepasang matanya yang membara. Ia belum pernah melihat wajah Arya Teja demikian menakutkan seperti saat ini.
“Katakan, Wulan. Apakah penyakitmu itu, he?”
Rara Wulan masih terbungkam. Tetapi kemudian ia menggigil ketakutan. Dada Arya Teja yang serasa telah bengkah itu, benar-benar tidak dapat ditahankannya lagi. Sekali lagi meledaklah pertanyaannya yang serasa menghentikan arus darah Rara Wulan,
“Wulan, apakah kau sedang mengandung, he?”
Sejenak Rara Wulan membeku di tempatnya. Wajahnya yang pucat kian menjadi pucat. Arya Teja yang sedang diamuk kegelisahan, kegelisahan, kecemasan dan kebingungan itu melihat Rara Wulan bergeser secengkang surut. Dilihatnya pula bibir perempuan itu bergerak-gerak, tapi tidak sepatah kata  pun yang meluncur dari sela-sela mulutnya.
“Katakan, katakan. Apakah kau sedang mengandung?” Rara Wulan masih belum menjawab, tetapi wajahnya kian menjadi pucat seputih kapas.
“Katakan, katakan,” Arya Teja berteriak. Ketika Rara Wulan tidak segera menjawab, maka terdengar Arya Teja itu menjadi semakin keras berteriak,
“Apakah kau sudah menjadi ibu, he? Ayo katakan!”
Arya Teja itu kemudian mengibaskan tangan Rara Wulan yang menggenggam kakinya erat-erat sehingga perempuan itu terdorong mundur.
“Kenapa kau diam saja, he? Katakan, ya atau tidak?”

Rara Wulan benar-benar terbungkam. Kini ia tertelungkup di lantai. Suara Arya Teja benar-benar seperti beribu-ribu petir yang menyambar-nyambar di atas kepalanya.
“Wulan,” berkata Arya Teja yang matanya menjadi semakin menyala,
“selama ini aku memandangmu sebagai seorang bidadari yang bersih, yang putih tanpa setitik noda pun yang lekat di tubuhmu. Tetapi, katakan, apakah benar begitu?”
Arya Teja itu surut selangkah ketika tiba-tiba ia melihatnya bangkit. Rara Wulan yang sudah sampai ke puncak ketakutannya justru sudah tidak menangis lagi. Ia mencoba mengusap air matanya dengan ujung bajunya. Ketika ia sudah duduk, maka ditengadahkannya wajahnya.
“Kakang,” suara itu gemetar, “apakah aku harus menjawab pertanyaan itu?”
Arya Teja-lah yang kemudian terdiam sesaat. Hatinya yang bergolak menjadi semakin bergolak. Sekali lagi ia diterkam oleh ketakutan. Kalau isterinya itu nanti menjawab pertanyaanya, apakah jawabnya tidak akan membuatnya gila.
Tetapi sekali lagi perasaanya meledak,
“Ya, kau harus menjawabnya. Kau tidak akan dapat ingkar lagi dari kenyataan.”
Wajah Rara Wulan yang pucat itu kini justru dijalari oleh warna darahnya. Semakin lama semakin merah. Dan dengan suaranya yang gemetar, terdengar jawabnya,
“Kakang. Sudah aku katakan, bunuh saja aku. Aku memang sudah tidak sepantasnya menjadi isterimu karena aku memang sudah bernoda.”
Jawaban itu menyambar perasaan Arya Teja seperti guruh yang memecahkan jantungnya. Sejenak ia terhenyak dalam kebekuan seperti patung yang mati. Matanya memancarkan perasaan yang asing dan mulutnya terkatup rapat-rapat.
Dan Arya Teja yang membeku itu mendengar isterinya berkata,
“Karena itu, Kakang, cara yang paling baik bagimu dan bagiku adalah, bunuhlah aku.”
Dunia ini serasa sudah tidak diinjaknya lagi. Arya Teja merasa dirinya seperti terbang menerawang dalam dunia yang asing. Bukan sekedar sebuah mimpi yang mengerikan, tetapi ia merasa bahwa ia terlempar dalam kesenyapan yang dahsyat. Semuanya seolah-olah menjadi semakin menjauh, menjauh daripadanya. Akhirnya dunianya yang selama ini dimilikinya, seolah-olah hilang. Hilang. Dan Arya Teja merasa dirinya berada dalam kekosongan yang paling dalam, dibakar oleh kesepian dan kebekuan yang paling dahsyat.
Arya Teja itu terhuyung-huyung surut sehingga tubuhnya tersandar pada dinding biliknya. Meskipun matanya masih terbuka, tetapi seolah-olah ia sudah tidak melihat lagi, meskipun telinganya masih ada, tetapi seolah-olah pepat dan tidak didengarnya apa pun.

Namun kemudian, api yang membara di dadanya bergolak menyala semakin dahsyat seperti api neraka. Perlahan-lahan api telah memanasi darahnya kembali. Perlahan-lahan Arya Teja itu jejakkan kakinya di dunia yang penuh murka, kemarahan dendam. Dunia yang dibakar oleh nafsu manusiawi yang menghancurkan. Sakit hati. Dengan sorot mata yang aneh dipandanginya isterinya yang masih saja duduk di lantai. Isterinya dianggap akan dapat mendampinginya hidup dalam ketenteraman, tetapi ternyata telah menyeretnya ke dalam neraka yang paling pedih. Dalam luapan perasaanya, Arya Teja itu melihat seakan Rara Wulan itu kini bukanlah perempuan yang selama ini telah didambakannya untuk menjadi isterinya. Wajah isterinya yang lembut dan sejuk itu, tiba-tiba telah berubah menjadi wajah hewan betina yang paling terkutuk. Wajah yang penuh dengan noda yang paling kotor yang pernah dilihatnya. Sejenak Arya Teja mencoba menahan gejolak perasaannya, tetapi ternyata ia kemudian terseret oleh arus yang dahsyat yang mendamparkannya ke dalam suatu keadaan yang sama sekali tidak berdaya untuk melawan luapan sakit hatinya. Lupa diri. Tiba-tiba Arya Teja itu menggeretakkan giginya. Dengan kaki yang gemetar ia selangkah maju mendekati isterinya yang masih duduk di lantai. Dengan wajah yang membara ia menggeram,
“Setan betina kau Wulan! Tidak pantas kau hidup lagi di rumah ini. Karena itu, lebih baik aku memenuhi permintaanmu. Aku bunuh kau!”
Tangan Arya Teja yang gemetar tiba-tiba telah meraih hulu kerisnya. Keris pusaka yang selama ini hampir tidak pernah ditarik dari wrangkanya. Namun keris itu kini telah berada di tangannya. Keris yang seolah menyalakan api dendam yang membara di dadanya.
Rara Wulan melihat Arya Teja itu mengangkat kerisnya dengan wajah yang merah tegang. Sejenak suaminya itu memejamkan matanya, dan Rara Wulan yang sudah pasrah itu pun memejamkan matanya pula.
Tetapi tiba-tiba Arya Teja tertegun sejenak. Gelora di dadanya terguncang semakin dahsyat ketika ia mendengar jerit seorang perempuan memanggil namanya,
“Arya Teja. Apakah yang kau lakukan itu?”
Tubuh Arya Teja menjadi gemetar, dan keris di tangannya  pun menjadi gemetar pula. Terasa pergelangan tangannya ditahan oleh jari-jari yang lembut. Meskipun tangan yang menahannya itu sama sekali tidak mempunyai tenaga, tetapi terasa bahwa tangannya seakan-akan tidak mampu lagi digerakkannya.
Dan Arya Teja mendengar lagi suara itu,
“Arya Teja. Apakah yang kau lakukan itu?”
Perlahan-lahan Arya Teja membuka matanya. Di sampingnya berdiri seorang perempuan tua. Bibinya.
“Kenapa Bibi menahan aku?” terdengar suara Arya Teja gemetar.
“Kau telah membuat kesalahan yang akan kau sesali sepanjang hidupmu.”
“Aku tidak memerlukannya lagi, Bibi. Ia menodai perkawinan kami. Dan ia sendiri minta aku untuk membunuhnya.”
“Aku sudah menyangka, bahwa kau akan kehilangan akal. Itulah sebabnya hatiku sama sekali tidak tenteram ketika kau meninggalkan rumahku.”
“Ia akan menjadi hantu yang akan menyiksa hidupku, Bibi. Biarlah, biarlah aku lenyapkan saja perempuan itu, supaya aku terlepas dari neraka ini.”
“Aria Teja. Kau akan menyesal.”
“Tidak. Tidak. Aku tidak akan menyesal sama sekali. Lepaskan, Bibi. Biarlah aku membunuhnya. Kalau Bibi tidak sampai hati untuk menyaksikannya, tinggalkanlah kami di sini.”
“Jangan menjadi mata gelap, Ngger.”
Darah Arya Teja menjadi semakin menyala, ketika ia mendengar Rara Wulan menyahut, “Biar, Bibi. Biarlah Kakang Arya Teja membunuhku. Itu adalah penyelesaian yang baik, baik baginya dan bagiku sendiri.”
“Nah, bukankah Bibi mendengar?” suara Arya Teja meninggi.
“Iblis itu menantangku. Lepaskan Bibi, biarlah aku membunuhnya. Apakah darahnya juga merah seperti darah manusia yang bersih.”
Tetapi bibinya tidak melepaskan tangan Arya Teja. Tangan laki-laki yang sedang dibakar oleh kemarahannya itu masih dipegangnya. Dengan cemasnya ia berkata,
“Jangan, jangan Ngger. Jangan.”

Arya Teja telah benar-benar menjadi waringuten. Ia sudah tidak dapat lagi berpikir. Yang ada di dalam dirinya hanyalah api kemarahan dan sakit hati. Itulah sebabnya, maka tanpa dikehendakinya sendiri, didorongnya bibinya yang tua itu sehingga terhuyung-huyung beberapa langkah. Untunglah, bahwa tubuhnya yang lemah itu tersandar pada dinding sehingga ia tidak jatuh tertelentang. Begitu tangan bibinya terlepas, maka dengan menggeram sekali lagi Arya Teja mengangkat kerisnya,
“Kau harus mati. Kau harus mati.”
Tetapi ia masih mendengar suara bibinya melengking,
“He, kau gila Arya Teja. Kau gila. Bunuhlah perempuan itu menurut kehendakmu, apalagi ia adalah isteri yang mengkhianatimu. Tetapi kau akan berdosa tujuh kali lipat karena kau membunuh juga nyawa yang sama sekali tidak berdosa. Bayi di dalam kandungan perempuan itu.”


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar