TETAPI yang terdengar adalah suara tertawa lemah. Suara itu melontar dari balik sebatang pohon yang besar. Hampir bersamaan muncullah sebuah bayangan hitam, berjalan beberapa langkah mendekati mereka.
“Hem, kalian
telah terbenam dalam kepentingan kalian masing-masing sehingga kalian tidak
sempat memperhatikan saat-saat yang paling berbahaya dalam hidup seseorang.”
Agung Sedayu
tersentak. Tiba-tiba dari mulutnya terdengar la berdesis,
“Kiai
Gringsing.”
Kiai Gringsing
tidak menjawab. Ia berjalan terus ke arah orang yang terbaring itu. Dengan
cekatan ia memijit-mijit beberapa bagian dari sisi luka itu, kemudian mengambil
sebungkus ramu-ramuan obat-obatan dari dalam bajunya. Terdengar orang itu
berdesis, kemudian mengerang semakin keras.
“Memang agak pedih,”
berkata Kiai Gringsing,
“mudah-mudahan
akan dapat menolongmu,” berkata Kiai Gringsing sambil mengusap luka itu dengan
ramuan obatnya.
Kemudian kepada
Agung Sedayu ia berkata,
“Bawalah orang
ini ke tepi hutan. Carilah air untuknya, dan bawalah ke banjar desa bersama
orang-orang lain yang terluka.”
“Kiai,” potong
Sumangkar,
“apakah
artinya ini?”
Kiai Gringsing
berpaling. Dipandanginya wajah Sumangkar dalam kesamaran gelap malam.
“Biarlah aku
mencoba menolong jiwanya. Aku adalah seorang dukun. Aku tidak dapat melihat
seseorang yang berjuang melawan maut tanpa berbuat apa-apa. Sedang kalian masih
saja bertengkar tanpa ujung pangkal. Sehingga aku tidak tahan lagi bersembunyi
sambil mendengar keluhan ini.”
“Lalu, maksud
Kiai seterusnya.”
“Biarlah Agung
Sedayu kembali ke Sangkal Putung. Akulah yang akan mengambil alih tugasnya,”
sahut Kiai Gringsing.
Mendengar
jawaban Kiai Gringsing itu wajah Sumangkar menjadi merah padam. Ia tahu benar
arti kata-kata itu. Dan ia tahu, akibat dari kata-kata itu pula. Karena itu
sesaat ia terbungkam. Bukan saja Sumangkar yang terkejut, tetapi juga Agung
Sedayu terkejut. Dengan ragu-ragu ia berkata,
“Kiai, apakah
Kakang Untara akan membenarkan?”
“Kakangmu
tidak akan berbuat apa-apa. Baginya, siapa saja yang melakukan perintahnya
tidak ada bedanya.”
Sedayu masih
ragu-ragu. la masih saja berdiri di tempatnya. Sehingga Kiai Gringsing berkata
pula,
“Selagi masih
ada kesempatan, maka setiap jiwa yang terancam maut harus mendapat pertolongan.
Adalah wajib kita berusaha, namun apabila ditentukan lain, kita manusia tidak
dapat melawan kehendak-Nya.”
Tetapi Agung
Sedayu masih ragu-ragu. Dan karena Agung Sedayu ragu-ragu Kiai Gringsing
berkata,
“Agung Sedayu,
pergilah. Bukankah kau masih dapat mengenal jalan kembali. Tempat ini masih
belum terlampau dalam-dalam. Kau dapat mengikuti jejak prajurit Jipang
dalam-dalam arah yang berlawanan.”
“Tetapi
perintah itu.”
“Serahkan
kepadaku. Kakakmu adalah seorang Senapati yang cerdik. Aku tahu benar, kenapa
yang diperintahkannya adalah kau. Bukan orang lain. Padahal Untara tahu,
siapakah Adi Sumangkar itu. Kakakmu pasti mempunyai perhitungan sendiri. Ia
pasti, bahwa aku tidak akan melepaskan kau sendiri dalam tingkat sekarang.
Sebab kakakmu segan untuk langsung meminta aku melakukan pekerjaan ini.”
Terasa sesuatu
bergetar di dada Agung Sedayu. Ternyata bukan dirinya sendirilah sasaran dari
perintah kakaknya.
“Hem,” Sedayu
menarik nafas dalam-dalam.
Terdengarlah
pula Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Bahkan seakan-akan orang tua itu
mengeluh.
“Sekarang
pergilah,” perintah Kiai Gringsing.
Agung Sedayu
tidak dapat menghindar lagi. Perintah kakaknya baginya sama beratnya dengan
perintah gurunya. Namun bahwa gurunya akan mengambil alih tugasnya, telah
membesarkan hatinya. Perlahan-lahan Agung Sedayu menyarungkan pedangnya. Dan
perlahan-lahan pula ia berjongkok di samping gurunya. Dengan hati-hati, orang
yang terluka itu dipapahnya pada kedua tangannya.
“Berat?”
bertanya Kiai Gringsing.
“Cukup berat,”
sahut Agung Sedayu.
“Hati-hatilah.
Kalau kau telah memberinya minum maka orang itu akan dapat kau papah pada
lambungnya. Mungkin ia dapat menggantungkan dirinya pada pundakmu. Kalau tidak,
kau masih harus mengangkatnya sampai ke banjar desa.”
Agung Sedayu
mengangguk, jawabnya,
“Baik Kiai.”
Ketika Agung
Sedayu kemudian berputar dan melangkah, terdengar Sumangkar menggeram.
“Kiai,
ternyata senapati Pajang itu tidak berkata sejujur hatinya.”
“Kenapa?”
sahut Kiai Gringsing.
Agung Sedayu
yang mendengar perkataan Sumangkar itu berhenti sambil berpaling. Tetapi Kiai
Gringsing berkata,
“Berjalan
terus Sedayu. Jangan menunggu orang itu mati.”
Sedayu
mengangguk. Ia melangkah kembali meninggalkan gurunya dan Sumangkar masuk ke
dalam gelapnya malam yang semakin kejam. Orang di tangannya itu masih mengerang.
Bahkan terdengar ia berbisik,
“Akan kau bawa
kemana aku, Kisanak.”
“Mencari air,”
sahut Agung Sedayu.
Orang itu
terdiam. Namun perasaannya bergolak tidak menentu. Ia tidak tahu, apakah yang
telah mendorong prajurit Pajang itu menyelamatkannya. Karena itu, maka rasa
heran dan haru berkecamuk di dalam dadanya.
“Kisanak,”
desisnya lirih,
“bukankah
bagimu lebih mudah menusukkan pedangmu ke ulu hatiku dari pada membawa aku
mecari air?”
Agung Sedayu
tidak menjawab. Dalam keadaan demikian Agung Sedayu sama sekali tidak teringat
lagi batas antara prajurit Pajang dan prajurit Jipang. Namun perasaan
kemanusiaannyalah yang telah mendesak semua persoalan yang pernah ada antara
dirinya, sebagai seorang yang berada dalam barisan Pajang dan orang itu
prajurit Jipang.
Sepeninggal
Agung Sedayu, Kiai Gringsing berdiri berhadapan dengan Sumangkar yang masih
membawa tubuh Macan Kepatihan di pundaknya. Keduanya berdiri tegak dalam jarak
beberapa langkah saja.
“Kiai,”
berkata Sumangkar,
“kalau benar
Angger Untara akan mengusahakan pengampunan kenapa Untara masih dikungkung oleh
perasaan curiga.”
“Kenapa?”
bertanya Kiai Gringsing.
“Ternyata
Untara masih mengirim seseorang untuk mengikuti aku. Bukankah dengan demikian,
pengampunan yang dikatakan itu tidak lebih dari satu jebakan saja bagi Jipang.”
“Adi Sumangkar,”
berkata Kiai Gringsing,
“kita yang
selama ini berdiri pada pihak yang bermusuhan, sudah tentu tidak dapat
melenyapkan kecurigaan hati kita masing-masing dalam sekejap. Sudah tentu bukan
hanya Angger Untara yang bercuriga, bukankah kau bercuriga pula? Bukankah kau
bercuriga bahwa perkataan Untara itu hanya sekedar sebuah pancingan.”
“Kalau tidak,”
sahut Sumangkar,
“ia tidak akan
mengirim seseorang untuk mengikuti aku.”
“Tetapi
sebelum kau temukan Agung Sedayu di sini, kecurigaan telah ada di hatimu.
Bukankah kau katakan bahwa kau sudah menyangka bahwa seseorang akan mengikuti
jejakmu? Bukankah itu juga semacam perasaan curiga? Nah, kita sama-sama curiga.
Lebih baik tidak usah aku ingkari. Tetapi kecurigaan kami didasari atas kemauan
yang baik. Siapa yang menyerah, akan mendapat pergampunan meskipun tidak mutlak
seperti kata-kata Angger Untara. Yang tidak mau menyerah itulah yang akan
dimusnahkan. Karena itu Angger Agung Sedayu harus tahu, jalan yang dapat
ditempuh untuk menghancurkan mereka yang membangkang perintah.”
Sumangkar
masih saja berdiri seperti patung. Namun hatinya berkata seperti apa yang
dikatakan oleh Kiai Gringsing itu pula,
“Kita yang
selama ini berdiri pada pihak yang bermusuhan, sudah tentu tidak dapat
melenyapkan kecurigaan hati kita masing-masing dalam sekejap.”
Tetapi
Sumangkar masih ingin menghindarkan diri dari jebakan yang mungkin dibuat oleh
Untara, katanya,
“Kiai, apakah
tidak mungkin bahwa setelah Angger Untara mengetahui perkemahan orang-orang
Jipang, maka dengan serta merta dihancurkannya, tanpa menunggu pernyataan
mereka yang berhasrat untuk benar-benar mencari jalan kembali?”
“Kecurigaan
itu beralasan,” sahut Kiai Gringsing.
“Seperti juga
Angger Untara bercuriga. Jangan-jangan Sumangkar hanya ingin mempengaruhi
perasaan orang-orang Pajang untuk mendapat kesempatan melepaskan bersama anak
buah Tohpati. Apakah kami dapat mengetahui dengan pasti, bahwa apa yang
dikatakan oleh Sumangkar untuk kembali setelah menguburkan mayat Tohpati dan
bersedia menerima segala macam hukuman sebagai janji yang pasti ditepati?”
“Apakah kalian
orang-orang Pajang tidak percaya kepadaku, Kiai?”
“Perasaan kami
serupa. Seperti kau tidak percaya bahwa kami yang benar-benar bertekad untuk
menyelesaikan persoalan ini sebaik-baiknya. Bahkan kau berprasangka,
seolah-olah kami akan menjebakmu dan orang-orang Jipang yang lain.”
Sumangkar
terdiam sejenak. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berpikir. Kemudian
terdengar ia berkata,
“Lalu, apakah
yang akan kau lakukan kini, Kiai?”
“Meneruskan
pekerjaan Agung Sedayu.”
“Memata-matai
aku?”
“Ya.”
“Bagaimana
kalau aku menolak.”
“Adi
Sumangkar. Kalau aku orang yang taat pada kewajibanku, maka aku harus menjawab
seperti Agung Sedayu. Apa pun yang akan terjadi. Tetapi untuk menghindari
hal-hal yang saling tidak kita inginkan, maka aku dapat menjawab lain.
Sebenarnya bagi Kiai Gringsing, sama sekali tidak perlu, apakah Sumangkar
sedang lewat, apakah ada bekas-bekas anak buah Angger Tohpati, atau
petunjuk-petunjuk yang lain. Bagi Kiai Gringsingi mencari perkemahanmu tidaklah
sesulit mencari kutu di kepala.”
“Hem,”
Sumangkar menggeram, disadarinya kini dengan siapa ia berhadapan. Kiai
Gringsing ternyata telah mengucapkan tekadnya. Dalam pada itu kadang-kadang
tumbuh lagi niatnya untuk membunuh dengan meminjam tangan Kiai Gringsing,
barangkali saat-saat yang sedemikian ini dapat dimanfaatkannya. Kalau ia
mencoba mengusir Kiai Gringsing, maka ada kemungkinan mereka terlibat dalam
perkelahian. Tetapi Sumangkar hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Ia telah
menyanggupi, melakukan pesan terakhir Macan Kepatihan. Mengubur mayatnya
baik-baik. Kata-kata Kiai Gringsing itu pun cukup tegas baginya, dan ia percaya
bahwa Kiai Gringsing mampu melakukannya, mencari perkemahannya tanpa
petunjuk-petunjuk apapun. Karena itu maka akhirnya Sumangkar berkata,
“Baiklah Kiai.
Silahkan Kiai melakukan pekerjaan Kiai Gringsing. Aku percaya, bahwa Kiai akan
berhasil.”
“Terima
kasih,” sahut Kiai Gringsing.
“Tetapi aku
harap kau tidak berprasangka. Angger Untara benar-benar berkemauan baik untuk
menyelesaikan persoalan sisa-sisa anak buah Tohpati dengan menghindarkan
pertumpahan darah sejauh mungkin. Seperti yang dikatakannya, bahwa Panglima
Wira Tamtama sendiri memberinya saran itu.”
“Ya. Ya. Kiai.
Aku akan berjalan terus membawa mayat Angger Macan Kepatihan di antara anak
buahnya. Mungkin mayat ini dan pesan-pesannya di saat terakhir akan bermanfaat
bagi penyelesaian itu. Aku akan mengakui kekuranganku, bahwa aku tidak dapat
menghalang-halangi Kiai.”
“Marilah kita
menganggap bahwa kita saat ini tidak bertemu. Aku akan mencari jalan sendiri,
sehingga apabila aku menemukan perkemahammu, bukanlah karena kesalahan
Sumangkar, yang seakan-akan telah menuntun musuhnya menemukan perkemahan
sendiri.”
“Baik Kiai.
Kini aku akan pergi.”
Kiai Gringsing
mengangguk. “Silahkan,” jawabnya.
Sumangkar pun kemudian berputar, meneruskan langkahnya,
menyusup ke dalam gerumbul dan menghilang di dalam kelamnya malam. Sambil
membawa mayat Raden Tohpati, Sumangkar berjalan cepat-cepat untuk segera sampai
ke perkemahannya. Betapa hatinya menolak maksud Kiai Gringsing untuk melihat
perkemahannya dan mengetahui segala seluk-beluknya, namun ia tidak mampu
menghalang-halanginya. Sebenarnya Sumangkar ingin sampai saat-saat terakhir,
meskipun dirinya sendiri kemudian akan menyerahkan dirinya bersama dengan
orang-orang yang sependirian, namun ia tidak akan membiarkan orang-orang yang
selama ini bersama-sama berdiri pada suatu pihak mengalami bencana yang
mengerikan. Yang seolah-olah karena kesalahannya. Bahkan akan dapat dituduh,
karena pengkhianatannya, maka mereka akan dimusnahkan.
“Tetapi Kiai
Gringsing memiliki beberapa kelebihan,” desisnya.
Karena itu
dicobanya untuk menenangkan perasaannya. Ia mencoba untuk berlaku seperti apa
yang dikatakan oleh Kiai Gringsing, seolah-olah mereka tidak pernah bertemu di
dalam hutan, seolah-olah Kiai Gringsing mencari jalan sendiri. Dan apabila Kiai
Gringsing itu sampai di perkemahan juga, itu adalah karena kecakapannya
sendiri.
Dalam
kesibukan angan-angan, akhirnya Sumangkar menjadi semakin dekat dengan
perkemahannya. Beberapa langkah lagi ia menyibak gerumbul terakhir dan beberapa
langkah lagi, orang tua itu telah sampai di halaman yang kotor dari perkemahan
yang sangat sederhana. Seorang penjaga dengan tangkasnya meloncat, dan
pedangnya langsung diangkatnya setinggi dada sambil membentak,
“Berhenti!
Siapa kau?”
Sumangkar berhenti.
Dengan sareh ia menjawab,
“Sumangkar.”
“O,” gumam
orang itu. Namun tiba-tiba terdengar suaranya menghentak,
“Dari mana
kau?”
Sumangkar
tidak segera menjawab. Ia berjalan semakin dekat. Dan tiba-tiba penjaga itu
berkata,
“He. apakah
kau baru saja berburu? Apakah yang kau dapatkan itu?”
Sumangkar tidak
menjawab. Ia berjalan terus semakin dekat.
“Apa he?
Apakah orang yang lain berhasil mendapatkat buruan itu, dan kau harus
memasaknya?”
“Tutup
mulutmu!” bentak Sumangkar. Tiba-tiba saja dadanya dirayapi oleh kemuakan yang
sangat mendengar pertanyaan yang manyakitkan hatinya. Yang di pundaknya itu
adalah mayat murid kakak seperguruannya, pemimpin tertinggi prajurit Jipang
sepeninggal patih Mantahun.
Penjaga itu
terkejut mendengar bentakan itu. Sesaat ia diam mematung, namun kemudian
tumbuhlah marahnya. Juru masak itu berani membentak-bentaknya. Baru saja ia
kembali dari peperangan yang hampir menghancur lumatkan pasukannya. Baru saja
ia menegang nyawanya. Belum lagi ia sempat beristirahat, ia sudah mendapat
tugas untuk berada di sudut-sudut penjagaan yang diperkuat bersama-sama
beberapa orang lain yang sama sekali tidak mengalami cidera. Tiba-tiba juru
masak itu membentak-bentaknya. Karena itu, maka dengan kasar ia menjawab,
“He,
Sumangkar. Apakah kau tidak dapat menjaga mulutmu he?”
Sumangkar
tidak menjawab. Ia berjalan menyusur sisi halaman perkemahan itu, tidak
melewati tempat prajurit itu berjaga-jaga. Tetapi prajurit yang marah itu
mengejarnya dan sekali lagi membentaknya,
“He, tikus
tua. Mintalah maaf supaya mulutmu tidak aku remas.”
Tetapi orang
tua itu berpaling pun tidak. Ia berjalam terus. Ia ingin segera sampai ke pusat
perkemahan dan menyerahkan tubuh Macan Kapatihan kepada pimpinan yang masih
ada. Namun prajurit yang marah itu mengejarnya terus.
“Berhenti!”
teriaknya.
“Kalau tidak
aku sobek punggungmu dengan pedangku.”
Sumangkar
berhenti. Sambil memutar tubuhnya ia berkata,
“Apakah
sebenarnya yang kau kehendaki? Buruanku ini?”
“Keduanya.
Buruanmu dan mulutmu.”
Sumangkar yang
hatinya sedang gelap itu tiba-tiba menjadi bertambah gelap. Dalam keadaan yang
serupa itu, tiba-tiba tanpa disangka-sangka, tanpa ancang-ancang, terasa
sesuatu menyengat mulut prajurit itu. Demikian kerasnya sehingga prajurit itu
terlempar beberapa langkah ke samping. Terdengar tubuhnya terbanting di tanah
dan terdengar ia mengeluh pendek.
Dalam pada itu
terdengar suara Sumangkar parau,
“Mulutmulah
yang harus kau jaga.”
Prajurit yang
terbanting itu merangkak-rangkak bangun. Mulutnya yang berdarah, menghamburkan
kata-kata kotor. Setelah ia memungut pedangnya yang terlepas dari tangannya, ia
berdiri tegak sambil berkata,
“Sumangkar.
Apakah kau sudah menjadi gila. Sekarang aku benar-benar akan membunuhmu.”
Sebelum
Sumangkar menjawab, prajurit yang marah itu telah meloncat beberapa langkah
maju sambil langsung menusukkan pedangnya menghunjam ke arah jantung Sumangkar.
Namun sekali lagi prajurit itu terkejut. Sumangkar itu seakan-akan lenyap dari
tempatnya. Dan tiba-tiba sekali lagi kepalanya terasa pening. Sekali lagi ia
terdorong beberapa langkah dan jatuh terbanting di tanah. Kini terasa matanya
berkunang-kunang. Hampir-hampir ia kehilangan kesadaran. Kepalanya terasa
hampir pecah dan nafasnya hampir terputus di kerongkongan.
Prajurit itu
mengerang. Dicobanya untuk mengatasi segala macam perasaan sakitnya. Ketika ia
dengan susah payah berhasil bangkit dan duduk di atas tanah, maka yang
dilihatnya bayangan Sumangkar menghilang di dalam gelap.
“Gila,”
umpatnya, “orang itu telah menjadi gila.”
Tertatih-tatih
prajurit itu berdiri Sekali lagi ia memungut pedangnya yang terlepas. Kepalanya
yang pening dan sakit itu masih mampu melontarkan berbagai pertanyaan tentang
juru masak yang dianggapnya sudah menjadi gila. Juru masak yang malas itu
tiba-tiba menjadi garang. Segarang babi hutan jantan. Prajurit itu tak habis
heran. Kenapa Sumangkar yang malas itu dapat berubah menjadi seorang yang mampu
melakukan perbuatan di luar dugaannya, bahkan melampaui segala kacepatan gerak
yang pernah dilihatnya, pada pemimpinnya yang disegani, Macan Kepatihan
sekalipun. Meskipun demikian, prajurit yang masih dibakar oleh kemarahan itu
sama sekali tidak puas mengalami perlakuan itu. Mungkin adalah kebetulan saja
Sumangkar mampu berbuat demikian. Ia benar-benar ingin membuktikannya. Karena
itu kemudian dengan langkah yang gontai ia berjalan kembali ke sudut
penjagaannya minta ijin kepada kawan-kawannya untuk mencari Sumangkar ke dapur.
“Kenapa kau?”
bertanya seorang kawannya ketika in melihat prajurit itu berjalan
tertatih-tatih.
“Tidak
apa-apa,” jawabnya.
“Di mana orang
tua itu. Bukankah yang kau kejar tadi Sumangkar? Apakah ia mencoba
menyembunyikan sesuatu?”
“Aku ingin
melihatnya ke dapur.”
Kawan-kawannya
tertawa. Mereka menyangka bahwa prajurit ingin mendapat sebagian dari hasil
buruan orang tua itu.
Dalam pada itu
Sumangkar berjalan terus. Sekali ia membelok dan menyusur jalan sempit menuju
ke kemah Macan Kepatihan. Ia mengharap bahwa para pemimpin yang masih ada,
berada di tempat itu. Semakin dekat Sumangkar dengan pintu kemah hatinya
menjadi semakin berdebar-debar. Sekali-sekali terbayang di wajahnya, senapati
Jipang yang dipanggulnya itu bertempur sampai titik darahnya yang terakhir
untuk melindungi anak buahnya, kemudian terbayang pula senapati muda dari
Pajang yang berkata kepadanya bahwa ia akan mengusahakan pengampunan untuk
mereka yang dengan kemauan sendiri karena kesadaran, menyerah kepada
pasukan-pasukan Pajang di Sangkal Putung.
“Kedua-duanya
adalah anak-anak muda yang perkasa,” katanya di dalam hati.
“Keduanya
memiliki sifat-sifat yang mengagumkan. Tetapi ternyata dalam olah kaprajuritan
senapati muda dari Pajang itu dapat melampaui Angger Tohpati. Bukan saja keterampilan
bermain pedang, namun ternyata senapati muda Pajang itu cukup cerdas dan
bijaksana. Seandainya apa yang dikatakannya benar, pengampunan meskipun tidak
mutlak, maka anak muda itu adalah anak muda yang terpuji.”
Sumangkar
menarik nafas dalam-dalam. Ternyata Untara telah mengijinkannya membawa mayat
Macan Kepatihan untuk dikuburkannya. Tetapi kemudian terdengar ia bergumam.
“Mudah-mudahan
ini bukan sekedar suatu jebakan saja. Ternyata Angger Untara benar-benar
mengirim orang untuk mengikuti aku.” Namun terdengar kembali jawaban dari dasar
hatinya.
“Bukankah Kiai
Gringsing dapat melakukannya meskipun tidak mengikuti bekas kaki atau jejak
siapapun?”
Dalam pada itu
langkah Sumangkar menjadi semakin dekat dengan pintu perkemahan Macan
kepatihan. Sekali lagi ia bertemu dengan seorang penjaga. Ketika penjaga itu melihatnya
segera ia menyapanya,
“Siapa?”
“Aku,
Sumangkar.”
“O, kau mau
kemana?”
“Di mana
Angger Sanakeling?”
“Kau dapat rusa
untuknya?”
“Ya,” sahut
Sumangkar pendek.
“Di dalam
kemah itu. Mereka menunggu Raden Tohpati.”
Sumangkar
mengangguk. Kemudian ia meneruskan langkahnya. Namun baru beberapa langkah ia
mendengar prajurit itu bertanya dengan nada yang aneh,
“He,
Sumangkar. Siapakah itu?”
Sumangkar
berhenti sejenak. Kemudian jawabnya,
“Inilah yang
sedang mereka tunggu.”
“He?”
tiba-tiba prajurit itu gemetar. Mulutnya serasa terbungkam dan dengan lemahnya
ia tersandar pada sebatang pohon di samping kemah Macan Kepatihan itu.
Sumangkar
melihat betapa besar pengaruh hilangnya Macan Kepatihan atas para prajurit
Jipang. Mereka seakan-akan kehilangan kekuatannya. Meskipun Macan Kepatihan
seorang saja tidak akan mampu berbuat apa-apa tanpa prajuritnya dan para
pejuang lain, namun pengaruh dan wibawanya seakan-akan telah mencengkam segenap
hati anak buahnya.
Sumangkar
tidak berkata apa-apa lagi kepada prajurit itu. Sambil menundukkan kepalanya ia
berjalan terus ketika ia sampai di muka pintu, ia tertegun sejenak. Dilihatnya
cahaya obor memancar lewat pintu yang masih terbuka sedikit jatuh di atas tanah
yang kotor lembab. Dengan ragu-ragu Sumangkar mendekat. Disentuhnya pintu itu
dengan tongkatnya. Dan tiba-tiba ia mendengar suara dari dalam pintu itu
menyentak,
“Kakang Tohpati.”
Sanakeling
terlonjak ketika dilihatnya sebatang tongkat baja putih menyentuh pintu. Dengan
sebuah loncatan ia telah mencapai pintu diikuti oleh beberapa orang lain.
Tetapi ketika ia melihat, siapa yang berdiri di muka pintu dan apa yang
dibawanya, maka serasa darahnya membeku. Dengan suara yang serak parau ia
berkata,
“Paman
Sumangkar, apakah itu Kakang Tohpati?”
Sumangkar
mengangguk. Tetapi ia tidak mengucapkan kata-kata. Ketika ia melangkahi tlundak
pintu semua orang yang berdiri di dalamnya, menyibak. Mereka pun terdiam
seperti Sumangkar. Dengan mata terbelalak dan hati melonjak-lonjak mereka
melihat Sumangkar meletakkan tubuh itu di atas sebuah amben bambu. Terdengar
suaranya berderit seolah-olah sebuah goresan yang tajam berderit di jantung
mereka. Sesaat mereka berdiri tegak seperti patung. Semua mata tertancap kepada
tubuh yang terbujur diam. Pakaiannya masih berwarna darah karena lukanya yang
arang kranjang. Sedang di tubuh Sumangkar
pun darah itu meleleh membasahi pakaian orang tua itu pula. Ruangan itu
menjadi sunyi senyap. Tak seorang pun yang bergerak. Hanya hati merekalah yang
bergelora, melonjak-lonjak menggapai langit seperti sebuah nyala api yang
membakar gunung. Yang terdengar kemudian adalah desir angin yang menggerakkan
dedaunan. Sekali-kali kilat memancar di langit, disusul oleh suara guruh
bersahut-sahutan. Perlahan-lahan, namun semakin lama semakin keras. Tetapi
ruangan itu masih tetap sepi. Hati mereka seakan-akan pecah ketika mereka
mendengar Sumangkar berkata sambil menunjuk tubuh Tohpati itu dengan
tongkatnya,
“Inilah orang
yang kalian tunggu.”
Yang
pertama-tama bergerak adalah Sanakeling. Selangkah ia maju mendekati tubuh yang
terbujur itu. Sambil menggigit bibirnya ia menunduk mengamat-amati mayat yang
sudah membeku dingin. Sanakeling menarik nafas dalam-dalam. Luka itu luka arang
kranjang.
Tiba-tiba
orang kedua sesudah Macan Kepatihan itu menggeram seakan-akan ingin melontarkan
tekanan yang menghimpit dadanya.
“Raden Tohpati
terbunuh dengan luka arang kranjang karena ingin menyelamatkan kita.” desah
Sanakeling. Wajahnya yang ditimpa oleh sinar obor yang nyalanya bergerak-gerak
disentuh angin tampak menjadi tegang dan buas. Seperti seekor serigala yang
kehilangan anaknya, Sanakeling itu menggeretakkan giginya sambil menghentakkan
kakinya di tanah.
Kembali
ruangan itu tenggelam dalam kesenyapan. Hanya nafas-nafas mereka yang bekejaran
terdengar seperti desah angin di luar, yang menggetarkan dedaunan dan
ranting-ranting. Sekali-kali kilat memancar di langit dan kembali suara guruh terdengar
bersahut-sahutan. Namun kemudian sunyi kembali. Tetapi tanpa sepengetahuan
mereka, di luar gubug yang satu itu, semakin lama semakin banyak orang-orang
Jipang berkumpul. Mereka mendengar dari prajurit yang melihat Sumangkar membawa
mayat Tohpati memasuki gubug itu. Berjejal-jejal mereka ingin menyaksikan
apakah yang dikatakan oleh kawannya itu benar. Sumangkar, Sanakeling dan
orang-orang yang berada di dalam gubug itu terkejut ketika mereka mendengar
pintu berderak karena desakan orang-orang di luar. Ketika mereka berpaling,
mereka melihat wajah-wajah yang kaku tegang. Sanakeling yang dibakar oleh
luapan kemarahannya itu memandang mereka dengan mata yang menyala. Seakan-akan
dari matanya memancar dendam tiada taranya. Seakan-akan dari matanya itu memancar
tuntutan atas kesetiaan orang-orang Jipang kepada pemimpinya itu. Sumangkar
melihat mata yang menyala itu. Sumangkar menangkap apa yang terbersit dari
pancaran itu. Karena itu ia menjadi berdebar-debar. Ia belum sempat
menyampaikan pesan terakhir Macan Kepatihan kepada Sanakeling, kepada Alap-alap
Jalatunda, kepada pemimpin-pemimpin Jipang yang lain. Kini tiba-tiba
pemimpin-pemimpin Jipang yang marah itu akan langsung berhadapan dengan para
prajurit yang pasti akan mudah sekali terbakar hatinya. Dalam keadaan yang
sedemikian, maka mereka dapat melakukan kebuasan dan kebiadaban yang
mengerikan. Apalagi kini Macan kepatihan sudah tidak ada lagi. Tidak ada lagi
yang dapat mencegah mereka melakukah apa saja yang mereka kehendaki. Apa saja
yang mereka lakukan, apalagi untuk mengungkapkan kemarahan kebencian, dendam,
bahkan untuk mengucapkan kegembiraan hati mereka, mereka dapat melakukan
hal-hal yang tidak wajar. Sepeninggal Arya Jipang, sepeninggal Patih Mantahun,
maka sebagian besar para prajurit Jipang telah kehilangan pegangan. Seandainya
pada saat-saat yang demikian itu tidak ada Macan Kepatihan, maka mereka akan
dapat melakukan perbuatan-perbuatan yang sangat liar, sebab mereka sudah
kehilangan tujuan. Namun kemungkinan yang lain, bahwa sebagian besar dari
mereka justru akan meletakkan senjata mereka, apabila mereka mendapat
kesempatan dan jaminan bahwa kepada mereka tidak akan diperlakukan di luar
batas-batas ketentuan yang ada. Dan kini Macan Kepatihan itu sudah tidak ada.
Kemungkinan yang demikian itu pasti akan berlaku lagi. Sebagian dari mereka
pasti akan melepaskan dendam mereka, kebencian mereka dan perbuatan-perbuatan
lain yang tanpa terkendali. Namun sebagian dari mereka justru akan meletakkan
senjata, apabila mereka mendengar jaminan yang telah diucapkan oleh Untara,
senapati Pajang yang langsung mendapat kekuasaan dari Panglima Wira Tamtama.
Kini tinggal
bagaimana cara menyampaikan kepada sebagian besar para prajurit Jipang itu.
Kalau Sanakeling yang berbicara kepada mereka, maka pasti yang akan
dikobarkannya adalah dendam dan benci. Akan dibakarnya hati para prajurit itu.
Dan hati mereka pun segera akan terbakar. Mereka akan bertebaran ke segala
penjuru dengan bara di dada mereka. Dan mereka dapat berbuat apa saja di
sepanjang perjalanan mereka. Mereka dapat menakut-nakuti rakyat padesan. Bahkan
mereka akan dapat melakukan berbagai perkosaan atas sendi-sendi kemanusian. Karena
itu Sumangkar harus bertindak cepat. Mendahului Sanakeling yang menjadi buas,
karena melihat Macan Kepatihan yang terbunuh dengan luka arang kranjang. Tatapi
selagi Sumangkar sedang menimbang-nimbang, maka yang terdengar dahulu adalah
suara Sanakeling,
“He, para
prajurit Jipang yang berani. Kini kalian dapat melihat, betapa biadabnya
orang-orang Pajang. Pemimpinmu terbunuh dengan luka arang kranjang.”
Dada Sumangkar
berdesir mendengar kata-kata itu. Kata-kata itu adalah permulaan dari cara
Sanakeling membakar hati mereka. Dada Sumangkar itu semakin bergelora ketika
sekilas ia melihat mata yang menyala pada setiap wajah para prajurit Jipang.
Dalam sinar obor yang kemerah-merahan, maka dilihatnya mata mereka seakan-akan
melampaui panas api obor itu. Kali ini Sumangkar tidak mau terlambat lagi. Karena
itu maka segera ia menyahut,
“Ya. Lihatlah.
Angger Macan Kepatihan telah meninggalkan kita. Macan Kepatihan yang garang ini
telah bertempur untuk melindungi kalian, sehingga nyawanya sendiri telah
dikorbankan.”
Semua orang
yang berdiri di samping mayat yang terbujur itu diam. Dan mereka mendengar
kata-kata Sumangkar itu dengan hati yang penuh haru. Namun Sumangkar masih
melihat bara di wajah-wajah mereka. Bara yang justru menjadi semakin panas.
Tetapi Sumangkar berkata terus,
“Nah. Apakah
yang akan kalian lakukan sebagai balas budi yang tiada taranya itu?”
Sanakeling
sendiri menatap wajah Sumangkar dengan gelora yang hampir menghimpit jalan
pernafasannya. Yang pertama-tama berteriak adalah Sanakeling sendiri,
“Pembalasan!”
Tiba-tiba
terdengar suara gemuruh di luar gubug itu.
“Ya.
Pembalasan. Pembalasan. Nyawa dengan nyawa. Darah dengan darah.”
Sumangkar
meredupkan matanya. Ia melihat tekad yang menggelora. Namun di antara suara
yang bergemuruh itu, terdengar jantungnya sendiri berdentangan melampaui
gemuruh suara orang-orang di luar gubug itu.
“Bagus!”
teriak Sumangkar.
“Bagus. kalian
harus melakukan pembalasan.” Sumangkar berhenti sesaat. Lalu diteruskannya,
“Apakah kalian
masih memiliki kesetiaan kepada pemimpin-pemimpinmu ini?”
Para prajurit
Jipang itu serentak menjawab,
“Tentu. Kami
masih memiliki kesetiaan yang utuh.”
Sumangkar memandang
berkeliling. Sanakeling, A1ap-alap Jalatunda, orang-orang yang berdiri di dalam
dan di luar gubug itu. Dengan hati-hati ia berbicara terus,
“He,
orang-orang Jipang. Aku menunggu saat Angger Tohpati menghembuskan nafasnya
yang penghabisan. Aku menunggu saat-saat Raden Tohpati mengucapkan
pesan-pesannya yang terakhir. Nah, apakah kalian ingin mendengar pesan yang
terakhir itu?”
“Ya. Kami
ingin mendengar,” sahut mereka serentak.
Sumangkar
terdiam sesaat. Ia menjadi ragu-ragu. Apakah sudah tiba saatnya menyampaikan
pesan terakhir itu? Apakah dengan demikian, maka tidak akan menimbulkan salah
paham pada para pemimpin Jipang yang masih ada?
Namun
Sumangkar berjalan terus meskipun ia harus berhati-hati sekali. Katanya,
“Pesan itu
amat sulit kita lakukan.”
“Biar apa pun
yang harus kami lakukan, kami tidak akan gentar,” sahut mereka serentak.
“Terlalu
berat,” seakan-akan Sumangkar bergumam kapada sendiri.
“Jangan
memperkecil arti kami yang ada di sini, Paman,” berkata Sanakeling dengan mata
menyala.
“Apakah kau
sangka kami tidak mempunyai cukup keberanian untuk melakukannya?”
“Memang,”
sahut Sumangkar, “kesetiaan hanya dapat diwujudkan dengan perbuatan. Bukan
sekedar kata-kata dan janji. Namun apa yang harus kita lakukan seakan-akan
berada di luar jangkauan kita semua. Bahkan selama ini belum pernah
terpikirkan, bahwa kita akan melakukannya.”
“Ya, apakah
menyerang jantung kota Pajang? Apakah kami harus berusaha membunuh Adiwijaya?
Atau kami harus membalas dendam atas kematian Arya Penangsang dengan berusaha
membunuh Ngabehi Loring Pasar meskipun secara diam-diam. Atau Untara, Widura?
Apa? Apa yang harus kami lakukan?” teriak Alap-alap Jalatunda.
Sumangkar
menggeleng. Selangkah ia maju dengan tongkat baja putihnya terayun-ayun. Cahaya
yang berkilat-kilat memantul dari tongkatnya itu berwarna kemerah-merahan,
seperti sinar obor yang dengan lincahnya menari di ujung-ujung bumbung dan
jlupak.
“Kalian lihat
tongkat ini?” berkata Sumangkar kepada orang-orang Jipang.
“Ya. Kami
lihat. Itu adalah ciri kebesaran Macan Kepatihan.”
“Kalian
salah,” sahut Sumangkar, “ini bukan tongkat Angger Tohpati.”
Semuanya
terdiam mendengar kata-kata itu. Serentak mereka memandangi tongkat itu
tajam-tajam. Akhirnya mereka menemukan perbedaan itu. Mereka mengenal tongkat
Macan Kepatihan baik-baik seperti ia mengenal orangnya, tongkat ini agak lebih
kecil dari tongkat Raden Tohpati. Karena itu timbullah keheranan di dalam hati
mereka. Apakah Sumangkar juga mempunyai tongkat baja putih berkepala tengkorak
yang kekuning-kuningan seperti Macan Kepatihan? Apakah ia memilikinya juga? Tiba-tiba
mereka tersadar, bahwa mereka berhadapan dengan juru masak yang malas. Mereka
sama sekali bukan berhadapan dengan seorang pemimpin mereka. Namun meskipun
demikian, mereka menunggu dengan tidak sabar. Apakah yang akan dikatakannya
tentang pasan terakhir itu. Tetapi mereka pun menjadi heran, kenapa Sanakeling,
Alap-alap Jalatunda, tiba-tiba saja memberi kesempatan kepada orang tua itu
untuk seakan-akan memimpin pertemuan yang tidak sengaja mereka adakan itu? Dalam
kebimbangan dan keheranan itulah maka Sumangkar akan sampai pada tingkat
terakhir dari permainannya. Sebelum ia mengatakan pesan Tohpati, ia harus cukup
mempunyai wibawa atas orang Jipang itu. Setidak-tidaknya setingkat dengan
wibawa yang dimiliki oleh Sanakeling. Karena itu, Sumangkar itu maju beberapa
langkah. Kini ia berdiri di muka pintu keluar. Ia melihat orang-orang Jipang
yang berdiri berdesak-desakan, bahkan ada di antara mereka yang membawa
obor-obor di tangan, sedang ke dalam ia melihat Sanakeling, Alap-alap Jalatunda
dan beberapa pemimpin yang lain berdiri tegang kaku seperti patung. Namun, baik
wajah-wajah orang-orang Jipang maupun para pemimpinnya membayangkan
ketidak-sabaran, mereka menunggu kata-kata Sumangkar tentang pesan terakhir Macan
Kepatihan.
Terdengar Sumangkar
kemudian berkata,
“Nah, jadi
adakah kalian lihat bahwa tongkat ini bukan tongkat Angger Tohpati?, “
“Ya kami
lihat,” sahut mereka. Namun Sanakeling, Alapalap Jalatunda dan para pemimpin
yang lain tampak seolah-olah berdiri saja membeku. Meskipun sebagian dari
mereka mengerti bahwa sebenarnya Sumangkar bukanlah sekedar juru masak namun
tongkat baja putih itu benar-benar mengejutkan mereka. Mereka sama sekali belum
pernah melihat, bahwa Sumangkar pun
memiliki tongkat semacam itu. Apalagi Sanakeling yang jarang sekali berada di
pusat pemerintahan Jipang, dan jarang sekali bertemu dengan Sumangkar, meskipun
ia tahu bahwa Sumangkar adalah seorang sakti yang berada di dalam lingkungan
istana kepatihan. Tetapi sampai pecahnya Jipang, Sanakeling dan Sumangkar
berada di medan yang berbeda.
“Itulah yang
menyedihkan aku,” berkata Sumangkar.
“Aku tidak
berhasil membawa tongkat Angger Macan Kepatihan kembali. Aku tidak dapat
mengambilnya dari medan setelah Angger Macan Kepatihan terbunuh.” Sumangkar
berhenti sesaat. Kemudian katanya melanjutkan,
“Tongkat ini
adalah tongkatku.”
Sumangkar
melihat berpasang-pasang mata terbelalak karenanya. Apalagi ketika mereka
mendengar kata-kata Sumangkar seterusnya,
“Aku adalah
paman guru dari Angger Macan Kepatihan. Nah, itulah aku. Dan itulah sebabnya
maka Angger Macan Kepatihan mempercayakan pesannya kepadaku, sebab aku adalah
saudara seperguruan Patih Mantahun.”
Gubug itu
menjadi sunyi senyap di dalam dan di luarnya. Sesepi tanah pekuburan, orang-orang
yang berdiri tegak di halaman dan di dalam gubug itu seperti tonggak-tonggak
batang kamboja yang membeku. Pengakuan Sumangkar terdengar oleh sebagian besar
dari mereka seperti suara guruh yang meledak di langit. Orang-orang Jipang itu
benar-benar terkejut. Sumangkar, yang mereka kenal sebagal seorang juru masak
yang malas, ternyata adalah seorang yang sakti. Saudara seperguruan Patih
Mantahun. Tetapi beberapa orang sudah tidak terkejut lagi. Sanakeling juga
tidak terkejut. Siapa pun Sumangkar itu, bagi Sanakeling tidak ada bedanya.
Sebab ia sudah tahu sebelumnya, bahwa Sumangkar adalah seorang yang sakti. Kecuali
Sanakeling dan beberapa pemimpin yang lain, di antara para prajurit Jipang yang
berkumpul di luar pintu itu, terdapat Bajang, juru masak kawan sepekerjaan
Sumangkar. Sambil senyum ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Kepada orang yang
berdiri di sampingnya ia berkata,
“Aku sudah
tahu lebih dahulu dari kalian semuanya.”
Kawannya
mengerinyitkan alisnya sambil bertanya,
“Darimana kau
tahu ?”
“Apakah kau
sudah bertemu dengan Tundun?”
“Belum.”
“Anak itu
belum berceritera kepadamu tentang Ki Tambak Wedi dan Sidanti yang datang ke
perkemahan ini ketika kalian sedang pergi berperang?”
“Aku belum
bertemu dengan Tundun. Bagaimana ia bisa berceritera kepadaku?”
“Mungkin Ki
Lurah Sanakeling pun belum sempat
mendengar laporan Tundun,” berkata Bajang.
“Tambak Wedi
yang mengerikan itu datang bersama muridnya Sidanti. Kalau tidak ada juru masak
yang malas itu, entahlah apa yang terjadi. Kami bertempur bersama-sama dengan
semua orang yang ada di sini. Tetapi melawan muridnya, Sidanti pun kami tidak mampu. Apalagi Ki Tambak
Wedi.”
“Dan Sumangkar
mengalahkannya?”
“Ya, Sumangkar
telah mengusirnya.”
Orang yang
mendengar ceritera itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Pantas.
Pantas,” gumamnya.
Ketika mereka
kemudian memandangi pintu gubug itu, kembali mereka melihat Sumangkar berdiri
tegak seperti batu karang pinggir pantai. Tiba-tiba mereka melihat seolah-olah
orang yang berdiri itu bukan lagi seorang juru masak yang mereka kenal
sehari-hari. Wajah Sumangkar kini seolah-olah memancarkan kewibawaan yang
mengejutkan hati mereka. Tongkat baja putih itu benar-benar mirip tongkat
Tohpati. Dan tongkat itu adalah milik Sumangkar. Dalam pada itu terdengar
Sumangkar meneruskan,
“Meskipun aku
tidak berhasil membawa tongkat Angger Tohpati, namun aku telah memiliki tongkat
yang serupa. Tongkat yang akan mampu melakukan apa saja seperti yang dapat
dilakukan oleh tongkat Angger Macan Kepatihan.
Semua orang
masih terdiam. Namun mereka mulai dirayapi oleh kepercayaan bahwa sebenarnya
Sumangkar mampu berbuat seperti Macan Kepatihan. Namun Sanakeling yang
mendengar kata-kata itu mengerutkan dahinya. Ia belum tahu pasti arah kata-kata
Sumangkar seterusnya. Tetapi sebagai orang kedua sesudah Tohpati, Sanakeling
merasa berhak untuk memimpin prajurit-prajurit Jipang itu sepeninggal Macan
kepatihan, sehingga dadanya mulai berdebar-debar melihat Sumangkar mengangkat
tongkat baja putihnya.
“Apakah
Sumangkar akan langsung mengambil alih pimpinan dari Raden Tohpati,” berkata
Sanakeling di dalam hatinya.
Dan terdengarlah
Sumangkar berkata terus,
“Nah, sekarang
apakah kalian dapat mempercayai kata-kataku?”
Kembali mereka
terlempar dalam kesepian. Sesaat tak seorang pun yang menyahut, sehingga Sumangkar
menjadi ragu-ragu. Kalau mereka tidak percaya, maka untuk menekankan
pesan-pesan Tohpati, apakah ia perlu menunjukkan beberapa macam permainan
sehingga ia tidak lagi dianggap hanya sekedar omong kosong?
Tetapi
tiba-tiba terdengar di belakang seseorang berteriak,
“Aku telah
melihat sendiri Ki Sumangkar mengalahkan Ki Tambak Wedi.”
Semua orang
berpaling ke arah suara itu. Tetapi mereka tidak segera melihat siapakah yang
telah berteriak-teriak itu. Namun kemudian terdengar kembali orang itu berkata,
“Kami yang
tinggal di perkemahan pada saat kalian berperang telah melihat sendiri apa yang
dilakukan oleh Ki Sumangkar.”
Beberapa orang
segera mengenal bahwa suara itu adalah suara Bajang, seorang juru masak yang
masih muda, kawan Sumangkar. Beberapa orang menjadi justru bercuriga, apakah
Bajang tidak sekedar mengangkat nama kawan sepekerjaannya. Namun tiba-tiba dari
beberapa sudut terdengar orang-orang lain menyambut.
“Ya kami pun
menyaksikan. Kami telah menyaksikan sendiri.”
Sumangkar
kemudian memandang berkeliling. Dan sekali lagi ia berkata,
“Siapakah yang
dapat mempercayai kata-kataku?”
Tiba-tiba
menggeloralah jawaban, “Kami percaya, kami percaya.”
Sanakeling
masih berdiri di tempatnya dengan wajah yang tegang. Seharusnya dirinyalah yang
wajib berdiri di hadapan para prajurit Jipang itu sebagai penggganti Macan
Kepatihan. Tiba-tiba tanpa disadarinya, orang lain telah mendahului. Meskipun
demikian, ia masih mampu menahan dirinya. Mungkin Sumangkar akan
menguntungkannya. Mampu membakar hati para prajurit itu, untuk dibawanya
membalas sakit hatinya atas hilangnya pemimpin yang mereka segani.
“Terima kasih,”
berkata Sumangkar kemudian.
“Kalau
demikian kalau kalian percaya akan kata-kataku, maka biarlah aku menyampaikan
pesan terakhir Angger Tohpati. Namun seperti kataku tadi, pesan itu terlampau
berat bagi kita sekalian. Sebab pesan itu sama sekali berada di luar
angan-angan kita selama ini.”
Sekali lagi
terdengar para prajurit Jipang itu berteriak,
“Kami akan
melakukan apa saja yang dipesankan oleh Raden Tohpati. Biar masuk ke dalam api
sekalipun, kami akan mematuhinya.”
Sumangkar
mengerutkan keningnya. Katanya seperti kepada diri sendiri, namun karena
diucapkannya keras-keras, maka semua orang mendengarnya,
“Aku kurang
yakin, apakah kami mampu melakukannya.”
Orang-orang
Jipang menjadi hampir tidak sabar lagi. Karena itu mereka berteriak-teriak,
“Kami
bersumpah, kami bersumpah.”
Sanakeling pun menjadi tidak sabar pula. Beberapa
langkah ia maju mendekati Sumangkar sambil berkata,
“Berkatalah,
jangan melingkar-lingkar. Apakah pesan terakhir itu. Kami akan melakukannya.
Aku adalah pemimpin laskar Jipang sepeninggal Macan Kepatihan. Dan aku sanggup
untuk memimpin pasukan ini berbuat apa saja. Meskipun aku harus membakar istana
Pajang sekalipun dan merampas permaisurinya.”
Sumangkar
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sahutnya,
“Baik. Baik.
Akan segera aku katakan.” Namun di dalam hati Sumangkar bergumam,
“Kalau kau
mampu Sanakeling, kau tidak akan berkeliaran di dalam hutan seperti sekarang.
Apalagi kau, sedang Arya Penangsang dan Patih Mantahun pun tidak mampu melawan Ki Gede Pemanahan,
Penjawi, dan anak muda Ngabehi Loring Pasar, di samping Adiwijaja sendiri.”
Tetapi
kemudian yang dikatakan adalah pesan terakhir Macan Kepatihan. Sambil melangkah
maju, Sumangkar menengadahkan wajahnya. Gubug itu kemudian menjadi sunyi
senyap. Yang terdengar hanyalah deru nafas orang-orang Jipang itu memburu lewat
lubang-lubang hidung mereka yang mengembang. Mereka ingin mendengar kata demi
kata, pesan dari pemimpin mereka yang mereka segani.
“Dengarlah,”
berkata Sumangkar,
“sudah aku
katakan bahwa pesan itu terlampau berat bagi kami, sebab pesan itu berbunyi,”
Sumangkar berhenti sesaat. Ditatapnya setiap wajah yang seolah-olah menyalakan
tekad di dalam dada mereka. Sesaat kemudian Sumangkar meneruskan, dan
kata-katanya terdengar seperti suara guntur dan guruh bersama-sama, beruntun
susul-menyusul.
“Pada saat
nafas Angger Tohpati telah satu-satu meluncur, ia berkata ’Kematianku adalah
akhir daripada bencana yang menimpa rakyat Demak. Aku adalah sisa terakhir dari
Senapati yang mendapat kepercayaan para prajurit Jipang. Sepeninggalku aku
mengharap bahwa mereka akan membuat perhitungan-perhitungan. Bukankah begitu
paman Sumangkar?’ Kemudian diteruskannya pada kesempatan lain di mana nafasnya
menjadi semakin lemah, berkata Macam Kepatihan itu, ’Mudah-mudahan kematianku
menjadi pertanda bahwa tak ada gunanya perselisihan ini akan berlangsung
terus.’” Dan Sumangkar itu pun berhenti sesaat. Dengan tajamnya ia memandangi
orang-orang yang berdiri di sekitarnya.
Setiap orang
yang mendengar kata-kata Sumangkar itu, darahnya seakan-akan berhenti mengalir.
Pesan itu sama sekali bukan pesan untuk membunuh Untara, Widura atau Adiwijaya
sekali. Bukan perintah untuk membakar istana Pajang dan melakukan serangkaian
pembunuhan sebagai pembalasan. Tetapi pesan itu seolah-olah pesan yang sama
sekali bertentangan dengan dugaan mereka. Suasana yang sepi bertambah sepi.
Mulut-mulut yang meskipun ternganga namun serasa terbungkam. Hati-hati yang
membara seolah-olah meledak justru karena tersiram air dengan tiba-tiba. Tetapi
mereka semua benar-benar tenggelam dalam perasaan yang aneh. Bingung dan
kehilangan dasar tanggapan seterusnya. Sumangkar membiarkan suasana itu
berlangsung beberapa lama. Dibiarkannya setiap orang berada dalam pergolakan
perasaan. Dibiarkannya mereka sampai pada kesimpulan masing-masing apabila
mereka telah menemukan keseimbangan dan sempat mempertimbangkan.
Namun suasana
yang sepi itu tiba-tiba dipecahkan oleh teriakan Sanakeling melengking menghentak
setiap jantung.
“Paman
Sumangkar. Apakah arti daripada pesan itu. Apakah dengan demikian Kakang Macan
Kepatihan mengharap kita semua bertekuk lutut di bawah kaki Untara? He?”
Sumangkar
tidak terkejut mendengar pertanyaan itu. Ia sudah menduga sebelumnya, bahkan
hampir pasti, bahwa Sanakeling adalah orang yang pertama menolak pesan itu.
Karena itu dengan tenang ia menjawab,
“Ya Ngger.
Demikianlah kira-kira pesan itu. Namun agaknya pertimbangan Angger Macan
Kepatihan telah cukup masak untuk mengucapkan pesan-pesan itu.”
“Jadi haruskah
kami merangkak-rangkak di bawah kaki Untara seperti anjing kudisan?” teriak
Sanakeling.
“Kata-kata itu
terlampau tajam.”
“Tidak.
Kata-kata itu tepat seperti yang akan terjadi apabila kita menuruti pesan itu.
Dan kita akan dijerat leher kita, diseret di sepanjang jalan antara Sangkal
Putung dan Pajang. Dipertontonkan kepada setiap orang sebelum kita digantung di
alun-alun Pajang. Berderet-deret seperti jemuran yang tidak kering-keringnya.”
Sumangkar
mendengar kata-kata itu diucapkan dengan penuh nafsu. Bahkan Sumangkar pun kemudian melihat wajah-wajah yang
seakan-akan membeku di hadapannya, mulai menegang. Kata-kata Sanakeling agaknya
telah menggugah hati mereka. Menggugah hati keprajuritan mereka.
Karena itu
segera Sumangkar berkata,
“Angger
Sanakeling benar. Tetapi tidak tepat sebab aku belum mengatakan rangkaian dari
pesan itu. Pesan itu diucapkan oleh Angger Tohpati di hadapan Untara yang
menungguinya pula pada saat-saat terakhir. Menungguinya tidak seperti dua orang
yang sedang bermusuhan. Agaknya mereka di saat-saat terakhir itu telah
mengenangkan masa-masa lampau. Masa-masa Demak masih diikat oleh tali persatuan
yang erat. Keduanya adalah sahabat yang baik dari dua daerah Kadipaten. Angger
Macan Kepatihan dari Kadipaten Jipang dan Angger Untara dari Kadipaten Pajang.
Pertentangan antara Jipang dan Pajang telah mempertentangkan mereka pula. Namun
kebesaran jiwa dari keduanya telah menemukan kembali persahabatan itu di
saat-saat Angger Macan Kepatihan menghadapi maut. Meskipun maut itu beralatkan
tangan Untara sendiri.”
Kembali mereka
diterkam oleh kesenyapan. Terasa setiap kata, baik yang diucapkan oleh
Sumangkar maupun yang diucapkan Sanakeling benar belaka. Meskipun makna dari
keduanya berlainan bahkan bertentangan. Karena itu, setiap jantung yang
berdegup di dalam dada menjadi bingung siapakah yang akan dianut? Sumangkar
melihat hari depan yang tenang, hari depan yang damai. Mereka tidak akan lagi
berlari-larian sepanjang hutan. Mereka tidak perlu lagi selalu dikejar-kejar
oleh kegelisahan. Mereka akan dapat hidup seperti manusia biasa. Meskipun
mungkin sebulan dua bulan mereka tidak dapat bebas berbuat karena hukuman yang
akan diterimamja. Namun setelah itu, tidak ada lagi persoalan yang selalu
menghantuinya siang dan malam. Seluruh negeri akan menjadi aman. Pasar-pasar
akan kembali mengumandang, dan di malam hari kembali akan terdengar tembang.
Seruling gembala di padang-padang dan anak-anak bermain di halaman. Orang-orang
tua akan menikmati bunyi burung perkutut dengan tenang. Tetapi
gambaran-gambaran yang damai dan tenteram itu tiba-tiba telah digoyahkan oleh
pendirian Sanakeling. Pendirian seorang prajurit yang tidak dapat ditundukkan
oleh peristiwa-peristiwa yang bagaimanapun dahsyatnya. Mereka akan menjadi
orang tangkapan dan diarak sebagai tawanan apabila mereka menyerah. Hilanglah
kejantanan mereka, dan harga diri mereka akan terkorbankan. Lebih baik
mengorbankan nyawa daripada harga diri bagi seorang prajurit sejati. Apabila
mereka harus berlari-lari ke hutan, bersembunyi di antara semak-semak dan
gerumbul, di antara padang-padang dan lereng-lereng gunung, adalah akibat dari
perjuangan mereka. Akibat dari keteguhan hati seorang prajurit yang tidak
miyur. Setiap wajah kemudian memancarkan kebimbangan hati yang tiada ujung
pangkal. Keduanya benar bagi mereka. Keduanya mapan, dan keduanya wajib
diturut. Pesan terakhir pemimpin mereka yang mereka segani lewat paman gurunya
yang perkasa, dan yang lain adalah pendapat senapati yang seharusnya langsung
memimpin mereka sepeninggal Macan Kepatihan. Dalam kebimbangan itu terdengar
kemudian suara Sanakeling seperti membelah langit,
“Paman
Sumangkar. Aku adalah seorang prajurit. Prajurit hanya mengenal dua arti dalam
perjuangannya. Menang atau mati. Selain itu, adalah nista sekali untuk di
jalani. Apalagi menyerahkan dan di bawah injakan kaki lawan. Apakah paman
Sumangkar ini telah bukan lagi seorang prajurit yang baik?”
Sumangkar
memandangi wajah Sanakeling sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian jawabnya,
“Aku hanya menyampaikan
pesan terakhir Angger Macan Kepatihan.” Kemudian kepada para prajurit Jipang
Sumangkar berkata,
“Pesan itu
adalah pesan Macan Kepatihan yang sampai saat terakhir telah mengorbankan jiwa
raganya sebagai seorang prajurit jantan. Sebagai seorang pemimpin sejati ia
telah berusaha melindungi kalian. Nah, katakanlah, apakah ia seorang prajurit
yang baik atau bukan, Hai, orang-orang Jipang. Sebutlah pemimpinmu itu, apakah
ia seorang prajurit yang baik atau bukan? Ayo, katakanlah, apakah Macan Kepatihan
seorang prajurit yang baik atau seorang pengecut?”
Terdengarlah
jawaban menggemuruh,
“Ia adalah
seorang prajurit yang baik. Seorang laki-laki jantan. Seorang senapati yang
tiada taranya.”
“Bagus,” sahut
Sumangkar.
“Pesan itu
keluar dari mulutnya. Keluar dari mulut seorang senapati jantan, keluar dari
mulut seorang prajurit yang baik.”
“Bohong!”
potong sanakeling dengan nada yang tinggi.
“Senapati yang
baik, prajurit jantan tidak akan mengeluarkan perintah serupa itu. Itu pasti
akal-akalmu sendiri, Paman Sumangkar. Itu pasti caramu untuk melepaskan
kejemuanmu sendiri.”
Sumangkar
mengerutkan keningnya. Dan ia mendengar Sanakeling berbicara terus,
“Aku tidak
percaya kalau Kakang Tohpati telah mengeluarkan pesan itu.”
Sumangkar
tidak mau kahilangan kesempatan. Karena itu segera ia menyahut,
“Itulah
bedanya. Seorang yang berjiwa besar dan orang lain yang tidak dapat mengikuti
kebesaran jiwanya. Kalian dapat berpikir untuk terlalu mementingkan diri
sendiri. Kalian dapat berpijak pada harga diri yang berlebih-lebihan. Harga
diri seorang prajurit yang pantang menyerah. Tetapi itu adalah pikiran yang
sempit. Prajurit tidak akan menyerah apabila ia berjuang untuk suatu cita-cita
yang tegas, suatu cita-cita yang diyakini kebenarannya. Tetapi apakah kalian
berbuat demikian? Apakah kalian yakin, bahwa kalian telah berjuang dalam suatu
pengabdian sebagai seorang prajurit. Coba katakan, apakah yang kalian capai
dengan peperangan yang tiada ujung dan pangkal ini?”
“Kau telah
berputus asa, paman Sumangkar,” teriak Sanakeling.
“Kau telah
kehilangan akal. Perjuangan Arya Penangsang adalah perjuangan atas hak dan
waris atas tahta. Ini adalah perjuangan jantan. Perjuangan yang luhur.”
“Bukankah
perjuangan itu telah berpijak atas kepentingan diri? Warisan atas tahta-tahta.
Bukan perjuangan atas dasar yang luas bagi seluruh rakyat Demak untuk
meningkatkan kesejahteraan hidup mereka? Perjuangan itu adalah perjuangan yang
sempit. Warisan memang dapat membuat sanak dan kadang sendiri saling
bertengkar. Tetapi jangan rakyat dikorbankan dalam pertengkaran itu. Bagi
rakyat yang penting bukan siapa ahli waris yang paling berhak atas tahta.
Tetapi bagi rakyat, siapakah yang paling baik bagi mereka, yang paling banyak
berpikir dan berbuat untuk mereka. Tidak untuk sendiri. Tidak untuk seorang atau
beberapa orang pemimpin. Tidak untuk Arya Penangsang atau Adiwijaya. Tidak.
Tetapi bagi rakyat, siapakah paling langsung berbuat banyak untuk kepentingan
mereka, ialah yang paling berhak atas pimpinan negara. Orang itulah ahli waris
yang sah atas tahta.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar