Jilid 040 Halaman 2


Raksasa muda itu kemudian menggeretakkan giginya, ia telah benar-benar kehilangan pertimbangan. Ia ingin berkelahi, sebenarnya berkelahi. Karena itu, maka ia pun segera mengerahkan segenap kemampuan dan kekuatan yang ada padanya. Ternyata Wrahasta benar-benar berkekuatan raksasa seperti tubuhnya. Cambuknya meledak-ledak semakin keras memekakkan telinga. Namun bagi Gupita, ledakan cambuk Wrahasta itu tidak lebih dari ledakan cambuk seorang gembala yang bertubuh dan berkekuatan raksasa. Itu saja, tanpa menumbuhkan getaran yang dapat menusuk ke pusat jantung karena disalurkan oleh kekuatan yang tersimpan di dalam diri.

Pada saat-saat ketegangan di arena menjadi semakin memuncak, kegelisahan di dada Pandan Wangi pun memuncak pula. Karena ayahnya masih belum memutuskan untuk memanggil Wrahasta atau Gupita, atau kedua-duanya, maka sekali lagi ia mendesaknya,
“Ayah, berbuatlah sesuatu. Jangan Ayah membiarkan keduanya dibakar oleh perasaan mereka. Gupita tidak hanya seorang diri di tlatah Menoreh ini. Ayah jangan membiarkan timbul persoalan-persoalan baru, yang dengan demikian akan mengurungkan maksud baik orang-orang bercambuk itu. Obat itu Ayah, obat itu harus di selamatkan.”
Ki Gede Menoreh mengerutkan keningnya. Sebuah pertanyaan menjadi semakin tajam tergores di dinding hatinya,
“Apakah yang telah terjadi sebenarnya?”
Kegelisahan Pandan Wangi itu telah menggelisahkan hati Ki Argapati pula. Namun ia masih juga mempertimbangkan perasaan para pemimpin pasukannya dalam keadaan serupa ini.
“Ayah, hentikan semuanya itu, Ayah.”
“Pandan Wangi,” berkata ayahnya,
“Aku masih belum dapat meninggalkan pembaringan ini.”
“Aku akan pergi atas nama Ayah.”
Argapati tidak segera menyahut.
“Kalau Ayah mencemaskan Wrahasta, bahwa ia akan tersinggung karenanya, maka sebaiknya Ayah memanggil keduanya. Wrahasta dan Gupita bersama Paman Kerti dan Paman Samekta.”
Argapati masih dicengkam oleh keragu-raguan. Tetapi ia tidak dapat membiarkan keadaan menjadi semakin tegang karena kegelisahan Pandan Wangi yang memuncak. Karena itu, maka perlahan-lahan ia menganggukkan kepalanya. Katanya,
“Tetapi hati-hatilah. Jangan menyakitkan hati orang lain.”
“Terima kasih, Ayah,” Pandan Wangi terlonjak. Kemudian diraihnya tombak pendek ayahnya sambil berkata,
“Atas nama Ki Gede Menoreh.”
Tanpa menunggu jawaban apa pun Pandan Wangi berlari ke luar dari bilik ayahnya dan menghambur ke halaman sambil menjinjing tombak pendek ayahnya, sebagai pertanda bahwa ia berbuat atas nama Ki Argapati sendiri.
Tanpa menghiraukan para penjaga dan orang-orang yang memandanginya di sepanjang jalan, Pandan Wangi berlari-lari ke pusat pimpinan para pengawal. Kali ini tidak saja dengan sepasang pedang di lambungnya tetapi juga sebatang tombak pendek, meskipun masih di dalam selongsongnya.

Sementara itu, perkelahian antara Wrahasta dan Gupita menjadi semakin sengit. Gupita semakin lama semakin banyak melakukan serangan-serangan yang membuat Wrahasta harus bekerja lebih keras. Meskipun demikian serangan-serangan Gupita nampaknya tidak terlampau berbahaya, dan selalu dapat dielakkan oleh Wrahasta. Namun dengan demikian Wrahasta harus memeras tenaganya untuk selalu menghindari ujung cambuk Gupita yang seolah-olah mempunyai mata melampaui ketajaman matanya. Sehingga karena itu, maka Wrahasta harus memeras segenap tenaga dan kemampuannya, agar ujung cambuk Gupita tidak terlampau sering menyentuhnya. Meskipun demikian Gupita tidak mendesaknya terus. Sekali-sekali diberinya kesempatan Wrahasta menyerangnya, bahkan menyentuh kulitnya, namun sejenak kemudian keadaan berganti pula. Dalam perkelahian yang demikian, maka anak muda yang bertubuh raksasa itu benar-benar telah memeras segenap kemampuan dan tenaganya. Nafasnya pun semakin lama menjadi semakin deras mengalir seperti keringatnya yang semakin terperas membasahi pakaiannya. Tenaganya  pun menjadi semakin kendor, sehingga senjatanya tidak lagi terlampau sering meledak-ledak. Wrahasta adalah seorang yang memiliki kekuatan dan ketahanan tubuh yang luar biasa. Namun agaknya Gupita telah berhasil memancingnya untuk mencurahkan segenap kamampuannya sehingga tenaganya  pun segera menjadi susut. Anak muda yang bertubuh raksasa, yang terlibat langsung dalam perkelahian itu sendiri tidak begitu menyadari keadaannya. Tetapi orang-orang tua yang mempunyai pandangan yang agak baik atas perkelahian itu, misalnya Kerti dan Samekta, dapat melihat, bahwa sebenarnya Wrahasta telah mencoba berkelahi di luar kemampuannya.
“Aku percaya kepada keterangan Pandan Wangi,” desis Kerti tiba-tiba.
“Tentang siapa?” bertanya Samekta.
“Bahwa anak itu benar-benar mampu bertahan bersama-sama dengan Angger Pandan Wangi sendiri terhadap Ki Peda Sura.”
Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Ya, aku pun percaya.”
Kerti mengangguk-angguk pula. Lalu katanya,
“Kalau begitu dalih Wrahasta bahwa ia telah bersekutu dengan Ki Peda Sura itu sama sekali tidak dapat dipertahankan.”
“Ya. Memang tidak. Sejak semula aku sudah meragukan dalih itu. Dan kita sudah mengetahui dalih yang sebenarnya, yang telah membuat Wrahasta menjadi mata gelap.”
“Dan kau pemimpin tertinggi di sini, tidak berbuat apa-apa. Biar pun kau sudah mengetahuinya.”
Samekta mengerutkan alisnya. Jawabnya,
“Kau tidak membantu kesulitan perasaanku. Kau justru membuat aku menjadi semakin bingung.”
“Berbuatlah tegas. Tegas sebagai seorang pemimpin tertinggi.”
“Tetapi itu tidak berarti bahwa kita boleh melepaskan kebijaksanaan. Coba katakan, apa yang harus aku lakukan kalau Wrahasta menolak perintahku? Apakah aku harus memaksanya di hadapan para pengawal, sementara Sidanti siap menerkam kita di luar pagar pring ori ini.”
Kerti menarik nafas dalam-dalam.
“Maaf,” katanya, lalu, “tetapi lihatlah.”

Samekta memandang perkelahian di tengah-tengah arena dengan wajah yang tegang. Dilihatnya keduanya menjadi semakin lemah. Bahkan sekali-sekali Wrahasta menjadi terhuyung-huyung karena dorongan kekuatannya sendiri. Setiap ia melecutkan cambuknya, maka hampir-hampir ia pun ikut terjerembab. Sedangkan cambuk itu sudah hampir tidak berbunyi sama sekali. Di pihak lain, Gupita  pun telah menjadi terlampau letih. Samekta dan Kerti melihat gembala itu tertatih-tatih mempertahankan keseimbangannya. Namun mata kedua orang tua-tua itu cukup tajam. Mereka melihat bahwa keadaan Gupita sebenarnya tidak separah itu.
“Anak itu ternyata cukup bijaksana,” desis Samekta tiba-tiba. Wajahnya yang tegang menjadi agak mengendor. Dari sorot matanya tampaklah, bahwa tekanan perasaanya telah berkurang.
“Mudah-mudahan perkelahian itu akan selesai dengan baik.”
Kerti  pun tiba-tiba tersenyum,
“Anak muda yang dewasa menghadapi persoalannya. Pantaslah bahwa ia mampu menyelamatkan Pandan Wangi dari tangan Ki Peda Sura.”
Namun tiba-tiba kedua orang tua itu dikejutkan oleh suara Wrahasta yang gemetar dan terputus-putus karena nafasnya yang memburu,
”He, ternyata dugaanku benar.” Ia berhenti sejenak, lalu,
“orang semacam kau mustahil dapat melepaskan Pandan Wangi dari tangan Ki Peda Sura. Kalau kau tidak bersekutu dengan orang itu, maka kau pasti sudah terbunuh olehnya. Kau sama sekali tidak mampu mengalahkan aku, apalagi Ki Peda Sura.”
Dada Gupita berdesir mendengar tuduhan itu. Agaknya Wrahasta mencari arti yang lain dari perkelahian yang diharapkannya dapat selesai tanpa menyakitkan hatinya. Karena itu, maka sejenak ia berdiri mematung. Dalam kebingungan itu ia mendengar Wrahasta berkata terus sambil terengah-engah,
“Karena itu, meskipun aku tidak juga dapat mengalahkan kau, namun aku sudah menemukan bukti bahwa kau adalah termasuk orang-orang yang tidak dikenal di Tanah ini. Yang bekerja bersama Ki Peda Sura dan Ki Tambak Wedi untuk melihat keadaan dan rahasia kami setelah kau berhasil mempengaruhi perasaan Pandan Wangi, seorang gadis yang masih terlampau hijau dan jujur menghadapi dunia yang penuh dengan noda-noda hitam. Nah, sekarang kau tidak akan dapat ingkar lagi. Kau harus mempertanggungjawabkannya sebagai seorang laki-laki.”
Gupita masih terpaku di tempatnya. Sedang Kerti dan Samekta sejenak saling memandang. Ternyata harapan mereka, bahwa perkelahian itu akan berakhir tanpa membuat Wrahasta menjadi sakit hati, agaknya tidak terpenuhi. Wrahasta benar-benar telah kehilangan keseimbangan berpikir sehingga sikapnya menjadi kasar dan berbahaya.
“Kau tidak dapat tinggal diam,” desis Kerti kepada Samekta.
“Meskipun kau harus bijaksana, tetapi kau harus mencegah hal-hal yang dapat membahayakan anak muda yang membawa obat untuk Ki Argapati itu.”
Samekta menjadi tegang sesaat. Dan sebelum ia berbuat sesuatu maka Wrahasta telah berteriak kepada para pengawal,
“Nah, kalian telah menyaksikan sendiri. Sekarang, kepunglah anak gila ini. Jangan sampai ia melepaskan dirinya.”

Para pengawal Tanah Perdikan Menoreh adalah orang-orang yang cukup terlatih, sehingga tiba-tiba mereka pun bergerak dalam suatu lingkaran yang menjadi rapat. Dalam sekejap maka di tangan mereka telah tergenggam senjata masing-masing.
“Nah, kau akan lari ke mana lagi gembala yang licik?” desis Wrahasta.
Dada Gupita menjadi semakin berdebar-debar. Keadaan berkembang semakin memburuk. Tanpa sesadarnya, ia menggenggam cambuknya erat-erat.
“Aku tidak mau mati seperti kerbau dibantai di pembantaian,” katanya di dalam hati. Meskipun segala macam pertimbangan dan keragu-raguan menjalari kepalanya, namun yang pertama-tama harus dikerjakan adalah mempertahankan diri. Tetapi sebelum para pengawal berbuat sesuatu, maka Samekta telah berada di tengah-tengah arena. Dipandangnya Gupita sesaat, kemudian diedarkannya pandangan matanya ke setiap wajah di sekelilingnya.
“Terima kasih,” desisnya,
“kalian telah berbuat sebaik-baiknya untuk tanah ini. Anak muda ini memang tidak boleh lari dengan membawa berita apa pun dari lingkungan kita. Karena itu, maka aku sendiri akan menangkapnya. Kalau ia berusaha melawan, aku akan menyelesaikannya. Aku harus membawanya menghadap Ki Argapati.”
Sejenak arena itu menjadi sepi. Kata-kata Samekta telah menghunjam ke dalam setiap hati. Dan mereka sama sekali tidak melihat keberatan apa pun. Ki Samekta sendiri akan menangkapnya. Menyerah atau melawan, sehingga mereka tidak perlu bertindak beramai-ramai. Sedang Gupita sendiri agaknya dapat menangkap maksud yang tersirat di dalam sikap Samekta itu, sehingga ia sama sekali tidak bersikap untuk melawan.
“Nah,” berkata Samekta,
“apakah kau akan melawan atau lebih baik menyerah dan menghadap Ki Argapati?”
Gupita menundukkan kepalanya dalam-dalam. Katanya,
“Aku menyerah, Kiai. Aku tidak ingin melakukan perlawanan apa pun sebenarnya.”
Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun sekali lagi ia terkejut oleh suara Wrahasta,
“Buat apa ia dibawa menghadap Ki Argapati? Kalau sudah jelas, siapakah orang ini, maka kita dapat memutuskan sendiri, apa yang sebaiknya kita lakukan. Ki Argapati sedang terluka parah. Ia harus beristirahat. Kita tidak dapat mengganggunya dengan persoalan-persoalan yang sama sekali tidak berarti. Karena itu, serahkan saja anak ini kepada para pengawal. Kepadaku dan kepada para pemimpin pengawal yang lain.”

Samekta mengerutkan keningnya. Ia memang sudah menduga bahwa Wrahasta akan mencegahnya membawa Gupita menghadap Ki Argapati. Tetapi sudah tentu ia tidak dapat menyerahkannya kepada Wrahasta dan para pemimpin pengawal yang lain, yang tidak mengerti masalah yang sebenarnya.
Karena itu maka katanya,
“Kita tidak akan dapat bertindak sendiri. Persoalan ini bukan sekedar persoalan kecil. Masalah anak muda ini menyangkut berbagai macam soal. Obat itu, hubungannya dengan anak muda yang gemuk yang memberikan obat kepada Ki Argapati di Pucang Kembar, hubungannya dengan Ki Peda Sura, dengan Sidanti dan Ki Tambak Wedi. Orang ini memang kita perlukan. Justru karena itu maka kita harus membawanya langsung kepada Ki Argapati.”
“Tidak!” potong Wrahasta dengan wajah yang merah. Sikap itu tidak pernah dilakukan sebelumnya. Ia selalu menghormati orang-orang tua yang mempunyai kedudukan lebih tinggi daripadanya. Tetapi kali ini ia bersikap lain. Dan sikap ini memang sudah diperhitungkan oleh Samekta. Karena itu maka Samekta  pun berkata pula,
“Kita tidak boleh mendahului keputusan Ki Argapati, Wrahasta. Ki Argapati telah berpesan, bahwa setiap persoalan harus dibicarakan lebih dahulu. Aku kira, termasuk persoalan anak muda ini.”
“Tidak! Tidak! Aku akan memaksanya berbicara lebih dahulu. Ia belum mengucapkan pengakuan apa pun meskipun aku telah menemukan bukti yang tidak akan dapat dipungkiri. Karena itu, aku akan memaksanya berbicara.” Kemudian kepada para pengawal ia berteriak,
“Ayo, ikat orang ini!”
Tetapi para pengawal menjadi bingung. Tatapan mata Samekta terlampau tajam beredar ke setiap wajah, sehingga para pengawal itu  pun justru menundukkan kepala mereka.
“Ayo cepat!” teriak Wrahasta seperti orang gila.
“Kenapa kalian diam saja, he?”
“Jangan tergesa-gesa,” potong Samekta. Kata-katanya tidak dilontarkan terlampau keras, tetapi pengaruhnya telah menahan semua pengawal untuk berbuat sesuatu.
Wrahasta yang marah menjadi semakin marah. Ia benar-benar telah lupa akan kedudukannya. Tiba-tiba cambuk di tangannya dilemparkannya dan dalam sekejap ia telah menggenggam pedang di tangannya. Dengan garangnya ia menggeram,
“Aku tidak biasa mempergunakan senjata macam itu. Aku akan mempergunakan pedangku. Dada anak itu akan aku sobek silang empat kalau ia tidak mau berbicara.”

Bagaimana  pun juga Samekta masih menjadi bingung. Dipandanginya wajah Kerti untuk mendapat pertimbangan. Adalah tidak pada tempatnya apabila ia harus bertindak dengan kekerasan pula. Tetapi wajah Kerti yang tegang itu pun tidak memberinya petunjuk apa pun juga. Sementara itu Pandan Wangi masih berlari sekencang-kencangnya sambil menjinjing tombak ayahnya. Ia tidak mau terlambat dan tinggal melihat bekas-bekasnya saja yang akan dapat merontokkan jantungnya. Puteri Kepala Tanah Perdikan Menoreh itu sama sekali tidak mempedulikan lagi, bahwa beberapa orang peronda di gardu-gardu memperhatikannya dengan heran. Bahkan satu dua orang berusaha untuk mengikutinya sambil bergumam di antara mereka.
“Apakah yang telah terjadi dengan Pandan Wangi.”
“Mungkin ia akan melihat tawanan itu pula,” jawab yang lain.
“Tetapi tombak itu?”
Yang lain menggelengkan kepalanya. “Entahlah.”
Di arena keadaan menjadi semakin tegang, Wrahasta telah benar-benar kehilangan segala pertimbangan. Ia sama sekali tidak mempedulikan lagi Samekta dan kemudian Kerti yang masuk ke dalam arena pula.
“Minggir kalian!” tiba-tiba Wrahasta membentak orang-orang tua itu.
“Aku akan mengurus persoalan ini sampai selesai.”
“Wrahasta, sadarlah keadaanmu,” desis Kerti perlahan-lahan.
“Kau telah melanggar keharusan seorang pengawal. Samekta adalah pemimpin tertinggi di daerah ini sekarang, sebagaimana ditunjuk oleh Ki Argapati.”
Sejenak Wrahasta tertegun. Namun ketika dilihatnya wajah gembala yang ragu-ragu itu, maka tiba-tiba ia berteriak,
“Aku menangkapnya pada saat ia melakukan pengkhianatan atas Tanah ini. Sebelum ia berbicara tentang dirinya sebenar-benarnya, aku tidak akan melepaskannya dan menyerahkannya kepada atasanku. Sekarang, minggirlah. Aku akan memaksanya berbicara, dan kemudian terserah kepada kalian. Itu adalah hakku.” Lalu kepada para pengawal ia berteriak, “Cepat, ikat anak ini pada batang sawo itu. Ia harus berbicara tentang dirinya.”
“Wrahasta,” berkata Samekta,
“jangan kau paksa anak ini mengaku akan sesuatu yang tidak pernah dilakukannya. Apalagi apabila dengan dasar pengakuan yang kau paksakan itu, kemudian kau menjatuhkan hukuman atasnya. Itu bukan sifat seorang yang berpijak pada kebenaran.”
Wajah Wrahasta menjadi semakin tegang. Sekali lagi ia berteriak,
“Aku mempunyai bukti. Aku mempunyai bukti yang cukup.” Dan sekali lagi ia berkata kepada para pengawal itu pula, “Ayo cepat, kenapa kalian seperti orang mimpi?”

Samekta menjadi semakin bingung. Sedang Kerti berusaha menahan dirinya supaya ia pun tidak kehilangan keseimbangan melihat tingkah laku Wrahasta yang benar-benar seperti orang gila itu. Karena Samekta dan Kerti kemudian tidak berbuat apa  pun lagi oleh kebimbangan dan kebingungan, maka para pengawal kini memusatkan perhatiannya kepada Wrahasta. Meskipun mereka masih diliputi oleh keragu-raguaan pula, namun tanpa sesadar mereka, para pengawal itu telah bergerak maju.
“Cepat!” teriak Wrahasta. Kepada Gupita ia berkata,
“Jangan mencoba melawan. Kalau kau berbuat gila, maka kau akan dicincang sewalang-walang.”
Ancaman itu membuat Samekta dan Kerti menjadi semakin bimbang. Sehingga Samekta terpaksa berkata di dalam hatinya,
“Apa boleh buat. Aku harus menjatuhkan perintah atas dasar keyakinanku bahwa anak muda itu tidak bersalah. Entahlah, apa yang akan terjadi serta segala akibatnya. Tetapi obat itu sangat diperlukan oleh Ki Argapati.”
Dalam ketegangan yang semakin memuncak itu, para pengawal mulai melangkah maju, mempersempit kepungan mereka dengan senjata di tangan masing-masing. Samekta tidak dapat menunggu lebih lama lagi. Tiba-tiba ia meugangkat kepalanya, memandang para pengawal yang telah mulai bergerak. Tetapi sebelum ia mengucapkan sepatah kata pun, tiba-tiba terdengar suara melengking dalam nada yang tinggi,
“Tunggu, tunggu.”
Semua orang berpaling ke arah suara itu. Dada mereka menjadi berdebar-debar ketika mereka melihat seorang gadis dengan sepasang pedang di lambung, berjalan tergesa-gesa ke arah arena yang sedang ber-gerak-gerak. Semua orang kemudian terpaku di tempatnya. Langkah Pandan Wangi menjadi semakin cepat. Beberapa orang segera menyibak untuk memberinya jalan, masuk ke dalam lingkaran arena. Samekta, Kerti, dan Wrahasta berdiri dengan tegangnya. Mata mereka tertarik kepada tombak pendek yang masih berada di dalam selongsong itu.
Sejenak kemudian terdengar suara Wrahasta berat,
“Apakah maksudmu datang kemari, Pandan Wangi?”
“Aku berbuat atas nama Kepala Tanah Perdikan Menoreh,” jawab gadis itu sambil mengangkat tombak yang masih berada di dalam selongsongnya.
“Aku harus memanggil Paman Samekta untuk menghadap.”
Samekta mengerutkan keningnya. Perlahan-lahan ia bertanya,
“Aku?”
“Ya. Paman Samekta dan paman Kerti beserta Kakang Wrahasta, dengan membawa tawanan kalian itu.”
Hampir bersamaan Samekta dan Kerti menarik nafas dalam-dalam. Tetapi tiba-tiba wajah Wrahasta yang tegang menjadi semakin tegang, seolah-olah hendak meledak. Katanya,
“Tidak. Itu tidak perlu. Aku akan menyelesaikannya lebih dahulu. Ia harus berbicara tentang dirinya. Baru kemudian ia dihadapkan kepada Ki Argapati. Sebelum ia mengaku, adalah hakku untuk memeriksanya.”
Pandan Wangi menggelengkan kepalanya,
“Aku tidak tahu, Kakang Wrahasta. Aku hanya melakukannya. Supaya tidak timbul persoalan, maka Ayah memerintahkan kepadaku untuk membawa tombak ini, pertanda bahwa apa yang aku lakukan adalah atas nama pimpinan tertinggi Tanah Perdikan Menoreh. Kalau tindakan ini kau anggap kurang bijaksana, bertanyalah nanti kepada ayah. Aku hanya sekedar melakukan perintahnya.”
“Aku tidak akan memberikan,” teriak Wrahasta.
Pandan Wangi terdiam sejenak. Tanpa sesadarnya diedarkannya pandangan matanya berkeliling. Dilihatnya wajah-wajah yang ragu-ragu, bimbang dan bahkan kebingungan.
Tetapi agaknya Pandan Wangi cukup kuat mempertahankan sikapnya. Perlahan-lahan ia berkata,
“Perintah Kepala Tanah Perdikan Mlenoreh, Paman Samekta, Paman Kerti, dan kakang Wrahasta harus segera membawa gembala itu menghadap ayah.”
“Tidak mungkin,” potong Wrahasta.
“Atas nama Kepala Tanah Perdikan ini, kalian harus berangkat sekarang. Sekarang.”

Wrahasta berdiri dengan kaki gemetar memandangi wajah Pandan Wangi. Tetapi wajah gadis itu di dalam tangkapan matanya kini, seolah-olah bukan wajah Pandan Wangi yang biasa dilihatnya sehari-hari. Bukan wajah lembut yang ramah, bukan pula wajah seorang gadis yang sayu dan murung. Tetapi wajah itu seolah-olah wajah seorang senapati perang yang berada di medan, dalam sikap dan ucapan. Sejenak arena itu menjadi sepi. Semua mata memandang wajah Pandan Wangi yang berdiri tegak dengan tombak pendek di tangannya. Sejenak kemudian kesepian itu dipecahkan oleh suara Wrahasta,
“Baiklah, Pandan Wangi. Aku akan tunduk kepada setiap perintah Ki Gede Menoreh atau atas namanya.”
Dada Pandan Wangi berdesir mendengar kata-kata Wrahasta itu. Justru dengan demikian sejenak ia terbungkam. Namun sekilas dipandanginya Kerti dan Samekta yang sedang saling berpandangan.
Gupita  pun menarik nafas dalam-dalam. Terasa ia terlepas dari suatu ikatan yang membelitnya. Bukan karena ia merasa terlepas dari bahaya yang mungkin dapat mengancam jiwanya, tetapi ia merasa terlepas dari suatu keadaan yang membuatnya cemas dan ragu-ragu.
Yang kemudian terdengar adalah suara Samekta,
“Kami akan segera menghadap, Pandan Wangi.”
“Baiklah, Paman. Kita akan pergi bersama-sama.”
Samekta menganggukkan kepalanya Kemudian ia berkata kepada Gupita,
“Simpanlah senjatamu dan pakailah bajumu.”
“Baik, Kiai,” jawab Gupita sambil membungkukkan kepalanya. Kemudian diambilnya bajunya, dan dikenakannya. Ketika teraba olehnya bungkusan obat di kantong bajunya, terasa hatinya menjadi dingin. Obat itu baginya adalah barang yang terpenting yang harus disampaikan kepada alamat yang ditunjuk oleh gurunya. Sejenak kemudian, maka Pandan Wangi, Samekta, Kerti, dan Wrahasta segera membawa Gupita menghadap Ki Argapati.

Sementara itu Ki Argapati berbaring dengan gelisah menunggu kedatangan puterinya. Ia kadang-kadang menjadi cemas kalau Wrahasta menjadi salah paham. Bagaimanakah kira-kira sikap Pandan Wangi apabila Wrahasta tidak mau mematuhi perintah itu. Ia bangkit ketika terdengar langkah memasuki ruangan dalam mendekati biliknya. Sejenak kemudian dari balik pintu muncullah Pandan Wangi dengan tombak pendek di tangannya.
“Bagaimana, Wangi?” bertanya ayahnya.
“Mereka telah datang, Ayah.”
“Di mana mereka sekarang?”
“Di luar bilik ini, Ayah.”
Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian,
“Bawa mereka masuk. Tetapi letakkan dulu tombak itu.”
Pandan Wangi mengangguk. Diletakkannya tombak pendek ayahnya di samping pembaringan, dan kemudian ia pun melangkah. Sejenak kemudian maka Pandan Wangi bersama para pemimpin pengawal itu  pun masuk ke dalam bilik Argapati sambil membawa Gupita bersama mereka. Dengan kepala tunduk mereka berdiri berjajar di muka pintu. Di paling ujung adalah Gupita yang berdiri di samping Samekta.
Ki Argapati memandangi mereka satu demi satu. Dilihatnya keringat yang membasahi wajah dan pakaian Wrahasta. Agaknya ia telah berbuat sesuatu dengan mengerahkan tenaganya. Perlahan-lahan Ki Argapati berkata,
“Anak muda inikah yang bernama Gupita?”
Gupita mengangkat wajahnya. Perlahan-lahan pula ia menjawab sambil mengangguk dalam-dalam,
“Ya, Ki Gede. Aku bernama Gupita, seorang gembala.”
Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Sebagai seorang yang memiliki pengetahuan yang hampir mumpuni, segera ia melihat, bahwa apa yang dikatakan Pandan Wangi tentang anak muda yang telah membantu meloloskan diri dari tangan Ki Peda Sura itu, sama sekali tidak berlebih-lebihan.
“Aku telah mendengar tentang kau,” berkata Ki Argapati kemudian.
“Tetapi aku ingin mendengar dari kau sendiri, siapakah sebenarnya kau, dan apakah maksudmu datang kemari.”
Gupita menarik nafas dalam-dalam. Tanpa sesadarnya dipandanginya orang-orang yang berada di dalam bilik itu satu demi satu. Namun tidak segera berkata apa pun.
Yang bertanya kemudian adalah Ki Argapati kembali, tetapi kepada Samekta,
“Apakah kau sudah bertanya sesuatu kepadanya?”
Samekta ragu-ragu sejenak, kemudian jawabnya,
“Belum, Ki Gede.”

Ki Gede mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini ia memandangi Wrahasta yang masih tunduk. Kepada anak muda yang bertubuh raksasa ini pun Ki Gede bertanya,
“Apakah kau juga belum bertanya kepadanya?”
Wrahasta mengangguk, jawabnya,
“Aku sedang berusaha bertanya kepadanya, Ki Gede. Tetapi agaknya Gupita tidak ingin menjawab.”
Ki Argapati masih mengangguk-anggukkan kepalanya. Dipandanginya kemudian Kerti dan Samekta berganti-ganti. Tetapi keduanya  pun masih menundukkan kepala mereka. Agaknya tidak seorang  pun dari keduanya yang ingin memberi penjelasan. Gupita sendiri memang tidak ingin membuat persoalan. Karena itu maka ia pun tidak berbicara sama sekali tentang apa yang telah terjadi. Ketika Ki Gede kemudian bertanya lagi kepadanya tentang dirinya, maka anak muda itu menjawab,
“Ki Gede, yang terpenting kedatanganku adalah untuk menyerahkan obat kepada Ki Gede. Menurut perhitungan ayah, obat yang dahulu diberikannya lewat adikku pasti sudah tidak mempunyai daya penyembuh lagi. Itulah sebabnya maka aku harus menghadap Ki Gede untuk menyampaikan obat itu sekarang.”
“Ya, aku sudah mendengar pula,” Ki Gede diam sejenak, lalu,
“Apakah ada salah paham di antara para pengawal terhadapmu?”
Gupita ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia menjawab,
“Tidak, Ki Gede. Tidak ada salah paham yang berarti. Semuanya adalah terbatas pada tindakan pengamanan sebagaimana seharusnya dilakukan oleh para petugas dan para pengawal.”
Yang mendengar jawaban itu mengerutkan kening mereka. Jawaban itu sama sekali bukan jawaban seorang gembala kambing. Tetapi yang paling memperhatikan sikap itu adalah Ki Gede sendiri. Kini ia menjadi semakin yakin, bahwa ia telah berhubungan dengan seseorang yang memang pernah dikenalnya, meskipun sejak itu sudah diselimuti oleh rahasia yang tidak mudah ditebak. Namun orang yang berada di belakang anak-anak muda ini, pasti orang bercambuk yang aneh itu.
Tetapi tiba-tiba Ki Argapati mengerutkan keningnya. Dan tanpa sesadarnya ia bertanya,
“Jadi ayahmu menyuruhmu memberikan obat lagi kepadaku?”
Pertanyaan itu telah mengejutkan Gupita, sehingga tergagap ia menjawab,
“Ya, Ki Gede. Ayah menyuruhku memberikan obat ini, karena obat yang diberikannya lewat adikku sudah terlampau lama.”
“Gupita,” desis Ki Gede seolah-olah ia sedang mengingat sesuatu,
“Berapa umur ayahmu?”
Kini Gupita menjadi bingung. Pertanyaan itu pun. sama sekali tidak disangka-sangkanya. Namun ia meajawab,
“Umur ayah sudah lewat setengah abad, Ki Gede?”
“Ya, maksudku apakah ia sudah terlampau tua atau masih seumurku ini?”
“Ya, umur ayah kira-kira seumur dengan Ki Gede.”
Tampak sesuatu melintas di wajah Ki Gede yang tenang. Namun tidak seorang  pun yang dapat menangkap, bahwa sesuatu sudah bergetar di dadamya. Orang tua itu berkata di hatinya,
“Orang bercambuk itu sudah melampaui setengah abad sejak aku melihatnya beberapa puluh tahun yang lampau, ketika aku masih terlalu muda. Apakah umurnya tidak bertambah-tambah juga?” Namun ketegangan merayapi hatinya ketika teringat olehnya seseorang yang mirip dengan anak muda yang berdiri di depannya,
“Aku seolah-olah melihat anak muda itu kembali. Anak muda yang cakap dan sopan seperti anak muda ini. Tetapi saat itu umurku  pun masih terlampau muda.” Kata-kata itu melingkar-lingkar di dalam dada Ki Argapati. Tetapi ia tidak segera dapat meagambil kesimpulan apa pun.
Baru sejenak kemudian ia berkata,
“Manakah obat itu? Dan apakah ada pesan khusus dari ayahmu?”

Gupita mengambil sebungkus obat dari kantong bajunya. Per1ahan-lahan ia melangkah maju. Kemudian diserahkannya sebungkus obat itu kepada Ki Gede yang menerimanya dengan tangan gemetar. Agaknya tubuhnya telah dijalari oleh rasa sakit yang bersumber pada lukanya. Ki Gede itu tampak agak menggigil, meskipun tubuhnya menjadi panas.
“Apakah obat ini harus ditaburkan di atas lukaku?” bertanya Ki Gede.
Gupita mengangguk,
“Ya Ki Gede. Obat itu sebagian harus ditaburkan di atas luka. Tetapi tidak sekaligus. Ki Gede dapat mempergunakannya untuk tiga empat kali. Sedang bungkusan kecil yang ada di dalam bungkusan itu juga, hendaknya dicairkan dengan air secukupnya. Obat itu harus diminum Ki Gede.”
Ki Gede mengangguk-anggukkan kepalanya. Tanpa sesadarnya dipandanginya wajah-wajah para pemimpin pengawal yang berdiri tegang di hadapannya. Ki Gede melihat keragu-raguan yang membayang di wajah-wajah itu, bahkan di wajah Pandan Wangi.
Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Disadarinya bahwa orang-orang itu meragukan obat yang diberikan oleh Gupita dan sekaligus mencemaskan nasibnya. Karena itu maka katanya,
“Gupita, apakah ayahmu yakin bahwa obat ini akan dapat menyembuhkan luka-lukaku?”

Gupita menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dengan hati-hati ia menjawab,
“Ki Gede, ayah tidak pernah merasa dirinya sendiri mampu berbuat demikian, apalagi meyakini. Sebaiknya kita berusaha bersama-sama. Sambil memohon kepada Yang Maha Murah, tetapi ayah yakin bahwa sebenarnya Tuhan Maha Murah. Karena itu ayah tidak pernah berputus asa untuk berusaha dalam ilmu pengobatan ini.”
Sekali lagi, orang-orang yang mendengar jawaban itu mengerutkan keningnya. Jawaban itu  pun sama sekali bukan sekedar jawaban seorang gembala. Ki Argapati sendiri mengangguk-anggukkan kepalanya. Bahkan ia tersenyum sambil berkata,
“Baiklah. Marilah kita berusaha. Tetapi sebelum itu aku ingin mengetahui tentang kau lebih banyak lagi, apalagi tentang ayahmu. Apakah kau tidak berkeberatan? Kau belum menjawab pertanyaanku, apakah ada pesan khusus dari ayahmu?”
Dengan ragu-ragu Gupita menganggukkan kepalanya. Tetapi tatapan matanya beredar ke seluruh ruangan. Disambarnya wajah-wajah yang kaku tegang dari para pengawal yang berada di dalam bilik itu juga. Agaknya Ki Gede mengerti maksud anak muda itu. Ia ingin berbicara tanpa ada orang lain yang mendengarnya. Karena itu, maka setelah dipertimbangkannya sejenak ia berkata kepada para pengawalnya,
“Maaf Samekta, aku akan berbicara dengan anak ini tanpa didengar oleh orang lain. Aku persilahkan kalian keluar sebentar. Nanti kalian akan mengerti, apa yang sebaiknya kita lakukan.”
Samekta menarik nafas dalam-dalam. Sejenak ia menjadi ragu-ragu. Tetapi yang pertama-tama berkata di antara mereka adalah Wrahasta,
“Apakah Ki Gede mempercayainya bahwa ia tidak akan berbuat sesuatu di dalam bilik ini, pada saat Ki Gede sedang sakit?”
Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Terima kasih atas peringatanmu Wrahasta. Aku tahu, bahwa kau dan para pengawal yang lain merasa bertanggung jawab atas keselamatanku. Aku hargai sikap kalian. Tetapi kali ini aku minta kalian mempercayainya. Aku akan berbuat sebaik-baiknya.”
Sejenak para pengawal itu saling berpandangan. Tetapi mereka tidak dapat berbuat apa  pun ketika sekali lagi Ki Gede berkata,
“Biarlah anak ini mendapat kesempatan. Keluarlah kalian sebentar bersama Pandan Wangi.”
Ternyata Pandan Wangi  pun menjadi ragu-ragu. Namun ketika akan membuka mulutnya, ayahnya mendahuluinya,
“Keluarlah sebentar, Pandan Wangi. Aku perlu berbicara dengan Gupita sejenak. Semuanya semata-mata untuk kepentingan Tanah ini, tentu saja untuk kepentinganku pula. Kalau aku segera sembuh, maka aku akan segera dapat berbuat sejauh-jauh mungkin dapat aku lakukan bagi Tanah ini. Apakah kalian mengerti?”

Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Sejenak dipandanginya Kerti, dan sejenak kemudian ayahnya. Namun ketika ia memandang wajah Gupita, dan anak muda itu sedang memandanginya pula, maka sepercik warna merah membayang di pipinya. Sambil menundukkan kepalanya ia menjawab,
“Baik, Ayah. Aku akan keluar bersama para pemimpin pengawal.”
“Terima kasih. Aku mengharap kalian dapat mengerti.”
Maka Pandan Wangi  pun segera melangkah keluar. Meskipun tampak keragu-raguan membayang di matanya, tetapi ia mematuhi perintah ayahnya. Demikian pula para pemimrpin pengawal. Mereka mencoba untuk menyerahkan semua tanggung jawab kepada Ki Argapati sendiri. Dan mereka mencoba untuk percaya, bahwa pandangan Ki Argapati pasti jauh lebih tajam dari mereka. Tetapi Wrahasta mempunyai persoalan yang lain. Ia tidak sekedar dirisaukan oleh kecurigaannya apakah anak muda itu tidak akan berkhianat. Meskipun Pandan Wangi ikut meninggalkan bilik itu bersamanya dan kedua pemimpin pengawal yang lain, namun perasaan cemburu yang tergores di dadanya tidak juga menjadi susut. Apalagi sampai saat itu Pandan Wangi belum pernah menjawab pertanyaannya dengan memuaskan. Itulah sebabnya, maka persoalannya dengan anak muda yang bernama Gupita itu jauh lebih banyak dari orang-orang lain. Bahkan Wrahasta menjadi cemas, apabila benar-benar anak muda itu berhasil menolong Ki Argapati, dan karena itu, ia akan dapat menarik perhatiannya, apalagi Pandan Wangi sendiri telah terjerat pula olehnya, maka semua mimpinya akan pecah bertebaran. Namun untuk sementara ia tidak akan dapat berbuat sesuatu, ia harus tunduk kepada perintah Ki Argapati. Sementara itu, Gupita masih berdiri di depan pintu. Ki Gede yang mencoba duduk di tepi pembaringannya tampak gemetar karena lukanya yang terasa menjadi pedih dan tubuhnya menjadi panas.
“Silahkan berbaring, Ki Gede,” berkata Gupita. Ki Gede mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Maaf anak muda, aku memang harus berbaring.”
“Ya, Ki Gede masih belum boleh terlampau banyak bergerak. Silahkan membuka baju Ki Gede, aku akan membantu menaburkan obat itu.”
Ki Gede tidak segera menyahut. Bagaimanapun juga, anak muda yang belum pernah dikenalnya ini kadang-kadang memang menumbuhkan kebimbangan di hatinya. Tetapi Ki Gede tidak segera menyahut. Dengan tangan yang bergetar dibukanya bungkusan obat yang diterimanya dari anak muda itu.
Ki Gede mengangguk-anggukkan kepalanya. Obat ini memang mirip sekali dengan obat yang pernah diterimanya dahulu. Tetapi ia tidak dapat menyebutnya dengan jelas, apakah warnanya juga serupa, karena saat anak muda yang gemuk itu memberikan obat kepadanya, ia tidak dapat melihat dengan jelas, apalagi di dalam keremangan malam di bawah Pucang Kembar.

Gupita yang melihat keragu-raguan membayang di wajah Ki Gede berkata,
“Obatnya memang agak berbeda dengan yang pernah Ki Gede pergunakan dahulu. Obat yang dahulu adalah obat untuk luka baru. Tetapi obat ini adalah obat untuk mengobati luka Ki Gede yang telah selang beberapa hari itu.”
Ki Gede mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia  pun tidak menolak ketika Gupita mendekatinya dan kemudian dengan hati-hati menaburkan obat di atas luka Ki Gede.
“Setiap dua atau tiga hari, obat ini harus diperbaharui,” berkata Gupita kemudian.
“Mudah-mudahan Ki Gede akan sembuh dan segera dapat memimpin pasukan kembali.”
Ki Argapati mengangguk-angguk pula. Perlahan-lahan ia berdesis,
“Ya, mudah-mudahan. Tetapi agaknya Ki Tambak Wedi tidak menunggu aku sampai sembuh. Mereka telah memperketat kepungan mereka dan mempertajam tekanan mereka, tidak saja atas padesan ini, tetapi juga dan bahkan terutama adalah sumber persediaan makan kami.”
Gupita mengangguk-anggukkan kepalanya. Agaknya Ki Argapati sudah mulai mempercayainya benar-benar. Sehingga akan sampai saatnya ia menyampaikan pesan gurunya kepadanya.
“Tetapi gerakan yang dilakukan oleh Ki Gede telah berhasil membuat Ki Tambak Wedi kebingungan,” berkata Gupita kemudian.
Ki Argapati mengerutkan keningnya,
“Apakah yang kau maksudkan?”
“Pasukan berkuda dan orang-orang bercambuk di antara mereka.”
“Oh,” Ki Gede tersenyum. Katanya,
“Maafkan kami. Sampaikan kepada ayahmu, bahwa kami tidak sengaja untuk menyeretnya ke dalam persoalan ini.”
“Tidak, Ki Gede,” sahut Gupita cepat-cepat.
“Tidak hanya kamilah yang berhak mempergunakan senjata semacam itu. Setiap orang memang berhak pula. Juga pengawal Tanah Perdikan Menoreh.”
Ki Gede masih juga tersenyum. Katanya,
“Apakah kau dan ayahmu tersinggung karenanya? Baiklah aku berterus terang, dan aku harap kau sampaikan kepada ayahmu, bahwa aku memang ingin membangunkannya dari tidurnya yang terlampau nyenyak.”

Gupita  pun tersenyum pula. Ia merasa bahwa pintu telah terbuka baginya untuk menyampaikan pesan gurunya. Karena itu maka katanya kemudian dengan hati-hati,
“Ki Gede, sebenarnyalah aku mendapat pesan dari ayahku selain obat untuk luka Ki Gede itu.”
Ki Gede mengerutkan keningnya. Namun sejenak kemudian ia menyeringai menahan sakit yang menghentak di lukanya.
“Apakah luka itu terasa pedih, Ki Gede?” bertanya Gupita ketika ia melihat kesan di wajah Ki Argapati.
“Ya. Pedih sekali.”
“Itu pertanda bahwa obat itu mulai bekerja. Jangan cemas, Ki Gede. Beberapa saat perasaan pedih itu serasa menyengat-nyengat. Tetapi kemudian akan hilang dengan sendirinya. Begitulah menurut ayah.”
“Ya, Mudah-mudahan kata-kata ayahmu itu benar.”
“Menurut pengalaman ayah, demikianlah. Kemudian luka itu tidak perlu ditutup. Namun sebaiknya luka itu tidak tergores oleh baju Ki Gede.”
“Ya, ya,” sahut Ki Gede, namun kemudian ia berkata,
“sekarang, coba katakan, apakah pesan ayahmu itu? Aku harap bahwa ayahmu dapat memberi beberapa petunjuk untuk memecahkan kesulitan di atas Tanah ini.”
Gupita menarik nafas dalam-dalam. Ternyata Ki Gede memang telah mempunyai kepercayaan kepada gurunya, meskipun agaknya Ki Gede belum yakin siapakah sebenarnya orang yang telah memberinya obat itu.
Dengan demikian maka agaknya semuanya akan dapat berjalan dengan lancar, tanpa salah paham yang lebih dalam lagi.
“Ki Gede,” berkata Gupita,
“sebenarnyalah ayah tidak akan dapat tinggal diam di dalam tidurnya yang nyenyak.”
Ki Argapati mengerutkan keningnya, namun kemudian ia  pun tersenyum.
“Pada saatnya ayah pasti akan melibatkan diri di dalam persoalan ini.”
“Aku sudah menyangka,” sahut Argapati.
“Untuk itu ayah minta maaf. Bukan maksud ayah untuk mencampuri persoalan Ki Gede.”
Ki Gede tidak menyahut.
“Tetapi,” Gupita meneruskan,
“Ayah melihat bahaya yang akan mengancam bukan saja Tanah ini, apabila Sidanti berhasil menguasai pimpinan bersama gurunya Ki Tambak Wedi.” Gupita berhenti sejenak, lalu,
“Maaf Ki Gede, mungkin putera Ki Gede sendiri tidak akan tersesat apabila ia tidak kebetulan berada di dalam lingkungan padepokan Tambak Wedi. Kami tidak tahu, apakah alasan yang telah mendorong Ki Gede menyerahkannya kepada seorang yang terlampau bernafsu untuk menjadi seorang yang sangat berkuasa.”
Ki Gede Menoreh mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi wajahnya kemudian menunduk.
“Maaf, Ki Gede. Bukan maksudku untuk menyentuh perasaan Ki Gede,” cepat-cepat Gupita menyambung kata-katanya.
Ki Argapati menggelengkan kepalanya,
“Tidak apa, Anak Muda. Aku memang sudah merasa, bahwa sebagian dari kesalahan itu memang ada padaku. Pada yang tua-tua di Tanah ini, dan guru anak itu. Nah, teruskan pesan ayahmu. Katakan apa yang ingin kau katakan. Aku tidak akan menyalahkan kau. Tanggapanmu atau tanggapan ayahmu memang tepat. Teruskan.”
“Tidak, Ki Gede,” sahut Gupita kemudian.
“Bukan itulah pesan ayahku yang terpenting. Tetapi yang harus aku sampaikan kepada Ki Gede adalah keinginan ayah untuk menghadap Ki Gede. Sudah tentu ayah tidak akan dapat begitu saja memasuki daerah ini. Itulah sebabnya aku yang disuruhnya untuk merambah jalan. Itu pun telah menimbulkan sedikit salah paham. Tetapi salah paham yang tidak berarti.”
“Ayahmu akan datang kemari?”
“Itu kalau Ki Gede berkenan di hati.”
“Tentu. Tentu. Kenapa tidak saja langsung menemui para penjaga dan berkata bahwa ia akan bertemu dengan aku?”
“Dalam keadaan serupa ini mudah sekali timbul persoalan-persoalan yang tidak terduga-duga. Aku  pun sudah mengatakan demikian, bahkan dengan menunjukkan obat itu. Tetapi wajar sekali kalau para pengawal tidak segera mempercayainya. Memang kehadiran seorang gembala tua seperti ayah, akan merupakan sesuatu yang tampaknya tidak wajar dalam keadaan serupa ini.”
Ki Gede mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia berkata,
“Ayahmu memang membuat dirinya menjadi tidak wajar. Aku tidak tahu, kenapa ia harus menyebut dirinya sebagai seorang gembala tua? Dan kau menyebut dirimu sebagai anaknya?”
Dada Gupita berdesir mendengar pertanyaan itu. Tetapi kemudian ia menyadari keadaannya. Sudah tentu orang seperti Ki Argapati tidak akan dengan mudah mempercayai ceritera tentang dua orang gembala dengan seorang ayahnya yang tua.
“Gupita,” berkata Ki Argapati kemudian,
“aku memanggilmu Gupita, karena kau menyebut dirimu bernama demikian. Aku kira aku pernah berkenalan dengan orang yang kau sebut ayahmu. Aku memang mengenal orang yang bersenjata cambuk itu, meskipun sejak itu orang yang bersenjata cambuk itu selalu membuat dirinya menjadi kabur. Tetapi aku tidak tahu, apakah naksudnya dan apakah alasannya. Seperti aku sekarang juga tidak tahu, kenapa ayahmu itu pun tidak menyatakan dirinya dalam keadaan sewajarnya. Tetapi itu tidak penting bagiku. Teka-teki itu memang tidak akan aku cari. Yang penting sekarang adalah kehadirannya itu. Aku menunggunya dengan senang hati.”

Gupita mengangguk-anggukkan kepalanya. Tiba-tiba ia pun melihat keanehan pada dirinya sendiri. Agaknya penyakit gurunya untuk membuat dirinya berwajah dan bernama seribu telah menular kepada dirinya tanpa disadarinya. Kenapa namanya harus berganti, dan kenapa ia menyebut dirinya seorang gembala?”
Gupita menarik nafas.
“Aku berada di daerah asing yang sedang disaput oleh kemelutnya api peperangan,” desisnya di dalam hati. Dan alasan itu sudah agak memberinya kepuasan, apalagi apabila disebutnya juga, agar Sidanti tidak segera tahu kehadirannya bersama guru dan saudara seperguruannya. Tetapi semuanya itu pasti akan segera berakhir. Apabila gurunya pada suatu saat bertemu dengan Ki Argapati, maka semuanya akan babar. Dan ia tidak perlu mengingat-ingat nama yang kadang-kadang membuatnya bingung sendiri. Karena itu, maka kemudian ia berkata,
“Ki Gede, ayah pasti akan mengucapkan beribu terima kasih atas kesempatan itu. Selebihnya, ayah akan mengatakannya sendiri, apakah sebabnya ia berada di Tanah ini dan apakah sebabnya ia tidak menyatakan dirinya sewajarnya, apabila benar seperti yang Ki Gede sebutkan.”
Ki Argapati mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tersenyum,
“Aku menunggu. Setiap saat pintu regol akan terbuka bagi orang yang kau sebut ayahmu itu. Aku mempercayainya. Obatnya agaknya akan dapat menolongku.” Ki Argapati berhenti sejenak, lalu,
“Perasaan pedih itu sudah berangsur hilang.”
“Berbaringlah dan beristirahatlah Ki Gede. Mudah-mudahan Ki Gede akan segera sembuh,” sahut Gupita, yang kemudian minta diri.
“Sebaiknya aku segera mengatakannya kepada ayah. Aku harus segera menemuinya. Agaknya suhu api di atas bukit ini cepat sekali meningkat.”
“Kau benar. Semakin cepat, semakin baik sebelum Ki Tambak Wedi mengetahui, bahwa orang-orang berkuda itu bukan orang yang berhak mempergunakan sebutan orang-orang bercambuk.”
Gupita menganggukkan kepalanya. Tetapi terbersit kecemasan di dalam hatinya. Mungkin Ki Gede benar-benar mengharap kehadiran gurunya, tetapi bagaimana dengan para pengawal? Kedatangannya telah menumbuhkan salah paham, dan hampir-hampir saja menyeretnya ke dalam suatu keadaan yang sulit.
Karena itu, maka dengan agak ragu-ragu ia bertanya,
“Ki Gede, apakah tanda yang harus kami berikan kepada para pengawal, supaya kami dapat masuk ke daerah ini dengan tidak menimbulkan salah paham?”
“Ah,” desah Ki Gede,
“bukankah sebagian dari para pengawal telah mengenalmu? Meskipun demikian baiklah, aku akan mengatakannya kepada para pengawal, bahwa kalian akan mendapat kesempatan untuk masuk. Terutama kepada para pemimpin.”
“Terima kasih, Ki Gede,” sahut Gupita.
“Panggillah mereka yang berada di luar pintu itu.”
“Baik Ki Gede,” sahut Gupita yang kemudian melangkah ke luar ruangan. Ketika ia membuka pintu, dilihatnya ketiga pemimpin pengawal masih berdiri di ruangan itu. Mereka duduk di atas sehelai tikar di muka pintu yang menghadap ke pringgitan, dan langsung dapat melihat ke luar, lewat pintu pendapa.
“Tuan-tuan dipersilahkan masuk,” berkata Gupita sambil membungkukkan kepalanya.
Sejenak ketiga pemimpin pengawal itu saling berpandangan. Namun sejenak kemudian Kerti segera berdiri disusul oleh Samekta dan kemudian Wrahasta.
“Apakah Ki Gede memanggil kami?” bertanya Kerti.
“Kenapa kita bertanya kepadanya?” sahut Wrahasta.
“Ia orang asing di sini. Marilah kita bertanya langsung kepada Ki Gede.”
Gupita mengerutkan keningnya. Pemimpin pengawal yang seorang ini yang bertubuh raksasa, agaknya terlampau membencinya tanpa diketahui sebab-sebabnya. Meskipun demikian, ia mencoba untuk menenteramkan hatinya. Mungkin karena anak muda yang bertubuh raksasa itu sudah terlanjur bersikap keras terhadapnya, sehingga ia tidak akan dapat merubah sikap itu dengan tiba-tiba.
Ketiga pemimpin pengawal itu  pun segera melangkah masuk. Mereka berdiri berjajar di dekat pembaringan Ki Argapati. sedang Gupita kemudian berdiri beberapa langkah di belakang mereka.
“Pandan Wangi tidak ada di antara mereka,” pertanyaan itu telah mengusik hati Gupita. Tetapi ia tidak berani bertanya. Ternyata Ki Gede lah yang kemudian bertanya,
“Di manakah Pandan Wangi?”
Sebelum salah seorang dari mereka menjawab. terdengar suara Pandan Wangi,
“Aku di sini, Ayah.” Maka sejenak kemudian gadis itu menjengukkan kepalanya. Tangannya menjinjing beberapa mangkuk berisi air sere yang hangat. Beberapa potong gula kelapa dan seonggok jenang alot.”
“Oh,” Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Sepercik kebanggaan telah memulasi hatinya yang sedang prihatin. Meskipun putrinya itu membawa sepasang pedang di lambungnya, namun ia tidak melupakan kuwajibannya sebagai seorang gadis.

Ketika Pandan Wangi kemudian hilang di balik pintu, maka Ki Gede berkata,
“Pandan Wangi telah menyediakan minum kalian. Tetapi baiklah aku ingin memberikan beberapa pesan. Pada saatnya, Gupita akan pergi dan kembali lagi ke padukuhan ini bersama saudaranya yang gemuk dan ayahnya. Aku mengharap kalian dapat menerima mereka dengan baik, karena mereka adalah tamu-tamuku. Aku memerlukan mereka terutama karena obat yang ternyata sangat bermanfaat bagiku. Selainnya akan kita lihat, hubungan apa lagi yang dapat kita buat dengan mereka untuk selanjutnya.”
Samekta, Kerti, dan Wrahasta tidak segera menjawab. Bagi Samekta dan Kerti, persoalan itu tidak banyak menimbulkan masalah di dalam diri mereka. Mereka percaya bahwa Ki Gede berbuat dengan cukup berhati-hati. Dan kewajibannya adalah mengamankan daerah ini dari segala kemungkinan seandainya ketiganya benar-benar akan datang. Mereka harus diawasi sebaik-baiknya. Selebihnya, Ki Gede pasti akan memberi petunjuk-petunjuk.
Tetapi persoalan bagi Wrahasta bertambah lagi dengan masalah pribadinya. Namun sudah tentu ia tidak dapat mengatakannya. Disimpannya saja perasaan kecewanya itu di dalam hatinya. Meskipun demikian, betapa dalam ia mencoba menanam perasaan itu di hadapan Ki Argapati, namun dari sikapnya, Samekta dan Kerti masih sempat membacanya. Para pemimpin itu kemudian mengangkat wajah-wajah mereka ketika mereka mendengar Ki Gede melanjutkan,
“Sementara ini baru itulah yang dapat aku katakan. Selebihnya akan kalian ketahui nanti setelah ayah Gupita ini berada di dalam lingkungan kita. Setidak-tidaknya kita akan mendapat seorang yang mengerti tentang obat-obatan, yang akan memberi banyak pertolongan bagi kita yang terluka.”
“Kita akan menyambutnya dengan senang hati, Ki Gede,” jawab Samekta.
“Ternyata sampai saat ini kita tidak mempunyai seorang pun yang dengan sungguh-sungguh dapat memberikan pengobatan. Yang kita lakukan hanyalah sekedar memperingan penderitaan para korban. Di pihak Sidanti paling sedikit ada dua orang yang mampu melakukannya. Ki Wasi dan Ki Muni.”
“Tetapi,” tiba-tiba Wrahasta memotong,
“Betapapun tanggapan kita terhadap kedua orang itu, namun bagi Sidanti, keduanya cukup meyakinkan. Keduanya benar-benar dapat dipercaya. Apakah kita dapat meyakini pula, bahwa gembala tua itu dapat kita percaya?”
Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Kau adalah seorang pengawal yang baik, Wrahasta. Kau menanggapi setiap persoalan dengan penuh tanggung jawab. Aku berterima kasih kepadamu. Adalah wajar sekali, bahwa kita tidak akan segera mempercayai seseorang. Juga gembala tua itu. Namun biarlah ia datang, aku akan melihat apakah kita bersama akan mempercayakan diri kita kepadanya di dalam masalah pengobatan, atau kita akan berbuat lain.”
Wrahasta menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata,
“Ya, Ki Gede.”
“Nah, sekarang minumlah. Kemudian Gupita akan segera pergi untuk memanggil ayahnya. Hari ini atau besok ia akan kembali.”
Sekali lagi Wrahasta menganggukkan kepalanya. Samekta, Kerti, dan Gupita  pun mengangguk pula. Sejenak kemudian maka mereka  pun telah berada di luar ruangan, duduk di atas sehelai tikar pandan yang putih sambil minum air sere dengan gula kelapa.

Tetapi Gupita tidak dapat menikmatinya terlampau lama. Segera ia minta diri untuk kembali ke rumahnya dan membawa ayahnya menghadap Ki Argapati.
“Besok aku baru akan menghadap bersama ayah,” berkata Gupita kepada para pemimpin pengawal itu.
“Kami mengharap kedatangan kalian,” sahut Samekta.
“Mudah-mudahan dengan demikian, kalian dapat memperingan pekerjaan kami.”
“Kami akan berusaha,” jawab Gupita.
Maka Gupita  pun segera minta diri kepada Pandan Wangi, untuk menjemput gembala tua yang disebutnya ayahnya. Samekta, Kerti, dan Wrahasta mengantarkannya sampai ke regol padesan. Ketika mereka telah berada di luar regol, maka Samekta berkata,
“Selamat jalan. Di hadapan kita terbentang sebuah lapangan yang menyimpan seribu macam rahasia dan teka-teki. Kita tidak tahu apa saja yang tersimpan di dalamnya sekarang. Mungkin di depan kita ini bersembunyi orang-orang Sidanti, tetapi juga mungkin petugas-petugas sandi kita sendiri. Atau kedua-duanya. Dengan demikian maka segala macam peristiwa dapat saja terjadi atasmu.”
“Terima kasih,” jawab Gupita,
“aku akan berhati-hati. Mudah-mudahan aku tidak menemui kesulitan, Apabila aku menjumpai bahaya yang tidak dapat aku atasi, aku akan lari kembali masuk ke padukuhan ini.”
“Baiklah,” jawab Kerti,
“Kami menunggu kedatanganmu bersama ayahmu.”
Gupita pun kemudian menganggukkan kepalanya dalam-dalam. Sambil tersenyum ia berkata,
“Aku akan segera kembali.”
Maka sejenak kemudian Gupita itu  pun segera melangkah meninggalkan regol padukuhan itu. Tetapi hatinya berdesir ketika ia mendengar Wrahasta berkata,
“Tunggu. Aku perlu mengatakan sesuatu kepadamu.”
Gupita menghentikan langkah. Namun Wrahasta berkata,
“Berjalanlah terus. Aku akan menemani kau.”


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar