“SILAHKAN. Semua serba darurat.”
“Demikianlah
agaknya, Ki Gede. Di peperangan semuanya harus menyesuaikan diri.”
Ki Argapati mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya kemudian,
“Ini adalah
anakku. Karena itu, aku tidak menyuruhnya pergi. Dalam keadaan serupa ini,
lebih banyak yang diketahuinya, akan lebih baik baginya dan bagi Tanah ini.”
Gembala tua
itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Aku kira, ia
perlu mengetahui pula tentang Kiai yang yang sampai saat ini masih menjadi
teka-teki bagi segala pihak.”
Gembala tua
itu mengerutkan keningnya.
“Kenapa
menjadi teka-teki, Ki Gede? Aku adalah seperti ini. Apalagi yang harus
ditebak?”
“Kiai,”
berkata Ki Argapati,
“aku memang
sudah tidak dapat mengenali lagi, apakah Kiai adalah orang yang pernah aku
lihat di masa muda. Benar-benar terasa asing bagiku. Terhadap Paguhan, aku
tidak akan dapat lupa meskipun seandainya beberapa puluh tahun aku tidak
bertemu. Tetapi terhadap Kiai, aku benar-benar tidak dapat mengatakan, apakah
aku pernah bertemu atau tidak.”
Gembala tua
itu mengerutkan keningnya. Terkilas sesuatu di dalam tatapan matanya. Namun
kemudian ia tersenyum,
“Aku kira kita
memang belum pernah bertemu, Ki Gede.”
Ki Gede
menarik nafas dalam-dalam. Ia mencoba mengenali ciri-ciri yang dapat
mengingatkannya kepada seorang anak muda yang pernah dikenalnya dahulu,
meskipun tidak begitu rapat. Namun Ki Gede itu menggeleng-gelengkan kepalanya.
Tidak ada ciri yang khusus, dan perkenalan itu
pun hanya sepintas lalu saja. Yang dihadapinya kini bahkan seolah-olah
seorang tua yang sejak pada masa mudanya juga sudah setua itu. Tetapi mustahil.
“Kiai,”
berkata Ki Argapati,
“tetapi
Betapapun juga, aku masih mempunyai jembatan yang mungkin akan dapat mencapai
suatu seberang yang jauh telah kita tinggalkan. Aku mengenal seseorang yang
luar biasa. Seorang yang bersenjata cambuk, dan yang senang sekali berteka-teki
tentang dirinya. Tetapi sudah tentu bukan kau, karena pada saat itu pun umurnya
sudah setua kita sekarang.”
Gembala tua
itu tidak segera menjawab.
“Apakah kau
kenal seseorang yang bernama Empu Windujati, seorang sakti yang selalu membawa
sehelai cambuk ke mana pun ia pergi? Atau mungkin kau mengenal namanya yang
lain, Pangeran Windukusuma?” Ki Argapati berhenti sejenak, kemudian,
“Dan mungkin
kau lebih mengenal muridnya, seorang anak muda, yang bernama Jaka Warih?”
Gembala tua
itu sejenak terdiam. Keningnya yang telah berkerut menjadi semakin berkerut-merut.
Ditatapnya wajah Ki Argapati sejenak. Namun sejenak kemudian ia menggelengkan
kepalanya sambil berkata,
“Sayang. Aku
tidak mengenal mereka semuanya. Bahkan baru pertama kali aku mendengar nama
Pangeran Windukusuma. Aku banyak mengenal nama pangeran-pangeran dari
kawan-kawanku yang sering pergi ke Demak dan Pajang. Bahkan sisa-sisa terakhir
dari keturunan raja Majapahit. Namun aku tidak pernah menjumpai nama itu.
Apalagi muridnya yang bernama Jaka Warih.”
Argapati
menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak berhasil menangkap kesan pada wajah gembala
tua itu.
“Baiklah,
kalau Kiai tidak mengenal mereka,” suara Ki Argapati menurun.
“Apalagi Kiai,
sedangkan seandainya aku bertemu dengan Empu Windujati saat ini, pasti ia juga
mengatakan, bahwa ia tidak mengenal seseorang yang bernama Empu Windujati, atau
yang pernah bergelar Pangeran Windukusuma.”
Gembala tua
itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan sekali lagi Argapati tidak berhasil
menangkap kesan apa pun pada wajah itu.
“Tetapi,”
berkata Argapati kemudian,
“semuanya itu
tidak penting bagiku. Yang penting, bahwa Kiai bersedia menolongku.”
“Tentu, Ki
Gede, dan bukankah obat yang aku kirimkan kemarin masih dapat dipergunakan?”
“Obat Kiai lah
yang membuat aku masih dapat bertahan sampai saat ini. Namun setelah orangnya
hadir di sini, maka aku kira, aku akan mendapat pengobatan yang lebih baik,
sehingga apabila Ki Tambak Wedi datang di setiap saat, malam nanti barangkali,
aku sudah dapat menyambutnya.”
“Ah, tidak
mungkin, Ki Gede. Apabila benar Ki Tambak Wedi datang malam nanti, maka Ki Gede
pasti belum akan dapat turun ke medan.”
“Apakah aku
harus membiarkan Ki Tambak Wedi membuat padukuhan tempat pertahanan kami
terakhir ini menjadi karang abang?”
Gembala tua
itu tidak dapat segera menjawab, sehingga karena itu, ia berdiam diri sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Nah, Kiai,”
berkata Ki Argapati,
“kalau Kiai
sudah beristirahat, aku ingin mempersilahkan Kiai berbuat sesuatu atas lukaku
ini. Mungkin setelah Kiai melihat, maka Kiai akan menemukan obat yang jauh lebih
baik dari obat yang telah aku terima itu.”
Sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya gembala itu berdesis,
“Baiklah. Aku
akan mencoba mengobatinya dengan baik, sejauh-jauh kemampuanku. Namun segalanya
terserah atas kemurahan Tuhan Yang Maha Asih.” Kemudian kepada Pandan Wangi, ia
berkata,
“Aku
memerlukan air hangat, Ngger.”
“O,” Pandan
Wangi seakan-akan terbangun dari tidurnya. Dengan serta-merta ia pun segera melangkah meninggalkan ruangan itu
untuk mengambil air hangat di belakang. Sejenak kemudian, gembala tua itu
mengamat-amati luka Ki Argapati. Kemudian desisnya,
“Obatku
ternyata tepat untuk mengobati luka ini. Tetapi barangkali aku dapat
mempercepat usaha penyembuhannya. Tetapi maaf, Ki Gede, bahwa untuk sesaat luka
itu akan terasa sangat sakit.”
“Apa pun,”
jawab Ki Argapati,
“aku ingin
segera sembuh, bukankah obat yang Kiai berikan kemarin pun mula-mula terasa
sakit sekali, baru kemudian obat itu mulai bekerja?”
“Tetapi yang
baru ini terlebih-lebih lagi.”
“Biarlah,”
jawab Ki Argapati.
Sebentar kemudian,
gembala tua itu telah mulai membersihkan luka itu sebelum dicuci dengan air
hangat, perlahan-lahan sekali, dengan kain pembalutnya. Sementara itu Ki
Argapati sama sekali tidak memperhatikan lukanya lagi. Yang menarik
perhatiannya adalah tangan gembala tua itu. Dan tiba-tiba saja gembala itu
terkejut, ketika tangannya serasa dicengkam oleh Ki Argapati.
“Kiai,”
bertanya Ki Argapati,
“apakah
artinya gambar yang Kiai pahatkan di pergelangan tangan ini?”
Sesaat wajah
orang tua itu menjadi tegang. Namun kemudian ia tersenyum sambil menjawab,
“Apakah Ki
Gede tertarik pada gambar itu?”
“Ya.”
“Aku
menusuknya dengan duri ikan. Kemudian menggosoknya dengan langes dan minyak,
selagi lukanya masih berdarah. Dicampur dengan sedikit reramuan, supaya
bekasnya tidak segera hilang.” Orang tua itu berhenti sejenak.
“Tetapi,”
katanya kemudian,
“itu adalah
kesenangan anak-anak muda. Aku sekarang menyesal. Tetapi untuk menghapusnya,
aku harus melukainya lagi. Dan aku sekarang sama sekali tidak berani melihat
tanganku sendiri berdarah.”
“Bukan itu,
Kiai,” jawab Ki Argapati,
“bukan cara
membuatnya. Tetapi arti daripada gambar itu. Bukankah Kiai melukiskan sehelai
cambuk di pergelangan tangan itu, dan di ujung cambuk itu terdapat sebuah cakra
kecil yang bergerigi sembilan?”
Sekali lagi
wajah orang tua itu menegang. Namun kemudian sekali lagi ia tersenyum.
“Ya. Sebuah
cambuk dan sebuah cakra bergerigi sembilan. Ki Gede terlampau teliti, sehingga
dapat menghitung gerigi pada gambar yang sedemikian kecilnya.”
“Aku tidak
menghitung gerigi pada gambar di tanganmu, Kiai.”
“Lalu darimana
Ki Gede tahu, bahwa cakra itu bergerigi sembilan?”
“Ya, cakra itu
bergerigi sembilan. Sepuluh dengan tangkai yang terikat pada ujung cambuk.
Bukankah begitu? Meskipun di ujung cambuk kalian sama sekali tidak pernah
terikat sebuah cakra serupa itu.”
Orang tua itu
tidak segera menjawab.
“Kiai,”
berkata Ki Argapati kemudian sambil melepaskan tangan orang tua itu,
“gambar itu
adalah ciri dari perguruan Empu Windujati. Aku pernah melihat gambar serupa
itu, tetapi agak lebih besar, pada secarik panji-panji yang aku ketemukan di
dalam lingkungan perguruan Empu Windujati. Aku mengenal dua orang muridnya,
meskipun hanya sekilas. Hanya muridnya yang terpercaya sajalah yang
diperkenankan membuat gambar itu di pergelangan tangannya. Dan gambar itu
mempergunakan pola tertentu, bukan sekedar dicocok dengan duri ikan.”
Gembala tua
itu tidak segera menjawab. Sejenak ia menatap Ki Argapati dengan tajamnya.
Namun sejenak kemudian ia menggelengkan kepalanya. Dan sekali lagi orang tua
itu tersenyum.
“Aku tidak
mengerti, Ki Gede. Aku sama sekali tidak mengerti tentang panji-panji itu dan
tentang perguruan Empu Windujati.”
“Mungkin,”
berkata Ki Argapati,
“tetapi apakah
bekas di tangan Kiai itu benar-benar bekas duri ikan?” Ki Argapati menggelengkan
kepalanya sambil berkata,
“Bukan, Kiai.
Itu sama sekali bukan bekas cocokan duri ikan, tetapi gambar itu adalah bekas
luka bakar. Bukankah demikian?”
Namun gembala
itu masih tetap menggeleng sambil tersenyum,
“Ki Gede
ternyata salah menilai.”
“Baiklah, baiklah,”
desis Ki Gede kemudian.
“Sekarang,
bagaimana dengan lukaku?”
“Aku akan
membersihkannya, aku menunggu air hangat.”
Ki Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya. tetapi ia sudah tidak bertanya lagi tentang
diri gembala tua itu. Sesaat kemudian, Pandan Wangi memasuki ruangan itu dengan
membawa air hangat dalam sebuah mangkuk yang besar.
“Terima kasih,
Ngger,” berkata gembala tua itu, lalu.
“Seterusnya
apakah Angger akan menunggui ayah atau tidak? Kalau sekira Angger tahan melihat
luka yang akan aku obati ini, maka tidak ada keberatannya Angger menungguinya.
Tetapi aku kira lebih baik Angger berada di luar.”
Sejenak Pandan
Wangi terdiam. Namun kemudian ia menggelengkan kepalanya,
“Aku akan
menunggui ayah, Kiai.”
Orang tua itu menarik
nafas dalam-dalam. Jawabnya,
“Baiklah.
Apabila Angger memang berkeinginan demikian.”
Gembala tua
itu pun segera membersihkan luka Ki
Argapati yang menjadi kambuh kembali, setelah semalam ia memaksa dirinya
menemui Ki Tambak Wedi.
Dengan
kemampuan yang ada padanya, gembala tua itu kemudian mencoba mengobati luka itu
dengan obat yang lebih tajam lagi. Ia berani mempergunakan obat itu, karena ia
sendirilah yang menungguinya, sehingga akibat yang tidak dikehendaki akan
segera dapat di atasinya dengan ramuan-ramuan penawar yang lain.
“Ki Gede,”
berkata gembala itu,
“untuk
mengurangi rasa sakit, maka aku persilahkan Ki Gede minum butiran reramuan ini.
Dengan demikian Ki Gede akan kehilangan sebagian dari kesadaran Ki Gede.”
“Aku percaya
kepadamu, Kiai. Apa pun yang kau
lakukan, aku akan menurut.”
Gembala tua
itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian diserahkannya sebutir reramuan
obat yang terbungkus dengan asam untuk ditelannya.
Setelah
menelan obat itu, maka terasa seakan-akan ia diserang oleh perasaan kantuk yang
luar biasa. Bahkan kesadarannya pun
semakin lama seakan-akan menjadi semakin kabur, meskipun ia masih tetap melihat
gembala tua itu kini berdiri di samping pembaringannya, dan Pandan Wangi yang
memperhatikannya dengan cemas. Luka di dada Ki Gede Menoreh adalah luka yang
sangat berbahaya, karena luka itu ditimbulkan oleh ujung senjata Ki Tambak
Wedi. Itulah sebabnya, maka gembala tua itu harus bekerja dengan
sungguh-sungguh untuk mengobatinya. Meskipun Ki Argapati telah kehilangan
sebagian dari kesadarannya, namun ketika lukanya itu tersentuh, ia masih
menggeliat sambil menyeringai. Apalagi setelah luka itu menjadi bersih dan
sentuhan pertama obatnya yang baru. Perasaan sakit yang luar biasa telah
menyengat dada itu. Seterusnya dada Ki Argapati itu serasa dibakar oleh api
yang kemudian menjilat seluruh tubuhnya. Pandan Wangi yang melihat ayahnya
berjuang melawan rasa sakit itu pun ternyata tidak dapat bertahan lebih lama.
Tiba-tiba ia berlari ke sudut ruangan, menutup wajahnya dengan kedua tangannya
yang basah oleh air matanya. Tetapi gadis yang membawa pedang rangkap itu
berusaha untuk tidak terisak.
Sementara itu,
Ki Tambak Wedi sedang berbincang dengan para pemimpin pasukannya. Ki Peda Sura,
yang telah menjadi semakin baik, karena rawatan yang tekun oleh Ki Wasi dan Ki
Muni, telah ikut pula di dalam pertemuan itu.
“Apakah kita
akan menunggu, sehingga pasukan Argapati siap menyambut kita?” bertanya Peda
Sura.
“Tentu tidak,”
jawab Ki Tambak Wedi,
“tetapi kita
juga tidak dapat bergerak hari ini. Pasukan Argapati pasti masih dalam
kesiagaan penuh.”
“Besok,”
potong Sidanti.
“Mereka pasti
menyangka, bahwa kita akan datang di hari yang sudah kita tentukan, setelah di
hari pertama kita lewatkan tanpa berbuat sesuatu.”
“Ya.
Begitulah,” sahut Argajaya.
“Besok kita
bakar padukuhan itu seluruhnya,” geram Ki Muni.
Ki Tambak Wedi
mengerutkan keningnya, tetapi ia tidak menyahut. Yang kemudian bertanya adalah
Sidanti,
“Kita akan
bergerak di siang hari atau di malam hari, Guru?”
“Di siang
hari, orang-orang yang bertengger di belakang pring ori itu akan mendapat
kesempatan terlampau banyak untuk membidik kita dengan pelempar lembing. Tetapi
di malam hari, semua akan menjadi kabur, sehingga mereka akan melemparkan
lembing-lembing mereka tanpa arah yang diperhitungkan. Kita akan berlindung di
balik perisai-perisai yang berwarna gelap.”
Sidanti
mengangguk-anggukkan kepalanya. Baginya, malam hari pasti akan lebih baik,
sehingga ia tidak akan dapat melihat wajah-wajah yang sebagian terbesar pasti
sudah dikenalnya, apalagi wajah adiknya, Pandan Wangi. Bagaimanapun juga,
Pandan Wangi adalah seseorang yang paling dekat dengannya di masa kanak-kanak,
dan gadis itu telah dilahirkan pula oleh ibu yang sama dengan dirinya sendiri.
Maka keputusan
pun kemudian jatuh. Pasukan seluruhnya harus siap untuk merebut kedudukan
terakhir dari Ki Argapati. Kalau kedudukan itu dapat mereka rebut, meskipun
orang-orang terpenting Menoreh masih dapat melepaskan diri, namun perlawanan
mereka sudah tidak akan berarti apa-apa lagi. Dengan keputusan itu, maka
seluruh pasukan Ki Tambak Wedi menjadi sibuk mempersiapkan diri. Mereka
benar-benar berhasrat untuk memasuki pertahanan terakhir itu. Karena itu,
mereka pun harus menyesuaikan
perlengkapan mereka dengan rencana itu. Mereka akan menerobos masuk regol yang
dibuat dengan tergesa-gesa oleh orang-orang Menoreh dalam hujan panah dan
lembing. Bahkan batu-batu.
“Sesudah
perang ini selesai, Menoreh akan mengalami babak baru,” desis salah seorang
anak muda yang berpihak kepada Sidanti.
“Kita akan lebih
banyak mendapat perhatian, sesuai dengan kepentingan kita. Sidanti sudah tentu
tidak akan berbuat sekaku ayahnya, yang melarang apa saja yang kami senangi.”
Kawannya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Menoreh harus
menjadi jauh lebih baik. Orang-orang yang selama ini hanya dapat berbicara
tanpa berbuat sesuatu harus disingkirkan.”
“Dan kita akan
segera melakukannya.”
Demikianlah,
maka setiap orang di dalam pasukan itu menjadi sibuk. Mereka mempersiapkan
senjata-senjata mereka, dan terlebih-lebih lagi mempersiapkan hati mereka.
Dalam pada
itu, Ki Gede Menoreh masih berjuang mengatasi perasaan sakit yang membakar
dadanya. Meskipun kesadarannya sudah disusut, namun perasaan sakit itu hampir
tidak tertahankan. Meskipun demikian, Ki Argapati tidak mengeluh. Yang
terdengar hanyalah desis dan desah-desah yang pendek. Sambil mengatupkan
giginya rapat-rapat, Ki Argapati memejamkan matanya. Tetapi ia percaya, bahwa
orang tua itu benar-benar akan berhasil menyembuhkan luka-lukanya, meskipun
tidak seketika. Ketika rasa sakit itu telah sampai ke puncaknya, maka terasa
seakan-akan seluruh tubuh Ki Argapati menjadi hangus. Dari ujung jari kaki
sampai ke ubun-ubunnya. Namun setelah itu, maka perasaan sakit itu dengan
cepatnya menurun. Serasa arus yang sejuk mengalir di sepanjang pembuluh
darahnya. Semakin lama semakin sejuk, meskipun pada suatu saat ia masih harus
tetap menahankan rasa sakit, tetapi sama sekali sudah jauh berkurang. Gembala
tua itu pun mengamati perkembangan keadaan Ki Argapati dengan teliti. Setiap
perubahan diikutinya dengan seksama, sehingga akhirnya, ia menarik nafas
dalam-dalam. Sambil menganggukkan kepalanya, ia menaburkan sejenis bubuk
obat-obatan yang lain ke atas luka itu. Tetapi sama sekali sudah tidak
berpengaruh lagi atas rasa sakit pada luka itu. Namun yang terasa kemudian
adalah perasaan lelah yang bukan buatan. Bahkan kemudian seakan-akan
kesadarannya menjadi semakin kabur, sehingga pada suatu saat, Ki Argapati itu
memejamkan matanya. Nafasnya berjalan semakin teratur, sedang peluhnya seolah-olah
terperas dari seluruh tubuhnya.
“Angger Pandan
Wangi,” berkata orang tua itu,
“Ki Gede kini
telah teratur, setelah ia berjuang sekuat-kuat tenaganya menahankan rasa sakit.
Tetapi keadaannya kian menjadi baik. Aku harap, ia akan segera dapat bangkit
dari pembaringannya, tanpa membuat lukanya kambuh kembali. Nanti pada saatnya,
Ki Argapati akan muntah-muntah. Tetapi itu tidak berbahaya. Justru dengan
demikian, racun yang ada di dalam dirinya hanyut keluar. Baik racun yang
ditimbulkan oleh luka-lukanya yang tersentuh ujung senjata Ki Tambak Wedi,
maupun racun yang timbul karena obat-obatku.”
Pandan Wangi
yang masih berdiri di sudut kamar memandang orang tua itu dengan cemasnya.
Katanya,
“Tetapi
bukankah Kiai tidak akan meninggalkan kami?”
“O, tidak.
Tidak Ngger. Aku akan tinggal di padukuhan ini. Aku telah menyatakan diri untuk
membantu Ki Argapati menurut bidangku.”
“Baiklah,
Kiai. Aku akan menunggui ayah di sini.”
“Silahkan,
Ngger. Aku akan berada di pendapa.”
Setelah
membersihkan tangannya, maka orang tua itu
pun keluar dari bilik Ki Argapati, pergi ke pendapa, dan duduk bersama
kedua muridnya dan Ki Samekta. Ki Argapati membuka matanya ketika matahari
telah menjadi sangat rendah. Seperti kata gembala tua, Ki Argapati itu pun
kemudian muntah-muntah seakan-akan isi perutnya terkuras keluar. Namun Pandan
Wangi yang selalu menungguinya memberitahukan kepadanya, bahwa demikianlah yang
seharusnya terjadi menurut pesan orang tua yang mengobatinya.
“Di manakah
mereka sekarang?” bertanya Ki Argapati.
“Mereka berada
di luar, Ayah. Di pendapa. Tetapi mungkin kini mereka sedang mandi, atau
berjalan-jalan bersama Paman Samekta, atau apa pun. Karena mereka agaknya sudah
menjadi jemu duduk saja tanpa berbuat sesuatu.”
Ki Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya,
“Panggil
Samekta. Aku akan berbicara dengannya.”
Sejenak
kemudian, Pandan Wangi pun segera pergi
keluar. Kepada seorang pengawal diperintahkannya untuk mencari Ki Samekta,
karena Ki Argapati memerlukannya.
Sejenak
kemudian, Samekta telah menghadap. Bahkan kali ini bersama Wrahasta.
“Bagaimana
keadaan Ki Gede?” bertanya Samekta.
“Sudah menjadi
lebih baik,” jawab Ki Argapati, “tetapi bagaimana dengan pertahananmu?”
“Tidak
mengecewakan, Ki Gede. Kami sudah mempersiapkan semua peralatan. Seandainya Ki
Tambak Wedi akan datang malam nanti, maka kami sudah siap menyambutnya.”
Ki Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Tidak ada
yang perlu dicemaskan, Ki Gede,” sambung Wrahasta pula.
“Bagaimana
dengan ketiga orang-orang itu?” tiba-tiba Ki Argapati bertanya.
“Mereka berada
di dalam pondok yang telah aku sediakan, Ki Gede. Setiap saat mereka dapat
dipanggil, apabila Ki Gede memerlukannya.”
Ki Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia berdesis,
“Perlakukan
mereka dengan baik. Seandainya mereka benar-benar seorang gembala tua dengan
kedua anaknya, maka mereka bukan gembala kebanyakan.”
Ki Samekta dan
Wrahasta saling berpandangan sejenak. Kemudian dengan terbata-bata Samekta
bertanya,
“Siapakah
sebenarnya mereka, Ki Gede? Agaknya mereka memang menyimpan suatu teka-teki
tentang diri mereka sendiri.”
Ki Argapati
menggelengkan kepalanya. Ia sendiri ingin memecahkan teka-teki itu. Tetapi ia
belum menemukan suatu keyakinan. Ketika ia melihat gambar di pergelangan tangan
orang tua itu, ia mengharap, bahwa ia tidak akan dapat mengelak lagi. Tetapi
ternyata orang tua itu masih tetap menggelengkan kepalanya. Namun meskipun
demikian, ia condong pada anggapan sebenarnyalah laki-laki tua itu adalah salah
seorang murid Empu Windujati, yang pernah ditemuinya di masa mudanya. Tetapi
sudah terlampau lama, dan pertemuan itu benar-benar hanya sekilas saja. Ia
hanya berkunjung ke perguruan Windujati, tidak lebih dari panjangnya senja
untuk menyampaikan pesan gurunya kepada Empu Windujati, yang sebenarnya bernama
Pangeran Windukusuma.
“Apakah Ki
Gede dapat mengatakannya kepada kami?” bertanya Samekta itu kemudian, sehingga
Ki Gede seolah-olah terbangun karenanya.
“Sayang,
Samekta,” jawab Ki Argapati,
“aku sudah
mencoba. Aku menyingkirkan orang-orang di dalam bilikku, termasuk anak-anak
gembala tua itu sendiri untuk mendengar pengakuannya, bahkan pada saat Pandan
Wangi keluar dari bilik itu pula, namun orang tua itu tidak mengatakan apa-apa
tentang dirinya.”
“Lalu apakah
kesimpulan Ki Gede tentang mereka?”
“Diakui atau
tidak diakui, mereka adalah orang-orang yang mempunyai ilmu yang cukup matang,
terutama gembala tua itu menurut pengamatanku. Aku mengharap, ia tidak sekedar
mengobati lukaku, tetapi ia bersedia untuk bertempur di pihak kita.”
Wrahasta
mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak mengucapkan sepatah kata pun.
“Apakah Ki
Gede sudah mengatakannya?”
Ki Gede
menggelengkan kepalanya,
“Belum. Aku
belum mengatakannya dengan tegas. Tetapi aku kira mereka telah menangkap
maksudku.”
Samekta
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan ia mendengar Ki Gede berkata,
“Panggil
mereka sebelum senja menjadi gelap. Kita tidak dapat memastikan, apa yang akan
terjadi malam ini. Aku kira Ki Tambak Wedi tidak akan terlampau bodoh untuk
menunggu sampai waktu yang dikatakannya. Tetapi aku kira juga belum malam ini.
Meskipun demikian, semua persiapan harus dimatangkan. Supaya kita tidak
terjebak oleh perhitungan kita sendiri yang salah.”
“Baik, Ki
Gede.”
“Aku sendiri
telah merasa jauh lebih baik. Dalam keadaan yang memaksa, aku sudah dapat
menghadapi Ki Tambak Wedi setelah aku mendapat pengobatan khusus.”
“Tetapi
jangan, Ki Gede. Masih terlampau berbahaya.”
“Ya, mungkin
begitu. Dan sekarang, panggil orang-orang itu kemari.”
Samekta dan
Wrahasta pun kemudian meninggalkan bilik itu dan memanggil gembala tua itu
bersama kedua anak-anaknya. Kepada mereka bertiga, Ki Argapati berkata terus
terang, bahwa ia menginginkan bantuan mereka di peperangan.
“Aku tahu,
kalian tidak berkepentingan langsung dengan peperangan ini, tetapi aku tahu
juga, bahwa kalian telah menempatkan diri kalian dalam suatu pendirian,”
berkata Ki Argapati.
Gembala tua
itu tidak segera menjawab.
“Persoalan
kalian mungkin adalah persoalan pribadi dengan Ki Tambak Wedi, atau mungkin
persoalan dengan Sidanti, yang apabila tidak tumbuh api yang membakar tanah
ini, dan membuat aku sendiri berdiri berhadapan dengan Sidanti dan Argajaya,
mungkin kalian pun akan menghadapi aku,” Ki Argapati berhenti sejenak.
“Tetapi
ternyata keadaan itu telah menjadi seperti ini.”
Laki-laki tua
itu menarik nafas. Sejenak dipandanginya wajah kedua muridnya. Kemudian
jawabnya,
“Kami tidak
berkeberatan, Ki Gede, tetapi apakah kemampuan yang dapat kami berikan?”
“Jangan
memperkecil nilai diri sendiri. Anakmu, yang bernama Gupita, mampu melukai Ki
Peda Sura.”
“Yang melukai
adalah Angger Pandan Wangi.”
“Tetapi betapa
pun bodohnya Pandan Wangi, namun ia dapat menilai betapa kemampuan Gupita itu.”
Gembala itu
tidak dapat membantah lagi.
“Nah, apabila
nanti Ki Tambak Wedi akan datang, sebelum aku mampu melawannya, aku akan
mcnyerahkan tombakku kepadamu, Kiai. Tombak lambang kekuasaan Tanah Perdikan
Menoreh.”
“Ki Gede.”
“Nanti dulu.
Aku tidak akan menyerahkan pimpinan peperangan ini kepada Kiai. Tidak.
Maksudku, aku mengharap bantuan Kiai untuk menahan Ki Tambak Wedi untuk
kepentingan Tanah ini. Untuk kepentinganku. Karena sebenarnya itu adalah
tanggung jawabku, betapa pun keadaanku sekarang.”
Orang tua itu
menarik nafas dalam-dalam. Kemudian jawabnya,
“Kalau hari
ini Ki Tambak Wedi datang, apa boleh buat. Hantu itu tidak boleh menyebarkan
maut tanpa dapat dikekang. Kami bertiga akan mencoba mencegahnya, apabila kami
mampu. Tetapi kalau hantu itu datang lain kali, maka aku harap Ki Gede tampil
di peperangan. Tetapi ingat, Ki Gede tidak boleh bertempur seorang melawan
seorang. Ki Gede harus bersikap sebagai seorang pemimpin pasukan yang berada di
dalam lingkungan pasukannya, sehingga peperangan akan melibat semua pihak. Ki
Gede dapat mengumpulkan semua orang yang cukup kuat bersama Ki Gede. Di pihak
lain, serahkanlah kepada kami.”
Ki Argapati
menarik nafas dalam-dalam. Memang seandainya Ki Tambak Wedi tidak datang malam
ini, maka malam berikutnya lukanya pasti sudah menjadi lebih baik, apabila
laki-laki tua itu mengobatinya dengan cara yang telah dilakukannya. Selain
obat-obat penyembuh luka, orang tua itu memberikan pula obat-obat yang dapat
memulihkan tenaganya.
“Baiklah,”
berkata Ki Argapati,
“hanya selama
aku belum mampu sama sekali turun ke peperangan.”
“Aku bersedia,
Ki Gede,” orang tua itu berhenti sejenak,
“bahkan,
apabila Ki Gede tidak berkeberatan, apakah kami dapat ikut dalam pasukan
berkuda itu, seandainya Tambak Wedi tidak menyerang malam ini?”
Ki Argapati
mengerutkan keningnya, “Apakah maksud Kiai?”
“Seperti
biasanya bukankah Ki Gede melepaskan sepasukan berkuda itu?”
Ki Argapati
tidak menjawab. Tetapi diamatinya saja gembala tua itu untuk sejenak. Ki
Argapati tidak segera dapat mengerti arah pembicaraan orang tua itu.
Ki Argapati
mengerutkan keningnya. Kemudian ia bertanya,
“Apakah Kiai
sudah akan mulai malam ini?”
“Kita harus
memberikan kejutan-kejutan yang akan dapat mempengaruhi perhitungan Ki Tambak
Wedi. Bukankah demikian juga tujuan pasukan berkuda itu?”
“Ya, tetapi
sejak Ki Tambak Wedi sendiri berusaha menjumpai pasukan itu, usaha itu telah
dihentikan.”
“Marilah kita
mulai lagi permainan itu. Permainan kejar-kejaran yang menyenangkan.”
“Tetapi,
bagaimana kalau selama kalian pergi, Ki Tambak Wedi menyerang pertahanan ini?”
“Berilah kami
tanda dengan panah berapi, kami akan segera kembali.”
“Apakah Kiai
tidak akan pergi terlampau jauh?”
“Apabila kami
belum yakin, bahwa pasukan Ki Tambak Wedi tidak bersiap untuk menyerang, kami
tidak akan pergi terlampau jauh.”
“Baiklah.”
“Malam ini,
kita akan mulai.”
Ki Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian dipanggilnya Samekta dan Wrahasta.
Keduanya harus segera menyiapkan pasukan berkuda itu untuk mulai lagi dengan
tugasnya bersama ketiga orang-orang itu. Wrahasta mengerutkan keningnya. Dan
tiba-tiba saja ia bertanya,
“Bagaimana
kalau pasukan itu bertemu lagi dengan Ki Tambak Wedi?”
“Serahkan
kepada orang tua itu,” jawab Ki Argapati.
Wrahasta
termenung sejenak. Demikian juga Samekta. Apakah Ki Gede sedang bermain-main,
atau menyindir orang tua itu, atau apa
pun maksudnya, namun kata-kata itu telah membuat mereka menjadi
keheranan.
“Sebelum malam
menjadi semakin dalam. Siapkanlah pasukan itu.”
Samekta dan
Wrahasta segera meninggalkan bilik itu dengan teka-teki di dalam kepala
masing-masing. Ia percaya, bahwa ketiga orang itu bukan gembala kebanyakan,
tetapi apakah mereka dapat bertanggung jawab, apabila mereka bertemu dengan Ki
Tambak Wedi? Tetapi hal itu pun tidak mustahil. Semua dapat terjadi pada orang
yang penuh dengan rahasia itu. Bahkan penilaian Wrahasta atas kedua anak-anak
muda itu pun harus dipertimbangkannya lagi. Namun dengan demikian, perasaan
cemburunya semakin lama justru semakin tajam menusuk jantungnya. Apalagi
agaknya tanggapan Ki Argapati atas ketiga orang itu terlampau baik. Meskipun
demikian, Wrahasta masih menahan semua perasaannya di dalam dadanya. Ia masih
harus berusaha menyesuaikan diri dengan keadaan, apalagi pada saat ketegangan
menjadi semakin memuncak. Perkembangan keadaan akan dapat naik dengan cepatnya.
Sejenak kemudian maka bergemeretakanlah telapak kaki-kaki kuda yang berlari
keluar dari regol padukuhan yang telah selesai meskipun tidak sebaik regol yang
lama.
“Ke manakah
kita akan pergi, Kiai?” bertanya pemimpin pasukan berkuda, yang menurut pesan
Samekta harus selalu berhubungan dengan gembala tua itu.
“Kita
melintasi penjagaan Sidanti. Kita masuki beberapa padesan, dan kita berbuat
sesuatu, untuk membuktikan bahwa kita cukup kuat.”
“Kemana kita
mula-mula akan singgah?”
“Ke induk
padukuhan tanah perdikan ini.”
“He?” pemimpin
pasukan itu terkejut, bahkan semua yang mendengar penjelasan itu pun terkejut
pula.
“Kenapa kalian
terkejut?”
Pemimpin
pasukan itu tidak segera dapat menjawab. Dan orang tua itu berkata seterusnya,
“Kita
melakukan dua pekerjaan sekaligus. Yang pertama, kita melihat, apakah Ki Tambak
Wedi akan menyerang kedudukan kita. Kalau tidak, kita akan mengejutkan mereka.”
“Tetapi itu
pasti sangat berbahaya, Kiai.”
“Bukankah kita
berkuda? Kita hanya lewat. Mungkin ada sedikit pekerjaan, namun kemudian kita
berpacu lagi meninggalkan mereka, untuk mengganggu tempat-tempat yang lain.”
“Tetapi,” pemimpin
pasukan itu ragu-ragu,
“tetapi, kalau
kita gagal meninggalkan padukuhan induk tanah perdikan ini, atau apabila korban
terlampau banyak jatuh, akulah yang harus bertanggung jawab. Bukan Kiai. Karena
akulah pemimpin pasukan ini.”
“Kau benar,
Ngger. Tetapi bagaimana kalau kita coba? Aku dapat mengambil alih tanggung
jawab itu.”
Sejenak
pemimpin pasukan itu menyahut. Namun tumbuh sepercik kecurigaan di dalam
dirinya. Apakah orang tua ini benar-benar dapat dipercaya? Ataukah seperti
dugaan Wrahasta semula, bahwa gembala yang bernama Gupita, dan tentu saja
ketiganya, adalah orang-orang Sidanti dalam tugas sandinya? Kini mereka akan
membawa pasukannya ke dalam suatu jebakan yang berbahaya.
“Tetapi
seandainya demikian,” katanya di dalam hati,
“kenapa ia
tidak membunuh Ki Argapati? Dan kenapa Ki Argapati sangat mempercayainya?”
“Bagaimana,
Ngger?” desak orang tua itu.
“Kita harus
segera menentukan arah sebelum kita sampai ke tikungan itu.”
Pemimpin
pasukan itu tidak segera dapat mengambil keputusan.
“Apakah Angger
berprasangka?” tiba-tiba orang tua itu bertanya.
Pemimpin
pasukan itu tergagap. Namun jawabnya,
“Bukan
berprasangka, Kiai, tetapi aku harus menimbang pertanggungan jawabku atas
pasukanku.”
“Angger
benar,” sahut orang tua itu,
“tetapi sudah
aku katakan, aku mau mengambil alih tanggung jawab kali ini.”
“Hanya Ki
Argapati atau yang diserahi pimpinan atas seluruh pasukan pengawal yang dapat
menyerahkan tanggung jawab atau memindahkannya.”
Gembala tua
itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kata-kata pemimpin pasukan itu memang
benar. Bagaimanapun juga, ialah yang harus bertanggung jawab atas semua
peristiwa yang terjadi atas pasukan ini. Karena itu, maka sejenak kemudian ia
berkata,
“Kau benar,
Ngger. Kau tidak dapat menyerahkan tanggung jawab itu kepada orang lain. Namun
demikian, aku ingin menyarankan, agar perjalanan kita ini dapat menimbulkan
pengaruh pada pasukan Ki Tambak Wedi. Bukan pengaruh jasmaniah, karena kita
memang tidak akan membantai para peronda yang kita temui. Tetapi seperti apa
yang dilakukan oleh Tambak Wedi hampir setiap hari. Dengan mengepung pusat
pertahanan kita, Ki Tambak Wedi tidak akan mendapat keuntungan apa pun yang
langsung kasat mata. Tetapi ia dapat mempengaruhi ketahanan hati kita. Ia dapat
membuat para pengawal menjadi gelisah dan berdebar-debar setiap malam,
seolah-olah mereka tidak akan mempunyai kesempatan untuk keluar dari pedukuhan
itu.”
Pemimpin
pasukan itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Setiap kali ia menjadi bimbang.
Namun setiap kali timbul pertanyaan di dalam kepalanya,
“Kenapa Ki
Gede begitu mempercayainya? Pasti bukan tidak beralasan, bahwa orang-orang itu
diperkenankan ikut dalam pasukan ini.”
“Sebentar lagi
kita akan sampai di tikungan,” desis gembala tua itu.
Setelah
menahan nafas sejenak, pemimpin pasukan berkuda itu berkata,
“Baiklah,
Kiai, kita akan lewat induk tanah perdikan yang telah direbut Sidanti. Tetapi
kita akan melalui jantung padukuhan induk itu.”
“Baiklah,
Ngger,” jawab orang tua itu, “nanti kita akan melihat perkembangan dari
perjalanan kita ini.”
Pemimpin
pasukan berkuda itu terdiam sejenak. Teringat olehnya seseorang, yang tiba-tiba
saja menghentikan perjalanan pasukannya ketika Ki Tambak Wedi mencegatnya. Dan
tiba-tiba saja ia telah menghubungkan orang yang menghentikannya itu dengan
orang tua yang kini berada di dalam pasukannya.
“Ya, orang itu
pasti orang tua ini. Meskipun saat itu aku tidak dapat melihatnya dengan jelas,
apalagi dalam keadaan yang sangat gawat, namun menurut tanggapan perasaanku,
orang itu pasti orang tua ini. Karena itu, agaknya ia sama sekali tidak takut
terhadap orang yang bernama Ki Tambak Wedi itu,” katanya di dalam hatinya.
Dengan demikian, maka hatinya pun
menjadi semakin tebal. Keragu-raguannya menjadi sangat berkurang, meskipun
tidak dapat lenyap sama sekali. Pasukan berkuda itu pun kemudian berpacu semakin cepat. Di
simpang jalan, maka pasukan itu segera memilih jalan yang menuju ke padukuhan
induk Tanah Perdikan Menoreh yang telah diduduki oleh Sidanti.
Sebelum mereka
sampai ke padukuhan induk, maka mereka berusaha menghindari setiap penjagaan,
agar para peronda dan para penjaga itu tidak sempat mengirimkan tanda-tanda
atau isyarat sandi. Mereka menempuh jalan di tengah-tengah bulak. Kalau sekali
dua kali mereka harus melewati perondan, maka mereka harus membuat orang-orang
yang sedang bertugas itu tidak berdaya sama sekali. Dengan tiba-tiba saja
mereka menyergap, mengikat mereka, kemudian menyumbat mulut mereka dengan ikat
kepala masing-masing. Kepercayaan anggota-anggouta pasukan berkuda kepada orang
tua itu dan kedua anak-anaknya semakin lama menjadi semakin tebal. Tidak
seorang pun yang mampu melawan mereka.
Setiap kali mereka bertemu dengan beberapa petugas di gardu-gardu, maka dalam
sekejap para petugas itu sudah tidak berdaya lagi. Mereka terpaksa membiarkan
diri mereka diikat pada batang-batang pohon di pinggir jalan dan membiarkan
mulut-mulut mereka itu pun disumbat.
“Mereka tidak
akan dapat mengirimkan berita sandi,” desis orang tua itu.
Sejenak
kemudaan, mereka pun telah menghadap sebuah padukuhan yang besar. Itulah
padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh. Sebuah desa kecil berada di depan
padukuhan induk itu, seolah-olah pintu gerbang yang harus mereka bukakan lebih
dahulu.
“Ada sepasukan
yang kuat di desa itu, Kiai,” berkata pemimpin pasukan.
“Kita
perlambat perjalanan kita,” desis orang tua itu. Kemudian katanya,
“Tetapi yang
pasti, kita tidak bertemu dengan pasukan Ki Tambak Wedi. Aku kira malam ini
mereka akan beristirahat, menyusun kekuatan untuk pada saatnya menyerang
pertahanan kita dan berusaha merebutnya.”
Pemimpin
pasukan berkuda itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kita tidak
dapat mencari jalan lain. Kita harus menerobos desa itu. Mungkin kita harus
bertempur, tetapi ingat, kita tidak akan melayani mereka. Kita hanya akan
lewat. Selanjutnya kita terus menuju ke padukuhan induk. Kalau kita nanti
kembali ke pusat pertahanan kita, kita tidak akan lewat desa ini lagi.”
“Orang-orang
di desa itu akan dapat mengirimkan tanda-tanda ke padukuhan induk.”
“Karena itu,
jangan layani mereka. Kita lewat dan berusaha melindungi diri kita. Jarak
antara desa itu dan padukuhan induk sudah dekat. Tanda-tanda sandi itu pasti,
belum sempat dicernakan, apalagi bersiap menyambut kedatangan kita.”
Pemimpin
pasukan berkuda itu mengerutkan keningnya. Kemudian diteriakkannya peringatan
bagi segenap pasukannya untuk bersiap.
“Kita tidak
akan melayani mereka. Kita hanya sekedar lewat,” katanya.
“Tetapi sudah
tentu kita harus melindungi diri kita, apabila mereka menyerang dan mencegat
perjalanan ini.”
Maka semua
orang di dalam pasukan itu pun segera mencabut senjata-senjata mereka. Beberapa
orang masih juga membawa cambuk seperti yang biasa mereka lakukan. Namun mereka
kini menjadi tercengang-cengang, ketika mereka melihat kedua anak-anak muda
yang menyebut dirinya anak gembala itu membawa cambuk pula.
“Wrahasta
tidak dapat mengalahkan anak muda yang bernama Gupita itu,” desis salah seorang
dari mereka.
“Wrahasta
tidak biasa bersenjatakan cambuk. Seperti kita, maka kita pun merasa amat
canggung dengan cambuk-cambuk itu di tangan,” jawab yang lain.
Kawannya tidak
menyahut. Tetapi ia hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Sementara
kuda-kuda mereka menjadi semakin mendekati desa kecil di hadapan mereka.
Setiap orang
di dalam pasukan itu pun menjadi semakin
tegang. Senjata-senjata mereka telah tergenggam erat-erat di dalam tangan
mereka. Sedang mereka yang bersenjatakan cambuk, telah memindahkan
cambuk-cambuk mereka dari tangannya, dan diselipkannya pada ikat pinggang.
Untuk menghadapi bahaya yang sebenarnya, mereka lebih mantap bersenjatakan
pedang. Yang memegang cambuk kemudian tinggallah Gupala dan Gupita. Cambuk bagi
mereka adalah senjata-senjata yang paling terpercaya. Sedang akibat bagi
lawannya pun tidak selalu berarti maut.
“Hati-hatilah
dengan cambukmu,” berkata gembala tua itu kepada dua orang muridnya.
“Ingat, yang
bercambuk di dalam pasukan ini adalah para pengawal Tanah Perdikan Menoreh.
Karena itu, caramu mempergunakan cambuk pun harus kau sesuaikan, kecuali
apabila kau dalam keadaan terpaksa.”
Kedua muridnya
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kita harus
berada di depan, supaya kita dapat menilai keadaan sebaik-baiknya,” berkata
orang tua itu pula.
Kedua muridnya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kepada pemimpin pasukan, gembala tua itu minta
ijinnya untuk berada beberapa langkah di depan pasukan, supaya mereka dapat
merintis jalan yang akan mereka lalui. Sebab, apabila penjagaan di desa itu
benar-benar kuat, dan di antaranya terdapat orang-orang yang penting, maka
jalan harus dibuka lebih dahulu supaya pasukan berkuda itu dapat lewat tanpa
banyak gangguan. Demikianlah, maka gembala tua itu memacu kudanya cepat-cepat.
Kemudian di kedua sisinya masing-masing Gupala dan Gupita. Mereka harus
melindungi pasukan yang akan lewat di sebelah menyebelah jalan, sedang guru
mereka akan berpacu terus menuntun seluruh pasukan. Ternyata para penjaga di
dalam padesan kecil itu menjadi heran. Dalam keremangan malam mereka melihat
sepasukan kecil orang-orang berkuda menuju ke desa mereka.
“Siapakah
mereka?” bertanya salah seorang dari para penjaga itu.
Kawannya menggeleng-gelengkan
kepalanya.
“Entahlah.
Mungkin pasukan inilah pasukan berkuda yang dibuat oleh Argapati.”
“Tetapi kenapa
mereka langsung menuju kemari?” Sekali lagi kawannya menggelengkan kepalanya.
Namun mereka
kemudian tidak sempat untuk berbicara lagi. Sejenak kemudian, mereka mendengar
pimpinan mereka memberikan aba-aba, agar seluruh pasukan yang berada di dalam
desa itu bersiap. Sejenak kemudian. perintah itu telah menjalar ke segenap
sudut. Namun di antara mereka ada yang dengan acuh tidak acuh berkata,
“Berapa orang
yang ada di dalam pasukan itu? Biarlah orang-orang yang ada di dalam gardu
peronda itu menyelesaikannya. Untuk menghadapi beberapa orang berkuda saja,
seluruh pasukan harus bersiap.”
Kawannya yang
mendengar kata-katanya mengerutkan keningnya. Bahkan ia menyahut,
“Mereka
menjadi sakit hati melihat kita sempat tidur malam ini.”
Keduanya
tertawa. Dengan malasnya mereka duduk bersandar sebatang pohon di pinggir
jalan. Sekali-sekali mereka mengumpat, bahwa tidur mereka terpaksa terganggu. Pasukan
berkuda itu telah berada di depan hidung para penjaga di regol desa. Beberapa
orang di antara mereka, berdiri di tengah jalan sambil mengacungkan tombak,
telempak, pedang, dan bermacam-macam senjata yang lain. Gembala tua yang
berkuda di paling depan memperlambat lari kudanya. Kini ia pun telah membawa cambuk di tangannya. Ketika
ia menjadi semakin dekat, maka ia pun
berteriak,
“He, menepilah
supaya kalian tidak terinjak kaki-kaki kuda kami.”
“Siapakah kalian?”
“Pengawal
Tanah Perdikan Menoreh seperti kalian. He, apakah kalian tidak mengenal kami
lagi?”
Pemimpin
pasukan yang ada di desa itu mengerutkan keningnya.
“Kami sedang
meronda daerah kami, tanah perdikan ini. Bukankah kalian sedang bertugas di desa
itu? Baik-baiklah dalam tugas kalian. Jangan sampai ada orang-orang yang tidak
dikenal menjamah tanah yang selama ini kita pertahankan mati-matian.”
Sejenak
pemimpin pasukan di desa itu menjadi termangu-mangu. Namun sejenak kemudian ia
berteriak,
“He, di pihak
manakah kalian berdiri sekarang?”
Pasukan
berkuda itu berhenti beberapa puluh langkah dari mulut lorong. Dan gembala tua
itu menjawab lagi,
“Kenapa kau
bertanya di pihak mana kita berdiri? Ada berapa kekuasaan sekarang ini di atas
tanah kita yang selama ini kita bina? Tidak ada orang lain yang kita akui
sebagai Kepala Tanah Perdikan, selain Ki Gede Menoreh. Bukankah begitu? Berapa
puluh tahun ia mengabdikan seluruh hidupnya untuk tanah ini, bahkan nyawanya
sekalipun apabila perlu? Berapa puluh tahun ia berjuang untuk membuat tanah ini
seperti, yang kita lihat sekarang? Kenapa kalian masih bertanya, di pihak mana
kita berdiri?”
Kata-kata itu
ternyata telah menyentuh setiap dada dari orang-orang Menoreh yang ada di desa
itu. Beberapa orang dari mereka telah terlempar dalam satu kenangan tentang
tanah ini sebelum terjadi kekisruhan.
“Apakah kalian
tidak ingat lagi, bagaimana keadaan tanah ini sebelum hadirnya Ki Tambak Wedi?”
berkata orang tua itu. “Kemudian kalian melihat sendiri, apakah yang terjadi sesudahnya?
Ternyata tanah ini telah terbakar oleh api ketamakannya. Bahkan Sidanti telah
tenggelam di dalam pengaruhnya.”
Pemimpin
pasukan di desa itu tidak segera menjawab. Sementara itu, gembala tua itu
berbisik kepada pemimpin pasukan berkuda yang ada di belakangnya,
“Sekarang.
Selagi mereka merenung. Ikuti aku. Biarlah Gupala dan Gupita mencegah mereka.”
Pemimpin
pasukan itu mengangguk. Dengan tangannya ia memberikan isyarat supaya
orang-orangnya bersiap. Sejenak kemudian, selagi orang-orang yang berdiri di
mulut desa di depan regol itu masih termangu-mangu, para pengawal itu telah
melecutkan kuda-kuda mereka. Serentak kuda-kuda itu seakan-akan meloncat
menerkam mereka yang masih berdiri di tengah jalan. Kejutan itu telah
menggerakkan mereka secara naluriah untuk berloncatan menepi. Ketika mereka
menyadari keadaan, maka kuda-kuda itu telah benar-benar berada di hadapan
mereka.
“Tahan
mereka,” teriak pemimpin pasukan yang berada di desa itu.
Para pengawal
desa itu seakan-akan terbangun dari tidur mereka. Serentak pula mereka
menggerakkan senjata mereka untuk menahan orang-orang berkuda itu. Tetapi
tiba-tiba mereka dikejutkan oleh ledakan cambuk di tangan Gupala dan Gupita. Beberapa
orang yang berdiri di paling depan terkejut. Ketika mereka menyadari diri mereka,
senjata-senjata mereka telah terlepas dari tangan. Namun para penjaga yang ada
di belakang mereka, segera mendesak maju dengan pedang yang teracu. Tetapi para
pengawal berkuda itu pun telah siap menyambut mereka. Mereka pun telah menggenggam senjata-senjata di
tangan. Tetapi seperti pesan yang mereka terima, mereka tidak akan bertempur.
Mereka hanya akan sekedar lewat, sambil melindungi diri mereka. Tetapi mereka
sudah pasti tidak akan dapat menghindarkan korban betapa kecilnya. Gupala dan
Gupita yang telah mendapat pesan gurunya mawanti-wanti, tidak juga dapat
menghindarinya. Ujung cambuknya ternyata tidak dapat menahan diri. Ketika para
penjaga itu semakin banyak menghalangi jalan mereka, maka Gupala dan Gupita
yang harus merambas jalan, terpaksa menyingkirkan mereka. Cambuknya meledak
semakin cepat dan keras. Bagaimanapun juga, pertempuran tidak dapat dihindari.
Namun para pengawal ternyata berada dalam kedudukan yang lebih baik. Mereka
berada di atas punggung kuda, dan kuda-kuda mereka tidak mereka tahan lagi.
Kuda-kuda itu berlari terus. Para penjaga yang tidak juga mau menepi
kadang-kadang terlanggar dan terpelanting jatuh sebelum mereka dapat
mempergunakan senjata-senjata mereka.
“Jangan
biarkan mereka lolos!” teriak pemimpin pasukan di desa itu.
Tetapi untuk
menahan mereka bukan pekerjaan yang mudah. Apalagi mereka berada di jalan yang
tidak terlampau lebar, sehingga mereka itu pun menjadi berdesak-desakan.
Tidak banyak
gunanya, di depan pasukan berkuda itu, karena di ujung pasukan itu berada seorang
gembala tua dengan cambuk di tangan. Setiap kali cambuk itu berhasil melilit
senjata lawannya dan kemudian melontarkannya ke udara. Meskipun agak lambat,
namun kuda-kuda itu maju. Gupala dan Gupita berada di sisi pasukan yang lewat
itu sambil membantu para pengawal menahan serangan yang datang bertubi-tubi.
Kadang-kadang ada di antara mereka yang melontarkan tombak mereka. Tetapi
setiap kali tombak-tombak itu terpelanting oleh sentuhan cambuk. Sejenak
kemudian, kuda-kuda itu pun telah berhasil melampaui penjagaan di ujung lorong
menyusup masuk ke dalam regol. Mereka kemudian tanpa menghiraukan para penjaga
itu lagi, memacu kuda-kuda mereka secepat-cepatnya.
“Jangan
biarkan mereka lolos, jangan biarkan mereka lolos!” teriak pemimpin pasukan di
desa itu. Tetapi arus dari pasukan itu sudah tidak tertahankan lagi. Mereka
memang tidak bernafsu untuk melayani dalam suatu lingkaran pertempuran. Karena
mereka hanya akan sekedar lewat.
“Tutup regol
di ujung lain!” teriak pemimpin penjaga.
Tetapi tidak
seorang pun yang sempat berlari
mendahului kuda itu. Setiap usaha dari para pengawal di desa itu untuk menahan
kuda-kuda itu, mereka terpaksa harus berloncatan minggir. Para pengawal yang
berlari-lari keluar dari halaman, tidak banyak dapat berbuat apa-apa. Mereka
hanya dapat melontarkan senjata-senjata mereka, tetapi para pengawal berkuda
itu pun berusaha menangkisnya. Apalagi
orang-orang yang bersenjatakan cambuk. Akhirnya, setelah mereka melampaui
sedikit rintangan di ujung lorong yang lain, mereka telah berhasil keluar dari
desa kecil itu, dengan meninggalkan kesan yang menggetarkan jantung. Para
penjaga di desa itu memang pernah mendengar, bahwa kadang-kadang Argapati
melepaskan sepasukan berkuda dengan orang-orang bercambuk. Tetapi mereka tidak
menyangka, bahwa tiba-tiba saja mereka telah berhadapan dengan pasukan itu.
Mereka tidak menyangka, bahwa orang-orang yang bersenjatakan cambuk itu
seakan-akan dapat mempergunakan senjatanya dalam segala kemungkinan. Membelit
senjata lawan, memungutnya, dan melemparkan ke udara. Kemudian menyentuh
tubuh-tubuh lawan-lawan mereka dengan meninggalkan bekas jalur-jalur merah yang
pedih. Bahkan kadang-kadang ujung cambuk itu mampu menyobek tubuh-tubuh
lawannya, dan mengucurkan darah.
“Bukan main,”
desis salah seorang yang tersobek pundaknya,
“aku tidak
tahu, bagaimana mungkin hal ini dapat terjadi. Aku hanya mengejapkan mataku.
Ternyata yang sekejap itu berakibat begitu mengerikan. Aku tidak tahu, apakah
akibatnya apabila aku harus melayaninya bertempur seorang lawan seorang.
Mungkin tubuhku telah menjadi hancur tidak berbekas.”
Kawannya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Di bawah lampu minyak ia menyaksikan luka di
pundak kawannya itu.
Mereka itu
tiba-tiba terkejut, ketika pemimpin mereka berteriak,
“Kirimkan
tanda ke induk pasukan!”
“Apakah
kuda-kuda itu akan pergi ke padukuhan induk?” bertanya salah seorang.
“Tentu, mereka
menuju ke sana. Tidak ada jalan lain kecuali sampai ke padukuhan induk itu.”
“Mereka akan
membunuh diri.”
“Karena itu
berikan tanda itu.”
Beberapa orang
kemudian segera memukul kentongan di gardu, dan yang lain melemparkan panah
berapi.
Sementara itu,
pasukan berkuda itu pun berpacu semakin mendekati padukuhan induk. Mereka
semakin mempercepat kuda-kuda mereka, agar mereka segera sampai sebelum
orang-orang di padukuhan induk itu sempat mencernakan tanda-tanda sandi yang
telah dikirim oleh orang-orang di desa kecil yang baru saja mereka tinggalkan. Namun
sementara itu, sambil berpacu, pemimpin pasukan berkuda itu sempat menghitung
orang-orangnya yang ternyata ada yang terluka. Tiga orang terluka agak parah,
meskipun mereka masih mampu berpegangan kendali kudanya, dan dua orang yang
lain tergores ujung-ujung pedang di kakinya.
“Pakailah obat
ini,” berkata gembala tua itu sambil memperlambat derap kudanya. Diserahkannya
beberapa butir obat kepada pemimpin pasukan,
“Remaslah
butiran-butiran reramuan itu, dan gosokkanlah pada luka-luka itu. Mudah-mudahan
dapat menolong untuk sementara.”
Sambil
berpacu, pemimpin pasukan itu membagikan obat-obat itu, meskipun dengan
demikian, iring-iringan itu menjadi agak lambat. Mereka yang terluka itu pun segera mcncoba menggosok luka-luka mereka
dengan obat yang diberikan oleh gembala tua itu. Ternyata obat itu dapat
menolong untuk sementara. Darah mereka tidak lagi terlampau banyak mengalir.
Bahkan seakan-akan telah menjadi pepat.
“Biarlah yang
terluka mendapat perlindungan dari kawan-kawannya,” berkata orang tua itu.
Lalu,
“Padukuhan
induk telah berada di depan kita. Kita akan menyusuri jalan di dalam padukuhan
itu. Cepat tanpa berhenti. Yang kita perlukan adalah kesan, bahwa kita bukan
pengecut yang hanya berani mengeram di balik dinding-dinding ori itu.”
Pemimpin
pasukan itu menganggukkan kepalanya, kepercayaannya kepada ketiga orang yang
bersenjata cambuk itu menjadi semakin tebal.
Ketika mereka
telah mendekati mulut lorong, mereka pun
telah menyiapkan diri mereka. Meskipun lorong ini bukan lorong yang membelah
alun-alun kecil di depan rumah Kepala Tanah Perdikan, namun lorong ini termasuk
lorong yang penting. Karena itu, maka di depan regol yang memasuki lorong
itu pun pasti dijaga cukup kuat. Dalam
pada itu, tanda-tanda yang dikirim oleh orang-orang yang bertugas di desa kecil
yang telah dilewati oleh pasukan berkuda itu
pun menggema semakin keras. Suara kentongan, dan panah-panah api yang
melontar ke udara telah menimbulkan berbagai pertanyaan di hati para penjaga.
Namun mereka menyadari, bahwa desa kecil itu sedang dilanda oleh bahaya.
“Kalian pun
harus bersiap,” perintah pemimpin peronda di regol padukuhan.
“He, pasukan
berkuda,” teriak yang lain.
Pemimpin
pasukan peronda itu tidak menyahut. Ia berdiri termangu-mangu. Betapa keheranan
mencekam dadanya. Ia tidak akan menyangka, bahwa orang-orang Argapati telah
menjadi gila, dan berani mendekati padukuhan induk. Namun dengan demikian, ia
menjadi ragu-ragu. Bahkan terdengar ia berdesis,
“Apakah mereka
akan berpihak kepada kita, dan mereka akan menyerahkan diri?”
Tetapi
tiba-tiba disadarinya, bunyi kentongan dan panah-panah api itu.
“Gila,” ia
menggeram, “apakah yang dapat dilakukan oleh pasukan itu?”
Namun para
peronda itu tidak mendapat terlampau banyak kesempatan untuk menduga-duga.
Pasukan berkuda itu tiba-tiba saja telah berada beberapa langkah saja di
hadapan mereka, tanpa mengurangi kecepatan lajunya.
Tetapi
pemimpin peronda itu sempat berteriak, “Hancurkan mereka!”
Maka
terulanglah perkelahian seperti yang terjadi pada saat mereka memasuki desa
kecil di depan padukuhan induk ini. Sekali lagi gembala tua itu menuntun
seluruh pasukan untuk maju terus, dan sekali lagi, Gupala dan Gupita berusaha
melindungi pasukan itu masing-masing di sebelah sisi, bersama-sama dengan
setiap orang di dalam pasukan itu yang berusaha melindungi diri mereka sendiri.
“Kita berjalan
terus,” teriak gembala tua yang berada di ujung pasukan dengan cambuk di
tangan.
Setiap kali
ujung cambuknya berhasil melemparkan senjata-senjata lawan, dan bahkan
kadang-kadang ujung-ujung cambuk itu telah melemparkan beberapa orang
sekaligus. Sengatan yang pedih membuat lawan-lawan mereka menjadi sangat
berhati-hati. Pertempuran itu pun tidak
berlangsung lama. Kuda-kuda itu kemudian berderap memasuki padukuhan induk.
Berderap di atas jalan berbatu-batu sambil melontarkan debu di belakang
kaki-kaki kuda itu.
“Pada suatu
ketika, padukuhan ini harus kita rebut kembali,” desis gembala tua itu. Dan
tanpa disangka-sangkanya, pemimpin pasukan itu berteriak tanpa kendali,
“Kita akan
merebut tanah ini.”
“Ya, kita akan
segera kembali,” sahut yang lain. Maka sejenak kemudian pasukan berkuda yang
berderap di lorong-lorong di dalam padukuhan induk itu pun berteriak-teriak nyaring,
“Kita akan
kembali. Kita akan kembali.”
“Ya, Ki
Argapati akan segera kembali. He, siapa yang mendengar suaraku,” teriak
pemimpin pasukan,
“Ki Argapati
akan segera kembali.”
Suara
teriakan-teriakan itu telah mengejutkan beberapa orang yang masih tinggal di
rumah masing-masing. Teriakan-teriakan itu telah menggetarkan dada mereka.
Apalagi mereka yang merasa, bahwa selama ini berpihak kepada Sidanti dan
Argajaya.
“Apakah
pasukan Argapati telah memasuki padukuhan ini?” pertanyaan itu melonjak di
dalam dada mereka,
“Mustahil,
mustahil.”
Dan suara
teriakan-teriakan itu sudah menjauh. Kehadiran pasukan berkuda di padukuhan
induk itu benar-benar telah menggemparkan. Semua orang terpukau untuk sesaat
mendengar suara tengara di gardu-gardu. Mereka tidak percaya, bahwa padukuhan
ini telah dilanda oleh bahaya. Tetapi mereka harus melihat suatu kenyataan.
Sepasukan pengawal berkuda telah memasuki padukuhan induk, berpacu di
lorong-lorongnya. Setiap kali mereka bertemu dengan sepasukan peronda, maka
para peronda itu sama sekali tidak berdaya. Tengara itu pun kemudian terdengar oleh para pemimpin
pasukan di pihak Sidanti. Ki Tambak Wedi sendiri, Sidanti, Argajaya, dan yang
lain, menjadi heran mendengar kentongan di gardu-gardu. Sementara mereka
menunggu laporan. Akhirnya datanglah seorang peronda, menyampaikan apa yang
mereka lihat, dan apa yang mereka alami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar