Jilid 062 Halaman 3


“Jadi, Kakang tidak berkeberatan, apabila aku kembali ke Sangkal Putung?” tiba-tiba hampir di luar sadarnya ia bertanya.
“Jadi, apakah aku harus berkeberatan?” jawab Untara sambil tersenyum.
“Tentu tidak. Memang aku mengharap Kakang tidak berkeberatan.”
“Aku mengerti kepentinganmu, Sedayu. Karena itu, aku tidak berkeberatan sama sekali. Kembalilah ke Sangkal Putung. Dan kembalilah kemari, apabila kau sudah mempunyai waktu. Ajaklah mereka kemari. Kami akan menerima dengan senang hati.”
“Siapakah mereka itu?” bertanya seorang perwira yang sudah setengah umur sambil tersenyum.
Untara pun tersenyum pula. Jawabnya, “Kelak kalian akan tahu.”
Demikianlah, Agung Sedayu pun segera minta diri. Ia berjanji dalam waktu dekat, bahkan besok, ia pasti sudah ada di Jati Anom kembali. Jarak antara Jati Anom Sangkal Putung tidak terlampau jauh. Dan jalan di antara kedua daerah ini sekarang sudah aman.
“Dahulu, di dalam kemelutnya api peperangan, Agung Sedayu berani pergi ke Sangkal Putung seorang diri dan apalagi di malam hari,” Untara masih bergurau juga. Dalam pada itu, Ranajaya yang mendengar bahwa Agung Sedayu akan kembali ke Sangkal Putung, telah mengurungkan niatnya untuk masuk ke ruangan itu. Tiba-tiba saja timbul rencananya untuk berbuat sesuatu. Karena itu, maka ia pun justru meninggalkan pintu pringgitan dan dengan tergesa-gesa pergi ke kebun belakang. Sejenak kemudian,  melalui pintu butulan meninggalkan halaman rumah itu. Di atas punggung kuda itu adalah perwira prajurit Pajang yang bernama Ranajaya. Di tikungan ketika ia menjumpai sekelompok prajurit bawahannya, ia pun membisikkan sesuatu. Tiga orang di antaranya tergesa-gesa meninggalkan tikungan itu dan berlari-lari mengambil seekor kuda bagi masing-masing di pondok mereka. Tidak seorang pun yang tahu, apakah yang akan mereka lakukan, selain prajurit-prajurit itu sendiri.

Sementara itu, Agung Sedayu yang sudah minta diri itu pun, kemudian keluar dari rumahnya dan turun ke halaman. Sambil sekali lagi minta diri, ia pun mengambil kudanya dan segera meninggalkan halaman itu dengan kesan yang terasa asing di hatinya. Asing karena tanggapan yang diterima sama sekali lain dari bayangan yang selama ini menggelisahkannya. Namun dalam pada itu, ketika ia sampai di ujung lorong, di mulut padukuhannya, Juga, seorang prajurit muda, menghentikannya. Tangannya melambai-lambai, sedangkan wajahnya tampak berkerut-merut. Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Ada kesan yang aneh pada anak muda itu, sehingga karena itu, maka Agung Sedayu pun menghentikan kudanya pula.
“Agung Sedayu,” berkata Juga,
“agaknya ada sesuatu yang tidak wajar. Prajurit yang kau kalahkan itu ternyata mempunyai rencananya tersendiri.”
“Apa?” bertanya Agung Sedayu.
“Agaknya ia ingin melibatkan seorang perwira di dalam persoalan, yang sebenarnya dapat dianggapnya selesai.”
“Maksudmu?”
“Belum lama berselang, Ranajaya telah mendahului keluar dari padukuhan ini, yang kemudian disusul oleh ketiga orang prajurit bawahannya, yang salah seorang di antara mereka adalah yang telah kau kalahkan.”
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Agaknya Juga tidak mengerti seluruh persoalannya dengan Ranajaya. Namun hal itu membuat Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Karena itu, sejenak Agung Sedayu berpikir. Tetapi ia tidak menemukan jalan yang sebaik-baiknya untuk menentukan sikap.
“Aku akan kembali kepada Kakang Untara,” berkata Agung Sedayu,
“kalau Kakang Untara tidak berkeberatan, aku akan melayaninya. Tetapi dengan demikian tidak ada persoalan antara aku dan Kakang Untara. Kalau Kakang Untara berkeberatan, aku akan mengambil jalan lain ke Sangkal Putung, meskipun agak jauh.”
“Aku rasa itu adalah jalan yang sebaik-baiknya,” sahut Juga.
Agung Sedayu pun segera memutar kudanya dan berlari kembali ke rumahnya yang dipergunakan sebagai tempat tinggal para perwira itu.

Untara yang masih ada di pendapa terkejut, melihat adiknya kembali, sehingga karena itu, dengan tergesa-gesa ia menyongsongnya. Sejenak, Agung Sedayu ragu-ragu, karena di sebelah kakaknya ada beberapa orang perwira yang lain.
“Katakanlah,” berkata kakaknya setelah Agung Sedayu turun dari kudanya.
Maka dengan singkat Agung Sedayu pun mengatakan persoalannya, seperti yang dikatakan oleh Juga. Untara menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya kepada para perwira,
“Marilah kita menjadi saksi. Pergilah dahulu Agung Sedayu. Kami akan menyusul. Layani kehendaknya. Kau tidak usah cemas, bahwa ia akan menyalah-gunakan kekuasaannya sebagai seorang prajurit, karena aku sudah mengetahui persoalannya. Aku akan menyertakan seorang saksi sebelum aku sampai di tempat itu. Supaya mereka melakukan rencana yang sebenarnya, biarlah seorang prajurit saja pergi bersamamu. Prajurit yang dapat diabaikan oleh Ranajaya.”
Agung Sedayu memandang kakaknya sejenak. Tanpa sesadarnya ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Ternyata kakaknya benar-benar seorang prajurit yang tidak emban cinde emban siladan. Siapa pun yang bersalah, ia akan menunjuk dengan jarinya atas kesalahan itu. Sejenak kemudian, seorang prajurit yang ditunjuk oleh Untara pun telah bersiap. Dan sekali lagi Untara berpesan,
“Pergilah. Hati-hatilah. Ia seorang perwira yang baik di medan peperangan. Prajurit yang menyertaimu adalah seorang yang berasal dari Macanan. Ia akan mengatakan, bahwa kebetulan kalian berangkat bersama-sama dari Jati Anom.”
Agung Sedayu mengerti maksud kakaknya. Karena itu, maka ia pun segera minta diri dan berpacu ke luar padukuhan Jati Anom, bersama seorang prajurit yang berasal dari Macanan.
“Perananmu hanyalah menjadi saksi sebelum Kakang Untara sampai ke tempat itu.”
“Ya.”
“Apakah Ranajaya sudah mengenalmu?”
“Ya. Ranajaya sudah mengenal aku. Ketiga prajurit yang lain itu pun mengenal aku pula.”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi rasa-rasanya kudanya berpacu terlampau lambat. Sebelum senja ia harus sudah sampai di Sangkal Putung, sedang ia masih akan mendapat rintangan di jalan menuju ke Sangkal Putung itu.

Ternyata apa yang dikatakan Juga itu benar. Belum terlampau jauh keduanya keluar dari Kademangan Jati Anom, maka mereka melihat beberapa ekor kuda berhenti di tengah jalan. Semakin dekat, Agung Sedayu melihat semakin jelas empat orang berdiri termangu-manggu di tepi jalan itu pula.
“Ternyata mereka benar-benar menunggu aku,” desis Agung Sedayu.
“Ranajaya memang mempunyai sifat yang aneh. Kawan-kawannya, para perwira Pajang, menjadi heran pula melihat sikapnya. Semakin banyak umur seseorang, seharusnya ia menjadi semakin mengendap. Tetapi ternyata tidak demikian dengan Ranajaya. Ia justru menjadi semakin aneh. Semakin tua dan semakin tinggi pangkat dan jabatannya, ia seakan-akan menjadi mabuk.”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya, tetapi keningnya menjadi semakin berkerut-merut. Agaknya memang sulit untuk menghindarkan dirinya. Sejenak kemudian Agung Sedayu dan prajurit dari Macanan itu menjadi kian mendekat. Dengan dada yang berdebar-debar, Agung Sedayu melihat perwira itu bergeser ke tengah jalan. Tetapi tiba-tiba wajahnya menjadi tegang, ketika ia melihat prajurit yang datang bersama Agung Sedayu. Dengan geram perwira itu berkata,
“Kau Japa? Kenapa kau mengawal Agung Sedayu?”
“Aku sama sekali tidak mengawal. Aku kebetulan sekali ingin menengok keluargaku di Macanan.”
“Tetapi kenapa kali ini kau berkuda? Bukankah biasanya kau berjalan kaki saja?”
“Aku prajurit dari pasukan berkuda. Apa salahnya aku pulang berkuda sekali-kali di dalam hidupku.”
“Japa. Ingat, dengan, siapa kau berbicara.”
Japa mengerutkan keningnya. Ia memang berbicara dengan seorang perwira, sehingga karena itu, ia tidak dapat menjawab. Bahkan ia pun segera meloncat turun dari kudanya.
“Bersikaplah sebagai seorang prajurit terhadap seorang perwira.”
“Ya,” sahut Japa singkat sambil berdiri tegak di samping kudanya.
Tetapi dalam pada itu, Agung Sedayu masih tetap duduk di atas punggung kudanya yang berdiri termangu-manggu.
“Japa,” berkata Ranajaya,
“kalau kau memang ingin pulang ke Macanan, pulanglah.”
“Aku akan pergi bersama-sama Agung Sedayu.”
“Pergilah dahulu.”
“Aku menunggunya.”
“Kau akan mencampuri urusan kami?”
“Tidak. Aku tidak akan membuat persoalan bagi diriku sendiri. Aku hanya akan menunggu. Itu saja. Tidak ada niat yang lain.”
Ranajaya menjadi tidak sabar lagi. Karena katanya,
“Terserahlah kepadamu. Tetapi kalau kau ikut campur dalam persoalan ini, maka akibatnya akan membuatmu menyesal sekali.”
“Aku tidak akan berbuat apa-apa.”
Ranajaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Biarlah. Menepilah.”
Japa pun kemudian bergeser menepi menuntun kudanya.

Dalam pada itu, Ranajaya memandang Agung Sedayu dengan sorot mata yang aneh. Seakan-akan Ranajaya melihat seseorang yang belum pernah dikenalnya, bahkan seseorang yang tidak sewajarnya.
“Agung Sedayu,” geram Ranajaya,
“apakah kau tidak mau turun dari kuda?”
“Sudah aku katakan Ranajaya, itu adalah hakku. Dan sekarang aku ingin cepat-cepat sampai ke Sangkal Putung sebelum senja.”
“Kau harus turun.”
“Jangan mengganggu perjalananku. Aku tergesa-gesa.”
“Kau harus turun. Aku tahu, dengan sebelah tanganmu kau dapat mengalahkan anak buahku. Tetapi jangan kau sangka, Ranajaya sekedar seorang prajurit cengeng macam anak itu,” berkata Ranajaya sambil menunjuk prajurit yang telah dikalahkan oleh Agung Sedayu hanya dengan sebelah tangannya.
“Aku percaya Ranajaya,” jawab Agung Sedayu kemudian,
“aku percaya. Dan sekarang berilah jalan. Aku akan lewat. Hanya sekedar lewat.”
Tetapi Ranajaya menggelengkan kepalanya. Katanya,
“Aku ingin tahu yang sebenarnya. Apakah sebenarnya yang kau andalkan, maka kau bersikap begini sombong.”
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Dalam sekali. Ia sama sekali tidak pernah membayangkan di saat-saat ia berangkat dari Sangkal Putung, bahwa justru sikap seorang perwira yang angkuh inilah yang telah menghambat perjalanannya. Sama sekali bukan karena Untara melarangnya kembali.
“Ranajaya,” berkata Agung Sedayu kemudian,
“sebaiknya kita tidak membuat persoalan ini berkepanjangan. Aku berbangga, bahwa para perwira tidak membuat persoalan atasku, karena aku bertengkar dengan seorang prajurit. Tetapi tiba-tiba salah seorang perwira telah berbuat serupa, seperti prajurit yang justru dianggap tidak benar oleh Untara, bukan sebagai kakakku, tetapi sebagai perwira tertinggi di daerah ini.”
“Urusan Untara adalah urusan keprajuritan. Ia tidak perlu mengurusi sikap-sikap sombong seperti sikapmu ini.” Ranajaya berhenti sejenak, lalu,
“Dan bukankah kau sendiri yang menuntut sikap jantan di antara kita?”

Agung Sedayu merasa, bahwa ia tidak akan dapat menghindar lagi. Apalagi ketika Ranajaya berkata,
“Agung Sedayu. Yang penting bagiku, aku akan memaksa kau berceritera tentang Mataram. Kau harus berkata sebenarnya. Kalau kau ingin menghindari sikap jantan yang kau tuntut itu, katakanlah, apa yang kau ketahui tentang Mataram?”
Agung Sedayu berpikir sejenak. Agaknya ia dapat mencoba menghindari pertengkaran, selama masalah Mataram itu dapat memberi kepuasan kepada Ranajaya. Karena itu, maka katanya,
“Apakah yang ingin kau ketahui tentang Mataram?”
“Siapa saja yang telah dibunuh oleh Sutawijaya di daerah yang sedang dibuka? Kau tentu tahu, dan kau tentu dapat mengatakan, siapakah pembunuhnya yang sebenarnya.”
Dada Agung Sedayu berdesir mendengar pertanyaan itu. Tetapi dengan demikian ia justru ingin mendengar pertanyaan Ranajaya lebih lanjut. Karena itu, maka ia pun kemudian menjawab,
“Sepengetahuanku Ranajaya, tidak ada orang yang sengaja dibunuh. Memang ada pertempuran-pertempuran kecil dengan mereka yang sengaja mengganggu pembukaan Alas Mentaok. Tetapi itu bukan pembunuhan.”
“Ya, sebutkan siapa saja yang terbunuh di dalam peperangan itu?”
Agung Sedayu menggelengkan kepalanya.
“Tentu aku tidak dapat mengatakan seorang demi seorang.”
“Bohong!” tiba-tiba Ranajaya membentak.
“Pajang harus mendapat bahan selengkapnya sebelum bertindak tepat. Nah, berapa ribu orang sudah disiapkan oleh Sutawijaya untuk melawan Pajang.”
“Inilah yang berbahaya,” berkata Agung Sedayu.
“Berulang kali aku katakan. Tidak ada persiapan prajurit. Tidak ada.”
“Bohong! Bohong! Aku akan memaksamu berkata.”
“Tidak ada yang akan aku katakan.”
“Itulah yang aku ingin tahu sebenarnya. Kau harus menyebut besar pasukan Mataram. Siapakah pimpinan mereka. Aku tahu, ada beberapa orang perwira yang telah terbujuk oleh Sutawijaya yang curang itu. Dan di mana saja mereka menempatkan pusat-pusat pertahanannya. Jangan ingkar, bahwa kau pasti salah seorang telik sandi yang dikirim oleh Sutawijaya. Menurut penyelidikan kami, kau bersahabat dengan Sutawijaya sejak Tohpati masih berkuasa di daerah ini. Kau berdua dengan anak Demang Sangkal Putung telah mengikutinya ke Alas Mentaok, jauh sebelum Pemanahan berontak dan dengan kekerasan menduduki daerah yang belum resmi diserahkan kepadanya. Hanya karena kebesaran hati Sultan Hadiwijaya, maka Pemanahan diperkenankan membuka hutan itu. Tetapi ternyata kebaikan hati Sultan Hadiwijaya itu telah disalah-artikan oleh Pemanahan, sehingga mereka menganggap Pajang sudah terlampau lemah menghadapinya.”
Tetapi Agung Sedayu menggelengkan kepalanya. Katanya,
“Itu tidak benar. Dari mana kau mendapatkan ceritera itu? Mungkin seorang nenek yang sedang menidurkan cucunya akan berceritera semacam itu.”
“Kau tentu tidak akan mengatakannya. Karena itu, aku akan memaksamu. Aku akan mendengar keterangan tentang Mataram menurut caraku. Kemudian kau akan aku seret kembali ke Jati Anom untuk membuktikan kepada mereka, bahwa kau adalah telik sandi yang harus kita curigai, meskipun kau adik Untara atau katakanlah justru kau adik Untara.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.
“Kalau Untara meyakini, bahwa kau seorang petugas sandi dari sahabatmu yang licik dan curang itu, kau akan mendapat perlakuan yang lain meskipun ia kakakmu sendiri.”
“Jadi kau ingin menunjukkan jasa yang berlebih-lebihan kepada Kakang Untara? Atau kau ingin dianggap sebagai pahlawan besar bagi Pajang?”
“Tutup mulutmu! Kalau kau ingin berbicara, berbicaralah tentang pengkhianatan Sutawijaya. Jangan berkata tentang yang lain.”
Agung Sedayu merenung sejenak, lalu,
“Kalau begitu lebih baik aku tidak berbicara tentang apa pun juga.”
“Gila. Aku akan memaksamu. Ayo, turun dari kudamu! Atau aku akan menyeretmu. Aku dapat memaksa kau berkata.”
“Mungkin kau dapat memaksa aku berkata. Tetapi yang aku katakan bukanlah hal yang sebenarnya terjadi. Tetapi hanya sekedar memenuhi keinginanmu.”
“Kau benar gila,” dan tiba-tiba saja wajah Ranajaya menjadi merah membara. Sejenak kemudian ia beringsut maju.
Agung Sedayu tidak melihat jalan lain daripada membela diri. Tetapi ia tidak mau berkelahi di atas punggung kudanya, agar Ranajaya tidak terinjak oleh kaki-kaki kuda itu. Karena itu, maka Agung Sedayu pun segera meloncat turun sambil berkata,
“Japa, tolong, pegangi kudaku.”
“O, anak yang malang. Kau benar-benar akan menyesal,” geram Ranajaya.
Agung Sedayu tidak mempunyai pilihan lain. Meskipun ia sudah berusaha menghindari pertengkaran, namun ia tidak berhasil. Karena itu, maka ia pun segera mempersiapkan dirinya. Ia tidak tahu, seberapa jauh kemampuan Ranajaya. Karena itu, ia tidak ingin terpelanting pada sasaran pertama. Ranajaya yang benar-benar telah tidak dapat mengendalikan dirinya, melangkah semakin lama semakin mendekat. Matanya seakan-akan telah menyala. Seakan-akan ia benar-benar berhadapan dengan seorang petugas sandi dari Mataram yang berhasil menyusup di antara pasukan Pajang. Demikianlah bagi Ranajaya, Agung Sedayu memang mencurigakan. Sebenarnya ia sudah mendengar nama itu beberapa lama. Bahkan ia telah berhasil mengetahui serba sedikit tentang Agung Sedayu. Masih terngiang di telinganya pesan seorang Tumenggung dari Pajang,
“Kau harus mencari keterangan tentang sepasang anak-anak muda yang bersenjata cambuk. Salah seorang dari mereka adalah adik Untara.”
Sebenarnya bagi Agung Sedayu sendiri, pengenalan Ranajaya atas dirinya itu pun agaknya menumbuhkan teka-teki. Tetapi ia tidak sempat bertanya, dan ia yakin bahwa Ranajaya tidak akan mau mengatakannya.
“Agaknya cukup banyak prajurit Pajang yang mengenal aku sejak di Sangkal Putung, sampai pecahnya padepokan Tambak Wedi,” katanya di dalam hati.
“Tetapi ternyata Ranajaya telah mencari hubungan keakrabanku dengan Raden Sutawijaya saat itu dengan kedatangan dari Mataram sekarang. Apalagi aku memang pernah pergi ke Alas Mentaok, sebelum daerah itu dibuka justru bersama-sama dengan Raden Sutawijaya.”

Agaknya peristiwa-peristiwa itulah yang telah dijalin oleh Ranajaya menjadi suatu kesimpulan, bahwa kedatangannya kali ini adalah atas perintah dan tugas dari Sutawijaya.
“Untunglah, bahwa Kakang Untara mengenal aku dengan baik, sehingga ia tidak mudah percaya dengan ceritera-ceritera itu,” katanya pula di dalam hatinya.
Namun sementara itu. Ranajaya telah berdiri beberapa langkah saja di hadapannya. Sambil menggeram ia menunjuk wajah Agung Sedayu,
“Jangan ingkar. Aku sudah banyak mendengar perananmu, peranan orang-orang bercambuk di Alas Mentaok. Aku kira tidak banyak jumlahnya, orang-orang yang bersenjata cambuk seperti senjatamu dan gurumu.”
“Siapa yang menyampaikan hal itu kepadamu?”
“Tidak ada gunanya kau mengerti,” Ranajaya membelalakkan matanya.
“Apakah kau mengaku?”
“Aku mengaku, bahwa aku mempunyai senjata cambuk. Hanya itu.”
“Persetan,” Ranajaya agaknya sudah tidak sabar lagi. Selangkah lagi ia maju, sehingga karena itu, Agung Sedayu pun telah siap menghadapi serangannya yang pertama.
Agung Sedayu tidak perlu menunggu terlalu lama. Namun masih terdengar Ranajaya berkata,
“Kau akan terpaksa mengatakannya, Anak Gila.”
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi matanya yang tajam segera melihat kaki Ranajaya terangkat. Cepat sekali, seperti anak panah yang meloncat dari busurnya. Tetapi Agung Sedayu tidak tinggal diam. Dengan cepat pula ia bergeser dan melingkar di atas tumit satu kakinya, sehingga kaki Ranajaya terjulur sejengkal di sisi lambungnya. Bahkan dengan cepat pula, Agung Sedayu memukul pergelangan kaki itu dengan sisi telapak tangannya. Namun agaknya Ranajaya dapat bergerak sangat tangkas. Sebelum tangan Agung Sedayu mengenai pergelangan kakinya, Ranajaya telah melingkar, melontarkan kakinya itu menjauhi Agung Sedayu. Dan begitu kaki yang terjulur itu melekat di atas tanah, maka dengan sebuah loncatan kecil, Ranajaya melenting menyerang Agung Sedayu dengan kakinya yang lain. Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Ranajaya benar-benar seorang perwira yang lincah. Tetapi ia tidak membiarkan tubuhnya disakiti. Dengan tangkasnya Agung Sedayu merendahkan dirinya. Tiba-tiba saja kakinya melingkar mendatar, hanya sejengkal di atas tanah menyapu satu kaki Ranajaya, sementara satu kakinya masih terjulur. Dengan perhitungan yang tepat, maka pada saat kaki yang terlonjak sedikit itu menginjak tanah, sedang yang lain masih terjulur lurus, kaki Agung Sedayu telah mengenainya. Gerakan Agung Sedayu yang cepat itu sama sekali tidak terduga-duga oleh Ranajaya. Karena itu, ketika kakinya yang menginjak tanah itu terlempar, maka ia pun jatuh pula terbanting.

Tetapi Ranajaya tidak membiarkan serangan berikutnya. Dengan cepat pula ia berguling beberapa kali menjauh. Kemudian melenting seperti seekor bilalang yang meloncat. Kemudian dengan lincahnya ia jatuh di atas kedua kakinya yang renggang, langsung bersiap menghadapi setiap kemungkinan. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Itulah sebabnya Ranajaya menjadi sombong. Ia ternyata seorang perwira yang benar-benar tangkas dan perkasa. Sentuhan pada bagian tubuhnya, memberikan sedikit petunjuk bagi Agung Sedayu, bahwa lawannya adalah seorang yang tidak saja lincah dan cepat, tetapi juga seorang yang kuat. Sehingga dengan demikian, maka Agung Sedayu pun menjadi semakin berhati-hati menghadapi kemungkinan-kemungkinan mendatang. Sejenak keduanya berdiri tegak di tempatnya. Namun kemudian hampir berbareng keduanya bergeser mendekat. Memang agaknya tidak ada jalan penyelesaian yang lain daripada kekerasan. Dan Agung Sedayu memang tidak akan menghindar lagi. Demikianlah, maka sejenak kemudian keduanya telah terlibat dalam perkelahian yang seru. Masing-masing adalah seorang yang tangkas, cepat dan memiliki ilmu kanuragan yang tinggi. Para prajurit yang ada di luar arena hanya dapat melihat perkelahian itu dengan hati yang berdebar-debar. Sekali-sekali wajah mereka menegang, namun kemudian sebuah senyum tampak membayang di bibir mereka. Tetapi sejenak kemudian kening mereka menjadi berkerut-merut. Para prajurit yang mengikuti Ranajaya hampir berbareng bersorak, ketika mereka melihat Agung Sedayu terlempar beberapa langkah, karena hempasan kaki Ranajaya yang tepat mengenai lambungnya. Namun Agung Sedayu tidak terjatuh. Ia masih sempat mengelak ketika serangan berikutnya mengarah pelipisnya. Japa mengikuti perkelahian itu dengan tegang pula. Tetapi tampaknya ia tetap tenang, seolah-olah ia tidak terseret ke dalam suasana yang semakin lama menjadi semakin panas itu. Ranajaya yang merasa dirinya seorang perwira yang terkemuka di medan-medan perang, merasa heran, bahwa Agung Sedayu tidak segera dapat dikalahkan. Ia sadar, bahwa Untara, adalah seorang prajurit linuwih. Tetapi apakah dengan demikian, dengan sendirinya Agung Sedayu juga menjadi seorang yang perkasa?
Karena itu, maka Ranajaya pun segera mengerahkan segenap kemampuannya. Ia ingin segera memaksa Agung Sedayu menyerah, dan menjawab semua pertanyaannya tentang Mataram, tentang Alas Mentaok dan tentang tugas yang dibebankan kepadanya oleh Sutawijaya. Jika ia berhasil, maka ia akan mengejutkan seluruh Jati Anom dan Untara sendiri, bahwa adiknya ternyata adalah telik sandi yang diselusupkan oleh Sutawijaya ke belakang garis pertahanan Pajang. Tetapi Agung Sedayu pun semakin lama menjadi semakin panas pula. Semula ia memang tidak memeras kemampuannya, karena ia masih mempunyai perasaan segan dan hormat kepada prajurit Pajang, apalagi seorang perwira. Tetapi karena tubuhnya semakin sering dikenai serangan-serangan Ranajaya dan menjadi semakin terasa sakit, akhirnya Agung Sedayu pun tidak mau mengekang diri lagi.
“Aku harus bersungguh-sungguh,” katanya di dalam hati,
“apa pun akibatnya. Kalau tidak, maka aku akan benar-benar menjadi bengkak-bengkak.”
Dengan demikian, maka perkelahian itu pun semakin lama menjadi semakin seru. Agung Sedayu pun kemudian mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya. Ia tidak lagi mencoba menghindarkan kemungkinan yang pahit bagi perwira itu. Ia tidak lagi menghiraukan, apakah perwira itu akan menjadi sangat malu, apabila ia tidak dapat memenangkan perkelahian itu, atau setidak-tidaknya tidak dikalahkan oleh Agung Sedayu.

Kalau semula Agung Sedayu tidak ingin mengalahkan lawannya dengan semena-mena di hadapan prajurit-prajuritnya, maka pikiran itu pun semakin lama menjadi semakin kabur, karena serangan Ranajaya yang semakin menyakiti badannya. Sejak itulah, maka tampak perubahan pada keseimbangan perkelahian itu. Karena Agung Sedayu pun kemudian mengerahkan segenap kemampuannya, maka justru Ranajaya yang semakin bernafsu untuk segera memenangkan perkelahian itulah yang menjadi semakin terdesak. Hampir tidak masuk akal bagi Ranajaya, bahwa ia merasa semakin lama semakin berat melawan tandang Agung Sedayu. Ternyata anak muda itu memiliki kemampuan yang jauh melampaui kemampuan yang diperkirakannya. Meskipun demikian, Ranajaya adalah seorang perwira yang berpengalaman, meskipun ia masih muda. Karena itulah, maka meskipun sekali-sekali ia tampak terdesak, tetapi ia masih mampu melakukan perlawanan sebaik-baiknya. Serangan-serangannya bahkan sekali-sekali masih juga dapat mengenai sasarannya. Tetapi kini serangan Agung Sedayu mulai mengenai tubuhnya. Sambaran tangan Agung Sedayu bagaikan ayunan sekeping besi yang berat. Dan tangan itu telah menyentuhnya. Tidak hanya satu kali, dua kali. Tetapi beberapa kali. Perkelahian itu pun semakin lama benar-benar menjadi semakin dahsyat. Agung Sedayu kini mulai berusaha menguasai lawannya. Langkahnya semakin lincah dan cepat, sehingga seakan-akan ia berada di segala arah bagi lawannya. Perlahan-lahan perkelahian itu pun bergeser menepi. Begitu dahsyatnya sehingga tanpa mereka sadari, mereka telah berdiri tepat di pinggir tanggul sawah yang sedang digenangi air. Sebuah serangan Ranajaya yang cepat dan tidak terduga-duga, ternyata berhasil menyusup pertahanan tangan Agung Sedayu langsung mengenai dadanya. Terasa pukulan tangan Ranajaya itu bagaikan memecahkan dinding dadanya, sehingga Agung Sedayu terdorong surut. Sedang di belakang Agung Sedayu adalah sawah yang basah berlumpur. Tetapi Agung Sedayu tidak mau terlempar sendiri ke dalam genangan lumpur itu. Dengan tangkasnya ia masih berhasil menangkap pergelangan tangan Ranajaya, sehingga keduanya bagaikan terlempar ke dalam air yang berwarna coklat kehitam-hitaman. Para prajurit yang menyaksikan perkelahian itu, seakan-akan telah membeku di tempatnya. Tetapi ketika mereka melihat keduanya terjatuh ke dalam lumpur, maka mereka pun hampir serentak meloncat maju, dan berdiri tegak di pinggir pematang. Tertatih-tatih keduanya berusaha meloncat berdiri. Tetapi ternyata lumpur yang kotor, yang telah melumuri seluruh tubuh dan pakaian, membuat hati mereka semakin panas. Sehingga perkelahian selanjutnya adalah benar-benar perkelahian yang menentukan, meskipun keduanya masih tidak bersenjata.

Dalam pada itu, para prajurit yang berdiri di pinggir sawah, tidak sampai hati membiarkan perwiranya berkelahi berlumuran lumpur tanpa berbuat apa-apa. Apalagi mereka melihat setiap kali keduanya terlempar jatuh, bangun lagi dengan lumpur yang semakin tebal. Sejenak mereka termangu-mangu. Namun sejenak kemudian salah seorang berdesis,
“Apakah kita dapat membantu?”
“Tunggu. Kita harus mendapat perintah atau ijin dahulu. Kalau tidak, kita akan justru dimarahinya.”
Kawannya menjadi termangu-mangu. Namun setiap kali keningnya berkerut-merut. Lumpur yang melumuri seluruh tubuh Ranajaya dan Agung Sedayu semakin lama menjadi semakin tebal pula. Apalagi ketika menjadi semakin jelas bagi para prajurit, bahwa Ranajaya selain harus bergulat melawan lumpur, ternyata juga bahwa ia menjadi semakin terdesak. Agung Sedayu yang merasa, bahwa tubuhnya menjadi sangat kotor dan menjadi pedih-pedih karena air, berniat untuk segera mengakhiri perkelahian. Karena itu, maka ia berkelahi semakin garang, meskipun ia masih juga berada di dalam lumpur. Ternyata, bahwa Ranajaya tidak mampu mengimbangi kemampuan Agung Sedayu. Meskipun Ranajaya seorang prajurit yang berpengalaman, tetapi Agung Sedayu pernah mengalami medan yang bermacam-macam, sehingga karena itu, maka ia telah berhasil benar-benar menguasai lawannya, seorang perwira pasukan Pajang. Dengan demikian, maka prajurit-prajuritnya benar-benar tidak dapat tinggal diam. Salah seorang bergerak maju sambil berkata,
“Ijinkan kami ikut menangkap telik sandi itu.”
Perwira Pajang yang sedang berkelahi itu tidak segera menjawab. Ia masih dibayangi oleh sifat keperwiraannya, sehingga karena itu, ia tidak segera membenarkan prajurit-prajuritnya ikut di dalam perkelahian itu. Kerena Ranajaya tidak menyahut, maka seorang prajurit yang lain berteriak pula,
“Apakah kami diijinkan untuk ikut menangkap anak itu?”
Masih tidak ada jawaban. Dan sekali lagi prajurit di pinggir sawah itu berkata,
“Kami minta ijin itu.”
Tetapi perwira yang sedang berkelahi itu tidak memberikan jawaban apa pun. Ia tidak ingin berkelahi dengan curang. Sebagai seorang perwira ia masih mempunyai harga diri yang cukup, sehingga ia tidak mengiakan permintaan prajurit-prajuritnya itu. Sikap itu ternyata menumbuhkan perasaan hormat pada Agung Sedayu. Agung Sedayu yang menyadari, bahwa sebentar lagi ia pasti akan menguasai lawannya sepenuhnya, merasa kagum, bahwa meskipun Ranajaya termasuk seorang perwira yang bengal, tetapi ia tidak mau bertempur bersama prajurit-prajuritnya untuk melawan Agung Sedayu. Tetapi prajurit-prajuritnyalah yang menjadi gelisah. Karena Ranajaya tidak menyahut, maka mereka pun akan mengambil sikap sendiri. Salah seorang berkata,
“Ki Ranajaya tidak melarang, meskipun tidak mengiakan.”
“Kita bertindak sendiri,” sahut yang lain.
Tetapi yang lain lagi berkata,
“Tetapi ia adik Ki Untara.”
Sejenak prajurit-prajurit itu menjadi ragu-ragu. Namun kemudian,
“Kalau benar ia telik sandi, meskipun adiknya Ki Untara, kita memang harus menangkapnya.”
Kawannya termangu-mangu sejenak, namun kemudian,
“Tanggung jawab ada pada Ki Ranajaya. Marilah, kita berbuat sesuatu.”

Sejenak prajurit-prajurit itu bimbang. Namun sejenak kemudian mereka beringsut maju. Tetapi ketika mereka benar-benar akan terjun ke dalam lumpur, mereka terhenti, karena Japa yang ada di belakang mereka berkata,
“He, apakah kalian akan ikut campur?”
“Kami akan menangkap petugas sandi dari Mataram itu.”
“Jangan. Ki Ranajaya akan marah kepada kalian. Kau telah minta ijin kepadanya, tetapi ia tidak menjawab. Kau tahu harga diri seorang satria?”
Ketiga prajurit itu mengerutkan keningnya.
“Biarkanlah perkelahian itu.”
Ketiga prajurit itu merenung sejenak. Namun salah seorang dari mereka berkata,
“Soalnya bukan perang tanding. Tetapi kami akan menangkap seorang telik sandi bersama-sama.”
“Tuduhan itu tidak beralasan sama sekali. Kalian harus tahu, bahwa Ki Ranajaya adalah seorang yang sangat membenci Sutawijaya. Aku tidak tahu sebabnya. Karena itulah, maka penilaiannya terhadap kawan Raden Sutawijaya juga tidak longgar lagi. Seakan-akan semua orang yang pernah berkenalan dengan Raden Sutawijaya adalah musuh Pajang. Bahkan kita belum yakin, apakah Raden Sutawijaya sendiri memusuhi Pajang?”
Ketiga prajurit itu menjadi semakin bimbang. Dan Japa berkata,
“Biarlah keduanya menyelesaikan persoalan mereka. Soalnya bukan Mataram atau Pajang. Bukan telik sandi atau prajurit yang setia. Keduanya adalah anak-anak yang masih muda. Yang satu tidak mau tersinggung oleh yang lain. Itu saja. Karena itu, marilah kita sekedar menjadi saksi.”
“Ah. Kau berpikir terlampau pendek. Ki Ranajaya tidak sekedar berpikir tentang dirinya sendiri. Ia menyadari kedudukan Pajang di hadapan Mataram yang sedang tumbuh.”
“Itu adalah omong kosong. Percayalah, bahwa mereka keduanya adalah anak-anak muda yang sombong, angkuh dan terlampau memuja harga diri, sehingga hatinya mudah tersinggung. Itulah sebabnya, mereka berkelahi. Bukan apa-apa. Jangan dihubungkan dengan soal-soal yang tidak kita mengerti.”
“Persetan,” sahut seorang prajurit,
“tetapi kita harus berbuat sesuatu.”
Japa menggelengkan kepalanya,
“Jangan. Aku tidak sependapat.”
“Tetapi kami tidak dapat membiarkan hal ini terjadi.”
“Biar sajalah.”
“Kau sama sekali tidak mau membantu seorang perwira atasannya yang sedang menjalankan tugas.”
“Aku dari pasukan berkuda. Bukan dari pasukanmu. Aku memang harus hormat kepada perwira yang mana pun. Tetapi tidak mencampuri persoalan pribadinya. Apa lagi ia memang agak terlampau mudah tersinggung.”
“Terserah. Tetapi kami akan membantunya.”
Tetapi Japa menggeleng,
“Jangan. Kau tahu arti kata-kataku ini? Biarkan saja apa yang akan terjadi.”

Ketiga prajurit itu menjadi termangu-mangu sejenak. Sekali dipandanginya wajah Japa yang berkerut-merut, namun kemudian mereka berpaling kepada Ranajaya yang semakin sering jatuh, terbanting ke dalam lumpur. Sebenarnyalah, prajurit-prajurit itu menjadi ragu-ragu. Mereka bertiga telah mengenal prajurit dari pasukan berkuda yang bernama Japa itu. Ia mempunyai beberapa kelebihan dari kawan-kawan prajuritnya. Beberapa orang justru mengatakan, bahwa ia mempunyai aji welut putih, sehingga dalam keadaan yang bagaimanapun sulitnya, namun lawan-lawannya tidak akan dapat menangkapnya. Bahkan sekaligus mempunyai aji lembu sekilan, sehingga seakan-akan ia menjadi kebal, meskipun oleh kekuatan yang dapat melampaui daya tahan aji lembu sekilannya, ia dapat juga dikenainya.
Tetapi sejenak kemudian Japa itu pun berkata,
“Dengarlah kata-kataku. Aku yakin, bahwa aku sependapat dengan Ki Ranajaya.”
“Kau lihat, Ki Ranajaya kini terdesak. Apakah kau dapat membayangkan, bagaimana tanggapannya terhadap kami yang sekedar menonton di sini. Kalau kami mengatakan, bahwa kaulah yang mencegah kami, maka kau akan menjadi sasaran kemarahannya. Meskipun kau mempunyai aji welut putih dan lembu sekilan sekalipun, kau tidak akan dapat melawan Ki Ranajaya.”
“He, siapa yang mengatakan bahwa aku mempunyai aji welut putih dan apalagi lembu sekilan? Sama sekali tidak. Kalau aku mencegah kalian, itu adalah karena aku yakin, Ki Ranajaya akan membenarkan sikapku. Kalau ikut campur, maka itu akan berarti, bahwa kau telah menurunkan sikap satrianya. Seandainya kalian berempat berhasil mengalahkan Agung Sedayu, itu sama sekali bukan kebanggaan. Besok kalian pasti akan dihukum oleh Ki Ranajaya, karena kalian telah menghinanya, seolah-olah perwira itu tidak dapat mengatasi persoalannya, atau tidak dapat bersikap seperti seorang laki-laki yang sebenarnya.”
Ketiga prajurit itu menjadi bingung. Tetapi salah seorang dari mereka berkata,
“Lalu apa gunanya kami dibawanya serta?”
“Maksudnya, kalian akan menjadi saksi apa yang telah terjadi. Seandainya terjadi kecelakaan dalam perkelahian itu, maka itu adalah akibat yang tidak dapat dihindari. Yang lain tidak dapat dituntut, karena keduanya telah berhadapan sebagai laki-laki atas kehendak masing-masing.”

Ketiga prajurit itu menjadi termangu-mangu. Tetapi kini ia melihat Ranajaya terlempar beberapa langkah dan jatuh terlentang di dalam lumpur. Hampir seluruh tubuhnya terbenam di dalam air yang kotor di sela-sela tanaman padi muda, yang menjadi porak-poranda dan bosah-baseh. Dengan susah payah ia berusaha berdiri. Tetapi Agung Sedayu telah berkeputusan untuk mengakhiri perkelahian itu, sehingga begitu Ranajaya tegak, maka ia pun segera menyerang dengan dahsyatnya. Sebuah pukulan yang tidak terelakkan telah mengenai dagunya. Sebenarnyalah, bahwa tenaga Ranajaya telah susut. Karena itu pukulan Agung Sedayu itu terasa begitu dahsyatnya, sehingga kepala Ranajaya terangkat dan sekali lagi ia terhuyung-huyung. Tetapi kali ini Agung Sedayu memburunya. Sebuah pukulan berikutnya mengenai perutnya. Ranajaya membungkuk kesakitan. Tetapi ia tidak mempunyai kesempatan lagi. Sekali lagi Agung Sedayu mengayunkan tangannya. Kali ini mengenai bagian bawah telinganya. Terasa kepala Ranajaya bagaikan terputar. Kini ia terlempar dan tanpa dapat menjaga keseimbangannya lagi, ia pun terjatuh menelentang. Tenaga perwira muda itu bagaikan telah terhisap habis. Kepalanya menjadi pening, dan pandangan matanya seakan-akan berputaran. Awan yang terbang di langit bagaikan runtuh menimpa dadanya. Tetapi Ranajaya tidak pingsan, meskipun ia tidak dapat lagi bangkit berdiri. Ia hanya dapat mengangkat kepalanya dan duduk di dalam lumpur yang basah. Agung Sedayu berdiri tegak dengan kaki renggang. Dipandanginya wajah Ranajaya yang pucat, namun memancarkan kemarahan yang tiada taranya.
“Kau memang gila,” perwira itu menggeram, “aku akan membunuhmu, pengkhianat.”
Agung Sedayu tidak menjawab. Dibiarkannya Ranajaya mengumpat-umpat.
Tetapi dada Agung Sedayu menjadi berdebar-debar, ketika tangan Ranajaya meraba hulu kerisnya yang kotor oleh lumpur itu. Dengan suara yang bergetar ia berkata,
“Aku benar-benar akan membunuhmu. Segores luka di kulitmu telah cukup untuk membuatmu tidak dapat lari lagi dari tangan maut.”
Agung Sedayu memandang tangan Ranajaya dengan dada yang berdebar-debar. Perwira itu benar-benar menjadi mata gelap, sehingga ia tidak lagi dapat berpikir bening. Keris bukannya sekedar barang mainan, yang dapat dipergunakan setiap saat yang disukainya. Tetapi keris akan langsung berhubungan dengan jiwa seseorang, apabila dipergunakan.
“Apakah aku juga akan mempergunakan senjata?” pertanyaan itu telah mengetuk hatinya.
Meskipun Ranajaya telah menjadi semakin lemah, tetapi keris di tangannya akan langsung berbahaya bagi jiwanya. Apalagi keris itu adalah keris seorang perwira. Sudah barang tentu kalau keris itu bukanlah keris kebanyakan yang dijajakan di pasar-pasar.
Sejenak Agung Sedayu jadi membeku. Keragu-raguan yang dahsyat telah mencekam dadanya. Dalam pada itu, Ranajaya agaknya benar-benar akan menarik keris dari wrangkanya. Sejenak ia masih memandang Agung Sedayu sambil menggeram,
“Kau akan menyesal. Kau tidak akan melihat matahari terbenam, apalagi sampai ke Sangkal Putung pada waktunya.”

Agung Sedayu benar-benar menjadi bingung. Ia tidak menyangka, bahwa Ranajaya benar-benar telah kehilangan pegangan, sehingga tidak lagi dipertimbangkan, bahwa kerisnya akan mungkin merenggut nyawa seseorang. Namun dalam pada itu, selagi Agung Sedayu termangu-mangu, mereka yang ada di sekitar arena perkelahian itu, terkejut oleh derap kuda, yang semakin lama menjadi semakin mendekat, sehingga hampir berbareng mereka berpaling. Tangan Ranajaya yang telah melekat di hulu kerisnya, perlahan-lahan terkulai. Wajahnya yang pucat itu menegang, ketika ia melihat orang yang berkuda paling depan dari beberapa orang penunggang kuda yang mendekati arena. Orang itu adalah Untara. Para prajurit yang berdiri di tepi sawah itu pun menjadi termangu-mangu. Mereka tidak menyangka, bahwa Untara akan sampai ke tempat itu juga. Dalam pada itu, ketika Untara dan beberapa orang pengiringnya menjadi semakin dekat, tiba-tiba saja telah meledak suara tertawanya, seolah-olah ia sedang melihat suatu permainan yang lucu sekali. Bahkan Untara yang tertawa terbahak-bahak itu, terpaksa memegangi perutnya yang berguncang-guncang. Demikian kudanya sampai di pinggir sawah berlumpur itu, ia pun segera meloncat turun diikuti oleh para pengiringnya. Namun ia masih saja tertawa berkepanjangan. Para pengiringnya yang semula menjadi tegang, itu pun ikut pula tertawa melihat kedua orang yang berlumuran dengan lumpur yang basah itu.
“He, apakah kerja kalian di sana?” bertanya Untara sambil berdiri di pematang.
Agung Sedayu yang memang sudah mengerti, bahwa kakaknya akan menyusul segera melangkah menepi. Kakinya terbenam sampai di atas mata kakinya itu.
“Kemarilah, kemarilah. Apakah kalian termasuk golongan kerbau yang sedang berkubang?” bertanya Untara di sela-sela suara tertawanya.
Kedua orang itu tidak menjawab. Ranajaya pun kemudian melangkah pula menepi. Tetapi karena tenaganya memang sudah susut, serta kakinya yang membenam agak dalam, maka langkahnya pun tampaknya menjadi sangat berat. Sejenak kemudian keduanya telah berdiri di atas pematang di tepi sawah yang berlumpur itu. Tetapi keduanya menundukkan kepala mereka dalam-dalam.
“He, apakah yang telah kalian lakukan?” bertanya Untara masih sambil tertawa.
Keduanya tidak menjawab.
“Apakah kalian mencoba berkubang, atau mandi di air yang sangat dangkal ini, atau kalian mempunyai kesibukan lain, misalnya mencari belut?”
Keduanya masih terdiam.
“Kenapa kalian diam saja?” suara Untara menurun, dan tertawanya pun sudah mereda.
“Lihat, tanaman padi yang hijau itu menjadi rusak. Pakaian kalian yang bagus itu kini mempunyai warna yang lain. Apakah sebenarnya yang telah kalian lakukan?”
Ranajaya dan Agung Sedayu masih tetap berdiam diri.

Untara pun kemudian berpaling kepada prajurit-prajurit yang berdiri berjajar sambil menundukkan kepala mereka pula,
“He,” bertanya Untara, ternyata kalian mendapat tontonan yang mcnyenangkan. Sayang, aku datang terlambat.”
Tidak seorang pun yang berani mengangkat kepalanya. Bahkan kepala-kepala itu menjadi semakin tunduk. Hanya Japa sajalah yang meskipun menundukkan kepalanya pula, tetapi ia sempat tersenyum di dalam hati.
Dalam pada itu, Untara berkata selanjutnya, tetapi dalam nada yang berbeda,
“Nah, setelah kalian puas dengan sikap jantan kalian, apakah yang kalian peroleh?”
Masih tidak ada jawaban.
“Kepuasan? Kebanggaan atau apa?”
Agung Sedayu menarik nafas. Ketika ia mencoba memandang Ranajaya dengan sudut matanya, dilihatnya perwira itu masih tetap menunduk.
“Adi Ranajaya,” berkata Untara kemudian,
“memang itukah yang kau kehendaki?”
Ranajaya menggigit bibirnya.
“Baiklah,” berkata Untara kemudian,
“kalian tentu tidak akan mengatakan apa-apa. Tetapi aku sudah dapat menduga, apa yang baru saja terjadi di sini. Perkelahian karena masing-masing tidak mau sedikit saja tersinggung perasaannya. Atau barang kali karena kebencian yang tidak mempunyai dasar alasan, tetapi sudah berkobar membakar urat nadi. Inilah yang kalian temukan sekarang. Sakit, kotor, dan apalagi ada orang yang melihat, memalukan sekali. Untunglah, bahwa saat-saat menjelang senja, hampir tidak ada orang lagi di sawah dan tidak ada orang yang kebetulan lewat di jalan ini.”
Tetapi belum lagi Untara terdiam, di kejauhan dilihatnya seseorang berjalan merunduk menjauhi tempat itu.
“He, ternyata ada juga yang menonton perkelahian ini dari jauh. Tetapi mereka pasti tidak akan berani melerai, karena di sini berdiri beberapa orang prajurit. Apalagi melerai, mendekat pun tidak berani.”

Semua berpaling ke arah tatapan mata Untara. Tetapi mereka tidak melihat apa pun lagi, karena orang itu sudah bersembunyi di balik hijaunya batang padi yang tumbuh agak lebih besar. Sambil merangkak orang itu pergi menjauh, agar ia tidak terlibat di dalam perkelahian yang terjadi itu.
“Tentu tidak hanya seorang itu,” berkata Untara,
“karena itu, jadikanlah hal ini pengalaman, bahwa seorang prajurit tidak akan berselisih di sembarang tempat dan di sembarang waktu, karena sembarang persoalan.”
Ranajaya hanya menundukkan kepalanya saja tanpa berkata sepatah kata pun. Usahanya untuk memaksa Agung Sedayu mengaku, bahwa ia seorang petugas sandi dari Mataram telah gagal, meskipun ia masih tetap berpendapat demikian, ia masih tetap menganggap bahwa justru karena Agung Sedayu itu adik Untara, senapati yang bertugas di daerah Selatan ini, maka ia akan dapat melakukan tugasnya dengan baik tanpa dicurigai. Dan agaknya Untara memang tidak menaruh curiga sama sekali kepada adiknya itu.
“Tetapi,” berkata Untara,
“jika sudah terjadi demikian, kalian telah menjadi puas. Kalian telah melepaskan gejolak di dalam hati, meskipun akibatnya barangkali tidak pernah kalian bayangkan sebelumnya. Apakah kata para prajurit dan para perwira, jika mereka melihat seorang Ranajaya dalam pakaiannya yang aneh sekarang ini? Dan apa kata Ki Demang di Sangkal Putung, terlebih-lebih Sekar Mirah, jika mereka melihat Agung Sedayu yang baru keluar dari kubangan?”
Tidak seorang pun yang menyahut.
“Nah, sekarang bagaimana dengan kalian berdua?” Keduanya tidak segera menjawab.
“Apakah kalian akan tetap memakai pakaian itu, atau kalian akan berganti pakaian di sini?”


Halaman 1 2 3


<<< Jilid 061                                                                                                       Jilid 063 >>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar