Jilid 007 Halaman 1


KETEGANGAN menjadi semakin memuncak karenanya. Masing-masing agaknya mempunyai perhitungan sendiri-sendiri. Sidanti pun kemudian sudah bergerak diikuti oleh beberapa orang yang kebingungan, siap memasuki padesan di hadapannya. Tetapi terdengar Citra Gati berteriak,
“Jangan berbuat hal-hal yang dapat membahayakan diri kita sendiri, dalam usaha yang sia-sia. kalau kita pasti Untara ada di depan kita, maka biarlah kita pertaruhkan nyawa kita untuk mencarinya. Tetapi kemungkinan itu tipis sekali”
“Kau jangan menghinanya” sahut Sidanti keras-keras.
“Apakah kau sangka Untara terluka? Untara adalah seorang yang luar biasa. Aku sendiri pernah berkelahi melawannya. Karena itu, maka tak akan ia terluka dan terbaring di antara orang-orang yang luka. Aku hormati dia aku kagumi dia”
Kata-kata itu masuk akal pula. Karena itu beberapa orang menjadi mempercayai perhitungan itu. Tetapi Citra Gati tetap pada pendiriannya. Seandainya Untara telah terlanjur memasuki desa itu, maka pasti ia akan segera kembali dan memberikan aba-aba kepada mereka yang mengikutinya.
Dalam ketegangan yang dipenuhi oleh keragu-raguan itu tiba-tiba terdengar kembali Sidanti berkata,
“Taati perintahku. Aku mengambil alih pimpinan. Aku adalah orang yang paling baik di antara kalian”
“Tidak!” Citra Gati tiba-tiba berteriak tak kalah kerasnya,
“Aku ambil alih pimpinan. Aku adalah orang yang memiliki kedudukan tertua di antara kalian. Ketika kakang Widura meninggalkan Sangkal Putung, aku dan Hudayalah yang diserahi pimpinan”
“Persetan dengan tata cara itu. Sekarang aku mengkat diri menjadi pemimpin kalian. Apa maumu? Apakah aku harus membunuhmu?”
“Jangan berlagak jantan sendiri Sidanti. Aku tahu kau memiliki beberapa kelebihan dari kami. Tetapi kami bukan kelinci-kelinci yang patuh karena kami kau takut-takuti. Dengan meninggalkan tata cara yang ditetapkan dalam keprajuritan Pajang, maka kau adalah seorang pemberontak. Dan bagiku, bagi kami, laskar yang patuh pada tugas kami, maka nyawa kami akan kami pertaruhkan untuk menumpas setiap pemberontakan”
“Gila” teriak Sidanti,
“Ayo, siapakah yang menentang Sidanti, majulah”
Citra Gati bukan seorang penakut. Betapapun ia menyadari keringkihannya untuk melawan Sidanti, tetapi ia adalah soerang prajurit yang bertanggung-jawab. Karena itu, maka ia tidak gentar menghadapi apapun. Tetapi sayang, bahwa Citra Gati itu pun telah terbakar oleh perasaannya, sehingga ia lupa pada pokok persoalannya. Hilangnya Untara. Apalagi ketika Citra Gati menyadari, bahwa sebagian besar laskarnya condong kepadanya, sehingga dengan demikian hampir-hampir ia menjatuhkan perintah untuk bersama-sama menangkap Sidanti yang telah melanggar tata cara keprajuritan.

Tetapi dalam pada itu terdengar suara Agung Sedayu memecah ketegangan dan kepekatan malam. Katanya,
“Persetan dengan pimpinan atas laskar ini. Aku bukan prajurit Pajang, bukan pula laskar Sangkal Putung. Aku di sini dalam kedirianku sendiri, dalam tugas yang aku bebankan sendiri di pundakku, sehingga aku ikut bertempur bersama-sama kalian. Tetapi aku tidak diperintah oleh pemimpin yang manapun. Bertempurlah di antara kalian. Aku akan mencari kakang Untara. Aku sependapat dengan kakang Citra Gati, kakang Untara masih berada di belakang kita. Dan siapakah di antara kalian yang masih memiliki kesetiaan kepadanya ikutlah aku. Yang merasa diri kalian prajurit-prajurit yang baik, tunggulah sampai salah seorang berhasil membunuh orang-orang lain, dan mengangkat dirinya menjadi pemimpin laskar Pajang. Sedang tak seorang pun di antara kalian yang berusaha memberitahukan hal ini kepada paman Widura, pemimpin yang sebenarnya atas kalian. Dan siapa yang mencoba menghalangi Agung Sedayu, maka pedangku akan berbicara”
Kata-kata Agung Sedayu itu seakan-akan merupakan suatu pemecahan yang dapat mereka lakukan. tiba-tiba salah seorang dari mereka, seorang penghubung berlari ke arah padesan di belakang mereka. Di sanalah kudanya ditambatkan.
“He, kemana kau?” teriak Sidanti yang menjadi marah.
“Aku akan melaporkannya kepada Ki Widura”
Sidanti tidak mencegahnya. Sikap itu agaknya telah mendapat dukungan dari setiap orang dalam pasukan itu.
Sedang Agung Sedayu kemudian tidak memperdulikan apa-apa lagi. Ia berjalan saja langsung ke garis peperangan untuk mencari kakaknya. Dalam hiruk-pikuk perkelahian itu, adalah sangat mungkin bagi seseorang untuk mendapat serangan tanpa diketahuinya, apalagi Untara yang saat itu sedang menumpahkan perhatiannya kepada Tohpati.
Citra Gati, Hudaya dan sebagian besar dari mereka kemudian berjalan mengikuti Agung Sedayu. Mereka berjalan sambil memperhatikan keadaan di sekeliling mereka. Dengan beberapa buah obor di tangan mereka mencoba mengamati setiap tubuh yang terbaring. Dengan demikian maka sekaligus mereka dapat menemukan beberapa orang yang terluka, namun kiwanya masih mungkin diselamatkan.
“Rawat mereka” berkata Agung Sedayu. Ia tidak tahu lagi apakah ia berhak berkata demikian atau tidak. Namun menurut pendapatnya, semua orang berkepentingan dalam masalah kemanusiaan. Berhak atau tidak berhak.

Dalam kesibukan itu, maka mereka mendengar derap beberapa ekor kuda yang datang dari Sangkal Putung. Ketika mereka mengangkat wajah-wajah mereka, maka mereka melihat kedatangan Widura beserta beberapa orang pengawalnya.
“Apa yang sedang kalian lakukan?” bertanya Widura masih dari atas kudanya.
“Kami mencari kakang Untara” sahut Agung Sedayu.
Widura mengerutkan keningnya. Sukar dimengerti olehnya bahwa Untara terluka, dan terbaring di antara mereka yang jatuh di dalam pertempuran itu.
“Apakah menurut perhitunganmu, hal itu mungkin terjadi Sedayu?” bertanya Widura.
Sebelum Agung Sedayu menjawab, terdengar suara Sidanti lantang,
“Aku sudah mengatakan kepada mereka, bahwa Untara tidak mungkin terluka. Beberapa orang melihat bahwa Untara yang melukai Tohpati bukan Untara yand dilukai”
Widura mengerutkan keningnya. Dipandangnya Agung Sedayu yang masih termangu-mangu. Namun kemudian jawabnya, “Kalau kakang Untara tidak terluka, maka ia pasti sudah kembali. Apakah menurut dugaan paman, kakang Untara tidak terluka tetapi justru tertangkap oleh Tohpati?”
“Tidak mungkin” sahut Widura serta-merta.
“Nah kalau begitu kemana? Terluka tidak, tertangkap tidak. Apakah kakang Untara mengejar musuh itu seorang diri tanpa memberikan perintah kepada kami di sini?”
Widura menggeleng-gelengkan kepala. Jawabnya,
“Juga tidak”
“Lalu bagaimana?” bertanya Agung Sedayu yang menjadi sangat gelisah karena kehilangan kakaknya. Semula, ketika ia masih digenggam oleh perasaan takut setiap saat, maka kakaknya adalah satu-satunya tempat untuk melindungkan dirinya. Namun kini, meskipun ia merasa bahwa akhirnya dirinya sendirilah yang paling baik untuk menyelamatkan dirinya itu, maka yang tinggal adalah suatu ikatan kasih sayang seorang adik terhadap seorang kakak yang telah melindunginya bertahun-tahun. Seorang kakak yang telah banyak berkorban untuknya. Seorang kakak yang telah berusaha sekuat-kuat tenaganya untuk membentuknya menjadi seorang laki-laki yang sebenarnya, meskipun kakaknya itu telah hampir menjadi berputus asa atas kemajuan yang dicapainya. Namun kini ia telah menemukan dirinya. Dan karena itu maka terasa di dalam dirinya suatu kewajiban untuk berbuat sesuatu untuk kepentingan kakaknya itu. Apa pun yang akan dihadapinya.

Widura itu pun kemudian meloncat pula dari kudanya. Setelah ia melayangkan pandangan matanya sejenak berkeliling bekas medan peperangan itu, ia bergumam,
“Aku sependapat dengan kau Sedayu” Kemudian kepada seluruh laskarnya Widura itu mengeluarkan perintah,
“Semua mencari di antara orang-orang yang terluka”
Beberapa orang kemudian tersebar di sepanjang garis pertempuran. Mereka berusaha untuk melihat satu persatu dibawah cahaya obor yang suram. Hanya Sidanti sajalah yang berjalan mondar-mandir dengan malasnya. Bahkan terdengar ia bergumam,
“Tak ada gunanya”
Agung Sedayu sama sekali tidak memperhatikannya. Dengan tekun ia mencari kakaknya bersama-sama dengan Citra Gati dan Hudaya. Sedangkan Widura sendiri bersama dengan beberapa orang lain pun telah ikut mencari pula di antara mereka.
Tiba-tiba dalam kesepian malam itu terdengar seseorang berteriak lantang sambil melambai-lambaikan obornya,
“Inilah. Inilah yang kita cari”
Agung Sedayu benar-benar terkejut mendengar teriakan itu. Seperti kuda yang terlepas dari ikatan, ia meloncat hampir melanggar beberapa orang lain yang berdiri di sampingnya. diloncatinya saja setiap tubuh yang terbaring di tanah. Bahkan beberapa kali kakinya telah terperosok kedalam lubang-lubang di pematang. Demikian pula dengan beberapa orang yang lain. Widura pun terkejut bukan main. Seperti Agung Sedayu segera ia meloncat berlari ke arah suara itu. Ketika mereka sampai, dan ketika mereka melihat orang yang terbaring diam dengan darah yang memerahi tubuhnya, ternyatalah bahwa orang itu sebenarnya Untara. Tubuhnya telah menjadi sangat lemahnya, karena darah yang banyak sekali mengalir dari lukanya, bahkan beberapa orang telah menyangkanya mati. Agung Sedayu dengan gemetar berlutut di samping kakaknya sambil memanggil-manggil,
“Kakang, Kakang Untara. Kakang”
Tetapi Untara tidak menjawab. bibirnya menjadi seputih kapas, dan tubuhnya telah menjadi sangat dinginnya.
Perlahan-lahan Widura menempelkan telinganya di dada Untara. Kemudian dengan penuh harapan ia berkata,
“Masih aku dengar jantungnya berdetak. Karena itu, carilah lukanya. Usahakan untuk menyumbatnya, supaya darahnya tidak terlalu banyak mengalir”
Tubuh Untara yang lemah itu pun segera diangkat. Dan serentak mereka terkejut bukan kepalang. Pasti bukan Tohpati yang melukainya. Sebuah belati tertancap di punggung Untara itu.”Hem” terdengar Widura menggeram. Dengan hati-hati pisau itu ditariknya. Dan kemudian katanya tergesa-gesa,
“Kain. Balutlah lukanya”
Beberapa orang menjadi bingung. Mereka tidak membawa secarik kain pun untuk membalut luka itu. Namun kemudian Agung Sedayu membuka ikat kepalanya, dan dengan ikat kepala itu ia mencoba menyumbat luka Untara.

Untara itu pun kemudian dikerumuni oleh hampir semua orang di dalam pasukan itu. Sidanti pun kemudian datang pula, menerobos lingkaran itu sambil berkata,
“Apakah benar kakang Untara terluka?”
Agung Sedayu mengangkat wajahnya, ditatapnya wajah Sidanti. Wajah yang keras dan tajam. Namun ia tidak menjawab pertanyaan itu. Yang menjawab adalah Widura,
“Ya, Untara ternyata terluka”
“Benar-benar tidak menyangka” katanya sambil melangkah maju. Kini anak muda itu berdiri selangkah di belakang Widura. Ditatapnya tubuh Untara yang lemah terbaring di tanah, sedang beberapa orang masih berusaha membalut luka itu.
Sidanti itu kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata,
“Seseorang melihat kakang Untara berhasil melukai Tohpati. Tetapi kenapa tiba-tiba ia terluka?”
Tak seorang pun yang menjawab kata-kata itu. Widura juga tidak. Sedang Agung Sedayu telah sibuk kembali dengan luka Untara itu. Semua orang yang berdiri melingkar itu menahan nafas mereka. Seolah-olah ikut merasakan, betapa pedihnya luka itu. Luka yang menghunjam masuk ke dalam punggung Untara. Suasana kemudian menjadi sepi. Angin malam yang dingin menghembus perlahan-lahan, mengguncang batang-batang padi yang bergerak-gerak terinjak-injak oleh kaki-kaki mereka yang sedang bertempur. Sedang dikejauhan terdengar bunyi binatang-binatang malam bersahut-sahutan. Di langit yang biru bersih, terpancang berjuta bintang gemintang yang berkilat-kilat. Sekali-sekali tampak kelelawar beterbangan merajai langit dimalam hari.
Dalam keheningan malam itu tiba-tiba terdengar Sidanti berdesah,
“Terlambat. Tidak ada gunanya lagi. Untara telah mati”
Semua yang mendengar desah itu terkejut. Lebih-lebih Agung Sedayu. Karena itu, maka tiba-tiba ia berkata lantang,
“Jangan memerkecut hati kami. Kami sedang berusaha”
“Aku memandang segala persoalan menurut pertimbangan nalar” sahut Sidanti,
“Keadaan itu sudah sangat gawat. Apa pun yang kalian usahakan akan sia-sia saja”
“Tidak” potong Widura, “Kemungkinan masih ada”
Terdengar Sidanti tertawa pendek,
“Untara bukan malaikat. Tusukan itu tepat dan dalam. Untara, seperti juga orang lain yang mengalami peristiwa serupa, pasti akan mati”
“Tutup mulutmu!” tiba-tiba Agung Sedayu yang tidak dapat menahan hati lagi membentak lantang,
“kalau kau tidak merasa perlu untuk menolongnya, jangan membuat kami berputus asa”

Sidanti mengerutkan keningnya mendengar bentakan itu. Dengan tidak kalah lantangnya ia menjawab,
“Jangan bersikap seperti kaulah pemimpin laskar ini. Yang mendapat kepercayaan dari panglima Tamtama adalah Untara, bukan kau. Karena itu jangan membentak-bentak”
“Aku tidak peduli apakah dan siapakah yang memimpin laskar ini. Tetapi aku tidak mau mendengar kau berkata seolah-olah sudah sewajarnya kakang Untara harus mati. Kau lihat kami sedang berusaha untuk menolongnya”
“Itu urusanmu” sahut Sidanti,
“Aku hanya mengatakan bahwa menurut pendapatku, Untara tidak akan dapat ditolong lagi”
“Jangan kau katakan di hadapanku”
“Apa hakmu melarang aku berkata menurut pertimbanganku sendiri”
Agung Sedayu bukanlah seorang yang cepat menjadi marah karena pengaruh sifat-sifatnya. Ia adalah seorang yang lemah hati yang memandang semua persoalan dari segi yang paling damai. Tetapi meskipun demikian kali ini ia merasa benar-benar tersinggung. Kakaknya adalah orang yang paling dihormati sepeninggal orang tuanya. Kakaknya adalah orang yang paling baik di muka bumi ini, yang telah banyak berbuat untuknya, untuk kepentingannya. Karena itu, maka tanggapan Sidanti atas kakaknya itu benar-benar telah membakar telinganya sehingga Agung Sedayu itu seakan-akan kehilangan segenap sifat-sifatnya. Tiba-tiba ia menjadi keras dan dengan serta-merta ia berdiri sambil berkata,
“Sidanti, kau ingin perselisihan, maka sekarang adalah waktunya. Aku selalu mencoba menghindari setiap benturan di antara kita sejauh mungkin. Namun kau selalu membuat persoalan. Sekarang, kalau kau menantang aku, aku terima tantanganmu. Dengan atau tanpa senjata”
Tak seorang pun yang menyangka bahwa Agung Sedayu akan mengucapkan kata-kata itu. Kata-kata yang terlalu keras dan langsung. Kata-kata yang menggeletar karena getaran di dalam dadanya. Getaran yang telah memenuhi rongga hatinya yang Betapapun luasnya. Sehingga akhirnya meluap juga, menggetarkan udara malam yang dingin.

Sidanti pun sama sekali tidak menyangka, bahwa Agung Sedayu tiba-tiba saja berbuat demikian. Sesaat ia berdiri termangu-mangu dilihatnya di dalam sinar obor yang kemerah-merahan mata Agung Sedayu yang menyala-nyala. Namun Sidanti adalah seorang yang keras hati. Ketika ia menyadari keadaan, tiba-tiba ia mengangkat dadanya. Dengan lantang ia menjawab kata-kata Agung Sedayu,
“Bagus. Aku tantang kau saat ini”
Agung Sedayu tidak menunggu apa pun lagi. Setapak ia maju. Dan ketika ia melihat di tangan Sidanti masih tergenggam senjatanya yang aneh, maka dengan tanpa menghiraukan apa pun lagi, dengan tangkasnya ditariknya pedangnya dari wrangkanya. Tetapi tepat pada saatnya Widura telah berdiri di antara mereka. Dengan tenang ia berkata,
“Aku memerintahkan kalian menghindari bentrokan yang dapat terjadi. Aku perintahkan pada Sidanti selaku seorang prajurit di bawah pimpinanku, dan aku perintahkan kepada Agung Sedayu selagi masih keponakanku”
Kembali suasana menjadi sunyi senyap. Sidanti dan Agung Sedayu merasakan perbawa kata-kata Widura. Karena itu, maka mereka pun menundukkan wajah masing-masing.
Sesaat kemudian terdengar pula Widura itu berkata,
“Sekarang bawa Untara kembali ke Sangkal Putung. Cepat supaya kita dapat memberikan pertolongan yang lebih baik. Darah telah terlampau banyak tertumpah di sini. Apakah masih ada yang akan memeras lagi darahnya? Apalagi tanpa arti?”
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi segera ia melangkah mendekati tubuh kakaknya dan ikut serta mengangkatnya. Namun terasa bahwa sesuatu bergolak di dalam dadanya. Sedang Sidanti masih tegak di tempatnya. Diawasinya Agung Sedayu melangkah pergi, menyarungkan pedangnya dan kemudian bersama-sama dengan beberapa orang mengangkat tubuh Untara. Widura pun kemudian meninggalkan Sidanti itu pula. di belakang mereka yang mengangkat tubuh Untara, Widura berjalan sambil menggigit bibirnya. Seribu satu macam persoalan membentur dinding hatinya. Untara yang baru saja sembuh dari lukanya, kini telah terluka kembali. Bahkan agak lebih parah. Kalau anak muda itu tidak segera mendapat pengobatan yang baik, maka jiwanya ada dalam bahaya.

Ketika laskar Pajang dan anak-anak muda Sangkal Putung pergi meninggalkan tempat itu, maka Sidanti masih saja berdiri seperti patung. Dilihatnya Widura berjalan sambil menundukkan kepalanya dan dilihatnya laskar itu seakan-akan berduka. Tiba-tiba timbullah iri di hatinya,
“Apakah kalau aku terluka maka semua orang akan berduka seperti itu?” katanya dalam hati.
Ketika kemudian terdengar suara ayam jantan berkokok, Sidanti itu terkejut. Terasa kemudian betapa silirnya angin yang mengusap tubuhnya. Ketika ia mengangkat wajahnya dilihatnya bintang-bintang masih bercahaya di langit di atas kepalanya. Dilihatnya bintang Bima Sakti melintang dari kutub ke kutub, dilingkaran serbuk bintang yang keputih-putihan seperti awan yang bercahaya. Di mukanya berpuluh-puluh obor berjalan semakin lama menjadi semakin jauh. Ketika ia kemudian melangkah, tiba-tiba ia dikejutkan oleh sebuah desir yang lembut. Cepat ia berpaling sambil menyiagakan senjatanya. Tetapi kemudian ia menarik nafas dalam-dalam ketika ia melihat orang yang mendatanginya. Gurunya, Ki Tambak Wedi.
“Apakah kau terkejut Sidanti?”
Sidanti menarik nafas. Jawabnya,
“Ya guru. Aku baru saja bertempur di sini. Karena itu, maka aku masih diliputi oleh suasana itu”
Gurunya itu tertawa pendek,
“Aku melihat pertempuran ini. Aku melihat pula kalian mencari pemimpin kalian yang bernama Untara itu”
Sidanti tersenyum pula,
“Hem. Pokal orang-orang gila itu” desisnya.
Ki Tambak Wedi itu pun kemudian mengawasi obor-obor yang semakin menjauh. Nyala apinya kemudian seakan-akan hanya merupakan bintik-bintik merah yang bergerak-gerak di atas layar yang hitam.

Dalam pada itu, Agung Sedayu dengan penuh keprihatinan membawa tubuh kakaknya bersama-sama beberapa orang lain. Terasa pula padanya, alangkah besar bahaya yang selama ini mengancam jiwa kakaknya dalam pengabdiannya. Luka kakaknya yang pertama seakan-akan baru kemarin dibebatnya di daerah sekitar Macanan. Kini kakaknya sudah terluka kembali. Namun demikian, kakaknya bukanlah korban satu-satunya. Di daerah bekas pertempuran itu masih banyak tubuh-tubuh lain yang bergelimpangan. Kawan atau lawan. Beberapa di antara mereka sudah tidak bernyawa lagi. Namun sebagian lagi masih hidup, merintih-rintih menahan sakit. Karena itu, tiba-tiba Agung Sedayu itu berpaling kepada pamannya sambil berkata,
“Paman, apakah orang-orang lain yang terluka di garis peperangan itu tidak mendapat perawatan seperti kakang Untara ini?”
Pamannya mengangguk. Jawabnya,
“Ya. Beberapa orang lain bertugas mengurusi mereka. Baik yang sudah meninggal. Maupun yang masih mungkin mendapat pertolongan”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ketika terpandang kembali wajah kakaknya yang pucat, hatinya berdesir keras. Dengan demikian, maka Agung Sedayu dan orang-orang yang membawa Untara itu berjalan semakin cepat. Untara harus segera mendapat pengobatan sewajarnya. Kabar tentang Untara segera tersebar ke seluruh Sangkal Putung. Beberapa orang semula menjadi kecewa mendengar berita itu. Salah seorang di antara mereka berkata,
“Kalau begitu, Untara benar-benar bukan orang yang pantas kita harapkan di sini. Seperti kabar-kabar yang kita dengar, ternyata Untara sama sekali tidak mampu mempertahankan dan menyelamatkan dirinya sendiri”
“Kau salah” jawab yang lain.
“Untara sebenarnya tidak sisip dari berita yang kita dengar di sini. Ternyata Untara memang tidak dapat dikalahkan oleh Macan Kepatihan. Seseorang melihat Untara berhasil merobek lengan Tohpati. Bahkan kemudian mendesaknya terus. Seandainya Tohpati tidak segera mengundurkan dirinya, maka kemungkinan yang hampir pasti, Tohpati akan dapat dibinasakan oleh Untara. Namun, ketika kita sedang mengejar laskar lawan yang mengundurkan diri, seseorang menyerangnya dengan curang, menusukkan pisau itu terhunjam di punggungnya”

Orang pertama menyesal atas penilaiannya terhadap Untara. Karena itu cepat-cepat ia membetulkan kesalahan,
“Oh, aku keliru. Ternyata Untara benar-benar mengagumkan. Namun jika seandainya seseorang berhasil melukainya, meskipun dari belakang, maka orang yang melakukan itu pasti seseorang yang pilih tanding pula”
“Mungkin” jawab orang kedua,
“Di dalam laskar lawan terdapat Alap-alap Jalatunda, Plasa Ireng dan lain-lain”
“Plasa Ireng sudah mati”
Orang kedua itu mengerutkan keningnya.
“Ya, ia mati dalam keadaan yang mengerikan. Hem. Sidanti benar-benar berdarah dingin. Dengan tangannya ia merobek-robek tubuh lawannya yang sudah tidak berdaya”
“Sungguh berlawanan dengan Agung Sedayu” sahut yang lain.
“Menurut Swandaru Geni, Agung Sedayu menyesal ketika ia membunuh seseorang meskipun di dalam peperangan”
Kemudian keduanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Dilihatnya beberapa kawan-kawan mereka sedang berbaring-baring saja di muka regol kademangan karena kelelahan. Beberapa orang duduk-duduk di halaman, sedang yang lain masih berada di banjar desa. Orang-orang yang terluka pun kemudian dibawa kebajar desa itu untuk mendapat pertolongan sekedarnya. Tetapi Untara tidak dibawa ke bajar desa. Untara itu oleh Widura disuruhnya membawa ke kademangan saja. Sebab Untara adalah orang penting bagi Pajang. Mau tidak mau Ki Ageng Pemanahan pasti akan menjadi heran atas keadaannya. Untara itu pun kemudian dibaringkan di dalam pringgitan kademangan. Agung Sedayu, Widura, Ki Demang Sangkal Putung, Swandaru dan beberapa orang lagi berdiri memagarinya. Mereka menyaksikan dengan penuh haru, tubuh Untara yang terbaring diam. Meskipun demikian, mereka masih mempunyai harapan bahwa Untara akan dapat sadar kembali, karena mereka masih melihat dada Untara bergerak-gerak dalam pernafasan yang sulit. Ki Demang pun menjadi gelisah pula. ia telah menyuruh beberapa orang untuk mencari daun-daun yang menurut pendengarannya dapat menolong sementara, menghentikan aliran darah.
“Untunglah” gumam Widura, “Lukanya agak terlalu tinggi, sehingga tidak langsung menyentuh jantungnya”
Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun demikian, keadaan Untara cukup berbahaya.

Dalam pada itu, hampir setiap orang berbicara tentang Untara, tentang lukanya di punggung. Mereka bersepakat bahwa Untara mendapat serangan dari belakang dengan cara yang curang.
“Di dalam perang brubuh hal itu memang mungkin sekali terjadi” bisik salah seorang yang bertugas di gardu pertama.
Yang diajak berbicara mengangguk. Katanya,
“Tetapi aneh. Tohpati dan Untara bertempur tepat di garis pertempuran. Apakah kemudian Untara mendesaknya hingga masuk kedalam lingkungan laskar Jipang, dan dalam pada itu ia mendapat serangan dari belakang?”
“Aku tidak melihatnya demikian. Kita bersama mendesak mereka. Dan mereka mundur dalam satu garis yang teratur, meskipun di sana sini timbul pula kekacauan yang memungkinkan hal-hal semacam itu terjadi”
“Tetapi yang melukai Untara pasti bukan Macan Kepatihan”
“Pasti bukan” jawab yang lain.
Mereka kemudian terdiam. Tetapi mereka dikejutkan oleh sebuah bayangan yang perlahan-lahan mendatanginya. Orang-orang itu segera bersiaga. Dengan menggenggam hulu pedangnya yang masih disangkutkan di dalam sarungnya ia menyapa,
“Siapa itu?”
Orang yang disapa itu mengangkat wajahnya. Sambil berjalan terus ia menjawab,
“Aku ngger, aku”
“Aku siapa?” bertanya penjaga itu pula.
Orang yang disapanya itu berjalan semakin dekat. Dengan langkah satu-satu iam menjadi semakin jelas. Seorang tua dengan sebuah tongkat kecil di tangannya.
“Siapa itu” penjaga itu mengulangi.
“Aku ngger, aku” jawabnya. Suaranya pun telah memberitahukan kepada para penjaga bahwa orang itu adalah seorang tua.
“Siapa namamu?”
Orang itu sudah dekat benar. Dengan nafas terengah-engah ia berkata,
“Huh. Aku hampir mati ketakutan melihat pertempuran itu”
“Kau melihat pertempuran itu kek? Bertanya salah seorang penjaga.
“Ya, aku melihat” jawabnya.
“Kenapa melihat, kalau kau hampir mati ketakutan?”
“Aku tidak sengaja melihat. Aku berjalan lewat daerah itu. Dan di daerah itu terjadi pertempuran”
“Mau kemana kau sebenarnya kakek?”
“Pulang ke dukuh Pakuwon”
“Dukuh Pakuwon?” bertanya para penjaga keheranan,
“Dari mana?”
Orang itu terdiam. Nafasnya masih saja terengah-engah. Baru kemudian ia menjawab,
“Aku baru saja pulang dari pesisir”
“Dari pesisir?”
“Ya. Aku baru saka mencari kulit kerang hijau. Kulit kerang ini sangat baik untuk mengobati luka-luka”
“Kau dapatkan kulit kerang itu?”
“Ya”
“Dapatkah dipakai untuk mengobati luka senjata tajam?”
“Tentu. Tentu”
“Banyak kawan-kawan kami terluka. Apakah kau mau mengobati mereka?”
“Tentu. Tentu”

Penjaga itu menjadi ragu-ragu sejenak. Ia tidak dapat percaya begitu saja kepada orang yang belum dikenalnya. Karena itu, maka katanya kemudian,
“Pemimpin kami terluka. Marilah, aku antarkan kau kekademangan. Biarlah para pemimpin yang menentukan, apakah obatmu dapat menolongnya”
“Siapakah yang terluka?”
“Untara”
“Untara?” kakek itu mengulang.
Orang tua itu pun kemudian dibawa oleh beberapa orang penjaga kekademangan. Ketika mereka sampai di pendapa, maka mereka melihat beberapa orang masih sibuk di pringgitan sehingga para penjaga itu menjadi ragu-ragu. Tetapi karena keinginan mereka untuk mengantarkan orang tua itu, maka diberanikan dirinya mengetuk pintu yang masih terbuka itu.
Widura berpaling ke arah mereka. Dilihatnya seorang penjaga berdiri tegak di muka pintu.
“Ada apa?” katanya.
Maka diceritakannya tentang orang tua yang telah mendapatkan kerang hijau yang dapat untuk menyembuhkan luka-luka.
Widura yang sedang digelisahkan oleh luka Untara itu tidak berpikir panjang. Segera ia berkata,
“Bawa orang itu masuk kemari”
Orang tua itu pun segera dipersilakan masuk ke pringgitan. Namun demikian ia melangkah pintu, terdengarlah Agung Sedayu menyapanya lantang,
“Ki Tanu Metir!”
Orang tua itu memandang berkeliling. Akhirnya dilihatnya Agung Sedayu di antara mereka. Karena itu, maka tampaklah ia tersenyum sambil menganggukkan kepalanya,
“Kau di sini juga ngger?”
“Ya Ki Tanu. Aku menunggui kakakku yang terluka” tiba-tiba Agung Sedayu itu teringat pula kepada peristiwa yang dialaminya di Macanan. Maka katanya pula,
“Ki Tanu. Kakakku yang terluka ini ada kakakku itu pula. Kakang Untara”
“He?” orang tua itu terkejut,
“Apakah angger Untara belum sembuh?”

Semua orang yang berada di pringgitan memandang orang tua yang bernama Ki Tanu Metir itu dengan seksama. Mereka menjadi heran, bahwa ternyata orang itu agaknya telah mengenal Untara dan Agung Sedayu dengan baik.
Agung Sedayu pun kemudian menjelaskan,
“Kakang Untara baru saja terluka dalam pertempuran di perbatasan Sangkal Putung. Bukan luka yang dahulu”
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya,
“Hem. Itu adalah akibat dari kedudukannya. Baru saja angger Untara sembuh, kini ia telah terluka kembali”
“Ya Kiai” sahut Widura,
“Setiap prajurit menyadari hal itu. Kami pun di sini menyadari, dan Untara pun menyadari”
“Angger benar” jawab Ki Tanu Metir sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katnaya,
“Siapakah angger ini?”
Widura ragu-ragu sesaat. Yang menjawab adalah Agung Sedayu,
“Paman Widura. pemimpin laskar Pajang di Sangkal Putung”
“Oh” desah orang tua itu, yang kemudian berkata pula kepada Widura,
“Angger, apakah aku diperbolehkan mencoba mengobati luka angger Untara?”
“Silakan Kiai. Kami akan berterima kasih kepada Kiai. Menurut cerita yang pernah aku dengar, Kiai pernah juga merawat Untara beberapa waktu yang lewat”
“Ya ya” sahut Ki Tanu Metir sambil melangkah maju.
Kemudian dengan sangat hati-hati ia mengamati dan meraba-raba luka Untara itu.

Semua orang menegang nafas. Mereka berharap-harap cemas, mudah-mudahan orang tua itu dapat memberinya obat. Tampaklah Ki Tanu Metir mengerutkan keningnya. Kemudian kepada Agung Sedayu ia berkata,
“Angger, tolonglah aku membuka bajunya”
Dengan tergesa-gesa Agung Sedayu pun segera menolong Ki Tanu Metir, dengan sangat hati-hati membuka baju Untara. Dari bungkusannya, Ki Tanu Metir mengeluarkan beberapa jenis obat-obatan, yang kemudian dilumurkan di sekitar luka Untara.
“Marilah kita berdoa di dalam hati kita. Sebab kita hanya wenang berusaha, dan Tuhan lah yang akhirnya menentukan. Mudah-mudahan angger Untara segera sembuh”
“Apakah luka itu tidak terlalu berat Kiai?” bertanya Agung Sedayu dengan cemas.
Ki Tanu Metir menggeleng,
“Tidak terlalu berbahaya”
Semua orang menarik nafas panjang mendengar keterangan Ki Tanu Metir, meskipun banyak di antara mereka yang meragukannya. Kalau luka itu tidak berat, maka orang seperti Untara itu tidak akan mengalami pingsan sedemikian kerasnya.
“Angger” berkata Ki Tanu Metir kepada Widura,
“Biarlah Angger Untara beristirahat. Dan biarlah udara di pringgitan ini menjadi sejuk. Karena itu, apabila tidak berkeberatan, biarlah yang kurang berkepentingan meninggalkan ruangan ini”
Widura menjadi ragu-ragu untuk sesaat, diamatinya wajah orang tua itu. Namun kemudian ia berkata,
“Baiklah. biarlah ruangan ini menjadi jernih”
Beberapa orang lain segera meninggalkan ruangan itu. Mereka mengerti juga, bahwa dengan demikian udara di dalam ruang pringgitan itu menjadi tidak terlalu panas.

Di dalam ruang itu kini tinggal Widura, Ki Demang Sangkal Putung, Agung Sedayu dan Swandaru. Dari balik dinding Sekar Mirah mencoba mengintip mereka. Tetapi ia tidak berani masuk ke dalam pringgitan itu, sebab agaknya ayahnya dan beberapa orang yang lain lagi berwajah tegang. Dari beberapa orang ia mendengar bahwa Untara terluka. Sekar Mirah menjadi gembira ketika ayahnya memanggilnya. Setelah ia berlari menjauh, maka dari kejauhan itu ia menjawab,
“Ya ayah”
“Kemarilah”
Dengan berlari-lari kecil Sekar Mirah itu masuk ke pringgitan dari pintu belakang. Gadis itu tertegun di pintu ketika ia memandang wajah Agung Sedayu yang suram. Tetapi kesuramannya itu tampaknya menambah Agung Sedayu menjadi dewasa.
“Ambillah jeruk” berkata ayahnya.
“Jeruk apa ayah?”
“Jeruk pecel” sahut ayahnya.
“Ya ayah” jawab gadis itu sambil berlari.
Widura sekejap memandang wajah kemenakannya. Ia melihat sesuatu pada wajah itu, tetapi ia tidak berkata apapun. Setelah ruangan itu menjadi sepi, maka terdengarlah Agung Sedayu bertanya,
“Ki Tanu, apakah benar luka itu tidak begitu parah?”
“Luka itu tidak parah ngger, tetapi aku kira tidak membahayakan jiwanya apabila aku berhasil mengembalikan pernafasannya dengan wajar. Yang lebih berbahaya bagi angger Untara bukan luka itu, tetapi lihatlah” Ki Tanu Metir itu kemudian menunjukkan sebuah noda kebiru-biruan di lambung kanan Untara. Semua yang menyaksikan noda itu terkejut karenanya. Dengan serta-merta Agung Sedayu bertanya, “Noda apakah itu Kiai?”
“Sebuah pukulan yang tepat di arah ulu hati. Untunglah bahwa pukulan itu dilakukan agak tergesa-gesa, sehingga agaknya belum mempergunakan tenaga sepenuhnya”
Semua orang yang berada di tempat itu merenungi noda itu dengan seksama. Mereka melihat di sekitar noda yang kebiru-biruan itu menjadi agak bengkak dan berwarna kemerah-merahan.
“Ada dua kemungkinan Kiai” berkata Widura,
“Pukulan itu tidak dilakukan dengan sepenuh tenaga karena tergesa-gesa atau memang penyerangnya kurang mempunyai tenaga untuk membuat Untara itu menjadi semakin parah”
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Ya. Mungkin. Namun menilik kemudian yang dapat dilakukan atas angger Untara, maka orang itu pasti bukan orang kebanyakan”

Kembali ruangan itu menjadi diam. Masing-masing mencoba untuk mencari setiap kemungkinan yang dapat terjadi atas Untara itu, namun tak seorang pun yang mampu untuk mencoba menebak, siapakah yang telah melakukannya. Pringgitan itu kini menjadi sepi. Ki Tanu Metir masih saja merenungi tubuh Untara. Diraba-rabanya dan dipijit-pijitnya. Sekar Mirah pun kemudian masuk kembali ke pringgitan itu dengan beberapa buah jeruk nipis. Diserahkannya jeruk itu kepada ayahnya, dan kemudian oleh ayahnya, jeruk itu diberikannya kepada Ki Tanu Metir.
“Terima kasih” sahut dukun tua itu.
Setelah dipotong-potong maka jeruk nipis itu pun diperasnya dan dicampurkannya pada ramuan obat-obatan. Dengan ramuan itu Ki Tanu Metir mencoba mengurut-urut jalan pernafasan Untara. Dari lambung dada dan punggungnya. Sesaat kemudian terdengarlah Untara itu berdesah, lalu terdengar pula sebuah tarikan nafas yang panjang.
“Bagaimana Kiai?” terdengar Widura bertanya.
Ki Tanu Metir tidak segera menjawab. ia masih menekan bagian bawah dada Untara dan mengurutnya perlahan-lahan. Sekali lagi Untara menarik nafas panjang, kemudian terdengar ia mengeluh pendek. Agung Sedayu, Widura, dan Ki Demang Sangkal Putung mendesak maju. Sedang Swandaru Geni berdiri kaku di belakang ayahnya. Mereka kemudian menarik nafas lega ketika Ki Tanu Metir itu berkata,
“Pernafasan angger Untara sudah berangsur baik. Mudah-mudahan segera ia menjadi sadar kembali. Gabungan dari dua luka di tubuhnya, benar-benar menjadikannya menderita. Luka tusukan di punggungnya telah sangat melemahkannya, dan noda biru itu telah mengganggu pernafasannya.
Ternyata gerak dada Untara kini telah jauh berbeda. Kini Untara telah tampak bernafas dengan mudah. Sekali-sekali ia telah bergerak dan menggeliat perlahan-lahan sekali. Apalagi dengan obat-obat yang dilumurkan oleh Ki Tanu Metir pada lukanya, sama sekali telah menyumbat pendarahan. Kemudian Ki Tanu Metir yang menarik nafas dalam-dalam. Lirih ia bergumam,
“Mudah-mudahan”
Setelah pernafasan Untara itu menjadi baik kembali, serta beberapa kali ia telah dapat menggerakkan tangannya, maka Ki Tanu Metir itu pun berkata,
“Biarlah angger Untara tidur. Ia kini sudah tidak pingsan lagi. Namun karena tubuhnya yang sangat lemah, maka ia belum dapat menyadari dirinya sesadar-sadarnya”
“Jadi, luka-luka itu tidak membahayakan jiwanya Kiai?” desak Agung Sedayu
Ki Tanu Metir menggeleng,
“Marilah kita berdoa. Mudah-mudahan dugaanku benar. Angger Untara akan sembuh kembali”

Ruang pringgitan itu menjadi sepi kembali. Mereka kini tidak lagi berdiri melingkari Untara, namun mereka kini tidak lagi berdiri melingkari Untara, namun mereka kini duduk di samping tubuh Untara yang masih terbaring diam. Sekar Mirah yang tidak pergi keluar sejak ia menyerahkan jeruk pecel kini ikut duduk di situ pula. Tetapi ia menjadi kecewa ketika ayahnya berkata,
“Mirah, manakah minuman kami?”
Sekar Mirah tidak menjawab, tetapi ia segera berdiri dan sambil bersungut-sungut ia keluar dari pringgitan pergi ke dapur. Sejenak kemudian, mereka yang duduk di pringgitan itu serentak berpaling, ketika mereka mendengar gerit pintu terbuka. Di muka pintu itu mereka melihat, Sidanti berdiri tegak. Ketika dilihatnya Widura maka anak muda itu menganggukkan kepalanya.
“Kakang Widura” katanya,
“Apakah aku boleh masuk?”
“Apakah kau mempunyai suatu keperluan Sidanti?” bertanya Widura.
Sidanti mengangguk sambil menjawab,
“Ya kakang”
“Kemarilah” sahut Widura.
Sidanti itu pun kemudian masuk ke pringgitan dan duduk di samping Widura, di tangannya ia memegang sebuah bungkusan kecil.
“Kakang” katanya,
“aku telah mencoba menghubungi guruku. Aku katakan kepada guru, bahwa kakang Untara terluka. Aku coba mengatakan besar, dalam dan letak luka itu” Sidanti berhenti sesaat. Dicobanya mengawasi wajah-wajah mereka yang duduk di sekitarnya. Ketika tak seorang pun menjawab maka Sidanti itu meneruskan,
“Namun sayang, menurut guruku, luka demikian adalah luka yang sangat berbahaya. Luka yang tak akan mungkin diobati. Meskipun demikian, maka kita wajib berusaha. Dan guruku pun akan mencoba menolongnya apabila mungkin. Namun segala sesuatu bukanlah kita yang menentukan. Dan inilah obat yang aku terima dari guruku itu. Biarlah aku mencoba mengusapkannya pada luka itu”

Widura mendengar kata-kata Sidanti itu dengan heran, dan bahkan sesaat ia berdiam diri. Timbullah perasaan aneh terhadap Sidanti. Ternyata anak itu tidak sejahat yang disangkanya. Dalam keadaan yang sulit, ia berusaha pula untuk berbuat sesuatu meskipun hasilnya belum pasti akan tampak. Karena itu, maka sesaat kemudian menjawab,
“Terima kasih Sidanti”
Agung Sedayu pun menjadi heran pula. tiba-tiba matanya menjadi suram. Ia menyesal bahwa ia telah memusuhi anak muda itu. Ternyata kini ia telah berbuat sesuatu untuk keselamatan kakaknya. Ki Demang dan Swandaru Geni pun menjadi bersenang hati atas sikap itu. Dengan demikian, maka pertentangan di antara mereka menjadi semakin tipis. Dan karenanya akan terjalinlah persatuan yang bulat di antara semua kekuatan di Sangkal Putung. Tetapi yang masih saja berdiam diri adalah Ki Tanu Metir. Ia masih belum tahu, obat apakah yang dibawa oleh Sidanti itu. Karena itu, maka katanya,
“Angger, apakah aku boleh melihat obat itu?”
Sidanti memandang kepada Ki Tanu Metir, dengan penuh curiga, sehingga kemudian ia bertanya kepada Widura,
“Siapakah orang ini kakang?”
Widura berpaling kepada Ki Tanu Metir, kemudian jawabya,
“Orang inilah yang telah melakukan pertolongan pertama kepada Untara. Namanya Ki Tanu Metir. Ki Tanu adalah seorang dukun yang berpengalaman”

Sidanti mengerutkan keningnya. Tampaklah dari sorot matanya, bahwa ia tidak senang melihat kehadiran Ki Tanu Metir. Maka katanya,
“Apakah Ki Tanu Metir dapat pula mengobati? Atau barangkali seorang dukun yang dapat menebak hati orang, atau menenung orang dari jauh dan menaruh guna-guna?”
“Oh tidak, tidak ngger” sahut Ki Tanu Metir,
“Aku bukan dukun semacam itu. Aku sama sekali tidak dapat menebak hati orang, merauh guna-guna apalagi menenung. Yang aku ketahui hanyalah sekedar beberapa jenis obat-obatan yang dapat dipakai untuk mengobati luka. Itu pun hanya aku dengar dari nenek dan kakek. Hanya itu. Dan sekarang aku mencoba mengobati luka Untara dengan cara yang pernah aku pelajari dari orang-orang tua itu”
“Hem” Sidanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya,
“Kalau begitu, obat ini adalah obat yang pasti akan lebih baik dari obat Ki Tanu Metir. Sebab obat ini diberikan oleh guruku, Ki Tambak Wedi”
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Ditatapnya wajah Sidanti dan Agung Sedayu berganti-ganti. Kemudian ia menyahut,
“Mungkin Ki Tambak Wedi itu seorang dukun yang pandai. Tetapi apakah ia dapat mengobati tanpa melihat luka itu?”
“Tentu” jawab Sidanti,
“Ki Tambak Wedi dapat mengobati apa saja meskipun luka itu tidak dilihatnya. Sebab ia pasti tahu bahwa luka senjata pada dasarnya sama saja. Menghentikan aliran darah dan kemudian memampatkan luka itu untuk memulihkan jaringan daging yang telah pecah dan sobek”
“Ya, ya, begitu pulalah yang pernah aku dengar dari orang-orang tua” berkata Ki Tanu Metir,
“Namun setiap luka di tempat yang berbeda-beda membawa cirinya sendiri-sendiri. Dan luka Angger Untara itu pun sudah pampat dan tidak mengalirkan darah lagi”
Sidanti mengerutkan keningnya. Ia menjadi semakin tidak senang melihat Ki Tanu Metir berada di ruangan itu. Ketika ia berpaling kepada Untara, maka katanya,
“Apakah tubuh itu akan kita biarkan terbaring diam untuk kemudian mati? Kita harus berusaha, meskipun seandainya usaha itu gagal. Namun kita akan mengkhianatinya apabila kita biarkan saja Untara itu mati tanpa ikhtiar apapun”

Widura menjadi ragu-ragu sejenak. Dibiarkannya mereka berdua berbicara. Sementara itu ia mencari kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Namun ia tidak akan dapat menolak kebaikan hati Ki Tambak Wedi. akhirnya Widura itu pun berkata,
“Sidanti, darah yang mengalir dari luka itu telah berhenti. Untara kini telah tidur nyenyak. Biarlah obat itu kau berikan kepadaku. Nanti apabila ia telah bangun, biarlah aku mengobati lukanya, atau biarlah Ki Tanu Metir yang melumurkannya”
“Kenapa kita menunda sampai nanti, kakang Untara pasti akan lebih menderita. Kalau kemudian terlambat, maka akan sia-sia segala usaha”
“Tetapi pasti tidak dapat sekarang” potong Ki Tanu Metir.
“Obat itu mungkin sekali akan mengadakan tenggang-menenggang dengan obat yang lebih dahulu telah aku lumurkan. Karena itu biarlah obat itu menunjukkan akibatnya dahulu. Kalau ternyata tidak bermanfaat, baiklah kita ganti dengan obat yang lain”
“Banyak waktu yang terbuang” jawab Sidanti, kemudian kepada Widura ia berkata,
“Kakang, aku minta ijin untuk mencoba mengobati luka itu”
“Nanti dulu Sidanti” berkata Widura sambil berdiri,
“Jangan memaksa. Aku sangat berterima kasih kepadamu dan kepada Ki Tambak Wedi yang telah sudi memberikan obat itu. Namun sayang bahwa luka itu telah terlanjur diobati, dan darahnya telah tuntas. Karena itu, marilah berikan kepadaku, barangkali nanti kita perlukan”
Sidanti itu pun menjadi sangat kecewa. Sehingga ia menggeram. Meskipun demikian ia masih ingin memaksa, katanya,
“Kakang, buat apa kita percaya kepada dukun itu. Biarlah aku mengobati luka itu kalau dukun itu marah, biarlah aku patahkan lehernya”
“Ampun ngger, jangan patahkan leherku. Aku masih sangat memerlukannya” Tiba-tiba Ki Tanu Metir itu menyahut,
“Tetapi demi kesembuhan angger Untara, jangan kau sentuh tubuhnya”

Agung Sedayu menjadi bingung mendengarkan pembicaraan itu. Tetapi tiba-tiba ia menjadi sangat tidak senang mendengar Sidanti mengancam Ki Tanu Metir. Meskipun ia dapat menghargai usaha Sidanti, namun ia tidak dapat melupakan, bahwa Ki Tanu Metir pernah menolong Untara itu dahulu, meskipun ia tidak tahu apa yang telah terjadi setelah ia meninggalkan rumah Ki Tanu Metir itu, namun Untara itu ternyata tertolong jiwanya. Sedang obat yang dibawa Sidanti itu masih harus diuji pula. Karena itu, maka tiba-tiba ia berkata,
“Kakang Sidanti, berikanlah obat itu kepada paman Widura. biarlah besok atau nanti, paman Widura melumurkannya”
Sidanti itu memandang wajah Agung Sedayu dengan tajamnya. Kemudian terdengarlah suaranya parau,
“Agung Sedayu. Ternyata kau tidak mempunyai rasa kasih sayang terhadap kakakmu itu. Apakah kau akan menunggu sampai Untara mati, baru akan kau obati lukanya”
“Kalau kakang Untara gugur, maka sudah tentu akulah yang paling bersedih. Tetapi ia kini sudah berangsur baik. Karena itu jangan diganggu”
Sidanti itu berpaling kepada Widura. dengan wajah yang tegang ia berkata,
“Bagaimana kakang?”
“Berikan obat itu kepadaku, Sidanti”
Sidanti itu menjadi tegang. Namun kemudian ia tidak akan dapat memaksakan kehendaknya. Karena itu diberikannya bungkusan daun waru di tangannya itu kepada Widura.
“Inilah kakang. Namun kalau Untara itu tidak tertolong, maka kalianlah yang telah membunuhnya. Meskipun demikian, aku mengharap obat itu akan dicoba pula”
“Baiklah, kami akan mencoba obat ini besok kalau ternyata kami perlukan”
Sidanti tidak berkata-kata lagi. Setelah bungkusan di tangannya itu diterima oleh Widura, maka segera ia meninggalkan ruangan itu. Sekali ia berpaling ke arah Ki Tanu Metir, dan sekali kepada Agung Sedayu.
Ki Tanu Metir menangkap pertanyaan yang menyorot dari mata Widura. ia ingin penjelasan tentang obat itu. Karena itu, maka Ki Tanu Metir itu pun berkata,
“angger Widura, apakah aku boleh melihat obat itu?”
Widura kemudian duduk kembali di tempatnya. Diberikannya bungkusan daun waru di tangannya itu kepada Ki Tanu Metir. Katanya,
“Cobalah lihat Kiai, apakah obat ini bermanfaat pula?”

Dengan hati-hati Ki Tanu Metir membuka bungkusan itu. Ketika ia melihat obat yang terbungkus di dalamnya tampak ia terkejut. Namun kemudian wajahnya menjadi tenang kembali.
“Bagaimana Kiai?” bertanya Widura ingin tahu.
Ki Tanu Metir mengangkat alisnya. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata,
“Aku tidak dapat memberikan obat ini kepada angger Untara, sebab aku tidak melihat manfaatnya”
Widura memandang Ki Tanu Metir dengan penuh pertanyaan. Ki Tambak Wedi adalah seorang yang cukup sakti. Namun apakah kata-kata Ki Tanu Metir sebenarnya?
Ki Tanu Metir melihat kebimbangan di wajah Widura. Karena itu ia mencoba menjelaskan,
“Aku mempergunakan obat yang berlawanan dengan obat ini. Aku kira akibatnya akan merugikan Angger Untara itu. Karena itu, biarlah kita tunggu saja sampai besok pagi. Mudah-mudahan obat yang aku berikan akan berguna”
Ruangan itu kemudian menjadi sepi kembali. Dikejauhan terdengar ayam jantan berkokok bersahut-sahutan.
“Hampir fajar” gumam Ki Tanu Metir.
Agung Sedayu mengangguk. Perlahan-lahan ia bangkit dan mendekati tubuh Untara terbaring.
Tiba-tiba Agung Sedayu itu membungkukkan badannya sambil berkata lirih,
“Ki Tanu, kakang Untara telah bangun”
Ki Tanu Metir itu pun segera berdiri dan mendekati Untara pula. Demikian pula Ki Demang Sangkal Putung dan Swandaru Geni. Mereka bersama-sama berdiri mengelilingi pembaringan Untara. Untara itu kini telah dapat menggerakkan kepalanya. Sekali ia menarik nafas panjang, dan kemudian perlahan-lahan ia membuka matanya. Namun sesaat kemudian mata itu terpejam kembali.
“Masih sangat lemah” desis Ki Tanu Metir,
“Tetapi pernafasannya telah menjadi wajar kembali”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan tegang ia menunggu perkembangan keadaan Untara. Sehingga karenanya maka ia tetap saja berdiri di samping kakaknya ketika orang-orang lain telah duduk kembali ke tempatnya.

Sesaat kemudian Sekar Mirah datang sambil membawa minuman hangat. Setelah diserahkannya mangkuk-mangkuk itu maka ia duduk di samping kakaknya. Tetapi segera ayahnya berkata,
“Kau harus menyiapkan makan pagi Sekar Mirah”
Sekar Mirah itu mengerutkan keningnya. Sambil memberengut ia menjawab,
“Ayah. Aku ingin istirahat. Meskipun aku tidak bertempur, tetapi semalam suntuk aku berjalan mondar-mandir di dapur, menyiapkan segala macam makan dan minuman. Apakah aku tidak boleh duduk sebentar saja?”
“Duduklah, bahkan tidurlah. Tetapi tidak di sini”
Sekar Mirah pun kemudian berdiri dan berjalan ke belakang. Wajahnya menjadi gelap dan sekali ia berpaling sambil mencibirkan bibirnya kepada Swandaru Geni.
“Kenapa aku” bentak Swandaru.
“Apa” sahut Sekar Mirah, “Aku kan tidak apa-apa”
“Kau mencibir aku” jawab Swandaru.
“Salahmu kau melihat bibirku”
Swandaru masih akan menjawab, tetapi ayahnya telah menggamitnya. Karena itu ia berdiam diri. Tetapi dengan tangannya ia mengacungkan tinjunya ke arah Sekar Mirah. Sekali lagi Sekar Mirah mencibirkan bibirnya kepadanya. Namun kemudian ia tenggelam kebalik pintu. Tetapi sebelum ia hilang di belakang daun pintu itu, maka ia pun sempat memandang Agung Sedayu dengan sudut matanya, sehingga Agung Sedayu tertunduk karenanya.

Tetapi perhatian Agung Sedayu kini bulat-bulat tertuju kepada kakaknya, keran itu ia hampir tak memperdulikan apa saja yang terjadi. Ia mendengar juga sekali Sekar Mirah berteriak di belakang rumahnya,
“Gila” berkata Sekar Mirah itu, “Pergi sendiri”
Swandaru mengangkat kepalanya. Hampir saja ia berdiri kalau ayahnya tidak menahannya,
“Bukan kau Swandaru”
Widura menggigit bibirnya. Pasti Sidanti telah mengganggunya. Anak itu benar-benar anak yang keras kepala. Namun Widura telah tidak segera berbuat apa-apa, sebab suara Sekar Mirah itu pun telah hilang, dan bahkan dekat di balik dinding gadis itu menggerutu,
“Anak setan. Kenapa ia tidak mati dibunuh Macan Kepatihan?”
Dalam pada itu sekali lagi Agung Sedayu melihat Untara menggerakkan kepalanya. Kemudian perlahan-lahan ia membuka matanya. Ketika ia melihat Agung Sedayu berdiri di sampingnya terdengar ia berdesis,
“Sedayu”
“Ya kakang” jawab Agung Sedayu serta-merta.
Namun Untara itu terdiam. Kembali matanya terkatub. Namun wajahnya kini sudah tdak seputih mayat. Perlahan-lahan warna-warna merah mulai menjalari wajah itu. Dan perlahan-lahan kepercayaan Agung Sedayu pun tumbuh pula. Ki Tanu Metir, setelah meneguk minuman hangat itu, berdiri pula mendekati Untara. Dirabanya dada anak muda itu, kemudian diurut-urutnya lambungnya pula. Sekali lagi Untara membuka matanya. Ketika ia melihat Ki Tanu Metir berdiri di sampingnya pula, maka tampaklah bibirnya bergerak.
“Kiai di sini?”
“Ya ngger, aku melihat bertempuran itu. Dan aku sengaja datang karena aku mendengar Angger terluka”
Untara menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya,
“Ya, aku terluka”. Kemudian desisnya,
“Sedayu. Kemarilah. Kau ingin tahu siapa yang melukai aku?”
Bukan main terkejutnya Sedayu mendengar kata-kata kakaknya itu. Karena itu dengan serta-merta ia melangkah lebih mendekati kakaknya sambil berdesis,
“Ya kakang, katakanlah siapa yang telah melukai kakang?”
Tidak saja Agung Sedayu yang tertarik pada kata-kata itu.


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar