WURANTA
sendiri tidak dapat mengerti apa yang terjadi dalam dirinya. Ia sama sekali
tidak berkeberatan, apa pun yang akan terjadi dengan Sekar Mirah setelah ia di
selamatkan dan berada di tangan keluarganya kembali. Tak ada hubungan apa pun
antara dirinya dengan gadis itu, selain peranan yang harus dilakukannya. Namun,
ketika peranannya hampir selesai, terasa kenapa demikian cepatnya. Dan kenapa
peran yang harus dilakukan itu hanya sekedar demikian saja? Wuranta itu
menundukkan kepalanya pula. Terbayang di kepalanya saat-saat yang dilampauinya
beberapa hari ini. Saat-saat yang berbahaya dan penuh ketegangan.
“Untuk apakah
sebenarnya aku berbuat demikian? Untuk Jati Anom, Pajang, atau untuk sekedar
membebaskan gadis itu, dan kemudian menyerahkannya kembali kepada orang yang
telah menunggunya?”
Terbayang
kembali apa yang telah dilakukannya bersama dengan Alap-alap Jalatunda.
Memperkenalkan dirinya kepada gadis itu. Menyebut namanya dan nama Alap-alap
Jalatunda sebagai seorang sahabatnya. Ketika Wuranta itu mengangkat wajahnya,
terlihatlah olehnya Sekar Mirah sedang berpaling pula. Sejenak mereka saling
memandang. Namun tiba-tiba pandangan Sekar Mirah menjadi lain. Lain sekali
dengan kemarin. Pandangannya kini mengandung kecurigaan dan kebencian. Bahkan
gadis itu kemudian berkata,
“Bukankah anak
muda itu kawan Alap-alap Jalatunda?”
Tuduhan itu
menyengat jantung Wuranta, seperti sengatan ujung senjata. Tetapi ia dapat
mengerti, sehingga dengan demikian ia menjawab perlahan-lahan dengan suara yang
sendat,
“Benarlah
demikian. Tetapi Adi Swandaru dan Adi Agung Sedayu dapat memberikan keterangan
tentang diriku.”
Sekar Mirah
memandang Agung Sedayu sesaat. Kemudian ia mundur beberapa langkah sambil
bertanya kepada kakaknya, “Siapakah anak muda itu, Kakang?”
“Kakang
Wuranta adalah seorang anak dari Jati Anom. Ia adalah lantaran yang dapat
menunjukkan kepada kami, di mana kau berada, dan bagaimana dapat membebaskanmu.”
Sekali lagi
wajah Sekar Mirah menjadi merah. Tiba-tiba ia berkata lembut,
“Maaf.
Maafkanlah aku, Kakang Wuranta.”
Wuranta tidak
menjawab, tetapi hatinya berkata,
“Pantas,
Sidanti tergila-gila kepadanya dan Alap-alap Jalatunda benar-benar telah
menjadi gila. Mudah-mudahan aku tidak menjadi gila pula seperti mereka.”
Yang berkata
kemudian adalah Swandaru,
“Kakang
Wuranta telah berhasil masuk ke daerah ini dan menjadikan dirinya sahabat
Alap-alap Jalatunda.”
Sekar Mirah
mengangguk kecil. Tetapi ia tidak berkata apa-apa lagi. Sejenak mereka saling
berdiam diri. Ruangan yang tidak terlampau luas itu seakan-akan tidak lagi
berisi seorang pun. Namun tiba-tiba mereka terkejut ketika pintu depan gubug
itu terbuka. Di muka pintu berdiri dua orang sambil menggenggam pedangnya. Berkata
salah seorang dari mereka,
“Aku mendengar
semua yang kalian percakapkan. Kalian tidak usah ingkar. Aku datang sejak aku
mendengar gadis ini berteriak.”
Wuranta,
Swandaru, dan Agung Sedayu sejenak menjadi termangu-manggu. Ditatapnya kedua
orang yang berdiri di muka pintu itu dengan mata yang hampir tidak berkedip.
Begitu kuatnya mereka terpukau oleh keadaan di dalam ruangan itu, sehingga
mereka sama sekali tidak menyadari, bahwa ternyata kehadiran mereka di dalam
rumah itu telah diketahui oleh orang lain.
“Nah, apakah
yang akan kalian katakan. Lebih baik kalian menyerah saja, supaya kalian tidak
mempersulit pekerjaanku.”
Agung Sedayu
menarik nafas. Ialah yang pertama-tama melangkahkan kakinya mendekati kedua
orang yang masih berdiri di muka pintu.
Wuranta yang
melihat langkah Agung Sedayu yang tenang dan meyakinkan itu menjadi
berdebar-debar. Meskipun ia melihat perubahan pada diri anak muda itu sejak ia
bertemu kembali di Jati Anom setelah agak lama berpisah, namun sikapnya saat
itu benar-benar telah menimbulkan berbagai pertanyaan di dalam dirinya. Di
dalam diri Agung Sedayu itu tidak dapat dikenalnya lagi sifat-sifatnya pada
masa kanak-kanaknya. Hampir tak ada bekas-bekas dari sifat-sifatnya itu.
Seakan-akan Agung Sedayu tidak pernah berada di dalam suatu keadaan yang tidak
sepantasnya bagi laki-laki muda. Seakan-akan anak muda itu tidak pernah menjadi
seorang pengecut dan penakut. Tetapi kini Agung Sedayu melangkahkan kakinya
dengan suatu keyakinan pada dirinya.
Dengan suara
yang meyakinkan pula terdengar Agung Sedayu bertanya,
“Siapakah
kalian?”
“Kau tidak
perlu bertanya siapakah kami. Tetapi kamilah yang berhak bertanya kepada
kalian. Siapakah kalian?”
“Kalian telah
mendengarkan percakapan kami.”
“Ya, ya. Kami
tahu bahwa di antara kalian bernama Swandaru dan Agung Sedayu. Pengkhianat yang
licik itu sudah aku kenal sebelumnya.”
Dada Wuranta
berdesir mendengar sebutan itu. Pengkhianat. Di Jati Anom anak-anak muda
menudingnya pula dengan sebutan itu. Pengkhianat.
“Apakah yang aku
dapat dari sebutan-sebutan itu?” berkata Wuranta di dalam hatinya.
“Di mana-mana
aku dianggap sebagai pengkhianat. Kalau Alap-alap Jalatunda masih hidup,
ia pun akan menuding wajahku sambil
berkata demikian pula. Yang aku tidak tahu, bagaimanakah sebenarnya anggapan
Sekar Mirah kepadaku.”
Tiba-tiba
Wuranta itu menggelengkan kepalanya. Ia sama sekali tidak memperhatikan lagi
tuduhan orang yang berdiri di muka pintu itu. Hatinya seakan-akan menjadi
pepat.
Namun ia masih
mendengar suara Agung Sedayu,
“Kau benar.
Akulah yang bernama Agung Sedayu. Dan Kakak Sekar Mirah itulah yang bernama
Swandaru. Sedang yang satu, yang kau sangka pengkhianat itu adalah sahabatku.
Ia memang berjuang untuk kepentingan Pajang sejak semula. Kebodohan pemimpin
kalianlah yang telah memungkinkannya memasuki daerah ini.”
“Persetan
dengan senua itu! Sekarang menyerahlah. Aku ingin, mengikat kaki dan tanganmu.
Apabila keributan di banjar itu sudah selesai, maka akan datang giliran kalian
untuk mendapatkan perhatian khusus dari Ki Tambak Wedi.”
Agung Sedayu
seolah tidak mendengar kata-kata mereka itu. Malahan ia bertanya,
“Apakah kalian
berdua tidak ikut berkelahi di halaman banjar itu? Aku tadi berkesempatan untuk
melihatnya. Kawan-kawanmu yang bertugas di segala penjuru berlari-larian ke
sana. Kenapa kalian enak-enak saja di sini.”
“Hem,” geram
salah seorang dari mereka,
“apabila kami
juga pergi ke sana, maka kalian akan leluasa berbuat sekehendakmu di sini.
Itulah pertanda bahwa nasibmu memang sedang malang. Kalian mengira bahwa kami pun dipanggil pula ke sana. Ketahuilah, bahwa
kami bertugas di sini berlima bergiliran pada keadaan biasa. Tiga dari
kawan-kawan kami telah pergi ke banjar desa. Tetapi kami berdua tetap berada di
sini. Agaknya nasib kalian yang terlampau jelek.”
Wajah kedua
orang itu tiba-tiba menjadi tegang ketika mereka mendengar Agung Sedayu itu
justru tertawa. Katanya,
“Marilah
masuk. Kita lebih baik berbicara dengan baik.”
Sejenak kedua
orang itu terbungkam. Mereka sama sekali tidak menyangka bahwa Agung Sedayu akan
berbuat demikian. Anak muda itu sama sekali tidak menjadi cemas dan takut.
Bahkan ia tertawa dan mempersilahkannya masuk. Karena kedua orang itu tidak
segera menjawab, maka Agung Sedayu itu berkata pula,
“Marilah,
kalau memang kau tidak akan pergi ke banjar itu. Apakah perlunya kita
bertengkar?”
Sesaat
kemudian kedua orang itu pun menyadari keadaannya. Wajah mereka yang tegang
menjadi semakin tegang. Dengan gemetar salah seorang dari mereka berkata,
“Jangan
mencoba mempengaruhi sikapku. Aku bukan anak-anak. Seandainya gadis itu yang
mempersilahkan aku, maka aku pun tidak
akan melepaskan niatku untuk menangkap kalian. Ayo, menyerahlah sebelum kami
bertindak.”
“Apakah kalian
berdua mampu berbuat demikian? Kami bertiga di sini, sedang kalian hanya
berdua.”
“Setan alas!”
bentak yang lain.
“Takaran kami
adalah sepuluh orang seperti kalian.”
“Tetapi yang
ada di sini hanyalah kami bertiga. Apakah kami harus mencari tujuh orang kawan
lagi buat melayani kalian?”
Kedua orang
itu pun menjadi semakin marah. Mereka merasakan
kata-kata Agung Sedayu itu sebagai suatu penghinaan. Karena itu maka salah
seorang dari mereka berkata,
“Tak akan ada
kesempatan lagi. Kalian telah menghina kami. Karena itu, maka kalian akan kami
bunuh tanpa persoalan lagi. Tanpa harus dihadapkan kepada Ki Tambak Wedi atau
siapa pun.”
Agung Sedayu
tidak menjawab. Ia melihat kedua orang itu menjadi sangat marah. Karena itu
maka ia pun harus berhati-hati. Ia belum
tahu, sampai di mana kemampuan keduanya. Tetapi ia yakin bahwa kedua orang itu
pasti tidak akan setangkas Sidanti atau Alap-alap Jalatunda. Dengan pedang
teracung ke depan kedua orang itu bersama-sama melangkahi tlundak pintu masuk
ke dalam gubug itu pula. Wajah mereka menjadi merah karena kemarahan yang telah
memuncak. Agung Sedayu melangkah selangkah surut. Ia menjadi semakin hati-hati
menghadapi kedua orang itu. Apalagi ketika keduanya kemudian berpencar. Seorang
ke sisi kiri, yang seorang, ke sisi kanan.
“Hem,” Agung
Sedayu bergumam di dalam hatinya,
“mereka cukup
berhati-hati.”
Tetapi betapa
terkejut Agung Sedayu ketika ia melihat Wuranta dengan tiba-tiba saja meloncat
dengan garangnya, menyerang salah seorang dari kedua orang itu. Dengan
pedangnya, ia langsung menusuk ke arah lambung. Swandaru terkejut pula melihat
serangan itu. Semula ia menyangka bahwa Agung Sedayu akan menyelesaikannya
sendiri. Tetapi kemudian ia melihat Wuranta telah mulai membuka serangannya.
Namun Swandaru itu tidak beranjak dari tempatnya. Ia merasa bahwa semuanya itu
akan dapat selesai. Kuwajibannya adalah melindungi Sekar Mirah dari setiap
bahaya. Itulah sebabnya, maka Sekar Mirah itu tidak dilepaskannya.
Serangan
Wuranta ternyata cukup dahsyat. Orang yang diserangnya terkejut pula. Tetapi
orang itu cukup tangkas untuk menghindari serangan itu. Dengan lincahnya orang
itu mulai membalas serangan Wuranta. Pedangnya menebas mendatar dalam ruangan
yang tidak terlampau luas itu. Kawannya yang seorang tidak segera berbuat
sesuatu. Sejenak ia melihat kawannya berkelahi. Meskipun ia tidak melepaskan
pengawasannya terhadap Angung Sedayu, tetapi ia mampu sekedar menilai keadaan
yang terjadi. Ternyata kawannya itu tidak kalah cepatnya menggerakkan pedang
daripada Wuranta. Agung Sedayu pun
melihat pula kekurangan Wuranta atas lawannya. Agaknya lawannya adalah seorang
yang cukup terlatih. Dalam saat yang pendek, Wuranta telah terdesak beberapa
langkah. Bahkan serangan-serangan yang diluncurkan oleh orang padepokan Tambak
Wedi itu cukup membahayakan Wuranta. Tetapi Wuranta bertempur dengan sepenuh
tenaganya. Ia sendiri tidak menyadari sepenuhnya apa yang telah dilakukan.
Tetapi ia merasa, bahwa ia harus berbuat sesuatu. Ia tidak mau dicengkam oleh
ketegangan dan kerisauan. Karena itu tiba-tiba saja ia telah meloncat untuk
melepaskan diri dari ketegangan yang mencengkamnya. Bukan karena kehadiran
kedua orang itu, tetapi karena hatinya yang risau menghadapi keadaan. Hadirnya
Agung Sedayu benar-benar telah membuat hatinya menjadi kisruh. Dan justru
kehadiran kedua orang itu seakan-akan memberinya jalan untuk melepaskan
ketegangan dan kerisauannya, sehingga tanpa berpikir jauh ia telah membuka
serangannya. Agung Sedayu menjadi cemas melihat perkelahian itu. Perkelahian di
tempat yang sempit adalah lebih berbahaya daripada di tempat terbuka. Perbedaan
kemampuan mempermainkan senjata yang tidak terlampau banyak, di tempat terbuka
tidak akan terlampau berbahaya bagi pihak yang lemah, apalagi apabila ia mampu
mengimbanginya dengan kecepatan bergerak. Tetapi di tempat yang sempit
kesempatan untuk bergerak sangat terbatas. Kecakapan menggerakkan senjata akan
sangat penting pengaruhnya. Karena itu sejenak kemudian, Agung Sedayu melihat
Wuranta itu menjadi semakin terdesak. Keadaannya tiba-tiba menjadi sangat
berbahaya ketika ia telah melekat dinding, sedang serangan lawannya masih saja
mengejarnya. Sekali ia mampu menangkis serangan itu, tetapi untuk seterusnya
kedudukannya menjadi sangat sulit. Ternyata lawannya mampu mempergunakan
kesempatan itu. Dengan sebuah tipuan yang mengejutkan, orang itu memancing
senjata Wuranta untuk menangkis, tetapi begitu senjata Wuranta terayun ke
samping, maka dengan cepatnya pedang lawannya itu terjulur lurus menggali ke
dadanya. Dada Agung Sedayu berdesir, ia tidak dapat membiarkan hal itu terjadi.
Bahkan Swandaru pun hampir-hampir saja meloncat menolongnya seandainya ia tidak
melihat pedang Agung Sedayu secepat kilat seolah-olah meloncat dari wrangkanya
langsung memukul pedang lawan Wuranta sehingga pedang itu bergeser ke atas.
Keduanya yang
sedang berkelahi terkejut melihat gerak Agung Sedayu yang demikian cepatnya
sehingga sejenak keduanya berdiri saja sambil memandangi wajah Agung Sedayu
yang tegang. Tetapi sekali lagi terjadi sesuatu di luar dugaan Agung Sedayu,
Swandaru, Sekar Mirah, bahkan kedua orang Tambak Wedi itu sendiri. Tiba-tiba
Wuranta itu pun menjadi marah. Sambil
menunjuk wajah Agung Sedayu dengan pedangnya ia berkata,
“Adi Agung
Sedayu, jangan terlampau sombong. Kalau kau ingin berkelahi, carilah musuhmu
sendiri. Jangan kau ganggu aku. Apakah kau sangka aku tidak mampu menyelamatkan
diriku sendiri? Kau sangka tanpa pertolonganmu aku akan semudah itu mati
terbunuh? Adi, aku telah mengorbankan diriku dalam suatu pekerjaan yang sangat
berbahaya. Sudah tentu aku tahu benar akibatnya. Apakah dengan demikian aku
masih memerlukan pertolongan orang lain untuk keselamatanku.”
Agung Sedayu
berdiri tegak seperti patung. Ia tidak mengerti apakah yang sedang dihadapinya.
Ia merasa berbuat sesuatu yang seharusnya dilakukan. Tetapi ternyata Wuranta
menganggapnya telah berbuat kesalahan. Karena itu, maka ia menjadi bingung dan
untuk sesaat tidak tahu apa yang sebaiknya dilakukan.
“Adi,” berkata
Wuranta kemudian,
“kalau kau
ingin melihat aku berkelahi, lihatlah dengan baik. Kalau kau ingin berkelahi
pula, berkelahilah dengan lawan yang lain. Tetapi jangan ganggu aku. Kau dan
aku adalah sama-sama seorang laki-laki. Kau dan aku mempunyai kesempatan yang
sama. Karena itu carilah kesempatanmu sendiri apabila kau ingin menyombongkan
diri. Apakah dengan demikian kau ingin menunjukkan kelebihanmu dari aku?”
Agung Sedayu menjadi
semakin bingung. Ketika ia berpaling memandangi Swandaru, tampak anak muda yang
gemuk itu menjadi bingung pula. Tetapi wajah Sekar Mirah tidak membayangkan
kebingungannya, tetapi wajah itu membayangkan kecemasan. Namun sejenak kemudian
mereka dikejutkan oleh suara panah sendaren lamat-lamat di kejauhan. Panah
sendaren yang dilepaskan oleh Ki Tanu Metir untuk memberi tanda kepada Untara
yang berada di ambang pintu Padepokan Tambak Wedi itu. Kedua orang Tambak Wedi
itu agaknya mendengar juga suara panah sendaren itu. Karena itu mereka agaknya
menjadi bertanya-tanya pula di dalam hati mereka. Apakah arti panah sendaren
itu?
Sebelum kedua
orang padepokan itu menyadari keadaannya, maka terdengar suara Swandaru,
“Nah, sekarang
jangan mencoba membuat ribut lagi di sini. Sekarang kau berdualah yang harus
menyerah kepada kami. Bukankah kau mendengar suara panah sendaren itu? Itu
adalah pertanda bahwa pasukan Pajang akan masuk ke dalam padepokan ini,”
Kedua orang
itu terdiam sejenak. Dengan wajah yang dipenuhi oleh kebimbangan mereka saling
berpandangan dan bertanya-tanya di dalam hati. Tetapi salah seorang dari mereka
kemudian berkata.
“Jangan
mencoba menyelamatkan diri dengan cara yang licik itu. Kalian sudah berada di
tangan kami. Kalian harus menyerah dan harus tunduk kepada segala perintahku.”
“Jangan
mengigau,” potong Swandaru, “kalian sudah tidak akan dapat meloloskan diri
lagi.”
Tetapi kedua
orang itu tidak mau diperdayakan. Karena itu maka segera mereka bersiap untuk
segera mulai dengan pertempuran lagi di dalam gubug yang kecil itu. Tetapi kali
ini Agung Sedayu tidak mau terlibat lagi dalam kesulitan dengan Wuranta yang
tiba-tiba saja marah-marah tanpa diketahui sebabnya. Karena itu, maka ia
mengambil jalan lain. Tiba-tiba ia menghadap kepada orang padepokan Tambak Wedi
yang seorang lagi. Ia harus mengalahkan orang itu segera. Lebih cepat dari
waktu yang diperlukan oleh orang yang lain mengalahkan Wuranta. Dengan
demikian, maka keadaan pasti akan terpengaruh karenanya. Yang seorang lagi itu pun pasti akan kehilangan keberanian untuk
berkelahi terus. Ketika kedua orang itu mulai bergerak, maka tiba-tiba saja
Agung Sedayu meloncat dengan kecepatan yang hampir tidak dapat dilihat. Hampir
tak masuk di akal Wuranta dan orang Tambak Wedi yang lain. Mereka seakan-akan
tidak melihat Agung Sedayu itu berbuat sesuatu, tetapi yang mereka lihat
adalah, pedang lawannya telah terlontar jatuh. Orang yang kehilangan pedangnya
itu pun berdiri saja dengan mulut
ternganga. Bagaimana mungkin hal itu dapat terjadi. Ia hanya merasakan
tangannya menjadi nyeri dan pedang itu terlepas justru pada saat ia mulai
mempersiapkan dirinya. Waktu yang diperlukan oleh Agung Sedayu benar-benar
tidak dapat dimengertinya.
“Nah, apakah
katamu sekarang?” bertanya Agung Sedayu sambil mengacungkan pedangnya kepada
orang itu.
“Aku bukan
Sidanti. Aku tidak akan membunuh lawanku yang sudah menyerah. Sekarang jawablah
pertanyaanku. Apakah kau ingin menyerah atau ingin mencoba melawan. Kalau kau
berkeras hati hendak berkelahi, maka saya persilahkan kau mengambil pedangmu.”
Orang itu
berdiri kebingungan. Ia tidak mengerti, apakah Agung Sedayu itu berkata
sebenarnya ataukah hanya sekedar bergurau saja. Tetapi sesaat kemudian ia
mendengar Agung Sedayu itu berkata lagi,
“Ayo. Ambil
pedangmu, cepat! Ambil! Ambil!”
Orang Tambak
Wedi itu benar-benar tidak mengerti maksud Agung Sedayu. Seperti orang yang
kehilangan kesadaran ia berdiri saja membeku. Tiba-tiba Agung Sedayu melangkah
surut beberapa langkah. Sekali lagi ia berkata lantang,
“Ambil
pedangmu. Lawan aku. Cepat sebelum pedangku menembus jantungmu.”
Orang itu
benar-benar tidak mengerti apa yang harus dilakukan. Kesempatan untuk mengambil
pedangnya kembali itu seperti terasa di dalam mimpi. Tetapi seperti digerakkan
oleh tenaga yang aneh ia melangkah, membungkuk mengambil pedangnya.
“Nah, kau
sudah bersenjata lagi. Ayo, lawanlah Agung Sedayu.”
Orang itu
masih berdiri tegak kaku seperti tiang-tiang batu di dalam gubug itu.
“Cepat!”
bentak Agung Sedayu.
Tetapi
tiba-tiba orang itu menggeleng. Dilemparkannya pedangnya sambil berkata,
“Tidak. Tidak
ada gunanya. Aku menyerah.”
Agung Sedayu
menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
“Kau menyerah?
Apakah kau tidak akan mencoba melawan aku?”
Sekali lagi
orang itu menggelengkan kepalanya.
“Tidak. Kau
mampu bergerak seperti hantu. Cepat melampaui kecepatan mataku. Aku tidak akan
mampu melawanmu.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ketika ia berpaling dilihatnya orang Tambak
Wedi yang seorang berdiri seperti patung pula. Wajahnya menjadi pucat dan
dadanya berdebaran.
“Bagaimana
kau?” bertanya Agung Sedayu.
“Tidak,
tidak,” jawabnya gemetar.
“Tidak? Apa
yang tidak?”
“Aku tidak
berani melawan kalian. Aku menyerah.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan sudut matanya ia mencoba memandangi
wajah Wuranta. Ia tidak tahu, apakah yang tumbuh dan berkembang di dalam
hatinya. Tetapi Agung Sedayu tidak dapat menangkap perasaan anak muda itu. Wuranta
sendiri berdiri tegak di tempatnya. Ia melihat kecepatan bergerak Agung Sedayu.
Gerak yang tidak dapat dibayangkannya dapat dilakukan oleh anak yang dahulu
adalah seorang anak yang tercela di antara kawan-kawan laki-laki sebayanya.
Seorang pengecut dan pengikut. Bahkan kadang-kadang terlampau cengeng. Dalam
permainan yang biasa saja, Agung Sedayu sering sekali menangis dan berlari-lari
pulang mengadukan kepada ibunya. Tetapi anak itu kini begitu tangkasnya bermain
pedang. Meskipun demikian, Wurata masih belum dapat menerima kenyataan itu.
Kenyataan itu terlampau pahit baginya. Meskipun ia tidak dapat berkelahi
setangkas Agung Sedayu, tetapi apa yang selama ini dikerjakan, tidak juga dapat
dilakukan oleh Agung Sedayu. Bahkan ia berkata di dalam hatinya, “Tanpa aku,
Sekar Mirah tidak akan dapat terlepas dari padepokan ini. Bahkan mungkin ia
sudah kehilangan miliknya yang paling berharga di tangan Alap-alap Jalatunda.”
Sejenak
ruangan itu menjadi sepi. Agung Sedayu menjadi ragu-ragu untuk berbuat sesuatu.
Wuranta masih berdiri di tempatnya dengan pedang di tangan, sedang Sekar Mirah
dan Swandaru pun berdiri saja seperti patung. Meskipun demikian, terasa ada
pertanyaan-pertanyaan di dalam hatinya, apakah sebabnya maka tiba-tiba Wuranta
bersikap demikian, sedang Sekar Mirah menjadi sangat bersedih karenanya.
Samar-samar ia dapat meraba, apakah sebenarnya yang menyebabkan Wuranta bersikap
kasar terhadap Agung Sedayu. Yang menjadi semakin bingung adalah dua orang
Tambak Wedi yang berdiri kaku dengan wajah yang pucat. Mereka melihat sesuatu
yang kurang wajar pada kedua lawannya. Wuranta dan Agung Sedayu. Tetapi
meskipun demikian mereka tidak berani berbuat sesuatu. Apa yang dilakukan Agung
Sedayu ternyata benar-benar telah mempengaruhi perasaan mereka. Apalagi orang
yang pedangnya telah terlempar jatuh tanpa dapat berbuat apa pun.
Dalam pada
itu, di regol padepokan Tambak Wedi, pasukan berkuda yang langsung dipimpin
oleh Untara sendiri berderap memasuki padepokan seperti banjir yang telah
memecahkan tanggul. Debu yang putih berhamburan naik tinggi ke udara. Begitu
Untara mendengar tanda-tanda yang diberikan oleh Kiai Gringsing, maka ia tidak
menunggu lagi. Ia percaya bahwa orang tua itu memiliki perhitungan yang cukup
baik, sehingga tanda-tanda yang diberikannya dapat dipercayainya. Tetapi
meskipun demikian, Untara tidak menunjukkan kelemahannya. Ia menyadari bahwa
pasukannya itu tidak cukup banyak untuk bertempur melawan kekuatan yang ada di
Tambak Wedi. Karena itu, maka sebelum ia memasuki regol padepokan, pasukannya
telah mendapat pesan daripadanya, untuk membuat gelar yang dapat memberi kesan
kepada lawannya, bahwa pasukan berkuda itu cukup banyak. Sesaat pasukannya
memasuki regol padepokan, maka pasukan itu segera berpencar. Sebagian langsung
masuk dalam-dalam ke dalam padepokan itu, melingkar, kemudian berlari hampir di
sepanjang jalan kecil menuju ke banjar pimpinan, sedang yang lain memilih jalan
yang lain. Tetapi tujuan mereka, seperti yang telah diancarkan Ki Tanu Metir
lewat Wuranta adalah banjar pimpinan. Sementara itu pasukan yang lain, yang
berjalan kaki pun sudah tidak terlampau
jauh lagi dari padepokan itu. Bahkan mereka pun lamat-lamat telah mendengar
tanda yang dilontarkan oleh Ki Tanu Metir, panah sendaren. Karena itu, maka
pasukan itu mempercepat langkahnya, bahkan berlari-lari kecil. Yang
pertama-tama memberi tanda, bahwa perhitungan Ki Tanu Metir cukup baik adalah,
bahwa Untara sama sekali tidak menjumpai seorang penjaga pun di regol
padepokan. Pertanda ini adalah pertanda yang baik bagi Untara. Meskipun pada
saat ia datang ke padepokan ini ia cukup berhati-hati, sehingga ia berada pada
jarak yang cukup jauh, karena ia masih meragukan keadaan. Tetapi ternyata bahwa
pintu gerbang padepokan ini seolah-olah telah terbuka lebar menyambut
kedatangannya.
Kedatangan
Untara benar tidak diduga-duga oleh orang-orang padepokan Tambak Wedi. Baik
oleh orang-orang Tambak Wedi sendiri maupun oleh orang-orang Jipang yang berada
di Tambak Wedi yang saat itu sedang bertempur satu sama lain dengan sengitnya.
Karena itu, ketika mereka mendengar kuda berderap di dalam padepokan mereka,
maka mereka terkejut bukan buatan. Segera mereka menyadari keadaan mereka.
Tetapi sudah terlambat. Kawan-kawan mereka yang terbunuh di dalam perkelahian
yang ribut tanpa dapat dikendalikan, sudah tidak terhitung lagi jumlahnya.
Bahkan Ki Tambak Wedi sendiri sama sekali sudah kehilangan perhitungannya dalam
menghadapi pasukan Untara di Jati Anom. Dengan marahnya ia berkelahi membunuh
orang-orang Jipang seperti menebas ilalang. Meskipun demikian orang-orang
Jipang itu telah membuatnya semakin marah, karena setiap kali Sanakeling
berhasil menyusun kembali sekelompok orang-orang yang cukup kuat untuk melawan
hantu Tambak Wedi itu. Demikian juga Sidanti dan Argajaya. Setiap kali mereka
harus berhadapan dengan kelompok-kelompok yang teratur sebagaimana prajurit
yang sedang bertempur. Meskipun Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya
seakan-akan mampu menumpas lawannya, namun jumlah orang Jipang itu cukup
memberikan perlawanan yang sengit. Dengan demikian, maka akibatnya adalah
korban berjatuhan tanpa dapat dihitung lagi. Dan kini mereka yang sedang
dirobek-robek oleh perkelahian itu menghadapi kenyataan baru, kedatangan
pasukan Untara dan Jati Anom. Kedatangan itu demikian mengejutkan sehingga
perkelahian yang berlangsung di sudut-sudut halaman, di kebun-kebun di antara
rumpun-rumpun bambu dan di jalan-jalan itu, tiba-tiba terhenti. Orang-orang
Tambak Wedi dan orang-orang Jipang sejenak berdiri kaku dengan dada yang
semakin berdebar-debar. Sesaat kemudian mereka melihat kuda menyambar-nyambar
di sekitar mereka. Mereka melihat kuda-kuda itu datang dari beberapa jurusan.
Dengan demikian, maka dada mereka menjadi semakin berdebar-debar. Bahkan
beberapa orang dari mereka pun menjadi
bingung karenanya. Sebelum mereka menyadari keadaan, maka di kejauhan mereka
mendengar seseorang berteriak nyaring,
“Atas nama
pemerintah Pajang, kalian supaya menyerah.”
Sejenak
halaman banjar itu dicengkam oleh keheningan. Mereka tidak lagi mendengar derap
kuda berlari-lari. Tetapi mereka melihat samar-samar di balik dedaunan dan
pagar halaman, ujung-ujung pedang prajurit Pajang yang duduk di punggung kuda.
Ki Tambak Wedi
berdiri termangu-manggu. Ketika ia menebarkan pandangan matanya, maka
dilihatnya mayat bergelimpangan. Mayat kawan dan mayat lawan. Beberapa puluh
langkah daripadanya berdiri Sanakeling yang telah dibasahi oleh darahnya
sendiri. Luka-lukanya membujur-lintang di tubuhnya. Namun ia masih mampu
berkelahi seperti harimau lapar.
Di luar
halaman banjar, Sidanti yang keringatnya juga sudah diwarnai oleh darah yang
memercik dari luka-lukanya, berdiri dalam keragu-raguan. Apakah yang harus
mereka kerjakan?
Dalam
keheningan itu sekali lagi terdengar suara dikejauhan,
“Atas nama
Adipati Pajang, menyerahlah. Kalian telah terkepung rapat.”
Suara itu
bergetar menyelusur dedaunan, cabang-cabang pepohonan. Ranting-ranting dan
menyentuh setiap telinga orang-orang Padepokan Tambak Wedi dan orang-orang
Jipang, sehingga dada-dada mereka pun bergolak karenanya.
Ki Tambak
Wedi, Sanakeling, Sidanti, dan Argajaya masih berdiri kaku di tempatnya. Dari
tempatnya masing-masing, mereka saling memandang dan saling bertanya, apakah
yang sebaiknya mereka lakukan. Sejenak kemudian Ki Tambak Wedi melambaikan
tangannya kepada muridnya dan kepada Argajaya. Keduanya pun segera memenuhi
panggilan itu. Sambil meloncati mayat-mayat kawan dan lawannya, mereka
tergesa-gesa mendapatkan Ki Tambak Wedi.
“Apa yang akan
kau lakukan?” gumam Ki Tambak Wedi kepada muridnya.
Dengan nafas terengah-engah
Sidanti menyahut.
“Terserah
kepada Guru, apa yang harus kami lakukan.”
Ki Tambak Wedi
terdiam sesaat. Dipandanginya wajah Argajaya. Tetapi seperti Sidanti, ternyata
Argajaya itu pun menunggu perintahnya.
Dalam pada itu
sekali lagi udara padepokan digetarkan oleh suara di kejauhan,
“Bagaimana
jawabmu Ki Tambak Wedi. Kalian telah terkepung. Menyerahlah kepada kami yang
datang ke padepokanmu mengemban perintah dari Pimpinan tertinggi Wira Tamtama,
atas nama Adipati Pajang.”
“Persetan!”
Tambak Wedi menggeram.
“Apakah kita
harus melawan mereka bersama-sama?” bertanya Sidanti.
“Jangan
bodoh,” jawab gurunya.
“Lalu apa yang
harus kita lakukan?”
“Kita telah
berada di dalam keadaan yang paling sulit selama kita berada di padepokan ini.
Tetapi apa boleh buat. Kita sudah terlanjur basah kuyup.”
“Ya, tetapi
lalu bagaimana?” desak Argajaya.
“Kita harus
melepaskan diri dari padepokan ini. Kita tidak akan mampu melawan orang-orang
Pajang itu. Kekuatan mereka masih cukup segar, sedang kekuatan kita telah turun
lebih dari separo, seandainya Sanakeling masih bersedia bergabung lagi.”
“Apakah aku
harus melarikan diri?”
“Tetapi kalian
harus bertempur dahulu. Dengan demikian maka kesempatan kalian untuk
menghindarkan diri menjadi lebih banyak. Biarlah orang-orang lain kalian
tinggalkan. Aku juga akan segera menyusul, sebab aku kira tidak ada gunanya
melawan mereka.”
“Bagaimana
dengan Sanakeling?”
Ki Tambak Wedi
memandangi orang itu, Sanakeling masih berdiri tegak dalam kebimbangan.
Tiba-tiba ia melihat Ki Tambak Wedi melambaikan tangannya memanggilnya.
Sanakeling
berdiri termangu-manggu. Tetapi kemudian ia menggeleng sambil menggeram,
“Kalau kau
perlukan aku, datanglah kemari.”
“Gila,”
Sidanti berdesis, tetapi Ki Tambak Wedi mencegahnya.
“Biarlah. Kita
pergunakan orang bodoh itu untuk saat yang terakhir.”
“Lalu apakah
yang akan kita lakukan?”
“Aku akan
datang kepadanya.”
“Kenapa Guru
harus merendahkan diri demikian?”
“Kita
menghadapi bahaya yang cukup besar. Kita pergunakan Sanakeling supaya ia
melindungi kita tanpa diketahuinya. Kita tidak usah memikirkan nasibnya. Ia
pasti akan mati di tangan Untara.”
Sidanti sama
sekali tidak rela melihat gurunya terpaksa mengalah mendatangi Sanakeling.
Tetapi ia melihat, bahwa rencana gurunya itu adalah satu-satunya yang dapat
dilakukan. Karena itu, maka betapa pun
sakit hatinya, ia terpaksa melihat gurunya itu berjalan mendekati Sanakeling.
“Kita
bersama-sama berada di dalam kesulitan,” berkata Ki Tambak Wedi kepada
Sanakeling kemudian,
“waktu kita
tidak cukup panjang. Bagaimanakah sikapmu Sanakeling?”
“Aku tetap
pada pendirianku. Pantang menyerah kepada orang-orang Pajang, tetapi aku ingin
Sidanti aku bunuh sekarang juga.”
“Itu tidak
mungkin kau lakukan. Kau akan dapat memilih salah satu di antara keduanya.
Melawan Pajang atau melawan Sidanti.”
“Keduanya. Aku
tetap dalam pendirianku.”
“Tetapi kau
tidak akan dapat melakukan bersama-sama. Baiklah, kalau kau tetap bertekad
demikian. Tetapi apakah yang pertama-tama kau lakukan?”
Sanakeling
tidak menjawab.
“Aku mempunyai
usul, selagi kekuatan kita masing-masing masih cukup kuat untuk melawan Untara.
Kita bersama-sama melawan orang-orang Pajang, kemudian kita selesaikan persoalan
kita. Kau akan mendapat kesempatan perang tanding melawan Sidanti.”
Sanakeling
masih berdiam diri
“Adalah bodoh
pada saat serupa ini kita membuka garis perang segi-tiga. Itu hanya akan
menguntungkan Untara saja. Apakah hal ini kau sadari?”
“Baik,” tiba-tiba
Sanakeling menggeram, “aku setuju usulmu. Kita bertempur melawan Untara, tetapi
sesudah itu, aku harus mendapat kesempatan membunuh Sidanti.”
“Terserah
kepadamu. Tetapi yang akan terjadi adalah perang tanding. Kesempatanmu sama
dengan Sidanti. Membunuh atau dibunuh di dalam perkelahian itu.”
“Baik.
Kesempatan itu aku terima.”
“Nah, sekarang
terserah kepadamu. Tuntunlah pasukanmu yang masih tersisa. Aku akan membawa
pasukan Tambak Wedi untuk melawan orang-orang Pajang itu. Kalau yang datang itu
hanya pasukan berkudanya saja, maka kekuatan itu tidak terlampau besar.”
“Bagus,” sahut
Sanakeling, “tetapi kau jangan ingkar janji.”
“Aku junjung
tinggi sifat-sifat jantan di antara kita.”
Sanakeling
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sementara itu Ki Tambak Wedi kembali kepada
Sidanti. Namun ia masih belum melihat pasukan Pajang mulai bergerak. Agaknya
mereka menyangka bahwa Tambak Wedi sedang merundingkan syarat penyerahan.
Bahkan ia masih mendengar lagi suara,
“Apakah kalian
menyerah?”
Sekilas Ki
Tambak Wedi memandang Sanakeling. Dilihatnya wajah itu menegang. Bahkan
kemudian menggeleng. Ki Tambak Wedi pun
tersenyum di dalam hati. Namun mulutnya segera berteriak,
“Tak ada
seorang pun di antara kami yang berpikir
untuk menyerah. Meskipun tubuh kami telah dibasahi oleh keringat dan darah,
tetapi kami akan tetap dalam pendirian kami.”
Demikian Ki
Tambak Wedi berhenti, maka terdengar Sanakeling berteriak,
“Ternyata
kalian, prajurit-prajurit Pajang, terlampau licik. Kalian mempergunakan
kesempatan, selagi kita menyelesaikan masalah kami ke dalam. Tetapi tidak apa.
Sisa-sisa yang ada pada kami cukup kuat untuk melawan kalian.”
Jawaban itu
memang sudah diduga. Namun ternyata Untara tidak segera bertindak. Ia masih
melihat keadaan yang dihadapinya. Namun sebagai seorang prajurit yang
berpengalaman, maka segera ia berhasil menyesuaikan dirinya. Segera ia
mengetahui dan menyadari sepenuhnya apa yang sedang dihadapi. Dengan
mempertimbangkan pesan Ki Tanu Metir lewat Wuranta, sambil melihat apa yang
terjadi saat itu, maka Untara mampu menarik kesimpulan dan langsung membuat
perhitungan sebaik-baiknya. Sebenarnya ia mengharap kehadiran Ki Tanu Metir
untuk mendapat pertimbangan, tetapi orang itu masih belum dilihatnya. Namun
untuk bertindak lebih lanjut ia cukup berhati-hati. Ia tidak tergesa-gesa
menyerbu lawannya yang sedang dengan tegang menunggunya. Tetapi dibiarkannya
keadaan itu tetap tidak berubah. Sementara itu pasukannya yang berjalan kaki
semakin lama menjadi semakin dekat. Di pintu gerbang, Untara telah menempatkan
dua orang penghubung yang akan mengatur pasukannya yang segera akan menyusul.
Sementara itu, ia dapat memperpanjang waktu dengan berbagai macam pertanyaan
dan ancaman. Namun derap kuda pasukannya telah cukup membuat orang-orang Tambak
Wedi dan orang-orang Jipang yang masih hidup menjadi bingung dan berkecil hati,
seolah-olah kuda-kuda itu berada di segala jurusan.
Ketika Untara
mendengar Sanakeling menjawab maka ia berkata pula,
“Sanakeling,
apakah kau masih tetap merasa bahwa pasukanmu cukup kuat untuk melawan Pajang?”
Dari balik
segerumbul perdu Sanakeling melihat kepada Untara yang duduk di atas punggung
kuda. Di belakangnya beberapa prajurit berkuda mengawalnya dengan kuat.
Ujung-ujung pedang berkilat-kilat tersentuh oleh sinar matahari pagi yang semakin
lama menjadi semakin cerah.
“Jumlah kami masih
cukup!” teriak Sanakeling.
“Jangan
menyangka bahwa karena pertengkaran kecil di antara kami maka kekuatan kami
menjadi susut.”
Untara
tertawa. Katanya,
“Apakah kau
sangka kami di sini tidak melihat mayat yang bergelimpangan di halaman, di
bawah rumpun-rumpun bambu dan gerumbul-gerumbul liar di kebun belakang, di
jalan-jalan, bahkan bergayutan di pagar-pagar batu yang rendah itu?”
“Persetan
dengan itu semua!” Ki Tambak Wedi-lah yang menyahut.
“Kalau kau mau
menyerang kami, marilah kami tunggu. Kenapa kalian masih berdiam diri saja di
situ? Apakah kalian merasa bahwa kalian telah terperosok ke dalam lingkungan
yang tidak kalian duga-duga. Kalian menyangka bahwa kami telah tumpas karena
perselisihan yang tidak berarti ini? Untara, kamu salah. Ternyata, bahwa kami
masih sanggup menyambut kedatanganmu. Ayo, kenapa kau diam saja di situ?”
“Jangan menggertak,
Kiai,” sahut Untara,
“pasukan kami
cukup banyak. Tetapi adalah menjadi kebiasaan Wira Tamtama Pajang untuk tidak
tergesa-gesa bertindak. Kami memberi kalian waktu. Dan waktu yang kami berikan
untuk berpikir itu cukup panjang, supaya kalian tidak menyesal nanti.”
“Omong
kosong!” teriak Ki Tambak Wedi. Kemudian kepada Sanakeling ia berkata,
“Kalau Untara
masih belum berbuat sesuatu, kitalah yang akan bergerak dahulu Sanakeling.
Siapkan pasukanmu!”
“Bagus,” sahut
Sanakeling. Namun ketika ia berpaling memandangi daerah sekitarnya hatinya
menjadi berdebar-debar. Pasukannya sebagian besar telah musnah seperti orang-orang
Tambak Wedi sendiri. Meskipun demikian ia tidak dapat menyerah. Maka
berteriaklah ia kepada sisa-sisa pasukannya,
“Hentikan
permusuhan atas orang-orang Tambak Wedi. Kita mendapat lawan baru yang lebih
gila dari orang-orang Sidanti.”
Sejenak
orang-orangnya menjadi bingung. Tentu saja mereka tidak akan dapat melupakan
permusuhan yang baru saja terjadi. Bahkan ada di antara mereka yang telah
terluka dan sahabat-sahabatnya telah terbunuh di dalam perkelahian itu, tetapi
kini mereka dihadapkan pada kenyataan baru, Wira Tamtama Pajang telah berada di
ujung hidung. Bukan saja berada di Jati Anom.
“Sanakeling,”
terdengar suara Untara,
“kau masih
membayangkan kebesaran pasukan Jipang pada masa-masa lampau. Kau telah gagal
dalam gerakanmu di Utara. Kini kau akan mengalami kegagalan yang serupa. Apakah
tidak lebih baik bagimu untuk menyerah?”
“Aku tidak
pernah merasa gagal di Utara. Aku datang bersama orang-orangku karena panggilan
Macan Kepatihan. Dan di sini pun aku
tidak akan gagal pula. Kali ini aku akan menangkapmu dan menggantungmu di muka
regol padepokan ini.”
“Aku atau kau
Sanakeling? Mungkin kedua-duanya. Sesudah kau menggantung aku, maka kaulah yang
akan digantung oleh Ki Tambak Wedi.”
Sanakeling
terdiam. Sekilas ia berpaling ke arah Ki Tambak Wedi. Tetapi Ki Tambak Wedi-lah
yang menyahut,
“Setan Pajang
yang licik! Apakah kau mencoba mempengaruhi tekad kami bersama-sama untuk
melawanmu. Apa yang terjadi kemudian telah kami setujui bersama. Kau tidak akan
berhasil dengan caramu. Ayo, Sanakeling, siapkan pasukanmu. Ternyata Untara
tidak cukup kuat untuk bertindak. Kalau pasukannya cukup, maka ia tidak akan
hanya berbicara saja di atas punggung kudanya.”
Dada Untara
berdesir. Teryata perhitungan iblis lereng Merapi itu cukup cermat, sehingga ia
dapat menebak keadaannya. Tetapi dengan pasukan yang ada, Untara tidak merasa
cemas. Meskipun orang-orangnya tidak banyak, tetapi mereka semuanya berada di
atas punggung kuda, sehingga gerak mereka
pun akan jauh lebih cepat dari lawannya. Meskipun demikian sebagai seorang
senapati ia harus yakin atas perhitungannya, sehingga meskipun ia tidak
mencemaskan pasukannya yang hanya sebagian itu, namun ia masih tetap menunggu.
Untara masih cukup bersabar. Ia tidak akan mulai sebelum pasukannya datang,
kecuali kalau Ki Tambak Wedi mendahului.
Dalam pada itu
ia mendengar Ki Tambak Wedi itu berteriak,
“Sanakeling,
apakah pasukanmu sudah siap?”
Sanakeling
memandangi orang-orangnya yang masih tersisa. Sebagian sudah berdiri
berkelompok, sedang yang lain masih sedang menyusun diri. Namun sebagian dari
mereka telah menjadi sangat letih. Meskipun demikian wajah-wajah mereka masih
memancarkan tekad mereka sebagai seorang prajurit. Nyala di dalam dada
orang-orang Jipang masih lebih hangat dari orang-orang Tambak Wedi sendiri. Ketika
Sanakeling melihat orang-orangnya telah berkelompok di beberapa tempat, di
jalan-jalan dan di dalam halaman, maka ia berteriak, “Kau lihat sendiri Ki
Tambak Wedi, orang-orangku masih tetap dalam keadaannya meskipun beberapa orang
yang lain telah terluka dan bahkan terbunuh. Tetapi yang tersisa masih cukup
kuat menghadapi siapa saja.”
Terdengar
Sidanti dan Argajaya menggeram. Mereka juga melihat orang-orang Jipang itu
dengan cepat telah menyusun dirinya kembali, sedang orang-orang Tambak Wedi
masih juga tertatih-tatih mencari kawan-kawan di antara mereka. Namun meskipun
agak lambat tetapi orang-orang Tambak Wedi itu akhirnya berhasil juga
mengelompokkan dirinya.
“Ayo Untara,
kenapa kau masih tetap diam? Pasukanku seluruhnya telah siap,” teriak Ki Tambak
Wedi. Tetapi Sanakeling menyahut,
“Pasukanku pun
telah siap pula.”
Ki Tambak Wedi
mengerutkan keningnya. Terasa betapa Sanakeling tidak mau lagi disebut dan
dimasukkan ke dalam lingkungan pasukan Ki Tambak Wedi.
Tetapi Untara
tertawa. Terdengar suara tertawanya sangat menyakitkan hati. Apalagi ketika
Untara itu berkata,
“Ki Tambak
Wedi dan Sanakeling. Apakah kalian sangka aku tidak melihat orang-orang kalian
yang merangkak-rangkak berkumpul di jalan-jalan itu? Apakah kalian menyangka
bahwa aku bukan seorang prajurit yang dapat menilai pasukan? Seharusnya kalian
tidak lagi memaksa orang-orang kalian yang telah menjadi kelelahan itu untuk
bertempur. Kalian pasti sudah dapat menilai pula, bahwa prajurit-prajurit
Pajang masih cukup segar menghadapi lawan, meskipun lawannya gabungan antara
pasukan Tambak Wedi dan pasukan Sanakeling. Tetapi yang kedua-duanya telah
terlampau payah karena pertengkaran di antara kalian sendiri.”
“Tetapi jumlah
orang-orangmu terlampau sedikit Untara,” sahut Ki Tambak Wedi.
“Kau mencoba
menghibur hatimu sendiri. Kau melihat pasukan berkuda ini?”
“Lima orang
dari Utara, lima orang dari Selatan, lima dari Barat dan lima dari Timur.
Begitu? Apakah aku harus kagum melihat pasukan yang tidak lebih dari jumlah
jari-jariku?”
Untara menarik
nafas dalam-dalam. Ternyata Ki Tambak Wedi mempunyai tangkapan yang baik,
meskipun orang itu telah mencoba memperkecil arti pasukannya. Ia akan dapat
menjadi seorang senapati yang cakap di medan perang.
“Siapakah
sebenarnya orang tua-tua ini,” pikir Untara,
“Ki Tambak
Wedi, Ki Tanu Metir dan siapa lagi? Ternyata mereka mempunyai sikap dan
pandangan serta perhitungan seorang prajurit.”
Untara itu
mengangkat kepalanya ketika ia mendengar Ki Tambak Wedi berteriak,
“Apa katamu,
he Untara? Apakah tidak sebaiknya kau saja yang menyerah?”
Tetapi sekali
lagi Untara tertawa. Jawabnya,
“Kalau
perhitunganmu benar Kiai, kenapa kau juga masih berdiam diri, bersama pasukanmu
yang letih. Lihat, berapa orang yang berada, di belakangku. Jumlah ini sudah
cukup meyakinkan bahwa dugaanmu terlampau jauh dari kebenaran.”
Ki Tambak Wedi
menggeram, Tetapi ia pun tidak berani segera mulai. Ia sebenarnya juga menunggu
Untara memasuki halaman dan daerah pertempuran yang sempit. Pasukannya beserta
pasukan Sanakeling yang lelah, tidak akan dapat berkelahi dalam arena yang
luas, apalagi melawan prajurit-prajurit berkuda. Tetapi agaknya Untara tidak
segera bergerak. Dengan segala macam cara Tambak Wedi memancingnya, membuat
Untara segera bertindak. Namun senapati yang meskipun masih muda, tetapi sudah
cukup masak menghadapi medan itu masih tetap bersabar.
“Untara,”
berkata Ki Tambak Wedi,
“kalau kau
berkata sebenarnya, kenapa kau masih duduk di situ seperti patung? Apakah
tugasmu hanya berteriak-teriak saja sepanjang hari? Apakah tugas seorang
Senapati Pajang itu hanya menakut-nakuti orang, mengancam kemudian menunggu
orang-orang itu menyerah?”
“Sebagian
benar, Kiai.”
“Setan alas!”
Ki Tambak Wedi mengumpat.
Agaknya
Sanakeling-lah yang sudah tidak sabar lagi. Luka-lukanya semakin lama terasa
semakin pedih. Karena itu, maka ia tidak ingin membiarkan dirinya menjadi lemah
karena darahnya yang meskipun hanya setetes-setetes meleleh dari luka-lukanya.
Maka dengan garang ia berkata,
“Kitalah yang
akan mulai. Jangan terpancing ke segenap arah. Kita pusatkan pasukan kita
kepada senapati yang hanya pandai berteriak-teriak itu saja. Pasukannya yang
lain pasti akan terhisap ke sana. Bukankah kita menginginkan medan yang
sempit?”
“Bagus,” sahut
Untara,
“ternyata kau
cukup berterus terang mengatakan cara yang kau pilih.”
“Tak ada
gunanya berahasia. Kau pasti mampu menebak,” sahut Sanakeling, yang sejenak
kemudian berteriak memberi aba-aba kepada pasukannya.
Pasukannya
yang letih itu pun segera bersiap.
Meskipun keringat mereka seolah-olah telah terperas habis, dan bahkan
titik-titik darah telah membasahi pakaian mereka, namun mata mereka masih tetap
menyiratkan dendam dan kebencian. Apalagi ketika mereka mendengar Sanakeling
berkata,
“Jangan
biarkan diri kalian tertangkap hidup. Kalian akan menjadi tontonan di sepanjang
jalan kota Pajang.”
Untara melihat
pasukan yang sudah menjadi sangat lelah itu mulai bergerak. Kemudian disusul
oleh pasukan Ki Tembak Wedi langsung di bawah pimpinan Ki Tambak Wedi, Sidanti,
dan Argajaya sendiri. Seperti yang dikatakan oleh Sanakeling, mereka semuanya
menyergap ke arah Untara bersama para pengawalnya.
Untara menarik
nafas, ia melihat para pemimpin dan pasukan lawannya yang perlu mendapat
perhatiannya, Ki Tambak Wedi, Sanakeling, Sidanti dan Argajaya. Untuk melawan
mereka Untara memerlukan kelompok-kelompok khusus. Tak akan ada orangnya yang
mampu berhadapan dengan salah seorang dari keempatnya, selain dirinya sendiri
menghadapi salah seorang dari para pemimpin pasukan lawannya kecuali Ki Tambak
Wedi. Namun, selain para pemimpinnya, maka sebenarnya pasukan Tambak Wedi dan
Sanakeling itu sudah terlampau lemah, setelah mereka berkelahi sesamanya.
Bahkan dalam pasukan yang sudah siap melawan pasukan Untara itu pun mereka tidak dapat bercampur dalam satu
baris perlawanan. Tampaklah bahwa masing-masing berada di dalam lingkungannya
sendiri.
“Apakah kalian
benar-benar tidak menyadari keadaan diri,” teriak Untara.
“Jangan banyak
bicara!” sahut Sanakeling sambil membawa pasukannya semakin maju.
Untara merasa
bahwa ia tidak akan dapat mengulur waktunya. Karena itu, maka dipanggilnya
salah seorang perwira bawahannya. Diberikannya beberapa petunjuk untuk melawan
para pemimpin dari padepokan ini.
“Hati-hatilah
dengan iblis yang tua itu. Jangan kurang dari sepuluh orang. Sedang anak muda
yang bernama Sidanti itu, cobalah melawan bersama tiga atau empat orang.
Demikian juga yang lain itu, yang aku kira adalah adik Argapati dari Menoreh
seperti yang dipesankan oleh Ki Tanu Metir. Sedang Sanakeling, serahkan ia
kepadaku. Akulah yang berkewajiban untuk menangkapnya hidup-hidup, apabila
mungkin. Kalau tidak, aku terpaksa menyelesaikannya demi tugasku.”
Perwira Wira
Tamtama itu mengangguk-anggukkan kepalanya, ia menyadari bahwa tugas itu bukan
tugas yang ringan. Meskipun di hadapannya berjalan prajurit-prajurit yang lemah
dan tertatih-tatih menyeret tombak dan pedang mereka, tetapi menghadapi para
pemimpinnya, maka masih banyak diperlukan tenaga.
Sekilas
perwira itu memandang berkeliling. Pasukannya memang tidak begitu banyak.
Tetapi cukup untuk membuat orang-orang Tambak Wedi dan orang-orang Jipang
menjadi bingung. Dengan tangannya perwira itu memanggil beberapa orang
bawahannya. Diberikannya beberapa keterangan. Hanya mereka yang berada di atas
kuda-kuda yang cukup tangkas dan dapat dikuasai dengan baiklah yang dipilihnya
untuk melawan Ki Tambak Wedi yang mengerikan itu.
Pasukan yang
dibawa oleh Sanakeling semakin lama menjadi semakin dekat. Sementara itu
beberapa ekor kuda dari para prajurit Pajang telah bergerak pula menyusun diri.
Beberapa orang bergabung dalam satu kelompok untuk menghadapi orang-orang yang
mempunyai banyak kelebihan dari para prajurit itu sendiri. Tetapi ternyata
Untara bukan anak-anak yang lagi bermain perang-perangan. Ia mampu menilai
keadaan dan membuat perhitungan yang tepat. Ketika orang-orangnya telah
tersusun, meskipun dengan terpaksa ia harus memanggil beberapa orang yang
datang dari jurusan lain, maka ia mulai menggerakkan pasukannya pula. Tetapi
Untara tidak menyongsong pasukan yang datang ke arahnya. Dengan sebuah
tanda-tanda pedang Untara ternyata menggerakkan pasukannya yang berada di arah
yang bertentangan dengan dirinya, meskipun hanya beberapa orang saja. Sejenak
kemudian orang-orang Tambak Wedi dan orang-orang Jipang mendengar ringkik kuda
justru di belakang mereka. Ketika mereka berpaling, maka mereka melihat
bayangan yang bergerak-gerak di belakang dedaunan mendekati mereka.
“Setan alas!”
teriak Tambak Wedi. “Kau mulai dengan licik, Untara?”
“Bukankah
sudah aku katakan, bahwa pasukanku telah mengepung kalian.”
“Persetan!” teriak
Sanakeling. Dengan gigi gemeretak, maka ia berteriak pula,
“Jangan
songsong mereka. Biarkan mereka maju. Kita tetap bertempur dalam medan yang
sempit.”
“Hem,” Untara
menarik nafas,
“meskipun
orang itu sudah hampir kehabisan tenaga, namun sikap senapatinya masih cukup
baik.”
Perwira
bawahannya yang duduk di atas punggung kuda di sampingnya menganggukkan
kepalanya.
“Otaknya cukup
baik,” gumamnya.
Untara pun kemudian harus mengambil sikap
berikutnya. Ternyata ia tidak berhasil mengacaukan orang-orang Jipang. Namun
orang-orang Tambak Wedi tampak menjadi agak kebingungan. Apalagi ketika
kuda-kuda di belakang mereka menjadi semakin dekat.
“Kalian bukan
anak-anak yang dungu,” teriak Sanakeling,
“kalian dapat
menghindarkan diri dari kuda-kuda itu. Pergunakan dinding-dinding halaman, dan
cepat, tutup regol halaman itu.”
Sekali lagi
Untara menarik nafas. Desisnya, “Bukan main.”
Sementara itu
ia melihat orang-orangnya tidak mampu mencapai regol halaman, lebih cepat dari
orang-orang Jipang. Ternyata orang-orang Jipang telah berhasil menutup regol
itu, kemudian memasang palangnya yang kuat sebesar lengan.
Dan Untara
mendengar Sanakeling berteriak lagi kepada orang-orangnya yang berada di
jalan-jalan,
“Bersiaplah
kalian. Hindarkanlah serangan yang licik itu. Masuk, meloncati pagar batu ke
halaman sebelah-menyebelah. Pusatkan seranganmu kepada Senapati Pajang yang
hanya pandai menakut-nakuti itu saja.”
Tetapi Untara
bukan pula orang yang mudah menjadi bigung menghadapi kenyataan itu, sehingga
ia pun berteriak,
“Tunggu
sajalah orang-orang Jipang itu merangkak kemari. Kalau mereka benar-benar ingin
menyergap aku, mereka pasti akan keluar dari halaman banjar desa. Nah,
kesempatan bagi kalian akan datang juga akhirnya. Meskipun kini mereka
berloncatan masuk. Hematlah tenaga kuda kalian, supaya kalian sempat melihat
orang-orang Tambak Wedi dan orang-orang Jipang bertekuk lutut di hadapan kita.”
Mendengar
teriakan Untara itu, Sanakeling menggeram. Sejenak ia berpikir. Untara ternyata
melihat kemungkinan yang pasti akan datang pula, yaitu pasukannya keluar dari
halaman banjar itu, dengan meloncati dinding batu dan menyerbu ke arahnya. Dan
Untara tiba-tiba memerintahkan pasukannya diam menunggu setelah ia keluar dari
halaman itu.
“Memang
sia-sia aku memerintahkan menutup pintu regol itu,” pikir Sanakeling,
“sebentar lagi
aku sudah akan keluar dari halaman ini.”
Tetapi
tiba-tiba Sanakeling melihat keuntungannya pula. Halaman di sebelah tidak
seluas halaman banjar, sehingga kesempatan berkelahi dengan kuda tidak
terlampau banyak, Halaman itu di kelilingi oleh dinding batu pula.
Melihat hal
itu Sanakeling mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak berkata apa pun. Ia
melihat kuda-kuda prajurit Pajang bergeser mendekati Untara.
Sejenak
Sanakeling itu berpaling. Kini ia melihat Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya
bersama pasukan Tambak Wedi menjadi semakin maju pula. Mereka mendekati halaman
sebelah lewat sisi yang lain dari yang dilewati Sanakeling. Sanakeling sendiri
tidak ingin menggabungkan pasukannya dalam satu lingkaran perkelahian
menghadapi pasukan Untara. Mereka bertempur dalam lingkungan sendiri-sendiri.
Apabila pasukan Tambak Wedi itu tidak sekuat prajurit-pasukan Jipang, biarlah
pasukan itu musnah lebih dahulu. Akhirnya mereka telah sampai pada dinding
halaman banjar itu, dan sesaat lagi mereka akan meloncatinya. Untara menjadi
berdebar-debar. Pasukan lawan itu sudah tidak begitu kuat. Tetapi apakah
pasukannya yang hanya berjumlah sedikit itu mampu melawannya? Untunglah bahwa
pasukan lawan itu sudah terlampau letih. Tetapi Untara tidak dapat tinggal diam
lebih lama lagi. Ketika orang yang pertama telah menjejakkan kakinya di halaman
tempatnya menunggu, maka segera ia menjatuhkan perintah pula untuk segera
bertindak. Beberapa orang segera meluncur maju di atas kudanya. Orang yang
pertama itu ternyata bernasib kurang baik. Ia tidak sempat berbuat sesuatu
ketika prajurit Pajang itu menyerangnya dari atas punggung kuda. Orang yang
pertama itu adalah orang Sanakeling. Terdengar Sanakeling menggeram semakin
keras. Terdengar giginya gemeretak. Selanjutnya ia sendirilah yang meloncati
pagar bersama-sama dengan beberapa pengawalnya yang terpilih.
Untara yang
melihat Sanakeling, segera bergerak pula. Adalah menjadi kewajibannya untuk
menangkap sisa-sisa Senapati Jipang itu, sementara seorang perwira bawahannya
telah menyiapkan diri bersama kelompoknya menyambut pasukan Tambak Wedi yang
telah berada di sisi dinding halaman itu pula. Pasukan berkuda itu pun segera berpencaran. Tiba-tiba orang-orang
Jipang itu terkejut ketika mereka mendengar derap kuda di belakang mereka.
Bahkan Ki Tambak Wedi sendiri tertegun pula karenanya. Ternyata dua orang
prajurit Pajang telah meloncat turun dari kuda-kuda mereka dan masuk ke dalam
halaman itu dengan diam-diam untuk membuka regol halaman. Sedang lawan-lawan
mereka telah mencurahkan seluruh perhatiannya kepada Untara dan para
pengawalnya. Kuda-kuda itu berderap menyerang orang-orang Jipang dan
orang-orang Tambak Wedi yang telah berkumpul di sepanjang dinding halaman,
menunggu giliran mereka untuk meloncat. Tetapi karena serangan yang datang
tiba-tiba, meskipun hanya dari beberapa ekor kuda itu, mereka terpaksa
mempertahankan diri mereka, sehingga pasukan itu menjadi agak terganggu
karenanya. Kawan-kawan mereka yang telah meloncat dinding halaman di seberang
telah disambut pula oleh pasukan berkuda Untara, dan yang masih tinggal di
halaman ini pun telah mendapat serangan pula dari arah yang berlawanan. Sedang
kawan-kawan mereka yang mencoba menyerang jalan di muka halaman itu pun
terpaksa menghentikan langkah-langkah mereka dan terpaksa mereka harus melayani
kuda-kuda yang menyambar di jalanan itu pula. Tetapi ternyata jumlah
orang-orang Jipang dan orang-orang Tambak Wedi masih cukup banyak. Meskipun
mereka sudah menjadi sangat letih namun jumlah mereka masih cukup untuk menahan
arus prajurit-prajurit berkuda dari Pajang yang terlampau sedikit jumlahnya. Untara
yang sudah siap untuk menyongsong Sanakeling tertegun sejenak ketika ia melihat
dengan tiba-tiba saja Ki Tambak Wedi melepaskan sebuah gelang-gelang besinya.
Senapati dari Pajang itu menahan nafasnya sejenak ketika ia melihat seorang
anak buahnya terpelanting dari kudanya oleh gelang-gelang besi itu. Korban anak
buahnya yang pertama. Anak buahnya yang tidak begitu banyak.
“Gila,” desis
Untara dengan kemarahan yang menghentak-hentak di dadanya.
Sekilas ia
memandang perwira yang diserahinya untuk melawan Tambak Wedi. Untara melihat
perwira itu mengerutkan keningnya. Namun apa yang terjadi merupakan peringatan
baginya bahwa melawan orang itu adalah pekerjaan yang berbahaya. Tetapi di
samping itu, perwira itu mendapat petunjuk pula, bahwa setiap kesempatan bagi
Tambak Wedi untuk melepaskan gelang besinya akan berarti maut. Dengan demikian,
maka serangan-serangan terhadapnya harus datang beruntun, seperti ombak yang
menghantam pantai tanpa sekejap pun
waktu yang boleh diabaikan.
Tetapi Ki
Tambak Wedi itu masih berada di seberang pagar dinding halaman, sehingga
kelompoknya masih belum dapat menyergap iblis lereng Merapi itu. Namun perwira
itu bukan seorang yang hanya mampu menunggu perintah Untara. Sambil menunggu
Tambak Wedi, maka kelompoknya beserta orang-orang yang telah disiapkannya
menunggu Sidanti dan Argajaya, segera menyerbu ke arah orang-orang Tambak Wedi
yang telah meloncati pagar halaman banjar. Sedang prajurit-prajurit Pajang yang
di halaman seberang, segera melibatkan diri dalam pertempuran yang ribut,
justru untuk mengurangi kesempatan Ki Tambak Wedi membidik salah seorang
daripada mereka. Kuda-kuda itu menyambar silang-menyilang pada tempat yang
paling jauh dari Ki Tambak Wedi yang sangat berbahaya itu. Ki Tambak Wedi
mengerutkan keningnya. Ia melihat pertempuran sudah menjalar di mana-mana. Ia
melihat orang-orang berkuda di halaman banjar menyerang orang-orang Jipang agak
jauh daripadanya. Sedang di hadapan dinding batu halaman itu, orang-orangnya
sendiri telah terlibat pula dalam pertempuran yang sengit dengan orang-orang
berkuda dari Pajang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar