KETEGANGAN menjadi semakin memuncak karenanya. Masing-masing agaknya mempunyai perhitungan sendiri-sendiri. Sidanti pun kemudian sudah bergerak diikuti oleh beberapa orang yang kebingungan, siap memasuki padesan di hadapannya. Tetapi terdengar Citra Gati berteriak,
“Jangan
berbuat hal-hal yang dapat membahayakan diri kita sendiri, dalam usaha yang
sia-sia. kalau kita pasti Untara ada di depan kita, maka biarlah kita
pertaruhkan nyawa kita untuk mencarinya. Tetapi kemungkinan itu tipis sekali”
“Kau jangan
menghinanya” sahut Sidanti keras-keras.
“Apakah kau
sangka Untara terluka? Untara adalah seorang yang luar biasa. Aku sendiri
pernah berkelahi melawannya. Karena itu, maka tak akan ia terluka dan terbaring
di antara orang-orang yang luka. Aku hormati dia aku kagumi dia”
Kata-kata itu
masuk akal pula. Karena itu beberapa orang menjadi mempercayai perhitungan itu.
Tetapi Citra Gati tetap pada pendiriannya. Seandainya Untara telah terlanjur
memasuki desa itu, maka pasti ia akan segera kembali dan memberikan aba-aba
kepada mereka yang mengikutinya.
Dalam
ketegangan yang dipenuhi oleh keragu-raguan itu tiba-tiba terdengar kembali
Sidanti berkata,
“Taati
perintahku. Aku mengambil alih pimpinan. Aku adalah orang yang paling baik di
antara kalian”
“Tidak!” Citra
Gati tiba-tiba berteriak tak kalah kerasnya,
“Aku ambil
alih pimpinan. Aku adalah orang yang memiliki kedudukan tertua di antara
kalian. Ketika kakang Widura meninggalkan Sangkal Putung, aku dan Hudayalah
yang diserahi pimpinan”
“Persetan
dengan tata cara itu. Sekarang aku mengkat diri menjadi pemimpin kalian. Apa
maumu? Apakah aku harus membunuhmu?”
“Jangan
berlagak jantan sendiri Sidanti. Aku tahu kau memiliki beberapa kelebihan dari
kami. Tetapi kami bukan kelinci-kelinci yang patuh karena kami kau
takut-takuti. Dengan meninggalkan tata cara yang ditetapkan dalam keprajuritan
Pajang, maka kau adalah seorang pemberontak. Dan bagiku, bagi kami, laskar yang
patuh pada tugas kami, maka nyawa kami akan kami pertaruhkan untuk menumpas
setiap pemberontakan”
“Gila” teriak
Sidanti,
“Ayo, siapakah
yang menentang Sidanti, majulah”
Citra Gati
bukan seorang penakut. Betapapun ia menyadari keringkihannya untuk melawan
Sidanti, tetapi ia adalah soerang prajurit yang bertanggung-jawab. Karena itu,
maka ia tidak gentar menghadapi apapun. Tetapi sayang, bahwa Citra Gati itu pun
telah terbakar oleh perasaannya, sehingga ia lupa pada pokok persoalannya. Hilangnya
Untara. Apalagi ketika Citra Gati menyadari, bahwa sebagian besar laskarnya
condong kepadanya, sehingga dengan demikian hampir-hampir ia menjatuhkan
perintah untuk bersama-sama menangkap Sidanti yang telah melanggar tata cara
keprajuritan.
Tetapi dalam
pada itu terdengar suara Agung Sedayu memecah ketegangan dan kepekatan malam.
Katanya,
“Persetan
dengan pimpinan atas laskar ini. Aku bukan prajurit Pajang, bukan pula laskar
Sangkal Putung. Aku di sini dalam kedirianku sendiri, dalam tugas yang aku bebankan
sendiri di pundakku, sehingga aku ikut bertempur bersama-sama kalian. Tetapi
aku tidak diperintah oleh pemimpin yang manapun. Bertempurlah di antara kalian.
Aku akan mencari kakang Untara. Aku sependapat dengan kakang Citra Gati, kakang
Untara masih berada di belakang kita. Dan siapakah di antara kalian yang masih
memiliki kesetiaan kepadanya ikutlah aku. Yang merasa diri kalian
prajurit-prajurit yang baik, tunggulah sampai salah seorang berhasil membunuh
orang-orang lain, dan mengangkat dirinya menjadi pemimpin laskar Pajang. Sedang
tak seorang pun di antara kalian yang berusaha memberitahukan hal ini kepada
paman Widura, pemimpin yang sebenarnya atas kalian. Dan siapa yang mencoba
menghalangi Agung Sedayu, maka pedangku akan berbicara”
Kata-kata Agung
Sedayu itu seakan-akan merupakan suatu pemecahan yang dapat mereka lakukan.
tiba-tiba salah seorang dari mereka, seorang penghubung berlari ke arah padesan
di belakang mereka. Di sanalah kudanya ditambatkan.
“He, kemana
kau?” teriak Sidanti yang menjadi marah.
“Aku akan
melaporkannya kepada Ki Widura”
Sidanti tidak
mencegahnya. Sikap itu agaknya telah mendapat dukungan dari setiap orang dalam
pasukan itu.
Sedang Agung
Sedayu kemudian tidak memperdulikan apa-apa lagi. Ia berjalan saja langsung ke
garis peperangan untuk mencari kakaknya. Dalam hiruk-pikuk perkelahian itu,
adalah sangat mungkin bagi seseorang untuk mendapat serangan tanpa
diketahuinya, apalagi Untara yang saat itu sedang menumpahkan perhatiannya
kepada Tohpati.
Citra Gati,
Hudaya dan sebagian besar dari mereka kemudian berjalan mengikuti Agung Sedayu.
Mereka berjalan sambil memperhatikan keadaan di sekeliling mereka. Dengan
beberapa buah obor di tangan mereka mencoba mengamati setiap tubuh yang
terbaring. Dengan demikian maka sekaligus mereka dapat menemukan beberapa orang
yang terluka, namun kiwanya masih mungkin diselamatkan.
“Rawat mereka”
berkata Agung Sedayu. Ia tidak tahu lagi apakah ia berhak berkata demikian atau
tidak. Namun menurut pendapatnya, semua orang berkepentingan dalam masalah
kemanusiaan. Berhak atau tidak berhak.
Dalam
kesibukan itu, maka mereka mendengar derap beberapa ekor kuda yang datang dari
Sangkal Putung. Ketika mereka mengangkat wajah-wajah mereka, maka mereka
melihat kedatangan Widura beserta beberapa orang pengawalnya.
“Apa yang
sedang kalian lakukan?” bertanya Widura masih dari atas kudanya.
“Kami mencari
kakang Untara” sahut Agung Sedayu.
Widura
mengerutkan keningnya. Sukar dimengerti olehnya bahwa Untara terluka, dan
terbaring di antara mereka yang jatuh di dalam pertempuran itu.
“Apakah
menurut perhitunganmu, hal itu mungkin terjadi Sedayu?” bertanya Widura.
Sebelum Agung
Sedayu menjawab, terdengar suara Sidanti lantang,
“Aku sudah
mengatakan kepada mereka, bahwa Untara tidak mungkin terluka. Beberapa orang melihat
bahwa Untara yang melukai Tohpati bukan Untara yand dilukai”
Widura
mengerutkan keningnya. Dipandangnya Agung Sedayu yang masih termangu-mangu.
Namun kemudian jawabnya, “Kalau kakang Untara tidak terluka, maka ia pasti
sudah kembali. Apakah menurut dugaan paman, kakang Untara tidak terluka tetapi
justru tertangkap oleh Tohpati?”
“Tidak
mungkin” sahut Widura serta-merta.
“Nah kalau
begitu kemana? Terluka tidak, tertangkap tidak. Apakah kakang Untara mengejar
musuh itu seorang diri tanpa memberikan perintah kepada kami di sini?”
Widura menggeleng-gelengkan
kepala. Jawabnya,
“Juga tidak”
“Lalu
bagaimana?” bertanya Agung Sedayu yang menjadi sangat gelisah karena kehilangan
kakaknya. Semula, ketika ia masih digenggam oleh perasaan takut setiap saat,
maka kakaknya adalah satu-satunya tempat untuk melindungkan dirinya. Namun
kini, meskipun ia merasa bahwa akhirnya dirinya sendirilah yang paling baik
untuk menyelamatkan dirinya itu, maka yang tinggal adalah suatu ikatan kasih
sayang seorang adik terhadap seorang kakak yang telah melindunginya
bertahun-tahun. Seorang kakak yang telah banyak berkorban untuknya. Seorang
kakak yang telah berusaha sekuat-kuat tenaganya untuk membentuknya menjadi
seorang laki-laki yang sebenarnya, meskipun kakaknya itu telah hampir menjadi
berputus asa atas kemajuan yang dicapainya. Namun kini ia telah menemukan
dirinya. Dan karena itu maka terasa di dalam dirinya suatu kewajiban untuk
berbuat sesuatu untuk kepentingan kakaknya itu. Apa pun yang akan dihadapinya.
Widura itu pun
kemudian meloncat pula dari kudanya. Setelah ia melayangkan pandangan matanya
sejenak berkeliling bekas medan peperangan itu, ia bergumam,
“Aku
sependapat dengan kau Sedayu” Kemudian kepada seluruh laskarnya Widura itu
mengeluarkan perintah,
“Semua mencari
di antara orang-orang yang terluka”
Beberapa orang
kemudian tersebar di sepanjang garis pertempuran. Mereka berusaha untuk melihat
satu persatu dibawah cahaya obor yang suram. Hanya Sidanti sajalah yang
berjalan mondar-mandir dengan malasnya. Bahkan terdengar ia bergumam,
“Tak ada
gunanya”
Agung Sedayu
sama sekali tidak memperhatikannya. Dengan tekun ia mencari kakaknya
bersama-sama dengan Citra Gati dan Hudaya. Sedangkan Widura sendiri bersama
dengan beberapa orang lain pun telah ikut mencari pula di antara mereka.
Tiba-tiba
dalam kesepian malam itu terdengar seseorang berteriak lantang sambil
melambai-lambaikan obornya,
“Inilah.
Inilah yang kita cari”
Agung Sedayu
benar-benar terkejut mendengar teriakan itu. Seperti kuda yang terlepas dari
ikatan, ia meloncat hampir melanggar beberapa orang lain yang berdiri di
sampingnya. diloncatinya saja setiap tubuh yang terbaring di tanah. Bahkan
beberapa kali kakinya telah terperosok kedalam lubang-lubang di pematang. Demikian
pula dengan beberapa orang yang lain. Widura pun terkejut bukan main. Seperti
Agung Sedayu segera ia meloncat berlari ke arah suara itu. Ketika mereka
sampai, dan ketika mereka melihat orang yang terbaring diam dengan darah yang
memerahi tubuhnya, ternyatalah bahwa orang itu sebenarnya Untara. Tubuhnya
telah menjadi sangat lemahnya, karena darah yang banyak sekali mengalir dari
lukanya, bahkan beberapa orang telah menyangkanya mati. Agung Sedayu dengan
gemetar berlutut di samping kakaknya sambil memanggil-manggil,
“Kakang,
Kakang Untara. Kakang”
Tetapi Untara
tidak menjawab. bibirnya menjadi seputih kapas, dan tubuhnya telah menjadi
sangat dinginnya.
Perlahan-lahan
Widura menempelkan telinganya di dada Untara. Kemudian dengan penuh harapan ia
berkata,
“Masih aku
dengar jantungnya berdetak. Karena itu, carilah lukanya. Usahakan untuk
menyumbatnya, supaya darahnya tidak terlalu banyak mengalir”
Tubuh Untara
yang lemah itu pun segera diangkat. Dan serentak mereka terkejut bukan
kepalang. Pasti bukan Tohpati yang melukainya. Sebuah belati tertancap di punggung
Untara itu.”Hem” terdengar Widura menggeram. Dengan hati-hati pisau itu
ditariknya. Dan kemudian katanya tergesa-gesa,
“Kain.
Balutlah lukanya”
Beberapa orang
menjadi bingung. Mereka tidak membawa secarik kain pun untuk membalut luka itu.
Namun kemudian Agung Sedayu membuka ikat kepalanya, dan dengan ikat kepala itu
ia mencoba menyumbat luka Untara.
Untara itu pun
kemudian dikerumuni oleh hampir semua orang di dalam pasukan itu. Sidanti pun
kemudian datang pula, menerobos lingkaran itu sambil berkata,
“Apakah benar
kakang Untara terluka?”
Agung Sedayu
mengangkat wajahnya, ditatapnya wajah Sidanti. Wajah yang keras dan tajam.
Namun ia tidak menjawab pertanyaan itu. Yang menjawab adalah Widura,
“Ya, Untara
ternyata terluka”
“Benar-benar
tidak menyangka” katanya sambil melangkah maju. Kini anak muda itu berdiri
selangkah di belakang Widura. Ditatapnya tubuh Untara yang lemah terbaring di
tanah, sedang beberapa orang masih berusaha membalut luka itu.
Sidanti itu
kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata,
“Seseorang
melihat kakang Untara berhasil melukai Tohpati. Tetapi kenapa tiba-tiba ia
terluka?”
Tak seorang
pun yang menjawab kata-kata itu. Widura juga tidak. Sedang Agung Sedayu telah
sibuk kembali dengan luka Untara itu. Semua orang yang berdiri melingkar itu
menahan nafas mereka. Seolah-olah ikut merasakan, betapa pedihnya luka itu.
Luka yang menghunjam masuk ke dalam punggung Untara. Suasana kemudian menjadi
sepi. Angin malam yang dingin menghembus perlahan-lahan, mengguncang
batang-batang padi yang bergerak-gerak terinjak-injak oleh kaki-kaki mereka
yang sedang bertempur. Sedang dikejauhan terdengar bunyi binatang-binatang
malam bersahut-sahutan. Di langit yang biru bersih, terpancang berjuta bintang
gemintang yang berkilat-kilat. Sekali-sekali tampak kelelawar beterbangan
merajai langit dimalam hari.
Dalam
keheningan malam itu tiba-tiba terdengar Sidanti berdesah,
“Terlambat.
Tidak ada gunanya lagi. Untara telah mati”
Semua yang
mendengar desah itu terkejut. Lebih-lebih Agung Sedayu. Karena itu, maka
tiba-tiba ia berkata lantang,
“Jangan
memerkecut hati kami. Kami sedang berusaha”
“Aku memandang
segala persoalan menurut pertimbangan nalar” sahut Sidanti,
“Keadaan itu
sudah sangat gawat. Apa pun yang kalian usahakan akan sia-sia saja”
“Tidak” potong
Widura, “Kemungkinan masih ada”
Terdengar
Sidanti tertawa pendek,
“Untara bukan
malaikat. Tusukan itu tepat dan dalam. Untara, seperti juga orang lain yang
mengalami peristiwa serupa, pasti akan mati”
“Tutup
mulutmu!” tiba-tiba Agung Sedayu yang tidak dapat menahan hati lagi membentak
lantang,
“kalau kau
tidak merasa perlu untuk menolongnya, jangan membuat kami berputus asa”
Sidanti
mengerutkan keningnya mendengar bentakan itu. Dengan tidak kalah lantangnya ia
menjawab,
“Jangan
bersikap seperti kaulah pemimpin laskar ini. Yang mendapat kepercayaan dari
panglima Tamtama adalah Untara, bukan kau. Karena itu jangan membentak-bentak”
“Aku tidak
peduli apakah dan siapakah yang memimpin laskar ini. Tetapi aku tidak mau
mendengar kau berkata seolah-olah sudah sewajarnya kakang Untara harus mati.
Kau lihat kami sedang berusaha untuk menolongnya”
“Itu urusanmu”
sahut Sidanti,
“Aku hanya
mengatakan bahwa menurut pendapatku, Untara tidak akan dapat ditolong lagi”
“Jangan kau
katakan di hadapanku”
“Apa hakmu melarang
aku berkata menurut pertimbanganku sendiri”
Agung Sedayu
bukanlah seorang yang cepat menjadi marah karena pengaruh sifat-sifatnya. Ia
adalah seorang yang lemah hati yang memandang semua persoalan dari segi yang
paling damai. Tetapi meskipun demikian kali ini ia merasa benar-benar
tersinggung. Kakaknya adalah orang yang paling dihormati sepeninggal orang
tuanya. Kakaknya adalah orang yang paling baik di muka bumi ini, yang telah
banyak berbuat untuknya, untuk kepentingannya. Karena itu, maka tanggapan
Sidanti atas kakaknya itu benar-benar telah membakar telinganya sehingga Agung
Sedayu itu seakan-akan kehilangan segenap sifat-sifatnya. Tiba-tiba ia menjadi
keras dan dengan serta-merta ia berdiri sambil berkata,
“Sidanti, kau
ingin perselisihan, maka sekarang adalah waktunya. Aku selalu mencoba
menghindari setiap benturan di antara kita sejauh mungkin. Namun kau selalu
membuat persoalan. Sekarang, kalau kau menantang aku, aku terima tantanganmu.
Dengan atau tanpa senjata”
Tak seorang
pun yang menyangka bahwa Agung Sedayu akan mengucapkan kata-kata itu. Kata-kata
yang terlalu keras dan langsung. Kata-kata yang menggeletar karena getaran di
dalam dadanya. Getaran yang telah memenuhi rongga hatinya yang Betapapun
luasnya. Sehingga akhirnya meluap juga, menggetarkan udara malam yang dingin.
Sidanti pun
sama sekali tidak menyangka, bahwa Agung Sedayu tiba-tiba saja berbuat
demikian. Sesaat ia berdiri termangu-mangu dilihatnya di dalam sinar obor yang
kemerah-merahan mata Agung Sedayu yang menyala-nyala. Namun Sidanti adalah
seorang yang keras hati. Ketika ia menyadari keadaan, tiba-tiba ia mengangkat
dadanya. Dengan lantang ia menjawab kata-kata Agung Sedayu,
“Bagus. Aku
tantang kau saat ini”
Agung Sedayu
tidak menunggu apa pun lagi. Setapak ia maju. Dan ketika ia melihat di tangan
Sidanti masih tergenggam senjatanya yang aneh, maka dengan tanpa menghiraukan
apa pun lagi, dengan tangkasnya ditariknya pedangnya dari wrangkanya. Tetapi
tepat pada saatnya Widura telah berdiri di antara mereka. Dengan tenang ia berkata,
“Aku
memerintahkan kalian menghindari bentrokan yang dapat terjadi. Aku perintahkan
pada Sidanti selaku seorang prajurit di bawah pimpinanku, dan aku perintahkan
kepada Agung Sedayu selagi masih keponakanku”
Kembali
suasana menjadi sunyi senyap. Sidanti dan Agung Sedayu merasakan perbawa
kata-kata Widura. Karena itu, maka mereka pun menundukkan wajah masing-masing.
Sesaat
kemudian terdengar pula Widura itu berkata,
“Sekarang bawa
Untara kembali ke Sangkal Putung. Cepat supaya kita dapat memberikan pertolongan
yang lebih baik. Darah telah terlampau banyak tertumpah di sini. Apakah masih
ada yang akan memeras lagi darahnya? Apalagi tanpa arti?”
Agung Sedayu
tidak menjawab. Tetapi segera ia melangkah mendekati tubuh kakaknya dan ikut
serta mengangkatnya. Namun terasa bahwa sesuatu bergolak di dalam dadanya. Sedang
Sidanti masih tegak di tempatnya. Diawasinya Agung Sedayu melangkah pergi,
menyarungkan pedangnya dan kemudian bersama-sama dengan beberapa orang
mengangkat tubuh Untara. Widura pun kemudian meninggalkan Sidanti itu pula. di
belakang mereka yang mengangkat tubuh Untara, Widura berjalan sambil menggigit
bibirnya. Seribu satu macam persoalan membentur dinding hatinya. Untara yang
baru saja sembuh dari lukanya, kini telah terluka kembali. Bahkan agak lebih
parah. Kalau anak muda itu tidak segera mendapat pengobatan yang baik, maka
jiwanya ada dalam bahaya.
Ketika laskar
Pajang dan anak-anak muda Sangkal Putung pergi meninggalkan tempat itu, maka
Sidanti masih saja berdiri seperti patung. Dilihatnya Widura berjalan sambil
menundukkan kepalanya dan dilihatnya laskar itu seakan-akan berduka. Tiba-tiba
timbullah iri di hatinya,
“Apakah kalau
aku terluka maka semua orang akan berduka seperti itu?” katanya dalam hati.
Ketika
kemudian terdengar suara ayam jantan berkokok, Sidanti itu terkejut. Terasa
kemudian betapa silirnya angin yang mengusap tubuhnya. Ketika ia mengangkat
wajahnya dilihatnya bintang-bintang masih bercahaya di langit di atas
kepalanya. Dilihatnya bintang Bima Sakti melintang dari kutub ke kutub,
dilingkaran serbuk bintang yang keputih-putihan seperti awan yang bercahaya. Di
mukanya berpuluh-puluh obor berjalan semakin lama menjadi semakin jauh. Ketika
ia kemudian melangkah, tiba-tiba ia dikejutkan oleh sebuah desir yang lembut.
Cepat ia berpaling sambil menyiagakan senjatanya. Tetapi kemudian ia menarik
nafas dalam-dalam ketika ia melihat orang yang mendatanginya. Gurunya, Ki
Tambak Wedi.
“Apakah kau
terkejut Sidanti?”
Sidanti
menarik nafas. Jawabnya,
“Ya guru. Aku
baru saja bertempur di sini. Karena itu, maka aku masih diliputi oleh suasana
itu”
Gurunya itu
tertawa pendek,
“Aku melihat
pertempuran ini. Aku melihat pula kalian mencari pemimpin kalian yang bernama
Untara itu”
Sidanti
tersenyum pula,
“Hem. Pokal
orang-orang gila itu” desisnya.
Ki Tambak Wedi
itu pun kemudian mengawasi obor-obor yang semakin menjauh. Nyala apinya
kemudian seakan-akan hanya merupakan bintik-bintik merah yang bergerak-gerak di
atas layar yang hitam.
Dalam pada
itu, Agung Sedayu dengan penuh keprihatinan membawa tubuh kakaknya bersama-sama
beberapa orang lain. Terasa pula padanya, alangkah besar bahaya yang selama ini
mengancam jiwa kakaknya dalam pengabdiannya. Luka kakaknya yang pertama
seakan-akan baru kemarin dibebatnya di daerah sekitar Macanan. Kini kakaknya
sudah terluka kembali. Namun demikian, kakaknya bukanlah korban satu-satunya.
Di daerah bekas pertempuran itu masih banyak tubuh-tubuh lain yang
bergelimpangan. Kawan atau lawan. Beberapa di antara mereka sudah tidak
bernyawa lagi. Namun sebagian lagi masih hidup, merintih-rintih menahan sakit.
Karena itu, tiba-tiba Agung Sedayu itu berpaling kepada pamannya sambil
berkata,
“Paman, apakah
orang-orang lain yang terluka di garis peperangan itu tidak mendapat perawatan
seperti kakang Untara ini?”
Pamannya mengangguk.
Jawabnya,
“Ya. Beberapa
orang lain bertugas mengurusi mereka. Baik yang sudah meninggal. Maupun yang
masih mungkin mendapat pertolongan”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ketika terpandang kembali wajah kakaknya
yang pucat, hatinya berdesir keras. Dengan demikian, maka Agung Sedayu dan
orang-orang yang membawa Untara itu berjalan semakin cepat. Untara harus segera
mendapat pengobatan sewajarnya. Kabar tentang Untara segera tersebar ke seluruh
Sangkal Putung. Beberapa orang semula menjadi kecewa mendengar berita itu.
Salah seorang di antara mereka berkata,
“Kalau begitu,
Untara benar-benar bukan orang yang pantas kita harapkan di sini. Seperti
kabar-kabar yang kita dengar, ternyata Untara sama sekali tidak mampu
mempertahankan dan menyelamatkan dirinya sendiri”
“Kau salah”
jawab yang lain.
“Untara
sebenarnya tidak sisip dari berita yang kita dengar di sini. Ternyata Untara
memang tidak dapat dikalahkan oleh Macan Kepatihan. Seseorang melihat Untara
berhasil merobek lengan Tohpati. Bahkan kemudian mendesaknya terus. Seandainya
Tohpati tidak segera mengundurkan dirinya, maka kemungkinan yang hampir pasti,
Tohpati akan dapat dibinasakan oleh Untara. Namun, ketika kita sedang mengejar
laskar lawan yang mengundurkan diri, seseorang menyerangnya dengan curang,
menusukkan pisau itu terhunjam di punggungnya”
Orang pertama
menyesal atas penilaiannya terhadap Untara. Karena itu cepat-cepat ia
membetulkan kesalahan,
“Oh, aku
keliru. Ternyata Untara benar-benar mengagumkan. Namun jika seandainya seseorang
berhasil melukainya, meskipun dari belakang, maka orang yang melakukan itu
pasti seseorang yang pilih tanding pula”
“Mungkin”
jawab orang kedua,
“Di dalam
laskar lawan terdapat Alap-alap Jalatunda, Plasa Ireng dan lain-lain”
“Plasa Ireng
sudah mati”
Orang kedua
itu mengerutkan keningnya.
“Ya, ia mati
dalam keadaan yang mengerikan. Hem. Sidanti benar-benar berdarah dingin. Dengan
tangannya ia merobek-robek tubuh lawannya yang sudah tidak berdaya”
“Sungguh
berlawanan dengan Agung Sedayu” sahut yang lain.
“Menurut
Swandaru Geni, Agung Sedayu menyesal ketika ia membunuh seseorang meskipun di
dalam peperangan”
Kemudian
keduanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Dilihatnya beberapa kawan-kawan mereka
sedang berbaring-baring saja di muka regol kademangan karena kelelahan.
Beberapa orang duduk-duduk di halaman, sedang yang lain masih berada di banjar
desa. Orang-orang yang terluka pun kemudian dibawa kebajar desa itu untuk
mendapat pertolongan sekedarnya. Tetapi Untara tidak dibawa ke bajar desa.
Untara itu oleh Widura disuruhnya membawa ke kademangan saja. Sebab Untara
adalah orang penting bagi Pajang. Mau tidak mau Ki Ageng Pemanahan pasti akan
menjadi heran atas keadaannya. Untara itu pun kemudian dibaringkan di dalam
pringgitan kademangan. Agung Sedayu, Widura, Ki Demang Sangkal Putung, Swandaru
dan beberapa orang lagi berdiri memagarinya. Mereka menyaksikan dengan penuh
haru, tubuh Untara yang terbaring diam. Meskipun demikian, mereka masih
mempunyai harapan bahwa Untara akan dapat sadar kembali, karena mereka masih
melihat dada Untara bergerak-gerak dalam pernafasan yang sulit. Ki Demang pun
menjadi gelisah pula. ia telah menyuruh beberapa orang untuk mencari daun-daun
yang menurut pendengarannya dapat menolong sementara, menghentikan aliran
darah.
“Untunglah”
gumam Widura, “Lukanya agak terlalu tinggi, sehingga tidak langsung menyentuh
jantungnya”
Ki Demang
mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun demikian, keadaan Untara cukup
berbahaya.
Dalam pada
itu, hampir setiap orang berbicara tentang Untara, tentang lukanya di punggung.
Mereka bersepakat bahwa Untara mendapat serangan dari belakang dengan cara yang
curang.
“Di dalam
perang brubuh hal itu memang mungkin sekali terjadi” bisik salah seorang yang
bertugas di gardu pertama.
Yang diajak
berbicara mengangguk. Katanya,
“Tetapi aneh.
Tohpati dan Untara bertempur tepat di garis pertempuran. Apakah kemudian Untara
mendesaknya hingga masuk kedalam lingkungan laskar Jipang, dan dalam pada itu
ia mendapat serangan dari belakang?”
“Aku tidak
melihatnya demikian. Kita bersama mendesak mereka. Dan mereka mundur dalam satu
garis yang teratur, meskipun di sana sini timbul pula kekacauan yang
memungkinkan hal-hal semacam itu terjadi”
“Tetapi yang
melukai Untara pasti bukan Macan Kepatihan”
“Pasti bukan”
jawab yang lain.
Mereka
kemudian terdiam. Tetapi mereka dikejutkan oleh sebuah bayangan yang
perlahan-lahan mendatanginya. Orang-orang itu segera bersiaga. Dengan
menggenggam hulu pedangnya yang masih disangkutkan di dalam sarungnya ia menyapa,
“Siapa itu?”
Orang yang
disapa itu mengangkat wajahnya. Sambil berjalan terus ia menjawab,
“Aku ngger,
aku”
“Aku siapa?”
bertanya penjaga itu pula.
Orang yang
disapanya itu berjalan semakin dekat. Dengan langkah satu-satu iam menjadi
semakin jelas. Seorang tua dengan sebuah tongkat kecil di tangannya.
“Siapa itu”
penjaga itu mengulangi.
“Aku ngger,
aku” jawabnya. Suaranya pun telah memberitahukan kepada para penjaga bahwa
orang itu adalah seorang tua.
“Siapa
namamu?”
Orang itu
sudah dekat benar. Dengan nafas terengah-engah ia berkata,
“Huh. Aku
hampir mati ketakutan melihat pertempuran itu”
“Kau melihat
pertempuran itu kek? Bertanya salah seorang penjaga.
“Ya, aku
melihat” jawabnya.
“Kenapa
melihat, kalau kau hampir mati ketakutan?”
“Aku tidak
sengaja melihat. Aku berjalan lewat daerah itu. Dan di daerah itu terjadi
pertempuran”
“Mau kemana
kau sebenarnya kakek?”
“Pulang ke
dukuh Pakuwon”
“Dukuh
Pakuwon?” bertanya para penjaga keheranan,
“Dari mana?”
Orang itu
terdiam. Nafasnya masih saja terengah-engah. Baru kemudian ia menjawab,
“Aku baru saja
pulang dari pesisir”
“Dari
pesisir?”
“Ya. Aku baru
saka mencari kulit kerang hijau. Kulit kerang ini sangat baik untuk mengobati
luka-luka”
“Kau dapatkan
kulit kerang itu?”
“Ya”
“Dapatkah
dipakai untuk mengobati luka senjata tajam?”
“Tentu. Tentu”
“Banyak
kawan-kawan kami terluka. Apakah kau mau mengobati mereka?”
“Tentu. Tentu”
Penjaga itu
menjadi ragu-ragu sejenak. Ia tidak dapat percaya begitu saja kepada orang yang
belum dikenalnya. Karena itu, maka katanya kemudian,
“Pemimpin kami
terluka. Marilah, aku antarkan kau kekademangan. Biarlah para pemimpin yang
menentukan, apakah obatmu dapat menolongnya”
“Siapakah yang
terluka?”
“Untara”
“Untara?”
kakek itu mengulang.
Orang tua itu
pun kemudian dibawa oleh beberapa orang penjaga kekademangan. Ketika mereka
sampai di pendapa, maka mereka melihat beberapa orang masih sibuk di pringgitan
sehingga para penjaga itu menjadi ragu-ragu. Tetapi karena keinginan mereka
untuk mengantarkan orang tua itu, maka diberanikan dirinya mengetuk pintu yang
masih terbuka itu.
Widura
berpaling ke arah mereka. Dilihatnya seorang penjaga berdiri tegak di muka
pintu.
“Ada apa?”
katanya.
Maka
diceritakannya tentang orang tua yang telah mendapatkan kerang hijau yang dapat
untuk menyembuhkan luka-luka.
Widura yang
sedang digelisahkan oleh luka Untara itu tidak berpikir panjang. Segera ia
berkata,
“Bawa orang
itu masuk kemari”
Orang tua itu
pun segera dipersilakan masuk ke pringgitan. Namun demikian ia melangkah pintu,
terdengarlah Agung Sedayu menyapanya lantang,
“Ki Tanu
Metir!”
Orang tua itu
memandang berkeliling. Akhirnya dilihatnya Agung Sedayu di antara mereka.
Karena itu, maka tampaklah ia tersenyum sambil menganggukkan kepalanya,
“Kau di sini
juga ngger?”
“Ya Ki Tanu.
Aku menunggui kakakku yang terluka” tiba-tiba Agung Sedayu itu teringat pula
kepada peristiwa yang dialaminya di Macanan. Maka katanya pula,
“Ki Tanu.
Kakakku yang terluka ini ada kakakku itu pula. Kakang Untara”
“He?” orang
tua itu terkejut,
“Apakah angger
Untara belum sembuh?”
Semua orang
yang berada di pringgitan memandang orang tua yang bernama Ki Tanu Metir itu
dengan seksama. Mereka menjadi heran, bahwa ternyata orang itu agaknya telah
mengenal Untara dan Agung Sedayu dengan baik.
Agung Sedayu
pun kemudian menjelaskan,
“Kakang Untara
baru saja terluka dalam pertempuran di perbatasan Sangkal Putung. Bukan luka
yang dahulu”
Ki Tanu Metir
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya,
“Hem. Itu
adalah akibat dari kedudukannya. Baru saja angger Untara sembuh, kini ia telah
terluka kembali”
“Ya Kiai”
sahut Widura,
“Setiap
prajurit menyadari hal itu. Kami pun di sini menyadari, dan Untara pun
menyadari”
“Angger benar”
jawab Ki Tanu Metir sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katnaya,
“Siapakah
angger ini?”
Widura
ragu-ragu sesaat. Yang menjawab adalah Agung Sedayu,
“Paman Widura.
pemimpin laskar Pajang di Sangkal Putung”
“Oh” desah
orang tua itu, yang kemudian berkata pula kepada Widura,
“Angger,
apakah aku diperbolehkan mencoba mengobati luka angger Untara?”
“Silakan Kiai.
Kami akan berterima kasih kepada Kiai. Menurut cerita yang pernah aku dengar,
Kiai pernah juga merawat Untara beberapa waktu yang lewat”
“Ya ya” sahut
Ki Tanu Metir sambil melangkah maju.
Kemudian
dengan sangat hati-hati ia mengamati dan meraba-raba luka Untara itu.
Semua orang
menegang nafas. Mereka berharap-harap cemas, mudah-mudahan orang tua itu dapat
memberinya obat. Tampaklah Ki Tanu Metir mengerutkan keningnya. Kemudian kepada
Agung Sedayu ia berkata,
“Angger,
tolonglah aku membuka bajunya”
Dengan
tergesa-gesa Agung Sedayu pun segera menolong Ki Tanu Metir, dengan sangat
hati-hati membuka baju Untara. Dari bungkusannya, Ki Tanu Metir mengeluarkan
beberapa jenis obat-obatan, yang kemudian dilumurkan di sekitar luka Untara.
“Marilah kita
berdoa di dalam hati kita. Sebab kita hanya wenang berusaha, dan Tuhan lah yang
akhirnya menentukan. Mudah-mudahan angger Untara segera sembuh”
“Apakah luka
itu tidak terlalu berat Kiai?” bertanya Agung Sedayu dengan cemas.
Ki Tanu Metir
menggeleng,
“Tidak terlalu
berbahaya”
Semua orang
menarik nafas panjang mendengar keterangan Ki Tanu Metir, meskipun banyak di
antara mereka yang meragukannya. Kalau luka itu tidak berat, maka orang seperti
Untara itu tidak akan mengalami pingsan sedemikian kerasnya.
“Angger”
berkata Ki Tanu Metir kepada Widura,
“Biarlah
Angger Untara beristirahat. Dan biarlah udara di pringgitan ini menjadi sejuk.
Karena itu, apabila tidak berkeberatan, biarlah yang kurang berkepentingan
meninggalkan ruangan ini”
Widura menjadi
ragu-ragu untuk sesaat, diamatinya wajah orang tua itu. Namun kemudian ia
berkata,
“Baiklah.
biarlah ruangan ini menjadi jernih”
Beberapa orang
lain segera meninggalkan ruangan itu. Mereka mengerti juga, bahwa dengan
demikian udara di dalam ruang pringgitan itu menjadi tidak terlalu panas.
Di dalam ruang
itu kini tinggal Widura, Ki Demang Sangkal Putung, Agung Sedayu dan Swandaru.
Dari balik dinding Sekar Mirah mencoba mengintip mereka. Tetapi ia tidak berani
masuk ke dalam pringgitan itu, sebab agaknya ayahnya dan beberapa orang yang
lain lagi berwajah tegang. Dari beberapa orang ia mendengar bahwa Untara
terluka. Sekar Mirah menjadi gembira ketika ayahnya memanggilnya. Setelah ia
berlari menjauh, maka dari kejauhan itu ia menjawab,
“Ya ayah”
“Kemarilah”
Dengan berlari-lari
kecil Sekar Mirah itu masuk ke pringgitan dari pintu belakang. Gadis itu
tertegun di pintu ketika ia memandang wajah Agung Sedayu yang suram. Tetapi
kesuramannya itu tampaknya menambah Agung Sedayu menjadi dewasa.
“Ambillah
jeruk” berkata ayahnya.
“Jeruk apa
ayah?”
“Jeruk pecel”
sahut ayahnya.
“Ya ayah”
jawab gadis itu sambil berlari.
Widura sekejap
memandang wajah kemenakannya. Ia melihat sesuatu pada wajah itu, tetapi ia
tidak berkata apapun. Setelah ruangan itu menjadi sepi, maka terdengarlah Agung
Sedayu bertanya,
“Ki Tanu,
apakah benar luka itu tidak begitu parah?”
“Luka itu
tidak parah ngger, tetapi aku kira tidak membahayakan jiwanya apabila aku
berhasil mengembalikan pernafasannya dengan wajar. Yang lebih berbahaya bagi
angger Untara bukan luka itu, tetapi lihatlah” Ki Tanu Metir itu kemudian
menunjukkan sebuah noda kebiru-biruan di lambung kanan Untara. Semua yang
menyaksikan noda itu terkejut karenanya. Dengan serta-merta Agung Sedayu
bertanya, “Noda apakah itu Kiai?”
“Sebuah
pukulan yang tepat di arah ulu hati. Untunglah bahwa pukulan itu dilakukan agak
tergesa-gesa, sehingga agaknya belum mempergunakan tenaga sepenuhnya”
Semua orang
yang berada di tempat itu merenungi noda itu dengan seksama. Mereka melihat di
sekitar noda yang kebiru-biruan itu menjadi agak bengkak dan berwarna
kemerah-merahan.
“Ada dua kemungkinan
Kiai” berkata Widura,
“Pukulan itu
tidak dilakukan dengan sepenuh tenaga karena tergesa-gesa atau memang
penyerangnya kurang mempunyai tenaga untuk membuat Untara itu menjadi semakin
parah”
Ki Tanu Metir
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Ya. Mungkin.
Namun menilik kemudian yang dapat dilakukan atas angger Untara, maka orang itu
pasti bukan orang kebanyakan”
Kembali
ruangan itu menjadi diam. Masing-masing mencoba untuk mencari setiap
kemungkinan yang dapat terjadi atas Untara itu, namun tak seorang pun yang
mampu untuk mencoba menebak, siapakah yang telah melakukannya. Pringgitan itu
kini menjadi sepi. Ki Tanu Metir masih saja merenungi tubuh Untara.
Diraba-rabanya dan dipijit-pijitnya. Sekar Mirah pun kemudian masuk kembali ke
pringgitan itu dengan beberapa buah jeruk nipis. Diserahkannya jeruk itu kepada
ayahnya, dan kemudian oleh ayahnya, jeruk itu diberikannya kepada Ki Tanu
Metir.
“Terima kasih”
sahut dukun tua itu.
Setelah
dipotong-potong maka jeruk nipis itu pun diperasnya dan dicampurkannya pada
ramuan obat-obatan. Dengan ramuan itu Ki Tanu Metir mencoba mengurut-urut jalan
pernafasan Untara. Dari lambung dada dan punggungnya. Sesaat kemudian
terdengarlah Untara itu berdesah, lalu terdengar pula sebuah tarikan nafas yang
panjang.
“Bagaimana
Kiai?” terdengar Widura bertanya.
Ki Tanu Metir
tidak segera menjawab. ia masih menekan bagian bawah dada Untara dan
mengurutnya perlahan-lahan. Sekali lagi Untara menarik nafas panjang, kemudian
terdengar ia mengeluh pendek. Agung Sedayu, Widura, dan Ki Demang Sangkal
Putung mendesak maju. Sedang Swandaru Geni berdiri kaku di belakang ayahnya. Mereka
kemudian menarik nafas lega ketika Ki Tanu Metir itu berkata,
“Pernafasan angger
Untara sudah berangsur baik. Mudah-mudahan segera ia menjadi sadar kembali.
Gabungan dari dua luka di tubuhnya, benar-benar menjadikannya menderita. Luka
tusukan di punggungnya telah sangat melemahkannya, dan noda biru itu telah
mengganggu pernafasannya.
Ternyata gerak
dada Untara kini telah jauh berbeda. Kini Untara telah tampak bernafas dengan
mudah. Sekali-sekali ia telah bergerak dan menggeliat perlahan-lahan sekali.
Apalagi dengan obat-obat yang dilumurkan oleh Ki Tanu Metir pada lukanya, sama
sekali telah menyumbat pendarahan. Kemudian Ki Tanu Metir yang menarik nafas dalam-dalam.
Lirih ia bergumam,
“Mudah-mudahan”
Setelah
pernafasan Untara itu menjadi baik kembali, serta beberapa kali ia telah dapat
menggerakkan tangannya, maka Ki Tanu Metir itu pun berkata,
“Biarlah
angger Untara tidur. Ia kini sudah tidak pingsan lagi. Namun karena tubuhnya
yang sangat lemah, maka ia belum dapat menyadari dirinya sesadar-sadarnya”
“Jadi,
luka-luka itu tidak membahayakan jiwanya Kiai?” desak Agung Sedayu
Ki Tanu Metir
menggeleng,
“Marilah kita
berdoa. Mudah-mudahan dugaanku benar. Angger Untara akan sembuh kembali”
Ruang
pringgitan itu menjadi sepi kembali. Mereka kini tidak lagi berdiri melingkari
Untara, namun mereka kini tidak lagi berdiri melingkari Untara, namun mereka
kini duduk di samping tubuh Untara yang masih terbaring diam. Sekar Mirah yang
tidak pergi keluar sejak ia menyerahkan jeruk pecel kini ikut duduk di situ
pula. Tetapi ia menjadi kecewa ketika ayahnya berkata,
“Mirah,
manakah minuman kami?”
Sekar Mirah
tidak menjawab, tetapi ia segera berdiri dan sambil bersungut-sungut ia keluar
dari pringgitan pergi ke dapur. Sejenak kemudian, mereka yang duduk di
pringgitan itu serentak berpaling, ketika mereka mendengar gerit pintu terbuka.
Di muka pintu itu mereka melihat, Sidanti berdiri tegak. Ketika dilihatnya
Widura maka anak muda itu menganggukkan kepalanya.
“Kakang
Widura” katanya,
“Apakah aku
boleh masuk?”
“Apakah kau
mempunyai suatu keperluan Sidanti?” bertanya Widura.
Sidanti
mengangguk sambil menjawab,
“Ya kakang”
“Kemarilah”
sahut Widura.
Sidanti itu
pun kemudian masuk ke pringgitan dan duduk di samping Widura, di tangannya ia
memegang sebuah bungkusan kecil.
“Kakang”
katanya,
“aku telah
mencoba menghubungi guruku. Aku katakan kepada guru, bahwa kakang Untara
terluka. Aku coba mengatakan besar, dalam dan letak luka itu” Sidanti berhenti
sesaat. Dicobanya mengawasi wajah-wajah mereka yang duduk di sekitarnya. Ketika
tak seorang pun menjawab maka Sidanti itu meneruskan,
“Namun sayang,
menurut guruku, luka demikian adalah luka yang sangat berbahaya. Luka yang tak
akan mungkin diobati. Meskipun demikian, maka kita wajib berusaha. Dan guruku
pun akan mencoba menolongnya apabila mungkin. Namun segala sesuatu bukanlah
kita yang menentukan. Dan inilah obat yang aku terima dari guruku itu. Biarlah
aku mencoba mengusapkannya pada luka itu”
Widura
mendengar kata-kata Sidanti itu dengan heran, dan bahkan sesaat ia berdiam
diri. Timbullah perasaan aneh terhadap Sidanti. Ternyata anak itu tidak sejahat
yang disangkanya. Dalam keadaan yang sulit, ia berusaha pula untuk berbuat
sesuatu meskipun hasilnya belum pasti akan tampak. Karena itu, maka sesaat
kemudian menjawab,
“Terima kasih
Sidanti”
Agung Sedayu
pun menjadi heran pula. tiba-tiba matanya menjadi suram. Ia menyesal bahwa ia
telah memusuhi anak muda itu. Ternyata kini ia telah berbuat sesuatu untuk
keselamatan kakaknya. Ki Demang dan Swandaru Geni pun menjadi bersenang hati
atas sikap itu. Dengan demikian, maka pertentangan di antara mereka menjadi
semakin tipis. Dan karenanya akan terjalinlah persatuan yang bulat di antara
semua kekuatan di Sangkal Putung. Tetapi yang masih saja berdiam diri adalah Ki
Tanu Metir. Ia masih belum tahu, obat apakah yang dibawa oleh Sidanti itu.
Karena itu, maka katanya,
“Angger,
apakah aku boleh melihat obat itu?”
Sidanti
memandang kepada Ki Tanu Metir, dengan penuh curiga, sehingga kemudian ia
bertanya kepada Widura,
“Siapakah
orang ini kakang?”
Widura
berpaling kepada Ki Tanu Metir, kemudian jawabya,
“Orang inilah
yang telah melakukan pertolongan pertama kepada Untara. Namanya Ki Tanu Metir.
Ki Tanu adalah seorang dukun yang berpengalaman”
Sidanti
mengerutkan keningnya. Tampaklah dari sorot matanya, bahwa ia tidak senang
melihat kehadiran Ki Tanu Metir. Maka katanya,
“Apakah Ki
Tanu Metir dapat pula mengobati? Atau barangkali seorang dukun yang dapat
menebak hati orang, atau menenung orang dari jauh dan menaruh guna-guna?”
“Oh tidak, tidak
ngger” sahut Ki Tanu Metir,
“Aku bukan
dukun semacam itu. Aku sama sekali tidak dapat menebak hati orang, merauh
guna-guna apalagi menenung. Yang aku ketahui hanyalah sekedar beberapa jenis
obat-obatan yang dapat dipakai untuk mengobati luka. Itu pun hanya aku dengar
dari nenek dan kakek. Hanya itu. Dan sekarang aku mencoba mengobati luka Untara
dengan cara yang pernah aku pelajari dari orang-orang tua itu”
“Hem” Sidanti
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya,
“Kalau begitu,
obat ini adalah obat yang pasti akan lebih baik dari obat Ki Tanu Metir. Sebab
obat ini diberikan oleh guruku, Ki Tambak Wedi”
Ki Tanu Metir
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ditatapnya wajah Sidanti dan Agung Sedayu
berganti-ganti. Kemudian ia menyahut,
“Mungkin Ki
Tambak Wedi itu seorang dukun yang pandai. Tetapi apakah ia dapat mengobati
tanpa melihat luka itu?”
“Tentu” jawab
Sidanti,
“Ki Tambak
Wedi dapat mengobati apa saja meskipun luka itu tidak dilihatnya. Sebab ia
pasti tahu bahwa luka senjata pada dasarnya sama saja. Menghentikan aliran
darah dan kemudian memampatkan luka itu untuk memulihkan jaringan daging yang
telah pecah dan sobek”
“Ya, ya,
begitu pulalah yang pernah aku dengar dari orang-orang tua” berkata Ki Tanu
Metir,
“Namun setiap
luka di tempat yang berbeda-beda membawa cirinya sendiri-sendiri. Dan luka
Angger Untara itu pun sudah pampat dan tidak mengalirkan darah lagi”
Sidanti
mengerutkan keningnya. Ia menjadi semakin tidak senang melihat Ki Tanu Metir
berada di ruangan itu. Ketika ia berpaling kepada Untara, maka katanya,
“Apakah tubuh
itu akan kita biarkan terbaring diam untuk kemudian mati? Kita harus berusaha,
meskipun seandainya usaha itu gagal. Namun kita akan mengkhianatinya apabila
kita biarkan saja Untara itu mati tanpa ikhtiar apapun”
Widura menjadi
ragu-ragu sejenak. Dibiarkannya mereka berdua berbicara. Sementara itu ia
mencari kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Namun ia tidak akan dapat
menolak kebaikan hati Ki Tambak Wedi. akhirnya Widura itu pun berkata,
“Sidanti,
darah yang mengalir dari luka itu telah berhenti. Untara kini telah tidur
nyenyak. Biarlah obat itu kau berikan kepadaku. Nanti apabila ia telah bangun,
biarlah aku mengobati lukanya, atau biarlah Ki Tanu Metir yang melumurkannya”
“Kenapa kita
menunda sampai nanti, kakang Untara pasti akan lebih menderita. Kalau kemudian
terlambat, maka akan sia-sia segala usaha”
“Tetapi pasti
tidak dapat sekarang” potong Ki Tanu Metir.
“Obat itu
mungkin sekali akan mengadakan tenggang-menenggang dengan obat yang lebih
dahulu telah aku lumurkan. Karena itu biarlah obat itu menunjukkan akibatnya
dahulu. Kalau ternyata tidak bermanfaat, baiklah kita ganti dengan obat yang
lain”
“Banyak waktu
yang terbuang” jawab Sidanti, kemudian kepada Widura ia berkata,
“Kakang, aku
minta ijin untuk mencoba mengobati luka itu”
“Nanti dulu
Sidanti” berkata Widura sambil berdiri,
“Jangan
memaksa. Aku sangat berterima kasih kepadamu dan kepada Ki Tambak Wedi yang
telah sudi memberikan obat itu. Namun sayang bahwa luka itu telah terlanjur
diobati, dan darahnya telah tuntas. Karena itu, marilah berikan kepadaku,
barangkali nanti kita perlukan”
Sidanti itu
pun menjadi sangat kecewa. Sehingga ia menggeram. Meskipun demikian ia masih
ingin memaksa, katanya,
“Kakang, buat
apa kita percaya kepada dukun itu. Biarlah aku mengobati luka itu kalau dukun
itu marah, biarlah aku patahkan lehernya”
“Ampun ngger,
jangan patahkan leherku. Aku masih sangat memerlukannya” Tiba-tiba Ki Tanu
Metir itu menyahut,
“Tetapi demi
kesembuhan angger Untara, jangan kau sentuh tubuhnya”
Agung Sedayu
menjadi bingung mendengarkan pembicaraan itu. Tetapi tiba-tiba ia menjadi
sangat tidak senang mendengar Sidanti mengancam Ki Tanu Metir. Meskipun ia
dapat menghargai usaha Sidanti, namun ia tidak dapat melupakan, bahwa Ki Tanu
Metir pernah menolong Untara itu dahulu, meskipun ia tidak tahu apa yang telah
terjadi setelah ia meninggalkan rumah Ki Tanu Metir itu, namun Untara itu
ternyata tertolong jiwanya. Sedang obat yang dibawa Sidanti itu masih harus
diuji pula. Karena itu, maka tiba-tiba ia berkata,
“Kakang
Sidanti, berikanlah obat itu kepada paman Widura. biarlah besok atau nanti,
paman Widura melumurkannya”
Sidanti itu
memandang wajah Agung Sedayu dengan tajamnya. Kemudian terdengarlah suaranya
parau,
“Agung Sedayu.
Ternyata kau tidak mempunyai rasa kasih sayang terhadap kakakmu itu. Apakah kau
akan menunggu sampai Untara mati, baru akan kau obati lukanya”
“Kalau kakang
Untara gugur, maka sudah tentu akulah yang paling bersedih. Tetapi ia kini
sudah berangsur baik. Karena itu jangan diganggu”
Sidanti itu
berpaling kepada Widura. dengan wajah yang tegang ia berkata,
“Bagaimana
kakang?”
“Berikan obat
itu kepadaku, Sidanti”
Sidanti itu
menjadi tegang. Namun kemudian ia tidak akan dapat memaksakan kehendaknya.
Karena itu diberikannya bungkusan daun waru di tangannya itu kepada Widura.
“Inilah
kakang. Namun kalau Untara itu tidak tertolong, maka kalianlah yang telah
membunuhnya. Meskipun demikian, aku mengharap obat itu akan dicoba pula”
“Baiklah, kami
akan mencoba obat ini besok kalau ternyata kami perlukan”
Sidanti tidak
berkata-kata lagi. Setelah bungkusan di tangannya itu diterima oleh Widura,
maka segera ia meninggalkan ruangan itu. Sekali ia berpaling ke arah Ki Tanu
Metir, dan sekali kepada Agung Sedayu.
Ki Tanu Metir
menangkap pertanyaan yang menyorot dari mata Widura. ia ingin penjelasan
tentang obat itu. Karena itu, maka Ki Tanu Metir itu pun berkata,
“angger
Widura, apakah aku boleh melihat obat itu?”
Widura
kemudian duduk kembali di tempatnya. Diberikannya bungkusan daun waru di
tangannya itu kepada Ki Tanu Metir. Katanya,
“Cobalah lihat
Kiai, apakah obat ini bermanfaat pula?”
Dengan
hati-hati Ki Tanu Metir membuka bungkusan itu. Ketika ia melihat obat yang
terbungkus di dalamnya tampak ia terkejut. Namun kemudian wajahnya menjadi
tenang kembali.
“Bagaimana
Kiai?” bertanya Widura ingin tahu.
Ki Tanu Metir
mengangkat alisnya. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata,
“Aku tidak
dapat memberikan obat ini kepada angger Untara, sebab aku tidak melihat
manfaatnya”
Widura
memandang Ki Tanu Metir dengan penuh pertanyaan. Ki Tambak Wedi adalah seorang
yang cukup sakti. Namun apakah kata-kata Ki Tanu Metir sebenarnya?
Ki Tanu Metir
melihat kebimbangan di wajah Widura. Karena itu ia mencoba menjelaskan,
“Aku
mempergunakan obat yang berlawanan dengan obat ini. Aku kira akibatnya akan
merugikan Angger Untara itu. Karena itu, biarlah kita tunggu saja sampai besok
pagi. Mudah-mudahan obat yang aku berikan akan berguna”
Ruangan itu
kemudian menjadi sepi kembali. Dikejauhan terdengar ayam jantan berkokok
bersahut-sahutan.
“Hampir fajar”
gumam Ki Tanu Metir.
Agung Sedayu
mengangguk. Perlahan-lahan ia bangkit dan mendekati tubuh Untara terbaring.
Tiba-tiba
Agung Sedayu itu membungkukkan badannya sambil berkata lirih,
“Ki Tanu,
kakang Untara telah bangun”
Ki Tanu Metir
itu pun segera berdiri dan mendekati Untara pula. Demikian pula Ki Demang
Sangkal Putung dan Swandaru Geni. Mereka bersama-sama berdiri mengelilingi
pembaringan Untara. Untara itu kini telah dapat menggerakkan kepalanya. Sekali
ia menarik nafas panjang, dan kemudian perlahan-lahan ia membuka matanya. Namun
sesaat kemudian mata itu terpejam kembali.
“Masih sangat
lemah” desis Ki Tanu Metir,
“Tetapi
pernafasannya telah menjadi wajar kembali”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan tegang ia menunggu perkembangan keadaan
Untara. Sehingga karenanya maka ia tetap saja berdiri di samping kakaknya
ketika orang-orang lain telah duduk kembali ke tempatnya.
Sesaat
kemudian Sekar Mirah datang sambil membawa minuman hangat. Setelah diserahkannya
mangkuk-mangkuk itu maka ia duduk di samping kakaknya. Tetapi segera ayahnya
berkata,
“Kau harus
menyiapkan makan pagi Sekar Mirah”
Sekar Mirah
itu mengerutkan keningnya. Sambil memberengut ia menjawab,
“Ayah. Aku
ingin istirahat. Meskipun aku tidak bertempur, tetapi semalam suntuk aku
berjalan mondar-mandir di dapur, menyiapkan segala macam makan dan minuman.
Apakah aku tidak boleh duduk sebentar saja?”
“Duduklah,
bahkan tidurlah. Tetapi tidak di sini”
Sekar Mirah
pun kemudian berdiri dan berjalan ke belakang. Wajahnya menjadi gelap dan
sekali ia berpaling sambil mencibirkan bibirnya kepada Swandaru Geni.
“Kenapa aku”
bentak Swandaru.
“Apa” sahut
Sekar Mirah, “Aku kan tidak apa-apa”
“Kau mencibir
aku” jawab Swandaru.
“Salahmu kau
melihat bibirku”
Swandaru masih
akan menjawab, tetapi ayahnya telah menggamitnya. Karena itu ia berdiam diri.
Tetapi dengan tangannya ia mengacungkan tinjunya ke arah Sekar Mirah. Sekali
lagi Sekar Mirah mencibirkan bibirnya kepadanya. Namun kemudian ia tenggelam
kebalik pintu. Tetapi sebelum ia hilang di belakang daun pintu itu, maka ia pun
sempat memandang Agung Sedayu dengan sudut matanya, sehingga Agung Sedayu
tertunduk karenanya.
Tetapi
perhatian Agung Sedayu kini bulat-bulat tertuju kepada kakaknya, keran itu ia
hampir tak memperdulikan apa saja yang terjadi. Ia mendengar juga sekali Sekar
Mirah berteriak di belakang rumahnya,
“Gila” berkata
Sekar Mirah itu, “Pergi sendiri”
Swandaru
mengangkat kepalanya. Hampir saja ia berdiri kalau ayahnya tidak menahannya,
“Bukan kau Swandaru”
Widura
menggigit bibirnya. Pasti Sidanti telah mengganggunya. Anak itu benar-benar
anak yang keras kepala. Namun Widura telah tidak segera berbuat apa-apa, sebab
suara Sekar Mirah itu pun telah hilang, dan bahkan dekat di balik dinding gadis
itu menggerutu,
“Anak setan.
Kenapa ia tidak mati dibunuh Macan Kepatihan?”
Dalam pada itu
sekali lagi Agung Sedayu melihat Untara menggerakkan kepalanya. Kemudian
perlahan-lahan ia membuka matanya. Ketika ia melihat Agung Sedayu berdiri di sampingnya
terdengar ia berdesis,
“Sedayu”
“Ya kakang”
jawab Agung Sedayu serta-merta.
Namun Untara
itu terdiam. Kembali matanya terkatub. Namun wajahnya kini sudah tdak seputih
mayat. Perlahan-lahan warna-warna merah mulai menjalari wajah itu. Dan
perlahan-lahan kepercayaan Agung Sedayu pun tumbuh pula. Ki Tanu Metir, setelah
meneguk minuman hangat itu, berdiri pula mendekati Untara. Dirabanya dada anak
muda itu, kemudian diurut-urutnya lambungnya pula. Sekali lagi Untara membuka
matanya. Ketika ia melihat Ki Tanu Metir berdiri di sampingnya pula, maka
tampaklah bibirnya bergerak.
“Kiai di
sini?”
“Ya ngger, aku
melihat bertempuran itu. Dan aku sengaja datang karena aku mendengar Angger
terluka”
Untara menarik
nafas dalam-dalam. Jawabnya,
“Ya, aku
terluka”. Kemudian desisnya,
“Sedayu.
Kemarilah. Kau ingin tahu siapa yang melukai aku?”
Bukan main
terkejutnya Sedayu mendengar kata-kata kakaknya itu. Karena itu dengan
serta-merta ia melangkah lebih mendekati kakaknya sambil berdesis,
“Ya kakang,
katakanlah siapa yang telah melukai kakang?”
Tidak saja
Agung Sedayu yang tertarik pada kata-kata itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar