MASIH tidak ada jawaban. Untara menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia kini justru harus menahan kegelian yang hampir meledak, melihat dua orang anak muda yang berdiri tegak seperti tikus di dalam kubangan.
“Baiklah.
Terserah apa yang akan kalian lakukan. Aku akan kembali,” tetapi Untara menjadi
ragu-ragu, apakah kalau keduanya ditinggalkan di tempat itu, mereka tidak akan
terlibat lagi dalam perkelahian? Meskipun jelas baginya, bahwa Ranajaya tidak
akan dapat mengimbangi kemampuan Agung Sedayu. Tetapi bahwa tangan Ranajaya
telah melekat di hulu kerisnya, menjadi pertimbangan yang berat bagi Untara.
Karena itu,
maka katanya kemudian,
“Adi Ranajaya.
Marilah kita kembali. Sebaiknya kau meminjam baju salah seorang prajuritmu.
Biarlah ia tidak mengenakan baju.”
Sejenak
Ranajaya termangu-mangu, sedang ketiga prajuritnya menjadi berdebar-debar.
“Marilah,”
desak Untara.
Ranajaya yang
mengenal sifat dan tabiat Untara, tidak dapat membantah lagi. Ia tahu, bahwa
Untara ingin memisahkannya dari Agung Sedayu, supaya perkelahian itu tidak
terulang kembali, selain Ranajaya memang harus mengakui, bahwa ia tidak akan
dapat mengalahkan adik senapati itu. Namun demikian, Ranajaya masih juga
termangu-mangu. Tetapi ketika Untara mendesaknya sekali lagi, maka katanya kepada
salah seorang prajuritnya,
“Berikan
bajumu.”
“Tetapi,
apakah aku tidak berbaju?”
“Bukankah
hampir setiap saat kau tidak berbaju?”
“Tetapi di pondok
kami. Tidak di sini.”
“Berikan baju
itu.”
“Apakah juga
kain panjang dan celana?”
“Tidak. Hanya
bajumu. Kain panjang dan celana tidak begitu menarik perhatian.”
Prajurit itu
ragu-ragu sejenak. Namun sebelum ia melepas bajunya, Untara berkata,
“Yang seorang
lagi, berikan bajumu kepada Agung Sedayu. Besok baju itu akan dikembalikan,
atau ditukar dengan yang baru.”
Kawannya pun
menjadi berdebar-debar juga. Apakah mereka harus memasuki padukuhan tanpa baju?
Meskipun sehari-hari mereka memang biasa tidak mengenakan baju, tetapi tidak
berkuda di sepanjang jalan. Karena keragu-raguan itu, maka Untara pun berkata,
“Kalian berdua
yang tidak berbaju, tinggallah di sini. Kawanmu yang seorang akan kembali lagi
kemari membawa baju kalian. Ia akan mengambilnya di padukuhan.”
Kedua prajurit
itu mengangguk-angguk. Agaknya itu memang lebih baik. Demikianlah, sejenak
kemudian Ranajaya telah berpacu bersama Untara kembali ke padukuhan Jati Anom.
Meskipun kain panjang dan celana Ranajaya basah kuyup dan kotor oleh lumpur,
namun tidak akan menarik perhatian, seperti seandainya bajunyalah yang
berlumuran dengan lumpur yang coklat kehitam-hitaman.
Dalam pada
itu, Agung Sedayu pun sudah mengenakan baju prajurit pengiring Ranajaya yang
masih tinggal. Sejenak ia mengamat-amati baju yang agak terlampau sempit dan
pendek. Tetapi itu lebih baik daripada memakai baju yang basah dan kotor.
“Bagaimana
dengan kau?” bertanya Agung Sedayu kepada Japa.
Japa merenung
sejenak, lalu berkata perlahan-lahan sekali,
“Aku sudah
terlanjur mengatakan, bahwa aku akan menengok keluargaku. Aku akan terus.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sesaat ia memandang kedua prajurit yang masih
berdiri termangu-mangu.
“Tinggallah di
sini,” berkata Japa kemudian,
“kami akan
melanjutkan perjalanan.”
Kedua prajurit
itu memandangnya dengan tatapan mata yang aneh, sedang Japa justru malahan
tersenyum sambil berkata,
“Jangan
menyesal. Kalian tidak akan kedinginan, karena sebentar lagi kawanmu itu akan
datang.”
“Kenapa bukan
bajumu saja yang dipakainya?” berkata salah seorang dari kedua prajurit itu.
Japa yang
kemudian tertawa menjawab,
“Agaknya
memang lebih baik bajumu daripada bajuku. Apalagi aku akan pergi menengok
keluargaku.”
“Persetan!”
prajurit itu mengumpat.
Japa tidak
menghiraukannya lagi, meskipun ia masih juga tertawa. Sekali ia berpaling,
namun kemudian kudanya pun berlari bersama kuda Agung Sedayu yang merasa sudah
agak lambat. Tetapi Japa tidak mengikuti Agung Sedayu sampai ke Sangkal Putung.
Karena ia sudah terlanjur meninggalkan Jati Anom, maka ia pun kemudian
benar-benar pergi menengok keluarganya, meskipun ia akan segera kembali. Karena
itu, maka Agung Sedayu pun segera berpacu sendiri. Semakin lama semakin cepat,
karena langit pun menjadi semakin suram. Warna-warna merah senja menjadi pudar
ketika bayangan malam mulai turun.
“Swandaru
pasti sudah menunggu kedatanganku,” katanya kepada diri sendiri.
“Bahkan
mungkin anak-anak muda yang tidak sabar itu, telah menjadi ribut di halaman
kademangan. Mungkin mereka sama sekali tidak berpikir untuk menunggu
kedatanganku.”
Dan Agung
Sedayu pun menarik nafas dalam-dalam. Memang ia tidak yakin bahwa anak-anak
muda Sangkal Putung memerlukannya. Mereka barangkali sama sekali tidak
menghiraukan lagi, apakah ada Agung Sedayu atau tidak di halaman kademangan senja
itu. Tetapi yang pasti baginya, keluarga Ki Demang sendiri pasti sudah
menunggunya. Apalagi Sekar Mirah dan juga Kiai Gringsing.
“Aku tidak
peduli, apakah anak-anak muda Sangkal Putung memerlukan aku,” katanya di dalam
hati,
“tetapi aku
harus segera sampai di kademangan.”
Dalam pada
itu, di Kademangan Sangkal Putung, anak-anak muda sudah mulai berdatangan.
Bahkan mereka tidak sabar lagi untuk menunggu sampai senja. Sejak matahari
condong, beberapa orang sudah berada di gardu di regol halaman. Tetapi Swandaru
tidak keluar dari gandok. Bahkan ia pun kemudian tidur mendengkur di dalam
biliknya. Tetapi Swandaru tidak mengingkari janjinya. Ia sudah minta kepada
ayahnya untuk memotong kambing. Kawan-kawannya akan datang menemuinya dan Agung
Sedayu.
“Nanti sore?”
bertanya ibunya ketika ia mendengar permintaan itu.
“Ya.”
“Bagaimana aku
harus menyiapkan?”
“Panggil semua
tetangga untuk membantu Ibu,” jawab Swandaru sambil mengerutkan keningnya.
“Tidak
mungkin,” sahut Sekar Mirah. “Besok saja.”
“Aku sudah
berjanji. Ayah dapat memanggil juru masak yang baik. He, apakah Pak Ranu masih
ada?”
“Ya.”
“Panggil saja
Pak Ranu. Ia pasti akan dapat menyiapkannya sore nanti.”
Ibunya menarik
nafas. Jika demikian, ia tidak akan dapat menunda lagi. Bahkan Sekar Mirah pun
berkata,
“Biarlah Pak
Ranu dipanggil, Ibu. Ia agaknya akan dapat menyelenggarakannya. Ia mempunyai
beberapa orang pembantu yang cekatan.”
Demikianlah,
maka ketika senja turun, Pak Ranu benar-benar sudah dapat menyiapkan hidangan
yang akan disuguhkan pada anak-anak muda yang akan datang menemui Swandaru di
pendapa kademangan. Setelah Swandaru bangun dan membersihkan diri serta
berganti pakaian, maka ia pun segera turun ke halaman. Demikian ia tampak, maka
anak-anak muda yang sudah ada di gardu pun segera mendapatkannya. Semakin lama
semakin banyak.
“Marilah,
naiklah ke pendapa,” berkata Swandaru.
Di pendapa,
seseorang telah membentangkan tikar hampir sepenuh pendapa itu. Swandaru
sendiri tidak mengetahui, berapa orang kawan-kawannya yang bakal datang.
Mungkin tidak begitu banyak, tetapi mungkin banyak sekali. Sehingga karena itu
pulalah, maka ibu Swandaru menahan Ranu agar tidak pulang dahulu ke rumah,
meskipun ia sudah selesai menyiapkan hidangan.
“Bukankah
tinggal menghidangkannya saja, Nyai Demang?” berkata Ranu.
“Tunggu sampai
kita pasti, bahwa hidangan ini tidak kurang.”
Ranu
tersenyum. Jawabnya,
“Seandainya
kurang, apakah kami harus menyiapkan kekurangan itu?”
“Tentu.”
“Tetapi itu
tidak mungkin lagi.”
“Tentu
mungkin. Kau dapat berbuat apa saja, karena kau mempunyai pengalaman yang
cukup. Kau tentu lebih tahu daripada kami, apa yang harus kita lakukan.
Misalnya, kita harus menangkap beberapa ekor ayam atau apa pun yang segera
dapat dilakukan.”
Ranu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia memenuhi permintaan Nyai Demang.
Ketika senja
menjadi semakin gelap, maka anak-anak muda semakin banyak berdatangan. Tetapi
di antara mereka masih belum tampak Agung Sedayu. Swandaru menjadi gelisah.
Meskipun ia dapat menerima kawan-kawannya seorang diri, dan menjawab
pertanyaan-pertanyaan mereka yang pasti akan sangat beraneka macam, namun
Swandaru benar-benar mengharap kedatangan Agung Sedayu. Tetapi yang lebih
gelisah daripadanya adalah Sekar Mirah. Setiap kali ia mengintip dari sela-sela
daun pintu, apakah Agung Sedayu sudah datang dan langsung duduk di pendapa. Tetapi
sampai saatnya bayangan hitam turun menyelubungi Sangkal Putung, Agung Sedayu
masih belum tampak.
Kiai Gringsing
dan Sumangkar, yang duduk di serambi gandok pun menjadi gelisah pula. Mungkin
Agung Sedayu diminta oleh Untara untuk bermalam. Tetapi mungkin juga sesuatu
dapat terjadi di perjalanan.
“Kakang Agung
Sedayu selalu ingkar janji,” Sekar Mirah menggerutu sendiri. Bahkan ia telah
datang menanyakannya kepada Kiai Gringsing.
“Aku belum
melihatnya,” jawab Kiai Gringsing.
“Ia selalu
ingkar,” desis Sekar Mirah.
“Bukan
selalu,” sahut Sumangkar, “berapa kali ia ingkar.”
Sekar Mirah
tidak menyahut. Namun ia pun kemudian meninggalkan gandok itu.
Dalam pada
itu, pendapa Kademangan Sangkal Putung, semakin lama menjadi semakin banyak
anak-anak muda yang berdatangan. Seperti yang diduga oleh Swandaru, maka selain
anak-anak muda dari induk padukuhan di Kademangan Sangkal Putung, ada juga satu
dua orang yang datang dari padukuhan-padukuhan yang lain. Namun jumlah mereka
ternyata masih belum mencemaskan ibunya yang sedang menyiapkan hidangan di
belakang.
“Swandaru,”
berkata salah seorang dari anak-anak muda,
“sekarang kau
berdiri di ujung. Kau mulai berceritera tentang perjalananmu. Kemudian barulah
kau mengucapkan syukur bahwa kau telah selamat kembali di Sangkal Putung. Kami
akan menyertaimu.”
“Itulah yang
penting,” sahut seorang anak muda yang lain.
Hampir
berbareng anak-anak muda itu tertawa.
“Kita masih
menunggu,” sahut Swandaru kemudian.
“Siapa lagi
yang kita tunggu? kita tidak mengundang siapa pun, sehingga kita tidak tahu,
siapa yang belum datang sekarang ini. Kami berdatangan atas kehendak kami
sendiri.”
“Bukan
kawan-kawan yang lain. Ayah akan hadir di pendapa ini juga. Selain ayah, juga
Ki Tanu Metir dan Ki Sumangkar. Kalau saatnya pertemuan ini akan kita mulai,
aku akan mengundang mereka.”
“Panggillah
sekarang. Aku ingin segera mendengar ceriteramu tentang daerah yang kau
jelajahi.”
“Kemudian
segera ingin mendengar kau menyatakan syukur dan kami akan mengantar ucapan syukur
itu bersama-sama.”
“Bukan itu.
Yang penting, syarat ucapan syukur itu.”
“Ya, ya.
Segera akan kita mulai. Sebentar lagi. Aku masih menunggu.”
“Siapa lagi?”
“Kakang Agung
Sedayu.”
“O,” anak-anak
muda itu saling berpandangan. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, mereka
saling berbicara di antara mereka sendiri.
“Agung Sedayu,
adik Senapati Untara. Apakah kau sudah lupa? Anak muda yang berjasa di
saat-saat Tohpati masih berkeliaran di sekitar daerah ini. Tanpa Agung Sedayu,
entahlah apa jadinya Sangkal Putung sekarang ini.”
Kawannya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“O, ya. Aku
ingat sekarang. Anak muda yang berkelahi melawan Sidanti.”
“Ya, agaknya
Sidanti memang berkhianat. Ia sudah berani melawan Untara di alun-alun.”
Kawannya
mengerutkan keningnya.
“Ketika
diadakan lomba memanah. Bukankah saat itu, saat hadirnya Untara di daerah ini?”
“Ya, ya. Aku
ingat sekarang. Sidanti bukan saja berani melawan Untara, tetapi Sekar Mirah
memang membuat hatinya menjadi panas. Bukankah sebelum datang Agung Sedayu,
Sekar Mirah tampaknya begitu dekat dengan Sidanti?”
“Di mana
Sidanti sekarang?”
“Tidak seorang
pun yang tahu. Ketika ia terusir dari Sangkal Putung, bukankah ia pergi ke
padepokan gurunya di Tambak Wedi? Tetapi akhirnya Tambak Wedi dihancurkan oleh
Untara, yang disertai pula oleh Agung Sedayu dan Swandaru. Dan Sidanti pun
terusir lagi dari Tambak Wedi.”
“Ia kembali ke
Menoreh,” sahut kawan yang duduk di sebelahnya. Lalu,
“Dan
desas-desus yang kami dengar, Sidanti telah terbunuh di rumah sendiri.”
“Siapa yang
membunuhnya?”
“Dengar
ceritera Swandaru nanti. Bukan aku. Aku juga tidak tahu pasti, apa yang
terjadi.”
Anak-anak muda
yang mendengarnya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tetapi, karena
Agung Sedayu belum juga datang, maka mereka pun menjadi gelisah. Rasa-rasanya
sudah satu hari satu malam mereka duduk di pendapa. Bahkan lampu sudah
dinyalakan di segenap sudut rumah Ki Demang. Beberapa obor telah dipasang di
halaman. Tetapi Agung Sedayu belum juga datang.
“Ia tidak akan
datang,” berkata salah seorang dari anak-anak muda yang tidak sabar lagi.
“Ia tentu
datang,” jawab Swandaru.
Dalam
kegelisahan itu mereka pun kemudian dikejutkan oleh derap kaki seekor kuda,
yang berlari langsung memasuki halaman kademangan. Serentak anak-anak muda yang
berada di pendapa itu pun berpaling. Mereka melihat di dalam cahaya obor,
seorang anak muda yang langsung meloncat dari punggung kuda yang berhenti di
depan gandok.
“Ia telah
datang,” berkata Swandaru lantang.
“Ya, Agung
Sedayu telah datang,” sahut yang lain.
“Nah, sekarang
ia benar-benar telah datang!” teriak beberapa orang hampir berbareng.
Agung Sedayu
terkejut mendengar anak-anak muda itu menyambut kedatangannya. Seolah-olah ia
merupakan orang yang sangat penting bagi mereka. Tetapi Agung Sedayu pun
kemudian sadar, bahwa bukan karena ia dianggap orang yang penting di Sangkal
Putung. Tetapi sambutan itu adalah ledakan dari kejemuan mereka, setelah mereka
menunggu beberapa lama di pendapa.
“Kemarilah,”
Swandaru pun kemudian turun dari pendapa menyongsongnya,
“pergilah langsung
ke pendapa. Kami menunggu kedatanganmu.”
“Aku akan
berganti pakaian dahulu.”
“Ah. Tidak
usah. Tidak perlu. Marilah,” Swandaru menarik lengan Agung Sedayu.
Tetapi Agung
Sedayu menggelengkan kepalanya. Katanya,
“Lihat kain
panjangku.”
“Kenapa?”
“Rabalah.”
Swandaru
terkejut ketika teraba olehnya kain panjang Agung Sedayu yang basah dan kotor
oleh lumpur.
Dengan wajah
yang bertanya-tanya ditatapnya Agung Sedayu yang termangu-mangu, sehingga
sejenak mereka saling berdiam diri. Kiai Gringsing beserta Sumangkar yang juga
melihat kehadiran Agung Sedayu pun mendekatinya pula sambil bertanya,
“Kenapa kau,
Sedayu?”
Agung Sedayu
memandang gurunya sejenak, kemudian katanya,
“Sedikit
rintangan di perjalanan, Guru?”
Gurunya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia melihat baju Agung Sedayu, bukanlah baju
yang dipakainya ketika ia berangkat. Baju ini agaknya kurang sesuai dengan
badan Agung Sedayu.
“Kau berganti
baju?” bertanya Kiai Gringsing.
“Ya. Bajuku
juga basah dan kotor oleh lumpur,” berkata Agung Sedayu sambil mengambil
bajunya yang kotor, yang disangkutkan di kudanya.
“Apa yang
sudah terjadi?” bertanya Swandaru.
“Sudahlah,”
potong gurunya,
“nanti sajalah
kau berceritera. Sekarang cepat berganti pakaian. Anak-anak muda itu sudah
menjadi gelisah menunggu kedatanganmu.”
“O,” Agung
Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya,
“baiklah. Aku
akan segera berganti pakaian.”
Setelah
mengikat kendali kudanya, maka Agung Sedayu pun segera masuk ke biliknya
bersama Swandaru. Sambil berbisik ia bertanya,
“Swandaru,
apakah kalian sudah lama menunggu? Dan apakah, apakah ………”
“Sekar Mirah
maksudmu?”
Agung Sedayu
mengangguk.
“Sejak sore
tadi ia marah-marah saja. Dikiranya kau tidak akan kembali hari ini.”
Agung Sedayu
menarik nafas.
“Ada sesuatu.
Nanti aku ceriterakan. Aku akan pergi ke pakiwan saja dahulu.”
“Cepat. Aku
menunggu di pendapa. Aku akan mempersilahkan ayah dan guru bersama Ki
Sumangkar, untuk duduk meskipun hanya sekedar menunggui pertemuan ini.
Anak-anak itu pasti tidak akan telaten duduk terlampau lama. Tetapi waktu yang
pendek itu pasti mereka pergunakan untuk bertanya tentang masalah yang
aneh-aneh, yang barangkali tidak pernah kita pikirkan.”
Agung Sedayu
mengangguk-angguk.
“Kalau bau
makanan sudah menyentuh hidung mereka, mereka pasti akan segera diam.”
“Baiklah. Aku
akan mandi sebentar. Kembalilah ke pendapa.”
Swandaru pun
kemudian kembali naik ke pendapa setelah ia mempersilahkan Ki Demang, Kiai
Gringsing, dan Ki Sumangkar untuk duduk bersama anak-anak muda di pendapa itu. Dalam
pada itu Agung Sedayu pun dengan tergesa-gesa pergi ke pakiwan sambil
menjinjing pakaian kering. Ia harus segera mandi dan berganti pakaian, karena
agaknya anak-anak muda itu sudah lama menunggu.
“Tentu
Swandaru yang menyuruh mereka menunggu. Bukan atas kehendak mereka sendiri,
karena mereka tidak lagi mengenal aku, atau mereka tidak lagi mempedulikan
aku.”
Tetapi ketika
Agung Sedayu sudah sampai di mulut pintu pakiwan, langkahnya tertegun ketika
didengarnya suara Sekar Mirah,
“Sebelum senja
aku akan datang.”
Agung Sedayu
berpaling. Dilihatnya Sekar Mirah berdiri di pintu butulan yang langsung masuk
ke dapur.
“Ada persoalan
yang menghambat perjalananku, Mirah,” jawab Agung Sedayu.
“O, tentu ada
persoalan itu. Dan persoalan itu dapat datang setiap saat, kapan saja
diperlukan untuk membuat alasan.”
“Ah, kau
selalu aneh-aneh saja. Lihat, pakaianku kotor sekali.”
Sekar Mirah
mengerutkan keningnya. Selangkah demi selangkah ia maju mendekat. Sambil
berjalan ia berkata,
“Siapa pun
dapat mengotori pakaiannya. Apakah kau akan mengatakan bahwa kau terjatuh dari
kuda?”
“Tidak. Tetapi
lihatlah.”
Sekar Mirah
sudah berdiri di hadapan Agung Sedayu.
“Lihatlah kain
panjangku.”
Sekar Mirah
meraba kain panjang yang kotor dan basah itu.
“Kau
terperosok ke dalam parit?”
Tiba-tiba saja
Agung Sedayu teringat, ketika ia dengan sengaja masuk ke dalam parit karena
Alap-alap Jalatunda mengejarnya selagi ia memenuhi perintah kakaknya, Untara.
“Ya, kau jatuh
ke dalam parit?”
“Tidak.
Nantilah aku berceritera, anak-anak muda itu menunggu aku.”
“O, jadi kau
dengan tergesa-gesa kembali dan dengan tergesa-gesa pergi ke pakiwan karena
anak-anak muda itu?”
“Bukankah
mereka sudah lama menunggu? Meskipun mereka tidak memerlukan aku, tetapi
agaknya Swandaru minta mereka menunggu.”
“O, jadi
itulah yang kau ingat selama perjalananmu? Seandainya anak-anak itu tidak
menunggumu, maka kau tidak peduli lagi kepada rumah ini?”
Agung Sedayu
menjadi bingung.
“Ya? Begitu?
Berkatalah bahwa kau datang untuk anak-anak itu. Bukan untuk yang lain.”
Agung Sedayu
menarik nafas dalam-dalam. Barulah ia mengerti, bahwa ia telah menyinggung
perasaan gadis itu. Perasaannya yang memang agak mudah tersinggung.
“Mirah. Tentu
bukan itu. Ada hal yang lain yang memaksa aku kembali ke rumah ini. Apakah
artinya anak-anak muda itu buatku, karena sebenarnya mereka pun tidak memerlukan
aku.”
“Kenapa kau
tergesa-gesa sekali untuk menemui mereka?”
“Ini hanyalah
sekedar sopan-santun. Kadang-kadang kita mengesampingkan kepentingan kita
sendiri untuk memenuhi hasrat banyak orang. Kau mengerti? itu bukan berarti
bahwa mereka lebih penting dari yang lain.”
“Omong kosong.
Kalau kau lebih mementingkan orang-orang itu, silahkan. Aku memang bukan orang
penting bagimu.”
Agung Sedayu
menarik nafas dalam-dalam. Ditatapnya wajah Sekar Mirah yang murung. Ternyata
Sekar Mirah mempunyai kepentingannya sendiri, tanpa menghiraukan anak-anak muda
yang sudah berkumpul di pendapa.
“Baiklah,
Sekar Mirah,” berkata Agung Sedayu kemudian,
“biarlah
Swandaru menemui anak-anak muda itu. Aku akan mandi dahulu. Nanti sesudah
mandi, aku juga tidak akan menemui mereka, karena agaknya mereka tidak banyak
mempunyai kepentingan dengan aku.”
“Huh,” Sekar
Mirah mencibirkan bibirnya,
“kau merajuk.
Kau sengaja tidak mau hadir karena aku, begitu?”
“Bukan begitu.
Bukankah kau menganggap bahwa aku lebih mementingkan anak-anak itu daripada
kau? Karena itu baiklah, aku sebenarnya memang tidak mempunyai kepentingan
apa-apa dengan mereka. Karena itu, aku dapat saja membuat alasan. Pening, lelah
atau apa saja.”
“Tetapi kau
hanya berpura-pura saja. Sekedar untuk memenuhi keinginanku,” Sekar Mirah
menyahut.
“Tidak.
Pergilah kepada mereka. Aku tidak mempunyai kepentingan apa-apa. Kalau kau
tidak datang kepada mereka, apa yang akan kau lakukan atasku?”
“Ah,” Agung
Sedayu mengeluh. Ia tidak mengerti apa yang sebaiknya dilakukan. Karena itu,
sejenak ia berdiri termangu-mangu.
Selagi Agung
Sedayu masih berdiri di muka pintu pakiwan, terdengar seseorang berjalan dengan
tergesa-gesa di dalam dapur dan langsung muncul di pintu butulan.
“He, kau masih
berdiri saja di situ, Kakang Sedayu. Anak-anak itu sudah menunggumu.”
“O,” Agung
Sedayu masih kebingungan, “tetapi, aku belum mandi.”
“Cepat
mandilah.”
“Mulailah saja
pertemuan itu. Nanti aku akan menyusul.”
“Ah, aneh-aneh
saja kau. Sudah sekian lama mereka menunggu. Kalau pertemuan itu dapat dimulai
tanpa kau, pasti sudah aku mulai sejak sore tadi. Ayah, guru dan Paman
Sumangkar juga sudah duduk di pendapa. Cepat sedikit.”
“Tetapi ……”
“Ah,
cepatlah.” Swandaru itu pun lalu berpaling kepada Sekar Mirah,
“Kau jangan
menunggui di situ, Mirah. Kakang Agung Sedayu agaknya masih merasa malu.
Tinggalkanlah, biarlah ia mandi.”
“Apa kau
bilang? Kau sangka aku menunggui Kakang Agung Sedayu? Buat apa aku
menungguinya. Biarlah ia mandi dan pergi mendapatkan anak-anak muda itu. Itu
sama sekali bukan urusanku.”
Swandaru
mengerutkan keningnya. Perlahan-lahan ia berdesis,
“Agaknya anak
ini kurang sajen. Apa kau memang akan memandikannya?”
Sekar Mirah
menjadi semakin jengkel. Tiba-tiba saja diraihnya siwur dari batok kelapa di
atas gentong air, dan dilemparkannya ke arah Swandaru. Untunglah Swandaru
melihat siwur itu melontar ke arahnya sehingga ia sempat mengelak. Namun siwur
itu ternyata menghantam tiang pintu sehingga pecah berkeping-keping. Swandaru
benar-benar terkejut melihat lemparan adiknya yang keras itu. Kalau saja siwur
itu mengenainya, maka ia pasti akan menjadi kesakitan. Tetapi bukan saja
Swandaru, Agung Sedayu pun terkejut pula. Bahkan Sekar Mirah sendiri terkejut
bukan buatan.
“Mirah,”
berkata Agung Sedayu kemudian,
“kau sekarang
bukan kau dahulu. Kau pernah melempar Swandaru dengan mangkuk tanah dan bahkan
dengan sebuah kendi berisi air. Tetapi itu dahulu. Sekarang kau sudah lain.
Kalau lemparanmu mengena, akibatnya pun akan berbeda dengan lemparanmu dahulu.”
Wajah Sekar
Mirah menjadi merah. Sementara itu ibunya bertanya,
“Apakah yang
pecah itu, Mirah?”
“Siwur, Ibu,
terjatuh.”
“Ah,
hati-hatilah,” tetapi ibunya tidak bertanya lagi. Dalam pada itu, Sekar Mirah
merasa menyesal sekali, bahwa ia masih saja kurang mengamati perasaannya. Kini
ia sudah lain. Tangannya adalah tangan yang sudah mengalami latihan olah
kanuragan, sehingga tenaganya pun sudah berlipat.
Sejenak ia
memandang Swandaru yang masih berdiri di depan pintu. Anak yang gemuk itu
menjadi marah pula. Lemparan itu benar-benar berbahaya baginya. Tetapi Sekar
Mirah segera mendekatinya sambil berkata,
“Maaf, Kakang.
Aku masih saja kehilangan pengamatan diri. Aku tidak sengaja menyakitimu. Aku
benar-benar tidak ingat lagi. Aku masih saja menyangka bahwa aku, masih aku
yang dahulu.”
Swandaru
menarik nafas dalam-dalam. Ditepuknya kepala Sekar Mirah sambil berdesis,
“Aku kira kau
sudah kepanjingan demit. Hati-hatilah, Mirah. Kalau kau tidak berhasil
menguasai dirimu, kau akan terjerat dalam bahaya. Bukan kau sendiri, tetapi
dapat terjadi pembantu-pembantumu, atau kelak anak-anakmu.”
“Ah.”
“Sudahlah.
Sekarang pergilah. Atau kau akan menunggui Kakang Agung Sedayu mandi? Atau kau
justru akan memegang obor untuk menerangi pakiwan?”
“Ah kau,
itulah yang menyebabkan aku sering lupa diri. Aku ingin melempar kau dengan
batu bata.”
Swandaru
tersenyum. Tetapi ia pun kemudian melangkah masuk sambil bergumam,
“Cepatlah
sedikit Kakang Agung Sedayu. Mirah, tolonglah Kakang Agung Sedayu biar cepat
selesai.”
Sekar Mirah
masih akan menjawab. Tetapi Swandaru segera berlari masuk ke dalam. Sekar Mirah
pun menyusulnya dengan tergesa-gesa. Tetapi Swandaru telah masuk ke ruang dalam
dan hilang di balik pintu pringgitan. Agung Sedayu yang tertinggal di pakiwan
menarik nafas dalam-dalam. Sampai saat ini, ia masih belum dapat mengikuti
jalan pikiran Sekar Mirah dengan baik. Ternyata Sekar Mirah masih seorang gadis
yang manja dan melihat berbagai masalah dari sudut pandangan sendiri. Ia lebih
mementingkan dirinya sendiri dari anak-anak muda yang sudah lama berada di
pendapa rumahnya.
“Mudah-mudahan
ia segera menemukan kesadaran, bahwa pusaran persoalan pada diri sendiri kurang
menguntungkan di dalam pergaulan yang luas. Sebab dengan demikian, maka setiap
orang yang memandang kepentingan diri sendiri di atas kepentingan orang banyak,
akan saling berbenturan tanpa ada pendekatan sama sekali,” berkata Agung Sedayu
kepada diri sendiri. Namun ia pun sadar, bahwa ia harus mengatakannya kepada
Sekar Mirah.
“Kapan saja
ada kesempatan. Ia cepat menjadi salah paham,” desis Agung Sedayu pula.
Dalam pada
itu, setelah ia selesai mandi dan berpakaian, maka ia pun segera pergi ke
pendapa. Dengan kepala tunduk ia berjalan terbongkok-bongkok mendekati gurunya
dan Swandaru. Di sebelah mereka telah duduk pula Ki Demang dan Ki Sumangkar.
Bahkan ada beberapa orang bebahu kademangan yang kebetulan saja datang, ikut
pula duduk di antara mereka, di antaranya adalah Ki Jagabaya. Setelah Agung
Sedayu duduk di antara mereka, maka barulah Swandaru mau memulai pertemuan itu.
Dengan sikapnya yang lucu, masih seperti dahulu, ia pun berdiri di muka pintu
pringgitan. Setelah menebarkan pandangan matanya sejenak, ke segenap
kawan-kawannya yang hadir, maka mulailah ia berbicara.
“Maaf. Aku
terpaksa berdiri,” katanya mula-mula.
“Apakah kau
perlukan ancik-ancik, supaya kau menjadi lebih tinggi sedikit?” bertanya
seseorang.
Swandaru
mengerutkan keningnya. Tetapi ia pun kemudian tertawa ketika kawan-kawannya
tertawa pula. Sejenak kemudian, mulailah Swandaru berceritera. Sejak ia
meninggalkan Sangkal Putung. Ia berceritera tentang sebuah perjalanan.
Mula-mula ke Tanah Perdikan Menoreh, kemudian kembali dan singgah sebentar di
Alas Mentaok.
Justru
beberapa hal yang lucu-lucu sajalah yang diceriterakan. Bagaimana mereka pernah
kehabisan bahan makan. Bagaimana mereka menjadi gembala kambing, tetapi
kambingnya hampir habis disembelihnya. Tetapi Swandaru sengaja menghindari
persoalan-persoalan yang berat dan berkesan dalam. Ia tidak menceriterakan
pertentangan antar keluarga yang terjadi di Menoreh. Ia tidak menceriterakan korban
yang berjatuhan di dalam pertentangan di antara keluarga sendiri itu. Demikian
juga, ia tidak menceriterakan keterlibatannya di dalam persoalan Menoreh,
karena usahanya menemukan dan menyelesaikan masalahnya dengan Sidanti, agar
tidak berkesan bahwa mereka telah didorong oleh dendam yang membara di dalam
hati.
“Anak itu
sudah agak mengendap,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya.
“Syukurlah
kalau ia menyadari, bahwa hal-hal lain yang bersifat kekerasan tidak ada
manfaatnya diceritakan di hadapan banyak orang.”
Tetapi
tiba-tiba saja di antara anak-anak muda yang duduk di pendapa itu, ada yang
bertanya,
“Bagaimanakah
berita Sidanti?”
Swandaru
mengerutkan keningnya. Sejenak ia terdiam. Tanpa sesadarnya ia berpaling kepada
Agung Sedayu. Tetapi Agung Sedayu ternyata tidak sedang memandang kepadanya. Namun
Swandaru yang gemuk itu tiba-tiba saja berkata,
“Aku sudah
terlampau banyak berceritera. Bertanyalah kepada Kakang Agung Sedayu.”
Agung Sedayu
terkejut. Sebenarnya ia tidak begitu banyak mendengar ceritera Swandaru, karena
ia sedang asyik merenungi dirinya sendiri dan mencoba menerawang tabiat dan
sifat-sifat Sekar Mirah. Karena itu, ia menjadi agak terkejut mendengar namanya
disebut-sebut.
“Kakang Agung
Sedayu,” berkata Swandaru,
“aku sudah
banyak berceritera tentang perjalanan kita. Tiba-tiba saja ada yang bertanya
tentang Sidanti. Biarlah kau saja yang menjawabnya.”
“Ah, kenapa
aku? Jawablah sama sekali.”
Tetapi
Swandaru tidak menghiraukannya. Ia pun segera duduk di samping Agung Sedayu.
Sambil mendorong Agung Sedayu ia berkata,
“Anak-anak
muda Sangkal Putung tentu masih ingat, bahwa kau adalah adik Untara. Bahwa kau
adalah anak muda yang pernah berjasa atas Sangkal Putung. Dan mereka pasti
masih ingat, kau mempunyai persoalan tersendiri dengan Sidanti.”
Agung Sedayu
mengerutkan keningnya. Tetapi ia berdesis,
“Kau mau
enakmu sendiri.”
Swandaru tidak
menghiraukan. Sambil tertawa, sekali lagi ia mendorong Agung Sedayu agar
berdiri. Agung Sedayu pun kemudian berdiri dengan ragu-ragu. Tetapi ia pun
sadar, bahwa kekerasan tidak ada manfaatnya diuraikan di pertemuan itu. Karena
itu, maka jawabnya singkat,
“Sayang
sekali. Umur Sidanti tidak terlampau panjang. Tetapi itu adalah suatu kebetulan
yang tidak disengaja.”
“Kenapa?”
seorang yang lain mendesak.
Bahkan terdengar
seseorang bertanya,
“Kaukah yang
membunuhnya?”
“Bukan. Bukan
aku. Di Menoreh selain menggembala kambing, kami memelihara kambing kami
sebaik-baiknya. Sehingga pada suatu saat, kami terkejut melihat jumlah kambing
kami yang meningkat dengan cepat.”
“He,” potong
yang lain,
“bukankah
Swandaru hampir setiap hari memotong kambing-kambing itu, sehingga hampir habis
karenanya?”
Agung Sedayu
terkejut. Ternyata ceriteranya agak berbeda, karena ia tidak begitu
mendengarkan ceritera Swandaru. Namun sambil tersenyum Agung Sedayu menyahut,
“Demikianlah
pada mulanya. Tetapi aku mengancam, kalau ia terus-menerus memotong
kambing-kambing itu, aku tidak akan mau ikut memeliharanya lagi. Aku akan
menjualnya dan menukarkannya dengan beberapa ekor lembu. Biarlah ia coba-coba
memotong lembu setiap hari satu.”
Anak-anak yang
mendengarkan ceritera Agung Sedayu itu tertawa, tetapi Swandaru sendiri bersungut-sungut
sambil bergumam,
“Ada-ada saja.
Ternyata ia tertidur ketika aku berceritera, sehingga ia terpaksa mengarang ceritera
sendiri.”
Demikianlah,
pertemuan itu menjadi pertemuan yang sangat meriah. Swandaru dan Agung Sedayu
berceritera berganti-ganti. Namun seperti berjanji, mereka selalu menghindari
ceritera-ceritera tentang kekerasan dan apalagi yang langsung menyinggung usaha
pembukaan hutan Mentaok dengan hantu-hantunya. Mereka menyinggung saja beberapa
hal yang tidak akan melibatkan mereka ke dalam kesulitan, karena suasana yang
kurang baik antara Mataram dan Pajang, di antara anak-anak muda itu pasti ada
satu dua yang pernah berhubungan dengan orang-orang Pajang atau orang-orang
Mataram, sehingga persoalan yang menyangkut keduanya akan dapat menimbulkan
persoalan tersendiri.
Karena itu,
terlebih-lebih Swandaru, menceriterakan saja tentang dirinya sendiri. Namun
masih ada juga yang teringat, bahwa pertanyaan tentang Sidanti masih belum
terjawab sepenuhnya, sehingga ia bertanya di antara suara riuh kawan-kawannya,
“He, bagaimana
dengan kematian Sidanti itu?”
Agung Sedayu
mengerutkan keningnya. Setelah merenung sejenak, maka jawabnya,
“Kadang-kadang
hukum Tuhan tampak dengan jelas. Tetapi kadang-kadang hanya samar-samar saja
apabila kita tidak memperhatikannya dengan sungguh-sungguh.” Agung Sedayu
berhenti sejenak. Lalu,
“Demikian
agaknya dengan Sidanti. Ia meninggal karena hukum itu dengan tegas berlaku
atasnya.”
“Siapakah yang
membunuhnya?”
“Tidak ada
yang sengaja membunuhnya. Tetapi ia meninggal oleh goresan senjata adiknya
sendiri tanpa di kehendakinya. Tegasnya, suatu kecelakaan justru pada saat
Sidanti menyadari kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan. Baik terhadap
tanah ini, maupun terhadap keluarganya.”
Tetapi
keterangan Agung Sedayu itu tidak memuaskan mereka, sehingga justru hampir berbareng
beberapa orang bertanya,
“Kenapa
kecelakaan itu terjadi?”
Agung Sedayu
menarik nafas. Ia kini berada dalam kesulitan untuk menghindari ceritera yang
panjang dan Sidanti.
Tetapi
tiba-tiba saja Swandaru berkata lantang,
“He, kita
tunda dahulu ceritera perjalanan ini. Ternyata dari balik dinding aku mendapat
isyarat, bahwa kita harus menyediakan waktu sejenak. Bukan saja di rantau aku
selalu memotong kambing, di sini pun aku melakukannya juga.”
Tiba-tiba saja
pendapa itu menjadi riuh. Beberapa orang berkata,
“Bagus.
Semakin cepat semakin baik.”
Agung Sedayu
menarik nafas dalam-dalam. Ternyata Swandaru telah berhasil membebaskannya dari
kesulitan. Agung Sedayu mengharap, bahwa kemudian anak-anak itu tidak akan
sempat bertanya-tanya lagi, apabila mereka mulai menyuapi mulut mereka dengan
nasi hangat dan daging kambing. Sementara itu, ternyata Sekar Mirah yang
mendengarkan pertemuan itu dari balik dinding pun menjadi geli sendiri.
Kadang-kadang ia terpaksa tertawa sendiri mendengarkan pertanyaan-pertanyaan
yang aneh-aneh dan jawaban Swandaru atau Agung Sedayu yang sama sekali tidak diduga-duganya.
Serba sedikit Sekar Mirah sendiri melihat apa yang telah terjadi di Tanah
Perdikan Menoreh. Karena itu, ia kadang-kadang harus menahan suara tertawanya
dengan telapak tangannya apabila jawaban-jawaban yang diberikan sama sekali
tidak menyinggung persoalan yang sebenarnya telah terjadi. Bahkan kadang-kadang
jawaban Swandaru dan Agung Sedayu menjadi bersimpang-siur. Kiai Gringsing dan
Sumangkar pun harus menahan kegelian mereka mendengarkan Swandaru yang
seolah-olah begitu saja berkicau tanpa ujung dan pangkal. Namun kadang-kadang
hati mereka pun menjadi berdebar-debar apabila keterangan kedua anak muda itu
mulai bersilang. Tetapi ternyata hidangan yang kemudian mulai mengalir, telah
menghentikan segala macam pertanyaan anak-anak muda di pendapa yang
kadang-kadang memang terasa tegang. Mereka lebih tertarik kepada hidangan itu
daripada ceritera Swandaru dan Agung Sedayu. Namun dalam pada itu, selagi
anak-anak muda Sangkal Putung sibuk menikmati hidangan itu sambil berkelakar,
maka seorang anak muda yang duduk di sudut yang agak jauh dari lampu minyak,
berdesis kepada kawan yang duduk di sampingnya,
“Jadi inikah
putera Ki Demang Sangkal Putung itu?”
“Ya, itulah
yang bernama Swandaru.”
“Gambaranku
tentang putera Ki Demang itu ternyata keliru. Karena itu aku memerlukannya
hadir untuk melihat tampang anak muda yang seakan-akan menjadi buah bibir
orang-orang se kademangan, seolah-olah hanya ia sendirilah laki-laki di Sangkal
Putung ini.”
“He, kenapa
kau?”
“Tidak
apa-apa. Aku hanya menyesali diriku sendiri. Kenapa selama ini aku membayangkan
putera Ki Demang sebagai seorang anak muda yang gagah, berwibawa dan bermata
tajam.”
“Bukankah kau
tahu bahwa Swandaru itu sejak dahulu segemuk itu. Ini pun ia telah agak susut
sedikit.”
“Aku belum
pernah melihatnya. Aku tinggal pada paman di Sangkal Putung, setelah ia pergi
bertualang.”
“O,” kawan di
sampingnya mengangguk-angguk,
“sejak dahulu
demikianlah bentuk Swandaru.”
“Aku sangat
terpengaruh oleh wujud adiknya, Sekar Mirah. Ternyata Sekar Mirah sama sekali tidak
pantas mempunyai seorang kakak seperti itu. Gemuk, tidak cukup tinggi dan sama
sekali tidak berwibawa. Buat apa ia tertawa-tertawa seperti orang yang tidak
waras?” anak muda itu berhenti sejenak. Lalu,
“Jadi yang
seorang itu kawannya?”
“Kau belum
kenal dengan keduanya. Sebaiknya kau memperkenalkan dirimu. Swandaru adalah
pimpinan pasukan pengawal yang terdiri dari anak-anak muda. Pasukan itu
dibentuk terutama untuk membantu menghadapi Tohpati saat itu.”
Anak muda itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Hampir tidak berkedip ia menatap Swandaru
dengan sifat-sifatnya yang sudah dikenal baik oleh kawan-kawannya. Ia adalah
anak muda yang banyak tertawa dan senang bergurau, meskipun kadang-kadang
hatinya melonjak apabila ia mempunyai suatu keinginan. Meskipun bibirnya selalu
tersenyum, namun hatinya dapat menjadi sekeras batu.
“Pada suatu
saat aku akan mengenalnya juga,” berkata anak muda itu,
“mudah-mudahan
aku kerasan tinggal bersama paman, sehingga aku sempat menilai apakah pemimpin
pasukan pengawal Sangkal Putung, yang sekaligus adalah putera Ki Demang itu
benar-benar seorang anak muda yang pantas menjadi seorang pemimpin pengawal.”
Kawannya
berbicara mengerutkan keningnya. Tiba-tiba saja tangannya berhenti menyuapi
mulutnya. Dengan sungguh-sungguh ia berkata,
“Ia adalah
anak yang sangat kuat, tangkas, dan baik.”
Anak muda itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambil menarik sudut bibirnya ia bertanya,
“Dan kawannya
itu?”
“O, anak muda
itu adalah adik Untara. Tentu ia seorang yang memiliki kemampuan hampir seperti
Untara sendiri.”
“Kenapa ia
berada di sini?”
“Ia berada di
sini sejak Tohpati masih memimpin pasukannya. Ia termasuk salah seorang yang
berjasa bagi Sangkal Putung.”
“Ya, tetapi
bukankah ia bukan anak Sangkal Putung?”
“Ia anak Jati
Anom.“
“Kenapa ia tidak
kembali ke Jati Anom? Bukankah Jati Anom tidak begitu jauh?”
“Ia baru saja
datang dari Jati Anom.”
“Aku tahu.
kita dipaksa untuk duduk di sini sekedar menunggunya. Aku menjadi jemu. Kalau
aku tidak mengingat sopan santun, aku sudah pergi sejak tadi. Tetapi kenapa ia
datang juga kemari dan bermalam di rumah ini? Tidak di Jati Anom, di rumahnya
sendiri?”
Kawannya yang
duduk di sampingnya menarik nafas dalam-dalam. Ia agak segan untuk
mengatakannya. Namun dengan terpaksa ia menjawab,
“Ada hubungan
yang lain pada keduanya. Keduanya mempunyai seorang guru yang sama. Dan agaknya
ada hubungan yang lain pula pada Agung Sedayu itu dengan adik Swandaru.”
“Huh, itulah
agaknya,” anak muda itu berhenti. Lalu,
“Yang mana
yang kau maksud dengan gurunya?”
“Apakah ia berada
di sini juga?”
“Ya. Orang tua
yang duduk di sampingnya.”
“O, orang tua
yang selalu terangguk-angguk itu? Pantas ia tertawa-tertawa juga seperti
murid-muridnya. Agaknya ketiganya memang orang-orang yang kurang waras.”
“Kenapa kau
berkata begitu?”
“Bukankah lain
perbawa yang tampak di wajah Ki Demang? Tenang dan mantap. Tanpa tertawa-tawa
seperti orang kurang sajen? Memang sekali-sekali ia tertawa untuk memuaskan
anaknya. Tetapi sikapnya mantap. Sangat berbeda dengan orang tua yang
sakit-sakitan itu. Ia memang pantas untuk menjadi seorang penggembala. Jika
gurunya demikian, bagaimanakah kira-kira dengan muridnya?”
Kawannya yang
duduk di sampingnya tidak menyahut lagi. Agaknya anak muda itu tidak senang
melihat sikap Swandaru. Ia terlampau bersikap dalam dan bersungguh-sungguh
menanggapi setiap persoalan sehingga ia tidak biasa bergurau dan berkelakar.
“Kelak ia akan
mengerti,” berkata anak Sangkal Putung itu di dalam hatinya,
“ia orang baru
di sini. Mungkin kebiasaan dan pergaulannya di tempatnya yang lama masih sangat
berpengaruh.”
Dengan
demikian, maka ia tidak lagi menghiraukan sikap dan perasaan anak muda itu.
Dibiarkannya saja anak muda itu duduk dengan tegangnya. Makanan yang
dihidangkan kepadanya, hampir tidak disentuhnya. Memang ada juga ia makan sesuap
dua suap. Tetapi itu pun telah dipaksakannya.
“Aku hampir
tidak tahan lagi,” geramnya kemudian,
“aku menjadi
muak melihat sikapnya. Benar-benar di luar dugaanku. Sebenarnya aku ingin ikut
mengaguminya sebagai seorang putera Demang di Sangkal Putung dan sebagai kakak
Sekar Mirah. Tetapi benar-benar mengecewakan.”
“Ah,” kawannya
berbicara berdesah. Ia pun jemu mendengar anak muda itu selalu mencela sikap
Swandaru dan Agung Sedayu.
“Kalau kau
memang tidak tahan, lebih baik kau tidak menghiraukan lagi. Sikapnya, juga
ceriteranya. Makan sajalah. Sebentar lagi pertemuan ini akan selesai.”
“Kau sangka
aku hanya mencari makan, datang ke pendapa kademangan ini?”
“Tentu tidak.
Tetapi karena makan itu sudah dihidangkan, marilah kita makan.”
Tetapi anak
muda itu menggeleng. Sekali-sekali ia masih memandang Swandaru dan Agung Sedayu
yang masih saja berceritera berganti-ganti di sela-sela tangannya yang masih
saja menyuapi mulutnya. Tetapi ceriteranya sudah berkisar jauh dari ceritera
tentang Sidanti. Akhirnya anak muda yang duduk di sudut itu benar-benar tidak
tahan lagi menunggu pertemuan itu selesai. Maka tanpa minta diri, ia pun
menyelinap dan meninggalkan pendapa itu. Untunglah Swandaru dan Agung Sedayu
tidak begitu menghiraukannya, sehingga mereka acuh tidak acuh saja, meskipun
mereka melihat juga seseorang yang melintas di halaman. Mereka hanya menyangka
bahwa orang itu pasti salah seorang yang kebetulan sedang bertugas di gardu.
Bahkan Swandaru itu pun tiba-tiba ingat dan bertanya,
“He, apakah
masih ada yang tinggal di gardu?”
“Tidak,”
seseorang menjawab,
“akulah yang
sebenarnya bertugas meronda malam ini. Tetapi aku lebih senang duduk di sini
bersama tiga orang kawan daripada di gardu yang gelap dan tanpa semangkuk air
panas dan nasi hangat.”
Kawan-kawannya
pun tertawa. Namun tiba-tiba mereka terkejut. mendengar kentongan yang
tiba-tiba saja berbunyi keras sekali memecah heningnya malam. Pendapa yang riuh
itu tiba-tiba menjadi hening. Semula orang seakan-akan telah dicengkam oleh
suara kentongan itu. Namun sejenak kemudian mereka menarik nafas sambil
berkata,
“Dara muluk.”
“Aku kira ada
sesuatu yang terjadi selagi kita duduk di sini,” desis yang lain.
Namun Swandaru
mengerutkan keningnya sambil berkata,
“Kenapa
kentongan itu dipukul dengan nada dara muluk? Apakah kini kita telah sampai
pada tengah malam?”
Seorang yang
duduk di pinggir pun kemudian meloncat keluar. Sambil berpegangan sebatang
pohon ia mencoba melihat bintang Gubug Penceng di ujung Selatan.
“Masih belum
tengah malam. Masih agak jauh,” berkata anak muda yang mengamati bintang Gubug
Penceng itu.
“Jadi siapakah
yang telah membunyikan kentongan belum waktunya itu?”
“Entahlah.”
Seorang anak
muda yang duduk dengan orang baru itu mulai curiga. Anak muda yang jemu melihat
pertemuan itulah agaknya yang telah membuat gaduh. Tetapi karena ia belum
yakin, maka ia tidak mengatakan apa-apa.
“Coba
lihatlah, siapakah yang telah membunyikan kentongan itu. Mungkin ia baru saja
terbangun dari tidurnya. Atau barangkali justru dalam keadaan tidak sadar,”
berkata Swandaru,
“kemudian
ajaklah ia kemari, kita selesaikan pertemuan ini sebentar.”
“Baiklah,”
berkata anak muda itu.
“Tunggu,”
berkata Ki Jagabaya,
“marilah. Aku
ikut bersamamu. Anak-anak muda mudah menjadi salah paham. Tetapi mungkin juga
seseorang ingin memperingatkan, bahwa justru kita semua berada di sini,
keamanan dapat terganggu.”
“Daerah ini sudah
aman,” berkata Ki Demang,
“hampir tidak
pernah terjadi kejahatan apa pun. Apalagi yang sekarang berkumpul adalah
anak-anak muda yang sebaya dengan Swandaru. Orang tua-tua masih tetap berada di
rumah masing-masing, dan barangkali sekelompok berada juga di pojok desa atau
di gardu-gardu.”
Ki Jagabaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian ia berkata,
“Baiklah.
Tetapi aku ingin melihat orang yang sedang ngelindur itu.”
Ki Jagabaya
pun kemudian turun dari pendapa itu pula, dan pergi ke gardu di simpang tiga,
di tengah-tengah induk kademangan. Mereka kenal betul bahwa suara kentongan itu
adalah kentongan yang berada di gardu itu. Ketika Ki Jagabaya beserta dua orang
anak muda yang mengiringinya sampai ke tempat itu, mereka menjadi
termangu-mangu. Mereka tidak melihat seorang pun. Anak-anak muda maupun
orang-orang tua.
“Kosong,”
desis Ki Jagabaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar