SEJENAK kemudian terdengar suara gemerasak di dedaunan tepat di atas jalan sempit yang gelap, menurun dan jatuh di tanah. Kiai Gringsing mendapat kesan bahwa para peronda itu terkejut karenanya. Serentak kuda-kuda mereka berhenti.
“Apakah kalian
juga mendengar suara gemerasak itu?” bertanya salah seorang yang agaknya
menjadi pemimpinnya.
“Ya,” sahut
yang lain.
“Apakah
menurut dugaan kalian?”
“Di atas jalan
ini banyak terdapat dedaunan dan ranting-ranting yang kering.”
“Mungkin
buah-buahan yang dibawa oleh burung-burung malam.”
“Apakah kalian
tidak memperhitungkan kemungkinan yang lain.”
“Hantu atau
jin barangkali?”
“Ya.”
“Apakah mereka
sempat mengganggu kami dengan cara itu? Hanya anak-anak yang dapat
ditakut-takutinya dengan cara demikian. Tetapi sudah tentu bukan kita. Kalau
hantu-hantu itu mempunyai sedikit pengetahuan tentang manusia, mereka pasti
akan mempergunakan cara yang lebih ngeri untuk menakut-nakuti kita sekarang
ini.”
Kawan-kawannya
tidak menjawab. Agaknya mereka sependapat dengan pendapat kawannya itu,
sehingga tanpa menghiraukan apa pun lagi mereka meneruskan perjalanan. Sepeninggal
mereka, Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Ia menjadi berbesar hati,
bahwa tidak semua orang menjadi ketakutan di dalam keadaan yang tidak
berketentuan ini. Tetapi agaknya Kiai Gringsing masih belum puas. Ia ingin
berbuat sesuatu sehingga para peronda itu menjadi semakin mantap. Mereka harus meyakini,
bahwa mereka benar-benar tidak mudah menjadi ketakutan. Bagi mereka yang sudah
dicengkam oleh kepercayaan yang mendalam kepada hantu dan jin, maka setiap
gejala yang paling kecil pun pasti sudah menggoncangkan dada mereka. Tetapi
para peronda ini tidak. Sejenak kemudian, maka Kiai Gringsing pun telah
menyusup pula di antara gerumbul liar, mendahului para peronda yang memang
sengaja maju perlahan-lahan.
“Sebenarnya
sekali-sekali aku ingin melihat, bagaimanakah bentuk hantu-hantu itu,” berkata
salah seorang dari mereka.
“Aku pernah
melihat,” jawab yang lain,
“tetapi aku
kurang yakin bahwa itulah yang dimaksud dengan hantu.”
“Apa yang kau
lihat?”
“Seperti
seekor kelinci,”
“He, sekecil
kelinci?”
“Ya. Tetapi
bercahaya seperti puluhan kunang-kunang.”
Kawan-kawannya
tidak segera menjawab. Namun kemudian terdengar salah seorang dari mereka
tertawa,
“Itu bukan
hantu,” katanya.
“Apa menurut
pendapatmu?”
“Kelinci,
memang kelinci. Tetapi oleh cahaya apa pun yang ada waktu itu, tampaknya
bulu-bulunya yang mengkilap seakan-akan bercahaya.”
“Aku juga
menduga demikian. Tetapi sesaat kemudian aku mendengar suara tertawa lirih.
Lalu hilang.”
“Kapan kau
lihat dan kau dengar semuanya itu?”
“Ketika aku
menjadi pengawas di ujung Selatan dari penebangan hutan ini.”
“Kau dan para
pengawas yang lain menjadi ketakutan?”
“Sebagian.
Tetapi yang paling parah justru daerah ini. Karena itu Ki Gede Pemanahan
berniat untuk mengganti para pengawas di daerah ini.”
“Ya. Aku juga
mendengar.”
Tetapi
pembicaraan mereka segera terputus. Dengan tiba-tiba saja para peronda itu
berhenti. Dengan mata terbelalak mereka melihat sebuah bayangan yang
bergantungan pada sebuah cabang pohon yang rendah. Sebuah bayangan hitam
seperti seekor kera raksasa sedang berayun-ayun.
“Apakah kalian
melihat sesuatu?” bertanya salah seorang dari mereka.
“Ya, sebuah
bayangan hitam berayun pada sebatang dahan.”
“Bagus.
Agaknya kita benar-benar dijemput oleh hantu dari Kerajaan Kajiman Mataram.”
Tidak seorang
pun yang menjawab. Namun betapa pun juga dada mereka menjadi berdebar-debar.
“Aku akan
menemuinya,” berkata pemimpin rombongan itu.
Maka ia pun
segera menyentuh kendali kudanya, sehingga kuda itu berderap maju. Tetapi
langkahnya segera berhenti. Kuda itu pun agaknya menjadi terkejut, sehingga
sambil meringkik kuda itu melonjak dan berdiri dengan kedua kaki belakangnya.
Untunglah bahwa penunggangnya adalah seseorang yang telah menguasainya,
sehingga kuda itu pun segera dapat ditenangkannya. Kawan-kawannya yang lain pun
segera menyusul di belakangnya. Mereka pun kemudian berhenti beberapa langkah
dari bayangan hitam yang masih saja terayun-ayun.
“He, apakah
kau yang disebut hantu?” bertanya pemimpin rombongan itu.
Bayangan itu
sama sekali tidak menjawab.
“He, apakah
kau dapat mendengar dan dapat berbicara seperti manusia. Kalau kau hantu,
apakah maksudmu?”
Bayangan itu
masih tetap berdiam diri sambil berayun-ayun seenaknya. Pemimpin peronda itu
menarik nafas dalam-dalam. Bagaimana ia harus berbicara dengan hantu-hantu.
“Menurut
pendengaranku,” berkata salah seorang dari para peronda itu,
“hantu-hantu
dapat berbicara seperti manusia. Ternyata orang-orang yang kesurupan dapat juga
berbicara. Nah, sekarang apakah hantu yang satu ini mau berbicara atau tidak?”
Tetapi
bayangan itu masih tetap diam.
“Mungkin
hantu-hantu hanya dapat berbicara apabila ia merasuk ke dalam tubuh seseorang,”
berkata yang lain.
“Aku
bersedia,” seorang peronda yang masih muda menyahut,
“kalau hantu
itu akan meminjam tubuhku untuk dapat berbicara, aku tidak berkeberatan. Tetapi
jangan dirusakkan. Aku masih memerlukannya.”
“Hus,” desis
yang lain.
Namun bayangan
itu masih tetap berdiam diri, sambil masih saja terayun-ayun di dalam
kegelapan.
“Bukan hantu,”
desis salah seorang dari peronda itu dengan tiba-tiba, “aku kira seekor kera
raksasa. Marilah, kita tangkap saja.”
“Tunggu,”
berkata pemimpin peronda itu. Meskipun demikian ia sendiri maju beberapa
langkah di atas punggung kudanya. Namun tiba-tiba ia mencabut pedangnya.
Katanya,
“Ayo, jawablah
pertanyaanku. Apakah kau termasuk dalam jenis hantu yang akan mengganggu
perjalanan kami?”
Bayangan itu
tidak menyahut. Tetapi tiba-tiba ia meluncur jatuh di tanah. Sekali lagi kuda
pemimpin, rombongan itu terkejut. Namun penunggangnya masih berhasil
menenangkannya. Kini para peronda itu melihat selingkar bayangan hitam yang
tergolek di tanah, seperti seonggok padas. Namun dengan demikian mereka mulai
percaya, bahwa mereka memang berhadapan dengan hantu.
“Apa yang
harus kita lakukan?” desis salah seorang dari mereka.
“Apakah kita
perlu memanggil Kiai Damar? Mungkin ia dapat berbicara dengan hantu ini.”
Tetapi tidak
seorang pun di antara para peronda itu yang menanggapinya. Semuanya sedang
ditegangkan oleh seonggok bayangan hitam yang terletak di tanah. Di dalam
kegelapan malam, tampaklah bayangan itu bergerak-gerak seolah-olah tarikan
nafas. Karena tidak ada yang menjawab, maka peronda itu mengulanginya,
“Apakah aku
harus memanggil Kiai Damar?”
Belum lagi ada
yang, menjawab, maka tiba-tiba bayangan hitam itu melenting tinggi. Kemudian
jatuh melingkar pula di tanah seperti semula.
“Tidak ada
gunanya memanggil Kiai Damar,” berkata pemimpin peronda itu.
“Mungkin Kiai
Damar mampu berbicara dengan cara yang tidak kita ketahui.”
Pemimpin
peronda itu merenung sejenak. Lalu,
“Baiklah.
Kalau hantu ini bersedia menunggu.”
“Marilah kita
kepung, jangan sampai hantu itu lolos sebelum Kiai Damar datang kemari.”
Pemimpin
peronda itu tidak menjawab. Ia berpaling ketika salah seorang dari mereka
segera meninggalkan tempat itu kembali ke pondok Kiai Damar.
“Kawani anak
itu,” desis pemimpin peronda kepada seorang peronda yang lain.
Maka dua ekor
kuda telah berjalan secepat-cepat dapat dilakukan kembali ke pondok Kiai Damar.
Ketika mereka sampai di muka pintu, maka pintu itu sudah tertutup rapat. Karena
itu, maka salah seorang dari mereka segera mengetok sambil memanggil, “Kiai,
Kiai Damar.”
Agaknya Kiai
Damar yang baru saja menutup pintu masih belum tidur. Dengan suara yang parau
itu bertanya,
“Siapa di
luar?”
“Aku, para
peronda.”
“He? Baru saja
ada beberapa orang peronda datang kemari.”
“Itulah kami.”
“Kenapa kalian
kembali?”
“Ada sesuatu
yang penting, Kiai.”
“Apa?”
“Kami telah
bertemu dengan hantu-hantu itu.”
“He?” Kiai
Damar terkejut sehingga dengan serta-merta ia meloncat dan membuka pintu. Di
dalam kegelapan ia melihat dua orang peronda yang sedang turun dari kuda
mereka.
“Apakah Ki
Sanak mengatakan bahwa Ki Sanak telah bertemu dengan hantu?”
“Ya. Kami
telah bertemu dengan sesosok hantu.”
“Itu tidak
mungkin. Tidak mungkin.”
“Kenapa tidak
mungkin, Kiai? Daerah ini adalah daerah yang angker. Hampir setiap orang di
daerah ini berbicara tentang hantu. Bahkan Kiai Damar sendiri berbicara pula
tentang hantu. Nah, kami telah dicegat oleh sesosok hantu. Tetapi kami tidak
dapat mengajaknya berbicara. Karena itu kami segera kembali kepada Kiai. Kami
ingin mengajak Kiai bersama kami untuk mencoba berbicara. Bukankah Kiai
mempunyai cara tersendiri untuk dapat berbicara dengan hantu-hantu itu?”
“Tetapi itu
tidak mungkin. Kalian tidak akan bertemu dengan hantu yang mana pun juga.
Mereka telah berjanji untuk tidak mengganggu kalian.”
“Tetapi kami
benar-benar telah bertemu dengan salah satu dari mereka.”
“Apakah
bentuknya?”
“Seperti
seonggok sampah atau katakanlah sebongkah batu yang lunak, semula hantu itu
berayun-ayun pada sebatang pohon, kemudian menjatuhkan diri melingkar di
tanah.”
Wajah Ki Damar
menjadi tegang. Namun mulutnya masih berkata,
“Tidak
mungkin. Tidak mungkin.”
“Kenapa tidak
mungkin? Kalau Kiai tidak percaya, marilah kita lihat. Kedatanganku memang
bermaksud untuk mengajak Kiai serta dengan kami.”
Sejenak Kiai
Damar berdiri termangu-mangu. Namun kemudian ia menggeram,
“Aku akan
melihatnya.”
“Marilah. Kita
naik berdua.”
Kiai Damar pun
kemudian segera meloncat naik ke punggung kuda bersama seorang peronda. Tanpa
menutup pintu rumahnya, maka mereka pun segera pergi ke tempat hantu yang telah
mengganggu para peronda itu.
Sementara itu,
para peronda pun menjadi ragu-ragu. Benda hitam itu masih saja teronggok diam.
Di dalam gelap malam, para peronda itu tidak dapat melihat dengan jelas, apakah
sebenarnya yang sedang dihadapinya. Sedang untuk lebih mendekat lagi mereka pun
ragu-ragu.
“He, hantu,”
pemimpin peronda itu hampir berteriak,
“kenapa kau
diam saja? Apakah kau memang tidak mempunyai mulut?”
Onggokan benda
hitam itu sama sekali tidak menjawab. Sekali lagi benda itu melenting. Namun
kemudian diam. Perlahan-lahan pemimpin peronda itu turun dari kudanya, diikuti
oleh yang lain.
“Kepung benda
ini,” katanya, “jangan sampai lolos sampai Kiai Damar datang. Ia akan dapat
berbicara dengan hantu ini.”
Kawan-kawannya
pun kemudian bergerak mengitari benda itu setelah mereka menambatkan kuda-kuda
mereka. Namun langkah mereka tertegun ketika benda hitam itu pun berguling
menjauhi, seakan-akan benda itu menyadari bahwa para peronda itu sedang
bergerak mengepungnya. Pemimpin peronda itu mengerutkan keningnya. Namun ia
tetap pada pendiriannya,
“Cepat. Jangan
biarkan lari.”
Kawan-kawannya
pun berloncatan lebih cepat lagi, berusaha untuk mengepung benda hitam yang
mereka anggap hantu itu. Namun tiba-tiba mereka terkejut. Ternyata benda itu
dengan tanpa diduga telah menyerang salah seorang dari mereka yang berusaha
mengepungnya. Meskipun benda itu nampaknya hampir tidak bergerak, tetapi
sebutir batu telah mengenai dada salah seorang peronda sehingga ia menyeringai
kesakitan.
“Kenapa?”
“Dadaku.”
Ternyata
serangan itu telah membuat para peronda menjadi lebih berhati-hati. Meskipun
akibatnya tidak berbahaya, namun serangan itu merupakan peringatan kepada para
peronda, bahwa hantu itu dapat berbuat sesuatu atas mereka. Hantu itu bukan
sekedar seonggok sampah yang mati. Dengan demikian, maka setiap orang kini
telah menggenggam senjata masing-masing. Meskipun demikian, mereka sama sekali
tidak ingin mengurungkan niatnya, mengepung benda yang mengandung rahasia itu. Namun
mereka kini melangkah dengan penuh kewaspadaan. Senjata mereka telah siap untuk
menghadapi setiap kemungkinan. Tetapi agaknya bayangan hitam itu tidak pula
tinggal diam. Sekali-sekali benda itu berguling menjauh. Kemudian berhenti
diam. Bahkan sekali-sekali melenting dan kembali jatuh di tanah. Dalam
ketegangan itulah kemudian terdengar derap kaki-kaki kuda mendekat. Serentak
para peronda itu berpaling. Mereka pasti bahwa yang datang itu adalah para
peronda yang telah menemui Kiai Damar. Ternyata dugaan mereka tidak salah.
Sejenak kemudian kedua ekor kuda itu pun telah semakin dekat, dan kemudian
berhenti di tempat kawan-kawannya menambatkan kudanya. Karena peronda itu tidak
segera melihat kawan-kawannya yang sudah bergeser dari tempatnya, maka salah
seorang dari keduanya pun berkata lantang,
“He, di
manakah kalian? Aku datang bersama Kiai Damar.”
“Di sini,”
jawab salah seorang peronda yang sedang berusaha mengepung bayangan hitam itu.
Kedua peronda
yang mengajak Kiai Damar itu pun segera berloncatan dari kuda-kuda mereka
bersama Kiai Damar. Dengan tergesa-gesa mereka berlari-lari mendekat ke arah
suara itu.
“Apa yang
kalian lihat?” bertanya Kiai Damar. Tetapi alangkah kagetnya para peronda itu.
Ketika mereka sedang sibuk menunggu kedatangan Kiai Damar, dan serentak
berpaling ke arah langkah kakinya, maka mereka tidak sempat memperhatikan
bayangan hitam itu lagi. Mereka tidak melihat bayangan itu menggelinding dan
hilang di dalam gerumbul. Yang mereka ketahui kemudian, hantu itu tiba-tiba telah
hilang di dalam kegelapan malam.
“Apa yang
kalian lihat?” bertanya Kiai Damar.
“Di situ. Kami
melihat sesuatu di kegelapan ini.”
“Ya di mana,”
desak Kiai Damar yang sudah berdiri di antara para peronda yang sudah memegang
senjata di tangan mereka.
Para peronda
itu saling berpandangan. Sejenak mereka tidak dapat menjawab pertanyaan Kiai
Damar. Tetapi kini mata mereka melekat pada kegelapan malam, di mana mereka
melihat bayangan hitam itu yang terakhir.
“Di mana?”
sekali lagi Kiai Damar mendesak.
Salah seorang
dari peronda itu menunjuk dengan ujung pedangnya, “Di situ. Di situlah aku
melihat yang terakhir kali. Kemudian hilang tidak berbekas.”
“Omong
kosong,” teriak Kiai Damar.
“Kiai,”
berkata pemimpin peronda itu,
“Kiai jangan
menuduh bahwa kami telah berbohong. Kami memang melihat sesuatu di dalam
kegelapan ini. Tidak begitu jelas memang. Tetapi menurut pengamatan kami, kami
telah melihat seonggok benda yang kehitam-hitaman.”
“Kalian telah
bermimpi.”
“Kami tidak
akan dapat mimpi bersama-sama dan serupa.”
“Tetapi aku
tidak percaya.”
“Kenapa Kiai
tidak percaya?”
“Hari ini
tidak akan ada hantu, yang mana pun juga.”
“Tetapi kami
sudah melihatnya.”
Kiai Damar
tercenung sejenak. Tiba-tiba saja terasa bulu-bulu tengkuknya meremang. Sudah
sekian lama ia tinggal di dalam hutan yang gelap dan terasing. Namun baru saat
itulah ia benar-benar telah dipengaruhi oleh ceritera tentang hantu yang lain.
Hantu yang seolah-olah bukan kelompok hantu-hantu yang sudah dikenalnya.
“Ki Sanak,”
berkata Kiai Damar,
“aku mengenal
hantu di daerah Mataram ini dengan baik. Dari tingkat yang paling rendah,
bekasakan, tetekan, ilu-ilu, banaspati, sampai hantu yang paling tinggi
martabatnya, jin, setan, peri, prayangan,” Kiai Damar berhenti sejenak. Lalu,
“di antara
mereka, tidak ada jenis hantu yang ujudnya seperti seonggok batu padas yang
lunak kehitam-hitaman.”
“Tetapi Kiai,
bukankah hantu itu dapat merubah ujudnya sesuai dengan kehendak mereka pada
suatu saat?”
“Tetapi pada
dasarnya mereka telah memiliki bentuk yang tetap.”
Salah seorang
peronda yang masih muda berkata,
“Kalau begitu,
mungkin kita telah berjumpa dengan hantu dari daerah lain. Dari Pajang
misalnya. Atau dari Kali Praga atau dari Gunung Merapi.”
“Jangan
mengigau,” bentak Kiai Damar yang tampaknya menjadi tegang.
Dalam pada itu,
selagi mereka sedang sibuk menjajagi jenis hantu yang mereka lihat, tiba-tiba
mereka mendengar gemeresak daun yang terguncang. Kemudian disusul oleh sebuah
bunyi yang tidak dapat mereka mengerti, tidak begitu jauh dari tempat mereka
berdiri. Para peronda itu seolah-olah membeku di tempatnya. Namun
senjata-senjata mereka sajalah yang kemudian bergetar di dalam genggaman. Tetapi
Kiai Damar agaknya tidak tinggal diam. Tiba-tiba saja ia melenting meloncat ke
arah suara itu. Para peronda saling berpandangan sejenak. Dada mereka menjadi
berdebar-debar dan nafas mereka pun tertahan-tahan. Mereka hanya dapat
memandang dengan tanpa berkedip Kiai Damar yang dengan lincahnya menyusup ke
dalam gelap, dan kemudian hilang ditelan oleh tumbuh-tumbuhan liar yang rimbun.
Sejenak para peronda itu tidak mendengar sesuatu. Karena itu mereka menjadi
cemas, apakah kira-kira yang akan terjadi dengan Kiai Damar yang sedang
berusaha untuk mengejar hantu yang agaknya asing baginya. Namun ternyata bahwa
Kiai Damar pun termasuk orang yang luar biasa. Para peronda itu tidak dapat
mengetahui, ke mana ia pergi. Karena itu, maka mereka pun tidak dapat
mengikutinya untuk melihat, apakah yang telah dilakukannya.
Dalam pada
itu, Kiai Damar pun dengan kemampuan yang ada padanya, berloncatan di antara
semak-semak dan gerumbul-gerumbul liar, menuju ke arah bunyi yang tidak
dimengertinya. Beberapa saat kemudian langkahnya pun terhenti ketika ia
mendengar sesuatu beberapa langkah daripadanya. Ia sudah menduga, bahwa ia
telah sampai ke tempat yang ditujunya. Karena itu maka dengan hati-hati ia
berdiri tegak, sambil memperhatikan keadaan di sekitarnya dengan segenap
inderanya.
“Tak ada
gunanya kau bersembunyi,” desisnya, “aku tahu, kau berada di balik pohon
cangkring.”
Sejenak tidak
terdengar jawaban. Karena itu maka Kiai Damar mengulanginya,
“Jangan
bersembunyi di balik pohon cangkring. Aku mungkin akan membuat pertimbangan
yang wajar kalau kau menampakkan dirimu.”
Tetapi tidak
seorang pun yang datang. Sedang suara tarikan nafas itu masih didengarnya. Dari
balik pohon cangkring. Akhirnya Kiai Damar kehilangan kesabaran. Ia-lah yang
kemudian melangkah dengan hati-hati mendekati pohon cangkring yang rimbun.
Tetapi ia tertegun sejenak. Ia tiba-tiba saja telah kehilangan suara yang
memberinya petunjuk, bahwa ada seseorang yang bersembunyi di sekitarnya.
Apalagi setelah ia sampai di sebelah pohon cangkring, ia tidak melihat
seseorang. Tarikan nafas yang didengarnya itu pun seakan-akan telah lenyap.
“He, Jangan
lari.”
Tidak ada
jawaban. Tetapi kini ia mendengar suara nafas itu di belakang gerumbul yang
lain.
Kemarahan yang
semakin lama semakin memanasi dadanya, telah membuat Kiai Damar semakin tidak
bersabar. Dengan loncatan yang cepat ia melingkari gerumbul yang kelam. Namun
sekali lagi ia tidak menemukan sesuatu. Tidak ada suara tarikan nafas, tidak
ada seseorang, dan tidak ada apa-apa.
“Jangan
bersembunyi, jangan bersembunyi!” suaranya lantang.
Tetapi tidak
ada jawaban apa pun. Di kejauhan, para peronda dapat menangkap suara Kiai
Damar. Tetapi mereka tidak berhasrat sama sekali untuk mendekat. Mereka
menganggap bahwa yang sedang terlibat kini adalah orang yang mengerti dan tahu
kedudukan lawannya. Yaitu hantu-hantu. Kiai Damar sendiri, tiba-tiba saja telah
terkejut ketika suara nafas itu terdengar dekat sekali di belakangnya. Dengan
serta-merta ia meloncat, membalikkan tubuhnya dan siap menghadapi segala
kemungkinan. Darahnya tersirap ketika ia melihat sebuah bayangan hitam
teronggok di tanah. Segera ia mengerti, bahwa inilah yang di maksud oleh para
peronda. Hantu ini pulalah yang agaknya telah mengganggunya.
“He, kaukah
yang telah mengganggu para peronda itu?” Kiai Damar bertanya lantang.
Benda yang
hitam teronggok di tanah itu sama sekali tidak menjawab. Namun jelas bagi Kiai
Damar, bahwa benda hitam itu bernafas seperti manusia. Betapa pun lirihnya,
namun Kiai Damar dapat mendengar desah yang teratur.
“He, kenapa
kau diam saja?” desak Kiai Damar. Namun tiba-tiba ia terdiam. Para peronda itu
menganggapnya sebagai seseorang yang mampu berbicara dengan hantu-hantu. Namun
tiba-tiba kini ia berhadapan dengan sesuatu yang tidak dapat diajaknya
berbicara.
Terngiang
kata-kata salah seorang dari para peronda itu.
“Kalau begitu
mungkin kita telah berjumpa dengan hantu dari daerah lain. Dari Pajang misalnya
atau dari Kali Praga atau dari Gunung Merapi.”
Tiba-tiba
tanpa sesadarnya ia bertanya,
“He, apakah
kau hantu dari daerah lain? Bukan dari Alas Mentaok?”
Kiai Damar
terkejut ketika ia mendengar suara menggeram. Ternyata seonggok benda itu telah
mengeluarkan semacam bunyi yang asing.
“Benar he? Kau
datang dari luar Alas Mentaok?”
Sekali lagi
benda itu menggeram.
“Kalau kau
mengerti aku, dengar pertanyaanku. Kalau ya, kau menggeram. Kalau tidak, kau
diam saja,” Kiai Damar berhenti sejenak. Lalu,
“Kau datang
dari Kali Praga?”
Benda itu diam
saja.
“Dari Gunung
Sepikul?” Benda itu masih diam saja.
“Dari
Pesisir?”
Benda itu diam
saja.
“Dari Gunung
Merapi?”
Ternyata benda
itu menggeram, sehingga Kiai Damar dapat mengambil kesimpulan bahwa hantu itu
datang dari Gunung Merapi.
“Apa maksudmu
datang, kemari he?”
Tidak ada
jawaban. Tapi benda itu hanya menggeram saja.
“Persetan,”
desis Kiai Damar,
“pergilah.
Jangan mengganggu daerah ini. Daerah ini adalah daerah Hutan Mentaok. Kau tidak
boleh berada di sini.”
Tetapi tidak
ada jawaban apa pun juga.
“Pergi. Kau
harus pergi.”
Benda itu diam
saja. Kiai Damar menjadi marah sekali. Tiba-tiba ia menarik keris pusakanya. Sambil
maju selangkah ia berkata,
“Tidak ada
makhluk yang dapat menahan kekuasaan keris ini. Kau pun tidak, meskipun kau
dapat membuat dirimu menjadi lebih halus dari wadag yang kau perlihatkan.”
Selangkah demi
selangkah Kiai Damar maju mendekati benda yang kehitam-hitaman, yang menyebut
dirinya hantu dari Gunung Merapi itu. Namun benda itu sama sekali tidak
bergerak, seolah-olah memang menunggu Kiai Damar mendekatinya.
“Aku masih
memberimu kesempatan,” desis Kiai Damar,
“kalau kau
tidak segera pergi, aku akan membelah tubuhmu dengan pusaka ini.”
Seonggok benda
hitam itu masih tetap berdiam diri. Namun di dalam kegelapan malam, Kiai Damar
yang menjadi semakin dekat melihat bahwa benda itu telah mulai bergerak-gerak. Dengan
demikian, maka Kiai Damar pun menjadi semakin hati-hati. Keris di tangannya
telah bergetar. Keris itu adalah keris pusaka yang bagi Kiai Damar, memberikan
kemantapan apabila ia sedang berhadapan dengan bahaya yang paling besar. Demikianlah,
maka pada suatu saat Kiai Damar telah benar-benar kehilangan kesabarannya.
Karena itu, maka ia pun segera meloncat semakin dekat sambil mengacukan
senjatanya. Tetapi benda yang hitam itu pun kemudian berguling menjauhinya,
secepat ia meloncat maju.
“Jangan lari.
Kau sudah kehilangan semua kesempatan,” berkata Kiai Damar sambil mengejar
benda itu.
Namun
tiba-tiba benda yang kehitam-hitaman itu melenting. Dengan cepatnya benda
itulah yang mendahului menyerang dengan garangnya. Dalam kegelapan malam Kiai
Damar melihat, seakan-akan sebuah sayap yang mengembang. Namun, kemudian
meluncur seperti sebatang kayu. Kiai Damar tidak menyangka bahwa benda itu akan
menyerang begitu cepatnya. Karena itu, maka ia tidak mempunyai kesempatan untuk
menghindar ketika pinggulnya tersentuh tubuh hantu itu. Beberapa langkah Kiai
Damar terdorong surut. Dengan susah payah ia mencoba menjaga keseimbangannya.
Namun dorongan yang keras itu telah membuatnya jatuh di atas lututnya. Dengan
marahnya Kiai Damar menggeram. Secepat kilat ia meloncat berdiri. Tetapi sekali
lagi ia terkejut. Dengan sayap yang mengembang, hantu itu telah menyerangnya
kembali. Kali ini justru lebih dahsyat, sehingga sekali lagi Kiai Damar
terpelanting jatuh di tanah. Dengan susah payah ia berusaha untuk tetap
menggenggam senjatanya. Satu-satunya kekuatan yang dibanggakannya saat itu
adalah kerisnya. Namun keris itu terjatuh juga di tanah. Karena itu, secepatnya
ia berguling ke arah kerisnya yang tidak begitu jauh dari padanya. Ketika keris
itu sudah tergenggam di tangannya kembali, maka ia pun segera berusaha untuk
bangkit berdiri. Meskipun lambung dan pergelangan tangannya masih terasa sakit,
namun ia pun segera berhasil berdiri tegak di atas tanah. Tetapi dadanya
menjadi semakin berdebar-debar. Ia tidak melihat lagi lawannya. Bahkan ia tidak
mendengar suara apa pun yang dapat memberinya petunjuk, kemana bayangan hitam
itu pergi.
“Setan licik,”
teriaknya.
Namun sejenak
kemudian, Kiai Damar menjadi ragu-ragu. Betapa gelapnya malam, tetapi ternyata
inderanya yang cukup tajam dapat menangkap sesuatu yang mencurigakannya.
Sentuhan hantu itu pun terasa aneh pula padanya. Sentuhan itu tidak bedanya
dengan sentuhan wadag manusia biasa.
“Sama sekali
bukan hantu,” geramnya, “tentu seseorang yang mencoba untuk membuat onar.”
Namun Kiai
Damar menjadi ragu-ragu lagi. Desisnya,
“Tetapi siapa.
Siapa yang mempunyai kemampuan begitu tinggi?”
Kiai Damar
yang mengaku dirinya mempunyai hubungan yang akrab dengan hantu-hantu itu
menjadi ragu-ragu. Namun kehadiran makhluk itu, apakah ia hantu apakah ia
manusia telah membuatnya ragu-ragu.
Selagi ia
berdiri termangu-mangu itulah, ia mendengar suara berbisik,
“Jangan
bingung, Kiai Damar. Apakah kau ingin melihat kenyataanku?”
“He, kau dapat
berbicara?”
“Ya, aku
memang dapat berbicara.”
“Ayo, jangan
lari. Kalau kau memang ingin berhadapan dengan Kiai Damar.”
“Baiklah. Aku
memang ingin berhadapan dengan Kiai Damar yang selama ini merasa dirinya
bersahabat dengan hantu-hantu. Tetapi kau benar, bahwa aku datang dari luar
Alas Mentaok. Aku datang dari Gunung Merapi.”
Kiai Damar
menggeram. Tetapi ia menjadi berdebar-debar ketika ia melihat sesosok tubuh
yang pendek berjalan timpang mendekatinya, “Inilah aku dalam ujudku yang
sebenarnya,” berkata makhluk pendek dan timpang itu.
“Hem,” desis
Kiai Damar, “kau berbentuk seperti manusia juga. Tetapi kenapa kau berkerudung
kain?”
“Ini adalah
kelengkapanku.”
“Bohong. Kau
masih akan mengelabuhi aku. Ayo, tunjukkan bentukmu yang wajar.”
“Inilah
bentukku.”
Kiai Damar
mengerutkan keningnya. Suara yang tinggi melengking, membuat telinganya menjadi
sakit.
“Apakah
sebenarnya maksudmu mengganggu aku?” bertanya Kiai Damar.
“Tidak
apa-apa. Tetapi aku memang sedang mengemban tugas.”
“Omong
kosong.”
“Kiai Damar,”
berkata makhluk itu,
“bukankah
namamu Kiai Damar yang merasa dirimu mampu berbicara dan mempersoalkan nasib
hutan Mentaok ini dengan Kerajaan Mataram Kajiman? Nah, ketahuilah. Aku adalah
Kiai Dandang Wesi. Dahulu di masa kecilnya, aku adalah pemomong Raden
Sutawijaya yang kini bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar. Tetapi umurku tidak
mengijinkan aku untuk selalu melayaninya. Pada suatu saat, aku merasa bahwa
ajal telah sampai. Itulah sebabnya, aku mohon ijin kepadanya untuk bertapa di
kaki Gunung Merapi. Akhirnya aku menemukan bentukku yang sekarang,” makhluk itu
berhenti sejenak. Lalu,
“Dan kini aku
mendapat tugas untuk menemui Raja Mataram Kajiman. Pesan yang aku bawa dari Sri
Maharaja Bantar Bumi, Raja Kajiman di Gunung Merapi, yang sebenarnya adalah
muridku, agar Raja di Alas Mentaok, tidak mengganggu usaha momonganku, Mas
Ngabehi Loring Pasar, membuka hutan ini untuk dijadikan sebuah negeri bagi
manusia wadag. Siapa saja yang berani menghalanginya, maka persoalannya akan
berkepanjangan, karena aku dan muridku, Sri Maharaja Bantar Bumi tidak akan
tinggal diam.”
Kata-kata
hantu yang menyebut dirinya bernama Dandang Wesi itu telah menggetarkan dada
Kiai Damar. Sesaat ia meragukannya, namun sesaat kemudian jantungnya menjadi
berdebar-debar. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa pada suatu saat ia akan
berhadapan dengan Kerajaan Hantu yang lain, yang mengaku Kerajaan Hantu di
Gunung Merapi dan dipimpin oleh seorang Raja pula. Karena Kiai Damar terpaku
saja di tempatnya tanpa menjawab, maka Dandang Wesi itu berkata,
“Nah,
kebetulan saja kita bertemu. Kalau kau masih ingin berkelahi, marilah aku
layani sejenak. Sebab aku harus segera menghadap Perabu Talangsari dari
Kerajaan Mataram yang masih sederhana. Kerajaan Mataram ini masih saja seperti
Kerajaan Mataram lama berabad-abad yang lampau. Cara berpikir mereka pun masih dipengaruhi
oleh cara berpikir yang sederhana. Nah, dengan makhluk yang demikian itulah kau
berhubungan. Berbeda dengan Kerajaan yang tumbuh di Gunung Merapi saat ini,
yang dipimpin oleh Sri Maharaja Bantar Bumi. Kalau suatu ketika kau
berkesempatan marilah melihat-lihat kerajaan yang baru berkembang itu, sejalan
perkembangan Tanah Mataram baru ini.”
Kiai Damar
menjadi semakin bingung. Apalagi ketika hantu yang menyebut dirinya bernama
Dandang Wesi itu bertanya,
“He, Kiai
Damar. Kalau kau memang benar mampu berhubungan dengan Raja Mataram Kajiman,
coba sebutkan bagaimanakah bentuk Prabu Talangsari? Bentuk sewajarnya, dan
bentuk yang disukainya?”
Kiai Damar
seolah-olah terbungkam. Ia berdiri dengan mata terbelalak. Namun demikian
kerisnya masih digenggamnya erat-erat.
“Aku hormat
kepadamu, meskipun seorang pembohong,” berkata Dandang Wesi,
“kau termasuk
seseorang yang berani, seperti para peronda itu. Sekarang, aku akan meneruskan
perjalananku ke pusat kota. Mudah-mudahan Perabu Talangsari dapat menerima
kehadiranku dan mendengarkan nasehat dan pesan Sri Maharaja Bantar Bumi, supaya
Kerajaan Mataram ini tidak menyesal.”
“Tetapi,
tetapi ….,” berkata Kiai Damar dengan suara bergetar,
“apakah kau
akan menanyakan tentang aku?”
“Kenapa?”
“Aku memang
belum pernah menghadap Perabu Talangsari. Tetapi senapati-senapatinya lah yang
selama ini berhubungan dengan aku.”
“Aku tidak
akan berbicara tentang kau. Terlampau kecil namamu untuk dibicarakan di hadapan
Raja-raja. Yang akan aku sebut namanya adalah Ki Gede Pemanahan dan
Sutawijaya.” Kiai Dandang Wesi berhenti sejenak,
“Adalah
pikiran yang bodoh sekali, seperti yang pernah kau katakan, bahwa pohon-pohon
besar itu adalah bangunan-bangunan yang penting bagi kerajaan. Itu adalah
pikiran beberapa abad yang lalu. Tetapi semuanya sekarang sudah lain. Inilah
yang akan aku beritahukan kepada Perabu Talangsari.”
Kiai Damar
tidak menyahut.
“He, kenapa
kau diam saja?” tiba-tiba hantu pendek itu membentak.
Kiai Damar
tergagap karenanya.
“Kau sudah
menghina aku,” tiba-tiba saja hantu pendek dan timpang itu menjadi sangat
marah. Lalu,
“Kau tidak
percaya kepadaku? Kepada semua ceritaku? Terkutuklah kau.”
Sebelum Kiai
Damar menjawab, tiba-tiba hantu pendek itu telah menyerangnya. Kiai Damar sama
sekali tidak menyangka bahwa hal itu akan terjadi. Karena itu, ia tidak dapat
berbuat apa-apa ketika dadanya seakan-akan retak karenanya. Dengan kerasnya ia
terpelanting dan jatuh terlentang. Namun kali ini kerisnya masih tetap berada
di genggamannya. Sejenak ia menyeringai kesakitan. Namun kemudian ia mencoba
untuk berdiri sambil menggenggam keris pusakanya. Tertatih-tatih ia berusaha.
Dan akhirnya ia berhasil tegak di atas kedua kakinya. Tetapi hantu pendek itu
sudah lenyap. Yang terdengar hanyalah suaranya di antara desau angin.
“Maaf, Kiai
Damar. Aku tidak sempat berurusan dengan kau. Selamat malam. Aku akan segera
menemui Perabu Talangsari.”
Kiai Damar
menggeram. Tetapi hatinya benar-benar dicengkam oleh keragu-raguan yang
dahsyat. Kadang-kadang ia menjadi ngeri. Namun kadang-kadang ia menghentak-hentakkan
kakinya dan menggeretakkan giginya.
“Persetan,” ia
menggeram. Namun bersamaan dengan itu, bulu-bulu ditengkuknya serasa meremang.
Sejenak
kemudian, dengan penuh kebimbangan ia melangkahkan kakinya. Ditemuinya para
peronda yang menungguinya dengan cemas. Ketika mereka melihat Kiai Damar datang
sambil menggenggam kerisnya, para peronda itu bertanya,
“Apa yang
sudah terjadi, Kiai? Kami mendengar lamat-lamat kalian berbicara. Tetapi kami
tidak mendengar dan tidak mengerti pembicaraan itu.”
“Aku sudah
berhasil mengajaknya berbicara,” berkata Kiai Damar,
“bahasanya
memang agak lain, karena hantu itu datang dari Gunung Merapi.”
“O.”
“Tetapi
semuanya sudah selesai. Semuanya sudah berakhir. Hantu itu tidak akan
mengganggu lagi.”
“Jadi, apakah
hubungannya dengan hantu-hantu alas Mentaok.”
Kiai Damar
menarik nafas,
“Aku tetap
pada pendirianku. Sebaiknya Ki Gede Pemanahan menunda dahulu usahanya untuk
memperluas Tanah Mataram yang baru ini.”
“Begitu?”
“Ya.
Selanjutnya, biarlah aku yang menyelesaikan.”
Tetapi sekali
lagi seluruh bulu-bulu di tubuh Kiai Damar meremang ketika ia mendengar suara
tertawa lamat-lamat, seolah-olah sedang mentertawakan kata-katanya.
“Sudahlah.
Kembalilah menghadap Ki Gede Pemanahan,” berkata Kiai Damar kemudian,
“aku akan
kembali ke pondokku.”
“Apakah kami
harus mengantar dengan kuda?”
“Tidak, aku
akan berjalan kaki.”
Para peronda
itu pun kemudian minta diri, dan Kiai Damar pun berjalan kembali ke pondoknya
dengan jantung yang berdebar-debar. Kerisnya masih saja tetap di dalam genggaman.
Ia tidak berani menyarungkannya, apabila setiap saat ia bertemu dengan hantu
pula. Namun demikian, di sepanjang langkahnya kembali ke pondoknya, pikirannya
selalu dipengaruhi oleh prayangan yang menyebut dirinya Kiai Dandang Wesi yang
dahulu semasa hidupnya sebagai manusia, adalah pemomong Sutawijaya selagi masih
kanak-kanak.
“Ia tentu
orang yang sakti, yang di dalam olah tapanya telah mrayang dengan badan
wadagnya,” desis Kiai Damar,
“sehingga
meskipun ia dapat berbentuk lembut, namun sentuhan wadag manusianya masih
terasa di dalam serangan-serangannya yang seakan-akan hanya bermain-main saja
itu.”
Dada Kiai
Damar menjadi berdebar-debar. Bahkan tanpa sesadarnya ia berkata,
“Jika hantu
Gunung Merapi itu benar-benar ikut campur, maka semua rencana Panembahan Jati
Srana akan gagal. Dan yang akan terjadi adalah benturan antara dua kelompok
hantu dari Kerajaan Hantu yang besar. Alas Mentaok dan Gunung Merapi.”
Kiai Damar
menjadi termangu-mangu. Ia sendiri tidak tahu, betapa ia menjadi bingung dan
cemas. Keragu-raguan yang dahsyat telah melanda dadanya, memecahkan
rencana-rencananya sendiri. Apa yang dikatakannya tentang hantu-hantu di Alas
Mentaok kini tiba-tiba menjadi masalah baginya. Masalah yang mencemaskannya.
Sementara itu,
Kiai Gringsing berjalan tersuruk-suruk mendekati gubug Kiai Damar. Ketika ia
menengadahkan wajahnya, ia menjadi gelisah, karena pertanda bintang-bintang di
langit mengatakan kepadanya, bahwa malam telah melampaui pertengahannya.
“Mudah-mudahan
Agung Sedayu tidak mengambil suatu tindakan apa pun di barak,” katanya di dalam
hati.
“Aku masih
belum berhasil bertemu dengan Kiai Damar.”
Kiai Gringsing
pun kemudian mengendap semakin dekat di balik gubug Kiai Damar. Namun ketika
dilihatnya gubug itu masih kosong, maka ia pun segera meloncat ke depan. Dengan
kepala tunduk ia duduk bersila di muka pintu gubug yang masih terbuka.
Kiai Damar
yang berjalan sambil merenung, tiba-tiba terlonjak melihat sesosok tubuh yang
kehitam-hitaman duduk di muka pintu gubugnya. Hampir saja ia menyerang dengan
keris yang masih digenggamnya. Namun ketika ia melihat bayangan itu mengacu-acukan
tangannya sambil memohon,
“Ampun Kiai,
ampun. Aku orang baik,” maka Kiai Damar pun mengurungkan niatnya.
“Siapa kau
he?” bentak Kiai Damar.
“Ampun, Kiai.
Aku datang dari barak para penebang hutan.”
“Oh, apa
maksudmu?”
“Aku akan
menghadap Kiai. Anakku sakit, Kiai.”
“Kenapa?”
“Aku tidak
tahu. Tetapi menurut seorang dukun yang tinggal di sebelah barak kami, anak itu
keracunan.”
“Kenapa kau
kemari?”
“Dukun itu
menyuruhku datang kemari. Menurut dukun itu, selain keracunan anakku mendapat
gejala penyakit yang lain.”
“Apalagi kata
dukun itu?”
“Aku disuruh
membawa sebungkus obat kepada Kiai.”
“Lihat. Bawa
obat itu kemari.”
Kiai Damar
yang masih berdebar-debar itu pun kemudian melangkah memasuki gubugnya. Sebuah
lampu minyak yang terayun-ayun oleh angin malam yang lemah menerangi ruangan
yang sempit itu. Kiai Gringsing pun kemudian dengan ragu-ragu memasuki ruangan
itu pula sambil membawa sebungkus obat yang didapatnya dari dukun yang tinggal
di sebelah baraknya. Nafas Kiai Damar masih belum berjalan wajar. Sekali-sekali
ia masih menarik nafas panjang-panjang untuk menenteramkan hati. Setelah
menyarungkan kerisnya, maka Kiai Damar pun berkata,
“Kenapa kau
datang di malam larut begini?”
“Aku terlampau
cemas Kiai, anakku sakit.”
Kiai Damar pun
kemudian menerima sebungkus obat yang diserahkan oleh Kiai Gringsing. Diamat-amatinya
obat itu. Lalu katanya,
“Kau bawa anak
itu kemari?”
“Tidak Kiai,
anak itu ternyata terlampau lemah.”
Kiai Damar
mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya,
“Menurut
pengamatanku, kau terlampau berani, bahkan agak sombong sedikit. Kau telah
berani menebas, hutan larangan. Hutan yang telah beberapa kali dibuka, tetapi
selalu ditinggalkan oleh orang-orang yang berusaha membukanya. Betul begitu?”
“Ya. Ya, Kiai.
Dari mana Kiai tahu?”
“Aku melihat,”
jawab Kiai Damar sambil mempermainkan kuku ibu jarinya.
“Kiai melihat
di kuku ibu jari itu?”
“Anakmu
benar-benar telah diterkam hantu. Kau kira anakmu kena apa, he?”
“Aku menyangka
anakku itu digigit ular atau binatang-binatang beracun lainnya.”
“Tidak. Anakmu
benar-benar telah diterkam hantu. Untunglah saat itu ada orang lain yang
dijadikan korbannya. Kalau tidak, pasti anakmu lah yang akan binasa.”
“Kiai tahu
bahwa ada orang lain?”
“Ya. Orang
lain inilah yang telah diperas darahnya. Kau melihat juga?”
“Ya. Ya, Kiai.
Kami melihat seseorang yang terluka. parah.”
“Suatu
keuntungan bagimu. Bagi anakmu. Kalau tidak ada korban itu, anakmu lah
korbannya.”
“Tetapi tidak
seorang pun yang merasa kehilangan atas korban itu. Tidak ada sebuah keluarga
pun yang mencarinya.”
Wajah Kiai
Damar menjadi tegang sejenak, namun ia berkata,
“Anak itu anak
bengal dan jahat. Ia sudah melarikan diri dari orang tuanya. Ia datang seorang
diri di daerah ini dan mencoba mengadu untung dengan membuka tanah baru. Tetapi
orang itu pun terlampau sombong. Melebihi kesombonganmu. Jadilah ini pelajaran
bagimu.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Nah, bawalah
obat ini kembali kepada anakmu. Aku akan memberinya mantra dan mohon maaf
kepada hantu yang telah merasa terganggu. Tetapi ingat, kau harus mengurungkan
niatmu membuka tanah itu.”
Dada Kiai
Gringsing berdesir. Yang terpenting bagi Kiai Damar agaknya mengurungkan niat
untuk membuka hutan lebih banyak lagi. Kepada para peronda dan kepada
orang-orang lain dalam setiap kesempatan ia pasti berusaha mencegah meluasnya
pembukaan hutan.
“He, apakah
kau mengerti?” tiba-tiba Kiai Damar membentak.
“Ya. Ya, Kiai.
Aku mengerti.”
“Bawalah obat
ini. Ulaskan pada luka anakmu itu. Mudah-mudahan ia menjadi segera sembuh.
Tetapi jangan diulangi kesalahan yang pernah dilakukannya bersamamu.
Ketahuilah, bahwa setiap jengkal tanah akan dipertahankan oleh para lelembut di
daerah Alas Mentaok ini.”
“Ya. Ya, Kiai.
Aku akan menghindari kemungkinan yang lebih jelek bagi anak-anakku.”
“He, berapakah
anak-anakmu itu?”
“Dua, Kiai.
Yang seorang adalah yang sekarang sedang sakit.”
“Baiklah.
Pergilah,” Kiai Damar berhenti sejenak,
“tetapi kau
memang termasuk seorang pemberani. Mau berani datang kemari di larut malam
begini.”
“Terpaksa
sekali, Kiai, terpaksa sekali.”
“Pergilah.”
Kiai Gringsing
pun segera meninggalkan gubug itu setelah beberapa kali mengucapkan terima
kasih. Tersuruk-suruk ia berjalan di dalam kegelapan malam. Setelah melampaui
beberapa patok jalan setapak dan gerumbul-gerumbul yang liar, Kiai Gringsing
mulai merasa seseorang mengawasinya. Tetapi ia tidak menghiraukannya. Ia
berjalan terus, meskipun ia masih mempunyai beberapa rencana. Dadanya menjadi
berdebar-debar ketika ia sadar, tidak hanya seorang sajalah yang mengawasinya.
Pasti lebih. Sebagai seorang perantau, maka dengan hati-hati ia mencoba
mengamat-amati jalan yang dilaluinya. Kemudian dikenalnya beberapa batang pohon
dengan baik. Beberapa macam tanda pengenal yang khusus dan tanda-tanda bintang
di langit. Demikianlah, ketika menurut pengenalan perasaannya ia sudah terlepas
dari pengawasan, maka ia pun segera menyusup di balik gerumbul-gerumbul yang
lebat. Dengan ketajaman pengamatannya maka ia pun segera melingkar kembali
mendekati gubug Kiai Damar. Dengan sangat hati-hati ia berusaha mendekatinya
dari belakang. Setiap langkah Kiai Gringsing selalu memperhitungkan
kemungkinan-kemungkinan yang ada di sekitarnya. Namun ia berhasil melepaskan
diri dari setiap pengamatan, sehingga ia dapat mendekati gubug itu kembali.
Kiai Gringsing
menahan nafasnya ketika ia mendengar suara dari dalam gubug itu,
“Aku
menunggunya lama sekali, Kiai.”
“Apakah ia
sudah lama datang?”
“Sudah terlalu
lama.”
“Aku tidak ada
di tempat.”
“Apakah Kiai
pergi?”
“Ya. Dengan
para peronda. Agaknya orang itu menunggu aku di muka gubug ini, karena ketika
aku kembali, orang itu sudah duduk bersila di depan pintu yang terbuka.”
“Hampir saja
aku kehilangan kesabaran, dan meninggalkan tempat pengawasan itu,” berkata yang
lain.
“Untung, kau
tidak datang kemari. Kalau kau datang, orang itu pasti bertanya-tanya, siapakah
yang telah datang ke tempat ini pula, atau kaulah yang akan disangkanya bernama
Kiai Damar, maksudku dukun sakti yang akan ditemuinya, karena ia belum pernah
mengenal aku dan barangkali juga belum mengenal namaku kecuali orang-orang di
barak itu telah memberitahukannya.”
“Ya,” suara
yang lain lagi,
“aku pun
hampir mendatanginya kemari.”
“Apakah
kemudian orang itu menumbuhkan kecurigaan kalian?”
“Tidak.
Ternyata tidak.”
Kiai Gringsing
yang mendengarkan di balik dinding menarik nafas lega. Sesaat ia masih tetap
berada di tempatnya. Menurut pengamatannya, di dalam gubug itu ada lebih dari
tiga orang selain Kiai Damar sendiri.
Sejenak kemudian
ia mendengar suara Kiai Damar perlahan-lahan,
“Tetapi aku
telah menjumpai persoalan baru sesaat sebelum aku menemui orang tua itu.”
“Apa, Kiai?”
“Sebenarnya
aku sendiri masih ragu-ragu. Tetapi biarlah aku ceriterakan saja apa yang aku
lihat.”
Orang-orang
yang lain pun bergeser maju,
“Apakah ada
sesuatu yang penting terjadi?”
“Ya,” jawab
Kiai Damar yang kemudian menceriterakan apa yang dilihatnya bersama para
peronda itu, dan yang kemudian telah melibatnya dalam perkelahian.
“Nah, aku
sendiri tidak mengerti bagaimana kita harus menanggapi keadaan itu.”
Sejenak tidak
terdengar sesuatu. Namun kemudian salah seorang bertanya,
“Apakah Kiai
menganggap bahwa yang telah Kiai temui benar-benar prayangan dari Gunung
Merapi?”
“Itulah yang
meragukan aku. Tetapi untuk menolak kepercayaan itu pun agaknya terlampau
berat.”
Ruangan itu
kembali menjadi sepi. Yang terdengar hanyalah desah nafas yang
bersahut-sahutan.
“Sudahlah,”
berkata Kiai Damar,
“sebaiknya
kita menunggu perkembangan keadaan. Rencana kita sementara ini berjalan terus.”
“Baiklah. Kita
masih harus menunggu bukti-bukti mendatang dari makhluk yang menyebut dirinya
bernama Kiai Dandang Wesi itu.”
Belum lagi
mereka selesai berbicara, tiba-tiba mereka terkejut. Serentak mereka meraba
senjata masing-masing ketika mereka mendengar suara tertawa dalam nada yang
tinggi meskipun lamat-lamat seperti yang sudah pernah didengar oleh Kiai Damar,
seolah-olah suara itu sedang mentertawakan pembicaraan mereka.
“Suara itulah
yang pernah aku dengar,” desis Kiai Damar.
“Marilah kita
cari,” ajak seorang dari mereka.
Kiai Damar
termenung sejenak lalu,
“Tidak ada
gunanya. Hantu itu pasti sudah pergi atau menghindarkan diri dari tangkapan
mata wadag kita. Biarlah ia pergi, sementara kita harus semakin berhati-hati.”
Kawan-kawan
Kiai Damar itu pun menjadi termangu-mangu sejenak. Sebenarnya mereka pun
ragu-ragu, apakah mereka akan dapat menemukan sumber suara itu apabila mereka
mencarinya. Karena itu, maka mereka pun mengangguk-anggukkan kepalanya, dan
salah seorang berkata,
“Soalnya akan
bertambah sulit. Tetapi yang aneh adalah justru adanya Kerajaan Mataram
Kajiman. Kita yang tinggal di sini dan banyak mengetahui mengenai Alas Mentaok
dengan segala isinya, belum pernah mendengar nama Prabu Talangsari.”
Kiai Damar
tidak menjawab. Tetapi wajahnya menjadi tegang.
Dalam pada itu
Kiai Gringsing berjalan dengan sangat tergesa-gesa kembali ke barak. Ternyata
tengah malam telah lama lampau. Seandainya Agung Sedayu tidak sabar menunggu,
maka keadaan di barak itu pasti akan segera berubah. Sebenarnyalah bahwa Agung
Sedayu hampir tidak dapat menahan hati lagi. Dengan gelisahnya ia menunggu.
Ketika tengah malam lewat, dan gurunya belum juga datang, maka dengan dada
berdebar-debar ia bangkit dan duduk di samping Swandaru.
“Guru belum
datang?” desis Swandaru yang ternyata belum tidur juga.
Agung Sedayu
menggeleng, “Belum. Aku menjadi gelisah. Guru berpesan, apabila lewat tengah
malam guru tidak datang, maka aku harus berbuat sesuatu.”
“Sekarang?”
“Semakin
cepat, semakin baik.”
Swandaru
menarik nafas dalam-dalam. Tetapi kemudian katanya,
“Aku ikut
bersama Kakang. Bukankah Kakang akan mencari Ki Gede Pemanahan dan melaporkan
apa yang telah terjadi?”
Agung Sedayu
mengangguk. Namun kemudian ia berkata,
“Tetapi kau
masih terlampau lemah.”
“Tidak. Aku
sudah hampir pulih kembali. Obat yang diberikan oleh guru terlampau baik,
meskipun masih juga terasa kelemahan pada sendi-sendi.”
“Tinggallah
kau di sini.”
“Tidak,
Kakang, aku akan ikut serta.”
“Hus,” desis
Agung Sedayu, “jangan terlampau keras.”
“Kalau aku tinggal
di sini,” berkata Swandaru kemudian,
“mungkin aku
tidak akan dapat mengendalikan diri. Mungkin aku berbuat sesuatu atas
orang-orang dungu itu.”
Agung Sedayu
menjadi bimbang. Tetapi setiap saat agaknya menjadi sangat berharga. Kalau
gurunya benar-benar mengalami kesulitan, maka ia segera memerlukan seseorang
yang dapat membantunya. Orang itu tidak lain adalah Ki Gede Pemanahan. Namun
kemudian ia berdesis,
“Aku akan
menunggu, sejenak. Aku akan menengoknya di halaman. Kalau jelas bahwa guru tidak
datang, sebentar lagi aku akan pergi. Kalau kau sudah merasa baik, kita akan
pergi bersama-sama.”
“Sekarang, apa
yang akan Kakang lakukan?”
“Turun ke
halaman.”
“Terus pergi?”
“Tidak. Kalau
aku pergi, aku akan memberitahukan kepadamu.”
Swandaru
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kau harus
tetap berbaring. Aku akan pergi ke luar. Kalau ada yang melihatku dan bertanya,
aku akan menjawab bahwa kau haus.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar