Jilid 013 Halaman 1


TETAPI yang terdengar adalah suara tertawa lemah. Suara itu melontar dari balik sebatang pohon yang besar. Hampir bersamaan muncullah sebuah bayangan hitam, berjalan beberapa langkah mendekati mereka.
“Hem, kalian telah terbenam dalam kepentingan kalian masing-masing sehingga kalian tidak sempat memperhatikan saat-saat yang paling berbahaya dalam hidup seseorang.”
Agung Sedayu tersentak. Tiba-tiba dari mulutnya terdengar la berdesis,
“Kiai Gringsing.”
Kiai Gringsing tidak menjawab. Ia berjalan terus ke arah orang yang terbaring itu. Dengan cekatan ia memijit-mijit beberapa bagian dari sisi luka itu, kemudian mengambil sebungkus ramu-ramuan obat-obatan dari dalam bajunya. Terdengar orang itu berdesis, kemudian mengerang semakin keras.
“Memang agak pedih,” berkata Kiai Gringsing,
“mudah-mudahan akan dapat menolongmu,” berkata Kiai Gringsing sambil mengusap luka itu dengan ramuan obatnya.
Kemudian kepada Agung Sedayu ia berkata,
“Bawalah orang ini ke tepi hutan. Carilah air untuknya, dan bawalah ke banjar desa bersama orang-orang lain yang terluka.”
“Kiai,” potong Sumangkar,
“apakah artinya ini?”
Kiai Gringsing berpaling. Dipandanginya wajah Sumangkar dalam kesamaran gelap malam.
“Biarlah aku mencoba menolong jiwanya. Aku adalah seorang dukun. Aku tidak dapat melihat seseorang yang berjuang melawan maut tanpa berbuat apa-apa. Sedang kalian masih saja bertengkar tanpa ujung pangkal. Sehingga aku tidak tahan lagi bersembunyi sambil mendengar keluhan ini.”
“Lalu, maksud Kiai seterusnya.”
“Biarlah Agung Sedayu kembali ke Sangkal Putung. Akulah yang akan mengambil alih tugasnya,” sahut Kiai Gringsing.

Mendengar jawaban Kiai Gringsing itu wajah Sumangkar menjadi merah padam. Ia tahu benar arti kata-kata itu. Dan ia tahu, akibat dari kata-kata itu pula. Karena itu sesaat ia terbungkam. Bukan saja Sumangkar yang terkejut, tetapi juga Agung Sedayu terkejut. Dengan ragu-ragu ia berkata,
“Kiai, apakah Kakang Untara akan membenarkan?”
“Kakangmu tidak akan berbuat apa-apa. Baginya, siapa saja yang melakukan perintahnya tidak ada bedanya.”
Sedayu masih ragu-ragu. la masih saja berdiri di tempatnya. Sehingga Kiai Gringsing berkata pula,
“Selagi masih ada kesempatan, maka setiap jiwa yang terancam maut harus mendapat pertolongan. Adalah wajib kita berusaha, namun apabila ditentukan lain, kita manusia tidak dapat melawan kehendak-Nya.”
Tetapi Agung Sedayu masih ragu-ragu. Dan karena Agung Sedayu ragu-ragu Kiai Gringsing berkata,
“Agung Sedayu, pergilah. Bukankah kau masih dapat mengenal jalan kembali. Tempat ini masih belum terlampau dalam-dalam. Kau dapat mengikuti jejak prajurit Jipang dalam-dalam arah yang berlawanan.”
“Tetapi perintah itu.”
“Serahkan kepadaku. Kakakmu adalah seorang Senapati yang cerdik. Aku tahu benar, kenapa yang diperintahkannya adalah kau. Bukan orang lain. Padahal Untara tahu, siapakah Adi Sumangkar itu. Kakakmu pasti mempunyai perhitungan sendiri. Ia pasti, bahwa aku tidak akan melepaskan kau sendiri dalam tingkat sekarang. Sebab kakakmu segan untuk langsung meminta aku melakukan pekerjaan ini.”
Terasa sesuatu bergetar di dada Agung Sedayu. Ternyata bukan dirinya sendirilah sasaran dari perintah kakaknya.
“Hem,” Sedayu menarik nafas dalam-dalam.
Terdengarlah pula Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Bahkan seakan-akan orang tua itu mengeluh.
“Sekarang pergilah,” perintah Kiai Gringsing.
Agung Sedayu tidak dapat menghindar lagi. Perintah kakaknya baginya sama beratnya dengan perintah gurunya. Namun bahwa gurunya akan mengambil alih tugasnya, telah membesarkan hatinya. Perlahan-lahan Agung Sedayu menyarungkan pedangnya. Dan perlahan-lahan pula ia berjongkok di samping gurunya. Dengan hati-hati, orang yang terluka itu dipapahnya pada kedua tangannya.
“Berat?” bertanya Kiai Gringsing.
“Cukup berat,” sahut Agung Sedayu.
“Hati-hatilah. Kalau kau telah memberinya minum maka orang itu akan dapat kau papah pada lambungnya. Mungkin ia dapat menggantungkan dirinya pada pundakmu. Kalau tidak, kau masih harus mengangkatnya sampai ke banjar desa.”
Agung Sedayu mengangguk, jawabnya,
“Baik Kiai.”

Ketika Agung Sedayu kemudian berputar dan melangkah, terdengar Sumangkar menggeram.
“Kiai, ternyata senapati Pajang itu tidak berkata sejujur hatinya.”
“Kenapa?” sahut Kiai Gringsing.
Agung Sedayu yang mendengar perkataan Sumangkar itu berhenti sambil berpaling. Tetapi Kiai Gringsing berkata,
“Berjalan terus Sedayu. Jangan menunggu orang itu mati.”
Sedayu mengangguk. Ia melangkah kembali meninggalkan gurunya dan Sumangkar masuk ke dalam gelapnya malam yang semakin kejam. Orang di tangannya itu masih mengerang. Bahkan terdengar ia berbisik,
“Akan kau bawa kemana aku, Kisanak.”
“Mencari air,” sahut Agung Sedayu.
Orang itu terdiam. Namun perasaannya bergolak tidak menentu. Ia tidak tahu, apakah yang telah mendorong prajurit Pajang itu menyelamatkannya. Karena itu, maka rasa heran dan haru berkecamuk di dalam dadanya.
“Kisanak,” desisnya lirih,
“bukankah bagimu lebih mudah menusukkan pedangmu ke ulu hatiku dari pada membawa aku mecari air?”
Agung Sedayu tidak menjawab. Dalam keadaan demikian Agung Sedayu sama sekali tidak teringat lagi batas antara prajurit Pajang dan prajurit Jipang. Namun perasaan kemanusiaannyalah yang telah mendesak semua persoalan yang pernah ada antara dirinya, sebagai seorang yang berada dalam barisan Pajang dan orang itu prajurit Jipang.

Sepeninggal Agung Sedayu, Kiai Gringsing berdiri berhadapan dengan Sumangkar yang masih membawa tubuh Macan Kepatihan di pundaknya. Keduanya berdiri tegak dalam jarak beberapa langkah saja.
“Kiai,” berkata Sumangkar,
“kalau benar Angger Untara akan mengusahakan pengampunan kenapa Untara masih dikungkung oleh perasaan curiga.”
“Kenapa?” bertanya Kiai Gringsing.
“Ternyata Untara masih mengirim seseorang untuk mengikuti aku. Bukankah dengan demikian, pengampunan yang dikatakan itu tidak lebih dari satu jebakan saja bagi Jipang.”
“Adi Sumangkar,” berkata Kiai Gringsing,
“kita yang selama ini berdiri pada pihak yang bermusuhan, sudah tentu tidak dapat melenyapkan kecurigaan hati kita masing-masing dalam sekejap. Sudah tentu bukan hanya Angger Untara yang bercuriga, bukankah kau bercuriga pula? Bukankah kau bercuriga bahwa perkataan Untara itu hanya sekedar sebuah pancingan.”
“Kalau tidak,” sahut Sumangkar,
“ia tidak akan mengirim seseorang untuk mengikuti aku.”
“Tetapi sebelum kau temukan Agung Sedayu di sini, kecurigaan telah ada di hatimu. Bukankah kau katakan bahwa kau sudah menyangka bahwa seseorang akan mengikuti jejakmu? Bukankah itu juga semacam perasaan curiga? Nah, kita sama-sama curiga. Lebih baik tidak usah aku ingkari. Tetapi kecurigaan kami didasari atas kemauan yang baik. Siapa yang menyerah, akan mendapat pergampunan meskipun tidak mutlak seperti kata-kata Angger Untara. Yang tidak mau menyerah itulah yang akan dimusnahkan. Karena itu Angger Agung Sedayu harus tahu, jalan yang dapat ditempuh untuk menghancurkan mereka yang membangkang perintah.”
Sumangkar masih saja berdiri seperti patung. Namun hatinya berkata seperti apa yang dikatakan oleh Kiai Gringsing itu pula,
“Kita yang selama ini berdiri pada pihak yang bermusuhan, sudah tentu tidak dapat melenyapkan kecurigaan hati kita masing-masing dalam sekejap.”
Tetapi Sumangkar masih ingin menghindarkan diri dari jebakan yang mungkin dibuat oleh Untara, katanya,
“Kiai, apakah tidak mungkin bahwa setelah Angger Untara mengetahui perkemahan orang-orang Jipang, maka dengan serta merta dihancurkannya, tanpa menunggu pernyataan mereka yang berhasrat untuk benar-benar mencari jalan kembali?”
“Kecurigaan itu beralasan,” sahut Kiai Gringsing.
“Seperti juga Angger Untara bercuriga. Jangan-jangan Sumangkar hanya ingin mempengaruhi perasaan orang-orang Pajang untuk mendapat kesempatan melepaskan bersama anak buah Tohpati. Apakah kami dapat mengetahui dengan pasti, bahwa apa yang dikatakan oleh Sumangkar untuk kembali setelah menguburkan mayat Tohpati dan bersedia menerima segala macam hukuman sebagai janji yang pasti ditepati?”
“Apakah kalian orang-orang Pajang tidak percaya kepadaku, Kiai?”
“Perasaan kami serupa. Seperti kau tidak percaya bahwa kami yang benar-benar bertekad untuk menyelesaikan persoalan ini sebaik-baiknya. Bahkan kau berprasangka, seolah-olah kami akan menjebakmu dan orang-orang Jipang yang lain.”

Sumangkar terdiam sejenak. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berpikir. Kemudian terdengar ia berkata,
“Lalu, apakah yang akan kau lakukan kini, Kiai?”
“Meneruskan pekerjaan Agung Sedayu.”
“Memata-matai aku?”
“Ya.”
“Bagaimana kalau aku menolak.”
“Adi Sumangkar. Kalau aku orang yang taat pada kewajibanku, maka aku harus menjawab seperti Agung Sedayu. Apa pun yang akan terjadi. Tetapi untuk menghindari hal-hal yang saling tidak kita inginkan, maka aku dapat menjawab lain. Sebenarnya bagi Kiai Gringsing, sama sekali tidak perlu, apakah Sumangkar sedang lewat, apakah ada bekas-bekas anak buah Angger Tohpati, atau petunjuk-petunjuk yang lain. Bagi Kiai Gringsingi mencari perkemahanmu tidaklah sesulit mencari kutu di kepala.”
“Hem,” Sumangkar menggeram, disadarinya kini dengan siapa ia berhadapan. Kiai Gringsing ternyata telah mengucapkan tekadnya. Dalam pada itu kadang-kadang tumbuh lagi niatnya untuk membunuh dengan meminjam tangan Kiai Gringsing, barangkali saat-saat yang sedemikian ini dapat dimanfaatkannya. Kalau ia mencoba mengusir Kiai Gringsing, maka ada kemungkinan mereka terlibat dalam perkelahian. Tetapi Sumangkar hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Ia telah menyanggupi, melakukan pesan terakhir Macan Kepatihan. Mengubur mayatnya baik-baik. Kata-kata Kiai Gringsing itu pun cukup tegas baginya, dan ia percaya bahwa Kiai Gringsing mampu melakukannya, mencari perkemahannya tanpa petunjuk-petunjuk apapun. Karena itu maka akhirnya Sumangkar berkata,
“Baiklah Kiai. Silahkan Kiai melakukan pekerjaan Kiai Gringsing. Aku percaya, bahwa Kiai akan berhasil.”
“Terima kasih,” sahut Kiai Gringsing.
“Tetapi aku harap kau tidak berprasangka. Angger Untara benar-benar berkemauan baik untuk menyelesaikan persoalan sisa-sisa anak buah Tohpati dengan menghindarkan pertumpahan darah sejauh mungkin. Seperti yang dikatakannya, bahwa Panglima Wira Tamtama sendiri memberinya saran itu.”
“Ya. Ya. Kiai. Aku akan berjalan terus membawa mayat Angger Macan Kepatihan di antara anak buahnya. Mungkin mayat ini dan pesan-pesannya di saat terakhir akan bermanfaat bagi penyelesaian itu. Aku akan mengakui kekuranganku, bahwa aku tidak dapat menghalang-halangi Kiai.”
“Marilah kita menganggap bahwa kita saat ini tidak bertemu. Aku akan mencari jalan sendiri, sehingga apabila aku menemukan perkemahammu, bukanlah karena kesalahan Sumangkar, yang seakan-akan telah menuntun musuhnya menemukan perkemahan sendiri.”
“Baik Kiai. Kini aku akan pergi.”
Kiai Gringsing mengangguk. “Silahkan,” jawabnya.

Sumangkar  pun kemudian berputar, meneruskan langkahnya, menyusup ke dalam gerumbul dan menghilang di dalam kelamnya malam. Sambil membawa mayat Raden Tohpati, Sumangkar berjalan cepat-cepat untuk segera sampai ke perkemahannya. Betapa hatinya menolak maksud Kiai Gringsing untuk melihat perkemahannya dan mengetahui segala seluk-beluknya, namun ia tidak mampu menghalang-halanginya. Sebenarnya Sumangkar ingin sampai saat-saat terakhir, meskipun dirinya sendiri kemudian akan menyerahkan dirinya bersama dengan orang-orang yang sependirian, namun ia tidak akan membiarkan orang-orang yang selama ini bersama-sama berdiri pada suatu pihak mengalami bencana yang mengerikan. Yang seolah-olah karena kesalahannya. Bahkan akan dapat dituduh, karena pengkhianatannya, maka mereka akan dimusnahkan.
“Tetapi Kiai Gringsing memiliki beberapa kelebihan,” desisnya.
Karena itu dicobanya untuk menenangkan perasaannya. Ia mencoba untuk berlaku seperti apa yang dikatakan oleh Kiai Gringsing, seolah-olah mereka tidak pernah bertemu di dalam hutan, seolah-olah Kiai Gringsing mencari jalan sendiri. Dan apabila Kiai Gringsing itu sampai di perkemahan juga, itu adalah karena kecakapannya sendiri.
Dalam kesibukan angan-angan, akhirnya Sumangkar menjadi semakin dekat dengan perkemahannya. Beberapa langkah lagi ia menyibak gerumbul terakhir dan beberapa langkah lagi, orang tua itu telah sampai di halaman yang kotor dari perkemahan yang sangat sederhana. Seorang penjaga dengan tangkasnya meloncat, dan pedangnya langsung diangkatnya setinggi dada sambil membentak,
“Berhenti! Siapa kau?”
Sumangkar berhenti. Dengan sareh ia menjawab,
“Sumangkar.”
“O,” gumam orang itu. Namun tiba-tiba terdengar suaranya menghentak,
“Dari mana kau?”
Sumangkar tidak segera menjawab. Ia berjalan semakin dekat. Dan tiba-tiba penjaga itu berkata,
“He. apakah kau baru saja berburu? Apakah yang kau dapatkan itu?”
Sumangkar tidak menjawab. Ia berjalan terus semakin dekat.
“Apa he? Apakah orang yang lain berhasil mendapatkat buruan itu, dan kau harus memasaknya?”
“Tutup mulutmu!” bentak Sumangkar. Tiba-tiba saja dadanya dirayapi oleh kemuakan yang sangat mendengar pertanyaan yang manyakitkan hatinya. Yang di pundaknya itu adalah mayat murid kakak seperguruannya, pemimpin tertinggi prajurit Jipang sepeninggal patih Mantahun.

Penjaga itu terkejut mendengar bentakan itu. Sesaat ia diam mematung, namun kemudian tumbuhlah marahnya. Juru masak itu berani membentak-bentaknya. Baru saja ia kembali dari peperangan yang hampir menghancur lumatkan pasukannya. Baru saja ia menegang nyawanya. Belum lagi ia sempat beristirahat, ia sudah mendapat tugas untuk berada di sudut-sudut penjagaan yang diperkuat bersama-sama beberapa orang lain yang sama sekali tidak mengalami cidera. Tiba-tiba juru masak itu membentak-bentaknya. Karena itu, maka dengan kasar ia menjawab,
“He, Sumangkar. Apakah kau tidak dapat menjaga mulutmu he?”
Sumangkar tidak menjawab. Ia berjalan menyusur sisi halaman perkemahan itu, tidak melewati tempat prajurit itu berjaga-jaga. Tetapi prajurit yang marah itu mengejarnya dan sekali lagi membentaknya,
“He, tikus tua. Mintalah maaf supaya mulutmu tidak aku remas.”
Tetapi orang tua itu berpaling pun tidak. Ia berjalam terus. Ia ingin segera sampai ke pusat perkemahan dan menyerahkan tubuh Macan Kapatihan kepada pimpinan yang masih ada. Namun prajurit yang marah itu mengejarnya terus.
“Berhenti!” teriaknya.
“Kalau tidak aku sobek punggungmu dengan pedangku.”
Sumangkar berhenti. Sambil memutar tubuhnya ia berkata,
“Apakah sebenarnya yang kau kehendaki? Buruanku ini?”
“Keduanya. Buruanmu dan mulutmu.”
Sumangkar yang hatinya sedang gelap itu tiba-tiba menjadi bertambah gelap. Dalam keadaan yang serupa itu, tiba-tiba tanpa disangka-sangka, tanpa ancang-ancang, terasa sesuatu menyengat mulut prajurit itu. Demikian kerasnya sehingga prajurit itu terlempar beberapa langkah ke samping. Terdengar tubuhnya terbanting di tanah dan terdengar ia mengeluh pendek.
Dalam pada itu terdengar suara Sumangkar parau,
“Mulutmulah yang harus kau jaga.”
Prajurit yang terbanting itu merangkak-rangkak bangun. Mulutnya yang berdarah, menghamburkan kata-kata kotor. Setelah ia memungut pedangnya yang terlepas dari tangannya, ia berdiri tegak sambil berkata,
“Sumangkar. Apakah kau sudah menjadi gila. Sekarang aku benar-benar akan membunuhmu.”
Sebelum Sumangkar menjawab, prajurit yang marah itu telah meloncat beberapa langkah maju sambil langsung menusukkan pedangnya menghunjam ke arah jantung Sumangkar. Namun sekali lagi prajurit itu terkejut. Sumangkar itu seakan-akan lenyap dari tempatnya. Dan tiba-tiba sekali lagi kepalanya terasa pening. Sekali lagi ia terdorong beberapa langkah dan jatuh terbanting di tanah. Kini terasa matanya berkunang-kunang. Hampir-hampir ia kehilangan kesadaran. Kepalanya terasa hampir pecah dan nafasnya hampir terputus di kerongkongan.

Prajurit itu mengerang. Dicobanya untuk mengatasi segala macam perasaan sakitnya. Ketika ia dengan susah payah berhasil bangkit dan duduk di atas tanah, maka yang dilihatnya bayangan Sumangkar menghilang di dalam gelap.
“Gila,” umpatnya, “orang itu telah menjadi gila.”
Tertatih-tatih prajurit itu berdiri Sekali lagi ia memungut pedangnya yang terlepas. Kepalanya yang pening dan sakit itu masih mampu melontarkan berbagai pertanyaan tentang juru masak yang dianggapnya sudah menjadi gila. Juru masak yang malas itu tiba-tiba menjadi garang. Segarang babi hutan jantan. Prajurit itu tak habis heran. Kenapa Sumangkar yang malas itu dapat berubah menjadi seorang yang mampu melakukan perbuatan di luar dugaannya, bahkan melampaui segala kacepatan gerak yang pernah dilihatnya, pada pemimpinnya yang disegani, Macan Kepatihan sekalipun. Meskipun demikian, prajurit yang masih dibakar oleh kemarahan itu sama sekali tidak puas mengalami perlakuan itu. Mungkin adalah kebetulan saja Sumangkar mampu berbuat demikian. Ia benar-benar ingin membuktikannya. Karena itu kemudian dengan langkah yang gontai ia berjalan kembali ke sudut penjagaannya minta ijin kepada kawan-kawannya untuk mencari Sumangkar ke dapur.
“Kenapa kau?” bertanya seorang kawannya ketika in melihat prajurit itu berjalan tertatih-tatih.
“Tidak apa-apa,” jawabnya.
“Di mana orang tua itu. Bukankah yang kau kejar tadi Sumangkar? Apakah ia mencoba menyembunyikan sesuatu?”
“Aku ingin melihatnya ke dapur.”
Kawan-kawannya tertawa. Mereka menyangka bahwa prajurit ingin mendapat sebagian dari hasil buruan orang tua itu.
Dalam pada itu Sumangkar berjalan terus. Sekali ia membelok dan menyusur jalan sempit menuju ke kemah Macan Kepatihan. Ia mengharap bahwa para pemimpin yang masih ada, berada di tempat itu. Semakin dekat Sumangkar dengan pintu kemah hatinya menjadi semakin berdebar-debar. Sekali-sekali terbayang di wajahnya, senapati Jipang yang dipanggulnya itu bertempur sampai titik darahnya yang terakhir untuk melindungi anak buahnya, kemudian terbayang pula senapati muda dari Pajang yang berkata kepadanya bahwa ia akan mengusahakan pengampunan untuk mereka yang dengan kemauan sendiri karena kesadaran, menyerah kepada pasukan-pasukan Pajang di Sangkal Putung.
“Kedua-duanya adalah anak-anak muda yang perkasa,” katanya di dalam hati.
“Keduanya memiliki sifat-sifat yang mengagumkan. Tetapi ternyata dalam olah kaprajuritan senapati muda dari Pajang itu dapat melampaui Angger Tohpati. Bukan saja keterampilan bermain pedang, namun ternyata senapati muda Pajang itu cukup cerdas dan bijaksana. Seandainya apa yang dikatakannya benar, pengampunan meskipun tidak mutlak, maka anak muda itu adalah anak muda yang terpuji.”

Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Ternyata Untara telah mengijinkannya membawa mayat Macan Kepatihan untuk dikuburkannya. Tetapi kemudian terdengar ia bergumam.
“Mudah-mudahan ini bukan sekedar suatu jebakan saja. Ternyata Angger Untara benar-benar mengirim orang untuk mengikuti aku.” Namun terdengar kembali jawaban dari dasar hatinya.
“Bukankah Kiai Gringsing dapat melakukannya meskipun tidak mengikuti bekas kaki atau jejak siapapun?”
Dalam pada itu langkah Sumangkar menjadi semakin dekat dengan pintu perkemahan Macan kepatihan. Sekali lagi ia bertemu dengan seorang penjaga. Ketika penjaga itu melihatnya segera ia menyapanya,
“Siapa?”
“Aku, Sumangkar.”
“O, kau mau kemana?”
“Di mana Angger Sanakeling?”
“Kau dapat rusa untuknya?”
“Ya,” sahut Sumangkar pendek.
“Di dalam kemah itu. Mereka menunggu Raden Tohpati.”
Sumangkar mengangguk. Kemudian ia meneruskan langkahnya. Namun baru beberapa langkah ia mendengar prajurit itu bertanya dengan nada yang aneh,
“He, Sumangkar. Siapakah itu?”
Sumangkar berhenti sejenak. Kemudian jawabnya,
“Inilah yang sedang mereka tunggu.”
“He?” tiba-tiba prajurit itu gemetar. Mulutnya serasa terbungkam dan dengan lemahnya ia tersandar pada sebatang pohon di samping kemah Macan Kepatihan itu.
Sumangkar melihat betapa besar pengaruh hilangnya Macan Kepatihan atas para prajurit Jipang. Mereka seakan-akan kehilangan kekuatannya. Meskipun Macan Kepatihan seorang saja tidak akan mampu berbuat apa-apa tanpa prajuritnya dan para pejuang lain, namun pengaruh dan wibawanya seakan-akan telah mencengkam segenap hati anak buahnya.

Sumangkar tidak berkata apa-apa lagi kepada prajurit itu. Sambil menundukkan kepalanya ia berjalan terus ketika ia sampai di muka pintu, ia tertegun sejenak. Dilihatnya cahaya obor memancar lewat pintu yang masih terbuka sedikit jatuh di atas tanah yang kotor lembab. Dengan ragu-ragu Sumangkar mendekat. Disentuhnya pintu itu dengan tongkatnya. Dan tiba-tiba ia mendengar suara dari dalam pintu itu menyentak,
“Kakang Tohpati.”
Sanakeling terlonjak ketika dilihatnya sebatang tongkat baja putih menyentuh pintu. Dengan sebuah loncatan ia telah mencapai pintu diikuti oleh beberapa orang lain. Tetapi ketika ia melihat, siapa yang berdiri di muka pintu dan apa yang dibawanya, maka serasa darahnya membeku. Dengan suara yang serak parau ia berkata,
“Paman Sumangkar, apakah itu Kakang Tohpati?”
Sumangkar mengangguk. Tetapi ia tidak mengucapkan kata-kata. Ketika ia melangkahi tlundak pintu semua orang yang berdiri di dalamnya, menyibak. Mereka pun terdiam seperti Sumangkar. Dengan mata terbelalak dan hati melonjak-lonjak mereka melihat Sumangkar meletakkan tubuh itu di atas sebuah amben bambu. Terdengar suaranya berderit seolah-olah sebuah goresan yang tajam berderit di jantung mereka. Sesaat mereka berdiri tegak seperti patung. Semua mata tertancap kepada tubuh yang terbujur diam. Pakaiannya masih berwarna darah karena lukanya yang arang kranjang. Sedang di tubuh Sumangkar  pun darah itu meleleh membasahi pakaian orang tua itu pula. Ruangan itu menjadi sunyi senyap. Tak seorang pun yang bergerak. Hanya hati merekalah yang bergelora, melonjak-lonjak menggapai langit seperti sebuah nyala api yang membakar gunung. Yang terdengar kemudian adalah desir angin yang menggerakkan dedaunan. Sekali-kali kilat memancar di langit, disusul oleh suara guruh bersahut-sahutan. Perlahan-lahan, namun semakin lama semakin keras. Tetapi ruangan itu masih tetap sepi. Hati mereka seakan-akan pecah ketika mereka mendengar Sumangkar berkata sambil menunjuk tubuh Tohpati itu dengan tongkatnya,
“Inilah orang yang kalian tunggu.”
Yang pertama-tama bergerak adalah Sanakeling. Selangkah ia maju mendekati tubuh yang terbujur itu. Sambil menggigit bibirnya ia menunduk mengamat-amati mayat yang sudah membeku dingin. Sanakeling menarik nafas dalam-dalam. Luka itu luka arang kranjang.
Tiba-tiba orang kedua sesudah Macan Kepatihan itu menggeram seakan-akan ingin melontarkan tekanan yang menghimpit dadanya.
“Raden Tohpati terbunuh dengan luka arang kranjang karena ingin menyelamatkan kita.” desah Sanakeling. Wajahnya yang ditimpa oleh sinar obor yang nyalanya bergerak-gerak disentuh angin tampak menjadi tegang dan buas. Seperti seekor serigala yang kehilangan anaknya, Sanakeling itu menggeretakkan giginya sambil menghentakkan kakinya di tanah.

Kembali ruangan itu tenggelam dalam kesenyapan. Hanya nafas-nafas mereka yang bekejaran terdengar seperti desah angin di luar, yang menggetarkan dedaunan dan ranting-ranting. Sekali-kali kilat memancar di langit dan kembali suara guruh terdengar bersahut-sahutan. Namun kemudian sunyi kembali. Tetapi tanpa sepengetahuan mereka, di luar gubug yang satu itu, semakin lama semakin banyak orang-orang Jipang berkumpul. Mereka mendengar dari prajurit yang melihat Sumangkar membawa mayat Tohpati memasuki gubug itu. Berjejal-jejal mereka ingin menyaksikan apakah yang dikatakan oleh kawannya itu benar. Sumangkar, Sanakeling dan orang-orang yang berada di dalam gubug itu terkejut ketika mereka mendengar pintu berderak karena desakan orang-orang di luar. Ketika mereka berpaling, mereka melihat wajah-wajah yang kaku tegang. Sanakeling yang dibakar oleh luapan kemarahannya itu memandang mereka dengan mata yang menyala. Seakan-akan dari matanya memancar dendam tiada taranya. Seakan-akan dari matanya itu memancar tuntutan atas kesetiaan orang-orang Jipang kepada pemimpinya itu. Sumangkar melihat mata yang menyala itu. Sumangkar menangkap apa yang terbersit dari pancaran itu. Karena itu ia menjadi berdebar-debar. Ia belum sempat menyampaikan pesan terakhir Macan Kepatihan kepada Sanakeling, kepada Alap-alap Jalatunda, kepada pemimpin-pemimpin Jipang yang lain. Kini tiba-tiba pemimpin-pemimpin Jipang yang marah itu akan langsung berhadapan dengan para prajurit yang pasti akan mudah sekali terbakar hatinya. Dalam keadaan yang sedemikian, maka mereka dapat melakukan kebuasan dan kebiadaban yang mengerikan. Apalagi kini Macan kepatihan sudah tidak ada lagi. Tidak ada lagi yang dapat mencegah mereka melakukah apa saja yang mereka kehendaki. Apa saja yang mereka lakukan, apalagi untuk mengungkapkan kemarahan kebencian, dendam, bahkan untuk mengucapkan kegembiraan hati mereka, mereka dapat melakukan hal-hal yang tidak wajar. Sepeninggal Arya Jipang, sepeninggal Patih Mantahun, maka sebagian besar para prajurit Jipang telah kehilangan pegangan. Seandainya pada saat-saat yang demikian itu tidak ada Macan Kepatihan, maka mereka akan dapat melakukan perbuatan-perbuatan yang sangat liar, sebab mereka sudah kehilangan tujuan. Namun kemungkinan yang lain, bahwa sebagian besar dari mereka justru akan meletakkan senjata mereka, apabila mereka mendapat kesempatan dan jaminan bahwa kepada mereka tidak akan diperlakukan di luar batas-batas ketentuan yang ada. Dan kini Macan Kepatihan itu sudah tidak ada. Kemungkinan yang demikian itu pasti akan berlaku lagi. Sebagian dari mereka pasti akan melepaskan dendam mereka, kebencian mereka dan perbuatan-perbuatan lain yang tanpa terkendali. Namun sebagian dari mereka justru akan meletakkan senjata, apabila mereka mendengar jaminan yang telah diucapkan oleh Untara, senapati Pajang yang langsung mendapat kekuasaan dari Panglima Wira Tamtama.

Kini tinggal bagaimana cara menyampaikan kepada sebagian besar para prajurit Jipang itu. Kalau Sanakeling yang berbicara kepada mereka, maka pasti yang akan dikobarkannya adalah dendam dan benci. Akan dibakarnya hati para prajurit itu. Dan hati mereka pun segera akan terbakar. Mereka akan bertebaran ke segala penjuru dengan bara di dada mereka. Dan mereka dapat berbuat apa saja di sepanjang perjalanan mereka. Mereka dapat menakut-nakuti rakyat padesan. Bahkan mereka akan dapat melakukan berbagai perkosaan atas sendi-sendi kemanusian. Karena itu Sumangkar harus bertindak cepat. Mendahului Sanakeling yang menjadi buas, karena melihat Macan Kepatihan yang terbunuh dengan luka arang kranjang. Tatapi selagi Sumangkar sedang menimbang-nimbang, maka yang terdengar dahulu adalah suara Sanakeling,
“He, para prajurit Jipang yang berani. Kini kalian dapat melihat, betapa biadabnya orang-orang Pajang. Pemimpinmu terbunuh dengan luka arang kranjang.”
Dada Sumangkar berdesir mendengar kata-kata itu. Kata-kata itu adalah permulaan dari cara Sanakeling membakar hati mereka. Dada Sumangkar itu semakin bergelora ketika sekilas ia melihat mata yang menyala pada setiap wajah para prajurit Jipang. Dalam sinar obor yang kemerah-merahan, maka dilihatnya mata mereka seakan-akan melampaui panas api obor itu. Kali ini Sumangkar tidak mau terlambat lagi. Karena itu maka segera ia menyahut,
“Ya. Lihatlah. Angger Macan Kepatihan telah meninggalkan kita. Macan Kepatihan yang garang ini telah bertempur untuk melindungi kalian, sehingga nyawanya sendiri telah dikorbankan.”
Semua orang yang berdiri di samping mayat yang terbujur itu diam. Dan mereka mendengar kata-kata Sumangkar itu dengan hati yang penuh haru. Namun Sumangkar masih melihat bara di wajah-wajah mereka. Bara yang justru menjadi semakin panas. Tetapi Sumangkar berkata terus,
“Nah. Apakah yang akan kalian lakukan sebagai balas budi yang tiada taranya itu?”
Sanakeling sendiri menatap wajah Sumangkar dengan gelora yang hampir menghimpit jalan pernafasannya. Yang pertama-tama berteriak adalah Sanakeling sendiri,
“Pembalasan!”
Tiba-tiba terdengar suara gemuruh di luar gubug itu.
“Ya. Pembalasan. Pembalasan. Nyawa dengan nyawa. Darah dengan darah.”
Sumangkar meredupkan matanya. Ia melihat tekad yang menggelora. Namun di antara suara yang bergemuruh itu, terdengar jantungnya sendiri berdentangan melampaui gemuruh suara orang-orang di luar gubug itu.
“Bagus!” teriak Sumangkar.
“Bagus. kalian harus melakukan pembalasan.” Sumangkar berhenti sesaat. Lalu diteruskannya,
“Apakah kalian masih memiliki kesetiaan kepada pemimpin-pemimpinmu ini?”
Para prajurit Jipang itu serentak menjawab,
“Tentu. Kami masih memiliki kesetiaan yang utuh.”

Sumangkar memandang berkeliling. Sanakeling, A1ap-alap Jalatunda, orang-orang yang berdiri di dalam dan di luar gubug itu. Dengan hati-hati ia berbicara terus,
“He, orang-orang Jipang. Aku menunggu saat Angger Tohpati menghembuskan nafasnya yang penghabisan. Aku menunggu saat-saat Raden Tohpati mengucapkan pesan-pesannya yang terakhir. Nah, apakah kalian ingin mendengar pesan yang terakhir itu?”
“Ya. Kami ingin mendengar,” sahut mereka serentak.
Sumangkar terdiam sesaat. Ia menjadi ragu-ragu. Apakah sudah tiba saatnya menyampaikan pesan terakhir itu? Apakah dengan demikian, maka tidak akan menimbulkan salah paham pada para pemimpin Jipang yang masih ada?
Namun Sumangkar berjalan terus meskipun ia harus berhati-hati sekali. Katanya,
“Pesan itu amat sulit kita lakukan.”
“Biar apa pun yang harus kami lakukan, kami tidak akan gentar,” sahut mereka serentak.
“Terlalu berat,” seakan-akan Sumangkar bergumam kapada sendiri.
“Jangan memperkecil arti kami yang ada di sini, Paman,” berkata Sanakeling dengan mata menyala.
“Apakah kau sangka kami tidak mempunyai cukup keberanian untuk melakukannya?”
“Memang,” sahut Sumangkar, “kesetiaan hanya dapat diwujudkan dengan perbuatan. Bukan sekedar kata-kata dan janji. Namun apa yang harus kita lakukan seakan-akan berada di luar jangkauan kita semua. Bahkan selama ini belum pernah terpikirkan, bahwa kita akan melakukannya.”
“Ya, apakah menyerang jantung kota Pajang? Apakah kami harus berusaha membunuh Adiwijaya? Atau kami harus membalas dendam atas kematian Arya Penangsang dengan berusaha membunuh Ngabehi Loring Pasar meskipun secara diam-diam. Atau Untara, Widura? Apa? Apa yang harus kami lakukan?” teriak Alap-alap Jalatunda.
Sumangkar menggeleng. Selangkah ia maju dengan tongkat baja putihnya terayun-ayun. Cahaya yang berkilat-kilat memantul dari tongkatnya itu berwarna kemerah-merahan, seperti sinar obor yang dengan lincahnya menari di ujung-ujung bumbung dan jlupak.
“Kalian lihat tongkat ini?” berkata Sumangkar kepada orang-orang Jipang.
“Ya. Kami lihat. Itu adalah ciri kebesaran Macan Kepatihan.”
“Kalian salah,” sahut Sumangkar, “ini bukan tongkat Angger Tohpati.”

Semuanya terdiam mendengar kata-kata itu. Serentak mereka memandangi tongkat itu tajam-tajam. Akhirnya mereka menemukan perbedaan itu. Mereka mengenal tongkat Macan Kepatihan baik-baik seperti ia mengenal orangnya, tongkat ini agak lebih kecil dari tongkat Raden Tohpati. Karena itu timbullah keheranan di dalam hati mereka. Apakah Sumangkar juga mempunyai tongkat baja putih berkepala tengkorak yang kekuning-kuningan seperti Macan Kepatihan? Apakah ia memilikinya juga? Tiba-tiba mereka tersadar, bahwa mereka berhadapan dengan juru masak yang malas. Mereka sama sekali bukan berhadapan dengan seorang pemimpin mereka. Namun meskipun demikian, mereka menunggu dengan tidak sabar. Apakah yang akan dikatakannya tentang pasan terakhir itu. Tetapi mereka pun menjadi heran, kenapa Sanakeling, Alap-alap Jalatunda, tiba-tiba saja memberi kesempatan kepada orang tua itu untuk seakan-akan memimpin pertemuan yang tidak sengaja mereka adakan itu? Dalam kebimbangan dan keheranan itulah maka Sumangkar akan sampai pada tingkat terakhir dari permainannya. Sebelum ia mengatakan pesan Tohpati, ia harus cukup mempunyai wibawa atas orang Jipang itu. Setidak-tidaknya setingkat dengan wibawa yang dimiliki oleh Sanakeling. Karena itu, Sumangkar itu maju beberapa langkah. Kini ia berdiri di muka pintu keluar. Ia melihat orang-orang Jipang yang berdiri berdesak-desakan, bahkan ada di antara mereka yang membawa obor-obor di tangan, sedang ke dalam ia melihat Sanakeling, Alap-alap Jalatunda dan beberapa pemimpin yang lain berdiri tegang kaku seperti patung. Namun, baik wajah-wajah orang-orang Jipang maupun para pemimpinnya membayangkan ketidak-sabaran, mereka menunggu kata-kata Sumangkar tentang pesan terakhir Macan Kepatihan.
Terdengar Sumangkar kemudian berkata,
“Nah, jadi adakah kalian lihat bahwa tongkat ini bukan tongkat Angger Tohpati?, “
“Ya kami lihat,” sahut mereka. Namun Sanakeling, Alap­alap Jalatunda dan para pemimpin yang lain tampak seolah-olah berdiri saja membeku. Meskipun sebagian dari mereka mengerti bahwa sebenarnya Sumangkar bukanlah sekedar juru masak namun tongkat baja putih itu benar-benar mengejutkan mereka. Mereka sama sekali belum pernah melihat, bahwa Sumangkar  pun memiliki tongkat semacam itu. Apalagi Sanakeling yang jarang sekali berada di pusat pemerintahan Jipang, dan jarang sekali bertemu dengan Sumangkar, meskipun ia tahu bahwa Sumangkar adalah seorang sakti yang berada di dalam lingkungan istana kepatihan. Tetapi sampai pecahnya Jipang, Sanakeling dan Sumangkar berada di medan yang berbeda.
“Itulah yang menyedihkan aku,” berkata Sumangkar.
“Aku tidak berhasil membawa tongkat Angger Macan Kepatihan kembali. Aku tidak dapat mengambilnya dari medan setelah Angger Macan Kepatihan terbunuh.” Sumangkar berhenti sesaat. Kemudian katanya melanjutkan,
“Tongkat ini adalah tongkatku.”

Sumangkar melihat berpasang-pasang mata terbelalak karenanya. Apalagi ketika mereka mendengar kata-kata Sumangkar seterusnya,
“Aku adalah paman guru dari Angger Macan Kepatihan. Nah, itulah aku. Dan itulah sebabnya maka Angger Macan Kepatihan mempercayakan pesannya kepadaku, sebab aku adalah saudara seperguruan Patih Mantahun.”
Gubug itu menjadi sunyi senyap di dalam dan di luarnya. Sesepi tanah pekuburan, orang-orang yang berdiri tegak di halaman dan di dalam gubug itu seperti tonggak-tonggak batang kamboja yang membeku. Pengakuan Sumangkar terdengar oleh sebagian besar dari mereka seperti suara guruh yang meledak di langit. Orang-orang Jipang itu benar-benar terkejut. Sumangkar, yang mereka kenal sebagal seorang juru masak yang malas, ternyata adalah seorang yang sakti. Saudara seperguruan Patih Mantahun. Tetapi beberapa orang sudah tidak terkejut lagi. Sanakeling juga tidak terkejut. Siapa pun Sumangkar itu, bagi Sanakeling tidak ada bedanya. Sebab ia sudah tahu sebelumnya, bahwa Sumangkar adalah seorang yang sakti. Kecuali Sanakeling dan beberapa pemimpin yang lain, di antara para prajurit Jipang yang berkumpul di luar pintu itu, terdapat Bajang, juru masak kawan sepekerjaan Sumangkar. Sambil senyum ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Kepada orang yang berdiri di sampingnya ia berkata,
“Aku sudah tahu lebih dahulu dari kalian semuanya.”
Kawannya mengerinyitkan alisnya sambil bertanya,
“Darimana kau tahu ?”
“Apakah kau sudah bertemu dengan Tundun?”
“Belum.”
“Anak itu belum berceritera kepadamu tentang Ki Tambak Wedi dan Sidanti yang datang ke perkemahan ini ketika kalian sedang pergi berperang?”
“Aku belum bertemu dengan Tundun. Bagaimana ia bisa berceritera kepadaku?”
“Mungkin Ki Lurah Sanakeling  pun belum sempat mendengar laporan Tundun,” berkata Bajang.
“Tambak Wedi yang mengerikan itu datang bersama muridnya Sidanti. Kalau tidak ada juru masak yang malas itu, entahlah apa yang terjadi. Kami bertempur bersama-sama dengan semua orang yang ada di sini. Tetapi melawan muridnya, Sidanti  pun kami tidak mampu. Apalagi Ki Tambak Wedi.”
“Dan Sumangkar mengalahkannya?”
“Ya, Sumangkar telah mengusirnya.”
Orang yang mendengar ceritera itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Pantas. Pantas,” gumamnya.

Ketika mereka kemudian memandangi pintu gubug itu, kembali mereka melihat Sumangkar berdiri tegak seperti batu karang pinggir pantai. Tiba-tiba mereka melihat seolah-olah orang yang berdiri itu bukan lagi seorang juru masak yang mereka kenal sehari-hari. Wajah Sumangkar kini seolah-olah memancarkan kewibawaan yang mengejutkan hati mereka. Tongkat baja putih itu benar-benar mirip tongkat Tohpati. Dan tongkat itu adalah milik Sumangkar. Dalam pada itu terdengar Sumangkar meneruskan,
“Meskipun aku tidak berhasil membawa tongkat Angger Tohpati, namun aku telah memiliki tongkat yang serupa. Tongkat yang akan mampu melakukan apa saja seperti yang dapat dilakukan oleh tongkat Angger Macan Kepatihan.
Semua orang masih terdiam. Namun mereka mulai dirayapi oleh kepercayaan bahwa sebenarnya Sumangkar mampu berbuat seperti Macan Kepatihan. Namun Sanakeling yang mendengar kata-kata itu mengerutkan dahinya. Ia belum tahu pasti arah kata-kata Sumangkar seterusnya. Tetapi sebagai orang kedua sesudah Tohpati, Sanakeling merasa berhak untuk memimpin prajurit-prajurit Jipang itu sepeninggal Macan kepatihan, sehingga dadanya mulai berdebar-debar melihat Sumangkar mengangkat tongkat baja putihnya.
“Apakah Sumangkar akan langsung mengambil alih pimpinan dari Raden Tohpati,” berkata Sanakeling di dalam hatinya.
Dan terdengarlah Sumangkar berkata terus,
“Nah, sekarang apakah kalian dapat mempercayai kata-kataku?”
Kembali mereka terlempar dalam kesepian. Sesaat tak seorang pun yang menyahut, sehingga Sumangkar menjadi ragu-ragu. Kalau mereka tidak percaya, maka untuk menekankan pesan-pesan Tohpati, apakah ia perlu menunjukkan beberapa macam permainan sehingga ia tidak lagi dianggap hanya sekedar omong kosong?
Tetapi tiba-tiba terdengar di belakang seseorang berteriak,
“Aku telah melihat sendiri Ki Sumangkar mengalahkan Ki Tambak Wedi.”
Semua orang berpaling ke arah suara itu. Tetapi mereka tidak segera melihat siapakah yang telah berteriak-teriak itu. Namun kemudian terdengar kembali orang itu berkata,
“Kami yang tinggal di perkemahan pada saat kalian berperang telah melihat sendiri apa yang dilakukan oleh Ki Sumangkar.”
Beberapa orang segera mengenal bahwa suara itu adalah suara Bajang, seorang juru masak yang masih muda, kawan Sumangkar. Beberapa orang menjadi justru bercuriga, apakah Bajang tidak sekedar mengangkat nama kawan sepekerjaannya. Namun tiba-tiba dari beberapa sudut terdengar orang-orang lain menyambut.
“Ya kami pun menyaksikan. Kami telah menyaksikan sendiri.”
Sumangkar kemudian memandang berkeliling. Dan sekali lagi ia berkata,
“Siapakah yang dapat mempercayai kata-kataku?”
Tiba-tiba menggeloralah jawaban, “Kami percaya, kami percaya.”

Sanakeling masih berdiri di tempatnya dengan wajah yang tegang. Seharusnya dirinyalah yang wajib berdiri di hadapan para prajurit Jipang itu sebagai penggganti Macan Kepatihan. Tiba-tiba tanpa disadarinya, orang lain telah mendahului. Meskipun demikian, ia masih mampu menahan dirinya. Mungkin Sumangkar akan menguntungkannya. Mampu membakar hati para prajurit itu, untuk dibawanya membalas sakit hatinya atas hilangnya pemimpin yang mereka segani.
“Terima kasih,” berkata Sumangkar kemudian.
“Kalau demikian kalau kalian percaya akan kata-kataku, maka biarlah aku menyampaikan pesan terakhir Angger Tohpati. Namun seperti kataku tadi, pesan itu terlampau berat bagi kita sekalian. Sebab pesan itu sama sekali berada di luar angan-angan kita selama ini.”
Sekali lagi terdengar para prajurit Jipang itu berteriak,
“Kami akan melakukan apa saja yang dipesankan oleh Raden Tohpati. Biar masuk ke dalam api sekalipun, kami akan mematuhinya.”
Sumangkar mengerutkan keningnya. Katanya seperti kepada diri sendiri, namun karena diucapkannya keras-keras, maka semua orang mendengarnya,
“Aku kurang yakin, apakah kami mampu melakukannya.”
Orang-orang Jipang menjadi hampir tidak sabar lagi. Karena itu mereka berteriak-teriak,
“Kami bersumpah, kami bersumpah.”
Sanakeling  pun menjadi tidak sabar pula. Beberapa langkah ia maju mendekati Sumangkar sambil berkata,
“Berkatalah, jangan melingkar-lingkar. Apakah pesan terakhir itu. Kami akan melakukannya. Aku adalah pemimpin laskar Jipang sepeninggal Macan Kepatihan. Dan aku sanggup untuk memimpin pasukan ini berbuat apa saja. Meskipun aku harus membakar istana Pajang sekalipun dan merampas permaisurinya.”
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Sahutnya,
“Baik. Baik. Akan segera aku katakan.” Namun di dalam hati Sumangkar bergumam,
“Kalau kau mampu Sanakeling, kau tidak akan berkeliaran di dalam hutan seperti sekarang. Apalagi kau, sedang Arya Penangsang dan Patih Mantahun  pun tidak mampu melawan Ki Gede Pemanahan, Penjawi, dan anak muda Ngabehi Loring Pasar, di samping Adiwijaja sendiri.”

Tetapi kemudian yang dikatakan adalah pesan terakhir Macan Kepatihan. Sambil melangkah maju, Sumangkar menengadahkan wajahnya. Gubug itu kemudian menjadi sunyi senyap. Yang terdengar hanyalah deru nafas orang-orang Jipang itu memburu lewat lubang-lubang hidung mereka yang mengembang. Mereka ingin mendengar kata demi kata, pesan dari pemimpin mereka yang mereka segani.
“Dengarlah,” berkata Sumangkar,
“sudah aku katakan bahwa pesan itu terlampau berat bagi kami, sebab pesan itu berbunyi,” Sumangkar berhenti sesaat. Ditatapnya setiap wajah yang seolah-olah menyalakan tekad di dalam dada mereka. Sesaat kemudian Sumangkar meneruskan, dan kata-katanya terdengar seperti suara guntur dan guruh bersama-sama, beruntun susul-menyusul.
“Pada saat nafas Angger Tohpati telah satu-satu meluncur, ia berkata ’Kematianku adalah akhir daripada bencana yang menimpa rakyat Demak. Aku adalah sisa terakhir dari Senapati yang mendapat kepercayaan para prajurit Jipang. Sepeninggalku aku mengharap bahwa mereka akan membuat perhitungan-perhitungan. Bukankah begitu paman Sumangkar?’ Kemudian diteruskannya pada kesempatan lain di mana nafasnya menjadi semakin lemah, berkata Macam Kepatihan itu, ’Mudah-mudahan kematianku menjadi pertanda bahwa tak ada gunanya perselisihan ini akan berlangsung terus.’” Dan Sumangkar itu pun berhenti sesaat. Dengan tajamnya ia memandangi orang-orang yang berdiri di sekitarnya.
Setiap orang yang mendengar kata-kata Sumangkar itu, darahnya seakan-akan berhenti mengalir. Pesan itu sama sekali bukan pesan untuk membunuh Untara, Widura atau Adiwijaya sekali. Bukan perintah untuk membakar istana Pajang dan melakukan serangkaian pembunuhan sebagai pembalasan. Tetapi pesan itu seolah-olah pesan yang sama sekali bertentangan dengan dugaan mereka. Suasana yang sepi bertambah sepi. Mulut-mulut yang meskipun ternganga namun serasa terbungkam. Hati-hati yang membara seolah-olah meledak justru karena tersiram air dengan tiba-tiba. Tetapi mereka semua benar-benar tenggelam dalam perasaan yang aneh. Bingung dan kehilangan dasar tanggapan seterusnya. Sumangkar membiarkan suasana itu berlangsung beberapa lama. Dibiarkannya setiap orang berada dalam pergolakan perasaan. Dibiarkannya mereka sampai pada kesimpulan masing-masing apabila mereka telah menemukan keseimbangan dan sempat mempertimbangkan.
Namun suasana yang sepi itu tiba-tiba dipecahkan oleh teriakan Sanakeling melengking menghentak setiap jantung.
“Paman Sumangkar. Apakah arti daripada pesan itu. Apakah dengan demikian Kakang Macan Kepatihan mengharap kita semua bertekuk lutut di bawah kaki Untara? He?”

Sumangkar tidak terkejut mendengar pertanyaan itu. Ia sudah menduga sebelumnya, bahkan hampir pasti, bahwa Sanakeling adalah orang yang pertama menolak pesan itu. Karena itu dengan tenang ia menjawab,
“Ya Ngger. Demikianlah kira-kira pesan itu. Namun agaknya pertimbangan Angger Macan Kepatihan telah cukup masak untuk mengucapkan pesan-pesan itu.”
“Jadi haruskah kami merangkak-rangkak di bawah kaki Untara seperti anjing kudisan?” teriak Sanakeling.
“Kata-kata itu terlampau tajam.”
“Tidak. Kata-kata itu tepat seperti yang akan terjadi apabila kita menuruti pesan itu. Dan kita akan dijerat leher kita, diseret di sepanjang jalan antara Sangkal Putung dan Pajang. Dipertontonkan kepada setiap orang sebelum kita digantung di alun-alun Pajang. Berderet-deret seperti jemuran yang tidak kering-keringnya.”
Sumangkar mendengar kata-kata itu diucapkan dengan penuh nafsu. Bahkan Sumangkar  pun kemudian melihat wajah-wajah yang seakan-akan membeku di hadapannya, mulai menegang. Kata-kata Sanakeling agaknya telah menggugah hati mereka. Menggugah hati keprajuritan mereka.
Karena itu segera Sumangkar berkata,
“Angger Sanakeling benar. Tetapi tidak tepat sebab aku belum mengatakan rangkaian dari pesan itu. Pesan itu diucapkan oleh Angger Tohpati di hadapan Untara yang menungguinya pula pada saat-saat terakhir. Menungguinya tidak seperti dua orang yang sedang bermusuhan. Agaknya mereka di saat-saat terakhir itu telah mengenangkan masa-masa lampau. Masa-masa Demak masih diikat oleh tali persatuan yang erat. Keduanya adalah sahabat yang baik dari dua daerah Kadipaten. Angger Macan Kepatihan dari Kadipaten Jipang dan Angger Untara dari Kadipaten Pajang. Pertentangan antara Jipang dan Pajang telah mempertentangkan mereka pula. Namun kebesaran jiwa dari keduanya telah menemukan kembali persahabatan itu di saat-saat Angger Macan Kepatihan menghadapi maut. Meskipun maut itu beralatkan tangan Untara sendiri.”

Kembali mereka diterkam oleh kesenyapan. Terasa setiap kata, baik yang diucapkan oleh Sumangkar maupun yang diucapkan Sanakeling benar belaka. Meskipun makna dari keduanya berlainan bahkan bertentangan. Karena itu, setiap jantung yang berdegup di dalam dada menjadi bingung siapakah yang akan dianut? Sumangkar melihat hari depan yang tenang, hari depan yang damai. Mereka tidak akan lagi berlari-larian sepanjang hutan. Mereka tidak perlu lagi selalu dikejar-kejar oleh kegelisahan. Mereka akan dapat hidup seperti manusia biasa. Meskipun mungkin sebulan dua bulan mereka tidak dapat bebas berbuat karena hukuman yang akan diterimamja. Namun setelah itu, tidak ada lagi persoalan yang selalu menghantuinya siang dan malam. Seluruh negeri akan menjadi aman. Pasar-pasar akan kembali mengumandang, dan di malam hari kembali akan terdengar tembang. Seruling gembala di padang-padang dan anak-anak bermain di halaman. Orang-orang tua akan menikmati bunyi burung perkutut dengan tenang. Tetapi gambaran-gambaran yang damai dan tenteram itu tiba-tiba telah digoyahkan oleh pendirian Sanakeling. Pendirian seorang prajurit yang tidak dapat ditundukkan oleh peristiwa-peristiwa yang bagaimanapun dahsyatnya. Mereka akan menjadi orang tangkapan dan diarak sebagai tawanan apabila mereka menyerah. Hilanglah kejantanan mereka, dan harga diri mereka akan terkorbankan. Lebih baik mengorbankan nyawa daripada harga diri bagi seorang prajurit sejati. Apabila mereka harus berlari-lari ke hutan, bersembunyi di antara semak-semak dan gerumbul, di antara padang-padang dan lereng-lereng gunung, adalah akibat dari perjuangan mereka. Akibat dari keteguhan hati seorang prajurit yang tidak miyur. Setiap wajah kemudian memancarkan kebimbangan hati yang tiada ujung pangkal. Keduanya benar bagi mereka. Keduanya mapan, dan keduanya wajib diturut. Pesan terakhir pemimpin mereka yang mereka segani lewat paman gurunya yang perkasa, dan yang lain adalah pendapat senapati yang seharusnya langsung memimpin mereka sepeninggal Macan Kepatihan. Dalam kebimbangan itu terdengar kemudian suara Sanakeling seperti membelah langit,
“Paman Sumangkar. Aku adalah seorang prajurit. Prajurit hanya mengenal dua arti dalam perjuangannya. Menang atau mati. Selain itu, adalah nista sekali untuk di jalani. Apalagi menyerahkan dan di bawah injakan kaki lawan. Apakah paman Sumangkar ini telah bukan lagi seorang prajurit yang baik?”

Sumangkar memandangi wajah Sanakeling sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian jawabnya,
“Aku hanya menyampaikan pesan terakhir Angger Macan Kepatihan.” Kemudian kepada para prajurit Jipang Sumangkar berkata,
“Pesan itu adalah pesan Macan Kepatihan yang sampai saat terakhir telah mengorbankan jiwa raganya sebagai seorang prajurit jantan. Sebagai seorang pemimpin sejati ia telah berusaha melindungi kalian. Nah, katakanlah, apakah ia seorang prajurit yang baik atau bukan, Hai, orang-orang Jipang. Sebutlah pemimpinmu itu, apakah ia seorang prajurit yang baik atau bukan? Ayo, katakanlah, apakah Macan Kepatihan seorang prajurit yang baik atau seorang pengecut?”
Terdengarlah jawaban menggemuruh,
“Ia adalah seorang prajurit yang baik. Seorang laki-laki jantan. Seorang senapati yang tiada taranya.”
“Bagus,” sahut Sumangkar.
“Pesan itu keluar dari mulutnya. Keluar dari mulut seorang senapati jantan, keluar dari mulut seorang prajurit yang baik.”
“Bohong!” potong sanakeling dengan nada yang tinggi.
“Senapati yang baik, prajurit jantan tidak akan mengeluarkan perintah serupa itu. Itu pasti akal-akalmu sendiri, Paman Sumangkar. Itu pasti caramu untuk melepaskan kejemuanmu sendiri.”
Sumangkar mengerutkan keningnya. Dan ia mendengar Sanakeling berbicara terus,
“Aku tidak percaya kalau Kakang Tohpati telah mengeluarkan pesan itu.”
Sumangkar tidak mau kahilangan kesempatan. Karena itu segera ia menyahut,
“Itulah bedanya. Seorang yang berjiwa besar dan orang lain yang tidak dapat mengikuti kebesaran jiwanya. Kalian dapat berpikir untuk terlalu mementingkan diri sendiri. Kalian dapat berpijak pada harga diri yang berlebih-lebihan. Harga diri seorang prajurit yang pantang menyerah. Tetapi itu adalah pikiran yang sempit. Prajurit tidak akan menyerah apabila ia berjuang untuk suatu cita-cita yang tegas, suatu cita-cita yang diyakini kebenarannya. Tetapi apakah kalian berbuat demikian? Apakah kalian yakin, bahwa kalian telah berjuang dalam suatu pengabdian sebagai seorang prajurit. Coba katakan, apakah yang kalian capai dengan peperangan yang tiada ujung dan pangkal ini?”
“Kau telah berputus asa, paman Sumangkar,” teriak Sanakeling.
“Kau telah kehilangan akal. Perjuangan Arya Penangsang adalah perjuangan atas hak dan waris atas tahta. Ini adalah perjuangan jantan. Perjuangan yang luhur.”
“Bukankah perjuangan itu telah berpijak atas kepentingan diri? Warisan atas tahta-tahta. Bukan perjuangan atas dasar yang luas bagi seluruh rakyat Demak untuk meningkatkan kesejahteraan hidup mereka? Perjuangan itu adalah perjuangan yang sempit. Warisan memang dapat membuat sanak dan kadang sendiri saling bertengkar. Tetapi jangan rakyat dikorbankan dalam pertengkaran itu. Bagi rakyat yang penting bukan siapa ahli waris yang paling berhak atas tahta. Tetapi bagi rakyat, siapakah yang paling baik bagi mereka, yang paling banyak berpikir dan berbuat untuk mereka. Tidak untuk sendiri. Tidak untuk seorang atau beberapa orang pemimpin. Tidak untuk Arya Penangsang atau Adiwijaya. Tidak. Tetapi bagi rakyat, siapakah paling langsung berbuat banyak untuk kepentingan mereka, ialah yang paling berhak atas pimpinan negara. Orang itulah ahli waris yang sah atas tahta.”


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar