SEKALI-SEKALI
terdengar petir bersabung di udara. Setiap kali suaranya menggelegar memenuhi
lereng Gunung Merapi. Hujan diluar seakan-akan tercurah dari langit. Agung
Sedayu masih duduk menggigil di atas amben bambu. Wajahnya menjadi kian pucat.
Udara sangat dingin dan suasana sangat mencemaskan.
“Aku akan
berangkat” tiba-tiba terdengar suara kakaknya, Untara dengan nada rendah.
Agung Sedayu
mengangkat wajahnya yang pucat. Dengan suara gemetar ia berkata,
“Jangan,
jangan kakang berangkat sekarang”
“Tak ada
waktu” sahut kakaknya,
“sisa2 laskar
Arya Penangsang yang tidak mau melihat kenyataan menjadi gila dan liar. Aku
harus menghubungi paman Widura di Sangkal Putung. Kalau tidak, korban akan
berjatuhan. Anak-anak Paman Widura akan mati tanpa arti. Serangan itu akan
datang demikian tiba- tiba”.
“Tidakkah ada
orang lain yang dapat menyampaikan berita itu?” Potong adiknya.
“Tak ada orang
lain” sahut kakaknya.
“Tetapi….”
bibir Sedayu gemetar.
“Aku harus
pergi” Untara segera bangkit. Tetapi tangan adiknya cepat2 menggapai kainnya.
“Jangan,
jangan” adiknya berteriak,
“aku takut”
Untara menarik
nafas panjang. Katanya,
“kau hanya
akan berada di rumah ini sendirian malam nanti. Besok kau pergi ke Banyu Asri.
Kau akan tinggal di sana sampai aku pulang”.
“Aku takut,
justru malam ini” sahut adiknya,
“bagaimana
kalau laskar yang liar itu datang kemari”
“Mereka tak
akan datang kemari” jawab kakaknya,
“aku tahu
pasti. Mereka akan menyergap Paman Widura. Karena itu aku harus pergi”
“Tidak–tidak”
mata Sedayu mulai basah. Dan akhirnya dari matanya itu melelehkan air mata.
Sekali lagi
Untara menarik nafas panjang-panjang. tanpa sesadarnya ia terlempar kembali,
duduk di samping adiknya. Hatinya menjadi bingung. Ia tidak dapat berpangku
tangan terhadap laskar Widura yang sedang terancam bahaya. Tetapi adiknya
benar-benar penakut. Anak yang telah mendekati usia 18 tahun itu sama sekali
menggantungkan dirinya kepada orang lain. Sepeninggal ayahnya beberapa tahun
yang lampau dan ibunya yang baru beberapa bulan, maka anak itu hampir tidak
pernah berpisah darinya. Apalagi di dalam kekalutan keadaan seperti saat itu.
Sehingga dengan demikian Untara merasa seakan-akan memelihara anak bayi.
“Sedayu”
katanya kemudian,
“umurmu telah
hampir 18 tahun. Dalam usia itu Adipati Pajang yang dahulu bernama mas Karebet,
telah menggemparkan Demak, dan sekarang dalam usia yang muda pula, Sutawijaya
berhasil melawan Penangsang yang perkasa”
“Aku bukan
mereka” jawab Sedayu
Untara
mengeleng-gelengkan kepalanya, katanya,
“setidak-tidaknya
kau harus malu kepada dirimu sendiri”
“Tetapi aku
takut” Sedayu tidak menghiraukan kata-kata kakaknya.
Kembali Untara
termenung. Adalah salahnya sendiri, apabila pada masa kanak-kanaknya adiknya
itu terlalu dilindunginya. Kenakalan kawan-kawannya pasti akan dihadapinya.
Karena itulah maka Sedayu terlalu tergantung padanya. Dan sampai masa
dewasanya, ia tidak mampu berdiri di atas kakinya sendiri. Meskipun adiknya itu
selangkah dua langkah diajarnya juga cara-cara membela diri dan di dalam
latihan-latihan dapat juga menunjukkan kelincahan dan ketangkasan, namun
kelincahan dan ketangkasannya itu terbatas di belakang dinding-dinding
rumahnya. Hatinya terlalu kecil untuk berhadapan dengan dunia. Terasa betapa
kerdil jiwanya. Apalagi setelah didengar oleh Agung Sedayu, betapa laskar
Penangsang yang sedang berputus asa itu berkeliaran di lereng gunung Merapi. Untara
kini benar-benar kebingungan. Ia menjadi gelisah, sedang waktu merambat terus
ke pusat malam. Dan hujan masih saja memukul atap-atap rumah dan dedaunan. Tiba-tiba
Untara mengangkat wajahnya, gumamnya,
“Bagaimana
kalau kau ikut”. Namun terasa hatinya sendiri beragu. Kalau ada bahaya di perjalanan
dan adiknya itu kena cidera, maka seluruh sanak keluarganya, terutama paman dan
bibinya di Banyu Asri akan menyalahkannya.
Agung sedayu
memandang wajah kakaknya yang suram. Ia tidak mengerti kenapa kakaknya, pada
malam yang gelap dan hujan yang pekat, memaksa diri pergi ke Sangkal Putung.
Ketika Sedayu sedang mencoba untuk berpikir, terdengar kakaknya berkata,
“Bagaimana Sedayu? Kau tinggal di rumah, atau kau ikut serta?”
“Kedua-duanya
tidak menyenangkan” jawab Agung Sedayu.
“Kau harus
memilih salah satu dari keduanya” jawab kakaknya, yang akhirnya tidak menemukan
jalan lain. Sebab yang melingkar-lingkar di dalam dadanya adalah,
“laskar paman
Widura harus diselamatkan”, dan itu adalah kewajibannya.
Agung Sedayu
menjadi bingung. Keduanya sama sekali tak menarik baginya. Tetapi ia tidak
dapat merubah keputusan kakaknya untuk pergi ke Sangkal Putung. Karena itu
akhirnya ia memilih untuk ikut serta meskipun dengan dada yang berdebar-debar.
“Bagaimana
kalau kita berjumpa dengan laskar itu di perjalanan” bertanya Agung Sedayu.
“Kemungkinan
yang sama dengan kedatangan mereka ke rumah ini” sahut kakaknya.
Agung Sedayu
tidak bertanya lagi. Ketika kakaknya berdiri dan meraih kerisnya dari glodog di
samping pembaringannya, Agung Sedayu pun berdiri pula. Dibetulkannya letak
pakaiannya dan kemudian diteguknya air sere dari mangkuk bamboo dengan bibir
yang gemetar. Namun hatinya tidak mau tenang juga.
“Bawa kerismu”
perintah kakaknya.
Agung Sedayu
menjadi semakin gelisah, tetapi dengan tangan yang menggigil disisipkannya
kerisnya di pinggang kiri. Diikutinya langkah kaki kakaknya melompati tludak
pintu menuju ke kandang kuda di belakang rumah. Namun ketika mereka telah
berada di atas punggung-punggung kuda, kembali Agung Sedayu berdesah,
“Apakah
pekerjaan ini tidak dapat ditunda?”
Kakaknya
menggeleng,
“tidak”
jawabnya,
“besok
pagi-pagi laskar yang liar itu akan menghantam paman Widura”
Agung Sedayu
memandang malam yang pekat dengan dada yang berdentang-dentang. Pakaiannya
telah basah kuyup oleh hujan yang semakin deras.
“Berdoalah” bisik
kakaknya,
“Tuhan bersama
kita”
Agung Sedayu
menggangguk kecil. Tampaklah bibirnya bergerak-gerak. Disebutnya nama Allah
Maha Pemurah dan Maha Pengasih.
Kemudian
bergeraklah kuda-kuda itu menyusup kedalam kekelaman malam. Sesaat kemudian
mereka meninggalkan padukuhan Jati Anom menuju ke arah timur. Di belakang
mereka berdiri tegak gunung Merapi yang berselimut kepekatan malam dan
kepadatan butir-butir air hujan yang berjatuhan dari langit. Ketika guruh
menggelegar diudara dan kilat menyambar di atas kepala mereka sekilas tampaklah
jalan yang menjalur dibawah kai-kaki kuda mereka. Becek dan merah, diwarnai
oleh tanah liat yang telah bertahun-tahun sedikit demi sedikit meluncur dari
lereng-lereng bukit. Untuk beberapa saat mereka berdiam diri terpaku di atas
punggung kuda masing-masing. Hanya setiap kali Agung Sedayu selalu menoleh
kepada kakaknya, seakan-akan takut ditinggalkannya. Tetapi kakaknya itu selalu
menundukkan kepalanya. Sebenarnyalah ia sedang berpikir. Apakah yang kira-kira akan
terjadi di perjalanan dan apakah yang akan terjadi besok apabila laskar yang
liar itu benar-benar akan menyerang. Kedudukan Widura tidak begitu
menguntungkan dan jumlah orangnya pun
tidak begitu banyak, sebab Sangkal Putung bukanlah daerah yang langsung
menghadapi pertempuran. Tetapi sisa-sisa laskar Arya Penangsang yang tidak mau
melihat kekalahan Adipati Jipang itu berusaha untuk menimbulkan keributan
dimana-mana. Mereka berkeliaran, bahkan melingkari Pajang dan kemudian
menyerang daerah-daerah yang jauh di belakang garis perang. Mereka datang
setiap saat, dan kemudian menghilang seperti hantu. Hutan-hutan jati dan bahkan
hutan-hutan belukar menjadi tempat persembunyian mereka.
Petang tadi,
sampang Untara menerima berita tentang laskar yang telah kehilangan tujuan
perjuangannya itu. Mereka berhasrat untuk menyerang Sangkal Putung Timur. Dan
agaknya Widura sama sekali tidak menduga. Namun lumbung-lumbung yang padat di
Sangkal Putung, pasti akan dapat memberi perbekalan yang baik bagi laskar yang
liar itu. Dan memang itulah tujuan mereka. Angan-angan Untara terputus ketika
mendengar adiknya berbisik,
“Kakang, kau
melihat bayangan di hadapan kita?”
Untara
mengerutkan keningnya,
“Ya” jawabnya.
“Orang?”
berbisik Agung Sedayu.
Untara
menggeleng,
“Jangan mengada-ada
Sedayu. Bukankah itu batang pohon jati yang roboh karena angin tiga hari yang
lampau?”
Sedayu
mempertajam pandangannya. Namun bayangan itu seperti seseorang yang bertubuh
raksasa menghalang dipinggir jalan. Tiba-tiba bulu-bulunya meremang dan hatinya
menjadi tegang. Ia merapatkan kudanya kesisi kuda kakaknya.
“Hem” kakaknya
menggerang,
“Kau bukan
anak-anak lagi Sedayu. Seharusnya kau berani menempuh perjalanan ini seorang
diri”
Sedayu diam
saja. Tetapi hatinya masih tegang. Ketika kilat menyambar dilangit, dan
nyalanya memenuhi lereng gunung Merapi itu, Sedayu menarik nafas panjang,
Bayangan itu benar-benar pokok pohon jati yang patah diputar angin. Tetapi baru
saja Sedayu bernafas lega, tiba-tiba kembali dadanya berdebar-debar. Tidak jauh
di hadapan mereka terbentang padang rumput dan beberapa ratus langkah lagi,
tampak tegak sebatang pohon beringin raksasa. Daerah yang biasa disebut Lemah
Cengkar.
“Kita lewat
jalan ini?” terdengar suaranya lirih di antara gemerisik hujan.
“Kenapa?”
Tanya kakaknya.
Agung Sedayu
tidak menjawab. Tetapi kakaknya sudah tahu jawabnya,
“Kau takut
macan putih yang menjagai beringin itu?”
Agung Sedayu
mengangguk.
“Tidak”
kakaknya meneruskan,
“Kita tidak
lewat Lemah Cengkar. Kita ambil jalan memintas. Kita belok ke kanan”
“Lewat jalan
di pinggir hutan belukar?” Sedayu menjadi semakin cemas.
“Ya” jawab
kakaknya.
“Macanan?”
desak adiknya.
“Ya”
Sedayu semakin
gelisah. Katanya,
“Bagaimana
kalau kita tiba-tiba berjumpa dengan seekor harimau. Bukankah daerah Macanan
itu terkenal dengan harimau belangnya?”
“Harimau
belang itu tidak seganas Macan Putih di Lemah Cengkar” Untara menakut-nakuti
adiknya, meskipun ia sama sekali tidak takut terhadap macan putih mau pun
harimau belang. Namun lewat Macanan jalan bertambah dekat.
Agung Sedayu
terbungkam. Namun tubuhnya terasa menggigil. Menggigil karena hatinya yang
keciut dan menggigil karena dingin. Tetapi kuda mereka berjalan terus. Bahkan
ketika Untara mempercepat lari kudanya, Sedayu pun segera melecut kudanya pula.
Ia tidak mau berjarak lebih tebal tubuh kudanya dari kuda kakaknya. Perjalanan
mereka menjadi kian sulit. Tanah yang liat di jalan-jalan sempit itu tampak
merah kehitam-hitaman. Di hadapan merek terbentang hutan belukar. Pandangan
mata Untara yang tajam jauh mendahului kaki-kaki kudanya. Tetapi tiba-tiba
Untara mengangkat alisnya. Ketika kilat menyambar ia melihat sesuatu di
hadapannya. Kali ini ia melihat bayangan. Bukan pokok kayu jati yang roboh. Dan
bayangan itu dilihatnya menghilang di ujung jalan. Untara menjadi berdebar-debar.
Ia menoleh kapada adiknya, namun agaknya Sedayu belum melihatnya. Untara
sendiri tidak pernah menjadi takut apa pun yang berada di depannya. Tetapi kali
ini ia membawa adiknya. Seandainya bayangan itu seekor harimau, maka akan
mudahlah untuk mengatasinya. Harimau tidak selalu menyerang seseorang. Kalau
harimau itu tidak berdiri di tengah jalan, maka seandainya harimau itu lapar,
kuda-kuda mereka akan dapat berlari lebih kencang dari harimau itu. Meskipun
seandainya harimau itu mengadang mereka, Untara pun tidak takut, sebab telah
dua kali ia terpaksa berkelahi dengan harimau, dan harimau-harimau itu selalu
berhasil dibunuhnya. Dibunuh dengan keris yang terselip dipinggangnya itu.
Tetapi
bayangan yang bergerak dan menghilang kedalam hutan adalah bayangan yang tegak
di atas kakinya. Ia melihat dengan ketajaman matanya.Dan ia pasti bahwa
bayangan itu adalah bayangan seseorang. Untara menarik nafas untuk merdedakan
debar jantungnya. Sekali lagi ia memandangi adiknya, bahkan tanpa disengaja ia
memperlambat kudanya. Sedayu pun cepat-cepat menarik kekang kudanya. Dengan
nafas yang bekejaran ia bertanya,
“Ada apa
kakang?”
“Tidak ada
apa-apa” sahut kakaknya,
“Jalanan di
hadapan kita sangat licin”
“Oh” namun
jantungnya menjadi semakin cepat berdentang.
Akhirnya
Untara menghentikan kudanya. Dilontarkannya pandangan matanya kehutan di
hadapannya,
“Apakah yang
tersembunyi di balik kekelaman itu?”
Hati Agung Sedayu
semakin cemas, desisnya,
“Adakah
sesuatu di hadapan kita?”
Untara
bimbang. Tidak seharusnya ia menyembunyikan bahaya yang mungkin berada di balik
kehitaman hutan itu. Mereka harus berhati-hati. Tetapi kalau adiknya menjadi
ketakutan, keadaan akan lebih jelek lagi.
“Kita lampaui
daerah yang licin ini dengan berjalan kaki” jawab kakaknya. Ia tidak menunggu
lebih lama lagi. Dituntunnya kudanya berjalan perlahan-lahan dengan penuh
kewaspadaan. Ia tidak tahu siapakah yang berada di ujung hutan itu. Kalai
mereka menyerang dengan tiba-tiba, maka duduk di atas punggung kida akan
menjadi lebih berbahaya. Seorang kawannya pernah mengalami nasib yang tidak
menyenangkan, ketika ia mengalami serangan dengan cara pengecut. Dilintangkan
oleh para penyerang itu, seutas tali untuk menjatuhkan kudanya. Kemudian dalam
keadaan yang sulit kawannya itu tidak mampu mempertahankan diri. Dan kini iat
tidak mau mengalami nasib serupa itu.Hati Sedayu menjadi bertambah kecut. Ia
merasa sesuatu yang tidak pada tempatnya. Karena itu ia bertanya lagi sambil
merapatkan diri di samping kakaknya,
“Adakah
sesuatu yang berbahaya?”
Kakaknya tidak
mau berbohong lagi. Jawabnya,
“Bersiaplah.
Mungkin kita berjumpa dengan bahaya, tetapi mungkin pula kita mendapat teman”
Denyut nadi
Sedayu seakan-akan berhenti. Dengan tergagap ia berkata,
“Kakang,
apakah tidak sebaiknya kita kembali?”
“Nasib paman Widura
tergantung kepada kita” sahut kakaknya.
“Tetapi nasib
kita sendiri?” desak adiknya.
Untara tidak
tahu bagaimana menjawab pertanyaan itu. Pertanyaan yang wajar. Tetapi ada
sesuatu yang tidak dirasakan oleh adiknya itu. Ia merasa wajib untuk menyelamatkan
laskar Widura, pamannya yang telah bertahun-tahun bersama-sama dalam satu
ikatan perjuangan. Dan yang terakhir, mereka berdua berdiri di pihak Pajang
dalam pertentangannya dengan Jipang. Karena itu ada beberapa dorongan yang kuat
yang memaksanya untuk berjalan terus. Karena Untara tidak menjawab, Sedayu
mendesaknya,
“Kakang,
kenapa kita tidak kembali. Bukankah nasib kita sendiri lebih berharga dari
nasib siapa pun juga?”
“Belum pasti
kita akan menjumpai bahaya Sedayu. Bahkan mungkin kita akan mendapat teman
seperjalanan. Syukurlah kalau yang berada di ujung hutan itu anak-anak paman
Widura sendiri”. Namun apa yang dikatakannya sama sekali tidak diyakininya.
Sangkal Putung masih agak jauh.
“Adakah
seseorang di ujung hutan itu?” Sedayu semakin cemas.
“Ya” jawab
Untara berat.
“Kakang
lihat?” desak Sedayu.
“Ya” Untara
menjadi semakin cemas. Kalau adiknya menjadi ketakutan, sulitlah keadaannya.
Apa yang
diduganya itu benar-benar terjadi. Tiba-tiba Sedayu semakin merapatkan dirinya
sambil merengek,
“Kakang,
marilah kita kembali”
“Jangan
Sedayu” jawab kakaknya membesarkan hati adiknya,
“Kita lihat
siapakah yang berada di ujung hutan itu”
“Mereka pasti
laskar Arya Penangsang” sahut adiknya.
“Kenapa kita
mesti takut kepada mereka?” bertanya kakaknya.
“Mereka adalah
orang-orang sakti” jawab adiknya.
“Kita juga
laki-laki seperti mereka, Sedayu” bombing kakaknya,
“Apabila
mereka orang-orang sakti, mereka tidak akan dikalahkan oleh laskar Pajang”
“Kita bukan
laskar Pajang” bantah adiknya.
“Aku salah
seorang dari prajurit Pajang” potong kakaknya. Untara bukanlah seorang yang
biasa menyombongkan dirinya. Tetapi ia mengharap adiknya mempunyai kepercayaan
kepadanya dan tidak akan menyulitkan keadaanya seandainya ia benar-benar harus
menghadapi bahaya.
“Tetapi aku bukan”
rengek adiknya pula. Bahkan kini Sedayu telah mulai menarik-narik bajunya.
Untara menjadi
gelisah. Tetapi ia tidak menjawab. Jarak mereka telah semakin dekat dan Untara
tidak memutar langkahnya. Ketika adiknya akan berkata lagi, Untara berdesis,
“diamlah
supaya orang–orang dimuka kita tidak tahu bahwa kau penakut. Dengan demikian
mereka akan semakin berani. Dan mereka akan mempermainkan kita seperti
kelinci.”
Sedayu
terbungkam. Betapa ia menjadi sangat takut untuk menyatakan ketakutannya.
Karena itu dengan lutut yang gemetar ia pun berjalan terus. Tiba–tiba Untara
menggeram. Untunglah mereka tidak akan dapat melihat bamboo wulung yang
kehitam–hitaman itu. Apalagi di dalam kepekatan hujan malam yang kelam. Namun
ketajaman mata Untara dapat membedakannya dengan warna air yang keputih–putihan
memantulkan cahaya cakrawala yang sangat lemah. Dan apabila kaki–kaki kuda
mereka menyentuhnya, akibatnya akan mengerikan sekali. Beberapa langkah dari
bamboo yang melintang itu Untara berhenti. Tak ada seorang pun yang tampak.
Namun ia yakin di dalam hutan, di balik pohon–pohon yang rapat itu, pasti
bersembunyi seseorang atau lebih.
Ketika Sedayu
melihat bambu yang melintang itu, maka darahnya seakan–akan membeku. Ia pernah
melihat cerita kakaknya tentang seseorang yang malang melanggar seutas tali
yang terentang di jalan. Tetapi hatinya telah benar–benar dicekam oleh
ketakutan sehingga sama sekali ia tidak berani berkata sepatahpun. Bahkan
terasa lututnya semakin gemetar, dan seakan–akan ia telah tidak mampu lagi untuk
berdiri tegak di atas kedua kakinya itu. Sekali, Untara menarik nafas. Ia tak
mau mendekat lagi. Sebab dengan demikian, ia akan berada di dalam kedudukan
yang kurang baik. Orang–orang yang berada di belakang rimbunnya daun – daun
akan dapat melihatnya dengan jelas, sedang ia sendiri tak akan dapat melihat
mereka. Karena itu, sengaja Untara menanti salah seorang dari mereka atau
beberapa orang sekaligus datang kepadanya. Untuk sesaat keadaan menjadi sunyi
tegang. Nafas Sedayu terdengar berebut dahulu keluar dari hidungnya. Ia tidak
berani berkata apapun, namun tangannya erat berpegangan baju kakaknya. Perlahan
– lahan tangan Untara meraba tangan adiknya, dan dicobanya untuk melepaskan
pegangan itu. Sebab setiap saat ia perlu bergerak cepat. Tetapi Sedayu berpegangan
semakin erat bahkan sekali-sekali menariknya. Untara menarik nafas. Tiba-tiba
Sedayu terkejut ketika kakaknya berkata lantang,
“Biarkan
mereka Sedayu. Kita tidak akan berbuat apa-apa. Namun kalau mereka mengganggu
kita, kau baru boleh bertindak sesuka hatimu. Syukurlah kalau mereka
sahabat-sahabat kita yang baik”
Sedayu tidak
tahu maksud kata-kata itu. Bahkan debar jantungnya seperti akan memecah
dadanya. Ia ingin mengatakan sesuatu namun mulutnya seperti telah tersumbat.
***
Tetapi yang diharapkan
Untara terjadilah. Orang-orang yang bersembunyi di balik pohon-pohin yang
rimbun itu mendadak menjadi tidak sabar. Sehingga dengan demikian terdengar
salah seorang di antara mereka berteriak,
“Siapa
kalian?”
Pertanyaan itu
bagi Sedayu terdengar seperti petir yang meledak ditelinganya. Kini tidak saja
lututnya yang gemetar, tetapi seluruh tubuhnya menggigil dan dadanya bergetar, sedang
darahnya seolah-olah berhenti menyumbat kerongkongan, sehingga nafasnya menjadi
sesak. Ia tidak dapat bertahan berpegangan baju kakaknya lagi ketika tangan
kakaknya menyentuh tangannya. Kini Untara dapat maju selangkah, bisiknya,
“peganglah
kendali kuda-kuda kita”
Tetapi Sedayu
tidak menangkap kendali kuda Untara bahkan dengan tidak disadarinya, kembali ia
berpegangan baju kakaknya. Perlahan-lahan kakaknya menarik tangan adiknya
adiknya sambil berkata lirih, “Sedayu,kalau kau tak mau memegang kendali kuda,
jangan berpegangan bajuku, berpeganganlah tangkai kerismu.”
Tetapi hati
Sedayu yang tinggal semenir itu tak dapat lagi menangkap arti kata-kata
kakaknya. Ketika kakaknya bergeser selangkah lagi, tangan Sedayu terkulai
lemas. Dan ia berdiri di antara dua ekor kuda seperti tiang yang lapuk. Sebuah
sentuhan yang tak berarti akan dapat merobohkannya. Dalam pada itu kembali
terdengar suara dari ujung hutan berteriak di antara butir-butir hujan yang
sudah mulai mereda.
“He, siapa
kalian?”
Untara mencoba
menembus kepekatan malam, namun ia tak berhasil. Karena itu maka dijawabnya
berhati-hati,
“kami
anak-anak dari Sendang Gabus. Siapakah kalian?”
“Ya” sahut
Untara
“Anak siapa?”
terdengar sebuah pertanyaan.
Untara beragu.
Adakah mereka mengenal setiap orang di Sendang Gabus. Untara sendiri tidak
banyak mengenal orang-orang dari Sendang Gabus, meskipun pedukuhannya Jati Anom
tidak jauh dari Sendang Gabus itu. Untuk menyebut namanya tak mungkin baginya.
Seandainya orang-orang yang bersembunyi itu sisa-sisa laskar Penangsang, maka
nama Untara pasti mereka kenal. Dengan demikian tak mungkin baginya untuk
melampaui tempat itu tanpa pertumpahan darah. Karena itu ia mencoba
menyembunyikan namanya sejauh mungkin. Ia masih mencoba untuk menghindarkan
diri dari bentrokan kekerasan, sebab tugasnya adalah tugas yang sangat penting.
Kalau ia gagal mencapai Sangkal Putung maka Widura akan mengalami bencana.
Karena itu maka ia menjawab untung-untungan,
“Anak Sadipa”
“Sadipa” sahut
suara di ujung hutan
“Ya”
“Sadipa yang
mana, yang tinggi sakit-sakitan atau yang pendek kudisan?” bertanya suara itu
pula”
Kembali
pengenalannya atas orang yang bernama Sadipa,
“Sadipa yang
lain. Tinggi besar,berkumis panjang. Tetapi yang satu tangannya cacat.”
“Bagus” sahut
suara itu,
“kau
benar-benar anak Sendang Gabus, kau benar-benar kenal dengan Sadipa. Tetapi
kenapa kau berbohong?”
Untara menjadi
berdebar-debar. Ia telah menyebutkan sebuah nama yang dikenalnya. Ia telah
menyebutkan ciri-cirinya. Tetapi orang di belakang kegelapan itu tahu ia
berbohong. Tiba-tiba Untara melihat banyangan yang bergerak-gerak muncul dari
balik pepohonan. Cepat ia melangkah surut, selangkah saja di muka adiknya.
Nalurinya telah membawanya untuk melindungi adiknya yang menggigil ketakutan. Orang
yang muncul dari hutan itu berjalan perlahan-lahan mendekatinya. Terdengarlah
ia tertawa lirih, namun suaranya menghentak-hentak dada. Agung Sedayu menjadi
kian ketakutan. Namun kakaknya tegak dimukanya seperti betu karang.
“Siapakah
sebenarnya?” bertanya orang itu.
Untara mencoba
mengawasi wajahnya. Lamat-lamat ia melihat garis-garis yang keras. Tubuhnya
tidak begitu tinggi, namun ketat dan kekar. Orang itu masih beberapa langkah
maju.
“Ha” katanya
kemudian, setelah ia berhenti kira-kira tiga empat langkah dari Untara,
“dua anak yang
berani. Siapakah namamu?”
“Aku anak
Sadipa” Untara mengulangi.
Kembali orang
itu tertawa,
“jangan
berbohong” katanya,
“Anak Sadipa
yang tinggi besar, berkumis panjang dan satu tangannya cacat, tidak segagah
kalian. Aku kenal mereka. Aku orang Sendang Gabus.”
Untara
terkejut mendengar keterangan itu. Apakah orang yang berdiri di hadapannya itu
orang Sendang Gabus?
“Kalau kau
orang Sendang Gabus, siapa namamu?” sahut Untara.
“Tebak siapa
aku?” orang itu berkata sambil tertawa.
Kembali Untara
diam. Ia mencoba mengingat-ingat semua orang Sendang Gabus yang pernah
dilihatnya. Dan tiba-tiba ia teringat orang ini. Pande besi di Sendang Gabus.
“Aku ingat”
tiba-tiba Untara menyahut,
“kau pande
besi Sendang Gabus.”
Orang itu
mengangkat alisnya,katanya,
“kau kenal
aku?”
“Ya, kau
adalah salah seorang prajurit Jipang” sambung Untara. Namun dengan demikian
Untara menjadi semakin berdebar-debar. Pande besi itu kenal kepadanya dahulu.
Mudah-mudahan orang itu telah melupakannya. Tetapi ternyata Untara tidak
beruntung. Orang itu selangkah maju, dan dicobanya untuk mengenal wajah Untara
baik-baik. Diamatinya anak muda itu dengan seksama. Maka tiba-tiba katanya
disertai derai tawanya,
“Ha. Jangan
bohong lagi. Kalian anak Jati Anom.” Orang itu berhenti sejenak untuk
mengingat-ingat. Maka sambungnya menyentak, “setan. Bukankah kau yang bernama
Untara. He?”
Untara tidak
dapat lagi menyembunyikan namanya. Orang itu ternyata masih mengenalnya. Namun
meskipun demikian ia menjawab, “Ya, aku Untara. Bukankah kita bertetangga?”
“Persetan. Kau
pengikut Karebet yang gila itu?” bentak pande besi itu.
“Hem” Untara
menarik nafas.
“apakah
bedanya?” kau berada di pihak Jipang dengan keyakinanmu, aku berada di pihak
Pajang dengan keyakinanku.”
“Huh” sahut
orang itu,
“kau sangka
Karebet berhak merajai pulau Jawa. Ia tidak lebih dari anak penunggu burung di
sawah.”
“Yang penting
bagiku, apakah yang telah di lakukan dan akan dilakukan bagi tanah kita ini.”
Sahut Untara.
“Aku bukan
tukang bicara seperti kau” bentak orang itu.
“Wahyu keraton
tidak dapat hadir pada sembarang orang. Tidak akan dapat hadir dalam diri
penggembala seperti anak Tingkir itu.”
“Tetapi
Penangsang telah mati. Apa katamu?” bantah Untara
“Persetan.
Namun Cita-citanya tetap hidup” jawab pande besi itu.
Untara
tersenyum. Katanya,
“Tahukah kau
tentang yang kau katakan itu? Cita-cita? Bukankah kau menghilang dari Sendang
Gabus karena kau tidak dapat membayar utangmu pada Demang sendang Gabus?”
“Persetan.
Persetan. Setiap pengikut Adiwijaya harus mati. Kau pula harus mati” gertak
pande besi itu.
“Kau akan
membunuh aku?” bertanya Untara.
Orang itu
berpikir sejenak. Ia kenal akan nama Untara yang gemilang di laskar Pajang. Ia
sadar bahwa ia sendiri tak mampu melawannya. Karena itu ia menjawab,
“Ya, aku akan
membunuhmu. Maksudku golonganku. Golongan Arya Jipang.”
“Hem” Untara
menarik nafas,
“kenapa
golongan? Paman pande besi” sambung Untara,
“Paman bisa
mengakhiri cara hidup yang tidak berketentuan itu. Orang-orang Pajang bukan
pendendam.”
“Persetan.”
tiba-tiba orang itu bersuit nyaring, dan sesaat kemudian muncullah tiga orang
dari dalam belukar,
Terdengar
Untara menggeram, “empat orang” desisnya. Sekali ia menoleh pada adiknya.
Adiknya masih menggigil ketakutan. Tampaklah mulutnya bergerak-gerak. Namun
suaranya sama sekali tak terdengar. Untara menyesal, kenapa adiknya itu dibawa
serta Kalau ia singgah sebentar di Banyu Asri, adiknya dapat dititipkannya di sana.
Namun apakah pamannya sedang di rumah juga belum pasti. Tiga orang yang datang
kemudian itu pun kini telah berada di samping si pande besi. Yang seorang
bertubuh tinggi kekurus-kurusan, yang seorang lagi tinggi gagah sedang yang
seorang lagi masih sangat muda, lebih tua sedikit dari adiknya.
“Untara”
berkata si pande besi,
“sayang kami
tidak biasa menawan seseorang. Karena itu sama sekali tidak bermaksud menangkap
kalian.”
Untara
menyadari arti kata-kata itu. Pande besi itu akan berkata,
“kalian berdua
akan kami bunuh”
Karena itu ia
tidak dapat melihat kemungkinan lain daripada bertempur melawan keempatnya.
Tetapi bagaimana dengan adiknya? Tiba-tiba Untara berkata lantang,
“Sedayu,
menepilah. Biarlah aku saja yang menghadapi mereka. Kau tidak perlu ikut serta.
Orang-orang ini sama sekali tak cukup bernilai untuk melawanmu.”
Si pande besi
menggeram,
“Jangan
terlalu sombong.”
Untara sama
sekali tidak bermaksud menyombongkan diri, tapi dia ingin menutupi kelemahan
adiknya, sehingga orang-orang itu tidak akan berani mengganggunya. Untunglah
bahwa keempat orang itu tidak terlalu memperhatikan adik Untara itu, sehingga
mereka tidak mengetahui, apakah sebenarnya yang sedang terjadi dengan anak muda
itu. Menggigil ketakuatan dengan dada sesak. Pande besi Sendang Gabus bersama
ketiga kawannya itu tiba-tiba memencar. Di tangan mereka masing-masing
tergenggam senjata. Pande besi itu memegang sebuah tongkat besi, si jangkung
kurus memegang golok pendek, yang gagah bersenjata belati di kedua tangannya,
sedang si anak muda memegang pedang.
“Anak ini
bernama Untara” teriak si pande besi,
“karena itu
berhati-hatilah.”
“Untara” desis
si anak muda. Tetapi ia tidak bertanya lebih lanjut. Namun di dalam dadanya
terbersit suatu perasaan yang aneh. Ia pernah terlibat bersama-sama dengan
kawan-kawannya dalam suatu pertempuran melawan prajurit-prajurit Pajang yang
dipimpin oleh Untara. Betapa kagumnya ia melihat Untara yang perkasa itu. Kini
ia berhadapan langsung dengan orang itu. Tiba-tiba hatinya bergetar. Meskipun demikian
ia harus bertempur. Dengan ketiga kawannya ia pasti dapat membunuh orang yang
disegani itu. Untara sadar bahwa lawan-lawannya benar-benar akan membunuhnya
bersama-sama dengan adiknya. Karena itu, ia harus melawan mereka. Apabila
terpaksa, maka bukan salahnyalah kalau ada di antara mereka yang terpaksa mati.
Namun tidak mustahil pula, bahwa kemungkinan yang tidak menyenangkan itu ada
padanya. Karena itu segera Untara bersiap. Ia harus menarik seluruh perhatian
dari keempat lawannya, sehingga tak ada di antaranya yang mengganggu Agung
Sedayu.
Maka dengan
gerak yang cepat, secepat tatit menyambar di langit, Untara meloncat menyerbu
di antara mereka. Dengan berputar di atas sebuah kakinya, ia menyerang dua
orang sekaligus. Serangannya tidak begitu berbahaya, namun benar-benar
mengejutkan. Karena itu maka si jangkung dengan sangat terkejut meloncat
mundur, dan si tinggi gagah, terpaksa meloncat ke samping. Meskipun mereka
tidak dapat dikenai oleh serangan Untara, namun serangan itu benar-benar tidak
mereka duga. Belum lagi debar jantung mereka berhenti, mereka melihat Untara
melayang dengan garangnya. Kali ini Untara tidak hanya mengejutkan mereka.
Tangannya yang cekatan dengan cepatnya meraih tongkat besi si Pande Besi, dan
dengan suatu tarikan yang cepat, tongkat itu sudah berpindah di tangannya.
“Setan, demit,
tetekan” pande besi dari Sendang Gabus itu mengumpat tidak habis-habisnya.
Sedang kawannya melihat serangan itu seperti melihat seekor elang menyambar
anak ayam yang sama sekali tak berdaya. Tetapi pande besi itu segera sadar.
Segera ia meloncat pada si tinggi besar,
“berikan aku
sebuah pisaumu” teriaknya. Si pande besi tidak menunggu jawaban. Segera
direbutnya sebuah pisau kawannya itu.
Sementara itu,
kawan-kawannya yang lain telah menyadari kedudukan mereka. Segera mereka
menyerang bersama-sama dari arah yang berbeda-beda.Untara menarik nafas. Ia
bersyukur di dalam hatinya, bahwa keempatnya telah dapat ditarik dalam satu
lingkaran pertempuran. Karena itu Untara tidak menyia-nyiakan waktu. Ia harus
segera menyelesaikan pertempuran itu, supaya ia sempat mencapai Sangkal Putung
sebelum subuh.
Pertempuran
itu pun segera menjadi semakin sengit, si pande besi dan Sendang Gabus itu pun
ternyata memiliki kekuatan tenaga yang luar biasa. Gerakannya pasti akan
menimbulkan getaran yang mengerikan. Orang yang tinggi kurus itu memiliki
keistimewaan pula. Tangannya yang panjang setiap kali terjulur menjulurkan
angin maut. Sedang di ujung tangannya itu tampak sebuah golok berkilat-kilat.
Orang yang tinggi besar itu pun mempercayakan dirinya pada kekuatan tangannya.
Pisau belatinya menyambar-nyambar dari segala arah. Bahkan sekali-sekali
sengaja dibenturkannya dengan tongkat besi di tangan Untara. Namun Untara bukan
anak-anak yang sedang berlatih anggar. Setiap benturan dengan senjatanya, telah
memaksa lawannya untuk berpikir kembali. Bahkan orang yang tinggi besar itu pun
kemudian tidak berani lagi mencoba-coba membenturkan senjatanya yang sebenarnya
terlampau pendek. Sedang si anak muda ternyata tangkas dan cekatan sekali.
Sekali-sekali ia meloncat menyerang, namun apabila keadaannya sulit,
cepat-cepat ia menarik dirinya, meloncat surut. Namun seandainya ia bertempur
seorang diri, maka umurnya tidak akan lebih panjang dari seekor sulung yang
terjun ke dalam api. Untara bekerja mati-matian. Malam yang kelam telah
menolongnya. Ia tidak perlu takut-takut senjatanya akan mengenai
kawan-kawannya. Ia dapat menyerang setiap bayangan yang ada di setiap garis
serangannya. Tetapi, lawannya tidak dapat berbuat demikian. Mereka harus lebih
berhati-hati. Sebab Untara itu benar-benar lincah seperti anak kijang.
Sekali-sekali ia melontar di antara mereka berempat, namun tiba-tiba ia telah
berada diluar lingkaran. Bahkan sekali-sekali lawannya menjadi bingung,
seolah-olah Untara dapat melenyapkan diri di antara percikan-percikan hujan
yang hampir reda.
Agung Sedayu
melihat perkelahian itu dengan denyut jantung yang tak teratur. Sekali-sekali
berdentang seperti guntur di dalam dadanya, namun sekali-sekali terasa berhenti
bergerak. Kakinya gemetar sehingga kedua lututnya beradu. Meskipun demikian ia
malihat juga anak muda sebayanya bertempur melawan kakaknya. Timbullah
keheranan di dalam dadanya. Kenapa anak semuda itu berani berkelahi melawan
kakaknya? Kakaknya bagi Agung Sedayu adalah orang yang sangat dikagumi. Orang
yang dalam pandangan Sedayu tak ada duanya di dunia ini. Meskipun demikian, ia
menjadi cemas. Apakah kakaknya dapat melawan empat orang sekaligus. Ia belum
pernah melihat perkelahian yang sebenarnya. Perkalahian untuk mempertaruhkan
nyawa. Yang pernah dilihatnya, adalah bagaimana kakaknya berlatih. Bahkan
kadang-kadang ia ikut serta. Ia tahu bagaimana harus menghindar, menyerang dan
mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya. Namun keberaniannya tak ada untuk
melakukannya. Untara masih bertempur dengan garangnya. Bahkan lawan-lawannya
semakin lama semakin menyadari keperkasaannya. Namun tiba-tiba Untara menjadi
cemas. Pande besi itu sekali-sekali melemparkan pandangannya pada Agung Sedayu.
Ia melihat bagaimana anak muda itu berdiri. Ia melihat tangan Sedayu tergantung
lemah. Bahkan sekali-sekali anak itu menutup wajahnya. Sekali-sekali
memalingkan mukanya. Pande besi yang licik itu berpikir di dalam hatinya, “anak
yang satu ini aneh benar”
Memang Agung
Sedayu sama sekali tidak menunjukkan suatu minat atas perkelahian itu, bahkan
terpancarlah kengerian dan ketakutan dari wajahnya. Namun meskipun demikian
pande besi itu terpaksa menduga-duga, “ada dua kemungkinan,” pikir pande besi,
“anak ini terlalu percaya kepada kesaktiannya, sehingga ia kecewa melihat cara
kawannya bertempur. Tetapi kemungkinan yang lain, anak ini seorang pengecut”
Dalam
keragu-raguan itu diingatnya kata-kata Untara,
“Orang-ornga
ini sama sekali tak cukup bernilai untuk melawanmu.”
Tetapi
tiba-tiba pande besi itu tertawa. Suaranya benar-benar nyaring. Ia sudah
mendapatkan suatu kepastian, bahwa anak itu anak yang kerdil. Kerana itu ia
segera menemukan cara untuk memecah perhatian Untara. Maka terdengarlah ia berkata
di antara derai tawanya,
“He Untara yang
perkasa. Sudah berapa lama kita bertempur. Kenapa kawanmu itu hanya menonton
saja seperti sabungan ayam.”
Dada Untara
semakin berdebar-debar. Ia melihat kecurigaan lawannya. Sikap adiknya
benar-benar tidak meyakinkan. Meskipun demikian ia menjawab,
“Buat apa ia
susah-susah menghadapi kalian? Aku sendiri cukup mampu untuk melakukan.”
Pande besi itu
tertawa terus. Nadanya semakin tinggi dan memuakkan, sehingga Untara
benar-benar menjadi muak. Cepat ia meloncat dan mengayunkan tongkatnya
menyerang. Suara tertawa pande besi itu terputus. Wajahnya tiba-tiba berubah
menjadi tegang. Hampir saja kepalanya retak oleh sambaran senjatanya sendiri.
Namun untunglah ia sempat merendahkan tubuhnya sementara dengan lincahnya si
anak muda menyerang lambung Untara dengan pedangnya. Untara terpaksa menggeliat
untuk menghindari ujung pedang lawannya. Dengan sebuah putaran ia meloncat
tiba-tiba tongkat besinya telah terayun ke dada si tinggi besar, serangan ini
terlalu tiba-tiba. Hampir saja orang yang tinggi besar itu terpaksa mengakhiri
perkelahian. Untunglah bahwa kedua kawannya yang lain sempat menolongnya. Orang
yang tunggu kurus sempat memukul tongkat Untara dengan goloknya. Namun
kekuatannya sama sekali tak memadai, sehingga ketika goloknya tersentuh tongkat
Untara, terasa senjatanya terpental. Tangannya terasa nyeri dan tiba-tiba ia
melihat goloknya seperti terbang terlempar beberapa jauh daripadanya. Pande besi,
yang mengepalai gerombolan itu segera melihat bahaya yang bakal datang. Mereka
berempat dengan senjata di tangan masing-masing tidak mampu menghadapi Untara
seorang diri. Apalagi kini salah seorang dari mereka tidak bersenjata lagi. Karena
itu, maka segera ia mengambil keputusan untuk melakukan rencana liciknya.
Dengan tiba-tiba ia meloncat surut, dan dengan berteriak nyaring ia berkata,
“Bunuhlah
Untara itu dengan senjata-senjata kalian aku akan mencoba kesaktian anak muda
yang seorang lagi.”
Untara
terkejut mendengar teriakan itu. Maka perhatiannya benar-benar menjadi
terpecah. Ia melihat sebuah serangan pedang mendatar ke arah perutnya,
sementara itu orang yang tinggi besar menusuknya dari punggung. Namun Untara
adalah seorang prajurit Pajang yang terpercaya. Karena itu dengan cekatan ia
menggeser tubuhnya sambil merendahkan dirinya, pedang si anak muda hanya lewat
secengkal dari tubuhnya, sedang pisau orang yang tinggi besar itu mematuk agak
jauh. Namun karena itu, Untara memerlukan beberapa saat untuk membebaskan diri
dari serangan-serangan berikutnya. Sementara itu si pande besi telah berlari ke
arah Agung Sedayu. Agung Sedayu melihat seseorang menyerangnya. Karena itu maka
darahnya serasa benar-benar berhenti mengalir. Dengan gerak nalurinya, yang
dituntun oleh latihan bersama kakaknya, tangannya bergerak meraba hulu
kerisnya. Namun tangan itu gemetar da kehilangan kekuatannya. Maka kerisnya
tidak juga lolos dari wrangkanya. Bahkan yang terdengar suaranya terbata-bata,
“Kakang,
kakang Untara.”
Pande besi
yang licik itu tertawa nyaring. Suaranya kini benar-benar menjadi buas seperti
hantu yang haus darah. Ia telah yakin bahwa anak muda yang seorang itu akan
dapat dijadikannya korban pertama tanpa kesulitan. Maka katanya sambil berlari,
“Tahanlah
Untara. Biarlah ia melihat anak muda yang satu ini mengalami nasib yang
malang.”
Sesaat Untara
menjadi bingung. Ia sudah tidak mendapat kesempatan lagi untuk mengejar si pande
besi. Ia telah tertinggal beberapa langkah. Kalau saja adiknya mampu berbuat
sesuatu maka ia akan mendapat kesempatan untuk menolongnya. Tetapi adiknya
telah menjadi kaku ketakutan. Tiba-tiba Untara membungkukkan badannya.
Diraihnya sebuah batu sebesar telur. Dengan sekuat tenaganya ia melempar
kudanya yang berdiri di samping adiknya. Kuda itu manjadi terkejut. Sambil
meringkik tinggi kuda itu meloncat dan berlari kencang tanpa arah. Untunglah
bahwa kuda yang seekor lagi terkejut pula, dan seperti yang lain kuda itu pun
melontar seperti panah.
Kedua ekor
kuda itu benar-benar memberi kesempatan kepada Untara. Sebab dengan itu si
pande besi terpaksa tertahan beberapa saat. Ia tak mau melanggar kuda-kuda yang
menjadi liar itu. Dan sesaat itu telah cukup bagi Untara. Untara tidak
menghiraukan lagi ketiga lawannya yang lain. Dengan serta merta, seperti si pande
pesi, Untara meloncat berlari kencang-kencang. Dengan penuh kemarahan yang
mengguncang-guncang dadanya, langsung ia menyerang dengan tongkat besinya.
Tongkat besi itu terayun deras sekali. Untara telah menggunakannya dengan penuh
tenaga. Si pande pesi itu tidak menyangka bahwa Untara dapat secepat itu
menyusulnya. Segera ia memutar tubuhnya, namun ia sudah tidak mungkin untuk
menghindar. Untara meloncat dengan garangnya, dan yang dilihatnya tongkat besi
itu telah terayun di atas kepalanya. Karena itu si pande besi hampir saja dapat
menangkisnya dengan pisau belatinya. Tetapi pisau itu terlalu pendek untuk
menahan ayunan tongkatnya sendiri. Namun tongkat itu kini diayunkan oleh tangan
yang jauh lebih kuat dari tangannya. Tangan seorang tamtama yang sedang dibakar
oleh kemarahan. Karena itu meskipun si pande besi mancoba untuk menghindar
benturan langsung dengan memukul tongkat Untara ke samping, namun usahanya itu
tidak banyak menolongnya. Tongkat Untara masih mengenai pelipisnya. Maka
terdengarlah pande besi yang malang itu berteriak tinggi. Kemudian ia terlempar
dan jatuh berguling. Sesaat kemudian nafasnya pun terputuslah. Untara menarik
nafas. Ia berlega hati bukan karena ia dapat membunuh lawannya, tetapi karena
ia telah berhasil menyelamatkan adiknya. Namun untuk sesaat Untara kehilangan
kewaspadaan anak muda yang bersenjata pedang itu benar-benar lincah. Tiba-tiba
saja serangannya mengarah ke punggung. Karena itu segera Untara berkisar
selangkah ke samping. Namun saat yang mengejutkan itu dapat dipergunakan oleh
orang yang bertubuh tinggi besar dan bersenjata pisau dengan penuh nafsu dendam
orang itu menusuk leher Untara. Tusukan itu pun sedemikian tiba-tiba pada saat
Untara sedang menghindari sambaran pedang si anak muda. Karena itu Untara tidak
dapat berbuat banyak. Pada saat Untara mencoba merendahkan tubuhnya dan
berputar setengah lingkar, pisau itu pun berubah arah. Untara masih dapat
melihat pisau itu melingkar, namun tak ada waktu lagi baginya. Yang dapat
dilakukan hanyalah mencondongkan tubuhnya sedikit ke belakang, tetapi pada saat
itu terasa ujung pisau itu mencegat pundak kirinya.
Terdengar
Untara menggeram. Kemarahannya kini telah benar-benar membakar seluruh
darahnya. Dengan gigi gemeretak Untara memandang orang yang bertubuh tinggi
besar itu untuk sesaat. Kemudian seperti gelombang yang menghantam tebing
Untara meloncat maju. Tongkat besi di tangannya berputar seperti baling-baling,
yang kemudian dengan dasyatnya menyerang lawannya. Apalagi ketika terasa betapa
pedih luka di pundaknya itu. Darah yang merah segar mengalir semakin lama
semakin deras. Karena itu Untara harus menyelesaikan pertempuran sebelum ia
kehabisan darah, atau dirinya akan ditelan oleh maut beserta adiknya sekaligus.
Orang yang tinggi besar itu terkejut melihat serangan Untara yang membadai.
Cepat ia meloncat surut. Ia sudah tidak akan dapat mempertahankan dirinya dengan
pisaunya itu. Dalam keadaan yang sulit itu, kawannya yang tinggi
kekurus-kurusan tampil ke depan. Goloknya yang besar bergerak-gerak dengan
cepatnya. Sebuah tusukan yang dasyat mengarah ke lambung lawannya. Namun Untara
yang marah sempat mengelak. Bahkan kini Untara sudah tidak lagi mengekang diri.
Ia sempat berjongkok menghindari golok lawannya. Dan sekaligus tongkatnya
bergerak mendatar. Terdengarlah sekali lagi jerit kesakitan, ketika terdengar
sebuah benturan. Benturan antara tongkat besi di tangan Untara dengan
tulang-tulang kaki orang yang kurus itu. Sesaat kemudian terdengar tubuhnya
terbanting. Pada saat itu orang yang bertubuh tinggi besar melihat suatu
kemungkinan untuk membunuh Untara. Ia tidak akan dapat menyerangnya pada jarak
jangkau tangannya karena kecepatan bergerak lawannya. Karena itu, selagi Untara
masih belum dapat berdiri tegak orang itu dengan sepenuh tenaga melemparkan
pisaunya ke arah tubuh lawannya.
***
Untunglah
Untara melihat pisau itu. Karana itu ia mengurungkan geraknya. Bahkan sekali
lagi merendahkan tubuhnya sambil berputar, sehingga pisau itu tidak menghunjam
ke dalam tubuhnya. Sebenarnyalah bahwa nasib manusia ditentukan oleh kekuasaan
diluar kemampuan jangkau manusia. Pisau yang berlari seperti panah itu meluncur
dengan cepatnya melampaui Untara. Namun tanpa disangka-sangka terdengarlah
sebuah jerit tertahan. Orang yang terbaring karena tulang kakinya retak itu
tiba-tiba terguling sekali, kemudian ia mencoba mengangkat wajahnya dengan
pandangan aneh. Tetapi sesaat kemudian kepalanya jatuh terkulai. Mati. Sebuah
pisau telah tertancam langsung menyayat jantung. Yang melihat peristiwa itu
untuk sesaat terpaku diam. Untara dan kedua lawannya. Dada mereka masing-masing
terguncang oleh peristiwa yang tak mereka sangka-sangka. Apalagi orang yang
bertubuh tinggi besar itu. Tanpa disengajanya, ia telah membunuh kawannya
sendiri. Kini Untara untuk seterusnya tinggal menghadapi dua lawan. Namun darah
telah terlalu banyak mengalir dari lukanya. Karena itu tubuhnya pun semakin
menjadi lemas. Sebab dengan demikian berarti maut akan menerkamnya. Karena itu
segera ia bersiap untuk melanjutkan pertempuran itu. Kedua lawannya pun telah
bersiap pula. Anak muda yang bersenjata pedang itu setapak demi setapak maju
mendekat, sedang orang yang bertubuh tinggi besar yang kini tidak bersenjata
lagi itu masih mencoba untuk mencobanya dengan tangannya. Kedua lawan Untara
itu pun agaknya melihat kemungkinan yang dihadapinya. Mereka lamat-lamat
melihat darah meleleh dari luka di pundak Untara. Karena itu mereka asal saja
dapat memperpanjang perlawanan mereka Untara pasti akan dapat mereka binasakan.
Alangkah mereka dapat berbangga kepada kawan-kawan mereka bahwa mereka telah
berhasil membunuh salah satu perwira Pajang yang bernama Untara. Nama yang disegani
oleh lawan dan dikagumi oleh kawan. Sesaat kemudian kembali anak muda itu
menyerang dengan tangkasnya. Kemampuannya memainkan pedang cukup menarik
perhatian Untara. Tetapi Untara tidak banyak mempunyai waktu. Kalau ia
terlambat maka ia akan ditelan oleh maut. Karena itu selagi masih cukup
mempunyai tenaga, maka ia harus berjuang untuk menyelamatkan nyawanya, nyawa
adiknya dan berpuluh-puluh orang lain di Sangkal Putung. Karena itu,tidak ada
pilihan lain bagi Untara, kalau ia tidak membunuh lawan-lawannya, maka
taruhannya adalah berpuluh-puluh nyawa di Sangkal Putung termasuk nyawanya
sendiri. Tetapi anak muda, lawannya itu benar-benar lincah. Dengan sengaja ia
memancing Untara untuk bergerak terlalu banyak, sehingga dengan demikian darah
yang mengalir dari luka menjadi semakin banyak pula. Namun Untara bukan
anak-anak lagi, karena itu meskipun ia memuji di dalam hatinya atas kecerdasan
lawannya, namun ia mengumpat-umpat pula.
Namun, Untara
selalu menahan dirinya untuk tidak hanyut dalam arus kemarahannya. Ia menyerang
dengan dasyat, namun ia tidak membiarkan tenaganya diperas sia-sia. Meskipun
tenaga Untara telah banyak berkurang, namun kekuatan lawannya pun tinggal
separo dari semula. Dengan demikian maka segera tampak, bahwa Untara akan
segera dapat mengatasi kedua lawannya. Kedua orang itu semakin lama semakin
terdesak, dan akhirnya sampailah mereka pada batas kemampuan mereka. Selagi
Untara masih kuat mengayunkan senjatanya, maka sekali lagi terdengar sebuah
pekik kesakitan. Orang yang tinggi besar itu pun rebah di tanah untuk tidak
bangun lagi. Yang tinggal kini adalah anak muda yang lincah itu. Meskipun anak
muda itu melihat kelemahan lawannya, namun ia masih mampu untuk menilai diri
sendiri. Karena itu, tiba-tiba ia meloncat surut dan dengan lantang ia
berteriak,
“kali ini kau
menang Untara, tetapi lain kali kau akan menyesal. Apalagi kawanmu, pengecut
itu, seumur hidupnya tidak akan tenteram selama aku masih hidup di dunia ini.”
Untara tidak
mau mendengar kata-kata itu. Cepat ia meloncat menyerang. Tetapi ia sudah tidak
setangkas semula. Tulang-tulangnya seperti menjadi lemas dan tak berdaya.
Karena itu ia menjadi cemas, jangan-jangan anak muda itu akan berlari-larian
dan menunggunya sampai ia terkulai jatuh. Dengan demikian, maka ia tak akan
berdaya lagi menghadapi kemungkinan apapun. Tetapi tidaklah demikian. Anak muda
itu bahkan tiba-tiba meloncat menjauh, dan berlari meninggalkan tempat itu. Ia
sudah tidak melihat lagi ketika Untara terhuyung-huyung berjalan mendekati
adiknya.
“Sedayu”
desisnya.
Sedayu masih
menggil ketakutan. Tetapi ia melihat Untara dengan susah payah datang
kepadanya. Karena itu ia pun segera berlari mendekat,
“Kakang,
kenapa kau?” terdengar suaranya gemetar.
Nafas Untara
semakin lama semakin cepat mengalir. Badannya gemetar seperti orang kedinginan.
Dengan mata yang sayu dipandanginya wajah adiknya yang pucat. Dan sekali-sekali
tangannya meraba luka pundaknya. Luka itu cukup dalam, namun sebenarnya tidak
begitu berbahaya seandainya darahnya tidak terlalu banyak mengalir.
“Tolong” desis
Untara, “balut lukaku”
Sedayu melihat
luka yang menganga di pundak kiri kakaknya. Ia menjadi ngeri melihat luka itu.
Tetapi dipaksanya dirinya untuk membalut luka itu dengan sobekan kain kakaknya.
“Sedayu”
Untara berdesis sambil menahan nyeri,
“darahku sudah
terlalu banyak mengalir. Kau dapat menolong aku berjalan”
“Tentu” jawab
adiknya. Namun matanya beredar mencari kuda mereka. Tetapi kuda itu sudah tak
tampak lagi.
Tetapi Untara
masih berkata lagi,
“Jangan
membuang waktu. Kuda-kuda itu sudah tidak ada di sekitar tempat ini.”
Sedayu tidak
menjawab. Dicobanya memapah Untara berjalan di jalan-jalan yang becek
berlumpur. Sekali-sekali terdengar Untara menggeram. Tidak saja karena perasaan
pedih yang selalu menyengat-nyengat pundaknya, namun juga berbagai perasaan
telah bergelut di dalam dadanya. Untara tidak saja mencemaskan dirinya, namun
ia cemas juga akan nasib adiknya. Lebih-lebih lagi tentang nasib Widura dengan
laskarnya. Anak muda yang melarikan diri itu dapat membawa banyak akibat. Ia
akan dapat kembali mencari mereka berdua di sekitar tempat ini dengan
kawan-kawan-kawan baru, atau anak itu dapat memperhitungkan arah perjalanannya,
sehingga serangan ke Sangkal Putung akan dipercepat. Pikiran sedayu pun tidak
pula dapat berjalan lagi. Ia melangkah dengan hati yang kosong. Berbagai
perasaan tang memukul-mukul dadanya telah menjadikan Sedayu kehilangan
pengamatan diri. Ia tidak merasakan dan menyadari apa yang telah dilakukan. Ia
berjalan karena kakaknya menaruhnya berjalan sambil menggantung di pundaknya
dengan tangan kanannya. Untara menjadi semakin cemas ketika di antara rasa
sakitnya timbul suatu perasaan aneh. Matanya serasa akan selalu terkatub. Dan
sesaat-saat kesadarannya seperti lenyap. Segera Untara tahu bahwa ia telah
hampir kehabisan darah. Dengan demikian ia akan dapat pingsan setiap saat.
Dalam kecemasannya Untara masih menyadari, bahwa ia tidak akan mungkin dapat
mencapai Sangkal Putung dalam keadaannya itu, apabila ia tidak mendapat
pertolongan. Sekali-sekali Untara menarik nafas. Di sekitarnya terbentang hutan
belukar meski tidak terlalu tebal. Namun tempat itu tak akan ditemui rumah
seseorang.
“Kalau saja
aku dapat mencapai rumah Ki Tanu Metir” tiba-tiba ia berdesis
Adiknya terkejut
mendengar suara kakaknya,
“apa katamu?”
ia bertanya.
“Rumah Ki Tanu
Metir” jawabnya.
Sedayu pernah
pula pergi ke rumah Ki Tanu Metir bersama ayahnya dahulu di Dukuh Pakuwon.
Tetapi rumah itu masih agak jauh. Dan tiba-yiba saja Sedayu menyadari
keadaannya. Dengan penuh ketakutan ia memandang berkeliling. Belukar. Kalau
saja tiba-tiba ada binatang buas yang muncul di hadapan mereka, maka celakalah
mereka berdua. Sehingga dengan demikian Sedayu tidak teringat lagi kepada
kata-kata kakaknya, bahkan katanya dengan gemetar,
“jalan di
hadapan kita sangat gelapnya. Bagaimanakah nasib kita kalau kita bertemu dengan
harimau misalnya?”
“Hem” kakaknya
menahan perasaannya, katanya tanpa menghiraukan adiknya,
“kita pergi ke
tempat Ki Tanu Metir.”
“Masih jauh”
sehut adiknya.
“Kalau lukaku
tak diobati” jawab kakaknya,
“aku akan
mati”
Sedayu menjadi
ngeri mendengar kata-kata kakaknya. Bagaimana kalau kakaknya benar-benar mati.
Karena itu ia berdiam diri, meskipun hatinya dicekam oleh ketakutan. Takut
kepada kegelapan di hadapannya, takut kepada nasibnya. Memang ia takut kepada
segala-galanya. Tetapi ia lebih takut lagi kalau kakaknya mati. Karena itu ia
tidak berani membantah lagi. Dipapahnya kakaknya berjalan menuju ke Dukuh
Pasewon, meskipun kengerian selalu merayap-rayap dadanya. Untara semakin lama
semakin lemah. Meskipun demikian ia selalu berusaha untuk mempertahankan
kesadarannya. Sungguh tidak menyenangkan apabila ia harus mati karena darahnya
kering. Baginya lebih baik mati dengan luka pedang menembus jantungnya. Tetapi
ia tidak berputus asa. Ia percaya bahwa Allah Maha Pengasih. Karena itu ia
selalu memanjatkan doa di dalam hatinya, semoga Allah menyelamatkannya. Tiba-tiba
langkah mereka terhenti. Mereka mendengar gemerisik daun di dalam belukar. Hati
Sedayu yang kecut menjadi semakin kecil. Dengan suara gemetar ia berbisik,
“Kakang, kau
dengar sesuatu?”
Untara
mengangguk. Tetapi ia tidak dapat berbuat sesuatu. Tubuhnya telah demikian
lemahnya. Karena itu maka yang dapat dilakukan hanya menyerahkan diri
sepenuhnya kepada sumber hidupnya. Tetapi tiba-tiba Untara mengangkat wajahnya.
Katanya lirih,
“Bukan langkah
manusia dan bukan pula binatang buas yang sedang merunduk. Kau dengar ringkik
kuda?”
“Ya” sahut
adiknya.
Untara
kemudian bersiul nyaring. Kudanya adalah kuda yang jinak. Seandainya kuda itu
kudanya, maka akan dikenalnya suara siulan itu.
“Ya Allah,
serunya ketika dari dalam belukar muncul seekor kuda yang tegar
kehitam-hitaman.
“Itu kudaku”
Wajah Sedayu pun
menjadi agak cerah,katanya,
“lalu, apakah
kita akan berkuda?”
“Ya” sahut
kakaknya,
“kudamu tak
ada, namun kita berdua akan berkuda bersama-sama”
“Kembali?”
“Tidak” jawab
Untara,
“ke rumah Ki
Tanu Metir, supaya lukaku diobatinya.”
Sedayu tidak
membantah. Ia takut kalau kakaknya mati. Karena itu dibantunya Untara naik ke
atas punggung kudanya, baru kemudian ia pun naik pula. Untunglah bahwa kuda
Untara adalah kuda yang kuat, karena itu, meskipun di atas punggungnya duduk
dua anak muda, namun kuda itu masih dapat berlari kencang. Kini harapan di
dalam dada Untara tumbuh kembali. Ia akan dapat mencapai rumah Ki Tanu Metir
lebih cepat. Mudah-mudahan Ki Tanu Metir ada di rumahnya.
Setelah mereka
menembus rimbunnya pategalan yang subur di ujung hutan, sampailah mereka
kepadukuhan kecil yang dinamai orang Dukuh Pakuwon. Di pedukuhan kecil itulah
tinggal seorang dukun yang sudah setengah tua. Yang dengan pengalamannya ia
mengenal berbagai jenis dedaunan yang dapat dipakainya untuk menyembuhkan luka
dan bahkan dikenalnya beberapa jenis racun yang menusuk ke dalam tubuh
seseorang, orang itulah yang bernama Ki Tanu Metir. Kepadanya Untara meletakkan
harapannya, mudah-mudahan Ki Tanu Metir dapat menolongnya. Kuda-kuda anak muda
itu berhenti di muka sebuah pondok kecil. Pondok Ki Tanu Metir. Setelah
menolong kakaknya turun dari kuda, maka dipapahnya kakaknya itu ke pintu yang
terkatup rapat. Namun demikian Untara berlega hati ketika dilihatnya cahaya
lampu yang memancar menembus lubang-lubang dinding. Perlahan-lahan Untara
mengetuk pintu rumah itu dengan penuh harapan. Ki Tanu Metir adalah sahabat
almarhum ayahnya dahulu. Mudah-mudahan sisa-sisa persahabatan itu masih
membekas dihati dukun tua itu. Ketika mereka telah beberapa kali mengetuk terdengarlah
sapa dari dalam lirih,
“Siapa?”
“Aku Ki Tanu”
jawab Untara,
“Untara dari
Jati Anom”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar