Jilid 040 Halaman 1


KARENA itu, maka timbullah niatnya untuk berkata langsung saja berterus terang. Ia harus mengatakan, bahwa ia mendapat tugas untuk menemui Ki Argapati. Bahkan ia menyesal, bahwa ia menunda-nunda untuk mengatakannya, sehingga keadaan menjadi semakin memburuk.
“Cepat,” bentak Wrahasta sambil menekankan pedangnya, “ayo berjalanlah!”
“Aku akan mengatakannya,” berkata Gupita. “Aku akan mengatakan keperluanku sebenarnya.”
“Aku tidak bertanya kepadamu sekarang. Berjalanlah.”
Gupita menarik nafas. Tidak ada yang dapat dilakukan kecuali menurut perintah itu. Perlahan-lahan ia melangkahkan kakinya menuju ke mulut desa. Sedang Wrahasta kemudian berjalan di belakangnya sambil menekankan ujung pedangnya.
Kerti menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia memandang Pandan Wangi, maka dilihatnya tubuh gadis itu gemetar. Betapa dahsyatnya pergolakan yang terjadi di dada gadis itu. Ia merasa berada dalam simpang jalan yang kedua-duanya akan membawanya ke dalam kesulitan. Kalau ia membiarkan Wrahasta berbuat sesuka hatinya, maka ia merasa bersalah terhadap gembala yang telah menyelamatkannya itu. Tetapi setiap sikap yang seolah-olah berpihak kepadanya, akan mendorong Wrahasta menjadi semakin kehilangan nalarnya.
“Angger Pandan Wangi,” bisik Kerti,
“cara yang sebaik-baiknya adalah menyampaikannya kepada Ki Argapati. Ki Argapati akan bersikap. Kau dapat meminta ayahmu untuk memanggil gembala itu langsung.”
Pandan Wangi menganggukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia berdesis,
“Itu adalah jalan yang paling baik Paman. Tetapi aku tidak tahu, apakah ayah akan mendengarkan kata-kataku.”
“Ayahmu telah mengenal Gupala yang memberikan obat kepadanya. Ia pasti akan mempertimbangkannya dengan baik apabila kau katakan bahwa Gupita adalah kakaknya.”
Pandan Wangi mengangguk-angguk, “Baik, Paman, aku akan menghadap ayah.”
Pandan Wangi, Kerti, dan dua orang pengawal yang datang bersamanya segera melangkah kembali ke regol halaman. Di muka mereka, Wrahasta mendorong-dorong punggung Gupita dengan ujung pedangnya diikuti oleh kedua pengawalnya.
“Cepat, jangan berbuat sesuatu yang dapat memaksa aku menghunjamkan ujung pedang ini ke punggungmu.”

Gupita tidak menyahut. Tetapi ia memang tidak berhasrat untuk melawan. Ia masih berpengharapan untuk mendapat kesempatan bertemu dengan Ki Argapati. Kalau ia tidak membuat para pengawal itu semakin marah maka para pengawal itu  pun pasti tidak akan berlaku berlebih-lebihan. Namun Gupita itu memang sama sekali tidak tahu, apakah yang telah mendorong Wrahasta berlaku sedemikian kasarnya terhadapnya. Para pengawal yang berada di regol desa, kini telah berdiri berdesak-desakan. Beberapa orang yang tidak bertugas sekalipun ingin melihat, apa yang sedang terjadi. Mereka saling bertanya dan berbisik-bisik ketika mereka melihat Wrahasta membawa seseorang menuju ke arah mereka.
“Siapakah orang itu?” desis seseorang.
“Orang itulah yang membunyikan seruling di balik gerumbul-gerumbul itu.”
“Memang mencurigakan.”
Beberapa orang mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka menjadi semakin tegang ketika mereka melihat Wrahasta mendorong orang itu dengan pedang terhunus. Sementara para pengawalnya, Pandan Wangi, dan Kerti berjalan di belakang.
Ketika Wrahasta menjadi semakin dekat, maka para pengawal di muka regol itu  pun bersibak, untuk memberi jalan kepada pemimpin pengawal yang bertubuh raksasa itu. Di hadapan para pengawal itu Wrahasta berhenti sesaat sambil berkata,
“Orang ini adalah petugas sandi yang dikirim oleh Sidanti untuk mengamat-amati pertahanan kita di siang hari. Nanti malam mereka akan datang lagi. Pada suatu saat, apabila mereka sudah tahu pasti tentang keadaan kita, maka mereka tidak akan sekedar menakut-nakuti kita dengan obor-obor mereka. Mereka pasti akan benar-benar menusuk pertahanan ini dengan perhitungan yang telah matang.”
“Kau keliru,” sahut Gupita, “aku akan menjelaskan.”
“Diam!” bentak Wrahasta. “Aku tidak memerlukan segala macam dongengan khayal itu. Aku ingin tahu keadaanmu sebenarnya. Dan kau harus mengatakan, siapakah sebenarnya kau.”
“Aku akan mengatakan, tetapi aku sama sekali bukan orang Sidanti,” jawab Gupita.
“Bohong!” teriak Wrahasta, yang tiba-tiba telah mengacukan pedangnya di hadapan hidung Gupita.

Gupita tidak menyahut lagi. Ia harus menahan hati, untuk menemukan kesempatan yang baik. Ia percaya bahwa orang-orang Menoreh adalah orang-orang yang memiliki harga diri yang tinggi, dan mereka bukan termasuk orang-orang yang menyukai kekerasan. Karena itu, Gupita masih mempunyai harapan, bahwa ia akan dapat mengatakan yang sebenarnya kepada para pengawal itu.
Namun hatinya menjadi berdebar-debar ketika ia melihat Pandan Wangi berjalan dengan tergesa-gesa masuk ke dalam regol tanpa berpaling lagi kepadanya. Hampir saja ia berteriak memanggil, namun niatnya itu segera diurungkannya, supaya ia tidak menambah persoalan lagi. Agaknya memang orang yang bertubuh raksasa inilah yang kini mendapat kekuasaan untuk berbuat apa saja yang dianggapnya perlu untuk melindungi Tanah ini.
Tanpa disadarinya, tangan Gupita itu meraba-raba kantong bajunya. Di dalamnya terdapat sebungkus obat obatan yang harus diserahkannya kepada Ki Argapati.
“Hem,” ia menarik nafas dalam-dalam, “aku mempunyai sekedar bukti. Mudah-mudahan mereka dapat mempercayainya.”
Gupita itu sama sekali tidak melawan ketika ia didorong masuk ke dalam regol dan dibawa oleh Wrahasta dengan beberapa orang pengawal menuju ke sebuah halaman rumah yang agak luas. Rumah yang selama ini dipergunakan oleh para pemimpin pengawal sebagai pusat pimpinan mereka.
Samekta yang berada di rumah itu terkejut melihat Wrahasta membawa seseorang masuk ke halaman. Apalagi ketika ia melihat, orang yang dibawa itu adalah gembala yang pernah dikenalnya, Gupita. Dengan tergesa-gesa Samekta turun dari pendapa menemui Wrahasta di halaman sambil bertanya,
“Dari mana kau bawa anak muda itu?”
“Aku menemukannya di muka regol. Aku yakin sekarang, bahwa orang ini memang seorang petugas sandi yang sengaja dikirim oleh Sidanti.”
Samekta menarik keningnya. Ketika ia memandang berkeliling, dilihatnya Kerti berjalan memasuki regol itu pula. Ia mendapat pesan dari Pandan Wangi, supaya ia berusaha melindungi Gupita sebelum ia dapat bertemu dengan ayahnya Ki Argapati.
“Aku mendapatkannya di depan regol,” berkata Kerti sambil melangkah mendekat.
Samekta menjadi bingung. Keduanya mengatakan kepadanya, bahwa mereka masing-masinglah yang mendapatkan Gupita itu.
“Tetapi Paman Kerti tidak berbuat apa-apa. Seperti orang yang kena tenung ia berdiri saja seperti patung. Akulah yang menangkapnya.”
Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya Samekta memandangi wajah Kerti, tetapi Kerti tidak menyahut. Karena itu maka Samekta  pun kemudian bertanya kepada Wrahasta,
“Apakah yang dilakukannya?”
Pertanyaan itu telah membingungkan Wrahasta, sehingga sejenak ia tidak menyahut. Yang terdengar adalah suara Kerti,
“Bersenandung dengan serulingnya itu.”
Samekta mengerutkan keningnya, Dan Kerti berbicara terus,
“Aku dan Angger Pandan Wangi tertarik akan suara seruling itu. Ketika aku melihatnya, maka aku dapati Angger Gupita. Sebelum kami sempat berbuat sesuatu, maka datanglah Angger Wrahasta.”
“Adalah mencurigakan sekali bahwa seseorang datang ke tempat ini sekedar untuk bersenandung,” sahut Wrahasta kemudian.
“Ia pasti mempunyai tugas yang jauh lebih penting daripada bermain seruling di tempat yang berbahaya itu. Hanya orang-orang gila sajalah yang tidak tahu, bahwa daerah ini adalah daerah garis perang.”

Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang tidak akan masuk di akal, apabila Gupita datang tanpa maksud. Tetapi maksud kedatangannya itulah yang harus diketahuinya. Sebelum Samekta berbuat sesuatu, tiba-tiba terdengar suara Wrahasta lantang,
“Periksa, apakah ia menyembunyikan senjata.”
Perintah itu telah mengejutkan. Bukan saja Gupita, tetapi juga Samekta, apalagi Kerti, sehingga dengan serta-merta ia berkata,
“Tunggu. Kita belum bertanya sesuatu kepadanya.”
“Kita akan bertanya,” potong Wrahasta,
“tetapi kita harus yakin bahwa ia tidak akan berbahaya lagi. Karena itu, orang ini harus dilihat, apakah ia membawa senjata yang tersembunyi.”
Kerti masih akan menjawab, tetapi niatnya diurungkan ketika ia merasa seseorang menggamitnya. Ternyata orang itu adalah Samekta sendiri. Ketika Kerti sedang memandangi wajahnya, maka Samekta itu pun mengedipkan matanya, seolah-olah ia memberikan isyarat,
“Biarlah apa saja yang akan dilakukannya.”
Kerti menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia berbisik,
“Aku terpaksa berterus-terang kepadamu. Aku mendapat perintah dari Pandan Wangi untuk melindungi anak muda itu.”
“Di mana Pandan Wangi sekarang?” bertanya Samekta perlahan-lahan.
“Ia pergi ke ayahnya. Ia tidak dapat mencegah Wrahasta menangkap laki-laki muda itu. Agaknya perasaan cemburunya jauh lebih besar dari kecurigaannya sebagai seorang pemimpin pengawal.”
Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia melihat kini Wrahasta berdiri bertolak pinggang di hadapan Gupita. Beberapa orang pengawal telah mengerumuninya untuk mulai melihat apakah ia tidak bersenjata.
“Hem,” Samekta berdesah,
“anak muda yang bertubuh raksasa itu telah menimbulkan kesulitan baru pada kita yang sedang terdesak ini. Melihat sikap dan tingkah lakunya, aku yakin, anak itu bukan berpihak kepada Sidanti.”
“Aku juga berpendirian begitu, meskipun kita masih harus tetap mencurigainya,” sahut Kerti.
“Namun tingkah laku Wrahasta sudah agak berlebih-lebihan.”
“Biarkanlah, apa yang akan dilakukannya, asal ia tidak bernafsu untuk membunuhnya.”
Sementara itu, beberapa orang pengawal telah mulai melakukan tugasnya. Sementara terdengar suara Wrahasta lantang,
“Buka bajunya.”
Gupita mengerutkan dahinya. Ia terpaksa berkata,
“Tuan, di dalam baju ini tersimpan sesuatu yang sangat berharga. Berharga bagi aku dan berharga bagi kalian.”
“Omong kosong. Justru usahamu untuk menipu kami itulah yang memaksa kami semakin bernafsu untuk melihatnya.” Kemudian kepada para pengawal ia berteriak,
“Cepat, buka bajunya!”
Ketika para pengawal mulai meraba tubuhnya, tiba-tiba Gupita itu melangkah surut sambil berkata,
“Aku dapat membuka bajuku sendiri. Aku akan membukanya dan menunjukkannya kepada kalian, apakah yang aku bawa.”

Para pengawal yang telah mulai mengulurkan tangannya itu, terpesona sesaat, sehingga mereka berdiri saja mematung. Mereka tidak berbuat sesuatu ketika Gupita mengambil bungkusan dari kantong bajunya.
“Lihat,” katanya,
“inilah sesuatu yang aku katakan itu. Ini adalah obat untuk Ki Argapati seperti obat yang pernah diterimanya dahulu. Di antara para pengawalnya pasti tahu, bahwa seorang anak muda yang bertubuh gemuk dan bernama Gupala telah memberi obat kepadanya ketika ia terluka di Pucang Kembar. Bertanyalah kepada Ki Gede apakah kata-kataku itu mengandung kebenaran.” Gupita berhenti sejenak, lalu,
“Nah, siapakah di antara kalian yang melihat, apa yang terjadi di Pucang Kembar itu?”
Tanpa sesadarnya Kerti melangkah maju sambil berkata,
“Akulah saksinya. Aku melihat apa yang telah terjadi itu, dan aku membenarkannya.”
Sepercik warna merah telah membakar wajah Wrahasta. Namun kemudian ia berkata,
“Kenapa bukan anak yang gemuk itulah yang saat ini datang kemari? Kenapa kau? Ki Argapati memang pernah berkata bahwa seseorang, anak yang gemuk itu telah datang kepadanya di Pucang Kembar. Tetapi bukan kau. Dan kau dapat membuat ceritera tentang anak muda yang bernama Gupala, kemudian kau menyebut dirimu dengan nama yang mirip nama anak yang gemuk itu. Tetapi apa buktimu bahwa kau mengenal apalagi saudara anak yang gemuk itu. Obat itu sama sekali bukan jaminan. Justru aku bercuriga, apakah obat itu bukan racun yang dapat membakar luka Ki Argapati dan membuatnya cidera.”
Dada Gupita bergolak karenanya. Obatnya tidak dapat menolongnya, dan bahkan keterangan Kerti itu  pun sama sekali tidak dihiraukannya. Karena itu, maka sejenak Gupita menjadi bimbang. Apakah ia harus mempertahankan dirinya dengan kekerasan. Mungkin ia dapat melepaskan dirinya dan lari lewat regol padesan. Apabila ia sudah berada di luar, maka ia akan bebas. Tetapi sekali lagi niat itu diurungkannya. Dengan demikian ia akan membuat jarak menjadi semakin jauh. Dan ia tidak yakin, apakah ia dapat melarikan diri, menyusup sekian banyak pengawal di padesan ini. Perlahan-lahan Gupita menarik nafas. Ia masih mencoba memandang ke sekelilingnya, apakah ia dapat menemukan Pandan Wangi. Tetapi ia sekali lagi menjadi kecewa. Pandan Wangi tidak ada di antara orang Menoreh yang mengerumuninya. Meskipun demikian, ia masih mempunyai harapan, bahwa orang tua yang bernama Kerti itu pada saatnya akan memberinya jalan mengghadap Ki Argapati.
Sementara itu, Pandan Wangi melangkah. Cepat-cepat dan bahkan hampir berlari-lari ke tempat peristirahatan ayahnya. Ia harus segera menyampaikan apa yang telah terjadi, supaya ayahnya dapat menolong gembala yang telah menyelamatkannya dari tangan Peda Sura itu.
Tetapi alangkah kecewa gadis itu. Ketika ia menengok bilik ayahnya, ternyata ayahnya sedang tidur dengan nyenyaknya.
“Kau, Nini,” desis seseorang. Ternyata Pandan Wangi terkejut sehingga hampir saja ia meloncat.
“Oh,” ia menarik nafas. Ternyata suara itu adalah suara perempuan tua pemilik rumah.
“Ki Argapati baru saja dapat tidur. Tubuhnya agak menjadi panas lagi. Menurut keterangannya, obat pada lukanya sudah hampir menjadi tawar. Kalau ia tidak segera mendapat obat yang baru, maka keadaannya akan dapat menjadi berbahaya, Ngger.”
Wajah Pandan Wangi menegang. Tetapi sebelum ia berkata sesuatu perempuan tua yang membantu melayani ayahnya itu berkata,
“Biarlah ayah beristirahat. Bukankah kau juga akan beristirahat. Kalau ayah terkejut dan terbangun, maka badannya akan menjadi semakin terasa sakit.”
Sejenak Pandan Wangi terpukau di tempatnya dalam kebingungannya. Tetapi kemudian ia menganggukkan kepalanya. Perlahan-lahan ditinggalkannya pintu bilik ayahnya menuju ke dalam biliknya sendiri. Dengan dada yang berdebar-debar ia masuk, kemudian meletakkan dirinya di pembaringannya.
Tetapi dengan demikian ia menjadi semakin gelisah. Apakah yang kira-kira kini dilakukan oleh Wrahasta atas gembala yang bernama Gupita itu?
Dalam kegelisahannya itu, Pandan Wangi berbaring sejenak, kemudian bangkit berdiri. Melangkah hilir-mudik sambil meremas-remas jari-jari tangannya sendiri. Sekali-kali dirabanya hulu pedangnya. Tetapi Pandan Wangi tidak dapat mengambil kesimpulan sesuatu.

Di halaman pusat pimpinan pasukan pengawal Menoreh, Gupita dilingkari oleh beberapa pengawal yang bersenjata. Di tangannya masih tergenggam sebungkus obat dari gurunya yang harus diserahkan kepada Ki Argapati. Tetapi ternyata pemimpin pengawal yang bertubuh raksasa itu tidak mau mempercayainya, sehingga dengan demikian Gupita merasa, bahwa ia benar-benar berada di ambang pintu kesulitan.
“Kenapa Pandan Wangi sama sekali tidak berpengaruh atas anak buah ayahnya?” pertanyaan itu melonjak di dalam dada Gupita. Ia sama sekali tidak dapat mengerti, bahwa Pandan Wangi sama sekali tidak dapat berbuat sesuatu, dan bahkan meninggalkannya.
Gupita terkejut ketika Wrahasta kemudian berkata,
“Buka bajunya. Kenapa kalian berdiri saja mematung.”
Para pengawal yang berdiri di seputar Gupita itu  pun terkejut pula. Serentak mereka bergerak. Tetapi sekali lagi mereka tertegun ketika Gupita berkata,
“Sudah aku katakan. Aku akan membuka bajuku sendiri. Tetapi ingat, aku sudah mengatakan yang sebenarnya, bahwa bungkusan ini adalah obat untuk kepala tanah perdikanmu yang terluka itu. Kalau ia terlambat menerimanya, dan akibat dari kelambatan ini telah membahayakan jiwanya, itu sama sekali bukan salahku.”
Wrahasta mengerutkan keningnya. Sejenak ia terpengaruh oleh kata-kata Gupita itu.
Lebih-lebih lagi Kerti. Hampir saja ia melangkah maju. Tetapi sekali lagi Samekta menggamitnya dan berkata lirih,
“Kalau kita berusaha mencegahnya, anak muda itu akan marah. Dengan demikian pasti akan timbul persoalan di antara kita. Kita tunggu saja apa yang akan dilakukan, asal tidak membahayakan jiwa anak muda itu.”
“Tetapi siapakah yang akan menanggung akibatnya, apabila obat itu terlambat, apalagi rusak.”
Samekta termenung sejenak. Lalu katanya,
“Kita awasi saja, apa yang akan dilakukan oleh Wrahasta.”
“Kau yang mendapat wewenang memimpin seluruh pasukan pengawal. Kau bertanggung jawab atas semuanya ini.”
Dada Samekta berdesir. Kerti yang tua, yang senang bergurau itu tidak pernah berkata demikian bersungguh-sungguh kepadanya. Agaknya ia memang sedang dibingungkan oleh keadaan yang dihadapinya. Namun demikian Samekta itu mengangguk dan menjawab,
“Baiklah. Aku akan berusaha untuk menjaga, agar tidak terjadi sesuatu atas anak muda itu dan obatnya sekali. Bukankah saat ini Pandan Wangi sedang menghadap ayahnya? Kalau Ki Argapati mempercayainya, maka gadis itu akan segera datang atas nama Ki Argapati, dan berbuat atas namanya pula. Tetapi kalau tidak, itu berarti bahwa Ki Argapati pun meragukan gembala itu, sehingga kita memang perlu berhati-hati.”

Debar di dada Kerti terasa menjadi semakin cepat. Tetapi ia tidak menjawab lagi. Ia mengerti kesulitan yang dihadapi Samekta pula. Pemimpin tertinggi pasukan Pengawal itu tidak ingin mengecewakan Wrahasta, yang tenaganya kini sangat diperlukan. Tetapi apakah dengan demikian, anak muda yang membawa obat untuk Ki Argapati itu akan dikorbankan? Yang diharapkannya segera datang kini adalah Pandan Wangi. Ia akan dapat menolong Gupita atas nama ayahnya, dan menyelamatkan obat itu pula. Tetapi Kerti terkejut ketika ia mendengar Wrahasta berbicara,
“Nah, kalau kau berkata sebenarnya, bahwa obat itu benar-benar akan dapat menyembuhkan Ki Argapati, cobalah, cicipi barang sedikit.”
“Tidak mumgkin,” jawab Gupita, “Obat ini adalah obat untuk luka Ki Argapati. Obat yang harus ditaburkan atas luka itu. Sama sekali bukan obat untuk diminum atau dimakan, karena obat ini mengandung racun.”
“Nah,” tiba-tiba Wrahasta berteriak,
“kau sekarang sudah mengaku, bahwa obat yang kau katakan itu adalah racun. Dengan demikian jelas, bahwa kau benar-benar orang Sidanti yang akan mencoba membunuh Ki Argapati dengan cara yang sangat licik setelah kau berhasil mempengaruhi Pandan Wangi.”
Wajah Gupita menjadi merah. Hampir-hampir ia kehilangan akal. Namun dengan sekuat tenaga ia masih berusaha menahan dirinya. Ia masih mengharap perubahan yang dapat terjadi pada para pengawal yang mengerumuninya. Terutama Kerti. Sementara itu Kerti sendiri menjadi sangat gelisah. Pandan Wangi masih belum nampak datang. Setiap kali ia memandang ke arah regol halaman menunggu kedatangan gadis itu. Namun setiap kali yang dilihatnya adalah pengawal-pengawal yang berdatangan untuk melihat apa yang telah terjadi di halaman itu.
“Nah,” berkata Wrahasta kemudian,
“sekarang kalau kau tidak senang orang lain membuka bajumu. Bukalah. Apakah kau membawa senjata yang kau sembunyikan dengan licik pula?”
Gupita menjadi ragu-ragu. Tetapi ia tidak dapat menolak. Karena itu, maka dengan hati-hati disimpannya lagi bungkusan obat itu di dalam kantong bajunya yang kemudian perlahan-lahan dibukanya.
“Aku akan membuka bajuku. Tetapi aku tidak mau menanggung akibatnya apabila obat itu rusak. Percaya atau tidak percaya, aku ingin menyerahkan obat itu langsung kepada Ki Argapati,” berkata Gupita.
“Itu tergantung dari keputusanku,” sahut Wrahasta, “karena itu aku ingin melihat apakah kau mampu membuktikan bahwa dirimu bukan petugas sandi dari Sidanti dan gurunya yang gila itu.”
Sesaat kemudian semua mata terpusat kepada Gupita yang berada di tengah lingkaran manusia. Semua mata mengikuti gerak tangannya yang dengan enggan telah membuka bajunya sendiri.
Tiba-tiba hampir setiap mulut berdesis ketika mereka dengan terperanjat melihat sesuatu yang melilit pada tubuh Gupita, di luar ikat pinggangnya. “Cambuk.”
“Anak muda itu membawa cambuk,” gumam seorang pengawal yang gemuk.
“Ya. Ia membawa cambuk,” sahut yang lain.

Meskipun Samekta sudah pernah melihat Gupita membawa cambuk, tetapi ia mengerutkan keningnya. Cambuk yang dibawanya kini bukan sekedar cambuk seperti yang pernah dilihatnya. Cambuk seorang gembala. Tetapi cambuk yang dilihatnya kini, benar-benar sehelai cambuk yang mendebarkan jantung. Kerti yang tua mengangguk-anggukkan kepalanya, Tanpa sesadarnya ia bergumam,
“Ya, cambuk semacam itulah yang pernah aku lihat di Pucang Kembar. Anak muda yang gemuk dan bernama Gupala membawa cambuk serupa itu pula.”
Yang kemudian berdiri mematung adalah Wrahasta. Sejenak ia terpukau oleh cambuk yang dibawa oleh Gupita. Meskipun cambuk itu belum terurai, namun terasa bahwa cambuk itu bukanlah cambuk kebanyakan.
Tetapi lebih dari pada itu, ia telah dibebani oleh berbagai perasaan yang berbenturan. Sebagai seorang pengawal ia berdebar-debar karena ia melihat seorang anak muda yang membawa cambuk. Selama ini ia membuat tiruan dengan mempersenjatai beberapa orang pengawal berkuda, menjadi bayangan dari orang-orang yang bersenjatakan cambuk. Seperti ceritera Ki Gede, seseorang telah ditemuinya di bawah Pucang Kembar dengan cambuknya, dan yang diceriterakan oleh Pandan Wangi bahwa seorang anak muda yang bersenjata cambuk telah menyelamatkannya. Namun di dalam dadanya itu pula bergolak perasaan cemburu seorang anak muda yang menggelegak tidak terkendalikan. Agaknya anak muda inilah yang telah mendapat pujian dan dikagumi oleh Pandan Wangi justru karena cambuknya itu. Tiba-tiba kejantanan Wrahasta mendidih di dalam dada yang serasa telah terbakar itu. Berbagai perasaan yang saling berbenturan telah menjadikannya semakin bingung, sehingga sikapnya pun menjadi kabur. Namun harga dirinya sebagai seorang laki-laki telah meledak dengan dahsyatnya.
Maka sejenak kemudian Wrahasta itu  pun maju selangkah, masuk kedalam lingkaran para pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Dengan bertolak pinggang ia berkata lantang,
“He Gupita. Aku pernah mendengar betapa dahsyatnya cambukmu itu. Aku pernah mendengar seseorang yang lain, yang bersenjatakan cambuk, telah menarik kepercayaan Ki Argapati pula. Bahkan kami semuanya di sini yang mabuk akan ceritera-ceritera kepahlawanan manusia-manusia bersenjata cambuk itu, telah membuat bayangannya, dengan mempersenjatai beberapa orang dengan cambuk pula. Maksud kami adalah cukup jelas. Kami ingin menakut-nakuti Sidanti dengan cambuk itu. Tetapi kami di sini sama sekali belum mengetahui siapakah sebenarnya manusia-manusia yang penuh dengan rahasia itu. Apakah kami tidak justru ditertawakan oleh Sidanti dan gurunya, karena manusia-manusia bercambuk itu sebenarnya adalah orang-orang mereka.”
“Kalau juga Gupala yang kau maksud,” potong Gupita,
“maka Ki Argapati pasti sudah tidak akan dapat kembali lagi. Dengan racun yang memperkuat bisa warangan senjata Ki Tambak Wedi betapapun lemahnya, maka Ki Argapati akan segera meninggal. Tetapi seperti yang kalian lihat, Ki Argapati masih tetap hidup sampai saat ini. Apakah dengan demikian kalian masih meragukan kami? Bahkan sekarang aku datang untuk memperbaharui obat yang pasti telah tidak mempunyai daya penyembuh lagi.”
Wrahasta tidak segera menyahut. Kata-kata itu memang mengandung kebenaran. Tetapi api kecemburuannya agaknya telah membuat akalnya menjadi hangus sehingga ia berkata,
“Kenapa bukan Gupala itu yang datang kemari, sehingga salah seorang dari kami akan segera mengenalnya? Kenapa orang lain yang bernama Gupita? Mungkin aku dapat mempercayainya apabila Gupala sendiri datang kemari. Tetapi aku masih belum mempercayai kau. Kini aku ingin membuktikan apakah kau benar-benar mampu menolong Pandan Wangi, melepaskannya dari tangan Ki Peda Sura. Apakah itu bukan sekedar permainan yang licik untuk menjerat kepercayaan Pandan Wangi terhadap kau. Dan kau sebenarnya tidak mempunyai sangkut paut apa  pun dengan Gupala. Kalau kau menyebut ciri yang sama, cambuk itu, maka setiap orang dapat membuat cambuk serupa itu.”

Gupita menarik nafas dalam-dalam. Ia menjadi ragu-ragu menghadapi keadaan itu. Segala macam pertimbangan telah melingkar-lingkar di kepalanya seperti sifat-sifatnya yang dibawanya sejak kanak-kanak. Ia mencoba mencari jalan yang paling baik yang dapat ditempuhnya untuk menghadapi keadaan ini. Keadaan yang tidak diduga-duganya sama sekali. Tanpa sesadarnya matanya hinggap pada wajah Kerti yang tegang. Kemudian dipandanginya Samekta dan para pemimpin yang lain. Tetapi para pemimpin itu  pun telah dicengkam oleh kebingungan. Mereka tidak dapat mencegah Wrahasta, agar Wrahasta tidak marah dan menimbulkan kesulitan di antara para pemimpin itu sendiri. Samekta yang merasa bertanggung jawab oleh semua peristiwa di dalam lingkungan pagar pering ori itu  pun menjadi semakin bingung. Seperti Kerti maka harapannya kemudian adalah keputusan Ki Argapati sendiri.
“Cepat!” tiba-tiba Wrahasta berteriak.
Gupita yang masih kebingungan itu  pun bertanya, “Apakah maksudmu sebenarnya?”
“Aku ingin melihat, apakah kau benar-benar dapat membebaskan Pandan Wangi dari tangan Ki Peda Sura.” Dan Wrahasta itu  pun kemudian berteriak kepada para pengawal,
“Beri aku sehelai cambuk yang sering dibawa oleh para pengawal berkuda. Aku ingin melihat, apakah orang bercambuk ini benar harus dikagumi. Dan bahwa tidak ada orang lain yang dapat mempergunakan cambuk sebaik anak ini.”
Melihat sikap Wrahasta yang seolah-olah telah kehilangan kendali itu Kerti dan Samekta menjadi semakin cemas. Untuk membiarkannya berkelahi melawan anak muda yang bersenjata cambuk itu  pun Samekta harus membuat pertimbangan yang menegangkan syarafnya. Seandainya Wrahasta dapat dikalahkan, maka ia akan menjadi semakin bermata-gelap dan akan mempergunakan kewenangannya untuk menghancurkan orang itu. Tetapi apabila ia menang, maka ia  pun akan dapat berbuat di luar dugaan. Wrahasta pasti akan menjadi semakin tidak percaya lagi kepada Gupita, atau justru mempergunakan kesempatan itu untuk memuaskan hatinya yang sedang dibakar oleh kecemburuan.
Karena itu, maka Samekta segera melangkah maju sambil berkata,
“Sudahlah Wrahasta. Aku kira kau tidak perlu menitikkan keringatmu untuk masalah-masalah yang tidak berarti. Biarlah aku menyelesaikan anak ini. Bukan aku sendiri, tetapi biarlah kita bersama-sama mencari penyelesaian yang semudah-mudahnya tanpa menyulitkan diri sendiri.”
“Tidak,” potong Wrahasta tanpa menunggu Samekta selesai berbicara. “Aku bukan pengecut.”
“Memang bukan,” jawab Samekta.
“Aku sependapat, bahwa anak muda itu adalah tawanan kita. Kita berhak mendapat keterangan daripadanya tanpa cara yang begitu sulit. Tidak sewajarnya bahwa kita, atau salah seorang dari kita harus melayaninya berkelahi dengan tujuan apa pun.”

Wrahasta mengerutkan keningnya. Kata-kata Samekta itu telah menyentuh hatinya. Tiba-tiba saja ia merasa dihadapkan ke muka cermin untuk melihat wajahnya sendiri. Dan tiba-tiba ia merasa bahwa perkelahian itu sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan sikapnya sebagai pengawal tanah perdikan yang berhadapan dengan seorang tawanan. Tetapi sikapnya adalah sikap seorang laki-laki muda yang sedang dibakar oleh perasaan cemburu. Sejenak Wrahasta tidak menjawab. Ia mencoba menemukan keseimbangan dalam dirinya. Namun ternyata harga dirinya sebagai seorang laki-laki, apalagi laki-laki muda yang dialasi oleh perasaan cemburu, sama sekali tidak dapat dikendalikannya.
Karena itu, maka Wrahasta itu menjawab,
“Tidak. Aku tidak ingin dibayangi oleh gambaran-gambaran yang tidak benar. Seolah-olah tidak ada laki-laki di atas tanah perdikan ini, sehingga untuk menyelamatkan Pandan Wangi diperlukan orang lain yang sama sekali tidak dikenal. Apalagi bayangan orang-orang bercambuk yang setiap saat ikut serta dalam pasukan berkuda itu agaknya telah membuat gambaran yang suram dari kepercayaan atas diri sendiri di atas tanah ini. Apakah kita terlampau menggantungkan diri kepada orang lain yang tidak kita kenal, sehingga kita harus mengorbankan harga diri kita? Tidak. Marilah kita lihat, apakah manfaatnya kita mengagumi orang-orang bercambuk.”
Samekta menarik nafas dalam-dalam. Didekatinya Wrahasta yang berdiri tegang.
“Sebaiknya kau tenangkan dirimu.”
“Aku tidak sedang kehilangan akal,” jawabnya lantang.
“Aku masih tetap menyadari apa yang aku lakukan. Karena itu, jangan ganggu aku.”
Samekta menarik nafas dalam-dalam. Tanpa sesadarnya ia berpaling, memandangi wajah Kerti yang kecemasan. Tetapi ia tidak dapat berbuat sesuatu. Ia tidak akan dapat mencegah Wrahasta dengan perintah sebagai pimpinan tertinggi pasukan Menoreh di hadapan sekian banyak pengawal dan bahkan seorang yang datang dari luar lingkungan mereka. Perintah yang demikian pasti akan menyinggung perasaan Wrahasta. Mungkin ia akan mematuhi perintah itu sebagai seorang bawahan, tetapi ia pasti akan menyimpan sesuatu yang dapat meledak setiap saat, justru Tanah ini sedang dalam bahaya. Tetapi apabila Wrahasta tidak mau mendengar perintahnya, maka ia pasti akan tersinggung pula. Dan mungkin ia sendiri akan melakukan tindakan-tindakan yang dapat lebih mempertajam persoalan ini.
Karena itu, maka Samekta tidak dapat melarang Wrahasta melakukan rencana. Namun ia berpesan,
“Ingat Wrahasta. Di atas kita masih ada Ki Argapati. Mungkin ia mempunyai sikap sendiri.”
“Aku menunggu setiap perintahnya,” desis Wrahasta.
“Tetapi sebelum ada perintah dari Ki Argapati, aku akan berbuat menurut kebijaksanaanku.”

Gupita masih saja berdiri mematung. Namun dadanya menjadi berdebar-debar. Apalagi setelah Wrahasta memegang sehelai cambuk yang mirip dengan cambuknya sendiri. Berjuntai panjang dan bertangkai pendek.
“Cepat, uraikan cambukmu itu,” berkata Wrahasta lantang.
Gupita masih tetap termangu-mangu. Diedarkannya pandangan matanya ke sekitarnya. Yang dilihatnya adalah sorot-sorot mata yang tegang dari para pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Sementara itu, Kerti dan Samekta berdiri dengan penuh kebimbangan. Mereka sekali-sekali berpaling ke arah regol halaman, sambil mengharap kehadiran Pandan Wangi yang akan bertindak atas nama ayahnya untuk mencegah perkelahian yang tidak akan banyak berarti apa-apa dari segi pengamanan Tanah Perdikan Menoreh, bahkan mungkin sebaliknya.
“Cepat!” Wrahasta berteriak. “Kalau kau tidak berusaha untuk membela diri, jangan menyalahkan aku, kalau kulitmu akan terkelupas.”
Gupita mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia berkata,
“Bukan maksudku untuk berkelahi di sini. Aku datang untuk menyampaikan obat kepada Ki Argapati. Tetapi aku di sudutkan kepada suatu keharusan untuk berkelahi. Meskipun demikian, aku ingin berpesan kepada kalian yang melingkari arena ini. Seandainya aku tidak dapat lagi menyampaikan obat itu, aku minta tolong kepada kalian yang bersedia, semata-mata untuk kepentingan tanah perdikan kalian, agar obat itu, sampai kepada Ki Argapati. Apakah kemudian akan dipergunakan atau akan dibuangnya, itu terserah kepada Ki Gede sendiri.” Gupita berhenti sejenak, kemudian ditatapnya wajah anak muda yang bertubuh raksasa, jauh lebih besar dari tubuhnya sendiri. Kemudian perlahan-lahan ia mengurai cambuknya setelah meletakkan bajunya di tepi arena sambil berkata dalam nada yang datar,
“Marilah, aku sudah bersedia.”
Wajah Wrahasta yang merah menjadi semakin merah. Meskipun demikian terpercik secercah keheranan di dalam hatinya. Meskipun Gupita itu berada di dalam lingkaran para pengawal Tanah Perdikan Menoreh, namun wajahnya sama sekali tidak membayangkan ketakutan dan kecemasan. Yang dilihatnya pada wajah itu hanyalah sekedar keragu-raguan. Justru karena itu maka Wrahasta yang bertubuh raksasa itu menjadi berdebar-debar. Namun demikian, Wrahasta terlampau percaya kepada dirinya, kepada kekuatan raksasanya. Sedang anak muda yang berdiri di hadapannya adalah anak muda yang terlampau biasa. Tingginya tidak lebih dari pundaknya.
“Bagus,” geram Wrahasta kemudian.
“Kau memang seorang anak muda yang berani. Tetapi kau harus menyesal, bahwa kau telah terperosok ke dalam lingkaran para pengawal Tanah Perdikan Menoreh.”
“Aku sama sekali tidak terperosok ke dalam lingkungan pering ori ini,” sahut Gupita.
“Aku sengaja masuk ke dalamnya.”
“Persetan!” potong Wrahasta yang perlahan-lahan melangkah mendekat. Cambuknya telah mulai berputar, dan sejenak kemudian cambuk itu pun meledak memekakkan telinga.
Tetapi ternyata bahwa suara cambuk itu adalah ledakan yang wajar dari hentakan juntainya yang panjang. Sama sekali tidak menumbuhkan getar apa  pun di dalam dada orang-orang yang berkerumun itu, kecuali sentuhan langsung pada selaput telinga mereka.

Gupita menarik nafas dalam-dalam. Dari ledakan suara cambuk itu ia dapat menduga, bahwa sebenamya Wrahasta hanya mengandalkan kekuatan tubuhnya saja. Tetapi agaknya anak muda itu tidak berlatih untuk membangkitkan tenaga cadangan yang memang telah tersedia di dalam dirinya. Apabila ia berhasil memecahkan teka-teki tentang kekuatan cadangan yang memang kurang dikenal oleh hampir setiap pribadi yang tidak mesu diri dalam olah kanuragan, maka Wrahasta akan mampu menumbangkan gunung anakan. Meskipun demikian Gupita tidak kehilangan kewaspadaan. Mungkin Wrahasta belum benar-benar mulai. Mungkin ia  pun sedang berusaha untuk menilai lawannya pula. Karena itu, maka Gupita  pun tetap bersiaga untuk menghadapi segala kemungkinan. Namun dalam pada itu, para pengawal yang memutari arena itu menjadi kian berdebar-debar. Mereka melihat wajah Wrahasta yang merah tegang. Agaknya pemimpin pengawal yang bertubuh raksasa itu akan bersungguh-sungguh. Para pengawal Tanah Perdikan Menoreh pada umumnya telah mengenal, betapa anak muda itu memiliki kekuatan yang seimbang dengan bentuk tubuhnya. Sehingga dengan demikian, maka apabila ujung cambuknya mengenai lawannya, maka kulitnya pasti akan terkelupas. Sesaat kemudian cambuk Wrahasta itu  pun telah meledak lagi. Sekali lagi dan sekali lagi. Ia semakin maju mendekati Gupita yang masih berdiri tegak di tempatnya. Sejenak Gupita mencoba memandang wajah Kerti dari Samekta berganti-ganti. Terbayang di wajah orang tua-tua itu kecemasan yang mencengkam jantung mereka.
Tanpa sesadarnya Gupita menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa terdorong ke dalam suatu kesulitan. Apakah ia harus melawan bersungguh-sungguh, yang bagaimanapun juga akan dapat menumbuhkan perasaan tidak senang pada para pengawal itu apabila ia mengalahkan Wrahasta. Tetapi apabila ia harus membiarkan dirinya dirajang oleh cambuk Wrahasta, agaknya ia berkeberatan juga. Gupita tidak sempat berpikir lebih panjang lagi. Wrahasta telah menjadi semakin dekat, dan setiap kali cambuknya selalu meledak-ledak tidak henti-hentinya. Maka Gupita tidak dapat berbuat lain kecuali menghadapinya. Karena itu maka kemudian ia bergeser setapak ke samping. Dengan gerak naluriah, maka ujung cambuknya pun mulai terayun-ayun, kemudian melingkar beberapa kali. Sejenak kemudian, maka terdengar cambuk itu meledak pula. Tetapi Gupita sama sekali tidak ingin menimbulkan berbagai macam kesan pada orang-orang Menoreh dan terutama kepada gurunya. Kalau ia meledakkan cambuknya dengan segenap kemampuan yang ada padanya, dalam pemusatan kekuatan di dalam dirinya, maka hal itu akan dapat menumbuhkan pertanyaan pada guru dan saudara seperguruannya. Mungkin mereka akan menyangka, bahwa ia berada dalam bahaya yang sulit di atasi.
“Tetapi apabila terpaksa, aku tidak dapat ingkar lagi,” desisnya di dalam hati.
Maka sejenak kemudian Wrahasta lah yang telah memulai dengan serangannya. Ujung cambuknya mematuk deras sekali, seperti seekor burung sikatan mematuk bilalang. Untunglah bahwa Gupita tidak kehilangan kesiagaan, sehingga dengan tangkasnya la meloncat menghindari sambaran cambuk lawannya. Namun ternyata, loncatan Gupita yang melampaui kecepatan sambaran cambuk Wrahasta itu benar-benar telah menarik perhatian. Kerti dan Samekta hampir bersamaan berdesis. Bahkan terdengar Kerti bergumam,
“Terlampau cepat.”
Samekta berpaling. Sambil mengangguk ia berkata,
“Memang terlampau cepat bagi Wrahasta.”

Perkelahian di arena itu  pun kemudian menjadi semakin cepat. Cambuk Wrahasta menyambar-nyambar tidak henti-hentinya, seolah-olah ia sama sekali tidak memberi kesempatan lawannya untuk membalas. Namun lawannya pun terlampau lincah, sehingga serangan-serangannya hampir tidak menyentuh sasarannya. Sekali-sekali memang ujung cambuk Wrahasta dapat mengenai lawannya sehingga menumbuhkan jalur-jalur merah, tetapi sama sekali tidak seimbang dengan tenaga yang telah diperas dari tangan anak muda yang bertubuh raksasa itu.
“Gembala itu tidak sempat membalas,” desis beberapa orang yang mengelilingi arena itu. Sedang yang lain mengangguk anggukkan kepalanya.
“Tetapi ia terlampau lincah,” bisik salah seorang dari mereka.
“Melampaui kecepatan ujung cambuk Ki Wrahasta,” yang lain mengangguk-anggukkan kepala mereka. Mereka terpukau melihat ketangkasan Gupita menghindari sambaran senjata Wrahasta. Sedang cambuknya sendiri seakan-akan masih belum dipergunakan. Ia hanya sekedar menahan arus serangan Wrahasta dengan sekali-kali menyentuhnya dengan ujung senjatanya itu. Namun dengan demikian hati Wrahasta menjadi semakin panas karenanya. Sentuhan-sentuhan ujung cambuk Gupita serasa minyak yang tumpah ke dalam api. Karena itu, maka tandang Wrahasta menjadi semakin lama semakin garang. Cambuknya menjadi semakin cepat berputaran dan semakin sering meledak-ledak. Namun Gupita masih juga mampu menghindarinya, sambil sekali-sekali melepaskan serangan yang tidak berbahaya. Karena Gupita masih saja dicengkam oleh keragu-raguan, apakah yang sebaiknya dilakukan. Sementara itu Pandan Wangi masih mondar-mandir dengan gelisahnya di dalam biliknya. Sekali-sekali ia melangkah ke luar dan melihat ke dalam bilik ayahnya lewat celah-celah pintu yang dibukanya sedikit. Tetapi ternyata ayahnya masih tidur dengan nyenyaknya. Sehingga dengan demikian hatinya menjadi semakin gelisah. Terbayang di rongga matanya apa saja yang dapat dilakukan oleh Wrahasta atas Gupita. Wrahasta akan dapat mempergunakan kekuasaannnya dengan mengerahkan para pengawal. Apabila terjadi demikian, maka jarak antara orang-orang Menoreh dengan orang-orang bercambuk itu, khususnya Gupita akan menjadi semakin jauh. Dalam kegelisahan itu Pandan Wangi melakukan apa saja untuk mengisi waktu. Berjalan kian kemari, minum dari kendi yang ada di dalam ruang dalam rumah itu, kemudian kembali ke dalam biliknya berbaring, tetapi sejenak kemudian ia telah bangkit lagi dan berjalan hilir-mudik.
Akhirnya Pandan Wangi itu tidak dapat bersabar lagi. Perlahan-lahan ia membuka pintu bilik ayahnya dan berjalan dengan hati-hati masuk. Tetapi ketika ia telah berada di sisi pembaringan ayahnya ia tidak berani membangunkannya. Karena itu maka gadis itu  pun melangkah perlahan-lahan dan duduk di pembaringan ayahnya.
Tetapi ternyata perasaan Ki Argapati demikian tajamnya, sehingga betapapun Pandan Wangi berhati-hati meletakkan dirinya, namun gerak pembaringannya yang sangat lambat itu telah membangunkan Ki Gede Menoreh. Perlahan-lahan ia membuka matanya dan perlahan-lahan pula ia berdesis,
“Kau, Wangi.”
Ternyata Pandan Wangi-lah yang terkejut sehingga ia terlonjak berdiri. Ia tdak menyangka bahwa sentuhan tubuhnya pada pembaringan ayahnya itu telah membangunkannya.
“Maaf, Ayah, apakah aku mengejutkan, Ayah?”
Ki Argapati menggelengkan kepalanya,
“Tidak, Pandan Wangi. Aku tidak terkejut.”
“Tetapi Ayah terbangun karenanya.”
“Aku sudah cukup lama tertidur. Seharusnya aku memang sudah bangun.”

Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia ingin segera dapat mengatakan keperluannya. Tetapi justru tertahan di dalam dadanya, sehingga ia menjadi terlampau gelisah. Keringat dingin telah mengalir membasahi punggung dan keningnya. Ki Argapati itu  pun kemudian melihat kegelisahan yang terbayang di dalam sikap puterinya, sehingga karena itu, maka ia  pun bertanya,
“Pandan Wangi. Aku melihat sesuatu yang menarik perhatianku padamu. Mungkin kau dibayangi oleh kegelisahan dan kecemasan.”
Dada Pandan Wangi berdesir. Adalah kebetulan sekali bahwa ayahnya bertanya kepadanya. Karena itu, maka ia  pun tidak membuang waktu lagi. Jawabnya,
“Ya, Ayah, aku memang sedang gelisah. Aku menunggu Ayah terbangun. Tetapi meskipun demikian aku sama sekali tidak sengaja membangunkan Ayah.”
“Ya, ya. Aku tidak menuntut kau kenapa kau membuat aku terbangun. Tetapi kenapa kau menjadi demikian gelisah?”
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba ia bertanya,
“Apakah tubuh Ayah menjadi panas lagi?”
Ki Argapati tdak segera menjawab. Ditatapnya wajah Pandan Wangi yang basah oleh keringat. Baru sejenak kemudian sambil mengangguk ia berdesis,
“Sedikit Pandan Wangi. Hanya sedikit. Dan kau tidak perlu menjadi gelisah karenanya.”
Pandan Wangi mengangguk-angguk. Kalimat-kalimat yang telah tersusun kini berdesakan di dalam dadanya, sehingga justru karena itu ia menjadi tergagap.
“Tidak, Ayah. Aku tidak gelisah.”
Dipandanginya wajah puterinya itu tajam-tajam. Dengan demikian Ki Argapati menjadi semakin yakin, bahwa gadisnya sedang diganggu oleh kegelisahan atau kecemasan.
“Tenanglah, Pandan Wangi. Kau dapat berceritera perlahan-lahan, apakah yang telah membayangi perasaanmu kini.”
Sekali lagi Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Dicobanya, mengatur perasaannya agar ia dapat mengucapkan kata katanya dengan baik. Sejenak kemudian maka barulah ia dapat memulainya, meskipun masih bersimpang siur,
“Ayah. Orang bercambuk itu telah datang.”
Ki Argapati mengerutkan dahinya. “Siapakah yang kau maksud?”
“Orang bercambuk yang pernah aku katakan, Ayah. Ia membawa obat untuk Ayah.”
“Tenanglah Pandan Wangi. Apakah kau bermaksud mengatakan bahwa ada seseorang datang mencari aku dan membawa obat untukku?”
“Ya, Ayah, gembala itu. Tetapi bukan yang gemuk.”
Ki Argapati perlahan-lahan bangkit dan duduk di pembaringannya. Dengan sareh ia berkata,
“Cobalah, endapkan perasaanmu. Jangan tergesa-gesa supaya kata-katamu tidak tumpang-suh.”
Pandan Wangi menundukkan kepalanya. Kini ia berusaha dengan sungguh-sungguh agar ia dapat berkata sebaik-baiknya. Semakin kisruh kalimatnya, maka semakin panjang waktu yang terbuang. Maka setelah sejenak ia berdiam diri, maka barulah ia dapat mengatakan dengan teratur, apa yang dilihatnya di depan regol desa, apa yang dilakukan oleh Wrahasta terhadap Gupita. Tetapi Pandan Wangi masih belum berani mengatakan latar belakang dari sikap anak muda yang bertubuh raksasa itu.
Ki Argapati mendengarkan ceritera Pandan Wangi sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan dada yang berdebar-debar tumbuhlah harapannya untuk dapat mengobati luka-lukanya dengan baik. Tetapi agaknya sikap Wrahasta tidak dapat dimengertinya.
Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, Ki Argapati mempertimbangkan ceritera Pandan Wangi itu dengan cermatnya. Dicobanya untuk menilai segala segi sebaik-baiknya. Sudah tentu, bahwa Wrahasta berbuat demikian sesuai dengan penilaiannya sendiri. Dan ia tidak akan segera dapat menganggapnya bersalah.
“Ayah,” berkata Pandan Wangi,
“mungkin Wrahasta akan menjatuhkan hukuman kepada anak itu. Seharusnya Ayah mencoba mencegahnya.”
Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia berkata,
“Sudah tentu Wrahasta mempunyai alasan yang kuat untuk melakukan tindakannya. Aku mengenalinya sebagai seorang pengawal yang cermat dan tegas. Tanpa pertimbangan tertentu, ia tidak akan berbuat tergesa-gesa.”
“Tetapi, tetapi…,” sahut Pandan Wangi. Namun Pandan Wangi tidak dapat mengatakan bahwa Wrahasta telah dibakar oleh perasaan cemburu.
“Percayalah Wangi, bahwa Wrahasta tidak akan berbuat tanpa alasan tertentu. Seandainya Wrahasta salah menilai gembala itu, maka Samekta dan Kerti dapat memberinya pertimbangan.”
“Kerti sudah mencoba Ayah, tetapi Wrahasta sama sekali tidak mendengarkannya.”
Ki Argapati mengangguk-angguk. Katanya kemudian,
“Tenanglah, Wangi. Setelah para pengawal yakin bahwa anak itu dapat dipercayanya, maka gembala itu pasti akan mereka bawa kemari.”
“Tidak, Ayah,” Pandan Wangi menjadi semakin cemas,
“Wrahasta menjadi seakan-akan gila. Ia tidak mau mendengar nasehat Paman Kerti dan pendapatku.”

Namun di luar dugaan Pandan Wangi, Ki Argapati justru tersenyum sambil berkata sareh,
“Tenanglah. Tenanglah. Aku percaya kepada para pemimpin pengawal itu. Mereka tidak akan berbuat tanpa pertimbangan yang masak. Mereka  pun bukan orang-orang yang suka kepada kekerasan. Gembala itu bagi mereka adalah orang lain, sehingga untuk meyakinkan dirinya, Wrahasta telah berbuat demikian. Tetapi tidak akan terjadi sesuatu atas anak muda itu. Aku  pun sangat mengharapkannya untuk mendapat obat yang baik bagi luka-lukaku.”
Pandan Wangi terbungkam karenanya. Namun kegelisahannya seolah-olah telah membakar seluruh isi dadanya.
Sebenarnya Ki Argapati sendiri menjadi gelisah. Tidak menjadi kebiasaan Wrahasta berbuat demikian kasar terhadap seseorang. Namun setiap kali ia mencoba memahami sikap itu. Apa yang dikatakannya kepada Pandan Wangi itu pun ditujukannya kepada diri sendiri, supaya ia tidak menjadi semakin berdebar-debar menghadapi keadaan dan menghadapi lukanya sendiri. Namun demikian, perasaannya  pun ternyata terganggu juga.
“Tetapi sebaiknya aku menunggu,” katanya kemudian dengan tiba-tiba.
Pandan Wangi terkejut. Gadis itu kemudian meloncat dan berjongkok di samping pembaringan ayahnya.
“Jangan, Ayah. Ayah jangan menunggu saja. Semuanya akan terjadi tidak seperti yang kita kehendaki. Wrahasta akan menjadi mata gelap, dan menghukum anak yang tidak bersalah itu.”
Ki Argapati termenung sejenak. Sudah tentu bahwa kecemasan Pandan Wangi itu  pun pasti bukan tidak beralasan. Tetapi bukanlah kebiasaan Ki Argapati untuk tidak mempercayai para pemimpin pengawal. Apalagi dalam keadaan seperti ini, sehingga kemudian ia berkata,
“Tidak akan terjadi tindakan yang berlebih-lebihan. Sebaiknya kita menunggu. Wrahasta sendiri pasti akan datang kepadaku menyampaikan masalah itu. Ia tidak pernah berbuat sesuatu yang penting tanpa setahuku.”
“Tetapi kali ini lain, Ayah, kali ini ia tidak berbuat sebagai pemimpin pengawal Tanah ini.”
Ki Argapati mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia bertanya,
“Lalu apakah yang dilakukannya?”
Pandan Wangi tidak dapat menjawab pertanyaan itu. Tetapi sikapnya semakin gelisah.
“Sebaiknya Ayah memanggil Wrahasta untuk mendengarkan keterangan daripadanya sekarang.”
“Ia akan datang sendiri, Wangi.”
“Tetapi,” kata-kata Pandan Wangi terpotong. Kini kegelisahannya sudah memuncak sampai ke ubun-ubunnya. Namun ayahnya seolah-olah acuh tidak acuh saja mendengar keterangannya.
“Beristirahatlah,” berkata ayah kemudian,
“Kau terlampau lelah, sehingga kau mudah sekali menjadi bingung. Tidak ada yang perlu diragukan lagi pada para pengawal yang kini berada di daerah bambu ori ini. Mereka yang tidak setia pada umumnya telah lari lebih dahulu. Mereka yang ketakutan  pun sudah menyingkir. Sebaiknya kita tidak menyakiti hati mereka yang kini berada di sini.”
“Oh,” Pandan Wangi berdesah. Perlahan-lahan ia berkata,
“Yang menggelisahkan aku adalah obat yang dibawa oleh anak muda itu, Ayah. Kalau obat itu tidak sampai kepada Ayah, maka semua harapan akan menjadi sia-sia.”
“Aku rasa tidak akan ada seorang  pun yang tidak menghendaki demikian, Wangi. Sekali lagi aku menyatakan kepercayaanku kepada para pemimpin pengawal. Kepada Samekta, Kerti, Wrahasta, dan yang lain-lain. Mereka pasti akan berbuat sebaik-baiknya untuk kepentingan kita bersama.”
Pandan Wangi menjadi pening mendengar jawaban ayahnya. Seolah-olah ia menjadi putus-asa. Terbayang di rongga matanya, Wrahasta yang bertubuh raksasa itu berbuat tanpa dapat dihalangi lagi untuk melepaskan perasaan cemburunya terhadap Gupita. Namun Pandan Wangi  pun mencemaskan nasib ayahnya, dan nasib Tanah ini. Kalau Gupita terpaksa melawan, maka keadaan akan menjadi semakin kalut, karena Pandan Wangi tahu benar, kekuatan yang tersimpan di dalam diri gembala bercambuk itu.

Dalam pada itu, di arena, Wrahasta semakin lama menjadi semakin marah. Ia sudah hampir menjadi lupa diri karena ia tidak segera dapat mengalahkan lawannya. Bahkan semakin lama Gupita itu rasa-rasanya menjadi semakin lincah. Cambuk Wrahasta yang semakin cepat bergetar, semakin sering meledak-ledak, tidak juga dapat melukai lawannya. Dengan demikian maka harga diri raksasa itu telah tersinggung karenanya, apalagi di hadapan para pengawal bawahannya. Para pemimpin pasukan pengawal yang berada di luar arena, menjadi semakin cemas melihat perkelahian itu. Apalagi Kerti dan Samekta. Mereka melihat Wrahasta semakin lama menjadi semakin kehilangan pengamatan diri. Dan Wrahasta bukanlah anak yang baru semalam pandai memegang senjata. Karena itu, apabila ia mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya, maka lawannya  pun harus berusaha mengimbanginya pula. Kalau benar kata Pandan Wangi, bahwa Gupita itu mampu bersama-sama dengan gadis itu melawan Ki Peda Sura dan bahkan melukainya, maka perkelahian ini pasti akan menjadi sebab timbulnya persoalan-persoalan baru pada Tanah Perdikan Menoreh.
“Gupita tidak berdiri sendiri,” gumam Samekta.
Kerti mengangguk-anggukkan kepala. Hampir di luar sadarnya ia berkata,
“Apakah baru sekarang kau sadari persoalan itu?”
Samekta menarik nafas dalam-dalam. Tetapi di arena itu sudah terlanjur terjadi perkelahian yang seru. Agaknya Samekta kini telah terlambat untuk menarik Wrahasta dari arena. Anak muda yang bertubuh raksasa itu telah benar-benar dibakar oleh kemarahannya, sehingga nalarnya sudah tidak akan dapat dipergunakannya lagi dengan lurus.
Gupita pun semakin lama menjadi semakin bingung pula. Sudah tentu ia tidak akan mungkin untuk sekedar menghindari serangan-serangan Wrahasta terus-menerus tanpa berbuat sesuatu. Betapapun tinggi ilmunya dan betapapun jauh jaraknya, tetapi ternyata dibanding cambuk anak muda yang bertubuh dan bertenaga raksasa itu telah mulai menyentuh kulitnya. Sekali-sekali Gupita itu menarik nafas dalam-dalam. Dengan penuh keragu-raguan ia menghadapi lawannya di arena yang asing baginya. Namun tiba-tiba terkenang olehnya, bagaimana seorang senapati muda dari Pajang, Untara, dahulu menghadapi Sidanti setelah selesai perlombaan memanah. Sidanti yang pada waktu itu sedang dibakar oleh kemarahannya pula. Adalah mustahil bagi Untara yang dapat mengalahkan Tohpati itu, apabila ia tidak dapat mengalahkan Sidanti pula. Tetapi Untara tidak mau menyakiti hati Sidanti dengan mengalahkannya di muka orang-orang Sangkal Putung dan di hadapan para prajurit Pajang.
“Cara itu adalah cara yang baik untuk menghentikan perkelahian,” desisnya. Namun kemudian timbul pertanyaan,
“Tetapi bagaimana kemudian kalau Wrahasta mempergunakan orang-orangnya untuk mencampuri perkelahian ini?”
Sekali lagi Gupita dicengkam oleh keragu-raguan. Namun di cobanya untuk mengambil sikap,
“Entahlah. Tetapi sekarang aku akan berbuat seperti yang terjadi atas Sidanti itu.”
Dengan demikian maka kini Gupita telah dapat menempatkan dirinya. Sekali-sekali ia harus melawan serangan dengan serangan. Sentuhan ujung cambuk dengan sentuhan pula. Namun harus dijaga, supaya lawannya itu tidak semata-mata dikalahkannya di hadapan pasukannya sendiri. Maka sejenak kemudian perkelahian itu pun berlangsung semakin cepat. Kini Gupita tidak terlampau banyak lagi menghindar. Tidak lagi melonjak-lonjak dikejar oleh senjata lawannya. Bahkan sekali-sekali ia mulai menyerang, meskipun tidak langsung ke pusat-pusat tubuh Wrahasta yang berbahaya. Wrahasta merasakan perubahan sikap Gupita. Ia kini melihat bahwa Gupita sama sekali belum melayaninya sewajarnya. Karena itu Wrahasta justru merasa direndahkan oleh gembala yang telah membakar hatinya.


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar