Raksasa muda itu kemudian menggeretakkan giginya, ia telah benar-benar kehilangan pertimbangan. Ia ingin berkelahi, sebenarnya berkelahi. Karena itu, maka ia pun segera mengerahkan segenap kemampuan dan kekuatan yang ada padanya. Ternyata Wrahasta benar-benar berkekuatan raksasa seperti tubuhnya. Cambuknya meledak-ledak semakin keras memekakkan telinga. Namun bagi Gupita, ledakan cambuk Wrahasta itu tidak lebih dari ledakan cambuk seorang gembala yang bertubuh dan berkekuatan raksasa. Itu saja, tanpa menumbuhkan getaran yang dapat menusuk ke pusat jantung karena disalurkan oleh kekuatan yang tersimpan di dalam diri.
Pada saat-saat
ketegangan di arena menjadi semakin memuncak, kegelisahan di dada Pandan Wangi
pun memuncak pula. Karena ayahnya masih belum memutuskan untuk memanggil
Wrahasta atau Gupita, atau kedua-duanya, maka sekali lagi ia mendesaknya,
“Ayah,
berbuatlah sesuatu. Jangan Ayah membiarkan keduanya dibakar oleh perasaan
mereka. Gupita tidak hanya seorang diri di tlatah Menoreh ini. Ayah jangan
membiarkan timbul persoalan-persoalan baru, yang dengan demikian akan
mengurungkan maksud baik orang-orang bercambuk itu. Obat itu Ayah, obat itu
harus di selamatkan.”
Ki Gede
Menoreh mengerutkan keningnya. Sebuah pertanyaan menjadi semakin tajam tergores
di dinding hatinya,
“Apakah yang
telah terjadi sebenarnya?”
Kegelisahan
Pandan Wangi itu telah menggelisahkan hati Ki Argapati pula. Namun ia masih
juga mempertimbangkan perasaan para pemimpin pasukannya dalam keadaan serupa
ini.
“Ayah,
hentikan semuanya itu, Ayah.”
“Pandan
Wangi,” berkata ayahnya,
“Aku masih
belum dapat meninggalkan pembaringan ini.”
“Aku akan
pergi atas nama Ayah.”
Argapati tidak
segera menyahut.
“Kalau Ayah
mencemaskan Wrahasta, bahwa ia akan tersinggung karenanya, maka sebaiknya Ayah
memanggil keduanya. Wrahasta dan Gupita bersama Paman Kerti dan Paman Samekta.”
Argapati masih
dicengkam oleh keragu-raguan. Tetapi ia tidak dapat membiarkan keadaan menjadi
semakin tegang karena kegelisahan Pandan Wangi yang memuncak. Karena itu, maka
perlahan-lahan ia menganggukkan kepalanya. Katanya,
“Tetapi
hati-hatilah. Jangan menyakitkan hati orang lain.”
“Terima kasih,
Ayah,” Pandan Wangi terlonjak. Kemudian diraihnya tombak pendek ayahnya sambil
berkata,
“Atas nama Ki
Gede Menoreh.”
Tanpa menunggu
jawaban apa pun Pandan Wangi berlari ke luar dari bilik ayahnya dan menghambur
ke halaman sambil menjinjing tombak pendek ayahnya, sebagai pertanda bahwa ia
berbuat atas nama Ki Argapati sendiri.
Tanpa
menghiraukan para penjaga dan orang-orang yang memandanginya di sepanjang
jalan, Pandan Wangi berlari-lari ke pusat pimpinan para pengawal. Kali ini
tidak saja dengan sepasang pedang di lambungnya tetapi juga sebatang tombak
pendek, meskipun masih di dalam selongsongnya.
Sementara itu,
perkelahian antara Wrahasta dan Gupita menjadi semakin sengit. Gupita semakin
lama semakin banyak melakukan serangan-serangan yang membuat Wrahasta harus
bekerja lebih keras. Meskipun demikian serangan-serangan Gupita nampaknya tidak
terlampau berbahaya, dan selalu dapat dielakkan oleh Wrahasta. Namun dengan
demikian Wrahasta harus memeras tenaganya untuk selalu menghindari ujung cambuk
Gupita yang seolah-olah mempunyai mata melampaui ketajaman matanya. Sehingga
karena itu, maka Wrahasta harus memeras segenap tenaga dan kemampuannya, agar
ujung cambuk Gupita tidak terlampau sering menyentuhnya. Meskipun demikian
Gupita tidak mendesaknya terus. Sekali-sekali diberinya kesempatan Wrahasta
menyerangnya, bahkan menyentuh kulitnya, namun sejenak kemudian keadaan
berganti pula. Dalam perkelahian yang demikian, maka anak muda yang bertubuh
raksasa itu benar-benar telah memeras segenap kemampuan dan tenaganya. Nafasnya
pun semakin lama menjadi semakin deras mengalir seperti keringatnya yang
semakin terperas membasahi pakaiannya. Tenaganya pun menjadi semakin kendor, sehingga
senjatanya tidak lagi terlampau sering meledak-ledak. Wrahasta adalah seorang
yang memiliki kekuatan dan ketahanan tubuh yang luar biasa. Namun agaknya
Gupita telah berhasil memancingnya untuk mencurahkan segenap kamampuannya
sehingga tenaganya pun segera menjadi
susut. Anak muda yang bertubuh raksasa, yang terlibat langsung dalam
perkelahian itu sendiri tidak begitu menyadari keadaannya. Tetapi orang-orang
tua yang mempunyai pandangan yang agak baik atas perkelahian itu, misalnya
Kerti dan Samekta, dapat melihat, bahwa sebenarnya Wrahasta telah mencoba
berkelahi di luar kemampuannya.
“Aku percaya
kepada keterangan Pandan Wangi,” desis Kerti tiba-tiba.
“Tentang
siapa?” bertanya Samekta.
“Bahwa anak
itu benar-benar mampu bertahan bersama-sama dengan Angger Pandan Wangi sendiri
terhadap Ki Peda Sura.”
Samekta
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Ya, aku pun
percaya.”
Kerti
mengangguk-angguk pula. Lalu katanya,
“Kalau begitu
dalih Wrahasta bahwa ia telah bersekutu dengan Ki Peda Sura itu sama sekali
tidak dapat dipertahankan.”
“Ya. Memang
tidak. Sejak semula aku sudah meragukan dalih itu. Dan kita sudah mengetahui
dalih yang sebenarnya, yang telah membuat Wrahasta menjadi mata gelap.”
“Dan kau
pemimpin tertinggi di sini, tidak berbuat apa-apa. Biar pun kau sudah
mengetahuinya.”
Samekta
mengerutkan alisnya. Jawabnya,
“Kau tidak
membantu kesulitan perasaanku. Kau justru membuat aku menjadi semakin bingung.”
“Berbuatlah
tegas. Tegas sebagai seorang pemimpin tertinggi.”
“Tetapi itu
tidak berarti bahwa kita boleh melepaskan kebijaksanaan. Coba katakan, apa yang
harus aku lakukan kalau Wrahasta menolak perintahku? Apakah aku harus
memaksanya di hadapan para pengawal, sementara Sidanti siap menerkam kita di
luar pagar pring ori ini.”
Kerti menarik
nafas dalam-dalam.
“Maaf,”
katanya, lalu, “tetapi lihatlah.”
Samekta
memandang perkelahian di tengah-tengah arena dengan wajah yang tegang.
Dilihatnya keduanya menjadi semakin lemah. Bahkan sekali-sekali Wrahasta
menjadi terhuyung-huyung karena dorongan kekuatannya sendiri. Setiap ia
melecutkan cambuknya, maka hampir-hampir ia pun ikut terjerembab. Sedangkan cambuk
itu sudah hampir tidak berbunyi sama sekali. Di pihak lain, Gupita pun telah menjadi terlampau letih. Samekta
dan Kerti melihat gembala itu tertatih-tatih mempertahankan keseimbangannya.
Namun mata kedua orang tua-tua itu cukup tajam. Mereka melihat bahwa keadaan
Gupita sebenarnya tidak separah itu.
“Anak itu
ternyata cukup bijaksana,” desis Samekta tiba-tiba. Wajahnya yang tegang
menjadi agak mengendor. Dari sorot matanya tampaklah, bahwa tekanan perasaanya
telah berkurang.
“Mudah-mudahan
perkelahian itu akan selesai dengan baik.”
Kerti pun tiba-tiba tersenyum,
“Anak muda
yang dewasa menghadapi persoalannya. Pantaslah bahwa ia mampu menyelamatkan
Pandan Wangi dari tangan Ki Peda Sura.”
Namun
tiba-tiba kedua orang tua itu dikejutkan oleh suara Wrahasta yang gemetar dan
terputus-putus karena nafasnya yang memburu,
”He, ternyata
dugaanku benar.” Ia berhenti sejenak, lalu,
“orang semacam
kau mustahil dapat melepaskan Pandan Wangi dari tangan Ki Peda Sura. Kalau kau
tidak bersekutu dengan orang itu, maka kau pasti sudah terbunuh olehnya. Kau
sama sekali tidak mampu mengalahkan aku, apalagi Ki Peda Sura.”
Dada Gupita
berdesir mendengar tuduhan itu. Agaknya Wrahasta mencari arti yang lain dari
perkelahian yang diharapkannya dapat selesai tanpa menyakitkan hatinya. Karena
itu, maka sejenak ia berdiri mematung. Dalam kebingungan itu ia mendengar
Wrahasta berkata terus sambil terengah-engah,
“Karena itu,
meskipun aku tidak juga dapat mengalahkan kau, namun aku sudah menemukan bukti
bahwa kau adalah termasuk orang-orang yang tidak dikenal di Tanah ini. Yang
bekerja bersama Ki Peda Sura dan Ki Tambak Wedi untuk melihat keadaan dan
rahasia kami setelah kau berhasil mempengaruhi perasaan Pandan Wangi, seorang
gadis yang masih terlampau hijau dan jujur menghadapi dunia yang penuh dengan
noda-noda hitam. Nah, sekarang kau tidak akan dapat ingkar lagi. Kau harus
mempertanggungjawabkannya sebagai seorang laki-laki.”
Gupita masih
terpaku di tempatnya. Sedang Kerti dan Samekta sejenak saling memandang.
Ternyata harapan mereka, bahwa perkelahian itu akan berakhir tanpa membuat
Wrahasta menjadi sakit hati, agaknya tidak terpenuhi. Wrahasta benar-benar
telah kehilangan keseimbangan berpikir sehingga sikapnya menjadi kasar dan
berbahaya.
“Kau tidak
dapat tinggal diam,” desis Kerti kepada Samekta.
“Meskipun kau
harus bijaksana, tetapi kau harus mencegah hal-hal yang dapat membahayakan anak
muda yang membawa obat untuk Ki Argapati itu.”
Samekta
menjadi tegang sesaat. Dan sebelum ia berbuat sesuatu maka Wrahasta telah berteriak
kepada para pengawal,
“Nah, kalian
telah menyaksikan sendiri. Sekarang, kepunglah anak gila ini. Jangan sampai ia
melepaskan dirinya.”
Para pengawal
Tanah Perdikan Menoreh adalah orang-orang yang cukup terlatih, sehingga
tiba-tiba mereka pun bergerak dalam suatu lingkaran yang menjadi rapat. Dalam
sekejap maka di tangan mereka telah tergenggam senjata masing-masing.
“Nah, kau akan
lari ke mana lagi gembala yang licik?” desis Wrahasta.
Dada Gupita
menjadi semakin berdebar-debar. Keadaan berkembang semakin memburuk. Tanpa
sesadarnya, ia menggenggam cambuknya erat-erat.
“Aku tidak mau
mati seperti kerbau dibantai di pembantaian,” katanya di dalam hati. Meskipun
segala macam pertimbangan dan keragu-raguan menjalari kepalanya, namun yang
pertama-tama harus dikerjakan adalah mempertahankan diri. Tetapi sebelum para
pengawal berbuat sesuatu, maka Samekta telah berada di tengah-tengah arena.
Dipandangnya Gupita sesaat, kemudian diedarkannya pandangan matanya ke setiap
wajah di sekelilingnya.
“Terima
kasih,” desisnya,
“kalian telah
berbuat sebaik-baiknya untuk tanah ini. Anak muda ini memang tidak boleh lari
dengan membawa berita apa pun dari lingkungan kita. Karena itu, maka aku
sendiri akan menangkapnya. Kalau ia berusaha melawan, aku akan
menyelesaikannya. Aku harus membawanya menghadap Ki Argapati.”
Sejenak arena
itu menjadi sepi. Kata-kata Samekta telah menghunjam ke dalam setiap hati. Dan
mereka sama sekali tidak melihat keberatan apa pun. Ki Samekta sendiri akan
menangkapnya. Menyerah atau melawan, sehingga mereka tidak perlu bertindak
beramai-ramai. Sedang Gupita sendiri agaknya dapat menangkap maksud yang
tersirat di dalam sikap Samekta itu, sehingga ia sama sekali tidak bersikap
untuk melawan.
“Nah,” berkata
Samekta,
“apakah kau
akan melawan atau lebih baik menyerah dan menghadap Ki Argapati?”
Gupita
menundukkan kepalanya dalam-dalam. Katanya,
“Aku menyerah,
Kiai. Aku tidak ingin melakukan perlawanan apa pun sebenarnya.”
Samekta
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun sekali lagi ia terkejut oleh suara
Wrahasta,
“Buat apa ia
dibawa menghadap Ki Argapati? Kalau sudah jelas, siapakah orang ini, maka kita
dapat memutuskan sendiri, apa yang sebaiknya kita lakukan. Ki Argapati sedang
terluka parah. Ia harus beristirahat. Kita tidak dapat mengganggunya dengan
persoalan-persoalan yang sama sekali tidak berarti. Karena itu, serahkan saja
anak ini kepada para pengawal. Kepadaku dan kepada para pemimpin pengawal yang
lain.”
Samekta
mengerutkan keningnya. Ia memang sudah menduga bahwa Wrahasta akan mencegahnya
membawa Gupita menghadap Ki Argapati. Tetapi sudah tentu ia tidak dapat
menyerahkannya kepada Wrahasta dan para pemimpin pengawal yang lain, yang tidak
mengerti masalah yang sebenarnya.
Karena itu
maka katanya,
“Kita tidak
akan dapat bertindak sendiri. Persoalan ini bukan sekedar persoalan kecil.
Masalah anak muda ini menyangkut berbagai macam soal. Obat itu, hubungannya
dengan anak muda yang gemuk yang memberikan obat kepada Ki Argapati di Pucang
Kembar, hubungannya dengan Ki Peda Sura, dengan Sidanti dan Ki Tambak Wedi. Orang
ini memang kita perlukan. Justru karena itu maka kita harus membawanya langsung
kepada Ki Argapati.”
“Tidak!”
potong Wrahasta dengan wajah yang merah. Sikap itu tidak pernah dilakukan
sebelumnya. Ia selalu menghormati orang-orang tua yang mempunyai kedudukan
lebih tinggi daripadanya. Tetapi kali ini ia bersikap lain. Dan sikap ini
memang sudah diperhitungkan oleh Samekta. Karena itu maka Samekta pun berkata pula,
“Kita tidak
boleh mendahului keputusan Ki Argapati, Wrahasta. Ki Argapati telah berpesan,
bahwa setiap persoalan harus dibicarakan lebih dahulu. Aku kira, termasuk
persoalan anak muda ini.”
“Tidak! Tidak!
Aku akan memaksanya berbicara lebih dahulu. Ia belum mengucapkan pengakuan apa
pun meskipun aku telah menemukan bukti yang tidak akan dapat dipungkiri. Karena
itu, aku akan memaksanya berbicara.” Kemudian kepada para pengawal ia
berteriak,
“Ayo, ikat
orang ini!”
Tetapi para
pengawal menjadi bingung. Tatapan mata Samekta terlampau tajam beredar ke
setiap wajah, sehingga para pengawal itu
pun justru menundukkan kepala mereka.
“Ayo cepat!”
teriak Wrahasta seperti orang gila.
“Kenapa kalian
diam saja, he?”
“Jangan
tergesa-gesa,” potong Samekta. Kata-katanya tidak dilontarkan terlampau keras,
tetapi pengaruhnya telah menahan semua pengawal untuk berbuat sesuatu.
Wrahasta yang
marah menjadi semakin marah. Ia benar-benar telah lupa akan kedudukannya.
Tiba-tiba cambuk di tangannya dilemparkannya dan dalam sekejap ia telah
menggenggam pedang di tangannya. Dengan garangnya ia menggeram,
“Aku tidak
biasa mempergunakan senjata macam itu. Aku akan mempergunakan pedangku. Dada
anak itu akan aku sobek silang empat kalau ia tidak mau berbicara.”
Bagaimana pun juga Samekta masih menjadi bingung.
Dipandanginya wajah Kerti untuk mendapat pertimbangan. Adalah tidak pada
tempatnya apabila ia harus bertindak dengan kekerasan pula. Tetapi wajah Kerti
yang tegang itu pun tidak memberinya petunjuk apa pun juga. Sementara itu
Pandan Wangi masih berlari sekencang-kencangnya sambil menjinjing tombak
ayahnya. Ia tidak mau terlambat dan tinggal melihat bekas-bekasnya saja yang
akan dapat merontokkan jantungnya. Puteri Kepala Tanah Perdikan Menoreh itu
sama sekali tidak mempedulikan lagi, bahwa beberapa orang peronda di
gardu-gardu memperhatikannya dengan heran. Bahkan satu dua orang berusaha untuk
mengikutinya sambil bergumam di antara mereka.
“Apakah yang
telah terjadi dengan Pandan Wangi.”
“Mungkin ia
akan melihat tawanan itu pula,” jawab yang lain.
“Tetapi tombak
itu?”
Yang lain
menggelengkan kepalanya. “Entahlah.”
Di arena
keadaan menjadi semakin tegang, Wrahasta telah benar-benar kehilangan segala
pertimbangan. Ia sama sekali tidak mempedulikan lagi Samekta dan kemudian Kerti
yang masuk ke dalam arena pula.
“Minggir
kalian!” tiba-tiba Wrahasta membentak orang-orang tua itu.
“Aku akan
mengurus persoalan ini sampai selesai.”
“Wrahasta,
sadarlah keadaanmu,” desis Kerti perlahan-lahan.
“Kau telah
melanggar keharusan seorang pengawal. Samekta adalah pemimpin tertinggi di
daerah ini sekarang, sebagaimana ditunjuk oleh Ki Argapati.”
Sejenak
Wrahasta tertegun. Namun ketika dilihatnya wajah gembala yang ragu-ragu itu,
maka tiba-tiba ia berteriak,
“Aku
menangkapnya pada saat ia melakukan pengkhianatan atas Tanah ini. Sebelum ia
berbicara tentang dirinya sebenar-benarnya, aku tidak akan melepaskannya dan
menyerahkannya kepada atasanku. Sekarang, minggirlah. Aku akan memaksanya
berbicara, dan kemudian terserah kepada kalian. Itu adalah hakku.” Lalu kepada
para pengawal ia berteriak, “Cepat, ikat anak ini pada batang sawo itu. Ia harus
berbicara tentang dirinya.”
“Wrahasta,”
berkata Samekta,
“jangan kau
paksa anak ini mengaku akan sesuatu yang tidak pernah dilakukannya. Apalagi
apabila dengan dasar pengakuan yang kau paksakan itu, kemudian kau menjatuhkan
hukuman atasnya. Itu bukan sifat seorang yang berpijak pada kebenaran.”
Wajah Wrahasta
menjadi semakin tegang. Sekali lagi ia berteriak,
“Aku mempunyai
bukti. Aku mempunyai bukti yang cukup.” Dan sekali lagi ia berkata kepada para
pengawal itu pula, “Ayo cepat, kenapa kalian seperti orang mimpi?”
Samekta
menjadi semakin bingung. Sedang Kerti berusaha menahan dirinya supaya ia pun
tidak kehilangan keseimbangan melihat tingkah laku Wrahasta yang benar-benar
seperti orang gila itu. Karena Samekta dan Kerti kemudian tidak berbuat
apa pun lagi oleh kebimbangan dan
kebingungan, maka para pengawal kini memusatkan perhatiannya kepada Wrahasta.
Meskipun mereka masih diliputi oleh keragu-raguaan pula, namun tanpa sesadar
mereka, para pengawal itu telah bergerak maju.
“Cepat!”
teriak Wrahasta. Kepada Gupita ia berkata,
“Jangan
mencoba melawan. Kalau kau berbuat gila, maka kau akan dicincang
sewalang-walang.”
Ancaman itu
membuat Samekta dan Kerti menjadi semakin bimbang. Sehingga Samekta terpaksa
berkata di dalam hatinya,
“Apa boleh
buat. Aku harus menjatuhkan perintah atas dasar keyakinanku bahwa anak muda itu
tidak bersalah. Entahlah, apa yang akan terjadi serta segala akibatnya. Tetapi
obat itu sangat diperlukan oleh Ki Argapati.”
Dalam
ketegangan yang semakin memuncak itu, para pengawal mulai melangkah maju,
mempersempit kepungan mereka dengan senjata di tangan masing-masing. Samekta
tidak dapat menunggu lebih lama lagi. Tiba-tiba ia meugangkat kepalanya,
memandang para pengawal yang telah mulai bergerak. Tetapi sebelum ia
mengucapkan sepatah kata pun, tiba-tiba terdengar suara melengking dalam nada
yang tinggi,
“Tunggu,
tunggu.”
Semua orang
berpaling ke arah suara itu. Dada mereka menjadi berdebar-debar ketika mereka
melihat seorang gadis dengan sepasang pedang di lambung, berjalan tergesa-gesa
ke arah arena yang sedang ber-gerak-gerak. Semua orang kemudian terpaku di
tempatnya. Langkah Pandan Wangi menjadi semakin cepat. Beberapa orang segera
menyibak untuk memberinya jalan, masuk ke dalam lingkaran arena. Samekta,
Kerti, dan Wrahasta berdiri dengan tegangnya. Mata mereka tertarik kepada
tombak pendek yang masih berada di dalam selongsong itu.
Sejenak
kemudian terdengar suara Wrahasta berat,
“Apakah
maksudmu datang kemari, Pandan Wangi?”
“Aku berbuat
atas nama Kepala Tanah Perdikan Menoreh,” jawab gadis itu sambil mengangkat
tombak yang masih berada di dalam selongsongnya.
“Aku harus
memanggil Paman Samekta untuk menghadap.”
Samekta
mengerutkan keningnya. Perlahan-lahan ia bertanya,
“Aku?”
“Ya. Paman
Samekta dan paman Kerti beserta Kakang Wrahasta, dengan membawa tawanan kalian
itu.”
Hampir
bersamaan Samekta dan Kerti menarik nafas dalam-dalam. Tetapi tiba-tiba wajah
Wrahasta yang tegang menjadi semakin tegang, seolah-olah hendak meledak.
Katanya,
“Tidak. Itu
tidak perlu. Aku akan menyelesaikannya lebih dahulu. Ia harus berbicara tentang
dirinya. Baru kemudian ia dihadapkan kepada Ki Argapati. Sebelum ia mengaku,
adalah hakku untuk memeriksanya.”
Pandan Wangi
menggelengkan kepalanya,
“Aku tidak
tahu, Kakang Wrahasta. Aku hanya melakukannya. Supaya tidak timbul persoalan,
maka Ayah memerintahkan kepadaku untuk membawa tombak ini, pertanda bahwa apa
yang aku lakukan adalah atas nama pimpinan tertinggi Tanah Perdikan Menoreh.
Kalau tindakan ini kau anggap kurang bijaksana, bertanyalah nanti kepada ayah.
Aku hanya sekedar melakukan perintahnya.”
“Aku tidak
akan memberikan,” teriak Wrahasta.
Pandan Wangi
terdiam sejenak. Tanpa sesadarnya diedarkannya pandangan matanya berkeliling.
Dilihatnya wajah-wajah yang ragu-ragu, bimbang dan bahkan kebingungan.
Tetapi agaknya
Pandan Wangi cukup kuat mempertahankan sikapnya. Perlahan-lahan ia berkata,
“Perintah
Kepala Tanah Perdikan Mlenoreh, Paman Samekta, Paman Kerti, dan kakang Wrahasta
harus segera membawa gembala itu menghadap ayah.”
“Tidak
mungkin,” potong Wrahasta.
“Atas nama
Kepala Tanah Perdikan ini, kalian harus berangkat sekarang. Sekarang.”
Wrahasta
berdiri dengan kaki gemetar memandangi wajah Pandan Wangi. Tetapi wajah gadis
itu di dalam tangkapan matanya kini, seolah-olah bukan wajah Pandan Wangi yang
biasa dilihatnya sehari-hari. Bukan wajah lembut yang ramah, bukan pula wajah
seorang gadis yang sayu dan murung. Tetapi wajah itu seolah-olah wajah seorang
senapati perang yang berada di medan, dalam sikap dan ucapan. Sejenak arena itu
menjadi sepi. Semua mata memandang wajah Pandan Wangi yang berdiri tegak dengan
tombak pendek di tangannya. Sejenak kemudian kesepian itu dipecahkan oleh suara
Wrahasta,
“Baiklah,
Pandan Wangi. Aku akan tunduk kepada setiap perintah Ki Gede Menoreh atau atas
namanya.”
Dada Pandan
Wangi berdesir mendengar kata-kata Wrahasta itu. Justru dengan demikian sejenak
ia terbungkam. Namun sekilas dipandanginya Kerti dan Samekta yang sedang saling
berpandangan.
Gupita pun menarik nafas dalam-dalam. Terasa ia
terlepas dari suatu ikatan yang membelitnya. Bukan karena ia merasa terlepas
dari bahaya yang mungkin dapat mengancam jiwanya, tetapi ia merasa terlepas
dari suatu keadaan yang membuatnya cemas dan ragu-ragu.
Yang kemudian terdengar
adalah suara Samekta,
“Kami akan
segera menghadap, Pandan Wangi.”
“Baiklah,
Paman. Kita akan pergi bersama-sama.”
Samekta
menganggukkan kepalanya Kemudian ia berkata kepada Gupita,
“Simpanlah
senjatamu dan pakailah bajumu.”
“Baik, Kiai,”
jawab Gupita sambil membungkukkan kepalanya. Kemudian diambilnya bajunya, dan
dikenakannya. Ketika teraba olehnya bungkusan obat di kantong bajunya, terasa
hatinya menjadi dingin. Obat itu baginya adalah barang yang terpenting yang
harus disampaikan kepada alamat yang ditunjuk oleh gurunya. Sejenak kemudian,
maka Pandan Wangi, Samekta, Kerti, dan Wrahasta segera membawa Gupita menghadap
Ki Argapati.
Sementara itu
Ki Argapati berbaring dengan gelisah menunggu kedatangan puterinya. Ia
kadang-kadang menjadi cemas kalau Wrahasta menjadi salah paham. Bagaimanakah
kira-kira sikap Pandan Wangi apabila Wrahasta tidak mau mematuhi perintah itu. Ia
bangkit ketika terdengar langkah memasuki ruangan dalam mendekati biliknya.
Sejenak kemudian dari balik pintu muncullah Pandan Wangi dengan tombak pendek
di tangannya.
“Bagaimana,
Wangi?” bertanya ayahnya.
“Mereka telah
datang, Ayah.”
“Di mana
mereka sekarang?”
“Di luar bilik
ini, Ayah.”
Ki Argapati
menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian,
“Bawa mereka
masuk. Tetapi letakkan dulu tombak itu.”
Pandan Wangi
mengangguk. Diletakkannya tombak pendek ayahnya di samping pembaringan, dan
kemudian ia pun melangkah. Sejenak kemudian maka Pandan Wangi bersama para
pemimpin pengawal itu pun masuk ke dalam
bilik Argapati sambil membawa Gupita bersama mereka. Dengan kepala tunduk
mereka berdiri berjajar di muka pintu. Di paling ujung adalah Gupita yang
berdiri di samping Samekta.
Ki Argapati
memandangi mereka satu demi satu. Dilihatnya keringat yang membasahi wajah dan
pakaian Wrahasta. Agaknya ia telah berbuat sesuatu dengan mengerahkan
tenaganya. Perlahan-lahan Ki Argapati berkata,
“Anak muda
inikah yang bernama Gupita?”
Gupita
mengangkat wajahnya. Perlahan-lahan pula ia menjawab sambil mengangguk
dalam-dalam,
“Ya, Ki Gede.
Aku bernama Gupita, seorang gembala.”
Ki Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sebagai seorang yang memiliki pengetahuan yang
hampir mumpuni, segera ia melihat, bahwa apa yang dikatakan Pandan Wangi
tentang anak muda yang telah membantu meloloskan diri dari tangan Ki Peda Sura
itu, sama sekali tidak berlebih-lebihan.
“Aku telah mendengar
tentang kau,” berkata Ki Argapati kemudian.
“Tetapi aku
ingin mendengar dari kau sendiri, siapakah sebenarnya kau, dan apakah maksudmu
datang kemari.”
Gupita menarik
nafas dalam-dalam. Tanpa sesadarnya dipandanginya orang-orang yang berada di
dalam bilik itu satu demi satu. Namun tidak segera berkata apa pun.
Yang bertanya
kemudian adalah Ki Argapati kembali, tetapi kepada Samekta,
“Apakah kau
sudah bertanya sesuatu kepadanya?”
Samekta
ragu-ragu sejenak, kemudian jawabnya,
“Belum, Ki
Gede.”
Ki Gede
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini ia memandangi Wrahasta yang masih tunduk.
Kepada anak muda yang bertubuh raksasa ini pun Ki Gede bertanya,
“Apakah kau
juga belum bertanya kepadanya?”
Wrahasta
mengangguk, jawabnya,
“Aku sedang
berusaha bertanya kepadanya, Ki Gede. Tetapi agaknya Gupita tidak ingin
menjawab.”
Ki Argapati
masih mengangguk-anggukkan kepalanya. Dipandanginya kemudian Kerti dan Samekta
berganti-ganti. Tetapi keduanya pun
masih menundukkan kepala mereka. Agaknya tidak seorang pun dari keduanya yang ingin memberi
penjelasan. Gupita sendiri memang tidak ingin membuat persoalan. Karena itu
maka ia pun tidak berbicara sama sekali tentang apa yang telah terjadi. Ketika
Ki Gede kemudian bertanya lagi kepadanya tentang dirinya, maka anak muda itu
menjawab,
“Ki Gede, yang
terpenting kedatanganku adalah untuk menyerahkan obat kepada Ki Gede. Menurut
perhitungan ayah, obat yang dahulu diberikannya lewat adikku pasti sudah tidak
mempunyai daya penyembuh lagi. Itulah sebabnya maka aku harus menghadap Ki Gede
untuk menyampaikan obat itu sekarang.”
“Ya, aku sudah
mendengar pula,” Ki Gede diam sejenak, lalu,
“Apakah ada
salah paham di antara para pengawal terhadapmu?”
Gupita
ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia menjawab,
“Tidak, Ki
Gede. Tidak ada salah paham yang berarti. Semuanya adalah terbatas pada
tindakan pengamanan sebagaimana seharusnya dilakukan oleh para petugas dan para
pengawal.”
Yang mendengar
jawaban itu mengerutkan kening mereka. Jawaban itu sama sekali bukan jawaban
seorang gembala kambing. Tetapi yang paling memperhatikan sikap itu adalah Ki
Gede sendiri. Kini ia menjadi semakin yakin, bahwa ia telah berhubungan dengan
seseorang yang memang pernah dikenalnya, meskipun sejak itu sudah diselimuti
oleh rahasia yang tidak mudah ditebak. Namun orang yang berada di belakang
anak-anak muda ini, pasti orang bercambuk yang aneh itu.
Tetapi
tiba-tiba Ki Argapati mengerutkan keningnya. Dan tanpa sesadarnya ia bertanya,
“Jadi ayahmu
menyuruhmu memberikan obat lagi kepadaku?”
Pertanyaan itu
telah mengejutkan Gupita, sehingga tergagap ia menjawab,
“Ya, Ki Gede.
Ayah menyuruhku memberikan obat ini, karena obat yang diberikannya lewat adikku
sudah terlampau lama.”
“Gupita,”
desis Ki Gede seolah-olah ia sedang mengingat sesuatu,
“Berapa umur
ayahmu?”
Kini Gupita
menjadi bingung. Pertanyaan itu pun. sama sekali tidak disangka-sangkanya.
Namun ia meajawab,
“Umur ayah
sudah lewat setengah abad, Ki Gede?”
“Ya, maksudku
apakah ia sudah terlampau tua atau masih seumurku ini?”
“Ya, umur ayah
kira-kira seumur dengan Ki Gede.”
Tampak sesuatu
melintas di wajah Ki Gede yang tenang. Namun tidak seorang pun yang dapat menangkap, bahwa sesuatu sudah
bergetar di dadamya. Orang tua itu berkata di hatinya,
“Orang
bercambuk itu sudah melampaui setengah abad sejak aku melihatnya beberapa puluh
tahun yang lampau, ketika aku masih terlalu muda. Apakah umurnya tidak
bertambah-tambah juga?” Namun ketegangan merayapi hatinya ketika teringat
olehnya seseorang yang mirip dengan anak muda yang berdiri di depannya,
“Aku
seolah-olah melihat anak muda itu kembali. Anak muda yang cakap dan sopan
seperti anak muda ini. Tetapi saat itu umurku
pun masih terlampau muda.” Kata-kata itu melingkar-lingkar di dalam dada
Ki Argapati. Tetapi ia tidak segera dapat meagambil kesimpulan apa pun.
Baru sejenak
kemudian ia berkata,
“Manakah obat
itu? Dan apakah ada pesan khusus dari ayahmu?”
Gupita
mengambil sebungkus obat dari kantong bajunya. Per1ahan-lahan ia melangkah
maju. Kemudian diserahkannya sebungkus obat itu kepada Ki Gede yang menerimanya
dengan tangan gemetar. Agaknya tubuhnya telah dijalari oleh rasa sakit yang
bersumber pada lukanya. Ki Gede itu tampak agak menggigil, meskipun tubuhnya
menjadi panas.
“Apakah obat
ini harus ditaburkan di atas lukaku?” bertanya Ki Gede.
Gupita
mengangguk,
“Ya Ki Gede.
Obat itu sebagian harus ditaburkan di atas luka. Tetapi tidak sekaligus. Ki
Gede dapat mempergunakannya untuk tiga empat kali. Sedang bungkusan kecil yang
ada di dalam bungkusan itu juga, hendaknya dicairkan dengan air secukupnya.
Obat itu harus diminum Ki Gede.”
Ki Gede
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tanpa sesadarnya dipandanginya wajah-wajah para
pemimpin pengawal yang berdiri tegang di hadapannya. Ki Gede melihat
keragu-raguan yang membayang di wajah-wajah itu, bahkan di wajah Pandan Wangi.
Ki Argapati
menarik nafas dalam-dalam. Disadarinya bahwa orang-orang itu meragukan obat
yang diberikan oleh Gupita dan sekaligus mencemaskan nasibnya. Karena itu maka
katanya,
“Gupita,
apakah ayahmu yakin bahwa obat ini akan dapat menyembuhkan luka-lukaku?”
Gupita menarik
nafas dalam-dalam. Kemudian dengan hati-hati ia menjawab,
“Ki Gede, ayah
tidak pernah merasa dirinya sendiri mampu berbuat demikian, apalagi meyakini.
Sebaiknya kita berusaha bersama-sama. Sambil memohon kepada Yang Maha Murah,
tetapi ayah yakin bahwa sebenarnya Tuhan Maha Murah. Karena itu ayah tidak
pernah berputus asa untuk berusaha dalam ilmu pengobatan ini.”
Sekali lagi,
orang-orang yang mendengar jawaban itu mengerutkan keningnya. Jawaban itu pun sama sekali bukan sekedar jawaban seorang
gembala. Ki Argapati sendiri mengangguk-anggukkan kepalanya. Bahkan ia
tersenyum sambil berkata,
“Baiklah.
Marilah kita berusaha. Tetapi sebelum itu aku ingin mengetahui tentang kau
lebih banyak lagi, apalagi tentang ayahmu. Apakah kau tidak berkeberatan? Kau
belum menjawab pertanyaanku, apakah ada pesan khusus dari ayahmu?”
Dengan
ragu-ragu Gupita menganggukkan kepalanya. Tetapi tatapan matanya beredar ke
seluruh ruangan. Disambarnya wajah-wajah yang kaku tegang dari para pengawal
yang berada di dalam bilik itu juga. Agaknya Ki Gede mengerti maksud anak muda
itu. Ia ingin berbicara tanpa ada orang lain yang mendengarnya. Karena itu,
maka setelah dipertimbangkannya sejenak ia berkata kepada para pengawalnya,
“Maaf Samekta,
aku akan berbicara dengan anak ini tanpa didengar oleh orang lain. Aku
persilahkan kalian keluar sebentar. Nanti kalian akan mengerti, apa yang
sebaiknya kita lakukan.”
Samekta
menarik nafas dalam-dalam. Sejenak ia menjadi ragu-ragu. Tetapi yang
pertama-tama berkata di antara mereka adalah Wrahasta,
“Apakah Ki
Gede mempercayainya bahwa ia tidak akan berbuat sesuatu di dalam bilik ini,
pada saat Ki Gede sedang sakit?”
Ki Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Terima kasih
atas peringatanmu Wrahasta. Aku tahu, bahwa kau dan para pengawal yang lain
merasa bertanggung jawab atas keselamatanku. Aku hargai sikap kalian. Tetapi
kali ini aku minta kalian mempercayainya. Aku akan berbuat sebaik-baiknya.”
Sejenak para
pengawal itu saling berpandangan. Tetapi mereka tidak dapat berbuat apa pun ketika sekali lagi Ki Gede berkata,
“Biarlah anak
ini mendapat kesempatan. Keluarlah kalian sebentar bersama Pandan Wangi.”
Ternyata
Pandan Wangi pun menjadi ragu-ragu.
Namun ketika akan membuka mulutnya, ayahnya mendahuluinya,
“Keluarlah
sebentar, Pandan Wangi. Aku perlu berbicara dengan Gupita sejenak. Semuanya
semata-mata untuk kepentingan Tanah ini, tentu saja untuk kepentinganku pula.
Kalau aku segera sembuh, maka aku akan segera dapat berbuat sejauh-jauh mungkin
dapat aku lakukan bagi Tanah ini. Apakah kalian mengerti?”
Pandan Wangi
menarik nafas dalam-dalam. Sejenak dipandanginya Kerti, dan sejenak kemudian
ayahnya. Namun ketika ia memandang wajah Gupita, dan anak muda itu sedang
memandanginya pula, maka sepercik warna merah membayang di pipinya. Sambil menundukkan
kepalanya ia menjawab,
“Baik, Ayah.
Aku akan keluar bersama para pemimpin pengawal.”
“Terima kasih.
Aku mengharap kalian dapat mengerti.”
Maka Pandan
Wangi pun segera melangkah keluar.
Meskipun tampak keragu-raguan membayang di matanya, tetapi ia mematuhi perintah
ayahnya. Demikian pula para pemimrpin pengawal. Mereka mencoba untuk
menyerahkan semua tanggung jawab kepada Ki Argapati sendiri. Dan mereka mencoba
untuk percaya, bahwa pandangan Ki Argapati pasti jauh lebih tajam dari mereka. Tetapi
Wrahasta mempunyai persoalan yang lain. Ia tidak sekedar dirisaukan oleh
kecurigaannya apakah anak muda itu tidak akan berkhianat. Meskipun Pandan Wangi
ikut meninggalkan bilik itu bersamanya dan kedua pemimpin pengawal yang lain,
namun perasaan cemburu yang tergores di dadanya tidak juga menjadi susut.
Apalagi sampai saat itu Pandan Wangi belum pernah menjawab pertanyaannya dengan
memuaskan. Itulah sebabnya, maka persoalannya dengan anak muda yang bernama
Gupita itu jauh lebih banyak dari orang-orang lain. Bahkan Wrahasta menjadi
cemas, apabila benar-benar anak muda itu berhasil menolong Ki Argapati, dan
karena itu, ia akan dapat menarik perhatiannya, apalagi Pandan Wangi sendiri
telah terjerat pula olehnya, maka semua mimpinya akan pecah bertebaran. Namun
untuk sementara ia tidak akan dapat berbuat sesuatu, ia harus tunduk kepada
perintah Ki Argapati. Sementara itu, Gupita masih berdiri di depan pintu. Ki
Gede yang mencoba duduk di tepi pembaringannya tampak gemetar karena lukanya
yang terasa menjadi pedih dan tubuhnya menjadi panas.
“Silahkan
berbaring, Ki Gede,” berkata Gupita. Ki Gede mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya,
“Maaf anak
muda, aku memang harus berbaring.”
“Ya, Ki Gede
masih belum boleh terlampau banyak bergerak. Silahkan membuka baju Ki Gede, aku
akan membantu menaburkan obat itu.”
Ki Gede tidak
segera menyahut. Bagaimanapun juga, anak muda yang belum pernah dikenalnya ini
kadang-kadang memang menumbuhkan kebimbangan di hatinya. Tetapi Ki Gede tidak
segera menyahut. Dengan tangan yang bergetar dibukanya bungkusan obat yang
diterimanya dari anak muda itu.
Ki Gede
mengangguk-anggukkan kepalanya. Obat ini memang mirip sekali dengan obat yang
pernah diterimanya dahulu. Tetapi ia tidak dapat menyebutnya dengan jelas,
apakah warnanya juga serupa, karena saat anak muda yang gemuk itu memberikan
obat kepadanya, ia tidak dapat melihat dengan jelas, apalagi di dalam
keremangan malam di bawah Pucang Kembar.
Gupita yang
melihat keragu-raguan membayang di wajah Ki Gede berkata,
“Obatnya
memang agak berbeda dengan yang pernah Ki Gede pergunakan dahulu. Obat yang
dahulu adalah obat untuk luka baru. Tetapi obat ini adalah obat untuk mengobati
luka Ki Gede yang telah selang beberapa hari itu.”
Ki Gede
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia
pun tidak menolak ketika Gupita mendekatinya dan kemudian dengan
hati-hati menaburkan obat di atas luka Ki Gede.
“Setiap dua
atau tiga hari, obat ini harus diperbaharui,” berkata Gupita kemudian.
“Mudah-mudahan
Ki Gede akan sembuh dan segera dapat memimpin pasukan kembali.”
Ki Argapati
mengangguk-angguk pula. Perlahan-lahan ia berdesis,
“Ya,
mudah-mudahan. Tetapi agaknya Ki Tambak Wedi tidak menunggu aku sampai sembuh.
Mereka telah memperketat kepungan mereka dan mempertajam tekanan mereka, tidak
saja atas padesan ini, tetapi juga dan bahkan terutama adalah sumber persediaan
makan kami.”
Gupita
mengangguk-anggukkan kepalanya. Agaknya Ki Argapati sudah mulai mempercayainya
benar-benar. Sehingga akan sampai saatnya ia menyampaikan pesan gurunya
kepadanya.
“Tetapi
gerakan yang dilakukan oleh Ki Gede telah berhasil membuat Ki Tambak Wedi
kebingungan,” berkata Gupita kemudian.
Ki Argapati
mengerutkan keningnya,
“Apakah yang
kau maksudkan?”
“Pasukan
berkuda dan orang-orang bercambuk di antara mereka.”
“Oh,” Ki Gede
tersenyum. Katanya,
“Maafkan kami.
Sampaikan kepada ayahmu, bahwa kami tidak sengaja untuk menyeretnya ke dalam
persoalan ini.”
“Tidak, Ki Gede,”
sahut Gupita cepat-cepat.
“Tidak hanya
kamilah yang berhak mempergunakan senjata semacam itu. Setiap orang memang
berhak pula. Juga pengawal Tanah Perdikan Menoreh.”
Ki Gede masih
juga tersenyum. Katanya,
“Apakah kau
dan ayahmu tersinggung karenanya? Baiklah aku berterus terang, dan aku harap
kau sampaikan kepada ayahmu, bahwa aku memang ingin membangunkannya dari
tidurnya yang terlampau nyenyak.”
Gupita pun tersenyum pula. Ia merasa bahwa pintu
telah terbuka baginya untuk menyampaikan pesan gurunya. Karena itu maka katanya
kemudian dengan hati-hati,
“Ki Gede,
sebenarnyalah aku mendapat pesan dari ayahku selain obat untuk luka Ki Gede
itu.”
Ki Gede
mengerutkan keningnya. Namun sejenak kemudian ia menyeringai menahan sakit yang
menghentak di lukanya.
“Apakah luka
itu terasa pedih, Ki Gede?” bertanya Gupita ketika ia melihat kesan di wajah Ki
Argapati.
“Ya. Pedih
sekali.”
“Itu pertanda
bahwa obat itu mulai bekerja. Jangan cemas, Ki Gede. Beberapa saat perasaan
pedih itu serasa menyengat-nyengat. Tetapi kemudian akan hilang dengan
sendirinya. Begitulah menurut ayah.”
“Ya,
Mudah-mudahan kata-kata ayahmu itu benar.”
“Menurut
pengalaman ayah, demikianlah. Kemudian luka itu tidak perlu ditutup. Namun
sebaiknya luka itu tidak tergores oleh baju Ki Gede.”
“Ya, ya,”
sahut Ki Gede, namun kemudian ia berkata,
“sekarang,
coba katakan, apakah pesan ayahmu itu? Aku harap bahwa ayahmu dapat memberi
beberapa petunjuk untuk memecahkan kesulitan di atas Tanah ini.”
Gupita menarik
nafas dalam-dalam. Ternyata Ki Gede memang telah mempunyai kepercayaan kepada
gurunya, meskipun agaknya Ki Gede belum yakin siapakah sebenarnya orang yang
telah memberinya obat itu.
Dengan
demikian maka agaknya semuanya akan dapat berjalan dengan lancar, tanpa salah
paham yang lebih dalam lagi.
“Ki Gede,”
berkata Gupita,
“sebenarnyalah
ayah tidak akan dapat tinggal diam di dalam tidurnya yang nyenyak.”
Ki Argapati
mengerutkan keningnya, namun kemudian ia
pun tersenyum.
“Pada saatnya
ayah pasti akan melibatkan diri di dalam persoalan ini.”
“Aku sudah
menyangka,” sahut Argapati.
“Untuk itu
ayah minta maaf. Bukan maksud ayah untuk mencampuri persoalan Ki Gede.”
Ki Gede tidak
menyahut.
“Tetapi,”
Gupita meneruskan,
“Ayah melihat
bahaya yang akan mengancam bukan saja Tanah ini, apabila Sidanti berhasil
menguasai pimpinan bersama gurunya Ki Tambak Wedi.” Gupita berhenti sejenak,
lalu,
“Maaf Ki Gede,
mungkin putera Ki Gede sendiri tidak akan tersesat apabila ia tidak kebetulan
berada di dalam lingkungan padepokan Tambak Wedi. Kami tidak tahu, apakah
alasan yang telah mendorong Ki Gede menyerahkannya kepada seorang yang
terlampau bernafsu untuk menjadi seorang yang sangat berkuasa.”
Ki Gede
Menoreh mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi wajahnya kemudian menunduk.
“Maaf, Ki
Gede. Bukan maksudku untuk menyentuh perasaan Ki Gede,” cepat-cepat Gupita
menyambung kata-katanya.
Ki Argapati
menggelengkan kepalanya,
“Tidak apa,
Anak Muda. Aku memang sudah merasa, bahwa sebagian dari kesalahan itu memang
ada padaku. Pada yang tua-tua di Tanah ini, dan guru anak itu. Nah, teruskan
pesan ayahmu. Katakan apa yang ingin kau katakan. Aku tidak akan menyalahkan
kau. Tanggapanmu atau tanggapan ayahmu memang tepat. Teruskan.”
“Tidak, Ki
Gede,” sahut Gupita kemudian.
“Bukan itulah
pesan ayahku yang terpenting. Tetapi yang harus aku sampaikan kepada Ki Gede
adalah keinginan ayah untuk menghadap Ki Gede. Sudah tentu ayah tidak akan
dapat begitu saja memasuki daerah ini. Itulah sebabnya aku yang disuruhnya
untuk merambah jalan. Itu pun telah menimbulkan sedikit salah paham. Tetapi
salah paham yang tidak berarti.”
“Ayahmu akan
datang kemari?”
“Itu kalau Ki
Gede berkenan di hati.”
“Tentu. Tentu.
Kenapa tidak saja langsung menemui para penjaga dan berkata bahwa ia akan
bertemu dengan aku?”
“Dalam keadaan
serupa ini mudah sekali timbul persoalan-persoalan yang tidak terduga-duga.
Aku pun sudah mengatakan demikian,
bahkan dengan menunjukkan obat itu. Tetapi wajar sekali kalau para pengawal
tidak segera mempercayainya. Memang kehadiran seorang gembala tua seperti ayah,
akan merupakan sesuatu yang tampaknya tidak wajar dalam keadaan serupa ini.”
Ki Gede
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia berkata,
“Ayahmu memang
membuat dirinya menjadi tidak wajar. Aku tidak tahu, kenapa ia harus menyebut
dirinya sebagai seorang gembala tua? Dan kau menyebut dirimu sebagai anaknya?”
Dada Gupita
berdesir mendengar pertanyaan itu. Tetapi kemudian ia menyadari keadaannya.
Sudah tentu orang seperti Ki Argapati tidak akan dengan mudah mempercayai
ceritera tentang dua orang gembala dengan seorang ayahnya yang tua.
“Gupita,”
berkata Ki Argapati kemudian,
“aku
memanggilmu Gupita, karena kau menyebut dirimu bernama demikian. Aku kira aku
pernah berkenalan dengan orang yang kau sebut ayahmu. Aku memang mengenal orang
yang bersenjata cambuk itu, meskipun sejak itu orang yang bersenjata cambuk itu
selalu membuat dirinya menjadi kabur. Tetapi aku tidak tahu, apakah naksudnya
dan apakah alasannya. Seperti aku sekarang juga tidak tahu, kenapa ayahmu itu
pun tidak menyatakan dirinya dalam keadaan sewajarnya. Tetapi itu tidak penting
bagiku. Teka-teki itu memang tidak akan aku cari. Yang penting sekarang adalah kehadirannya
itu. Aku menunggunya dengan senang hati.”
Gupita
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tiba-tiba ia pun melihat keanehan pada dirinya
sendiri. Agaknya penyakit gurunya untuk membuat dirinya berwajah dan bernama
seribu telah menular kepada dirinya tanpa disadarinya. Kenapa namanya harus
berganti, dan kenapa ia menyebut dirinya seorang gembala?”
Gupita menarik
nafas.
“Aku berada di
daerah asing yang sedang disaput oleh kemelutnya api peperangan,” desisnya di
dalam hati. Dan alasan itu sudah agak memberinya kepuasan, apalagi apabila
disebutnya juga, agar Sidanti tidak segera tahu kehadirannya bersama guru dan
saudara seperguruannya. Tetapi semuanya itu pasti akan segera berakhir. Apabila
gurunya pada suatu saat bertemu dengan Ki Argapati, maka semuanya akan babar.
Dan ia tidak perlu mengingat-ingat nama yang kadang-kadang membuatnya bingung
sendiri. Karena itu, maka kemudian ia berkata,
“Ki Gede, ayah
pasti akan mengucapkan beribu terima kasih atas kesempatan itu. Selebihnya,
ayah akan mengatakannya sendiri, apakah sebabnya ia berada di Tanah ini dan
apakah sebabnya ia tidak menyatakan dirinya sewajarnya, apabila benar seperti
yang Ki Gede sebutkan.”
Ki Argapati
mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tersenyum,
“Aku menunggu.
Setiap saat pintu regol akan terbuka bagi orang yang kau sebut ayahmu itu. Aku
mempercayainya. Obatnya agaknya akan dapat menolongku.” Ki Argapati berhenti
sejenak, lalu,
“Perasaan
pedih itu sudah berangsur hilang.”
“Berbaringlah
dan beristirahatlah Ki Gede. Mudah-mudahan Ki Gede akan segera sembuh,” sahut
Gupita, yang kemudian minta diri.
“Sebaiknya aku
segera mengatakannya kepada ayah. Aku harus segera menemuinya. Agaknya suhu api
di atas bukit ini cepat sekali meningkat.”
“Kau benar.
Semakin cepat, semakin baik sebelum Ki Tambak Wedi mengetahui, bahwa
orang-orang berkuda itu bukan orang yang berhak mempergunakan sebutan
orang-orang bercambuk.”
Gupita
menganggukkan kepalanya. Tetapi terbersit kecemasan di dalam hatinya. Mungkin
Ki Gede benar-benar mengharap kehadiran gurunya, tetapi bagaimana dengan para
pengawal? Kedatangannya telah menumbuhkan salah paham, dan hampir-hampir saja
menyeretnya ke dalam suatu keadaan yang sulit.
Karena itu,
maka dengan agak ragu-ragu ia bertanya,
“Ki Gede,
apakah tanda yang harus kami berikan kepada para pengawal, supaya kami dapat
masuk ke daerah ini dengan tidak menimbulkan salah paham?”
“Ah,” desah Ki
Gede,
“bukankah
sebagian dari para pengawal telah mengenalmu? Meskipun demikian baiklah, aku
akan mengatakannya kepada para pengawal, bahwa kalian akan mendapat kesempatan
untuk masuk. Terutama kepada para pemimpin.”
“Terima kasih,
Ki Gede,” sahut Gupita.
“Panggillah
mereka yang berada di luar pintu itu.”
“Baik Ki
Gede,” sahut Gupita yang kemudian melangkah ke luar ruangan. Ketika ia membuka
pintu, dilihatnya ketiga pemimpin pengawal masih berdiri di ruangan itu. Mereka
duduk di atas sehelai tikar di muka pintu yang menghadap ke pringgitan, dan
langsung dapat melihat ke luar, lewat pintu pendapa.
“Tuan-tuan
dipersilahkan masuk,” berkata Gupita sambil membungkukkan kepalanya.
Sejenak ketiga
pemimpin pengawal itu saling berpandangan. Namun sejenak kemudian Kerti segera
berdiri disusul oleh Samekta dan kemudian Wrahasta.
“Apakah Ki
Gede memanggil kami?” bertanya Kerti.
“Kenapa kita
bertanya kepadanya?” sahut Wrahasta.
“Ia orang
asing di sini. Marilah kita bertanya langsung kepada Ki Gede.”
Gupita
mengerutkan keningnya. Pemimpin pengawal yang seorang ini yang bertubuh
raksasa, agaknya terlampau membencinya tanpa diketahui sebab-sebabnya. Meskipun
demikian, ia mencoba untuk menenteramkan hatinya. Mungkin karena anak muda yang
bertubuh raksasa itu sudah terlanjur bersikap keras terhadapnya, sehingga ia
tidak akan dapat merubah sikap itu dengan tiba-tiba.
Ketiga
pemimpin pengawal itu pun segera
melangkah masuk. Mereka berdiri berjajar di dekat pembaringan Ki Argapati.
sedang Gupita kemudian berdiri beberapa langkah di belakang mereka.
“Pandan Wangi
tidak ada di antara mereka,” pertanyaan itu telah mengusik hati Gupita. Tetapi
ia tidak berani bertanya. Ternyata Ki Gede lah yang kemudian bertanya,
“Di manakah
Pandan Wangi?”
Sebelum salah
seorang dari mereka menjawab. terdengar suara Pandan Wangi,
“Aku di sini,
Ayah.” Maka sejenak kemudian gadis itu menjengukkan kepalanya. Tangannya
menjinjing beberapa mangkuk berisi air sere yang hangat. Beberapa potong gula
kelapa dan seonggok jenang alot.”
“Oh,” Ki Gede
menarik nafas dalam-dalam. Sepercik kebanggaan telah memulasi hatinya yang
sedang prihatin. Meskipun putrinya itu membawa sepasang pedang di lambungnya,
namun ia tidak melupakan kuwajibannya sebagai seorang gadis.
Ketika Pandan
Wangi kemudian hilang di balik pintu, maka Ki Gede berkata,
“Pandan Wangi
telah menyediakan minum kalian. Tetapi baiklah aku ingin memberikan beberapa
pesan. Pada saatnya, Gupita akan pergi dan kembali lagi ke padukuhan ini
bersama saudaranya yang gemuk dan ayahnya. Aku mengharap kalian dapat menerima
mereka dengan baik, karena mereka adalah tamu-tamuku. Aku memerlukan mereka
terutama karena obat yang ternyata sangat bermanfaat bagiku. Selainnya akan
kita lihat, hubungan apa lagi yang dapat kita buat dengan mereka untuk
selanjutnya.”
Samekta,
Kerti, dan Wrahasta tidak segera menjawab. Bagi Samekta dan Kerti, persoalan
itu tidak banyak menimbulkan masalah di dalam diri mereka. Mereka percaya bahwa
Ki Gede berbuat dengan cukup berhati-hati. Dan kewajibannya adalah mengamankan
daerah ini dari segala kemungkinan seandainya ketiganya benar-benar akan
datang. Mereka harus diawasi sebaik-baiknya. Selebihnya, Ki Gede pasti akan
memberi petunjuk-petunjuk.
Tetapi
persoalan bagi Wrahasta bertambah lagi dengan masalah pribadinya. Namun sudah
tentu ia tidak dapat mengatakannya. Disimpannya saja perasaan kecewanya itu di
dalam hatinya. Meskipun demikian, betapa dalam ia mencoba menanam perasaan itu
di hadapan Ki Argapati, namun dari sikapnya, Samekta dan Kerti masih sempat
membacanya. Para pemimpin itu kemudian mengangkat wajah-wajah mereka ketika
mereka mendengar Ki Gede melanjutkan,
“Sementara ini
baru itulah yang dapat aku katakan. Selebihnya akan kalian ketahui nanti
setelah ayah Gupita ini berada di dalam lingkungan kita. Setidak-tidaknya kita
akan mendapat seorang yang mengerti tentang obat-obatan, yang akan memberi
banyak pertolongan bagi kita yang terluka.”
“Kita akan
menyambutnya dengan senang hati, Ki Gede,” jawab Samekta.
“Ternyata
sampai saat ini kita tidak mempunyai seorang pun yang dengan sungguh-sungguh
dapat memberikan pengobatan. Yang kita lakukan hanyalah sekedar memperingan
penderitaan para korban. Di pihak Sidanti paling sedikit ada dua orang yang
mampu melakukannya. Ki Wasi dan Ki Muni.”
“Tetapi,”
tiba-tiba Wrahasta memotong,
“Betapapun
tanggapan kita terhadap kedua orang itu, namun bagi Sidanti, keduanya cukup
meyakinkan. Keduanya benar-benar dapat dipercaya. Apakah kita dapat meyakini
pula, bahwa gembala tua itu dapat kita percaya?”
Ki Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Kau adalah
seorang pengawal yang baik, Wrahasta. Kau menanggapi setiap persoalan dengan
penuh tanggung jawab. Aku berterima kasih kepadamu. Adalah wajar sekali, bahwa
kita tidak akan segera mempercayai seseorang. Juga gembala tua itu. Namun
biarlah ia datang, aku akan melihat apakah kita bersama akan mempercayakan diri
kita kepadanya di dalam masalah pengobatan, atau kita akan berbuat lain.”
Wrahasta
menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata,
“Ya, Ki Gede.”
“Nah, sekarang
minumlah. Kemudian Gupita akan segera pergi untuk memanggil ayahnya. Hari ini
atau besok ia akan kembali.”
Sekali lagi
Wrahasta menganggukkan kepalanya. Samekta, Kerti, dan Gupita pun mengangguk pula. Sejenak kemudian maka
mereka pun telah berada di luar ruangan,
duduk di atas sehelai tikar pandan yang putih sambil minum air sere dengan gula
kelapa.
Tetapi Gupita
tidak dapat menikmatinya terlampau lama. Segera ia minta diri untuk kembali ke
rumahnya dan membawa ayahnya menghadap Ki Argapati.
“Besok aku
baru akan menghadap bersama ayah,” berkata Gupita kepada para pemimpin pengawal
itu.
“Kami
mengharap kedatangan kalian,” sahut Samekta.
“Mudah-mudahan
dengan demikian, kalian dapat memperingan pekerjaan kami.”
“Kami akan
berusaha,” jawab Gupita.
Maka
Gupita pun segera minta diri kepada
Pandan Wangi, untuk menjemput gembala tua yang disebutnya ayahnya. Samekta,
Kerti, dan Wrahasta mengantarkannya sampai ke regol padesan. Ketika mereka
telah berada di luar regol, maka Samekta berkata,
“Selamat
jalan. Di hadapan kita terbentang sebuah lapangan yang menyimpan seribu macam
rahasia dan teka-teki. Kita tidak tahu apa saja yang tersimpan di dalamnya
sekarang. Mungkin di depan kita ini bersembunyi orang-orang Sidanti, tetapi
juga mungkin petugas-petugas sandi kita sendiri. Atau kedua-duanya. Dengan
demikian maka segala macam peristiwa dapat saja terjadi atasmu.”
“Terima
kasih,” jawab Gupita,
“aku akan
berhati-hati. Mudah-mudahan aku tidak menemui kesulitan, Apabila aku menjumpai
bahaya yang tidak dapat aku atasi, aku akan lari kembali masuk ke padukuhan
ini.”
“Baiklah,”
jawab Kerti,
“Kami menunggu
kedatanganmu bersama ayahmu.”
Gupita pun
kemudian menganggukkan kepalanya dalam-dalam. Sambil tersenyum ia berkata,
“Aku akan
segera kembali.”
Maka sejenak
kemudian Gupita itu pun segera melangkah
meninggalkan regol padukuhan itu. Tetapi hatinya berdesir ketika ia mendengar
Wrahasta berkata,
“Tunggu. Aku
perlu mengatakan sesuatu kepadamu.”
Gupita
menghentikan langkah. Namun Wrahasta berkata,
“Berjalanlah
terus. Aku akan menemani kau.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar