Jilid 042 Halaman 1


“SILAHKAN. Semua serba darurat.”
“Demikianlah agaknya, Ki Gede. Di peperangan semuanya harus menyesuaikan diri.”
Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian,
“Ini adalah anakku. Karena itu, aku tidak menyuruhnya pergi. Dalam keadaan serupa ini, lebih banyak yang diketahuinya, akan lebih baik baginya dan bagi Tanah ini.”
Gembala tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Aku kira, ia perlu mengetahui pula tentang Kiai yang yang sampai saat ini masih menjadi teka-teki bagi segala pihak.”
Gembala tua itu mengerutkan keningnya.
“Kenapa menjadi teka-teki, Ki Gede? Aku adalah seperti ini. Apalagi yang harus ditebak?”
“Kiai,” berkata Ki Argapati,
“aku memang sudah tidak dapat mengenali lagi, apakah Kiai adalah orang yang pernah aku lihat di masa muda. Benar-benar terasa asing bagiku. Terhadap Paguhan, aku tidak akan dapat lupa meskipun seandainya beberapa puluh tahun aku tidak bertemu. Tetapi terhadap Kiai, aku benar-benar tidak dapat mengatakan, apakah aku pernah bertemu atau tidak.”
Gembala tua itu mengerutkan keningnya. Terkilas sesuatu di dalam tatapan matanya. Namun kemudian ia tersenyum,
“Aku kira kita memang belum pernah bertemu, Ki Gede.”
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Ia mencoba mengenali ciri-ciri yang dapat mengingatkannya kepada seorang anak muda yang pernah dikenalnya dahulu, meskipun tidak begitu rapat. Namun Ki Gede itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Tidak ada ciri yang khusus, dan perkenalan itu  pun hanya sepintas lalu saja. Yang dihadapinya kini bahkan seolah-olah seorang tua yang sejak pada masa mudanya juga sudah setua itu. Tetapi mustahil.
“Kiai,” berkata Ki Argapati,
“tetapi Betapapun juga, aku masih mempunyai jembatan yang mungkin akan dapat mencapai suatu seberang yang jauh telah kita tinggalkan. Aku mengenal seseorang yang luar biasa. Seorang yang bersenjata cambuk, dan yang senang sekali berteka-teki tentang dirinya. Tetapi sudah tentu bukan kau, karena pada saat itu pun umurnya sudah setua kita sekarang.”
Gembala tua itu tidak segera menjawab.
“Apakah kau kenal seseorang yang bernama Empu Windujati, seorang sakti yang selalu membawa sehelai cambuk ke mana pun ia pergi? Atau mungkin kau mengenal namanya yang lain, Pangeran Windukusuma?” Ki Argapati berhenti sejenak, kemudian,
“Dan mungkin kau lebih mengenal muridnya, seorang anak muda, yang bernama Jaka Warih?”

Gembala tua itu sejenak terdiam. Keningnya yang telah berkerut menjadi semakin berkerut-merut. Ditatapnya wajah Ki Argapati sejenak. Namun sejenak kemudian ia menggelengkan kepalanya sambil berkata,
“Sayang. Aku tidak mengenal mereka semuanya. Bahkan baru pertama kali aku mendengar nama Pangeran Windukusuma. Aku banyak mengenal nama pangeran-pangeran dari kawan-kawanku yang sering pergi ke Demak dan Pajang. Bahkan sisa-sisa terakhir dari keturunan raja Majapahit. Namun aku tidak pernah menjumpai nama itu. Apalagi muridnya yang bernama Jaka Warih.”
Argapati menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak berhasil menangkap kesan pada wajah gembala tua itu.
“Baiklah, kalau Kiai tidak mengenal mereka,” suara Ki Argapati menurun.
“Apalagi Kiai, sedangkan seandainya aku bertemu dengan Empu Windujati saat ini, pasti ia juga mengatakan, bahwa ia tidak mengenal seseorang yang bernama Empu Windujati, atau yang pernah bergelar Pangeran Windukusuma.”
Gembala tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan sekali lagi Argapati tidak berhasil menangkap kesan apa  pun pada wajah itu.
“Tetapi,” berkata Argapati kemudian,
“semuanya itu tidak penting bagiku. Yang penting, bahwa Kiai bersedia menolongku.”
“Tentu, Ki Gede, dan bukankah obat yang aku kirimkan kemarin masih dapat dipergunakan?”
“Obat Kiai lah yang membuat aku masih dapat bertahan sampai saat ini. Namun setelah orangnya hadir di sini, maka aku kira, aku akan mendapat pengobatan yang lebih baik, sehingga apabila Ki Tambak Wedi datang di setiap saat, malam nanti barangkali, aku sudah dapat menyambutnya.”
“Ah, tidak mungkin, Ki Gede. Apabila benar Ki Tambak Wedi datang malam nanti, maka Ki Gede pasti belum akan dapat turun ke medan.”
“Apakah aku harus membiarkan Ki Tambak Wedi membuat padukuhan tempat pertahanan kami terakhir ini menjadi karang abang?”
Gembala tua itu tidak dapat segera menjawab, sehingga karena itu, ia berdiam diri sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Nah, Kiai,” berkata Ki Argapati,
“kalau Kiai sudah beristirahat, aku ingin mempersilahkan Kiai berbuat sesuatu atas lukaku ini. Mungkin setelah Kiai melihat, maka Kiai akan menemukan obat yang jauh lebih baik dari obat yang telah aku terima itu.”
Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya gembala itu berdesis,
“Baiklah. Aku akan mencoba mengobatinya dengan baik, sejauh-jauh kemampuanku. Namun segalanya terserah atas kemurahan Tuhan Yang Maha Asih.” Kemudian kepada Pandan Wangi, ia berkata,
“Aku memerlukan air hangat, Ngger.”
“O,” Pandan Wangi seakan-akan terbangun dari tidurnya. Dengan serta-merta ia  pun segera melangkah meninggalkan ruangan itu untuk mengambil air hangat di belakang. Sejenak kemudian, gembala tua itu mengamat-amati luka Ki Argapati. Kemudian desisnya,
“Obatku ternyata tepat untuk mengobati luka ini. Tetapi barangkali aku dapat mempercepat usaha penyembuhannya. Tetapi maaf, Ki Gede, bahwa untuk sesaat luka itu akan terasa sangat sakit.”
“Apa pun,” jawab Ki Argapati,
“aku ingin segera sembuh, bukankah obat yang Kiai berikan kemarin pun mula-mula terasa sakit sekali, baru kemudian obat itu mulai bekerja?”
“Tetapi yang baru ini terlebih-lebih lagi.”
“Biarlah,” jawab Ki Argapati.

Sebentar kemudian, gembala tua itu telah mulai membersihkan luka itu sebelum dicuci dengan air hangat, perlahan-lahan sekali, dengan kain pembalutnya. Sementara itu Ki Argapati sama sekali tidak memperhatikan lukanya lagi. Yang menarik perhatiannya adalah tangan gembala tua itu. Dan tiba-tiba saja gembala itu terkejut, ketika tangannya serasa dicengkam oleh Ki Argapati.
“Kiai,” bertanya Ki Argapati,
“apakah artinya gambar yang Kiai pahatkan di pergelangan tangan ini?”
Sesaat wajah orang tua itu menjadi tegang. Namun kemudian ia tersenyum sambil menjawab,
“Apakah Ki Gede tertarik pada gambar itu?”
“Ya.”
“Aku menusuknya dengan duri ikan. Kemudian menggosoknya dengan langes dan minyak, selagi lukanya masih berdarah. Dicampur dengan sedikit reramuan, supaya bekasnya tidak segera hilang.” Orang tua itu berhenti sejenak.
“Tetapi,” katanya kemudian,
“itu adalah kesenangan anak-anak muda. Aku sekarang menyesal. Tetapi untuk menghapusnya, aku harus melukainya lagi. Dan aku sekarang sama sekali tidak berani melihat tanganku sendiri berdarah.”
“Bukan itu, Kiai,” jawab Ki Argapati,
“bukan cara membuatnya. Tetapi arti daripada gambar itu. Bukankah Kiai melukiskan sehelai cambuk di pergelangan tangan itu, dan di ujung cambuk itu terdapat sebuah cakra kecil yang bergerigi sembilan?”
Sekali lagi wajah orang tua itu menegang. Namun kemudian sekali lagi ia tersenyum.
“Ya. Sebuah cambuk dan sebuah cakra bergerigi sembilan. Ki Gede terlampau teliti, sehingga dapat menghitung gerigi pada gambar yang sedemikian kecilnya.”
“Aku tidak menghitung gerigi pada gambar di tanganmu, Kiai.”
“Lalu darimana Ki Gede tahu, bahwa cakra itu bergerigi sembilan?”
“Ya, cakra itu bergerigi sembilan. Sepuluh dengan tangkai yang terikat pada ujung cambuk. Bukankah begitu? Meskipun di ujung cambuk kalian sama sekali tidak pernah terikat sebuah cakra serupa itu.”
Orang tua itu tidak segera menjawab.
“Kiai,” berkata Ki Argapati kemudian sambil melepaskan tangan orang tua itu,
“gambar itu adalah ciri dari perguruan Empu Windujati. Aku pernah melihat gambar serupa itu, tetapi agak lebih besar, pada secarik panji-panji yang aku ketemukan di dalam lingkungan perguruan Empu Windujati. Aku mengenal dua orang muridnya, meskipun hanya sekilas. Hanya muridnya yang terpercaya sajalah yang diperkenankan membuat gambar itu di pergelangan tangannya. Dan gambar itu mempergunakan pola tertentu, bukan sekedar dicocok dengan duri ikan.”
Gembala tua itu tidak segera menjawab. Sejenak ia menatap Ki Argapati dengan tajamnya. Namun sejenak kemudian ia menggelengkan kepalanya. Dan sekali lagi orang tua itu tersenyum.
“Aku tidak mengerti, Ki Gede. Aku sama sekali tidak mengerti tentang panji-panji itu dan tentang perguruan Empu Windujati.”
“Mungkin,” berkata Ki Argapati,
“tetapi apakah bekas di tangan Kiai itu benar-benar bekas duri ikan?” Ki Argapati menggelengkan kepalanya sambil berkata,
“Bukan, Kiai. Itu sama sekali bukan bekas cocokan duri ikan, tetapi gambar itu adalah bekas luka bakar. Bukankah demikian?”
Namun gembala itu masih tetap menggeleng sambil tersenyum,
“Ki Gede ternyata salah menilai.”
“Baiklah, baiklah,” desis Ki Gede kemudian.
“Sekarang, bagaimana dengan lukaku?”
“Aku akan membersihkannya, aku menunggu air hangat.”

Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. tetapi ia sudah tidak bertanya lagi tentang diri gembala tua itu. Sesaat kemudian, Pandan Wangi memasuki ruangan itu dengan membawa air hangat dalam sebuah mangkuk yang besar.
“Terima kasih, Ngger,” berkata gembala tua itu, lalu.
“Seterusnya apakah Angger akan menunggui ayah atau tidak? Kalau sekira Angger tahan melihat luka yang akan aku obati ini, maka tidak ada keberatannya Angger menungguinya. Tetapi aku kira lebih baik Angger berada di luar.”
Sejenak Pandan Wangi terdiam. Namun kemudian ia menggelengkan kepalanya,
“Aku akan menunggui ayah, Kiai.”
Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya,
“Baiklah. Apabila Angger memang berkeinginan demikian.”
Gembala tua itu  pun segera membersihkan luka Ki Argapati yang menjadi kambuh kembali, setelah semalam ia memaksa dirinya menemui Ki Tambak Wedi.
Dengan kemampuan yang ada padanya, gembala tua itu kemudian mencoba mengobati luka itu dengan obat yang lebih tajam lagi. Ia berani mempergunakan obat itu, karena ia sendirilah yang menungguinya, sehingga akibat yang tidak dikehendaki akan segera dapat di atasinya dengan ramuan-ramuan penawar yang lain.
“Ki Gede,” berkata gembala itu,
“untuk mengurangi rasa sakit, maka aku persilahkan Ki Gede minum butiran reramuan ini. Dengan demikian Ki Gede akan kehilangan sebagian dari kesadaran Ki Gede.”
“Aku percaya kepadamu, Kiai. Apa  pun yang kau lakukan, aku akan menurut.”
Gembala tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian diserahkannya sebutir reramuan obat yang terbungkus dengan asam untuk ditelannya.
Setelah menelan obat itu, maka terasa seakan-akan ia diserang oleh perasaan kantuk yang luar biasa. Bahkan kesadarannya  pun semakin lama seakan-akan menjadi semakin kabur, meskipun ia masih tetap melihat gembala tua itu kini berdiri di samping pembaringannya, dan Pandan Wangi yang memperhatikannya dengan cemas. Luka di dada Ki Gede Menoreh adalah luka yang sangat berbahaya, karena luka itu ditimbulkan oleh ujung senjata Ki Tambak Wedi. Itulah sebabnya, maka gembala tua itu harus bekerja dengan sungguh-sungguh untuk mengobatinya. Meskipun Ki Argapati telah kehilangan sebagian dari kesadarannya, namun ketika lukanya itu tersentuh, ia masih menggeliat sambil menyeringai. Apalagi setelah luka itu menjadi bersih dan sentuhan pertama obatnya yang baru. Perasaan sakit yang luar biasa telah menyengat dada itu. Seterusnya dada Ki Argapati itu serasa dibakar oleh api yang kemudian menjilat seluruh tubuhnya. Pandan Wangi yang melihat ayahnya berjuang melawan rasa sakit itu pun ternyata tidak dapat bertahan lebih lama. Tiba-tiba ia berlari ke sudut ruangan, menutup wajahnya dengan kedua tangannya yang basah oleh air matanya. Tetapi gadis yang membawa pedang rangkap itu berusaha untuk tidak terisak.

Sementara itu, Ki Tambak Wedi sedang berbincang dengan para pemimpin pasukannya. Ki Peda Sura, yang telah menjadi semakin baik, karena rawatan yang tekun oleh Ki Wasi dan Ki Muni, telah ikut pula di dalam pertemuan itu.
“Apakah kita akan menunggu, sehingga pasukan Argapati siap menyambut kita?” bertanya Peda Sura.
“Tentu tidak,” jawab Ki Tambak Wedi,
“tetapi kita juga tidak dapat bergerak hari ini. Pasukan Argapati pasti masih dalam kesiagaan penuh.”
“Besok,” potong Sidanti.
“Mereka pasti menyangka, bahwa kita akan datang di hari yang sudah kita tentukan, setelah di hari pertama kita lewatkan tanpa berbuat sesuatu.”
“Ya. Begitulah,” sahut Argajaya.
“Besok kita bakar padukuhan itu seluruhnya,” geram Ki Muni.
Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya, tetapi ia tidak menyahut. Yang kemudian bertanya adalah Sidanti,
“Kita akan bergerak di siang hari atau di malam hari, Guru?”
“Di siang hari, orang-orang yang bertengger di belakang pring ori itu akan mendapat kesempatan terlampau banyak untuk membidik kita dengan pelempar lembing. Tetapi di malam hari, semua akan menjadi kabur, sehingga mereka akan melemparkan lembing-lembing mereka tanpa arah yang diperhitungkan. Kita akan berlindung di balik perisai-perisai yang berwarna gelap.”
Sidanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Baginya, malam hari pasti akan lebih baik, sehingga ia tidak akan dapat melihat wajah-wajah yang sebagian terbesar pasti sudah dikenalnya, apalagi wajah adiknya, Pandan Wangi. Bagaimanapun juga, Pandan Wangi adalah seseorang yang paling dekat dengannya di masa kanak-kanak, dan gadis itu telah dilahirkan pula oleh ibu yang sama dengan dirinya sendiri.
Maka keputusan pun kemudian jatuh. Pasukan seluruhnya harus siap untuk merebut kedudukan terakhir dari Ki Argapati. Kalau kedudukan itu dapat mereka rebut, meskipun orang-orang terpenting Menoreh masih dapat melepaskan diri, namun perlawanan mereka sudah tidak akan berarti apa-apa lagi. Dengan keputusan itu, maka seluruh pasukan Ki Tambak Wedi menjadi sibuk mempersiapkan diri. Mereka benar-benar berhasrat untuk memasuki pertahanan terakhir itu. Karena itu, mereka  pun harus menyesuaikan perlengkapan mereka dengan rencana itu. Mereka akan menerobos masuk regol yang dibuat dengan tergesa-gesa oleh orang-orang Menoreh dalam hujan panah dan lembing. Bahkan batu-batu.
“Sesudah perang ini selesai, Menoreh akan mengalami babak baru,” desis salah seorang anak muda yang berpihak kepada Sidanti.
“Kita akan lebih banyak mendapat perhatian, sesuai dengan kepentingan kita. Sidanti sudah tentu tidak akan berbuat sekaku ayahnya, yang melarang apa saja yang kami senangi.”
Kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Menoreh harus menjadi jauh lebih baik. Orang-orang yang selama ini hanya dapat berbicara tanpa berbuat sesuatu harus disingkirkan.”
“Dan kita akan segera melakukannya.”
Demikianlah, maka setiap orang di dalam pasukan itu menjadi sibuk. Mereka mempersiapkan senjata-senjata mereka, dan terlebih-lebih lagi mempersiapkan hati mereka.

Dalam pada itu, Ki Gede Menoreh masih berjuang mengatasi perasaan sakit yang membakar dadanya. Meskipun kesadarannya sudah disusut, namun perasaan sakit itu hampir tidak tertahankan. Meskipun demikian, Ki Argapati tidak mengeluh. Yang terdengar hanyalah desis dan desah-desah yang pendek. Sambil mengatupkan giginya rapat-rapat, Ki Argapati memejamkan matanya. Tetapi ia percaya, bahwa orang tua itu benar-benar akan berhasil menyembuhkan luka-lukanya, meskipun tidak seketika. Ketika rasa sakit itu telah sampai ke puncaknya, maka terasa seakan-akan seluruh tubuh Ki Argapati menjadi hangus. Dari ujung jari kaki sampai ke ubun-ubunnya. Namun setelah itu, maka perasaan sakit itu dengan cepatnya menurun. Serasa arus yang sejuk mengalir di sepanjang pembuluh darahnya. Semakin lama semakin sejuk, meskipun pada suatu saat ia masih harus tetap menahankan rasa sakit, tetapi sama sekali sudah jauh berkurang. Gembala tua itu pun mengamati perkembangan keadaan Ki Argapati dengan teliti. Setiap perubahan diikutinya dengan seksama, sehingga akhirnya, ia menarik nafas dalam-dalam. Sambil menganggukkan kepalanya, ia menaburkan sejenis bubuk obat-obatan yang lain ke atas luka itu. Tetapi sama sekali sudah tidak berpengaruh lagi atas rasa sakit pada luka itu. Namun yang terasa kemudian adalah perasaan lelah yang bukan buatan. Bahkan kemudian seakan-akan kesadarannya menjadi semakin kabur, sehingga pada suatu saat, Ki Argapati itu memejamkan matanya. Nafasnya berjalan semakin teratur, sedang peluhnya seolah-olah terperas dari seluruh tubuhnya.
“Angger Pandan Wangi,” berkata orang tua itu,
“Ki Gede kini telah teratur, setelah ia berjuang sekuat-kuat tenaganya menahankan rasa sakit. Tetapi keadaannya kian menjadi baik. Aku harap, ia akan segera dapat bangkit dari pembaringannya, tanpa membuat lukanya kambuh kembali. Nanti pada saatnya, Ki Argapati akan muntah-muntah. Tetapi itu tidak berbahaya. Justru dengan demikian, racun yang ada di dalam dirinya hanyut keluar. Baik racun yang ditimbulkan oleh luka-lukanya yang tersentuh ujung senjata Ki Tambak Wedi, maupun racun yang timbul karena obat-obatku.”
Pandan Wangi yang masih berdiri di sudut kamar memandang orang tua itu dengan cemasnya. Katanya,
“Tetapi bukankah Kiai tidak akan meninggalkan kami?”
“O, tidak. Tidak Ngger. Aku akan tinggal di padukuhan ini. Aku telah menyatakan diri untuk membantu Ki Argapati menurut bidangku.”
“Baiklah, Kiai. Aku akan menunggui ayah di sini.”
“Silahkan, Ngger. Aku akan berada di pendapa.”
Setelah membersihkan tangannya, maka orang tua itu  pun keluar dari bilik Ki Argapati, pergi ke pendapa, dan duduk bersama kedua muridnya dan Ki Samekta. Ki Argapati membuka matanya ketika matahari telah menjadi sangat rendah. Seperti kata gembala tua, Ki Argapati itu pun kemudian muntah-muntah seakan-akan isi perutnya terkuras keluar. Namun Pandan Wangi yang selalu menungguinya memberitahukan kepadanya, bahwa demikianlah yang seharusnya terjadi menurut pesan orang tua yang mengobatinya.
“Di manakah mereka sekarang?” bertanya Ki Argapati.
“Mereka berada di luar, Ayah. Di pendapa. Tetapi mungkin kini mereka sedang mandi, atau berjalan-jalan bersama Paman Samekta, atau apa pun. Karena mereka agaknya sudah menjadi jemu duduk saja tanpa berbuat sesuatu.”
Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya,
“Panggil Samekta. Aku akan berbicara dengannya.”
Sejenak kemudian, Pandan Wangi  pun segera pergi keluar. Kepada seorang pengawal diperintahkannya untuk mencari Ki Samekta, karena Ki Argapati memerlukannya.
Sejenak kemudian, Samekta telah menghadap. Bahkan kali ini bersama Wrahasta.
“Bagaimana keadaan Ki Gede?” bertanya Samekta.
“Sudah menjadi lebih baik,” jawab Ki Argapati, “tetapi bagaimana dengan pertahananmu?”
“Tidak mengecewakan, Ki Gede. Kami sudah mempersiapkan semua peralatan. Seandainya Ki Tambak Wedi akan datang malam nanti, maka kami sudah siap menyambutnya.”
Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Tidak ada yang perlu dicemaskan, Ki Gede,” sambung Wrahasta pula.
“Bagaimana dengan ketiga orang-orang itu?” tiba-tiba Ki Argapati bertanya.
“Mereka berada di dalam pondok yang telah aku sediakan, Ki Gede. Setiap saat mereka dapat dipanggil, apabila Ki Gede memerlukannya.”
Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia berdesis,
“Perlakukan mereka dengan baik. Seandainya mereka benar-benar seorang gembala tua dengan kedua anaknya, maka mereka bukan gembala kebanyakan.”
Ki Samekta dan Wrahasta saling berpandangan sejenak. Kemudian dengan terbata-bata Samekta bertanya,
“Siapakah sebenarnya mereka, Ki Gede? Agaknya mereka memang menyimpan suatu teka-teki tentang diri mereka sendiri.”
Ki Argapati menggelengkan kepalanya. Ia sendiri ingin memecahkan teka-teki itu. Tetapi ia belum menemukan suatu keyakinan. Ketika ia melihat gambar di pergelangan tangan orang tua itu, ia mengharap, bahwa ia tidak akan dapat mengelak lagi. Tetapi ternyata orang tua itu masih tetap menggelengkan kepalanya. Namun meskipun demikian, ia condong pada anggapan sebenarnyalah laki-laki tua itu adalah salah seorang murid Empu Windujati, yang pernah ditemuinya di masa mudanya. Tetapi sudah terlampau lama, dan pertemuan itu benar-benar hanya sekilas saja. Ia hanya berkunjung ke perguruan Windujati, tidak lebih dari panjangnya senja untuk menyampaikan pesan gurunya kepada Empu Windujati, yang sebenarnya bernama Pangeran Windukusuma.
“Apakah Ki Gede dapat mengatakannya kepada kami?” bertanya Samekta itu kemudian, sehingga Ki Gede seolah-olah terbangun karenanya.
“Sayang, Samekta,” jawab Ki Argapati,
“aku sudah mencoba. Aku menyingkirkan orang-orang di dalam bilikku, termasuk anak-anak gembala tua itu sendiri untuk mendengar pengakuannya, bahkan pada saat Pandan Wangi keluar dari bilik itu pula, namun orang tua itu tidak mengatakan apa-apa tentang dirinya.”
“Lalu apakah kesimpulan Ki Gede tentang mereka?”
“Diakui atau tidak diakui, mereka adalah orang-orang yang mempunyai ilmu yang cukup matang, terutama gembala tua itu menurut pengamatanku. Aku mengharap, ia tidak sekedar mengobati lukaku, tetapi ia bersedia untuk bertempur di pihak kita.”
Wrahasta mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak mengucapkan sepatah kata pun.
“Apakah Ki Gede sudah mengatakannya?”
Ki Gede menggelengkan kepalanya,
“Belum. Aku belum mengatakannya dengan tegas. Tetapi aku kira mereka telah menangkap maksudku.”
Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan ia mendengar Ki Gede berkata,
“Panggil mereka sebelum senja menjadi gelap. Kita tidak dapat memastikan, apa yang akan terjadi malam ini. Aku kira Ki Tambak Wedi tidak akan terlampau bodoh untuk menunggu sampai waktu yang dikatakannya. Tetapi aku kira juga belum malam ini. Meskipun demikian, semua persiapan harus dimatangkan. Supaya kita tidak terjebak oleh perhitungan kita sendiri yang salah.”
“Baik, Ki Gede.”
“Aku sendiri telah merasa jauh lebih baik. Dalam keadaan yang memaksa, aku sudah dapat menghadapi Ki Tambak Wedi setelah aku mendapat pengobatan khusus.”
“Tetapi jangan, Ki Gede. Masih terlampau berbahaya.”
“Ya, mungkin begitu. Dan sekarang, panggil orang-orang itu kemari.”
Samekta dan Wrahasta pun kemudian meninggalkan bilik itu dan memanggil gembala tua itu bersama kedua anak-anaknya. Kepada mereka bertiga, Ki Argapati berkata terus terang, bahwa ia menginginkan bantuan mereka di peperangan.
“Aku tahu, kalian tidak berkepentingan langsung dengan peperangan ini, tetapi aku tahu juga, bahwa kalian telah menempatkan diri kalian dalam suatu pendirian,” berkata Ki Argapati.
Gembala tua itu tidak segera menjawab.
“Persoalan kalian mungkin adalah persoalan pribadi dengan Ki Tambak Wedi, atau mungkin persoalan dengan Sidanti, yang apabila tidak tumbuh api yang membakar tanah ini, dan membuat aku sendiri berdiri berhadapan dengan Sidanti dan Argajaya, mungkin kalian pun akan menghadapi aku,” Ki Argapati berhenti sejenak.
“Tetapi ternyata keadaan itu telah menjadi seperti ini.”
Laki-laki tua itu menarik nafas. Sejenak dipandanginya wajah kedua muridnya. Kemudian jawabnya,
“Kami tidak berkeberatan, Ki Gede, tetapi apakah kemampuan yang dapat kami berikan?”
“Jangan memperkecil nilai diri sendiri. Anakmu, yang bernama Gupita, mampu melukai Ki Peda Sura.”
“Yang melukai adalah Angger Pandan Wangi.”
“Tetapi betapa pun bodohnya Pandan Wangi, namun ia dapat menilai betapa kemampuan Gupita itu.”

Gembala itu tidak dapat membantah lagi.
“Nah, apabila nanti Ki Tambak Wedi akan datang, sebelum aku mampu melawannya, aku akan mcnyerahkan tombakku kepadamu, Kiai. Tombak lambang kekuasaan Tanah Perdikan Menoreh.”
“Ki Gede.”
“Nanti dulu. Aku tidak akan menyerahkan pimpinan peperangan ini kepada Kiai. Tidak. Maksudku, aku mengharap bantuan Kiai untuk menahan Ki Tambak Wedi untuk kepentingan Tanah ini. Untuk kepentinganku. Karena sebenarnya itu adalah tanggung jawabku, betapa pun keadaanku sekarang.”
Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian jawabnya,
“Kalau hari ini Ki Tambak Wedi datang, apa boleh buat. Hantu itu tidak boleh menyebarkan maut tanpa dapat dikekang. Kami bertiga akan mencoba mencegahnya, apabila kami mampu. Tetapi kalau hantu itu datang lain kali, maka aku harap Ki Gede tampil di peperangan. Tetapi ingat, Ki Gede tidak boleh bertempur seorang melawan seorang. Ki Gede harus bersikap sebagai seorang pemimpin pasukan yang berada di dalam lingkungan pasukannya, sehingga peperangan akan melibat semua pihak. Ki Gede dapat mengumpulkan semua orang yang cukup kuat bersama Ki Gede. Di pihak lain, serahkanlah kepada kami.”
Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Memang seandainya Ki Tambak Wedi tidak datang malam ini, maka malam berikutnya lukanya pasti sudah menjadi lebih baik, apabila laki-laki tua itu mengobatinya dengan cara yang telah dilakukannya. Selain obat-obat penyembuh luka, orang tua itu memberikan pula obat-obat yang dapat memulihkan tenaganya.
“Baiklah,” berkata Ki Argapati,
“hanya selama aku belum mampu sama sekali turun ke peperangan.”
“Aku bersedia, Ki Gede,” orang tua itu berhenti sejenak,
“bahkan, apabila Ki Gede tidak berkeberatan, apakah kami dapat ikut dalam pasukan berkuda itu, seandainya Tambak Wedi tidak menyerang malam ini?”
Ki Argapati mengerutkan keningnya, “Apakah maksud Kiai?”
“Seperti biasanya bukankah Ki Gede melepaskan sepasukan berkuda itu?”
Ki Argapati tidak menjawab. Tetapi diamatinya saja gembala tua itu untuk sejenak. Ki Argapati tidak segera dapat mengerti arah pembicaraan orang tua itu.
Ki Argapati mengerutkan keningnya. Kemudian ia bertanya,
“Apakah Kiai sudah akan mulai malam ini?”
“Kita harus memberikan kejutan-kejutan yang akan dapat mempengaruhi perhitungan Ki Tambak Wedi. Bukankah demikian juga tujuan pasukan berkuda itu?”
“Ya, tetapi sejak Ki Tambak Wedi sendiri berusaha menjumpai pasukan itu, usaha itu telah dihentikan.”
“Marilah kita mulai lagi permainan itu. Permainan kejar-kejaran yang menyenangkan.”
“Tetapi, bagaimana kalau selama kalian pergi, Ki Tambak Wedi menyerang pertahanan ini?”
“Berilah kami tanda dengan panah berapi, kami akan segera kembali.”
“Apakah Kiai tidak akan pergi terlampau jauh?”
“Apabila kami belum yakin, bahwa pasukan Ki Tambak Wedi tidak bersiap untuk menyerang, kami tidak akan pergi terlampau jauh.”
“Baiklah.”
“Malam ini, kita akan mulai.”

Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian dipanggilnya Samekta dan Wrahasta. Keduanya harus segera menyiapkan pasukan berkuda itu untuk mulai lagi dengan tugasnya bersama ketiga orang-orang itu. Wrahasta mengerutkan keningnya. Dan tiba-tiba saja ia bertanya,
“Bagaimana kalau pasukan itu bertemu lagi dengan Ki Tambak Wedi?”
“Serahkan kepada orang tua itu,” jawab Ki Argapati.
Wrahasta termenung sejenak. Demikian juga Samekta. Apakah Ki Gede sedang bermain-main, atau menyindir orang tua itu, atau apa  pun maksudnya, namun kata-kata itu telah membuat mereka menjadi keheranan.
“Sebelum malam menjadi semakin dalam. Siapkanlah pasukan itu.”
Samekta dan Wrahasta segera meninggalkan bilik itu dengan teka-teki di dalam kepala masing-masing. Ia percaya, bahwa ketiga orang itu bukan gembala kebanyakan, tetapi apakah mereka dapat bertanggung jawab, apabila mereka bertemu dengan Ki Tambak Wedi? Tetapi hal itu pun tidak mustahil. Semua dapat terjadi pada orang yang penuh dengan rahasia itu. Bahkan penilaian Wrahasta atas kedua anak-anak muda itu pun harus dipertimbangkannya lagi. Namun dengan demikian, perasaan cemburunya semakin lama justru semakin tajam menusuk jantungnya. Apalagi agaknya tanggapan Ki Argapati atas ketiga orang itu terlampau baik. Meskipun demikian, Wrahasta masih menahan semua perasaannya di dalam dadanya. Ia masih harus berusaha menyesuaikan diri dengan keadaan, apalagi pada saat ketegangan menjadi semakin memuncak. Perkembangan keadaan akan dapat naik dengan cepatnya. Sejenak kemudian maka bergemeretakanlah telapak kaki-kaki kuda yang berlari keluar dari regol padukuhan yang telah selesai meskipun tidak sebaik regol yang lama.
“Ke manakah kita akan pergi, Kiai?” bertanya pemimpin pasukan berkuda, yang menurut pesan Samekta harus selalu berhubungan dengan gembala tua itu.
“Kita melintasi penjagaan Sidanti. Kita masuki beberapa padesan, dan kita berbuat sesuatu, untuk membuktikan bahwa kita cukup kuat.”
“Kemana kita mula-mula akan singgah?”
“Ke induk padukuhan tanah perdikan ini.”
“He?” pemimpin pasukan itu terkejut, bahkan semua yang mendengar penjelasan itu pun terkejut pula.
“Kenapa kalian terkejut?”
Pemimpin pasukan itu tidak segera dapat menjawab. Dan orang tua itu berkata seterusnya,
“Kita melakukan dua pekerjaan sekaligus. Yang pertama, kita melihat, apakah Ki Tambak Wedi akan menyerang kedudukan kita. Kalau tidak, kita akan mengejutkan mereka.”
“Tetapi itu pasti sangat berbahaya, Kiai.”
“Bukankah kita berkuda? Kita hanya lewat. Mungkin ada sedikit pekerjaan, namun kemudian kita berpacu lagi meninggalkan mereka, untuk mengganggu tempat-tempat yang lain.”
“Tetapi,” pemimpin pasukan itu ragu-ragu,
“tetapi, kalau kita gagal meninggalkan padukuhan induk tanah perdikan ini, atau apabila korban terlampau banyak jatuh, akulah yang harus bertanggung jawab. Bukan Kiai. Karena akulah pemimpin pasukan ini.”
“Kau benar, Ngger. Tetapi bagaimana kalau kita coba? Aku dapat mengambil alih tanggung jawab itu.”
Sejenak pemimpin pasukan itu menyahut. Namun tumbuh sepercik kecurigaan di dalam dirinya. Apakah orang tua ini benar-benar dapat dipercaya? Ataukah seperti dugaan Wrahasta semula, bahwa gembala yang bernama Gupita, dan tentu saja ketiganya, adalah orang-orang Sidanti dalam tugas sandinya? Kini mereka akan membawa pasukannya ke dalam suatu jebakan yang berbahaya.
“Tetapi seandainya demikian,” katanya di dalam hati,
“kenapa ia tidak membunuh Ki Argapati? Dan kenapa Ki Argapati sangat mempercayainya?”
“Bagaimana, Ngger?” desak orang tua itu.
“Kita harus segera menentukan arah sebelum kita sampai ke tikungan itu.”
Pemimpin pasukan itu tidak segera dapat mengambil keputusan.
“Apakah Angger berprasangka?” tiba-tiba orang tua itu bertanya.
Pemimpin pasukan itu tergagap. Namun jawabnya,
“Bukan berprasangka, Kiai, tetapi aku harus menimbang pertanggungan jawabku atas pasukanku.”
“Angger benar,” sahut orang tua itu,
“tetapi sudah aku katakan, aku mau mengambil alih tanggung jawab kali ini.”
“Hanya Ki Argapati atau yang diserahi pimpinan atas seluruh pasukan pengawal yang dapat menyerahkan tanggung jawab atau memindahkannya.”

Gembala tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kata-kata pemimpin pasukan itu memang benar. Bagaimanapun juga, ialah yang harus bertanggung jawab atas semua peristiwa yang terjadi atas pasukan ini. Karena itu, maka sejenak kemudian ia berkata,
“Kau benar, Ngger. Kau tidak dapat menyerahkan tanggung jawab itu kepada orang lain. Namun demikian, aku ingin menyarankan, agar perjalanan kita ini dapat menimbulkan pengaruh pada pasukan Ki Tambak Wedi. Bukan pengaruh jasmaniah, karena kita memang tidak akan membantai para peronda yang kita temui. Tetapi seperti apa yang dilakukan oleh Tambak Wedi hampir setiap hari. Dengan mengepung pusat pertahanan kita, Ki Tambak Wedi tidak akan mendapat keuntungan apa pun yang langsung kasat mata. Tetapi ia dapat mempengaruhi ketahanan hati kita. Ia dapat membuat para pengawal menjadi gelisah dan berdebar-debar setiap malam, seolah-olah mereka tidak akan mempunyai kesempatan untuk keluar dari pedukuhan itu.”
Pemimpin pasukan itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Setiap kali ia menjadi bimbang. Namun setiap kali timbul pertanyaan di dalam kepalanya,
“Kenapa Ki Gede begitu mempercayainya? Pasti bukan tidak beralasan, bahwa orang-orang itu diperkenankan ikut dalam pasukan ini.”
“Sebentar lagi kita akan sampai di tikungan,” desis gembala tua itu.
Setelah menahan nafas sejenak, pemimpin pasukan berkuda itu berkata,
“Baiklah, Kiai, kita akan lewat induk tanah perdikan yang telah direbut Sidanti. Tetapi kita akan melalui jantung padukuhan induk itu.”
“Baiklah, Ngger,” jawab orang tua itu, “nanti kita akan melihat perkembangan dari perjalanan kita ini.”
Pemimpin pasukan berkuda itu terdiam sejenak. Teringat olehnya seseorang, yang tiba-tiba saja menghentikan perjalanan pasukannya ketika Ki Tambak Wedi mencegatnya. Dan tiba-tiba saja ia telah menghubungkan orang yang menghentikannya itu dengan orang tua yang kini berada di dalam pasukannya.
“Ya, orang itu pasti orang tua ini. Meskipun saat itu aku tidak dapat melihatnya dengan jelas, apalagi dalam keadaan yang sangat gawat, namun menurut tanggapan perasaanku, orang itu pasti orang tua ini. Karena itu, agaknya ia sama sekali tidak takut terhadap orang yang bernama Ki Tambak Wedi itu,” katanya di dalam hatinya. Dengan demikian, maka hatinya  pun menjadi semakin tebal. Keragu-raguannya menjadi sangat berkurang, meskipun tidak dapat lenyap sama sekali. Pasukan berkuda itu  pun kemudian berpacu semakin cepat. Di simpang jalan, maka pasukan itu segera memilih jalan yang menuju ke padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh yang telah diduduki oleh Sidanti.

Sebelum mereka sampai ke padukuhan induk, maka mereka berusaha menghindari setiap penjagaan, agar para peronda dan para penjaga itu tidak sempat mengirimkan tanda-tanda atau isyarat sandi. Mereka menempuh jalan di tengah-tengah bulak. Kalau sekali dua kali mereka harus melewati perondan, maka mereka harus membuat orang-orang yang sedang bertugas itu tidak berdaya sama sekali. Dengan tiba-tiba saja mereka menyergap, mengikat mereka, kemudian menyumbat mulut mereka dengan ikat kepala masing-masing. Kepercayaan anggota-anggouta pasukan berkuda kepada orang tua itu dan kedua anak-anaknya semakin lama menjadi semakin tebal. Tidak seorang  pun yang mampu melawan mereka. Setiap kali mereka bertemu dengan beberapa petugas di gardu-gardu, maka dalam sekejap para petugas itu sudah tidak berdaya lagi. Mereka terpaksa membiarkan diri mereka diikat pada batang-batang pohon di pinggir jalan dan membiarkan mulut-mulut mereka itu pun disumbat.
“Mereka tidak akan dapat mengirimkan berita sandi,” desis orang tua itu.
Sejenak kemudaan, mereka pun telah menghadap sebuah padukuhan yang besar. Itulah padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh. Sebuah desa kecil berada di depan padukuhan induk itu, seolah-olah pintu gerbang yang harus mereka bukakan lebih dahulu.
“Ada sepasukan yang kuat di desa itu, Kiai,” berkata pemimpin pasukan.
“Kita perlambat perjalanan kita,” desis orang tua itu. Kemudian katanya,
“Tetapi yang pasti, kita tidak bertemu dengan pasukan Ki Tambak Wedi. Aku kira malam ini mereka akan beristirahat, menyusun kekuatan untuk pada saatnya menyerang pertahanan kita dan berusaha merebutnya.”
Pemimpin pasukan berkuda itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kita tidak dapat mencari jalan lain. Kita harus menerobos desa itu. Mungkin kita harus bertempur, tetapi ingat, kita tidak akan melayani mereka. Kita hanya akan lewat. Selanjutnya kita terus menuju ke padukuhan induk. Kalau kita nanti kembali ke pusat pertahanan kita, kita tidak akan lewat desa ini lagi.”
“Orang-orang di desa itu akan dapat mengirimkan tanda-tanda ke padukuhan induk.”
“Karena itu, jangan layani mereka. Kita lewat dan berusaha melindungi diri kita. Jarak antara desa itu dan padukuhan induk sudah dekat. Tanda-tanda sandi itu pasti, belum sempat dicernakan, apalagi bersiap menyambut kedatangan kita.”
Pemimpin pasukan berkuda itu mengerutkan keningnya. Kemudian diteriakkannya peringatan bagi segenap pasukannya untuk bersiap.
“Kita tidak akan melayani mereka. Kita hanya sekedar lewat,” katanya.
“Tetapi sudah tentu kita harus melindungi diri kita, apabila mereka menyerang dan mencegat perjalanan ini.”
Maka semua orang di dalam pasukan itu pun segera mencabut senjata-senjata mereka. Beberapa orang masih juga membawa cambuk seperti yang biasa mereka lakukan. Namun mereka kini menjadi tercengang-cengang, ketika mereka melihat kedua anak-anak muda yang menyebut dirinya anak gembala itu membawa cambuk pula.
“Wrahasta tidak dapat mengalahkan anak muda yang bernama Gupita itu,” desis salah seorang dari mereka.
“Wrahasta tidak biasa bersenjatakan cambuk. Seperti kita, maka kita pun merasa amat canggung dengan cambuk-cambuk itu di tangan,” jawab yang lain.
Kawannya tidak menyahut. Tetapi ia hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Sementara kuda-kuda mereka menjadi semakin mendekati desa kecil di hadapan mereka.

Setiap orang di dalam pasukan itu  pun menjadi semakin tegang. Senjata-senjata mereka telah tergenggam erat-erat di dalam tangan mereka. Sedang mereka yang bersenjatakan cambuk, telah memindahkan cambuk-cambuk mereka dari tangannya, dan diselipkannya pada ikat pinggang. Untuk menghadapi bahaya yang sebenarnya, mereka lebih mantap bersenjatakan pedang. Yang memegang cambuk kemudian tinggallah Gupala dan Gupita. Cambuk bagi mereka adalah senjata-senjata yang paling terpercaya. Sedang akibat bagi lawannya  pun tidak selalu berarti maut.
“Hati-hatilah dengan cambukmu,” berkata gembala tua itu kepada dua orang muridnya.
“Ingat, yang bercambuk di dalam pasukan ini adalah para pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Karena itu, caramu mempergunakan cambuk pun harus kau sesuaikan, kecuali apabila kau dalam keadaan terpaksa.”
Kedua muridnya mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kita harus berada di depan, supaya kita dapat menilai keadaan sebaik-baiknya,” berkata orang tua itu pula.
Kedua muridnya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kepada pemimpin pasukan, gembala tua itu minta ijinnya untuk berada beberapa langkah di depan pasukan, supaya mereka dapat merintis jalan yang akan mereka lalui. Sebab, apabila penjagaan di desa itu benar-benar kuat, dan di antaranya terdapat orang-orang yang penting, maka jalan harus dibuka lebih dahulu supaya pasukan berkuda itu dapat lewat tanpa banyak gangguan. Demikianlah, maka gembala tua itu memacu kudanya cepat-cepat. Kemudian di kedua sisinya masing-masing Gupala dan Gupita. Mereka harus melindungi pasukan yang akan lewat di sebelah menyebelah jalan, sedang guru mereka akan berpacu terus menuntun seluruh pasukan. Ternyata para penjaga di dalam padesan kecil itu menjadi heran. Dalam keremangan malam mereka melihat sepasukan kecil orang-orang berkuda menuju ke desa mereka.
“Siapakah mereka?” bertanya salah seorang dari para penjaga itu.
Kawannya menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Entahlah. Mungkin pasukan inilah pasukan berkuda yang dibuat oleh Argapati.”
“Tetapi kenapa mereka langsung menuju kemari?” Sekali lagi kawannya menggelengkan kepalanya.
Namun mereka kemudian tidak sempat untuk berbicara lagi. Sejenak kemudian, mereka mendengar pimpinan mereka memberikan aba-aba, agar seluruh pasukan yang berada di dalam desa itu bersiap. Sejenak kemudian. perintah itu telah menjalar ke segenap sudut. Namun di antara mereka ada yang dengan acuh tidak acuh berkata,
“Berapa orang yang ada di dalam pasukan itu? Biarlah orang-orang yang ada di dalam gardu peronda itu menyelesaikannya. Untuk menghadapi beberapa orang berkuda saja, seluruh pasukan harus bersiap.”
Kawannya yang mendengar kata-katanya mengerutkan keningnya. Bahkan ia menyahut,
“Mereka menjadi sakit hati melihat kita sempat tidur malam ini.”
Keduanya tertawa. Dengan malasnya mereka duduk bersandar sebatang pohon di pinggir jalan. Sekali-sekali mereka mengumpat, bahwa tidur mereka terpaksa terganggu. Pasukan berkuda itu telah berada di depan hidung para penjaga di regol desa. Beberapa orang di antara mereka, berdiri di tengah jalan sambil mengacungkan tombak, telempak, pedang, dan bermacam-macam senjata yang lain. Gembala tua yang berkuda di paling depan memperlambat lari kudanya. Kini ia  pun telah membawa cambuk di tangannya. Ketika ia menjadi semakin dekat, maka ia  pun berteriak,
“He, menepilah supaya kalian tidak terinjak kaki-kaki kuda kami.”
“Siapakah kalian?”
“Pengawal Tanah Perdikan Menoreh seperti kalian. He, apakah kalian tidak mengenal kami lagi?”
Pemimpin pasukan yang ada di desa itu mengerutkan keningnya.
“Kami sedang meronda daerah kami, tanah perdikan ini. Bukankah kalian sedang bertugas di desa itu? Baik-baiklah dalam tugas kalian. Jangan sampai ada orang-orang yang tidak dikenal menjamah tanah yang selama ini kita pertahankan mati-matian.”
Sejenak pemimpin pasukan di desa itu menjadi termangu-mangu. Namun sejenak kemudian ia berteriak,
“He, di pihak manakah kalian berdiri sekarang?”
Pasukan berkuda itu berhenti beberapa puluh langkah dari mulut lorong. Dan gembala tua itu menjawab lagi,
“Kenapa kau bertanya di pihak mana kita berdiri? Ada berapa kekuasaan sekarang ini di atas tanah kita yang selama ini kita bina? Tidak ada orang lain yang kita akui sebagai Kepala Tanah Perdikan, selain Ki Gede Menoreh. Bukankah begitu? Berapa puluh tahun ia mengabdikan seluruh hidupnya untuk tanah ini, bahkan nyawanya sekalipun apabila perlu? Berapa puluh tahun ia berjuang untuk membuat tanah ini seperti, yang kita lihat sekarang? Kenapa kalian masih bertanya, di pihak mana kita berdiri?”
Kata-kata itu ternyata telah menyentuh setiap dada dari orang-orang Menoreh yang ada di desa itu. Beberapa orang dari mereka telah terlempar dalam satu kenangan tentang tanah ini sebelum terjadi kekisruhan.
“Apakah kalian tidak ingat lagi, bagaimana keadaan tanah ini sebelum hadirnya Ki Tambak Wedi?” berkata orang tua itu. “Kemudian kalian melihat sendiri, apakah yang terjadi sesudahnya? Ternyata tanah ini telah terbakar oleh api ketamakannya. Bahkan Sidanti telah tenggelam di dalam pengaruhnya.”

Pemimpin pasukan di desa itu tidak segera menjawab. Sementara itu, gembala tua itu berbisik kepada pemimpin pasukan berkuda yang ada di belakangnya,
“Sekarang. Selagi mereka merenung. Ikuti aku. Biarlah Gupala dan Gupita mencegah mereka.”
Pemimpin pasukan itu mengangguk. Dengan tangannya ia memberikan isyarat supaya orang-orangnya bersiap. Sejenak kemudian, selagi orang-orang yang berdiri di mulut desa di depan regol itu masih termangu-mangu, para pengawal itu telah melecutkan kuda-kuda mereka. Serentak kuda-kuda itu seakan-akan meloncat menerkam mereka yang masih berdiri di tengah jalan. Kejutan itu telah menggerakkan mereka secara naluriah untuk berloncatan menepi. Ketika mereka menyadari keadaan, maka kuda-kuda itu telah benar-benar berada di hadapan mereka.
“Tahan mereka,” teriak pemimpin pasukan yang berada di desa itu.
Para pengawal desa itu seakan-akan terbangun dari tidur mereka. Serentak pula mereka menggerakkan senjata mereka untuk menahan orang-orang berkuda itu. Tetapi tiba-tiba mereka dikejutkan oleh ledakan cambuk di tangan Gupala dan Gupita. Beberapa orang yang berdiri di paling depan terkejut. Ketika mereka menyadari diri mereka, senjata-senjata mereka telah terlepas dari tangan. Namun para penjaga yang ada di belakang mereka, segera mendesak maju dengan pedang yang teracu. Tetapi para pengawal berkuda itu pun telah siap menyambut mereka. Mereka  pun telah menggenggam senjata-senjata di tangan. Tetapi seperti pesan yang mereka terima, mereka tidak akan bertempur. Mereka hanya akan sekedar lewat, sambil melindungi diri mereka. Tetapi mereka sudah pasti tidak akan dapat menghindarkan korban betapa kecilnya. Gupala dan Gupita yang telah mendapat pesan gurunya mawanti-wanti, tidak juga dapat menghindarinya. Ujung cambuknya ternyata tidak dapat menahan diri. Ketika para penjaga itu semakin banyak menghalangi jalan mereka, maka Gupala dan Gupita yang harus merambas jalan, terpaksa menyingkirkan mereka. Cambuknya meledak semakin cepat dan keras. Bagaimanapun juga, pertempuran tidak dapat dihindari. Namun para pengawal ternyata berada dalam kedudukan yang lebih baik. Mereka berada di atas punggung kuda, dan kuda-kuda mereka tidak mereka tahan lagi. Kuda-kuda itu berlari terus. Para penjaga yang tidak juga mau menepi kadang-kadang terlanggar dan terpelanting jatuh sebelum mereka dapat mempergunakan senjata-senjata mereka.
“Jangan biarkan mereka lolos!” teriak pemimpin pasukan di desa itu.
Tetapi untuk menahan mereka bukan pekerjaan yang mudah. Apalagi mereka berada di jalan yang tidak terlampau lebar, sehingga mereka itu pun menjadi berdesak-desakan.
Tidak banyak gunanya, di depan pasukan berkuda itu, karena di ujung pasukan itu berada seorang gembala tua dengan cambuk di tangan. Setiap kali cambuk itu berhasil melilit senjata lawannya dan kemudian melontarkannya ke udara. Meskipun agak lambat, namun kuda-kuda itu maju. Gupala dan Gupita berada di sisi pasukan yang lewat itu sambil membantu para pengawal menahan serangan yang datang bertubi-tubi. Kadang-kadang ada di antara mereka yang melontarkan tombak mereka. Tetapi setiap kali tombak-tombak itu terpelanting oleh sentuhan cambuk. Sejenak kemudian, kuda-kuda itu pun telah berhasil melampaui penjagaan di ujung lorong menyusup masuk ke dalam regol. Mereka kemudian tanpa menghiraukan para penjaga itu lagi, memacu kuda-kuda mereka secepat-cepatnya.
“Jangan biarkan mereka lolos, jangan biarkan mereka lolos!” teriak pemimpin pasukan di desa itu. Tetapi arus dari pasukan itu sudah tidak tertahankan lagi. Mereka memang tidak bernafsu untuk melayani dalam suatu lingkaran pertempuran. Karena mereka hanya akan sekedar lewat.
“Tutup regol di ujung lain!” teriak pemimpin penjaga.

Tetapi tidak seorang  pun yang sempat berlari mendahului kuda itu. Setiap usaha dari para pengawal di desa itu untuk menahan kuda-kuda itu, mereka terpaksa harus berloncatan minggir. Para pengawal yang berlari-lari keluar dari halaman, tidak banyak dapat berbuat apa-apa. Mereka hanya dapat melontarkan senjata-senjata mereka, tetapi para pengawal berkuda itu  pun berusaha menangkisnya. Apalagi orang-orang yang bersenjatakan cambuk. Akhirnya, setelah mereka melampaui sedikit rintangan di ujung lorong yang lain, mereka telah berhasil keluar dari desa kecil itu, dengan meninggalkan kesan yang menggetarkan jantung. Para penjaga di desa itu memang pernah mendengar, bahwa kadang-kadang Argapati melepaskan sepasukan berkuda dengan orang-orang bercambuk. Tetapi mereka tidak menyangka, bahwa tiba-tiba saja mereka telah berhadapan dengan pasukan itu. Mereka tidak menyangka, bahwa orang-orang yang bersenjatakan cambuk itu seakan-akan dapat mempergunakan senjatanya dalam segala kemungkinan. Membelit senjata lawan, memungutnya, dan melemparkan ke udara. Kemudian menyentuh tubuh-tubuh lawan-lawan mereka dengan meninggalkan bekas jalur-jalur merah yang pedih. Bahkan kadang-kadang ujung cambuk itu mampu menyobek tubuh-tubuh lawannya, dan mengucurkan darah.
“Bukan main,” desis salah seorang yang tersobek pundaknya,
“aku tidak tahu, bagaimana mungkin hal ini dapat terjadi. Aku hanya mengejapkan mataku. Ternyata yang sekejap itu berakibat begitu mengerikan. Aku tidak tahu, apakah akibatnya apabila aku harus melayaninya bertempur seorang lawan seorang. Mungkin tubuhku telah menjadi hancur tidak berbekas.”
Kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Di bawah lampu minyak ia menyaksikan luka di pundak kawannya itu.
Mereka itu tiba-tiba terkejut, ketika pemimpin mereka berteriak,
“Kirimkan tanda ke induk pasukan!”
“Apakah kuda-kuda itu akan pergi ke padukuhan induk?” bertanya salah seorang.
“Tentu, mereka menuju ke sana. Tidak ada jalan lain kecuali sampai ke padukuhan induk itu.”
“Mereka akan membunuh diri.”
“Karena itu berikan tanda itu.”
Beberapa orang kemudian segera memukul kentongan di gardu, dan yang lain melemparkan panah berapi.
Sementara itu, pasukan berkuda itu pun berpacu semakin mendekati padukuhan induk. Mereka semakin mempercepat kuda-kuda mereka, agar mereka segera sampai sebelum orang-orang di padukuhan induk itu sempat mencernakan tanda-tanda sandi yang telah dikirim oleh orang-orang di desa kecil yang baru saja mereka tinggalkan. Namun sementara itu, sambil berpacu, pemimpin pasukan berkuda itu sempat menghitung orang-orangnya yang ternyata ada yang terluka. Tiga orang terluka agak parah, meskipun mereka masih mampu berpegangan kendali kudanya, dan dua orang yang lain tergores ujung-ujung pedang di kakinya.
“Pakailah obat ini,” berkata gembala tua itu sambil memperlambat derap kudanya. Diserahkannya beberapa butir obat kepada pemimpin pasukan,
“Remaslah butiran-butiran reramuan itu, dan gosokkanlah pada luka-luka itu. Mudah-mudahan dapat menolong untuk sementara.”
Sambil berpacu, pemimpin pasukan itu membagikan obat-obat itu, meskipun dengan demikian, iring-iringan itu menjadi agak lambat. Mereka yang terluka itu  pun segera mcncoba menggosok luka-luka mereka dengan obat yang diberikan oleh gembala tua itu. Ternyata obat itu dapat menolong untuk sementara. Darah mereka tidak lagi terlampau banyak mengalir. Bahkan seakan-akan telah menjadi pepat.
“Biarlah yang terluka mendapat perlindungan dari kawan-kawannya,” berkata orang tua itu. Lalu,
“Padukuhan induk telah berada di depan kita. Kita akan menyusuri jalan di dalam padukuhan itu. Cepat tanpa berhenti. Yang kita perlukan adalah kesan, bahwa kita bukan pengecut yang hanya berani mengeram di balik dinding-dinding ori itu.”
Pemimpin pasukan itu menganggukkan kepalanya, kepercayaannya kepada ketiga orang yang bersenjata cambuk itu menjadi semakin tebal.

Ketika mereka telah mendekati mulut lorong, mereka  pun telah menyiapkan diri mereka. Meskipun lorong ini bukan lorong yang membelah alun-alun kecil di depan rumah Kepala Tanah Perdikan, namun lorong ini termasuk lorong yang penting. Karena itu, maka di depan regol yang memasuki lorong itu  pun pasti dijaga cukup kuat. Dalam pada itu, tanda-tanda yang dikirim oleh orang-orang yang bertugas di desa kecil yang telah dilewati oleh pasukan berkuda itu  pun menggema semakin keras. Suara kentongan, dan panah-panah api yang melontar ke udara telah menimbulkan berbagai pertanyaan di hati para penjaga. Namun mereka menyadari, bahwa desa kecil itu sedang dilanda oleh bahaya.
“Kalian pun harus bersiap,” perintah pemimpin peronda di regol padukuhan.
“He, pasukan berkuda,” teriak yang lain.
Pemimpin pasukan peronda itu tidak menyahut. Ia berdiri termangu-mangu. Betapa keheranan mencekam dadanya. Ia tidak akan menyangka, bahwa orang-orang Argapati telah menjadi gila, dan berani mendekati padukuhan induk. Namun dengan demikian, ia menjadi ragu-ragu. Bahkan terdengar ia berdesis,
“Apakah mereka akan berpihak kepada kita, dan mereka akan menyerahkan diri?”
Tetapi tiba-tiba disadarinya, bunyi kentongan dan panah-panah api itu.
“Gila,” ia menggeram, “apakah yang dapat dilakukan oleh pasukan itu?”
Namun para peronda itu tidak mendapat terlampau banyak kesempatan untuk menduga-duga. Pasukan berkuda itu tiba-tiba saja telah berada beberapa langkah saja di hadapan mereka, tanpa mengurangi kecepatan lajunya.
Tetapi pemimpin peronda itu sempat berteriak, “Hancurkan mereka!”
Maka terulanglah perkelahian seperti yang terjadi pada saat mereka memasuki desa kecil di depan padukuhan induk ini. Sekali lagi gembala tua itu menuntun seluruh pasukan untuk maju terus, dan sekali lagi, Gupala dan Gupita berusaha melindungi pasukan itu masing-masing di sebelah sisi, bersama-sama dengan setiap orang di dalam pasukan itu yang berusaha melindungi diri mereka sendiri.
“Kita berjalan terus,” teriak gembala tua yang berada di ujung pasukan dengan cambuk di tangan.
Setiap kali ujung cambuknya berhasil melemparkan senjata-senjata lawan, dan bahkan kadang-kadang ujung-ujung cambuk itu telah melemparkan beberapa orang sekaligus. Sengatan yang pedih membuat lawan-lawan mereka menjadi sangat berhati-hati. Pertempuran itu  pun tidak berlangsung lama. Kuda-kuda itu kemudian berderap memasuki padukuhan induk. Berderap di atas jalan berbatu-batu sambil melontarkan debu di belakang kaki-kaki kuda itu.
“Pada suatu ketika, padukuhan ini harus kita rebut kembali,” desis gembala tua itu. Dan tanpa disangka-sangkanya, pemimpin pasukan itu berteriak tanpa kendali,
“Kita akan merebut tanah ini.”
“Ya, kita akan segera kembali,” sahut yang lain. Maka sejenak kemudian pasukan berkuda yang berderap di lorong-lorong di dalam padukuhan induk itu  pun berteriak-teriak nyaring,
“Kita akan kembali. Kita akan kembali.”
“Ya, Ki Argapati akan segera kembali. He, siapa yang mendengar suaraku,” teriak pemimpin pasukan,
“Ki Argapati akan segera kembali.”

Suara teriakan-teriakan itu telah mengejutkan beberapa orang yang masih tinggal di rumah masing-masing. Teriakan-teriakan itu telah menggetarkan dada mereka. Apalagi mereka yang merasa, bahwa selama ini berpihak kepada Sidanti dan Argajaya.
“Apakah pasukan Argapati telah memasuki padukuhan ini?” pertanyaan itu melonjak di dalam dada mereka,
“Mustahil, mustahil.”
Dan suara teriakan-teriakan itu sudah menjauh. Kehadiran pasukan berkuda di padukuhan induk itu benar-benar telah menggemparkan. Semua orang terpukau untuk sesaat mendengar suara tengara di gardu-gardu. Mereka tidak percaya, bahwa padukuhan ini telah dilanda oleh bahaya. Tetapi mereka harus melihat suatu kenyataan. Sepasukan pengawal berkuda telah memasuki padukuhan induk, berpacu di lorong-lorongnya. Setiap kali mereka bertemu dengan sepasukan peronda, maka para peronda itu sama sekali tidak berdaya. Tengara itu  pun kemudian terdengar oleh para pemimpin pasukan di pihak Sidanti. Ki Tambak Wedi sendiri, Sidanti, Argajaya, dan yang lain, menjadi heran mendengar kentongan di gardu-gardu. Sementara mereka menunggu laporan. Akhirnya datanglah seorang peronda, menyampaikan apa yang mereka lihat, dan apa yang mereka alami.


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar