SIDANTI masih saja diam mematung, dengan tanpa memandanginya Pandan Wangi mengulangi,
“Marilah
Kakang. Bilikmu telah tersedia. Aku juga telah menyediakan pakaian dan
perlengkapan lainnya di dalam gledeg. Aku juga telah menyediakan pakaian untuk
gurumu, Ki Tambak Wedi.”
Sidanti
menganggukkan kepalanya. Tetapi terasa betapa canggungnya menghadapi adiknya.
Ia masih saja terpengaruh oleh perbuatannya di rumah Ki Sentol. Kadang-kadang
Sidanti merasa malu sendiri, apakah jadinya seandainya orang-orang Menoreh
mengetahuinya, apa yang akan dilakukannya di rumah itu. Tetapi dengan
menyembunyikan maksudnya yang sebenarnya, maka ia terperosok bersama-sama
dengan paman dan gurunya, ke dalam suatu sikap yang tidak pula kalah sulitnya.
Sidanti
terperanjat ketika tiba-tiba ia mendengar Pandan Wangi berkata perlahan sekali,
“Apakah Kakang
marah kepadaku?”
“Oh, tidak,
tidak Wangi,” dengan serta merta Sidanti menyahut sambil melangkahi tlundak
pintu gandok Kulon,
“Kenapa aku
marah?”
“Mungkin
Kakang menganggap aku tidak sopan. Aku telah berani melawanmu.”
“Tidak, tidak.
Sama sekali tidak. Kita tidak saling mengenal waktu itu.”
Pandan Wangi
mengerutkan keningnya. Terheran-heran ia memandangi wajah kakaknya. Tetapi
justru dengan demikian tidak sepatah kata pun yang diucapkannya.
Sidanti yang
melihat keheranan pada sorot mata adiknya tiba-tiba menyadari kesalahannya. Dengan
tergesa-gesa ia menyambung,
“Maksudku, kau
tidak mengenal aku pada waktu itu. Sedang aku memang sengaja mengganggumu.”
“Tetapi apakah
Kakang mengetahui, bahwa aku sedikit banyak dapat bermain-main dengan pedang?”
“Tentu Pandan
Wangi. Aku mengetahuinya.”
“Dari siapa
Kakang tahu atau mendengarnya?”
Sejenak
Sidanti terdiam. Betapa ia mengumpat di dalam hatinya. Ia tahu, bahwa Pandan
Wangi sama sekali tidak berprasangka apa-apa, tetapi pertanyaannya membuatnya
ia pening. Namun tiba-tiba diketemukannya jawabnya,
“Bukankah kau
berpakaian laki-laki, dan membawa sepasang pedang? Aku semula juga ragu-ragu
Wangi, tetapi melihat langkahmu aku yakin, bahwa kau menyimpan ilmu di dalam
dirimu. Nah, kemudian timbullah keinginanku untuk melihat, ilmu apakah yang kau
simpan itu. Ternyata kau telah mendapat ilmu pedang dari perguruan Menoreh.”
“Ah,” Pandan
Wangi menundukkan kepalanya dalam-dalam.
Sidanti yang
telah berada di dalam gandok itu pun kemudian bertanya, supaya ia tidak harus
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang menggelisahkannya,
“Di mana Guru
harus beristirahat?”
“Di bilik itu
juga Kakang.”
Sidanti
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian diayunkannya kakinya melangkah ke
dalam bilik yang telah disediakan. Bilik itu pernah dikenalnya dahulu. Bahkan
ia dahulu selalu tidur di dalam bilik itu juga. Tetapi kali ini bilik itu pun
tampak sangat asing baginya. Ia telah mengenal hampir setiap benda yang ada di
dalam bilik itu. Sebuah pembaringan dari kayu yang lebar. Sebuah geledeg bambu.
Sebuah ajug-ajug dari bambu pula dan sebuah peti kayu. Belum berubah seperti
beberapa tahun yang lalu. Sebuah tikar yang putih terbentang di atas
pembaringan. Mungkin hanya tikar inilah benda yang belum pernah dikenalnya.
Meskipun dahulu di atas pembaringan ini terbentang pula sehelai tikar pandan
yang putih, tetapi pasti bukan tikar yang kini terbentang itu.
“Bilik itu
sudah dibersihkan Kakang. Bilik itu hampir tidak pernah dipergunakan. Hanya
kadang-kadang saja Paman Argajaya tidur di tempat itu, apabila ia bermalam di
rumah ini.”
Sidanti
mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Tetapi ia masih belum menjawab.
“Bukankah
Kakang terlampau lelah?”
Sidanti
menarik nafas. Bukan tubuhnyalah yang sebenarnya terlampau lelah. Tetapi
perasaannya. Pertanyaan-pertanyaan yang telah membuatnya pening, ternyata
benar-benar membuatnya terlampau lelah.
Namun Sidanti
itu menganggukkan kepalanya sambil menjawab lirih,
“Ya Wangi. Aku
memang terlampau lelah setelah melakukan perjalanan yang panjang.”
Tetapi Sidanti
tidak menyangka, bahwa jawabnya telah membuka kesempatan bagi Pandan Wangi untuk
bertanya, agar suasana pertemuan itu tidak terlampau kaku,
“Perjalanan
itu tentu menyenangkan sekali bukan, Kakang? Lain kali aku ingin ikut pula di
dalam perjalanan-perjalanan seperti itu. Pasti akan sangat banyak yang dapat
dilihat. Tanah yang hijau subur. Kota yang bagus dan ramai. Mungkin juga
istana-istana yang indah. Ah, kapan Kakang akan melakukannya lagi?”
Sidanti
menggigit bibirnya. Tetapi ia terpaksa menjawab,
“Aku tidak
tahu Wangi. Mungkin setahun, mungkin dua tahun lagi.”
Pandan Wangi
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ketika kakaknya Sidanti duduk di
pembaringannya, maka Pandan Wangi pun
duduk pula di ujung yang lain.
“Apakah Kakang
juga berjumpa dengan gadis-gadis yang cantik? Ayah tadi mengatakan, bahwa
mungkin Kakang akan mendengar pertanyaan serupa itu. Benarkah begitu?”
Dada Sidanti
menjadi semakin berdebar-debar. Jantungnya serasa berdetak semakin keras.
Apalagi ketika ia mendengar Pandan Wangi meneruskannya,
“Aku senang
melihat gadis-gadis kota yang cantik. Bukan seperti aku.”
Tiba-tiba hampir
tanpa disadarinya Sidanti menyahut,
“Beruntunglah
kau Pandan Wangi, bahwa kau hidup di daerah yang sederhana ini. Gadis-gadis
cantik yang aku kenal, benar-benar menjemukan. Mereka biasanya terlampau
menyadari kecantikannya. Dan mereka mempergunakan kecantikan itu untuk
memuaskan diri mereka sendiri. Mereka dengan kecantikannya, berusaha
menghancurkan orang lain. Bahkan tanpa mempedulikan akibat yang paling parah
yang dapat terjadi. Pembunuhan.” Sidanti berhenti sejenak. Tiba-tiba wajahnya
menjadi merah dan menegang.
Pandan Wangi
yang melihat perubahan sikap kakaknya itu menjadi bingung. Ia tidak mengerti,
apakah sebabnya kakaknya menjadi demikian tegang.
“Pandan
Wangi,” terdengar suara Sidanti meninggi.
“bukan saja
gadis-gadis kota yang cantik. Tetapi gadis desa yang kecil, yang tidak berarti
sama sekalipun, telah mempergunakan kecantikannya untuk kehancuran. Bukan untuk
kebangunan.”
Pandan Wangi
menjadi semakin bingung. Ia sama sekali tidak dapat menangkap maksud kata-kata
kakaknya. Bahkan gadis itu menjadi gelisah. Apalagi ketika kemudian ia melihat
Sidanti berdiri,
“Pandan Wangi.
Ingat, bahwa kecantikan seseorang bukan merupakan ukuran mutlak bagi seorang
gadis. Kau harus mendengar sebuah contoh tentang gadis yang paling memuakkan,
yang pernah aku jumpai. Namanya Sekar Mirah.”
Pandan Wangi
mengangguk-anggukkan kepalanya, tetapi pandangan matanya yang kosong terpancang
ke wajah kakaknya yang tegang.
“Gadis itu
telah membuat semuanya menjadi hancur.”
“Semuanya?”
Pandan Wangi bertanya, “apakah yang kau maksudkan, Kakang?”
Hampir Sidanti
meneriakkan nama Padepokan Tambak Wedi. Hampir ia menyebut namanya sendiri.
Untunglah segera ia menyadari dirinya. Dengan sekuat tenaga ditahankannya
perasaannya. Dan dicobanya untuk berkata sareh,
“Maksudku
semuanya, setiap laki-laki yang telah mengenal dan bergaul dengan gadis itu.”
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan
kepalanya,
“Apakah yang
akan dilakukannya, Kakang?”
“Ia mendekati
setiap laki-laki yang baru dikenalnya dan dikaguminya. Gadis itu mengagumi
keperkasaan dan keperwiraan. Ia senang melihat seorang laki-laki yang bersikap
jantan. Tetapi setiap kali pandangannya selalu berubah-ubah.”
Pandan Wangi
mengangguk-anggukkan kepalanya pula,
“Sifat itu
tentu kurang baik bukan, Kakang. Mungkin ia dapat menimbulkan salah paham di
antara laki-laki yang mengenalnya itu.”
“Tentu.”
“Dan
menimbulkan hal-hal yang tidak dikehendaki.”
“Ya.”
“Aku akan
selalu teringat akan nasehat ayah dan almarhum ibu. Sekarang nasehatmu itu
juga, Kakang. Untunglah, bahwa aku bukan gadis yang cantik. Setidak-tidaknya
akan mengurangi kesempatan bagiku untuk berbuat seperti itu.”
Sidanti
mengerutkan keningnya. Kemudian katanya,
“Tidak Wangi.
Kau juga cantik. Tetapi kau tidak perlu berbuat serupa itu.”
Wajah Pandan
Wangi menjadi kemerah-merahan mendengar pujian kakaknya. Dahulu kakaknya memang
selalu memujinya. Tetapi tangkapannya kini menjadi jauh berbeda, sehingga
dengan demikian maka Pandan Wangi itu menundukan kepalanya.
“Pandan Wangi.
Kau juga cantik. Tetapi ingatlah, bahwa kecantikanmu harus mendapat tempat yang
baik.”
Pandan Wangi
mengangguk kecil. Tetapi ia masih menundukkan kepalanya.
“Kecantikan
yang tidak pada tempatnya, akan menjadi api yang dapat membakar apa saja yang
berada di dekatnya. Seperti Sekar Mirah yang telah membakar kademangannya.”
Pandan Wangi
mengangkat wajahnya. Perlahan-lahan ia bertanya,
“Apakah yang
telah terjadi dengan gadis yang bernama Sekar Mirah itu, Kakang?”
“Karang
abang,” sahut Sidanti. Terasa tekanan kata-katanya menjadi berat, seolah-olah
ia sedang menumpahkan segala tekanan perasaannya karena gadis yang bernama
Sekar Mirah itu,
“Laki-laki
saling berbunuhan. Gadis itu benar-benar seperti api yang liar.” Tetapi Sidanti
tidak mengatakan bahwa ia telah menyiram dirinya sendiri dengan minyak, lalu
mendekatkan dirinya itu pada api yang sedang menyala-nyala. Akibatnya,
perasaannya terbakar menjadi abu.
Namun tanpa
disangka-sangka, Pandan Wangi itu bergumam seperti kepada diri sendiri,
“Tetapi salah
laki-laki itu sendiri.”
Sidanti
mengerutkan keningnya. “Kenapa?” ia bertanya.
“Kalau
laki-laki itu tidak memperhatikannya, maka ia akan tidak dapat diperlakukan
demikian.”
“Itu adalah
kesukaannya. Dirayunya laki-laki itu, kemudian dihempaskannya.”
“Kalau aku
menjadi laki-laki,” berkata Pandan Wangi,
“aku tidak mau
mendekatinya. Aku usir dia, seperti ia mengusir laki-laki yang lain apabila ia
mendekati aku. Tetapi aku bukan laki-laki. Dan setiap laki-laki selalu
melemparkan kesalahan kepada gadis-gadis, kepada perempuan.”
“He,” Sidanti
terhenyak mendengar kata-kata Pandan Wangi.
“Ya, setiap
laki-laki selalu melemparkan kesalahan kepada perempuan. Hampir dalam segala
hal, laki-laki Sangkal Putung yang saling berbunuhan itu pun melemparkan
kesalahan sepenuhnya kepada Sekar Mirah itu. Aku belum mengenal dan melihat
Sekar Mirah. Seandainya benar Sekar Mirah itu seorang gadis liar sekalipun,
namun laki-laki yang dengan suka rela menyerahkan dirinya menjadi ayam aduan
itu pun bersalah pula. Apakah tidak begitu, Kakang?”
Dada Sidanti
menjadi berdebar-debar. Tetapi ditahankannya perasaannya. Bahkan kemudian ia
sadar, bahwa adiknya Pandan Wangi itu pun seorang gadis pula.
“Kau salah
paham, Pandan Wangi.”
Pandan Wangi
tidak menjawab.
“Aku sama
sekali tidak menyalahkan setiap gadis. Aku khusus menyebut Sekar Mirah. Sekar
Mirah-lah yang salah. Bukan karena ia seorang perempuan.”
“Ya,” sahut
Pandan Wangi,
“maksudku pun
mengatakan tentang Sekar Mirah dan peristiwa-peristiwa serupa. Sekar Mirah
memang bersalah. Tetapi yang bersalah bukan saja Sekar Mirah, juga laki-laki
Sangkal Putung itu. Apalagi yang berbunuh-bunuhan karenanya. Dunia tidak hanya
seluas telapak tangan. Kenapa harus mengejar gadis seperti Sekar Mirah?”
Sidanti
mengerutkan keningnya. Hampir-hampir ia terdorong oleh perasaannya. Untunglah,
bahwa ia segera berusaha mengekang dirinya, betapa dadanya terasa seolah-olah
terhimpit oleh batu hitam sebesar kerbau. Dengan demikian, maka Sidanti terdiam
untuk sesaat. Ia tidak menemukan kalimat yang dianggapnya baik untuk
diucapkannya. Namun dengan demikian, maka terasa dadanya menjadi semakin pepat.
Untunglah, bahwa dalam saat yang demikian, Argajaya masuk ke dalam bilik itu.
Sejenak ia terpaku di muka pintu. Ia merasakan suasana yang kurang baik di
dalam bilik itu, sehingga hatinya pun
menjadi berdebar-debar. Namun kemudian dipaksakannya bibirnya untuk tersenyum
dan berkata,
“Ha, apakah
kau sedang mendengarkan ceritera perjalanan kakakmu?”
“Ya, Paman,”
jawab Pandan Wangi.
“Apakah
ceritera itu kurang menarik?”
“Tidak, Paman.
Ceritera Kakang Sidanti sangat menarik.”
“Tetapi Pandan
Wangi menjadi salah paham, Paman,” sahut Sidanti,
“Aku
berceritera, bahwa aku menjumpai seorang gadis bernama Sekar Mirah di Sangkal
Putung. Gadis itu serupa benar dengan api. Memang gadis itu benar-benar seperti
api. Setiap orang yang dekat, dibakarnya dengan wajahnya yang cantik, kemudian
dibakarnya pula laki-laki lain, sehingga kadang-kadang dapat menimbulkan
keributan, bahkan pernah terjadi pembunuhan karenanya. Tetapi Pandan Wangi
salah paham. Ia menganggap bahwa laki-laki itu pun bersalah pula, karena dengan
suka rela membiarkan dirinya menjadi ayam aduan. Lebih dari itu, disangkanya
aku selalu menyalahkan perempuan saja.”
Argajaya
mengerutkan keningnya. Bahwa Sidanti telah berceritera tentang Sekar Mirah,
agak menjadikannya cemas. Kalau Sidanti tidak pandai membawa dirinya, maka ia
akan terseret ke dalam pembicaraan yang berbahaya.
Tetapi
Argajaya itu kemudian tertawa, katanya,
“Tidak. Pandan
Wangi tidak salah paham. Ia adalah seorang gadis seperti Sekar Mirah. Tetapi
sudah tentu Pandan Wangi tidak akan menjadi buas dan liar seperti Sekar Mirah.”
“Apakah paman
juga mengenal Sekar Mirah?” bertanya Pandan Wangi.
Argajaya
mengangguk,
“Ya, aku pun mengenal Sekar Mirah. Gadis itu adalah
suatu contoh yang suram bagi kebanyakan gadis-gadis yang manja. Gadis-gadis
yang bodoh, yang kurang pengalaman dan picik.”
Pandan Wangi
mengerutkan keningnya. Ketika ia berpaling kepada Sidanti, maka dilihatnya
wajah kakaknya masih tetap tegang. Tetapi ia sudah tidak bernafsu lagi untuk
membantahnya. Sebenarnya ia tidak rela pula apabila ada seorang gadis seperti
dirinya sendiri yang berkelakuan seperti gadis yang dikatakan oleh kakaknya
Sidanti. Seandainya benar seorang gadis berbuat seperti itu, maka sudah
sepantasnya kalau ia justru harus dijauhkan dari pergaulan. Tetapi ia tidak
rela juga, apabila dalam setiap persoalan yang tumbuh karena gadis yang
demikian, semua kesalahan ditumpahkan kepada gadis itu.
Karena Pandan
Wangi tidak menjawab, maka Argajaya berkata selanjutnya,
“Sudahlah
Pandan Wangi, jangan kau pikirkan gadis itu. Kau cukup mengetahui, bahwa Sekar
Mirah adalah sebuah lambang dari kehancuran.”
Pandan Wangi
menganggukkan kepalanya.
“Kau dapat
memetik pengalaman daripadanya. Kalau umur gadis itu menjadi semakin tua, kalau
wajahnya yang cantik telah mulai berkeriput, kalau senyumnya sudah tidak lagi
semanis madu, maka barulah ia menyadari betapa ia telah tersisib dari dunia di
sekitarnya.”
Sekali lagi
Pandan Wangi menganggukkan kepalanya.
“Ia tidak akan
dapat hidup lebih dari usia remajanya,” Argajaya meneruskan,
“tetapi kau
akan menjadi sangat berbeda. Kau telah menemukan saluran yang mapan pada jalan
hidupmu. Sampai sisa umurmu yang terakhir, kau akan tetap berguna bagi orang
lain dengan ilmu yang kau miliki.”
Wajah Pandan
Wangi menjadi kemerah-merahan karenanya.
“Nah, sekarang
biarlah kakakmu beristirahat. Ia sangat lelah.”
Pandan Wangi
bangkit dari pembaringan. Perlahan-lahan ia melangkah sambil berkata,
“Beristirahatlah
Kakang. Aku akan pergi ke dapur.”
“Ah, kau pun harus beristirahat, Wangi. Bukankah sudah
ada orang lain yang bekerja di dapur?” sahut Argajaya.
“Ada Paman,
tetapi sudah menjadi kebiasaanku bekerja di dapur. Bukankah tidak baik, apabila
seorang gadis tidak pernah menyentuh alat-alat dapur?” jawab Pandan Wangi.
Argajaya
mengangguk sambil tersenyum,
“Kau memang
seorang gadis yang baik sekali Wangi.”
“Ah,” Pandan
Wangi berdesah. Ketika ia sudah sampai di pintu bilik, sekali lagi ia berkata
kepada kakaknya,
“Beristirahatlah
Kakang.”
“Terima kasih.
Aku akan mandi saja dahulu.”
“Silahkan.
Pakaian Kakang sudah aku sediakan.”
Pandan
Wangi pun kemudian meninggalkan
biliknya. Ia mengagumi pamannya sebagai seorang yang baik, sangat baik. Seorang
yang tahu menghargainya. Di rumah, pamannya
pun seorang yang baik, yang sangat memperhatikan anak-anaknya. Tetapi
Pandan Wangi tidak tahu, apakah yang sudah dilakukan pamannya di luar rumahnya.
Pandan Wangi tidak tahu, apa yang dipikirkan oleh orang yang dianggapnya sangat
baik itu. Pandan Wangi tidak tahu, apa yang sebenarnya telah terjadi atas paman
dan kakaknya. Ketika Pandan Wangi telah hilang di balik pintu yang memisahkan
gandok dan jalur belakang rumah itu, yang akan tembus ke pringgitan di balik
regol dalam, maka Argajaya segera mendekati Sidanti. Wajahnya tampak bersungguh-sungguh.
Katanya lirih,
“Sidanti,
permainan ini harus segera berhenti. Kau harus segera sampai pada persoalanmu
yang sebenarnya.”
“Ya, Paman.
Aku pun merasakan siksaan yang
menyesakkan dadaku karena ceritera khayal yang kita buat bersama-sama. Ceritera
itu sama sekali tidak akan dapat menolong. Aku harus segera mengatakan apa yang
sebenamya telah terjadi atasku, Paman, dan Guru. Aku harap ayah segera
menyiapkan diri bersama pengawal Tanah Perdikan ini. Bukan itu saja, aku telah
mengenal tanah ini dengan baik. Hampir setiap laki-laki sini adalah
prajurit-prajurit yang baik seperti padepokan Tambak Wedi. Apalagi tanah
perdikan ini jauh lebih luas dari padepokan Tambak Wedi.”
Pamannya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Desisnya,
“Sayang,
Tambak Wedi telah terlanjur pecah. Kalau belum, maka padepokan itu akan dapat
dijadikan pancatan yang baik.”
“Kita akan
dapat merebutnya, Paman.”
“Tidak banyak
berarti. Kita sama sekali sudah tidak mempunyai kekuatan apa pun di sana.”
“Lalu?”
“Aku tidak
tahu, apakah kira-kira yang akan dilakukan oleh ayahmu. Kalau Menoreh ini
memberontak dan memutuskan hubungan dengan Pajang, maka Pajang akan mendapat
kesulitan. Tidak mudah untuk melakukan serangan menyeberangi hutan Mentaok dan
Kali Praga. Kedua tempat itu akan dapat dijadikan tempat yang sangat baik untuk
menunggu kedatangan prajurit-prajurit Pajang.”
Sidanti
mengerutkan keningnya. Lalu ia pun
bertanya,
“Apakah yang
sudah dikatakan Guru kemudian sepeninggalku?”
“Ah,” desah
pamannya,
“aku tidak
telaten. Ki Tambak Wedi dan Kakang Argapati hanya berbicara mengenai hal-hal
yang sama sekali tidak penting. Hal-hal yang sama sekali tidak menyangkut
persoalanmu. Ia berbicara tentang kemajuan ilmumu. Tentang terbunuhnya Tohpati
dan tentang hal-hal lain, yang tidak berarti apa-apa bagimu.”
Sidanti
mengerutkan keningnya. Tetapi apakah yang dapat lakukannya seandainya gurunya
memang menghendaki demikian
“Nah, sekarang
mandilah. Ki Tambak Wedi pun akan segera
datang kemari. Aku akan berbicara dengan gurumu. Mudah-mudahan kita dapat
mempengaruhi Kakang Argapati. Kakang Argapati sendiri termasuk orang yang
disegani oleh orang-orang Pajang, termasuk Ki Gede Pemanahan.”
“Mudah-mudahan
kita berhasil. Ayah akan menjadi panas dan menyatakan perang melawan Pajang
selagi Pajang masih belum mampu tegak benar. Prambanan mungkin dapat
diperhitungkan. Aku mengenal daerah itu agak banyak.”
Argajaya
mengerutkan keningnya. Ia merasa lebih mengenal daerah Prambanan daripada
Sidanti. Sidanti memang pernah melewati daerah itu. Tetapi ia pernah singgah di
kademangan itu dan bahkan terlibat dalam suatu peristiwa yang memalukan. Karena
itu maka Argajaya berkata,
“Kau hanya
mengenal Prambanan dari jarak yang tidak terlampau dekat. Kau mendengar
ceritera tentang daerah itu dari beberapa orang, antara lain dari aku sendiri.
Tetapi aku tidak dapat mengharap lagi apa-apa dari kademangan yang menyakitkan
hati itu.”
Sidanti
mengerutkan keningnya. Lalu katanya,
“Belum tentu
Paman. Mungkin masih ada satu dua orang yang Paman kenal, yang dapat
dipengaruhi dengan cara yang lebih baik. Mungkin satu dua orang dapat dibawa ke
tanah perdikan ini dan menunjukkan kepada mereka kekuatan yang besar, yang akan
dapat mendukungnya membuat sesuatu gerakan di Prambanan. Paman dapat
menjanjikan kedudukan yang baik kepadanya, bahkan mungkin kedudukan demang
apabila demang yang lama itu sama sekali sudah tidak dapat lagi diajak berbicara.
Satu dua orang itu akan menjadi inti dari gerakan-gerakan seterusnya di
Prambanan sehingga akhirnya kita mendapat tempat yang baik untuk pancadan.”
“Hem,” Argajaya
menarik nafas dalam-dalam,
“kau lalu
ingin mengarahkan gerakanmu lewat daerah Selatan. Kenapa kau tidak
memperhitungkan jalan lain? Kita dapat melingkari lambung Gunung Merapi di
bagian Selatan, langsung menuju ke Jati Anom.”
“Sangat
berbahaya,” sahut Sidanti,
“sangat
berbahaya, karena di sana ada Untara.”
“Pasukan
Untara tidak lebih besar dari pasukan Widura.”
“Tetapi Kiai
Gringsing berada di kademangan itu.”
“Belum tentu.
Mungkin Kiai Gringsing akan tetap tinggal di Sangkal Putung bersama orang yang
bernama Sumangkar. Apakah kau sangka bahwa Agung Sedayu akan menetap di Jati
Anom? Tidak. Dua orang murid Kiai Gringsing itu berasal dari Jati Anom dan
Sangkal Putung. Tetapi karena di Sangkal Putung ada Sekar Mirah, maka
kemungkinan yang terbesar, Kiai Gringsing bersama kedua muridnya akan berada di
sana.”
Sidanti
menekurkan kepalanya. Tetapi segera ia mengangkat wajahnya ketika ia mendengar
Argajaya berkata,
“Sidanti, kau
tidak dapat melepaskan arah perhitunganmu dari Sangkal Putung. Bukankah
begitu?”
Sidanti tidak
menjawab. Tetapi terasa dadanya berdesir.
“Baru saja kau
mengumpati gadis yang bernama Sekar Mirah dari Sangkal Putung. Lupakan gadis
itu. Kalau kau berhasil melupakannya, maka kau akan dapat membuat
perhitungan-perhitungan yang lebih tepat berdasarkan pertimbangan nalar.”
Sidanti tidak
menjawab. Dibiarkannya pamannya berkata terus,
“Nah, cobalah
kau merenungkan. Kau pernah berada di dalam lingkungan keprajuritan pula.”
Argajaya berhenti sejenak, lalu katanya merendah,
“Tetapi
semuanya sangat tergantung kepada ayahmu, Sidanti. Ayahmu adalah seorang yang
mumpuni. Perhitungannya hampir tidak pernah salah.”
Sidanti
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi dadanya menjadi semakin berdebar-debar,
“Ya, semuanya
tergantung kepada Ayah,” katanya di dalam hati.
“Sekarang,
bukankah kau akan mandi?” bertanya pamannya,
“Pergilah
mandi. Aku malam ini akan bermalam di sini, supaya aku dapat ikut dalam
pembicaraan nanti.”
“Apakah Guru
akan berbicara malam ini?”
“Mudah-mudahan.
Mudah-mudahan kita tidak selalu digelisahkan oleh ceritera khayal yang
menjemukan itu.”
Sidanti tidak
menjawab. Segera ia berdiri dan berkata,
“Aku akan
mandi.”
Argajaya
kemudian tinggal seorang diri di dalam bilik itu. Sekali-sekali ia berdiri dan
berjalan mondar-mandir dalam kegelisahannya. Ia merasa ikut berkepentingan
mengenai anak kakaknya itu. Kemanakannya itu harus dapat membalas sakit hatinya
terhadap Untara, dan bahkan terhadap Pajang, karena Untara adalah seorang
senapati yang mendapat kekuasaan langsung dari Panglima Wira Tamtama Pajang.
“Aku harus
membela anak itu sekuat-kuat tenagaku,” desisnya,
“aku adalah
pamannya.”
Tetapi jauh di
dalam dasar hatinya, Argajaya seolah-olah mendengar sebuah pertanyaan yang
lamat-lamat, hampir-hampir tidak dapat menyentuh telinga batinnya,
“Apakah benar
demikian, he, Argajaya yang gagah berani? Apakah benar, sekedar karena dorongan
hasratmu untuk membela kemenakanmu maka kau demikian bernafsu untuk berjuang
melawan Pajang.”
Terasa sebuah
desir yang tajam menyentuh jantungnya. Pertanyaan itu ternyata telah membuatnya
gelisah. Namun justru dengan demikian, maka pertanyaan itu didengarnya lagi,
“Apakah benar
demikian? Kalau begitu kau adalah seorang yang paling baik di muka bumi. Tetapi
apakah kau tidak mempunyai pamrih pribadi.”
“Tidak,
tidak,” Argajaya menggeram. Tetapi ia tidak dapat menutup telinganya dari suara
hatinya sendiri,
“Argajaya,
agaknya bukan karena hasratmu untuk membela Sidanti dan membalas sakit hatinya
saja, kau bertekad untuk melawan Pajang. Tetapi pamrih pribadimulah yang akan
membawa kau dalam kancah peperangan yang besar, yang justru mengancam
keselamatan tanah perdikan ini.”
“Tidak,
tidak,” sekali lagi Argajaya menggeram. Namun bagaimana ia dapat menipu dirinya
sendiri? Bagaimana ia dapat menyembunyikan kata hatinya terhadap dirinya
sendiri?
Seperti di
hadapkan di muka cermin, Argajaya dapat melihat dengan jelas, apa yang
tersembunyi di dalam dirinya. Pamrih yang telah mendorongnya untuk membakar
Tanah Perdikan Menoreh dalam kancah peperangan yang dahsyat. Tanah perdikan
yang selama ini diliputi oleh ketenangan dan kesibukan kerja melawan kekerasan
alam pegunungan. Argajaya yang keras hati itu terhenyak di atas amben bambu di
dalam bilik itu. Dicobanya untuk melawan pertanyaan-pertanyaan yang kemudian
terasa semakin mengganggu perasaannya. Tetapi dengan demikian, maka ia menjadi
semakin jelas melihat ke dalam dirinya sendiri. Kepada pamrih yang terpahat
pada dinding hatinya. Ia adalah adik satu-satunya dari Kepala Tanah Perdikan
Menoreh yang besar. Tetapi ia bukan Kepala Tanah Perdikan itu. Meskipun ia
mempunyai kekuasaan yang cukup besar, namun di atasnya adalah kakaknya, Argapati.
“Kalau Kakang
Argapati berhasil memecah Pajang. Setidak-tidaknya mampu mempunyai kekuasaan
yang sama dengan Pajang, karena Pajang tidak mampu mengalahkannya, maka
Argapati pasti akan mengangkat dirinya sejajar dengan pimpinan tertinggi
pemerintahan Pajang. Adiwijaya tidak akan selamanya puas dengan kedudukan
Adipatinya. Sebentar lagi setelah lawan-lawannya satu demi satu disingkirkan,
ia akan menjadi seorang yang paling berkuasa di Pajang dan sepanjang daerah
Demak lama. Ia akan dapat berbuat sekehendak hatinya tanpa seorang pun dapat
merintanginya. Sehingga dengan demikian, ia akan dengan mudahnya membuka jalan
ke singgasana seorang Raja. Sultan Pajang.” Argajaya bergumam di hatinya.
Tiba-tiba
Argajaya bangkit berdiri. Dihentikannya kakinya sambil menggeram,
“Memang,
memang aku mempunyai pamrih pribadi. Hanya orang-orang gila yang berbuat
sesuatu tanpa pamrih pribadi. Dan aku bukan orang gila. Kalau Kakang Argapati
kelak dapat menjadi seorang yang mempunyai kekuasaan menyamai Adiwijaya,
kemudian menyebut dirinya Adipati, maka aku adalah orang yang kedua. Kakang
Argapati tidak akan lagi mempunyai waktu untuk tanah perdikan ini. Sidanti,
anak laki-lakinya tidak akan lagi mengharap tanah perdikan ini sebagai tanah
warisan, karena kedudukan ayahnya. Maka tidak ada orang kedua dan ketiga selain
Argajaya.” Argajaya itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian,
“Setelah itu,
apa yang akan terjadi, entahlah. Apakah Argajaya akan berhenti di tempat itu?”
Tetapi
Argajaya tidak berani meneruskan angan-angannya. Terdengar ia berdesis,
“Terlampau
jauh. Aku harus mendapatkan yang paling dekat dahulu. Kakang Argapati harus
melawan Pajang. Harus memisahkan diri dari kekuasaan Adiwijaya. Kalau tidak
mampu meremukkan Pajang, setidak-tidaknya melepaskan diri, dan berdiri dalam
keadaan yang sama.”
Argajaya yang
seolah-olah telah sampai pada puncak angan-angannya itu, kemudian menarik nafas
dalam-dalam. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia meletakkan dirinya
perlahan-lahan duduk lagi di atas amben. Namun ia masih belum melepaskan sama
sekali angan-angannya,
“Hem,
bagaimana dengan para Bupati dan Adipati yang kini telah memihak Pajang?”
Pertanyaan itu
dijawabnya sendiri. Mereka sudah bukan pejuang-pejuang yang gigih. Setelah
mereka mampu melapisi tiang-tiang rumah mereka dengan emas, setelah mereka
mampu mengukir tubuh mereka dengan intan berlian dan memenuhi bilik-bilik
mereka dengan isteri-istri muda yang cantik, maka mereka adalah orang-orang
yang paling jinak. Apabila Kakang Argapati mampu memecah kota Pajang, maka tidak
sampai sepenginang mereka akan tunduk. Bukan karena keyakinan kebenaran mereka
atas kemenangan Kakang Argapati, tetapi sekedar untuk menyelamatkan diri
mereka, menyelamatkan harta benda mereka dan menyelamatkan isteri-isteri mereka
yang muda-muda dan cantik. Sebab itulah yang kemudian sudah menjadi jalan hidup
mereka.
Argajaya
menarik nafas sekali lagi. Semakin panjang. Ia menemukan kepuasan di dalam
angan-angannya. Seolah-olah ia telah melakukannya. Seolah-olah kini ia telah
menggenggam kemenangan. Kedudukan yang tinggi dan kekuasaan yang besar. Namun
Argajaya sendiri melupakannya, bahwa arah perjuangannya pun serupa dengan para
Bupati dan Adipati itu. Dengan kedudukan yang tinggi dan kekuasaan yang besar,
ia akan dapat berbuat jauh lebih banyak dari apa yang dapat dilakukannya
sekarang. Ia akan dapat melapisi tiang rumahnya dengan emas, ia akan dapat
mengukir dirinya dengan intan berlian, dan kemudian mengisi bilik-bilik
rumahnya dengan isteri-isteri yang cantik. Argajaya yang sedang diselubungi
oleh angan-angannya itu, terkejut ketika ia melihat seseorang melangkah masuk
ke dalam bilik itu. Ketika ia mengangkat wajahnya terdengar orang itu mengeluh
pendek.
“Marilah
Kiai,” Argajaya mempersilahkan.
“Terima kasih,
Ngger,” sahut orang itu yang ternyata adalah Ki Tambak Wedi, sambil duduk di
samping Argajaya.
“Apakah Kiai
sudah mengatakannya?” Argajaya seolah-olah tidak sabar lagi menunggu Ki Tambak
Wedi meletakkan dirinya.
“Heh,” Ki
Tambak Wedi menarik nafas dalam-dalam,
“ternyata aku
terdorong terlampau jauh ke dalam ceritera khayal itu.”
“Kiai harus
menghentikannya,” potong Argajaya.
“Aku
menyadari, Ngger. Tetapi aku belum menemukan jalan.”
“Lalu, apakah
Kiai akan membiarkan saja semuanya itu berlangsung tanpa ujung dan pangkal.”
“Tidak. Sudah
tentu tidak.”
Argajaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali lagi terlintas di kepalanya
angan-angannya,
“Adalah
kebetulan sekali terjadi peristiwa ini atas Sidanti. Peristiwa ini akan dapat
menjadi sebab untuk membakar hati Kakang Argapati. Tanpa sebab ini, sudah pasti
Kakang Argapati tidak ingin melakukan perlawanan atas Pajang.”
Tetapi yang
diucapkannya adalah sebuah pertanyaan,
“Lalu apa yang
sudah Kiai katakan tentang keadaan Sidanti yang sebenamya?”
Ki Tambak Wedi
menggelengkan kepalanya, “Belum, Ngger. Aku belum mengatakan apa-apa.”
“Sama sekali
belum? Bahkan dengan pengertian yang miring pun belum sama sekali?”
Sekali lagi Ki
Tambak Wedi menggelengkan kepalanya. Sorot matanya menembus daun pintu yang
tidak terlalu rapat. Namun wajah yang sudah ditandai oleh umurnya yang semakin
tua itu, menjadi tegang.
“Aku belum
mendapat kesempatan sama sekali,” desis Ki Tambak Wedi,
“justru aku
terdorong semakin jauh ke dalam ceritera yang menjemukan itu. Semakin rapat aku
berusaha menutupi kebohongan yang sudah terlanjur diucapkan, maka aku pun menjadi semakin dalam terlibat ke dalam
kebohongan baru.”
“Karena itu,
Kiai harus segera menghentikannya,” potong Argajaya.
“Ya, aku sudah
tahu, bahwa aku harus menghentikannya. Tetapi aku tidak dapat. Aku belum
menemukan kesempatan itu.”
“Kalau Kiai
bersungguh-sungguh, maka kesempatan itu pasti terbuka.”
“Ah, jangan
menyalahkan aku saja, Ngger. Kita bersama-sama telah terdorong ke dalam suatu
keadaan yang tidak kita ingini. Kita bersama-sama menyesali sikap Sidanti yang
telah melibatkan kita ke dalam suatu keadaan yang sangat jelek ini. Dan kita
bersama-sama ingin menghentikannya. Ingin memutuskan rantai yang seolah-olah
menjadi semakin banyak meliliti tubuh kita. Tetapi aku sendiri belum menemukan
kesempatan itu.”
“Kiai harus
bersikap tegas. Tanpa menunggu lebih lama lagi, supaya Kiai tidak terperosok
semakin dalam. Kiai harus sanggup mengatakan kepada kakang Argapati, bahwa
semua itu hanya sekedar ceritera bohong belaka, untuk membohongi Pandan Wangi.
Tetapi tidak demikian yang sebenarnya terjadi.”
“Seharusnya,
ya seharusnya.”
“Kenapa
seharusnya? Kenapa Kiai tidak berani melakukannya? Kesempatan yang baik telah
Kiai lampaui, ketika Pandan Wangi meninggalkan pertemuan itu. Kiai dapat
memutar haluan pembicaraan dengan serta-merta.”
“Jalan pikiranku
tidak secepat itu, Ngger. Tetapi seandainya Angger mampu berpikir secepat itu,
kenapa Angger tidak melakukannya atau setidak-tidaknya memberi aku isyarat
untuk melakukannya? Bukankah Angger juga tinggal bersama Argapati beberapa lama
sepeninggal Pandan Wangi dan bahkan sepeninggal Sidanti.”
Argajaya
terdiam. Ia merasakan kebenaran kata-kata Ki Tambak Wedi. Justru pada saat itu
ia pun masih ikut serta membuat
ceritera-ceritera khayal yang menjemukan sekali.
“Kita sekarang
sudah berdiri pada keadaan ini,” berkata Ki Tambak Wedi kemudian.
“Kita jangan
terpukau oleh keadaan yang baru saja lampau. Dengan keadaan kita sekarang ini,
apakah kita masih mempunyai keberanian untuk mengatakannya kepada Argapati apa
yang sebenarnya terjadi?”
Argajaya
menjadi ragu-ragu sejenak. Namun kemudian nafsu yang telah membakar jantungnya,
telah mendorongnya untuk berkata,
“Harus. Harus.
Kita harus berani mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Aku yakin, bahwa Kiai
mempunyai jiwa yang cukup besar, sebesar nama Kiai. Apalagi Kiai pasti
mempunyai pengaruh yang cukup atas Kakang Argapati, ternyata dari
kepercayaannya menyerahkan anak laki-laki satu-satunya kepada Kiai.”
“Ah,” orang
tua itu mengeluh panjang,
“Angger memuji
seperti memuji kanak-kanak yang menolak untuk mengantar makanan kepada ayahnya
di sawah. Dengan pujian-pujian, maka anak yang manja akan dengan senang
melakukannya.”
“Tidak Kiai,
tidak,” potong Argajaya dengan serta-merta,
“bukan
maksudku. Tetapi sebenarnyalah, bahwa Kiai mempunyai pengaruh yang besar atas kakang
Argapati. Kalau tidak, Sidanti pasti tidak akan diserahkan kepada Kiai.”
Wajah orang
tua itu tiba-tiba terkulai jatuh di lantai. Sekali lagi ia mengeluh panjang.
Dan Argajaya menjadi terheran-heran karenanya.
“Kenapa Kiai?
Kiai tampaknya telah dibayangi oleh keragu-raguan. Sejak di perjalanan aku
melihat keragu-raguan itu. Dan kini menjadi semakin nyata. Itukah yang telah
mendorong Kiai untuk terus menerus berbohong kepada Kakang Argapati?”
Tanpa
disangka-sangka, tiba-tiba Ki Tambak Wedi itu mengangguk lemah,
“Mungkin,
Ngger. Mungkin sekali.”
“Kenapa Kiai?”
Ki Tambak Wedi
tidak menjawab.
“Apakah Kiai
meragukan tanggapan Kakang Argapati atas semua kejadian di Sangkal Putung dan
Jati Anom?”
“Mungkin.”
“Mungkin?”
Argajaya mengulangi,
“jadi Kiai
tidak yakin, bahwa itu adalah sebab utama kenapa Kiai menjadi ragu-ragu? Dengan
demikian, Kiai pasti memperhitungkan ada sebab lain yang telah membuat Kiai
ragu-ragu.”
Ki Tambak Wedi
menarik nafas dalam-dalam. Tetapi kemudian ia berkata,
“Baiklah. Aku
akan segera mengatakan kepada Argapati bahwa semua ceritera yang telah
didengarnya itu adalah ceritera bohong semata-mata. Ceritera kanak-kanak untuk
sekedar membuat Pandan Wangi dan orang-orang dari tanah ini tidak terkejut dan
berbuat di luar dugaan.”
Argajaya mengerutkan
keningnya. Seakan-akan menahan nafasnya yang berdesah lewat lubang hidungnya
ketika ia mendengar Ki Tambak Wedi berkata seterusnya,
“Aku harus
berani mengatakan apa yang sebenarnya terjadi.”
Argajaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kerut merut di keningnya berangsur hilang.
Perlahan-lahan ia berkata,
“Demikianlah
hendaknya Kiai. Tak ada jalan lain. Sakit hati itu harus dibalas. Bukan sekedar
atas Untara dan Widura, apalagi Sutawijaya. Tetapi Pajang harus dipecah.”
“Ya,” Ki
Tambak Wedi menganggukkan kepalanya. Tetapi kata-katanya terasa hambar dan
tidak meyakinkan. Meskipun demikian Argajaya mengharap, bahwa sebenarnya
demikianlah yang akan terjadi. Ia yakin bahwa kakaknya Argapati akan
tersinggung sekali dengan peristiwa yang menimpa Sidanti dengan sedikit ramuan
yang meyakinkan.
Sejenak mereka
berdua dicengkam oleh kediaman. Ki Tambak Wedi duduk sambil meraba-raba
kumisnya. Sedang Argajaya tepekur dalam-dalam. Namun angan-angannya membubung
tinggi ke udara. Mereka tersedar dari angan-angan masing-masing, ketika mereka
mendengar langkah seseorang mendekati pintu bilik itu. Dan sejenak kemudian
sesosok tubuh telah melangkah masuk. Orang itu adalah Sidanti.
“Oh,” Sidanti
berdesis ketika ia melihat gurunya duduk di dalam bilik itu pula,
“silahkan Guru
untuk mandi. Pakaian untuk guru telah disediakan oleh Pandan Wangi.”
“Terima
kasih,” jawab Ki Tambak Wedi. Tetapi ia belum beranjak dari tempatnya.
Sidanti
tertegun sejenak. Namun kemudian dicobanya untuk tidak terpengaruh oleh sikap
gurunya. Perlahan-lahan ia melangkah maju dan duduk di amben itu pula.
“Sidanti,”
berkata Ki Tambak Wedi setelah Sidanti duduk,
“aku sedang
mencoba mengumpulkan keberanian untuk berkata berterus terang kepada ayahmu.”
Sidanti
mengerutkan keningnya. Kemudian ia bertanya,
“Apakah yang
meragukan, Guru?”
“Aku belum
dapat menjajagi tanggapan ayahmu terhadap semua peristiwa yang terjadi.”
“Ah,” sahut
Sidanti,
“kenapa Guru
ragu-ragu?”
“Hal itu
sebenarnya tidak perlu terjadi Kiai,” sambung Argajaya,
“Sidanti
adalah putera Kakang Argapati. Seandainya ia tidak berkenan atas kejadian yang
berlangsung, seandainya Kakang tidak senang akan sikap Sidanti, namun Sidanti
adalah puteranya. Persoalannya telah terlanjur terjadi. Apakah Kakang Argapati
dapat berpangku tangan tanpa berbuat sesuatu? Aku, yang bukan ayahnya merasakan
hinaan itu atas tanah ini. Atas seluruh Tanah Perdikan Menoreh, karena Sidanti
adalah putera Kepala Tanah Perdikan ini.”
Ki Tambak Wedi
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi matanya sama sekali tidak memancarkan
gairah dan nafsu untuk berbuat sesuatu. Tetapi Ki Tambak Wedi benar-benar telah
mengherankan Argajaya dan Sidanti. Mereka tidak pernah melihat mata itu begitu
suram. Mereka tidak pernah melihat wajah Ki Tambak Wedi begitu gelap dan
dipenuhi oleh keragu-raguan. Yang selalu mereka lihat adalah, meskipun sudah
dihiasi dengan kerut merut ketuaan, namun wajah itu selalu menyalakan nafsu
yang melonjak-lonjak. Wajah itu selalu memancarkan gejolak di dalam dadanya,
dan matanya selalu menyorotkan api yang seolah-olah ingin membakar masa depan.
“Seandainya
Guru merasa bersalah,” berkata Sidanti di dalam hatinya,
“apakah ia
perlu menyesali kesalahannya sampai berlarut-larut? Ia dapat langsung
berhadapan dengan Ayah, minta maaf atas kesalahan itu, namun kemudian
menekannya untuk berbuat sesuatu.”
Tetapi seperti
Argajaya, Sidanti masih tetap yakin, bahwa ayahnya pasti tidak akan tinggal
diam saja. Tetapi ayahnya memang memerlukan api yang dapat membakar
kemarahannya. Karena itu maka baik gurunya maupun pamannya harus dapat mengatakan
apa yang telah terjadi itu dengan cara yang sebaik-baiknya. Sidanti itu
berpaling ketika ia mendengar gurunya berkata,
“Tetapi aku
memang sudah bertekad untuk mengatakan kepada ayahmu, Sidanti. Apa pun
tanggapannya. Mudah-mudahan ia dapat mengerti dan seperti yang kita harapkan,
ayahmu bersedia untuk berbuat sesuatu, berbuat untuk menebus sakit hati dan
dendam yang menyala di dalam dada ini.”
Sidanti
mendengar kata-kata yang panas penuh tekad untuk membalas dendam dan sakit
hati, tetapi nada yang membawakan kata-kata itu sama sekali kurang
meyakinkannya. Namun Sidanti tidak segera menyahut, dan dibiarkan gurunya
berkata terus,
“Nanti malam
aku akan menemui ayahmu.”
“Baik, Kiai,”
sahut Argajaya dengan serta merta,
“aku memang
mengharap, bahwa malam ini semuanya dapat diselesaikan. Aku telah bermalam satu
malam lagi di sini, betapa aku ingin segera bertemu dengan keluargaku. Aku
ingin ikut serta meyakinkan Kakang Argapati, bahwa Menoreh harus berbuat
sesuatu karena seorang puteranya telah dihinakan oleh orang-orang Pajang,
justru putera Kepala Tanah Perdikannya.”
Tampaklah
wajah Ki Tambak Wedi menjadi semakin berkerut merut. Dan tanpa disangka-sangka
ia berkata,
“Maaf, Ngger.
Aku ingin bertemu dengan Argapati seorang diri. Aku harus berhadapan dengan kakakmu
itu tanpa seorang pun yang hadir. Aku
ingin mengatakan semua persoalan yang tidak perlu diketahui oleh orang lain.”
Jawaban itu
ternyata telah mengejutkan Argajaya dan Sidanti, sehingga hampir bersamaan
mereka bertanya,
“Kenapa?”
Ki Tambak Wedi
tidak segera menjawab. Tetapi ditatapnya wajah Sidanti seperti belum pernah
dilihatnya, sehingga Sidanti terpaksa melontarkan pandangan matanya keluar
bilik itu.
“Aku harap
kalian dapat mengerti,” berkata Ki Tambak Wedi kemudian,
“aku tidak
ingin Argapati menjadi salah paham. Karena itu, aku harus berhati-hati. Nanti
apabila persoalan ini telah benar-benar dipahami oleh Argapati, maka kalian
akan mendapat kesempatan untuk mengatakan perasaan kalian. Tetapi sebelum itu,
jangan membuatnya menjadi bingung.”
“Ah,” desah
Argajaya,
“Kakang
Argapati bukan anak-anak yang lekas menjadi bingung. Ia tahu apa yang harus
dilakukannya. Ia mampu membuat pertimbangan-pertimbangan yang matang. Aku kira
dalam pembicaraan antara orang-orang yang telah cukup dimatangkan oleh pengetahuan
dan pengalaman, tidak akan dapat terjadi salah paham.”
“Mudah-mudahan.
Mudah-mudahan tidak ada salah paham. Karena itu, biarlah aku saja yang
mengatakannya. Dengan demikian, maka seperti yang kau katakan, Angger Argajaya,
kami orang-orang tua yang telah kenyang makan pahit masamnya kehidupan, akan
dapat berbicara tanpa salah paham.”
Ura-urat yang
terbujur di kening Argajaya menjadi tegang. Sepercik warna merah membayang di
matanya. Jawaban Ki Tambak Wedi itu benar-benar telah mengguncang perasaannya.
Perasaannya sebagai seorang paman dan sebagai seorang yang mempunyai kedudukan
yang cukup penting di Tanah Perdikan Menoreh. Persoalan yang akan dibicarakan
adalah persoalan Sidanti persoalan kemanakannya, anak Kepala Tanah Perdikan
Menoreh. Sedang Argajaya adalah orang kedua di tanah perdikan ini. Kenapa Ki
Tambak Wedi berkeras untuk menjauhkannya dari pembicaraan itu. Ki Tambak Wedi
yang mempunyai pengamatan yang cukup tajam, seolah-olah dapat mengerti apa yang
sedang bergolak di dalam hati Argajaya itu. Sehingga karena itu, maka ia
berkata,
“Angger
Argajaya jangan salah paham. Persoalan ini memang persoalan Sidanti, persoalan
Menoreh dengan Pajang. Tetapi sebelum kita sampai pada persoalan itu, adalah
persoalan Argapati dan Ki Tambak Wedi. Persoalan penyerahan Angger Sidanti,
putera Argapati itu kepada Ki Tambak Wedi. Argapati sebagai seorang ayah, lepas
dari segala macam sangkutan persoalan, dan Ki Tambak Wedi seseorang yang
mendapat kepercayaan mengasuh Sidanti. Sebagai seorang yang menyimpan ilmu dari
perguruan Tambak Wedi. Seseorang kepada seseorang. Hanya itu. Itulah yang harus
aku pertanggung jawabkan lebih dahulu, sebelum aku sampai kepada persoalan lain
yang menyangkut kemudian. Persoalan Sidanti dengan orang-orang Pajang.
Persoalan Sidanti dengan Sekar Mirah, kemudian persoalan Sidanti dengan Untara.
Hancurnya Tambak Wedi dan segala macam persoalan yang lain. Nah, dalam
persoalan-persoalan inilah aku memang memerlukan seorang kawan untuk meyakinkan
Argapati. Tetapi sebelum itu, persoalannya adalah persoalan Argapati dan Ki
Tambak Wedi. Sebagai seorang yang memberikan kepercayaan dan yang menerima
kepercayaan untuk mengasuh Sidanti.”
Urat-urat yang
seolah-olah menjalar di kening Argajaya masih menegang. Tetapi penjelasan Ki
Tambak Wedi itu ternyata agak mengendorkannya. Ia dapat mengerti beberapa
bagian dari keterangan itu, meskipun masih ada beberapa masalah yang tidak
dapat ditangkapnya. Namun dengan demikian, maka getar di dadanya menjadi
semakin turun. Perlahan-lahan ia berpaling, dipandanginya wajah Sidanti dengan
tajamnya, seolah-olah ia ingin bertanya, bagaimanakah tanggapan anak muda itu
atas keterangan gurunya. Tetapi Sidanti sama sekali tidak dapat memberikan
tanggapan apapun. Justru ia menjadi bingung. Ia dengan tiba-tiba telah
dicengkam oleh perasaan kecewa ketika gurunya mengatakan, bahwa tidak ada orang
lain yang dapat ikut berbicara, selain Argapati dan Ki Tambak Wedi. Namun
keterangan gurunya itu masuk pula di dalam akalnya. Adalah wajar, bahwa
persoalan itu semata-mata adalah persoalan Argapati dan Ki Tambak Wedi. Seperti
pada saat Argapati menyerahkannya kepada Ki Tambak Wedi, tidak ada seorang pun yang ikut mencampurinya. Tidak ada
seorang pun yang membantu salah satu
pihak untuk meyakinkan pihak yang lain. Dan lebih dari itu, tidak seorang pun yang tahu, apakah yang sebenarnya telah
mereka bicarakan dalam penyerahan itu. Dan sekarang, ketika Ki Tambak Wedi
dihadapkan pada suatu persoalan yang pelik, yang tidak dapat di atasinya
sendiri untuk menghadapi masa depan Sidanti, maka Ki Tambak Wedi memerlukan
Argapati. Memerlukan ayah Sidanti itu sendiri. Sebenarnya hal itu adalah hal
yang wajar. Sangat wajar. Dan adalah wajar juga, kalau Ki Tambak Wedi ingin
berbicara tanpa orang lain, dalam hal Sidanti ini.
Tetapi
persoalan yang sekarang di hadapi oleh Ki Tambak Wedi bukan sekedar persoalan
Sidanti pribadi. Bukan soal kegagalan Sidanti dalam usahanya menuntut ilmu dari
perguruan Tambak Wedi. Bukan sekedar persoalan Sidanti yang malas dan tidak
mempunyai ketekunan dalam usahanya menuntut ilmu. Tidak. Justru Sidanti adalah
seorang murid yang baik, yang tekun dan dapat dibanggakan oleh gurunya. Namun
kegagalan Sidanti kali ini adalah kegagalannya dalam percaturan pergeseran
pimpinan pemerintahan, meskipun hanya dalam satu segi. Persoalan yang
menyangkut perselisihan antara Pajang dan Jipang. Antara Jipang dan Tambak
Wedi, dan kemudian antara Pajang melawan Jipang dan Tambak Wedi bersama-sama.
Persoalannya kemudian pasti akan menyangkut nama Sidanti sebagai seorang putera
Menoreh dalam hubungannya keluar. Bukan sekedar masalah pribadinya yang gagal
dalam ilmunya. Dan persoalan ini bukanlah sekedar persoalan Ki Tambak Wedi dan
Argapati. Tetapi persoalan ini pasti akan menjadi persoalan antara Menoreh dan
Pajang dalam keseluruhan. Meskipun demikian, Argajaya dan Sidanti merasa, bahwa
mereka tidak akan dapat memaksa Ki Tambak Wedi untuk membawa mereka dalam
pembicaraan, sebelum Ki Tambak Wedi menganggap, bahwa persoalan salah paham
telah dapat dilaluinya. Dengan demikian maka Argajaya dan Sidanti tidak
berusaha untuk mendesak orang tua itu. Namun mereka tidak dapat melepaskan
keinginan mereka untuk mendengar dan ikut berbicara dalam masalah itu.
“Baiklah aku
bersabar,” berkata Argajaya di dalam hatinya.
“Apabila
persoalannya telah menyangkut masalah Menoreh dan Pajang, maka Kakang Argapati
pasti akan memanggil aku.”
Dan
Sidanti pun agaknya berpikir demikian
pula,
“Apabila
datang waktunya, Ayah pasti akan memanggil aku, dan aku akan dapat membakarnya
untuk menyatakan perang terbuka melawan Pajang yang memang masih kisruh.”
Tetapi Sidanti
tidak mengatakannya. Ia mengharap agar gurunya segera menemui ayahnya dan
berbicara tentang persoalannya dengan sungguh-sungguh. Tidak lagi sambil
bergurau, membuat ceritera khayal yang menjemukan dan menyesakkan nafas. Sejenak
mereka bertiga saling berdiam diri. Masing-masing dengan angan-angan sendiri.
Namun ketika sekali-sekali Argajaya mencoba memandang wajah Ki Tambak Wedi,
maka ia merasakan suatu kegelisahan yang sangat pada orang tua itu.
Baru sesaat
kemudian, orang tua itu berdiri sambil berkata,
“Aku akan
pergi ke sumur sebentar. Nah, temuilah ayahmu itu, Sidanti.”
Sidanti
mengerutkan keningnya. Dan ia mendengar gurunya berkata,
“Tetapi jangan
berkata apa pun tentang dirimu yang
sebenarnya.”
“Sudah aku
katakan, aku sendirilah yang akan mengatakannya.”
Sidanti
menjadi ragu-ragu, sehingga ia bertanya,
“Lalu apakah
yang akan dapat aku katakan kepada Ayah? Apakah yang telah Guru bicarakan
sebelum ini?”
Ki Tambak Wedi
mengerutkan keningnya. Kemudian perlahan-lahan ia mengangguk,
“Ya, aku telah
berceritera tentang daerah yang belum pernah kau lihat.” Orang tua itu menarik
nafas dalam-dalam,
“Mungkin kau
akan bingung. Dan mungkin ayahmu pun
akan bingung pula.”
“Lalu?”
Ki Tambak Wedi
berpikir sejenak,
“Sebaiknya kau
tidak menemuinya. Akulah yang pertama-tama akan berbicara.”
Sidanti
menganggukkan kepalanya. Tetapi terasa kejanggalan yang luar biasa pada
pertemuannya dengan ayahnya kali ini. Beberapa tahun yang lalu, ketika ia
pulang untuk yang terakhir kalinya, ia dapat berbicara dengan ayahnya seperti
seorang anak dan ayah yang telah lama tidak bertemu. Tetapi kali ini ia merasa
seperti seseorang yang sedang bersembunyi di dalam rumah ini. Menghindari
pertemuan dengan orang-orang lain, bahkan dengan ayahnya sendiri.
“Ayah pasti
menunggu aku di pendapa,” desisnya.
“Mungkin.
Tetapi sebaiknya kau tetap berada di dalam bilikmu. Kau dapat membuat alasan
apa saja tentang dirimu. Mungkin kepalamu lagi pening, atau kau terlampau lelah
dan ingin beristirahat sejenak.”
Sidanti
mengangguk kosong, sedang Argajaya berjalan hilir mudik di dalam bilik itu.
“Aku akan
segera selesai. Dan aku segera menemui ayahmu.”
Sidanti tidak
menjawab. Dibiarkannya gurunya melangkah meninggalkannya di dalam bilik itu
bersama pamannya.
“Sulit,” desis
anak muda itu.
“Hanya
sementara. Kenapa kau menjadi sangat terganggu karenanya?” bertanya Argajaya.
Tetapi kata-kata itu ditujukan kepada dirinya sendiri pula.
“Ya, tetapi
yang sementara ini benar-benar telah menyiksaku,” berkata Sidanti.
“Sebentar lagi
Ki Tambak Wedi telah selesai. Ia akan segera menemui ayahmu.”
“Ya, Paman.
Tetapi bagaimana dengan aku sekarang? Apakah aku akan tetap berada di dalam
bilik yang pepat ini?”
Argajaya
menarik nafas dalam-dalam. Kemudian jawabnya,
“Tidak mengapa
Sidanti. Hanya sebentar.”
“Dadaku serasa
sesak, dan kepalaku benar-benar menjadi pening.”
Dahi Argajaya
berkerut, namun kemudian ia tersenyum hambar,
“Kau terlampau
tergesa-gesa. Bersabarlah sedikit.”
Sidanti
kemudian membanting dirinya di pembaringannya. Beberapa kali ia berdesah. Waktu
yang pendek itu terasa terlampau panjang baginya. Sedang Argajaya yang duduk di
sampingnya pun sebenarnya telah dibakar
oleh kegelisahannya pula. Tetapi ia masih mencoba menahan diri.
Sidanti
terlonjak ketika ia mendengar pintu bilik itu berderit. Dilihatnya Pandan Wangi
telah berada di luar biliknya di depan pintu.
“Kakang,”
berkata Pandan Wangi itu, “Ayah menunggu Kakang di pendapa. Kenapa Kakang tidak
keluar dari bilik ini dan menghadap Ayah?”
Sidanti
menjadi bingung. Dipandanginya wajah pamannya untuk mendapatkan pertimbangan.
Tetapi Argajaya pun tidak segera
menemukan jawab.
“Aku telah
menyediakan minuman hangat untuk Kakang Sidanti, Paman Argajaya, dan Guru
Kakang. Ayah menunggu kalian untuk minum-minum bersama setelah sekian lama
tidak bertemu. Ayah ingin mendengar ceriteramu, Kakang.”
“Ya, ya
Wangi,” Sidanti menjadi tergagap.
“Kami menunggu
Ki Tambak Wedi, Wangi,” Argajaya yang sudah menjadi agak tenang berkata,
“sebentar lagi
kami akan datang. Ki Tambak Wedi baru mandi.”
“O,” Pandan
Wangi mengangguk, “baiklah. Akan aku katakan kepada Ayah.”
Pandan Wangi
itu pun kemudian meninggalkan Paman dan
kakaknya dalam kegelisahan. Demikian Pandan Wangi menjauh, maka berkata
Argajaya,
“Hem, keadaan
kita benar-benar sulit.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar