KI ARGAPATI menarik nafas dalam. Tetapi tatapan matanya sama sekali tidak bergeser serambut pun. Perlahan-lahan ia berkata,
“Pandan Wangi.
Aku tahu, betapa sulitnya perasaanmu. Seandainya kau tidak mencemaskan nasibku
besok malam, maka kau akan berkata seperti yang sudah kau ucapkan sebelum ini.
Bukankah kau berusaha mencegah aku melakukan gerakan hari ini?” Sekali lagi Ki
Argapati berhenti. Dan sejenak kemudian dilanjutkannya,
“Tetapi itu
adalah wajar sekali. Kau sama sekali tidak berbuat kesalahan, sebagai seorang
gadis yang kebetulan menjadi adik Sidanti. Kau berusaha untuk mencegah benturan
yang terjadi antara ayah dan kakakmu.”
“Tidak Ayah.
Tidak. Kakang Sidanti telah mendurhakai ayahnya.”
Terasa dada
Argapati berdesir. Perlahan-lahan, perlahan sekali ia berkata supaya tidak
didengar oleh orang lain,
“Tidak Wangi.
Anak itu tidak mendurhakai ayahnya. Justru ia melakukan perintah ayahnya tanpa
berpikir lagi.”
“Oh,” nafas
Pandan Wangi serasa semakin sesak. Dan tiba-tiba tangisnya pun menjadi semakin keras.
“Sudahlah
Wangi. Jangan kau risaukan apa yang akan terjadi. Kau adalah pewaris
satu-satunya tanah ini. Seandainya terjadi sesuatu dengan aku, maka kaulah yang
akan menjadi Kepala Tanah Perdikan Menoreh.”
Pandan Wangi
masih akan menjawab. Tetapi ketika ia mengangkat wajahnya, ayahnya
mendahuluinya,
“Sudahlah.
Tenangkan hatimu. Marilah kita pulang.”
Gadis itu sama
sekali tidak mendapat kesempatan untuk menyatakan perasaannya, ketika ia
melihat ayahnya memberi isyarat kepada para pemimpin pengawal tanah perdikan
ini untuk menarik pasukannya. Kepada Samekta ia berkata,
“Kita tunda
sampai lusa. Besok malam aku mendapat kepastian. Tetapi kalian harus tetap
dalam kesiagaan penuh. Setiap saat dapat terjadi sesuatu. Keadaan akan dapat
berkembang dengan cepatnya.”
Segores
kekecewaan membayang di wajah Samekta, seperti di setiap wajah para pemimpin
pasukan pengawal tanah perdikan. Bahkan pada setiap pengawal yang ada di tempat
itu. Mereka serasa mempunyai sebuah bisul di dada mereka. Apabila bisul itu
masih belum pecah, maka mereka pun sama
sekali tidak dapat merasa tenang. Bagi para pengawal itu, lebih baik mereka
datang kepada lawan daripada mereka harus bertahan, apabila Sidanti dan
pasukannya mendahului. Tetapi apa boleh buat, Ki Argapati menghendaki demikian.
Betapa beratnya, maka para pengawal itu pun segera ditarik ke tempat yang sudah
disediakan bagi mereka. Tetapi mereka tidak segera pulang ke rumah
masing-masing. Hanya mereka yang dengan sukarela ikut serta di dalam pasukan
itu sajalah yang diperkenankan pulang. Namun setiap saat mereka harus berkumpul
dengan senjata siap di tangan. Meskipun demikian, para peronda menjadi semakin
sibuk memutari daerah masing-masing. Setiap gardu telah terisi. Setiap saat
mereka harus menanggapi keadaan. Keadaan yang paling suram dalam sejarah
pertumbuhan tanah perdikan itu.
Sementara itu
matahari menjadi semakin lama semakin rendah. Kemudian cahayanya yang
kemerah-merahan mewarnai langit yang bersih, ketika matahari itu hampir
tenggelam di balik perbukitan. Selembar awan yang putih terbang perlahan-lahan
didorong oleh angin ke Utara. Pandan Wangi duduk termenung di pembaringannya.
Berbagai gambaran hilir mudik di dalam angan-angannya. yang paling pahit dan
yang paling dahsyat memang dapat terjadi. Terasa dadanya menjadi
berdebar-debar. Ia tidak akan dapat tenang, apa pun yang dilakukannya.
Kadang-kadang ia berdiri dan berjalan hilir mudik. Kadang-kadang ia mencoba
membaringkan tubuhnya dan mencoba memejamkan matanya. Tetapi kegelisahannya
tidak dapat dilupakannya. Ia sama sekali tidak melepaskan pakaian berburunya.
Seperti pakaian seorang laki-laki. Pakaian yang tidak biasa dikenakannya
sehari-hari. Tetapi kali ini merasa perlu untuk selalu mengenakan pakaian itu.
Seolah-olah sesuatu akan terjadi. Dan seolah-olah ia harus ikut serta berbuat
sesuatu. Pandan Wangi mengerutkan keningnya melihat seseorang masuk ke dalam
biliknya dan memasang lampu minyak. Tanpa berkata sepatah kata pun, orang itu
segera keluar lagi. Ternyata hari sudah menjadi semakin suram. Satu-satu
bintang mulai bergayutan di langit, seakan-akan berebut dahulu.
“Malam ini
adalah malam terakhir sebelum purnama naik,” desisnya perlahan-lahan sekali.
Namun terasa hatinya menjadi pedih oleh angan-angannya sendiri.
Dalam
kegelisahannya itu, Pandan Wangi melangkah keluar biliknya. Tanpa sesadarnya ia
berjalan lewat di muka pintu bilik ayahnya yang terbuka. Dilihatnya ayahnya
sedang menimang-nimang tombak pendeknya. Seolah-olah ia sedang asyik berbicara,
apakah sebaiknya yang akan mereka lakukan bersama-sama besok malam.
“Ayah,”
perlahan-lahan Pandan Wangi memanggil.
Ayahnya
mengangkat wajahnya. Ketika dilihatnya puterinya berdiri di muka pintu, maka
katanya,
“Masuklah,
Pandan Wangi.”
Dengan
ragu-ragu Pandan Wangi melangkah masuk.
“Duduklah,”
berkata ayahnya pula. Dengan ragu-ragu pula Pandan Wangi duduk di sisi ayahnya
sambil memandangi tombak yang berada di tangannya. Hati Pandan Wangi menjadi
kian berdebar-debar melihat mata tombak yang sudah dilolos dari wrangkanya itu.
“Tombak ini
bukan tombakku, Wangi, tombak ini adalah tombak pamanmu. Aku tidak tahu, kapan
pamanmu menukarnya. Tetapi hal itu pasti sengaja dilakukannya. Sebab
selongsongnya adalah selongsongku, dan bahkan wrangka tombak ini pun ternyata
wrangkaku pula.”
Debar di dada
Pandan Wangi menjadi semakin keras memukul jantungnya. Tombak yang pada saatnya
akan memikul tugas yang berat itu, ternyata bukan tombak ayahnya, tombak yang
selalu menjadi sipat kandelnya. Namun ia mendengar ayahnya berkata,
“Tetapi itu
tidak penting Wangi. Aku dapat mempergunakan senjata apa saja. Jangankan tombak
sebaik ini, bahkan sebuah parang pembelah kayu
pun sudah cukup bagiku. Dengan apa
pun dan dengan cara yang bagaimanapun, aku sudah siap menjelang saat
yang kami janjikan. Besok malam. Dan kau tidak usah mencemaskannya. Kau harus
berbesar hati menghadapi setiap akibat dari peristiwa itu, Wangi.”
Pandan Wangi
menundukkan kepalanya. Tetapi tombak pendek yang telah ditukar itu menambah
kecemasannya. Mungkin tombak itu tidak sebaik tombak ayahnya yang telah
menemaninya sejak muda. Kini menghadapi saat yang paling genting, tombak itu
sudah tidak ada lagi. Yang ada adalah tombak lain, tombak pamannya. Dalam pada
itu terdengar ayahnya berkata pula,
“Sekarang
beristirahatlah Wangi. Kau harus banyak beristirahat. Sehari-harian kau
mengalami persoalan yang membuatmu lelah. Mandilah, dan berganti pakaian.
Pakaianmu terlampau kotor dan bahkan noda-noda darah itu masih melekat.
Pandan Wangi
memandangi pakaiannya yang kotor. Yang selama ini tidak diperhatikannya. Ia
memang tidak ingin mandi dan berganti pakaian dengan pakaiannya sehari-hari.
Seandainya ia mandi dan berganti pakaian, maka ia pun akan mengenakan pakaian serupa itu.
Pakaian berburu, seperti pakaian seorang laki-laki.
“Mandilah.
Malam ini aku akan bertemu dengan beberapa orang pemimpin tanah perdikan yang
masih dapat berpikir bening. Yang masih dapat melihat siapakah sebenarnya yang
berhak memerintah tanah ini. Meskipun sebagian dari mereka telan berpihak
kepada Argajaya dan Sidanti, namun sebagian terbesar masih tetap setia
kepadaku. Bukan karena aku, Argapati orang yang baik, tetapi mereka menghargai
kebenaran kedudukanku sebagai Kepala Tanah Perdikan yang sah.”
Pandan Wangi
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia bertanya,
“Apakah aku
boleh hadir di dalam pertemuan itu, Ayah?”
“Sebaiknya kau
beristirahat Tetapi kalau kau ingin mendengar pembicaraan itu, dan kau tidak
terlampau lelah, baiklah kau ikut mendengarkannya sebentar. Kemudian sebaiknya
kau pergi tidur. Sekarang pergilah mandi. Kau akan menjadi segar dan bersih.”
Pandan Wangi
kemudian berdiri dan melangkah meninggalkan bilik itu. Ia berdiri sejenak di
muka biliknya, namun kemudian ia melangkah masuk. Mengambil beberapa lembar
pakaiannya yang lain, tetapi juga pakaian berburu seperti yang dipakainya.
Kemudian pergi ke perigi. Namun ia tidak melepas sepasang pedangnya dari
lambung. Seolah-olah ia merasa bahwa ia memerlukan pedang itu setiap saat.
Ketika ia
mandi pun, sepasang pedangnya terletak dekat sekali di sisinya. Ketika ia
mendengar suara langkah mendekat, segera dirabanya hulu pedangnya. Tetapi
langkah itu adalah langkah pelayannya yang lewat dari kebun belakang. Malam itu
Argapati menyelenggarakan pertemuan dengan para pemimpin Tanah Perdikan
Menoreh. Berbagai macam persoalan dibicarakannya. Tetapi setiap Para pemimpin
pengawal mendesaknya untuk segera bertindak, maka jawabnya selalu,
“Besok malam
aku akan mengambil keputusan terakhir. Tidak terlalu lama. Aku minta waktu
semalam saja lagi. Besok lusa, sebelum fajar, kita harus sudah menentukan
sikap. Seandainya kalian tidak dapat menemui aku, maka kalian dapat berbicara
dengan pewarisku, Pandan Wangi.”
Jawaban itu
benar-benar membuat para pemimpin dan pengawal menjadi gelisah. Mereka tidak
mengerti benar maksudnya. Namun segera mereka menghubungkan keterangan itu
dengan saat purnama naik di bawah Pucang Kembar. Karena itu maka salah seorang
dari mereka bertanya,
“Ki Gede,
kenapa besok lusa ada kemungkinan bahwa kami tidak dapat menemui Ki Gede, dan
dengan demikian kami harus berhubungan dengan Pandan Wangi sebagai pewaris
tunggal? Kami tidak mengerti, apakah yang dapat terjadi dengan Ki Gede besok
lusa? Tentang pewaris tunggal, kami dapat mengerti, agaknya Ki Gede sudah
menganggap Sidanti mendurhakai ayahnya dan untuk selanjutnya, haknya atas tanah
ini sudah dicabut.”
“O,” Ki Gede
berdesah. Katanya kemudian,
“Bukan
maksudku berkata demikian. Besok lusa aku ada di rumah ini besok lusa aku akan
menentukan sikap dan memimpin setiap pergolakan yang dapat terjadi.”
Samekta
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi sebagai seorang yang sudah cukup umur ia
bertanya,
“Ki Gede. Kami
telah pernah mendengar, bahwa Ki Gede mengadakan sebuah perjanjian dengan Ki
Tambak Wedi pada saat purnama naik di bawah Pucang Kembar. Kami tidak tahu
pasti apa yang akan terjadi, tetapi kami dapat membayangkannya. Kami dapat pula
menghubungkan persoalan dengan sikap Ki Gede saat ini menghadapi Angger
Sidanti. Supaya kami tidak selalu bertanya-tanya, Ki Gede, kami ingin tahu,
apakah yang sebenarnya akan terjadi, dan apakah hal itu ada hubungannya dengan
kami?”
Ki Argapati
mengerutkan keningnya. Sekilas dipandangnya Pandan Wangi yang menundukkan
kepalanya. Namun kemudian ia menjawab dengan nada yang dalam,
“Tidak ada
hubungan apa-apa dengan persoalan kalian. Persoalan ini adalah persoalan
pribadi. Aku ingin menyelesaikan secara pribadi.”
“Tetapi
keadaan tanah perdikan ini demikian gawatnya sehingga agaknya Ki Gede tidak
akan dapat menerima setiap persoalan secara pribadi.”
“Persoalan ini
tidak ada hubungan apa pun dengan
persoalan tanah perdikan ini, Samekta. Jangan kau persoalkan persoalan
pribadiku. Aku akan menyelesaikannya sendiri. Tugas kalian besok adalah
menyiapkan semua kekuatan pasukan pengawal yang masih dapat dipercaya dan
setiap laki-laki yang dengan sukarela ikut mengangkat senjata. Tetapi
hati-hatilah. Kau harus dapat menilai sikap seseorang. Lawan kita kali ini ada
di antara kita. Kita terlampau sulit untuk membedakan, siapakah di antara kita
yang sepenuhnya masih dapat dipercaya. Siapakah yang ragu-ragu, siapakah yang
berdiri dengan sebelah menyebelah kaki nya berpijak pada alas yang berbeda, dan
siapakah yang sengaja memulas diri sendiri untuk kepentingan-kepentingan
pribadi, seperti seekor bunglon yang dapat merubah warna kulitnya.”
Samekta
menarik nafas dalam-dalam. Namun ia masih mencoba memperingatkan Ki Argapati,
“Ki Gede. Aku
tidak dapat mempercayai Ki Tambak Wedi sepenuhnya. Apakah Ki Tambak Wedi juga
bersikap seperti Ki Gede dalam menanggapi persoalan pribadinya dengan Ki Gede?
Aku ragu-ragu. Bahkan aku mendapat kesan, bahwa Ki Tambak Wedi bukanlah seorang
yang jujur.”
Ki Gede
Menoreh tidak segera menjawab. Peringatan itu menggurat jantungnya, membuat
seberkas goresan yang dalam. Jauh di dasar hatinya memang tersimpan dugaan
serupa itu. Tetapi kenyataan yang pernah dihadapinya, beberapa puluh tahun yang
lampau, ternyata Paguhan pernah menghadapinya secara jantan di dalam perang
tanding seperti yang telah mereka janjikan. Apakah sekarang Paguhan yang
bergelar Ki Tambak Wedi itu telah berubah? Bukan seperti Paguhan pada waktu
itu? Dalam keragu-raguan itu, Ki Gede Menoreh mendengar suara Samekta,
“Ki Gede, kami
harap Ki Gede mempertimbangkannya masak-masak. Apakah salahnya, apabila janji
itu dibatalkan, meskipun aku tidak tahu pasti janji apakah yang telah dibuat,
tetapi aku dapat menduga-duga.”
Perlahan-lahan
Ki Gede menggelengkan kepalanya. Jawabnya,
“Aku tidak
dapat membatalkannya Samekta. Aku harus datang. Seorang diri. Janji itu sudah
kita setujui bersama. Dan akan menepatinya. Terkutuklah Ki Tambak Wedi, apabila
ia tidak menepati seperti janji yang pernah dikatakannya sendiri, apalagi
apabila ia berbuat curang. Kalian akan mengingatnya di dalam hati dan akan mengatakannya
kepada setiap orang, bahwa seorang yang bernama Paguhan bergelar Ki Tambak
Wedi, telah berbuat curang dan licik.”
Samekta
menggeleng-gelengkan kepalanya. Katanya lambat,
“Apakah
artinya sebutan itu bagi seorang yang telah menebalkan telinganya dan telah
membutakan matanya?”
Sekali lagi Ki
Gede berkata,
“Samekta, aku
tahu, bahwa kau bermaksud baik. Terima kasih. Tetapi aku ingin menyelesaikan
persoalan pribadiku. Kalau aku berhasil, maka aku akan dapat mengurangi
penumpahan darah yang akan membanjiri tanah ini.”
Samekta
mengangkat wajahnya. Hampir saja mulutnya mengucapkan sebuah pertanyaan,
“Tetapi
bagaimana kalau Ki Gede gagal?” Tetapi pertanyaan itu ditelannya kembali.
Namun
demikian, Samekta melihat bahwa pertanyaan yang serupa telah membersit pula di
dalam dada Pandan Wangi. Samekta melihat gadis itu memandangi ayahnya dengan
pandangan yang suram. Lamat-lamat Samekta melihat setitik air yang mengambang
di kelopak mata gadis itu. Tetapi Pandan Wangi
pun tidak mengucapkan pertanyaan itu.
Samekta, para
pemimpin tanah perdikan dan para pemimpin pengawal, hanya dapat menyimpan
kecemasan di dalam hati mereka. Mereka telah mengenal watak Ki Gede Menoreh
yang keras hati. Sukar bagi mereka untuk mencoba merubah pendiriannya Apalagi
yang langsung menyangkut harga dirinya sebagai seorang laki-laki. Karena itu,
maka mereka tidak berani untuk mencoba lagi merubah sikap itu. Sebab apabila KI
Gede Menoreh kemudian menjadi marah, maka sulitlah bagi mereka untuk dapat
berbicara.
Pandan Wangi
pun mengenal watak itu pula. Karena itu, maka ia pun lebih baik diam sambil menahan air
matanya. Bayangan yang semakin jelas di pelupuk matanya melukiskan, betapa
pertarungan yang dahsyat akan terjadi di bawah Pucang Kembar besok malam. Sementara
itu waktu berjalan terus. Malam menjadi semakin malam. Meskipun Pandan Wangi
kemudian tidak lagi duduk di antara para pemimpin Menoreh dan berada di dalam
biliknya, namun yang bergolak di dalam hatinya adalah persoalan yang dibawanya
dari pembicaraan itu. Justru semakin lama ia berbaring di pembaringannya, maka
hatinya menjadi semakin dicengkam oleh kegelisahan dan kecemasan.
Bermacam-macam angan-angan dan gambaran telah membuatnya menjadi terlampau
bingung. Jantungnya seakan-akan menjadi terlampau bingung. Jantungnya seakan-akan
menjadi terlampau cepat berdetak, dan darahnya menjadi terlampau deras
mengalir. Sekali-kali Pandan Wangi itu tersentak duduk. Kemudian berdiri dan
berjalan hilir mudik. Bahkan kemudian ia tidak menahan diri lagi untuk tetap
tinggal di dalam biliknya. Perlahan-lahan ia melangkah keluar dan menuju ke
pringgitan, tempat para pemimpin yang terpenting bertemu, setelah beberapa
orang termasuk dirinya diperkenankan meninggalkan pembicaraan. Tetapi ketika ia
menjenguk pintu pringgitan, dilihatnya pringgitan itu sudah kosong. Ternyata
pertemuan sudah lampau. Yang ditemuinya di pringgitan tinggallah beberapa buah
mangkuk dan sisa makanan yang tidak terhabiskan.
“Di manakah
Ayah?” desisnya.
Berjingkat
Pandan Wangi berjalan menuju ke bilik ayahnya. Perlahan-lahan didorongnya pintu
bilik itu. Ia menarik nafas dalam-dalam ketika dilihatnya ayahnya sudah
tertidur di pembaringannya.
Pandan Wangi
berdesah perlahan-lahan,
“Ternyata aku
lebih gelisah dari Ayah sendiri,” desisnya di dalam hati.
“Ayah masih
dapat tidur dengan nyenyaknya. Sedang aku sama sekali tidak dapat memejamkan
mata. Tetapi baiklah, aku mencoba seperti Ayah.”
Perlahan-lahan
sekali Pandan Wangi menutup pintu itu kembali. Perlahan-lahan pula ia berjalan
berjingkat ke biliknya mencoba tidur meskipun hanya sejenak. Tetapi Pandan
Wangi sama sekali tidak tahu, bahwa setelah pintu bilik ayahnya tertutup,
ayahnya membuka matanya kembali. Sebenarnya ayahnya itu pun sama sekali belum
dapat tidur sekejap pun. Ia pun dibayangi oleh kegelisahan dan kecemasan.
Tetapi sama sekali bukan tentang dirinya sendiri. Seandainya persoalannya hanya
terbatas pada dirinya sendiri, pada perang tanding di bawah Pucang Kembar, maka
hal itu sama sekali tidak akan digelisahkannya. Tetapi kali ini persoalannya
berkait dengan persoalan tanah perdikannya. Persoalan yang sebenarnya memang
berpusar pada sumber yang sama. Janji yang terucapkan didorong oleh perbedaan
sikap mereka, menanggapi keadaan Sidanti berhadapan dengan Pajang. Kini, api
yang kemelut di tanah perdikan ini pun
disebabkan karena Sidanti pula.
“Samekta
benar,” desis Ki Argapati di dalam hatinya,
“persoalan ini
bukan sekedar persoalan pribadi. Tetapi aku tidak dapat melepaskan janji
pribadi ini, meskipun di dalam kaitannya dengan persoalan seluruh tanah
perdikan, karena justru aku tidak dapat melepaskan pribadiku dari tanggung
jawabku sebagai Kepala Tanah Perdikan ini. Karena itu, aku besok malam harus
menghadapi Ki Tambak Wedi. Apa pun yang
akan terjadi. Tetapi kegagalanku tidak harus mengorbankan tanah ini dan
menyerahkannya kepada Sidanti. Seandainya aku gagal, maka biarlah Pandan Wangi
memegang pimpinan. Aku mengharap bahwa para pemimpin pengawal yang setia akan
dapat mendampinginya, meskipun harus berhadapan dengan Ki Tambak Wedi, Sidanti,
dan Argajaya.”
Tiba-tiba
pandangan Ki Argapati tersangkut pada sebatang tombak pendek yang masih berada
di dalam selongsongnya. Terasa desir yang lembut menyentuh hatinya. Tombak itu
bukan tombaknya sendiri, sehingga besok, ia harus menghadapi Ki Tambak Wedi
yang memiliki sepasang senjata yang mengerikan, tidak dengan tombak yang paling
dipercayanya.
“Aku tidak
boleh terpengaruh olehnya. Tombak itu tidak akan banyak berpengaruh. Tergantung
pada tangan yang menggcrakkannya.” Tetapi dibantahnya sendiri di dalam hat,
“Namun aku
mengenal tombakku seperti aku mengenal diriku sendiri. Aku tahu pasti jangkauan
ujungnya dan berat pangkal landeannya. Aku tahu pasti, di mana tanganku harus
menggenggam tangkainya. Aku tahu pasti imbangan gerak ujung dan pangkalnya.
Bahkan aku tahu pasti kekuatan yang tersimpan pada tombakku itu. Tetapi tombak
ini belum begitu aku kenal.”
Ki Argapati
menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia bergumam,
“Semuanya
terserah kepada Tuhan Sang Maha Adil.”
Ki Argapati
kemudian mencoba melepaskan segala kegelisahannya. Ia mencoba untuk
beristirahat, meskipun hanya sejenak. Lamat-lamat ia masih mendengar ayam
jantan berkokok untuk yang kedua kalinya. Namun karena lelah lahir dan
batinnya, akhirnya Ki Gede Menoreh itu lelap juga untuk sejenak. Sedang di
bilik yang lain, Pandan Wangi pun
terlena karena kelelahan pula. Namun di sisinya tergolek sepasang pedangnya.
Bahkan tangannya terletak pada hulu pedang itu. Kesibukan pagi telah mewarnai
rumah Ki Argapati, ketika matahari telah mulai melambung di langit. Ki Gede
Menoreh duduk di pringgitan bersama Pandan Wangi menghadapi semangkuk air
hangat, gula kelapa, dan beberapa potong makanan. Adalah kebiasaan Ki Gede
Menoreh, untuk minum air hangat di pagi hari sambil makan beberapa potong
makanan sebagai makan paginya. Tetapi Ki Argapati tidak pernah makan nasi di
waktu pagi. Namun terasa kegelisahan telah membakar seluruh tanah perdikan,
jauh melebihi terik matahari di tengah hari. Setiap orang seolah-olah selalu
dihantui oleh kegelisahan. Tidak saja di padukuhan induk, tetapi di mana-mana.
Di sekitar rumah Argajaya pun terjadi
kesibukan-kesibukan yang luar biasa. Persiapan-persiapan telah mereka adakan
dengan saksama. Tidak kalah dari kesibukan yang dilakukan oleh para pengawal
yang masih setia kepada Ki Argapati. Meskipun jumlah mereka yang terpengaruh
oleh Sidanti tidak terlampau banyak, tetapi Sidanti telah melakukan kecerobohan
yang mempunyai kemungkinan yang paling parah atas tanah perdikan yang ingin
dikuasainya. Ia telah mengundang orang-orang liar dari berbagai golongan.
Orang-orang yang menyimpan pamrih terlampau besar atas tanah ini, orang-orang
yang ingin mendapatkan upah, dan orang-orang yang paling liar adalah
orang-orang yang tidak menentu, yang tidak mempunyai rumah dan tempat tinggal.
Mereka coba mengadu untung di Tanah Perdikan Menoreh.
Tetapi Ki
Tambak Wedi bukan pula seorang yang bodoh. Sengaja ia memanggil orang-orang
yang mempunyai kepentingan yang berbeda-beda. Ia ingin membenturkan mereka satu
sama lain apabila persoalannya sudah selesai, lalu menumpas mereka dengan mudahnya.
Namun permainan itu adalah permainan yang terlampau berbahaya. Apabila
perhitungan itu meleset serambut, maka Tanah Perdikan Menoreh akan menjadi
karang abang. Tanah akan tinggal arang yang sudah membara, kemudian hancur
menjadi abu. Ia tidak akan dapat berhasil mencapai maksudnya, menjadikan tanah
ini pancadan bagi anak dan sekaligus muridnya yang dimanjakannya, untuk naik ke
jenjang yang lebih tinggi lagi. Tetapi adalah mungkin sekali, bahwa tanah ini
akan menjadi tanah di mana anak itu segera akan dikuburkan. Kalau ia mati dalam
perlawanannya atas Ki Argapati, masih juga ia dapat merasa dirinya pahlawan
dari suatu cita-cita. Tetapi apabila ia mati oleh tangan-tangan yang hitam yang
dipanggilnya sendiri masuk ke dalam rumahnya, maka yang tinggal adalah
penyesalan. Tetapi setiap kali Ki Tambak Wedi berkata,
“Kita harus
membuat perimbangan. Kekuatan yang kita undang, harus lebih kecil dari kekuatan
kita sendiri, supaya kelak apabila persoalan kita dengan Argapati sudah
selesai, maka kita akan dengan mudahnya menyelesaikan mereka pula.”
Namun ternyata
Ki Tambak Wedi tidak menghiraukan, apa yang telah dilakukan oleh orang-orang
itu atas orang-orang Menoreh sendiri. Ia sama sekali tidak menghiraukan, bahwa
orang-orang itu telah berbuat terlampau gila di tanah perdikan ini. Dalam
keadaan yang gelisah, tegang, dan kemelutnya kecemasan itulah, matahari naik
semakin tinggi di atas perbukitan Menoreh. Betapa sibuknya para pengawal
mengadakan persiapan di beberapa tempat, dan betapa sepinya jalan-jalan dan
pedukuhan-pedukuhan di seluruh tanah perdikan itu. Seperti angin, yang bertiup
dari segala penjuru, maka setiap telinga di tanah perdikan itu telah mendengar,
bahwa nanti malam, di saat purnama naik, akan terjadi sesuatu yang paling
mengerikan di atas tanah ini. Mereka tidak tahu pasti, apakah yang kira-kira
akan terjadi. Yang paling mungkin menurut dugaan mereka, adalah benturan antara
Ki Argapati dan Sidanti. Namun janji yang telah ditentukan antara Ki Tambak
Wedi dan Ki Gede Menoreh, telah membuat kepala mereka semakin pening, dan
membuat dada mereka semakin berdebar-debar. Dan kegelisahan yang semakin
memuncak telah membakar dada Pandan Wangi. Dalam pakaian laki-lakinya ia
mondar-mandir di dalam rumahnya. Sekali-kali ia pergi ke pringgitan melihat
ayahnya sedang berbicara dengan beberapa orang pemimpin tanah perdikan ini,
kemudian berjalan ke dapur, melihat perempuan-perempuan sedang memasak. Namun
kegelisahannya tidak juga dapat disingkirkannya dari hatinya, setidak-tidaknya
meredakannya.
Tanpa
sesadarnya, maka langkahnya telah membawanya turun ke halaman ketika tiba-tiba
seseorang datang memanggilnya,
“Pandan Wangi,
Ki Argapati ingin bertemu.”
Dada Pandan
Wangi menjadi semakin berdebar-debar. Dengan tergesa-gesa ia pergi ke
pringgitan. Dilihatnya ayahnya masih duduk di antara para pemimpin yang lain.
“Pandan
Wangi,” berkata ayahnya sebelum ia duduk,
“sebaiknya kau
hentikan usahamu untuk bertemu dengan Sidanti, dan mencoba membuatnya mengerti.
Aku kira kau tidak akan berhasil.”
Dada Pandan
Wangi berdesir mendengar peringatan ayahnya itu. Sejenak ia berdiri mematung
tanpa dapat menjawab sepatah kata pun. Selanjutnya ia mendengar ayahnya berkata
seterusnya,
“Aku menjadi
cemas melihat kau gelisah seperti dipanggang di atas bara. Mondar-mandir tidak
menentu. Aku sangka, kau masih dihinggapi oleh angan-angan untuk bertemu dengan
kakakmu dan berbicara dengannya. Pandan Wangi, demi keselamatanmu, jangan pergi
lagi dari batas pedukuhan induk ini. Keadaan telah menjadi semakin panas.
Orang-orang di kedua belah pihak sudah terlampau sulit untuk dikendalikan.
Apalagi orang-orang yang tidak dikenal, yang sama sekali tidak merasa
bertanggung jawab apa pun atas tanah ini. Apakah kau mengerti?”
Debar di dada
Pandan Wangi menjadi semakin cepat. Tetapi ia telah mengenal betul sifat-sifat
ayahnya. Apabila demikian, berarti bahwa ia sama sekali tidak boleh
melanggarnya lagi. Apa pun alasannya. Karena itu maka yang dapat dilakukannya
adalah menganggukkan kepalanya sambil menjawab,
“Baik Ayah.”
“Nah, kalau
kau ingin keluar halaman, berhati-hatilah. Ingat, jangan meninggalkan padukuhan
induk. Kau masih dapat merasa aman di dalam padukuhan induk ini, karena aku
memagarinya dengan pasukan pengawal. Meskipun aku menempatkannya juga di
padukuhan-padukuhan lain, tetapi kau tidak akan tahu, apakah yang akan terjadi
di bulak-bulak yang betapa pun
sempitnya.”
Sekali lagi
Pandan Wangi mengangguk dan menjawab, “Ya, Ayah.”
Namun dengan
demikian, justru Pandan Wangi seolah-olah mendapat kesempatan untuk keluar dari
halaman rumahnya. Semula ia sama sekali tidak ingin melangkah keluar regol
halaman, apabila setiap saat ayahnya memerlukannya. Tetapi kini seolah-olah ia
diperingatkan, bahwa di luar halaman ia masih mempunyai tempat untuk sedikit
menghibur dirinya, asalkan tidak keluar dari pedukuhan induk.
Karena itu,
maka Pandan Wangi pun segera setelah
meninggalkan pringgitan, justru berjalan keluar regol halaman. Selangkah demi
selangkah. Dan hampir setiap langkahnya ia bertemu dengan dua tiga orang
peronda, sehingga akhirnya ia sampai pada ujung sebuah lorong di dalam
pedukuhan induk, yang menuju ke rumah pamannya.
“Hem, jalur
ini akan sampai kepada Kakang Sidanti,” desisnya di dalam hati. Tetapi ia
sadar, bahwa ayahnya melarangnya untuk mengikuti jalur itu. Dan ia menyadari
pula, bahaya yang dapat dijumpainya di tengah-tengah bulak dan pategalan,
seperti yang pernah terjadi atasnya. Ketika Pandan Wangi itu berdiri sambil
bersilang tangan di dadanya, memandangi ujung jalan yang seolah-olah hilang
ditelan kaki langit, dua orang peronda berjalan mendekatinya. Perlahan-lahan
salah seorang dari mereka berkata,
“Ki Gede telah
memerintahkan kepada kami, kau tidak boleh keluar dari pedukuhan ini, Pandan
Wangi. Siang mau pun malam nanti.”
Dada Pandan
Wangi berdesir. Ternyata perintah itu telah tersebar kepada seluruh pengawal.
Tetapi apa artinya, ia tidak boleh meninggalkan padukuhan induk ini siang dan
malam nanti, justru malam nanti ayahnya akan memenuhi janjinya dengan Ki Tambak
Wedi di bawah Pucang Kembar.
Terasa jantung
Pandan Wangi berdenyut semakin cepat di dalam dadanya. Berbagai pertanyaan
hilir mudik tidak henti-hentinya. Tetapi Pandan Wangi tidak bertanya apa pun kepada pengawal itu. Ia tahu, bahwa
pengawal itu tidak akan mengerti, kenapa. Ia hanya sekedar melakukan perintah.
Selebihnya adalah persoalan para pemimpinnya. Pandan Wangi berpaling kepada
mereka, ketika mereka bertanya,
“Apakah kau
sendiri sudah mengerti pesan Ki Argapati itu?”
Pandan Wangi
menganggukkan kepalanya. Jawabnya, “Ya, aku sudah mengerti.”
“Syukurlah,”
desis pengawal yang sedang meronda itu.
Kemudian
ditinggalkannya Pandan Wangi berdiri di tempatnya. Keduanya melangkah ke
gardunya di sudut pedukuhan. Di dalam gardu itu ternyata masih ada beberapa
kawan-kawannya lagi yang sedang berjaga-jaga. Pandan Wangi masih tetap berdiri
di tempatnya. Tegak seperti sebuah patung dengan sepasang pedang di lambung.
Dipandangnya berkas-berkas sinar matahari yang jatuh di atas tanah, di
sepanjang jalur jalan berdebu di depannya. Gadis itu mengerutkan keningnya,
ketika ia melihat sesuatu bergerak-gerak di dalam sinar matahari. Beberapa ekor
kambing berjalan di atas pematang. Di belakang sekumpulan kambing itu berjalan
seorang gembala. Gembala yang pernah ditemuinya di perjalanannya kemarin.
Gupita. Tiba-tiba saja, dada gadis itu menjadi berdebar-debar. Ternyata hari
ini anak muda itu masih menggembalakan kambing-kambingnya. Dengan demikian,
maka kemarin kambing-kambing itu pasti tidak dirampas oleh orang-orang liar
yang telah mencegatnya.
“Mungkin
orang-orang itu hanya memerlukannya satu atau dua,” desis Pandan Wangi di dalam
hatinya. Tetapi ia masih belum bergerak. Ia masih berdiri tegak di tempatnya.
Sepasang pedangnya berjuntai di lambungnya. Sebelah-menyebelah. Sejenak
kemudian ia melihat kumpulan kambing-kambing itu berjalan menyeberangi jalan.
Sekepul debu yang putih terlontar di udara ketika kaki-kaki kambing itu
menyentuh tanah berdebu yang menjelujur panjang.
Seorang
pengawal meloncat turun dari gardunya. Memandangi sekumpulan kambing itu sambil
berkata,
“Aneh, masih
juga ada seorang gembala yang berani membawa kambing-kambing ke tempat terbuka
seperti ini. Apakah anak itu tidak tahu apa yang kini sedang kemelut di tanah
perdikan ini?”
Tetapi tidak
ada seorang pun yang menjawab.
Kawan-kawannya yang sedang berjaga-jaga itu pun menjadi keheran-heranan pula.
Namun pengawal itu menjawabnya sendiri,
“Mungkin ia
menyadari, bahwa di tempat ini ada sebuah gardu pengawal. Dengan demikian ia
merasa aman menggembala kambingnya di sekitar tempat ini.”
Pandan Wangi
mengangguk-anggukkan kepalanya, meskipun ia tidak diajak berbicara. Pikiran itu
memang dapat dimengerti. Di tempat ini ada sebuah pengawalan yang baik,
sehingga tidak mungkin ada orang-orang liar yang berkeliaran sampai di tempat
ini. Sejenak kemudian, Pandan Wangi melihat kambing-kambing itu berhenti di
sebuah tempat yang ditumbuhi rerumputan hijau, di pinggir padesan. Gembala itu
mengikat seekor di antara kambing-kambing itu. Seekor kambing jantan yang
paling besar, pada sebatang pohon perdu, supaya kambing itu tidak dapat pergi
dan kawan-kawannya pun tidak akan pergi juga dari tempat itu. Sedang masuk ke
dalam tanaman di persawahan. Dengan demikian, maka gembalanya kemudian duduk di
bawah sebatang pohon yang rindang sambil menyandarkan dirinya. Cambuknya
diletakkannya di pangkuannya. Sejenak kemudian diambilnya sebatang seruling
bambu yang terselip di ikat pinggangnya. Sejenak gembala itu duduk memandangi
warna langit yang jernih, sambil mengusap-usap serulingnya. Seperti ayah Pandan
Wangi sedang mengusap landean tombaknya. Pandan Wangi sendiri tidak menyadari,
kenapa ia tertarik melihat tingkah laku gembala itu. Dengan demikian, maka
diawasinya saja ketika gembala itu kemudian mengangkat serulingnya dan
meletakkannya di mulutnya. Sejenak kemudian terdengarlah suara seruling itu
berlagu. Dilontarkannya lagu yang segar, sesegar burung-burung liar yang
berloncatan di dahan-dahan pepohonan. Pandan Wangi terkejut ketika tiba-tiba ia
mendengar salah seorang pengawal berkata,
“Aku merasa
aneh dengan gembala itu. Adalah mustahil, bahwa seorang gembala berani
menggembalakan kambingnya di tempat terbuka seperti saat ini tanpa suatu maksud
tertentu. Apakah dengan demikian tidak cukup alasan bagi kita untuk
mencurigainya? Mungkin anak itu adalah seorang petugas sandi dan Sidanti.”
Beberapa orang
kawannya mengerutkan keningnya. Dan terdengar hampir bersamaan mereka menjawab,
“Hal itu juga
mungkin. Tetapi mungkin pula ia merasa aman di sini.”
“Tetapi apakah
kau pernah mengenal anak itu?”
Kawan-kawannya
terdiam. Dan sejenak kemudian mereka menjawab,
“Belum. Aku
belum mengenalnya.”
“Belum ada
yang mengenalnya di antara kita. Bukankah kita wajib bercuriga?”
Tetapi para
pengawal itu terkejut, ketika tiba-tiba Pandan Wangi yang masih berdiri di
ujung jalan itu berkata,
“Aku sudah
mengenalnya. Namanya Gupita.”
Serentak para
pengawal itu berpaling ke arah Pandan Wangi. Kini Pandan Wangi memandang mereka
pula dan, berkata,
“Aku akan
menemuinya.”
“Tetapi kau
tidak boleh meninggalkan padukuhan ini.”
“Bukankah aku
tidak meninggalkan padukuhan ini? Gembala itu duduk di pinggir padukuhan ini.
Dan kalian dapat mengawasi aku dari gardu kalian seandainya aku harus berkelahi
melawannya.”
Para pengawal
itu sejenak saling berpandangan. Mereka sama sekali belum yakin, bahwa Pandan
Wangi benar-benar mampu berkelahi. Belum lama mereka mendengar hal itu.
Sebelumnya mereka hanya mengetahui, bahwa gadis itu senang ikut bersama
ayahnya. Hanya satu dua orang sajalah yang menemaninya. Karena itu, maka
mereka pun menjadi ragu-ragu pula untuk
melepaskannya pergi sendiri mendekati gembala yang sedang membunyikan
serulingnya itu. Ketika Pandan Wangi kemudian melangkahkan kakinya, mendekati
gembala itu, maka beberapa orang pengawal segera berloncatan turun dari
gardunya. Sekali lagi mereka saling berpandangan, dan beberapa di antara mereka
segera mengikutinya. Tetapi Pandan Wangi justru tertegun. Sambil berpaling ia
bertanya,
“Kalian akan
pergi kemana?”
Para pengawal
itu tidak segera dapat menjawab. Mereka menjadi ragu-ragu. Namun salah seorang
dari mereka akhirnya menyahut, “Kami tidak dapat melepaskan kau pergi sendiri.
Kami wajib mencurigai setiap keadaan yang tidak wajar bagi kami. Termasuk
kehadiran gembala itu.”
“Kalian akan
mengantar aku?”
Orang itu
mengangguk dan menjawab ragu-ragu, “Ya.”
Pandan Wangi
menggelengkan kepalanya. Katanya,
“Tidak usah.
Biarlah aku pergi sendiri. Kalau aku memerlukan kalian, kalian akan dapat
melihat dari sini, atau aku akan berteriak-teriak memanggil kalian. Aku kira
kalian akan dapat mendengarnya.”
Para pengawal
itu terdiam sejenak. Memang jarak antara gardu dan gembala yang duduk di bawah
pohon itu tidak terlampau jauh. Tetapi bagaimanakah apabila terjadi sesuatu
yang tidak terduga-duga? Para pengawal memang pernah mendengar, bahwa Pandan
Wangi sebenarnya mampu pula bertempur. Bahkan menurut Samekta, melawan enam
orang laki-laki sekaligus. Tetapi mereka masih dicengkam oleh keragu-raguan.
“Tinggallah
kalian di sini,” berkata Pandan Wangi kemudian, “Jangan cemas tentang aku.”
Para pengawal
itu kemudian berdiri tegak seperti patung. Dengan hati yang berdebar-debar,
mereka memandangi saja langkah Pandan Wangi menuju ke arah seorang gembala yang
duduk sambil membunyikan serulingnya. Sepasang pedang yang berjuntai di
lambungnya, sebelah menyebelah, bergerak-gerak seirama dengan langkah kakinya. Beberapa
orang pengawal menarik nafas dalam-dalam. Mereka biasa melihat Pandan Wangi
dalam pakaian seorang gadis. Hanya kadang-kadang saja ia berpakaian demikian,
apabila ia pergi berburu. Gembala yang bersandar pada pokok sebatang kayu itu,
masih saja meniup serulingnya. Lagunya mengalun menyusur arus angin yang
lembut. Lagu yang gembira kini terasa mengetuk dinding jantung. Seolah-olah
gembala itu sedang berceritera tentang langit yang cerah. Angin yang lemah dan
burung-burung yang berterbangan dengan riangnya. Bahkan kemudian suara seruling
itu meninggi, melonjak seperti gelak tertawa seorang gadis yang sedang bercanda
dengan kekasih.
“Hem,” Pandan
Wangi menarik nafas dalam-dalam. Ia belum pernah merasakan betapa mesra
bercanda dengan kekasih. Tetapi ia pernah mendengar kisah tentang kasih. Kisah
Panji dan Kirana. Kisah Ratih dan Kama. Dan pernah dijumpainya pula kemesraan
di sekitarnya. Pandan Wangi memang menghadiri peralatan perkawinan
kawan-kawannya yang sebaya atau sedikit lebih tua daripadanya. Tetapi lagu itu
rasa-rasanya berceritera kepadanya. Lagu yang melukiskan kasih yang dalam.
Kidung tentang cinta. Pandan Wangi seakan-akan tersadar dari sebuah mimpi yang
asing, ketika tangannya menyentuh hulu pedangnya. Tiba-tiba ia berdesis,
“Persetan
dengan suara seruling itu. Kini Menoreh sedang diasapi oleh kemelutnya
pertentangan yang tajam antara Ayah dan Kakang Sidanti.”
Tiba-tiba
Pandan Wangi itu menengadahkan wajahnya. Ia tidak mau dihanyutkan oleh
angan-angan seorang gadis yang meningkat dewasa. Kini ia sedang menggenggam
tugas, bukan sebagai seorang gadis, tetapi sebagai seorang puteri Kepala Tanah
Perdikan Menoreh yang sedang bergolak. Selangkah demi selangkah Pandan Wangi
menjadi semakin dekat. Tanpa disadarinya, maka dadanya menjadi berdebar-debar.
Ia mengharap gembala itu berpaling. Tetapi agaknya ia begitu asyik dengan
serulingnya, sehingga sama sekali tidak menghiraukan keadaan di sekitarnya. Tanpa
sesadarnya pula, kaki Pandan Wangi menyentuh daun-daun kering yang bertebaran
di atas jalan sempit di pinggir padukuhan itu, melontarkan suara gemersik.
Tetapi gembala itu seakan-akan benar-benar sedang tenggelam dalam suara
serulingnya. Sejenak kemudian Pandan Wangi telah berdiri di belakangnya. Ia
yakin, bahwa gembala itu pasti sudah tahu kedatangannya. Tetapi gembala itu
sama sekali tidak melepaskan serulingnya. Bahkan matanya menjadi hampir
terpejam ketika suara serulingnya melonjak mengalun menyentuh hati. Terasa
perasaan aneh bergetar di dada Pandan Wangi. Dalam suasana yang tegang, ia
mendengar lagu yang memancarkan kedamaian hati seorang anak muda. Ya, gembala
itu adalah seorang anak muda yang aneh.
Wajah Pandan
Wangi serasa menjadi panas dan kemerah-merahan. Kini baru disadarinya, bahwa
gembala itu adalah seorang anak muda, sedang dirinya adalah seorang gadis. Tiba-tiba
Pandan Wangi menggeretakkan giginya.
“Aku tidak
peduli,” katanya di dalam hati, “aku harus melihat, apakah gembala itu tidak
mencurigakan?”
Pandan Wangi
itu kemudian berdiri tegak dengan kaki renggang. Tangannya bertolak pinggang.
Dengan tajamnya dipandanginya gembala yang masih asyik membunyikan serulingnya
itu. Lalu, tiba-tiba pula ia memanggil,
“Gupita.
Bukankah kau Gupita yang kemarin aku jumpai di jalan bersama
kambing-kambingmu.”
Gupita masih
meniup serulingnya beberapa lama. Kemudian memutus lagunya pada nada yang
merendah. Sesaat kemudian ia berpaling dan menganggukkan kepalanya dalam-dalam,
“Ya, aku
adalah Gupita yang kemarin kau jumpai.”
Ketika
terpandang mata gembala itu, terasa dada Pandan Wangi berdesir. Mata itu adalah
mata yang dilihatnya kemarin. Mata yang memancarkan kejujuran yang bodoh.
Tetapi kini Pandan Wangi menjadi ragu-ragu. Apakah benar, bahwa mata itu
memancarkan kejujuran yang dungu?
Sckali lagi
Pandang Wangi menggeretakkan giginya, Wajahnya menjadi tegang, dan nada
suaranya merendah datar,
“Apa kerjamu
di sini?”
Gupita
bergeser setapak. Kini ia duduk menghadap Pandan Wangi yang masih berdiri
bertolak pinggang. Dengan penuh keheranan, Gupita menjawab,
“Bukankah aku
seorang gembala? Kehadiranku di sini bersama kambing-kambingku adalah kenyataan
kerjaku kini.”
Dada Pandan
Wangi berdesir mendengar jawaban gembala itu. Sejenak ia terdiam. Terasa
jantungnya menjadi semakin cepat berdentangan. Namun dengan demikian, sejenak
ia berdiam diri. Ia tidak segera menemukan kata-kata untuk menyahut. Gupata
masih duduk di tanah. Karena Pandan Wangi berdiam diri, maka ia pun diam pula menunggu. Sekali-sekali
dilemparkannya pandangan matanya kepada para pengawal di mulut lorong agak jauh
daripadanya. Baru sejenak kemudian, Pandan Wangi dapat menguasai dirinya dan
berkata,
“Gupita. Aku
memang melihat bahwa kau sekarang sedang menggembalakan kambing-kambingmu.
Tetapi apakah kau tidak berbuat lain daripada menggembala?”
Gembala itu
menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya,
“Tidak.
Seperti kau lihat. Aku hanya menggembala saja dan duduk membunyikan
serulingku.”
Debar di dada
Pandan Wangi menjadi semakin cepat. Terasa memancarkan kelainan dengan
gembala-gembala yang lain, yang terasa sesuatu yang aneh di dalam hatinya.
Wajah gembala itu dikenalnya. Tetapi ia tidak tahu, apakah bentuk kelainan itu.
Sekali lagi Pandan Wangi terpaku diam. Nafasnya terasa semakin cepat mengalir,
ia merasa kehilangan kata-kata untuk menyatakan pikirannya. Namun sejenak
kemudian tiba-tiba dada Pandan Wangi itu seolah-olah meledak, setelah
ditahannya kuat-kuat. Pandan Wangi tidak tahu, apakah yang mendorongnya untuk
berbuat demikian. Tetapi ia merasa memerlukan cara untuk mengurangi pepat di
dalam dadanya. Karena itu maka tiba-tiba ia berkata lantang,
“Tidak! Aku
tidak percaya! Di dalam keadaan serupa ini, mustahil kalau kau hanya sekedar
menggembala saja sampai di tempat ini, justru di samping gardu peronda. Nah,
katakan, bahwa kau termasuk salah seorang petugas sandi dari Kakang Sidanti!”
Gembala itu
memandang wajah Pandan Wangi tanpa mengedipkan matanya. Tergagap ia menyahut,
“Tetapi,
tetapi, aku tidak kenal dengan Sidanti.”
“Bohong!”
bentak Pandan Wangi,
“Kau kira aku
dapat mempercayainya? Aku tidak dapat melupakan saat kita bertemu di tengah
jalan, ketika aku kembali dari Kakang Sidanti. Beberapa orang liar yang tak
dikenal berjalan menyusulku. Kau berada di tempat itu juga pada waktu itu.
Mustahil bahwa kau bukan tidak kehilangan kambing-kambingmu, atau bahkan
nyawamu, kalau kau salah seorang dari mereka. Aku tahu, bahwa waktu itu kau
sengaja menghambat perjalananku, supaya orang yang tidak aku kenal itu dapat
menangkapku.”
Gupita menjadi
semakin heran mendengar kata-kata Pandan Wangi yang mengalir seperti banjir
itu. Dipandanginya saja wajah gadis itu dengan mulut ternganga.
“Nah, apakah
kau masih akan ingkar?” bertanya Pandan Wangi.
Wajah gembala
itu menjadi tegang, sejenak kemudian menjadi pucat dan berubah lagi menjadi
kemerah-merahan.
“Jangan
ingkar!” Pandan Wangi membentak pula.
Kini gembala
itu menjadi gemetar. Tergagap ia mencoba Menjelaskan,
“Aku
benar-benar seorang gembala yang sedang menggembala kambing-kambingku di sini.
Aku tidak berbuat lain, dan aku sama sekali bukan petugas sandi dari Sidanti.”
“Coba katakan
kepadaku, Gupita,” berkata Pandan Wangi,
“kenapa kau
terlepas dari tangan orang-orang liar yang waktu itu mendatangi kau
sepeninggalku?”
Gupita tampak
menjadi semakin gugup,
“Aku tidak
tahu, kenapa mereka membiarkan aku. Mereka hanya bertanya, apa kerjaku di sana
waktu itu. Mereka bertanya, apakah aku petugas sandi dari Ki Argapati. Tetapi
aku menjawab, bahwa aku hanyalah seorang gembala. Lalu salah seorang dari
mereka menampar mukaku sehingga aku jatuh ke dalam parit. Seterusnya, mereka
pergi. Dan bukankah aku bukan petugas sandi dari Ki Argapati dan bukan pula
dari Sidanti?”
“Bohong!”
potong Pandan Wangi. Namun terasa sesuatu yang aneh semakin mencengkam
jantungnya. Gembala itu benar-benar memiliki kelainan dari gembala-gembala di
Tanah Perdikan Menoreh. Dan kelainan itu telah mendebarkan jantung Pandan Wangi
semakin cepat. Tatapan matanya seolah-olah telah mengguncang seluruh isi
dadanya.
Tetapi Pandan
Wangi mencoba menolak pengaruh yang tidak dikenalnya itu. Sambil menggeretakkan
giginya, ia menunjuk ke arah kejauhan. Sejenak kemudian ia menggeram,
“Pergi! Pergi
kau dari tempat ini supaya kau tidak menjegal. Bawalah kambing-kambingmu
sejauh-jauhnya dari induk padukuhan Menoreh, sebelum kami bertindak atasmu.
Menurut penilaian kami, kau pantas dicurigai dalam keadaan serupa ini. Tidak
ada seorang gembala pun yang berani menggembalakan kambing-kambingnya di tempat
terbuka seperti kau. Mereka hanya mencoba menggembala di pategalan-pategalan
yang berada di ujung-ujung padesan.”
“Tetapi,
tetapi,” suara gembala itu semakin tergagap,
“bukankah aku
juga menggembala di ujung padesan. Aku berani menggembala di sekitar tempat
ini, justru aku tahu, bahwa tempat ini pasti aman karena dekat dengan gardu
peronda.”
“Tetapi kau
kemarin menggembala di seberang bulak ini.”
“Pengalaman
yang kemarinlah yang memaksa aku untuk menggembala di sini.”
“Bohong!
Bohong!” Pandan Wangi tiba-tiba berteriak. Tangannya masih menunjuk ke kejauhan
dan mulutnya berkata,
“Pergi, cepat,
selagi kau masih mendapat kesempatan. Apabila kesempatan itu tidak ada lagi,
maka sikap kami akan sangat berlainan. Mungkin kau dapat kami tangkap dan kami
bawa kepada pimpinan pengawal tanah ini.”
“Jangan,
jangan,” gembala itu kini berjongkok dan kemudian berdiri pada lututnya,
“aku jangan
ditangkap. Aku akan pulang kepada ayahku yang sudah tua.”
“Kalau kau
akan pulang, cepat, pulanglah sekarang.”
“Baik. Baik.
Aku akan pulang sekarang,” jawab gembala itu sambil tertatih-tatih berdiri.
Selangkah-selangkah ia berjalan meninggalkan Pandan Wangi, menghampiri
kambingnya yang sedang diikati. Namun tiba-tiba langkahnya tertegun, karena
Pandan Wangi memanggilnya. Ketika ia berpaling, dilihatnya Pandan Wangi sedang
berjongkok memungut serulingnya yang agaknya terjatuh.
Gupita terpaku
sejenak di tempatnya. Sejak pertemuannya kemarin, ia masih belum sempat memandangi
wajah gadis itu, seperti saat ia berjongkok mengambil serulingnya. Wajah yang
tegang itu tiba-tiba menjadi tenang. Ketika gadis itu mengangkat wajahnya,
memandanginya dengan seruling di tangannya, tampaklah betapa wajah itu memancar
seperti bintang pagi. Gupita menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia menyadari
dirinya, maka tiba-tiba ia pun
berjongkok sambil berkata,
“Itu
serulingku.”
Pandan Wangi
mengangguk perlahan. Ia tidak tahu, pengaruh apakah yang telah mencengkamnya.
Tiba-tiba ia tidak dapat membentak lagi seakan-akan terpesona oleh seruling
yang telah didengar, betapa merdu suaranya.
“Marilah,”
desis Pandan Wangi, kemudian sambil mengacungkan seruling itu.
Gupita menjadi
ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia bergeser maju sambil menjawab,
“Terima
kasih.”
Ketika Gupita
menerima serulingnya, terasa tangan Pandan Wangi itu bergelar. Dan seolah-olah
getar itu telah merambat sepanjang tangannya menyentuh dadanya.
“Terima kasih,”
sekali lagi Gupita berdesis,
“sekarang
perkenankanlah aku pergi.”
Pandan Wangi
mengangguk kecil. Tetapi tanpa sesadarnya, ia berkata,
“Kau pandai
meniup seruling.”
“Aku belajar
sejak kecil. Sejak aku dapat membedakan tinggi rendah nada.”
Pandan Wangi
mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak berkata sesuatu.
“Sekarang aku
akan pulang,” berkata Gupita kemudian,
“kalau kalian
berubah pendirian, maka aku tidak akan mendapat kesempatan lagi untuk pergi
meninggalkan tempat ini.”
Sekali lagi
Pandan Wangi mengangguk. Tetapi ia masih saja berdiam diri.
“Bukankah aku
harus pergi?”
Terasa dada
Pandan Wangi menjadi berdebar-debar. Sejenak ia terpukau dalam kebingungan.
Sesaat ia seakan-akan telah kehilangan akal. Namun tiba-tiba kesadarannya
seakan-akan telah melonjak kembali di dalam dadanya. Tiba-tiba pula ia
menggeretakkan gigi. Dengan tangkasnya ia meloncat berdiri sambil membentak,
“Pergi. Pergi.
Cepat. Kau membuat aku muak dengan solah tingkahmu yang bodoh itu.”
Gupita
terkejut, melihat sikap yang tiba-tiba saja berubah. Tetapi sejenak kemudian ia
menyadari keadaannya. Sekali ia membungkukkan kepalanya dalam-dalam sambil
bergumam,
“Terima kasih
atas kesempatan ini. Aku akan pulang kepada ayahku, dan mengatakan bahwa aku
telah bertemu dengan puteri Kepala Tanah Perdikan Menoreh, yang bernama Pandan
Wangi. Aku telah diberinya kesempatan untuk meninggalkan tempat ini, meskipun
dengan tidak sengaja aku telah memasuki daerah terlarang.”
“Jangan banyak
bicara. Cepat pergi. Kau terlampau memuakkan bagiku. Setiap gembala yang malas
seperti kau, tidak akan banyak berarti bagi tanah ini.”
Gupita masih
ingin menjawab. Tetapi Pandan Wangi telah mendahului membentaknya,
“Jangan bicara
lagi. Pergi sebelum aku memanggil para pengawal untuk menangkapmu.”
Gupita
mengerutkan keningnya. Sekali lagi ia membungkukkan kepalanya, kemudian
melangkah surut. Dengan ragu-ragu ia memutar tubuhnya dan berjalan menghampiri
kambingnya yang sedang diikatnya. Dengan tergesa-gesa ia melepas tali yang
mengikat kambing itu pada sebatang pohon perdu. Kemudian dilecutkannya
cambuknya dan digiringnya kambing-kambing itu pergi. Tetapi belum lagi sepuluh
langkah, maka diletakkan ujung serulingnya di mulutnya. Sejenak kemudian
terdengarlah sebuah lagu yang melengking tinggi, seperti jerit seorang gadis
yang kegirangan menyambut kekasih dari medan perang. Kemudian suara seruling
itu berderai seperti gelak tertawa yang renyah.
“Diam. Diam
kau!” teriak Pandan Wangi tanpa sebab.
Suara seruling
itu membuat jantungnya seakan-akan berhenti bergetar. Dengan serta merta
dipungutnya sebutir batu dan dilemparkannya kuat-kuat ke arah Gupita yang masih
meniup serulingnya sambil melangkah menjauh. Tetapi suara serulingnya itu
segera terputus, ketika sebuah batu jatuh tepat di sampingnya. Ketika ia
berpaling dilihatnya Pandan Wangi berdiri tegak sambil bertolak pinggang.
Tetapi Gupita tidak berani lagi berkata sepatah kata pun. Bahkan kemudian
langkahnya pun dipercepat meninggalkan tempat itu. Namun dikejauhan sekali lagi
ia berpaling. Ketika ia masih melihat Pandan Wangi berdiri di tempatnya, maka
tiba-tiba diangkatnya cambuknya tinggi-tinggi. Cambuk itu berputar di udara
seperti baling-baling. Sejenak kemudian terdengarlah cambuk itu seolah-olah
meledak di udara. Letupan cambuk itu serasa memecahkan dada Pandan Wangi.
Semula ia telah dicengkam keheranan, bahwa gembala itu dapat meledakkan cambuk
sekeras itu. Tetapi kemudian, sebagai seorang yang memiliki ilmu yang cukup,
segera Pandan Wangi menyadari, bahwa letupan cambuk itu bukan sekedar letupan
biasa. Terasa sebuah tenaga yang terlampau kuat telah membantu menggerakkan
tangannya dan meledakkan cambuk itu. Terasa darahnya menjadi semakin cepat
mengalir. Kini baru disadarinya, bahwa sorot mata yang lain pada gembala itu,
sama sekali bukan sorot mata yang jujur tetapi dungu. Kini baru disadarinya,
bahwa pada sorot mata itu memancar sebuah kekuatan yang luar biasa. Sejenak
Pandan Wangi terpaku di tempatnya. Ia merasa bahwa bukan gembala itulah yang
dungu, tetapi betapa bodohnya dirinya sendiri. Tetapi gembala itu sudah jauh.
Gembala itu sudah tidak dilihatnya lagi. Yang kemudaan merambat di dadanya
adalah dugaan yang kuat, bahwa sebenarnyalah gembala itu seorang petugas sandi
yang dikirim oleh kakaknya, Sidanti. Berbareng dengan itu, maka segera
ingatannya terbang kepada ayahnya. Malam nanti, saat purnama naik. Ayahnya akan
menjumpai Ki Tambak Wedi di bawah Pucang Kembar. Dada Pandan Wangi menjadi
semakin berdebar-debar. Menoreh benar-benar sedang disaput oleh asap yang
tebal. Gelap. Masa depan dari tanah perdikan ini sama sekali tidak dapat
diduga-duga. Mungkin Menoreh akan tetap tegak berdiri setelah mengalami
goncangan yang dahsyat, tetapi mungkin Menoreh akan menjadi abu, terbakar oleh
api perselisihan di antara mereka sendiri.
Tetapi Pandan
Wangi tidak dapat berbuat sesuatu. Semuanya telah meluncur menuju ke puncak
peristiwa ini. Malam nanti, saat purnama naik. Ki Gede Menoreh akan berhadapan
dengan Ki Tambak Wedi. Baru setelah itu Ki Gede Menoreh akan menentukan sikap.
Tetapi bagaimana kalau ia sudah tidak mampu berbuat apa-apa lagi? Apalagi
melakukan perlawanan’. Bahkan menyaksikan apa yang terjadi kemudian pun sudah tidak mungkin lagi. Dalam
kegelisahan itu, Pandan Wangi mendengar suara langkah di belakangnya. Ketika ia
berpaling dilihatnya seseorang mendekatinya. Seorang pemimpin pengawal yang
tadi berada di rumahnya berbicara dengan ayahnya.
“Pandan
Wangi,” katanya, “Ki Gede Menoreh memanggilmu. Kau harus pulang sekarang.”
“Kenapa”?
Orang itu
menjadi heran. Keadaan sudah sedemikian panasnya dan Pandan Wangi masih
bertanya mengapa. Namun ia menjawab juga,
“Ayahmu ingin
berbicara dengan kau.”
Pandan Wangi
mengerutkan keningnya. Kemudian dianggukkannya kepalanya sambil berkata,
“Baiklah. Aku
akan segera pulang.”
Dengan langkah
yang malas, Pandan Wangi meninggalkan tempat itu. Sekali-sekali ia masih
berpaling ke arah Gupita menghilang di balik dedaunan. Aneh sekali kesannya
tentang gembala itu. Ia menyangka, bahwa gembala itu seorang petugas sandi dari
kakaknya. Mungkin ia termasuk salah seorang dari orang-orang liar yang kini
berada di Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi meskipun demikian, perasaannya mendapat
sentuhan yang lain dari orang-orang liar yang lelah dijumpainya, dan bahkan
mencegat perjalanannya. Kesannya kepada Gupita mempunyai corak tersendiri.
Sorot matanya dan tingkah lakunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar