“Jadi, Kakang tidak berkeberatan, apabila aku kembali ke Sangkal Putung?” tiba-tiba hampir di luar sadarnya ia bertanya.
“Jadi, apakah aku
harus berkeberatan?” jawab Untara sambil tersenyum.
“Tentu tidak.
Memang aku mengharap Kakang tidak berkeberatan.”
“Aku mengerti
kepentinganmu, Sedayu. Karena itu, aku tidak berkeberatan sama sekali.
Kembalilah ke Sangkal Putung. Dan kembalilah kemari, apabila kau sudah
mempunyai waktu. Ajaklah mereka kemari. Kami akan menerima dengan senang hati.”
“Siapakah
mereka itu?” bertanya seorang perwira yang sudah setengah umur sambil
tersenyum.
Untara pun
tersenyum pula. Jawabnya, “Kelak kalian akan tahu.”
Demikianlah,
Agung Sedayu pun segera minta diri. Ia berjanji dalam waktu dekat, bahkan
besok, ia pasti sudah ada di Jati Anom kembali. Jarak antara Jati Anom Sangkal
Putung tidak terlampau jauh. Dan jalan di antara kedua daerah ini sekarang
sudah aman.
“Dahulu, di
dalam kemelutnya api peperangan, Agung Sedayu berani pergi ke Sangkal Putung
seorang diri dan apalagi di malam hari,” Untara masih bergurau juga. Dalam pada
itu, Ranajaya yang mendengar bahwa Agung Sedayu akan kembali ke Sangkal Putung,
telah mengurungkan niatnya untuk masuk ke ruangan itu. Tiba-tiba saja timbul
rencananya untuk berbuat sesuatu. Karena itu, maka ia pun justru meninggalkan
pintu pringgitan dan dengan tergesa-gesa pergi ke kebun belakang. Sejenak
kemudian, melalui pintu butulan meninggalkan
halaman rumah itu. Di atas punggung kuda itu adalah perwira prajurit Pajang
yang bernama Ranajaya. Di tikungan ketika ia menjumpai sekelompok prajurit
bawahannya, ia pun membisikkan sesuatu. Tiga orang di antaranya tergesa-gesa
meninggalkan tikungan itu dan berlari-lari mengambil seekor kuda bagi
masing-masing di pondok mereka. Tidak seorang pun yang tahu, apakah yang akan
mereka lakukan, selain prajurit-prajurit itu sendiri.
Sementara itu,
Agung Sedayu yang sudah minta diri itu pun, kemudian keluar dari rumahnya dan
turun ke halaman. Sambil sekali lagi minta diri, ia pun mengambil kudanya dan
segera meninggalkan halaman itu dengan kesan yang terasa asing di hatinya.
Asing karena tanggapan yang diterima sama sekali lain dari bayangan yang selama
ini menggelisahkannya. Namun dalam pada itu, ketika ia sampai di ujung lorong,
di mulut padukuhannya, Juga, seorang prajurit muda, menghentikannya. Tangannya
melambai-lambai, sedangkan wajahnya tampak berkerut-merut. Agung Sedayu menjadi
berdebar-debar. Ada kesan yang aneh pada anak muda itu, sehingga karena itu,
maka Agung Sedayu pun menghentikan kudanya pula.
“Agung
Sedayu,” berkata Juga,
“agaknya ada
sesuatu yang tidak wajar. Prajurit yang kau kalahkan itu ternyata mempunyai
rencananya tersendiri.”
“Apa?” bertanya
Agung Sedayu.
“Agaknya ia
ingin melibatkan seorang perwira di dalam persoalan, yang sebenarnya dapat
dianggapnya selesai.”
“Maksudmu?”
“Belum lama
berselang, Ranajaya telah mendahului keluar dari padukuhan ini, yang kemudian
disusul oleh ketiga orang prajurit bawahannya, yang salah seorang di antara
mereka adalah yang telah kau kalahkan.”
Agung Sedayu
mengerutkan keningnya. Agaknya Juga tidak mengerti seluruh persoalannya dengan
Ranajaya. Namun hal itu membuat Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Karena
itu, sejenak Agung Sedayu berpikir. Tetapi ia tidak menemukan jalan yang
sebaik-baiknya untuk menentukan sikap.
“Aku akan
kembali kepada Kakang Untara,” berkata Agung Sedayu,
“kalau Kakang
Untara tidak berkeberatan, aku akan melayaninya. Tetapi dengan demikian tidak
ada persoalan antara aku dan Kakang Untara. Kalau Kakang Untara berkeberatan,
aku akan mengambil jalan lain ke Sangkal Putung, meskipun agak jauh.”
“Aku rasa itu
adalah jalan yang sebaik-baiknya,” sahut Juga.
Agung Sedayu
pun segera memutar kudanya dan berlari kembali ke rumahnya yang dipergunakan
sebagai tempat tinggal para perwira itu.
Untara yang
masih ada di pendapa terkejut, melihat adiknya kembali, sehingga karena itu,
dengan tergesa-gesa ia menyongsongnya. Sejenak, Agung Sedayu ragu-ragu, karena
di sebelah kakaknya ada beberapa orang perwira yang lain.
“Katakanlah,”
berkata kakaknya setelah Agung Sedayu turun dari kudanya.
Maka dengan
singkat Agung Sedayu pun mengatakan persoalannya, seperti yang dikatakan oleh
Juga. Untara menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya kepada para perwira,
“Marilah kita
menjadi saksi. Pergilah dahulu Agung Sedayu. Kami akan menyusul. Layani
kehendaknya. Kau tidak usah cemas, bahwa ia akan menyalah-gunakan kekuasaannya
sebagai seorang prajurit, karena aku sudah mengetahui persoalannya. Aku akan
menyertakan seorang saksi sebelum aku sampai di tempat itu. Supaya mereka
melakukan rencana yang sebenarnya, biarlah seorang prajurit saja pergi
bersamamu. Prajurit yang dapat diabaikan oleh Ranajaya.”
Agung Sedayu memandang
kakaknya sejenak. Tanpa sesadarnya ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Ternyata
kakaknya benar-benar seorang prajurit yang tidak emban cinde emban siladan.
Siapa pun yang bersalah, ia akan menunjuk dengan jarinya atas kesalahan itu. Sejenak
kemudian, seorang prajurit yang ditunjuk oleh Untara pun telah bersiap. Dan
sekali lagi Untara berpesan,
“Pergilah.
Hati-hatilah. Ia seorang perwira yang baik di medan peperangan. Prajurit yang
menyertaimu adalah seorang yang berasal dari Macanan. Ia akan mengatakan, bahwa
kebetulan kalian berangkat bersama-sama dari Jati Anom.”
Agung Sedayu
mengerti maksud kakaknya. Karena itu, maka ia pun segera minta diri dan berpacu
ke luar padukuhan Jati Anom, bersama seorang prajurit yang berasal dari
Macanan.
“Perananmu hanyalah
menjadi saksi sebelum Kakang Untara sampai ke tempat itu.”
“Ya.”
“Apakah
Ranajaya sudah mengenalmu?”
“Ya. Ranajaya
sudah mengenal aku. Ketiga prajurit yang lain itu pun mengenal aku pula.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi rasa-rasanya kudanya berpacu terlampau
lambat. Sebelum senja ia harus sudah sampai di Sangkal Putung, sedang ia masih
akan mendapat rintangan di jalan menuju ke Sangkal Putung itu.
Ternyata apa
yang dikatakan Juga itu benar. Belum terlampau jauh keduanya keluar dari
Kademangan Jati Anom, maka mereka melihat beberapa ekor kuda berhenti di tengah
jalan. Semakin dekat, Agung Sedayu melihat semakin jelas empat orang berdiri
termangu-manggu di tepi jalan itu pula.
“Ternyata
mereka benar-benar menunggu aku,” desis Agung Sedayu.
“Ranajaya
memang mempunyai sifat yang aneh. Kawan-kawannya, para perwira Pajang, menjadi
heran pula melihat sikapnya. Semakin banyak umur seseorang, seharusnya ia
menjadi semakin mengendap. Tetapi ternyata tidak demikian dengan Ranajaya. Ia
justru menjadi semakin aneh. Semakin tua dan semakin tinggi pangkat dan
jabatannya, ia seakan-akan menjadi mabuk.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya, tetapi keningnya menjadi semakin
berkerut-merut. Agaknya memang sulit untuk menghindarkan dirinya. Sejenak
kemudian Agung Sedayu dan prajurit dari Macanan itu menjadi kian mendekat.
Dengan dada yang berdebar-debar, Agung Sedayu melihat perwira itu bergeser ke
tengah jalan. Tetapi tiba-tiba wajahnya menjadi tegang, ketika ia melihat
prajurit yang datang bersama Agung Sedayu. Dengan geram perwira itu berkata,
“Kau Japa?
Kenapa kau mengawal Agung Sedayu?”
“Aku sama
sekali tidak mengawal. Aku kebetulan sekali ingin menengok keluargaku di
Macanan.”
“Tetapi kenapa
kali ini kau berkuda? Bukankah biasanya kau berjalan kaki saja?”
“Aku prajurit
dari pasukan berkuda. Apa salahnya aku pulang berkuda sekali-kali di dalam
hidupku.”
“Japa. Ingat,
dengan, siapa kau berbicara.”
Japa
mengerutkan keningnya. Ia memang berbicara dengan seorang perwira, sehingga
karena itu, ia tidak dapat menjawab. Bahkan ia pun segera meloncat turun dari
kudanya.
“Bersikaplah
sebagai seorang prajurit terhadap seorang perwira.”
“Ya,” sahut
Japa singkat sambil berdiri tegak di samping kudanya.
Tetapi dalam
pada itu, Agung Sedayu masih tetap duduk di atas punggung kudanya yang berdiri
termangu-manggu.
“Japa,”
berkata Ranajaya,
“kalau kau
memang ingin pulang ke Macanan, pulanglah.”
“Aku akan
pergi bersama-sama Agung Sedayu.”
“Pergilah
dahulu.”
“Aku
menunggunya.”
“Kau akan
mencampuri urusan kami?”
“Tidak. Aku
tidak akan membuat persoalan bagi diriku sendiri. Aku hanya akan menunggu. Itu
saja. Tidak ada niat yang lain.”
Ranajaya
menjadi tidak sabar lagi. Karena katanya,
“Terserahlah
kepadamu. Tetapi kalau kau ikut campur dalam persoalan ini, maka akibatnya akan
membuatmu menyesal sekali.”
“Aku tidak
akan berbuat apa-apa.”
Ranajaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Biarlah.
Menepilah.”
Japa pun
kemudian bergeser menepi menuntun kudanya.
Dalam pada
itu, Ranajaya memandang Agung Sedayu dengan sorot mata yang aneh. Seakan-akan
Ranajaya melihat seseorang yang belum pernah dikenalnya, bahkan seseorang yang
tidak sewajarnya.
“Agung
Sedayu,” geram Ranajaya,
“apakah kau
tidak mau turun dari kuda?”
“Sudah aku
katakan Ranajaya, itu adalah hakku. Dan sekarang aku ingin cepat-cepat sampai
ke Sangkal Putung sebelum senja.”
“Kau harus
turun.”
“Jangan
mengganggu perjalananku. Aku tergesa-gesa.”
“Kau harus
turun. Aku tahu, dengan sebelah tanganmu kau dapat mengalahkan anak buahku.
Tetapi jangan kau sangka, Ranajaya sekedar seorang prajurit cengeng macam anak
itu,” berkata Ranajaya sambil menunjuk prajurit yang telah dikalahkan oleh
Agung Sedayu hanya dengan sebelah tangannya.
“Aku percaya
Ranajaya,” jawab Agung Sedayu kemudian,
“aku percaya.
Dan sekarang berilah jalan. Aku akan lewat. Hanya sekedar lewat.”
Tetapi
Ranajaya menggelengkan kepalanya. Katanya,
“Aku ingin
tahu yang sebenarnya. Apakah sebenarnya yang kau andalkan, maka kau bersikap
begini sombong.”
Agung Sedayu
menarik nafas dalam-dalam. Dalam sekali. Ia sama sekali tidak pernah
membayangkan di saat-saat ia berangkat dari Sangkal Putung, bahwa justru sikap
seorang perwira yang angkuh inilah yang telah menghambat perjalanannya. Sama
sekali bukan karena Untara melarangnya kembali.
“Ranajaya,”
berkata Agung Sedayu kemudian,
“sebaiknya
kita tidak membuat persoalan ini berkepanjangan. Aku berbangga, bahwa para
perwira tidak membuat persoalan atasku, karena aku bertengkar dengan seorang
prajurit. Tetapi tiba-tiba salah seorang perwira telah berbuat serupa, seperti
prajurit yang justru dianggap tidak benar oleh Untara, bukan sebagai kakakku,
tetapi sebagai perwira tertinggi di daerah ini.”
“Urusan Untara
adalah urusan keprajuritan. Ia tidak perlu mengurusi sikap-sikap sombong
seperti sikapmu ini.” Ranajaya berhenti sejenak, lalu,
“Dan bukankah
kau sendiri yang menuntut sikap jantan di antara kita?”
Agung Sedayu
merasa, bahwa ia tidak akan dapat menghindar lagi. Apalagi ketika Ranajaya
berkata,
“Agung Sedayu.
Yang penting bagiku, aku akan memaksa kau berceritera tentang Mataram. Kau
harus berkata sebenarnya. Kalau kau ingin menghindari sikap jantan yang kau
tuntut itu, katakanlah, apa yang kau ketahui tentang Mataram?”
Agung Sedayu
berpikir sejenak. Agaknya ia dapat mencoba menghindari pertengkaran, selama
masalah Mataram itu dapat memberi kepuasan kepada Ranajaya. Karena itu, maka
katanya,
“Apakah yang
ingin kau ketahui tentang Mataram?”
“Siapa saja
yang telah dibunuh oleh Sutawijaya di daerah yang sedang dibuka? Kau tentu
tahu, dan kau tentu dapat mengatakan, siapakah pembunuhnya yang sebenarnya.”
Dada Agung
Sedayu berdesir mendengar pertanyaan itu. Tetapi dengan demikian ia justru
ingin mendengar pertanyaan Ranajaya lebih lanjut. Karena itu, maka ia pun
kemudian menjawab,
“Sepengetahuanku
Ranajaya, tidak ada orang yang sengaja dibunuh. Memang ada
pertempuran-pertempuran kecil dengan mereka yang sengaja mengganggu pembukaan
Alas Mentaok. Tetapi itu bukan pembunuhan.”
“Ya, sebutkan
siapa saja yang terbunuh di dalam peperangan itu?”
Agung Sedayu
menggelengkan kepalanya.
“Tentu aku
tidak dapat mengatakan seorang demi seorang.”
“Bohong!”
tiba-tiba Ranajaya membentak.
“Pajang harus
mendapat bahan selengkapnya sebelum bertindak tepat. Nah, berapa ribu orang
sudah disiapkan oleh Sutawijaya untuk melawan Pajang.”
“Inilah yang
berbahaya,” berkata Agung Sedayu.
“Berulang kali
aku katakan. Tidak ada persiapan prajurit. Tidak ada.”
“Bohong!
Bohong! Aku akan memaksamu berkata.”
“Tidak ada
yang akan aku katakan.”
“Itulah yang
aku ingin tahu sebenarnya. Kau harus menyebut besar pasukan Mataram. Siapakah
pimpinan mereka. Aku tahu, ada beberapa orang perwira yang telah terbujuk oleh
Sutawijaya yang curang itu. Dan di mana saja mereka menempatkan pusat-pusat
pertahanannya. Jangan ingkar, bahwa kau pasti salah seorang telik sandi yang
dikirim oleh Sutawijaya. Menurut penyelidikan kami, kau bersahabat dengan
Sutawijaya sejak Tohpati masih berkuasa di daerah ini. Kau berdua dengan anak
Demang Sangkal Putung telah mengikutinya ke Alas Mentaok, jauh sebelum
Pemanahan berontak dan dengan kekerasan menduduki daerah yang belum resmi
diserahkan kepadanya. Hanya karena kebesaran hati Sultan Hadiwijaya, maka
Pemanahan diperkenankan membuka hutan itu. Tetapi ternyata kebaikan hati Sultan
Hadiwijaya itu telah disalah-artikan oleh Pemanahan, sehingga mereka menganggap
Pajang sudah terlampau lemah menghadapinya.”
Tetapi Agung
Sedayu menggelengkan kepalanya. Katanya,
“Itu tidak
benar. Dari mana kau mendapatkan ceritera itu? Mungkin seorang nenek yang
sedang menidurkan cucunya akan berceritera semacam itu.”
“Kau tentu
tidak akan mengatakannya. Karena itu, aku akan memaksamu. Aku akan mendengar
keterangan tentang Mataram menurut caraku. Kemudian kau akan aku seret kembali
ke Jati Anom untuk membuktikan kepada mereka, bahwa kau adalah telik sandi yang
harus kita curigai, meskipun kau adik Untara atau katakanlah justru kau adik
Untara.”
Agung Sedayu
menarik nafas dalam-dalam.
“Kalau Untara
meyakini, bahwa kau seorang petugas sandi dari sahabatmu yang licik dan curang
itu, kau akan mendapat perlakuan yang lain meskipun ia kakakmu sendiri.”
“Jadi kau
ingin menunjukkan jasa yang berlebih-lebihan kepada Kakang Untara? Atau kau
ingin dianggap sebagai pahlawan besar bagi Pajang?”
“Tutup
mulutmu! Kalau kau ingin berbicara, berbicaralah tentang pengkhianatan Sutawijaya.
Jangan berkata tentang yang lain.”
Agung Sedayu
merenung sejenak, lalu,
“Kalau begitu
lebih baik aku tidak berbicara tentang apa pun juga.”
“Gila. Aku
akan memaksamu. Ayo, turun dari kudamu! Atau aku akan menyeretmu. Aku dapat
memaksa kau berkata.”
“Mungkin kau
dapat memaksa aku berkata. Tetapi yang aku katakan bukanlah hal yang sebenarnya
terjadi. Tetapi hanya sekedar memenuhi keinginanmu.”
“Kau benar
gila,” dan tiba-tiba saja wajah Ranajaya menjadi merah membara. Sejenak
kemudian ia beringsut maju.
Agung Sedayu
tidak melihat jalan lain daripada membela diri. Tetapi ia tidak mau berkelahi
di atas punggung kudanya, agar Ranajaya tidak terinjak oleh kaki-kaki kuda itu.
Karena itu, maka Agung Sedayu pun segera meloncat turun sambil berkata,
“Japa, tolong,
pegangi kudaku.”
“O, anak yang
malang. Kau benar-benar akan menyesal,” geram Ranajaya.
Agung Sedayu
tidak mempunyai pilihan lain. Meskipun ia sudah berusaha menghindari
pertengkaran, namun ia tidak berhasil. Karena itu, maka ia pun segera mempersiapkan
dirinya. Ia tidak tahu, seberapa jauh kemampuan Ranajaya. Karena itu, ia tidak
ingin terpelanting pada sasaran pertama. Ranajaya yang benar-benar telah tidak
dapat mengendalikan dirinya, melangkah semakin lama semakin mendekat. Matanya
seakan-akan telah menyala. Seakan-akan ia benar-benar berhadapan dengan seorang
petugas sandi dari Mataram yang berhasil menyusup di antara pasukan Pajang. Demikianlah
bagi Ranajaya, Agung Sedayu memang mencurigakan. Sebenarnya ia sudah mendengar
nama itu beberapa lama. Bahkan ia telah berhasil mengetahui serba sedikit
tentang Agung Sedayu. Masih terngiang di telinganya pesan seorang Tumenggung
dari Pajang,
“Kau harus
mencari keterangan tentang sepasang anak-anak muda yang bersenjata cambuk.
Salah seorang dari mereka adalah adik Untara.”
Sebenarnya
bagi Agung Sedayu sendiri, pengenalan Ranajaya atas dirinya itu pun agaknya
menumbuhkan teka-teki. Tetapi ia tidak sempat bertanya, dan ia yakin bahwa
Ranajaya tidak akan mau mengatakannya.
“Agaknya cukup
banyak prajurit Pajang yang mengenal aku sejak di Sangkal Putung, sampai
pecahnya padepokan Tambak Wedi,” katanya di dalam hati.
“Tetapi
ternyata Ranajaya telah mencari hubungan keakrabanku dengan Raden Sutawijaya
saat itu dengan kedatangan dari Mataram sekarang. Apalagi aku memang pernah
pergi ke Alas Mentaok, sebelum daerah itu dibuka justru bersama-sama dengan
Raden Sutawijaya.”
Agaknya
peristiwa-peristiwa itulah yang telah dijalin oleh Ranajaya menjadi suatu
kesimpulan, bahwa kedatangannya kali ini adalah atas perintah dan tugas dari
Sutawijaya.
“Untunglah,
bahwa Kakang Untara mengenal aku dengan baik, sehingga ia tidak mudah percaya
dengan ceritera-ceritera itu,” katanya pula di dalam hatinya.
Namun
sementara itu. Ranajaya telah berdiri beberapa langkah saja di hadapannya. Sambil
menggeram ia menunjuk wajah Agung Sedayu,
“Jangan
ingkar. Aku sudah banyak mendengar perananmu, peranan orang-orang bercambuk di
Alas Mentaok. Aku kira tidak banyak jumlahnya, orang-orang yang bersenjata
cambuk seperti senjatamu dan gurumu.”
“Siapa yang
menyampaikan hal itu kepadamu?”
“Tidak ada
gunanya kau mengerti,” Ranajaya membelalakkan matanya.
“Apakah kau
mengaku?”
“Aku mengaku,
bahwa aku mempunyai senjata cambuk. Hanya itu.”
“Persetan,”
Ranajaya agaknya sudah tidak sabar lagi. Selangkah lagi ia maju, sehingga
karena itu, Agung Sedayu pun telah siap menghadapi serangannya yang pertama.
Agung Sedayu
tidak perlu menunggu terlalu lama. Namun masih terdengar Ranajaya berkata,
“Kau akan
terpaksa mengatakannya, Anak Gila.”
Agung Sedayu
tidak menjawab. Tetapi matanya yang tajam segera melihat kaki Ranajaya
terangkat. Cepat sekali, seperti anak panah yang meloncat dari busurnya. Tetapi
Agung Sedayu tidak tinggal diam. Dengan cepat pula ia bergeser dan melingkar di
atas tumit satu kakinya, sehingga kaki Ranajaya terjulur sejengkal di sisi
lambungnya. Bahkan dengan cepat pula, Agung Sedayu memukul pergelangan kaki itu
dengan sisi telapak tangannya. Namun agaknya Ranajaya dapat bergerak sangat
tangkas. Sebelum tangan Agung Sedayu mengenai pergelangan kakinya, Ranajaya
telah melingkar, melontarkan kakinya itu menjauhi Agung Sedayu. Dan begitu kaki
yang terjulur itu melekat di atas tanah, maka dengan sebuah loncatan kecil,
Ranajaya melenting menyerang Agung Sedayu dengan kakinya yang lain. Agung
Sedayu mengerutkan keningnya. Ranajaya benar-benar seorang perwira yang lincah.
Tetapi ia tidak membiarkan tubuhnya disakiti. Dengan tangkasnya Agung Sedayu
merendahkan dirinya. Tiba-tiba saja kakinya melingkar mendatar, hanya sejengkal
di atas tanah menyapu satu kaki Ranajaya, sementara satu kakinya masih
terjulur. Dengan perhitungan yang tepat, maka pada saat kaki yang terlonjak
sedikit itu menginjak tanah, sedang yang lain masih terjulur lurus, kaki Agung
Sedayu telah mengenainya. Gerakan Agung Sedayu yang cepat itu sama sekali tidak
terduga-duga oleh Ranajaya. Karena itu, ketika kakinya yang menginjak tanah itu
terlempar, maka ia pun jatuh pula terbanting.
Tetapi
Ranajaya tidak membiarkan serangan berikutnya. Dengan cepat pula ia berguling
beberapa kali menjauh. Kemudian melenting seperti seekor bilalang yang
meloncat. Kemudian dengan lincahnya ia jatuh di atas kedua kakinya yang
renggang, langsung bersiap menghadapi setiap kemungkinan. Agung Sedayu menarik
nafas dalam-dalam. Itulah sebabnya Ranajaya menjadi sombong. Ia ternyata
seorang perwira yang benar-benar tangkas dan perkasa. Sentuhan pada bagian
tubuhnya, memberikan sedikit petunjuk bagi Agung Sedayu, bahwa lawannya adalah
seorang yang tidak saja lincah dan cepat, tetapi juga seorang yang kuat.
Sehingga dengan demikian, maka Agung Sedayu pun menjadi semakin berhati-hati
menghadapi kemungkinan-kemungkinan mendatang. Sejenak keduanya berdiri tegak di
tempatnya. Namun kemudian hampir berbareng keduanya bergeser mendekat. Memang
agaknya tidak ada jalan penyelesaian yang lain daripada kekerasan. Dan Agung
Sedayu memang tidak akan menghindar lagi. Demikianlah, maka sejenak kemudian
keduanya telah terlibat dalam perkelahian yang seru. Masing-masing adalah
seorang yang tangkas, cepat dan memiliki ilmu kanuragan yang tinggi. Para
prajurit yang ada di luar arena hanya dapat melihat perkelahian itu dengan hati
yang berdebar-debar. Sekali-sekali wajah mereka menegang, namun kemudian sebuah
senyum tampak membayang di bibir mereka. Tetapi sejenak kemudian kening mereka
menjadi berkerut-merut. Para prajurit yang mengikuti Ranajaya hampir berbareng
bersorak, ketika mereka melihat Agung Sedayu terlempar beberapa langkah, karena
hempasan kaki Ranajaya yang tepat mengenai lambungnya. Namun Agung Sedayu tidak
terjatuh. Ia masih sempat mengelak ketika serangan berikutnya mengarah
pelipisnya. Japa mengikuti perkelahian itu dengan tegang pula. Tetapi tampaknya
ia tetap tenang, seolah-olah ia tidak terseret ke dalam suasana yang semakin
lama menjadi semakin panas itu. Ranajaya yang merasa dirinya seorang perwira
yang terkemuka di medan-medan perang, merasa heran, bahwa Agung Sedayu tidak
segera dapat dikalahkan. Ia sadar, bahwa Untara, adalah seorang prajurit
linuwih. Tetapi apakah dengan demikian, dengan sendirinya Agung Sedayu juga
menjadi seorang yang perkasa?
Karena itu,
maka Ranajaya pun segera mengerahkan segenap kemampuannya. Ia ingin segera
memaksa Agung Sedayu menyerah, dan menjawab semua pertanyaannya tentang
Mataram, tentang Alas Mentaok dan tentang tugas yang dibebankan kepadanya oleh
Sutawijaya. Jika ia berhasil, maka ia akan mengejutkan seluruh Jati Anom dan
Untara sendiri, bahwa adiknya ternyata adalah telik sandi yang diselusupkan
oleh Sutawijaya ke belakang garis pertahanan Pajang. Tetapi Agung Sedayu pun
semakin lama menjadi semakin panas pula. Semula ia memang tidak memeras
kemampuannya, karena ia masih mempunyai perasaan segan dan hormat kepada
prajurit Pajang, apalagi seorang perwira. Tetapi karena tubuhnya semakin sering
dikenai serangan-serangan Ranajaya dan menjadi semakin terasa sakit, akhirnya
Agung Sedayu pun tidak mau mengekang diri lagi.
“Aku harus
bersungguh-sungguh,” katanya di dalam hati,
“apa pun
akibatnya. Kalau tidak, maka aku akan benar-benar menjadi bengkak-bengkak.”
Dengan
demikian, maka perkelahian itu pun semakin lama menjadi semakin seru. Agung
Sedayu pun kemudian mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya. Ia tidak
lagi mencoba menghindarkan kemungkinan yang pahit bagi perwira itu. Ia tidak
lagi menghiraukan, apakah perwira itu akan menjadi sangat malu, apabila ia
tidak dapat memenangkan perkelahian itu, atau setidak-tidaknya tidak dikalahkan
oleh Agung Sedayu.
Kalau semula
Agung Sedayu tidak ingin mengalahkan lawannya dengan semena-mena di hadapan
prajurit-prajuritnya, maka pikiran itu pun semakin lama menjadi semakin kabur,
karena serangan Ranajaya yang semakin menyakiti badannya. Sejak itulah, maka
tampak perubahan pada keseimbangan perkelahian itu. Karena Agung Sedayu pun
kemudian mengerahkan segenap kemampuannya, maka justru Ranajaya yang semakin bernafsu
untuk segera memenangkan perkelahian itulah yang menjadi semakin terdesak. Hampir
tidak masuk akal bagi Ranajaya, bahwa ia merasa semakin lama semakin berat
melawan tandang Agung Sedayu. Ternyata anak muda itu memiliki kemampuan yang
jauh melampaui kemampuan yang diperkirakannya. Meskipun demikian, Ranajaya
adalah seorang perwira yang berpengalaman, meskipun ia masih muda. Karena
itulah, maka meskipun sekali-sekali ia tampak terdesak, tetapi ia masih mampu
melakukan perlawanan sebaik-baiknya. Serangan-serangannya bahkan sekali-sekali
masih juga dapat mengenai sasarannya. Tetapi kini serangan Agung Sedayu mulai
mengenai tubuhnya. Sambaran tangan Agung Sedayu bagaikan ayunan sekeping besi
yang berat. Dan tangan itu telah menyentuhnya. Tidak hanya satu kali, dua kali.
Tetapi beberapa kali. Perkelahian itu pun semakin lama benar-benar menjadi
semakin dahsyat. Agung Sedayu kini mulai berusaha menguasai lawannya.
Langkahnya semakin lincah dan cepat, sehingga seakan-akan ia berada di segala
arah bagi lawannya. Perlahan-lahan perkelahian itu pun bergeser menepi. Begitu
dahsyatnya sehingga tanpa mereka sadari, mereka telah berdiri tepat di pinggir
tanggul sawah yang sedang digenangi air. Sebuah serangan Ranajaya yang cepat
dan tidak terduga-duga, ternyata berhasil menyusup pertahanan tangan Agung
Sedayu langsung mengenai dadanya. Terasa pukulan tangan Ranajaya itu bagaikan
memecahkan dinding dadanya, sehingga Agung Sedayu terdorong surut. Sedang di
belakang Agung Sedayu adalah sawah yang basah berlumpur. Tetapi Agung Sedayu
tidak mau terlempar sendiri ke dalam genangan lumpur itu. Dengan tangkasnya ia
masih berhasil menangkap pergelangan tangan Ranajaya, sehingga keduanya
bagaikan terlempar ke dalam air yang berwarna coklat kehitam-hitaman. Para
prajurit yang menyaksikan perkelahian itu, seakan-akan telah membeku di
tempatnya. Tetapi ketika mereka melihat keduanya terjatuh ke dalam lumpur, maka
mereka pun hampir serentak meloncat maju, dan berdiri tegak di pinggir
pematang. Tertatih-tatih keduanya berusaha meloncat berdiri. Tetapi ternyata
lumpur yang kotor, yang telah melumuri seluruh tubuh dan pakaian, membuat hati
mereka semakin panas. Sehingga perkelahian selanjutnya adalah benar-benar
perkelahian yang menentukan, meskipun keduanya masih tidak bersenjata.
Dalam pada
itu, para prajurit yang berdiri di pinggir sawah, tidak sampai hati membiarkan
perwiranya berkelahi berlumuran lumpur tanpa berbuat apa-apa. Apalagi mereka
melihat setiap kali keduanya terlempar jatuh, bangun lagi dengan lumpur yang
semakin tebal. Sejenak mereka termangu-mangu. Namun sejenak kemudian salah
seorang berdesis,
“Apakah kita
dapat membantu?”
“Tunggu. Kita
harus mendapat perintah atau ijin dahulu. Kalau tidak, kita akan justru
dimarahinya.”
Kawannya
menjadi termangu-mangu. Namun setiap kali keningnya berkerut-merut. Lumpur yang
melumuri seluruh tubuh Ranajaya dan Agung Sedayu semakin lama menjadi semakin
tebal pula. Apalagi ketika menjadi semakin jelas bagi para prajurit, bahwa
Ranajaya selain harus bergulat melawan lumpur, ternyata juga bahwa ia menjadi
semakin terdesak. Agung Sedayu yang merasa, bahwa tubuhnya menjadi sangat kotor
dan menjadi pedih-pedih karena air, berniat untuk segera mengakhiri
perkelahian. Karena itu, maka ia berkelahi semakin garang, meskipun ia masih
juga berada di dalam lumpur. Ternyata, bahwa Ranajaya tidak mampu mengimbangi
kemampuan Agung Sedayu. Meskipun Ranajaya seorang prajurit yang berpengalaman,
tetapi Agung Sedayu pernah mengalami medan yang bermacam-macam, sehingga karena
itu, maka ia telah berhasil benar-benar menguasai lawannya, seorang perwira
pasukan Pajang. Dengan demikian, maka prajurit-prajuritnya benar-benar tidak
dapat tinggal diam. Salah seorang bergerak maju sambil berkata,
“Ijinkan kami
ikut menangkap telik sandi itu.”
Perwira Pajang
yang sedang berkelahi itu tidak segera menjawab. Ia masih dibayangi oleh sifat
keperwiraannya, sehingga karena itu, ia tidak segera membenarkan
prajurit-prajuritnya ikut di dalam perkelahian itu. Kerena Ranajaya tidak
menyahut, maka seorang prajurit yang lain berteriak pula,
“Apakah kami
diijinkan untuk ikut menangkap anak itu?”
Masih tidak
ada jawaban. Dan sekali lagi prajurit di pinggir sawah itu berkata,
“Kami minta
ijin itu.”
Tetapi perwira
yang sedang berkelahi itu tidak memberikan jawaban apa pun. Ia tidak ingin
berkelahi dengan curang. Sebagai seorang perwira ia masih mempunyai harga diri
yang cukup, sehingga ia tidak mengiakan permintaan prajurit-prajuritnya itu. Sikap
itu ternyata menumbuhkan perasaan hormat pada Agung Sedayu. Agung Sedayu yang
menyadari, bahwa sebentar lagi ia pasti akan menguasai lawannya sepenuhnya,
merasa kagum, bahwa meskipun Ranajaya termasuk seorang perwira yang bengal,
tetapi ia tidak mau bertempur bersama prajurit-prajuritnya untuk melawan Agung
Sedayu. Tetapi prajurit-prajuritnyalah yang menjadi gelisah. Karena Ranajaya
tidak menyahut, maka mereka pun akan mengambil sikap sendiri. Salah seorang
berkata,
“Ki Ranajaya
tidak melarang, meskipun tidak mengiakan.”
“Kita
bertindak sendiri,” sahut yang lain.
Tetapi yang
lain lagi berkata,
“Tetapi ia
adik Ki Untara.”
Sejenak
prajurit-prajurit itu menjadi ragu-ragu. Namun kemudian,
“Kalau benar
ia telik sandi, meskipun adiknya Ki Untara, kita memang harus menangkapnya.”
Kawannya
termangu-mangu sejenak, namun kemudian,
“Tanggung
jawab ada pada Ki Ranajaya. Marilah, kita berbuat sesuatu.”
Sejenak
prajurit-prajurit itu bimbang. Namun sejenak kemudian mereka beringsut maju. Tetapi
ketika mereka benar-benar akan terjun ke dalam lumpur, mereka terhenti, karena
Japa yang ada di belakang mereka berkata,
“He, apakah
kalian akan ikut campur?”
“Kami akan
menangkap petugas sandi dari Mataram itu.”
“Jangan. Ki
Ranajaya akan marah kepada kalian. Kau telah minta ijin kepadanya, tetapi ia
tidak menjawab. Kau tahu harga diri seorang satria?”
Ketiga prajurit
itu mengerutkan keningnya.
“Biarkanlah
perkelahian itu.”
Ketiga
prajurit itu merenung sejenak. Namun salah seorang dari mereka berkata,
“Soalnya bukan
perang tanding. Tetapi kami akan menangkap seorang telik sandi bersama-sama.”
“Tuduhan itu
tidak beralasan sama sekali. Kalian harus tahu, bahwa Ki Ranajaya adalah
seorang yang sangat membenci Sutawijaya. Aku tidak tahu sebabnya. Karena
itulah, maka penilaiannya terhadap kawan Raden Sutawijaya juga tidak longgar
lagi. Seakan-akan semua orang yang pernah berkenalan dengan Raden Sutawijaya
adalah musuh Pajang. Bahkan kita belum yakin, apakah Raden Sutawijaya sendiri
memusuhi Pajang?”
Ketiga
prajurit itu menjadi semakin bimbang. Dan Japa berkata,
“Biarlah
keduanya menyelesaikan persoalan mereka. Soalnya bukan Mataram atau Pajang.
Bukan telik sandi atau prajurit yang setia. Keduanya adalah anak-anak yang
masih muda. Yang satu tidak mau tersinggung oleh yang lain. Itu saja. Karena
itu, marilah kita sekedar menjadi saksi.”
“Ah. Kau
berpikir terlampau pendek. Ki Ranajaya tidak sekedar berpikir tentang dirinya
sendiri. Ia menyadari kedudukan Pajang di hadapan Mataram yang sedang tumbuh.”
“Itu adalah
omong kosong. Percayalah, bahwa mereka keduanya adalah anak-anak muda yang
sombong, angkuh dan terlampau memuja harga diri, sehingga hatinya mudah
tersinggung. Itulah sebabnya, mereka berkelahi. Bukan apa-apa. Jangan
dihubungkan dengan soal-soal yang tidak kita mengerti.”
“Persetan,”
sahut seorang prajurit,
“tetapi kita
harus berbuat sesuatu.”
Japa
menggelengkan kepalanya,
“Jangan. Aku
tidak sependapat.”
“Tetapi kami
tidak dapat membiarkan hal ini terjadi.”
“Biar
sajalah.”
“Kau sama
sekali tidak mau membantu seorang perwira atasannya yang sedang menjalankan
tugas.”
“Aku dari
pasukan berkuda. Bukan dari pasukanmu. Aku memang harus hormat kepada perwira
yang mana pun. Tetapi tidak mencampuri persoalan pribadinya. Apa lagi ia memang
agak terlampau mudah tersinggung.”
“Terserah.
Tetapi kami akan membantunya.”
Tetapi Japa
menggeleng,
“Jangan. Kau
tahu arti kata-kataku ini? Biarkan saja apa yang akan terjadi.”
Ketiga
prajurit itu menjadi termangu-mangu sejenak. Sekali dipandanginya wajah Japa
yang berkerut-merut, namun kemudian mereka berpaling kepada Ranajaya yang
semakin sering jatuh, terbanting ke dalam lumpur. Sebenarnyalah, prajurit-prajurit
itu menjadi ragu-ragu. Mereka bertiga telah mengenal prajurit dari pasukan
berkuda yang bernama Japa itu. Ia mempunyai beberapa kelebihan dari kawan-kawan
prajuritnya. Beberapa orang justru mengatakan, bahwa ia mempunyai aji welut
putih, sehingga dalam keadaan yang bagaimanapun sulitnya, namun lawan-lawannya
tidak akan dapat menangkapnya. Bahkan sekaligus mempunyai aji lembu sekilan,
sehingga seakan-akan ia menjadi kebal, meskipun oleh kekuatan yang dapat
melampaui daya tahan aji lembu sekilannya, ia dapat juga dikenainya.
Tetapi sejenak
kemudian Japa itu pun berkata,
“Dengarlah
kata-kataku. Aku yakin, bahwa aku sependapat dengan Ki Ranajaya.”
“Kau lihat, Ki
Ranajaya kini terdesak. Apakah kau dapat membayangkan, bagaimana tanggapannya terhadap
kami yang sekedar menonton di sini. Kalau kami mengatakan, bahwa kaulah yang
mencegah kami, maka kau akan menjadi sasaran kemarahannya. Meskipun kau
mempunyai aji welut putih dan lembu sekilan sekalipun, kau tidak akan dapat
melawan Ki Ranajaya.”
“He, siapa
yang mengatakan bahwa aku mempunyai aji welut putih dan apalagi lembu sekilan?
Sama sekali tidak. Kalau aku mencegah kalian, itu adalah karena aku yakin, Ki
Ranajaya akan membenarkan sikapku. Kalau ikut campur, maka itu akan berarti,
bahwa kau telah menurunkan sikap satrianya. Seandainya kalian berempat berhasil
mengalahkan Agung Sedayu, itu sama sekali bukan kebanggaan. Besok kalian pasti
akan dihukum oleh Ki Ranajaya, karena kalian telah menghinanya, seolah-olah
perwira itu tidak dapat mengatasi persoalannya, atau tidak dapat bersikap
seperti seorang laki-laki yang sebenarnya.”
Ketiga
prajurit itu menjadi bingung. Tetapi salah seorang dari mereka berkata,
“Lalu apa
gunanya kami dibawanya serta?”
“Maksudnya,
kalian akan menjadi saksi apa yang telah terjadi. Seandainya terjadi kecelakaan
dalam perkelahian itu, maka itu adalah akibat yang tidak dapat dihindari. Yang
lain tidak dapat dituntut, karena keduanya telah berhadapan sebagai laki-laki
atas kehendak masing-masing.”
Ketiga
prajurit itu menjadi termangu-mangu. Tetapi kini ia melihat Ranajaya terlempar
beberapa langkah dan jatuh terlentang di dalam lumpur. Hampir seluruh tubuhnya
terbenam di dalam air yang kotor di sela-sela tanaman padi muda, yang menjadi
porak-poranda dan bosah-baseh. Dengan susah payah ia berusaha berdiri. Tetapi
Agung Sedayu telah berkeputusan untuk mengakhiri perkelahian itu, sehingga
begitu Ranajaya tegak, maka ia pun segera menyerang dengan dahsyatnya. Sebuah
pukulan yang tidak terelakkan telah mengenai dagunya. Sebenarnyalah, bahwa
tenaga Ranajaya telah susut. Karena itu pukulan Agung Sedayu itu terasa begitu
dahsyatnya, sehingga kepala Ranajaya terangkat dan sekali lagi ia
terhuyung-huyung. Tetapi kali ini Agung Sedayu memburunya. Sebuah pukulan
berikutnya mengenai perutnya. Ranajaya membungkuk kesakitan. Tetapi ia tidak
mempunyai kesempatan lagi. Sekali lagi Agung Sedayu mengayunkan tangannya. Kali
ini mengenai bagian bawah telinganya. Terasa kepala Ranajaya bagaikan terputar.
Kini ia terlempar dan tanpa dapat menjaga keseimbangannya lagi, ia pun terjatuh
menelentang. Tenaga perwira muda itu bagaikan telah terhisap habis. Kepalanya
menjadi pening, dan pandangan matanya seakan-akan berputaran. Awan yang terbang
di langit bagaikan runtuh menimpa dadanya. Tetapi Ranajaya tidak pingsan,
meskipun ia tidak dapat lagi bangkit berdiri. Ia hanya dapat mengangkat
kepalanya dan duduk di dalam lumpur yang basah. Agung Sedayu berdiri tegak
dengan kaki renggang. Dipandanginya wajah Ranajaya yang pucat, namun
memancarkan kemarahan yang tiada taranya.
“Kau memang
gila,” perwira itu menggeram, “aku akan membunuhmu, pengkhianat.”
Agung Sedayu
tidak menjawab. Dibiarkannya Ranajaya mengumpat-umpat.
Tetapi dada
Agung Sedayu menjadi berdebar-debar, ketika tangan Ranajaya meraba hulu
kerisnya yang kotor oleh lumpur itu. Dengan suara yang bergetar ia berkata,
“Aku
benar-benar akan membunuhmu. Segores luka di kulitmu telah cukup untuk
membuatmu tidak dapat lari lagi dari tangan maut.”
Agung Sedayu
memandang tangan Ranajaya dengan dada yang berdebar-debar. Perwira itu
benar-benar menjadi mata gelap, sehingga ia tidak lagi dapat berpikir bening.
Keris bukannya sekedar barang mainan, yang dapat dipergunakan setiap saat yang
disukainya. Tetapi keris akan langsung berhubungan dengan jiwa seseorang, apabila
dipergunakan.
“Apakah aku
juga akan mempergunakan senjata?” pertanyaan itu telah mengetuk hatinya.
Meskipun
Ranajaya telah menjadi semakin lemah, tetapi keris di tangannya akan langsung
berbahaya bagi jiwanya. Apalagi keris itu adalah keris seorang perwira. Sudah
barang tentu kalau keris itu bukanlah keris kebanyakan yang dijajakan di
pasar-pasar.
Sejenak Agung
Sedayu jadi membeku. Keragu-raguan yang dahsyat telah mencekam dadanya. Dalam
pada itu, Ranajaya agaknya benar-benar akan menarik keris dari wrangkanya.
Sejenak ia masih memandang Agung Sedayu sambil menggeram,
“Kau akan
menyesal. Kau tidak akan melihat matahari terbenam, apalagi sampai ke Sangkal
Putung pada waktunya.”
Agung Sedayu
benar-benar menjadi bingung. Ia tidak menyangka, bahwa Ranajaya benar-benar
telah kehilangan pegangan, sehingga tidak lagi dipertimbangkan, bahwa kerisnya
akan mungkin merenggut nyawa seseorang. Namun dalam pada itu, selagi Agung
Sedayu termangu-mangu, mereka yang ada di sekitar arena perkelahian itu,
terkejut oleh derap kuda, yang semakin lama menjadi semakin mendekat, sehingga
hampir berbareng mereka berpaling. Tangan Ranajaya yang telah melekat di hulu
kerisnya, perlahan-lahan terkulai. Wajahnya yang pucat itu menegang, ketika ia
melihat orang yang berkuda paling depan dari beberapa orang penunggang kuda
yang mendekati arena. Orang itu adalah Untara. Para prajurit yang berdiri di
tepi sawah itu pun menjadi termangu-mangu. Mereka tidak menyangka, bahwa Untara
akan sampai ke tempat itu juga. Dalam pada itu, ketika Untara dan beberapa
orang pengiringnya menjadi semakin dekat, tiba-tiba saja telah meledak suara
tertawanya, seolah-olah ia sedang melihat suatu permainan yang lucu sekali.
Bahkan Untara yang tertawa terbahak-bahak itu, terpaksa memegangi perutnya yang
berguncang-guncang. Demikian kudanya sampai di pinggir sawah berlumpur itu, ia
pun segera meloncat turun diikuti oleh para pengiringnya. Namun ia masih saja
tertawa berkepanjangan. Para pengiringnya yang semula menjadi tegang, itu pun
ikut pula tertawa melihat kedua orang yang berlumuran dengan lumpur yang basah
itu.
“He, apakah
kerja kalian di sana?” bertanya Untara sambil berdiri di pematang.
Agung Sedayu
yang memang sudah mengerti, bahwa kakaknya akan menyusul segera melangkah
menepi. Kakinya terbenam sampai di atas mata kakinya itu.
“Kemarilah,
kemarilah. Apakah kalian termasuk golongan kerbau yang sedang berkubang?”
bertanya Untara di sela-sela suara tertawanya.
Kedua orang
itu tidak menjawab. Ranajaya pun kemudian melangkah pula menepi. Tetapi karena
tenaganya memang sudah susut, serta kakinya yang membenam agak dalam, maka
langkahnya pun tampaknya menjadi sangat berat. Sejenak kemudian keduanya telah
berdiri di atas pematang di tepi sawah yang berlumpur itu. Tetapi keduanya
menundukkan kepala mereka dalam-dalam.
“He, apakah
yang telah kalian lakukan?” bertanya Untara masih sambil tertawa.
Keduanya tidak
menjawab.
“Apakah kalian
mencoba berkubang, atau mandi di air yang sangat dangkal ini, atau kalian
mempunyai kesibukan lain, misalnya mencari belut?”
Keduanya masih
terdiam.
“Kenapa kalian
diam saja?” suara Untara menurun, dan tertawanya pun sudah mereda.
“Lihat,
tanaman padi yang hijau itu menjadi rusak. Pakaian kalian yang bagus itu kini
mempunyai warna yang lain. Apakah sebenarnya yang telah kalian lakukan?”
Ranajaya dan
Agung Sedayu masih tetap berdiam diri.
Untara pun
kemudian berpaling kepada prajurit-prajurit yang berdiri berjajar sambil menundukkan
kepala mereka pula,
“He,” bertanya
Untara, ternyata kalian mendapat tontonan yang mcnyenangkan. Sayang, aku datang
terlambat.”
Tidak seorang
pun yang berani mengangkat kepalanya. Bahkan kepala-kepala itu menjadi semakin
tunduk. Hanya Japa sajalah yang meskipun menundukkan kepalanya pula, tetapi ia
sempat tersenyum di dalam hati.
Dalam pada
itu, Untara berkata selanjutnya, tetapi dalam nada yang berbeda,
“Nah, setelah
kalian puas dengan sikap jantan kalian, apakah yang kalian peroleh?”
Masih tidak
ada jawaban.
“Kepuasan?
Kebanggaan atau apa?”
Agung Sedayu
menarik nafas. Ketika ia mencoba memandang Ranajaya dengan sudut matanya,
dilihatnya perwira itu masih tetap menunduk.
“Adi Ranajaya,”
berkata Untara kemudian,
“memang itukah
yang kau kehendaki?”
Ranajaya
menggigit bibirnya.
“Baiklah,”
berkata Untara kemudian,
“kalian tentu
tidak akan mengatakan apa-apa. Tetapi aku sudah dapat menduga, apa yang baru
saja terjadi di sini. Perkelahian karena masing-masing tidak mau sedikit saja
tersinggung perasaannya. Atau barang kali karena kebencian yang tidak mempunyai
dasar alasan, tetapi sudah berkobar membakar urat nadi. Inilah yang kalian
temukan sekarang. Sakit, kotor, dan apalagi ada orang yang melihat, memalukan
sekali. Untunglah, bahwa saat-saat menjelang senja, hampir tidak ada orang lagi
di sawah dan tidak ada orang yang kebetulan lewat di jalan ini.”
Tetapi belum
lagi Untara terdiam, di kejauhan dilihatnya seseorang berjalan merunduk
menjauhi tempat itu.
“He, ternyata
ada juga yang menonton perkelahian ini dari jauh. Tetapi mereka pasti tidak
akan berani melerai, karena di sini berdiri beberapa orang prajurit. Apalagi melerai,
mendekat pun tidak berani.”
Semua
berpaling ke arah tatapan mata Untara. Tetapi mereka tidak melihat apa pun
lagi, karena orang itu sudah bersembunyi di balik hijaunya batang padi yang
tumbuh agak lebih besar. Sambil merangkak orang itu pergi menjauh, agar ia
tidak terlibat di dalam perkelahian yang terjadi itu.
“Tentu tidak
hanya seorang itu,” berkata Untara,
“karena itu,
jadikanlah hal ini pengalaman, bahwa seorang prajurit tidak akan berselisih di
sembarang tempat dan di sembarang waktu, karena sembarang persoalan.”
Ranajaya hanya
menundukkan kepalanya saja tanpa berkata sepatah kata pun. Usahanya untuk
memaksa Agung Sedayu mengaku, bahwa ia seorang petugas sandi dari Mataram telah
gagal, meskipun ia masih tetap berpendapat demikian, ia masih tetap menganggap
bahwa justru karena Agung Sedayu itu adik Untara, senapati yang bertugas di
daerah Selatan ini, maka ia akan dapat melakukan tugasnya dengan baik tanpa
dicurigai. Dan agaknya Untara memang tidak menaruh curiga sama sekali kepada
adiknya itu.
“Tetapi,”
berkata Untara,
“jika sudah
terjadi demikian, kalian telah menjadi puas. Kalian telah melepaskan gejolak di
dalam hati, meskipun akibatnya barangkali tidak pernah kalian bayangkan
sebelumnya. Apakah kata para prajurit dan para perwira, jika mereka melihat
seorang Ranajaya dalam pakaiannya yang aneh sekarang ini? Dan apa kata Ki
Demang di Sangkal Putung, terlebih-lebih Sekar Mirah, jika mereka melihat Agung
Sedayu yang baru keluar dari kubangan?”
Tidak seorang
pun yang menyahut.
“Nah, sekarang
bagaimana dengan kalian berdua?” Keduanya tidak segera menjawab.
“Apakah kalian
akan tetap memakai pakaian itu, atau kalian akan berganti pakaian di sini?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar