Jilid 024 Halaman 1



WURANTA sendiri tidak dapat mengerti apa yang terjadi dalam dirinya. Ia sama sekali tidak berkeberatan, apa pun yang akan terjadi dengan Sekar Mirah setelah ia di selamatkan dan berada di tangan keluarganya kembali. Tak ada hubungan apa pun antara dirinya dengan gadis itu, selain peranan yang harus dilakukannya. Namun, ketika peranannya hampir selesai, terasa kenapa demikian cepatnya. Dan kenapa peran yang harus dilakukan itu hanya sekedar demikian saja? Wuranta itu menundukkan kepalanya pula. Terbayang di kepalanya saat-saat yang dilampauinya beberapa hari ini. Saat-saat yang berbahaya dan penuh ketegangan.
“Untuk apakah sebenarnya aku berbuat demikian? Untuk Jati Anom, Pajang, atau untuk sekedar membebaskan gadis itu, dan kemudian menyerahkannya kembali kepada orang yang telah menunggunya?”
Terbayang kembali apa yang telah dilakukannya bersama dengan Alap-alap Jalatunda. Memperkenalkan dirinya kepada gadis itu. Menyebut namanya dan nama Alap-alap Jalatunda sebagai seorang sahabatnya. Ketika Wuranta itu mengangkat wajahnya, terlihatlah olehnya Sekar Mirah sedang berpaling pula. Sejenak mereka saling memandang. Namun tiba-tiba pandangan Sekar Mirah menjadi lain. Lain sekali dengan kemarin. Pandangannya kini mengandung kecurigaan dan kebencian. Bahkan gadis itu kemudian berkata,
“Bukankah anak muda itu kawan Alap-alap Jalatunda?”
Tuduhan itu menyengat jantung Wuranta, seperti sengatan ujung senjata. Tetapi ia dapat mengerti, sehingga dengan demikian ia menjawab perlahan-lahan dengan suara yang sendat,
“Benarlah demikian. Tetapi Adi Swandaru dan Adi Agung Sedayu dapat memberikan keterangan tentang diriku.”
Sekar Mirah memandang Agung Sedayu sesaat. Kemudian ia mundur beberapa langkah sambil bertanya kepada kakaknya, “Siapakah anak muda itu, Kakang?”
“Kakang Wuranta adalah seorang anak dari Jati Anom. Ia adalah lantaran yang dapat menunjukkan kepada kami, di mana kau berada, dan bagaimana dapat membebaskanmu.”
Sekali lagi wajah Sekar Mirah menjadi merah. Tiba-tiba ia berkata lembut,
“Maaf. Maafkanlah aku, Kakang Wuranta.”
Wuranta tidak menjawab, tetapi hatinya berkata,
“Pantas, Sidanti tergila-gila kepadanya dan Alap-alap Jalatunda benar-benar telah menjadi gila. Mudah-mudahan aku tidak menjadi gila pula seperti mereka.”
Yang berkata kemudian adalah Swandaru,
“Kakang Wuranta telah berhasil masuk ke daerah ini dan menjadikan dirinya sahabat Alap-alap Jalatunda.”

Sekar Mirah mengangguk kecil. Tetapi ia tidak berkata apa-apa lagi. Sejenak mereka saling berdiam diri. Ruangan yang tidak terlampau luas itu seakan-akan tidak lagi berisi seorang pun. Namun tiba-tiba mereka terkejut ketika pintu depan gubug itu terbuka. Di muka pintu berdiri dua orang sambil menggenggam pedangnya. Berkata salah seorang dari mereka,
“Aku mendengar semua yang kalian percakapkan. Kalian tidak usah ingkar. Aku datang sejak aku mendengar gadis ini berteriak.”
Wuranta, Swandaru, dan Agung Sedayu sejenak menjadi termangu-manggu. Ditatapnya kedua orang yang berdiri di muka pintu itu dengan mata yang hampir tidak berkedip. Begitu kuatnya mereka terpukau oleh keadaan di dalam ruangan itu, sehingga mereka sama sekali tidak menyadari, bahwa ternyata kehadiran mereka di dalam rumah itu telah diketahui oleh orang lain.
“Nah, apakah yang akan kalian katakan. Lebih baik kalian menyerah saja, supaya kalian tidak mempersulit pekerjaanku.”
Agung Sedayu menarik nafas. Ialah yang pertama-tama melangkahkan kakinya mendekati kedua orang yang masih berdiri di muka pintu.
Wuranta yang melihat langkah Agung Sedayu yang tenang dan meyakinkan itu menjadi berdebar-debar. Meskipun ia melihat perubahan pada diri anak muda itu sejak ia bertemu kembali di Jati Anom setelah agak lama berpisah, namun sikapnya saat itu benar-benar telah menimbulkan berbagai pertanyaan di dalam dirinya. Di dalam diri Agung Sedayu itu tidak dapat dikenalnya lagi sifat-sifatnya pada masa kanak-kanaknya. Hampir tak ada bekas-bekas dari sifat-sifatnya itu. Seakan-akan Agung Sedayu tidak pernah berada di dalam suatu keadaan yang tidak sepantasnya bagi laki-laki muda. Seakan-akan anak muda itu tidak pernah menjadi seorang pengecut dan penakut. Tetapi kini Agung Sedayu melangkahkan kakinya dengan suatu keyakinan pada dirinya.
Dengan suara yang meyakinkan pula terdengar Agung Sedayu bertanya,
“Siapakah kalian?”
“Kau tidak perlu bertanya siapakah kami. Tetapi kamilah yang berhak bertanya kepada kalian. Siapakah kalian?”
“Kalian telah mendengarkan percakapan kami.”
“Ya, ya. Kami tahu bahwa di antara kalian bernama Swandaru dan Agung Sedayu. Pengkhianat yang licik itu sudah aku kenal sebelumnya.”
Dada Wuranta berdesir mendengar sebutan itu. Pengkhianat. Di Jati Anom anak-anak muda menudingnya pula dengan sebutan itu. Pengkhianat.
“Apakah yang aku dapat dari sebutan-sebutan itu?” berkata Wuranta di dalam hatinya.
“Di mana-mana aku dianggap sebagai pengkhianat. Kalau Alap-alap Jalatunda masih hidup, ia  pun akan menuding wajahku sambil berkata demikian pula. Yang aku tidak tahu, bagaimanakah sebenarnya anggapan Sekar Mirah kepadaku.”
Tiba-tiba Wuranta itu menggelengkan kepalanya. Ia sama sekali tidak memperhatikan lagi tuduhan orang yang berdiri di muka pintu itu. Hatinya seakan-akan menjadi pepat.
Namun ia masih mendengar suara Agung Sedayu,
“Kau benar. Akulah yang bernama Agung Sedayu. Dan Kakak Sekar Mirah itulah yang bernama Swandaru. Sedang yang satu, yang kau sangka pengkhianat itu adalah sahabatku. Ia memang berjuang untuk kepentingan Pajang sejak semula. Kebodohan pemimpin kalianlah yang telah memungkinkannya memasuki daerah ini.”
“Persetan dengan senua itu! Sekarang menyerahlah. Aku ingin, mengikat kaki dan tanganmu. Apabila keributan di banjar itu sudah selesai, maka akan datang giliran kalian untuk mendapatkan perhatian khusus dari Ki Tambak Wedi.”
Agung Sedayu seolah tidak mendengar kata-kata mereka itu. Malahan ia bertanya,
“Apakah kalian berdua tidak ikut berkelahi di halaman banjar itu? Aku tadi berkesempatan untuk melihatnya. Kawan-kawanmu yang bertugas di segala penjuru berlari-larian ke sana. Kenapa kalian enak-enak saja di sini.”
“Hem,” geram salah seorang dari mereka,
“apabila kami juga pergi ke sana, maka kalian akan leluasa berbuat sekehendakmu di sini. Itulah pertanda bahwa nasibmu memang sedang malang. Kalian mengira bahwa kami  pun dipanggil pula ke sana. Ketahuilah, bahwa kami bertugas di sini berlima bergiliran pada keadaan biasa. Tiga dari kawan-kawan kami telah pergi ke banjar desa. Tetapi kami berdua tetap berada di sini. Agaknya nasib kalian yang terlampau jelek.”
Wajah kedua orang itu tiba-tiba menjadi tegang ketika mereka mendengar Agung Sedayu itu justru tertawa. Katanya,
“Marilah masuk. Kita lebih baik berbicara dengan baik.”

Sejenak kedua orang itu terbungkam. Mereka sama sekali tidak menyangka bahwa Agung Sedayu akan berbuat demikian. Anak muda itu sama sekali tidak menjadi cemas dan takut. Bahkan ia tertawa dan mempersilahkannya masuk. Karena kedua orang itu tidak segera menjawab, maka Agung Sedayu itu berkata pula,
“Marilah, kalau memang kau tidak akan pergi ke banjar itu. Apakah perlunya kita bertengkar?”
Sesaat kemudian kedua orang itu pun menyadari keadaannya. Wajah mereka yang tegang menjadi semakin tegang. Dengan gemetar salah seorang dari mereka berkata,
“Jangan mencoba mempengaruhi sikapku. Aku bukan anak-anak. Seandainya gadis itu yang mempersilahkan aku, maka aku  pun tidak akan melepaskan niatku untuk menangkap kalian. Ayo, menyerahlah sebelum kami bertindak.”
“Apakah kalian berdua mampu berbuat demikian? Kami bertiga di sini, sedang kalian hanya berdua.”
“Setan alas!” bentak yang lain.
“Takaran kami adalah sepuluh orang seperti kalian.”
“Tetapi yang ada di sini hanyalah kami bertiga. Apakah kami harus mencari tujuh orang kawan lagi buat melayani kalian?”
Kedua orang itu  pun menjadi semakin marah. Mereka merasakan kata-kata Agung Sedayu itu sebagai suatu penghinaan. Karena itu maka salah seorang dari mereka berkata,
“Tak akan ada kesempatan lagi. Kalian telah menghina kami. Karena itu, maka kalian akan kami bunuh tanpa persoalan lagi. Tanpa harus dihadapkan kepada Ki Tambak Wedi atau siapa pun.”
Agung Sedayu tidak menjawab. Ia melihat kedua orang itu menjadi sangat marah. Karena itu maka ia  pun harus berhati-hati. Ia belum tahu, sampai di mana kemampuan keduanya. Tetapi ia yakin bahwa kedua orang itu pasti tidak akan setangkas Sidanti atau Alap-alap Jalatunda. Dengan pedang teracung ke depan kedua orang itu bersama-sama melangkahi tlundak pintu masuk ke dalam gubug itu pula. Wajah mereka menjadi merah karena kemarahan yang telah memuncak. Agung Sedayu melangkah selangkah surut. Ia menjadi semakin hati-hati menghadapi kedua orang itu. Apalagi ketika keduanya kemudian berpencar. Seorang ke sisi kiri, yang seorang, ke sisi kanan.
“Hem,” Agung Sedayu bergumam di dalam hatinya,
“mereka cukup berhati-hati.”
Tetapi betapa terkejut Agung Sedayu ketika ia melihat Wuranta dengan tiba-tiba saja meloncat dengan garangnya, menyerang salah seorang dari kedua orang itu. Dengan pedangnya, ia langsung menusuk ke arah lambung. Swandaru terkejut pula melihat serangan itu. Semula ia menyangka bahwa Agung Sedayu akan menyelesaikannya sendiri. Tetapi kemudian ia melihat Wuranta telah mulai membuka serangannya. Namun Swandaru itu tidak beranjak dari tempatnya. Ia merasa bahwa semuanya itu akan dapat selesai. Kuwajibannya adalah melindungi Sekar Mirah dari setiap bahaya. Itulah sebabnya, maka Sekar Mirah itu tidak dilepaskannya.

Serangan Wuranta ternyata cukup dahsyat. Orang yang diserangnya terkejut pula. Tetapi orang itu cukup tangkas untuk menghindari serangan itu. Dengan lincahnya orang itu mulai membalas serangan Wuranta. Pedangnya menebas mendatar dalam ruangan yang tidak terlampau luas itu. Kawannya yang seorang tidak segera berbuat sesuatu. Sejenak ia melihat kawannya berkelahi. Meskipun ia tidak melepaskan pengawasannya terhadap Angung Sedayu, tetapi ia mampu sekedar menilai keadaan yang terjadi. Ternyata kawannya itu tidak kalah cepatnya menggerakkan pedang daripada Wuranta. Agung Sedayu  pun melihat pula kekurangan Wuranta atas lawannya. Agaknya lawannya adalah seorang yang cukup terlatih. Dalam saat yang pendek, Wuranta telah terdesak beberapa langkah. Bahkan serangan-serangan yang diluncurkan oleh orang padepokan Tambak Wedi itu cukup membahayakan Wuranta. Tetapi Wuranta bertempur dengan sepenuh tenaganya. Ia sendiri tidak menyadari sepenuhnya apa yang telah dilakukan. Tetapi ia merasa, bahwa ia harus berbuat sesuatu. Ia tidak mau dicengkam oleh ketegangan dan kerisauan. Karena itu tiba-tiba saja ia telah meloncat untuk melepaskan diri dari ketegangan yang mencengkamnya. Bukan karena kehadiran kedua orang itu, tetapi karena hatinya yang risau menghadapi keadaan. Hadirnya Agung Sedayu benar-benar telah membuat hatinya menjadi kisruh. Dan justru kehadiran kedua orang itu seakan-akan memberinya jalan untuk melepaskan ketegangan dan kerisauannya, sehingga tanpa berpikir jauh ia telah membuka serangannya. Agung Sedayu menjadi cemas melihat perkelahian itu. Perkelahian di tempat yang sempit adalah lebih berbahaya daripada di tempat terbuka. Perbedaan kemampuan mempermainkan senjata yang tidak terlampau banyak, di tempat terbuka tidak akan terlampau berbahaya bagi pihak yang lemah, apalagi apabila ia mampu mengimbanginya dengan kecepatan bergerak. Tetapi di tempat yang sempit kesempatan untuk bergerak sangat terbatas. Kecakapan menggerakkan senjata akan sangat penting pengaruhnya. Karena itu sejenak kemudian, Agung Sedayu melihat Wuranta itu menjadi semakin terdesak. Keadaannya tiba-tiba menjadi sangat berbahaya ketika ia telah melekat dinding, sedang serangan lawannya masih saja mengejarnya. Sekali ia mampu menangkis serangan itu, tetapi untuk seterusnya kedudukannya menjadi sangat sulit. Ternyata lawannya mampu mempergunakan kesempatan itu. Dengan sebuah tipuan yang mengejutkan, orang itu memancing senjata Wuranta untuk menangkis, tetapi begitu senjata Wuranta terayun ke samping, maka dengan cepatnya pedang lawannya itu terjulur lurus menggali ke dadanya. Dada Agung Sedayu berdesir, ia tidak dapat membiarkan hal itu terjadi. Bahkan Swandaru pun hampir-hampir saja meloncat menolongnya seandainya ia tidak melihat pedang Agung Sedayu secepat kilat seolah-olah meloncat dari wrangkanya langsung memukul pedang lawan Wuranta sehingga pedang itu bergeser ke atas.

Keduanya yang sedang berkelahi terkejut melihat gerak Agung Sedayu yang demikian cepatnya sehingga sejenak keduanya berdiri saja sambil memandangi wajah Agung Sedayu yang tegang. Tetapi sekali lagi terjadi sesuatu di luar dugaan Agung Sedayu, Swandaru, Sekar Mirah, bahkan kedua orang Tambak Wedi itu sendiri. Tiba-tiba Wuranta itu  pun menjadi marah. Sambil menunjuk wajah Agung Sedayu dengan pedangnya ia berkata,
“Adi Agung Sedayu, jangan terlampau sombong. Kalau kau ingin berkelahi, carilah musuhmu sendiri. Jangan kau ganggu aku. Apakah kau sangka aku tidak mampu menyelamatkan diriku sendiri? Kau sangka tanpa pertolonganmu aku akan semudah itu mati terbunuh? Adi, aku telah mengorbankan diriku dalam suatu pekerjaan yang sangat berbahaya. Sudah tentu aku tahu benar akibatnya. Apakah dengan demikian aku masih memerlukan pertolongan orang lain untuk keselamatanku.”
Agung Sedayu berdiri tegak seperti patung. Ia tidak mengerti apakah yang sedang dihadapinya. Ia merasa berbuat sesuatu yang seharusnya dilakukan. Tetapi ternyata Wuranta menganggapnya telah berbuat kesalahan. Karena itu, maka ia menjadi bingung dan untuk sesaat tidak tahu apa yang sebaiknya dilakukan.
“Adi,” berkata Wuranta kemudian,
“kalau kau ingin melihat aku berkelahi, lihatlah dengan baik. Kalau kau ingin berkelahi pula, berkelahilah dengan lawan yang lain. Tetapi jangan ganggu aku. Kau dan aku adalah sama-sama seorang laki-laki. Kau dan aku mempunyai kesempatan yang sama. Karena itu carilah kesempatanmu sendiri apabila kau ingin menyombongkan diri. Apakah dengan demikian kau ingin menunjukkan kelebihanmu dari aku?”
Agung Sedayu menjadi semakin bingung. Ketika ia berpaling memandangi Swandaru, tampak anak muda yang gemuk itu menjadi bingung pula. Tetapi wajah Sekar Mirah tidak membayangkan kebingungannya, tetapi wajah itu membayangkan kecemasan. Namun sejenak kemudian mereka dikejutkan oleh suara panah sendaren lamat-lamat di kejauhan. Panah sendaren yang dilepaskan oleh Ki Tanu Metir untuk memberi tanda kepada Untara yang berada di ambang pintu Padepokan Tambak Wedi itu. Kedua orang Tambak Wedi itu agaknya mendengar juga suara panah sendaren itu. Karena itu mereka agaknya menjadi bertanya-tanya pula di dalam hati mereka. Apakah arti panah sendaren itu?
Sebelum kedua orang padepokan itu menyadari keadaannya, maka terdengar suara Swandaru,
“Nah, sekarang jangan mencoba membuat ribut lagi di sini. Sekarang kau berdualah yang harus menyerah kepada kami. Bukankah kau mendengar suara panah sendaren itu? Itu adalah pertanda bahwa pasukan Pajang akan masuk ke dalam padepokan ini,”
Kedua orang itu terdiam sejenak. Dengan wajah yang dipenuhi oleh kebimbangan mereka saling berpandangan dan bertanya-tanya di dalam hati. Tetapi salah seorang dari mereka kemudian berkata.
“Jangan mencoba menyelamatkan diri dengan cara yang licik itu. Kalian sudah berada di tangan kami. Kalian harus menyerah dan harus tunduk kepada segala perintahku.”
“Jangan mengigau,” potong Swandaru, “kalian sudah tidak akan dapat meloloskan diri lagi.”

Tetapi kedua orang itu tidak mau diperdayakan. Karena itu maka segera mereka bersiap untuk segera mulai dengan pertempuran lagi di dalam gubug yang kecil itu. Tetapi kali ini Agung Sedayu tidak mau terlibat lagi dalam kesulitan dengan Wuranta yang tiba-tiba saja marah-marah tanpa diketahui sebabnya. Karena itu, maka ia mengambil jalan lain. Tiba-tiba ia menghadap kepada orang padepokan Tambak Wedi yang seorang lagi. Ia harus mengalahkan orang itu segera. Lebih cepat dari waktu yang diperlukan oleh orang yang lain mengalahkan Wuranta. Dengan demikian, maka keadaan pasti akan terpengaruh karenanya. Yang seorang lagi itu  pun pasti akan kehilangan keberanian untuk berkelahi terus. Ketika kedua orang itu mulai bergerak, maka tiba-tiba saja Agung Sedayu meloncat dengan kecepatan yang hampir tidak dapat dilihat. Hampir tak masuk di akal Wuranta dan orang Tambak Wedi yang lain. Mereka seakan-akan tidak melihat Agung Sedayu itu berbuat sesuatu, tetapi yang mereka lihat adalah, pedang lawannya telah terlontar jatuh. Orang yang kehilangan pedangnya itu  pun berdiri saja dengan mulut ternganga. Bagaimana mungkin hal itu dapat terjadi. Ia hanya merasakan tangannya menjadi nyeri dan pedang itu terlepas justru pada saat ia mulai mempersiapkan dirinya. Waktu yang diperlukan oleh Agung Sedayu benar-benar tidak dapat dimengertinya.
“Nah, apakah katamu sekarang?” bertanya Agung Sedayu sambil mengacungkan pedangnya kepada orang itu.
“Aku bukan Sidanti. Aku tidak akan membunuh lawanku yang sudah menyerah. Sekarang jawablah pertanyaanku. Apakah kau ingin menyerah atau ingin mencoba melawan. Kalau kau berkeras hati hendak berkelahi, maka saya persilahkan kau mengambil pedangmu.”
Orang itu berdiri kebingungan. Ia tidak mengerti, apakah Agung Sedayu itu berkata sebenarnya ataukah hanya sekedar bergurau saja. Tetapi sesaat kemudian ia mendengar Agung Sedayu itu berkata lagi,
“Ayo. Ambil pedangmu, cepat! Ambil! Ambil!”
Orang Tambak Wedi itu benar-benar tidak mengerti maksud Agung Sedayu. Seperti orang yang kehilangan kesadaran ia berdiri saja membeku. Tiba-tiba Agung Sedayu melangkah surut beberapa langkah. Sekali lagi ia berkata lantang,
“Ambil pedangmu. Lawan aku. Cepat sebelum pedangku menembus jantungmu.”
Orang itu benar-benar tidak mengerti apa yang harus dilakukan. Kesempatan untuk mengambil pedangnya kembali itu seperti terasa di dalam mimpi. Tetapi seperti digerakkan oleh tenaga yang aneh ia melangkah, membungkuk mengambil pedangnya.
“Nah, kau sudah bersenjata lagi. Ayo, lawanlah Agung Sedayu.”
Orang itu masih berdiri tegak kaku seperti tiang-tiang batu di dalam gubug itu.
“Cepat!” bentak Agung Sedayu.
Tetapi tiba-tiba orang itu menggeleng. Dilemparkannya pedangnya sambil berkata,
“Tidak. Tidak ada gunanya. Aku menyerah.”
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
“Kau menyerah? Apakah kau tidak akan mencoba melawan aku?”
Sekali lagi orang itu menggelengkan kepalanya.
“Tidak. Kau mampu bergerak seperti hantu. Cepat melampaui kecepatan mataku. Aku tidak akan mampu melawanmu.”

Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ketika ia berpaling dilihatnya orang Tambak Wedi yang seorang berdiri seperti patung pula. Wajahnya menjadi pucat dan dadanya berdebaran.
“Bagaimana kau?” bertanya Agung Sedayu.
“Tidak, tidak,” jawabnya gemetar.
“Tidak? Apa yang tidak?”
“Aku tidak berani melawan kalian. Aku menyerah.”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan sudut matanya ia mencoba memandangi wajah Wuranta. Ia tidak tahu, apakah yang tumbuh dan berkembang di dalam hatinya. Tetapi Agung Sedayu tidak dapat menangkap perasaan anak muda itu. Wuranta sendiri berdiri tegak di tempatnya. Ia melihat kecepatan bergerak Agung Sedayu. Gerak yang tidak dapat dibayangkannya dapat dilakukan oleh anak yang dahulu adalah seorang anak yang tercela di antara kawan-kawan laki-laki sebayanya. Seorang pengecut dan pengikut. Bahkan kadang-kadang terlampau cengeng. Dalam permainan yang biasa saja, Agung Sedayu sering sekali menangis dan berlari-lari pulang mengadukan kepada ibunya. Tetapi anak itu kini begitu tangkasnya bermain pedang. Meskipun demikian, Wurata masih belum dapat menerima kenyataan itu. Kenyataan itu terlampau pahit baginya. Meskipun ia tidak dapat berkelahi setangkas Agung Sedayu, tetapi apa yang selama ini dikerjakan, tidak juga dapat dilakukan oleh Agung Sedayu. Bahkan ia berkata di dalam hatinya, “Tanpa aku, Sekar Mirah tidak akan dapat terlepas dari padepokan ini. Bahkan mungkin ia sudah kehilangan miliknya yang paling berharga di tangan Alap-alap Jalatunda.”
Sejenak ruangan itu menjadi sepi. Agung Sedayu menjadi ragu-ragu untuk berbuat sesuatu. Wuranta masih berdiri di tempatnya dengan pedang di tangan, sedang Sekar Mirah dan Swandaru pun berdiri saja seperti patung. Meskipun demikian, terasa ada pertanyaan-pertanyaan di dalam hatinya, apakah sebabnya maka tiba-tiba Wuranta bersikap demikian, sedang Sekar Mirah menjadi sangat bersedih karenanya. Samar-samar ia dapat meraba, apakah sebenarnya yang menyebabkan Wuranta bersikap kasar terhadap Agung Sedayu. Yang menjadi semakin bingung adalah dua orang Tambak Wedi yang berdiri kaku dengan wajah yang pucat. Mereka melihat sesuatu yang kurang wajar pada kedua lawannya. Wuranta dan Agung Sedayu. Tetapi meskipun demikian mereka tidak berani berbuat sesuatu. Apa yang dilakukan Agung Sedayu ternyata benar-benar telah mempengaruhi perasaan mereka. Apalagi orang yang pedangnya telah terlempar jatuh tanpa dapat berbuat apa pun.

Dalam pada itu, di regol padepokan Tambak Wedi, pasukan berkuda yang langsung dipimpin oleh Untara sendiri berderap memasuki padepokan seperti banjir yang telah memecahkan tanggul. Debu yang putih berhamburan naik tinggi ke udara. Begitu Untara mendengar tanda-tanda yang diberikan oleh Kiai Gringsing, maka ia tidak menunggu lagi. Ia percaya bahwa orang tua itu memiliki perhitungan yang cukup baik, sehingga tanda-tanda yang diberikannya dapat dipercayainya. Tetapi meskipun demikian, Untara tidak menunjukkan kelemahannya. Ia menyadari bahwa pasukannya itu tidak cukup banyak untuk bertempur melawan kekuatan yang ada di Tambak Wedi. Karena itu, maka sebelum ia memasuki regol padepokan, pasukannya telah mendapat pesan daripadanya, untuk membuat gelar yang dapat memberi kesan kepada lawannya, bahwa pasukan berkuda itu cukup banyak. Sesaat pasukannya memasuki regol padepokan, maka pasukan itu segera berpencar. Sebagian langsung masuk dalam-dalam ke dalam padepokan itu, melingkar, kemudian berlari hampir di sepanjang jalan kecil menuju ke banjar pimpinan, sedang yang lain memilih jalan yang lain. Tetapi tujuan mereka, seperti yang telah diancarkan Ki Tanu Metir lewat Wuranta adalah banjar pimpinan. Sementara itu pasukan yang lain, yang berjalan kaki  pun sudah tidak terlampau jauh lagi dari padepokan itu. Bahkan mereka pun lamat-lamat telah mendengar tanda yang dilontarkan oleh Ki Tanu Metir, panah sendaren. Karena itu, maka pasukan itu mempercepat langkahnya, bahkan berlari-lari kecil. Yang pertama-tama memberi tanda, bahwa perhitungan Ki Tanu Metir cukup baik adalah, bahwa Untara sama sekali tidak menjumpai seorang penjaga pun di regol padepokan. Pertanda ini adalah pertanda yang baik bagi Untara. Meskipun pada saat ia datang ke padepokan ini ia cukup berhati-hati, sehingga ia berada pada jarak yang cukup jauh, karena ia masih meragukan keadaan. Tetapi ternyata bahwa pintu gerbang padepokan ini seolah-olah telah terbuka lebar menyambut kedatangannya.

Kedatangan Untara benar tidak diduga-duga oleh orang-orang padepokan Tambak Wedi. Baik oleh orang-orang Tambak Wedi sendiri maupun oleh orang-orang Jipang yang berada di Tambak Wedi yang saat itu sedang bertempur satu sama lain dengan sengitnya. Karena itu, ketika mereka mendengar kuda berderap di dalam padepokan mereka, maka mereka terkejut bukan buatan. Segera mereka menyadari keadaan mereka. Tetapi sudah terlambat. Kawan-kawan mereka yang terbunuh di dalam perkelahian yang ribut tanpa dapat dikendalikan, sudah tidak terhitung lagi jumlahnya. Bahkan Ki Tambak Wedi sendiri sama sekali sudah kehilangan perhitungannya dalam menghadapi pasukan Untara di Jati Anom. Dengan marahnya ia berkelahi membunuh orang-orang Jipang seperti menebas ilalang. Meskipun demikian orang-orang Jipang itu telah membuatnya semakin marah, karena setiap kali Sanakeling berhasil menyusun kembali sekelompok orang-orang yang cukup kuat untuk melawan hantu Tambak Wedi itu. Demikian juga Sidanti dan Argajaya. Setiap kali mereka harus berhadapan dengan kelompok-kelompok yang teratur sebagaimana prajurit yang sedang bertempur. Meskipun Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya seakan-akan mampu menumpas lawannya, namun jumlah orang Jipang itu cukup memberikan perlawanan yang sengit. Dengan demikian, maka akibatnya adalah korban berjatuhan tanpa dapat dihitung lagi. Dan kini mereka yang sedang dirobek-robek oleh perkelahian itu menghadapi kenyataan baru, kedatangan pasukan Untara dan Jati Anom. Kedatangan itu demikian mengejutkan sehingga perkelahian yang berlangsung di sudut-sudut halaman, di kebun-kebun di antara rumpun-rumpun bambu dan di jalan-jalan itu, tiba-tiba terhenti. Orang-orang Tambak Wedi dan orang-orang Jipang sejenak berdiri kaku dengan dada yang semakin berdebar-debar. Sesaat kemudian mereka melihat kuda menyambar-nyambar di sekitar mereka. Mereka melihat kuda-kuda itu datang dari beberapa jurusan. Dengan demikian, maka dada mereka menjadi semakin berdebar-debar. Bahkan beberapa orang dari mereka  pun menjadi bingung karenanya. Sebelum mereka menyadari keadaan, maka di kejauhan mereka mendengar seseorang berteriak nyaring,
“Atas nama pemerintah Pajang, kalian supaya menyerah.”
Sejenak halaman banjar itu dicengkam oleh keheningan. Mereka tidak lagi mendengar derap kuda berlari-lari. Tetapi mereka melihat samar-samar di balik dedaunan dan pagar halaman, ujung-ujung pedang prajurit Pajang yang duduk di punggung kuda.
Ki Tambak Wedi berdiri termangu-manggu. Ketika ia menebarkan pandangan matanya, maka dilihatnya mayat bergelimpangan. Mayat kawan dan mayat lawan. Beberapa puluh langkah daripadanya berdiri Sanakeling yang telah dibasahi oleh darahnya sendiri. Luka-lukanya membujur-lintang di tubuhnya. Namun ia masih mampu berkelahi seperti harimau lapar.
Di luar halaman banjar, Sidanti yang keringatnya juga sudah diwarnai oleh darah yang memercik dari luka-lukanya, berdiri dalam keragu-raguan. Apakah yang harus mereka kerjakan?
Dalam keheningan itu sekali lagi terdengar suara dikejauhan,
“Atas nama Adipati Pajang, menyerahlah. Kalian telah terkepung rapat.”
Suara itu bergetar menyelusur dedaunan, cabang-cabang pepohonan. Ranting-ranting dan menyentuh setiap telinga orang-orang Padepokan Tambak Wedi dan orang-orang Jipang, sehingga dada-dada mereka pun bergolak karenanya.
Ki Tambak Wedi, Sanakeling, Sidanti, dan Argajaya masih berdiri kaku di tempatnya. Dari tempatnya masing-masing, mereka saling memandang dan saling bertanya, apakah yang sebaiknya mereka lakukan. Sejenak kemudian Ki Tambak Wedi melambaikan tangannya kepada muridnya dan kepada Argajaya. Keduanya pun segera memenuhi panggilan itu. Sambil meloncati mayat-mayat kawan dan lawannya, mereka tergesa-gesa mendapatkan Ki Tambak Wedi.
“Apa yang akan kau lakukan?” gumam Ki Tambak Wedi kepada muridnya.
Dengan nafas terengah-engah Sidanti menyahut.
“Terserah kepada Guru, apa yang harus kami lakukan.”
Ki Tambak Wedi terdiam sesaat. Dipandanginya wajah Argajaya. Tetapi seperti Sidanti, ternyata Argajaya itu  pun menunggu perintahnya.

Dalam pada itu sekali lagi udara padepokan digetarkan oleh suara di kejauhan,
“Bagaimana jawabmu Ki Tambak Wedi. Kalian telah terkepung. Menyerahlah kepada kami yang datang ke padepokanmu mengemban perintah dari Pimpinan tertinggi Wira Tamtama, atas nama Adipati Pajang.”
“Persetan!” Tambak Wedi menggeram.
“Apakah kita harus melawan mereka bersama-sama?” bertanya Sidanti.
“Jangan bodoh,” jawab gurunya.
“Lalu apa yang harus kita lakukan?”
“Kita telah berada di dalam keadaan yang paling sulit selama kita berada di padepokan ini. Tetapi apa boleh buat. Kita sudah terlanjur basah kuyup.”
“Ya, tetapi lalu bagaimana?” desak Argajaya.
“Kita harus melepaskan diri dari padepokan ini. Kita tidak akan mampu melawan orang-orang Pajang itu. Kekuatan mereka masih cukup segar, sedang kekuatan kita telah turun lebih dari separo, seandainya Sanakeling masih bersedia bergabung lagi.”
“Apakah aku harus melarikan diri?”
“Tetapi kalian harus bertempur dahulu. Dengan demikian maka kesempatan kalian untuk menghindarkan diri menjadi lebih banyak. Biarlah orang-orang lain kalian tinggalkan. Aku juga akan segera menyusul, sebab aku kira tidak ada gunanya melawan mereka.”
“Bagaimana dengan Sanakeling?”
Ki Tambak Wedi memandangi orang itu, Sanakeling masih berdiri tegak dalam kebimbangan. Tiba-tiba ia melihat Ki Tambak Wedi melambaikan tangannya memanggilnya.
Sanakeling berdiri termangu-manggu. Tetapi kemudian ia menggeleng sambil menggeram,
“Kalau kau perlukan aku, datanglah kemari.”
“Gila,” Sidanti berdesis, tetapi Ki Tambak Wedi mencegahnya.
“Biarlah. Kita pergunakan orang bodoh itu untuk saat yang terakhir.”
“Lalu apakah yang akan kita lakukan?”
“Aku akan datang kepadanya.”
“Kenapa Guru harus merendahkan diri demikian?”
“Kita menghadapi bahaya yang cukup besar. Kita pergunakan Sanakeling supaya ia melindungi kita tanpa diketahuinya. Kita tidak usah memikirkan nasibnya. Ia pasti akan mati di tangan Untara.”
Sidanti sama sekali tidak rela melihat gurunya terpaksa mengalah mendatangi Sanakeling. Tetapi ia melihat, bahwa rencana gurunya itu adalah satu-satunya yang dapat dilakukan. Karena itu, maka betapa  pun sakit hatinya, ia terpaksa melihat gurunya itu berjalan mendekati Sanakeling.
“Kita bersama-sama berada di dalam kesulitan,” berkata Ki Tambak Wedi kepada Sanakeling kemudian,
“waktu kita tidak cukup panjang. Bagaimanakah sikapmu Sanakeling?”
“Aku tetap pada pendirianku. Pantang menyerah kepada orang-orang Pajang, tetapi aku ingin Sidanti aku bunuh sekarang juga.”
“Itu tidak mungkin kau lakukan. Kau akan dapat memilih salah satu di antara keduanya. Melawan Pajang atau melawan Sidanti.”
“Keduanya. Aku tetap dalam pendirianku.”
“Tetapi kau tidak akan dapat melakukan bersama-sama. Baiklah, kalau kau tetap bertekad demikian. Tetapi apakah yang pertama-tama kau lakukan?”
Sanakeling tidak menjawab.
“Aku mempunyai usul, selagi kekuatan kita masing-masing masih cukup kuat untuk melawan Untara. Kita bersama-sama melawan orang-orang Pajang, kemudian kita selesaikan persoalan kita. Kau akan mendapat kesempatan perang tanding melawan Sidanti.”
Sanakeling masih berdiam diri
“Adalah bodoh pada saat serupa ini kita membuka garis perang segi-tiga. Itu hanya akan menguntungkan Untara saja. Apakah hal ini kau sadari?”
“Baik,” tiba-tiba Sanakeling menggeram, “aku setuju usulmu. Kita bertempur melawan Untara, tetapi sesudah itu, aku harus mendapat kesempatan membunuh Sidanti.”
“Terserah kepadamu. Tetapi yang akan terjadi adalah perang tanding. Kesempatanmu sama dengan Sidanti. Membunuh atau dibunuh di dalam perkelahian itu.”
“Baik. Kesempatan itu aku terima.”
“Nah, sekarang terserah kepadamu. Tuntunlah pasukanmu yang masih tersisa. Aku akan membawa pasukan Tambak Wedi untuk melawan orang-orang Pajang itu. Kalau yang datang itu hanya pasukan berkudanya saja, maka kekuatan itu tidak terlampau besar.”
“Bagus,” sahut Sanakeling, “tetapi kau jangan ingkar janji.”
“Aku junjung tinggi sifat-sifat jantan di antara kita.”

Sanakeling mengangguk-anggukkan kepalanya. Sementara itu Ki Tambak Wedi kembali kepada Sidanti. Namun ia masih belum melihat pasukan Pajang mulai bergerak. Agaknya mereka menyangka bahwa Tambak Wedi sedang merundingkan syarat penyerahan. Bahkan ia masih mendengar lagi suara,
“Apakah kalian menyerah?”
Sekilas Ki Tambak Wedi memandang Sanakeling. Dilihatnya wajah itu menegang. Bahkan kemudian menggeleng. Ki Tambak Wedi  pun tersenyum di dalam hati. Namun mulutnya segera berteriak,
“Tak ada seorang  pun di antara kami yang berpikir untuk menyerah. Meskipun tubuh kami telah dibasahi oleh keringat dan darah, tetapi kami akan tetap dalam pendirian kami.”
Demikian Ki Tambak Wedi berhenti, maka terdengar Sanakeling berteriak,
“Ternyata kalian, prajurit-prajurit Pajang, terlampau licik. Kalian mempergunakan kesempatan, selagi kita menyelesaikan masalah kami ke dalam. Tetapi tidak apa. Sisa-sisa yang ada pada kami cukup kuat untuk melawan kalian.”
Jawaban itu memang sudah diduga. Namun ternyata Untara tidak segera bertindak. Ia masih melihat keadaan yang dihadapinya. Namun sebagai seorang prajurit yang berpengalaman, maka segera ia berhasil menyesuaikan dirinya. Segera ia mengetahui dan menyadari sepenuhnya apa yang sedang dihadapi. Dengan mempertimbangkan pesan Ki Tanu Metir lewat Wuranta, sambil melihat apa yang terjadi saat itu, maka Untara mampu menarik kesimpulan dan langsung membuat perhitungan sebaik-baiknya. Sebenarnya ia mengharap kehadiran Ki Tanu Metir untuk mendapat pertimbangan, tetapi orang itu masih belum dilihatnya. Namun untuk bertindak lebih lanjut ia cukup berhati-hati. Ia tidak tergesa-gesa menyerbu lawannya yang sedang dengan tegang menunggunya. Tetapi dibiarkannya keadaan itu tetap tidak berubah. Sementara itu pasukannya yang berjalan kaki semakin lama menjadi semakin dekat. Di pintu gerbang, Untara telah menempatkan dua orang penghubung yang akan mengatur pasukannya yang segera akan menyusul. Sementara itu, ia dapat memperpanjang waktu dengan berbagai macam pertanyaan dan ancaman. Namun derap kuda pasukannya telah cukup membuat orang-orang Tambak Wedi dan orang-orang Jipang yang masih hidup menjadi bingung dan berkecil hati, seolah-olah kuda-kuda itu berada di segala jurusan.
Ketika Untara mendengar Sanakeling menjawab maka ia berkata pula,
“Sanakeling, apakah kau masih tetap merasa bahwa pasukanmu cukup kuat untuk melawan Pajang?”

Dari balik segerumbul perdu Sanakeling melihat kepada Untara yang duduk di atas punggung kuda. Di belakangnya beberapa prajurit berkuda mengawalnya dengan kuat. Ujung-ujung pedang berkilat-kilat tersentuh oleh sinar matahari pagi yang semakin lama menjadi semakin cerah.
“Jumlah kami masih cukup!” teriak Sanakeling.
“Jangan menyangka bahwa karena pertengkaran kecil di antara kami maka kekuatan kami menjadi susut.”
Untara tertawa. Katanya,
“Apakah kau sangka kami di sini tidak melihat mayat yang bergelimpangan di halaman, di bawah rumpun-rumpun bambu dan gerumbul-gerumbul liar di kebun belakang, di jalan-jalan, bahkan bergayutan di pagar-pagar batu yang rendah itu?”
“Persetan dengan itu semua!” Ki Tambak Wedi-lah yang menyahut.
“Kalau kau mau menyerang kami, marilah kami tunggu. Kenapa kalian masih berdiam diri saja di situ? Apakah kalian merasa bahwa kalian telah terperosok ke dalam lingkungan yang tidak kalian duga-duga. Kalian menyangka bahwa kami telah tumpas karena perselisihan yang tidak berarti ini? Untara, kamu salah. Ternyata, bahwa kami masih sanggup menyambut kedatanganmu. Ayo, kenapa kau diam saja di situ?”
“Jangan menggertak, Kiai,” sahut Untara,
“pasukan kami cukup banyak. Tetapi adalah menjadi kebiasaan Wira Tamtama Pajang untuk tidak tergesa-gesa bertindak. Kami memberi kalian waktu. Dan waktu yang kami berikan untuk berpikir itu cukup panjang, supaya kalian tidak menyesal nanti.”
“Omong kosong!” teriak Ki Tambak Wedi. Kemudian kepada Sanakeling ia berkata,
“Kalau Untara masih belum berbuat sesuatu, kitalah yang akan bergerak dahulu Sanakeling. Siapkan pasukanmu!”
“Bagus,” sahut Sanakeling. Namun ketika ia berpaling memandangi daerah sekitarnya hatinya menjadi berdebar-debar. Pasukannya sebagian besar telah musnah seperti orang-orang Tambak Wedi sendiri. Meskipun demikian ia tidak dapat menyerah. Maka berteriaklah ia kepada sisa-sisa pasukannya,
“Hentikan permusuhan atas orang-orang Tambak Wedi. Kita mendapat lawan baru yang lebih gila dari orang-orang Sidanti.”

Sejenak orang-orangnya menjadi bingung. Tentu saja mereka tidak akan dapat melupakan permusuhan yang baru saja terjadi. Bahkan ada di antara mereka yang telah terluka dan sahabat-sahabatnya telah terbunuh di dalam perkelahian itu, tetapi kini mereka dihadapkan pada kenyataan baru, Wira Tamtama Pajang telah berada di ujung hidung. Bukan saja berada di Jati Anom.
“Sanakeling,” terdengar suara Untara,
“kau masih membayangkan kebesaran pasukan Jipang pada masa-masa lampau. Kau telah gagal dalam gerakanmu di Utara. Kini kau akan mengalami kegagalan yang serupa. Apakah tidak lebih baik bagimu untuk menyerah?”
“Aku tidak pernah merasa gagal di Utara. Aku datang bersama orang-orangku karena panggilan Macan Kepatihan. Dan di sini  pun aku tidak akan gagal pula. Kali ini aku akan menangkapmu dan menggantungmu di muka regol padepokan ini.”
“Aku atau kau Sanakeling? Mungkin kedua-duanya. Sesudah kau menggantung aku, maka kaulah yang akan digantung oleh Ki Tambak Wedi.”
Sanakeling terdiam. Sekilas ia berpaling ke arah Ki Tambak Wedi. Tetapi Ki Tambak Wedi-lah yang menyahut,
“Setan Pajang yang licik! Apakah kau mencoba mempengaruhi tekad kami bersama-sama untuk melawanmu. Apa yang terjadi kemudian telah kami setujui bersama. Kau tidak akan berhasil dengan caramu. Ayo, Sanakeling, siapkan pasukanmu. Ternyata Untara tidak cukup kuat untuk bertindak. Kalau pasukannya cukup, maka ia tidak akan hanya berbicara saja di atas punggung kudanya.”
Dada Untara berdesir. Teryata perhitungan iblis lereng Merapi itu cukup cermat, sehingga ia dapat menebak keadaannya. Tetapi dengan pasukan yang ada, Untara tidak merasa cemas. Meskipun orang-orangnya tidak banyak, tetapi mereka semuanya berada di atas punggung kuda, sehingga gerak mereka  pun akan jauh lebih cepat dari lawannya. Meskipun demikian sebagai seorang senapati ia harus yakin atas perhitungannya, sehingga meskipun ia tidak mencemaskan pasukannya yang hanya sebagian itu, namun ia masih tetap menunggu. Untara masih cukup bersabar. Ia tidak akan mulai sebelum pasukannya datang, kecuali kalau Ki Tambak Wedi mendahului.
Dalam pada itu ia mendengar Ki Tambak Wedi itu berteriak,
“Sanakeling, apakah pasukanmu sudah siap?”

Sanakeling memandangi orang-orangnya yang masih tersisa. Sebagian sudah berdiri berkelompok, sedang yang lain masih sedang menyusun diri. Namun sebagian dari mereka telah menjadi sangat letih. Meskipun demikian wajah-wajah mereka masih memancarkan tekad mereka sebagai seorang prajurit. Nyala di dalam dada orang-orang Jipang masih lebih hangat dari orang-orang Tambak Wedi sendiri. Ketika Sanakeling melihat orang-orangnya telah berkelompok di beberapa tempat, di jalan-jalan dan di dalam halaman, maka ia berteriak, “Kau lihat sendiri Ki Tambak Wedi, orang-orangku masih tetap dalam keadaannya meskipun beberapa orang yang lain telah terluka dan bahkan terbunuh. Tetapi yang tersisa masih cukup kuat menghadapi siapa saja.”
Terdengar Sidanti dan Argajaya menggeram. Mereka juga melihat orang-orang Jipang itu dengan cepat telah menyusun dirinya kembali, sedang orang-orang Tambak Wedi masih juga tertatih-tatih mencari kawan-kawan di antara mereka. Namun meskipun agak lambat tetapi orang-orang Tambak Wedi itu akhirnya berhasil juga mengelompokkan dirinya.
“Ayo Untara, kenapa kau masih tetap diam? Pasukanku seluruhnya telah siap,” teriak Ki Tambak Wedi. Tetapi Sanakeling menyahut,
“Pasukanku pun telah siap pula.”
Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Terasa betapa Sanakeling tidak mau lagi disebut dan dimasukkan ke dalam lingkungan pasukan Ki Tambak Wedi.
Tetapi Untara tertawa. Terdengar suara tertawanya sangat menyakitkan hati. Apalagi ketika Untara itu berkata,
“Ki Tambak Wedi dan Sanakeling. Apakah kalian sangka aku tidak melihat orang-orang kalian yang merangkak-rangkak berkumpul di jalan-jalan itu? Apakah kalian menyangka bahwa aku bukan seorang prajurit yang dapat menilai pasukan? Seharusnya kalian tidak lagi memaksa orang-orang kalian yang telah menjadi kelelahan itu untuk bertempur. Kalian pasti sudah dapat menilai pula, bahwa prajurit-prajurit Pajang masih cukup segar menghadapi lawan, meskipun lawannya gabungan antara pasukan Tambak Wedi dan pasukan Sanakeling. Tetapi yang kedua-duanya telah terlampau payah karena pertengkaran di antara kalian sendiri.”
“Tetapi jumlah orang-orangmu terlampau sedikit Untara,” sahut Ki Tambak Wedi.
“Kau mencoba menghibur hatimu sendiri. Kau melihat pasukan berkuda ini?”
“Lima orang dari Utara, lima orang dari Selatan, lima dari Barat dan lima dari Timur. Begitu? Apakah aku harus kagum melihat pasukan yang tidak lebih dari jumlah jari-jariku?”

Untara menarik nafas dalam-dalam. Ternyata Ki Tambak Wedi mempunyai tangkapan yang baik, meskipun orang itu telah mencoba memperkecil arti pasukannya. Ia akan dapat menjadi seorang senapati yang cakap di medan perang.
“Siapakah sebenarnya orang tua-tua ini,” pikir Untara,
“Ki Tambak Wedi, Ki Tanu Metir dan siapa lagi? Ternyata mereka mempunyai sikap dan pandangan serta perhitungan seorang prajurit.”
Untara itu mengangkat kepalanya ketika ia mendengar Ki Tambak Wedi berteriak,
“Apa katamu, he Untara? Apakah tidak sebaiknya kau saja yang menyerah?”
Tetapi sekali lagi Untara tertawa. Jawabnya,
“Kalau perhitunganmu benar Kiai, kenapa kau juga masih berdiam diri, bersama pasukanmu yang letih. Lihat, berapa orang yang berada, di belakangku. Jumlah ini sudah cukup meyakinkan bahwa dugaanmu terlampau jauh dari kebenaran.”
Ki Tambak Wedi menggeram, Tetapi ia pun tidak berani segera mulai. Ia sebenarnya juga menunggu Untara memasuki halaman dan daerah pertempuran yang sempit. Pasukannya beserta pasukan Sanakeling yang lelah, tidak akan dapat berkelahi dalam arena yang luas, apalagi melawan prajurit-prajurit berkuda. Tetapi agaknya Untara tidak segera bergerak. Dengan segala macam cara Tambak Wedi memancingnya, membuat Untara segera bertindak. Namun senapati yang meskipun masih muda, tetapi sudah cukup masak menghadapi medan itu masih tetap bersabar.
“Untara,” berkata Ki Tambak Wedi,
“kalau kau berkata sebenarnya, kenapa kau masih duduk di situ seperti patung? Apakah tugasmu hanya berteriak-teriak saja sepanjang hari? Apakah tugas seorang Senapati Pajang itu hanya menakut-nakuti orang, mengancam kemudian menunggu orang-orang itu menyerah?”
“Sebagian benar, Kiai.”
“Setan alas!” Ki Tambak Wedi mengumpat.
Agaknya Sanakeling-lah yang sudah tidak sabar lagi. Luka-lukanya semakin lama terasa semakin pedih. Karena itu, maka ia tidak ingin membiarkan dirinya menjadi lemah karena darahnya yang meskipun hanya setetes-setetes meleleh dari luka-lukanya. Maka dengan garang ia berkata,
“Kitalah yang akan mulai. Jangan terpancing ke segenap arah. Kita pusatkan pasukan kita kepada senapati yang hanya pandai berteriak-teriak itu saja. Pasukannya yang lain pasti akan terhisap ke sana. Bukankah kita menginginkan medan yang sempit?”
“Bagus,” sahut Untara,
“ternyata kau cukup berterus terang mengatakan cara yang kau pilih.”
“Tak ada gunanya berahasia. Kau pasti mampu menebak,” sahut Sanakeling, yang sejenak kemudian berteriak memberi aba-aba kepada pasukannya.

Pasukannya yang letih itu  pun segera bersiap. Meskipun keringat mereka seolah-olah telah terperas habis, dan bahkan titik-titik darah telah membasahi pakaian mereka, namun mata mereka masih tetap menyiratkan dendam dan kebencian. Apalagi ketika mereka mendengar Sanakeling berkata,
“Jangan biarkan diri kalian tertangkap hidup. Kalian akan menjadi tontonan di sepanjang jalan kota Pajang.”
Untara melihat pasukan yang sudah menjadi sangat lelah itu mulai bergerak. Kemudian disusul oleh pasukan Ki Tembak Wedi langsung di bawah pimpinan Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya sendiri. Seperti yang dikatakan oleh Sanakeling, mereka semuanya menyergap ke arah Untara bersama para pengawalnya.
Untara menarik nafas, ia melihat para pemimpin dan pasukan lawannya yang perlu mendapat perhatiannya, Ki Tambak Wedi, Sanakeling, Sidanti dan Argajaya. Untuk melawan mereka Untara memerlukan kelompok-kelompok khusus. Tak akan ada orangnya yang mampu berhadapan dengan salah seorang dari keempatnya, selain dirinya sendiri menghadapi salah seorang dari para pemimpin pasukan lawannya kecuali Ki Tambak Wedi. Namun, selain para pemimpinnya, maka sebenarnya pasukan Tambak Wedi dan Sanakeling itu sudah terlampau lemah, setelah mereka berkelahi sesamanya. Bahkan dalam pasukan yang sudah siap melawan pasukan Untara itu  pun mereka tidak dapat bercampur dalam satu baris perlawanan. Tampaklah bahwa masing-masing berada di dalam lingkungannya sendiri.
“Apakah kalian benar-benar tidak menyadari keadaan diri,” teriak Untara.
“Jangan banyak bicara!” sahut Sanakeling sambil membawa pasukannya semakin maju.
Untara merasa bahwa ia tidak akan dapat mengulur waktunya. Karena itu, maka dipanggilnya salah seorang perwira bawahannya. Diberikannya beberapa petunjuk untuk melawan para pemimpin dari padepokan ini.
“Hati-hatilah dengan iblis yang tua itu. Jangan kurang dari sepuluh orang. Sedang anak muda yang bernama Sidanti itu, cobalah melawan bersama tiga atau empat orang. Demikian juga yang lain itu, yang aku kira adalah adik Argapati dari Menoreh seperti yang dipesankan oleh Ki Tanu Metir. Sedang Sanakeling, serahkan ia kepadaku. Akulah yang berkewajiban untuk menangkapnya hidup-hidup, apabila mungkin. Kalau tidak, aku terpaksa menyelesaikannya demi tugasku.”
Perwira Wira Tamtama itu mengangguk-anggukkan kepalanya, ia menyadari bahwa tugas itu bukan tugas yang ringan. Meskipun di hadapannya berjalan prajurit-prajurit yang lemah dan tertatih-tatih menyeret tombak dan pedang mereka, tetapi menghadapi para pemimpinnya, maka masih banyak diperlukan tenaga.
Sekilas perwira itu memandang berkeliling. Pasukannya memang tidak begitu banyak. Tetapi cukup untuk membuat orang-orang Tambak Wedi dan orang-orang Jipang menjadi bingung. Dengan tangannya perwira itu memanggil beberapa orang bawahannya. Diberikannya beberapa keterangan. Hanya mereka yang berada di atas kuda-kuda yang cukup tangkas dan dapat dikuasai dengan baiklah yang dipilihnya untuk melawan Ki Tambak Wedi yang mengerikan itu.

Pasukan yang dibawa oleh Sanakeling semakin lama menjadi semakin dekat. Sementara itu beberapa ekor kuda dari para prajurit Pajang telah bergerak pula menyusun diri. Beberapa orang bergabung dalam satu kelompok untuk menghadapi orang-orang yang mempunyai banyak kelebihan dari para prajurit itu sendiri. Tetapi ternyata Untara bukan anak-anak yang lagi bermain perang-perangan. Ia mampu menilai keadaan dan membuat perhitungan yang tepat. Ketika orang-orangnya telah tersusun, meskipun dengan terpaksa ia harus memanggil beberapa orang yang datang dari jurusan lain, maka ia mulai menggerakkan pasukannya pula. Tetapi Untara tidak menyongsong pasukan yang datang ke arahnya. Dengan sebuah tanda-tanda pedang Untara ternyata menggerakkan pasukannya yang berada di arah yang bertentangan dengan dirinya, meskipun hanya beberapa orang saja. Sejenak kemudian orang-orang Tambak Wedi dan orang-orang Jipang mendengar ringkik kuda justru di belakang mereka. Ketika mereka berpaling, maka mereka melihat bayangan yang bergerak-gerak di belakang dedaunan mendekati mereka.
“Setan alas!” teriak Tambak Wedi. “Kau mulai dengan licik, Untara?”
“Bukankah sudah aku katakan, bahwa pasukanku telah mengepung kalian.”
“Persetan!” teriak Sanakeling. Dengan gigi gemeretak, maka ia berteriak pula,
“Jangan songsong mereka. Biarkan mereka maju. Kita tetap bertempur dalam medan yang sempit.”
“Hem,” Untara menarik nafas,
“meskipun orang itu sudah hampir kehabisan tenaga, namun sikap senapatinya masih cukup baik.”
Perwira bawahannya yang duduk di atas punggung kuda di sampingnya menganggukkan kepalanya.
“Otaknya cukup baik,” gumamnya.
Untara  pun kemudian harus mengambil sikap berikutnya. Ternyata ia tidak berhasil mengacaukan orang-orang Jipang. Namun orang-orang Tambak Wedi tampak menjadi agak kebingungan. Apalagi ketika kuda-kuda di belakang mereka menjadi semakin dekat.
“Kalian bukan anak-anak yang dungu,” teriak Sanakeling,
“kalian dapat menghindarkan diri dari kuda-kuda itu. Pergunakan dinding-dinding halaman, dan cepat, tutup regol halaman itu.”
Sekali lagi Untara menarik nafas. Desisnya, “Bukan main.”
Sementara itu ia melihat orang-orangnya tidak mampu mencapai regol halaman, lebih cepat dari orang-orang Jipang. Ternyata orang-orang Jipang telah berhasil menutup regol itu, kemudian memasang palangnya yang kuat sebesar lengan.
Dan Untara mendengar Sanakeling berteriak lagi kepada orang-orangnya yang berada di jalan-jalan,
“Bersiaplah kalian. Hindarkanlah serangan yang licik itu. Masuk, meloncati pagar batu ke halaman sebelah-menyebelah. Pusatkan seranganmu kepada Senapati Pajang yang hanya pandai menakut-nakuti itu saja.”

Tetapi Untara bukan pula orang yang mudah menjadi bigung menghadapi kenyataan itu, sehingga ia  pun berteriak,
“Tunggu sajalah orang-orang Jipang itu merangkak kemari. Kalau mereka benar-benar ingin menyergap aku, mereka pasti akan keluar dari halaman banjar desa. Nah, kesempatan bagi kalian akan datang juga akhirnya. Meskipun kini mereka berloncatan masuk. Hematlah tenaga kuda kalian, supaya kalian sempat melihat orang-orang Tambak Wedi dan orang-orang Jipang bertekuk lutut di hadapan kita.”
Mendengar teriakan Untara itu, Sanakeling menggeram. Sejenak ia berpikir. Untara ternyata melihat kemungkinan yang pasti akan datang pula, yaitu pasukannya keluar dari halaman banjar itu, dengan meloncati dinding batu dan menyerbu ke arahnya. Dan Untara tiba-tiba memerintahkan pasukannya diam menunggu setelah ia keluar dari halaman itu.
“Memang sia-sia aku memerintahkan menutup pintu regol itu,” pikir Sanakeling,
“sebentar lagi aku sudah akan keluar dari halaman ini.”
Tetapi tiba-tiba Sanakeling melihat keuntungannya pula. Halaman di sebelah tidak seluas halaman banjar, sehingga kesempatan berkelahi dengan kuda tidak terlampau banyak, Halaman itu di kelilingi oleh dinding batu pula.
Melihat hal itu Sanakeling mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak berkata apa pun. Ia melihat kuda-kuda prajurit Pajang bergeser mendekati Untara.
Sejenak Sanakeling itu berpaling. Kini ia melihat Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya bersama pasukan Tambak Wedi menjadi semakin maju pula. Mereka mendekati halaman sebelah lewat sisi yang lain dari yang dilewati Sanakeling. Sanakeling sendiri tidak ingin menggabungkan pasukannya dalam satu lingkaran perkelahian menghadapi pasukan Untara. Mereka bertempur dalam lingkungan sendiri-sendiri. Apabila pasukan Tambak Wedi itu tidak sekuat prajurit-pasukan Jipang, biarlah pasukan itu musnah lebih dahulu. Akhirnya mereka telah sampai pada dinding halaman banjar itu, dan sesaat lagi mereka akan meloncatinya. Untara menjadi berdebar-debar. Pasukan lawan itu sudah tidak begitu kuat. Tetapi apakah pasukannya yang hanya berjumlah sedikit itu mampu melawannya? Untunglah bahwa pasukan lawan itu sudah terlampau letih. Tetapi Untara tidak dapat tinggal diam lebih lama lagi. Ketika orang yang pertama telah menjejakkan kakinya di halaman tempatnya menunggu, maka segera ia menjatuhkan perintah pula untuk segera bertindak. Beberapa orang segera meluncur maju di atas kudanya. Orang yang pertama itu ternyata bernasib kurang baik. Ia tidak sempat berbuat sesuatu ketika prajurit Pajang itu menyerangnya dari atas punggung kuda. Orang yang pertama itu adalah orang Sanakeling. Terdengar Sanakeling menggeram semakin keras. Terdengar giginya gemeretak. Selanjutnya ia sendirilah yang meloncati pagar bersama-sama dengan beberapa pengawalnya yang terpilih.

Untara yang melihat Sanakeling, segera bergerak pula. Adalah menjadi kewajibannya untuk menangkap sisa-sisa Senapati Jipang itu, sementara seorang perwira bawahannya telah menyiapkan diri bersama kelompoknya menyambut pasukan Tambak Wedi yang telah berada di sisi dinding halaman itu pula. Pasukan berkuda itu  pun segera berpencaran. Tiba-tiba orang-orang Jipang itu terkejut ketika mereka mendengar derap kuda di belakang mereka. Bahkan Ki Tambak Wedi sendiri tertegun pula karenanya. Ternyata dua orang prajurit Pajang telah meloncat turun dari kuda-kuda mereka dan masuk ke dalam halaman itu dengan diam-diam untuk membuka regol halaman. Sedang lawan-lawan mereka telah mencurahkan seluruh perhatiannya kepada Untara dan para pengawalnya. Kuda-kuda itu berderap menyerang orang-orang Jipang dan orang-orang Tambak Wedi yang telah berkumpul di sepanjang dinding halaman, menunggu giliran mereka untuk meloncat. Tetapi karena serangan yang datang tiba-tiba, meskipun hanya dari beberapa ekor kuda itu, mereka terpaksa mempertahankan diri mereka, sehingga pasukan itu menjadi agak terganggu karenanya. Kawan-kawan mereka yang telah meloncat dinding halaman di seberang telah disambut pula oleh pasukan berkuda Untara, dan yang masih tinggal di halaman ini pun telah mendapat serangan pula dari arah yang berlawanan. Sedang kawan-kawan mereka yang mencoba menyerang jalan di muka halaman itu pun terpaksa menghentikan langkah-langkah mereka dan terpaksa mereka harus melayani kuda-kuda yang menyambar di jalanan itu pula. Tetapi ternyata jumlah orang-orang Jipang dan orang-orang Tambak Wedi masih cukup banyak. Meskipun mereka sudah menjadi sangat letih namun jumlah mereka masih cukup untuk menahan arus prajurit-prajurit berkuda dari Pajang yang terlampau sedikit jumlahnya. Untara yang sudah siap untuk menyongsong Sanakeling tertegun sejenak ketika ia melihat dengan tiba-tiba saja Ki Tambak Wedi melepaskan sebuah gelang-gelang besinya. Senapati dari Pajang itu menahan nafasnya sejenak ketika ia melihat seorang anak buahnya terpelanting dari kudanya oleh gelang-gelang besi itu. Korban anak buahnya yang pertama. Anak buahnya yang tidak begitu banyak.
“Gila,” desis Untara dengan kemarahan yang menghentak-hentak di dadanya.
Sekilas ia memandang perwira yang diserahinya untuk melawan Tambak Wedi. Untara melihat perwira itu mengerutkan keningnya. Namun apa yang terjadi merupakan peringatan baginya bahwa melawan orang itu adalah pekerjaan yang berbahaya. Tetapi di samping itu, perwira itu mendapat petunjuk pula, bahwa setiap kesempatan bagi Tambak Wedi untuk melepaskan gelang besinya akan berarti maut. Dengan demikian, maka serangan-serangan terhadapnya harus datang beruntun, seperti ombak yang menghantam pantai tanpa sekejap  pun waktu yang boleh diabaikan.

Tetapi Ki Tambak Wedi itu masih berada di seberang pagar dinding halaman, sehingga kelompoknya masih belum dapat menyergap iblis lereng Merapi itu. Namun perwira itu bukan seorang yang hanya mampu menunggu perintah Untara. Sambil menunggu Tambak Wedi, maka kelompoknya beserta orang-orang yang telah disiapkannya menunggu Sidanti dan Argajaya, segera menyerbu ke arah orang-orang Tambak Wedi yang telah meloncati pagar halaman banjar. Sedang prajurit-prajurit Pajang yang di halaman seberang, segera melibatkan diri dalam pertempuran yang ribut, justru untuk mengurangi kesempatan Ki Tambak Wedi membidik salah seorang daripada mereka. Kuda-kuda itu menyambar silang-menyilang pada tempat yang paling jauh dari Ki Tambak Wedi yang sangat berbahaya itu. Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Ia melihat pertempuran sudah menjalar di mana-mana. Ia melihat orang-orang berkuda di halaman banjar menyerang orang-orang Jipang agak jauh daripadanya. Sedang di hadapan dinding batu halaman itu, orang-orangnya sendiri telah terlibat pula dalam pertempuran yang sengit dengan orang-orang berkuda dari Pajang.


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar