Jilid 062 Halaman 1


“JANGAN terlampau memanjakan perasaanmu. Biarkan Sedayu pergi. Memang tidak ada keharusan untuk menuntun kuda di sepanjang lorong padukuhan. Karena itu, ia melakukannya. Petugas-petugas di regol pun tidak melarangnya atau memperingatkannya.”
“Persetan,” geram prajurit muda itu,
“tetapi ia sudah menghina aku.”
Juga akan menjawab. Tetapi kedua kawan prajurit itu berkata,
“Ia menjadi kambuh lagi. Bukankah memang begitu sifatnya?”
“Tetapi ia harus dicegah,” sahut Juga.
“Kami sudah mencoba, tetapi ia tidak menghiraukan.”
Juga mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian ia berkata,
“Terserah kepada Sedayu. Kami akan menjadi saksi apa yang telah terjadi sebenarnya di sini. Kalau kau tidak bersedia diperlakukan demikian, terserahlah kepadamu.”
“He, apa maksudmu?” bertanya prajurit muda itu.
“Kalian adalah anak-anak muda. Agaknya kalian ingin menyelesaikan persoalan yang paling kecil sekali pun dengan cara anak muda.”
“Tetapi aku prajurit.”
“Itulah kesalahanmu yang terbesar. Kalau kau mau menunjukkan kemudaanmu, kekuatanmu, lepaskan dahulu sebutan itu,” jawab Juga. Lalu, “Aku juga seorang prajurit. Tetapi aku menganggap sikapmu keliru.”
“Persetan,” dan tiba-tiba prajurit muda itu memandang wajah Agung Sedayu dengan sorot mata yang seakan-akan membara,
”aku akan menghajarmu.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ternyata kedatangannya di Jati Anom pagi ini kurang meuguntungkannya sehingga ia harus bertengkar lebih dahulu dengan seorang prajurit. Tetapi tanpa diduga-duga Juga berkata,
”Kalau kau menganggap, perlu membela diri, lakukanlah Sedayu. Kami sudah berusaha mencegahnya. Tetapi ia sama sekali tidak menghiraukannya. Mungkin ia masih ingin mengukur, sampai di mana kemampuannya yang sebenarnya.”
Prajurit muda itu berpaling. Dipandanginya Juga dengan tajamnya. Tetapi Juga agaknya acuh tidak acuh saja. Sedang kedua kawannya yang lain justru tersenyum-senyum. Salah seorang berkata,
“Anak itu memang anak bengal.”
Juga bergeser mendekatinya sambil berbisik,
“Tetapi kali ini ia akan menyesal.”
Kedua prajurit itu mengerutkan keningnya.
”Kenapa?” hampir berbareng mereka bertanya.
Tetapi Juga tidak menjawab. Sebuah senyum yang aneh terbayang di bibirnya. Kedua prajurit itu pun menjadi heran. Sejenak mereka memandang wajah Juga yang aneh. Salah seorang dari kedua prajurit itu bertanya,
“Kau kenal anak itu?”
“Anak itu kawanku berkelahi sejak kecil. Dan aku tidak pernah kalah. Apalagi ia penakut dan cengeng di masa kanak-kanak.”
“Apakah sekarang ia masih seorang penakut dan cengeng?”
”Lihat sajalah.”
Kedua prajurit itu terdiam. Mereka memandang kedua anak muda yang saling berhadapan. Yang seorang berpakaian prajurit, yang lain tidak. Ternyata beberapa orang yang kebetulan lewat di lorong itu menjadi tertarik pula. Mereka semula tidak menyangka bahwa prajurit-prajurit itu telah bertengkar di pinggir lorong. Namun orang-orang yang lewat kemudian mengetahui, bahwa ternyata keduanya menjadi semakin tegang. Tetapi tidak seorang pun yang berani menegurnya. Mereka hanya memandang dari kejauhan dengan kecemasan. Sekali-sekali mereka memandang prajurit-prajurit yang berdiri di dekat kedua anak-anak muda yang sedang bertengkar itu. Tetapi mereka tidak berbuat apa-apa.
“Aku masih memberi kau kesempatan,” bentak prajurit yang sedang bertengkar dengan Agung Sedayu itu,
“tetapi kalau kesempatan sekali ini kau sia-siakan, aku akan bertindak keras.”
Agung Sedayu tidak menjawab.
“Berjongkok dan aku akan menginjak ikat kepalamu yang harus kau bentangkan di tanah.”

Mata Agung Sedayu menjadi merah. Penghinaan itu benar-benar tidak dapat diterimanya. Meskipun demikian ia tidak berbuat sesuatu selain berdiri tegak di tempatnya.
“Kau tidak mau melakukan? Tidak mau? Aku menghitung sampai tiga.”
Agung Sedayu masih tetap berdiri tegak.
“Satu, dua,” prajurit itulah yang menjadi tegang sekali, sedang Agung Sedayu sama sekali tidak bergerak.
“Tiga,” teriak prajurit itu.
Tetapi Agung Sedayu tetap di tempatnya. Prajurit itu menjadi marah sekali. Sambil menggeram ia melangkah semakin dekat,
”Kau memang gila.”
Karena Agung Sedayu sama sekali tidak beranjak dari tempatnya, maka prajurit itu pun maju semakin dekat. Tetapi tiba-tiba saja Agung Sedayu melangkah surut beberapa langkah. Sambil memegang kendali kudanya ia berkata,
”Aku akan pergi saja. Aku tidak akan melayani perbuatan yang tidak pada tempatnya ini.”
”Gila, kau tidak akan dapat pergi.”
Agung Sedayu ternyata tidak sempat meloncat ke punggung kudanya karena prajurit itu tiba-tiba saja meloncat menyerangnya. Kini tidak ada jalan lain bagi Agung Sedayu selain mempertahankan dirinya. Sebagai seorang anak muda yang memiliki pengalaman yang cukup serta berbekal ilmu yang cukup pula. Agung Sedayu dapat menilai bobot dari Berangan lawannya. Karena itu, tanpa melepaskan kendali kuda yang dipeganginya dengan tangan kiri, tangan kanannya menangkap tangan prajurit yang terayun ke keningnya. Dengan satu putaran, maka tangan itu pun terpilin ke belakang oleh putaran tubuhnya sendiri. Sedang genggaman tangan Agung Sedayu serasa himpitan besi yang meretakkan tulang-tulangnya. Tiba-tiba saja prajurit itu berteriak kesakitan. Ia pernah mengalami latihan yang berat dan pendadaran sebelum menjadi seorang prajurit. Tetapi tiba-tiba saja tangannya sekali terpilin ia sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa. Sambil menekankan tangan itu ke punggungnya, Agung Sedayu berdesis,
”Apakah kau masih memerlukan ikat kepala.”
“Aduh. Jangan kau patahkan tanganku. Aduh.”
“Jawab pertanyaanku.”
“Aduh, gila kau. Juga, he, kenapa kalian diam saja?”

Kedua kawannya terkejut melihat ketangkasan Agung Sedayu yang masih tetap memegang kendali kudanya. Tetapi ketika keduanya mulai melangkah, Juga berkata,
”Biarkan ia mengenal anak muda yang akan dihinakan itu.”
“Setan kau, Juga,” teriak prajurit yang kesakitan itu.
“Salahmu. Aku sudah memperingatkan.”
Ketika Agung Sedayu menekan sedikit lagi, terdengar ia mengaduh semakin keras.
“Aku akan mematahkan tangan ini,” desis Agung Sedayu.
“Jangan, jangan.”
“Nah, kau belum menjawab. Apakah kau masih memerlukan ikat kepala?”
Karena prajurit itu tidak segera menjawab, maka tangan Agung Sedayu semakin keras menekan.
“Jawablah.”
“Ya, ya, eh maksudku tidak. Aku tidak akan……,” ia menyeringai semakin lebar.
”Juga, kau gila.”
“Jangan mengharap bantuan orang lain. Kau sudah memulainya. Kau juga yang harus menyelesaikan,” jawab Juga.
”Gila. Tetapi kau akan dihukum karena kau melawan seorang prajurit. Kawan-kawanku akan datang menghancurkan kau atau kau akan dibawa menghadap senapati. Mungkin kau dapat digantung karena perlawananmu ini. Kau sudah memberontak.”
“Aku tidak peduli. Tetapi jawab pertanyaanku.”
Oleh tekanan yang semakin keras, prajurit itu berteriak,
”Tidak, aku tidak memerlukannya lagi.”
Agung Sedayu pun kemudian mendorong prajurit itu sehingga hampir saja ia jatuh terjerembab ketika tangan itu dilepaskan.
“Setan alas!” prajurit itu mengumpat dengan geramnya. Wajahnya menjadi merah. Hampir saja ia menarik kerisnya. Tetapi Agung Sedayu sudah meloncat ke atas punggung kudanya dan pergi meninggalkannya.

Tetapi prajurit muda yang ditinggalkannya itu mengumpat-umpat. Ia tidak mau menerima kenyataan itu, bahwa dengan satu gerakan yang sederhana, bahkan dengan satu tangan, sedang tangan yang lain masih memegang kendali kuda, ia sudah tidak mampu melakukan perlawanan lagi.
“Jangan lari, Pengecut!” teriak prajurit itu.
Agung Sedayu sama sekali tidak menghiraukannya.
“Kita berkelahi dengan senjata.”
Tetapi Agung Sedayu menjadi semakin jauh. Karena Agung Sedayu tidak ada lagi, maka kemarahan prajurit muda itu kini ditujukan kepada Juga, yang seolah-olah telah menghalang-halangi kawan-kawannya untuk membantu.
”Kau memang gila, Juga. Kau senang melihat aku dihina orang di padukuhan ini? Apakah karena kau sudah mengenalnya sehingga kau lebih dekat dengan orang gila itu daripada kesetia-kawananmu terhadap sesama prajurit.”
“Jadi, maksudmu?”
“Hajar anak itu sampai biru bengap. Kenapa kau cegah kawan-kawan untuk membantu aku?”
“Kau menghina kedudukanmu sendiri. Kau menghina harga diri prajurit Pajang. Apakah prajurit Pajang hanya dapat berkelahi dengan curang? Kalau kau memang jantan, kau sendirilah yang harus menyelesaikannya. Bukan aku, bukan orang lain, dan bukan beramai-ramai seluruh pasukan segelar sepapan.”
“Persetan. Ternyata kau bukan kawan yang baik bagi kami. Kalau begitu, apakah kau akan menggantikannya?”
“Maksudmu berkelahi melawan kau?” bertanya Juga.
“Ya.”
“Ah,” salah seorang prajurit yang lain mencegah,
”persoalannya sudah lain sama sekali. Sudahlah. Kita bukan anak-anak lagi.”
“Tetapi ia bersikap bermusuhan terhadapku. Ia berpihak pada anak gila itu.”
“Aku memang lebih baik berkelahi dengan kau daripada melawan anak itu. Bukan karena aku kawannya sejak kecil, tetapi kami berempat tidak akan dapat menang. Bersenjata atau tidak bersenjata. Apalagi aku sama sekali tidak ingin membuat persoalan ini berkepanjangan. Bahkan mungkin kita akan dapat dilemparkan dari tugas keprajuritan.”
Prajurit itu mengerutkan keningnya. “Kenapa?” ia bertanya.
“Pertama, kaulah yang bersalah. Kau bersikap kasar dan seolah-olah kau adalah orang yang paling berkuasa.”
“Bohong!”
“Tunggu. Aku belum selesai. Yang kedua, aku tidak mau berhadapan dengan senapati daerah Selatan.”
Prajurit itu mengerutkan keningnya. Katanya,
”Gila, kenapa mesti berhadapan dengan senapati kita.”
“Anak itu, anak yang akan kau hinakan itu adalah Agung Sedayu. Ia anak Jati Anom.”
“Aku sudah tahu.”
“Senapati kita juga anak Jati Anom.”
“Aku sudah tahu.” Tetapi prajurit itu kemudian bertanya,
”Apakah unsur kampung halaman sangat mempengaruhi perasaan dan sikap senapati, sehingga apa pun persoalannya ia akan berpihak kepada orang se padukuhan?”
“Tidak. Bukan begitu. Ia adalah seorang yang berdiri tegak di atas tugas keprajuritannya. Tetapi seperti yang aku katakan, justru karena itulah ia akan bertindak terhadap kita, apabila kita bersalah, meskipun kita seorang prajurit. Tetapi lebih daripada itu, kita sudah bersalah terhadap Agung Sedayu.”
“Kenapa dengan Agung Sedayu. Apakah kelebihannya?”
“Agung Sedayu adalah adik senapati itu. Agung Sedayu adalah adik seayah dan seibu dari Untara.”
“He,” mata prajurit muda itu terbelalak karenanya. Sejenak ia termangu-mangu. Namun kemudian dengan nada yang sumbang ia berkata,
”Ah, kau bohong. Kau hanya akan menakut-nakuti aku.”
“Aku tidak berbohong. Keduanya adalah kawanku bermain. Dan keduanya adalah anak-anak Jati Anom ini. Selebihnya kau tahu sendiri. Dengan sebelah tangannya ia membuatmu tidak berdaya.”

Prajurit itu sejenak mematung. Dan Juga berkata selanjutnya,
”Untunglah bahwa anak itu adalah anak yang paling sabar yang pernah aku kenal. Kalau saja ia berbuat sesuatu atasmu, maka aku kira kau tidak akan mengenal matahari mencapai puncak di hari ini. Kalau saja sifat-sifat Agung Sedayu itu sama seperti Untara, maka kau pasti sudah digilasnya. Bukan saja kau, tetapi kami yang lain ini juga.”
Tubuh prajurit muda itu tiba-tiba saja menjadi gemetar. Dengan suara yang dalam ia berkata,
”Kenapa kau tidak memberitahukan kepadaku sejak mula-mula?”
“Aku datang setelah kalian bertengkar. Dan aku tahu sifat-sifatmu sebelumnya, sehingga sekali-sekali kau memang perlu mendapat peringatan. Kali ini kau bertemu dengan adik Untara itu.”
“Tetapi, tetapi bagaimana dengan senapati? Apakah benar-benar aku akan diusir dari tugas keprajuritan?”
Juga menggelengkan kepalanya. Katanya,
”Kalau kau jera melakukan tindakan-tindakan yang tercela itu, kau tidak akan diapa-apakan. Aku kira Agung Sedayu bukan orang tumbak cucukan. Ia tidak akan melaporkannya kepada kakaknya. Bahkan mungkin ia akan berusaha melindungimu. Ia memang anak yang aneh menurut pendengaranku dan aku sudah melihatnya sendiri saat ini.”
Prajurit muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun masih membayang kegelisahan di wajahnya. Sekali ia menelan ludahnya, namun ia tidak dapat segera menenangkan hatinya. Bahkan setiap kali ia masih berkata,
“Kenapa kau tidak memberitahukan kepadaku.”
“Suatu pelajaran buatmu,” sahut Juga.

Dalam pada itu Agung Sedayu telah sampai di depan regol rumahnya. Dengan dada yang berdebar-debar, ia pun turun dari kudanya, dan dituntunnya mendekati regol itu. Beberapa orang prajurit yang berada di regol itu memandanginya dengan heran. Seorang dari prajurit-prajurit itu yang sedang bertugas jaga sambil membawa senjata, melangkah maju menyongsongnya.
“Kau akan kemana, Anak Muda?” bertanya prajurit itu.
“Aku akan masuk ke halaman rumah ini.”
“Apakah kau mempunyai suatu keperluan?”
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Mereka pasti belum tahu bahwa ia adalah pemilik rumah itu bersama-sama dengan Untara yang mempergunakannya sebagai tempat tinggal para pemimpin pasukan Pajang di Jati Anom. Karena itu barangkali lebih baik langsung mengatakan siapakah ia sebenarnya supaya tidak timbul lagi salah paham.
“Apakah keperluanmu?” prajurit itu mendesak.
“Aku akan menemui Kakang Untara.”
”Kau akan menemui Senapati?”
“Ya.”
“Apakah keperluanmu?”
“Keperluan pribadi. Aku adalah adiknya.”
Para prajurit itu saling berpandangan sejenak. Salah seorang dari mereka yang sedang bertugas itu pun kemudian bertanya.
”Apakah kau benar-benar adik Senapati Untara?”
“Ya. Aku adik sekandungnya. Rumah ini adalah rumah kami. Dan aku akan masuk menemuinya.”
Tetapi agaknya prajurit-prajurit itu masih ragu-ragu. Namun dalam pada itu, tiba-tiba mereka mendengar seorang memanggilnya,
”He, kau Sedayu?”
Semua orang berpaling. Dilihatnya seorang prajurit muda berlari-lari mendapatkan Agung Sedayu.
“Bukankah kau Agung Sedayu?” prajurit itu mencoba meyakinkan setelah ia berdiri berhadapan.
“Ya. Aku Agung Sedayu. Kau Surat? Kau juga menjadi prajurit?”
“Ya. Aku juga menjadi prajurit.”
“Juga pun menjadi prajurit.”
“Ya, Juga menjadi prajurit juga. Di mana kau selama ini?”
“Aku pergi bertualang.”
“Dan sekarang kau pulang?”
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Surat berkata kepada kawannya,
”Inilah Agung Sedayu. Adik sekandung Senapati kita.”

Prajurit-prajurit yang berdiri di pintu regol itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka kini tidak ragu-ragu. Salah seorang dari mereka ternyata telah mengenalnya.
“Aku akan menemui Kakang Untara.”
“Aku lihat ia ada di dalam. Masuklah.”
“Terima kasih.”
Agung Sedayu pun kemudian sambil menganggukkan kepalanya menuntun kudanya masuk ke halaman rumahnya yang sudah agak lama ditinggalkannya.
“Berikan kudamu,” berkata Surat.
Agung Sedayu memandanginya sejenak, lalu menyerahkan kendali kudanya kepada prajurit itu. Perlahan-lahan Agung Sedayu berjalan melintasi pendapa. Ketika ia sampai di serambi pendapa ia melihat seorang perwira melintas. Sesaat perwira itu berhenti memandang nya. Tetapi ia tidak menyapanya. Ia langsung melangkah meninggalkan pendapa. Agung Sedayu menarik nafas. Ada juga perwira yang tinggi hati. Atau, karena ia menjadi seorang perwira, maka ia menjadi tinggi hati. Agung Sedayu berdiri termangu-mangu sejenak. Ketika ia berpaling dilihatnya prajurit-prajurit yang bertugas di regol memandanginya dengan tatapan mata yang aneh.
“Aku yang memiliki rumah ini,” berkata Agung Sedayu di dalam hati.
”Aku dapat berbuat apa saja sekehendakku.”
Maka Agung Sedayu pun segera melangkah naik ke pendapa. Diamat-amatinya perhiasan yang melekat di dinding yang menyekat pendapa itu dengan pringgitan. Sebuah perisai, tombak pendek yang bersilang, dan sebuah busur.
Tetapi letak hiasan itu sama sekali tidak memberikan keseimbangan bentuk bagi keseluruhan dinding itu. Agaknya senjata-senjata itu asal saja digantungkan, tanpa menghiraukan letak dan bidang. Agung Sedayu berpaling ketika ia mendengar pintu berderit. Seorang perwira melangkah keluar dari pintu pringgitan. Perwira yang dilihatnya melintas tanpa menyapanya tadi.
Sejenak perwira itu berdiri keheran-heranan. Dipandanginya Agung Sedayu dengan tajamnya. Baru kemudian ia bertanya,
”He, kenapa kau ada di situ?”
Agung Sedayu memandangnya sejenak. Lalu menjawab,
”Aku akan bertemu dengan Kakang Untara.”
“Siapa kau?”
“Agung Sedayu.”
“Siapa Agung Sedayu?”
“Adik Untara.”
Perwira itu memandanginya sejenak, lalu mengangguk-anggukkan kepalanya.
”Jadi kaulah yang bernama Agung Sedayu. Adik Untara yang dikabarkan berada di Mataram?
Dada Agung Sedayu berdesir. Sejenak ia termangu-mangu, namun kemudian ia menjawab tegas,
”Ya. Aku baru datang dari Mataram.”
“Bagus. Kau pasti seorang prajurit atau pengawal tanah yang baru dibuka itu. Benar?”
“Apakah Kakang Untara berkata begitu?”

Perwira itu terdiam sejenak. Namun kemudian ia menarik nafas dalam-dalam. Tanpa berkata apa pun juga, ia pun segera melangkah pergi. Agung Sedayu menjadi terheran-heran melihat tingkah perwira itu. Ia belum pernah mengenalnya dan sebaliknya. Tetapi perwira itu sikapnya sama sekali tidak menyenangkannya. Bahkan setelah ia mengetahui, bahwa ia adalah adik Untara. Tetapi Agung Sedayu tidak menghiraukannya. Kini ia tidak mau lagi berdiri termangu-mangu di pendapa. Meskipun semula ia ragu-ragu namun kemudian dibulatkannya hatinya, untuk langsung masuk ke pringgitan. Setelah menenangkan hatinya sejenak, maka ia pun melangkah dengan hati tetap menuju ke pintu pringgitan. Tetapi sekali lagi langkahnya terhenti. Di muka pintu ia berpapasan dengan seorang perwira yang lain. Perwira itu pun agaknya terkejut. Dipandanginya Agung Sedayu sejenak, lalu ia bertanya dengan dahi yang berkerut-merut,
”Siapa kau?”
Agung Sedayu tidak mau berputar-putar lagi. Langsung ia menjawab,
”Aku Agung Sedayu. Adik Kakang Untara.”
“O, jadi kau yang bernama Agung Sedayu?”
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Lalu,
”Ya. Akulah Agung Sedayu.”
Tiba-tiba saja di luar dugaan Agung Sedayu perwira itu mempersilahkan dengan ramahnya.
”Marilah. Marilah. Kakakmu sudah menunggu. Silahkan masuk ke pringgitan. Aku akan memanggilnya. Ia berada di belakang.”
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun mengangguk sambil berkata,
”Terima kasih.”
Ketika perwira itu kemudian masuk ke ruang dalam, Agung Sedayu menyesal karenanya, bahwa ia bersikap terlampau angkuh justru kepada perwira yang ramah. Ia menyangka, bahwa perwira ini pun akan bersikap angkuh seperti yang dijumpainya pertama-tama. Sejenak kemudian pintu dari ruang dalam itu pun terbuka. Seorang anak muda yang tegap dan berwajah dalam melangkahi tlundak pintu sambil memandang Agung Sedayu dengan tajamnya.
“Kakang Untara,” Agung Sedayu berdesis.”
“Kau Sedayu,” suara Untara dalam.

Agung Sedayu pun kemudian dengan serta-merta mendapatkan kakaknya, yang kemudian mencengkam pundaknya. Sambil mengguncang-guncang pundak adiknya Untara bertata,
”Akhirnya kau pulang juga, Sedayu. Kau bertambah dewasa dan sorot matamu menjadi bercahaya. Aku sudah cemas bahwa aku akan kehilangan seorang adik. Tetapi ternyata bahwa kau benar-benar datang kepadaku lagi.”
Dada Agung Sedayu berguncang mendengar kata-kata kakaknya. Tetapi ia mencoba untuk tidak mempersoalkannya di hatinya. Sudah lama mereka tidak bertemu. Dan Agung Sedayu tahu benar bagaimana kakaknya sangat mengharap kedatangannya. Agung Sedayu adalah satu-satunya adiknya. Satu-satunya saudaranya yang sejak kecil selalu dilindunginya, dibimbing dan diharapkannya untuk menjadi seorang anak muda yang baik. Kebanggaannya melonjak sejak Agung Sedayu berhasil memecahkan kungkungan ketakutan yang membalut jiwanya pada waktu itu, pada waktu ia menitikkan darahnya untuk yang pertama kali di arena perang tanding melawan Sidanti, meskipun ia masih belum berbuat sebaik-baiknya. Karena itu untuk sesaat Agung Sedayu tidak menjawab. Dibiarkannya kakaknya mengguncang-guncangnya. Dan Untara berkata seterusnya,
”Badanmu bertambah kokoh. Pasti hasil tempaan dukun tua yang baik itu. Aku berharap bahwa kau benar-benar akan menjadi seorang prajurit yang baik.”
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi terasa jantungnya menjadi semakin berdebaran.
“Duduklah Sedayu,” berkata Untara kemudian.
“Terima kasih, Kakang,” jawab Agung Sedayu.
Agung Sedayu pun kemudian duduk di pringgitan bersama Untara dan seorang perwira yang memanggil Untara.
“Inilah adikku yang aku katakan itu,” berkata Untara kepada kawannya.
“Ya. Aku sudah bertanya kepadanya, dan ia mengatakan bahwa ia adalah adikmu.”
“Ia memang mempunyai sifat-sifat aneh.”
Agung Sedayu hanya dapat tersenyum ketika perwira itu tersenyum pula.
”Kapan kau datang dari petualanganmu, Sedayu?” bertanya Untara kemudian.
“Semalam, Kakang.”
Untara mengerutkan keningnya,
”Kau langsung pergi ke Sangkal Putung?”
”Ya. Karena kami pergi bersama anak Ki Demang Sangkal Putung itu. Dan pagi-pagi aku sudah berangkat dari Sangkal Putung kemari. Tetapi aku tiba-tiba saja ingin melihat rumah Ki Tanu Metir, sehingga aku agak siang juga sampai di sini.”
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan tanpa diduga oleh Agung Sedayu, Untara berkata,
”Dan kau memerlukan berkelahi juga sebentar.”
“O.“
“Laporan itu sudah aku dengar.”

Agung Sedayu terdiam sejenak. Begitu cepat laporan itu sampai kepada kakaknya. Ia tidak melihat seorang pun yang melaporkannya. Dan ia sendiri pergi berkuda. Tetapi ternyata laporan itu datang lebih dahulu daripadanya.
”Kau heran, dari mana aku mendengar?”
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.
“Kami mempunyai jaring-jaring yang rapi di segala bidang. Hubungan yang cepat dan pengawasan yang rapat. Itulah sebabnya, setiap persoalan segera sampai padaku. Meskipun kau berkuda, tetapi seseorang yang berjalan memintas, lewat pekarangan akan datang lebih dahulu daripadamu.”
Agung Sedayu mengangguk-angguk.
“Tetapi kau sudah bersikap benar. Prajurit-prajurit muda itu memang perlu mendapat peringatan.”
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ternyata kakaknya tidak marah kepadanya dan tidak menghubungkan persoalan itu dengan persoalan-persoalan lain yang sebenarnya memang tidak mempunyai hubungan apa pun. Sejenak kemudian beberapa orang perwira pembantu Untara pun datang menemui Agung Sedayu pula. Dua orang yang sudah setengah umur, sedang dua orang yang lain masih muda. Tetapi Agung Sedayu tidak melihat perwira yang bersikap acuh tidak acuh kepadanya. Setelah memperkenalkan diri mereka masing-masing, maka perwira itu pun segera bertanya beberapa hal tentang tamunya. Dan mau tidak, mau pembicaraan mereka pun berkisar pada perjalanan Agung Sedayu dan tanpa dapat menghindar lagi mereka sampai juga pada daerah yang sedang dibuka itu. Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Sebelum ia dapat berbicara dengan kakaknya sendiri, maka ia sudah harus berbicara dengan beberapa orang sekaligus.
“Apakah Mataram sudah berhasil mengatasi kesulitan-kesulitannya?” bertanya salah seorang dari perwira itu.
“Belum seluruhnya,” jawab Agung Sedayu,
”masih banyak yang harus diatasi.”
“Apa saja yang masih menghambat perkembangan daerah itu?”
“Masih banyak. Daerah yang keras dan hutan yang lebat.”
Dan tiba-tiba saja seorang perwira yang sudah setengah umur bertanya,
”Bagaimana dengan hantu-hantu itu?”

Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Ternyata Pajang banyak mengetahui tentang perkembangan daerah baru itu. Dengan demikian, maka Agung Sedayu pun menjadi termangu-mangu sejenak.
“Bukankah orang-orang yang bekerja di Alas Mentaok selalu diganggu oleh hantu-hantu.”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
”Mungkin akan segera dapat diatasi.”
Perwira itu mengerutkan keningnya,
”Apakah Mataram dapat menemukan cara untuk melawan hantu-hantu itu?”
Agung Sedayu memandang Untara sejenak, tampak sebuah senyum yang membayang di bibirnya. Karena itu maka Agung Sedayu berkata,
”Laporan itu pasti sudah sampai di sini. Apa yang sebenarnya telah terjadi di Mataram.“
Perwira itu pun memandang wajah Untara pula. Keduanya tiba-tiba saja tersenyum hampir berbareng. Dengan demikian maka Agung Sedayu mengambil kesimpulan bahwa Pajang telah mendapat laporan tentang segala, peristiwa yang terjadi di Mataram.
“Laporan itu belum lengkap,” berkata Untara,
“tetapi sebagian memang sudah ada pada kami. Di samping harus mengatasi kesulitan yang timbul, dari alam yang keras, Raden Sutawijaya dan Ki Gede Pemanahan masih harus melawan gangguan hantu-hantu. Tetapi agaknya hantu-hantu itu lambat laun akan berhasil didesak ke luar dari Alas Mentaok. Bukankah begitu? Meskipun dengan demikian belum berarti semua kesulitan dapat diatasi.”
Agung Sedayu hanya dapat mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Bahkan ia berharap bahwa demikianlah hendaknya sehingga ia tidak perlu memberikan keterangan tentang Mataram. Tetapi ternyata justru Untara-lah yang kemudian bertanya,
”Agung Sedayu, bagaimana pendapatmu tentang usaha Raden Sutawijaya itu? Apakah akan berhasil seperti yang dikehendakinya atau tidak?”
Agung Sedayu berpikir sejenak, namun kemudian ia menjawab,
”Aku tidak dapat mengatakan, Kakang. Aku tidak tahu sampai ke manakah rencana Raden Sutawijaya itu. Apakah ia akan sekedar membangun sebuah padukuhan yang besar atau sebuah kota atau yang lainnya. Kalau menurut pendengaranku Mataram itu sudah diserahkan kepada Ki Gede Pemanahan, maka kemungkinan Raden Sutawijaya akan mendapatkan bentuk Tanah Perdikan. Tetapi Pati berkembang ke arah yang lain. Pati akan menjadi sebuah Kadipaten.
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian,
”Bagaimana menurut pendapatmu Sedayu, apakah Mataram mempunyai kemungkinan yang baik di hari depan.”
Agung Sedayu menjadi semakin berdebar-debar. Dan dengan hati-hati ia menjawab,
”Masih tergantung sekali kepada banyak hal, Kakang. Tetapi aku tidak banyak mengetahui. Aku tidak mengetahui siapa-siapa yang berdiri di belakang Ki Gede Pemanahan. Apakah mereka orang-orang yang cukup mampu membantu Ki Gede memperkembangkan daerah itu. Juga masih tergantung sekali kepada daerah yang ada di sekitarnya. Terutama daerah-daerah yang lebih dahulu menjadi ramai.”

Untara masih mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tahu bahwa Agung Sedayu berbuat dengan hati-hati sekali. Mungkin karena di antara mereka terdapat beberapa orang yang belum dikenalnya dengan baik. Tetapi tanpa diduga-duga oleh Agung Sedayu, Untara berkata,
”Mudah-mudahan Ki Gede berhasil menundukkan alam yang keras itu. Mataram sudah jauh ketinggalan dari Pati.”
Sejenak Agung Sedayu terpukau oleh kata-kata itu. Sama sekali tidak ada tanda-tanda ketegangan di dalam diri Untara menilik dari kata-katanya itu. Namun demikian Agung Sedayu pun sadar, bahwa kakaknya memiliki ketajaman sikap dan tanggapan. Sekali terloncat kata-katanya yang agak menjorok terlampau jauh, maka akan terbukalah pembicaraan mengenai Mataram dengan agak mendalam. Karena itu, Agung Sedayu berusaha membatasi pembicaraannya dalam batas-batas penglihatannya yang dangkal. Ia berharap bahwa hal-hal yang mendalam, kelak gurunyalah yang akan memberikan penjelasan. Namun demikian Untara berkata selanjutnya,
”Mudah-mudahan Mataram segera menjadi besar dan membuktikan pula, bahwa Mataram ditangani oleh bekas senapati tertinggi di Pajang bersama putera angkat Sultan Pajang. Sehingga dengan demikian, Pajang akan menjadi semakin mantap dan tegak kembali setelah mengalami goncangan-goncangan yang keras.”
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia dapat menangkap ungkapan kata-kata Untara. Bagaimana pun juga, memang tampak batas yang kabur. Tetapi agaknya Untara bukan seorang yang bersikap keras terhadap perkembangan daerah baru ini. Tetapi Agung Sedayu tetap berhati-hati di dalam setiap pembicaraan. Ia berusaha mengelakkan persoalan-persoalan yang dapat melibatnya dalam pembicaraan yang mendalam. Namun di dalam kesempatan yang tidak disangka-sangka seorang perwira yang sudah setengah umur itu berkata,
”Mudah-mudahan persoalan Mataram tidak berkembang ke arah yang tidak kita kehendaki. Setidak-tidaknya untuk waktu yang dekat, selagi senapati di daerah Selatan ini menghadapi masa-masa yang paling indah di dalam hidupnya.”
“O,” Agung Sedayu tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dengan serta-merta ia berkata,
”Aku sudah mendengar. Semula aku bingung mendengar berita itu. Tetapi kini aku sudah yakin.”
“Ah,” Untara tersenyum,
”sebenarnya kurang mapan. Selagi Pajang menghadapi persoalan-persoalan yang gawat, datang pula persoalan pribadi itu. Mula-mula aku benci melihat hubungan Agung Sedayu dengan gadis Sangkal Putung. Namun akhirnya aku menyadari bahwa hal itu tidak akan terhindar dari jalan hidup seseorang. Maka supaya aku tidak menjadi sentuhan, aku akan segera memberikan jalan baginya.”
“Itulah alasannya?” bertanya Agung Sedayu. Untara tersenyum sedang beberapa orang perwira yang ada di pringgitan itu tertawa.
“Memang salah satu dari sekian banyak alasan adalah itu,” jawab Untara,
“tetapi sudah tentu ada alasan-alasan yang lain yang tidak semua orang boleh mengetahuinya.”
Mereka pun tertawa semakin keras. Dan seorang perwira yang lain berkata,
”Kenapa kalian tidak menyelenggarakan perhelatan itu berbareng saja bulan depan?”

Untara memandang Agung Sedayu sejenak. Namun mereka berdua pun tertawa bersamaan.
“Aku menyangka bahwa Kakang Untara tidak akan pernah dekat dengan seorang gadis. Tetapi pada suatu saat ia telah berpacu mendahului aku,” berkata Agung Sedayu sambil tertawa pula.
“Bukan salahku,” sahut Untara.
“Jadi siapa yang bersalah?”
“Paman Widura.”
“O,” Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Barulah ia teringat kepada pamannya meskipun sejak dari Sangkal Putung ia sudah berhasrat untuk mengunjunginya. Karena itu maka Agung Sedayu pun berkata,
”Aku akan menengok Paman Widura. Apakah ia ada di rumah atau paman ikut di dalam kesatuan Kakang Untara ini?”
Untara mengerutkan keningnya. Jawabnya,
”Paman Widura merasa telah terlampau tua untuk menjadi seorang prajurit. Karena itu kini ia telah mengundurkan dirinya.”
“O,” Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sedang perwira yang telah setengah umur itu pun berkata,
“Mungkin umurnya belum setua aku. Ia lebih muda satu atau dua tahun dari padaku. Tetapi beberapa waktu berselang ia telah mengundurkan diri. Bahkan rasa-rasanya seperti dengan tiba-tiba saja.”
Agung Sedayu masih mengangguk-anggukkan kepalanya. Pamannya adalah seorang prajurit yang baik. Tetapi pada suatu saat, ia memang wajar merasa bahwa tugasnya telah selesai.
“Ia mengharap anak-anak mudalah yang akan melanjutkan tugasnya,” berkata perwira itu.
”Ia berbangga bahwa kemanakannya telah menjabat sebagai seorang senapati yang terpercaya. Namun ia masih berharap bahwa kemanakannya yang seorang lagi akan mengikuti jejak kakaknya.”
Agung Sedayu masih tersenyum meskipun dadanya menjadi berdebar-debar. Karena itu, ia berusaha untuk mengalihkan pembicaraan,
”Jadi, Kakang Untara akan melangsungkan perkawinan di bulan mendatang?”
Untara mengangguk. Katanya,
”Mudah-mudahan suasana tidak berubah. Semuanya telah diatur oleh Paman Widura.”
Untara terdiam sejenak, lalu,
”Tetapi dari mana kau mendengarnya?”
“Di jalan padukuhan ini aku bertemu dengan Juga. Dikiranya aku sudah mengerti rencana itu.”
“Aku juga kurang mengerti,“ berkata Untara sambil tersenyum pula,
”paman Widura-lah yang paling tahu.”
“Aku akan segera menemui Paman Widura.”
“Kapan kau akan kesana?”
“Sekarang, atau sebentar lagi.”
“Ah,” desah Untara,
”kenapa tergesa-gesa? Besok atau malam nanti kita pergi bersama-sama.”
Agung Sedayu berdesir mendengar ajakan itu. Tetapi ia berusaha untuk menahan perasaannya, sehingga kesan itu sama sekali tidak terbayang di wajahnya. Tetapi ia menjawab,
”Aku sudah terlalu lama tidak berjumpa.”
“Tetapi tidak perlu sekarang. Kau belum makan di sini,” cegah Untara.

Agung Sedayu tidak memaksa. Tetapi ia mulai dijalari oleh kegelisahan. Kakaknya pasti tidak akan membayangkan bahwa ia akan kembali ke Sangkal Putung hari ini. Tetapi seandainya ia tidak kembali, maka tanggapan Ki Demang Sangkal Putung beserta anak-anaknya pasti sangat tidak baik.
“Hanya guru sajalah yang tahu keadaanku yang sebenarnya di dalam hubungan keluarga ini. Yang lain sama sekali tidak akan dapat mengerti. Mereka memandang persoalan ini dari segi mereka sendiri.”
Namun Agung Sedayu sudah merasa berjanji bahwa senja nanti ia sudah harus berada di Sangkal Putung kembali. Meskipun kegelisahan itu terasa semakin mencengkamnya, namun Agung Sedayu masih berhasil menguasai perasaannya, sehingga kegelisahan itu sama sekali tidak berkesan di hatinya. Demikianlah maka sejenak kemudian Agung Sedayu telah mendapat hidangan dari juru madaran para perwira Pajang yang tinggal di rumah Itu. Semangkuk minuman panas dan makanan beberapa potong. Namun dalam pada itu, selagi tangannya menyuapi mulutnya dengan makanan, Agung Sedayu masih juga berpikir, bagaimana caranya ia nanti minta diri dan memaksa kembali ke Sangkal Putung.
“Kalau saja aku tidak datang kemari,” berkata Agung Sedayu didalam hati. Namun dijawabnya sendiri,
”Kakang Untara akan marah kepadaku kalau ia tahu bahwa aku tidak segera menemuinya setelah aku datang di Sangkal Putung. Dan apalagi hatiku pasti akan selalu digelisahkan oleh bayangan kabur yang membatasi Pajang dan Mataram. Ternyata Kakang Untara tidak bersikap keras. Jauh berbeda dari bayanganku semula. Namun yang paling mencemaskan adalah justru harapan Kakang Untara, bahwa Mataram akan merupakan tiang yang dapat memperkokoh tegaknya Pajang. Selain itu juga harapan Kakang Untara, bahwa aku akan menjadi prajurit Pajang pula.”
Karena kesibukan mulut mereka yang ada di pringgitan itu mengunyah makanan, maka mereka pun terdiam untuk sejenak. Tetapi justru karena mereka diam itulah angan-angan Agung Sedayu telah mengembara. Namun tiba-tiba para perwira yang ada di pringgitan itu berpaling ketika mereka mendengar pintu bergerit. Seorang perwira yang lain telah muncul dari balik daun pintu. Sejenak ia berdiri diam memandang setiap orang yang ada di pringgitan itu. Perwira itu adalah perwira yang acuh tidak acuh terhadap kehadiran Agung Sedayu.
“O,” berkata Untara kemudian,
”kemarilah. Duduklah Adi Ranajaya.”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Perwira itu ternyata bernama Ranajaya. Ranajaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia pun melangkah mendekat dan kemudian duduk pula di antara mereka.
“Ini adalah adikku,” berkata Untara.
“Ya, aku sudah mendengarnya “
“O, dari siapa kau mendengar?”
“Dari anak itu sendiri. Ia berdiri di pendapa seperti seorang yang kehilangan akal. Karena aku belum pernah melihatnya, maka aku bertanya kepadanya. Ternyata ia adalah Agung Sedayu, adik Kakang Untara.”
Untara mengerutkan keningnya.
“Ia adalah seorang pendukung berdirinya Mataram. Kedatangannya ditandai dengan pertengkaran. Ia sudah berkelahi dengan seorang prajurit anak buahku.”
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia berkata,
”Jangan kaget Sedayu. Kami yang tinggal di sini sudah mengenalnya baik-baik. Tetapi karena kau baru mengenalnya sekarang, kau wajib mengetahui bahwa Adi Ranajaya sangat benci kepada orang-orang yang sedang sibuk membangun Mataram. Dan adalah sifatnya, kadang-kadang kata-katanya melontar tanpa kendali.” Untara diam sejenak, lalu di pandanginya perwira yang bernama Ranajaya itu,
”Sebenarnya aku juga tidak senang mendengar kata-kata itu. Bukan karena Agung Sedayu adalah adikku. Tetapi tuduhanmu yang serta-merta, bahwa setiap orang yang datang dari Mataram adalah pendukung berdirinya Mataram dapat menimbulkan salah paham. Siapa pun yang datang.”
“Tetapi aku tidak akan mengatakan begitu, seandainya ia tidak dengan sengaja melawan dan menunjukkan kelebihannya dari seorang prajurit Pajang.”
“Itu bukan kata-kata seorang perwira. Adalah picik sekali apabila kau segera menarik kesimpulan dari percekcokan itu untuk menentukan seseorang berpihak kepada Mataram. Apalagi karena kau sudah mengetahui apakah sebabnya.” Untara terdiam sejenak, lalu,
”Tetapi apakah keberatanmu seandainya Agung Sedayu, atau katakanlah seseorang yang membantu berdirinya Mataram di Alas Mentaok itu? Katakan, apakah keberatanmu?“

Wajah perwira itu menjadi merah. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa Untara akan menjawabnya langsung di hadapan para perwira yang lain. Itu bukan menjadi kebiasaannya. Namun kali ini Ranajaya berpendapat bahwa Agung Sedayu adalah justru adik Untara sendiri. Biasanya Untara tidak pernah membantah apabila ia memaki-maki orang-orang Mataram, termasuk Raden Sutawijaya. Biasanya Untara hanya tersenyum dan berkata,
”Sudahlah. Jangan membuat dirimu sendiri menjadi sakit.” Tetapi kini Untara langsung mencelanya.
“Adi Ranajaya,” berkata Untara,
”soalnya tidak semudah itu untuk menjatuhkan tuduhan terhadap Mataram dan terhadap orang-orang yang pernah berhubungan dengan Mataram. Kalau memang benar Mataram akan memberontak terhadap Pajang, akulah senapati di sini. Aku akan menerima perintah untuk menghancurkannya, meskipun di sana ada Raden Sutawijaya dan Ki Gede Pemanahan. Meskipun aku tahu bahwa Ki Gede Pemanahan seorang yang mumpuni, tetapi perang bukannya perang tanding. Karena itu untuk seterusnya jangan memperuncing keadaan. Selagi kita menjajagi kemauan Ki Gede Pemanahan, kau jangan menambah suasana menjadi buram. Kata-katamu itu adalah racun bagi prajurit-prajurit kecil. Bukankah aku sudah pernah memperingatkan, jangan berkata seperti itu di hadapan orang lain, selain di hadapan kami. Para perwira yang sudah mengenal watak dan tabiatmu.”
Wajah Ranajaya menjadi semakin merah. Namun kemudian ia pun menundukkan kepalanya. Kali ini ia tidak dapat membawa pembicaraan yang keras terhadap Mataram. Dengan demikian, maka sejenak suasana menjadi hening, meskipun terasa ada juga ketegangan. Agung Sedayu sama sekali tidak ingin mengatakan apa pun juga agar tidak menimbulkan salah paham. Tetapi ia masih tetap kagum kepada kakaknya yang mencoba berdiri di atas segala masalah yang hanya sekedar meloncat dari perasaan dan prasangka. Sebagai prajurit ia memerlukan bukti-bukti untuk menentukan suatu keputusan yang bersifat menghukum. Meskipun hanya sekedar dengan kata-kata. Namun dalam pada itu Ranajaya mengumpat-umpat di dalam hati. Meskipun ia menundukkan kepalanya tetapi ia menggeram,
”Akan aku sampaikan hal ini kepada Kakang Tumenggung.”
Kehadiran Ranajaya itu ternyata membuat suasana menjadi lain. Wajah-wajah di ruangan itu tidak lagi tampak jernih dan tidak ada lagi senyum di bibir. Dengan kaku mereka mencoba melepaskan ketegangan dengan meneguk minuman dan makan sepotong makanan. Tetapi rasa-rasanya minuman dan makanan itu tidak lagi sesedap semula. Untuk melepaskan kejanggalan di dalam pertemuan itu, tiba-tiba Agung Sedayu lah yang memulainya,
”Kakang Untara. Apakah Kakang memperkenankan aku pergi ke rumah paman Widura sekarang saja?”
“Sekarang?” Untara mengerutkan keningnya.
“Ya, sekarang. Aku sudah terlalu rindu kepada paman dan keluarganya. Aku akan segera kembali kemari apabila aku sudah bertemu. Aku hanya akan sekedar bertemu saja.”

Untara menarik nafas dalam-dalam. Suasana di rumah itu memang menjadi kurang baik, dan bahkan ada terasa ketegangan di hati masing-masing. Karena itu, agaknya ada juga baiknya Agung Sedayu menyingkir sejenak, untuk nanti kembali lagi.
“Bagaimana pertimbangan Kakang,” desak Agung Sedayu.
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak kemudian ia menjawab,
“Baiklah, Agung Sedayu. Kau boleh pergi ke pamanmu Widura. Tetapi jangan terlampau lama. Kita akan makan siang ini di sini.”
“Tetapi bagaimana kalau Paman memaksa aku untuk makan di sana?” jawab Agung Sedayu yang mencoba mencuci suasana.
“Katakan, bahwa kau sudah makan.”
“Tetapi aku dapat gagal kedua-duanya. Kepada Paman Widura aku berkata, bahwa aku sudah makan, tetapi kemudian ketika aku sampai di sini, aku tidak mendapat bagian lagi.”
Beberapa orang di antara mereka tersenyum. Tetapi perwira yang bernama Ranajaya masih menundukkan kepalanya. Ia sama sekali tidak acuh lagi atas semua pembicaraan. Hanya karena keseganannya kepada Untara sajalah, maka ia tidak pergi meninggalkan ruang itu.
“Jangan takut,” jawab Untara kemudian,
“kami akan menyediakan makan buatmu. Dua orang prajurit akan menjaganya, supaya makan persediaanmu itu tidak dicuri orang.”
Agung Sedayu pun tersenyum pula. Lalu katanya,
“Kalau begitu aku minta diri, Kakang.” Kemudian kepada perwira-perwira yang ada, Sedayu berkata,
“Aku minta diri. Nanti aku akan segera kembali. Aku hanya sekedar ingin bertemu lebih dahulu. Mungkin di kesempatan lain, aku akan membicarakan hari-hari yang baik buat Kakang Untara. Bukankah hari itu masih belum ditentukan, meskipun di bulan depan.”
“Ah,” sahut seorang perwira yang lain,
“tentu sudah. Tetapi ada dua atau tiga pilihan dari hari-hari terakhir di bulan depan. Bukankah begitu?” bertanya perwira itu kepada Untara.
Untara hanya tersenyum saja. Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu pun meninggalkan pringgitan yang rasa-rasanya menjadi terlampau panas itu. Ketika ia berada ke pendapa, terasa udara yang segar menyentuh tubuhnya. Untara dan beberapa orang perwira yang lain mengantarnya sampai ke tangga pendapa. Kemudian Agung Sedayu minta diri sekali lagi,
“Aku akan membawa kudaku, Kakang, supaya perjalananku agak cepat.”
“Ah ada-ada saja kau, Sedayu. Selagi kau menyiapkan kudamu, kalau kau berjalan kaki, kau sudah akan sampai,” sahut Untara.
Sambil tersenyum Agung Sedayu menjawab,
“Tetapi aku kira, masih lebih cepat di atas punggung seekor kuda.”
“Terserahlah,” desis Untara.

Agung Sedayu pun kemudian mengambil kudanya, dan menuntunnya sampai ke luar regol. Setelah ia melampaui penjagaan prajurit di regol halaman itu, ia pun segera meloncat naik ke punggung kudanya yang segera berlari ke rumah pamannya, Widura. Kedatangan Agung Sedayu di rumah pamannya benar-benar mengejutkan. Seisi rumah menyambutnya dengan wajah-wajah yang cerah, seperti mereka menyambut anak sendiri. Bagi Widura dan keluarganya, Agung Sedayu memang seperti anak sendiri. Apalagi kini Agung Sedayu bukan lagi anak cengeng seperti ketika ia datang ke Sangkal Putung untuk yang pertama kali.
“Kau benar-benar seorang anak muda yang gagah Sedayu,” berkata Widura sambil mengguncang-guncangkan lengan Agung Sedayu.
“Tubuhmu kuat dan liat. Kau pasti telah tumbuh menjadi seorang yang benar-benar dewasa.”
Agung Sedayu tidak menyahut.
“Marilah, duduklah.”
Agung Sedayu pun kemudian di bawa oleh pamannya ke pringgitan. Hampir seisi rumah ikut pula menyambutnya. Anak-anak Widura pun untuk beberapa lamanya ikut pula duduk di sebelah menyebelah Agung Sedayu.
“Kau sama sekali lain dari kau yang dahulu, Sedayu,” berkata Widura. Lalu,
“Kau berkembang cepat sekali. Rasa-rasanya baru kemarin kau datang di Sangkal Putung dengan wajah pucat dan gemetar.”


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar