Jilid 060 Halaman 1


PENGAWAL itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian,
“Baiklah. Beristirahatlah sambil menunggu. Mungkin. Kita memang harus menunggu sampai mendekati tengah malam.”
Dalam pada itu di serambi Sutawijaya duduk bersama Kiai Gringsing dan Sumangkar. Di belakang Sutawijaya pengawas yang terluka itu pun duduk pula bersandar tiang. Tetapi di tangannya sudah siap pula sehelai pedang. Meskipun lukanya masih terasa sakit, namun ia tidak akan dapat duduk berpangku tangan apabila keadaan menjadi semakin panas. Sedang Swandaru dan Agung Sedayu duduk di tangga memandang ke dalam kegelapan malam, seolah-olah ingin melihat langsung orang-orang Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak yang sedang merayap mendekati barak itu.
Swandaru yang gelisah itu pun kemudian berkata,
“Aku tidak sabar lagi. Apakah yang mereka tunggu. Malam sudah cukup gelap. Kita pun sudah siap. Apalagi?”
“Sst,” desis Agung Sedayu,
“mereka tidak akan menyerang begitu saja tanpa perhitungan.”
“Apalagi yang mereka perhitungkan?”
“Itulah yang kita tidak tahu.”
“Aku akan tidur saja.”
“Nah, itulah salah satu hal yang mereka tunggu.”
“Apa?”
“Orang-orang di barak ini menjadi jemu menunggu dan tidur pulas.”
“Ah,” Swandaru berdesah,
“ada-ada saja kau ini. Sudah tentu aku mempunyai perhitungan sendiri.”
“Apa?”
“Kalau aku tidur, aku pasti sudah mempercayakan pengawasan kepada orang lain.”
“Siapa?”
“Kau. Belum saja aku selesai berbicara. Aku akan tidur. Kau yang harus mengawasi keadaan. Kalau musuh itu datang, kau harus membangunkan aku. Tetapi jaga, jangan sampai aku terkejut. Kalau aku terkejut, aku tidak akan dapat berbuat apa-apa karena bingung.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia sedang berpikir, bagaimana ia harus menjawab. Tetapi ternyata Swandaru sudah berkata,
“Jangan mengada-ada. Kau tidak usah menjawab. Kau tinggal menjalankan perintah. Tidak ada alasan untuk mengelak.”
“Aku tidak akan mengelak,” berkata Agung Sedayu,
“tetapi aku ingin bertanya, di mana kau akan tidur?”
“He?”
“Di mana kau akan tidur? Di sini? Bersandar dinding atau bersandar aku?”
“Tidak bersandar. Aku dapat tidur sambil duduk tanpa bersandar apa pun.”
“Cobalah,” berkata Agung Sedayu,
“aku ingin melihat.”
Swandaru mengerutkan keningnya. Kemudian ia pun menyilangkan kedua tangannya di dada. Matanya pun segera terpejam. Tetapi ia pun segera membelalakkan matanya ketika Agung Sedayu berdiri dan melangkah pergi.
“He, kemana kau?”
“Melihat musuh di luar pagar. Kalau ada aku akan membangunkan kau.”
“Ah kau,” Swandaru pun kemudian berdiri dan meloncat menyusul Agung Sedayu.
“Kenapa kau tidak jadi tidur?”
“Aku sudah puas tidur sejenak. Aku tidak kantuk lagi.”
Keduanya pun kemudian menghilangkan kejemuan mereka sambil berjalan hilir-mudik di halaman. Di beberapa tempat mereka melihat kelompok-kelompok kecil yang berserakan. Masing-masing dipimpin oleh seorang pengawal. Setiap kelompok terdiri dari tiga atau empat orang. Kelompok-kelompok yang sedang ditinggalkan oleh pimpinannya mengawasi keadaan, masih harus bergabung dengan kelompok yang lain sampai pengawal yang harus memimpinnya itu kembali.
“Cukup banyak,” desis Agung Sedayu,
“selain orang-orang tua yang bertugas menjaga pintu-pintu masuk ke dalam barak, ada kira-kira duapuluh lima orang yang telah bersiaga untuk bertempur apabila orang-orang Kiai Damar itu benar-benar datang.”
“Ya. Dua puluh lima orang, ditambah dengan para pengawal itu sendiri dan kita berlima.”
“Kenapa lima?”
“Kita berdua, guru, Ki Sumangkar, dan Raden Sutawijaya.”
“Pemimpin pengawas itu?”
“Jangan dihitung. Kalau kau mau menghitung juga laki-laki berambut putih itu.”

Agung Sedayu tidak menyahut. Tetapi tampaknya kekuatan itu cukup baik untuk menghadapi setiap kemungkinan. Namun tidak ada seorang pun yang tahu, berapa jumlah sebenarnya dari kekuatan Kiai Damar dan Kiai Te-lapak Jalak. Keterangan dari orang yang dapat ditangkapnya tidak akan dapat dipergunakan sebagai pegangan. Masih ada kemungkinan bahwa orang itu sengaja membuat kesan yang salah, agar orang-orang dibarak ini menjadi lengah. Namun demikian, keterangan-keterangan yang dapat disadap dari orang-orang itu akan dapat dijadikan bahan pertimbangan. Demikianlah malam pun menjadi semakin malam. Orang-orang yang menunggu dengan berdebar-debar itu semakin lama menjadi semakin jemu sehingga suasana di barak itu terasa menjadi semakin gelisah.
“Kegelisahan adalah lawan yang harus diatasi pula,” berkata seorang pengawal kepada orang-orang di dalam kelompoknya. Dan seorang pengawal yang lain yang berdiri tidak jauh daripadanya bersama kelompok kecilnya, menyambung,
“Kalau kita tidak dapat mengatasi kegelisahan semacam ini, maka kita akan kehilangan kewaspadaan. Kesabaran dan keseimbangan di dalam keadaan semacam ini dituntut oleh keadaan. Lawan kita agaknya sengaja menunggu sampai kita menjadi jemu dan kehilangan ketajaman pengamatan atas keadaan yang berkembang selanjutnya.”
Orang-orang di dalam kelompok-kelompok kecil itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka mencoba untuk menyadari keadaannya. Mereka mencoba untuk menenangkan perasaannya masing-masing. Sejenak kemudian seorang pengawal yang berdiri di sudut barak menengadahkan kepalanya ke langit. Dilihatnya bintang gubug penceng di ujung Selatan, hampir berdiri tegak lurus. Karena itu, maka ia pun berkata,
“Hampir tengah malam. Adakah saat-saat semacam ini yang selalu dipilih oleh hantu-hantu itu untuk keluar dari sarang mereka?”
“Ya,” jawab salah seorang dari penghuni barak yang ada di dalam kelompok itu.
“Bagus. Kita akan menunggu sejenak.”
Belum lagi kata-kata itu lenyap dari pendengaran, tiba-tiba seisi barak itu dikejutkan oleh suara derap kaki-kaki kuda. Tetapi tidak begitu banyak. Namun yang menggetarkan setiap dada penghuni barak itu adalah suara gemerincing yang semakin lama menjadi semakin keras.
“Hantu itu datang lagi,” terdengar desis seseorang. Untunglah bahwa tidak seorang pun yang mendengarnya. Namun demikian, hampir setiap dada telah mengucapkan kata-kata yang serupa,

Orang-orang yang ada di serambi pun segera berloncatan berdiri. Tetapi Kiai Gringsing segera mencegah mereka,
“Jangan tergesa-gesa mengambil sikap. Kita menunggu perkembangan keadaan. Bukan inilah lawan yang sebenarnya.”
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Mungkin Kiai benar. Tetapi aku akan berada di antara para pengawal dan orang-orang dari barak ini yang sudah bersiaga di halaman.”
“Kita pergi bersama-sama.”
Demikianlah mereka pun segera menuruni tangga serambi barak itu. Sejenak mereka berdiri di dalam kegelapan untuk menuai keadaan yang bakal berkembang.
“Kuda itu datang dari arah belakang,” berkata Kiai Gringsing. Mereka masih ingin mempengaruhi perasaan kita dengan cara yang sudah sekian lama dipergunakannya.”
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sependapat dengan Kiai Gringsing. Orang itu masih berusaha mempergunakan sisa-sisa pengaruh yang mereka tanamkan untuk waktu yang lama atas perasaan orang-orang di dalam barak itu. Dan sedikit banyak usaha mereka itu berguna pula. Masih saja ada di antara orang-orang penghuni barak itu yang meremang mendengar bunyi gemerincing yang menggelitik jantung itu. Beberapa orang telah berusaha memerangi perasaan itu dengan nalar. Mereka mencoba meyakini, bahwa sebenarnya hantu-hantu itu adalah permainan yang menggelikan saja, seperti anak-anak bermain hantu-hantuan di malam hari. Siapa yang penakut, akan menjadi benar-benar ketakutan karenanya, meskipun mereka tahu benar, bahwa mereka sedang bermain-main.
Sejenak kemudian suara gemerincing itu pun menjadi semakin dekat. Namun kemudian berhenti beberapa puluh langkah dari barak.
“Mereka berhenti,” berkata Sutawijaya.
“Mereka agak menjadi bingung karena lampu-lampu itu telah berubah letaknya. Mereka tidak mempunyai ancar-ancar lagi.”
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Biasanya mereka mengelilingi barak ini,” desis Kiai Gringsing yang berdiri di tempat yang terlindung.
Sutawijaya tidak menyahut. Namun ternyata bahwa dugaan mereka itu benar. Kuda-kuda itu mulai bergerak kembali dan mencoba mengelilingi barak. Tetapi karena mereka kehilangan ancar-ancar, maka mereka telah mengambil jarak yang agak panjang.
“Mereka berusaha meredupkan gairah keberanian kita di sini,” berkata Kiai Gringsing,
“kemudian pasukan mereka yang sebenarnya akan datang.”
“Ya.”
“Kita harus mulai bersiap-siap.”

Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Diperintahkannya seorang pengawal untuk menyampaikan perintahnya. Sejenak kemudian pengawal itu telah mengelilingi halaman meskipun ia berusaha selalu berada di dalam kegelapan dan perintah Sutawijaya pun telah tersebar,
“Bersiap.”
“Kita hampir mulai,” berkata salah seorang pengawal kepada orang-orang di dalam kelompoknya,
“bersiaplah. Lahir dan batin.”
“Suara gemerincing itu?” tiba-tiba salah seorang bertanya.
“Hantu-hantu Alas Mentaok. Tetapi hantu-hantu yang ini sama sekali tidak menakutkan lagi. Bukankah di serambi kita juga telah menahan beberapa sosok hantu semacam itu.”
Dada orang itu berdesir. Namun kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya sambil bergumam kepada diri sendiri.
“Tidak ada hantu. Yang ada adalah orang-orang liar yang buas itu. Aku harus melawan sebelum mereka membinasakan seluruh keluargaku.”
Dengan demikian hatinya yang sudah mulai tumelung, tiba-tiba telah tengadah kembali. Sambil menggeretakkan giginya ia telah mempersiapkan senjatanya untuk menghadapi setiap kemungkinan. Orang-orang yang ada di halaman barak itu telah bersiap dalam kesiagaan tertinggi. Setiap saat mereka dapat mulai. Mereka tinggal menunggu perintah untuk bertempur. Dalam pada itu, suara gemerincing itu pun bergerak perlahan-lahan sekali. Tidak seperti yang biasa mereka lakukan. Rasa-rasanya barak itu sudah berubah. Namun akhirnya mereka menyadari, bahwa sebenarnya hanya lampu-lampu sajalah yang berubah letaknya. Barak itu masih tetap berada di tempatnya. Perlahan-lahan mereka mulai melihat cahaya yang sangat redup membayang di dalam dinding barak.
“Pasti akal Sutawijaya,” desis salah seorang dari hantu-hantu itu.
“Marilah kita teruskan perjalanan ini. Kita harus berputar tiga kali. Sesudah itu, maka pasukan yang bersembunyi di sekitar barak ini akan segera menyerbu. Putaran kita merupakan aba-aba bagi mereka.”
Suara gemerincing itu pun kemudian bergerak pula. Mereka telah mengelilingi hampir separo bagian dari perjalanan mereka. Namun dalam pada itu, salah seorang pengawas yang ada di luar barak telah berhasil menyusup kembali masuk ke halaman. Dengan nafas terengah-engah ia berkata,
“Aku tidak melepaskan panah sendaren karena aku mempunyai kesempatan untuk kembali. Mereka sudah bergerak mendekat. Tetapi mereka agaknya masih menunggu.”
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak segera mengambil sikap. Sambil memandang ke dalam kegelapan ia berkata,
“Kita akan menunggu mereka. Semua orang di halaman ini sudah bersiaga.”
Pengawas itu mengangguk-anggukkan kepalanya pula.
“Kembalilah ke dalam kelompokmu. Kau tidak usah mendekati lawan lagi. Kita sudah dapat menduga di mana mereka berada.”
Belum lagi percakapan itu selesai, ternyata pengawas yang lain pun telah melihat kedatangan orang-orang yang hendak menyerang barak itu. Tetapi ia tidak berbuat seperti pengawas yang terdahulu. Ternyata ia lebih senang melepaskan anak panah sendaren. Suara sendaren itu pun berdesing menyobek sepinya malam. Namun demikian, suaranya bagaikan gelora yang dahsyat di setiap dada. Baik di dada orang-orang yang menunggu di barak, mau pun orang-orang yang sedang mengendap-endap di gerumbul-gerumbul.
“Agaknya pengawas dari barak itu telah melihat gerakan kita,” desis Kiai Damar yang berdiri di samping Kiai Telapak Jalak.
“Suara panah sendaren itu pasti suatu isyarat bagi mereka.”
Kiai Telapak Jalak mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia bergumam.
“Kenapa orang-orangmu yang berkuda melingkari barak itu sebagai isyarat, berjalan terlampau lamban.”
“Tidak begitu kebiasaan mereka. Suara gemerincing itu memang seolah-olah tidak bergerak.”

Kiai Telapak Jalak menjadi tegang. Agaknya sudah tidak ada gunanya lagi menunggu isyarat suara gemerincing itu melingkari barak sampai tiga kali. Ia yakin bahwa pengawas-pengawas yang mengawal Sutawijaya dapat bertindak jauh lebih sempurna dari orang-orang di barak itu. Mereka sudah mempunyai banyak pengalaman sehingga mereka mengerti gunanya pengawasan. Dalam pada itu, orang-orang yang berkuda dengan kerincing itu pun menjadi bingung. Mereka juga mendengar suara panah sendaren yang terbang di udara. Dan mereka juga mengerti, bahwa di kelompoknya tidak seorang pun yang mempergunakan isyarat itu.
“Pasti suara isyarat orang-orang Sutawijaya,” desis salah seorang dari mereka.
“Kita percepat langkah kuda kita.”
“Kita hampir tersesat. Lampu-lampu di barak itu membingungkan.”
“Kita sekarang sudah mengetahuinya dengan pasti. Kita dapat berpacu agak cepat.”
“Baiklah. Kita akan berpacu.”
Mereka pun segera mencambuk kuda mereka, sehingga kuda-kuda itu pun segera berloncatan di dalam gelap. Menyusup di antara gerumbul-gerumbul yang liar. Namun  sekali tidak mengerti, bahwa di hadapan barak agak menjorok masuk ke dalam padang perdu, Swandaru dan Agung Sedayu telah merentangkan tali-tali lulup, sehingga karena itu, maka hampir bersamaan, dua ekor kuda telah terjerat. Kuda yang lain menjadi sangat terkejut karenanya, sehingga ketika dua ekor kuda yang terjerat itu jatuh terjerembab, maka yang lain pun menjadi liar pula karenanya. Namun seperti yang dua itu, kuda-kuda yang lain pun telah terjerat pula dan berjatuhan tindih-menindih. Suara ribut dan ringkik kuda itu telah mengejutkan Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak di kejauhan. Mereka segera menyadari bahwa telah terjadi sesuatu yang tidak sewajarnya. Karena itu, maka Kiai Telapak Jalak pun segera berkata,
“Kita menempuh cara kedua. Kita melontarkan panah api. Pasti terjadi sesuatu dengan hantu-hantuanmu itu.”
Kiai Damar tidak menyahut. Ia pun segera menyalakan api dan membakar dimik belirang. Setelah ujung sebuah panah api dibakarnya, maka panah itu pun segera dilontarkannya ke udara. Sebuah nyala yang merah telah naik memanjat langit. Sinarnya memancar ke segenap arah, sehingga orang-orang Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak pun dapat melihatnya. Karena itu, maka mereka menyadari bahwa telah jatuh perintah bagi mereka untuk menyerang isi barak yang terpencil itu. Seperti banjir bandang, orang-orang itu pun segera berloncatan maju. Sambil berteriak-teriak mengerikan mereka mengacukan senjata mereka. Sementara Kiai Damar meneriakkan perintah,
“Jangan ada yang tersisa!”

Dalam pada itu, di halaman barak, Sutawijaya, Kiai Gringsing dan murid-muridnya serta Ki Sumangkar, menyaksikan pula nyala api yang terbang di udara. Mereka pun segera menduga, bahwa itu pasti suatu perintah bagi orang-orang-Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak. Karena itu, maka Sutawijaya pun segera meneriakkan perintah kepada para pengawas yang memimpin kelompok-kelompok kecil untuk bersiap menghadapi lawan yang sebentar lagi pasti akan datang. Para pengawal yang bertugas mengawasi keadaan pun telah bermunculan masuk kembali ke halaman. Mereka segera berlari-lari ke kelompoknya dan langsung membawa mereka ke pagar halaman.
“Kita menyambut mereka. Kita tidak akan menunggu. Kita harus menyongsong mereka,” berkata para pengawal.
Kelompok-kelompok kecil itu pun kemudian berloncatan dengan senjata terhunus. Sekali para pengawal memperingatkan, kalau mereka menyerah, berarti kepala mereka akan terpisah. Bukan saja kepala mereka, tetapi juga anak-anak dan isteri mereka. Ternyata orang-orang Kiai Damar itu tidak semuanya datang dari depan. Ada beberapa kelompok yang menyerang barak itu dari belakang. Namun Sutawijaya pun telah meletakkan beberapa kelompok kecil untuk melawan kemungkinan itu. Sejenak kemudian barak itu menjadi hiruk-pikuk. Suara derap kaki terdengar di segala penjuru. Di kejauhan orang-orang Kiai Damar berteriak-teriak mengerikan. Sutawijaya masih berdiri tegak di halaman. Ia harus menguasai seluruh medan. Karena itu, maka katanya kepada Agung Sedayu dan Swandaru,
“Tinggallah di sini. Awasilah bagian belakang dari barak ini. Kalau jumlah mereka ternyata terlampau banyak, maka kau berdua harus ikut campur pula. Aku bersama gurumu dan Ki Sumangkar akan menyongsong mereka.” Sutawijaya berhenti sejenak, lalu,
“Tetapi apabila kau bertemu dengan Kiai Damar atau Kiai Telapak Jalak, kau harus memberikan isyarat agar gurumu datang membantumu.”
“Apakah isyarat itu.”
“Suruh seseorang membunyikan kentongan dua ganda.”
Agung Sedayu dan Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Sebenarnya ia ingin ikut menyongsong lawan yang datang dari depan, tetapi yang datang dari belakang pun merupakan bahaya yang harus mendapat perhatian. Sejenak kemudian Sutawijaya yang kali ini membawa tombaknya segera berlari menyongsong lawan diikuti oleh Kiai Gringsing dan Sumangkar. Menilik isyarat yang melonjak ke udara dari arah depan, maka agaknya pemimpin-pemimpin mereka pun ada di sana pula.

Agung Sedayu dan Swandaru yang masih berdiri di halaman menjadi termangu-mangu sejenak. Ketika mereka berpaling, dilihatnya beberapa laki-laki bersenjata berdiri di serambi. Mereka adalah laki-laki yang telah mendekati separuh baya. Mereka harus menjaga perempuan dan anak-anak apabila ada di antara lawan yang berhasil menerobos pertahanan. Ternyata bahwa mereka pun telah berbuat sebaik-baiknya. Mereka tidak saja berdiri di muka pintu, tetapi dalam kelompok-kelompok kecil mereka berdiri di sudut-sudut barak. Empat atau lima orang. Beberapa di antara mereka benar-benar berdiri di muka pintu, sedang yang lebih tua lagi dari mereka berada di dalam barak. Tetapi yang ada di dalam barak itu pun telah mempersenjatai diri mereka bersama anak-anak tanggung.
“Pertahanan yang berlapis-lapis ini agaknya cukup baik,” berkata Agung Sedayu. Lalu,
“Marilah kita melihat di bagian belakang dari barak ini.”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Keduanya pun kemudian berjalan tergesa-gesa ke bagian belakang dari barak itu, karena dari arah itu pun beberapa orang musuh agaknya berusaha menembus pertahanan para pengawal yang memimpin beberapa orang dari barak itu. Tetapi pertahanan di bagian belakang itu tidak begitu kuat dibandingkan dengan jumlah orang-orang yang ada di bagian depan dan samping sebelah-menyebelah. Belum lagi keduanya sampai di halaman belakang, mereka terkejut ketika mereka melihat dua orang yang berlari-larian langsung menuju ke barak dengan senjata terhunus. Menilik sikap dan tandangnya, mereka pasti bukan pengawal Sutawijaya dan bukan pula orang dari barak itu. Agaknya dua orang lawan telah berhasil menyusup mendekati barak. Ketika Agung Sedayu hampir saja meloncat mengejar, Swandaru berkata,
“Kita lihat, apa yang akan dikerjakan oleh orang-orang tua itu.”
“Ah kau, apakah kita menunggu jatuhnya korban.”
“Tidak, Kita membayanginya.”
Keduanya pun kemudian berlari-lari mengikuti orang itu. Agaknya orang itu langsung menuju ke serambi. Mereka membawa perintah dari pemimpin mereka, membunuh setiap orang di dalam barak itu. Kalau mungkin menimbulkan keributan, agar perempuan dan anak-anak berteriak-teriak dengan kerasnya, dan mempengaruhi perlawanan suami-suami mereka. Tetapi kedua orang itu terkejut. Ternyata masih ada beberapa orang laki-laki di serambi, meskipun laki-laki yang sudah agak lanjut usia. Karena itu, keduanya pun segera berhenti mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan yang tidak terduga-duga itu. Empat orang laki-laki telah mendekati keduanya. Bahkan masih, ada tiga orang lagi dari sudut serambi itu. Tujuh orang. Kedua orang itu menjadi termangu-mangu sejenak. Namun mereka sadar, bahwa tujuh orang itu bukanlah pengawal-pengawal yang sudah mapan mempergunakan senjata. Agaknya orang-orang tua itu pun tidak banyak membuang waktu. Salah seorang dari mereka mengucapkan kata-kata sandi. Tetapi dua orang itu tidak dapat menjawab dengan tepat. Karena itu, hampir berbareng ketujuh laki-laki itu menyerangnya. Adalah di luar dugaan. Salah seorang laki-laki tua itu ternyata dengan tangkasnya menggerakkan senjatanya. Sambil menyerang salah seorang lawan ia berkata,
“Aku pernah menjadi pengawal padukuhanku. Aku pernah mendapat latihan olah kanuragan dari kakekku selagi aku berumur 20 tahun. Ternyata sekarang aku baru mempergunakannya.”
Tetapi bukan seorang itu saja yang membuat lawannya berdebar-debar. Laki-laki lain pun telah menyerang lawan mereka yang lain sambil berkata,
“Aku pernah mengikuti pendadaran menjadi seorang prajurit ketika aku muda meskipun dari orang-orang ini.”

Namun demikian, ternyata mereka tidak setangkas lawan-lawannya. Hampir saja senjata lawan-lawan mereka langsung menembus tubuh mereka. Untunglah bahwa mereka berjumlah tujuh orang seluruhnya, sehingga dengan demikian dua orang lawan itu pun agaknya harus berjuang mati-matian.
“Gila,” geram salah seorang dari kedua orang yang berhasil menyusup ke halaman itu,
“orang-orang ini benar-benar sudah jemu hidup.”
“Lebih baik kamilah yang mati lebih dahulu daripada perempuan dan anak-anak.”
“Kalian akan mati dan perempuan dan anak-anak itu pun akan mati pula.”
“Jangan membual.”
Ternyata meskipun ketujuh orang itu sudah hampir sampai ke pertengahan abad, namun tenaga mereka masih hampir utuh. Mereka masih sanggup mengayunkan kapak menebang pohon-pohon raksasa di hutan-hutan. Dan kini mereka pun masih sanggup mengayunkan senjata mereka melawan dua orang. Tetapi kawan-kawannya yang lain agaknya tidak sampai hati membiarkan ke tujuh orang itu berkelahi mati-matian. Yang berada di sudut lain pun segera membagi diri. Mereka berada di sana empat orang. Yang dua berkata,
“Aku akan membantu mereka. Kau awasi keadaan. Kalau kau melihat ada orang datang, berteriaklah memanggil kami.”
“Baiklah,” jawab yang lain.
Yang dua orang pun segera berlari-lari mendekati medan perkelahian di halaman itu. Bahkan tiga orang anak-anak muda tanggung yang berada di dalam barak pun telah keluar pula meskipun ibuya melarangnya,
“Jangan Ngger. Jangan.”
“Aku hanya akan melihat saja, Ibu.”
Tepat pada saat kedua orang yang berlari-lari dari sudut yang lain itu mendekat, salah seorang dari ketujuh orang yang berkelahi itu berdesis. Ujung senjata lawannya telah mengenai lengannya, sehingga ia harus meloncat mundur. Tetapi dua orang lain segera menggantikannya. Anak-anak tanggung itu pun akhirnya tidak hanya sekedar melihat saja. Mereka pun ikut pula mengurung dua orang lawan yang tidak menduga akan mendapat lawan sekian banyaknya. Di serambi, kawan-kawannya yang sudah tertawan lebih dahulu menjadi gelisah pula. Tetapi mereka mendapat penjagaan yang cukup kuat, selain tangan mereka telah terikat.

Beberapa orang di antara mereka mulai mencoba untuk merencanakan suatu usaha, agar mereka dapat terlepas. Tetapi meskipun yang menjaga mereka adalah orang-orang tua, namun ikatan tangan mereka yang dikaitkan dengan ikatan kawannya yang lain, sepasang demi sepasang, sangat mengganggunya, selain luka-luka yang memang masih terasa terlampau sakit. Tetapi mereka pun sadar, apabila mereka tidak dapat lepas dari ikatannya, apabila kawan-kawannya tidak mendapat kesempatan membebaskannya, maka akibatnya pasti akan sebaliknya. Kawan-kawannya pasti akan justru membunuhnya. Sekilas mereka memandang senjata-senjata terhunus di tangan laki-laki yang sudah mendekati setengah abad. Salah seorang dari mereka berkata kepada diri sendiri,
“Kalau saja aku mendapat kesempatan melepaskan tanganku. Orang-orang tua itu tidak akan banyak berarti bagiku.”
Belum lagi orang-orang itu menemukan cara yang sebaik-baiknya untuk melepaskan diri, ternyata mereka mendengar orang-orang di sudut barak itu berteriak-teriak,
“Bunuh saja. Bunuh saja keduanya.”
Tetapi orang-orang itu tidak dapat melihat dengan jelas, apa yang terjadi di sudut barak itu. Dalam pada itu, ternyata bahwa salah seorang dari kedua orang yang menyusup ke halaman itu, tidak mampu lagi menahan serangan-serangan sekian banyak ujung senjata. Bahkan ketika sepotong besi yang panjang menyentuh matanya, ia kehilangan keseimbangan. Sekejap ia memejamkan matanya. Namun yang sekejap itu berakibat kekal padanya, karena sehelai pedang telah terhunjam di dadanya. Kemudian disusul oleh tikaman-tikaman yang hampir bersamaan waktunya. Dengan demikian maka orang itu pun segera roboh di tanah untuk tidak akan pernah bangun kembali. Kini yang melakukan perlawanan atas mereka tinggal seorang saja. Meskipun ia sudah berhasil melukai beberapa orang, tetapi luka-luka yang tidak berarti sama sekali. Ia sadar, bahwa ia seorang diri tidak akan dapat melawan sekian banyak orang, meskipun mereka bukan pengawal tanah Mataram. Karena itu, maka lebih baik baginya untuk segera menyingkir dan kembali ke induk pasukannya saja.
Karena itu, maka sejenak kemudian, ia pun segera meloncat ke luar dari lingkaran perkelahian dan langsung berlari kencang-kencang meninggalkan orang-orang yang masih mengejarnya. Tetapi malang baginya. Di dalam kegelapan kakinya ternyata telah terjerat sesuatu, sehingga ia pun terpelanting dan jatuh tertelungkup. Ternyata ujung cambuk Swandaru telah menjeratnya, sehingga ia tidak berhasil melarikan dirinya. Sepasang tangan yang kuat telah memilin tangannya tanpa ampun lagi.
“Ikat saja orang ini,” berkata Swandaru kepada orang-orang yang mengejarnya.
“Bunuh saja.”
“Jangan. Ia sudah menyerah. Ikat saja kuat-kuat. Orang ini masih berbahaya. Meskipun demikian, jangan kalian bunuh.”
Orang-orang tua itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian mereka mengangguk-anggukkan kepala. Salah seorang segera maju sambil berkata,
“Ikat saja ia erat-erat. Kemudian kita ikat orang itu dengan tiang.”

Tanpa diduga-duga ia menyambar ikat kepala orang yang tangannya masih terpilin itu. Kemudian dengan ikat kepala itu, ia mengikat tangan orang yang masih berbahaya itu erat-erat.
Katanya,
“Marilah orang ini kita bawa ke serambi.”
Ternyata kemenangan itu telah mengungkat keberanian orang tua-tua itu lebih bergelora lagi. Mereka seakan-akan sudah tidak mengenal takut lagi menghadapi setiap kemungkinan. Setelah mengikat orang itu, mereka pun kemudian turun ke halaman dan berjalan hilir-mudik dengan senjata di tangan. Dalam pada itu. Swandaru dan Agung Sedayu masih saja berdiri di samping barak. Mereka pun kemudian berkisar ke belakang. Di dalam gelapnya malam mereka tidak segera melihat, apa yang terjadi di gerumbul-gerumbul di belakang barak itu.
“Agaknya kekuatan lawan pun terpusat di arah depan,” desis Swandaru.
“Ternyata tidak ada seorang pun yang berhasil menembus pertahanan dua kelompok kecil yang dipimpin oleh dua orang pengawal.”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi lamat-lamat ia memang mendengar suara perkelahian.
“Suara itu semakin lama menjadi semakin dekat,” desis Agung Sedayu.
Wajah Swandaru menegang. Katanya,
“Kalau begitu, mereka pasti terdesak.”
“Marilah kita lihat.”
Keduanya pun kemudian berloncatan berlari masuk ke dalam gelapnya malam. Dalam pada itu Swandaru masih sempat bergumam,
“Orang-orang tua di halaman itu masih dapat dipercaya.”

Di arah depan barak, pasukan lawan memang cukup kuat. Ketika saatnya telah dataug, serta isyarat telah mereka lontarkan ke udara karena suara gemerincing itu tidak dapat berputar secara wajar, maka mereka pun seperti banjir yang memecahkan bendungan, langsung mencoba menyerbu ke halaman barak. Tetapi tanpa mereka sadari, ternyata sebagian dari mereka telah terpelanting karena kaki-kaki mereka telah terjerat oleh tali-tali lulup yang direntangkan oleh Swandaru dan Agung Sedayu dari batang perdu yang satu kebatang yang lain. Tali-tali lulup yang putus telah mengguncang pohon-pohon perdu di gerumbul dan membuat kejutan-kejutan yang langsung menghambat laju orang-orang yang menyerbu barak itu. Dengan demikian, maka usaha Swandaru ada juga hasilnya. Serangan itu terpaksa terhambat. Laju banjir itu pun tidak seperti yang mereka rencanakan, untuk memberikan kesan yang mengerikan pada serangan yang pertama. Bahkan ada beberapa orang di antara mereka yang kakinya terkilir dan dahinya membentur batu. Terdengar mereka yang terjerat oleh tali-tali lulup itu mengumpat tidak habis-habisnya. Apalagi mereka yang oleh kejutan itu, senjatanya telah terlepas. Di dalam kegelapan orang itu harus merunduk-runduk mencari senjatanya yang terjatuh.
“He, apa kerjamu?” bentak kawannya.
“Senjataku terjatuh.”
“Bodoh kau. Seorang prajurit yang kehilangan senjata di medan perang, sama saja sudah kehilangan separo dari nyawanya.”
“Itulah sebabnya aku mencari separo nyawaku yang hilang.”
“Persetan,” kawannya menggeram. Tetapi ketika kawannya itu meloncat meninggalkan orang yang sedang mencari senjata itu, kakinya sendiri terjerat pula, sehingga ia pun jatuh menelungkup. Senjatanya pun terlepas dan terpelanting jatuh ke dalam gerumbul perdu.
“Setan alas!” ia mengumpat.
Dalam pada itu kawannya yang terdahulu kehilangan senjatanya, sudah dapat menemukannya. Didekatinya kawannya yang terjatuh kemudian sambil berkata,
“Apa yang kau cari?”
“Gila, senjataku pun terjatuh.”
“Bodoh kau. Seorang prjaurit yang kehilangan senjata di medan perang, sama saja sudah kehilangan separo nyawanya.”
Kawannya menggeretakkan giginya. Tetapi ia pun segera menjawab,
“Itulah sebabnya aku mencari separo nyawaku yang hilang.”
“Macammu,” desis kawannya yang sudah menemukan senjatanya. Tetapi ia tidak mau menunggu lebih lama lagi. Dengan tergesa-gesa ia pun segera maju menyusul kawan-kawannya meskipun ia harus berhati-hati karena ia tidak mau terjerat lagi oleh tali-tali lulup.

Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak yang melihat laju orang-orangnya tertahan-tahan mengumpat pula di dalam hati. Laju pasukan pada benturan yang pertama itu cukup berpengaruh. Apalagi lawannya adalah orang-orang yang tidak berpengalaman dalam peperangan. Hanya beberapa orang sajalah yang mempunyai kemampuan mempergunakan senjata sebaik-baiknya. Demikianlah maka akhirnya dua pasukan itu pun bertemu. Tetapi tidak di tepi halaman seperti yang diharapkan oleh orang-orang Kiai Damar, karena pasukan yang mempertahankan barak itu sudah agak maju menyongsong mereka. Memang ada satu dua orang yang lolos, dan mencoba langsung menyerbu ke barak untuk mempengaruhi hati orang-orang barak yang sedang berkelahi itu. Tetapi orang-orang tua yang pernah memenangkan perkelahian, menjadi semakin terbesar hati, sehingga mereka pun berjuang semakin gigih. Setiap orang yang mencoba memasuki barak itu pasti berhasil mereka lumpuhkan beramai-ramai. Itulah yang tidak pernah diduga oleh orang-orang Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak. Demikianlah maka perkelahian itu pun menjadi semakin seru. Orang-orang yang bertempur menjadi semakin bernafsu. Demikian juga penghuni barak yang selama itu hanyalah sekedar mengayunkan kapak-kapak mereka menebang pepohonan, tetapi kini mereka mengayunkan senjata mereka sekuat tenaga untuk melawan orang-orang yang akan menghancurkan segala usaha yang selama ini pernah mereka rintis. Dengan demikian, meskipun mereka bukan orang-orang yang cakap mempermainkan senjata tetapi kekuatan ayunan senjatanya dapat dibanggakan, sehingga lawan-lawan mereka pun menjadi ngeri juga karenanya. Di samping orang-orang yang bertenaga raksasa itu, para pengawal dan pengawas yang ada di antara mereka pun bertempur mati-matian. Mereka bukan sekedar orang-orang yang dapat memegang senjata, tetapi terlebih-lebih pengawal Sutawijaya adalah orang-orang pilihan. Orang-orang yang mempunyai kemampuan bertempur melampaui seorang prajurit biasa.

Sutawijaya sendiri bersama Kiai Gringsing dan Sumangkar masih berdiri termangu-mangu. Sejenak mereka memperhatikan medan yang meluas, hampir meliputi separo lingkaran. Sedang mereka pun mengetahuinya, bahwa di belakang barak pun ada juga orang-orang Kiai Damar yang mencoba menembus pertahanan. Tetapi mereka percaya bahwa Agung Sedayu dan Swandaru akan dapat membantu orang-orang yang bertahan di belakang dengan kekuatan yang kecil. Sebenarnyalah bahwa Agung Sedayu dan Swandaru telah terjun ke dalam kancah perkelahian. Jumlah lawan memang tidak begitu banyak. Tetapi mereka berhasil mendesak para penghuni barak yang hanya dipimpin oleh dua atau tiga orang pengawal. Namun kehadiran Agung Sedayu dan Swandaru ternyata mempunyai pengaruh yang besar sekali. Meskipun keduanya tidak bernafsu untuk membunuh, tetapi mereka sadar, bahwa mereka harus melumpuhkan lawannya. Membuat mereka pingsan atau membuat mereka tidak berdaya sama sekali. Namun demikian apabila ada yang terbunuh juga di antara mereka, sama sekali bukanlah yang dikehendaki. Sejenak kemudian di bagian belakang barak itu telah bergema suara cambuk Agung Sedayu dan Swandaru. Meledak-ledak seperti menghentak-hentak jantung. Semakin lama semakin sering, dan setiap kali terdengar seseorang mengaduh tertahan. Seorang laki-laki yang berkumis lebat tetapi berkepala botak, menggeram,
“Nah, sekarang barulah aku mendapat kesempatan. Aku tidak percaya bahwa cambuk itu mampu melawan sepasang pedangku.”
Dengan garangnya orang berkumis itu pun segera meloncat menyerang Agung Sedayu. Selangkah Agung Sedayu meloncat surut. Ia melihat orang berkumis lebat di dalam keremangan malam. Semula ia termangu-mangu melihat ikat kepala orang itu berkilat-kilat. Tetapi ternyata bahwa orang itu sama sekali tidak memakai ikat kepala. Botak kepalanyalah yang memantulkan cahaya bintang gemintang di langit yang jernih.
“Sekarang kau akan mati,” desis orang botak itu.
Agung Sedayu meloncat surut sekali lagi. Ternyata bahwa sepasang pedang orang itu memang garang. Yang satu mematuk, sedang yang lain tiba-tiba terayun mendatar.
“Jangan lari,” orang itu berteriak,
“inikah yang dikatakan orang bercambuk itu? Sama sekali tidak seperti yang pernah aku dengar. Apakah memang begitu caramu berkelahi?”
“Ya,” jawab Agung Sedayu,
“beginilah caraku berkelahi.”
“Licik. Kalau begitu …”

Tetapi orang itu tidak sempat menyelesaikan kalimatnya. Tiba-tiba selaput telinganya serasa pecah. Cambuk Agung Sedayu meledak dengan dahsyatnya beberapa jengkal saja dari kepalanya.
“Gila,” orang berkepala botak dan berkumis lebat itu mengumpat. Namun sekali lagi ia harus menundukkan kepalanya dalam-dalam karena ujung cambuk Agung Sedayu berdesing di atas kepalanya. Selanjutnya Agung Sedayu tidak memberinya kesempatan. Ujung cambuknya menyusup di antara sepasang pedang lawannya, seperti seekor lalat. Sekali-sekali hinggap di tubuhnya, kemudian terbang lagi dengan cepatnya.
“Kubunuh, kau,” orang itu berteriak sekali lagi. Pedangnya berputar semakin cepat dan garang. Namun ujung cambuk Agung Sedayu masih juga sempat hinggap di kulitnya, meskipun belum menumbuhkan luka-luka yang parah. Namun demikian, sentuhan-sentuhan ujung cambuk itu membuatnya seakan-akan berdiri di atas bara. Setiap kali ia berloncatan menghindar, kemudian maju menyerang dengan dahsyatnya, meskipun serangannya sama sekali tidak pernah menyentuh lawannya. Dalam pada itu, justru ujung cambuk Agung Sedayu-lah yang semakin sering mengenainya. Semakin lama semakin keras, sehingga kemudian terasa, kulitnya seakan-akan terkelupas. Darah mulai menitik dari luka-luka yang timbul oleh sentuhan ujung cambuk Agung Sedayu itu. Di bagian lain, Swandaru harus berkelahi melawan dua orang sekaligus. Yang seorang gemuk hampir seperti dirinya sendiri, sedang yang lain bertubuh tinggi dan besar, bersenjata tombak pendek, bergerigi seperti duri pandan.
“Juntai cambukmu akan rantas tersentuh senjataku,” orang yang tinggi itu bergumam.
Tetapi Swandaru tidak menghiraukannya. Bahkan ia berkata kepada lawannya yang gemuk,
“Kenapa kau tidak memakai baju? Kulitmu akan terkelupas oleh ujung cambukku. Kalau kau masih mempunyainya, ambillah, pakailah bajumu sekedar untuk mengurangi jalur-jalur merah biru di punggungmu.”
“Persetan!” ia membentak. Suaranya melengking seperti suara perempuan.
“He, suaramu aneh,” desis Swandaru.
“Gila. Kau masih sempat berbicara tentang suara,” orang yang tinggi besar itulah yang menjawab.
Swandaru tiba-tiba justru tertawa. Tetapi ia tidak menjawab lagi. Cambuknya semakin lama menjadi semakin cepat, sehingga kedua lawannya itu pun menjadi semakin bingung karenanya. Dalam pada itu, para pengawal dan orang-orang yang tinggal di dalam barak itu pun masih berkelahi mati-matian. Jumlah lawan memang agak lebih banyak di bagian belakang ini. Tetapi ternyata bahwa para pengawal pun cukup tangkas. Apalagi karena Agung Sedayu kemudian tidak mengikatkan diri pada lawannya yang seorang itu. Orang yang berkumis lebat dan berkepala botak. Setiap kali Agung Sedayu masih juga sempat menyerang siapa pun yang mendekatinya. Dan serangan Agung Sedayu itu ternyata benar-benar mengejutkan. Demikian pula orang berkepala botak itu. Semakin lama ia pun semakin menyadari keadaannya. Sebenarnya, bahwa orang yang bersenjata cambuk itu adalah orang yang luar biasa, sambil berloncatan kian kemari, membantu orang-orang lain di dalam perkelahian itu, ia masih sempat melukainya. Semakin lama semakin banyak. Jalur-jalur merah biru menjadi silang-menyilang dipunggung dan lengannya.
“Anak ini memang anak setan,” desisnya,
“aku harus membunuhnya beramai-ramai. Kalau orang ini sudah mati, maka, aku akan dapat segera membunuh orang-orang lain di dalam perkelahian ini.”

Demikianlah, maka orang itu pun memberi isyarat kepada tiga orang yang lain untuk bersama-sama melawan Agung Sedayu. Menurut perhitungan orang berkepala botak itu, apabila Agung Sedayu sudah terbunuh, maka semuanya akan berjalan lancar. Tetapi perhitungan itu pun tidak terlampau mudah dilakukan. Dengan demikian, maka orang-orang lain di dalam perkelahian itu menjadi lebih bebas lagi karena lawannya berkurang. Orang-orang dari barak yang semula menjadi cemas dan kadang-kadang bingung, kini mereka merasa lapang, karena lawan-lawan mereka telah terhisap oleh Agung Sedayu. Demikian juga pengawal yang ada di arena perkelahian itu, sehingga mereka pun segera berhasil mendesak lawan mereka. Sejenak kemudian perkelahian itu menjadi semakin berat sebelah. Agung Sedayu dan Swandaru menganggap bahwa tenaganya mungkin diperlukan pula di medan yang lain, sehingga akhirnya mereka pun mengerahkan segenap kemampuan mereka. Cambuk kedua anak-anak muda itu segera meledak-ledak semakin keras dan cepat. Ujungnya yang berkarah besi baja, rasa-rasanya menjadi semacam ujung pedang. Setiap sentuhan, tidak lagi sekedar meninggalkan bekas merah biru, tetapi ujung cambuk itu mampu merobek kulit dan membuat luka memanjang yang mengalirkan darah yang segar.
“Anak setan!” geram orang berkepala botak itu. Tetapi ia pun segera menyeringai ketika ujung cambuk Agung Sedayu justru menyentuh botaknya meskipun tidak terlampau keras.
Pasukan yang menyerang barak itu pun semakin lama menjadi semakin terdesak. Agung Sedayu dan Swandaru bersama-sama dengan para pengawal dan orang-orang yang tinggal di dalam barak itu berusaha sekuat-kuatnya untuk segera menyelesaikan perkelahian itu.
Meskipun jumlah para penyerang itu agak lebih banyak, namun sebagian terbesar dari mereka berkerumun di sekitar Agung Sedayu dan Swandaru. Namun demikian, mereka sama sekali tidak berhasil mendesaknya. Bahkan, cambuk kedua anak-anak muda itu kadang-kadang telah membuat mereka kebingungan dan saling membentur di antara mereka sendiri.

Namun demikian korban-korban di kedua belah pihak tidak dapat dihindarkan lagi. Demikian juga pada lingkaran perkelahian di belakang barak itu. Meskipun Agung Sedayu dan Swandaru sama sekali tidak didorong oleh nafsu untuk membunuh, namun mereka tidak dapat menilik dengan saksama akibat dari ujung cambuk masing-masing, sehingga ada juga di antara mereka yang terlempar dan terbanting di atas tanah, namun tidak akan dapat bangkit kembali. Di bagian depan dari barak itu, pertempuran pun menjadi semakin sengit. Berbeda dengan pertempuran di bagian belakang, di bagian depan jumlah para penyerang tidak lebih banyak dari mereka yang mempertahankan barak itu. Tetapi nilai mereka seorang demi seorang agak jauh berbeda. Di dalam perkelahian yang lebih besar, ternyata orang-orang yang menghuni barak itu masih juga kebingungan. Meskipun pemimpin-pemimpin kelompok mereka, sempat memberikan aba-aba, namun kadang-kadang mereka tidak dapat berbuat apa pun juga, selain kebingungan. Dengan demikian, maka pasukan penyerang itu pun segera dapat mendesak orang-orang yang mencoba mempertahankan baraknya. Meskipun para pengawal sudah berjuang sekuat tenaga mereka, tetapi tenaga mereka pun sangat terbatas. Sutawijaya yang melihat hal itu, menjadi berdebar-debar karenanya. Dengan demikian ia tidak akan dapat tinggal diam menunggu. Dengan tombak yang bergetar di tangannya, ia berkata kepada Kiai Gringsing dan Sumangkar,
“Aku akan mulai Kiai. Keadaan menjadi semakin buruk.”
“Marilah, kita akan mulai bersama-sama,” desis Kiai Gringsing.
“Kiai harus mengamati, apakah Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak juga sudah mulai. Mereka adalah orang-orang yang berbahaya, yang harus mendapat perhatian khusus.”
“Aku akan mencari, Ngger. Tetapi sambil mencari, aku dapat berbuat sesuatu untuk mengurangi perlawanan musuh.”
Sutawijaya tidak menyahut. Dengan tombak yang merunduk ia maju mendekati arena yang menjadi semakin sibuk.

Sejenak kemudian Sutawijaya telah terjun di dalam pertempuran. Pertempuran yang seru, namun dipenuhi oleh keragu-raguan. Di dalam gelapnya malam tidak mudah untuk segera membedakan, manakah kawan dan manakah lawan. Namun apabila keduanya sudah bertemu, maka mereka pun akan berkelahi mati-matian. Agaknya Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak mengetahui akan hal itu. Karena itu, maka mereka pun berusaha, agar tidak terjadi terlampau banyak kesalahan dan keragu-raguan. Supaya anak buahnya tidak lagi harus membuang banyak waktu sebelum menghunjamkan pedangnya karena kebimbangan. Orang-orang yang tinggal di dalam barak, dan yang ternyata ikut melakukan perlawanan, adalah lawan-lawan yang sangat lunak. Hanya karena kegelapan dan keragu-raguan sajalah, mereka masih sempat hidup terus. Dengan demikian, maka Kiai Damar pun segera memerintahkan beberapa orangnya yang memang sudah ditentukannya, untuk segera menyalakan obor. Selain itu, panah-panah api pun diterbangkannya ke udara, sehingga medan itu bagaikan hujan api yang berjatuhan dari langit. Sejenak kemudian medan yang ribut itu menjadi semakin terang. Beberapa orang maju ke medan dengan obor di tangan kiri dan pedang di tangan kanan, atau menancapkan obor-obor mereka di tanah dan menyelipkannya di cabang-cabang batang perdu.


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar