MEREKA pun kemudian memungut busur-busur mereka, menyilangkannya di punggungnya. Endong, tempat anak panah mereka pun segera mereka ikat pada pinggang masing-masing. Di kiri tergantung pedang dan di kanan tergantung endong-endong itu, kecuali Sutawijaya yang bersenjatakan tombak. Ketiganya kemudian dengan hati-hati berjalan menjauhi perapian mereka. Agung Sedayu dan Swandaru telah menarik pedang-pedang mereka dari sarungnya. Kalau seseorang sengaja menarik perhatian mereka dengan sebuah perapian, maka menghadapi mereka harus cukup waspada. Dengan penuh kewaspadaan mereka kemudian memasuki rimbunnya pepohonan di sekeliling halaman yang sempit dan kotor itu. Dengan senjata siap di tangan, selangkah-selangkah mereka maju. Segera mereka pun mengetahui, dari manakah sumber cahaya yang memancar, membuat bayangan yang kemerah-merahan pada pepohonan dan dedaunan.
“Dari situlah
sumber cahaya itu,” desis Swandaru.
“Ya,” sahut
Sutawijaya perlahan-lahan, “marilah kita lihat.”
Ketika mereka
maju beberapa langkah lagi, maka segera mereka menjadi semakin jelas arah api
yang telah mengganggu itu. Dan beberapa langkah lagi, maka langkah mereka pun terhenti. Ternyata kini mereka berdiri
beberapa langkah dari sebuah halaman yang lain, halaman serupa dengan halaman
tempat mereka beristirahat. Tetapi halaman ini ternyata lebih luas. Dalam
cahaya api yang menyala-nyala itu mereka melihat gubug-gubug yang lebih banyak
dan di antaranya ada beberapa gubug yang agak lebih besar dari gubug-gubug yang
telah mereka lihat lebih dahulu.
“Hem,” bisik
Sutawijaya,
“bukankah
dugaan kita benar, bahwa di sekitar tempat kita berhenti masih ada perkemahan
yang lain. Inilah perkemahan itu.”
“Ternyata
masih ada penghuninya,” sahut Agung Sedayu perlahan-lahan.
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia berkata,
“Orang yang
keras kepala. Kenapa ia tidak saja menyerah bersama-sama dengan Sumangkar?”
“Tetapi kenapa
ia tidak pergi bersama dengan Sanakeling dan bergabung dengan Ki Tambak Wedi,”
sahut Agung Sedayu pula.
Sutawijaya
terdiam. Di dalam hatinya pun timbul
pula pertanyaan yang serupa, apabila orang itu adalah orang Jipang yang tidak
ingin menyerah, kenapa ia tidak bergabung saja dengan Sanakeling dan Alap-alap
Jalatunda? Apakah ada golongan yang berpendirian lain lagi di kalangan
orang-orang Jipang itu? Anak-anak muda itu sejenak berdiam diri. Dari kegelapan
mereka melihat perapian yang sedang menyala, yang membakar seonggok kayu,
dedaunan dan ilalang yang kering.
“Tetapi apakah
maksud mereka membuat perapian itu?” terdengar Sutawijaya berdesis.
“Seperti
kita,” sahut Swandaru, “menahan dingin dan mengusir nyamuk.”
“Apakah mereka
tidak melihat perapian kita?” bertanya Agung Sedayu.
“Ada dua
kemungkinan. Mereka tidak melihat perapian kita, atau mereka sengaja memanggil
kita kemari,” sahut Sutawijaya.
“Hem,”
Swandaru tiba-tiba menggeram. Ujung pedangnya telah mulai bergetar.
“Siapa yang
berani mencoba memanggil kita kemari?”
“Itu baru
dugaan,” berkata Sutawijaya kemudian.
“Tetapi dugaan
itu adalah kemungkinan yang paling dekat,” sahut Swandaru.
“Mustahil
mereka tidak melihat perapian kita yang tidak kalah besarnya dari perapian
mereka. Kita dapat melihat cahaya perapian ini. Tentu mereka pun melihat cahaya perapian kita dari
sela-sela pepohonan.”
Kembali mereka
terdiam. Namun mereka menjadi semakin berhati-hati.
“Kita
berpencar,” Tiba-tiba terdengar suara Sutawijaya,
“tetapi jangan
terlampau jauh. Kita harus mencapai satu sama lain dalam beberapa loncatan.
Kita belum tahu, siapakah yang berada di hadapan kita. Mungkin juga Tambak Wedi
sengaja menjebak kita. Sesaat kita tunggu, apakah yang akan terjadi.”
Kedua
kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Segera mereka pun memisahkan diri, namun tidak begitu jauh.
Masing-masing bersembunyi di dalam bayangan pepohonan yang gelap.
Dengan
berdebar-debar mereka menunggu. Tetapi tak seorang pun yang berada di dekat perapian itu.
Mula-mula mereka menyangka, bahwa orang-orang di dalam perkemahan itu, atau
sisa-sisanya, sedang masuk ke dalam salah satu dari pada kemah-kemah itu, atau
pergi untuk sesuatu keperluan. Tetapi setelah agak lama mereka menunggu, maka
tidak seorang pun juga yang datang. Debar
di dalam dada ketiga anak-anak muda itu menjadi semakin cepat. Hampir-hampir
mereka menjadi kehilangan kesabaran, menunggu di dalam tempat yang gelap,
dikerumuni oleh nyamuk-nyamuk liar yang jumlahnya tidak terhitung lagi. Leher,
tangan dan kaki-kaki mereka menjadi gatal-gatal karena gigitan nyamuk-nyamuk
itu. Swandaru menjadi gelisah karenanya. Ia mengumpat di dalam hatinya. Bahkan
terasa bahwa seseorang atau beberapa orang dengan sengaja mempermainkan mereka.
Darah di dalam tubuh Swandaru itu serasa menjadi mendidih karenanya. Beberapa
kali terdengar ia menggeram. Bahkan ujung pedangnya kemudian
dihentak-hentakkannya pada sebatang pohon di sampingnya. Namun akhirnya ia
tidak dapat menahan diri lagi. Dengan hati-hati ia merayap kembali mendekati
Sutawijaya. Sutawijaja terkejut mendengar gemerisik di sampingnya. Cepat ia
bersiaga. Ketika ia melihat sebuah bayangan mendekatinya segera tombaknya
ditundukkannya.
“Eh, apakah
Tuan tidak mengenal aku lagi?” desis Swandaru.
“O,”
Sutawijaya menarik nafas, “kenapa kau kembali? Apakah ada sesuatu?”
Swandaru
menggeleng,
“Aku tidak
sabar lagi. Darahku hampir habis dihisap nyamuk. Maka menurut pertimbanganku,
lebih baik kita dekati saja gubug-gubug itu.”
Sutawijaya
tidak segera menyahut. Tetapi ia belum menemukan suatu sikap yang baik untuk
mengatasi kebingungan mereka.
“Panggil Agung
Sedayu,” bisik Sutawijaya.
“Aku
memanggilnya?” bertanya Swandaru.
“Aku datang ke
sana atau aku meneriakkan namanya?”
“Jangan
berteriak. Tetapi apakah kau tahu tempatnya bersembunyi meskipun tidak
terlampau jauh.”
Swandaru
menggelengkan kepalanya.
Mereka berdua
menjadi kebingungan. Mereka tidak mempunyai cara yang khusus, atau mereka tidak
membicarakan tanda-tanda yang perlu apabila mereka saling memerlukan. Cara
satu-satunya adalah berteriak memanggil. Tetapi dengan demikian, maka suaranya
pasti akan didengar dari dalam gubug-gubug itu.
Dalam
kebingungan Swandaru berkata, “Aku akan berteriak saja.”
“Bagaimana
kalau orang-orang di dalam gubug itu mendengarnya?” bertanya Sutawijaya.
“Aku tidak
berkeberatan. Apakah Tuan berkeberatan? Lebih baik mereka segera tahu kehadiran
kita. Kalau mereka memang sengaja memanggil kita, maka kita telah menyatakan
diri kita. Sedangkan kalau mereka tidak melihat perapian kita dan tidak tahu
bahwa kita di sini, biarlah mereka menjadi tahu.”
Agaknya
Sutawijaya pun telah menjadi jemu
menunggu. Karena itu maka katanya, “Panggillah.”
Swandaru tidak
menunggu lebih lama lagi. Segera ia berteriak memanggil nama Agung Sedayu.
Agung Sedayu
terkejut menerima panggilan itu. Ia menyangka bahwa terjadi sesuatu dengan
saudara seperguruannya, sehingga dengan serta merta ia meloncat berlari ke arah
suara Swandaru. Tetapi ia menjadi heran ketika mereka melihat Swandaru dan
Sutawijaya masih saja berdiri bersandar sebatang pohon yang besar.
“Kenapa kau
berteriak-teriak adi Swandaru?” bertanya Sedayu.
“Aku telah
jemu menunggu,” jawab Swandaru.
Kini mereka
bertiga telah berkumpul kembali. Tetapi mereka masih belum tahu apa yang akan
mereka lakukan. Mereka sengaja berbicara keras-keras, tetapi mereka belum
melihat seorang pun yang keluar dari
dalam perkemahan di halaman itu. Tetapi mereka dengan demikian telah menemukan
suatu pengalaman, bahwa apabila mereka sengaja memisahkan diri, mereka harus
mempunyai tanda yang dapat mereka pakai untuk menyatakan pikiran mereka.
Mungkin mereka harus berkumpul kembali, atau mungkin mereka harus tetap di
tempatnya sambil bersembunyi. Dalam pertempuran mereka telah biasa
mempergunakan tanda-tanda sandi, tetapi ketika mereka berada dalam keadaan
seperti saat itu, di mana mereka harus mengatur diri sendiri, maka mereka telah
melupakannya. Sebab di dalam barisan, mereka tinggal mempergunakan tanda-tanda
yang telah disiapkan oleh pemimpin mereka.
Yang terdengar
kemudian adalah Sutawijaya menggeram. Ia pun telah kehilangan kesabarannya.
Desisnya,
“Apakah kita
yang datang kepada mereka? Kita lihat setiap perkemahan satu demi satu sehingga
kita menemukan beberapa orang atau seorang yang mungkin membuat perapian itu?”
Agung Sedayu
dan Swandaru tidak segera menjawab. Namun mereka pun telah kehabisan kesabarannya pula.
“Pasti ada
beberapa orang atau setidak-tidaknya seorang di dekat tempat ini,” gumam
Sutawijaya.
“Tidak mungkin
kerangka, setan atau apa pun memerlukan membuat perapian.”
“Mereka memang
tidak memerlukan, Tuan,” sahut Swandaru,
“tetapi mereka
hanya ingin mengganggu kita.”
“Apakah kau
percaya?”
Sejenak
Swandaru berbimbang. Namun kemudian ia
pun menggelengkan kepalanya sambil tersenyum,
“Tidak.”
“Nah, kalau
begitu pasti seseorang telah menyalakan api dan perapian itu.”
“Tetapi
siapa?” bertanya Agung Sedayu.
“Kita tidak
tahu.”
“Maksudku,
siapakah yang telah berani membuat perapian itu? Menurut perhitunganku, orang
itu pasti dengan sengaja membuatnya. Mustahil kalau orang ini tidak tahu, bahwa
kita telah membuat perapian di sebelah. Dengan demikian maka, kita akan dapat
menduga, bahwa orang itu dengan sengaja dan setelah diperhitungkan, ingin
melawan kita bertiga.”
“Apakah kita
akan menyingkir?” bertanya Swandaru.
“Apakah kita
harus berkelahi?” sahut Agung Sedayu.
“Kalian berdua
sama-sama benar. Kita tidak harus mencari persoalan, tetapi kita juga tidak
boleh lari apabila kita menjumpai persoalan yang melibat kita dalam suatu
keharusan mempertahankan diri. Kali ini, kita
pun harus mempertahankan diri kita dari tekanan perasaan ini. Kita tidak
mau menjadi permainan.” Sutawijaya berhenti sejenak. Dicobanya menembus
kepekatan malam di sekitarnya. Tetapi nyala api yang membentur pepohonan tidak
mampu mencapai jarak yang terlampau jauh.
Di ujung
cahaya api perapian itu, Sutawijaya melihat bayangan nyala api dari perapian
yang telah mereka buat bertiga. Tiba-tiba Sutawijaya itu berkata,
“Aku mempunyai
pendapat. Kita masuki perkemahan itu. Kalau kita bertemu dengan seseorang, maka
orang itu kita tanya, apakah ia ingin berbuat jahat kepada kita atau tidak.
Kalau menilik sikap, perbuatan, dan kata-katanya ia orang yang baik, maka kita
tidak perlu berkelahi. Tetapi kalau orang itu sengaja mempermainkan kita
apalagi berbuat jahat, maka ia harus kita tangkap. Besok orang itu kita bawa ke
Sangkal Putung.”
“Kita tidak
jadi ke Alas Mentaok?” bertanya Swandaru.
“Kalau kita
mendapatkan tawanan, kita harus kembali dahulu ke Benda,” sahut Sutawijaya.
“Akan membuang
waktu. Kita ikat saja orang itu di sini. Besok kalau kita kembali, kita bawa ia
ke Sangkal Putung.”
Sutawijaya
mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia tertawa, katanya,
“Berapa hari
kita akan berada di perjalanan? Orang itu pasti akan sudah mati kelaparan dan
kehausan. Bukankah dengan demikian kita telah menyiksanya?”
Swandaru
terdiam. Tetapi ia tidak senang apabila mereka harus kembali. Namun kemudian ia
tertawa ketika Sutawijaya berkata,
“Bagaimana
kalau kita yang ditangkap, diikat di sini untuk beberapa hari? Kita belum tahu
siapa yang kita hadapi. Kita belum tahu, apakah kita yang akan mengikat atau
kita yang akan diikat.”
Swandaru dan
Agung Sedayu pun kemudian tertawa.
Namun dalam
pada itu Agung Sedayu berkata,
“Aku
sependapat dengan Tuan. Kita melihat setiap perkemahan. Kalau kita temui
seseorang, maka kita mempertimbangkan, siapakah orang itu?”
“Baik,” sahut
Swandaru, “aku pun sependapat.”
“Kita harus
bersedia menghadapi setiap kemungkinan. Mengikat orang itu, membawanya ke
Sangkal Putung, atau kitalah yang akan diikat di sini untuk menjadi mangsa
binatang buas.”
“Baik, kita
terima kemungkinan-kemungkinan itu. Marilah,” berkata Swadaru sambil
melangkahkan kakinya. Ia telah benar-benar dibakar oleh kejengkelan dan
ketidaksabaran.
Sutawijaya dan
Agung Sedayu pun segera mengikutinya di
belakang. Dengan penuh kewaspadaan mereka berjalan. Senjata-senjata mereka
telah siap untuk menghadapi setiap kemungkinan.
“Kemana kita?”
bertanya Swandaru.
“Ke perkemahan
itu,” jawab Sutawijaya.
“Perkemahan
yang mana?”
“Salah satu
dari padanya. Pilihlah.”
Swandaru
segera memilih gubug yang paling ujung. Pintu gubug itu menganga lebar. Namun
di dalamnya seolah-olah dilapisi sehelai tirai yang hitam pekat.
“Tunggu,”
berkata Agung Sedayu,
“kita harus
berhati-hati. Marilah kita bawa obor.”
Langkah
Swandaru tertegun. Pendapat Agung Sedayu memang baik. Bukan berarti mereka
ketakutan, namun mereka memang harus berhati-hati.
Agung
Sedayu pun segera berlari ke samping
gubug itu. Diraihnya atap ilalang segenggam, dan kemudian ia pun pergi ke perapian yang menyala-nyala itu,
untuk menyalakan obornya.
“Perapian
ini pun masih baru,” desisnya kepada
diri sendiri,
“orang yang
membuat perapian pasti masih ada di sekitar tempat ini.”
Kemudian
dengan obor di tangan, ia kembali kepada kedua orang kawannya dan berjalan
bersama-sama ke gubug yang paling ujung. Dengan sangat hati-hati mereka
mendekati pintu, setapak demi setapak. Namun gubug itu agaknya terlampau sepi.
Tak ada suara apapun.
“Kosong,”
desis Swandaru.
“Marilah kita
lihat ke dalam,” berkata Sutawijaya.
“Mari,” sahut
kedua kawannya hampir bersamaan.
“Tetapi
hati-hatilah, siapa tahu, seseorang menanti kita dengan pedang terhunus, atau
ujung tombak di sisi pintu.”
Sejenak mereka
bertiga pun berdiri tegang di muka pintu
yang menganga lebar itu. Mereka menjadi ragu-ragu. Namun tiba-tiba Sutawijaya
itu pun meloncat surut selangkah,
kemudian dengan menghentakkan kakinya ia meloncat maju sambil mengayunkan
sebelah kakinya menghantam uger-uger lawang yang terbuat dari sebatang bambu.
Maka terdengarlah suara berderak. Uger-uger itu
pun menjadi berantakan, bahkan dinding di sisi pintu itu pun roboh pula ke dalam.
Sutawijaya dan
kedua kawannya menarik nafas panjang ketika dinding bambu gubug itu telah
menganga. Kini mereka dapat melihat leluasa ke dalamnya. Tak ada apa pun di
dalam gubug itu selain sebuah amben bambu yang agak lebar, seonggok jerami
kering dan sebuah jagrak bambu pula. Di sudut mereka melihat sebuah sosok gendi
dan sebuah tlundak lampu.
“Kosong,”
desis Sutawijaya, Agung Sedayu, dan Swandaru hampir bersamaan.
“Apakah
gubug-gubug yang lain juga kosong?” gumam Swandaru.
“Aku kira
semua gubug kosong, kecuali satu, tempat orang yang menyalakan perapian itu
bersembunyi. Mungkin di dalam gubug itu bersembunyi lebih dari satu orang.
Mungkin hanya satu orang, tetapi orang itu bernama Tambak Wedi.”
Mereka bertiga
tertawa. Namun nadanya terlampau hambar.
“Mari kita
lihat satu demi satu,” ajak Sutawijaya,
“kalau kita
raga-ragu memasukinya, kita rusakkan pintunya seperti gubug ini.”
“Marilah,”
jawab kedua kawannya serentak.
Kini kembali
mereka melangkah ke gubug berikutnya. Dengan cara yang sama, Sutawijaya merusak
pintunya, dan tanpa memasukinya, mereka segera dapat melihat bahwa gubug-gubug
itu ternyata tidak berisi.
Berkali-kali
hal yang serupa dilakukan oleh Sutawijaya. Ketika ia menjadi lelah, maka kini
Swandaru-lah yang harus merusaki pintu. Dengan pedangnya ia menghantam setiap
uger-uger pintu, kemudian mendorong dindingnya sehingga roboh. Tetapi mereka
belum juga menemukan seseorang.
Akhirnya
Swandaru pun menjadi jemu pula. Katanya,
“Sekarang
giliranmu Kakang Agung Sedayu. Kaulah yang harus merusak dinding gubug-gubug
berikutnya, biarlah aku yang membawa obor.”
Agung
Sedayu pun melangkah beberapa tindak.
Sampai di muka sebuah pintu, maka ia tidak segera meloncat menghantam
tiang-tiang pintunya, atau dengan pedangnya memukul uger-uger pintu itu. Tetapi
dengan tenangnya ia memutuskan tali-tali yang sudah lapuk dengan ujung
pedangnya. Ketika beberapa tali telah diputusnya dengan mudah, maka dengan
ujung pedangnya ia mendorong dinding bambu itu. Dan dinding yang ringkih
itu pun robohlah ke dalam.
Sutawijaya
tertawa terbahak-bahak melihat cara Agung Sedayu itu.
“Hebat,”
teriaknya. Swandaru pun berteriak pula
dengan serta merta,
“Alangkah
malasnya kau, Kakang.”
“Aku dapat
mencapai hasil yang sama seperti yang kalian lakukan. Tetapi aku tidak perlu
membuang tenaga seperti kalian. Bukankah yang aku kerjakan tidak lebih jelek
dari yang kalian lakukan. Waktunya pun
tidak jauh lebih lama?”
“Aku tidak
telaten,” gumam Swandaru.
“Itu adalah
pertanda, bahwa kau memikirkan apa yang akan kau lakukan dengan baik. Itu
adalah kebiasaan yang bagus sekali. Membuang tenaga sekecil-kecilnya untuk
mencapai hasil yang sebanyak-banyaknya.”
Kembali mereka
bertiga tertawa.
“Ayo, kita
teruskan kerja kita. Masih ada beberapa gubug lagi,” ajak Swandaru.
Mereka
bertiga pun segera melangkahkan
kaki-kaki mereka dengan segannya. Kejemuan dan kejengkelan telah melanda dada
mereka seperti angin ribut. Namun mereka belum menemukan seseorang.
Berkali-kali mereka memandangi perapian itu, dan perapian itu pun masih juga menyala. Beberapa potong kayu
telah menjadi bara, namun onggokan kayu itu masih cukup banyak, sehingga
apinya pun masih juga menjilat ke udara.
Namun semakin lama lidah api itu pun
menjadi semakin susut pula. Akhirnya ketiga anak-anak muda itu pun
menyelesaikan pekerjaannya. Seluruh gubug-gubug yang ada telah dimasukinya.
Gubug yang paling besar, yang pernah dipergunakan oleh Tohpati pun telah mereka masuki pula. Namun mereka
tidak menemukan sesuatu.
“Gila,”
Swandaru mengumpat-umpat tak habis-habisnya,
“siapakah yang
bermain gila-gilaan ini. Kenapa ia bersembunyi?”
“Jangan mengumpat-umpat,”
cegah Sutawijaya,
“kalau orang
yang menyalakan api itu melihat kau mengumpat-umpat ia akan menjadi bergembira
sekali.”
Swandaru
terdiam. Namun hanya mulutnya. Hatinya masih saja mengumpat-umpat tak
henti-hentinya. Ia merasa sedang dipermainkan oleh seseorang.
“Kita cari
orang itu sampai ketemu. Kita bongkar hutan ini untuk mencarinya,” teriak
Swandaru itu tiba-tiba untuk melepaskan kejengkelannya.
“Kau amat
bernafsu, Swandaru,” desis Sutawijaya.
“Aku merasa
menjadi permainan kali ini. Aku pun
harus mampu membalas, mempermainkannya.”
Sutawijaya
tertawa. Agung Sedayu pun tertawa pula
sambil berkata,
“Jangankan
mempermainkan, mencari pun kita tidak
mampu.”
Swandaru tidak
menjawab, tetapi terdengar ia menggeram.
“Kita coba
untuk menemukan,” berkata Sutawijaya kemudian.
“Apakah Tuan
juga telah dibakar oleh nafsu mempermainkannya?” bertanya Agung Sedayu.
Sutawijaya tertawa.
Ragu-ragu ia menjawab,
“Aku pun menjadi jengkel juga, tetapi aku tidak
akan membongkar hutan ini.”
Tiba-tiba
Swandaru menyela,
“Marilah kita
cari. Dengan berbicara tak habis-habisnya kita tidak akan dapat menemukannya.”
“Kemana lagi
kita akan mencari?”
Swandaru
tertegun sejenak. Ia pun tidak tahu kemana harus mencari orang yang telah
membuat perapian itu. Gubug-gubug sudah seluruhnya dilihatnya. Kalau orang itu
telah masuk ke dalam hutan, alangkah sukarnya untuk menemukannya di antara
batang-batang pohon yang besar dan gerumbul-gerumbul yang lebat. Swandaru yang
sedang dibakar oleh perasaan jengkel dan marah itu kemudian bertolak pinggang
sambil berteriak keras-keras,
“He, siapa
yang bersembunyi itu? Siapa? Pengecut, penakut atau orang yang licik, yang akan
menyerang dari tempat yang tersembunyi atau menunggu kami menjadi lengah? He,
siapa? Siapa…? Siapa di situ…?”
Suara Swandaru
menggetarkan udara malam di dalam hutan itu. Suara itu seakan-akan menyelusur
setiap dahan dan ranting, menggema ke segenap penjuru. Anak burung-burung liar
yang sedang tidur nyenyak di dalam sarangnya, menjadi terkejut dan mengangkat
kepala-kepala mereka. Sedang sayap-sayap induknya menjadi semakin lekat
menutupi tubuhnya, seakan-akan di kejauhan telah menggelegar guruh yang
memberikan pertanda, bahaya sedang mengancam anak-anak mereka. Alangkah
kecewanya Swandaru. Suaranya menggema berulang-ulang. Tetapi kemudian lenyap
ditelan gelapnya malam. Sekali dua kali ia mengulangi, tetapi akhirnya ia
menjadi lelah sendiri. Sutawijaya dan Agung Sedayu tertawa berkepanjangan,
sehingga tubuh-tubuh mereka berguncang-guncang. Mereka seolah-olah melihat
sebuah pertunjukan yang lucu sekali. Swandaru yang gemuk bulat bertolak
pinggang sambil berteriak-terik sampai serak.
“Bagaimana?”
bertanya Agung Sedayu.
“Suaraku
hampir habis,” jawabnya parau.
Kembali kedua
kawannya tertawa keras-keras.
“Kau memang
aneh,” berkata Sutawijaya.
“Kalau orang
itu ingin keluar dari persembunyiannya, maka kau tidak perlu berteriak-teriak
memanggilnya.”
“Menjengkelkan
sekali,” geram Swandaru. “Apakah setan itu Ki Tambak Wedi sendiri?”
“Tak seorang pun tahu,” sahut Sutawijaya.
“Jangan
terlampau tenggelam dalam kejemuan, kejengkelan dan kemarahan. Marilah kita
kembali ke perapian kita sendiri. Kita memang tidak mencari musuh. Tetapi
apabila musuh itu datang, kita sambut dengan senang hati.”
“Apakah kita
menunggu mereka menerkam kita selagi kita tidur?”
“Salah kita
apabila kita tidur bersama-sama. Adalah haknya untuk berbuat demikian.”
Swandaru
menarik nafas panjang-panjang. “Marilah,” geramnya.
Kini mereka
bertiga melangkahkan kaki mereka kembali ke perapian mereka sendiri. Meskipun
demikian, mereka tidak kehilangan kewaspadaan. Tombak Sutawijaya siap untuk
mematuk setiap bahaya yang mendatanginya, sedang pedang Agung Sedayu dan
Swandaru pun masih juga dalam genggaman.
Mereka kini sudah tidak memerlukan obor lagi. Sejak gubuk yang terakhir mereka
tinggalkan obor mereka telah mereka buang. Apalagi kini mereka menyusup di
antara semak-semak dan pepohonan. Mereka justru berusaha untuk menghindarkan
diri dari setiap mata yang mencoba mengintainya. Mereka bertiga menemukan
perapian yang mereka tinggalkan masih menyala, meskipun lidah apinya tidak lagi
menggapai dedaunan di atas perapian itu. Namun api itu masih cukup terang untuk
menerangi keadaan di sekelilingnya. Namun tiba-tiba kembali Sutawijaya dan
kedua kawannya terkejut. Ia melihat sesuatu yang tidak ada pada saat mereka
meninggalkan tempat itu. Di samping perapian itu mereka ketemukan sebuah lincak
bambu kecil.
“Hem,”
Swandaru menggeram kembali,
“siapa yang
bermain-main hantu-hantuan ini?”
“Jangan
hiraukan,” berkata Sutawijaya,
“kita
berterima kasih, bahwa kita mendapat tempat duduk yang baik, bahkan tempat
untuk berbaring. Sekarang, marilah kita mulai giliran yang pertama. Siapa yang
tidur lebih dahulu? Lincak ini hanya cukup untuk seorang dan yang lain harus
duduk sambil berjaga-jaga. Kau Swandaru, yang ingin tidur lebih dahulu?”
“Baik,” sahut
Swandaru dengan serta merta,
“biarlah
kepalaku tidak pecah karena permainan ini.”
“Tidurlah,”
sahut Sutawijaya,
“biarlah aku
dan Agung Sedayu berjaga-jaga. Nanti kau akan kami bangunkan dan salah seorang
dari kami akan tidur pula sejenak.”
Swandaru tidak
menjawab. Setelah menyarungkan pedangnya dan melepas busur yang menyilang di
punggungnya ia segera berbaring. Angin malam berhembus semakin dingin,
seolah-olah menghunjam sampai ke tulang. Tetapi api perapian yang masih juga
menyala, meskipun semakin susut, telah menolong ketiga anak-anak muda itu.
Namun apabila mereka berdiri dan berjalan agak menjauh, terasalah betapa
dinginnya udara malam. Suara burung hantu melengking-lengking di kejauhan,
disahut oleh gonggong anjing-anjing liar berebut makan. Sutawijaya dan Agung
Sedayu yang masih duduk di amben bambu itu terkejut ketika sejenak kemudian
mereka telah mendengar Swandaru mendengkur.
“Bukan main,”
desis Sutawijaya, “anak itu sudah tidur.”
Agung Sedayu
tersenyum,
“Itulah
mungkin sebabnya Adi Swandaru dapat menjadi gemuk bulat seperti itu.”
Sutawijaya
tersenyum pula. Tetapi ia tidak menjawab.
Mereka berdua
merasa, bahwa ada seseorang berada di sekeliling tempat itu. Tetapi mereka
tidak dapat menemukannya. Karena itu maka mereka berdua sama sekali tidak
melepaskan kewaspadaan. Setiap gerak yang mencurigakan, setiap suara gemerisik
dan setiap apa saja, selalu mendapat perhatian mereka dengan saksama.
Sementara itu,
pada saat yang bersamaan di Sangkal Putung, di pendapa banjar desa, Ki Gede
Pemanahan duduk dihadap oleh Untara, Widura, Ki Demang Sangkal Putung, dan para
pemimpin prajurit Pajang dan pemimpin Sangkal Putung. Banyak yang telah mereka
dengar, nasehat-nasehat, pendapat-pendapat, dan sindiran-sindiran yang pantas
mendapat perhatian dari para pemimpin itu. Akhirnya Ki Gede Pemanahan itu
berkata,
“Aku berbangga
atas hasil kerja Untara, tetapi terakhir aku kecewa atas ketergesa-gesaannya,
sehingga terjadi beberapa peristiwa yang cukup berbahaya bagiku dan bahkan bagi
Sangkal Putung sendiri. Tetapi itu bukan salah Untara seluruhnya. Apabila Ki
Tambak Wedi tidak turut campur, maka aku kira keadaannya akan sangat berbeda.
Sehingga untuk seterusnya, Ki Tambak Wadi harus mendapat perhatian yang cukup
banyak. Karena itu Untara, ada dua hal yang akan aku sampaikan kepadamu
sekarang. Yang pertama ada persoalan yang telah aku bawa dari Pajang, sedang
soal yang kedua adalah persoalan yang baru aku temukan setelah aku sampai di
Sangkal Putung.”
Untara
mengangkat wajahnya. Ditatapnya wajah panglimanya itu, namun kemudian ia pun segera menundukkan wajahnya kembali.
Tetapi terasa kini hatinya menjadi berdebar-debar. Mungkin ia telah dinggap
berbuat suatu kesalahan yang besar dengan peristiwa yang hampir saja membuat
bencana bagi Ki Gede Pemanahan beserta para pengawalnya. Untara itu pun kemudian menunggu Ki Gede Pemanahan
melanjutkan kata-katanya dengan hati yang gelisah. Beberapa titik keringat
telah membasahi keningnya. Sejenak pendapa itu menjadi hening. Semua orang
menunggu apakah yang akan dikatakan oleh Ki Gede Pemanahan itu. Ketika angin
menyusup ke dalam pendapa banjar desa itu, maka lampu minyak yang melekat pada
tiang-tiang pendapa itu pun
bergerak-gerak dengan lemahnya.
“Untara,” berkata
Ki Gede Pemanaham itu pula,
“sejak dari
Pajang aku telah membawa sesuatu untukmu. Sesuatu bukan saja atas kehendakku
sendiri, tetapi aku membawanya dari Adipati Pajang sendiri.”
Jantung Untara
terasa menjadi semakin cepat berdenyut. Dan ia mendengar Ki Gede Pemanahan
berkata seterusnya,
“Adipati
Pajang merasa berterima kasih kepadamu, karena kau telah bekerja sebaik-baiknya
untuk kepentingan Pajang. Seperti juga Adipati Pajang berterima kasih kepada
mereka yang dianggap dapat mengalahkan Arya Penangsang dan Patih Mantahun, maka
kau yang telah berhasil membunuh Macan Kepatihan pun mendapat perhatian Adipati Pajang sebagai
seseorang yang telah memberikan jasa yang sebaik-baiknya kepada Pajang.
Meskipun Sangkal Putung adalah sebuah kademangan yang kecil dibandingkan dengan
Pajang keseluruhan, namun bahaya yang ditimbulkan Macan Kepatihan sebenarnya
bukan saja terbatas di sekitar Sangkal Putung. Macan itu akan dapat berkeliaran
di seluruh Kadipaten Pajang, bekas Kadipaten Jipang, bahkan di seluruh bekas
wilayah Demak. Itulah sebabnya, maka kemenangan yang kau dapatkan di kademangan
ini mendapat perhatian khusus dari Adipati Pajang.”
Kembali Ki
Gede Pemanahan berhenti sesaat, Dan kepala Untara yang tunduk pun menjadi
semakin tunduk. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa ia akan mendapat perhatian
yang sedemikian besarnya dari Adipati Pajang sendiri.
“Untara,”
berkata Ki Gede Pemanahan,
“aku belum
tahu, apa yang akan kau terima sebagai pernyataan terima kasih itu dari Adipati
Pajang. Tetapi adalah wajar apabila kemudian setelah semua tugasmu selesai, kau
akan mendapat sebuah pangkat yang lebih baik, tumenggung misalnya.”
Untara
terkejut mendengar nama pangkat itu. Ia adalah seorang yang sama sekali tidak
pernah mengharapkan mendapat pangkat setinggi itu. Kalau ia merayap menurut
tingkat yang wajar, maka pangkat itu masih berjarak beberapa lapis lagi
daripadanya. Namun dengan membunuh Tohpati ia langsung meloncati beberapa lapis
itu. Tumenggung, tumenggung dalam pangkat keprajuritan adalah pangkat yang
cukup tinggi. Dengan pangkat itu ia tidak saja akan menjadi senapati kecil
seperti yang dijabatnya kini. Ia akan menjadi seorang senapati dengan pasukan
segelar sepapan. Tetapi Ki Gede itu mengatakan bahwa Ki Gede sendiri belum tahu
pasti apakah yang akan diterimanya dari Adipati Pajang. Pangkat itu barulah
dugaan Ki Gede Pemanahan sendiri. Dan pangkat itu baru akan diterimanya kelak.
Tetapi dugaan itu adalah dugaan seorang Panglima Wira Tamtama, bukan sekedar
dugaannya sendiri, atau dugaan pamannya, Widura. Bahkan kemudian ki Gede
Pemanahan itu berkata pula,
“Apa yang kau
lakukan Untara, adalah lebih sulit dari apa yang harus dilakukan oleh seorang
tumenggung.”
Untara tidak
dapat menjawab sama sekali. Mulutnya serasa terbungkam dan darahnya beredar
semakin cepat. Yang berkata kemudian adalah Ki Gede Pemanahan kembali,
“Untara,
seorang Tumenggung Wira Tamtama, mendapat prajurit segelar sepapan, yang telah
siap melakukan perintah. Kau di sini hanya mempergunakan sepasukan Wira Tamtama
yang dipimpin oleh pamanmu Widura. Kemudian kau dan pamanmulah yang membentuk
pasukan segelar sepapan dengan tenaga yang kalian persiapkan sendiri. Anak-anak
muda Sangkal Putung. Namun kau telah berhasil melawan Tohpati yang pada saat
terakhir telah mengumpulkan sisa-sisa laskarnya yang tersebar.
Untara masih
berdiam diri.
“Adalah
sepantasnya bahwa kau berhak menerima anugerah itu.”
Untara
menggigit bibirnya. Kemudian perlahan-lahan ia berkata,
“Ki Gede.
Adalah tidak mungkin aku lakukan semua itu apabila aku berdiri sendiri. Apa
yang aku lakukan adalah sebagian saja dari apa yang kami lakukan bersama.
Prajurit Wira Tamtama Pajang dan hampir setiap laki-laki di Sangkal Putung.
Bahkan perempuan-perempuan kademangan ini
pun bekerja pula untuk kepentingan bersama. Makanan yang disediakan
untuk kami dan banyak lagi keperluan-keperluan kami yang lain. Karena itu,
setiap anugerah untukku adalah sepantasnya apabila diserahkan untuk kepentingan
kami bersama. Aku, Paman Widura beserta pasukannya yang lebih dahulu telah
berjuang melawan Tohpati di Sangkal Putung ini, Ki Demang, dan setiap orang di
Sangkal Putung.”
Ki Gede
Pemanahan tersenyum mendengar jawaban Untara itu. Katanya kemudian,
“Kau benar
Untara. Dan hal itu telah diketahuinya pula oleh Adipati Pajang. Seluruh
Sangkal Putung akan mendapat kehormatan pula. Mungkin sangkal Putung akan
menerima berbagai macam hadiah yang langsung dapat dimanfaatkan oleh kademangan
ini. Mungkin alat-alat pertanian, mungkin ternak dan iwen dan mungkin anugerah-anugerah
yang lain. Tetapi kau yang menangani kematian Tohpati telah mendapat perhatian
khusus dari Adipati Pajang. Meskipun kau sama sekali tidak menginginkan hadiah
itu Untara, tetapi hal yang serupa itulah yang telah menggerakkan Sidanti untuk
berbuat hal yang aneh-aneh. Semula ia ingin bahwa kematian Tohpati adalah
akibat dari senjatanya. Tetapi ia gagal.”
Untara kini
terdiam kembali. Ia mencoba untuk mengerti setiap kata yang diucapkan oleh Ki
Gede Pemanahan. Dan Ki Gede itu berkata terus,
“Kemudian
Widura pun akan mendapat bagiannya pula.
Aku juga belum tahu apa yang akan kau terima, tetapi pesan itu telah aku bawa
pula.” Ki Gede Pemanahan itu terdiam sejenak, lalu sambungnya,
“Tetapi
sebelum semuanya itu berlangsung, sebelum kalian menerima hadiah yang telah
dijanjikan, maka aku ingin menyampaikan persoalan yang kedua yang baru aku
temukan setelah aku berada di Sangkal Putung ini.”
Debar di dalam
dada Untara pun menjadi semakin cepat
kembali. Persoalan ini pun agaknya tidak kalah pentingnya dengan persoalan yang
pertama, namun nadanya agaknya amat jauh berbeda. Persoalan yang dikatakan oleh
Ki Gede Pemanahan, baru diketemukan di Sangkal Putung.
“Untara,”
berkata Ki Gede Pemanahan seterusnya,
“aku
sependapat dengan laporanmu, bahwa persoalan di Sangkal Putung telah delapan
dari sepuluh bagian selesai. Tetapi kemudian tumbuh persoalan baru yang apabila
dijumlahkan maka apa yang telah kau selesaikan dengan terbunuhnya Tohpati
barulah lima dari sepuluh bagian. Bahkan mungkin kurang daripada itu. Sebab
sepeninggal Tohpati tumbuhlah Sidanti dan bahkan gurunya Ki Tambak Wedi di
samping sebagian dari laskar Tohpati sendiri. Tetapi ini bukan salahmu. Keadaan
berkembang ke arah yang tidak kita kehendaki bersama. Karena itu Untara, maka
pekerjaanmu kali ini terpaksa belum dapat diakhiri. Mungkin Widura yang telah
lebih lama berada di Sangkal Putung akan dapat beristirahat bersama pasukannya
di kademangan ini, sebab pergolakan kemudian harus kau geser ke tempat lain.”
Untara
mengangkat wajahnya. Dadanya berdesir mendengar penjelasan itu. Sekilas ia
telah berhasil menangkap maksud Ki Gede Pemanahan, namun kemudian Ki Gede itu
menjelaskan,
“Untara,
tegasnya aku akan menjatuhkan perintah kepadamu dan kepada Widura. Widura
sementara masih harus tetap berada di Sangkal Putung bersama pasukannya.
Mungkin satu dua orang sisa laskar Jipang masih akan merayap kemari. Tetapi
sebaliknya aku akan memberikan perintah kepada Untara untuk meninggalkan
Sangkal Putung. Kau jangan menunggu ki Tambak Wedi dan Sidanti datang ke tempat
ini atau membuat huru hara di tempat lain, di sekitar lereng Gunung Merapi.
Karena itu kau harus mendekat. Bukankah kau berasal dari Jati Anom? Nah, kau
harus tinggal di sana bersama sepasukan Wira Tamtama yang akan aku kirimkan
dari Pajang. Bukan pasukan yang telah berada di Sangkal Putung. Dengan pasukan
itu kau tidak harus bertahan, tetapi kau harus berusaha merebut setiap
kedudukan Ki Tambak Wedi. Aku mengharap dengan pasukan itu kau mampu
melakukannya, meskipun di antaranya aku tidak akan memasang seseorang yang
mampu mengimbangi Ki Tambak Wedi. Aku mengharap kau berhasil menghubungi Kiai
Gringsing yang menurut laporanmu, akan dapat setidak-tidaknya memperkecil arti
Ki Tambak Wedi, atau kalau tidak, maka kau harus membuat pasangan-pasangan yang
mampu menahan setiap perbuatan Hantu Lereng Merapi itu.”
Untara merasa
bahwa dadanya bergelora oleh berbagai perasan yang saling berdesak-desakan. Ia
merasa bahwa ia telah membuat banyak kesalahan dengan laporan yang telah
dikirimnya. Karena itu maka di dalam sudut hatinya ia pun merasa bahwa seolah-olah ia harus
melakukan suatu hukuman karena kesalahan itu. Tetapi bertentangan dengan
perasaan itu, maka di sudut hatinya yang lain ia merasa mendapat kepercayaan
yang tidak terhingga. Ia merasa bahwa karena ia telah berhasil membunuh
Tohpati, maka pekerjaan yang berat itu hanya pantas dipercayakan kepadanya. Karena
gelora di dalam dadanya itulah, maka Untara justru terdiam. Keringat yang
dingin telah membasahi seluruh punggungnya. Di sampingnya, Widura pun menjadi gelisah pula. Ada juga kebanggaan
membersit di hatinya, tetapi seperti juga Untara, ia sama sekali tidak
mengharapkan hadiah atau penghargaan apa pun atas perjuangannya. Ketika malam
menjadi semakin malam, maka Ki Gede Pemanahan
pun segera akan menutup pertemuan itu. Diulanginya sekali lagi
perintahnya,
“Untara,
ingat, kau mempunyai tugas yang mungkin justru lebih berat. Kita belum tahu,
apakah kekuatan yang dihimpun oleh Ki Tambak Wedi bersama Sanakeling tidak
justru lebih kuat dari kekuatan Tohpati di sini. Kau harus mulai lagi seperti
pamanmu di Sangkal Putung. Menghimpun anak muda Jati Anom untuk memperkuat
prajurit Pajang yang akan aku kirimkan kemudian. Dengan kekuatan itu kau harus
berhadapan dengan Tambak Wedi. Kau pasti sudah mengenal Jati Anom dengan baik
karena daerah itu adalah daerah kelahiranmu.”
Untara tidak
menjawab. Tetapi Jati Anom bukan daerah seperti Sangkal Putung. Jati Anom
adalah daerah yang tidak mengalami tekanan seberat Sangkal Putung, sehingga
anak muda Jati Anom belum tergugah hatinya. Mungkin sekali dua kali daerah itu
pernah dilintasi oleh orang-orang Tohpati, Sanakeling, atau Plasa Ireng, atau
bekas orang-orang Pande Besi Sendang Gabus, atau yang lain lagi. Tetapi
orang-orang itu hanya lewat dan mungkin sekali dua kali melakukan perampokan.
Menghadapi orang-orang itu, biasanya anak-anak muda Jati Anom bersikap diam.
Mereka tidak mau terlibat dalam perkelahian dengan mereka, sebab anak-anak muda
itu tahu, bahwa apabila orang-orang Jipang itu mendendam mereka, maka kademangan
Jati Anom akan dapat dihancurkan.
Tetapi apabila
kelak ada prajurit Pajang di daerah itu, maka keadaannya pasti akan berbeda,
seperti juga daerah Sangkal Putung kini. Jati Anom seterusnya akan menjadi
garis pertama untuk menghadapi Ki Tambak Wedi yang bertempat di padepokannya,
di lereng Gunung Merapi. Justru di atas Kademangan Jati Anom.
“Untara,”
berkata Ki Gede Pemanahan itu pula, “aku akan mengirimkan prajurit Wira Tamtama
di bawah pimpinan Pidaksa. Aku akan mengirimnya langsung ke mari, supaya kau dapat
membawanya ke Jati Anom bersama kau sendiri. Sementara pekerjaanmu untuk
mengawasi daerah-daerah lain di sekitar Gunung Merapi dapat kau lepaskan.
Pusatkan perhatianmu kepada Tambak Wedi. Kalau keadaan Sangkal Putung
benar-benar telah aman, maka aku ijinkan kau minta kepada pamanmu sebagian dari
prajuritnya apabila kau perlukan, sesudah kau memberitahukannya kepadaku.”
Untara
menganggukkan kepalanya dalam-dalam. Perlahan-lahan ia menjawab,
“Terima kasih
atas kepercayaan itu Ki Gede. Mudah-mudahan aku dapat melakukannya.”
“Tiga hari
setelah aku sampai di Pajang lusa, maka prajurit itu akan berangkat dari
Pajang.”
Untara
terkejut mendengar perintah itu. Tiga hari setelah Ki Gede Pemanahan sampai di
Pajang. Itu berarti lima hari sejak malam ini.
“Hem,” Untara
menarik nafas dalam-dalam,
“terlampau
cepat.”
Agaknya Ki
Gede dapat menebak hati Untara. Katanya,
“Melawan
Tambak Wedi harus dilakukan dengan secepat-cepatnya. Kau harus sudah mulai
sebelum Tambak Wedi mampu menghimpun orang-orang yang berada di bawah
pengaruhnya. Kau harus lebih dahulu menguasai anak-anak muda di sekitar Jati
Anom, Banyu Asri, Sendang Gabus, Tangkil, dan lebih-lebih ke arah Barat. Ingat,
pengaruh Ki Tambak Wedi cukup besar di seberang Hutan Bode.”
Untara
menganggukkan kepalanya kembali. Katanya,
“Ya, Ki Gede,
padepokan Ki Tambak Wedi menurut pendengaranku berada di sebelah Barat hutan
Bode.”
“Ya. Kau pasti
telah mengetahuinya pula. Dan kau pasti pernah pula pergi ke hutan itu.”
“Ya, Ki Gede,”
sahut Untara. Dan Untara itu pun segera mengenang kembali pada masa
kanak-kanaknya. Ia sering pergi dengan ayahnya berburu ke hutan Bode. Hutan
yang mempunyai sebuah batu yang sangat besar, hampir berbentuk seekor kerbau,
sehingga orang menamakannya hutan Kebo Gede. Tetapi saat itu, Ki Tambak Wedi belum
mencengkamkan pengaruhnya di daerah itu, meskipun orang itu mungkin telah
berkeliaran di sekitar lereng Merapi. Apabila ayahnya masih ada, mungkin
ayahnya akan dapat berceritera banyak tentang Ki Tambak Wedi itu.
Kemudian
setelah sejenak lagi mereka berbincang berkatalah Ki Gede,
“Aku kira
persoalanku sudah cukup. Aku akan beristirahat. Besok aku menunggu prajurit
berkuda dari Pajang dan lusa aku akan kembali. Ingat tiga hari sejak itu, aku
akan mengirimkan Pidaksa kemari beserta pasukannya. Dan Widura masih tetap
berada di Sangkal Putung. Mungkin kau dapat beristirahat setelah sekian lama
kau berjuang melawan Tohpati, tetapi mungkin pula kau harus bekerja keras,
apabila sepeninggal Untara, orang-orang Jipang itu kembali. Dalam keadaan yang
demikian kau dapat segera menghubungi Untara di Jati Anom.”
Widura
itu pun menganggukkan kepalanya pula
sambil menjawab,
“Ya Ki Gede.
Aku akan melakukan sebaik-baiknya pula.”
Sejenak
kemudian maka pertemuan itu pun seIesai. Ki Gede segera di tempatkan di ruang
dalam banjar desa. Bukan sebuah pembaringan yang bagus, tetapi sebuah
pembaringan di depan garis perang. Sebuah amben bambu beralaskan tikar pandan.
Tetapi Ki Gede Pemanahan adalah prajurit yang namanya dibesarkan di garis-garis
perang, bukan di belakang pintu Kadipaten Pajang. Karena itu apa yang
ditemuinya kini sama sekali tidak mengejutkannya.
Ketika Ki Gede
Pemanahan membaringkan diri, kembali ia terkenang kepada puteranya. Terdengar
Ki Gede berdesis perlahan,
“Anak bengal.
Di mana ia bermalam sekarang.”
Pada saat yang
demikian itu Sutawijaya sedang berusaha membangunkan Swandaru yang masih saja
tidur dengan nyenyaknya. Swandaru terkejut dan kemudian meloncat dari
pembaringannya. Dengan gugup ia bertanya,
“Ada apa?”
Sutawijaya
tertawa, katanya,
“Ah, seorang
anak muda seperti kau pasti seorang anak muda yang tangkas. Kau mampu bangun
sekaligus meloncat dari pembaringan dan bersiap untuk berkelahi.”
Swandaru mengusap
matanya. Dilihatnya Sutawijaya dan Agung Sedayu duduk di pembaringan itu pula.
Perapian mereka kini sudah tidak menyala sebesar semula lagi. Tetapi perapian
itu kini nyalanya telah jauh susut.
“Kau tidur
terlampau nyenyak Adi,” desis Agung Sedayu.
“Ya,” jawabnya
pendek. Tertatih-tatih ia melangkah dan kemudian duduk di pembaringan itu pula.
“Sudah saatnya
kau bangun,” berkata Sutawijaya.
“Alangkah
nikmatnya tidur di samping perapian,” Gumam Swandaru.
“Apakah tidak
ada hantu yang mengunjungi kalian?”
“Ada,” sahut
Sutawijaya.
“Sayang kau
tidak melihatnya. Hantu perempuan yang sangat cantik.”
“Sayang,”
desah Swandaru sambil menguap. Kemudian katanya,
“Sekarang
siapakah yang akan tidur?”
“Siapa?” sahut
Sutawijaya.
“Silahkan,”
jawab Agung Sedayu,
“aku tidak
kantuk sekarang. Mudah-mudahan nanti.”
“Baik,”
berkata Sutawijaya,
“akulah yang
akan tidur. Tolong bangunkan aku kalau hantu itu nanti datang kembali.”
Agung Sedayu
dan Swandaru tersenyum.
Demikianlah
maka Sutawijaya kini membaringkan dirinya. Ia pun ternyata cepat tertidur pula,
meskipun tidak secepat Swandaru. Sedang Agung Sedayu dan Swandaru kini
berjaga-jaga sambil memanasi tubuh mereka di samping perapian. Sekali-sekali
Agung Sedayu dan Swandaru mencari potongan-potongan kayu dan sampah ditaburkan
di atas perapian yang kini menjadi seolah-olah seonggok bara semerah darah. Tetapi
seperti ujung malam yang telah mereka lampaui, maka keduanya sama sekali tidak
melihat dan mendengar apapun, selain suara binatang hutan dan bunyi desir angin
di dedaunan. Bahkan ketika kemudian Sutawijaya terbangun dengan sendirinya dan
pada saat Agung Sedayu beristirahat, mereka sama sekali tidak mengalami
sesuatu. Ketika kemudian matahari mengembang di kaki bukit di sebelah Timur,
maka ketiga anak-anak muda itu pun menarik nafas lega. Mereka seakan-akan telah
terlepas dari sebuah ketegangan hampir semalam suntuk.
Dengan nada
yang datar Swandaru berkata,
“Hem, siapakah
yang telah bermain gila-gilaan semalam? Ternyata tak seorang pun yang kami temui di sini. Apakah siang ini
kita akan melanjutkan berusaha untuk menemukannya?”
“Tak ada
gunanya,” jawab Sutawijaya,
“lebih baik
kita mempersiapkan diri untuk meneruskan perjalanan. Kecuali apabila kita
menjumpainya.”
“Kita harus
mendapatkan air,” tiba-tiba terdengar Agung Sedayu memotong.
“Ya kita
mencari air,” Sahut Swandaru.
“Pasti ada air
di dekat tempat ini. Kalau tidak Macan Kepatihan pasti tidak memilih tempat ini
untuk membuat perkemahan,” berkata Sutawijaya.
Agung Sedayu
dan Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka sependapat dengan
Sutawijaya. Karena itu Swandaru segera menjawab,
“Mari kita
mencari air. Mencuci muka dan minum sepuas-puasnya, sebagai ganti makan pagi.”
Sutawijaya
tersenyum.
“Jangan takut.
Kita akan mencari makan pagi. Hutan ini pasti berbaik hati kepada kita. Nah,
Sekarang biarlah kita pegang busur kita. Kita akan mencari binatang buruan.”
“Bagus,” sahut
Agung Sedayu,
“sudah lama
aku tidak pergi berburu.”
“Aku juga.
Sudah hampir dua puluh tahun aku tidak pergi berburu,” berkata Swandaru.
“Berapa
tahunkah umurmu?” bertanya Sutawijaya.
“Lewat delapan
belas,” sahut Swandaru.
“Kenapa sudah
hampir duapuluh tahun kau tidak pernah berburu?”
“Bukankah
demikian? Sejak bayi aku belum pernah berburu. Bukankah hampir duapuluh tahun?”
Sutawijaya
tertawa, ia senang mendengar kelakar itu.
“Marilah,”
ajak Sutawijaya kemudian.
“Tetapi
bagaimana aku menyangkutkan tombakku? Tali tombak ini telah kau minta
Swandaru.”
Swandaru
mengamat-amati pedangnya. Ia melihat juntai benang yang kekuning-kuningan.
Benang yang didapatkannya dari Sutawijaya. Tetapi ia merasa sayang untuk
melepas benang itu dari hulu pedangnya.
Tetapi
ternyata Sutawijaya tidak minta Swandaru untuk melepasnya. Katanya,
“Bukankah kau
sudah hampir duapuluh tahun tidak berburu Swandaru? Dengan demikian kau pasti
sudah menjadi canggung. Mungkin kau sudah tidak ingat lagi, bagaimana kau harus
mengikuti jejak binatang buruanmu, kemudian mengintainya dan melepaskan anak
panah. Nah, sebaiknya kau melihat cara kami berburu lebih dahulu. Dan, maaf,
tolong bawa tombakku.”
“Uh,” sungut
Swandaru. Tetapi ia tidak dapat menolak, diterimanya tombak pendek Sutawijaya.
Tetapi sesaat Swandaru seolah-olah menjadi tegang. Terasa sesuatu bergetar di
tangannya, seperti ada sesuatu mengalir dari tombak itu. “Hem,” katanya dalam
hati. “Tombak yang demikian inilah yang disebut tombak yang baik.”
Tetapi yang
didengarnya kemudian adalah suara Sutawijaya mengejutkannya,
“Ayo.
Senjatamu sudah lengkap. Pedang di lambung, tombak di tangan dan busur di
punggung. Siapa yang berani melawanmu sekarang?”
Agung Sedayu
tertawa mendengar gurau itu. Sekedar untuk melupakan orang yang semalam
mengganggu mereka dengan perapiannya. Tetapi Swandaru sendiri mencibir sambil
bersungut-sungut,
“Huh. Akulah
yang menjadi ganti karena kalian tidak membawa pedati. Ayo siapa lagi yang akan
memberi aku muatan?”
Sekarang bukan
saja Agung Sedayu tetapi juga Sutawijaya tertawa terbahak-bahak. Di antara
derai tertawanya ia berkata,
“Jangan marah
Swandaru. Nanti aku carikan buruan yang sesuai dengan seleramu. Apakah
kira-kira yang kau senangi?”
“Daging
kambing,” sahut Swandaru.
“Hem,” gumam
Sutawijaya,
“mudah-mudahan
di dalam hutan ini aku dapat menjumpai gerombolan kambing liar. Tetapi kalau
tidak ada kambing nanti aku akan menangkap kelinci. Bukankah kau gemar pula
daging kelinci?”
“Daripada
makan daging kelinci bagiku lebih baik makan daun mlandingan muda.”
Kembali
Sutawijaya dan Agung Sedayu tertawa.
“Marilah.
Nanti binatang-binatang buruan habis berlarian mendengar kita ribut saja di
sini,” ajak Sutawijaya kemudian.
Ketiganya
kemudian terdiam. Dengan busur dan anak panah di tangan, mereka kemudian
menyusup ke dalam hutan mencari binatang buruan untuk makan pagi mereka. Ternyata
Sutawijaya cukup tangkas dan Agung Sedayu adalah pembidik yang benar-benar
mengagumkan. Ketika mereka menjumpai seekor kijang muda, maka keduanya segera
dapat menguasainya dan mengenainya. Demikianlah mereka kemudian kembali duduk
mengelilingi perapian yang masih membara. Bahkan Swandaru telah menambahnya
dengan potongan-potongan kayu dan akar-akaran. Dengan lahapnya mereka kemudian
menikmati daging panggang yang baru saja mereka tangkap. Setelah mereka
membersihkan diri dan minum sepuas-puasnya pada sebuah belik di dekat
perkemahan itu maka, segera mereka mempersiapkan diri mereka untuk meneruskan
perjalanan. Sinar matahari yang sudah menanjak semakin tinggi, satu-satu
herhasil menembus rimbunnya dedaunan dan jatuh bertebaran di atas tanah yang
lembab. Sekali-sekali mereka harus menyeberangi parit-parit yang mengalir di
antara akar-akar kayu-kayuan di dalam hutan itu. Hutan itu meskipun tidak
terlampau tebal, namun cukup luas. Mereka menyusur di bawah pepohonan yang
besar dan kadang-kadang harus menyusup di bawah rimbunnya belukar. Tetapi
perjalanan itu telah menyenangkan hati ketiga anak-anak muda itu. Agung Sedayu
kini telah melupakan kecemasnnya apabila kakaknya akan marah kepadanya. Bahkan
kemudian mereka menjadi gembira seperti anak-anak domba yang lepas di lapangan
rumput yang hijau. Ketika matahari telah mulai menurun di belahan Barat, maka
mereka telah hampir menembus ujung hutan dan sampai ke padang terbuka. Padang
yang ditumbuhi oleh ilalang liar dan gerumbul-gerumbul perdu di samping
beberapa jenis pohon yang agak besar lainnya. Ketika mereka keluar dari hutan
itu dan menginjakkan kaki mereka di padang ilalang, maka serentak mereka
menengadahkan wajah-wajah mereka.
“Hem, matahari
telah turun,” gumam Sutawijaya.
“Kita
terlampau siang berangkat,” sahut Agung Sedayu.
“Kau terlalu
lama menggenggam tulang paha kijang itu,” sambung Swandaru.
Ketiganya
tersenyum.
“Menilik
daerah ini, kita akan segera sampai ke daerah persawahan atau pategalan,”
berkata Sutawijaya.
“Ya. Kita akan
segera sampai ke padesan.”
“Apakah kita
akan memasuki padesan itu?” bertanya Swandaru.
“Lebih baik
tidak. Kita akan mendapat banyak kesulitan. Mungkin kita dicurigai, atau bahkan
mungkin kita tidak boleh meneruskan perjalanan. Mungkin mereka menyangka kita
adalah sisa-sisa orang-orang Jipang. Menurut pendengaranku ada beberapa orang
prajurit Pajang yang di tempatkan di Kademangan Prambanan. Tetapi tidak banyak.
Dan aku belum tahu, manakah yang bernama Prambanan itu.”
“Aku tahu,”
sahut Swandaru.
“Bukankah di
Prambanan ada bangunan yang terkenal. Hampir orang di seluruh pelosok Demak
tahu, bahwa di Kademangan Prambanan ada Candi yang bernama Candi Jonggrang.”
“Aku juga
pernah mendengar,” sahut Sutawijaya, “apalagi kalian yang asal kalian tidak
terlampau jauh dari daerah itu. Tetapi di manakah letak candi itu?”
Swandaru
menggelengkan kepalanya. “Aku belum tahu,” jawabnya.
“Mungkin kita
akan sampai juga ke candi itu tanpa kita kehendaki, tetapi mungkin pula tidak,”
berkata Sutawijaya.
“Tetapi Candi
itu cukup tinggi. Dari kejauhan kita akan dapat melihatnya. Kecuali apabila
kita berada di sebelah desa yang dapat menutup pandangan mata kita.”
“Kita tidak
berkepentingan dengan candi itu. Kita akan berjalan terus. Kita akan mencoba
menghindari padesan. Tetapi apabila kita kemalaman di jalan, mungkin kita
memerlukan desa terdekat untuk bermalam,” berkata Sutawijaya kemudian.
Kedua
kawan-kawannya sependapat. Mereka akan menghindari banyak pertanyaan. Dengan
senjata di lambung mereka serta busur di punggung, maka setiap orang yang
melihat mereka pasti akan bercuriga. Karena itu mereka telah bersepakat untuk
berjalan sejauh-jauhnya dari padesan yang akan mereka jumpai.
“Lewat
Prambanan kita akan sampai ke Candi Sari, kemudian Cupu Watu, baru kita akan
sampai ke daerah hutan yang lebih lebat dari hutan yang telah kita lewati,”
berkata Sutawijaya.
“Apakah kita
akan bermalam di hutan itu lagi?” bertanya Swandaru.
Mereka bertiga
menatap padang yang terbentang di hadapannya. Sebuah padang ilalang yang cukup
luas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar