DALAM kediaman mereka, para prajurit itu bertanya-tanya di dalam hati, kenapa tiba-tiba saja sikap anak Jati Anom itu berubah. Anak muda itu tidak lagi menepuk dada sambil menyebut namanya, dan tidak lagi berkata tentang Untara. Sama sekali tidak ada lagi bekas kesombongannya pada pengakuannya yang ikhlas itu. Bahkan sikapnya yang menyakitkan hati, bahwa seolah-olah Untara, senapati mereka yang mereka hormati, harus juga dianggapnya terlampau remeh, dan seolah-olah dalam keadaan serupa itu harus datang kepadanya dan menyatakan terima kasih serta mohon maaf atas segala kesalahannya. Hal yang bagi para prajurit itu tidak akan mungkin sekali terjadi. Untara adalah seorang senapati yang menggenggam tanggung jawab atas wilayah di sekitar Gunung Merapi, bahkan di dataran yang membentang sampai ke pesisir Kidul. Meskipun Untara juga anak yang dilahirkan dan dibesarkan di Jati Anom, namun kedudukannya terlampau jauh terpaut dari anak muda yang bernama Wuranta itu. Seandainya pada masa-masa kecilnya mereka berkawan dan bermain bersama dalam satu lingkaran permainan, tetapi keadaan telah membentuk mereka di kedudukan mereka masing-masing. Belum sempat salah seorang dari mereka dapat memecahkan kediaman itu, maka mereka pun dikejutkan oleh bayangan yang mendekati mereka. Tidak hanya seorang, tetapi lima orang. Mereka mendengar langkah mereka semakin lama semakin dekat, dan melihat mereka semakin jelas. Di dalam remang-remang cahaya obor di kejauhan mereka dapat memastikan bahwa sebagian dari mereka adalah prajurit-prajurit Pajang.
“Para
perwira,” desah para prajurit hampir bersamaan. Mereka menyangka bahwa kelima
orang itu adalah satu atau dua orang perwira bersama dengan para pengawalnya
mengadakan peninjauan keliling. Melihat para prajurit yang sedang bertugas dan
melihat orang-orang yang terluka atau terbunuh di peperangan. Adalah menjadi
kebiasaan para perwira Pajang untuk melihat, bahkan menangani sendiri
tugas-tugas yang berat dan sulit.
Ketika
orang-orang yang datang itu menjadi semakin dekat, maka para prajurit itu pun berdiri berjajar, memberi mereka jalan,
dan bersiap apabila mereka harus menjawab pertanyaan-pertanyaan. Sedang Wuranta
pun kemudian bergeser di belakang para prajurit itu. Ternyata kelima orang itu
berjalan ke arah para prajurit itu, sehingga para prajurit itu pun terpaksa
mempersiapkan diri mereka untuk menerima kunjungan para perwira. Sejenak mereka
menebarkan pandangan mata mereka, untuk mengetahui di mana kawan-kawan mereka
berada. Mungkin mereka harus membawa para perwira itu ke tempat-tempat perondan,
ke tempat para prajurit mengumpulkan orang-orang yang terluka yang belum sempat
dibawa ke pendapa banjar, bahkan mungkin melihat mayat-mayat yang sudah
dikumpulkan untuk dikuburkan besok pagi.
Ketika
terlihat oleh para prajurit itu mayat laki-laki tua beserta isterinya, maka
mereka pun berpaling. Hanya sejenak. Ketika mereka melihat Wuranta di belakang
mereka, maka mereka menganggap bahwa seharusnya Wuranta lah yang wajib
memberikan keterangannya. Kelima orang itu menjadi semakin dekat. Hampir tidak
percaya para prajurit itu menajamkan matanya, yang satu di antara mereka
ternyata adalah Untara sendiri.
“Ki Untara,”
salah seorang dari mereka berdesis.
“Oh,” sahut
kawannya perlahan-lahan, “ya, Ki Untara sendiri.”
Ketiga
prajurit itu kini berdiri tegak berjajar. Untara memang sering berbuat
demikian. Meninjau keadaan langsung di tempat-tempat yang dianggapnya penting.
Seperti kebiasaannya berdiri di ujung peperangan, maka ia pun selalu berada di dalam kesibukan akibat
dari setiap peperangan, di antara para prajuritnya. Para prajurit itu
menganggukkan kepala mereka ketika Untara lewat di hadapan mereka.
Untara dan
para pengawalnya pun menganggukkan kepala mereka pula. Namun tiba-tiba Untara
itu menghentikan langkahnya. Ia berdiri di hadapan para prajurit itu. Dengan
demikian maka para prajurit itu pun
menjadi berdebar-debar. Sejenak Untara hanya berdiri saja tanpa mengucapkan
sepatah kata pun. Ternyata yang dipandangnya bukan wajah-wajah prajurit yang
berdiri tegak di hadapannya, tetapi orang yang berdiri di belakang mereka.
Wuranta.
Para prajurit
itu melihat arah pandangan mata Untara. Mereka
pun menjadi semakin berdebar-debar. Apakah yang akan dilakukan oleh
senapati itu? Apakah ia telah mendengar laporan bahwa Wuranta pernah
merendahkannya? Dan apakah kira-kira yang akan dilakukan oleh Wuranta setelah
ia berhadapan langsung dengan Untara yang namanya sering disebut-sebutnya. Sejenak
suasana dicengkam oleh kesepian. Untara berdiri saja di tempatnya, dan Wuranta
seolah-olah menjadi beku.
Namun kemudian
mereka melihat Untara itu mengerutkan keningnya sambil berdesis,
“Wuranta,
bukankah kau itu?”
Wuranta
menjadi termangu-mangu. Bagaimana ia harus bersikap terhadap senapati itu di
dalam suasana peperangan? Apakah ia harus bersikap seperti para prajurit itu dan
menjawabnya seperti jawaban seorang prajurit pula?
Tetapi
kata-kata Untara berikutnya telah mengejutkannya dan bahkan mengejutkan para
prajurit yang berdiri tegak itu. Katanya,
“Aku memang
mencarimu Wuranta, sambil melihat-lihat keadaan.”
Wuranta menjadi
semakin berdebar-debar. Apakah sebabnya Untara mencarinya? Tiba-tiba ia
teringat akan sikapnya selama ini. Karena itu maka ia bertanya di dalam
hatinya, seperti pertanyaan yang bergetar di dalam dada para prajurit itu,
“Apakah Untara
telah benar-benar mendengar sikap Wuranta yang kadang-kadang merendahkannya
sebagai seorang senapati, dan ia datang sendiri untuk mengambil tindakan
terhadapnya?”
Wuranta yang
berdiri tegak seperti para prajurit itu masih saja tegak seperti sebatang
tonggak. Namun sejenak kemudian ia berhasil menguasai perasaannya yang tidak
lagi melonjak-lonjak. Ia mencoba menenangkan dirinya dan berkata di dalam hati,
“Mudah-mudahan aku tidak menjadi gila lagi di hadapan Untara sendiri.”
Para prajurit
yang berdiri di muka Wuranta pun menjadi
berdebar-debar pula. Tiba-tiba mereka merasa iba seandainya Untara marah dan
mengambil sesuatu tindakan atas Wuranta. Pengakuan Wuranta yang ikhlas atas
kesalahannya pada saat-saat terakhir telah menyingkirkan sama sekali kebencian
para prajurit itu atasnya. Tetapi seandainya Untara sendiri yang datang
mencarinya, dan kemudian berbuat sesuatu atasnya, maka tidak seorang pun dari mereka yang dapat menolongnya.
Sejenak
kemudian terdengar Untara berkata pula,
“Wuranta,
kemarilah.”
Wuranta
menarik nafas dalam-dalam. Namun dalam ketenangan kini ia dapat menanggapi
persoalannya. Ia telah memutuskan untuk tidak bersikap sebagai seorang
prajurit. Ia memang bukan seorang prajurit. Ia adalah anak Jati Anom, dan
Untara adalah anak Jati Anom pula. Perlahan-lahan ia melangkah maju, berjalan
di sisi ketiga prajurit yang masih berdiri berjajar dengan tegapnya.
“Apakah kau
memerlukan aku Untara?” bertanya Wuranta. Hati para prajurit itu pun menjadi semakin berdebar-debar.
“Ya, aku
memerlukanmu,” sahut Untara.
“Apakah ada
sesuatu yang penting di antara kita?” bertanya Wuranta sareh.
“Tentu,” sahut
Untara,
“aku memang
sengaja datang kepadamu karena aku dengar kau tidak ingin pergi ke banjar
padepokan ini. Apakah memang begitu?”
Sejenak
Wuranta menjadi ragu-ragu. Tetapi ia ingin berkata sejujurnya, seperti yang
terjadi. Maka katanya,
“Ya, aku
memang tidak ingin pergi ke banjar padepokan. Dari manakah kau tahu?”
Ketiga
prajurit itu masih saja diliputi oleh kecemasan. Apalagi ketika mereka melihat
sikap Wuranta. Untara adalah senapati perang. Sedang Wuranta menanggapi seperti
terhadap teman sepermainan. Meskipun seandainya dahulu memang demikian, tetapi
keadaan kini harus sudah berbeda.
“Kenapa kau
tidak mau pergi ke banjar?” bertanya Untara.
“Tidak
apa-apa,” jawab Wuranta,
“aku menunggui
kakek tua yang meninggal bersama isterinya.”
“Ya, aku
mendengar dari Ki Tanu Metir. Semuanya dikatakannya kepadaku tentang kau. Dan
aku dapat mengerti kenapa kau tidak mau datang ke banjar.”
Wuranta
mengerutkan keningnya. Apa sajakah yang telah dikatakan oleh Ki Tanu Metir itu
tentang dirinya? Dan Wuranta mendengar Untara meneruskan,
“Tetapi Ki
Tanu Metir tidak mengatakannya kepada Agung Sedayu. Mungkin waktunya
dianggapnya kurang tepat. Karena itu ketahuilah, bahwa Agung Sedayu menjadi bingung
menanggapi sikapmu. Tetapi aku tidak bingung Wuranta. Aku mengerti, sebab Ki
Tanu Metir mengatakan kepadaku. Juga tentang laki-laki tua itu.” Untara berhenti
sejenak, lalu diteruskannya,
“Aku datang
kepadamu untuk mengucapkan terima kasih atas segala jasa-jasamu Wuranta. Dan
aku minta kau datang ke banjar padepokan ini. Aku tahu apa yang kau rasakan.
Bukan saja karena laki-laki tua seperti yang kau sebutkan.”
Sejenak
Wuranta terbungkam. Tidak terlintas di dalam otaknya, bahwa benar-benar Untara
telah datang kepadanya untuk mengucapkan terima kasih. Apalagi ketiga prajurit
yang kini berdiri di belakangnya. Mereka berdiri dengan mulut ternganga. Apa
yang tidak mungkin baginya ternyata kini benar-benar telah terjadi. Bahwa
senapati yang bernama Untara itu datang kepada Wuranta, anak Jati Anom untuk
mengucapkan terima kasih. Sejenak suasana menjadi sepi, yang terdengar hanyalah
nafas Wuranta yang berdesah. Di kejauhan satu dua orang prajurit masih
berkeliaran di dalam tugasnya.
“Wuranta,”
terdengar Untara berkata,
“aku minta
kepadamu, datanglah ke banjar padepokan ini. Hadapilah persoalanmu dengan jiwa
yang besar. Aku adalah anak muda pula seperti kau, dan aku adalah kakak Agung
Sedayu itu. Aku pun merasakan sesuatu di dalam diriku, justru karena aku
seorang kakak, seorang yang lebih tua, yang sepantasnya telah melakukannya
lebih dahulu. Tetapi kesibukanku ternyata tidak memberi aku kesempatan.”
Wuranta tidak
segera menjawab. Ia masih diliputi oleh suatu perasaan yang aneh. Ia tiba-tiba
saja dihadapkan pada suatu kenyataan yang diharapkannya terjadi di dalam
kegelapan hati. Dalam kegelapan ia memang mengucapkan kata-kata itu, bahwa
seharusnya Untara lah yang datang kepadanya dan mengucapkan terima kasih.
Tetapi bahwa hal itu terjadi justru setelah hatinya menjadi tenang, malahan
membuatnya menjadi termangu-mangu. Namun ternyata sesuatu telah menyusup di
dalam hati anak muda itu. Lamat-lamat tergores di dalam hatinya, suatu jawaban
atas pertanyaan yang selama ini mengganggunya.
“Apakah aku
masih diperlukan oleh para prajurit Pajang? Dan apakah aku berhak ikut
menikmati kemenangan ini?”
Kalau Untara,
senapati tertinggi di daerah ini datang kepadanya dan mengucapkan terima kasih,
maka seharusnya ia dapat berbangga karenanya. Seharusnya ia merasa bahwa
dirinya bukan sekedar sampah yang di sisihkan, yang tidak lagi dapat
dipergunakan.
“Wuranta,”
berkata Untara kemudian,
“aku pasti
akan menyetujui permintaanmu tentang laki-laki tua yang kau maksud beserta
isterinya. Aku dapat mengerti bahwa laki-laki itu pun mendapat penghargaan
khusus. Tetapi biarlah para prajurit yang berkewajiban mengurusnya. Mereka akan
tahu apa yang harus mereka lakukan,” Untara itu berhenti sejenak.
“Nah,
bagaimana?”
“Apakah yang
harus aku lakukan?” bertanya Wuranta.
“Beristirahat
di banjar padepokan. Besok pada saatnya kita bersama-sama pergi ke Jati Anom.
Aku akan meninggalkan separo dari prajurit Pajang di padepokan ini dengan
beberapa orang penghubung berkuda. Sedang aku sendiri akan tetap berada di Jati
Anom.”
Wuranta masih
saja tegak seperti patung. Ia justru menjadi bingung menghadapi peristiwa yang
tiba-tiba dan tidak diduga sama sekali. Untara sendiri datang kepadanya dan
minta ia beristirahat di banjar padepokan.
Kalau yang
datang dan minta kepadanya itu Untara sudah tentu sangat sulitlah baginya untuk
menolak. Tetapi perasaannya tidak cukup kuat untuk menerima permintaan itu dan
hatinya pasti tidak akan cukup besar menghadapi Agung Sedayu dan Sekar Mirah
yang berada di banjar itu pula. Tetapi sejenak kemudian Untara berkata,
“Wuranta, baiklah
aku beritahukan bahwa aku telah menyetujui permintaan Sekar Mirah dan kedua
anak-anak muda yang bersamanya, untuk berpindah tempat peristirahatan. Tidak di
banjar itu. Tetapi mereka kini berada di rumah di sebelah banjar. Rumah yang
tidak dipakai menyimpan orang-orang sakit apalagi mayat-mayat para prajurit
yang terbunuh di peperangan. Di banjar padepokan Sekar Mirah selalu berada
dalam ketakutan.”
Wuranta
tiba-tiba mengangkat wajahnya. Jadi di banjar sudah tidak ada lagi Agung
Sedayu, Sekar Mirah, dan Swandaru. Tetapi kenapa Ki Tanu Metir tidak
mengatakannya? Agaknya Untara mengerti pertanyaan di dalam dada Wuranta,
sehingga ia berkata,
“Mereka
meninggalkan banjar ketika Ki Tanu Metir pergi bersamamu. Bukankah kau juga
pergi ke banjar tetapi kau tidak singgah di pringgitan?”
Wuranta
mengangguk,
“Ya, Untara.
Aku memang pergi ke banjar untuk memanggil Ki Tanu Metir.”
“Tetapi
kedatangan orang tua itu terlambat. Kakek yang kau maksud suami isteri itu
telah meninggal. Bukankah begitu?”
“Ya, itulah
mayat mereka.”
Untara
berpaling. Dilihatnya dalam keremangan cahaya obor, seorang perempuan membeku
di dada suaminya yang beku pula. Terasa dada Untara berdesir. Ia sudah melihat
mayat di peperangan dalam keadaan yang paling mengerikan. Tetapi baru kali ini
ia melihat seorang isteri mati memeluk suaminya yang mati pula. Mengharukan.
“Mereka akan
mendapat perawatan yang sewajarnya. Aku mengerti, bahwa laki-laki tua itu turut
menentukan saat-saat yang terakhir dari peperangan ini. Seandainya ia tidak
berusaha memberi kau jalan maka keadaan akan menjadi berbeda. Jasanya tidak
kalah dengan setiap orang prajurit Pajang. Jasanya hampir sebesar jasamu
sendiri.”
“Ah,” Wuranta
berdesah. Jasa laki-laki tua itu tidak kalah dengan jasa setiap prajurit
Pajang. Tetapi jasa itu masih belum sebesar jasanya. Kata-kata itu diucapkan
oleh seorang senapati seperti Untara, senapati yang memimpin sendiri peperangan
ini.
Wuranta justru
menjadi terbungkam. Tetapi perlahan-lahan ia merasakan bahwa di dalam dadanya
berkembang sebuah kebanggaan. Ia tidak perlu merasa dirinya terlampau rendah.
Sehingga ia tidak perlu mencari cara yang aneh-aneh untuk menggelembungkan
dirinya, menyembunyikan kekerdilannya. Karena Wuranta tidak berkata sepatah
kata pun, maka Untara meneruskan,
“Nah, marilah
kita pergi ke banjar padepokan ini.”
Wuranta tidak
dapat menolak lagi. Karena itu ia hanya dapat menganggukkan kepalanya dan
berdesis,
“Baiklah,
Untara.”
“Besok atau
lusa, apabila keadaan telah menjadi tenteram sebagian pasukanku akan kembali ke
Jati Anom. Aku akan tetap berkedudukan di sana. Kita tidak perlu mencemaskan
kekuatan orang-orang Jipang lagi di daerah ini. Juga orang-orang dari padepokan
Tambak Wedi. Kita telah berhasil menyumbat mulut sarang mereka dan menangkap
segenap isinya di dalam sarang ini, Mungkin masih ada satu dua kelompok kecil
orang-orang Jipang yang keras kepala di daerah-daerah lain. Tetapi itu pun pasti akan segera diselesaikan.”
Kemudian
kepada para prajurit yang berdiri tegak di belakang Wuranta, Untara berkata,
“Nah, kau
sudah mendengar tentang laki-laki tua itu. Usahakan besok mayatnya berdua telah
berada di banjar. Mayat itu akan dikuburkan bersama dengan orang-orang Pajang
yang gugur. Mungkin kalian masih belum dapat merasakan jasa laki-laki tua itu,
tetapi pada saatnya kalian akan mengetahuinya.”
Sejenak
kemudian Untara dan para pengawalnya telah kembali ke banjar padepokan bersama
Wuranta. Di banjar itu benar-benar tidak dijumpainya lagi Agung Sedayu,
Swandaru, dan Sekar Mirah, yang berada di sana tinggal beberapa orang perwira prajurit
Pajang dan Ki Tanu Metir.
Ternyata sikap
para perwira yang langsung mengerti tugas-tugas berat Wuranta agak berbeda
dengan sikap para prajurit. Namun setelah Wuranta berhasil merenungkan dengan
tenang, maka sumber dari sikap yang tidak menyenangkan dari para prajurit itu
adalah dirinya sendiri. Usahanya untuk menutupi kekerdilannya, ternyata telah
banyak menyinggung perasaan orang lain.
Para prajurit
yang ditinggalkan oleh Wuranta di halaman di belakang halaman banjar padepokan,
sejenak saling berpandangan. Salah seorang dari mereka kemudian berdesis,
“He, ternyata
kata-kata anak muda itu benar terjadi. Untaralah yang mencarinya dan
mengucapkan terima kasih kepadanya.”
“Memang
menurut pendengaranku, apa yang dilakukannya dapat menentukan penyelesaian
ini.”
“Aku menyangka
ia terlampau sombong. Tetapi aku menjadi heran, bahwa pada saat-saat terakhir
ia seakan-akan mengakui kesalahannya, mengakui sikapnya yang tidak sewajarnya.”
“Ah,” desah
prajurit yang lain,
“kenapa hal
itu kita risaukan. Biarlah para perwira mengurusnya. Urusan kita adalah,
berkeliling padepokan, terutama di sekitar banjar.”
“Tetapi mayat
kedua suami isteri itu?”
“Oh, biarlah
mereka yang bertugas untuk itu. Kita beritahukan saja kepada mereka, apa yang
harus mereka lakukan.”
Ketika para
prajurit itu kemudian melakukan tugas masing-masing, maka tempat itu pun menjadi sepi kembali.
Di dalam
lingkungan para perwira yang sebagian besar dari mereka telah mengerti
benar-benar akan peranannya, maka Wuranta merasa telah menemukan dirinya
kembali. Betapa penyesalan dan kecewa melanda dadanya apabila diingatnya segala
tindak tanduknya selama ini. Bahkan ia merasa heran sendiri, kenapa ia
seakan-akan menjadi liar dan kehilangan pegangan. Meskipun demikian setiap kali
ia teringat akan Sekar Mirah maka hatinya masih terasa pahit. Gadis itu belum
lama dikenalnya. Baru beberapa hari. Tetapi yang beberapa hari itu ternyata
telah menjadikannya hampir gila. Malam pun menjadi semakin malam. Di kejauhan
terdengar anjing-anjing liar berteriak-teriak berebut makan. Terasa betapa
angin membawa bau darah menyentuh hidung mereka yang tajam. Sekali-sekali
terdengar suara burung hantu dan burung kedasih seakan-akan sahut-menyahut,
meneriakkan kepedihan yang ngelangut. Sementara para prajurit yang bertugas masih
saja sibuk hampir semalam suntuk, maka di sebuah rumah yang tidak begitu jauh
dari banjar itu, Sekar Mirah duduk berpegangan tangan kakaknya. Meskipun ia
sudah tidak lagi berada di antara mayat dan orang-orang yang terluka, namun ia
masih diburu saja oleh takut dan ngeri.
“Kemanakah Ki
Tanu Metir kini?” bertanya Swandaru kepada Agung Sedayu.
“Entahlah.
Mungkin masih berada di banjar atau kemana. Mungkin guru sedang mencari Wuranta
itu lagi. Atau mungkin kini sedang tidur nyenyak.”
Swandaru
terdiam. Gurunya kadang-kadang tidak memberitahukan kemana ia pergi. Bahkan
kadang-kadang sampai berhari-hari. Tetapi dalam suasana seperti ini, maka
mereka seolah-olah selalu ingin berada bersamanya. Bukan karena perasaan takut
bahwa tiba-tiba mereka harus bertempur melawan Ki Tambak Wedi, tetapi perasaan
sepi seakan-akan menghunjam dalam-dalam di jantung mereka. Sesaat mereka saling
berdiam diri. Namun dengan demikian maka terasa malam menjadi kian sepi.
Kesepian itu ternyata tidak menyenangkan sekali, sehingga tanpa sesadarnya
Agung Sedayu berbicara sekedar untuk menyentakkan perasaan sepi itu,
“Apakah kita
tidak akan tidur?”
Swandaru
mengangkat wajahnya. Dipandanginya lampu minyak yang menyala berkeredipan.
Kemudian Swandaru itu pun berkata kepada
Sekar Mirah,
“Mirah,
tidurlah.”
Sekar Mirah
menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Aku ngeri, Kakang.”
“Di sini tidak
ada apa-apa, Mirah,” berkata kakaknya.
“Di sini tidak
seperti banjar padepokan yang penuh dengan orang-orang terluka. Di sini kita
mendapat tempat yang baik. Agaknya pemilik rumah ini pun orang yang baik pula”
“Tetapi ia
mendendam seperti orang-orang Tambak Wedi yang lain, Kakang. Siapa tahu,” Sekar
Mirah berhenti sejenak sambil memandang berkeliling kalau-kalau ada orang lain
di dalam ruangan itu. Ketika tidak dilihatnya seseorang maka ia berkata
perlahan-lahan,
“Siapa tahu
bahwa ia akan mempergunakan setiap kesempatan untuk melepaskan dendamnya.”
“Tetapi tidak
seorang pun dari rumah ini terbunuh.
Suami perempuan itu ternyata hanya terluka, tidak terlampau parah. Dan sekarang
laki-laki itu berada di banjar.”
“Itu sudah
cukup membuat hatinya mendendam,” Agung Sedayu dan Swandaru kemudian berdiam
diri. Mereka melihat wajah Sekar Mirah yang dibayangi oleh ketakutan dan
kecemasan.
“Kenapa kita
tidak kembali saja ke Sangkal Putung, Kakang?” bertanya Sekar Mirah tiba-tiba.
“Ah, bukankah
hari masih malam?” jawab kakaknya.
“Tetapi itu
lebih baik daripada aku berada di sini. Aku tidak juga dapat tidur dikejar oleh
perasaan takut dan ngeri.”
“Jalan masih
cukup berbahaya, Mirah,” sahut Agung Sedayu.
“Bukankah
orang-orang Jipang dan Tambak Wedi mutlak dihancurkan di sini.”
“Tetapi justru
orang-orang yang terpenting dapat meloloskan diri. Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan
Argajaya.”
“Tetapi mereka
pasti lari jauh-jauh. Mereka tidak akan berada di sekitar padepokan ini.
Apalagi di jalan ke Sangkal Putung. Mereka pasti tidak akan menyangka bahwa
kita akan berjalan malam ini.”
Agung Sedayu
menggelengkan kepalanya. Kini pertimbangan-pertimbangannya datang kembali.
Tidak seperti pada saat ia berangkat dari Sangkal Putung. Pada saat ia merasa
kehilangan Sekar Mirah. Pada saat itu ia kehilangan sama sekali setiap
pertimbangan apapun. Ia hanya ingin pergi dari Sangkal Putung segera untuk
berusaha membebaskan Sekar Mirah. Tetapi kini, setelah Sekar Mirah itu bebas
dari cengkeraman Sidanti, maka sifat-sifatnya telah datang kembali.
Pertimbangan-pertimbangannya bermunculan dari bermacam-macam segi.
“Perjalanan
yang demikian akan sangat berbahaya,” berkata Agung Sedayu.
“Bagiku
perjalanan itu akan lebih baik. Aku tidak kehilangan waktu semalam ini.
Daripada kita duduk tanpa arti di sini, bukankah lebih baik kita berjalan ke
Sangkal Putung? Besok kita pasti sudah mencapai kademangan itu. Dan besok kita
sudah dapat bersama dengan ayah dan ibu.”
Swandaru
menarik nafas dalam-dalam. Sejenak ia menjadi ragu-ragu. Tetapi Sekar Mirah
berkata terus,
“Apakah yang
kita dapatkan dengan duduk-duduk saja begini? Aku sudah terlampau rindu kepada
ayah dan ibu. Ayah dan ibu pun pasti
akan terlalu gelisah menunggu.”
Swandaru tidak
menjawab dan Agung Sedayu pun berdiam diri. Tetapi pertimbangannya sama sekali
tidak sejalan dengan keinginan Sekar Mirah itu.
“Bagaimana,
Kakang?” bertanya Sekar Mirah. “Marilah kita pulang sekarang.”
Swandaru pun menjadi bimbang. Sebenarnya ia juga ingin
segera pulang ke Sangkal Putung. Ia akan segera berkata kepada ibunya, bahwa
janjinya telah terpenuhi. Pulang dengan membawa Sekar Mirah. Dan ibunya pun pasti akan bergembira karenanya. Kalau ibunya
masih saja menangis, maka ibunya akan menjadi tenang.
Dalam
kebimbangan itu ia mendengar Sekar Mirah mendesaknya,
“Bagaimana,
Kakang? Apakah tidak lebih baik kita pulang saja. Di sini kita sama sekali
tidak berarti apa-apa. Mungkin orang-orang Pajang menganggap kita hanya
memberati pekerjaan mereka saja.”
Akhirnya Agung
Sedayu terpaksa mencegahnya. Katanya,
“Jangan, Sekar
Mirah. Aku kira kurang baik kiranya apabila kita tergesa-gesa kembali ke
Sangkal Putung.”
“Ah,” Sekar
Mirah berdesah,
“sekehendakmulah
kalau kau tidak akan pergi ke Sangkal Putung. Aku kira kau memang tidak akan
pergi ke Sangkal Putung lagi. Kau sudah kembali ke kampung halamanmu, bersama
kakakmu pula. Apa gunanya lagi kau pergi ke Sangkal Putung? Tetapi aku pasti
harus pulang. Ayah dan ibuku menunggu aku. Mungkin ibuku selalu menangis dan
ayahku tidak tenang bekerja. Karena itu aku akan segera kembali malam ini.”
Agung Sedayu
menarik nafas dalam-dalam. Selama ini ia tidak berpikir bahwa ia telah berada
dekat dengan kampung halamannya. Kalau ia ingin kembali pulang, maka ia seharusnya
pulang ke Jati Anom, ke rumah peninggalan ayahnya yang isinya telah hancur
karena pokal Sidanti dan orang-orang Jipang. Tetapi selama ini ia seakan-akan
merasa dirinya harus kembali ke Sangkal Putung. Ke tempat tugas pamannya,
Widura. Dan tiba-tiba saja Agung Sedayu dihadapkan pada kebimbangannya sendiri.
Apakah ia harus pergi ke Sangkal Putung atau ia akan tinggal di Jati Anom.
“Ayolah,
Kakang Swandaru,” ajak Sekar Mirah,
“kita pergi
berdua. Di sini kita tidak mempunyai teman seorang pun kecuali kita berdua. Tetapi di Sangkal
Putung setiap hidung adalah teman-teman kita yang baik, yang mengerti kesusahan
dan kepedihan hati kita. Tetapi di sini kita seperti orang asing, yang dianggap
mengganggu pekerjaan mereka saja.”
“Jangan
berprasangka, Mirah,” sahut Agung Sedayu.
“Tak
seorang pun yang menganggap bahwa kita
di sini hanya menambah pekerjaan orang-orang Pajang. Bukankah kita tidak
mengganggu mereka. Kita dapat mengurus diri kita sendiri. Tetapi yang penting
diperhatikan adalah kemungkinan yang akan kita temui di sepanjang jalan.”
“Kalau kau
ingin tinggal di sini tinggallah,” potong Sekar Mirah.
“Aku datang
bersama Adi Swandaru. Aku dan Adi Swandaru telah menyanggupkan diri kepada Ki
Demang Sangkal Putung untuk mencarimu. Kalau kau diketemukan, maka sepantasnya
bahwa kami berdualah yang harus menyerahkan kau kepada Ki Demang berdua.”
“Tidak perlu,”
sahut Sekar Mirah,
“kau tidak
perlu pergi ke Sangkal Putung. Aku akan pulang bersama Kakang Swandaru. Kau
hanya akan memperlambat perjalanan saja. Ternyata kau masih ingin tinggal di
sini. Bahkan kau pasti masih ingin singgah di Jati Anom sehari atau dua hari.”
“Tidak Mirah.
Aku tidak akan singgah di Jati Anom,” jawab Agung Sedayu. Tetapi ia menjadi
heran mendengar jawaban itu, jawabannya sendiri. Dan sekali lagi ia menjadi
bimbang, apakah ia akan pergi ke Sangkal Putung? Namun selanjutnya berkata,
“Aku akan
pergi ke Sangkal Putung mengantarkanmu. Tetapi jangan malam ini. Kita harus
memperhitungkan setiap keadaan. Apalagi Kakang Untara pasti akan mencari kita.
Sebab kita adalah sebagian dari tanggung jawabnya.”
“Bohong,”
bantah Sekar Mirah.
“Untara sama
sekali tidak mempedulikan kita lagi. Apakah kita pergi, apakah kita tinggal di
sini. Untara tidak akan mempertimbangkan. Bahkan orang-orangnya sajalah yang
akan menggerutu karena mereka harus melihat kehadiran kita di sini.”
Agung Sedayu
terdiam. Tetapi hatinya bergolak. Ia ingin membantah pendapat gadis itu, tetapi
ia tidak ingin bertengkar. Sedang Swandaru yang kebingungan duduk saja sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi kepalanya itu terasa pening. Mereka
terperanjat ketika mereka mendengar suara tertawa lirih. Kemudian terdengar
pintu berderit. Perlahan-lahan seorang tua masuk ke dalam ruangan itu sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya. Orang itu adalah Ki Tanu Metir.
“Hem,” orang
tua itu berdesah,
“memang
bermacam-macam pikiran dan perasaan bergulat di dalam padepokan ini.”
Ketiga anak
muda yang berada di dalam ruangan itu memandanginya sambil bertanya-tanya di
dalam hati. Apakah yang dimaksud oleh Ki Tanu Metir itu?
“Baru saja aku
melihat Angger Wuranta yang sedang digoncangkan oleh perasaannya. Ia mengalami
persoalan jiwa yang ternyata menggoyahkan keseimbangannya.”
Ketika Ki Tanu
Metir terdiam sejenak maka Agung Sedayu
pun bertanya,
“Apakah yang
telah terjadi dengan Wuranta, Guru?”
“Sekarang
tidak apa-apa. Angger Wuranta telah bersedia pergi ke banjar padepokan. Aku
kira ia telah berhasil menguasai perasaannya.”
“Apakah yang
telah menggoncangkan perasaan itu, Kiai?”
“Ah, entahlah.
Mungkin salah mengerti, salah tafsir, tetapi mungkin juga karena ia tidak puas
terhadap kenyataan yang dihadapinya. Mula-mula Angger Wuranta merasa dirinya
tidak mendapat perhatian dari pimpinan prajurit Pajang. Padahal ia merasa bahwa
dialah yang telah membuka jalan masuk ke padepokan ini. Memang sebenarnyalah
demikian. Tanpa Angger Wuranta maka semuanya akan menjadi lain. Mungkin sampai
saat ini Angger Untara belum berhasil memasuki padepokan ini. Tetapi itu hanya
perasaannya saja. Sebenarnya pimpinan prajurit Pajang menaruh perhatian
terhadap semua unsur di dalam padepokan ini.”
Ki Tanu Metir
berhenti sejenak. Dicobanya untuk menangkap kesan kata-katanya pada wajah
anak-anak muda itu. Tetapi yang ditangkapnya adalah berbagai pertanyaan yang
memancar dari sorot mata mereka, seolah-olah mereka bertanya,
“Apakah yang
telah dilakukannya?”
Orang tua itu
menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia meneruskan kata-katanya,
“Hampir saja
Angger Wuranta terjerumus ke dalam sikap yang tidak terpuji. Bahkan hampir
mencelakakan dirinya. Sikapnya terhadap para prajurit Pajang terlampau kasar.
Justru karena rasa rendah diri yang menjalari dadanya. Tetapi itu sudah lampau.
Angger Wuranta telah menyadari keadaannya, bahwa orang-orang Pajang di sini
mempunyai banyak sekali persoalan yang harus diselesaikan. Di antaranya adalah
soal yang menyangkut Angger Wuranta itu sendiri.”
Ketiga
anak-anak muda itu masih terdiam. Tetapi Sekar Mirah yang menundukkan wajahnya,
tiba-tiba berkata,
“Apakah Kiai
menyindir aku?”
“Oh,” Ki Tanu
Metir terperanjat. Tetapi kemudian ia tersenyum,
“Jangan salah
sangka, Ngger. Aku tidak ingin menyindir seseorang. Aku sudah mengatakan bahwa
dalam keadaan serupa ini banyak sekali persoalan yang tumbuh dan bahkan
berkembang di padepokan ini. Angger Wuranta adalah gambaran dari seorang anak
muda yang kecewa. Aku tidak tahu apakah yang mengecewakannya. Kemudian
seolah-olah ia membuat sebuah neraca. Neraca yang menimbang berat jasa dan penghargaan.
Hampir ia berteriak,
“Jasaku tidak
dihargai orang”. Untunglah bahwa hal itu belum terjadi. Nah, aku kira persoalan
Angger agak berbeda, Angger sama sekali tidak ingin dihargai karena jasa-jasa
Angger. Bukankah begitu?”
Sekar Mirah
tidak menjawab.
“Mungkin
padepokan ini terlampau sepi buat Angger Sekar Mirah. Mungkin tidak seramai Kademangan
Sangkal Putung. Di sana Angger pasti akan dikerumuni oleh orang-orang Sangkal
Putung, para pemimpin kademangan dan para pemimpin prajurit Pajang. Tetapi
keadaan Sangkal Putung berbeda dengan keadaan di sini. Di Sangkal Putung
orang-orang sudah tidak disibukkan oleh berbagai macam persoalan. Sedang di
sini sangat berlainan.”
“Aku tahu. Aku
tahu, Kiai,” potong Sekar Mirah.
“Maksud Kiai
ingin mengatakan bahwa aku terlampau manja. Bukankah begitu? Nah, buat apa aku
bermanja-manja di sini. Itu pun salah
satu sebab kenapa aku harus segera pulang ke Sangkal Putung.”
“Bukan begitu,
Ngger,” sahut Kiai Gringsing,
“meskipun
dugaan Angger itu sebagian benar. Tetapi maksudku adalah, bahwa Angger telah
cukup dewasa. Karena itu Angger seharusnya menghadapi setiap persoalan dengan
sikap dewasa. Bukan sebagai seorang gadis kecil yang patah hati ditinggal
kekasih. Lalu lari tanpa mempertimbangkan persoalan yang akan dihadapi di
tengah jalan. Tetapi Angger tidak akan berbuat demikian. Angger adalah puteri
seorang Demang yang cukup bijaksana. Karena itulah maka kebijaksanaan itu pasti
juga Angger miliki. Juga pada Angger Swandaru yang setiap hari mengikuti cara
Ki Demang melakukan tugasnya.” sekali lagi Ki Tanu Metir berhenti. Sekali lagi
ia menunggu kesan yang terbayang di wajah anak-anak muda itu. Kemudian katanya,
“Nah, kalau
Angger sependapat, maka aku harap Angger tidak meninggalkan padepokan ini untuk
sementara. Aku menyangka bahwa Ki Tambak Wedi, Argajaya, dan Sidanti masih
berkeliaran di sekitar tempat ini. Setiap orang yang dijumpainya pasti akan
menjadi korban pelepasan dendamnya. Nah, bayangkan apa yang akan dilakukan oleh
Sidanti apabila Angger nanti bertemu dengan orang itu di tengah jalan.”
Berdebarlah
Sekar Mirah mendengar nama Sidanti. Sehingga tumbuhlah kecemasan yang menggores
jantungnya yang berdebaran. Meskipun demikian gadis itu tidak menjawab sepatah
kata pun. Namun bagi Ki Tanu Metir kediamannya adalah cukup jelas. Kediamannya
itu adalah sebuah jawaban yang cukup tegas.
“Tenangkanlah
hati kalian di sini. Hadapilah semuanya dengan sikap yang masak. Pengalaman
yang telah terjadi seharusnya membuat kalian dewasa.”
Tak
seorang pun yang menyahut. Dan sejenak kemudian,
Ki Tanu Metir berkata,
“Beristirahatlah,
aku akan pergi ke banjar. Mungkin ada sesuatu yang harus aku kerjakan di sana,
di antara orang-orang yang terluka. Aku datang hanya sekedar menengok kalian.”
Ketika Ki Tanu
Metir meninggalkan mereka, maka untuk sesaat mereka masih tetap berdiam diri.
Sekar Mirah menundukkan wajahnya dalam-dalam meskipun ia masih tetap
berpegangan tangan kakaknya. Agung Sedayu melepaskan pandangan matanya menembus
lubang pintu yang masih sedikit terbuka, sedang Swandaru sekali-sekali
mengangguk-anggukkan kepalanya. Terngiang di telinganya kata-kata gurunya,
“Pengalaman
harus membuat kalian dewasa.”
Malam yang
hitam pekat berjalan dengan tenangnya. Semakin lama semakin jauh.
Bintang-bintang di langit bergeser sedikit demi sedikit ke Barat. Namun ketiga
anak-anak muda itu masih saja duduk membeku. Ternyata malam itu tidak
seorang pun di antara mereka yang
tertidur. Mereka sama sekali tidak dapat melepaskan kegelisahan dan kecemasan
tentang bermacam-macam persoalan. Tetapi Sekar Mirah sudah tidak lagi mendesak
kakaknya untuk meninggalkan padepokan itu mendahului ke Sangkal Putung. Setiap
kali keinginan itu tumbuh di hatinya, maka terbayanglah wajah Sidanti yang
sangat menakutkan baginya. Sehari berikutnya mereka hampir tidak keluar dari
rumah itu. Hanya Agung Sedayu sajalah yang pergi ke banjar sebentar untuk
bertemu dengan kakaknya yang masih sangat sibuk. Sebenarnya anak muda itu ingin
juga bertemu dengan Wuranta. Tetapi ia menjadi ragu-ragu. Ia tidak tahu
bagaimanakah sikap Wuranta itu kini terhadapnya. Dan ia masih tetap
mencari-cari jawab atas pertanyaannya yang mengganggunya selama ini tentang
sikap anak muda itu. Tetapi pada saat Agung Sedayu berada di banjar padepokan
itu Wuranta sedang menunggui pemakaman kakek tua suami isteri yang telah
menolongnya. Sesaat ia menunggu, namun Wuranta belum juga datang. Akhirnya keragu-raguannya
telah mengurungkan niatnya itu, ia tidak menunggu Wuranta lagi, yang
ditunggunya adalah kakaknya dan Ki Tanu Metir.
Beberapa saat
kemudian Agung Sedayu melihat kakaknya bersama Ki Tanu Metir diiringi oleh
beberapa perwira yang lain datang ke banjar itu. Tampak wajah-wajah mereka yang
tegang dan bersungguh-sungguh sehingga Agung Sedayu tidak berani menegur
kakaknya lebih dahulu. Ia menunggu saja sambil berdiri di bawah tangga pendapa
padepokan itu. Terasa dadanya berdebar-debar. Ia memandang kakaknya kini jauh
berbeda dengan saat-saat ia masih di Jati Anom. Justru setelah ia melihat
pekerjaan dan tugas kakaknya, dan justru karena sikapnya sendiri yang bertambah
dewasa. Kini serasa ada jarak yang membatasi antara dirinya dan kakaknya itu.
Ketika Untara
sampai di tangga pendapa, ia berhenti sejenak. Dipersilahkannya para prajurit
yang datang bersamanya untuk masuk lebih dahulu. Setelah menatap wajah Agung
Sedayu agak lama, maka terdengar kakaknya bertanya,
“Sudah lama
kau menunggu aku?”
“Belum terlalu
lama, Kakang,” jawab Agung Sedayu.
“Apa kerja
kalian di pondok itu?” bertanya Untara pula. Agung Sedayu terkejut mendengar
pertanyaan itu. Dipandanginya wajah kakaknya, kemudian wajah gurunya.
“Kau tidak
hadir pada upacara pemakaman prajurit-prajurit yang gugur dalam peperangan ini.
Peperangan yang juga telah menyelamatkan gadis Sangkal Putung itu.”
Dada Agung
Sedayu berdesir mendengar kata-kata kakaknya. Sejenak ia terdiam membeku. Hanya
matanya saja yang berpindah-pindah dari kakaknya kepada gurunya.
“Seharusnya
kau datang bersama Adi Swandaru untuk menunjukkan rasa terima kasihmu dan
rakyat Sangkal Putung. Bahwa puteri Ki Demang itu sudah dibebaskan.”
Dada Agung
Sedayu menjadi sesak mendengar teguran itu. Ia sama sekali tidak mengerti bahwa
hari ini akan diselenggarakan pemakaman prajurit-prajurit yang gugur di
peperangan ini. Karena itu maka dengan jujur ia berkata,
“Aku sama
sekali tidak tahu, Kakang, bahwa hari ini telah diselenggarakan pemakaman itu.”
“Kau tidak
beranjak dari pondokmu sehari ini. Baru sekarang kau datang, setelah semuanya
selesai. Kalau semalam atau pagi-pagi tadi kau datang, kau pasti akan
mengetahuinya.”
Sekali lagi
Agung Sedayu terdiam. Tetapi terasa dadanya bergetar semakin cepat. Kemudian
dengan sungguh-sungguh ia berkata,
“Kalau aku
tahu, maka aku pasti akan datang. Orang yang mengantarkan makananku pun tidak memberitahukan hal itu kepadaku.
Dan….” kata-kata Agung Sedayu terputus. Tetapi matanya terlontar kepada gurunya
yang berdiri di samping Untara.
“Bukan kami
yang harus memberitahukan itu kepadamu,” jawab kakaknya, “tetapi kau yang harus
datang bertanya tentang hal itu kepada kami.”
Wajah Agung
Sedayu tiba-tiba menjadi tegang. Ia tidak dapat memahami sikap kakaknya.
Perasaannya sama sekali tidak dapat menerima perlakuan itu. Tetapi ia
berhadapan dengan kakaknya. Pertimbangannya cukup cermat untuk mencegah berbuat
sesuatu yang tidak menguntungkannya.
“Semua orang
hadir dalam upacara itu,” kakaknya meneruskan, “hanya kau dan Swandaru sajalah
yang tidak.”
“Mungkin para
prajurit selalu mendapat keterangan dan pemberitahuan tentang semua hal yang
akan terjadi, Kakang, tapi kami tidak,” jawab Agung Sedayu sekenanya.
Tetapi ia terkejut
ketika kakaknya menyahut,
“Wuranta juga
bukan seorang prajurit. Tetapi ia datang jaga dalam upacara itu. Meskipun anak
muda itu termasuk salah seorang yang paling berjasa dalam peperangan ini, namun
ia tidak bersikap acuh tak acuh. Ia tidak menunggu seorang utusan untuk
memberitahukan kepadanya apa yang akan terjadi di padepokan ini. Ia datang sendiri
dengan rendah hati dan bersikap wajar.”
Wajah Agung
Sedayu menjadi merah. Ia benar-benar tidak mengerti akan sikap kakaknya. Sejak
peperangan ini selesai, kakaknya telah marah-marah saja kepadanya. Ia dianggap
bersalah karena ia tidak berada di dekat kakaknya ketika pertempuran
berlangsung. Agaknya lepasnya Ki Tambak Wedi dan Sidanti telah membuatnya
sangat kecewa. Tetapi bahwa kakaknya itu terus-menerus memarahinya itu
benar-benar tidak dapat dimengertinya. Kemarin ia menganggap bahwa kakaknya
telah merubah sikapnya. Namun tiba-tiba kini sikap itu diulanginya lagi. Tetapi
kali ini yang menjawab adalah Ki Tanu Metir,
“Angger
Untara, Angger terlampau letih. Angger diburu oleh tugas-tugas yang berat dan
kekecewaan yang bertumpuk-tumpuk. Tetapi yang paling mengecewakan Angger adalah
hilangnya Ki Tambak Wedi. Itulah sebabnya Angger mudah merasa tersinggung.
Namun Angger Agung Sedayu pun tidak
terlampau bersalah. Aku seharusnya memberitahukan kepadanya apa yang akan dilakukan
di padepokan ini. Terutama upacara itu. Tetapi aku sengaja tidak berbuat
demikian. Bahkan sekarang aku mengharap Angger Agung Sedayu segera kembali ke
pondoknya.”
Wajah Untara
yang tegang menjadi berkerut-merut, “Kenapa?” ia bertanya.
“Sama sekali
bukan persoalan yang menyangkut masalah keprajuritan. Bukan pula masalah
peperangan. Masalahnya terlampau kecil untuk disebutkan di sini. Tetapi masalah
yang terlampau kecil itu pulalah yang telah mendorong Angger Untara semalam
datang memanggil Wuranta.”
Kini dada
Untara lah yang berdebar. Di hadapannya berdiri Ki Tanu Metir, guru Agung
Sedayu. Agaknya orang tua itu berusaha untuk menutupi kesalahan adiknya yang
telah membuatnya sangat kecewa. Adik Senopati yang langsung menangani
peperangan ini, tetapi ia adalah satu-satunya orang yang tidak hadir pada
upacara penghormatan para prajurit yang gugur, selain kakak beradik dari
Sangkal Putung itu.
Tetapi
bagaimanapun juga Untara merasa segan terhadap orang tua ini. Dalam urutan
tugasnya sebagai seorang Senapati di daerah ini, maka nama Ki Tanu Metir tidak
dapat dilupakannya. Dalam tugas sandinya, di saat-saat Sangkal Putung berada di
dalam bahaya, maka orang tua ini pulalah yang menyelamatkannya. Kalau ia tidak
mendapat perlindungannya, maka dadanya pasti sudah dibelah oleh Plasa Ireng dan
kawan-kawannya yang pada saat itu mencarinya karena petunjuk Alap-alap
Jalatunda di dukuh Pakuwon. Dan kini, dalam tugasnya yang terberat, memecah
padepokan Tambak Wedi, maka orang tua ini pulalah yang seakan-akan telah
merintis jalan, dengan melepaskan Wuranta, mendahului segala
tindakan-tindakannya. Namun meskipun demikian ia tidak dapat melepaskan
kedudukannya sebagai seorang senapati yang bertanggung jawab. Apalagi
berhadapan dengan adiknya yang dianggapnya telah mengabaikan
keharusan-keharusan yang harus dilakukannya di dalam lingkungan keadaan serupa
itu.
“Kiai,”
berkata Untara itu kemudian,
“aku tidak
tahu masalah yang Kiai maksudkan. Masalah-masalah kecil yang manakah yang
mendorong Kiai untuk menyuruh Agung Sedayu segera kembali ke pondoknya, dan
yang telah mendorong aku untuk memanggil Wuranta?”
“Ah,” Ki Tanu
Metir berdesis,
“bukankah aku
sudah mengatakan kepadamu, Ngger? Dan Angger bahkan telah berusaha untuk
sekedar menyisihkan waktu yang sangat sempit ini untuk memanggil Wuranta dan
membawanya kembali ke banjar ini? Aku rasa Angger melakukannya dengan
pengertian bahwa Wuranta adalah seorang yang paling berjasa di dalam tugas
Angger kali ini. Tetapi Wuranta itu tidak datang sendiri seperti yang Angger
katakan. Apalagi dengan rendah hati.”
Wajah Untara
menjadi merah mendengar kata-kata Kiai Gringsing itu. Ternyata Kiai Gringsing
kali ini benar-benar sedang berusaha untuk mengurangi kesalahan muridnya.
Bahkan mempertentangkan kata-katanya tentang Wuranta.
“Nah,” Ki Tanu
Metir meneruskan,
“seharusnya
Angger Untara dapat mengerti. Jangan salahkan Agung Sedayu. Dan sekarang aku
tetap berpendapat bahwa sebaiknya Angger Agung Sedayu kembali ke pondoknya.”
Wajah Untara
masih memerah dalam ketegangan. Tetapi keseganannya terhadap Kiai Gringsing
telah menahannya untuk berbuat terlampau banyak. Namun perasaannya sama sekali
tidak senang melihat sikap orang tua itu, yang dengan berterus terang telah
melindungi kesalahan adiknya.
Senapati itu
ingin adiknya bersikap sebagai seorang prajurit yang baik. Justru karena ia
seorang senapati. Untara itu merasa bahwa setiap orang menganggap bahwa adiknya
terlampau berat untuk meninggalkan gadis Sangkal Putung itu, sehingga ia tidak
menghadiri upacara yang diadakannya hari ini. Sedang Untara merasa bahwa sikap
gadis itu terlampau manja, sehingga ia terpaksa memerintahkan kepada bawahannya
untuk mengusahakan tempat yang khusus baginya.
“Kiai,”
berkata Untara itu kemudian,
“tetapi
bagaimanapun juga aku tidak dapat membenarkan sikap Agung Sedayu. Apakah Kiai
tidak merasa malu, seandainya setiap orang di sini bertanya-tanya di dalam
hatinya. Mereka masih dapat mengerti tentang keadaan Swandaru. Kalau anak itu
tidak menghadiri upacara ini, maka sudah pasti adiknya tidak mau dan tidak
berani ditinggalkannya. Tetapi bagaimana dengan Agung Sedayu yang menungguinya
saja tanpa ada hubungan keluarga dengan gadis itu?”
“Ah,” Agung
Sedayu berdesah. Tetapi ia tidak berani menyahut. Yang menjawab adalah Kiai
Gringsing,
“Itu adalah
suatu pengorbanan baginya, Ngger. Justru suatu pengorbanan. Aku sengaja
melakukannya.”
“Pengorbanan?”
wajah Untara menjadi aneh.
“Ya.” Kemudian
kepada Agung Sedayu orang tua itu berkata,
“sekarang
kembalilah ke pondokmu.”
Agung Sedayu
menjadi bingung. Sejenak ia berdiri saja seperti patung, sehingga Ki Tanu Metir
itu mengulangi,
“Kembalilah ke
pondokmu. Biarlah persoalanmu aku selesaikan dengan kakakmu.”
“Nanti dulu,”
cegah Untara, “jangan pergi dulu. Kau harus minta maaf kepadaku, bahwa kau
tidak hadir dalam upacara ini. Jangan kau sebut-sebut lagi alasan-alasan yang
pasti hanya kau buat-buat saja saja bersama dengan kakak beradik itu.”
Kini wajah Ki
Tanu Metir lah yang berkerut. Tetapi sebelum ia berbicara Untara telah
mendahului,
“Ayo,
bersikaplah jantan untuk mengakui kesalahan sendiri. Kalau kau tidak melihat
kesalahanmu, maka seterusnya kau akan mengulangi kesalahan yang serupa. Aku
adalah senapati di daerah ini.”
Ki Tanu Metir
menarik nafas dalam-dalam. Katanya lembut,
“Lakukanlah,
Ngger.”
Agung Sedayu
menggigit bibirnya. Ia tidak mengerti benar kenapa kakaknya bersikap demikian
keras terhadapnya. Tetapi ia tidak dapat berbuat lain daripada melakukan
perintah itu. Katanya,
“Baik, Kakang.
Aku minta maaf. Mudah-mudahan aku tidak akan mengulangi kesalahanku. Mungkin
Kakang tersinggung karena kebodohanku bahwa aku tidak dapat menghadiri upacara
yang Kakang anggap sebagai upacara yang penting. Dengan demikian maka aku telah
menimbulkan kesan yang kurang baik. Tidak saja atas diriku sendiri, tetapi
telah menyentuh kewibawaan Kakang di sini. Sebenarnya aku ingin memberikan
banyak keterangan tentang hal itu, tetapi Kakang menganggap bahwa setiap alasan
yang hanya dibuat-buat saja. Karena itu maka lebih baik bagiku untuk tidak
mengucapkannya.”
Tiba-tiba
wajah Untara yang tegang tampak mengendor. Ia melihat sikap adiknya dengan
memelas. Adiknya yang sejak kecil pantas dikasihani karena sifat-sifatnya.
Kini, ketika adiknya mulai tumbuh dan berkembang telah dipaksanya untuk berbuat
demikian. Berbuat memelas seperti pada masa kanak-anaknya. Untara menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi ia berusaha untuk tetap dalam sikapnya, sikap seorang
senapati perang. Karena itu maka Untara tidak menyatakan perasaannya.
Disimpannya perasaan ibanya di dalam dadanya, bahkan ia mencoba untuk bersikap
keras terhadap Agung Sedayu yang memang dianggapnya bersalah, mengabaikan
keharusan-keharusan yang berlaku di dalam pasukannya, meskipun ia bukan seorang
prajurit.
Dengan nada
datar Untara itu berkata,
“Nah, kau
sudah minta maaf atas kesalahan itu. Karena itu maka kau jangan mengulangi
kesalahan itu sekali lagi. Kau adalah orang yang berada di dalam lingkungan
pasukanku, meskipun kau bukan seorang prajurit. Tetapi dalam keadaan serupa
ini, maka peraturan keprajuritan berlaku atas semua orang, baik ia seorang
prajurit maupun bagi mereka yang dengan suka rela menggabungkan diri dalam
perjuangan ini untuk kepentingan Pajang.”
Agung Sedayu
menganggukkan kepalanya, jawabnya,
“Ya, Kakang,
aku mengerti.”
“Nah, sekarang
kau boleh kembali.”
Agung Sedayu
memandang wajah kakaknya sejenak. Hampir saja ia bertanya,
“Kembali kemana?
Ke Jati Anom atau ke Sangkal Putung?”
Tetapi tiba-tiba
Ki Tanu Metir menyahut,
“Nah, Angger
telah mendapat ijin untuk kembali. Kembalilah ke pondokmu. Tunggulah pesanku
untuk selanjutnya.”
“Kenapa ia
harus menunggu Kiai?” potong Untara.
“Setiap kali
ia harus datang ke banjar untuk melihat perkembangan keadaan.”
“Begitu
maksudmu, Ngger?” bertanya Ki Tanu Metir.
Pertanyaan itu
telah membuat Untara bertanya-tanya di dalam hatinya. Karena itu maka tiba-tiba
ia terdiam sejenak. Tetapi sekali lagi ia berusaha untuk tetap bersikap sebagai
seorang senapati. Maka jawabnya,
“Ya. Aku
menghendaki demikian.”
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“Baik, baik.
Begitulah. Tetapi sekarang Angger silahkan kembali ke pondok.”
Agung Sedayu
merasa aneh atas permintaan Ki Tanu Metir itu. Bukan saja Agung Sedayu, tetapi
Untara pun bertanya-tanya di dalam hatinya. Kenapa Ki Tanu Metir seakan-akan
tergesa-gesa ingin menyingkirkan Agung Sedayu?
Sejenak
kemudian Agung Sedayu minta diri kepada kakaknya dan gurunya untuk kembali ke
pondoknya. Di sepanjang jalan berbagai pertanyaan berkecamuk di dalam dadanya.
Kadang-kadang ia merasa, bahwa sebaiknya ia pergi meninggalkan padepokan ini,
ke Jati Anom atau ke Sangkal Putung saja sama sekali. Ia dapat membuta dan
menuli atas semua anggapan orang-orang Pajang padepokan ini atasnya. Tetapi ia
dapat memberi penjelasan kepada pamannya, Widura di Sangkal Putung.
“Apakah Kakang
Untara tidak setuju melihat hubunganku dengan gadis Sangkal Putung itu?” Agung
Sedayu bertanya-tanya di dalam hatinya.
“Mudah-mudahan
paman Widura dapat memberinya penjelasan. Tidak sebagai seorang perwira bawahan
Kakang Untara, tetapi sebagai seorang paman yang melihat dan mengerti keadaanku
sejak aku berada di Sangkal Putung untuk pertama kalinya.”
Di pondoknya
Agung Sedayu masih melihat Sekar Mirah tidak mau berpisah dari kakaknya karena
kecemasan dan ketakukan yang selalu mengejarnya. Kadang-kadang keinginannya
untuk segera kembali ke Sangkal Putung seakan-akan tidak dapat dicegahnya.
Tetapi setiap kali ketakutannya kepada Sidanti dan Ki Tambak Wedi sengaja
dibesar-besarkannya sendiri untuk membantu mencegah keinginannya itu.
Seandainya yang berulang kali menyebut nama Ki Tambak Wedi dan Sidanti itu
hanya Agung Sedayu dan kakaknya Swandaru, maka ia pasti masih saja memaksa
untuk kembali ke Sangkal Putung. Tetapi ternyata Ki Tanu Metir pun
memperingatkannya pula. Dan ia mencoba untuk menganggap bahwa Ki Tanu Metir
adalah orang yang paling dapat dipercaya. Tiba-tiba saja pikiran Agung Sedayu
meloncat kepada anak muda putera Ki Gede Pemanahan. Apakah kira-kira yang akan
dilakukan oleh anak muda itu seandainya ia mengalami perlakuan seperti dirinya
pada saat ini.
“Tetapi ia
putera seorang panglima tertinggi Wira Tamtama,” desisnya,
“bagaimanapun
juga ia akan mendapatkan beberapa kelainan dari anak-anak muda yang lain.”
Tanpa
disadarinya maka keinginannya untuk bertemu dengan Sutawijaya telah mengganggu
perasaannya. Kekagumannya atas anak muda itu serasa kian menjadi-jadi.
“Apakah kau
bertemu dengan Kakang Untara?” bertanya Swandaru Geni, seakan-akan telah
membangunkannya.
“Ya, aku telah
menemuinya di banjar padepokan.”
“Apa katanya
tentang kita?” Sejenak Agung Sedayu menjadi ragu-ragu, tetapi kemudian ia
menjawab,
“Tidak
apa-apa. Ia hanya bertanya kenapa aku tidak hadir dalam upacara pemakaman pagi
tadi.”
“O, apakah
upacara itu telah dilakukan?”
“Sudah pagi
tadi, meskipun belum seluruhnya. Tetapi upacara pelepasan para jenazah telah
dilakukan.”
Swandaru
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Aku masih
melihat kesibukan di jalan-jalan di padepokan ini. Aku sangka bahwa upacara ini
belum dilakukan hari ini. Jadi kita berdua tidak hadir dalam upacara itu?”
“Ya, karena
kita tidak tahu.”
“Sayang,”
desis Swandaru. “Hal ini dapat menimbulkan kesan yang kurang baik atas kita
bertiga.”
Agung Sedayu
terdiam. Tetapi lalu ia menjawab, “Mudah-mudahan tidak.”
“Kau yakin?”
desak Swandaru.
“Seandainya
ada kesan itu, maka Ki Tanu Metir pasti akan memberikan penjelasan. Guru ada di
banjar saat ini. Dan agaknya guru tidak menyalahkan aku. Bahkan ia mendesak
supaya aku segera kembali ke pondok ini. Aku tidak tahu apakah maksudnya.”
Swandaru dan
Sekar Mirah terdiam. Mereka tidak bertanya-tanya lagi. Tetapi terasa ada yang
tersangkut di perasaan. Ada sesuatu yang tidak dimengertinya, tetapi membuat
mereka gelisah. Sedang Agung Sedayu pun kemudian tidak memberikan penjelasan
lebih lanjut. Bahkan kemudian ia berkata,
“Beristirahatlah
dengan baik. Mudah-mudahan pekerjaan Kakang Untara segera selesai. Kakang
Untara tidak akan tinggal lama di padepokan ini.”
“Ya, menurut
pendengaranku, Kakang Untara untuk sementara akan berkedudukan di Jati Anom.”
Mereka pun
kemudian terdiam. Mereka duduk sambil menikmati pikiran masing-masing. Tetapi
wajah-wajah mereka tampak menjadi tegang.
Sepeninggal Agung
Sedayu, Untara dan Ki Tanu Metir masih berdiri di tangga banjar padepokan.
Tiba-tiba Ki
Tanu Metir berdesis, “Kasihan anak itu.”
Untara
mengerutkan keningnya.
“Kenapa? Ia
sudah menjadi semakin dewasa. Ia harus tahu kewajibannya. Anak itu terlampau manja
di masa kanak-anaknya. Sekarang ia harus menyadari bahwa kemanjaannya itu sama
sekali tidak menguntungkannya.”
Untara
mengerutkan keningnya ketika Ki Tanu Metir menggeleng.
“Tidak. Angger
Agung Sedayu tidak terlampau manja. Tetapi ia adalah seorang penakut di masa
kecilnya. Bahkan lebih dari itu. Ia adalah seorang pengecut. Kau ingat?”
Untara tidak
menjawab Tetapi dadanya tersentuh mendengar sebutan itu bagi adiknya. Adik
kandungnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar