KI TAMBAK WEDI perlahan-lahan memalingkan wajahnya. Dipandanginya muridnya yang berdiri tegang di sampingnya.
“Benarkah
begitu Sidanti?” tiba-tiba Ki Tambak Wedi bertanya.
Sidanti
menjadi heran mendengar pertanyaan itu, maka ia
pun bertanya pula,
“Apakah maksud
Kiai?”
“Apakah benar
bahwa perlakuan prajurit-prajurit Pajang sangat menyakitkan hati?”
“Apakah Guru
tidak merasakan betapa kita harus mengalami penghinaan ini?” jawab Sidanti.
“Kita harus
bersembunyi dan selalu menghindarkan diri? Kita selalu dikejar-kejar seperti
orang-orang buruan?”
“Apakah kita
bukan orang-orang buruan Sidanti?”
Sama sekali
tidak diduganya bahwa Ki Tambak Wedi akan bertanya demikian sehingga sejenak
justru Sidanti terbungkam. Ditatapnya saja wajah gurunya tanpa berkedip untuk
beberapa lama. Terasa sesuatu berdesakan di tenggorokannya, tetapi tidak
sepatah kata pun yang dapat meloncat ke
luar.
“Marilah
bersama-sama kita kenang,” berkata Ki Tambak Wedi.
“Apakah yang
telah pernah terjadi dengan dirimu Sidanti. Semula kau telah mendapat
kesempatan yang baik di dalam lingkungan keprajuritan Pajang seperti yang
diinginkan oleh ayahmu.”
“Lalu aku
terlempar keluar,” potong Sidanti.
“Ya.”
“Aku menyadari
kesalahan itu, tetapi bukankah Guru saat itu tidak mencegah aku, bahkan
seolah-olah membenarkan sikapku.”
“Ya. Karena
itulah aku menjadi ragu-ragu untuk datang kepada ayahmu. Kau dan aku
bersama-sama telah berbuat kesalahan-kesalahan. Kau tidak menjadi seorang anak
yang baik menurut kudangan ayahmu. Sedang aku adalah seorang yang diserahi dan
dipercaya untuk membawamu sesuai dengan jalan yang diingini oleh ayahmu,
Argapati. Tetapi yang terjadi adalah seperti sekarang ini.”
Sidanti
menjadi terdiam pula. Meskipun demikian gelora di dalam dadanya tidak juga
mereda. Apalagi yang dapat dilakukannya, kalau tidak menghadap ayahnya dan
mengatakan segala kesulitannya.
“Aku yakin
ayah akan mengerti,” berkata Sidanti kemudian.
“Ya, aku juga
yakin,” sahut Argajaya.
“Aku adalah
saksi yang dapat memperkuat keterangan-keterangan Sidanti dan
keterangan-keterangan Kiai. Aku akan dapat berkata tentang apa yang aku dengar
dan aku lihat di sini.”
“Tentang Ki
Tambak Wedi yang memberontak terhadap kekuasaan Pajang?” potong Ki Tambak Wedi.
Argajaya
mengerutkan keningnya. Tiba-tiba suaranya menurun rendah,
“Apakah Kiai
menyesal?”
Ki Tambak Wedi
terperanjat pula mendengar pertanyaan itu. Tiba-tiba ia menengadahkan dadanya
sambil berkata,
“Tidak. Aku sama
sekali tidak menyesal. Apa yang terjadi atas diriku dan padepokanku adalah
akibat dari usahaku untuk menangkap keinginan dan cita-cita. Cita-cita tentang
masa depan muridku, pewaris ilmuku, dan masa depan perguruanku. Aku tidak akan
menyesal.”
“Jadi kenapa
Kiai menjadi ragu-ragu,” desak Argajaya.
Ki Tambak Wedi
tidak segera menyahut. Sekali lagi sorot matanya terlontar ke dalam kegelapan
malam. Sejenak ia berdiam diri. Yang terdengar hanyalah desah nafasnya yang
panjang.
Argajaya dan
Sidanti pun sejenak terdiam. Mereka menunggu sikap Ki Tambak Wedi. Ketika
mereka melontarkan pandangan mata mereka ke kejauhan pula, maka mereka melihat
keredipan beribu-ribu kunang-kunang yang hinggap di dedaunan padi yang hijau.
Sejenak mereka
dicengkam oleh kediaman yang tegang. Meskipun udara malam terlampau dingin,
tetapi dada mereka serasa mendidih. Berturut-turut mereka mengalami
kekalahan-kekalahan yang sangat menyakitkan hati. Perhitungan-perhitungan yang
kurang cermat, dan persoalan-persoalan pribadi yang sangat mengganggu.
Kadang-kadang terbersit pula penyesalan di dalam diri Sidanti, bahwa ia telah
membawa Sekar Mirah ke dalam padepokan gurunya, sehingga akibatnya sama sekali
tidak pernah dibayangkannya.
“Alap-alap
itulah yang gila. Sayang aku tidak mendapat kesempatan untuk mencincangnya
sampai lumat,” katanya di dalam hatinya yang pepat.
Dalam pada itu
terdengar Argajaya berkata,
“Sebaiknya
Kiai tidak usah ragu-ragu. Aku tahu benar sifat Kakang Argapati. Ia seorang
yang keras hati. Seorang yang mempunyai harga diri, dan seorang yang disuyuti
oleh reh-rehannya.”
Ki Tambak Wedi
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia bergumam,
“Aku merasa
bahwa aku belum dapat menempatkan Sidanti sewajarnya, apalagi sesuai dengan
keinginan ayahnya.”
“Tetapi itu
tidak dapat ditentukan oleh Kiai dan Sidanti sendiri. Keadaan lingkungan
Sidanti ternyata tidak memungkinkan. Dan ini bukan kesalahan Sidanti.”
Sekali lagi Ki
Tambak Wedi terdiam, ia pun merasakan bahwa kegagalan rencananya sebagian
terletak pada kesalahan muridnya. Ternyata gadis Sangkal Putung itu telah
memecahkan hubungan yang memang kurang baik antara orang-orangnya dengan
orang-orang Jipang. Tetapi ia tidak menumpahkan kesalahan itu kepada muridnya
meskipun pernah juga disinggungnya. Sekali lagi keheningan telah merayapi
suasana. Yang terdengar hanya derik bilalang di kejauhan. Sekali-sekali
terdengar angin semiut menggerakkan dedaunan.
Tiba-tiba Ki
Tambak Wedi itu mengangkat wajahnya. Telinganya yang tajam telah menangkap
sesuatu.
“Derap
beberapa ekor kuda,” desisnya.
Sidanti dan
Argajaya pun segera mendengar derap
kaki-kaki kuda. Semakin lama semakin dekat.
“Apakah
orang-orang itu telah menemukan jejak kita dan mengejarnya kemari?” gumam
Argajaya.
“Tidak
mungkin,” sahut Ki Tambak Wedi.
“Apakah ada
orang lain?”
“Mungkin sekali,”
berkata Ki Tambak Wedi pula.
“Mungkin
mereka adalah peronda-peronda yang lain, yang terlambat datang menyusul
kawan-kawannya.”
“Mari kita
lihat,” geram Sidanti.
“Menjemukan,”
sahut Ki Tambak Wedi.
Tetapi Sidanti
tidak menghiraukannya. Beberapa langkah ia maju dan melihat lepas ke bulak yang
terbentang di hadapan pategalan itu.
“Tiga ekor
kuda,” desisnya.
Ki Tambak Wedi
yang semula tak acuh, kemudian melangkah pula dan berdiri di belakang Sidanti
bersama Argajaya.
“Ya, tiga ekor
kuda. Mereka adalah peronda-peronda yang lain yang menyusul Widura, tetapi
mereka berselisih jalan. Widura mengambil jalan di sebelah Barat, orang-orang
itu mengambil jalan di sebelah Timur.”
“Kita apakan
orang-orang itu, Guru?” bertanya Sidanti.
“Biarkan
saja,” sahut Ki Tambak Wedi.
“Tidak. Aku
ingin berbuat sesuatu untuk mengurangi kepepatan dada ini supaya tidak
meledak.”
“Akan kau
apakan mereka itu?”
“Bunuh.”
Ki Tambak Wedi
tidak menyahut. Dipandanginya saja bayangan yang samar-samar semakin lama
semakin dekat.
“Di simpang
tiga itu, mereka akan berbelok ke Barat seandainya mereka mempunyai perhitungan
yang tepat atas panah-panah sendaren yang tadi dilepaskan oleh orang-orang
Pajang.”
“Mereka harus
dihentikan.”
“Terlambat.
Mereka sudah mendekati simpang tiga itu.”
“Tetapi guru
dapat berbuat sesuatu atas mereka. Guru dapat melepaskan gelang-gelang itu.
Satu saja untuk orang terdepan. Kalau guru segan membunuh kelinci baiklah guru
menjatuhkan kudanya saja. Biarlah mereka itu menjadi urusanku.”
Ki Tambak Wedi
menggeram.
“Cepat, Guru,
mereka sudah menjadi semakin dekat. Apabila mereka telah berbelok ke Barat,
maka mereka akan terlepas.”
“Kau terlampau
cengeng Sidanti. Kau hanya sekedar ingin membunuh.”
“Cepat, guru.”
Ki Tambak Wedi
tidak dapat menolak permintaan muridnya. Memang terasa sekali betapa ia
memanjakan Sidanti. Jauh melampaui sikap seorang guru terhadap muridnya. Hampir
setiap keinginan dan permintaan muridnya dipenuhinya, meskipun kadang-kadang
bertentangan dengan keinginannya sendiri. Karena itu maka Ki Tambak Wedi itu
pun segera mengambil sebuah gelang-gelangnya. Ketika orang-orang berkuda itu
hampir sampai di simpang tiga di pinggir pategalan itu, maka terdengarlah angin
berdesis. Sebuah gelang-gelang telah meluncur dengan kecepatan yang tidak dapat
diikuti dengan mata. Tetapi alangkah terkejut mereka bertiga ketika mereka
melihat bayangan terdepan itu dengan sigapnya memiringkan tubuhnya. Kemudian
memutar kudanya sehingga kuda itu hampir-hampir jatuh terguling. Terdengar
suaranya meringkik keras dan kuda itu sejenak berdiri dengan kedua kaki
belakangnya. Kedua penunggang yang lain hampir-hampir saja tidak berhasil
menguasai kuda-kuda mereka dan hampir saja membentur kuda yang paling depan.
Untunglah mereka pun cukup sigap,
meskipun kuda-kuda itu terdorong beberapa langkah melampaui kuda yang pertama. Ki
Tambak Wedi justru terdiam tegak seperti patung melihat korbannya yang gagal.
Gelang-gelangnya yang terlepas dari tangannya hampir tidak pernah lepas dari
sasaran. Apalagi sekedar prajurit-prajurit peronda. Sedang Widura sendiri pasti
tidak akan mampu menghindarkan diri dari senjatanya itu.
Tetapi kali
ini ia telah gagal mengenai sasarannya.
“Siapa setan
itu?” desisnya.
Ki Tambak
Wedi, Sidanti, dan Argajaya kemudian melihat ketiga penunggang kuda itu
meloncat turun.
“Aku harus
mengenal siapakah mereka itu,” desis Ki Tambak Wedi.
“Ya,” sahut
Sidanti pendek.
Ternyata jarak
mereka masih cukup jauh untuk mengenali wajah seseorang di dalam malam yang
gelap. Meskipun bayangan ketiga orang yang berdiri di tempat terbuka itu menjadi
semakin jelas, tetapi bentuk sesungguhnya masih belum dapat dikenalnya.
“Aku akan
melepaskan satu kali lagi,” berkata Ki Tambak Wedi. “Mudah-mudahan aku segera
dapat mengenalnya.”
Sesaat
kemudian Ki Tambak Wedi pun telah bersiap dengan sebuah gelang-gelang besinya.
Kini ia sengaja berdiri di ujung pategalan untuk dapat dilihat oleh ketiga
orang yang berdiri mematung di simpang tiga. Tetapi Ki Tambak Wedi tidak
menunggu mereka mendekat atau melarikan diri. Sekali lagi terdengar udara malam
seolah-olah menyibak. Sebuah gelang-gelang telah meluncur dengan cepatnya. Kini
tidak mengarah kepada orang yang pertama, tetapi kepada sasaran yang lain.
Namun usaha Ki
Tambak Wedi untuk mengetahui orang-orang yang datang itu ternyata berhasil.
Orang yang pertama, yang mampu menghindari lontaran gelang-gelang itu, ternyata
tidak membiarkan gelang-gelang Ki Tambak Wedi menyambar orang lain. Ketika
gelang-gelang itu meluncur beberapa cengkang daripadanya, mengarah kepada orang
yang berdiri di sampingnya, terdengar ledakan yang keras memecah sepinya malam.
Ledakan sebuah cambuk bertangkai pendek tetapi berjuntai panjang. Cambuk itu
seakan-akan telah mengait gelang-gelang itu, sehingga tiba-tiba saja gelang
yang meluncur itu melenting ke atas, dan jatuh beberapa langkah dari mereka.
“Setan itu
hadir pula,” terdengar Ki Tambak Wedi menggeram.
“Kiai
Gringsing,” desis Sidanti.
“Siapakah
orang itu?” bertanya Argajaya.
“Kiai
Gringsing yang bersama-sama dengan kedua muridnya telah melindungi Sekar Mirah
di padepokan Tambak Wedi. Bukankah Paman telah mengenai pula kedua muridnya
itu. Yang seorang gemuk bernama Swandaru dan yang seorang Agung Sedayu.”
“Oh, anak-anak
gila itu datang pula kemari,” Argajaya
pun menggeram pula.
“Kebetulan
sekali,” desis Sidanti. Kemudian kepada gurunya ia berkata,
“Kita
selesaikan saja mereka, Guru.”
Ki Tambak Wedi
mengerutkan keningnya. Dilihatnya kedua murid Kiai Gringsing sudah mulai
menambatkan kuda-kuda mereka pada batang perdu di tepi jalan, sedang Kiai
Gringsing berdiri tegak melindungi mereka dengan cambuknya di tangan.
“Lihat,” gumam
Ki Tambak Wedi,
“mereka telah
menambatkan kuda-kuda mereka. Sebentar lagi mereka datang ke mari.
Gelang-gelangku tidak kuasa menahan mereka, selama Kiai Gringsing itu masih
saja menggenggam senjatanya yang gila itu.”
“Kita tunggu mereka
di sini,” sahut Sidanti.
“Kita
sama-sama bertiga.”
“Apakah kau
yakin bahwa kau akan dapat membunuh mereka?” bertanya Ki Tambak Wedi.
“Guru justru
memperkecil hati kami.”
“Bukan
maksudku. Tetapi cobalah berpikir dengan otakmu. Jangan diburu-buru oleh nafsu
dan perasaanmu saja. Kau pasti sudah tahu keseimbangan yang bakal terjadi
seandainya kita harus berkelahi. Setidak-tidaknya perkelahian ini tidak akan
berakhir sampai fajar. Sampai orang-orang Sangkal Putung sempat melihat kita dan
mereka pasti akan mengejar kita seperti mengejar tupai. Di siang hari, di
antara Sumangkar dan Kiai Gringsing, Widura, Swandaru, dan Agung Sedayu beserta
pasukannya, kita tidak akan banyak mendapat kesempatan. Baik untuk melakukan
perlawanan maupun kemudian untuk menyingkir.”
Sidanti tidak
menjawab, tetapi terdengar ia menggeram.
“Apakah kau
dapat mengerti?” bertanya gurunya.
Betapa
beratnya, namun Sidanti itu menjawab, “Ya, Guru.”
“Nah, kalau
begitu kita tidak boleh berbuat sebodoh itu. Kita mempunyai nalar dan
perhitungan. Apakah kau mengerti?”
Sekali lagi
Sidanti menjawab,
“Ya, Guru.”
Meskipun Ki
Tambak Wedi tidak mengatakan, tetapi jelas bagi Sidanti dan Argajaya, bahwa Ki
Tambak Wedi ingin menghindari perkelahian dengan ketiga orang itu. Perkelahian
yang sama sekali tidak menguntungkan dipandang dari segala segi.
“Nah, marilah.
Sebelum mereka semakin dekat. Kita menghilang ke dalam pategalan.”
Betapa sakit
hati Sidanti, seolah-olah keadaan yang ditemuinya di saat-saat terakhir sengaja
menghinanya, merendahkannya dan membuat dadanya pedih. Berturut-turut ia
mengalami kegagalan. Bahkan kegagalan yang mutlak. Di saat terakhir, ketika ia
ingin melepaskan himpitan perasaannya yang menyesak, malahan dijumpainya Kiai
Gringsing, Agung Sedayu, dan Swandaru, yang justru membuat luka di hatinya
semakin parah.
Tetapi ia
tidak dapat berbuat lain. Diikutinya saja gurunya yang menyusup ke dalam
rimbunnya tanaman pategalan. Meskipun kadang-kadang kulitnya tergores dari duri
pelepah salak dan kadang-kadang duri daun nanas, tetapi sama sekali tidak
dihiraukannya.
Dengan nada
yang berat ia bertanya,
“Ke mana lagi
kita akan pergi, Guru?”
Ki Tambak Wedi
tidak segera menjawab. Ia berjalan saja dengan tergesa-gesa menyusup di antara
rimbunnya dedaunan tanpa menghiraukan pertanyaan muridnya.
Sikap Ki
Tambak Wedi itu mengherankan Sidanti dan Argajaya. Seorang yang selama ini
tidak mengenal gentar dan takut, tiba-tiba meninggalkan lawan yang telah
berdiri di hadapan hidungnya dalam keadaan yang seimbang. Bahkan seolah-olah
seperti seseorang yang sedang ketakutan dikejar hantu.
Meskipun Ki
Tambak Wedi sudah mengatakan alasan-alasannya, namun masih juga terasa, betapa
pahitnya keadaan yang disuapkan ke mulut mereka tanpa dapat memuntahkannya.
Lari dengan tergesa-gesa meninggalkan lawan. Tetapi baik Sidanti maupun
Argajaya sudah tidak bernafsu lagi untuk bertanya. Diikutinya saja kemana Ki
Tambak Wedi itu pergi. Semakin lama semakin dalam tenggelam masuk ke jantung
pategalan yang gelap dan rimbun itu.
Sementara itu
Ki Tanu Metir dan kedua muridnya masih saja berdiri di hadapan ujung pategalan.
Orang tua itu cukup berhati-hati. Ia tahu benar bahwa yang melepaskan
gelang-gelang besi itu pasti Ki Tambak Wedi. Tidak ada orang lain yang mampu
melontarkan senjata serupa itu dengan kekuatan yang luar biasa.
“Kenapa kita
tidak segera mendekat?” bertanya Swandaru.
“Jangan,
Ngger,” berkata Ki Tanu Metir, “kita harus berhati-hati.”
“Apakah kita
akan menunggu mereka mendatangi kita?”
“Apabila
mungkin.”
Swandaru
mengerutkan keningnya. Hampir tidak sabar ia menunggu terlampau lama. Ingin ia
segera meloncat dan menerkam Sidanti atau pamannya, Argajaya. Tetapi gurunya
masih juga berdiri mematung dengan cambuk di tangannya. Ketika sejenak kemudian
gurunya masih juga belum beranjak maka terdengar Agung Sedayu bertanya pula,
“Apakah yang
harus kita tunggu, Guru? Mereka agaknya tidak akan maju lagi. Mereka juga
menunggu kita.”
“Aku bercuriga,”
desis Ki Tanu Metir,
“Ki Tambak
Wedi yang semula telah berdiri di tempat yang agak terbuka, tiba-tiba lenyap di
dalam gelapnya bayang-bayang pategalan. Aku sangka, bahwa mereka sengaja
memancing kita. Tetapi ingat, setiap saat gelang-gelangnya itu dapat menyambar.
Mungkin aku, mungkin Angger Agung Sedayu dan mungkin Angger Swandaru. Kalau ia
ingin bertempur dengan jantan, maka Ki Tambak Wedi tidak akan menghilang.
Tetapi ia justru akan maju bersama murid-muridnya.”
Agung Sedayu
dan Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Gurunya akan mampu menghindar atau
menangkis serangan Ki Tambak Wedi itu. Tetapi bagaimana dengan kedua mereka
itu? Sekali dua kali Ki Tanu Metir dapat membantu mereka, tetapi seandainya
serangan itu datang beruntun dengan sasaran yang berbeda, maka keadaannya akan
menjadi sulit. Mungkin pada suatu saat, gurunya akan menjadi terlampau sibuk
dan tidak berhasil menyelamatkan salah satu dari ketiga sasaran itu. Karena itu
maka baik Agung Sedayu maupun Swandaru tidak bertanya lagi. Mereka dapat
mengerti sepenuhnya, kenapa gurunya menjadi terlampau hati-hati, bukan untuk
kepentingan Ki Tanu Metir sendiri, tetapi justru untuk kepentingan kedua
muridnya itu. Tetapi setelah beberapa lama mereka berdiri mematung, mereka
masih belum melihat seorang pun yang
mendekati mereka. Bahkan di antara gelapnya bayangan rumpun salak dari
pohon-pohon buah-buahan di pategalan itu, mereka sama sekali tidak melihat
gerak apa pun. Mati. Dalam keheningan malam terdengar suara Ki Tanu Metir
perlahan-lahan,
“Aku tidak
melihat gerak sama sekali.”
“Ya,” sahut
Agung Sedayu.
“Aku kira
mereka bersembunyi di balik dedaunan,” desis Ki Tanu Metir.
“Atau
melarikan diri,” sambung Swandaru.
Ki Tanu Metir
tidak menjawab, tetapi kemungkinan itu memang dapat terjadi. Mungkin Ki Tambak
Wedi melihat, bahwa mereka tidak akan dapat berbuat banyak terhadap mereka
bertiga, sehingga tidak ada gunanya lagi untuk melawan.
“Tetapi mereka
sengaja mencegat kita,” berkata Agung Sedayu kemudian.
“Mungkin
mereka belum mengetahui, siapakah kita. Mungkin mereka menyangka bahwa kita
adalah prajurit-prajurit peronda saja, sehingga mereka mencoba membunuh. Tetapi
setelah mereka mengetahui siapakah kita bertiga, maka niat itu diurungkannya,”
jawab Ki Tanu Metir.
“Bukan sekedar
diurungkannya,” sahut Swandaru,
“tetapi mereka
merasa bahwa niat itu tidak akan dapat dilakukan. Daripada mereka justru
tertangkap atau mati di pategalan ini, maka lebih baik bagi mereka untuk
melarikan diri.”
Ki Tanu Metir
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sebenarnyalah demikian. Tetapi orang tua itu
tidak mengatakannya.
“Lalu,
sekarang bagaimana?” desis Agung Sedayu.
“Kita kejar,”
sahut Swandaru.
“Sangat
berbahaya bagi kalian. Ki Tambak Wedi sangat licik dan curang. Ia menyerang
dari jarak jauh dengan tiba-tiba. Mungkin dari balik gerumbul, mungkin dari
atas dahan pohon buah-buahan yang cukup besar,” potong Ki Tanu Metir.
“Lalu apakah
yang akan kita kerjakan?” bertanya Swandaru kepada gurunya.
“Tunggu
sebentar. Mungkin ada perkembangan baru.”
“Kalau tidak?”
desak anak yang gemuk itu.
“Kita terpaksa
harus sangat berhati-hati. Kita tidak dapat berbuat dengan tergesa-gesa.”
“Jadi kita
biarkan mereka melarikan diri?”
Ki Tanu Metir
tidak segera menjawab. Ditatapnya pategalan yang berwarna kelam itu,
seolah-olah ingin dilihatnya segenap isi yang ada di dalamnya. Ingin dilihatnya
tiga orang yang sedang mengendap-endap menyembunyikan dirinya, tetapi siap untuk
menyerang dengan licik dan curang.
“Bagaimana,
Guru?” bertanya Swandaru.
Ki Tanu Metir
menarik nafas dalam-dalam. Ia dapat merasakan betapa dendam membara di dada
muridnya itu. Sidanti telah pernah membuat keluarganya pening karena hilangnya
Sekar Mirah. Hampir-hampir ibunya menjadi putus asa dan ayahnya kehilangan
akal. Tetapi orang tua itu tidak dapat membiarkan muridnya diseret oleh arus
perasaannya sehingga menghilangkan sendi-sendi perhitungan yang wajar.
Tiba-tiba Ki
Tanu Metir itu bergumam,
“Kalau saja
pamanmu Sumangkar hadir di sini.”
“Kenapa?”
“Kami akan
dapat menangkap iblis itu. Bahaya yang kami hadapi tidak akan begitu
mengkhawatirkan.”
“Tetapi paman
Sumangkar tidak hadir di sini.”
“Aku heran,
kenapa mereka tidak berada di sini. Juga Angger Widura tidak ada di sini.”
Orang tua itu berhenti sejenak, lalu diteruskannya,
“Mungkin
mereka berada di ujung pategalan yang lain. Suara panah sendaren yang kita
dengar tidak berasal dari sini, tetapi berasal dari ujung pategalan yang lain.”
“Apakah mereka
berada di sana?” bertanya Agung Sedayu.
“Mungkin.”
“Licik,” desis
Swandaru.
“Agaknya
ketiga orang itu telah menghindar pula dari tempatnya semula.”
Ki Tanu Metir
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia berkata,
“Sangat
berbahaya untuk mendekati pategalan itu. Justru karena Ki Tambak Wedi yang
licik dan memiliki kecakapan membidik. Kelak, kalau Angger Agung Sedayu dapat
memanfaatkan kecakapannya, maka aku kira kau tidak akan kalah dari Ki Tambak
Wedi. Swandaru berpaling ke arah saudara seperguruannya. Sekilas diingatnya
saat-saat Agung Sedayu menunjukkan kecakapan memanah di muka banjar kademangan.
Namun tiba-tiba terdengar anak yang gemuk itu berdesis,
“Tetapi Ki
Tambak Wedi tidak mempergunakan anak panah dan busur.”
“Angger Agung
Sedayu pun mampu berbuat seperti itu,”
sahut Ki Tanu Metir,
“tetapi angger
Agung Sedayu masih harus melatih mempergunakan segenap tenaga cadangan yang ada
di dalam dirinya, supaya kekuatan lemparannya menjadi semakin besar. Apabila
latihan itu sudah mendekati kesempurnaannya kelak, maka ia tidak akan kalah
dari Ki Tambak Wedi. Angger Agung Sedayu dapat melempar dan mengenai batu yang
sedang dilontarkan di udara. Apalagi mengenai tubuh sebesar tubuh-tubuh kita
ini.”
Swandaru
mengangguk-angguk-anggukkan kepalanya. Ia percaya pada keterangan itu. Memang,
Agung Sedayu mempunyai kecakapan membidik yang luar biasa. Namun tiba-tiba tersentak
Swandaru itu bertanya,
“Bagaimana
dengan Ki Tambak Wedi?”
Sekali lagi Ki
Tanu Metir menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya lambat,
“Terpaksa,
Ngger.”
“Terpaksa kita
lepaskan?”
Ki Tanu Metir
menganggukkan kepalanya.
“Bagaimana
mungkin Kiai,” sahut Swandaru.
“Kita sudah
berdiri berhadapan. Kita akan mendapat kesempatan yang baik. Di saat-saat yang
lain kita belum pasti akan menemukan kesempatan yang serupa ini, atau bahkan
karena kelicikannya kita akan dapat ditelannya.”
“Berbahaya,
Ngger, berbahaya bagimu dan bagi Angger Agung Sedayu. Kalau aku yakin mampu
melindungi kalian dari gelang-gelang besi itu, maka aku tidak akan
berkeberatan. Tetapi bagaimana kalau aku gagal? Apakah aku harus mengorbankan
murid-muridku? Di dalam pategalan itu akan terasa lebih gelap lagi daripada di
tempat yang terbuka. Mata Ki Tambak Wedi adalah mata yang sangat tajam, setajam
hidung serigala.”
Swandaru tidak
menjawab, tetapi terdengar ia menggeram. Bukan saja Swandaru Geni, tetapi juga
Agung Sedayu menjadi sangat kecewa. Tetapi mereka dapat mengerti alasan
gurunya. Alasan keselamatan, justru keselamatan mereka sendiri. Sejenak mereka
berdiri diam sambil memandangi pategalan yang kelam itu. Sejenak mereka
membiarkan diri mereka disapu oleh angin malam yang dingin. Lamat-lamat
terdengar cengkerik dan bilalang berderik bersahut-sahutan.
“Kita tidak
dapat berdiri saja di sini semalam suntuk,” berkata Ki Tanu Metir kemudian.
Swandaru dan
Agung Sedayu serentak berpaling ke arah gurunya. Mereka seakan-akan baru saja
terbangun dari tidur mereka yang dibayangi oleh mimpi yang mengecewakan.
“Kita teruskan
perjalanan. Mungkin kita bertemu dengan pamanmu Sumangkar dan Angger Widura.”
Ki Tanu Metir
tidak menunggu jawaban kedua muridnya. Perlahan-lahan ia melangkah mendekati
kudanya, diikuti oleh murid-muridnya.
“Marilah,”
berkata orang tua itu sambil meloncat keatas punggung kudanya.
“Kalian berada
di depan. Kita akan berbelok ke barat. Kalau Tambak Wedi itu masih ada di sudut
pategalan itu, ia akan melempar punggung kita. Biarlah aku yang berada di
paling belakang.”
Kedua muridnya
itu pun segera meloncat ke punggung kuda masing-masing. Sejenak kemudian mereka
telah menghadap ke Barat. Mereka akan segera memacu kuda mereka menyusur jalan
yang membujur tidak jauh dari pategalan itu. Tetapi jarak antara pategalan dan
jalan itu menjadi semakin lama semakin jauh. Sehingga lemparan Ki Tambak Wedi
sudah tidak akan terlampau berbahaya lagi, seandainya ia masih juga ingin
menyerang sambil bersembunyi di pategalan itu. Sejenak kemudian suara kaki-kaki
kuda itu telah membelah sepi malam. Berderap melepaskan debu yang putih. Angin
yang silir terasa menyusup kulit. Dingin. Namun panas di dalam dada mereka
telah menghangatkan seluruh tubuh. Mereka tidak memerlukan waktu yang lama
untuk sampai ke ujung pategalan yang lain. Tetapi mereka sama sekali tidak
menemukan seorang pun di sana. Meskipun demikian orang tua itu bergumam,
“Di sini aku
melihat bekas pertempuran.”
Agung Sedayu
dan Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka melihat batang-batang padi
yang terinjak kaki-kaki kuda. Mereka melihat rerumputan yang bosah-baseh.
“Agaknya
terjadi perkelahian kecil di sini,” desis Ki Tanu Metir,
“tetapi tidak
terlalu lama. Entahlah, mungkin terjadi juga perkelahian di dalam pagar
pategalan itu.”
Kedua muridnya
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Lalu
bagaimana dengan kita?” bertanya Agung Sedayu.
“Menurut
perhitunganku, Angger Widura dan Adi Sumangkar telah sampai ke tempat ini, dan
Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya melarikan diri, justru ke arah Timur.”
“Ya, arah yang
terlindung,” sahut Swandaru.
“Tak ada
pekerjaan lain,” gumam Ki Tanu Metir, “kita akan kembali ke kademangan.”
Kedua muridnya
tidak segera menyahut.
“Mungkin kita
akan dapat mendengar beberapa persoalan yang terjadi di sini,” berkata Ki Tanu
Metir pula.
Kedua
muridnya pun mengangguk-anggukkan kepala
mereka. Terdengar Agung Sedayu berdesis, “Marilah, Guru.”
Mereka bertiga
segera meninggalkan tempat itu. Mereka mencoba untuk mengikuti jejak kaki-kaki
kuda yang terdahulu. Mereka menyangka, bahwa jejak itu adalah jejak kaki-kaki
kuda Widura dan beberapa orang prajurit pilihan, mungkin bersama Sumangkar
pula. Tetapi malam masih gelap, sehingga mereka akhirnya tidak telaten lagi
memperhatikan jejak-jejak kuda itu.
“Kita cari
jalan memintas. Kita akan sampai juga ke kademangan.” gumam Ki Tanu Metir.
“Jalan inilah
yang terdekat Kiai,” sahut Swandaru.
“Oh.”
Dan kuda itu
berderap terus. Tetapi kini menjadi semakin cepat. Mereka tidak menghiraukan
lagi, apakah jejak-jejak kaki kuda-kuda yang terdahulu itu menempuh jalan lain.
Di sela-sela derap kaki-kaki kuda itu terdengar suara Ki Tanu Metir,
“Sayang kita
terlambat. Seandainya kita datang sebelum perkelahian itu berakhir, maka kita
akan dapat membantu mereka. Bahkan mungkin kita akan sempat menangkap Ki Tambak
Wedi.”
Kedua muridnya
tidak menyahut, tetapi penyesalan yang serupa merayapi dada mereka pula. Namun
semuanya telah terlanjur terjadi. Ki Tambak Wedi ternyata masih sempat
melarikan dirinya. Dan petualangannya ternyata masih akan berkepanjangan.
Sementara itu
Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya telah semakin dalam terbenam ke dalam
pategalan yang rimbun itu. Beberapa saat kemudian, ketika mereka yakin bahwa Ki
Tanu Metir dan murid-muridnya sudah tidak mengejarnya lagi, mereka pun segera berhenti. Meskipun mereka sama
sekali tidak menjadi lelah karena perjalanan yang tidak menyenangkan itu, namun
nafas mereka pun menjadi terengah-engah.
Berbagai perasaan yang bergolak dalam dada merekalah yang menyebabkan nafas
mereka terasa menjadi sesak. Ki Tambak Wedi berdiri tegak dengan wajah yang
berkerut-merut. Di dalam dadanya bergolaklah berbagai macam persoalan.
Persoalan yang sedang dihadapinya kini, melepaskan diri dari orang-orang yang
sangat dibencinya, Ki Tanu Metir dan Sumangkar, dan persoalan Sidanti dan
Argajaya. Mereka tidak dapat membiarkan diri mereka hanyut dalam arus
ketidak-tentuan dan kembara seperti dirinya sendiri. Kedua orang itu merasa mempunyai
daerah yang cukup mapan Menoreh. Tetapi setiap kali Ki Tambak Wedi mengenangkan
daerah itu, hatinya menjadi berdebar-debar. Apakah ia akan bersedia mengikuti
keinginan Sidanti dan Argajaya untuk kembali ke Menoreh dalam keadaannya itu?
Ki Tambak Wedi
itu terkejut ketika ia mendengar Sidanti bertanya,
“Bagaimana,
Guru? Kita sudah terlampau lama bergelandangan tidak menentu. Keadaan kita
sudah tidak lebih baik dari seorang pengemis atau seorang pencuri ayam.
Pakaianku sudah tidak mapan lagi dan noda-noda darah ini masih belum bersih
benar. Sobek-sobek oleh goresan pedang dan duri. Apakah kita masih akan
memperpanjang masa-masa penyiksaan ini? Sedang aku masih mempunyai teman yang
cukup baik untuk berlindung, bahkan untuk pancadan lebih lanjut?”
Ki Tambak Wedi
dapat mengerti perasaan muridnya. Ia adalah anak yang manja, yang telah
terbiasa hidup dalam keadaan yang baik. Meskipun ada juga darah petualangan
yang mengalir di dalam dirinya, namun selama ia masih merasa ada daerah yang
lebih baik bagi dirinya, maka tidak dapat disalahkannya apabila ia ingin untuk
kembali. Tetapi bukan saja karena itu, bukan saja karena Sidanti tidak tahan
lagi mengalami keadaannya kini. Namun lebih daripada itu ia merasa bahwa ia
akan mampu menyusun kekuatan untuk menebus segala kekalahan yang pernah
dideritanya. Kekalahan yang paling pahit dalam umurnya yang masih cukup muda
itu. Ia telah kehilangan segalanya yang dicita-citakannya. Kedudukan dan
seorang gadis, Sekar Mirah.
“Bagaimana,
Guru,” desak Sidanti.
Ki Tambak Wedi
menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ternyata ia tidak dapat berbuat lain,
Betapapun beratnya. Berat sekali, dan tidak seorang pun yang dapat ikut merasakan, betapa hatinya
tersiksa karenanya. Namun Ki Tambak Wedi masih belum segera menjawab. Dicobanya
untuk menenangkan hatinya yang sedang bergelora. Gelora yang seolah-olah
menghantam dinding-dinding jantungnya dari segala arah. Kekalahan yang
dideritanya, dan Bukit Menoreh yang mendebarkan.
“Apakah ada
pilihan lain yang lebih baik, Guru?” bertanya Sidanti hampir tidak sabar.
Ki Tambak Wedi
menggelengkan kepalanya. Desisnya,
“Tidak
Sidanti. Aku tidak mempunyai pilihan lain. Padepokanku sendiri telah hancur
menjadi debu. Aku sudah tidak mempunyai landasan lain yang dapat aku pergunakan
untuk memulai setiap usaha yang akan dapat bermantaat bagimu.”
“Kalau
demikian, maka tidak akan ada jalan lain kecuali kembali ke Menoreh,” potong
Argajaya.
Dengan
ragu-ragu Ki Tambak Wedi menganggukkan kepalanya.
“Tidak ada
jalan lain.”
“Tetapi, Guru
masih ragu-ragu,” berkata Sidanti.
“Memang tidak
ada jalan lain,” gumam Ki Tambak Wedi seolah-olah kepada diri sendiri.
“Betapa
sulitnya jalan itu, tetapi harus aku tempuh. Mudah-mudahan semuanya dapat
berjalan dengan baik tanpa ada hambatan.”
Sidanti dan
Argajaya menjadi heran. Mereka merasakan sesuatu yang tidak wajar pada Ki
Tambak Wedi. Tetapi mereka akhirnya mengambil kesimpulan bahwa Ki Tambak Wedi
sedang menyesali kegagalannya. Ia merasa bersalah terhadap Ki Argapati, Kepala
Tanah Perdikan Menoreh, bahwa ia tidak berhasil dengan Sidanti sesuai dengan
keinginannya.
“Guru tidak
usah merisaukan aku,” berkata Sidanti kemudian.
“Ayah harus
tahu apa yang terjadi. Ayah tidak akan dapat berbuat lain. Aku adalah
satu-satunya putera laki-laki. Dan aku adalah seorang yang kelak akan mengganti
kedudukannya.”
Tiba-tiba Ki
Tambak Wedi berpaling, seakan-akan disembunyikannya wajahnya di dalam
kegelapan. Terdengar sebuah keluhan yang panjang meluncur dari hidung orang tua
itu.
“Aku menjadi
saksi,” berkata Argajaya.
“Aku dapat
menjelaskan apa yang terjadi.”
Ki Tambak Wedi
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi kini ia tidak lagi berdiri menghadap
kepada Sidanti dan Argajaya. Pandangan matanya seakan-akan dilemparkannya
jauh-jauh ke dalam kelamnya malam.
“Kegagalan ini
tidak akan dapat aku lupakan,” keluh orang tua itu. Dan tiba-tiba seperti orang
yang menyesal sekali ia bergumam,
“Perempuan
keparat itu adalah sumber dari kehancuran kita Sidanti. Apakah kata ayahmu
tentang kelakuanmu itu nanti. Tentang usahamu melarikan seorang gadis?”
Sebuah
dentangan yang keras menghantam jantung Sidanti. Ia tidak menyangka bahwa suatu
ketika keluhan itu akan keluar dari mulut gurunya, meskipun gurunya
membenarkannya ketika Sidanti menyatakannya. Bahkan gurunya mengijinkannya
ketika ia mengambil sikap itu. Ketika ia mengambil Sekar Mirah dari Sangkal
Putung.
“Kiai,”
terdengar suara Argajaya dalam anda yang berat,
“Kakang
Argapati tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di Tambak Wedi. Ia tidak tahu
bahwa kekalahan Sidanti di Tambak Wedi bersumber pada perempuan celaka itu.”
Ki Tambak Wedi
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak yakin akan hal itu. Katanya
perlahan,
“Mudah-mudahan.
Mudah-mudahan Argapati tidak tahu. Mudah-mudahan ia tidak mendengar berita apa
yang sebenarnya telah terjadi. Tetapi Argapati bukan anak-anak. Ia adalah
seorang yang dapat disejajarkan dengan Ki Gede Pemanahan, Kiai Gringsing,
Sumangkar, Ki Patih Mantahun, dan beberapa pemimpin Pajang yang lain.”
“Tetapi Guru
tidak menyebut Ki Tambak Wedi.”
Ki Tambak Wedi
tidak segera menyahut. Pandangan matanya masih tersangkut pada kegelapan malam.
Sekali ia melangkah maju, tidak dirasakannya ketika kakinya menginjak duri daun
nanas di bawah telapak kakinya.
Namun akhirnya
ia berkata,
“Baiklah,
Sidanti. Tidak ada jalan lain. Marilah kita pergi ke Menoreh. Kita melintas
Hutan Mentaok dan kau akan masuk ke tanah perdikanmu sebagai seorang anak yang
pulang kepada ayahnya. Seorang anak yang polah, dan aku mengharap bahwa
Argapati akan menjadi seorang ayah yang pradah.”
Sikap Ki
Tambak Wedi benar-benar mengherankan Sidanti dan Argajaya. Tanpa menunggu
jawaban apapun, Ki Tambak Wedi segera melangkahkan kakinya, menembus
semak-semak dan tetumbuhan yang rimbun di pategalan itu. Sidanti dan
Argajaya pun segera mengikutinya.
Sejenak mereka berjalan terloncat-loncat. Keduanya sama sekali tidak segera
dapat bertanya sesuatu oleh kekaburan sikap Ki Tambak Wedi itu. Tersuruk-suruk
mereka menerobos pohon-pohon buah-buahan yang rendah dan kemudian meloncati
batang-batang tales dan ubi panjang. Disasaknya batang-batang nyidra dan garul
sehingga berserakan terinjak oleh kaki-kaki mereka. Mereka sama sekali tidak
berusaha untuk menyembunyikan jejak-jejak mereka. Sekali terbersit pula ingatan
di kepala Sidanti untuk menghindari kemungkinan, orang-orang Pajang akan
mengikuti jejaknya. Tetapi segera teringat olehnya, bahwa kali ini akan
menempuh sebuah perjalanan yang jauh. Melintasi beberapa kademangan, kemudian
Alas Tambak Baya, Mentaok dan beberapa pedukuhan kecil.
“Menoreh,”
Sidanti berdesis di dalam hatinya,
“tanah yang
telah cukup lama aku tinggalkan untuk merantau. Ketika aku tinggalkan tanah itu
aku telah dibekali oleh ayah dengan cita-cita. Tetapi di rantau aku telah
menemui kegagalan. Apakah ayah akan berdiam diri dan berpangku tangan melihat
kegagalan ini? Bukan sekedar kegagalan, tetapi harga diriku telah
terinjak-injak pula di Sangkal Putung dan di Tambak Wedi.”
Terdengar anak
muda itu menggeram. Dikepalkannya tinjunya seolah-olah hendak diremasnya leher
lawan-lawannya. Namun yang tergenggam olehnya hanyalah sehelai daun yang kuning
yang direnggutkannya dari sebatang pohon perdu. Yang terdengar kemudian adalah
langkah-langkah mereka gemerisik menyentuh dedaunan. Kemudian di kejauhan
terdengar suara kokok ayam jantan bersahut-sahutan. Ketika mereka bertiga, Ki
Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya menengadahkan kepala mereka, maka tampaklah
seolah-olah langit di ujung Timur sedang terbakar.
“Fajar,” desis
Ki Tambak Wedi.
“Ya,” hampir
berbareng Sidanti dan Argajaya menyahut.
“Apabila pagi
menjadi semakin terang, maka kita harus sudah menjauhi induk kademangan.
Mungkin kita harus bersembunyi, atau berjalan di pategalan supaya tidak
menumbuhkan kecurigaan orang,” berkata Ki Tambak Wedi kemudian.
Sidanti dan
Argajaya menganggukkan kepala mereka. Tiba-tiba saja kini mereka merasa sebagai
orang-orang buruan yang harus meninggalkan tempatnya dengan penuh ketakutan dan
kecemasan. Dengan demikian maka Sidanti merasa dirinya semakin parah. Hatinya
menjadi semakin sakit. Langkah mereka bertiga semakin lama menjadi semakin
cepat. Sejenak kemudian mereka telah menyusur pematang memotong jalan. Ketika
fajar menjadi semakin terang, maka mereka telah memasuki sebuah pedesaan kecil.
“Aku
memerlukan ganti pakaian,” desis Sidanti tiba-tiba.
“Noda-noda darah
yang kehitam-hitaman pada pakaianku akan menimbulkan kecurigaan.”
Gurunya
menganggukkan kepalanya. Pakaian mereka benar-benar telah menjadi lusuh dan
kotor. Mereka tak ubahnya sebagai perantau miskin yang tidak sempat berganti
dan mencuci pakaian yang hanya melekat di tubuh mereka itu saja. Kotor dan
buram.
“Hanya bajumu
yang perlu diganti,” sahut gurunya.
“Aku tidak
tahan. Pakaianku telah berbau seluruhnya,” jawab Sidanti.
“Suatu
penyamaran yang baik. Tidak seorang pun
akan memperhatikan kita.”
“Ya,”
tiba-tiba Argajaya menyambung,
“kita tidak
akan segera diperhatikan orang. Orang-orang yang berjumpa dengan kita pasti
akan menyangka bahwa kita adalah perantau-perantau yang sedang mencari sesuap
nasi pada daerah baru yang masih harus dicari.”
Sidanti mengerutkan
keningnya. Lalu katanya, “Baiklah, aku akan mencari ganti baju.”
Ternyata
Sidanti tidak terlampau susah untuk mendapatkan baju. Dimasukinya saja sebuah
rumah yang dilewatinya. Langsung dimintanya sepotong baju untuknya. Ketika
orang yang mempunyai rumah itu menyatakan keberatannya, maka dalam waktu
sekejap tangannya telah terpilin dan lehernya menjadi terlampau sakit karena
terkaman jari-jari Sidanti. Perjalanan mereka selanjutnya adalah perjalanan
tiga orang perantau miskin yang berpakaian kusut dan kumal. Mereka berjalan
menyusur jalan-jalan yang sepi, sejauh mungkin bertemu dengan seseorang.
Meskipun orang-orang itu tidak akan dapat mengenal mereka, tetapi setiap
tatapan mata seolah-olah melontarkan ejekan yang sangat menyakitkan hati. Sehingga
setiap kali, setiap mereka bertemu dengan seseorang yang memandangi wajah-wajah
mereka dengan heran, Sidanti selalu saja menjadi marah. Kadang-kadang orang itu
dipukulnya tanpa sebab.
“Jangan
menuruti kemarahan hati, Sidanti,” gurunya sering memperingatkannya.
“Kau akan
membuat perjalanan ini menjadi gagal pula.”
“Kenapa?”
bertanya Sidanti.
“Orang-orang
yang kau sakiti akan menaruh banyak sekali perhatian atas kita. Bukankah dengan
demikian kau telah meninggalkan petunjuk-petunjuk bagi orang-orang yang ingin
mengikuti jejak kita.”
“Apa
keberatannya? Kita akan pergi ke Menoreh. Sebentar lagi kita akan berada di
antara orang-orang kita sendiri. Di antara pasukan pengawal Tanah Perdikan
Menoreh yang tidak kalah tangkasnya dari prajurit-prajurit Pajang. Bahkan
hampir setiap laki-laki di Menoreh mampu mempergunakan senjata.”
“Tetapi
sekarang kita belum sampai ke Menoreh. Kita masih di perjalanan. Kita belum
berada di antara para pengawal dan anak-anak muda Menoreh yang perkasa.”
“Apa yang Guru
cemaskan?”
“Setan-setan
dari Sangkal Putung dapat saja memburu kita. Sumangkar, Kiai Gringsing,
Swandaru, Agung Sedayu, bahkan mungkin Widura dan prajurit-prajuritnya.”
Sidanti tidak
menyahut. Tetapi terasa hatinya melonjak. Benar-benar menyakitkan hati.
“Aku harus
menebus segala kekalahan ini. Segala sakit hati dan segala penghinaan,” katanya
di dalam hati,
“Ternyata guru
cukup bijaksana. Tidak ada gunanya aku mati karena terlampau keras kepala,
tidak melihat kenyataan bahwa perlawananku tidak berguna. Adalah lebih baik menyingkir
untuk datang kembali dengan membawa kemenangan.”
Langkah-langkah
mereka pun semakin lama menjadi semakin
cepat. Mereka memilih jalan-jalan pematang dan sidatan-sidatan kecil. Yang
terpateri di dalam kepala Sidanti adalah, secepat-cepatnya sampai ke Menoreh,
dan secepat-cepatnya menghimpun kekuatan untuk kembali membalas sakit hatinya
atas Untara, Agung Sedayu, dan Swandaru. Kemudian akan digilasnya Sangkal
Putung. Apabila mungkin untuk merebut tanah perbekalan dan sekaligus Sekar
Mirah. Sidanti mengangkat wajahnya ketika ia mendengar Argajaya berkata,
“Tetapi kita
tidak akan dapat memasuki daerah Menoreh dengan keadaan seperti ini. Aku adalah
adik Kepala Tanah Perdikan dan Sidanti adalah puteranya.”
Ki Tambak Wedi
tidak menanggapi kata-kata Argajaya. Meskipun demikian ia dapat mengerti
sepenuhnya. Argajaya ingin perjalanannya tidak terganggu, supaya mereka segera
sampai ke Menoreh. Karena itu maka pakaiannya yang kumal itu akan menolong
mereka, melepaskan dari segenap perhatian orang yang mungkin akan menghambat
perjalanan. Tetapi Argajaya tidak mau memasuki Tanah Perdikannya dengan
keadaannya. Ia harus masuk ke daerah itu dengan sikap seorang besar. Orang
kedua di Tanah Perdikan Menoreh.
“Ia tidak akan
menemui kesulitan apa-apa untuk berbuat demikian,” berkata Ki Tambak Wedi di
dalam hatinya.
“Di perjalanan
mereka akan mendapatkan apa yang diingininya. Kalau Argajaya dan Sidanti ingin
berganti pakaian yang, bagaimanapun juga, maka di sepanjang jalan pasti telah
disediakan untuk mereka.”
Karena Ki Tambak
Wedi tidak menyahut, maka Argajaya pun
terdiam pula. Sejenak mereka berjalan sambil berdiam diri. Meskipun di dalam
dada mereka bergolak berbagai macam perasaan yang kadang-kadang sangat
menggelisahkan dan menyakitkan hati.
Namun
tiba-tiba kediaman itu dipecahkan oleh pertanyaan Sidanti kepada Argajaya,
“Paman, apakah
Paman akan singgah di Prambanan? Di sana paman akan mendapatkan apa saja yang
Paman kehendaki.”
Argajaya
mengerutkan keningnya. Di Prambanan ia memang akan mendapat apa saja yang dikehendaki.
Di Prambanan ada orang-orang yang akan menyambutnya dengan senang hati. Bahkan
para prajurit Pajang pernah berada di pihaknya ketika ia berkelahi melawan
anak-anak muda yang membuatnya marah. Tetapi seorang dari anak-anak muda yang
membuatnya marah itu, yang menyebut dirinya bernama Sutajia, adalah Sutawijaya.
Ia tidak mampu mengalahkannya, bahkan ia mendapat malu karenanya.
“Para prajurit
itu akan berpendirian lain seandainya mereka mengetahui bahwa anak itu adalah
putera Ki Gede Pemanahan,” desisnya.
“Gila, aku
tidak mengetahuinya sebelumnya, seandainya aku tidak mendengar tentang anak itu
di padepokan Tambak Wedi.”
“Bagaimana,
Paman?” bertanya Sidanti.
Argajaya
menggelengkan kepalanya.
“Tidak. Dalam
keadaanku ini, aku tidak akan singgah di Prambanan.”
“Kenapa?”
bertanya Sidanti pula.
Argajaya tidak
segera menjawab. Dan Sidanti-lah yang menyambung kata-katanya,
“Paman akan
banyak mendapat kesempatan. Aku kira anak-anak gila itu sudah tidak berada di
Prambanan lagi. Bukankah mereka berada di Sangkal Putung bersama gurunya?”
“Aku tidak
memerlukan Prambanan lagi.”
“Paman akan
mendapatkan apa saja. Kalau Paman ingin pakaian maka di Prambanan ada pakaian
yang paling baik yang kita kehendaki. Kalau Paman ingin melepaskan kejengkelan
hati, di Prambanan Paman akan mendapat sasaran. Bahkan aku pun ingin memutar batang-batang leher
sebagian dari anak-anak muda Prambanan yang sombong seperti yang Paman
katakan.”
Argajaya tidak
menjawab. Tetapi yang terdengar adalah suara Ki Tambak Wedi,
“Kau masih
juga ingin membuat persoalan dengan orang-orang yang sama sekali tidak
bersangkut paut dengan kegagalanmu Sidanti. Dengan demikian kau akan
mempersempit kemungkinan bagi dirimu sendiri. Kalau kesan terhadapmu baik, maka
kau akan banyak mendapat bantuan dari orang-orang Prambanan apabila kau
perlukan. Tetapi kalau kesan terhadap dirimu jelek, maka Prambanan akan menjadi
musuh yang kuat bagimu. Prambanan akan segera berdiri berhadapan dengan
Menoreh. Meskipun kekuatan Menoreh berlipat dibandingkan dengan Kademangan
Prambanan, tetapi apabila Prambanan kelak berdiri berseberangan dengan Menoreh,
maka kademangan itu akan merupakan gangguan yang besar. Tetapi kalau secara
perlahan-lahan kademangan itu dapat kau pengaruhi, maka kedudukan Untara segera
akan goyah.”
Sidanti tidak
menjawab. Ia dapat mengerti keterangan gurunya. Meskipun demikian masih juga
tumbuh di dalam dirinya, keinginan untuk melepaskan sakit hatinya. Kepada
siapa pun dan kepada apa pun. Namun
dengan sekuat tenaga ditahankannya. Disimpannya sakit hatinya itu untuk kelak
ditumpahkannya kepada Untara, Agung Sedayu, Swandaru, Widura, dan Demang
Sangkal Putung. Sekali lagi mereka tenggelam dalam kebisuan. Langkah-langkah
mereka sajalah yang terdengar gemerisik menyentuh daun-daun kering yang
bertebaran di jalan sempit yang mereka lalui. Sekali dua kali mereka bertemu
juga dengan orang-orang yang memanggul cangkul di bahunya. Tetapi orang-orang
itu sama sekali tidak memperhatikannya. Perjalanan yang akan mereka tempuh
bukanlah perjalanan untuk sehari itu saja. Tetapi mungkin empat hari atau
sepekan. Mereka harus menembus berbagai macam hutan. Hutan-hutan yang tidak
begitu lebat sampai hutan bebondotan. Hutan yang paling liar. Besok mereka akan
mulai menyeberangi Alas Tambak Baya, kemudian yang lebih lebat lagi adalah
pusat Alas Mentaok.
Sementara itu
di Kademangan Sangkal Putung, beberapa orang sedang berbincang di Kademangan.
Widura, Ki Demang Sangkal Putung, Sumangkar, Kiai Gringsing, Agung Sedayu, dan
Swandaru dan beberapa orang pemimpin yang lain. Berbagai kemungkinan telah
mereka bicarakan. Mereka telah mendengar pengalaman masing-masing semalam.
Dengan bahan itulah maka mereka mencoba mengurai keadaan.
“Apakah mereka
kira-kira masih akan berkeliaran di sekitar Sangkal Putung ini?” bertanya Ki
Demang.
Widura
mengerutkan keningnya. Dengan nada dalam ia berkata,
“Bukankah Ki
Tambak Wedi telah bertemu dengan Ki Sumangkar dan Kiai Gringsing semalam
meskipun tidak dalam waktu yang bersamaan?”
“Ya,” jawab
Sumangkar dan Kiai Gringsing hampir berbareng.
“Dengan demikian,
maka pandangan Ki Tambak Wedi atas Sangkal Putung akan segera berubah. Sangkal
Putung bukan lagi sasaran yang terlampau lunak bagi mereka. Tidak lagi sebagai
kandang domba bagi tiga ekor serigala yang paling buas.”
Sumangkar dan
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepala mereka. Bahkan Swandaru, Agung
Sedayu, Ki Demang Sangkal Putung, dan orang-orang yang lain pun mengangguk-anggukkan kepala mereka pula.
Mereka dapat mengerti jalan pikiran Widura. Bahkan mereka pun dapat menduga, bahwa Ki Tambak Wedi,
Sidanti, dan Argajaya pasti harus mempertimbangkan sekali lagi manfaat mereka
untuk berada di sekitar Sangkal Putung.
“Mereka akan
segera pergi,” Swandaru berkata langsung seperti apa yang dipikirkannya.
“Mereka tidak
akan berani lagi berbuat sesuatu di Sangkal Putung.”
“Kita akan berlega
hati,” desis Ki Demang,
“kademangan
ini akan kembali menjadi tenteram. Bahkan seperti saat-saat sebelum ada
kerusuhan yang terjadi antara Pajang dan Jipang. Kini tidak ada lagi
orang-orang yang akan dapat mengganggu kita.”
“Aku merasa
sayang,” sahut puteranya yang gemuk, Swandaru,
“sebenarnya
aku masih mengharap mereka berotak tumpul, dan masih saja berkeliaran di sini,
sehingga suatu ketika kita akan dapat menangkap mereka.”
“Mereka bukan
keledai-keledai yang terlampau bodoh,” berkata ayahnya.
“Mereka adalah
orang-orang yang cukup mempergunakan otaknya, bahkan terlampau cakap, sehingga
menjadi licik karenanya.”
Swandaru
mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang kemungkinan terbesar yang terjadi
adalah, Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya akan meninggalkan Sangkal Putung.
“Tetapi apakah
kira-kira mereka akan berbuat selicik itu pula di Jati Anom? Karena mereka
menganggap bahwa baik Ki Sumangkar maupun Kiai Gringsing berada di Sangkal
Putung maka mereka akan segera melakukan pengacauan untuk menakut-nakuti
prajurit Pajang di Jati Anom.”
Kiai Gringsing
menggelengkan kepalanya.
“Aku kira
tidak, Ngger. Hal itu tidak akan banyak bermanfaat bagi mereka. Kemungkinan
yang terbesar, mereka akan segera pergi ke Menoreh. Sebab Sidanti adalah putera
Menoreh.”
Swandaru
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak ia berdiam diri, dan yang lain pun tidak segera menyahut pula. Kini
perhatian mereka melontar ke Perbukitan Menoreh, melintasi Hutan Mentaok. Tanah
Perdikan yang terbentang di sepanjang pegunungan Menoreh dan dataran di
sekitarnya. Membujur dari Utara ke Selatan. Daerahnya meliputi pegunungan yang
berbatu-batu, tetapi juga melingkupi daerah sawah yang hijau subur, hutan yang
rindang dan yang lebat, bahkan alas pingitan. Hutan buah-buahan yang dipelihara
dengan baik, dilindungi segala isinya, sampai pada binatang-binatang yang
menghuni di dalamnya. Sidanti adalah putera Kepala Tanah Perdikan yang besar
itu. Putera Argapati yang bergelar Ki Gede Menoreh. Sejenak mereka yang berada
di dalam ruangan itu saling berdiam diri. Mereka disibukkan oleh angan-angan
masing-masing tentang segala macam kemungkinan tentang Ki Tambak Wedi, Sidanti,
Argajaya, dan bahkan tentang Ki Gede Menoreh. Apakah kira-kira yang akan mereka
lakukan seterusnya? Seandainya tidak pernah terjadi sesuatu dengan Sidanti dan
Ki Tambak Wedi, maka mereka tidak akan berprasangka apa pun terhadap Argapati. Tetapi apakah ia akan
tetap berdiam diri seandainya Sidanti mengatakan apa yang pernah dialaminya,
dan bahkan mungkin kuntul dikatakan dandang, dandang dikatakan kuntul? Yang
putih dikatakan hitam yang hitam dikatakan putih?
Dalam kediaman
itu terdengar suara Widura, perlahan-lahan,
“Sementara
memang kita akan dapat mengambil kesimpulan, bahwa Sidanti, guru dan pamannya itu
akan kembali ke Menoreh. Tetapi kita tidak akan kehilangan kewaspadaan. Setiap
peronda masih akan dilengkapi dengan panah sendaren dan kuda.”
“Tepat,
Ngger,” sahut Kiai Gringsing,
“aku pun
berpendapat seperti itu. Meskipun kemungkinan terbesar, mereka akan pergi ke
Menoreh, tetapi kita tidak boleh terjebak karena angan-angan sendiri.”
Pertemuan itu
pun kemudian berpendapat serupa. Peronda masih harus tetap berada dalam
kewaspadaan tertinggi. Dalam pada itu, maka Kiai Gringsing sendiri berpendapat,
bahwa sudah sampai saatnya ia harus mulai dengan sebuah perjalanan. Namun ia
masih harus menunggu perkembangan keadaan. Ia masih harus tinggal di Sangkal
Putung untuk beberapa hari, untuk meyakinkan dirinya bahwa Ki Tambak Wedi
benar-benar telah meninggalkan kademangan itu dan tidak pergi ke Jati Anom. Demikianlah
setelah pertemuan itu Sangkal Putung sama sekali tidak mengurangi kesiagaannya.
Setiap hari masih saja dapat dilihat peronda-peronda berkuda dalam jumlah yang
cukup untuk menanggapi keadaan seandainya mereka bertemu dengan Ki Tambak Wedi.
Mereka masih juga selalu berada di atas punggung kuda dengan bekal panah-panah
sendaren. Setiap saat mereka akan mengirimkan isyarat apabila diperlukan. Tetapi
di hari-hari berikutnya mereka tidak pernah menjumpai lagi orang yang selama
ini selalu menghantui Kademangan Sangkal Putung. Sehingga lambat laun, mereka
semakin meyakini, bahwa Ki Tambak Wedi telah pergi meninggalkan kademangan itu.
Meskipun demikian, Betapapun Swandaru dan Agung Sedayu kadang-kadang diganggu oleh
kegelisahan tentang padesan di sepanjang jalan yang akan dilalui oleh Ki Tambak
Wedi, terutama Prambanan, namun Ki Tanu Metir masih merasa perlu untuk beberapa
lama menunggu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar