PENGAWAL itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian,
“Baiklah.
Beristirahatlah sambil menunggu. Mungkin. Kita memang harus menunggu sampai
mendekati tengah malam.”
Dalam pada itu
di serambi Sutawijaya duduk bersama Kiai Gringsing dan Sumangkar. Di belakang
Sutawijaya pengawas yang terluka itu pun duduk pula bersandar tiang. Tetapi di
tangannya sudah siap pula sehelai pedang. Meskipun lukanya masih terasa sakit,
namun ia tidak akan dapat duduk berpangku tangan apabila keadaan menjadi
semakin panas. Sedang Swandaru dan Agung Sedayu duduk di tangga memandang ke
dalam kegelapan malam, seolah-olah ingin melihat langsung orang-orang Kiai
Damar dan Kiai Telapak Jalak yang sedang merayap mendekati barak itu.
Swandaru yang
gelisah itu pun kemudian berkata,
“Aku tidak
sabar lagi. Apakah yang mereka tunggu. Malam sudah cukup gelap. Kita pun sudah
siap. Apalagi?”
“Sst,” desis
Agung Sedayu,
“mereka tidak
akan menyerang begitu saja tanpa perhitungan.”
“Apalagi yang
mereka perhitungkan?”
“Itulah yang
kita tidak tahu.”
“Aku akan
tidur saja.”
“Nah, itulah
salah satu hal yang mereka tunggu.”
“Apa?”
“Orang-orang
di barak ini menjadi jemu menunggu dan tidur pulas.”
“Ah,” Swandaru
berdesah,
“ada-ada saja
kau ini. Sudah tentu aku mempunyai perhitungan sendiri.”
“Apa?”
“Kalau aku
tidur, aku pasti sudah mempercayakan pengawasan kepada orang lain.”
“Siapa?”
“Kau. Belum
saja aku selesai berbicara. Aku akan tidur. Kau yang harus mengawasi keadaan.
Kalau musuh itu datang, kau harus membangunkan aku. Tetapi jaga, jangan sampai
aku terkejut. Kalau aku terkejut, aku tidak akan dapat berbuat apa-apa karena
bingung.”
Agung Sedayu
menarik nafas dalam-dalam. Ia sedang berpikir, bagaimana ia harus menjawab.
Tetapi ternyata Swandaru sudah berkata,
“Jangan
mengada-ada. Kau tidak usah menjawab. Kau tinggal menjalankan perintah. Tidak
ada alasan untuk mengelak.”
“Aku tidak
akan mengelak,” berkata Agung Sedayu,
“tetapi aku
ingin bertanya, di mana kau akan tidur?”
“He?”
“Di mana kau
akan tidur? Di sini? Bersandar dinding atau bersandar aku?”
“Tidak
bersandar. Aku dapat tidur sambil duduk tanpa bersandar apa pun.”
“Cobalah,”
berkata Agung Sedayu,
“aku ingin
melihat.”
Swandaru
mengerutkan keningnya. Kemudian ia pun menyilangkan kedua tangannya di dada.
Matanya pun segera terpejam. Tetapi ia pun segera membelalakkan matanya ketika
Agung Sedayu berdiri dan melangkah pergi.
“He, kemana
kau?”
“Melihat musuh
di luar pagar. Kalau ada aku akan membangunkan kau.”
“Ah kau,”
Swandaru pun kemudian berdiri dan meloncat menyusul Agung Sedayu.
“Kenapa kau
tidak jadi tidur?”
“Aku sudah
puas tidur sejenak. Aku tidak kantuk lagi.”
Keduanya pun
kemudian menghilangkan kejemuan mereka sambil berjalan hilir-mudik di halaman.
Di beberapa tempat mereka melihat kelompok-kelompok kecil yang berserakan.
Masing-masing dipimpin oleh seorang pengawal. Setiap kelompok terdiri dari tiga
atau empat orang. Kelompok-kelompok yang sedang ditinggalkan oleh pimpinannya
mengawasi keadaan, masih harus bergabung dengan kelompok yang lain sampai
pengawal yang harus memimpinnya itu kembali.
“Cukup
banyak,” desis Agung Sedayu,
“selain
orang-orang tua yang bertugas menjaga pintu-pintu masuk ke dalam barak, ada
kira-kira duapuluh lima orang yang telah bersiaga untuk bertempur apabila
orang-orang Kiai Damar itu benar-benar datang.”
“Ya. Dua puluh
lima orang, ditambah dengan para pengawal itu sendiri dan kita berlima.”
“Kenapa lima?”
“Kita berdua,
guru, Ki Sumangkar, dan Raden Sutawijaya.”
“Pemimpin
pengawas itu?”
“Jangan
dihitung. Kalau kau mau menghitung juga laki-laki berambut putih itu.”
Agung Sedayu
tidak menyahut. Tetapi tampaknya kekuatan itu cukup baik untuk menghadapi
setiap kemungkinan. Namun tidak ada seorang pun yang tahu, berapa jumlah
sebenarnya dari kekuatan Kiai Damar dan Kiai Te-lapak Jalak. Keterangan dari
orang yang dapat ditangkapnya tidak akan dapat dipergunakan sebagai pegangan.
Masih ada kemungkinan bahwa orang itu sengaja membuat kesan yang salah, agar
orang-orang dibarak ini menjadi lengah. Namun demikian, keterangan-keterangan
yang dapat disadap dari orang-orang itu akan dapat dijadikan bahan
pertimbangan. Demikianlah malam pun menjadi semakin malam. Orang-orang yang
menunggu dengan berdebar-debar itu semakin lama menjadi semakin jemu sehingga
suasana di barak itu terasa menjadi semakin gelisah.
“Kegelisahan
adalah lawan yang harus diatasi pula,” berkata seorang pengawal kepada
orang-orang di dalam kelompoknya. Dan seorang pengawal yang lain yang berdiri
tidak jauh daripadanya bersama kelompok kecilnya, menyambung,
“Kalau kita
tidak dapat mengatasi kegelisahan semacam ini, maka kita akan kehilangan
kewaspadaan. Kesabaran dan keseimbangan di dalam keadaan semacam ini dituntut
oleh keadaan. Lawan kita agaknya sengaja menunggu sampai kita menjadi jemu dan
kehilangan ketajaman pengamatan atas keadaan yang berkembang selanjutnya.”
Orang-orang di
dalam kelompok-kelompok kecil itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka
mencoba untuk menyadari keadaannya. Mereka mencoba untuk menenangkan
perasaannya masing-masing. Sejenak kemudian seorang pengawal yang berdiri di
sudut barak menengadahkan kepalanya ke langit. Dilihatnya bintang gubug penceng
di ujung Selatan, hampir berdiri tegak lurus. Karena itu, maka ia pun berkata,
“Hampir tengah
malam. Adakah saat-saat semacam ini yang selalu dipilih oleh hantu-hantu itu
untuk keluar dari sarang mereka?”
“Ya,” jawab
salah seorang dari penghuni barak yang ada di dalam kelompok itu.
“Bagus. Kita
akan menunggu sejenak.”
Belum lagi
kata-kata itu lenyap dari pendengaran, tiba-tiba seisi barak itu dikejutkan
oleh suara derap kaki-kaki kuda. Tetapi tidak begitu banyak. Namun yang
menggetarkan setiap dada penghuni barak itu adalah suara gemerincing yang
semakin lama menjadi semakin keras.
“Hantu itu
datang lagi,” terdengar desis seseorang. Untunglah bahwa tidak seorang pun yang
mendengarnya. Namun demikian, hampir setiap dada telah mengucapkan kata-kata
yang serupa,
Orang-orang
yang ada di serambi pun segera berloncatan berdiri. Tetapi Kiai Gringsing
segera mencegah mereka,
“Jangan
tergesa-gesa mengambil sikap. Kita menunggu perkembangan keadaan. Bukan inilah
lawan yang sebenarnya.”
Sutawijaya mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“Mungkin Kiai
benar. Tetapi aku akan berada di antara para pengawal dan orang-orang dari
barak ini yang sudah bersiaga di halaman.”
“Kita pergi
bersama-sama.”
Demikianlah
mereka pun segera menuruni tangga serambi barak itu. Sejenak mereka berdiri di
dalam kegelapan untuk menuai keadaan yang bakal berkembang.
“Kuda itu
datang dari arah belakang,” berkata Kiai Gringsing. Mereka masih ingin
mempengaruhi perasaan kita dengan cara yang sudah sekian lama dipergunakannya.”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sependapat dengan Kiai Gringsing. Orang itu
masih berusaha mempergunakan sisa-sisa pengaruh yang mereka tanamkan untuk
waktu yang lama atas perasaan orang-orang di dalam barak itu. Dan sedikit
banyak usaha mereka itu berguna pula. Masih saja ada di antara orang-orang
penghuni barak itu yang meremang mendengar bunyi gemerincing yang menggelitik
jantung itu. Beberapa orang telah berusaha memerangi perasaan itu dengan nalar.
Mereka mencoba meyakini, bahwa sebenarnya hantu-hantu itu adalah permainan yang
menggelikan saja, seperti anak-anak bermain hantu-hantuan di malam hari. Siapa
yang penakut, akan menjadi benar-benar ketakutan karenanya, meskipun mereka
tahu benar, bahwa mereka sedang bermain-main.
Sejenak
kemudian suara gemerincing itu pun menjadi semakin dekat. Namun kemudian
berhenti beberapa puluh langkah dari barak.
“Mereka
berhenti,” berkata Sutawijaya.
“Mereka agak
menjadi bingung karena lampu-lampu itu telah berubah letaknya. Mereka tidak
mempunyai ancar-ancar lagi.”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Biasanya
mereka mengelilingi barak ini,” desis Kiai Gringsing yang berdiri di tempat
yang terlindung.
Sutawijaya
tidak menyahut. Namun ternyata bahwa dugaan mereka itu benar. Kuda-kuda itu
mulai bergerak kembali dan mencoba mengelilingi barak. Tetapi karena mereka
kehilangan ancar-ancar, maka mereka telah mengambil jarak yang agak panjang.
“Mereka
berusaha meredupkan gairah keberanian kita di sini,” berkata Kiai Gringsing,
“kemudian
pasukan mereka yang sebenarnya akan datang.”
“Ya.”
“Kita harus
mulai bersiap-siap.”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Diperintahkannya seorang pengawal untuk
menyampaikan perintahnya. Sejenak kemudian pengawal itu telah mengelilingi
halaman meskipun ia berusaha selalu berada di dalam kegelapan dan perintah
Sutawijaya pun telah tersebar,
“Bersiap.”
“Kita hampir mulai,”
berkata salah seorang pengawal kepada orang-orang di dalam kelompoknya,
“bersiaplah.
Lahir dan batin.”
“Suara
gemerincing itu?” tiba-tiba salah seorang bertanya.
“Hantu-hantu
Alas Mentaok. Tetapi hantu-hantu yang ini sama sekali tidak menakutkan lagi.
Bukankah di serambi kita juga telah menahan beberapa sosok hantu semacam itu.”
Dada orang itu
berdesir. Namun kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya sambil bergumam
kepada diri sendiri.
“Tidak ada
hantu. Yang ada adalah orang-orang liar yang buas itu. Aku harus melawan
sebelum mereka membinasakan seluruh keluargaku.”
Dengan
demikian hatinya yang sudah mulai tumelung, tiba-tiba telah tengadah kembali.
Sambil menggeretakkan giginya ia telah mempersiapkan senjatanya untuk
menghadapi setiap kemungkinan. Orang-orang yang ada di halaman barak itu telah
bersiap dalam kesiagaan tertinggi. Setiap saat mereka dapat mulai. Mereka
tinggal menunggu perintah untuk bertempur. Dalam pada itu, suara gemerincing
itu pun bergerak perlahan-lahan sekali. Tidak seperti yang biasa mereka
lakukan. Rasa-rasanya barak itu sudah berubah. Namun akhirnya mereka menyadari,
bahwa sebenarnya hanya lampu-lampu sajalah yang berubah letaknya. Barak itu
masih tetap berada di tempatnya. Perlahan-lahan mereka mulai melihat cahaya
yang sangat redup membayang di dalam dinding barak.
“Pasti akal
Sutawijaya,” desis salah seorang dari hantu-hantu itu.
“Marilah kita
teruskan perjalanan ini. Kita harus berputar tiga kali. Sesudah itu, maka
pasukan yang bersembunyi di sekitar barak ini akan segera menyerbu. Putaran
kita merupakan aba-aba bagi mereka.”
Suara
gemerincing itu pun kemudian bergerak pula. Mereka telah mengelilingi hampir
separo bagian dari perjalanan mereka. Namun dalam pada itu, salah seorang
pengawas yang ada di luar barak telah berhasil menyusup kembali masuk ke
halaman. Dengan nafas terengah-engah ia berkata,
“Aku tidak
melepaskan panah sendaren karena aku mempunyai kesempatan untuk kembali. Mereka
sudah bergerak mendekat. Tetapi mereka agaknya masih menunggu.”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak segera mengambil sikap. Sambil
memandang ke dalam kegelapan ia berkata,
“Kita akan
menunggu mereka. Semua orang di halaman ini sudah bersiaga.”
Pengawas itu
mengangguk-anggukkan kepalanya pula.
“Kembalilah ke
dalam kelompokmu. Kau tidak usah mendekati lawan lagi. Kita sudah dapat menduga
di mana mereka berada.”
Belum lagi
percakapan itu selesai, ternyata pengawas yang lain pun telah melihat
kedatangan orang-orang yang hendak menyerang barak itu. Tetapi ia tidak berbuat
seperti pengawas yang terdahulu. Ternyata ia lebih senang melepaskan anak panah
sendaren. Suara sendaren itu pun berdesing menyobek sepinya malam. Namun
demikian, suaranya bagaikan gelora yang dahsyat di setiap dada. Baik di dada
orang-orang yang menunggu di barak, mau pun orang-orang yang sedang
mengendap-endap di gerumbul-gerumbul.
“Agaknya
pengawas dari barak itu telah melihat gerakan kita,” desis Kiai Damar yang
berdiri di samping Kiai Telapak Jalak.
“Suara panah
sendaren itu pasti suatu isyarat bagi mereka.”
Kiai Telapak
Jalak mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia bergumam.
“Kenapa
orang-orangmu yang berkuda melingkari barak itu sebagai isyarat, berjalan
terlampau lamban.”
“Tidak begitu
kebiasaan mereka. Suara gemerincing itu memang seolah-olah tidak bergerak.”
Kiai Telapak
Jalak menjadi tegang. Agaknya sudah tidak ada gunanya lagi menunggu isyarat
suara gemerincing itu melingkari barak sampai tiga kali. Ia yakin bahwa
pengawas-pengawas yang mengawal Sutawijaya dapat bertindak jauh lebih sempurna
dari orang-orang di barak itu. Mereka sudah mempunyai banyak pengalaman
sehingga mereka mengerti gunanya pengawasan. Dalam pada itu, orang-orang yang
berkuda dengan kerincing itu pun menjadi bingung. Mereka juga mendengar suara
panah sendaren yang terbang di udara. Dan mereka juga mengerti, bahwa di
kelompoknya tidak seorang pun yang mempergunakan isyarat itu.
“Pasti suara
isyarat orang-orang Sutawijaya,” desis salah seorang dari mereka.
“Kita percepat
langkah kuda kita.”
“Kita hampir
tersesat. Lampu-lampu di barak itu membingungkan.”
“Kita sekarang
sudah mengetahuinya dengan pasti. Kita dapat berpacu agak cepat.”
“Baiklah. Kita
akan berpacu.”
Mereka pun
segera mencambuk kuda mereka, sehingga kuda-kuda itu pun segera berloncatan di
dalam gelap. Menyusup di antara gerumbul-gerumbul yang liar. Namun sekali tidak mengerti, bahwa di hadapan barak
agak menjorok masuk ke dalam padang perdu, Swandaru dan Agung Sedayu telah
merentangkan tali-tali lulup, sehingga karena itu, maka hampir bersamaan, dua
ekor kuda telah terjerat. Kuda yang lain menjadi sangat terkejut karenanya,
sehingga ketika dua ekor kuda yang terjerat itu jatuh terjerembab, maka yang
lain pun menjadi liar pula karenanya. Namun seperti yang dua itu, kuda-kuda
yang lain pun telah terjerat pula dan berjatuhan tindih-menindih. Suara ribut
dan ringkik kuda itu telah mengejutkan Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak di
kejauhan. Mereka segera menyadari bahwa telah terjadi sesuatu yang tidak
sewajarnya. Karena itu, maka Kiai Telapak Jalak pun segera berkata,
“Kita menempuh
cara kedua. Kita melontarkan panah api. Pasti terjadi sesuatu dengan
hantu-hantuanmu itu.”
Kiai Damar
tidak menyahut. Ia pun segera menyalakan api dan membakar dimik belirang.
Setelah ujung sebuah panah api dibakarnya, maka panah itu pun segera dilontarkannya
ke udara. Sebuah nyala yang merah telah naik memanjat langit. Sinarnya memancar
ke segenap arah, sehingga orang-orang Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak pun
dapat melihatnya. Karena itu, maka mereka menyadari bahwa telah jatuh perintah
bagi mereka untuk menyerang isi barak yang terpencil itu. Seperti banjir
bandang, orang-orang itu pun segera berloncatan maju. Sambil berteriak-teriak
mengerikan mereka mengacukan senjata mereka. Sementara Kiai Damar meneriakkan
perintah,
“Jangan ada
yang tersisa!”
Dalam pada
itu, di halaman barak, Sutawijaya, Kiai Gringsing dan murid-muridnya serta Ki
Sumangkar, menyaksikan pula nyala api yang terbang di udara. Mereka pun segera
menduga, bahwa itu pasti suatu perintah bagi orang-orang-Kiai Damar dan Kiai
Telapak Jalak. Karena itu, maka Sutawijaya pun segera meneriakkan perintah
kepada para pengawas yang memimpin kelompok-kelompok kecil untuk bersiap
menghadapi lawan yang sebentar lagi pasti akan datang. Para pengawal yang
bertugas mengawasi keadaan pun telah bermunculan masuk kembali ke halaman.
Mereka segera berlari-lari ke kelompoknya dan langsung membawa mereka ke pagar
halaman.
“Kita
menyambut mereka. Kita tidak akan menunggu. Kita harus menyongsong mereka,”
berkata para pengawal.
Kelompok-kelompok
kecil itu pun kemudian berloncatan dengan senjata terhunus. Sekali para
pengawal memperingatkan, kalau mereka menyerah, berarti kepala mereka akan
terpisah. Bukan saja kepala mereka, tetapi juga anak-anak dan isteri mereka. Ternyata
orang-orang Kiai Damar itu tidak semuanya datang dari depan. Ada beberapa
kelompok yang menyerang barak itu dari belakang. Namun Sutawijaya pun telah
meletakkan beberapa kelompok kecil untuk melawan kemungkinan itu. Sejenak
kemudian barak itu menjadi hiruk-pikuk. Suara derap kaki terdengar di segala
penjuru. Di kejauhan orang-orang Kiai Damar berteriak-teriak mengerikan. Sutawijaya
masih berdiri tegak di halaman. Ia harus menguasai seluruh medan. Karena itu,
maka katanya kepada Agung Sedayu dan Swandaru,
“Tinggallah di
sini. Awasilah bagian belakang dari barak ini. Kalau jumlah mereka ternyata
terlampau banyak, maka kau berdua harus ikut campur pula. Aku bersama gurumu
dan Ki Sumangkar akan menyongsong mereka.” Sutawijaya berhenti sejenak, lalu,
“Tetapi
apabila kau bertemu dengan Kiai Damar atau Kiai Telapak Jalak, kau harus
memberikan isyarat agar gurumu datang membantumu.”
“Apakah
isyarat itu.”
“Suruh
seseorang membunyikan kentongan dua ganda.”
Agung Sedayu
dan Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Sebenarnya ia ingin ikut
menyongsong lawan yang datang dari depan, tetapi yang datang dari belakang pun
merupakan bahaya yang harus mendapat perhatian. Sejenak kemudian Sutawijaya
yang kali ini membawa tombaknya segera berlari menyongsong lawan diikuti oleh
Kiai Gringsing dan Sumangkar. Menilik isyarat yang melonjak ke udara dari arah
depan, maka agaknya pemimpin-pemimpin mereka pun ada di sana pula.
Agung Sedayu
dan Swandaru yang masih berdiri di halaman menjadi termangu-mangu sejenak.
Ketika mereka berpaling, dilihatnya beberapa laki-laki bersenjata berdiri di
serambi. Mereka adalah laki-laki yang telah mendekati separuh baya. Mereka
harus menjaga perempuan dan anak-anak apabila ada di antara lawan yang berhasil
menerobos pertahanan. Ternyata bahwa mereka pun telah berbuat sebaik-baiknya. Mereka
tidak saja berdiri di muka pintu, tetapi dalam kelompok-kelompok kecil mereka
berdiri di sudut-sudut barak. Empat atau lima orang. Beberapa di antara mereka
benar-benar berdiri di muka pintu, sedang yang lebih tua lagi dari mereka
berada di dalam barak. Tetapi yang ada di dalam barak itu pun telah
mempersenjatai diri mereka bersama anak-anak tanggung.
“Pertahanan
yang berlapis-lapis ini agaknya cukup baik,” berkata Agung Sedayu. Lalu,
“Marilah kita
melihat di bagian belakang dari barak ini.”
Swandaru
mengangguk-anggukkan kepalanya. Keduanya pun kemudian berjalan tergesa-gesa ke
bagian belakang dari barak itu, karena dari arah itu pun beberapa orang musuh
agaknya berusaha menembus pertahanan para pengawal yang memimpin beberapa orang
dari barak itu. Tetapi pertahanan di bagian belakang itu tidak begitu kuat
dibandingkan dengan jumlah orang-orang yang ada di bagian depan dan samping
sebelah-menyebelah. Belum lagi keduanya sampai di halaman belakang, mereka
terkejut ketika mereka melihat dua orang yang berlari-larian langsung menuju ke
barak dengan senjata terhunus. Menilik sikap dan tandangnya, mereka pasti bukan
pengawal Sutawijaya dan bukan pula orang dari barak itu. Agaknya dua orang
lawan telah berhasil menyusup mendekati barak. Ketika Agung Sedayu hampir saja
meloncat mengejar, Swandaru berkata,
“Kita lihat,
apa yang akan dikerjakan oleh orang-orang tua itu.”
“Ah kau,
apakah kita menunggu jatuhnya korban.”
“Tidak, Kita
membayanginya.”
Keduanya pun
kemudian berlari-lari mengikuti orang itu. Agaknya orang itu langsung menuju ke
serambi. Mereka membawa perintah dari pemimpin mereka, membunuh setiap orang di
dalam barak itu. Kalau mungkin menimbulkan keributan, agar perempuan dan
anak-anak berteriak-teriak dengan kerasnya, dan mempengaruhi perlawanan
suami-suami mereka. Tetapi kedua orang itu terkejut. Ternyata masih ada
beberapa orang laki-laki di serambi, meskipun laki-laki yang sudah agak lanjut
usia. Karena itu, keduanya pun segera berhenti mempersiapkan diri menghadapi
kemungkinan yang tidak terduga-duga itu. Empat orang laki-laki telah mendekati
keduanya. Bahkan masih, ada tiga orang lagi dari sudut serambi itu. Tujuh
orang. Kedua orang itu menjadi termangu-mangu sejenak. Namun mereka sadar,
bahwa tujuh orang itu bukanlah pengawal-pengawal yang sudah mapan mempergunakan
senjata. Agaknya orang-orang tua itu pun tidak banyak membuang waktu. Salah
seorang dari mereka mengucapkan kata-kata sandi. Tetapi dua orang itu tidak
dapat menjawab dengan tepat. Karena itu, hampir berbareng ketujuh laki-laki itu
menyerangnya. Adalah di luar dugaan. Salah seorang laki-laki tua itu ternyata
dengan tangkasnya menggerakkan senjatanya. Sambil menyerang salah seorang lawan
ia berkata,
“Aku pernah
menjadi pengawal padukuhanku. Aku pernah mendapat latihan olah kanuragan dari
kakekku selagi aku berumur 20 tahun. Ternyata sekarang aku baru
mempergunakannya.”
Tetapi bukan
seorang itu saja yang membuat lawannya berdebar-debar. Laki-laki lain pun telah
menyerang lawan mereka yang lain sambil berkata,
“Aku pernah
mengikuti pendadaran menjadi seorang prajurit ketika aku muda meskipun dari
orang-orang ini.”
Namun
demikian, ternyata mereka tidak setangkas lawan-lawannya. Hampir saja senjata
lawan-lawan mereka langsung menembus tubuh mereka. Untunglah bahwa mereka
berjumlah tujuh orang seluruhnya, sehingga dengan demikian dua orang lawan itu
pun agaknya harus berjuang mati-matian.
“Gila,” geram
salah seorang dari kedua orang yang berhasil menyusup ke halaman itu,
“orang-orang
ini benar-benar sudah jemu hidup.”
“Lebih baik
kamilah yang mati lebih dahulu daripada perempuan dan anak-anak.”
“Kalian akan
mati dan perempuan dan anak-anak itu pun akan mati pula.”
“Jangan
membual.”
Ternyata
meskipun ketujuh orang itu sudah hampir sampai ke pertengahan abad, namun
tenaga mereka masih hampir utuh. Mereka masih sanggup mengayunkan kapak
menebang pohon-pohon raksasa di hutan-hutan. Dan kini mereka pun masih sanggup
mengayunkan senjata mereka melawan dua orang. Tetapi kawan-kawannya yang lain
agaknya tidak sampai hati membiarkan ke tujuh orang itu berkelahi mati-matian.
Yang berada di sudut lain pun segera membagi diri. Mereka berada di sana empat
orang. Yang dua berkata,
“Aku akan
membantu mereka. Kau awasi keadaan. Kalau kau melihat ada orang datang,
berteriaklah memanggil kami.”
“Baiklah,”
jawab yang lain.
Yang dua orang
pun segera berlari-lari mendekati medan perkelahian di halaman itu. Bahkan tiga
orang anak-anak muda tanggung yang berada di dalam barak pun telah keluar pula
meskipun ibuya melarangnya,
“Jangan Ngger.
Jangan.”
“Aku hanya
akan melihat saja, Ibu.”
Tepat pada
saat kedua orang yang berlari-lari dari sudut yang lain itu mendekat, salah
seorang dari ketujuh orang yang berkelahi itu berdesis. Ujung senjata lawannya
telah mengenai lengannya, sehingga ia harus meloncat mundur. Tetapi dua orang
lain segera menggantikannya. Anak-anak tanggung itu pun akhirnya tidak hanya
sekedar melihat saja. Mereka pun ikut pula mengurung dua orang lawan yang tidak
menduga akan mendapat lawan sekian banyaknya. Di serambi, kawan-kawannya yang
sudah tertawan lebih dahulu menjadi gelisah pula. Tetapi mereka mendapat
penjagaan yang cukup kuat, selain tangan mereka telah terikat.
Beberapa orang
di antara mereka mulai mencoba untuk merencanakan suatu usaha, agar mereka
dapat terlepas. Tetapi meskipun yang menjaga mereka adalah orang-orang tua,
namun ikatan tangan mereka yang dikaitkan dengan ikatan kawannya yang lain,
sepasang demi sepasang, sangat mengganggunya, selain luka-luka yang memang
masih terasa terlampau sakit. Tetapi mereka pun sadar, apabila mereka tidak dapat
lepas dari ikatannya, apabila kawan-kawannya tidak mendapat kesempatan
membebaskannya, maka akibatnya pasti akan sebaliknya. Kawan-kawannya pasti akan
justru membunuhnya. Sekilas mereka memandang senjata-senjata terhunus di tangan
laki-laki yang sudah mendekati setengah abad. Salah seorang dari mereka berkata
kepada diri sendiri,
“Kalau saja
aku mendapat kesempatan melepaskan tanganku. Orang-orang tua itu tidak akan
banyak berarti bagiku.”
Belum lagi
orang-orang itu menemukan cara yang sebaik-baiknya untuk melepaskan diri,
ternyata mereka mendengar orang-orang di sudut barak itu berteriak-teriak,
“Bunuh saja.
Bunuh saja keduanya.”
Tetapi
orang-orang itu tidak dapat melihat dengan jelas, apa yang terjadi di sudut
barak itu. Dalam pada itu, ternyata bahwa salah seorang dari kedua orang yang
menyusup ke halaman itu, tidak mampu lagi menahan serangan-serangan sekian
banyak ujung senjata. Bahkan ketika sepotong besi yang panjang menyentuh
matanya, ia kehilangan keseimbangan. Sekejap ia memejamkan matanya. Namun yang
sekejap itu berakibat kekal padanya, karena sehelai pedang telah terhunjam di
dadanya. Kemudian disusul oleh tikaman-tikaman yang hampir bersamaan waktunya.
Dengan demikian maka orang itu pun segera roboh di tanah untuk tidak akan
pernah bangun kembali. Kini yang melakukan perlawanan atas mereka tinggal
seorang saja. Meskipun ia sudah berhasil melukai beberapa orang, tetapi
luka-luka yang tidak berarti sama sekali. Ia sadar, bahwa ia seorang diri tidak
akan dapat melawan sekian banyak orang, meskipun mereka bukan pengawal tanah
Mataram. Karena itu, maka lebih baik baginya untuk segera menyingkir dan
kembali ke induk pasukannya saja.
Karena itu,
maka sejenak kemudian, ia pun segera meloncat ke luar dari lingkaran
perkelahian dan langsung berlari kencang-kencang meninggalkan orang-orang yang
masih mengejarnya. Tetapi malang baginya. Di dalam kegelapan kakinya ternyata
telah terjerat sesuatu, sehingga ia pun terpelanting dan jatuh tertelungkup. Ternyata
ujung cambuk Swandaru telah menjeratnya, sehingga ia tidak berhasil melarikan
dirinya. Sepasang tangan yang kuat telah memilin tangannya tanpa ampun lagi.
“Ikat saja
orang ini,” berkata Swandaru kepada orang-orang yang mengejarnya.
“Bunuh saja.”
“Jangan. Ia
sudah menyerah. Ikat saja kuat-kuat. Orang ini masih berbahaya. Meskipun
demikian, jangan kalian bunuh.”
Orang-orang
tua itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian mereka mengangguk-anggukkan
kepala. Salah seorang segera maju sambil berkata,
“Ikat saja ia
erat-erat. Kemudian kita ikat orang itu dengan tiang.”
Tanpa
diduga-duga ia menyambar ikat kepala orang yang tangannya masih terpilin itu.
Kemudian dengan ikat kepala itu, ia mengikat tangan orang yang masih berbahaya
itu erat-erat.
Katanya,
“Marilah orang
ini kita bawa ke serambi.”
Ternyata
kemenangan itu telah mengungkat keberanian orang tua-tua itu lebih bergelora
lagi. Mereka seakan-akan sudah tidak mengenal takut lagi menghadapi setiap
kemungkinan. Setelah mengikat orang itu, mereka pun kemudian turun ke halaman
dan berjalan hilir-mudik dengan senjata di tangan. Dalam pada itu. Swandaru dan
Agung Sedayu masih saja berdiri di samping barak. Mereka pun kemudian berkisar
ke belakang. Di dalam gelapnya malam mereka tidak segera melihat, apa yang
terjadi di gerumbul-gerumbul di belakang barak itu.
“Agaknya
kekuatan lawan pun terpusat di arah depan,” desis Swandaru.
“Ternyata
tidak ada seorang pun yang berhasil menembus pertahanan dua kelompok kecil yang
dipimpin oleh dua orang pengawal.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi lamat-lamat ia memang mendengar suara
perkelahian.
“Suara itu
semakin lama menjadi semakin dekat,” desis Agung Sedayu.
Wajah Swandaru
menegang. Katanya,
“Kalau begitu,
mereka pasti terdesak.”
“Marilah kita
lihat.”
Keduanya pun
kemudian berloncatan berlari masuk ke dalam gelapnya malam. Dalam pada itu Swandaru
masih sempat bergumam,
“Orang-orang
tua di halaman itu masih dapat dipercaya.”
Di arah depan
barak, pasukan lawan memang cukup kuat. Ketika saatnya telah dataug, serta
isyarat telah mereka lontarkan ke udara karena suara gemerincing itu tidak
dapat berputar secara wajar, maka mereka pun seperti banjir yang memecahkan
bendungan, langsung mencoba menyerbu ke halaman barak. Tetapi tanpa mereka
sadari, ternyata sebagian dari mereka telah terpelanting karena kaki-kaki mereka
telah terjerat oleh tali-tali lulup yang direntangkan oleh Swandaru dan Agung
Sedayu dari batang perdu yang satu kebatang yang lain. Tali-tali lulup yang
putus telah mengguncang pohon-pohon perdu di gerumbul dan membuat
kejutan-kejutan yang langsung menghambat laju orang-orang yang menyerbu barak
itu. Dengan demikian, maka usaha Swandaru ada juga hasilnya. Serangan itu
terpaksa terhambat. Laju banjir itu pun tidak seperti yang mereka rencanakan,
untuk memberikan kesan yang mengerikan pada serangan yang pertama. Bahkan ada
beberapa orang di antara mereka yang kakinya terkilir dan dahinya membentur
batu. Terdengar mereka yang terjerat oleh tali-tali lulup itu mengumpat tidak
habis-habisnya. Apalagi mereka yang oleh kejutan itu, senjatanya telah
terlepas. Di dalam kegelapan orang itu harus merunduk-runduk mencari senjatanya
yang terjatuh.
“He, apa
kerjamu?” bentak kawannya.
“Senjataku
terjatuh.”
“Bodoh kau.
Seorang prajurit yang kehilangan senjata di medan perang, sama saja sudah
kehilangan separo dari nyawanya.”
“Itulah
sebabnya aku mencari separo nyawaku yang hilang.”
“Persetan,”
kawannya menggeram. Tetapi ketika kawannya itu meloncat meninggalkan orang yang
sedang mencari senjata itu, kakinya sendiri terjerat pula, sehingga ia pun
jatuh menelungkup. Senjatanya pun terlepas dan terpelanting jatuh ke dalam
gerumbul perdu.
“Setan alas!”
ia mengumpat.
Dalam pada itu
kawannya yang terdahulu kehilangan senjatanya, sudah dapat menemukannya.
Didekatinya kawannya yang terjatuh kemudian sambil berkata,
“Apa yang kau
cari?”
“Gila,
senjataku pun terjatuh.”
“Bodoh kau.
Seorang prjaurit yang kehilangan senjata di medan perang, sama saja sudah
kehilangan separo nyawanya.”
Kawannya
menggeretakkan giginya. Tetapi ia pun segera menjawab,
“Itulah
sebabnya aku mencari separo nyawaku yang hilang.”
“Macammu,”
desis kawannya yang sudah menemukan senjatanya. Tetapi ia tidak mau menunggu
lebih lama lagi. Dengan tergesa-gesa ia pun segera maju menyusul kawan-kawannya
meskipun ia harus berhati-hati karena ia tidak mau terjerat lagi oleh tali-tali
lulup.
Kiai Damar dan
Kiai Telapak Jalak yang melihat laju orang-orangnya tertahan-tahan mengumpat
pula di dalam hati. Laju pasukan pada benturan yang pertama itu cukup
berpengaruh. Apalagi lawannya adalah orang-orang yang tidak berpengalaman dalam
peperangan. Hanya beberapa orang sajalah yang mempunyai kemampuan mempergunakan
senjata sebaik-baiknya. Demikianlah maka akhirnya dua pasukan itu pun bertemu.
Tetapi tidak di tepi halaman seperti yang diharapkan oleh orang-orang Kiai
Damar, karena pasukan yang mempertahankan barak itu sudah agak maju menyongsong
mereka. Memang ada satu dua orang yang lolos, dan mencoba langsung menyerbu ke
barak untuk mempengaruhi hati orang-orang barak yang sedang berkelahi itu.
Tetapi orang-orang tua yang pernah memenangkan perkelahian, menjadi semakin
terbesar hati, sehingga mereka pun berjuang semakin gigih. Setiap orang yang
mencoba memasuki barak itu pasti berhasil mereka lumpuhkan beramai-ramai.
Itulah yang tidak pernah diduga oleh orang-orang Kiai Damar dan Kiai Telapak
Jalak. Demikianlah maka perkelahian itu pun menjadi semakin seru. Orang-orang
yang bertempur menjadi semakin bernafsu. Demikian juga penghuni barak yang
selama itu hanyalah sekedar mengayunkan kapak-kapak mereka menebang pepohonan,
tetapi kini mereka mengayunkan senjata mereka sekuat tenaga untuk melawan
orang-orang yang akan menghancurkan segala usaha yang selama ini pernah mereka
rintis. Dengan demikian, meskipun mereka bukan orang-orang yang cakap
mempermainkan senjata tetapi kekuatan ayunan senjatanya dapat dibanggakan,
sehingga lawan-lawan mereka pun menjadi ngeri juga karenanya. Di samping
orang-orang yang bertenaga raksasa itu, para pengawal dan pengawas yang ada di
antara mereka pun bertempur mati-matian. Mereka bukan sekedar orang-orang yang
dapat memegang senjata, tetapi terlebih-lebih pengawal Sutawijaya adalah
orang-orang pilihan. Orang-orang yang mempunyai kemampuan bertempur melampaui
seorang prajurit biasa.
Sutawijaya
sendiri bersama Kiai Gringsing dan Sumangkar masih berdiri termangu-mangu.
Sejenak mereka memperhatikan medan yang meluas, hampir meliputi separo
lingkaran. Sedang mereka pun mengetahuinya, bahwa di belakang barak pun ada
juga orang-orang Kiai Damar yang mencoba menembus pertahanan. Tetapi mereka
percaya bahwa Agung Sedayu dan Swandaru akan dapat membantu orang-orang yang
bertahan di belakang dengan kekuatan yang kecil. Sebenarnyalah bahwa Agung
Sedayu dan Swandaru telah terjun ke dalam kancah perkelahian. Jumlah lawan
memang tidak begitu banyak. Tetapi mereka berhasil mendesak para penghuni barak
yang hanya dipimpin oleh dua atau tiga orang pengawal. Namun kehadiran Agung
Sedayu dan Swandaru ternyata mempunyai pengaruh yang besar sekali. Meskipun
keduanya tidak bernafsu untuk membunuh, tetapi mereka sadar, bahwa mereka harus
melumpuhkan lawannya. Membuat mereka pingsan atau membuat mereka tidak berdaya
sama sekali. Namun demikian apabila ada yang terbunuh juga di antara mereka,
sama sekali bukanlah yang dikehendaki. Sejenak kemudian di bagian belakang
barak itu telah bergema suara cambuk Agung Sedayu dan Swandaru. Meledak-ledak
seperti menghentak-hentak jantung. Semakin lama semakin sering, dan setiap kali
terdengar seseorang mengaduh tertahan. Seorang laki-laki yang berkumis lebat
tetapi berkepala botak, menggeram,
“Nah, sekarang
barulah aku mendapat kesempatan. Aku tidak percaya bahwa cambuk itu mampu
melawan sepasang pedangku.”
Dengan
garangnya orang berkumis itu pun segera meloncat menyerang Agung Sedayu. Selangkah
Agung Sedayu meloncat surut. Ia melihat orang berkumis lebat di dalam
keremangan malam. Semula ia termangu-mangu melihat ikat kepala orang itu
berkilat-kilat. Tetapi ternyata bahwa orang itu sama sekali tidak memakai ikat
kepala. Botak kepalanyalah yang memantulkan cahaya bintang gemintang di langit
yang jernih.
“Sekarang kau
akan mati,” desis orang botak itu.
Agung Sedayu
meloncat surut sekali lagi. Ternyata bahwa sepasang pedang orang itu memang
garang. Yang satu mematuk, sedang yang lain tiba-tiba terayun mendatar.
“Jangan lari,”
orang itu berteriak,
“inikah yang
dikatakan orang bercambuk itu? Sama sekali tidak seperti yang pernah aku
dengar. Apakah memang begitu caramu berkelahi?”
“Ya,” jawab
Agung Sedayu,
“beginilah
caraku berkelahi.”
“Licik. Kalau
begitu …”
Tetapi orang
itu tidak sempat menyelesaikan kalimatnya. Tiba-tiba selaput telinganya serasa
pecah. Cambuk Agung Sedayu meledak dengan dahsyatnya beberapa jengkal saja dari
kepalanya.
“Gila,” orang
berkepala botak dan berkumis lebat itu mengumpat. Namun sekali lagi ia harus
menundukkan kepalanya dalam-dalam karena ujung cambuk Agung Sedayu berdesing di
atas kepalanya. Selanjutnya Agung Sedayu tidak memberinya kesempatan. Ujung
cambuknya menyusup di antara sepasang pedang lawannya, seperti seekor lalat.
Sekali-sekali hinggap di tubuhnya, kemudian terbang lagi dengan cepatnya.
“Kubunuh,
kau,” orang itu berteriak sekali lagi. Pedangnya berputar semakin cepat dan
garang. Namun ujung cambuk Agung Sedayu masih juga sempat hinggap di kulitnya,
meskipun belum menumbuhkan luka-luka yang parah. Namun demikian, sentuhan-sentuhan
ujung cambuk itu membuatnya seakan-akan berdiri di atas bara. Setiap kali ia
berloncatan menghindar, kemudian maju menyerang dengan dahsyatnya, meskipun
serangannya sama sekali tidak pernah menyentuh lawannya. Dalam pada itu, justru
ujung cambuk Agung Sedayu-lah yang semakin sering mengenainya. Semakin lama
semakin keras, sehingga kemudian terasa, kulitnya seakan-akan terkelupas. Darah
mulai menitik dari luka-luka yang timbul oleh sentuhan ujung cambuk Agung
Sedayu itu. Di bagian lain, Swandaru harus berkelahi melawan dua orang
sekaligus. Yang seorang gemuk hampir seperti dirinya sendiri, sedang yang lain
bertubuh tinggi dan besar, bersenjata tombak pendek, bergerigi seperti duri
pandan.
“Juntai
cambukmu akan rantas tersentuh senjataku,” orang yang tinggi itu bergumam.
Tetapi
Swandaru tidak menghiraukannya. Bahkan ia berkata kepada lawannya yang gemuk,
“Kenapa kau
tidak memakai baju? Kulitmu akan terkelupas oleh ujung cambukku. Kalau kau
masih mempunyainya, ambillah, pakailah bajumu sekedar untuk mengurangi
jalur-jalur merah biru di punggungmu.”
“Persetan!” ia
membentak. Suaranya melengking seperti suara perempuan.
“He, suaramu
aneh,” desis Swandaru.
“Gila. Kau
masih sempat berbicara tentang suara,” orang yang tinggi besar itulah yang
menjawab.
Swandaru
tiba-tiba justru tertawa. Tetapi ia tidak menjawab lagi. Cambuknya semakin lama
menjadi semakin cepat, sehingga kedua lawannya itu pun menjadi semakin bingung
karenanya. Dalam pada itu, para pengawal dan orang-orang yang tinggal di dalam
barak itu pun masih berkelahi mati-matian. Jumlah lawan memang agak lebih
banyak di bagian belakang ini. Tetapi ternyata bahwa para pengawal pun cukup
tangkas. Apalagi karena Agung Sedayu kemudian tidak mengikatkan diri pada
lawannya yang seorang itu. Orang yang berkumis lebat dan berkepala botak.
Setiap kali Agung Sedayu masih juga sempat menyerang siapa pun yang
mendekatinya. Dan serangan Agung Sedayu itu ternyata benar-benar mengejutkan. Demikian
pula orang berkepala botak itu. Semakin lama ia pun semakin menyadari
keadaannya. Sebenarnya, bahwa orang yang bersenjata cambuk itu adalah orang
yang luar biasa, sambil berloncatan kian kemari, membantu orang-orang lain di
dalam perkelahian itu, ia masih sempat melukainya. Semakin lama semakin banyak.
Jalur-jalur merah biru menjadi silang-menyilang dipunggung dan lengannya.
“Anak ini
memang anak setan,” desisnya,
“aku harus
membunuhnya beramai-ramai. Kalau orang ini sudah mati, maka, aku akan dapat
segera membunuh orang-orang lain di dalam perkelahian ini.”
Demikianlah,
maka orang itu pun memberi isyarat kepada tiga orang yang lain untuk
bersama-sama melawan Agung Sedayu. Menurut perhitungan orang berkepala botak
itu, apabila Agung Sedayu sudah terbunuh, maka semuanya akan berjalan lancar. Tetapi
perhitungan itu pun tidak terlampau mudah dilakukan. Dengan demikian, maka
orang-orang lain di dalam perkelahian itu menjadi lebih bebas lagi karena
lawannya berkurang. Orang-orang dari barak yang semula menjadi cemas dan
kadang-kadang bingung, kini mereka merasa lapang, karena lawan-lawan mereka
telah terhisap oleh Agung Sedayu. Demikian juga pengawal yang ada di arena
perkelahian itu, sehingga mereka pun segera berhasil mendesak lawan mereka. Sejenak
kemudian perkelahian itu menjadi semakin berat sebelah. Agung Sedayu dan
Swandaru menganggap bahwa tenaganya mungkin diperlukan pula di medan yang lain,
sehingga akhirnya mereka pun mengerahkan segenap kemampuan mereka. Cambuk kedua
anak-anak muda itu segera meledak-ledak semakin keras dan cepat. Ujungnya yang
berkarah besi baja, rasa-rasanya menjadi semacam ujung pedang. Setiap sentuhan,
tidak lagi sekedar meninggalkan bekas merah biru, tetapi ujung cambuk itu mampu
merobek kulit dan membuat luka memanjang yang mengalirkan darah yang segar.
“Anak setan!”
geram orang berkepala botak itu. Tetapi ia pun segera menyeringai ketika ujung
cambuk Agung Sedayu justru menyentuh botaknya meskipun tidak terlampau keras.
Pasukan yang
menyerang barak itu pun semakin lama menjadi semakin terdesak. Agung Sedayu dan
Swandaru bersama-sama dengan para pengawal dan orang-orang yang tinggal di
dalam barak itu berusaha sekuat-kuatnya untuk segera menyelesaikan perkelahian
itu.
Meskipun
jumlah para penyerang itu agak lebih banyak, namun sebagian terbesar dari
mereka berkerumun di sekitar Agung Sedayu dan Swandaru. Namun demikian, mereka
sama sekali tidak berhasil mendesaknya. Bahkan, cambuk kedua anak-anak muda itu
kadang-kadang telah membuat mereka kebingungan dan saling membentur di antara
mereka sendiri.
Namun demikian
korban-korban di kedua belah pihak tidak dapat dihindarkan lagi. Demikian juga
pada lingkaran perkelahian di belakang barak itu. Meskipun Agung Sedayu dan
Swandaru sama sekali tidak didorong oleh nafsu untuk membunuh, namun mereka
tidak dapat menilik dengan saksama akibat dari ujung cambuk masing-masing,
sehingga ada juga di antara mereka yang terlempar dan terbanting di atas tanah,
namun tidak akan dapat bangkit kembali. Di bagian depan dari barak itu,
pertempuran pun menjadi semakin sengit. Berbeda dengan pertempuran di bagian
belakang, di bagian depan jumlah para penyerang tidak lebih banyak dari mereka
yang mempertahankan barak itu. Tetapi nilai mereka seorang demi seorang agak
jauh berbeda. Di dalam perkelahian yang lebih besar, ternyata orang-orang yang
menghuni barak itu masih juga kebingungan. Meskipun pemimpin-pemimpin kelompok
mereka, sempat memberikan aba-aba, namun kadang-kadang mereka tidak dapat
berbuat apa pun juga, selain kebingungan. Dengan demikian, maka pasukan
penyerang itu pun segera dapat mendesak orang-orang yang mencoba mempertahankan
baraknya. Meskipun para pengawal sudah berjuang sekuat tenaga mereka, tetapi
tenaga mereka pun sangat terbatas. Sutawijaya yang melihat hal itu, menjadi
berdebar-debar karenanya. Dengan demikian ia tidak akan dapat tinggal diam
menunggu. Dengan tombak yang bergetar di tangannya, ia berkata kepada Kiai
Gringsing dan Sumangkar,
“Aku akan
mulai Kiai. Keadaan menjadi semakin buruk.”
“Marilah, kita
akan mulai bersama-sama,” desis Kiai Gringsing.
“Kiai harus
mengamati, apakah Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak juga sudah mulai. Mereka
adalah orang-orang yang berbahaya, yang harus mendapat perhatian khusus.”
“Aku akan
mencari, Ngger. Tetapi sambil mencari, aku dapat berbuat sesuatu untuk
mengurangi perlawanan musuh.”
Sutawijaya
tidak menyahut. Dengan tombak yang merunduk ia maju mendekati arena yang
menjadi semakin sibuk.
Sejenak
kemudian Sutawijaya telah terjun di dalam pertempuran. Pertempuran yang seru,
namun dipenuhi oleh keragu-raguan. Di dalam gelapnya malam tidak mudah untuk
segera membedakan, manakah kawan dan manakah lawan. Namun apabila keduanya
sudah bertemu, maka mereka pun akan berkelahi mati-matian. Agaknya Kiai Damar
dan Kiai Telapak Jalak mengetahui akan hal itu. Karena itu, maka mereka pun
berusaha, agar tidak terjadi terlampau banyak kesalahan dan keragu-raguan.
Supaya anak buahnya tidak lagi harus membuang banyak waktu sebelum
menghunjamkan pedangnya karena kebimbangan. Orang-orang yang tinggal di dalam
barak, dan yang ternyata ikut melakukan perlawanan, adalah lawan-lawan yang
sangat lunak. Hanya karena kegelapan dan keragu-raguan sajalah, mereka masih
sempat hidup terus. Dengan demikian, maka Kiai Damar pun segera memerintahkan
beberapa orangnya yang memang sudah ditentukannya, untuk segera menyalakan
obor. Selain itu, panah-panah api pun diterbangkannya ke udara, sehingga medan
itu bagaikan hujan api yang berjatuhan dari langit. Sejenak kemudian medan yang
ribut itu menjadi semakin terang. Beberapa orang maju ke medan dengan obor di
tangan kiri dan pedang di tangan kanan, atau menancapkan obor-obor mereka di
tanah dan menyelipkannya di cabang-cabang batang perdu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar