Jilid 063 Halaman 1


MASIH tidak ada jawaban. Untara menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia kini justru harus menahan kegelian yang hampir meledak, melihat dua orang anak muda yang berdiri tegak seperti tikus di dalam kubangan.
“Baiklah. Terserah apa yang akan kalian lakukan. Aku akan kembali,” tetapi Untara menjadi ragu-ragu, apakah kalau keduanya ditinggalkan di tempat itu, mereka tidak akan terlibat lagi dalam perkelahian? Meskipun jelas baginya, bahwa Ranajaya tidak akan dapat mengimbangi kemampuan Agung Sedayu. Tetapi bahwa tangan Ranajaya telah melekat di hulu kerisnya, menjadi pertimbangan yang berat bagi Untara.
Karena itu, maka katanya kemudian,
“Adi Ranajaya. Marilah kita kembali. Sebaiknya kau meminjam baju salah seorang prajuritmu. Biarlah ia tidak mengenakan baju.”
Sejenak Ranajaya termangu-mangu, sedang ketiga prajuritnya menjadi berdebar-debar.
“Marilah,” desak Untara.
Ranajaya yang mengenal sifat dan tabiat Untara, tidak dapat membantah lagi. Ia tahu, bahwa Untara ingin memisahkannya dari Agung Sedayu, supaya perkelahian itu tidak terulang kembali, selain Ranajaya memang harus mengakui, bahwa ia tidak akan dapat mengalahkan adik senapati itu. Namun demikian, Ranajaya masih juga termangu-mangu. Tetapi ketika Untara mendesaknya sekali lagi, maka katanya kepada salah seorang prajuritnya,
“Berikan bajumu.”
“Tetapi, apakah aku tidak berbaju?”
“Bukankah hampir setiap saat kau tidak berbaju?”
“Tetapi di pondok kami. Tidak di sini.”
“Berikan baju itu.”
“Apakah juga kain panjang dan celana?”
“Tidak. Hanya bajumu. Kain panjang dan celana tidak begitu menarik perhatian.”
Prajurit itu ragu-ragu sejenak. Namun sebelum ia melepas bajunya, Untara berkata,
“Yang seorang lagi, berikan bajumu kepada Agung Sedayu. Besok baju itu akan dikembalikan, atau ditukar dengan yang baru.”

Kawannya pun menjadi berdebar-debar juga. Apakah mereka harus memasuki padukuhan tanpa baju? Meskipun sehari-hari mereka memang biasa tidak mengenakan baju, tetapi tidak berkuda di sepanjang jalan. Karena keragu-raguan itu, maka Untara pun berkata,
“Kalian berdua yang tidak berbaju, tinggallah di sini. Kawanmu yang seorang akan kembali lagi kemari membawa baju kalian. Ia akan mengambilnya di padukuhan.”
Kedua prajurit itu mengangguk-angguk. Agaknya itu memang lebih baik. Demikianlah, sejenak kemudian Ranajaya telah berpacu bersama Untara kembali ke padukuhan Jati Anom. Meskipun kain panjang dan celana Ranajaya basah kuyup dan kotor oleh lumpur, namun tidak akan menarik perhatian, seperti seandainya bajunyalah yang berlumuran dengan lumpur yang coklat kehitam-hitaman.
Dalam pada itu, Agung Sedayu pun sudah mengenakan baju prajurit pengiring Ranajaya yang masih tinggal. Sejenak ia mengamat-amati baju yang agak terlampau sempit dan pendek. Tetapi itu lebih baik daripada memakai baju yang basah dan kotor.
“Bagaimana dengan kau?” bertanya Agung Sedayu kepada Japa.
Japa merenung sejenak, lalu berkata perlahan-lahan sekali,
“Aku sudah terlanjur mengatakan, bahwa aku akan menengok keluargaku. Aku akan terus.”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sesaat ia memandang kedua prajurit yang masih berdiri termangu-mangu.
“Tinggallah di sini,” berkata Japa kemudian,
“kami akan melanjutkan perjalanan.”
Kedua prajurit itu memandangnya dengan tatapan mata yang aneh, sedang Japa justru malahan tersenyum sambil berkata,
“Jangan menyesal. Kalian tidak akan kedinginan, karena sebentar lagi kawanmu itu akan datang.”
“Kenapa bukan bajumu saja yang dipakainya?” berkata salah seorang dari kedua prajurit itu.
Japa yang kemudian tertawa menjawab,
“Agaknya memang lebih baik bajumu daripada bajuku. Apalagi aku akan pergi menengok keluargaku.”
“Persetan!” prajurit itu mengumpat.

Japa tidak menghiraukannya lagi, meskipun ia masih juga tertawa. Sekali ia berpaling, namun kemudian kudanya pun berlari bersama kuda Agung Sedayu yang merasa sudah agak lambat. Tetapi Japa tidak mengikuti Agung Sedayu sampai ke Sangkal Putung. Karena ia sudah terlanjur meninggalkan Jati Anom, maka ia pun kemudian benar-benar pergi menengok keluarganya, meskipun ia akan segera kembali. Karena itu, maka Agung Sedayu pun segera berpacu sendiri. Semakin lama semakin cepat, karena langit pun menjadi semakin suram. Warna-warna merah senja menjadi pudar ketika bayangan malam mulai turun.
“Swandaru pasti sudah menunggu kedatanganku,” katanya kepada diri sendiri.
“Bahkan mungkin anak-anak muda yang tidak sabar itu, telah menjadi ribut di halaman kademangan. Mungkin mereka sama sekali tidak berpikir untuk menunggu kedatanganku.”
Dan Agung Sedayu pun menarik nafas dalam-dalam. Memang ia tidak yakin bahwa anak-anak muda Sangkal Putung memerlukannya. Mereka barangkali sama sekali tidak menghiraukan lagi, apakah ada Agung Sedayu atau tidak di halaman kademangan senja itu. Tetapi yang pasti baginya, keluarga Ki Demang sendiri pasti sudah menunggunya. Apalagi Sekar Mirah dan juga Kiai Gringsing.
“Aku tidak peduli, apakah anak-anak muda Sangkal Putung memerlukan aku,” katanya di dalam hati,
“tetapi aku harus segera sampai di kademangan.”
Dalam pada itu, di Kademangan Sangkal Putung, anak-anak muda sudah mulai berdatangan. Bahkan mereka tidak sabar lagi untuk menunggu sampai senja. Sejak matahari condong, beberapa orang sudah berada di gardu di regol halaman. Tetapi Swandaru tidak keluar dari gandok. Bahkan ia pun kemudian tidur mendengkur di dalam biliknya. Tetapi Swandaru tidak mengingkari janjinya. Ia sudah minta kepada ayahnya untuk memotong kambing. Kawan-kawannya akan datang menemuinya dan Agung Sedayu.
“Nanti sore?” bertanya ibunya ketika ia mendengar permintaan itu.
“Ya.”
“Bagaimana aku harus menyiapkan?”
“Panggil semua tetangga untuk membantu Ibu,” jawab Swandaru sambil mengerutkan keningnya.
“Tidak mungkin,” sahut Sekar Mirah. “Besok saja.”
“Aku sudah berjanji. Ayah dapat memanggil juru masak yang baik. He, apakah Pak Ranu masih ada?”
“Ya.”
“Panggil saja Pak Ranu. Ia pasti akan dapat menyiapkannya sore nanti.”
Ibunya menarik nafas. Jika demikian, ia tidak akan dapat menunda lagi. Bahkan Sekar Mirah pun berkata,
“Biarlah Pak Ranu dipanggil, Ibu. Ia agaknya akan dapat menyelenggarakannya. Ia mempunyai beberapa orang pembantu yang cekatan.”

Demikianlah, maka ketika senja turun, Pak Ranu benar-benar sudah dapat menyiapkan hidangan yang akan disuguhkan pada anak-anak muda yang akan datang menemui Swandaru di pendapa kademangan. Setelah Swandaru bangun dan membersihkan diri serta berganti pakaian, maka ia pun segera turun ke halaman. Demikian ia tampak, maka anak-anak muda yang sudah ada di gardu pun segera mendapatkannya. Semakin lama semakin banyak.
“Marilah, naiklah ke pendapa,” berkata Swandaru.
Di pendapa, seseorang telah membentangkan tikar hampir sepenuh pendapa itu. Swandaru sendiri tidak mengetahui, berapa orang kawan-kawannya yang bakal datang. Mungkin tidak begitu banyak, tetapi mungkin banyak sekali. Sehingga karena itu pulalah, maka ibu Swandaru menahan Ranu agar tidak pulang dahulu ke rumah, meskipun ia sudah selesai menyiapkan hidangan.
“Bukankah tinggal menghidangkannya saja, Nyai Demang?” berkata Ranu.
“Tunggu sampai kita pasti, bahwa hidangan ini tidak kurang.”
Ranu tersenyum. Jawabnya,
“Seandainya kurang, apakah kami harus menyiapkan kekurangan itu?”
“Tentu.”
“Tetapi itu tidak mungkin lagi.”
“Tentu mungkin. Kau dapat berbuat apa saja, karena kau mempunyai pengalaman yang cukup. Kau tentu lebih tahu daripada kami, apa yang harus kita lakukan. Misalnya, kita harus menangkap beberapa ekor ayam atau apa pun yang segera dapat dilakukan.”
Ranu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia memenuhi permintaan Nyai Demang.
Ketika senja menjadi semakin gelap, maka anak-anak muda semakin banyak berdatangan. Tetapi di antara mereka masih belum tampak Agung Sedayu. Swandaru menjadi gelisah. Meskipun ia dapat menerima kawan-kawannya seorang diri, dan menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka yang pasti akan sangat beraneka macam, namun Swandaru benar-benar mengharap kedatangan Agung Sedayu. Tetapi yang lebih gelisah daripadanya adalah Sekar Mirah. Setiap kali ia mengintip dari sela-sela daun pintu, apakah Agung Sedayu sudah datang dan langsung duduk di pendapa. Tetapi sampai saatnya bayangan hitam turun menyelubungi Sangkal Putung, Agung Sedayu masih belum tampak.

Kiai Gringsing dan Sumangkar, yang duduk di serambi gandok pun menjadi gelisah pula. Mungkin Agung Sedayu diminta oleh Untara untuk bermalam. Tetapi mungkin juga sesuatu dapat terjadi di perjalanan.
“Kakang Agung Sedayu selalu ingkar janji,” Sekar Mirah menggerutu sendiri. Bahkan ia telah datang menanyakannya kepada Kiai Gringsing.
“Aku belum melihatnya,” jawab Kiai Gringsing.
“Ia selalu ingkar,” desis Sekar Mirah.
“Bukan selalu,” sahut Sumangkar, “berapa kali ia ingkar.”
Sekar Mirah tidak menyahut. Namun ia pun kemudian meninggalkan gandok itu.
Dalam pada itu, pendapa Kademangan Sangkal Putung, semakin lama menjadi semakin banyak anak-anak muda yang berdatangan. Seperti yang diduga oleh Swandaru, maka selain anak-anak muda dari induk padukuhan di Kademangan Sangkal Putung, ada juga satu dua orang yang datang dari padukuhan-padukuhan yang lain. Namun jumlah mereka ternyata masih belum mencemaskan ibunya yang sedang menyiapkan hidangan di belakang.
“Swandaru,” berkata salah seorang dari anak-anak muda,
“sekarang kau berdiri di ujung. Kau mulai berceritera tentang perjalananmu. Kemudian barulah kau mengucapkan syukur bahwa kau telah selamat kembali di Sangkal Putung. Kami akan menyertaimu.”
“Itulah yang penting,” sahut seorang anak muda yang lain.
Hampir berbareng anak-anak muda itu tertawa.
“Kita masih menunggu,” sahut Swandaru kemudian.
“Siapa lagi yang kita tunggu? kita tidak mengundang siapa pun, sehingga kita tidak tahu, siapa yang belum datang sekarang ini. Kami berdatangan atas kehendak kami sendiri.”
“Bukan kawan-kawan yang lain. Ayah akan hadir di pendapa ini juga. Selain ayah, juga Ki Tanu Metir dan Ki Sumangkar. Kalau saatnya pertemuan ini akan kita mulai, aku akan mengundang mereka.”
“Panggillah sekarang. Aku ingin segera mendengar ceriteramu tentang daerah yang kau jelajahi.”
“Kemudian segera ingin mendengar kau menyatakan syukur dan kami akan mengantar ucapan syukur itu bersama-sama.”
“Bukan itu. Yang penting, syarat ucapan syukur itu.”
“Ya, ya. Segera akan kita mulai. Sebentar lagi. Aku masih menunggu.”
“Siapa lagi?”
“Kakang Agung Sedayu.”
“O,” anak-anak muda itu saling berpandangan. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, mereka saling berbicara di antara mereka sendiri.
“Agung Sedayu, adik Senapati Untara. Apakah kau sudah lupa? Anak muda yang berjasa di saat-saat Tohpati masih berkeliaran di sekitar daerah ini. Tanpa Agung Sedayu, entahlah apa jadinya Sangkal Putung sekarang ini.”
Kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“O, ya. Aku ingat sekarang. Anak muda yang berkelahi melawan Sidanti.”
“Ya, agaknya Sidanti memang berkhianat. Ia sudah berani melawan Untara di alun-alun.”
Kawannya mengerutkan keningnya.
“Ketika diadakan lomba memanah. Bukankah saat itu, saat hadirnya Untara di daerah ini?”
“Ya, ya. Aku ingat sekarang. Sidanti bukan saja berani melawan Untara, tetapi Sekar Mirah memang membuat hatinya menjadi panas. Bukankah sebelum datang Agung Sedayu, Sekar Mirah tampaknya begitu dekat dengan Sidanti?”
“Di mana Sidanti sekarang?”
“Tidak seorang pun yang tahu. Ketika ia terusir dari Sangkal Putung, bukankah ia pergi ke padepokan gurunya di Tambak Wedi? Tetapi akhirnya Tambak Wedi dihancurkan oleh Untara, yang disertai pula oleh Agung Sedayu dan Swandaru. Dan Sidanti pun terusir lagi dari Tambak Wedi.”
“Ia kembali ke Menoreh,” sahut kawan yang duduk di sebelahnya. Lalu,
“Dan desas-desus yang kami dengar, Sidanti telah terbunuh di rumah sendiri.”
“Siapa yang membunuhnya?”
“Dengar ceritera Swandaru nanti. Bukan aku. Aku juga tidak tahu pasti, apa yang terjadi.”
Anak-anak muda yang mendengarnya mengangguk-anggukkan kepalanya.

Tetapi, karena Agung Sedayu belum juga datang, maka mereka pun menjadi gelisah. Rasa-rasanya sudah satu hari satu malam mereka duduk di pendapa. Bahkan lampu sudah dinyalakan di segenap sudut rumah Ki Demang. Beberapa obor telah dipasang di halaman. Tetapi Agung Sedayu belum juga datang.
“Ia tidak akan datang,” berkata salah seorang dari anak-anak muda yang tidak sabar lagi.
“Ia tentu datang,” jawab Swandaru.
Dalam kegelisahan itu mereka pun kemudian dikejutkan oleh derap kaki seekor kuda, yang berlari langsung memasuki halaman kademangan. Serentak anak-anak muda yang berada di pendapa itu pun berpaling. Mereka melihat di dalam cahaya obor, seorang anak muda yang langsung meloncat dari punggung kuda yang berhenti di depan gandok.
“Ia telah datang,” berkata Swandaru lantang.
“Ya, Agung Sedayu telah datang,” sahut yang lain.
“Nah, sekarang ia benar-benar telah datang!” teriak beberapa orang hampir berbareng.
Agung Sedayu terkejut mendengar anak-anak muda itu menyambut kedatangannya. Seolah-olah ia merupakan orang yang sangat penting bagi mereka. Tetapi Agung Sedayu pun kemudian sadar, bahwa bukan karena ia dianggap orang yang penting di Sangkal Putung. Tetapi sambutan itu adalah ledakan dari kejemuan mereka, setelah mereka menunggu beberapa lama di pendapa.
“Kemarilah,” Swandaru pun kemudian turun dari pendapa menyongsongnya,
“pergilah langsung ke pendapa. Kami menunggu kedatanganmu.”
“Aku akan berganti pakaian dahulu.”
“Ah. Tidak usah. Tidak perlu. Marilah,” Swandaru menarik lengan Agung Sedayu.
Tetapi Agung Sedayu menggelengkan kepalanya. Katanya,
“Lihat kain panjangku.”
“Kenapa?”
“Rabalah.”
Swandaru terkejut ketika teraba olehnya kain panjang Agung Sedayu yang basah dan kotor oleh lumpur.

Dengan wajah yang bertanya-tanya ditatapnya Agung Sedayu yang termangu-mangu, sehingga sejenak mereka saling berdiam diri. Kiai Gringsing beserta Sumangkar yang juga melihat kehadiran Agung Sedayu pun mendekatinya pula sambil bertanya,
“Kenapa kau, Sedayu?”
Agung Sedayu memandang gurunya sejenak, kemudian katanya,
“Sedikit rintangan di perjalanan, Guru?”
Gurunya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia melihat baju Agung Sedayu, bukanlah baju yang dipakainya ketika ia berangkat. Baju ini agaknya kurang sesuai dengan badan Agung Sedayu.
“Kau berganti baju?” bertanya Kiai Gringsing.
“Ya. Bajuku juga basah dan kotor oleh lumpur,” berkata Agung Sedayu sambil mengambil bajunya yang kotor, yang disangkutkan di kudanya.
“Apa yang sudah terjadi?” bertanya Swandaru.
“Sudahlah,” potong gurunya,
“nanti sajalah kau berceritera. Sekarang cepat berganti pakaian. Anak-anak muda itu sudah menjadi gelisah menunggu kedatanganmu.”
“O,” Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya,
“baiklah. Aku akan segera berganti pakaian.”
Setelah mengikat kendali kudanya, maka Agung Sedayu pun segera masuk ke biliknya bersama Swandaru. Sambil berbisik ia bertanya,
“Swandaru, apakah kalian sudah lama menunggu? Dan apakah, apakah ………”
“Sekar Mirah maksudmu?”
Agung Sedayu mengangguk.
“Sejak sore tadi ia marah-marah saja. Dikiranya kau tidak akan kembali hari ini.”
Agung Sedayu menarik nafas.
“Ada sesuatu. Nanti aku ceriterakan. Aku akan pergi ke pakiwan saja dahulu.”
“Cepat. Aku menunggu di pendapa. Aku akan mempersilahkan ayah dan guru bersama Ki Sumangkar, untuk duduk meskipun hanya sekedar menunggui pertemuan ini. Anak-anak itu pasti tidak akan telaten duduk terlampau lama. Tetapi waktu yang pendek itu pasti mereka pergunakan untuk bertanya tentang masalah yang aneh-aneh, yang barangkali tidak pernah kita pikirkan.”
Agung Sedayu mengangguk-angguk.
“Kalau bau makanan sudah menyentuh hidung mereka, mereka pasti akan segera diam.”
“Baiklah. Aku akan mandi sebentar. Kembalilah ke pendapa.”

Swandaru pun kemudian kembali naik ke pendapa setelah ia mempersilahkan Ki Demang, Kiai Gringsing, dan Ki Sumangkar untuk duduk bersama anak-anak muda di pendapa itu. Dalam pada itu Agung Sedayu pun dengan tergesa-gesa pergi ke pakiwan sambil menjinjing pakaian kering. Ia harus segera mandi dan berganti pakaian, karena agaknya anak-anak muda itu sudah lama menunggu.
“Tentu Swandaru yang menyuruh mereka menunggu. Bukan atas kehendak mereka sendiri, karena mereka tidak lagi mengenal aku, atau mereka tidak lagi mempedulikan aku.”
Tetapi ketika Agung Sedayu sudah sampai di mulut pintu pakiwan, langkahnya tertegun ketika didengarnya suara Sekar Mirah,
“Sebelum senja aku akan datang.”
Agung Sedayu berpaling. Dilihatnya Sekar Mirah berdiri di pintu butulan yang langsung masuk ke dapur.
“Ada persoalan yang menghambat perjalananku, Mirah,” jawab Agung Sedayu.
“O, tentu ada persoalan itu. Dan persoalan itu dapat datang setiap saat, kapan saja diperlukan untuk membuat alasan.”
“Ah, kau selalu aneh-aneh saja. Lihat, pakaianku kotor sekali.”
Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Selangkah demi selangkah ia maju mendekat. Sambil berjalan ia berkata,
“Siapa pun dapat mengotori pakaiannya. Apakah kau akan mengatakan bahwa kau terjatuh dari kuda?”
“Tidak. Tetapi lihatlah.”
Sekar Mirah sudah berdiri di hadapan Agung Sedayu.
“Lihatlah kain panjangku.”
Sekar Mirah meraba kain panjang yang kotor dan basah itu.
“Kau terperosok ke dalam parit?”
Tiba-tiba saja Agung Sedayu teringat, ketika ia dengan sengaja masuk ke dalam parit karena Alap-alap Jalatunda mengejarnya selagi ia memenuhi perintah kakaknya, Untara.
“Ya, kau jatuh ke dalam parit?”
“Tidak. Nantilah aku berceritera, anak-anak muda itu menunggu aku.”
“O, jadi kau dengan tergesa-gesa kembali dan dengan tergesa-gesa pergi ke pakiwan karena anak-anak muda itu?”
“Bukankah mereka sudah lama menunggu? Meskipun mereka tidak memerlukan aku, tetapi agaknya Swandaru minta mereka menunggu.”
“O, jadi itulah yang kau ingat selama perjalananmu? Seandainya anak-anak itu tidak menunggumu, maka kau tidak peduli lagi kepada rumah ini?”
Agung Sedayu menjadi bingung.
“Ya? Begitu? Berkatalah bahwa kau datang untuk anak-anak itu. Bukan untuk yang lain.”
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Barulah ia mengerti, bahwa ia telah menyinggung perasaan gadis itu. Perasaannya yang memang agak mudah tersinggung.
“Mirah. Tentu bukan itu. Ada hal yang lain yang memaksa aku kembali ke rumah ini. Apakah artinya anak-anak muda itu buatku, karena sebenarnya mereka pun tidak memerlukan aku.”
“Kenapa kau tergesa-gesa sekali untuk menemui mereka?”
“Ini hanyalah sekedar sopan-santun. Kadang-kadang kita mengesampingkan kepentingan kita sendiri untuk memenuhi hasrat banyak orang. Kau mengerti? itu bukan berarti bahwa mereka lebih penting dari yang lain.”
“Omong kosong. Kalau kau lebih mementingkan orang-orang itu, silahkan. Aku memang bukan orang penting bagimu.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ditatapnya wajah Sekar Mirah yang murung. Ternyata Sekar Mirah mempunyai kepentingannya sendiri, tanpa menghiraukan anak-anak muda yang sudah berkumpul di pendapa.
“Baiklah, Sekar Mirah,” berkata Agung Sedayu kemudian,
“biarlah Swandaru menemui anak-anak muda itu. Aku akan mandi dahulu. Nanti sesudah mandi, aku juga tidak akan menemui mereka, karena agaknya mereka tidak banyak mempunyai kepentingan dengan aku.”
“Huh,” Sekar Mirah mencibirkan bibirnya,
“kau merajuk. Kau sengaja tidak mau hadir karena aku, begitu?”
“Bukan begitu. Bukankah kau menganggap bahwa aku lebih mementingkan anak-anak itu daripada kau? Karena itu baiklah, aku sebenarnya memang tidak mempunyai kepentingan apa-apa dengan mereka. Karena itu, aku dapat saja membuat alasan. Pening, lelah atau apa saja.”
“Tetapi kau hanya berpura-pura saja. Sekedar untuk memenuhi keinginanku,” Sekar Mirah menyahut.
“Tidak. Pergilah kepada mereka. Aku tidak mempunyai kepentingan apa-apa. Kalau kau tidak datang kepada mereka, apa yang akan kau lakukan atasku?”
“Ah,” Agung Sedayu mengeluh. Ia tidak mengerti apa yang sebaiknya dilakukan. Karena itu, sejenak ia berdiri termangu-mangu.
Selagi Agung Sedayu masih berdiri di muka pintu pakiwan, terdengar seseorang berjalan dengan tergesa-gesa di dalam dapur dan langsung muncul di pintu butulan.
“He, kau masih berdiri saja di situ, Kakang Sedayu. Anak-anak itu sudah menunggumu.”
“O,” Agung Sedayu masih kebingungan, “tetapi, aku belum mandi.”
“Cepat mandilah.”
“Mulailah saja pertemuan itu. Nanti aku akan menyusul.”
“Ah, aneh-aneh saja kau. Sudah sekian lama mereka menunggu. Kalau pertemuan itu dapat dimulai tanpa kau, pasti sudah aku mulai sejak sore tadi. Ayah, guru dan Paman Sumangkar juga sudah duduk di pendapa. Cepat sedikit.”
“Tetapi ……”
“Ah, cepatlah.” Swandaru itu pun lalu berpaling kepada Sekar Mirah,
“Kau jangan menunggui di situ, Mirah. Kakang Agung Sedayu agaknya masih merasa malu. Tinggalkanlah, biarlah ia mandi.”
“Apa kau bilang? Kau sangka aku menunggui Kakang Agung Sedayu? Buat apa aku menungguinya. Biarlah ia mandi dan pergi mendapatkan anak-anak muda itu. Itu sama sekali bukan urusanku.”
Swandaru mengerutkan keningnya. Perlahan-lahan ia berdesis,
“Agaknya anak ini kurang sajen. Apa kau memang akan memandikannya?”

Sekar Mirah menjadi semakin jengkel. Tiba-tiba saja diraihnya siwur dari batok kelapa di atas gentong air, dan dilemparkannya ke arah Swandaru. Untunglah Swandaru melihat siwur itu melontar ke arahnya sehingga ia sempat mengelak. Namun siwur itu ternyata menghantam tiang pintu sehingga pecah berkeping-keping. Swandaru benar-benar terkejut melihat lemparan adiknya yang keras itu. Kalau saja siwur itu mengenainya, maka ia pasti akan menjadi kesakitan. Tetapi bukan saja Swandaru, Agung Sedayu pun terkejut pula. Bahkan Sekar Mirah sendiri terkejut bukan buatan.
“Mirah,” berkata Agung Sedayu kemudian,
“kau sekarang bukan kau dahulu. Kau pernah melempar Swandaru dengan mangkuk tanah dan bahkan dengan sebuah kendi berisi air. Tetapi itu dahulu. Sekarang kau sudah lain. Kalau lemparanmu mengena, akibatnya pun akan berbeda dengan lemparanmu dahulu.”
Wajah Sekar Mirah menjadi merah. Sementara itu ibunya bertanya,
“Apakah yang pecah itu, Mirah?”
“Siwur, Ibu, terjatuh.”
“Ah, hati-hatilah,” tetapi ibunya tidak bertanya lagi. Dalam pada itu, Sekar Mirah merasa menyesal sekali, bahwa ia masih saja kurang mengamati perasaannya. Kini ia sudah lain. Tangannya adalah tangan yang sudah mengalami latihan olah kanuragan, sehingga tenaganya pun sudah berlipat.
Sejenak ia memandang Swandaru yang masih berdiri di depan pintu. Anak yang gemuk itu menjadi marah pula. Lemparan itu benar-benar berbahaya baginya. Tetapi Sekar Mirah segera mendekatinya sambil berkata,
“Maaf, Kakang. Aku masih saja kehilangan pengamatan diri. Aku tidak sengaja menyakitimu. Aku benar-benar tidak ingat lagi. Aku masih saja menyangka bahwa aku, masih aku yang dahulu.”
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Ditepuknya kepala Sekar Mirah sambil berdesis,
“Aku kira kau sudah kepanjingan demit. Hati-hatilah, Mirah. Kalau kau tidak berhasil menguasai dirimu, kau akan terjerat dalam bahaya. Bukan kau sendiri, tetapi dapat terjadi pembantu-pembantumu, atau kelak anak-anakmu.”
“Ah.”
“Sudahlah. Sekarang pergilah. Atau kau akan menunggui Kakang Agung Sedayu mandi? Atau kau justru akan memegang obor untuk menerangi pakiwan?”
“Ah kau, itulah yang menyebabkan aku sering lupa diri. Aku ingin melempar kau dengan batu bata.”
Swandaru tersenyum. Tetapi ia pun kemudian melangkah masuk sambil bergumam,
“Cepatlah sedikit Kakang Agung Sedayu. Mirah, tolonglah Kakang Agung Sedayu biar cepat selesai.”

Sekar Mirah masih akan menjawab. Tetapi Swandaru segera berlari masuk ke dalam. Sekar Mirah pun menyusulnya dengan tergesa-gesa. Tetapi Swandaru telah masuk ke ruang dalam dan hilang di balik pintu pringgitan. Agung Sedayu yang tertinggal di pakiwan menarik nafas dalam-dalam. Sampai saat ini, ia masih belum dapat mengikuti jalan pikiran Sekar Mirah dengan baik. Ternyata Sekar Mirah masih seorang gadis yang manja dan melihat berbagai masalah dari sudut pandangan sendiri. Ia lebih mementingkan dirinya sendiri dari anak-anak muda yang sudah lama berada di pendapa rumahnya.
“Mudah-mudahan ia segera menemukan kesadaran, bahwa pusaran persoalan pada diri sendiri kurang menguntungkan di dalam pergaulan yang luas. Sebab dengan demikian, maka setiap orang yang memandang kepentingan diri sendiri di atas kepentingan orang banyak, akan saling berbenturan tanpa ada pendekatan sama sekali,” berkata Agung Sedayu kepada diri sendiri. Namun ia pun sadar, bahwa ia harus mengatakannya kepada Sekar Mirah.
“Kapan saja ada kesempatan. Ia cepat menjadi salah paham,” desis Agung Sedayu pula.
Dalam pada itu, setelah ia selesai mandi dan berpakaian, maka ia pun segera pergi ke pendapa. Dengan kepala tunduk ia berjalan terbongkok-bongkok mendekati gurunya dan Swandaru. Di sebelah mereka telah duduk pula Ki Demang dan Ki Sumangkar. Bahkan ada beberapa orang bebahu kademangan yang kebetulan saja datang, ikut pula duduk di antara mereka, di antaranya adalah Ki Jagabaya. Setelah Agung Sedayu duduk di antara mereka, maka barulah Swandaru mau memulai pertemuan itu. Dengan sikapnya yang lucu, masih seperti dahulu, ia pun berdiri di muka pintu pringgitan. Setelah menebarkan pandangan matanya sejenak, ke segenap kawan-kawannya yang hadir, maka mulailah ia berbicara.
“Maaf. Aku terpaksa berdiri,” katanya mula-mula.
“Apakah kau perlukan ancik-ancik, supaya kau menjadi lebih tinggi sedikit?” bertanya seseorang.
Swandaru mengerutkan keningnya. Tetapi ia pun kemudian tertawa ketika kawan-kawannya tertawa pula. Sejenak kemudian, mulailah Swandaru berceritera. Sejak ia meninggalkan Sangkal Putung. Ia berceritera tentang sebuah perjalanan. Mula-mula ke Tanah Perdikan Menoreh, kemudian kembali dan singgah sebentar di Alas Mentaok.
Justru beberapa hal yang lucu-lucu sajalah yang diceriterakan. Bagaimana mereka pernah kehabisan bahan makan. Bagaimana mereka menjadi gembala kambing, tetapi kambingnya hampir habis disembelihnya. Tetapi Swandaru sengaja menghindari persoalan-persoalan yang berat dan berkesan dalam. Ia tidak menceriterakan pertentangan antar keluarga yang terjadi di Menoreh. Ia tidak menceriterakan korban yang berjatuhan di dalam pertentangan di antara keluarga sendiri itu. Demikian juga, ia tidak menceriterakan keterlibatannya di dalam persoalan Menoreh, karena usahanya menemukan dan menyelesaikan masalahnya dengan Sidanti, agar tidak berkesan bahwa mereka telah didorong oleh dendam yang membara di dalam hati.
“Anak itu sudah agak mengendap,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya.
“Syukurlah kalau ia menyadari, bahwa hal-hal lain yang bersifat kekerasan tidak ada manfaatnya diceritakan di hadapan banyak orang.”
Tetapi tiba-tiba saja di antara anak-anak muda yang duduk di pendapa itu, ada yang bertanya,
“Bagaimanakah berita Sidanti?”

Swandaru mengerutkan keningnya. Sejenak ia terdiam. Tanpa sesadarnya ia berpaling kepada Agung Sedayu. Tetapi Agung Sedayu ternyata tidak sedang memandang kepadanya. Namun Swandaru yang gemuk itu tiba-tiba saja berkata,
“Aku sudah terlampau banyak berceritera. Bertanyalah kepada Kakang Agung Sedayu.”
Agung Sedayu terkejut. Sebenarnya ia tidak begitu banyak mendengar ceritera Swandaru, karena ia sedang asyik merenungi dirinya sendiri dan mencoba menerawang tabiat dan sifat-sifat Sekar Mirah. Karena itu, ia menjadi agak terkejut mendengar namanya disebut-sebut.
“Kakang Agung Sedayu,” berkata Swandaru,
“aku sudah banyak berceritera tentang perjalanan kita. Tiba-tiba saja ada yang bertanya tentang Sidanti. Biarlah kau saja yang menjawabnya.”
“Ah, kenapa aku? Jawablah sama sekali.”
Tetapi Swandaru tidak menghiraukannya. Ia pun segera duduk di samping Agung Sedayu. Sambil mendorong Agung Sedayu ia berkata,
“Anak-anak muda Sangkal Putung tentu masih ingat, bahwa kau adalah adik Untara. Bahwa kau adalah anak muda yang pernah berjasa atas Sangkal Putung. Dan mereka pasti masih ingat, kau mempunyai persoalan tersendiri dengan Sidanti.”
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Tetapi ia berdesis,
“Kau mau enakmu sendiri.”
Swandaru tidak menghiraukan. Sambil tertawa, sekali lagi ia mendorong Agung Sedayu agar berdiri. Agung Sedayu pun kemudian berdiri dengan ragu-ragu. Tetapi ia pun sadar, bahwa kekerasan tidak ada manfaatnya diuraikan di pertemuan itu. Karena itu, maka jawabnya singkat,
“Sayang sekali. Umur Sidanti tidak terlampau panjang. Tetapi itu adalah suatu kebetulan yang tidak disengaja.”
“Kenapa?” seorang yang lain mendesak.
Bahkan terdengar seseorang bertanya,
“Kaukah yang membunuhnya?”
“Bukan. Bukan aku. Di Menoreh selain menggembala kambing, kami memelihara kambing kami sebaik-baiknya. Sehingga pada suatu saat, kami terkejut melihat jumlah kambing kami yang meningkat dengan cepat.”
“He,” potong yang lain,
“bukankah Swandaru hampir setiap hari memotong kambing-kambing itu, sehingga hampir habis karenanya?”

Agung Sedayu terkejut. Ternyata ceriteranya agak berbeda, karena ia tidak begitu mendengarkan ceritera Swandaru. Namun sambil tersenyum Agung Sedayu menyahut,
“Demikianlah pada mulanya. Tetapi aku mengancam, kalau ia terus-menerus memotong kambing-kambing itu, aku tidak akan mau ikut memeliharanya lagi. Aku akan menjualnya dan menukarkannya dengan beberapa ekor lembu. Biarlah ia coba-coba memotong lembu setiap hari satu.”
Anak-anak yang mendengarkan ceritera Agung Sedayu itu tertawa, tetapi Swandaru sendiri bersungut-sungut sambil bergumam,
“Ada-ada saja. Ternyata ia tertidur ketika aku berceritera, sehingga ia terpaksa mengarang ceritera sendiri.”
Demikianlah, pertemuan itu menjadi pertemuan yang sangat meriah. Swandaru dan Agung Sedayu berceritera berganti-ganti. Namun seperti berjanji, mereka selalu menghindari ceritera-ceritera tentang kekerasan dan apalagi yang langsung menyinggung usaha pembukaan hutan Mentaok dengan hantu-hantunya. Mereka menyinggung saja beberapa hal yang tidak akan melibatkan mereka ke dalam kesulitan, karena suasana yang kurang baik antara Mataram dan Pajang, di antara anak-anak muda itu pasti ada satu dua yang pernah berhubungan dengan orang-orang Pajang atau orang-orang Mataram, sehingga persoalan yang menyangkut keduanya akan dapat menimbulkan persoalan tersendiri.
Karena itu, terlebih-lebih Swandaru, menceriterakan saja tentang dirinya sendiri. Namun masih ada juga yang teringat, bahwa pertanyaan tentang Sidanti masih belum terjawab sepenuhnya, sehingga ia bertanya di antara suara riuh kawan-kawannya,
“He, bagaimana dengan kematian Sidanti itu?”
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Setelah merenung sejenak, maka jawabnya,
“Kadang-kadang hukum Tuhan tampak dengan jelas. Tetapi kadang-kadang hanya samar-samar saja apabila kita tidak memperhatikannya dengan sungguh-sungguh.” Agung Sedayu berhenti sejenak. Lalu,
“Demikian agaknya dengan Sidanti. Ia meninggal karena hukum itu dengan tegas berlaku atasnya.”
“Siapakah yang membunuhnya?”
“Tidak ada yang sengaja membunuhnya. Tetapi ia meninggal oleh goresan senjata adiknya sendiri tanpa di kehendakinya. Tegasnya, suatu kecelakaan justru pada saat Sidanti menyadari kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan. Baik terhadap tanah ini, maupun terhadap keluarganya.”
Tetapi keterangan Agung Sedayu itu tidak memuaskan mereka, sehingga justru hampir berbareng beberapa orang bertanya,
“Kenapa kecelakaan itu terjadi?”
Agung Sedayu menarik nafas. Ia kini berada dalam kesulitan untuk menghindari ceritera yang panjang dan Sidanti.
Tetapi tiba-tiba saja Swandaru berkata lantang,
“He, kita tunda dahulu ceritera perjalanan ini. Ternyata dari balik dinding aku mendapat isyarat, bahwa kita harus menyediakan waktu sejenak. Bukan saja di rantau aku selalu memotong kambing, di sini pun aku melakukannya juga.”
Tiba-tiba saja pendapa itu menjadi riuh. Beberapa orang berkata,
“Bagus. Semakin cepat semakin baik.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ternyata Swandaru telah berhasil membebaskannya dari kesulitan. Agung Sedayu mengharap, bahwa kemudian anak-anak itu tidak akan sempat bertanya-tanya lagi, apabila mereka mulai menyuapi mulut mereka dengan nasi hangat dan daging kambing. Sementara itu, ternyata Sekar Mirah yang mendengarkan pertemuan itu dari balik dinding pun menjadi geli sendiri. Kadang-kadang ia terpaksa tertawa sendiri mendengarkan pertanyaan-pertanyaan yang aneh-aneh dan jawaban Swandaru atau Agung Sedayu yang sama sekali tidak diduga-duganya. Serba sedikit Sekar Mirah sendiri melihat apa yang telah terjadi di Tanah Perdikan Menoreh. Karena itu, ia kadang-kadang harus menahan suara tertawanya dengan telapak tangannya apabila jawaban-jawaban yang diberikan sama sekali tidak menyinggung persoalan yang sebenarnya telah terjadi. Bahkan kadang-kadang jawaban Swandaru dan Agung Sedayu menjadi bersimpang-siur. Kiai Gringsing dan Sumangkar pun harus menahan kegelian mereka mendengarkan Swandaru yang seolah-olah begitu saja berkicau tanpa ujung dan pangkal. Namun kadang-kadang hati mereka pun menjadi berdebar-debar apabila keterangan kedua anak muda itu mulai bersilang. Tetapi ternyata hidangan yang kemudian mulai mengalir, telah menghentikan segala macam pertanyaan anak-anak muda di pendapa yang kadang-kadang memang terasa tegang. Mereka lebih tertarik kepada hidangan itu daripada ceritera Swandaru dan Agung Sedayu. Namun dalam pada itu, selagi anak-anak muda Sangkal Putung sibuk menikmati hidangan itu sambil berkelakar, maka seorang anak muda yang duduk di sudut yang agak jauh dari lampu minyak, berdesis kepada kawan yang duduk di sampingnya,
“Jadi inikah putera Ki Demang Sangkal Putung itu?”
“Ya, itulah yang bernama Swandaru.”
“Gambaranku tentang putera Ki Demang itu ternyata keliru. Karena itu aku memerlukannya hadir untuk melihat tampang anak muda yang seakan-akan menjadi buah bibir orang-orang se kademangan, seolah-olah hanya ia sendirilah laki-laki di Sangkal Putung ini.”
“He, kenapa kau?”
“Tidak apa-apa. Aku hanya menyesali diriku sendiri. Kenapa selama ini aku membayangkan putera Ki Demang sebagai seorang anak muda yang gagah, berwibawa dan bermata tajam.”
“Bukankah kau tahu bahwa Swandaru itu sejak dahulu segemuk itu. Ini pun ia telah agak susut sedikit.”
“Aku belum pernah melihatnya. Aku tinggal pada paman di Sangkal Putung, setelah ia pergi bertualang.”
“O,” kawan di sampingnya mengangguk-angguk,
“sejak dahulu demikianlah bentuk Swandaru.”
“Aku sangat terpengaruh oleh wujud adiknya, Sekar Mirah. Ternyata Sekar Mirah sama sekali tidak pantas mempunyai seorang kakak seperti itu. Gemuk, tidak cukup tinggi dan sama sekali tidak berwibawa. Buat apa ia tertawa-tertawa seperti orang yang tidak waras?” anak muda itu berhenti sejenak. Lalu,
“Jadi yang seorang itu kawannya?”
“Kau belum kenal dengan keduanya. Sebaiknya kau memperkenalkan dirimu. Swandaru adalah pimpinan pasukan pengawal yang terdiri dari anak-anak muda. Pasukan itu dibentuk terutama untuk membantu menghadapi Tohpati saat itu.”

Anak muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Hampir tidak berkedip ia menatap Swandaru dengan sifat-sifatnya yang sudah dikenal baik oleh kawan-kawannya. Ia adalah anak muda yang banyak tertawa dan senang bergurau, meskipun kadang-kadang hatinya melonjak apabila ia mempunyai suatu keinginan. Meskipun bibirnya selalu tersenyum, namun hatinya dapat menjadi sekeras batu.
“Pada suatu saat aku akan mengenalnya juga,” berkata anak muda itu,
“mudah-mudahan aku kerasan tinggal bersama paman, sehingga aku sempat menilai apakah pemimpin pasukan pengawal Sangkal Putung, yang sekaligus adalah putera Ki Demang itu benar-benar seorang anak muda yang pantas menjadi seorang pemimpin pengawal.”
Kawannya berbicara mengerutkan keningnya. Tiba-tiba saja tangannya berhenti menyuapi mulutnya. Dengan sungguh-sungguh ia berkata,
“Ia adalah anak yang sangat kuat, tangkas, dan baik.”
Anak muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambil menarik sudut bibirnya ia bertanya,
“Dan kawannya itu?”
“O, anak muda itu adalah adik Untara. Tentu ia seorang yang memiliki kemampuan hampir seperti Untara sendiri.”
“Kenapa ia berada di sini?”
“Ia berada di sini sejak Tohpati masih memimpin pasukannya. Ia termasuk salah seorang yang berjasa bagi Sangkal Putung.”
“Ya, tetapi bukankah ia bukan anak Sangkal Putung?”
“Ia anak Jati Anom.“
“Kenapa ia tidak kembali ke Jati Anom? Bukankah Jati Anom tidak begitu jauh?”
“Ia baru saja datang dari Jati Anom.”
“Aku tahu. kita dipaksa untuk duduk di sini sekedar menunggunya. Aku menjadi jemu. Kalau aku tidak mengingat sopan santun, aku sudah pergi sejak tadi. Tetapi kenapa ia datang juga kemari dan bermalam di rumah ini? Tidak di Jati Anom, di rumahnya sendiri?”

Kawannya yang duduk di sampingnya menarik nafas dalam-dalam. Ia agak segan untuk mengatakannya. Namun dengan terpaksa ia menjawab,
“Ada hubungan yang lain pada keduanya. Keduanya mempunyai seorang guru yang sama. Dan agaknya ada hubungan yang lain pula pada Agung Sedayu itu dengan adik Swandaru.”
“Huh, itulah agaknya,” anak muda itu berhenti. Lalu,
“Yang mana yang kau maksud dengan gurunya?”
“Apakah ia berada di sini juga?”
“Ya. Orang tua yang duduk di sampingnya.”
“O, orang tua yang selalu terangguk-angguk itu? Pantas ia tertawa-tertawa juga seperti murid-muridnya. Agaknya ketiganya memang orang-orang yang kurang waras.”
“Kenapa kau berkata begitu?”
“Bukankah lain perbawa yang tampak di wajah Ki Demang? Tenang dan mantap. Tanpa tertawa-tawa seperti orang kurang sajen? Memang sekali-sekali ia tertawa untuk memuaskan anaknya. Tetapi sikapnya mantap. Sangat berbeda dengan orang tua yang sakit-sakitan itu. Ia memang pantas untuk menjadi seorang penggembala. Jika gurunya demikian, bagaimanakah kira-kira dengan muridnya?”
Kawannya yang duduk di sampingnya tidak menyahut lagi. Agaknya anak muda itu tidak senang melihat sikap Swandaru. Ia terlampau bersikap dalam dan bersungguh-sungguh menanggapi setiap persoalan sehingga ia tidak biasa bergurau dan berkelakar.
“Kelak ia akan mengerti,” berkata anak Sangkal Putung itu di dalam hatinya,
“ia orang baru di sini. Mungkin kebiasaan dan pergaulannya di tempatnya yang lama masih sangat berpengaruh.”
Dengan demikian, maka ia tidak lagi menghiraukan sikap dan perasaan anak muda itu. Dibiarkannya saja anak muda itu duduk dengan tegangnya. Makanan yang dihidangkan kepadanya, hampir tidak disentuhnya. Memang ada juga ia makan sesuap dua suap. Tetapi itu pun telah dipaksakannya.
“Aku hampir tidak tahan lagi,” geramnya kemudian,
“aku menjadi muak melihat sikapnya. Benar-benar di luar dugaanku. Sebenarnya aku ingin ikut mengaguminya sebagai seorang putera Demang di Sangkal Putung dan sebagai kakak Sekar Mirah. Tetapi benar-benar mengecewakan.”
“Ah,” kawannya berbicara berdesah. Ia pun jemu mendengar anak muda itu selalu mencela sikap Swandaru dan Agung Sedayu.
“Kalau kau memang tidak tahan, lebih baik kau tidak menghiraukan lagi. Sikapnya, juga ceriteranya. Makan sajalah. Sebentar lagi pertemuan ini akan selesai.”
“Kau sangka aku hanya mencari makan, datang ke pendapa kademangan ini?”
“Tentu tidak. Tetapi karena makan itu sudah dihidangkan, marilah kita makan.”

Tetapi anak muda itu menggeleng. Sekali-sekali ia masih memandang Swandaru dan Agung Sedayu yang masih saja berceritera berganti-ganti di sela-sela tangannya yang masih saja menyuapi mulutnya. Tetapi ceriteranya sudah berkisar jauh dari ceritera tentang Sidanti. Akhirnya anak muda yang duduk di sudut itu benar-benar tidak tahan lagi menunggu pertemuan itu selesai. Maka tanpa minta diri, ia pun menyelinap dan meninggalkan pendapa itu. Untunglah Swandaru dan Agung Sedayu tidak begitu menghiraukannya, sehingga mereka acuh tidak acuh saja, meskipun mereka melihat juga seseorang yang melintas di halaman. Mereka hanya menyangka bahwa orang itu pasti salah seorang yang kebetulan sedang bertugas di gardu. Bahkan Swandaru itu pun tiba-tiba ingat dan bertanya,
“He, apakah masih ada yang tinggal di gardu?”
“Tidak,” seseorang menjawab,
“akulah yang sebenarnya bertugas meronda malam ini. Tetapi aku lebih senang duduk di sini bersama tiga orang kawan daripada di gardu yang gelap dan tanpa semangkuk air panas dan nasi hangat.”
Kawan-kawannya pun tertawa. Namun tiba-tiba mereka terkejut. mendengar kentongan yang tiba-tiba saja berbunyi keras sekali memecah heningnya malam. Pendapa yang riuh itu tiba-tiba menjadi hening. Semula orang seakan-akan telah dicengkam oleh suara kentongan itu. Namun sejenak kemudian mereka menarik nafas sambil berkata,
“Dara muluk.”
“Aku kira ada sesuatu yang terjadi selagi kita duduk di sini,” desis yang lain.
Namun Swandaru mengerutkan keningnya sambil berkata,
“Kenapa kentongan itu dipukul dengan nada dara muluk? Apakah kini kita telah sampai pada tengah malam?”
Seorang yang duduk di pinggir pun kemudian meloncat keluar. Sambil berpegangan sebatang pohon ia mencoba melihat bintang Gubug Penceng di ujung Selatan.
“Masih belum tengah malam. Masih agak jauh,” berkata anak muda yang mengamati bintang Gubug Penceng itu.
“Jadi siapakah yang telah membunyikan kentongan belum waktunya itu?”
“Entahlah.”

Seorang anak muda yang duduk dengan orang baru itu mulai curiga. Anak muda yang jemu melihat pertemuan itulah agaknya yang telah membuat gaduh. Tetapi karena ia belum yakin, maka ia tidak mengatakan apa-apa.
“Coba lihatlah, siapakah yang telah membunyikan kentongan itu. Mungkin ia baru saja terbangun dari tidurnya. Atau barangkali justru dalam keadaan tidak sadar,” berkata Swandaru,
“kemudian ajaklah ia kemari, kita selesaikan pertemuan ini sebentar.”
“Baiklah,” berkata anak muda itu.
“Tunggu,” berkata Ki Jagabaya,
“marilah. Aku ikut bersamamu. Anak-anak muda mudah menjadi salah paham. Tetapi mungkin juga seseorang ingin memperingatkan, bahwa justru kita semua berada di sini, keamanan dapat terganggu.”
“Daerah ini sudah aman,” berkata Ki Demang,
“hampir tidak pernah terjadi kejahatan apa pun. Apalagi yang sekarang berkumpul adalah anak-anak muda yang sebaya dengan Swandaru. Orang tua-tua masih tetap berada di rumah masing-masing, dan barangkali sekelompok berada juga di pojok desa atau di gardu-gardu.”
Ki Jagabaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian ia berkata,
“Baiklah. Tetapi aku ingin melihat orang yang sedang ngelindur itu.”
Ki Jagabaya pun kemudian turun dari pendapa itu pula, dan pergi ke gardu di simpang tiga, di tengah-tengah induk kademangan. Mereka kenal betul bahwa suara kentongan itu adalah kentongan yang berada di gardu itu. Ketika Ki Jagabaya beserta dua orang anak muda yang mengiringinya sampai ke tempat itu, mereka menjadi termangu-mangu. Mereka tidak melihat seorang pun. Anak-anak muda maupun orang-orang tua.
“Kosong,” desis Ki Jagabaya.


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar