Jilid 040 Halaman 3



Debar jantung Gupita menjadi semakin cepat. Ia tidak mengerti apakah maksud Wrahasta. Bahkan Kerti pun bertanya,
“Kemanakah kau akan pergi, Wrahasta?”
“Ke tengah-tengah bulak itu,” jawab anak muda yang bertubuh raksasa itu.
“Kenapa?” bertanya Samekta pula.
“Jangan takut aku akan dijebak oleh Sidanti,” jawab Wrahasta.
“Aku sudah cukup dewasa untuk menjaga diri sendiri. Aku  pun tidak akan pergi terlampau jauh dan terlalu lama. Dan aku  pun tidak akan berbuat apa-apa atas anak ini.”
Samekta menarik nafas dalam-dalam. Sejenak dipandanginya wajah Kerti yang menjadi semakin tegang. Tetapi mereka tidak dapat menahan Wrahasta. Bahkan di dalam hati Samekta berkata,
“Wrahasta tidak akan mampu berbuat apa pun atas anak itu. Dan anak itu pun cukup dewasa menghadapi persoalannya, sehingga tidak akan berbuat sesuatu yang dapat menggagalkan pembicaraan yang telah dibuatnya dengan Ki Argapati.”

Sementara itu Gupita dan Wrahasta telah melangkah semakin jauh. Dengan dada yang berdebar-debar Kerti dan Samekla memandang mereka yang berjalan tanpa berpaling lagi. Apalagi Gupita yang semakin tidak mengerti atas sikap Wrahasta. Dadanya  pun menjadi kian berdebar-debar. Bukan karena Wrahasta seorang anak muda yang pilih tanding, tetapi justru karena tanggapannya yang berbeda dengan para pemimpin yang lain.
“Gupita,” tiba-tiba terdengar suara Wrahasta datar,
“apakah kau besok benar-benar akan kembali?”
Gupita menjadi semakin heran. Namun ia menjawab,
“Sudah tentu, Tuan. Sudah tentu aku akan kembali.”
“Bagaimana dengan adikmu yang gemuk itu?”
“Mungkin ia  pun akan ikut pula bersama kami.”
Wrahasta berhenti sejenak. Kemudian, katanya,
“Sebaiknya hanya ayah dan adikmu itu saja besok yang datang kembali. Tanpa kau.”
“Kenapa?” dengan serta-merta Gupita bertanya.
“Aku tidak senang melihat kehadiranmu di padukuhan ini.”
Gupita tidak segera menyahut. Langkahnya menjadi semakin lambat. Dicobanya untuk memandang wajah raksasa yang berjalan menunduk di sampingnya. Tetapi teka-teki itu tidak terjawab.
“Kedatanganmu telah mengganggu ketenteraman hatiku,” berkata Wrahasta selanjutnya.
“Karena itu, aku terpaksa melarangmu datang sekali lagi.”
“Tetapi, tetapi aku telah berjanji kepada Ki Argapati, bahwa aku akan membawa ayah dan adikku.”
“Suruh saja adikmu mengantar ayahmu itu.”
“Terlampau berbahaya. Kemelut di Tanah ini dapat menimbulkan kemungkinan apa pun terhadap ayahku yang telah tua, dan adikku yang masih terlampau kanak-kanak.”
“Itu bukan urusanku. Yang penting harus kau ingat, kau tidak boleh memasuki padukuhan ini sekali lagi.”
“Itu tidak mungkin,” jawab Gupita,
“aku sudah ber-janji bahwa aku akan membawa ayah besok datang menghadap Ki Argapati. Aku tidak tahu pasti apakah Gupala dapat ikut bersama kami, apalagi mengantar ayah tanpa aku.”
“Terserah kepada keputusanmu,” geram Wrahasta kemudian.
“Tetapi kalau kau datang sekali lagi, maka kita untuk seterusnya tidak akan dapat menjadi kawan yang baik. Mungkin kau belum merasakan pada hari-hari pertama. Tetapi selanjutnya, kalau bukan aku, maka kaulah yang akan mengambil sikap demikian. Bermusuhan.”
“Aku tidak mengerti. Apakah sebabnya maka kita harus membuat garis pemisah. Kalau hal itu hanya sekedar karena keterlanjuran Tuan dalam salah paham yang baru saja terjadi, maka itu bukanlah sikap yang matang. Itu masih berada di dalam daerah pemikiran anak-anak.”

Wrahasta tidak segera menjawab. Ia menjadi ragu-ragu, apakah sebaiknya yang dikatakan. Apakah ia akan berterus terang, bahwa ia tidak senang melihat hubungan antara anak yang menyebut dirinya bernama Gupita itu dengan Pandan Wangi?
“Tidak,” berkata Wrahasta di dalam hatinya.
“Aku tidak perlu mengatakan alasan itu. Aku mempunyai wewenang yang cukup di lingkungan para pengawal Tanah Perdikan. Aku tidak perlu merendahkan diri, memohon kepadanya agar gembala ini memberi aku kesempatan.”
Karena itu, maka Wrahasta itu pun kemudian menjawab,
“Aku tidak perlu mengatakan apakah sebabnya. Tetapi kau tidak disenangi di daerah kami, karena sikapmu yang sombong. Mungkin adikmu mempunyai watak yang berbeda, sehingga orang-orang Menoreh dapat menerimanya dengan senang hati bersama ayahmu.”
“Tetapi sudah aku katakan,” sahut Gupita, “aku masih harus mengantar ayah kemari.”
“Terserah kepadamu. Aku sudah memberi kau peringatan. Kalau kau tidak mengindahkannya, maka lambat atau cepat, kau akan menyesal.”
Gupita masih akan menyahut, tetapi ia tidak mendapat kesempatan, karena Wrahasta menghentikan langkahnya sambil berkata,
“Berjalanlah terus. Renungkan kata-kataku. Aku sudah mencoba memperingatkan kau.”
“Maaf,” sahut Gupita, “tetapi aku akan mencoba merenungkannya. Namun besok aku harus datang kembali bersama ayah dan adikku. Itu tidak dapat aku ingkari, sebab sudah aku katakan kepada Ki Gede, ketika aku berbicara dengan Ki Gede sendiri. Tak ada perintah dari siapa pun yang dapat membatalkan pembicaraanku dengan Ki Gede, karena menurut pengertianku, Ki Gede adalah orang tertinggi di tlatah ini.”
Terasa suatu hentakan telah memukul dada Wrahasta. Hampir saja ia kehilangan pertimbangan lagi. Untunglah bahwa Gupita kemudian meneruskan langkahnya sambil berkata,
“Selamat tinggal. Aku akan pulang. Semua persoalan bagi keluargaku hanya berkisar pada pengobatan bagi Ki Gede. Tidak ada yang lain.”
Wrahasta menggeram. Tetapi ia tidak menyahut. Dipandanginya saja langkah Gupita yang semakin menjauh tanpa berpaling lagi, menyusup ke dalam gerumbul-gerumbul liar dan ilalang yang tumbuh di atas tanah persawahan yang tidak digarap, karena saluran airnya yang tidak dapat mengalir. Tidak seorang  pun yang berani mencoba menelusur ujung dari saluran yang berada di tempat yang paling berbahaya, di hidung pasukan Sidanti.
Wrahasta memandang Gupita sampai hilang di balik dedaunan. Sekali lagi ia menggeram. Katanya,
“Anak itu keras kepala. Kalau ia benar-benar tidak mau menurut perintahku, aku akan berbuat sesuatu. Hubungannya dengan Pandan Wangi harus diputuskan.”

Dengan langkah yang berat, Wrahasta berjalan kembali ke mulut desa. Di muka regol Samekta dan Kerti masih berdiri dengan tegang mengawasinya. Ketika kedua anak-anak muda itu telah berpisah, maka Samekta menarik nafas dalam. Katanya,
“Agaknya Wrahasta mencoba menjelaskan persoalannya.”
Kerti tidak segera menjawab. Namun tanpa sesadarnya kepalanya terangguk-angguk.
“Mudah-mudahan tidak menjadi bibit persoalan di masa datang,” gumam Samekta kemudian,
“selagi kita menghadapi masalah yang terlampau berat. Sawah-sawah yang kering, dan persediaan makanan yang menipis.”
Kerti masih mengangguk-angguk. Baru kemudian ia menjawab,
“Kita harus segera berbuat sesuatu.”
“Harus, tetapi apakah yang dapat kita lakukan selama ini adalah kemungkinan yang paling tinggi. Kita tidak akan dapat merebut daerah yang mana pun sebelum Ki Gede sembuh. Terlampau berat bagi kita untuk menghadapi Ki Tambak Wedi, Sidanti, Ki Argajaya, dan Ki Peda Sura. Agaknya Ki Wasi dan Ki Muni  pun akan ikut pula secara langsung. Bahkan mungkin Ki Peda Sura akan membawa dendamnya pula atas Pandan Wangi.”
Kerti  pun kemudian terdiam. Kata-kata Samekta itu tidak dapat diingkarinya. Tidak ada seorang  pun yang akan mampu memimpin pasukan Menoreh menghadapi Ki Tambak Wedi, Sidanti, Argajaya, dan Ki Peda Sura, ditambah lagi dengan Ki Wasi dan Ki Muni.
“Gembala yang mampu membuat obat itu harus segera datang. Kalau ia mengobati secara langsung, maka kesembuhan Ki Gede akan menjadi lebih cepat.”
Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya,
“Mudah-mudahan Ki Tambak Wedi tidak segera mengambil kesempatan.”
Kerti tidak menyahut lagi. Sementara itu Wrahasta sudah menjadi semakin dekat.
“Kenapa dengan anak itu?” bertanya Kerti kemudian.
Wrahasta mengangkat bahunya yang bidang sambil menggeram,
“Anak setan, ia terlampau keras kepala.”
“Apa yang dikatakannya.”
“Ia merasa dirinya terlampau berjasa. Ia merasa bahwa kesembuhan Ki Gede disebabkan karena keluarganya, sehingga dengan demikian, maka merekalah yang merasa telah membebaskan Tanah Menoreh apabila kelak Ki Argapati dapat merebut kembali daerah demi daerah.”
Sejenak Samekta dan Kerti saling berpandangan. Bagi mereka, kata-kata Wrahasta itu agak terlampau aneh menilik sifat dan watak gembala yang menyebut dirinya Gupita itu. Namun mereka tak menyahut sepatah kata pun.

Ternyata Wrahasta  pun tidak berhenti meskipun Samekta dan Kerti masih berdiri di tempatnya. Wrahasta itu berjalan langsung menuju ke regol dan hilang di balik pintu. Yang kemudian masih tetap berdiri di tempatnya adalah para pengawal dan para petugas di regol desa itu. Samekta dan Kerti menarik nafas dalam-dalam. Kemudian mereka  pun melangkah perlahan-lahan. Sampai di depan regol Samekta berkata kepada para pengawal,
“Hati-hatilah. Di mana pemimpin kelompokmu?”
Dengan tergopoh-gopoh seorang anak muda maju ke depan sambil menjawab,
“Akulah yang bertanggung jawab kini, Kiai.”
“Sampaikan kepada setiap pengganti, bahwa pada saatnya gembala itu akan kembali lagi bersama dengan adik dan ayahnya. Mereka telah mendapat ijin langsung dari Ki Gede. Kalau kalian ragu-ragu, hubungilah aku.”
Pemimpin kelompok itu tidak segera menjawab. Tetapi ia berpaling ke arah Gupita hilang di balik gerumbul di tengah-tengah sawah yang telah menjadi liar. Namun kemudian dipandanginya pintu regol, seolah-olah ingin melihat ke manakah Wrahasta pergi sekarang.
Samekta menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti apa yang tertera di dalam dada pemimpin kelompok itu. Ia tahu benar bahwa baru saja terjadi persoalan yang se-akan-akan belum terselesaikan antara Wrahasta dan gembala itu. Belum ada pernyataan, bahwa gembala itu tidak bersalah, dan tuduhan Wrahasta terhadapnya ternyata tidak benar. Bahkan sampai saat terakhir ia masih melihat sikap Wrahasta yang tegang terhadap gembala yang baru saja meninggalkan pedukuhan mereka.
“Anak itu sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan Sidanti,” berkata Samekta kemudian.
“Tetapi adalah sewajarnya bahwa Wrahasta harus bersikap hati-hati. Kita semua  pun harus bersikap hati-hati. Namun agaknya Ki Gede sendiri melihat, bahwa ketiga ayah beranak itu sama sekali tidak berbahaya bagi kita, dan bahkan mereka akan dapat membantu pengobatan Ki Gede yang sedang parah.”
Pemimpin kelompok itu menganggukkan kepalanya.
“Baik. Kami akan menerima mereka dengan hati-hati.”
“Bagus,” sahut Samekta.
“Pesan ini berlaku bagi setiap pengganti di gardu ini.”
Sekali lagi pemimpin kelompok itu mengangguk, “Baik.”
Samekta dan Kerti pun segera melangkah masuk ke dalam regol. Namun terasa dada mereka telah dibebani oleh sesuatu yang seolah-olah menyangkut pada tangkai jantung. Sikap Wrahasta agaknya berpengaruh pula pada para pengawal.

Sementara itu, Gupita berjalan semakin lama semakin cepat. Dicarinya tempat-tempat yang dapat memberinya perlindungan dari sudut-sudut pandangan kedua belah pihak. Ia tidak ingin diikuti, maupun di amat-amati, baik oleh orang-orang Samekta sendiri, apalagi orang-orang Sidanti. Itulah sebabnya kemudian ia menyusup masuk ke dalam pategalan yang bera, berjalan di antara rimbunnya gerumbul perdu yang liar. Ketika Gupita telah sampai di gubugnya yang kecil, maka segera diceriterakannya perjalanannya kepada gurunya yang disebutnya sebagai ayahnya. Adik seperguruannya, mendengarkannya dengan dada yang berdebar-debar. Tiba-tiba saja ia memotong,
“Kenapa tidak kau putar saja leher anak yang bertubuh raksasa itu? Bukankah dengan demikian setiap mata menjadi terbuka, bahwa kami tidak sedang merunduk-runduk minta sesuap nasi kepada mereka?”
“Ah,” gurunya menyahut,
“itu kurang bijaksana. Apa yang dilakukan Gupita telah mendekati sikap yang paling baik. Agaknya dugaan kita benar, bahwa telah terjadi semacam pertandingan cambuk.”
“Apakah Guru mengetahui?”
“Aku mendengar lecutan-lecutan cambuk dari pategalan yang kering di sebelah padukuhan itu. Tetapi karena kau tidak memperdengarkan ledakan yang dapat kami anggap bersungguh-sungguh, maka kami pun tidak mengambil sikap sesuatu. Tetapi betapa  pun juga, aku menganggap bahwa perjalanan pendahuluanmu telah berhasil. Kau telah bertemu dengan Ki Argapati dan menyampaikan pesanku kepadanya. Besok kita harus benar-benar datang dan membantu kesulitan yang sedang dihadapi oleh Kepala Tanah Perdikan yang sedang prihatin itu.”
“Baik, Guru,” sahut Gupita.
“Nanti malam kita akan melihat dari dekat, apakah yang telah dilakukan, baik oleh orang-orang Argapati maupun oleh orang-orang Tambak Wedi.”
“Kepungan yang dilakukan itu telah menjadi semakin rapat dan menyempit, Guru.”
“Kesan itu memang sengaja ditimbulkan oleh Ki Tambak Wedi. Tetapi Tambak Wedi sendiri masih tetap dalam keragu-raguan. Usaha Ki Argapati untuk membuat kesan yang merata, hampir di seluruh daerah Menoreh, tentang orang-orang bercambuk itu agaknya juga cukup berhasil.”
“Tetapi apakah Ki Tambak Wedi tidak akan dengan tiba-tiba saja menyergap?”
“Dapat juga terjadi. Tetapi agaknya Ki Tambak Wedi sedang berusaha untuk meyakinkan dirinya, apakah orang-orang bercambuk itu benar-benar kalian. Setelah ia yakin, pasti ia akan segera bertindak. Keyakinan itu perlu baginya untuk memperhitungkan keseimbangan dari kedua pasukan. Sampai saat ini selisih kekuatan di antara keduanya tidak begitu tampak, meskipun Ki Argapati menjadi semakin terjepit. Ki Tambak Wedi menyadari, bahwa Ki Argapati, meskipun ia tidak sedang terluka, tidak akan berani melawan pasukannya di tempat terbuka. Ki Tambak Wedi tahu pasti, bahwa kekuatan Argapati hanya akan dapat mengimbanginya dengan bantuan perlindungan seperti yang terjadi sekarang. Karena itu, Ki Tambak Wedi dapat lebih leluasa bergerak, karena pasukannya agak lebih baik dan lincah. Terutama orang-orang yang bukan berasal dari daerah ini sendiri.”
Gupita dan Gupala mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi tiba-tiba saja Gupala bertanya,
“Lalu apakah yang dapat kita lakukan bertiga?”
Gurunya mengerutkan keningnya. Kemudian jawabnya sambil tersenyum,
“Unsur pimpinan memegang peranan yang penting. Dalam perang seperti yang pernah terjadi di Sangkal Putung, maka apabila pimpinannya telah tidak berdaya, maka pengaruhnya akan tajam sekali terhadap anak buahnya. Karena itu, kita akan membantu, berdiri pada setiap pasukan untuk menghadapi orang orang seperti Ki Tambak Wedi sendiri, Sidanti, Argajaya, Ki Peda Sura, Ki Wasi, Ki Muni, dan beberapa orang yang lain. Sedang di pihak Ki Argapati selama ini hanya ada dua orang yang terpercaya. Ki Argapati sendiri yang kebetulan sedang terluka dan Pandan Wangi. Pemimpin-pemimpinnya yang lain masih agak jauh ketinggalan dari orang-orang Tambak Wedi.”
Gupala mengangguk-anggukkan kepalanya. Tiba-tiba saja wajahnya menjadi cerah. Sambil tersenyum ia berkata,
“Sudah terlampau lama kita diperam di dalam gubug yang sempit ini. Kita akan bangun dan menggeliat untuk mengendorkan urat-urat kita yang hampir membeku.”
Mendengar kata-kata Gupala, maka gurunya menarik nafas dalm-dalam. Muridnya yang muda ini memang agak lain dari kakak seperguruannya. Namun orang tua itu tidak berkata apa pun. Bahkan kemudian ia bangkit dan berkata,
“Beristirahatlah. Nanti malam kita berjalan-jalan.”
Kedua muridnya mengangguk. Dan Gupita menjawab, “Baik, Guru.”
Orang tua itu pun kemudian melangkah ke luar ruangan gubug kecil itu, pergi ke belakang, ke kandang kambing. Dilontarkannya beberapa gumpal rumput segar sambil bergumam,
“Akan sampai saatnya kita berpisah. Ternyata aku bukanlah seorang gembala yang baik.”
Sementara itu Gupita dan Gupala masih duduk di dalam. Sejenak mereka berdiam diri, tenggelam dalam angan-angan masing-masing. Gupita masih mencoba mencari sebab, kenapa Wrahasta sangat membencinya, bahkan mengancamnya supaya tidak datang ke padukuhan itu sekali lagi.
“Aku baru bertemu untuk pertama kali,” berkata Gupita di dalam hatinya, “tetapi sikapnya sangat menyakitkan hati.”
Namun Gupita itu terkejut ketika terasa adik seperguruannya yang gemuk itu menggamitnya sambil bertanya,
“Kapan kita pergi kepada Ki Gede Menoreh itu?”
“Besok, setelah nanti malam kita melihat keadaan,” jawab Gupita.
“He,” desis Gupala perlahan-lahan sambil bergeser mendekat. Gupita mengerutkan keningnya. Agaknya adiknya yang gemuk itu mempunyai persoalan yang penting dan rahasia. Karena itu dengan sungguh-sungguh ia mendengarkannya ketika Gupala bertanya,
“Kau sudah bertemu dengan Ki Argapati, bukan?”
“Ya,” Gupita mengangguk.
“Tetapi kau belum berceritera kepadaku lebih banyak tentang gadis berpedang rangkap itu.”
Gupita menjadi heran,
“Kenapa? Apakah yang harus aku ceritakan tentang gadis berpedang rangkap itu?”
Tiba-tiba Gupala tersenyum. Senyum yang aneh mengambang di bibirnya, sehingga pipinya yang gembung itu bergerak-gerak,
“Maksudku, apakah gadis itu cantik?”
“Oh,” Gupita menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya,
“Aku sangka kau ingin mengetahui, apakah gadis berpedang rangkap itu mampu mengalahkan Sidanti.”
“Bukankah ia adiknya?”
“Ya, tetapi menilik ketangkasannya dan kemampuannya berkelahi melawan Ki Peda Sura, ia akan mampu mengimbangi Sidanti, meskipun aku tidak mengatakan bahwa ia dapat mengalahkan kakaknya itu. Kalau mereka bertemu dan terlibat dalam perkelahian, maka akan terulanglah benturan kekuatan dari perguruan Tambak Wedi dan perguruan Menoreh.”
“Ya, ya,” potong Gupala, “tetapi kau belum menjawab pertanyaanku. Apakah gadis itu cantik.”
“Ah,” Gupita berdesah,
“apakah kepentingan kita dengan gadis itu? Cantik atau tidak cantik, tidak ada bedanya bagi peperangan ini.”
Kini Gupala lah yang mengerutkan dahinya. Sambil menggerutu ia berdiri,
“Kenapa kau berahasia? Bukankah kau sudah bertemu beberapa kali dengan gadis itu.”
“Tetapi aku lebih memperhatikan pedangnya daripada wajahnya.”
Tiba-tiba Gupala berhenti. Sambil mengacungkan jarinya ia berkata,
“Awas kalau kau tidak mau memperkenalkan aku dengan puteri Kepala Tanah Perdikan itu. Nanti adikku akan aku minta kembali dari padamu. Setuju?”
“Ah,” potong Gupita dengan serta-merta, “ada-ada saja kau ini.”
Gupala tidak menyahut. Terus saja ia melangkah ke luar. Namun ketika ia sudah berada di luar, terdengar suara tertawanya berkepanjangan.

Gupita yang masih duduk di tempatnya menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba saja membayang di rongga matanya wajah-wajah gadis yang pernah dikenalnya. Seorang gadis yang manja, dan yang seorang adalah seorang gadis yang merasa wajib berdiri sendiri karena ia telah kehilangan ibunya. Tetapi keduanya adalah gadis-gadis yang keras hati. Gupita menghentakkan dirinya, sambil meloncat berdiri. Dalam keadaan serupa itu, tidak sewajarnya ia berpikir tentang gadis-gadis. Karena itu maka ia  pun segera melangkah ke luar menyusul adiknya. Pergi mencari kayu bakar di kebun belakang. Sementara itu Gupala telah duduk pada sebuah cabang pohon rambutan yang sedang berbuah. Sambil mengunyah ia melempari Gupita dengan kulitnya. Ketika Gupita menengadahkan wajahnya Gupala berkata,
“Aku tidak sabar menunggu saat itu datang. Bahkan matahari itu kini serasa menjadi terlampau malas.”
“Sebentar lagi senja akan datang. Kita akan segera bersiap untuk pergi.”
Gupala segera meloncat turun sambil berkata lantang, “Aku akan mandi dulu.”
“Kenapa mandi?” bertanya Gupita. “Meskipun kau harus juga mandi, tetapi kenapa kau tidak berkata, bahwa kau akan mempersiapkan senjatamu.”
“Senjata itu tidak pernah terpisah daripadaku. Tetapi aku memang perlu mandi. Siapa tahu, nanti malam aku bertemu dengan puteri Kepala Tanah Perdikan Menoreh dengan sepasang pedang di lambungnya.”
Gupita menggeleng-gelengkan kepalanya. Sebelum ia menjawab, Gupala telah berlari menyusup ke gerumbul di belakang halaman rumahnya menuju ke sungai untuk mandi. Yang terdengar hanyalah derai tertawanya yang renyah. Demikianlah, maka ketika matahari telah tenggelam di balik pebukitan, maka Gupita bersama guru dan adik seperguruannya telah siap untuk berangkat. Karena banyak sekali kemungkinan yang dapat terjadi maka ketiganya benar-benar berada dalam kesiagaan sepenuhnya. Mereka akan melihat dua kekuatan yang setiap kali berhadapan, namun mereka masing-masing masih ragu-ragu untuk memulainya.
“Hati-hatilah Gupala,” pesan gurunya sebelum mereka berangkat,
“Kita tidak akan pergi melamar puteri Ki Argapati. Kita akan melihat ujung-ujung senjata yang telah merunduk.”
“He,” Gupala mengerutkan keningnya, namun ia  pun kemudian tertawa dan berkata,
“apakah salahnya kalau sekaligus kita pergi melamar.”
“Kau akan kecewa kalau kau sudah melihatnya,” potong Gupita.
“Gadis itu meskipun tangkas tetapi berparas sama sekali tidak menarik.”
Gupala tidak menjawab. Tetapi ia tertawa saja berkepanjangan. Suaranya itu terputus ketika gurunya berkata,
“Marilah kita berangkat supaya kita tidak terlambat. Kita akan melihat bagaimana Ki Tambak Wedi membawa pasukannya setiap kali untuk menakut-nakuti lawannya.”
Sejenak Gupita memandangi adik seperguruannya. Kemudian keduanya tersenyum. Namun Gupala tidak berkata sepatah kata pun lagi. Tangannyalah yang kemudian meraba-raba senjatanya yang melingkar di bawah bajunya.

Ketiganya  pun kemudian meninggalkan halaman gubug mereka, setelah Gupita dan Gupala menyediakan rumput yang cukup bagi kambing-kambing mereka.
“Mudah-mudahan mereka datang lagi malam ini,” berkata gembala tua itu kepada kedua muridnya.
“Mudah-mudahan,” desis Gupala.
“Tetapi kita tidak dapat mengabaikan usaha Ki Tambak Wedi untuk menemukan orang-orang berkuda. Agaknya sampai malam ini ia masih berusaha terus.”
Gupita dan Gupala tidak menyahut. Tetapi mereka masih mengangguk-anggukkan kepala mereka. Sementara itu kaki-kaki mereka masih terus melangkah mendekati pusat pertahanan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh.
“Kita harus memilih jalan yang paling aman,” berkata orang tua itu.
“Kita tidak akan melalui jalan ini. Kita akan menyusup ke pategalan yang tidak ditanami itu, supaya kita lepas dari setiap pengawasan.”
Kedua muridnya mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Ketika kemudian gurunya berbelok masuk ke dalam pategalan, maka keduanya mengikutinya pula.
Sementara gelap malam mulai menjamah Tanah Perdikan Menoreh. Semakin lama menjadi semakin gelap. Namun ketiga orang itu masih saja berjalan dengan hati-hati, menyusup gerumbul-gerumbul perdu.
Tiba-tiba langkah mereka terhenti ketika gembala tua itu berhenti sambil mengangkat tangan kanannya.
“Ada apa, Guru?” bertanya Gupala.
“Sst,” desis gurunya, “Kau dengar suara gemeremang itu.”
Kedua muridnya mencoba memasang telinganya. Sebenarnyalah mereka mendengar suara beberapa orang bercakap-cakap.
“Hati-hati,” desis gembala tua itu, “Tunggulah di sini. Tahanlah suara pernafasanmu. Kita belum tahu siapakah mereka ini. Biarlah aku saja yang mendekat. Mungkin Ki Tambak Wedi di antara mereka.”
Kedua muridnya mengangguk-anggukkan kepala mereka sambil berjongkok di belakang segerumbul perdu. Sementara itu guru mereka telah mulai merayap mendekati sumber suara itu.
“Apakah mereka akan lewat di sini?” terdengar seseorang berbicara.
“Ya. Mereka akan mengambil jalan ini. Setiap kali mereka keluar dari sarang mereka, mereka memilih jalan ini, kemudian setelah sarang mereka terkepung, mereka mulai berkeliaran hampir ke segenap sudut Tanah Perdikan Menoreh.”
Gembala tua yang menjadi semakin dekat, menjadi berdebar-debar mendengar suara itu. Suara itu adalah suara Ki Tambak Wedi. Sejenak kemudian, suara itu terdengar lagi,
“Mereka tidak dapat aku temui di tempat lain, karena setiap kali mereka merubah arah. Aku sudah mencari mereka dengan menyilang Tanah ini. Tetapi aku tidak pernah menemui mereka di perjalanan. Kali ini aku tidak sabar lagi. Kita tunggu saja mereka di depan hidung pusat pertahanan mereka. Kita menghadapi dua kemungkinan. Mereka lari masuk kembali ke dalam sarang atau para pengawal yang lain keluar setelah mereka mendapat isyarat dari orang-orang berkuda.”
“Mereka sombong. Mereka adalah pengawal-pengawal terpilih. Mereka sama sekali tidak gentar menghadapi apa  pun juga, sehingga mereka tidak akan mudah menjadi bingung.”
“Tetapi jumlah mereka tidak seberapa. Bukankah Kiai sudah mempersiapkan pasukan yang akan menjebak, apabila pengawal itu nanti keluar dari daerah pertahanan mereka untuk menolong orang-orang berkuda ini, jika mereka sempat memberikan isyarat?”
“Ya, tetapi dengan cara ini aku tidak yakin, apakah aku akan dapat mengetahui, apalagi menangkap orang-orang bercambuk itu. Apakah aku dapat mengetahui, bahwa mereka sebenarnya orang-orang yang dapat disebut orang-orang bercambuk, bukan sekedar permainan yang licik dari Argapati.”
“Kita dapat melihatnya, bahkan lebih baik kalau kita dapat menangkapnya.”
“Itulah yang aku ragukan. Sedang untuk seterusnya kita tidak akan mendapat kesempatan, karena mereka pasti tidak akan meninggalkan sarang mereka itu lagi.”
“Kita harus bekerja sebaik-baiknya. Kita kepung mereka, supaya tidak seorang pun yang dapat lolos. Kita serahkan para pengawal yang akan datang membantu kepada pasukan yang lain, yang bertugas untuk menjebak mereka.”
“Ya, aku memang telah mengatur sebelumnya,” terdengar suara Ki Tambak Wedi berat.
“Mereka harus datang dalam dua rombongan. Yang pertama mendahului yang lain, dan bersiap menjebak orang-orang Menoreh. Mereka harus bersembunyi di tempat yang sebaik-baiknya. Sedang yang lain akan datang menurut gelar yang biasa kita pergunakan. Dengan demikian orang-orang Menoreh tidak akan melihat gelar sandi kita untuk menjebak beberapa bagian dari orang-orang mereka. Seandainya kita gagal mengetahui siapakah orang-orang yang bersenjata cambuk itu, namun setidak-tidaknya kita sudah akan dapat mengurangi sebagian dari kekuatan mereka.”
“Ya, ya. Apa  pun yang akan terjadi, kita akan mendapat keuntungan daripadanya. Bukankah begitu, Kiai?”
“Ya,” jawab Ki Tambak Wedi, lalu,
“bersiaplah. Menurut beberapa petugas sandi, saat-saat beginilah mereka itu lewat. Sebentar lagi, seperti biasa, pasukan kita akan mengepung padukuhan itu. Aku harap mereka yang akan menjebak orang-orang Menoreh telah bersiap pula.”

Dada gembala tua itu menjadi berdebar-debar. Ternyata Ki Tambak Wedi yang tidak berhasil menemukan orang-orang berkuda itu, kini bertekad untuk mencegat mereka di depan sarangnya.
“Mereka harus diberi tahu rencana ini,” gumam orang tua itu di dalam hatinya.
“Kalau tidak, maka benturan ini akan dapat menjadi pepucuk dari perang yang sebenarnya. Sedang agaknya Ki Argapati masih belum siap menghadapi keadaan yang demikian. Apalagi apabila pasukannya terpancing keluar. Maka mereka pasti akan mengalami bencana.”
Orang tua itu  pun segera beringsut surut. Ditemuinya kedua muridnya dan dengan singkat diberitahukannya, apa yang didengarnya dari Ki Tambak Wedi langsung.
“Sampaikan persoalan ini kepada pimpinan pengawal,” desisnya perlahan-lahan kepada Gupita.
Gupita menjadi ragu-ragu sejenak. Kemudian jawabnya,
“Kalau aku kembali seorang diri ke padukuhan itu mungkin aku akan mengalami akibat yang kurang baik, Guru. Wrahasta sangat membenciku tanpa aku ketahui sebab-sebabnya.”
“Tetapi tidak ada orang lain yang dapat menghubunginya,” jawab gurunya.
“Aku, Guru. Aku dapat pergi juga ke padukuhan itu menemui Ki Argapati atau pemimpin pengawal yang lain,” sahut Gupala.
“Ah,” desah gurunya,
“kita belum tahu, apakah sebabnya Wrahasta membenci Gupita. Mungkin ia akan memperlakukan hal serupa itu, dan kau lebih tidak dapat mengendalikan dirimu lagi.”
“Aku akan berusaha, Guru,” jawab Gupala.
Gurunya tidak segera menjawab. Sambil menundukkan kepalanya ia berkata lambat, seolah-olah kepada diri sendiri,
“Pasukan berkuda itu akan dicegat tidak saja oleh Ki Tambak Wedi, tetapi oleh sepasukan pengikut Ki Tambak Wedi itu. Kemudian telah disediakan pasukan yang akan menjebak seandainya para pengawal mengirimkan bantuan apabila orang-orang berkuda yang terlibat dalam perkelahian itu memintanya. Sementara itu pasukan Tambak Wedi yang lain telah merayap mendekati padukuhan ini dengan diam-diam, sebelum mereka muncul seperti apa yang biasa mereka lakukan.” Kemudian dengan tegang ia berkata,
“Pasukan itu pasti akan hancur, Gupita. Mereka hanya akan mendapat kesempatan untuk mundur masuk ke dalam padukuhan. Sepanjang perjalanan mundur itu, korban pasti akan berjatuhan. Sementara pasukan berkuda itu pun tidak akan dapat tertolong lagi. Apalagi apabila induk pasukan mereka terpancing keluar tanpa seorang pemimpin yang pantas untuk melawan Ki Tambak Wedi, Ki Peda Sura, Sidanti, Argajaya, dan yang lain-lain. Maka pasukan Argapati akan tamat sampai malam ini.”
“Kenapa aku tidak pernah mendapat kesempatan, guru?” desak Gupala.
“Bukan begitu, Gupala. Kecuali keberanian, tugas ini memerlukan kesabaran. Nah, kesabaran itulah yang kadang-kadang tidak dapat kau kuasai. Kau, seperti ketika aku muda, mempunyai darah yang agak panas. Kau masih sering tergerak oleh perasaan sebelum kau pertimbangkan masak-masak, sehingga kadang-kadang kau akan terjerumus ke dalam suatu persoalan yang tidak kita kehendaki.”
“Tetapi aku akan selalu ingat, Guru, bahwa aku akan bersabar.”
Gurunya yang tua itu menjadi ragu-ragu sejenak. Karena itu, ia tidak segera mengambil keputusan. Namun waktu yang sejenak itu agaknya telah merubah segala-galanya, karena tiba-tiba orang tua mengangkat wajahnya.
“Terlambat,” desisnya, “Aku mendengar derap kuda di kejauhan.”
“Oh,” hampir saja kedua muridnya itu meloncat bersama seandainya gurunya tidak menahannya.
“Sst, hati-hatilah. Ki Tambak Wedi berada di depan kita.”
“Lalu apakah yang akan kita kerjakan?” bertanya kedua muridnya hampir bersamaan.
“Tak ada jalan lain untuk menyelamatkan mereka. Aku akan menahan orang-orang berkuda itu, dan menyuruh mereka kembali apabila mereka bersedia. Sudah tentu Ki Tambak Wedi melihat aku meskipun aku mengharap, ia tidak segera dapat mengenal. Dengan demikian aku akan memancingnya. Kau coba mengusir orang-orangnya yang tertinggal sampai aku memanggil kalian dengan isyarat. Kalian harus segera meninggalkan mereka dan menghilang, kemudian kembali pulang. Aku akan membayangi Ki Tambak Wedi. Tetapi ingat, jangan memakai cambuk.”
Gupita dan Gupala ternyata tidak sempat bertanya lagi. Sejenak kemudian gurunya telah meloncat dan menghilang di dalam kegelapan tanpa menimbulkan gemerisik pada dedaunan.
“Bagaimana dengan kita?” bertanya Gupala.
“Hati-hati,” jawab Gupita, “di depan kita ada Ki Tambak Wedi. Kita tidak akan dapat mendekatinya seperti Guru.”
Tiba-tiba keduanya diam ketika mereka mendengar suara seseorang dengan lantang, “He, aku dengar derap kuda itu.”
“Kenapa orang itu berteriak-teriak?” bertanya Gupala.
“Mereka tidak menyangka ada seorang  pun yang mendengarnya.”
“Semua bersiap,” terdengar suara yang lain. Kemudian beberapa patah kata yang tidak dapat ditangkap dengan jelas.
“Marilah kita mendekat. Perhatian mereka pasti sudah tercurah kepada derap kuda itu. Tetapi kita harus berhati-hati.”

Keduanya kemudian merangkak dengan sangat hati-hati mendekat ke tepi jalan. Namun kemudian terdengar seseorang berdesis, “Sst, jangan berteriak-teriak lagi. Mereka sudah mendekat. Kalau mereka mendengar atau mengetahui kehadiran kita, mereka akan kembali masuk ke dalam sarang mereka.” Suara itu berhenti, kemudian,
“Nah, kita harus yakin bahwa keterangan petugas-petugas sandi kita benar. Orang-orang berkuda itu adalah mereka. Soalnya, apakah benar di antara mereka ada orang-orang yang bersenjata cambuk. Bukan sembarang cambuk.”
Dada Gupita dan Gupala berdesir. Namun seluruh perhatian orang-orang itu benar-benar telah tercurah kepada derap kuda yang sudah menjadi semakin lama semakin dekat.
“Aku akan menghentikan mereka,” berkata Tambak Wedi.
“Kalian tahu apa yang kalian lakukan. Kepung. Aku ingin menangkap orang bercambuk itu dan meyakinkan apakah aku tidak tertipu selama ini.”
Suasana menjadi hening sejenak. Suara derap kaki-kaki kuda itu  pun menjadi semakin lama semakin jelas dan semakin dekat. Gupita dan Gupala tanpa sesadarnya beringsut semakin dekat. Agaknya perhatian orang-orang yang diintainya benar-benar telah terikat oleh derap kuda yang mendatang itu.
Ternyata bahwa Gupita dan Gupala pun menjadi kehilangan pertimbangan. Mereka merayap semakin dekat lagi, sehingga pada suatu saat ia dapat melihat bayangan orang-orang yang menunggu pasukan berkuda itu. Mereka telah bersiap di balik dedaunan di pinggir jalan, sedang Ki Tambak Wedi sendiri berdiri bertolak pinggang.
Gupala yang semakin bernafsu untuk dapat melihat lebih jelas, terdorong semakin maju, dan bahkan tiba-tiba kakinya menginjak sepotong kayu kering, sehingga menimbulkan suara gemerisik di sela-sela derap kaki-kaki kuda yang semakin dekat.
Gupita cepat-cepat menggamitnya dan memberinya isyarat. Namun agaknya sudah terlambat. Tiba-tiba orang yang bertolak pinggang di pinggir jalan itu berpaling dan bergumam,
“Ada orang lain di belakang kita.”
Dada kedua anak-anak muda itu berdesir. Mereka segera mengerti, bahwa mereka berdualah yang dimaksud. Sejenak mereka saling berpandangan, Namun mata Gupala yang berkilat-kilat seolah-olah berkata,
“Apa boleh buat. Kalau tidak ada pilihan lain, kita akan berkelahi.”
Sementara itu seseorang dari orang-orang Ki Tambak Wedi itu bertanya, “Siapa yang Kiai maksud?”
“Di belakang kita ada orang yang sengaja mengintai kita. Kita tunggu sampai orang-orang berkuda itu datang. Satu atau dua orang bertugas menangkap orang yang bersembunyi itu.”
“Kenapa tidak sekarang.”
“Jangan bikin ribut, supaya orang-orang berkuda itu tidak mengetahui kehadiran kita. Orang-orang itu lebih penting bagiku dari pada petugas-petugas sandi yang mengintai kita itu.”
“Bagaimana kalau ia lari?”
“Aku akan menangkap sendiri.”

Gupita dan Gupala menjadi berdebar-debar. Memang tidak baik untuk melarikan diri. Gelang-gelang besi Ki Tambak Wedi itu akan dapat memecahkan tengkuk mereka. Karena itu, maka yang paling baik adalah mencari tempat yang terlindung oleh pepohonan. “Untuk melawan iblis itu, aku terpaksa mempergunakan cambukku,” berkata Gupala di dalam hatinya. “Terpaksa. Dan bahkan mungkin akan dapat memanggil guru untuk datang.”
Tetapi untuk sesaat Ki Tambak Wedi masih berdiri tegak di tempatnya. Ia tidak mau merusak rencananya, menangkap orang-orang berkuda yang semakin mendekat. Tiba-tiba iblis tua itu berdesis,
“Bersiaplah kalian.”
Orang-oranguya telah menggenggam senjata di tangan masing-masing. Mereka telah siap untuk meloncat dan mengepung orang-orang berkuda itu. Beberapa orang merayap melebar. Sementara Ki Tambak Wedi bergumam,
“Kalau aku menghentikan mereka dan yang lain mengepungnya. Jangan lupa tikus di belakang kita. Dua orang harus menangkapnya.”
Sementara itu, pasukan berkuda yang keluar dari padukuhan yang menjadi pusat pertahanan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh sama sekali tidak menyangka, bahwa di hadapannya telah menunggu seorang iblis yang menggetarkan setiap orang yang mendengar namanya. Karena itu, tanpa prasangka apa  pun mereka berpacu untuk melakukan tugas mereka seperti biasanya. Mereka akan mengelilingi beberapa tempat di Tanah Perdikan Menoreh. Membuat kesan seolah-olah orang-orang bercambuk telah ikut campur dalam persoalan Tanah Perdikan ini dan berdiri di pihak Ki Argapati. Namun tiba-tiba pemimpin mereka, yang berpacu di paling depan terkejut ketika tiba-tiba ia melihat seseorang meloncat di hadapannya sambil mengangkat tangannya.
“Berhenti,” teriak orang itu.
Orang itu benar-benar telah mengejutkan setiap orang di dalam pasukan berkuda itu, sehingga dengan serta-merta mereka menarik kekang kuda mereka, sehingga kuda-kuda itu meringkik berkepanjangan.
“Siapa kau?” bertanya pemimpin pasukan berkuda itu.
“Kalian tidak perlu tahu siapa aku,” jawab orang yang berdiri di tengah jalan itu.
“Kalau kalian ingin selamat dari bencana yang paling mengerikan yang akan terjadi atas pasukan kalian dan seluruh pasukan Menoreh, kembalilah.”
“Apa maksudmu?”
“Besok kau akan tahu, sekarang cepat pergi. Cepat sebelum orang pertama menjadi korban.”
Pemimpin pasukan berkuda itu ragu-ragu. Mereka bukan penakut yang mudah menjadi gemetar karena bertemu dengan lawan yang bagaimana  pun juga. Karena itu, maka mereka bahkan mendesak maju. Seorang anak muda yang berkumis kecil berkata,
“Minggir, atau kau akan terinjak kaki-kaki kuda kami.”
“Aku berkata sebenarnya. Cepat. Waktu terlampau sempit.”
“Jangan mencoba menakut-nakuti kami.”
“Aku tidak menakut-nakuti kalian.”
“Minggir,” sekali lagi pemimpin pasukan itu berkata lantang.
Namun orang yang berdiri di tengah jalan itu tak sempat menjawab. Terdengar beberapa puluh langkah di belakangnya seseorang bertanya,
“He, siapa berdiri di situ?”
“Itulah suara iblis itu,” desis orang yang menghentikan pasukan berkuda itu.
Pemimpin pasukan berkuda itu menjadi semakin ragu-ragu. Dan ia mendengar suara itu pula,
“He siapa yang berada di situ?”
“Cepat,” desis orang yang berdiri di tengah jalan,
“sebentar lagi kalian akan terkepung. Pasukan Sidanti telah bersiap. Jangan terlambat.”
“Kami bukan pengecut,” jawab pemimpin pasukan itu.
“Benar kalian bukan pengecut, tetapi juga bukan pemimpin pasukan yang bodoh. Kau tidak sekedar bertanggung jawab atas jiwamu sendiri, tetapi jiwa seluruh pasukanmu. Kalau mereka mati dengan menggenggam arti bagi perjuangan kalian, kalian adalah pahlawan. Tetapi bukan orang-orang bodoh yang membunuh dirinya tanpa guna.”
Pemimpin pasukan berkuda itu masih saja dicengkam oleh keragu-raguan. Karena itu ia tidak segera dapat mengambil sikap. Bahkan ia tidak mengerti, apakah ia dapat mempercayai kata-kata orang yang belum dikenalnya itu atau tidak.
Sementara itu, Ki Tambak Wedi  pun terkejut bukan kepalang ketika tiba-tiba saja ada orang yang meloncat ke tengah jalan dan merusakkan rencananya. Karena itu maka ia  pun tanpa sesadarnya berteriak-teriak bertanya siapakah orang yang telah berbuat gila itu. Namun orang itu sama sekali tidak menjawab. Dengan demikian, maka dada Ki Tambak Wedi serasa telah terbakar oleh kemarahan yang memuncak. Dengan lantang ia memberikan perintah kepada orang-orangnya,
“Bersiaplah kalian. Kita tidak akan menunggu lagi. Kita akan segera mengepung mereka, selagi mereka belum sempat lari.”
Tetapi Ki Tambak Wedi itu mendengar orang yang berdiri di tengah jalan itu berkata,
“Cepat, pergilah. Kau dengar perintah itu? Perintah untuk mengepung kalian.”
Namun pemimpin pengawal itu sekali lagi berteriak, “Kami bukan pengecut.”
“Kau dapat membuat pertimbangan nanti, apakah tindakan itu suatu tindakan pengecut.”
Yang tidak dapat menahan hatinya adalah Ki Tambak Wedi. Tiba-tiba tangannya bergetar, dan sebuah gelang-gelang besi telah meluncur menyambar bayangan yang berdiri di tengah jalan menghentikan orang-orang berkuda itu.
Tetapi sekali lagi Ki Tambak Wedi terkejut. Ternyata orang yang berdiri di tengah jalan itu mampu meloncat secepat sambaran gelang-gelang besinya. Dengan satu langkah yang cepat gelang-gelang besi Ki Tambak Wedi meluncur secengkang di muka dadanya.
Namun malanglah. Tiba-tiba seekor kuda melengking tinggi. Kemudian terjatuh karena kaki depannya tersentuh gelang-gelang besi Ki Tambak Wedi.
Penunggangnya  pun terlempar dan terguling di tanah. Sementara orang yang menghentikan mereka berkata,
“Lihat, iblis itu sudah mulai. Setiap gelang besi akan mampu membunuh seorang dari kalian, belum lagi pasukannya yang bersembunyi di balik semak-semak. Karena itu, cepat, sebelum terlambat.”

Peristiwa yang terjadi itu agaknya dapat memberikan suatu keyakinan kepada pemimpin pasukan berkuda itu, bahwa sebenarnyalah mereka akan berhadapan dengan Ki Tambak Wedi. Karena itu, maka desakan orang yang menghentikannya itu menjadi pertimbangannya. Ki Tambak Wedi, yang gagal mengenai orang yang membuatnya terlampau marah itu, menjadi heran. Di atas Tanah Perdikan ini, selain Argapati yang terluka, masih juga ada orang yang mampu menghindari serangannya. Sayang, bahwa keremangan malam tidak memberinya kesempatan melihat wajah orang itu dengan jelas dalam jarak yang belum terlampau dekat.
“Mungkin sesuatu kebetulan ia berhasil menghindar,” ia menggeram. Dan berbareng dengan itu, sekali lagi tangannya bergetar. Ia ingin meyakinkan, apakah orang itu benar-benar mampu menghindari serangannya.
“Iblis manakah yang telah mencampuri persoalanku,” Ki Tampak Wedi mengumpat. Sekali lagi ia melihat orang itu meloncat dengan lincahnya menghindari gelang-gelang besinya. Ki Tambak Wedi sama sekali tidak menaruh perhatian ketika seseorang berteriak dan jatuh dari punggung kudanya. Sekali ia menggeliat, kemudian ia tidak bernafas lagi,
“Jangan kau biarkan korban berjatuhan. Cepat, pergi.”
Sementara itu Ki Tambak Wedi berteriak, “Ayo, kepung mereka sekarang!”
Dalam keragu-raguan pemimpin pasukan berkuda itu terkejut ketika tiba-tiba saja kudanya melonjak karena terkejut. Ternyata orang yang berdiri di tengah jalan itu telah melemparnya dengan kerikil. Dengan demikian maka pemimpin pengawal itu tidak dapat berbuat lain, kecuali menarik kekang kudanya dan berputar kembali ke arah pemusatan pasukannya.
“Kita kembali,” perintahnya.
Beberapa orang masih juga ragu-ragu. Tetapi mereka  pun segera memutar kuda masing-masing dan berpacu kembali. Seorang pengawal yang telah kehilangan kudanya meloncat ke punggung kuda seorang kawannya.
Tepat pada saatnya, beberapa orang berlari-lari meloncat parit di pinggir jalan. Diam-diam mereka merayap di dalam pategalan mendekati orang-orang berkuda itu. Tetapi pada saat yang bersamaan, pada saat mereka berada pada jarak yang diperlukan, pasukan berkuda itu telah berputar arah.
Satu dua orang masih sempat menghadang di tengah jalan. Tetapi mereka terpaksa berloncatan menepi ketika kaki-kaki kuda berderap ke arah mereka. Sekali-sekali terdengar ledakan cambuk dari antara orang-orang berkuda itu.
“Setan!” teriak Ki Tambak Wedi. “Kejar mereka!”
Tetapi tidak seorang  pun yang dapat berlari secepat langkah kaki-kaki kuda. Sementara itu orang yang telah menghentikan orang-orang berkuda itu  pun segera meloncati parit yang kering di pinggir jalan dan berlari sekencang-kencangnya menyusup ke dalam pategalan di sisi jalan itu, justru tempat yang baru saja ditinggalkan oleh orang-orang Ki Tambak Wedi yang berloncatan ke tengah jalan.
“Tangkap orang itu,” teriak Ki Tambak Wedi.
Tetapi tidak seorang  pun yang mampu melakukannya. Gerakannya terlampau cepat dan tidak diduga-duga. Ki Tambak Wedi tidak dapat menahan hatinya lagi. Segera ia  pun meloncat dan berusaha mengejar orang yang telah merusakkan rencananya itu. Namun orang yang dikejarnya mendapat kesempatan lebih banyak untuk menghilang. Karena itu, maka dengan mengumpat-umpat tidak habis-habisnya Ki Tambak Wedi berputar di dalam pategalan yang kering itu untuk mencari orang yang telah membuat darahnya mendidih.
“Tidak masuk akal,” berteriak-teriak untuk melepaskan kemarahan yang menyesakkan dadanya. Lalu,
“Ayo, bantu aku mencarinya. Kepung tempat ini rapat-rapat. Jangan sampai ada seekor bilalang yang dapat keluar.”

Ternyata perhatian Ki Tambak Wedi telah tertumpah sepenuhnya kepada orang yang telah merusak rencananya itu. Ia tidak memperhatikan lagi orang-orang berkuda yang menjadi semakin jauh. Ia tidak berusaha untuk melepaskan gelang-gelang besi sebanyak-banyaknya, menyerang orang-orang berkuda yang sedang menarik diri, mundur masuk ke dalam pusat pertahanannya. Sementara itu, dua orang dari pasukan kecil Ki Tambak Wedi itu, seperti yang diperintahkan, berusaha menangkap orang-orang yang mengintai mereka. Dengan pedang terhunus mereka meloncat menyerang, ketika mereka melihat bayangan hitam tersembul di balik pepohonan. Bayangan itu adalah Gupala yang dengan sengaja menampakkan diri, ketika ia mengetahui, bahwa hanya dua orang yang tinggal untuk menangkapnya bersama kakak seperguruannya. Tetapi salah seorang di antaranya terperanjat bukan kepalang. Ia tidak menyangka bahwa orang yang diserangnya itu justru meloncat maju dan langsung menerkam pinggangnya di bawah ayunan senjatanya. Ternyata dorongan terkaman Gupala telah membuat keduanya jatuh berguling-guling. Namun dalam pada itu, sejenak kemudian hanya Gupala sajalah yang bangkit dan berdiri di samping lawannya yang diam terbaring di tanah.
“He, kau apakan orang itu?” desis Gupita.
“Aku tidak sengaja. Tetapi ia terlampau lemah. Mudah-mudahan ia tidak mati.”
Kawannya yang seorang lagi berdiri dengan mulut ternganga. Ia tidak mengerti, bagaimana hal itu dapat terjadi. Sehingga karena itu, untuk sesaat ia berdiri saja dengan pedang di tangan tanpa berbuat sesuatu. Ketika ia menyadari dirinya, maka segera ia merasa, bahwa ia  pun tidak akan dapat berbuat apa-apa melawan kedua bayangan hitam yang telah menegakkan bulu-bulunya.
“Apakah aku telah bertemu dengan bayangan iblis yang paling laknat di bumi Menoreh?” pertanyaan itu telah membuat orang itu menjadi gemetar.
“Lari,” demikianlah keputusan yang diambilnya,
“Biarlah Ki Tambak Wedi menyelesaikan persoalannya dengan iblis-iblis ini.”
Tetapi ketika ia mulai melangkahkan kakinya, tiba-tiba ia telah membentur sesuatu. Ketika ia sempat memandangnya, ternyata yang dibenturnya adalah salah seorang dari kedua bayangan hitam yang menakutkan itu.
“Jangan lari,” bayangan itu berdesis.
Orang itu menjadi semakin menggigil. Dengan membabi buta diayunkannya pedangnya. Tetapi ayunan itu sama sekali tidak menyentuh sesuatu.
“Pergi, pergi kau iblis,” geram orang itu,
“Kita tidak akan pergi. Aku tidak, kau  pun tidak,” desis Gupala.
Sekali lagi orang itu mengayunkan pedangnya. Namun sekali lagi pedangnya menyambar angin.
“Jangan menjadi gila,” desis Gupala pula. “Aku tidak apa-apa. Aku bukan sejenis hantu peminum darah.”
Tetapi orang itu justru menjadi semakin takut. Keringat dinginnya telah mengalir membasahi seluruh tubuhnya.
Sementara itu Gupita menyaksikan semuanya itu dengan dada yang berdebar-debar. Kemudian kepalanya tergeleng lemah sambil berdesis di dalam hatinya,
“Anak bengal itu sukar untuk mengendalikan diri.”
Tetapi Gupita tidak dapat mencegahnya supaya tidak membuat anak itu semakin bernafsu.
Ternyata orang yang menggenggam pedang itu semakin lama menjadi semakin takut karena Gupala belum juga berbuat sesuatu kecuali selalu berdiri di mukanya. Kalau orang itu berusaha beringsut ke samping, Gupala ikut beringsut pula. Apabila orang itu berusaha melangkah ke arah lain Gupala meloncat dan berdiri di depannya sambil menyeringai. Setiap kali orang itu menebaskan pedangnya, Gupala meloncat selangkah surut, namun kemudian ia meloncat kembali ke tempatnya.
Orang itu benar-benar menjadi ketakutan, dan bahkan hampir menjadi kehilangan akal. Matanya nanar memandang keadaan di sekitarnya. Setiap kali ia melihat bayangan yang masih saja berdiri di depannya dengan gemetar. Apalagi kalau ia melihat bayangan yang lain, yang berdiri saja seolah-olah membeku di antara dedaunan.
“Pergi, pergi,” orang itu berdesis.
“He, jangan berteriak,” gumam Gupala seperti kepada anak-anak yang takut melihat ular merambat di kakinya,
“Tenang-tenang sajalah. Aku tidak apa-apa.”
“Pergi, pergi,” suara orang itu menjadi semakin keras.
“Kalau kau berteriak, maka aku akan membungkammu untuk selama-lamanya,” desis Gupala.
Orang itu terdiam sejenak. Tetapi ia selalu bergeser surut apabila Gupala melangkah maju.
Yang tidak sabar kemudian justru Gupita. Ketika Gupala masih saja bermain-main, maka ia pun berkata,
“Marilah, kita akan kehabisan waktu.”
“Kita sudah tidak mempunyai kerja lagi bukan?” jawab Gupala.
“Aku tidak mau kehilangan permainan ini.”

Tetapi tiba-tiba Gupala meloncat menyentuh mulut orang itu, sehingga terdengar sebuah keluhan tertahan. Ternyata orang itu terpaksa mengurungkan niatnya untuk berteriak. Yang dikerjakan adalah mengayun-ayunkan pedangnya seperti orang yang telah benar-benar menjadi gila. Tetapi pedangnya justru menyentuh pepohonan perdu dan mematahkan ranting-rantingnya.
“Iblis,” ia mengumpat. Dan Gupala  pun tertawa, “Dengar,” berkata Gupala,
“yang sebenarnya iblis adalah Ki Tambak Wedi. Kau tahu. Karena kau termasuk salah seorang pengikutnya, maka kau  pun termasuk setan atau gendruwo kecil-kecilan.”
Orang itu tidak segera menjawab karena jantungnya menjadi semakin berdentangan. Yang terdengar kemudian adalah kata-kata Gupita,
“Marilah. Aku sudah jemu.”
“Jadi, aku apakan sebaiknya orang ini, Kakang.”
Gupita tidak segera menjawab. Dipandangimya Gupala dan orang itu berganti-ganti. Gupala yang berdiri dengan garangnya, dan orang yang ketakutan itu meskipun ia berpedang.
Tiba-tiba Gupita menggelengkan kepalanya. Tumbuhlah ibanya kepada orang itu. Ketakutan adalah perasaan yang sangat mengerikan. Ia pernah merasakan, betapa seseorang dikejar-kejar oleh rasa takut. Seorang prajurit akan memilih kematian yang langsung daripada ia harus mengalami ketakutan. Demikian juga agaknya orang itu. Seandainya lehernya langsung dipatahkan, maka itu akan lebih baik baginya.
Tetapi kematian itu pun tidak perlu bagi prajurit Tambak Wedi itu. Karena itu maka katanya
”Gupala, serahkan yang seorang ini kepadaku.”
“He, aku memerlukannya.”
“Kau sudah menyelesaikan yang seorang. Mudah-mudahan ia tidak mati.”
“Akan kau apakan orang yang satu ini.”
“Serahkanlah kepadaku.”
Orang yang memegang pedang itu berdiri termangu-mangu. Dadanya menjadi semakin berdentangan. Apalagi ketika sejenak kemudian ia melihat bayangan yang seorang lagi maju mendekatinya.
“Terserahlah kepadamu,” desis Gupala kemudian.
Gupita tidak menjawab. Ia langsung maju mendekati orang itu sehingga orang itu  pun melangkah surut. Seperti ketika Gupala mengganggunya, maka dengan gila ia memutar pedangnya.
Namun sejenak kemudian, di belakang ayunan pedang orang itu, Gupita meloncat dengan kecepatan yang tidak dimengerti oleh lawannya. Tangan kanannya menangkap pergelangan tangan, sedang tangan kirinya mencengkam tengkuk. Semuanya itu hanya berlangsung beberapa kejapan mata. Kemudian perlahan-lahan Gupita meletakkan orang itu berbaring di tanah dan merampas pedangnya.
“Biarlah ia tidur sampai Ki Tambak Wedi membangunkan-nya.”
Gupala menarik nafas dalam-dalam. Tanpa sesadarnya ia melangkah mendekati yang seorang lagi. Sambil meraba-raba dadanya ia berdesis,
“Orang ini pun belum mati.”
“Marilah kita tinggalkan mereka. Kita segera pulang sebelum kita bertemu dengan Ki Tambak Wedi. Bawalah senjata orang itu. Kita masing-masing mempunyai sebuah pedang.”
“Untuk apa?” bertanya Gupala.
“Mungkin kita memerlukannya. Kalau tidak, kita memerlukan untuk mencari kayu.”
Gupala tidak menjawab. Diambilnya senjata orang yang masih terkapar di tanah itu. Dan sejenak kemudian maka mereka  pun meninggalkan lawan-lawan mereka yang sudah tidak berdaya.


Halaman 1 2 3


<<< Jilid 039                                                                                                       Jilid 041 >>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar