Jilid 053 Halaman 1


SEJENAK kemudian terdengar suara gemerasak di dedaunan tepat di atas jalan sempit yang gelap, menurun dan jatuh di tanah. Kiai Gringsing mendapat kesan bahwa para peronda itu terkejut karenanya. Serentak kuda-kuda mereka berhenti.
“Apakah kalian juga mendengar suara gemerasak itu?” bertanya salah seorang yang agaknya menjadi pemimpinnya.
“Ya,” sahut yang lain.
“Apakah menurut dugaan kalian?”
“Di atas jalan ini banyak terdapat dedaunan dan ranting-ranting yang kering.”
“Mungkin buah-buahan yang dibawa oleh burung-burung malam.”
“Apakah kalian tidak memperhitungkan kemungkinan yang lain.”
“Hantu atau jin barangkali?”
“Ya.”
“Apakah mereka sempat mengganggu kami dengan cara itu? Hanya anak-anak yang dapat ditakut-takutinya dengan cara demikian. Tetapi sudah tentu bukan kita. Kalau hantu-hantu itu mempunyai sedikit pengetahuan tentang manusia, mereka pasti akan mempergunakan cara yang lebih ngeri untuk menakut-nakuti kita sekarang ini.”
Kawan-kawannya tidak menjawab. Agaknya mereka sependapat dengan pendapat kawannya itu, sehingga tanpa menghiraukan apa pun lagi mereka meneruskan perjalanan. Sepeninggal mereka, Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Ia menjadi berbesar hati, bahwa tidak semua orang menjadi ketakutan di dalam keadaan yang tidak berketentuan ini. Tetapi agaknya Kiai Gringsing masih belum puas. Ia ingin berbuat sesuatu sehingga para peronda itu menjadi semakin mantap. Mereka harus meyakini, bahwa mereka benar-benar tidak mudah menjadi ketakutan. Bagi mereka yang sudah dicengkam oleh kepercayaan yang mendalam kepada hantu dan jin, maka setiap gejala yang paling kecil pun pasti sudah menggoncangkan dada mereka. Tetapi para peronda ini tidak. Sejenak kemudian, maka Kiai Gringsing pun telah menyusup pula di antara gerumbul liar, mendahului para peronda yang memang sengaja maju perlahan-lahan.
“Sebenarnya sekali-sekali aku ingin melihat, bagaimanakah bentuk hantu-hantu itu,” berkata salah seorang dari mereka.
“Aku pernah melihat,” jawab yang lain,
“tetapi aku kurang yakin bahwa itulah yang dimaksud dengan hantu.”
“Apa yang kau lihat?”
“Seperti seekor kelinci,”
“He, sekecil kelinci?”
“Ya. Tetapi bercahaya seperti puluhan kunang-kunang.”
Kawan-kawannya tidak segera menjawab. Namun kemudian terdengar salah seorang dari mereka tertawa,
“Itu bukan hantu,” katanya.
“Apa menurut pendapatmu?”
“Kelinci, memang kelinci. Tetapi oleh cahaya apa pun yang ada waktu itu, tampaknya bulu-bulunya yang mengkilap seakan-akan bercahaya.”
“Aku juga menduga demikian. Tetapi sesaat kemudian aku mendengar suara tertawa lirih. Lalu hilang.”
“Kapan kau lihat dan kau dengar semuanya itu?”
“Ketika aku menjadi pengawas di ujung Selatan dari penebangan hutan ini.”
“Kau dan para pengawas yang lain menjadi ketakutan?”
“Sebagian. Tetapi yang paling parah justru daerah ini. Karena itu Ki Gede Pemanahan berniat untuk mengganti para pengawas di daerah ini.”
“Ya. Aku juga mendengar.”
Tetapi pembicaraan mereka segera terputus. Dengan tiba-tiba saja para peronda itu berhenti. Dengan mata terbelalak mereka melihat sebuah bayangan yang bergantungan pada sebuah cabang pohon yang rendah. Sebuah bayangan hitam seperti seekor kera raksasa sedang berayun-ayun.
“Apakah kalian melihat sesuatu?” bertanya salah seorang dari mereka.
“Ya, sebuah bayangan hitam berayun pada sebatang dahan.”
“Bagus. Agaknya kita benar-benar dijemput oleh hantu dari Kerajaan Kajiman Mataram.”
Tidak seorang pun yang menjawab. Namun betapa pun juga dada mereka menjadi berdebar-debar.
“Aku akan menemuinya,” berkata pemimpin rombongan itu.

Maka ia pun segera menyentuh kendali kudanya, sehingga kuda itu berderap maju. Tetapi langkahnya segera berhenti. Kuda itu pun agaknya menjadi terkejut, sehingga sambil meringkik kuda itu melonjak dan berdiri dengan kedua kaki belakangnya. Untunglah bahwa penunggangnya adalah seseorang yang telah menguasainya, sehingga kuda itu pun segera dapat ditenangkannya. Kawan-kawannya yang lain pun segera menyusul di belakangnya. Mereka pun kemudian berhenti beberapa langkah dari bayangan hitam yang masih saja terayun-ayun.
“He, apakah kau yang disebut hantu?” bertanya pemimpin rombongan itu.
Bayangan itu sama sekali tidak menjawab.
“He, apakah kau dapat mendengar dan dapat berbicara seperti manusia. Kalau kau hantu, apakah maksudmu?”
Bayangan itu masih tetap berdiam diri sambil berayun-ayun seenaknya. Pemimpin peronda itu menarik nafas dalam-dalam. Bagaimana ia harus berbicara dengan hantu-hantu.
“Menurut pendengaranku,” berkata salah seorang dari para peronda itu,
“hantu-hantu dapat berbicara seperti manusia. Ternyata orang-orang yang kesurupan dapat juga berbicara. Nah, sekarang apakah hantu yang satu ini mau berbicara atau tidak?”
Tetapi bayangan itu masih tetap diam.
“Mungkin hantu-hantu hanya dapat berbicara apabila ia merasuk ke dalam tubuh seseorang,” berkata yang lain.
“Aku bersedia,” seorang peronda yang masih muda menyahut,
“kalau hantu itu akan meminjam tubuhku untuk dapat berbicara, aku tidak berkeberatan. Tetapi jangan dirusakkan. Aku masih memerlukannya.”
“Hus,” desis yang lain.
Namun bayangan itu masih tetap berdiam diri, sambil masih saja terayun-ayun di dalam kegelapan.
“Bukan hantu,” desis salah seorang dari peronda itu dengan tiba-tiba, “aku kira seekor kera raksasa. Marilah, kita tangkap saja.”
“Tunggu,” berkata pemimpin peronda itu. Meskipun demikian ia sendiri maju beberapa langkah di atas punggung kudanya. Namun tiba-tiba ia mencabut pedangnya. Katanya,
“Ayo, jawablah pertanyaanku. Apakah kau termasuk dalam jenis hantu yang akan mengganggu perjalanan kami?”
Bayangan itu tidak menyahut. Tetapi tiba-tiba ia meluncur jatuh di tanah. Sekali lagi kuda pemimpin, rombongan itu terkejut. Namun penunggangnya masih berhasil menenangkannya. Kini para peronda itu melihat selingkar bayangan hitam yang tergolek di tanah, seperti seonggok padas. Namun dengan demikian mereka mulai percaya, bahwa mereka memang berhadapan dengan hantu.
“Apa yang harus kita lakukan?” desis salah seorang dari mereka.
“Apakah kita perlu memanggil Kiai Damar? Mungkin ia dapat berbicara dengan hantu ini.”
Tetapi tidak seorang pun di antara para peronda itu yang menanggapinya. Semuanya sedang ditegangkan oleh seonggok bayangan hitam yang terletak di tanah. Di dalam kegelapan malam, tampaklah bayangan itu bergerak-gerak seolah-olah tarikan nafas. Karena tidak ada yang menjawab, maka peronda itu mengulanginya,
“Apakah aku harus memanggil Kiai Damar?”
Belum lagi ada yang, menjawab, maka tiba-tiba bayangan hitam itu melenting tinggi. Kemudian jatuh melingkar pula di tanah seperti semula.
“Tidak ada gunanya memanggil Kiai Damar,” berkata pemimpin peronda itu.
“Mungkin Kiai Damar mampu berbicara dengan cara yang tidak kita ketahui.”
Pemimpin peronda itu merenung sejenak. Lalu,
“Baiklah. Kalau hantu ini bersedia menunggu.”
“Marilah kita kepung, jangan sampai hantu itu lolos sebelum Kiai Damar datang kemari.”
Pemimpin peronda itu tidak menjawab. Ia berpaling ketika salah seorang dari mereka segera meninggalkan tempat itu kembali ke pondok Kiai Damar.
“Kawani anak itu,” desis pemimpin peronda kepada seorang peronda yang lain.
Maka dua ekor kuda telah berjalan secepat-cepat dapat dilakukan kembali ke pondok Kiai Damar. Ketika mereka sampai di muka pintu, maka pintu itu sudah tertutup rapat. Karena itu, maka salah seorang dari mereka segera mengetok sambil memanggil, “Kiai, Kiai Damar.”
Agaknya Kiai Damar yang baru saja menutup pintu masih belum tidur. Dengan suara yang parau itu bertanya,
“Siapa di luar?”
“Aku, para peronda.”
“He? Baru saja ada beberapa orang peronda datang kemari.”
“Itulah kami.”
“Kenapa kalian kembali?”
“Ada sesuatu yang penting, Kiai.”
“Apa?”
“Kami telah bertemu dengan hantu-hantu itu.”
“He?” Kiai Damar terkejut sehingga dengan serta-merta ia meloncat dan membuka pintu. Di dalam kegelapan ia melihat dua orang peronda yang sedang turun dari kuda mereka.
“Apakah Ki Sanak mengatakan bahwa Ki Sanak telah bertemu dengan hantu?”
“Ya. Kami telah bertemu dengan sesosok hantu.”
“Itu tidak mungkin. Tidak mungkin.”
“Kenapa tidak mungkin, Kiai? Daerah ini adalah daerah yang angker. Hampir setiap orang di daerah ini berbicara tentang hantu. Bahkan Kiai Damar sendiri berbicara pula tentang hantu. Nah, kami telah dicegat oleh sesosok hantu. Tetapi kami tidak dapat mengajaknya berbicara. Karena itu kami segera kembali kepada Kiai. Kami ingin mengajak Kiai bersama kami untuk mencoba berbicara. Bukankah Kiai mempunyai cara tersendiri untuk dapat berbicara dengan hantu-hantu itu?”
“Tetapi itu tidak mungkin. Kalian tidak akan bertemu dengan hantu yang mana pun juga. Mereka telah berjanji untuk tidak mengganggu kalian.”
“Tetapi kami benar-benar telah bertemu dengan salah satu dari mereka.”
“Apakah bentuknya?”
“Seperti seonggok sampah atau katakanlah sebongkah batu yang lunak, semula hantu itu berayun-ayun pada sebatang pohon, kemudian menjatuhkan diri melingkar di tanah.”
Wajah Ki Damar menjadi tegang. Namun mulutnya masih berkata,
“Tidak mungkin. Tidak mungkin.”
“Kenapa tidak mungkin? Kalau Kiai tidak percaya, marilah kita lihat. Kedatanganku memang bermaksud untuk mengajak Kiai serta dengan kami.”
Sejenak Kiai Damar berdiri termangu-mangu. Namun kemudian ia menggeram,
“Aku akan melihatnya.”
“Marilah. Kita naik berdua.”
Kiai Damar pun kemudian segera meloncat naik ke punggung kuda bersama seorang peronda. Tanpa menutup pintu rumahnya, maka mereka pun segera pergi ke tempat hantu yang telah mengganggu para peronda itu.

Sementara itu, para peronda pun menjadi ragu-ragu. Benda hitam itu masih saja teronggok diam. Di dalam gelap malam, para peronda itu tidak dapat melihat dengan jelas, apakah sebenarnya yang sedang dihadapinya. Sedang untuk lebih mendekat lagi mereka pun ragu-ragu.
“He, hantu,” pemimpin peronda itu hampir berteriak,
“kenapa kau diam saja? Apakah kau memang tidak mempunyai mulut?”
Onggokan benda hitam itu sama sekali tidak menjawab. Sekali lagi benda itu melenting. Namun kemudian diam. Perlahan-lahan pemimpin peronda itu turun dari kudanya, diikuti oleh yang lain.
“Kepung benda ini,” katanya, “jangan sampai lolos sampai Kiai Damar datang. Ia akan dapat berbicara dengan hantu ini.”
Kawan-kawannya pun kemudian bergerak mengitari benda itu setelah mereka menambatkan kuda-kuda mereka. Namun langkah mereka tertegun ketika benda hitam itu pun berguling menjauhi, seakan-akan benda itu menyadari bahwa para peronda itu sedang bergerak mengepungnya. Pemimpin peronda itu mengerutkan keningnya. Namun ia tetap pada pendiriannya,
“Cepat. Jangan biarkan lari.”
Kawan-kawannya pun berloncatan lebih cepat lagi, berusaha untuk mengepung benda hitam yang mereka anggap hantu itu. Namun tiba-tiba mereka terkejut. Ternyata benda itu dengan tanpa diduga telah menyerang salah seorang dari mereka yang berusaha mengepungnya. Meskipun benda itu nampaknya hampir tidak bergerak, tetapi sebutir batu telah mengenai dada salah seorang peronda sehingga ia menyeringai kesakitan.
“Kenapa?”
“Dadaku.”
Ternyata serangan itu telah membuat para peronda menjadi lebih berhati-hati. Meskipun akibatnya tidak berbahaya, namun serangan itu merupakan peringatan kepada para peronda, bahwa hantu itu dapat berbuat sesuatu atas mereka. Hantu itu bukan sekedar seonggok sampah yang mati. Dengan demikian, maka setiap orang kini telah menggenggam senjata masing-masing. Meskipun demikian, mereka sama sekali tidak ingin mengurungkan niatnya, mengepung benda yang mengandung rahasia itu. Namun mereka kini melangkah dengan penuh kewaspadaan. Senjata mereka telah siap untuk menghadapi setiap kemungkinan. Tetapi agaknya bayangan hitam itu tidak pula tinggal diam. Sekali-sekali benda itu berguling menjauh. Kemudian berhenti diam. Bahkan sekali-sekali melenting dan kembali jatuh di tanah. Dalam ketegangan itulah kemudian terdengar derap kaki-kaki kuda mendekat. Serentak para peronda itu berpaling. Mereka pasti bahwa yang datang itu adalah para peronda yang telah menemui Kiai Damar. Ternyata dugaan mereka tidak salah. Sejenak kemudian kedua ekor kuda itu pun telah semakin dekat, dan kemudian berhenti di tempat kawan-kawannya menambatkan kudanya. Karena peronda itu tidak segera melihat kawan-kawannya yang sudah bergeser dari tempatnya, maka salah seorang dari keduanya pun berkata lantang,
“He, di manakah kalian? Aku datang bersama Kiai Damar.”
“Di sini,” jawab salah seorang peronda yang sedang berusaha mengepung bayangan hitam itu.
Kedua peronda yang mengajak Kiai Damar itu pun segera berloncatan dari kuda-kuda mereka bersama Kiai Damar. Dengan tergesa-gesa mereka berlari-lari mendekat ke arah suara itu.
“Apa yang kalian lihat?” bertanya Kiai Damar. Tetapi alangkah kagetnya para peronda itu. Ketika mereka sedang sibuk menunggu kedatangan Kiai Damar, dan serentak berpaling ke arah langkah kakinya, maka mereka tidak sempat memperhatikan bayangan hitam itu lagi. Mereka tidak melihat bayangan itu menggelinding dan hilang di dalam gerumbul. Yang mereka ketahui kemudian, hantu itu tiba-tiba telah hilang di dalam kegelapan malam.
“Apa yang kalian lihat?” bertanya Kiai Damar.
“Di situ. Kami melihat sesuatu di kegelapan ini.”
“Ya di mana,” desak Kiai Damar yang sudah berdiri di antara para peronda yang sudah memegang senjata di tangan mereka.
Para peronda itu saling berpandangan. Sejenak mereka tidak dapat menjawab pertanyaan Kiai Damar. Tetapi kini mata mereka melekat pada kegelapan malam, di mana mereka melihat bayangan hitam itu yang terakhir.
“Di mana?” sekali lagi Kiai Damar mendesak.
Salah seorang dari peronda itu menunjuk dengan ujung pedangnya, “Di situ. Di situlah aku melihat yang terakhir kali. Kemudian hilang tidak berbekas.”
“Omong kosong,” teriak Kiai Damar.
“Kiai,” berkata pemimpin peronda itu,
“Kiai jangan menuduh bahwa kami telah berbohong. Kami memang melihat sesuatu di dalam kegelapan ini. Tidak begitu jelas memang. Tetapi menurut pengamatan kami, kami telah melihat seonggok benda yang kehitam-hitaman.”
“Kalian telah bermimpi.”
“Kami tidak akan dapat mimpi bersama-sama dan serupa.”
“Tetapi aku tidak percaya.”
“Kenapa Kiai tidak percaya?”
“Hari ini tidak akan ada hantu, yang mana pun juga.”
“Tetapi kami sudah melihatnya.”

Kiai Damar tercenung sejenak. Tiba-tiba saja terasa bulu-bulu tengkuknya meremang. Sudah sekian lama ia tinggal di dalam hutan yang gelap dan terasing. Namun baru saat itulah ia benar-benar telah dipengaruhi oleh ceritera tentang hantu yang lain. Hantu yang seolah-olah bukan kelompok hantu-hantu yang sudah dikenalnya.
“Ki Sanak,” berkata Kiai Damar,
“aku mengenal hantu di daerah Mataram ini dengan baik. Dari tingkat yang paling rendah, bekasakan, tetekan, ilu-ilu, banaspati, sampai hantu yang paling tinggi martabatnya, jin, setan, peri, prayangan,” Kiai Damar berhenti sejenak. Lalu,
“di antara mereka, tidak ada jenis hantu yang ujudnya seperti seonggok batu padas yang lunak kehitam-hitaman.”
“Tetapi Kiai, bukankah hantu itu dapat merubah ujudnya sesuai dengan kehendak mereka pada suatu saat?”
“Tetapi pada dasarnya mereka telah memiliki bentuk yang tetap.”
Salah seorang peronda yang masih muda berkata,
“Kalau begitu, mungkin kita telah berjumpa dengan hantu dari daerah lain. Dari Pajang misalnya. Atau dari Kali Praga atau dari Gunung Merapi.”
“Jangan mengigau,” bentak Kiai Damar yang tampaknya menjadi tegang.
Dalam pada itu, selagi mereka sedang sibuk menjajagi jenis hantu yang mereka lihat, tiba-tiba mereka mendengar gemeresak daun yang terguncang. Kemudian disusul oleh sebuah bunyi yang tidak dapat mereka mengerti, tidak begitu jauh dari tempat mereka berdiri. Para peronda itu seolah-olah membeku di tempatnya. Namun senjata-senjata mereka sajalah yang kemudian bergetar di dalam genggaman. Tetapi Kiai Damar agaknya tidak tinggal diam. Tiba-tiba saja ia melenting meloncat ke arah suara itu. Para peronda saling berpandangan sejenak. Dada mereka menjadi berdebar-debar dan nafas mereka pun tertahan-tahan. Mereka hanya dapat memandang dengan tanpa berkedip Kiai Damar yang dengan lincahnya menyusup ke dalam gelap, dan kemudian hilang ditelan oleh tumbuh-tumbuhan liar yang rimbun. Sejenak para peronda itu tidak mendengar sesuatu. Karena itu mereka menjadi cemas, apakah kira-kira yang akan terjadi dengan Kiai Damar yang sedang berusaha untuk mengejar hantu yang agaknya asing baginya. Namun ternyata bahwa Kiai Damar pun termasuk orang yang luar biasa. Para peronda itu tidak dapat mengetahui, ke mana ia pergi. Karena itu, maka mereka pun tidak dapat mengikutinya untuk melihat, apakah yang telah dilakukannya.
Dalam pada itu, Kiai Damar pun dengan kemampuan yang ada padanya, berloncatan di antara semak-semak dan gerumbul-gerumbul liar, menuju ke arah bunyi yang tidak dimengertinya. Beberapa saat kemudian langkahnya pun terhenti ketika ia mendengar sesuatu beberapa langkah daripadanya. Ia sudah menduga, bahwa ia telah sampai ke tempat yang ditujunya. Karena itu maka dengan hati-hati ia berdiri tegak, sambil memperhatikan keadaan di sekitarnya dengan segenap inderanya.
“Tak ada gunanya kau bersembunyi,” desisnya, “aku tahu, kau berada di balik pohon cangkring.”
Sejenak tidak terdengar jawaban. Karena itu maka Kiai Damar mengulanginya,
“Jangan bersembunyi di balik pohon cangkring. Aku mungkin akan membuat pertimbangan yang wajar kalau kau menampakkan dirimu.”
Tetapi tidak seorang pun yang datang. Sedang suara tarikan nafas itu masih didengarnya. Dari balik pohon cangkring. Akhirnya Kiai Damar kehilangan kesabaran. Ia-lah yang kemudian melangkah dengan hati-hati mendekati pohon cangkring yang rimbun. Tetapi ia tertegun sejenak. Ia tiba-tiba saja telah kehilangan suara yang memberinya petunjuk, bahwa ada seseorang yang bersembunyi di sekitarnya. Apalagi setelah ia sampai di sebelah pohon cangkring, ia tidak melihat seseorang. Tarikan nafas yang didengarnya itu pun seakan-akan telah lenyap.
“He, Jangan lari.”
Tidak ada jawaban. Tetapi kini ia mendengar suara nafas itu di belakang gerumbul yang lain.
Kemarahan yang semakin lama semakin memanasi dadanya, telah membuat Kiai Damar semakin tidak bersabar. Dengan loncatan yang cepat ia melingkari gerumbul yang kelam. Namun sekali lagi ia tidak menemukan sesuatu. Tidak ada suara tarikan nafas, tidak ada seseorang, dan tidak ada apa-apa.
“Jangan bersembunyi, jangan bersembunyi!” suaranya lantang.
Tetapi tidak ada jawaban apa pun. Di kejauhan, para peronda dapat menangkap suara Kiai Damar. Tetapi mereka tidak berhasrat sama sekali untuk mendekat. Mereka menganggap bahwa yang sedang terlibat kini adalah orang yang mengerti dan tahu kedudukan lawannya. Yaitu hantu-hantu. Kiai Damar sendiri, tiba-tiba saja telah terkejut ketika suara nafas itu terdengar dekat sekali di belakangnya. Dengan serta-merta ia meloncat, membalikkan tubuhnya dan siap menghadapi segala kemungkinan. Darahnya tersirap ketika ia melihat sebuah bayangan hitam teronggok di tanah. Segera ia mengerti, bahwa inilah yang di maksud oleh para peronda. Hantu ini pulalah yang agaknya telah mengganggunya.
“He, kaukah yang telah mengganggu para peronda itu?” Kiai Damar bertanya lantang.
Benda yang hitam teronggok di tanah itu sama sekali tidak menjawab. Namun jelas bagi Kiai Damar, bahwa benda hitam itu bernafas seperti manusia. Betapa pun lirihnya, namun Kiai Damar dapat mendengar desah yang teratur.
“He, kenapa kau diam saja?” desak Kiai Damar. Namun tiba-tiba ia terdiam. Para peronda itu menganggapnya sebagai seseorang yang mampu berbicara dengan hantu-hantu. Namun tiba-tiba kini ia berhadapan dengan sesuatu yang tidak dapat diajaknya berbicara.
Terngiang kata-kata salah seorang dari para peronda itu.
“Kalau begitu mungkin kita telah berjumpa dengan hantu dari daerah lain. Dari Pajang misalnya atau dari Kali Praga atau dari Gunung Merapi.”
Tiba-tiba tanpa sesadarnya ia bertanya,
“He, apakah kau hantu dari daerah lain? Bukan dari Alas Mentaok?”
Kiai Damar terkejut ketika ia mendengar suara menggeram. Ternyata seonggok benda itu telah mengeluarkan semacam bunyi yang asing.
“Benar he? Kau datang dari luar Alas Mentaok?”
Sekali lagi benda itu menggeram.
“Kalau kau mengerti aku, dengar pertanyaanku. Kalau ya, kau menggeram. Kalau tidak, kau diam saja,” Kiai Damar berhenti sejenak. Lalu,
“Kau datang dari Kali Praga?”
Benda itu diam saja.
“Dari Gunung Sepikul?” Benda itu masih diam saja.
“Dari Pesisir?”
Benda itu diam saja.
“Dari Gunung Merapi?”

Ternyata benda itu menggeram, sehingga Kiai Damar dapat mengambil kesimpulan bahwa hantu itu datang dari Gunung Merapi.
“Apa maksudmu datang, kemari he?”
Tidak ada jawaban. Tapi benda itu hanya menggeram saja.
“Persetan,” desis Kiai Damar,
“pergilah. Jangan mengganggu daerah ini. Daerah ini adalah daerah Hutan Mentaok. Kau tidak boleh berada di sini.”
Tetapi tidak ada jawaban apa pun juga.
“Pergi. Kau harus pergi.”
Benda itu diam saja. Kiai Damar menjadi marah sekali. Tiba-tiba ia menarik keris pusakanya. Sambil maju selangkah ia berkata,
“Tidak ada makhluk yang dapat menahan kekuasaan keris ini. Kau pun tidak, meskipun kau dapat membuat dirimu menjadi lebih halus dari wadag yang kau perlihatkan.”
Selangkah demi selangkah Kiai Damar maju mendekati benda yang kehitam-hitaman, yang menyebut dirinya hantu dari Gunung Merapi itu. Namun benda itu sama sekali tidak bergerak, seolah-olah memang menunggu Kiai Damar mendekatinya.
“Aku masih memberimu kesempatan,” desis Kiai Damar,
“kalau kau tidak segera pergi, aku akan membelah tubuhmu dengan pusaka ini.”
Seonggok benda hitam itu masih tetap berdiam diri. Namun di dalam kegelapan malam, Kiai Damar yang menjadi semakin dekat melihat bahwa benda itu telah mulai bergerak-gerak. Dengan demikian, maka Kiai Damar pun menjadi semakin hati-hati. Keris di tangannya telah bergetar. Keris itu adalah keris pusaka yang bagi Kiai Damar, memberikan kemantapan apabila ia sedang berhadapan dengan bahaya yang paling besar. Demikianlah, maka pada suatu saat Kiai Damar telah benar-benar kehilangan kesabarannya. Karena itu, maka ia pun segera meloncat semakin dekat sambil mengacukan senjatanya. Tetapi benda yang hitam itu pun kemudian berguling menjauhinya, secepat ia meloncat maju.
“Jangan lari. Kau sudah kehilangan semua kesempatan,” berkata Kiai Damar sambil mengejar benda itu.
Namun tiba-tiba benda yang kehitam-hitaman itu melenting. Dengan cepatnya benda itulah yang mendahului menyerang dengan garangnya. Dalam kegelapan malam Kiai Damar melihat, seakan-akan sebuah sayap yang mengembang. Namun, kemudian meluncur seperti sebatang kayu. Kiai Damar tidak menyangka bahwa benda itu akan menyerang begitu cepatnya. Karena itu, maka ia tidak mempunyai kesempatan untuk menghindar ketika pinggulnya tersentuh tubuh hantu itu. Beberapa langkah Kiai Damar terdorong surut. Dengan susah payah ia mencoba menjaga keseimbangannya. Namun dorongan yang keras itu telah membuatnya jatuh di atas lututnya. Dengan marahnya Kiai Damar menggeram. Secepat kilat ia meloncat berdiri. Tetapi sekali lagi ia terkejut. Dengan sayap yang mengembang, hantu itu telah menyerangnya kembali. Kali ini justru lebih dahsyat, sehingga sekali lagi Kiai Damar terpelanting jatuh di tanah. Dengan susah payah ia berusaha untuk tetap menggenggam senjatanya. Satu-satunya kekuatan yang dibanggakannya saat itu adalah kerisnya. Namun keris itu terjatuh juga di tanah. Karena itu, secepatnya ia berguling ke arah kerisnya yang tidak begitu jauh dari padanya. Ketika keris itu sudah tergenggam di tangannya kembali, maka ia pun segera berusaha untuk bangkit berdiri. Meskipun lambung dan pergelangan tangannya masih terasa sakit, namun ia pun segera berhasil berdiri tegak di atas tanah. Tetapi dadanya menjadi semakin berdebar-debar. Ia tidak melihat lagi lawannya. Bahkan ia tidak mendengar suara apa pun yang dapat memberinya petunjuk, kemana bayangan hitam itu pergi.
“Setan licik,” teriaknya.

Namun sejenak kemudian, Kiai Damar menjadi ragu-ragu. Betapa gelapnya malam, tetapi ternyata inderanya yang cukup tajam dapat menangkap sesuatu yang mencurigakannya. Sentuhan hantu itu pun terasa aneh pula padanya. Sentuhan itu tidak bedanya dengan sentuhan wadag manusia biasa.
“Sama sekali bukan hantu,” geramnya, “tentu seseorang yang mencoba untuk membuat onar.”
Namun Kiai Damar menjadi ragu-ragu lagi. Desisnya,
“Tetapi siapa. Siapa yang mempunyai kemampuan begitu tinggi?”
Kiai Damar yang mengaku dirinya mempunyai hubungan yang akrab dengan hantu-hantu itu menjadi ragu-ragu. Namun kehadiran makhluk itu, apakah ia hantu apakah ia manusia telah membuatnya ragu-ragu.
Selagi ia berdiri termangu-mangu itulah, ia mendengar suara berbisik,
“Jangan bingung, Kiai Damar. Apakah kau ingin melihat kenyataanku?”
“He, kau dapat berbicara?”
“Ya, aku memang dapat berbicara.”
“Ayo, jangan lari. Kalau kau memang ingin berhadapan dengan Kiai Damar.”
“Baiklah. Aku memang ingin berhadapan dengan Kiai Damar yang selama ini merasa dirinya bersahabat dengan hantu-hantu. Tetapi kau benar, bahwa aku datang dari luar Alas Mentaok. Aku datang dari Gunung Merapi.”
Kiai Damar menggeram. Tetapi ia menjadi berdebar-debar ketika ia melihat sesosok tubuh yang pendek berjalan timpang mendekatinya, “Inilah aku dalam ujudku yang sebenarnya,” berkata makhluk pendek dan timpang itu.
“Hem,” desis Kiai Damar, “kau berbentuk seperti manusia juga. Tetapi kenapa kau berkerudung kain?”
“Ini adalah kelengkapanku.”
“Bohong. Kau masih akan mengelabuhi aku. Ayo, tunjukkan bentukmu yang wajar.”
“Inilah bentukku.”
Kiai Damar mengerutkan keningnya. Suara yang tinggi melengking, membuat telinganya menjadi sakit.
“Apakah sebenarnya maksudmu mengganggu aku?” bertanya Kiai Damar.
“Tidak apa-apa. Tetapi aku memang sedang mengemban tugas.”
“Omong kosong.”
“Kiai Damar,” berkata makhluk itu,
“bukankah namamu Kiai Damar yang merasa dirimu mampu berbicara dan mempersoalkan nasib hutan Mentaok ini dengan Kerajaan Mataram Kajiman? Nah, ketahuilah. Aku adalah Kiai Dandang Wesi. Dahulu di masa kecilnya, aku adalah pemomong Raden Sutawijaya yang kini bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar. Tetapi umurku tidak mengijinkan aku untuk selalu melayaninya. Pada suatu saat, aku merasa bahwa ajal telah sampai. Itulah sebabnya, aku mohon ijin kepadanya untuk bertapa di kaki Gunung Merapi. Akhirnya aku menemukan bentukku yang sekarang,” makhluk itu berhenti sejenak. Lalu,
“Dan kini aku mendapat tugas untuk menemui Raja Mataram Kajiman. Pesan yang aku bawa dari Sri Maharaja Bantar Bumi, Raja Kajiman di Gunung Merapi, yang sebenarnya adalah muridku, agar Raja di Alas Mentaok, tidak mengganggu usaha momonganku, Mas Ngabehi Loring Pasar, membuka hutan ini untuk dijadikan sebuah negeri bagi manusia wadag. Siapa saja yang berani menghalanginya, maka persoalannya akan berkepanjangan, karena aku dan muridku, Sri Maharaja Bantar Bumi tidak akan tinggal diam.”
Kata-kata hantu yang menyebut dirinya bernama Dandang Wesi itu telah menggetarkan dada Kiai Damar. Sesaat ia meragukannya, namun sesaat kemudian jantungnya menjadi berdebar-debar. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa pada suatu saat ia akan berhadapan dengan Kerajaan Hantu yang lain, yang mengaku Kerajaan Hantu di Gunung Merapi dan dipimpin oleh seorang Raja pula. Karena Kiai Damar terpaku saja di tempatnya tanpa menjawab, maka Dandang Wesi itu berkata,
“Nah, kebetulan saja kita bertemu. Kalau kau masih ingin berkelahi, marilah aku layani sejenak. Sebab aku harus segera menghadap Perabu Talangsari dari Kerajaan Mataram yang masih sederhana. Kerajaan Mataram ini masih saja seperti Kerajaan Mataram lama berabad-abad yang lampau. Cara berpikir mereka pun masih dipengaruhi oleh cara berpikir yang sederhana. Nah, dengan makhluk yang demikian itulah kau berhubungan. Berbeda dengan Kerajaan yang tumbuh di Gunung Merapi saat ini, yang dipimpin oleh Sri Maharaja Bantar Bumi. Kalau suatu ketika kau berkesempatan marilah melihat-lihat kerajaan yang baru berkembang itu, sejalan perkembangan Tanah Mataram baru ini.”
Kiai Damar menjadi semakin bingung. Apalagi ketika hantu yang menyebut dirinya bernama Dandang Wesi itu bertanya,
“He, Kiai Damar. Kalau kau memang benar mampu berhubungan dengan Raja Mataram Kajiman, coba sebutkan bagaimanakah bentuk Prabu Talangsari? Bentuk sewajarnya, dan bentuk yang disukainya?”
Kiai Damar seolah-olah terbungkam. Ia berdiri dengan mata terbelalak. Namun demikian kerisnya masih digenggamnya erat-erat.
“Aku hormat kepadamu, meskipun seorang pembohong,” berkata Dandang Wesi,
“kau termasuk seseorang yang berani, seperti para peronda itu. Sekarang, aku akan meneruskan perjalananku ke pusat kota. Mudah-mudahan Perabu Talangsari dapat menerima kehadiranku dan mendengarkan nasehat dan pesan Sri Maharaja Bantar Bumi, supaya Kerajaan Mataram ini tidak menyesal.”
“Tetapi, tetapi ….,” berkata Kiai Damar dengan suara bergetar,
“apakah kau akan menanyakan tentang aku?”
“Kenapa?”
“Aku memang belum pernah menghadap Perabu Talangsari. Tetapi senapati-senapatinya lah yang selama ini berhubungan dengan aku.”
“Aku tidak akan berbicara tentang kau. Terlampau kecil namamu untuk dibicarakan di hadapan Raja-raja. Yang akan aku sebut namanya adalah Ki Gede Pemanahan dan Sutawijaya.” Kiai Dandang Wesi berhenti sejenak,
“Adalah pikiran yang bodoh sekali, seperti yang pernah kau katakan, bahwa pohon-pohon besar itu adalah bangunan-bangunan yang penting bagi kerajaan. Itu adalah pikiran beberapa abad yang lalu. Tetapi semuanya sekarang sudah lain. Inilah yang akan aku beritahukan kepada Perabu Talangsari.”
Kiai Damar tidak menyahut.
“He, kenapa kau diam saja?” tiba-tiba hantu pendek itu membentak.
Kiai Damar tergagap karenanya.
“Kau sudah menghina aku,” tiba-tiba saja hantu pendek dan timpang itu menjadi sangat marah. Lalu,
“Kau tidak percaya kepadaku? Kepada semua ceritaku? Terkutuklah kau.”

Sebelum Kiai Damar menjawab, tiba-tiba hantu pendek itu telah menyerangnya. Kiai Damar sama sekali tidak menyangka bahwa hal itu akan terjadi. Karena itu, ia tidak dapat berbuat apa-apa ketika dadanya seakan-akan retak karenanya. Dengan kerasnya ia terpelanting dan jatuh terlentang. Namun kali ini kerisnya masih tetap berada di genggamannya. Sejenak ia menyeringai kesakitan. Namun kemudian ia mencoba untuk berdiri sambil menggenggam keris pusakanya. Tertatih-tatih ia berusaha. Dan akhirnya ia berhasil tegak di atas kedua kakinya. Tetapi hantu pendek itu sudah lenyap. Yang terdengar hanyalah suaranya di antara desau angin.
“Maaf, Kiai Damar. Aku tidak sempat berurusan dengan kau. Selamat malam. Aku akan segera menemui Perabu Talangsari.”
Kiai Damar menggeram. Tetapi hatinya benar-benar dicengkam oleh keragu-raguan yang dahsyat. Kadang-kadang ia menjadi ngeri. Namun kadang-kadang ia menghentak-hentakkan kakinya dan menggeretakkan giginya.
“Persetan,” ia menggeram. Namun bersamaan dengan itu, bulu-bulu ditengkuknya serasa meremang.
Sejenak kemudian, dengan penuh kebimbangan ia melangkahkan kakinya. Ditemuinya para peronda yang menungguinya dengan cemas. Ketika mereka melihat Kiai Damar datang sambil menggenggam kerisnya, para peronda itu bertanya,
“Apa yang sudah terjadi, Kiai? Kami mendengar lamat-lamat kalian berbicara. Tetapi kami tidak mendengar dan tidak mengerti pembicaraan itu.”
“Aku sudah berhasil mengajaknya berbicara,” berkata Kiai Damar,
“bahasanya memang agak lain, karena hantu itu datang dari Gunung Merapi.”
“O.”
“Tetapi semuanya sudah selesai. Semuanya sudah berakhir. Hantu itu tidak akan mengganggu lagi.”
“Jadi, apakah hubungannya dengan hantu-hantu alas Mentaok.”
Kiai Damar menarik nafas,
“Aku tetap pada pendirianku. Sebaiknya Ki Gede Pemanahan menunda dahulu usahanya untuk memperluas Tanah Mataram yang baru ini.”
“Begitu?”
“Ya. Selanjutnya, biarlah aku yang menyelesaikan.”
Tetapi sekali lagi seluruh bulu-bulu di tubuh Kiai Damar meremang ketika ia mendengar suara tertawa lamat-lamat, seolah-olah sedang mentertawakan kata-katanya.
“Sudahlah. Kembalilah menghadap Ki Gede Pemanahan,” berkata Kiai Damar kemudian,
“aku akan kembali ke pondokku.”
“Apakah kami harus mengantar dengan kuda?”
“Tidak, aku akan berjalan kaki.”

Para peronda itu pun kemudian minta diri, dan Kiai Damar pun berjalan kembali ke pondoknya dengan jantung yang berdebar-debar. Kerisnya masih saja tetap di dalam genggaman. Ia tidak berani menyarungkannya, apabila setiap saat ia bertemu dengan hantu pula. Namun demikian, di sepanjang langkahnya kembali ke pondoknya, pikirannya selalu dipengaruhi oleh prayangan yang menyebut dirinya Kiai Dandang Wesi yang dahulu semasa hidupnya sebagai manusia, adalah pemomong Sutawijaya selagi masih kanak-kanak.
“Ia tentu orang yang sakti, yang di dalam olah tapanya telah mrayang dengan badan wadagnya,” desis Kiai Damar,
“sehingga meskipun ia dapat berbentuk lembut, namun sentuhan wadag manusianya masih terasa di dalam serangan-serangannya yang seakan-akan hanya bermain-main saja itu.”
Dada Kiai Damar menjadi berdebar-debar. Bahkan tanpa sesadarnya ia berkata,
“Jika hantu Gunung Merapi itu benar-benar ikut campur, maka semua rencana Panembahan Jati Srana akan gagal. Dan yang akan terjadi adalah benturan antara dua kelompok hantu dari Kerajaan Hantu yang besar. Alas Mentaok dan Gunung Merapi.”
Kiai Damar menjadi termangu-mangu. Ia sendiri tidak tahu, betapa ia menjadi bingung dan cemas. Keragu-raguan yang dahsyat telah melanda dadanya, memecahkan rencana-rencananya sendiri. Apa yang dikatakannya tentang hantu-hantu di Alas Mentaok kini tiba-tiba menjadi masalah baginya. Masalah yang mencemaskannya.
Sementara itu, Kiai Gringsing berjalan tersuruk-suruk mendekati gubug Kiai Damar. Ketika ia menengadahkan wajahnya, ia menjadi gelisah, karena pertanda bintang-bintang di langit mengatakan kepadanya, bahwa malam telah melampaui pertengahannya.
“Mudah-mudahan Agung Sedayu tidak mengambil suatu tindakan apa pun di barak,” katanya di dalam hati.
“Aku masih belum berhasil bertemu dengan Kiai Damar.”
Kiai Gringsing pun kemudian mengendap semakin dekat di balik gubug Kiai Damar. Namun ketika dilihatnya gubug itu masih kosong, maka ia pun segera meloncat ke depan. Dengan kepala tunduk ia duduk bersila di muka pintu gubug yang masih terbuka.
Kiai Damar yang berjalan sambil merenung, tiba-tiba terlonjak melihat sesosok tubuh yang kehitam-hitaman duduk di muka pintu gubugnya. Hampir saja ia menyerang dengan keris yang masih digenggamnya. Namun ketika ia melihat bayangan itu mengacu-acukan tangannya sambil memohon,
“Ampun Kiai, ampun. Aku orang baik,” maka Kiai Damar pun mengurungkan niatnya.
“Siapa kau he?” bentak Kiai Damar.
“Ampun, Kiai. Aku datang dari barak para penebang hutan.”
“Oh, apa maksudmu?”
“Aku akan menghadap Kiai. Anakku sakit, Kiai.”
“Kenapa?”
“Aku tidak tahu. Tetapi menurut seorang dukun yang tinggal di sebelah barak kami, anak itu keracunan.”
“Kenapa kau kemari?”
“Dukun itu menyuruhku datang kemari. Menurut dukun itu, selain keracunan anakku mendapat gejala penyakit yang lain.”
“Apalagi kata dukun itu?”
“Aku disuruh membawa sebungkus obat kepada Kiai.”
“Lihat. Bawa obat itu kemari.”
Kiai Damar yang masih berdebar-debar itu pun kemudian melangkah memasuki gubugnya. Sebuah lampu minyak yang terayun-ayun oleh angin malam yang lemah menerangi ruangan yang sempit itu. Kiai Gringsing pun kemudian dengan ragu-ragu memasuki ruangan itu pula sambil membawa sebungkus obat yang didapatnya dari dukun yang tinggal di sebelah baraknya. Nafas Kiai Damar masih belum berjalan wajar. Sekali-sekali ia masih menarik nafas panjang-panjang untuk menenteramkan hati. Setelah menyarungkan kerisnya, maka Kiai Damar pun berkata,
“Kenapa kau datang di malam larut begini?”
“Aku terlampau cemas Kiai, anakku sakit.”
Kiai Damar pun kemudian menerima sebungkus obat yang diserahkan oleh Kiai Gringsing. Diamat-amatinya obat itu. Lalu katanya,
“Kau bawa anak itu kemari?”
“Tidak Kiai, anak itu ternyata terlampau lemah.”
Kiai Damar mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya,
“Menurut pengamatanku, kau terlampau berani, bahkan agak sombong sedikit. Kau telah berani menebas, hutan larangan. Hutan yang telah beberapa kali dibuka, tetapi selalu ditinggalkan oleh orang-orang yang berusaha membukanya. Betul begitu?”
“Ya. Ya, Kiai. Dari mana Kiai tahu?”
“Aku melihat,” jawab Kiai Damar sambil mempermainkan kuku ibu jarinya.
“Kiai melihat di kuku ibu jari itu?”
“Anakmu benar-benar telah diterkam hantu. Kau kira anakmu kena apa, he?”
“Aku menyangka anakku itu digigit ular atau binatang-binatang beracun lainnya.”
“Tidak. Anakmu benar-benar telah diterkam hantu. Untunglah saat itu ada orang lain yang dijadikan korbannya. Kalau tidak, pasti anakmu lah yang akan binasa.”
“Kiai tahu bahwa ada orang lain?”
“Ya. Orang lain inilah yang telah diperas darahnya. Kau melihat juga?”
“Ya. Ya, Kiai. Kami melihat seseorang yang terluka. parah.”
“Suatu keuntungan bagimu. Bagi anakmu. Kalau tidak ada korban itu, anakmu lah korbannya.”
“Tetapi tidak seorang pun yang merasa kehilangan atas korban itu. Tidak ada sebuah keluarga pun yang mencarinya.”
Wajah Kiai Damar menjadi tegang sejenak, namun ia berkata,
“Anak itu anak bengal dan jahat. Ia sudah melarikan diri dari orang tuanya. Ia datang seorang diri di daerah ini dan mencoba mengadu untung dengan membuka tanah baru. Tetapi orang itu pun terlampau sombong. Melebihi kesombonganmu. Jadilah ini pelajaran bagimu.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Nah, bawalah obat ini kembali kepada anakmu. Aku akan memberinya mantra dan mohon maaf kepada hantu yang telah merasa terganggu. Tetapi ingat, kau harus mengurungkan niatmu membuka tanah itu.”

Dada Kiai Gringsing berdesir. Yang terpenting bagi Kiai Damar agaknya mengurungkan niat untuk membuka hutan lebih banyak lagi. Kepada para peronda dan kepada orang-orang lain dalam setiap kesempatan ia pasti berusaha mencegah meluasnya pembukaan hutan.
“He, apakah kau mengerti?” tiba-tiba Kiai Damar membentak.
“Ya. Ya, Kiai. Aku mengerti.”
“Bawalah obat ini. Ulaskan pada luka anakmu itu. Mudah-mudahan ia menjadi segera sembuh. Tetapi jangan diulangi kesalahan yang pernah dilakukannya bersamamu. Ketahuilah, bahwa setiap jengkal tanah akan dipertahankan oleh para lelembut di daerah Alas Mentaok ini.”
“Ya. Ya, Kiai. Aku akan menghindari kemungkinan yang lebih jelek bagi anak-anakku.”
“He, berapakah anak-anakmu itu?”
“Dua, Kiai. Yang seorang adalah yang sekarang sedang sakit.”
“Baiklah. Pergilah,” Kiai Damar berhenti sejenak,
“tetapi kau memang termasuk seorang pemberani. Mau berani datang kemari di larut malam begini.”
“Terpaksa sekali, Kiai, terpaksa sekali.”
“Pergilah.”
Kiai Gringsing pun segera meninggalkan gubug itu setelah beberapa kali mengucapkan terima kasih. Tersuruk-suruk ia berjalan di dalam kegelapan malam. Setelah melampaui beberapa patok jalan setapak dan gerumbul-gerumbul yang liar, Kiai Gringsing mulai merasa seseorang mengawasinya. Tetapi ia tidak menghiraukannya. Ia berjalan terus, meskipun ia masih mempunyai beberapa rencana. Dadanya menjadi berdebar-debar ketika ia sadar, tidak hanya seorang sajalah yang mengawasinya. Pasti lebih. Sebagai seorang perantau, maka dengan hati-hati ia mencoba mengamat-amati jalan yang dilaluinya. Kemudian dikenalnya beberapa batang pohon dengan baik. Beberapa macam tanda pengenal yang khusus dan tanda-tanda bintang di langit. Demikianlah, ketika menurut pengenalan perasaannya ia sudah terlepas dari pengawasan, maka ia pun segera menyusup di balik gerumbul-gerumbul yang lebat. Dengan ketajaman pengamatannya maka ia pun segera melingkar kembali mendekati gubug Kiai Damar. Dengan sangat hati-hati ia berusaha mendekatinya dari belakang. Setiap langkah Kiai Gringsing selalu memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang ada di sekitarnya. Namun ia berhasil melepaskan diri dari setiap pengamatan, sehingga ia dapat mendekati gubug itu kembali.
Kiai Gringsing menahan nafasnya ketika ia mendengar suara dari dalam gubug itu,
“Aku menunggunya lama sekali, Kiai.”
“Apakah ia sudah lama datang?”
“Sudah terlalu lama.”
“Aku tidak ada di tempat.”
“Apakah Kiai pergi?”
“Ya. Dengan para peronda. Agaknya orang itu menunggu aku di muka gubug ini, karena ketika aku kembali, orang itu sudah duduk bersila di depan pintu yang terbuka.”
“Hampir saja aku kehilangan kesabaran, dan meninggalkan tempat pengawasan itu,” berkata yang lain.
“Untung, kau tidak datang kemari. Kalau kau datang, orang itu pasti bertanya-tanya, siapakah yang telah datang ke tempat ini pula, atau kaulah yang akan disangkanya bernama Kiai Damar, maksudku dukun sakti yang akan ditemuinya, karena ia belum pernah mengenal aku dan barangkali juga belum mengenal namaku kecuali orang-orang di barak itu telah memberitahukannya.”
“Ya,” suara yang lain lagi,
“aku pun hampir mendatanginya kemari.”
“Apakah kemudian orang itu menumbuhkan kecurigaan kalian?”
“Tidak. Ternyata tidak.”
Kiai Gringsing yang mendengarkan di balik dinding menarik nafas lega. Sesaat ia masih tetap berada di tempatnya. Menurut pengamatannya, di dalam gubug itu ada lebih dari tiga orang selain Kiai Damar sendiri.
Sejenak kemudian ia mendengar suara Kiai Damar perlahan-lahan,
“Tetapi aku telah menjumpai persoalan baru sesaat sebelum aku menemui orang tua itu.”
“Apa, Kiai?”
“Sebenarnya aku sendiri masih ragu-ragu. Tetapi biarlah aku ceriterakan saja apa yang aku lihat.”
Orang-orang yang lain pun bergeser maju,
“Apakah ada sesuatu yang penting terjadi?”
“Ya,” jawab Kiai Damar yang kemudian menceriterakan apa yang dilihatnya bersama para peronda itu, dan yang kemudian telah melibatnya dalam perkelahian.
“Nah, aku sendiri tidak mengerti bagaimana kita harus menanggapi keadaan itu.”
Sejenak tidak terdengar sesuatu. Namun kemudian salah seorang bertanya,
“Apakah Kiai menganggap bahwa yang telah Kiai temui benar-benar prayangan dari Gunung Merapi?”
“Itulah yang meragukan aku. Tetapi untuk menolak kepercayaan itu pun agaknya terlampau berat.”
Ruangan itu kembali menjadi sepi. Yang terdengar hanyalah desah nafas yang bersahut-sahutan.
“Sudahlah,” berkata Kiai Damar,
“sebaiknya kita menunggu perkembangan keadaan. Rencana kita sementara ini berjalan terus.”
“Baiklah. Kita masih harus menunggu bukti-bukti mendatang dari makhluk yang menyebut dirinya bernama Kiai Dandang Wesi itu.”
Belum lagi mereka selesai berbicara, tiba-tiba mereka terkejut. Serentak mereka meraba senjata masing-masing ketika mereka mendengar suara tertawa dalam nada yang tinggi meskipun lamat-lamat seperti yang sudah pernah didengar oleh Kiai Damar, seolah-olah suara itu sedang mentertawakan pembicaraan mereka.
“Suara itulah yang pernah aku dengar,” desis Kiai Damar.
“Marilah kita cari,” ajak seorang dari mereka.
Kiai Damar termenung sejenak lalu,
“Tidak ada gunanya. Hantu itu pasti sudah pergi atau menghindarkan diri dari tangkapan mata wadag kita. Biarlah ia pergi, sementara kita harus semakin berhati-hati.”
Kawan-kawan Kiai Damar itu pun menjadi termangu-mangu sejenak. Sebenarnya mereka pun ragu-ragu, apakah mereka akan dapat menemukan sumber suara itu apabila mereka mencarinya. Karena itu, maka mereka pun mengangguk-anggukkan kepalanya, dan salah seorang berkata,
“Soalnya akan bertambah sulit. Tetapi yang aneh adalah justru adanya Kerajaan Mataram Kajiman. Kita yang tinggal di sini dan banyak mengetahui mengenai Alas Mentaok dengan segala isinya, belum pernah mendengar nama Prabu Talangsari.”
Kiai Damar tidak menjawab. Tetapi wajahnya menjadi tegang.

Dalam pada itu Kiai Gringsing berjalan dengan sangat tergesa-gesa kembali ke barak. Ternyata tengah malam telah lama lampau. Seandainya Agung Sedayu tidak sabar menunggu, maka keadaan di barak itu pasti akan segera berubah. Sebenarnyalah bahwa Agung Sedayu hampir tidak dapat menahan hati lagi. Dengan gelisahnya ia menunggu. Ketika tengah malam lewat, dan gurunya belum juga datang, maka dengan dada berdebar-debar ia bangkit dan duduk di samping Swandaru.
“Guru belum datang?” desis Swandaru yang ternyata belum tidur juga.
Agung Sedayu menggeleng, “Belum. Aku menjadi gelisah. Guru berpesan, apabila lewat tengah malam guru tidak datang, maka aku harus berbuat sesuatu.”
“Sekarang?”
“Semakin cepat, semakin baik.”
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Tetapi kemudian katanya,
“Aku ikut bersama Kakang. Bukankah Kakang akan mencari Ki Gede Pemanahan dan melaporkan apa yang telah terjadi?”
Agung Sedayu mengangguk. Namun kemudian ia berkata,
“Tetapi kau masih terlampau lemah.”
“Tidak. Aku sudah hampir pulih kembali. Obat yang diberikan oleh guru terlampau baik, meskipun masih juga terasa kelemahan pada sendi-sendi.”
“Tinggallah kau di sini.”
“Tidak, Kakang, aku akan ikut serta.”
“Hus,” desis Agung Sedayu, “jangan terlampau keras.”
“Kalau aku tinggal di sini,” berkata Swandaru kemudian,
“mungkin aku tidak akan dapat mengendalikan diri. Mungkin aku berbuat sesuatu atas orang-orang dungu itu.”
Agung Sedayu menjadi bimbang. Tetapi setiap saat agaknya menjadi sangat berharga. Kalau gurunya benar-benar mengalami kesulitan, maka ia segera memerlukan seseorang yang dapat membantunya. Orang itu tidak lain adalah Ki Gede Pemanahan. Namun kemudian ia berdesis,
“Aku akan menunggu, sejenak. Aku akan menengoknya di halaman. Kalau jelas bahwa guru tidak datang, sebentar lagi aku akan pergi. Kalau kau sudah merasa baik, kita akan pergi bersama-sama.”
“Sekarang, apa yang akan Kakang lakukan?”
“Turun ke halaman.”
“Terus pergi?”
“Tidak. Kalau aku pergi, aku akan memberitahukan kepadamu.”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kau harus tetap berbaring. Aku akan pergi ke luar. Kalau ada yang melihatku dan bertanya, aku akan menjawab bahwa kau haus.”


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar