WAJAH Swandaru menjadi merah padam. Sambil bersungut-sungut ditatapnya wajah Agung Sedayu sejenak. Ketika ia melihat Agung Sedayu masih juga tersenyum, Swandaru bergumam,
“Tidak. Aku
tidak sedang sakit.”
Gurunya tidak
segera menyahut. Kini dipandanginya wajah Agung Sedayu yang masih juga
tersenyum.
“Benar, Guru.
Adi Swandaru sedang sakit. Tetapi yang sakit bukan badannya.”
Gurunya
menjadi tegang. Dengan nada yang tinggi ia bertanya,
“Ya Swandaru,
kau sakit? Tetapi yang sakit bukan badanmu?”
Kini sadarlah
Swandaru yang gemuk itu, bahwa gurunya pun agaknya telah dengan sengaja
mengganggunya. Karena itu maka jawabnya,
“Ya. Yang
sakit bukan badanku. Tetapi ingatanku.”
Kiai Gringsing
dan Agung Sedayu pun kemudian tertawa, sedang Swandaru masih juga
bersungut-sungut. Namun akhirnya Kiai Gringsing berkata,
“Baiklah.
Kalau demikian biarlah Angger Swandaru berada di sini. Aku agak kurang
menghiraukan perasaannya. Tetapi kini aku mengerti, bahwa memang sebaiknya
Anakmas Swandaru tidak ikut serta. Ia memang perlu beristirahat sepekan dua
pekan.”
Swandaru tidak
menjawab. Ditatapnya wajah Agung Sedayu yang melemparkan tatapan matanya
jauh-jauh.
“Angger Agung
Sedayu akan pergi sendiri bersama pasukan kecil itu mengantarkan Ki Argajaya
karena hal itu memang diperlukan,” berkata Kiai Gringsing kemudian.
“Baik Guru,”
jawab Agung Sedayu. Namun tiba-tiba mereka berpaling ketika terdengar suara
Sekar Mirah,
“Aku akan ikut
serta bersama Kakang Agung Sedayu menggantikan Kakang Swandaru di dalam pasukan
itu.”
Kiai Gringsing
mengerutkan keningnya. Sekilas ia berpaling ke arah Ki Sumangkar, seolah-olah
ia berkata,
“Apakah kita
akan dapat mengijinkannya?”
Ki Sumangkar
pun kemudian menarik nafas dalam-dalam.
“Apakah kau
perlu ikut bersamanya?” Sumangkar bertanya.
“Ya, Guru,”
jawab Sekar Mirah, “Kakang Swandaru merasa perlu untuk tinggal.”
“Tetapi,”
berkata Kiai Gringsing,
“aku menjadi
bingung. Di mana aku harus berada. Aku tinggal di sini atau aku harus pergi
bersama Agung Sedayu dan Sekar Mirah?”
“Kenapa Kiai
harus pergi bersama aku dan Kakang Agung Sedayu atau menunggui Kakang
Swandaru?”
Kiai Gringsing
tidak dapat segera menjawab. Tetapi ketika ia memandang wajah Ki Sumangkar,
orang tua itu pun menganggukkan kepalanya. Ia tahu bahwa Kiai Gringsing
memerlukannya. Adalah kurang bijaksana bahwa yang tua-tua membiarkan anak-anak
muda itu tanpa pengawasan, justru mereka telah menyatakan diri mereka saling
mengikat.
“Kiai,”
berkata Ki Sumangkar kemudian,
“aku akan ikut
bersama Sekar Mirah dan Angger Agung Sedayu.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan agaknya anak-anak muda itu pun kemudian
menyadari, kenapa orang-orang tua itu menjadi bingung untuk melepaskan mereka
pergi berdua saja.
Dengan
demikian, maka meskipun dengan alasan yang lain, Ki Sumangkar turut serta
bersama dengan Agung Sedayu dan Sekar Mirah di dalam pasukan kecil yang
mengantarkan Ki Argajaya. Atas pendapat Kiai Gringsing, Ki Argapati pun tidak
berkeberatan, bahwa kedua orang itu pun pergi bersama Agung Sedayu untuk
membantu kesulitan yang mungkin timbul.
Maka setelah
pasukan kecil itu bersiap seluruhnya, mereka pun kemudian berangkat
meninggalkan induk padukuhan. Agaknya rombongan kecil itu memang benar-benar
telah menarik perhatian. Beberapa orang yang melihatnya segera memberitahukan
kepada tetangga-tetangganya, bahwa sekelompok pasukan pengawal Menoreh telah
lewat mengantarkan Ki Argajaya.
“He,” desis
seseorang yang melihat pasukan itu,
“bukankah di
antara mereka itu terdapat Ki Argajaya?”
“Ya, Ki
Argajaya? Apakah ia akan dibawa ke tempat hukumannya yang baru?”
“Mungkin, ia
akan digantung di bawah Puncang Kembar.”
“Tidak,”
seseorang menggeleng,
“tidak ada
tanda-tanda bahwa ia akan menjalani hukuman. Mungkin ia akan dibebaskan.
Bukankah Ki Argapati telah menyerukan pengampunan umum?”
Orang-orang
itu pun saling berpadangan. Salah seorang yang tidak mau berteka-teki tiba-tiba
berteriak,
“He, akan
dibawa ke mana orang itu?”
Hampir segenap
isi rombongan kecil itu berpaling. Tetapi tidak seorang pun yang menjawab.
“Apakah orang
itu akan digantung di bawah Pucang Kembar?” teriak orang itu pula.
Tidak
seorang pun juga yang menjawabnya.
Namun, pertanyaan itu benar-benar telah menyentuh perasaan Ki Argajaya. Kini ia
menyadari, betapa tanggapan rakyat Menoreh kepadanya. Kepada perbuatan yang
telah dilakukannya.
Karena itu, maka
kepalanya yang tunduk menjadi semakin tunduk. Sebuah pengakuan yang mendalam
telah menusuk-nusuk jantungnya. Apalagi ketika dilihatnya sawah-sawah yang
kering dan tidak terpelihara. Di sana-sini para petani sedang sibuk memperbaiki
parit sehingga mereka masih belum sempat menanami sawahnya yang memang tidak
dapat dikerjakannya selama peperangan berkecamuk. Hatinya berdesir tajam ketika
mereka melewati sebuah regol yang sudah menjadi abu dan belum sempat
diperbaiki. Para pengawal terpaksa mendampingi Ki Argajaya ketika mereka
melihat anak-anak muda yang berkumpul di ujung jalan padukuhannya itu berteriak,
“Ha, inilah
salah seorang yang telah membakar regol kita.”
“Bukan hanya
regol kita,” teriak yang lain,
“tetapi ia
sudah membakar seluruh Tanah Perdikan Menoreh.”
Terasa dada Ki
Argajaya menjadi semakin pepat. Tetapi ia sudah menemukan pengakuan yang
pasrah. Ia memang telah melakukan semua kesalahan itu, sehingga ia harus
menelan kepahitan perasaan itu tanpa dapat mengelak lagi. Karena itu maka ia
pun kemudian berjalan dengan kepala yang tetap tunduk. Seakan-akan ia tidak
berani lagi memandang Tanah Perdikan Menoreh yang porak poranda itu.
“Apakah kita
masih akan berjalan jauh?” tiba-tiba salah seorang pengawal berdesis.
Pemimpin pengawal
dan kawan-kawannya pun segera berpaling kepadanya. Sudah tentu ia tahu bahwa
mereka masih akan berjalan beberapa lama lagi, melintasi beberapa buah bulak
dan padukuhan.
“Kenapa?”
bertanya pemimpin pengawal.
“Kenapa kita
harus mengantarkannya pulang? Apakah orang itu belum pernah melihat jalan di
daerah ini?”
Dada Argajaya
berdesir. Ternyata bukan saja orang-orang di tepi-tepi jalan yang mengumpatnya.
Bahkan di dalam pasukan pengawal ini pun
terselip perasaan itu.
Pemimpin
pengawal itu pun menjadi berdebar-debar pula. Dugaannya ternyata tidak jauh
keliru. Kalau perasaan itu berkembang, maka keadaan akan menjadi panas. Karena
itu cepat-cepat ia menjawab,
“Itu bukan
persoalan kita. Kita mengemban perintah Ki Gede Menoreh, apa pun alasannya.”
Ternyata usahanya
untuk sementara berhasil. Pengawal itu tidak bertanya lebih lanjut, sedang
orang-orang lain yamg mulai dijalari oleh perasaan yang serupa, yang agaknya
sudah mulai akan terangkat oleh pertanyaan seorang kawannya itu, menjadi
terbungkam. Mereka menghormati Kepala Tanah Perdikannya, sehingga mereka patuh
menjalani tugas yang dibebankan kepada mereka. Mengantarkan Ki Argajaya dengan
selamat sampai di rumahnya, kemudian mengawal rumah itu untuk sementara sampai
petugas yang akan menggantikan mereka datang.
Dalam pada
itu, di balik gerumbul-gerumbul liar agak di tengah-tengah sawah yang tidak
terpelihara, beberapa orang melihat iring-iringan itu dengan wajah yang tegang.
Salah seorang daripadanya adalah seorang anak laki-laki yang masih sangat muda.
“Kemana mereka
akan pergi?” salah seorang dari mereka itu berdesis.
“Ini adalah
suatu pameran kebaikan hati Ki Argapati. Mungkin ini adalah satu dari sekian
banyak orang yang diampuninya dalam rangka pengampunan umum yang telah
diteriakkan oleh Kepala Tanah Perdikan yang nyaris terbunuh itu.”
Anak yang
masih sangat muda yang ada di antara mereka tidak segera dapat menyambung
pembicaraan kawan-kawannya. Ia melihat, bahwa di antara rombongan itu adalah
ayahnya.
“Bukankah itu
Ki Argajaya?” desis seorang kawannya. Anak muda itu mengangguk.
“Agaknya ayah
akan diantarkan pulang,” desisnya.
“Pulang? Atau
mungkin ke suatu tujuan yang tidak diketahui.”
“Jalan ini
adalah jalan pulang. Mungkin ayah telah mengucapkan sumpah untuk tetap setia
kepada Ki Gede. Atau janji-janji yang lain.”
“Mungkin.
Mungkin juga Ki Argajaya akan menjadi alat yang baik untuk menangkap kita.”
Anak muda itu
mengerutkan keningnya. Dan kawannya berkata seterusnya,
“Aku tidak
mengira bahwa Ki Argajaya akan bersedia melakukannya.”
“Apakah kau
yakin bahwa ayah akan berbuat demikian?”
“Lalu
apalagi?”
“Apakah ayah
tidak sedang dibawa ke suatu tempat untuk menjalani hukuman?”
“Aku
sependapat dengan kau. Jalan ini adalah jalan pulang bagi Ki Argajaya.”
Anak muda itu
terdiam.
“Kita
mengangkat senjata justru karena kita membela pendirian Ki Argajaya, Sidanti,
dan Ki Tambak Wedi. Aku menaruh hormat yang tinggi kepada Sidanti yang memilih
mati dari segala keadaan yang lain. Ia tidak menyerah meskipun ia berhadapan
langsung dengan Ki Argapati, yang meskipun orang itu adalah ayahnya sendiri.
Itu adalah suatu sikap yang jantan.”
Anak muda itu
menjadi tegang.
“Tetapi Ki
Argajaya memilih jalan lain.”
“Persetan orang
itu,” geram anak muda itu,
“aku akan
memilih jalan seperti Kakang Sidanti, meskipun ia adalah ayahku sendiri. Tetapi
ayah sudah ingkar pada perjuangan kita. Kita sudah terlanjur menyingsingkan
lengan baju kita. Kini ayah menyerahkan diri seperti seorang pengecut.”
“Kita akan
berhenti bertempur kalau kita sudah mati. Seandainya kita menyerah sekalipun,
apakah jaminannya bahwa kita akan benar-benar diampuni seperti Ki Argajaya?
Seandainya Ki Argajaya tidak akan dipergunakan sebagai alat untuk menjerat
kita, aku kira Argapati tidak akan bersikap begitu lunak kepadanya.”
“Kita akan
memilih waktu. Aku mengenal halaman rumahku dengan baik. Pasti jauh lebih baik
dari pengawal-pengawal yang bodoh itu, sehingga meskipun halaman rumah itu
dijaga, aku pasti akan dapat memasukinya.”
“Kita tidak
akan ingkar pada perjuangan yang sudah kita letakkan. Kalau kita tidak berputus
asa, maka lambat laun kita akan mendapat pengikut pula. Kita harus menumbuhkan
ketidakpuasan rakyat kepada keadaan yang berkembang kemudian.”
“Aku akan
pulang pada suatu saat,” desis anak muda itu,
“aku akan
menemui ayah di rumah. Kalau ayah berkeras hati, apa boleh buat. Kakang Sidanti
juga mati di tangan ayahnya. Bagaimana kalau terjadi sebaliknya?”
“Sidanti mati
dibunuh adiknya selagi ia beradu di hadapan ayahnya.”
“Itu tentu
sudah diatur sebelumnya.”
Mereka pun kemudian terdiam sejenak. Mereka memandang
iring-iringan. itu semakin lama menjadi semakin jauh.
“Persetan
dengan mereka,” anak muda itu menggeram pula, “akan datang saatnya kita
menuntut.”
“Ya, kita yang
sudah dikorbankannya, kemudian ditinggalkannya dalam keadaan yang sulit ini.”
Sekelompok
orang-orang itu pun masih memandangi iring-iringan itu untuk sejenak. Namun
kemudian mereka segera bergeser dan menghilang di antara tetanaman liar yang
tumbuh di sana sini. Mereka sudah berketetapan untuk membalas sakit hati mereka
yang mereka tanggungkan selama ini. Kekalahan yang bertubi-tubi dan apalagi
kini mereka, merasa tidak berharga sama sekali. Satu-satunya jalan bagi mereka
untuk dapat sekedar mengobati sakit hati itu adalah melakukan kekerasan. Siapa
pun korbannya. Dan kini mereka telah menemukan sasaran yang menggairahkan. Ki
Argajaya yang telah mereka anggap berkhianat. Ki Argajaya sendiri merasa bahwa
ia memang berada di dalam keadaan yang sulit. Ternyata Ki Argapati bukan hanya
sekedar ingin mengawasinya, tetapi kecemasan Kepala Tanah Perdikan itu kini
benar-benar dapat dirasakannya. Tetapi ternyata bahwa di dalam lingkungan para
pengawal sendiri ada orang-orang seperti yang dicemaskannya itu, meskipun
agaknya pemimpin pengawal telah menunjukkan sikapnya yang baik. Demikianlah
iring-iringan itu semakin lama menjadi semakin mendekati rumah Ki Argajaya.
Tetapi semakin banyak pula mereka melihat wajah-wajah yang tidak puas dan
bahkan memancarkan dendam di hati mereka. Dengan hati yang berdebar-debar Ki
Argajaya kemudian memasuki regol padukuhannya. Iring-iringan itu berhenti
sejenak di depan regol karena para pengawal padukuhan itu ingin mendengar
keputusan Ki Argapati tentang adiknya itu.
“Ki Argajaya
sudah diampuni kesalahannya, seperti juga orang-orang lain yang mendengar
seruan Ki Argapati,” pemimpin rombongan pengawal yang mengantarkan Ki Argajaya
itu menelaskan.
Pemimpin
pengawal padukuhan itu memandang Ki Argajaya dari ujung kakinya sampai ke ikat
kepalanya, seakan-akan belum pernah melihat sebelumnya. Dengan nada yang kecut
ia bertanya,
“Benarkah
begitu Ki Argajaya?”
Ki Argajaya
merasakan nada yang pahit itu menyentuh perasaannya. Tetapi ia tidak dapat
berbuat apa pun juga. Sambil nengangguk ia menjawab,
“Ya
demikianlah agaknya.”
“Apakah Ki
Argajaya tidak memegang tekad perlawanan seperti Sidanti yang mati oleh adiknya
sendiri?”
“Aku mengalami
perkembangan tanggapan terhadap keadaanku dan keadaan Tanah ini. Ini adalah
sikap yang membuat aku dimaafkan oleh Kakang Argapati.”
“Ternyata
Sidanti agak lebih jantan dari Ki Argajaya. Ia mati menggenggam tanggung
jawab.”
“Aku mengalami
perkembangan perasaan, pikiran, dan tanggapan. Ini adalah pertanda bahwa aku
masih hidup, seperti orang-orang lain pula. Kadang-kadang keputusan yang telah
dibuat hari ini akan disesali di keesokan harinya.”
“Huh, kau memang
pandai menyusun kalimat-kalimat itu. Tetapi kau bagi kami tidak lebih dari
seorang pengecut.”
Ki Argajaya
tidak menjawab. Ia harus menerima penghinaan yang langsung menusuk jantungnya
itu.
Pemimpin
pengawal yang mengantarkannya pun tidak menyahut. Ia menyadari keadaan yang
sedang dihadapinya. Kalau ia ikut campur dalam pembicaraan itu, maka suasananya
tidak akan menjadi semakin baik. Karena itu ia telah membatasi dirinya untuk
membiarkan Ki Argajaya menjawab sendiri pertanyaan itu selama pembicaraan itu
tidak berbahaya bagi segala pihak.
“Bukankah
sekarang kau akan pulang ke rumahmu?” tanya pemimpin pengawal itu.
“Ya,” jawab Ki
Argajaya.
Tiba-tiba
pemimpin pengawal itu menyingkir sambil menbungkukkan kepalanya dalam-dalam,
“Silahkan, Tuanku.”
Sekali lagi
dada Ki Argajaya berdesir. Tetapi sekali lagi ia harus menelan penghinaan itu. Sejenak
kemudian maka iring-iringan itu pun
melanjutkan perjalanannya. Yang menarik perhatian bagi para pengawal bukan saja
Ki Argajaya, tetapi seorang gadis yang ada di dalam iring-iringan itu.
“Siapakah
gadis itu?” desis salah seorang dari mereka.
Yang lain
menggelengkan kepalanya,
“Aku pernah
melihatnya di rumah Ki Argapati. Mungkin gadis itu kawan Pandan Wangi dari
daerah lain, atau mungkin masih ada hubungan keluarga dengannya.”
“Gadis itu
datang dari Sangkal Putung,” berkata yang lain.
“Gadis itu
adalah adik gembala muda yang gemuk, yang ikut membantu kita menumpas
pemberontakan Sidanti.”
“Darimana kau
tahu.”
“Semua orang
mengetahuinya.”
“Aku tidak
tahu.”
“Kau memang selalu
ketinggalan.”
Kawannya
mengerutkan keningnya. Kemudian ia pun
berdesis,
“Kenapa ia
ikut bersama iring-iringan ini?”
“Entahlah. Aku
tidak tahu. Nanti aku tanyakan kepadanya. Mungkin ia memang mencari aku.”
“Huh,
sebaiknya sekali-sekali kau melihat bayangan wajahmu di dalam air. Kau akan
tahu bahwa kau sama sekali tidak berbentuk.”
Mereka terdiam
ketika mereka melihat pemimpin pengawal di padukuhan itu berjalan di depan
mereka sambil bersungut-sungut. Ia masih menyesali Ki Argajaya yang telah
membakar Tanah Perdikan ini dan meninggalkan bekas yang sukar untuk dihapuskan.
Sekarang, agaknya ia telah dibebaskan dari segala tuntutan. Tetapi ternyata
pemimpin pengawal itu kemudian berhenti. Ditatapnya para pengawal yang sedang
berbicara itu. Dan tiba-tiba saja ia bertanya,
“Kenapa gadis
Sangkal Putung yang bernama Sekar Mirah itu ada pula di dalam rombongan ini?”
Pengawal-pengawal
itu menggelengkan kepalanya,
“Aku tidak
tahu,” salah seorang dari mereka menjawab. Pemimpin pengawal itu mengerutkan
keningnya. Namun kemudian ia melanjutkan langkahnya.
“He, ada juga
perhatiannya kepada gadis itu,” desis salah seorang dari mereka.
Kawannya tidak
menjawab. Dipandanginya saja langkah pemimpin pengawal itu. Kemudian mereka pun
saling berpandangan satu sama lain. Tetapi mereka tidak berbicara apa pun lagi.
Sementara itu, Ki Argajaya bersama para pengawal yang mengantarkannya menjadi
semakin dekat dengan halaman rumahnya. Namun ternyata dada Argajaya menjadi
kian berdebar-debar. Rumah itu baginya serasa menjadi asing.
Di rumah
itulah ia mula-mula bersama Sidanti dan Ki Tambak Wedi merencanakan perlawanan.
Pengawal-pengawal yang tinggal di sekitar rumahnya adalah inti dari pasukannya.
Apalagi ketika Sidanti menunjukkan beberapa kelebihannya bersama gurunya, maka
seakan-akan semakin yakinlah perjuangan mereka untuk mendapatkan kemenangan. Kemudian
berdatanganlah orang-orang dari luar tlatah Menoreh yang akan ikut serta di
dalam pertarungan antara keluarga itu. Meskipun Ki Argajaya sadar, bahwa mereka
tidak akan lebih baik dari perampok-perampok yang melihat medan yang lunak di
dalam kemelutnya peperangan, namun Argajaya, Sidanti, dan Ki Tambak Wedi
merasa, bahwa pada akhirnya mereka akan dapat menguasai orang-orang itu. Ternyata
bahwa pergaruh mereka semakin lama menjadi semakin besar, sehingga mereka
berhasil merebut padukuhan induk dan mendesak Ki Argapati. Tetapi akhir dari
semuanya itu adalah seperti yang disaksikannya kini. Kuburan yang menjadi
semakin padat, sawah yang terbengkelai dan permusuhan yang tersebar di mana-mana.
Ki Argajaya
seakan-akan tersedar dari lamunannya ketika ia sampai di muka regol rumahnya.
Terasa dadanya berdesir tajam sekali. Rumah yang ditinggalkannya beberapa saat
itu menjadi seakan-akan sudah bertahun-tahun tidak berpenghuni. Kotor, sepi,
dan pintu pringgitan yang tertutup rapat. Tiang-tiang pendapa yang tegak kaku
itu bagaikan tubuh-tubuh yang tegang menunggu berakhirnya masa yang pahit.
“Kita sudah
sampai,” desis pemimpin pengawal itu,
“kami
persilahkan Ki Argajaya masuk bersama tamu-tamu itu. Kami akan mengawal di
halaman depan dan halaman belakang.”
Ki Argajaya
menjadi termangu-mangu. Tetapi ia sadar, bahwa yang disebutnya sebagai
tamu-tamunya adalah Agung Sedayu, Sekar Mirah, dan gurunya.
“Kenapa mereka
ikut kemari?” katanya di dalam hati, meskipun ia menyadari bahwa mereka harus
membantu pemimpin pengawal apabila ia menghadapi kesulitan.
“Silahkan,”
pemimpin pengawal itu mengulangi.
“Terima
kasih,” sahut Argajaya. Kemudian kepada Agung Sedayu, Sekar Mirah, dan
Sumangkar ia berkata,
“Marilah. Aku
persilahkan kalian melihat-lihat rumah yang menjadi seperti tanah pekuburan
ini.”
Tetapi Agung
Sedayu menyahut,
“Aku akan
berada di antara para pengawal, karena aku merupakan bagian dari mereka selagi
aku berada di Tanah Perdikan Menoreh.”
Ki Argajaya
mengerutkan keningnya. Dan Agung Sedayu berkata selanjutnya,
“Silahkanlah
Ki Sumangkar dan kau Sekar Mirah. Kawanilah Ki Argajaya yang barangkali akan
menjadi kesepian.”
Ki Sumangkar
mengerutkan keningnya. Dipandanginya muridnya sejenak, lalu katanya kepada
Agung Sedayu,
“Baiklah. Aku
dan Sekar Mirah akan mengawani Ki Argajaya.”
Maka
ditinggalkannya Agung Sedayu bersama para pengawal di luar. Ki Sumangkar
mengerti, bahwa Agung Sedayu memang ditugaskan untuk mengawani pemimpin
pengawal yang mungkin pada suatu saat akan mengalami kesulitan dari anak
buahnya sendiri. Dikawani oleh Ki Sumangkar dan Sekar Mirah, Ki Argajaya pun kemudian naik ke pendapa. Seperti orang
asing ia memandang ke sekitarnya dengan berbagai pertanyaan di dalam hatinya.
Tiba-tiba saja tangannya menjadi gemetar ketika ia meraba pintu pringgitan yang
tertutup.
Perlahan-lahan
Ki Argajaya mengetuk pintu rumahnya. Sekali, dua kali. Tetapi ia tidak
mendengar jawaban. Ketukan itu pun
semakin lama menjadi semakin keras. Namun masih belum juga terdengar jawaban.
Ki Argajaya menjadi gelisah.
“Apakah
istriku tidak di rumah?” ia bertanya kepada diri sendiri. Tetapi ia tidak tahu,
bagaimana ia harus menjawab pertanyaan itu. Sebenarnyalah Ki Argajaya tidak
mengetahui, bahwa isterinya benar-benar sudah berada di puncak ketakutannya.
Setiap kali pintu diketuk, maka setiap kali hatinya serasa tersayat. Kalau ia
membukakan pintu, maka yang ditemuinya adalah orang-orang yang selalu
menggetarkan perasaannya. Kadang-kadang para pengawal Tanah Perdikan, muncul
dengan senjata terhunus sambil menggeram,
“Aku melihat
seseorang bersembunyi di rumah ini.”
Tanpa menunggu
jawabnya, para pengawal itu pun langsung
memasuki rumahnya dan menggeledah setiap sudut. Tetapi karena tidak diketemukan
sesuatu, mereka pun pergi sambil bersungut-sungut.
Namun di saat
lain, yang tiba-tiba saja menyusup masuk pada saat pintu dibuka adalah
sisa-sisa orang-orang suaminya. Dengan kasar mereka minta persediaan apa saja
yang ada. Katanya,
“Anakmulah
yang memerlukan semua itu.”
Dengan demikian
maka perasaan perempuan yang menjadi semakin tua itu bagaikan ilalang yang
diombang-ambingkan oleh angin prahara. Tanpa pegangan. Kini setiap ketukan
pintu terasa bagaikan pisau yang menyengat jantungnya. Karena itu, maka ia
tidak lagi berani bangkit dari amben bambu di ruang dalam.
“Kalau aku
tidak membuka pintu itu, mereka pasti akan mengelilingi rumah ini,” desisnya.
Dan perempuan itu memang membiarkan pintu samping rumahnya tetap terbuka. Siang
dan malam. Ia tidak perlu lagi membuka pintu, seandainya laki-laki yang kasar
dari pihak mana pun juga ingin memasuki rumahnya. Namun Ki Argajaya tidak
mengetahui, bahwa pintu samping itu terbuka. Karena itu ia pun mengetuk semakin
lama semakin keras. Nyi Argajaya yang mendengar ketukan itu pun menjadi gelisah
pula. Orang-orang yang biasa datang ke rumahnya sudah mengetahui, bahwa pintu
sebelah selalu terbuka. Tetapi Nyai Argajaya masih tetap duduk di tempatnya.
Dicobanya untuk menduga-duga siapakah kira-kira yang telah mengetuk pintunya
itu semakin lama justru menjadi semakin keras.
“Mungkin para
pengawal padukuhan ini baru saja diganti dengan orang-orang baru,” katanya di
dalam hati,
“mereka masih
belum tahu bahwa pintu di sebelah selalu terbuka.”
Nyai Argajaya
menjadi ragu-ragu sejenak. Namun akhirnya ia memutuskan,
“Biar sajalah.
Kalau mereka mau memecah pintu, biarlah pintu itu dipecah. Kalau salah seorang
dari mereka sempat menengok ke samping, mereka pasti akan melihat pintu
terbuka.”
Ki Argajaya
yang sedang mengetok pintu itu pun
menjadi gelisah pula. Bahkan ia berkata di dalam hatinya,
“Apakah rumah
ini benar-benar sudah kosong?”
Tetapi ia
tidak berani membenarkan angan-angannya itu. “Tidak,” ia membantah sendiri di
dalam hatinya pula,
“istriku pasti
masih berada di rumah ini.”
Karena itu,
maka sekali lagi ia mengetuk semakin keras. Kali ini ia memanggil isterinya
dengan suara yang gemetar,
“Nyai, Nyai.
Apakah kau tidak ada di rumah?”
Ternyata suara
itu didengar oleh Nyai Argajaya. Semula ia tidak dapat mengenal lagi suara itu.
Namun lambat laun, warna suara yang semula kabur itu, menjadi semakin lama
semakin jelas di depan mata hatinya.
“Nyai, Nyai.”
Tiba-tiba Nyai
Argajaya menjadi berdebar-debar. Ia tidak percaya lagi pada pendengarnya yang
sudah terlampau sering keliru. Namun demikian, suara ini terlampau menarik
baginya, sehingga dipasangnya pendengarannya baik-baik.
“Nyai, Nyai.”
Terasa darah
perempuan tua yang sudah hampir membeku itu menjadi hangat kembali. Kini ia
mulai berpengharapan, bahwa ia tidak salah lagi dengan pendengarannya kali ini.
Perlahan-lahan ia berdiri dan berjalan selangkah-selangkah mendekati pintu.
Dengan suara parau tiba-tiba saja ia bertanya,
“Siapa di
luar?”
Jawaban itu
telah menyentuh perasaan Ki Argajaya, sehingga dengan serta-merta ia menjawab,
“Aku, Nyai.
Argajaya.”
Dada perempuan
tua itu berdesir. Tetapi ia tidak segera yakin akan pendengarannya. Sekian lama
ia mengalami kekecewaan. Dan kali ini ia menjadi ragu-ragu. Apakah ia
benar-benar mendengar suara itu.
“Aku, Nyai.
Bukakan pintu.”
Kini Nyai
Argajaya menjadi semakin yakin, bahwa yang didengarnya itu adalah suara
suaminya. Karena itu, maka dengan tergesa-gesa ia pergi ke pintu pringgitan.
Dengan tergesa-gesa pula dilontarkannya selarak, sehingga suaranya
berderak-derak di lantai. Dengan serta-merta, perempuan itu membuka daun pintu.
Namun hampir saja ia menjadi pingsan ketika yang berdiri di hadapannya adalah
seorang laki-laki yang tidak dikenal. Sumangkar.
“O,” terdengar
ia mengeluh,
“apa lagi yang
akan datang di rumah ini.”
Namun sebelum
ia kehilangan tenaganya, terasa daun pintu itu terdorong ke samping. Ketika
pintu itu terbuka lebar, barulah ia melihat orang-orang lain yang berdiri di
luar. Seorang gadis muda dan seorang laki-laki yang pucat.
“Kakang.
Kakang Argajaya. Benarkah?”
“Ya, Nyai. Aku
Argajaya.”
“O,” tiba-tiba
perempuan itu memekik sambil berlari ke arah suaminya.
“Akhirnya kau
pulang juga.”
Ki Argajaya
memeluk isterinya yang menangis. Ia tidak menghiraukan lagi, siapa saja yang
ada di tempat itu. Tetapi ia ingin menumpahkan segala macam kepahitan, kepedihan,
dan berbagai perasaan yang bercampur baur di dalam dadanya. Lewat air matanya
yang seperti terperas dari pusat jantungnya, Nyai Argajaya menangis
sejadi-jadinya. Ki Argajaya dapat mengerti, betapa berat penderitaan yang
dialami oleh isterinya saat ia tidak ada di rumah. Pasti tidak kurang pedihnya
dari yang dialaminya sendiri.
“Sudahlah,
Nyai,” Ki Argajaya berusaha menenteramkan hati istertnya itu,
“kita
mempunyai dua orang tamu.”
Tetapi Nyai
Argajaya seolah-olah tidak mendengar kata-kata itu. Ia masih belum puas
menumpahkan segala macam perasaan yang selama ini menyumbat dadanya. Ki
Sumangkar hanya dapat menundukkan kepalanya, sedang Sekar Mirah melemparkan
tatapan matanya jauh-jauh. Betapa keras hatinya, tetapi ia pun seorang gadis,
sehingga terasa matanya menjadi panas mendengar tangis Ki Argajaya yang
memelas. Seperti kepada Sidanti, kebencian Sekar Mirah kepada Argajaya pun
pernah sampai ke puncak ubun-ubunnya. Namun melihat keadaannya, ia tidak dapat
mempertahankan perasaannya itu. Seperti pada saat ia melihat mayat Sidanti
terbujur di lantai bermandi darah, maka kini ia menjadi iba hati melihat
pertemuan dua orang tua yang telah mengalami kepahitan hidup masing-masing.
“Sudahlah,
Nyai,” Argajaya masih berusaha menenteramkan hati isterinya meskipun tenggorokannya
sendiri serasa tersumbat.
“Anakmu,
Kakang,” desis perempuan itu.
“Bagaimana
dengan anak itu,” bertanya suaminya.
“Ia masih
belum kembali.”
“Sama sekali?”
“Ya, sama
sekali. Tetapi aku memang pernah melihatnya, hanya seperti bayangan hantu yang tampak
sekejap lalu menghilang lagi.”
Ki Argajaya
menarik nafas dalam-dalam. Lalu ia pun
bertanya,
“Dengan siapa
kau tinggal di rumah ini?”
“Dengan
perempuan tua itu, pemomong anakmu.”
Ki Argajaya
mengangguk-anggukkan kepalanya, “Ia masih di sini?”
“Ia mengawani
aku dalam keadaan apa pun.”
“Di mana ia
sekarang?”
“Ia berada di
rumah belakang. Jarang-jarang sekali ia masuk ke dalam kalau aku tidak
memanggilnya.”
Ki Argajaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini dihadapinya keluarganya yang porak-poranda
seperti Tanah Perdikan Menoreh ini pula. Dengan demikian ia menjadi semakin
menyadari, bahwa akibat dari sikap yang keras yang telah menyalakan api
peperangan di Tanah ini benar-benar tidak bermanfaat bagi siapa pun. Mereka pun kemudian bersama-sama duduk di atas
sebuah amben yang besar di ruang dalam. Seperti halamannya, maka rumah itu pun
seakan-akan sama sekali tidak berpenghuni. Kotor dan tidak terawat.
“Maaf,” desis
Nyai Argajaya,
“kami tidak
dapat menerima kalian dengan cara yang lebih baik.”
Ki Sumangkar
mengangguk-anggukkan kepalanya sambil menjawab,
“Tidak apa,
Nyai. Di dalam masa-masa seperti ini, kita tidak akan dapat menuntut terlampau
banyak. Kita harus memahami keadaan.”
“Tetapi rumah
ini benar-benar menjadi rumah hantu.”
Ki Sumangkar
tersenyum.
“Aku sudah
terbiasa berada di tengah-tengah peperangan.”
Ki Argajaya
mengerutkan keningnya. Dan tiba-tiba sorot matanya seakan-akan bertanya tentang
laki-laki tua yang mengawani Sekar Mirah itu.
“Maksudku,”
dengan serta-merta Sumangkar menyambung,
“aku sudah
sering mengalami masa-masa yang pahit. Aku melihat bergesernya kekuasaan dari
Demak ke Pajang. Kemudian pergolakan yang seakan-akan tidak ada henti-hentinya
antara Pajang dan Jipang. Dengan demikian, aku dapat banyak melihat akibat dari
peperangan.”
Argajaya mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“Perang itu
pasti lebih dahsyat dari yang kita alami di ini.”
Ki Sumangkar
menarik nafas dalam-dalam. Terkenang olehnya sekilas, betapa ia tinggal di
hutan-hutan dan di pategalan-pategalan yang terbengkelai, pada saat ia
mengikuti pasukan Tohpati yang sudah kehilangan arah perjuangannya.
Katanya di
dalam hati,
“Perang itu di
mana-mana sama. Yang menimbulkan kematian, kekerasan, dan penyimpangan dari
sifat-sifat kemanusiaan yang wajar.”
Sejenak
Sumangkar menundukkan kepalanya. Argajaya hanyut ke dalam suatu kenangan yang
mendebarkan. Ia mengangkat wajahnya ketika ia mendengar Nyai Argajaya berdiri
sambil berkata,
“Maaf, aku
akan ke dapur sejenak.”
“Jangan
menjadi sibuk karena kedatangan kami,” jawab Sumangkar.
Nyai Argajaya
menarik nafas, “Hanya airlah yang akan dapat aku sediakan untuk menjamu
tamu-tamu kami sekarang.”
“Itu sudah
cukup. Dan anggaplah bahwa kami sama sekali bukan tamu. Kami akan tinggal di
sini beberapa hari.”
“He,” Nyai
Argajaya terperanjat. Kemudian ditatapnya wajah suaminya, seolah-olah ia minta
pertimbangan.
“Ya,” berkata
Ki Argajaya,
“mereka datang
bersama sepasukan kecil pengawal, mengawani aku di perjalanan. Mereka akan
tinggal di sini untuk beberapa lama, untuk melindungi aku dan keluargaku dari
dendam yang mungkin tumbuh di pihak-pihak yang terlibat dalam pertengkaran di
atas Tanah Perdikan ini.”
“Tetapi,” Nyai
Argajaya tidak melanjutkan kata-katanya.
Ki Argajaya
ternyata menangkap kegelisahan di dalam hati isterinya. Katanya,
“Kita tidak
usah malu mengatakan, bahwa kita tidak akan dapat menjamu mereka selama mereka
ada di rumah ini. Bukankah begitu.”
Perempuan itu
ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia pun
menganggukkan kepalanya.
“Bukan
tanggungan kita, Nyai,” berkata Ki Argajaya kemudian.
“Mereka akan
mendapat rangsum mereka dari dapur-dapur yang khusus dibuat untuk anggota-anggota
pengawal yang bertugas di seluruh Tanah Perdikan ini.”
Perempuan itu
mengangguk-angguk pula. Tetapi kini ditatapnya wajah kedua orang tamunya itu.
Dan agaknya Ki Argajaya pun menangkap
maksudnya. Katanya,
“Kedua tamu
kita ini pun akan mendapat bagian dari mereka.”
Nyai Argajaya
menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya,
“Syukurlah.
Aku tidak akan dapat berbuat apa-apa. Keadaanku sudah terlampau parah. Aku
hanya mempunyai persediaan yang sangat terbatas. Itu pun aku dapatkan dengan susah payah.
Perempuan tua pemomong anakmu itulah yang mencari untuk kami di sini, dengan
menukarkan macam-macam barang yang ada dengan beras dan jagung.”
Ki Argajaya
mengerutkan keningnya. Ia menjadi semakin menyadari kepahitan hidup isterinya
selama ini.
“Kami berdua
jangan menjadi beban yang membuat Nyai terlampau sibuk,” ulang Sumangkar
kemudian.
“Kami sudah
mendapat bagian kami di antara pasukan pengawal. Tetapi hanya karena kami
termasuk orang-orang yang agak lain dari anggota pengawal yang lain, maka kami
telah dipersilahkan masuk ke dalam rumah ini oleh Ki Argajaya.”
Nyai Argajaya
menjadi heran, dan bahkan Ki Argajaya pun bertanya-tanya di dalam hatinya,
“Apakah
kelainan itu?”
Dan Ki
Sumangkar pun meneruskan,
“Perbedaan itu
adalah, karena aku adalah seorang tua yang barangkali tidak lagi dapat berbuat
terlampau banyak seperti anak-anak muda, sedang anakku ini adalah seorang
gadis.”
Ki Argajaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambil mengusap keningnya ia berkata,
“Aku sudah
menjadi bingung, karena aku tidak dapat melihat kelainan itu. Justru sekarang
aku baru menyadari akan hal itu. Aku hanya menganggap bahwa kalian adalah
tamu-tamu kami. Tamu-tamu Tanah Perdikan Menoreh.”
Ki Sumangkar
tersenyum. Katanya,
“Karena itu,
silahkan Nyai duduk saja di sini. Kita dapat berbicara tentang banyak hal yang
kita alami masing-masing selama ini.”
“Terima,
kasih, tetapi aku akan merebus air,” Nyai Argajaya pun kemudian meninggalkan ruangan itu. Yang
tinggal adalah Sumangkar, Sekar Mirah, dari Argajaya. Namun sejenak mereka
hanya saling berdiam diri, meskipun di dalam dada masing-masing menggelepar
berbagai masalah yang sedang mereka hadapi di saat-saat yang akan segera
datang.
Dalam pada
itu, para pengawal segera mencari tempatnya masing-masing tanpa menunggu Ki
Argajaya. Mereka seakan-akan mengerti, bahwa Ki Argajaya tidak akan sempat
menunjukkan tempat bagi mereka. Karena itu sebagian dari mereka pun segera naik
ke pendapa, dan yang lain duduk-duduk di serambi gandok.
“Apakah di
sini tidak ada selembar tikar pun?” desis salah seorang pengawal.
Yang lain,
yang duduk di tangga mengerutkan keningnya. Katanya,
“Huh, di sini
kita akan mengalami kejemuan selama beberapa hari.”
“Beberapa
hari?”
“Ya. Apa kau
sangka nanti sore kau dapat pulang ke rumah isterimu?”
Kawannya hanya
dapat menarik nafas dalam-dalam.
“Kalau tidak
ada tikar di sini, kita akan tidur di lantai.”
“Tidak. Aku
akan mencari belarak, dan aku akan membuat ketepe. Apa bedanya dengan tikar?”
Kawannya tidak
menyahut. Sambil menguap ia bersandar pada sebuah tiang. Tetapi sejenak
kemudian digeleng-gelengkannya kepalanya. Desisnya,
“Aku sudah
mulai mengantuk.”
“Persetan
dengan Ki Argajaya. Biar saja kalau orang ini dirampok rakyat seperti macan di
alun-alun. Apakah keberatannya? Mungkin karena ia adik Ki Argapati. Tetapi ia
sudah melawan kakaknya itu. Apa lagi yang harus disayangkan?”
Tidak
seorang pun yang menjawab. Namun
wajah-wajah mereka telah membayangkan kelesuan. Sejak perang berkecamuk, para
pengawal itu seakan-akan belum pernah beristirahat sepenuhnya. Setiap kali
mereka masih harus bergilir menjaga daerah-daerah yang terpencil. Dan kini
mereka harus mengawal orang yang telah membakar Tanah Perdikan ini menjadi abu.
Namun perintah yang mereka terima harus mereka kerjakan. Betapa pun beratnya, mereka harus melakukannya di
halaman yang kotor dan menjemukan itu pula. Dengan hati yang berat mereka harus
mendengarkan nama mereka disebut oleh pimpinan mereka untuk berjaga-jaga pada
waktu-waktu tertentu, berganti-gantian di depan regol halaman dan di bagian
belakang rumah itu.
“Kita mencari
tikar di gerbang padukuhan ini. Barangkali para pengawal di sana mempunyai
kelebihan,” berkata salah seorang dari antara pengawal itu.
“Aku mengantuk
sekali. Nanti malam aku bertugas. Sekarang aku akan tidur.”
“Carilah.
Kalau ada, aku ikut tidur.”
Tetapi yang
lain berkata,
“Aku akan
bertanya kepada Ki Argajaya, apakah di rumah ini tidak ada tikar sama sekali,
meskipun tikar lama.”
Demikianlah,
maka para pengawal itu pun mulai
menempatkan dirinya. Tanpa dipersilahkan oleh Ki Argajaya yang masih belum
mapan benar meskipun di rumah sendiri, para pengawal itu mencari tempatnya
masing-masing. Mereka mencari sendiri tikar di rumah itu. Ternyata mereka
masih, menemukan beberapa helai dan bahkan ada di antaranya yang masih baru. Di
antara para pengawal itu adalah Agung Sedayu yang selalu dibawa berbincang oleh
pimpinan pengawal itu, sementara Sumangkar dan Sekar Mirah yang menjadi tamu Ki
Argajaya itu mendapat tempat di ruang dalam.
“Bilik kami
terlampau kotor,” berkata Nyai Argajaya,
“sehingga
malam ini masih belum dapat dipergunakan.”
“Sudahlah,”
sahut Sumangkar,
“biarlah aku
tidur di amben ini bersama-sama dengan Ki Argajaya, sedang Sekar Mirah dapat
saja tidur di sembarang tempat di dalam rumah ini.”
“Biarlah ia
tidur di dalam bilik yang sering aku pergunakan sehari-hari. Aku akan tidur di
bilik sebelah,” berkata Nyai Argajaya.
“Dimana pun
aku dapat tidur,” berkata Sekar Mirah. Demikianlah sambil minum dan makan ubi rebus
mereka mencoba untuk berbicara wajar, meskipun kadang-kadang terasa juga
pembicaraan mereka membeku.
Sekar Mirah
yang sama sekali tidak mengetahui keadaan rumah itu, tanpa prasangka apa pun kemudian memasuki bilik yang
diperuntukkan baginya. Bilik Nyai Argajaya.
Ketika malam
pun kemudian turun, menyelubungi pedukuhan itu maka masing-masing segera
mengambil tempatnya untuk beristirahat. Ki Sumangkar dan Ki Argajaya
mempergunakan amben besar di ruang tengah, sedang Nyai Argajaya tidur di bilik
di sebelah bilik Sekar Mirah, meskipun masih belum bersih benar. Dalam pada
itu, serombongan orang-orang yang benar-benar sudah tidak dapat berpikir
jernih, masih berusaha mendekati rumah Ki Argajaya. Mereka itu justru dipimpin
oleh seorang anak muda, putera Ki Argajaya sendiri.
“Aku harus
dapat bertemu dengan ayah dan ibu malam ini,” berkata anak muda itu.
“Berbahaya
sekali,” desis kawannya,
“kenapa kita
tidak menunggu kesempatan lain yang lebih baik.”
“Terlampau
lama. Aku kira pengawal-pengawal itu akan tetap berada di rumah itu untuk
beberapa hari.”
“Tetapi tidak
di hari pertama,” kawannya masih mencoba meyakinkan.
“Mereka masih
segar, dan mereka masih berada di puncak kewaspadaan.”
“Sudah aku
katakan, aku mengenal halaman rumah itu lebih baik dari siapa pun. Tidak
seorang pun yang mengetahui lubang di atap rumah itu. Aku dapat masuk lewat
lubang itu langsung ke bilik dalam.”
“Tetapi
seluruh halaman diawasi oleh para pengawal.”
“Mereka tidak
akan dapat melihat segala sudut. Mereka tidak akan melihat jalur yang telah
dibuat di balik-balik gerumbul di halaman samping di antara pagar batu dan
lumbung yang kosong itu.”
Kawannya
mengerutkan keningnya. Tetapi ia menjadi cemas, bahwa kali ini mereka tidak
akan dapat lolos lagi.
“Di siang hari
pun beberapa orang di antara kita berhasil melepaskan diri dari
pengawal-pengawal yang bodoh itu. Apalagi malam yang gelap seperti ini.”
Kawan-kawannya
saling berpandangan sejenak. Namun sorot mata mereka masih juga dapat
memancarkan kecemasan. Meskipun mereka selama ini seakan-akan sudah tidak
berperhitungan lagi, namun untuk memasuki halaman itu pada malam pertama dari
kehadiran Ki Argajaya, merupakan suatu tindakan yang seharusnya tidak
dilakukan.
“Apakah kalian
takut?” tiba-tiba anak muda itu bertanya.
“Bukan, bukan
karena takut,” jawab salah seorang kawannya,
“tetapi kita
masih dapat berbuat banyak. Kenapa kita harus membunuh diri?”
“Huh, kalian
memang sudah menjadi pengecut. Kalau kalian memang tidak berani masuk, biar aku
sajalah yang memasuki halaman rumah itu.”
“Sudah aku katakan,
kami tidak takut. Tetapi itu suatu tindakan yang kurang bijaksana.”
“Aku tidak
peduli. Tetapi aku yakin bahwa tidak seorang pun yang akan melihat aku memasuki
halaman rumah itu dan bahkan sampai aku masuk ke bilik dalam, bilik ibu.”
Kawan-kawannya
tidak segera menjawab. Tetapi kekhawatiran yang sangat, tidak dapat mereka
sembunyikan. Tiba-tiba salah seorang dari mereka berkata,
“Baiklah,
kalau kau memang berkeras untuk bertemu dengan ayah dan ibumu. Tetapi bagaimana
kalau ada di antara para pengawal itu yang tidur di dalam rumahmu, sehingga ia
dapat membahayakan kedatanganmu.”
“Kalau hanya
dua atau tiga orang pengawal, biarlah, aku akan menyelesaikan.”
“Tetapi hal
itu akan memanggil pengawal-pengawal yang lain di luar rumah.”
“O, sejak
kapan kalian mulai ragu-ragu untuk melakukan sesuatu tindakan? Kalau kita semua
berpikir serupa itu, kita tidak akan sempat melakukan apa-apa. Sebaiknya kita
menyerah saja memenuhi panggilan Ki Argapati. Kita akan diampuni dan kita tidak
akan dituntut apa pun juga. Tetapi dengan demikian kita sudah berkhianat
terhadap perjuangan kita, terhadap Kakang Sidanti yang gagah berani dan gurunya
Ki Tambak Wedi. Di dalam bilik yang dijaga ketat Kakang Sidanti masih melakukan
perlawanan.”
“Benar,” sahut
seorang yang sudah agak tua,
“tetapi
manakah yang penting. Berhasil memasuki rumah itu dan menemui ayah dan ibumu,
entah akibat apa yang timbul dari pertemuan itu, atau hanya sekedar menunjukkan
keberanian?”
Anak muda itu
tidak menjawab.
“Kalau kau
hanya ingin sekedar menunjukkan keberanian, marilah kita serang rumah itu dari
depan. Tetapi kalau kau ingin bertemu dengan ayah ibu, biarlah kita berpikir
sejenak, cara yang sebaik-baiknya kita tempuh.”
Anak muda itu
tidak segera menyahut. Dipandanginya wajah kawannya yang sudah agak tua itu.
“Bagaimana?”
“Aku ingin
bertemu dengan ayah dan ibu, meskipun kalau pembicaraan kita tidak berhasil,
aku akan mengambil sikap tegas.”
“Nah, kalau
begitu, kita harus membuat pertimbangan-pertimbangan. Kalau kita memang seorang
pemberani, biarlah kita mati, tetapi kalau persoalan yang ingin, kita lakukan
itu sesudah selesai. Dalam hal ini, setelah kau berhasil bertemu dengan ayah
dan ibumu.”
“Ibu tidak bersalah,”
berkata anak muda itu,
“tetapi ayah
sudah berkhianat.”
“Terserahlah
menurut penilaianmu. Kami tidak berani mengambil sikap, karena kami tidak tahu
pasti bagaimana tanggapanmu atas kelakuan ayahmu itu.”
“Sikapku
tegas. Ayah sudah mengkhianati perjuangan kami.”
“Lalu
maksudmu?”
“Ayah harus
memilih. Berada di pihak kami dengan meninggalkan rumah itu, menembus penjagaan
atas dirinya, atau ………” suaranya terputus.
“Atau,” desak
kawannya.
“Mati sajalah
seperti Kakang Sidanti.”
“Tidak
mungkin. Ayahmu tidak akan mungkin mati jantan seperti Sidanti. Kalau ia kau
bunuh misalnya, maka ia akan menjadi semakin hina.”
“Memang ia
pantas dihinakan.”
Kawannya itu
tidak menyahut lagi. Sejenak mereka saling berpandangan. Tetapi mereka masih
tetap saling berdiam diri.
“Marilah,”
berkata anak muda itu.
“Tunggu lewat
tengah malam, kalau kau memang tidak dapat dicegah lagi.”
Anak muda itu
hampir tidak dapat menyabarkan dirinya lagi. Tetapi kali ini ia menurut. Ia
akan memasuki rumahnya lewat tengah malam, langsung memanjat dan masuk ke dalam
lewat lubang yang memang sudah disediakan di atas atap, langsung memasuki bilik
tidur ibunya. Tetapi anak muda itu sama sekali tidak mengetahui, bahwa yang ada
di dalam bilik itu kini sama sekali bukan ibunya lagi, tetapi seorang gadis
dari Sangkal Putung yang bernama Sekar Mirah. Maka mereka menunggu dengan
gelisah, sampai bintang Gubug Penceng condong ke Barat. Putera Ki Argajaya itu
hampir sudah tidak dapat bersabar lagi. Setiap kali dibelainya hulu pedangnya
sambil menggeram. Namun ia masih harus duduk termenung beberapa saat lagi
lamanya. Angin malam yang dingin bertiup semakin lama semakin basah. Di
kejauhan terdengar suara burung kedasih mengusik sepinya malam. Sedang bintang
yang gemerlapan tergantung menebar di seluruh dataran langit yang luas. Anak
muda yang sedang menunggu itu rasa-rasanya sudah tidak dapat bersabar lagi. Bintang
Gubug Penceng di atas ujung Selatan rasa-rasanya tergeser terlampau lamban.
“Apakah ini
belum tengah malam,” anak muda itu bertanya.
“Kira-kira
saat ini baru tengah malam,” jawab yang lain.
“Aku akan
pergi. Sendiri.”
Kawan-kawannya
saling berpandangan sejenak. Agaknya anak itu sudah dihinggapi oleh kemarahan
yang tidak dapat dikendalikannya lagi, sehingga ia terlampau bernafsu untuk
melakukan rencananya itu tanpa menghiraukan apa
pun juga.
“Kalian
menunggu aku di sini.”
“Jangan
tergesa-gesa,” berkata kawannya yang sudah agak tua,
“kau tidak
boleh pergi sendiri. Itu sangat berbahaya bagimu.”
“Tetapi
kemungkinan untuk diketahui oleh para penjaga itu menjadi semakin berkurang.
Aku dapat mencari jalan sebabnya untuk dapat sampai ke dalam bilik ibu. Kalau
ada orang lain yang ikut bersamamu, maka ia hanya akan mengganggu saja.”
“Jangan
kehilangan akal. Kalau kau mempunyai kawan meskipun hanya seorang, maka kau
akan dapat berbincang tentang sesuatu hal yang harus segera kau putuskan.
Apalagi, kalau kau harus melawan beberapa orang sekaligus di dalam rumah itu.
Kau mempunyai kawan pula agar perkelahian itu cepat selesai sebelum para
pengawal yang lain mengetahuinya.”
Anak muda itu
merenung sejenak. Tetapi ia tidak segera mengambil keputusan. Bahkan ia
bertanya,
“Kalau aku
membawa seorang kawan, siapakah yang akan pergi bersamaku?”
“Kaulah yang
harus memilih. Siapakah yang paling kau percaya di antara kami.”
Anak muda itu
mengerutkan keningnya. Dan tiba-tiba saja ia berkata lemah,
“Orang itu
sudah mati.”
“Jangan kau
hiraukan lagi si kurus yang sudah dibunuh oleh orang asing itu. Sekarang,
pilihlah di antara kami yang masih ada. Kami tidak kalah tangguh dari si kurus
itu.”
Anak itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian dipandanginya seorang anak yang masih
muda pula, meskipun agak lebih tua dari dirinya sendiri. Seorang anak muda yang
berbadan kekar dan berdada bidang, meskipun tidak terlampau tinggi.
“Kau sajalah,”
berkata putera Ki Argajaya.
“Tepat,” jawab
kawannya yang sudah agak tua,
“orang ini
adalah orang yang paling baik di antara kami.”
“Badak itu
memang akan berguna bagimu,” desis kawannya yang lain.
Anak muda yang
bertubuh kekar itu tersenyum. Ia merasa mendapat kehormatan dari kawan-kawannya
yang lain. Dan ia kemudian menjawab,
“Aku senang
sekali ikut bersamamu. Aku ingin melihat, apakah para pengawal yang ada di
rumahmu itu sudah ada yang aku kenal.”
“Jangan
mencari perkara. Kalian pergi untuk menemui Ki Argajaya. Itulah masalahnya.
Bukan melihat pengawal yang lagi berjaga-jaga. Bukan menantang mereka
berkelahi. Terserahlah kalau persoalan yang sebenarnya telah selesai. Tetapi
yang penting, kalian dapat bertemu dengan Ki Argajaya. Kalau Ki Argajaya
bersedia meninggalkan rumahnya dan bergabung bersama kita, maka lambat laun
kita pasti akan berhasil menyusun kekuatan lebih baik dari yang ada sekarang.
Bahkan mungkin akan dapat mengimbangi kekuatan Argapati lagi.”
Anak muda itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Terbayang di rongga matanya peperangan yang
baru saja terjadi di atas Tanah Perdikan ini. Peperangan yang telah
menghancurkan sendi-sendi kehidupan rakyatnya. Tetapi kalau perjuangannya
menang, Ki Argajaya berhasil mengusir kakaknya, maka garis kekuasaan Menoreh
akan berpindah pada garis keturunan keluarganya. Apalagi Sidanti kini sudah
tidak ada lagi. Maka tanggung jawab perjuangan berpindah ke tangannya. Anak
yang masih terlalu muda itu merasa, sepeninggal Sidanti ialah yang harus
memimpin perjuangan. Namun kadang-kadang ia mengeluh di dalam hati.
“Kakang
Sidanti didampingi sepenuhnya oleh gurunya, bahkan sampai mengorbankan
nyawanya. Tetapi aku tidak mendapat perlindungan dari siapa pun. Bahkan ayah
telah berkhianat.”
“Nah,
hati-hatilah. Perjuangan kita masih panjang. Kalau kalian gagal, maka semuanya
akan berhenti sampai di sini. Kita harus menelan semua kekalahan, semua hinaan
dan semua kesalahan,” terdengar kawannya yang sudah agak tua itu
memperingatkan.
“Tunggulah
kalian di sini. Aku akan pergi sekarang.”
“Sudah tentu
kami tidak akan sekedar menunggu. Kami akan memancing perhatian para pengawal
itu. Pengawal yang ada di regol padukuhan, dan pengawal yang ada di halaman
rumah Ki Argajaya.”
“Apa yang akan
kalian lakukan.”
“Bermain-main.”
“Ya, tetapi
apa yang akan kalian perbuat.”
“Kami akan
membakar rumah di pojok desa itu. Semua perhatian akan tertumpah kepada api
yang menyala.”
“Tidak ada
gunanya. Itu adalah tugas para pengawal di regol padukuhan dan kawan-kawannya.
Yang ada di halaman rumah ayah itu pasti tidak akan beranjak. Mereka justru
akan menjadi semakin bersiaga.”
“Tentu. Tetapi
perhatian mereka sepenuhnya akan tertuju kepada api itu. Dua orang di antara
kami akan menyerang halaman rumah itu dari depan dengan panah.”
“Kalian tidak
akan mendapatkan apa-apa. Mereka pasti akan berlindung.”
“Soalnya bukan
mengenai sasaran, tetapi menarik perhatian. Mereka memang akan bersiaga. Tetapi
aku berani bertaruh kepala, bahwa perhatian mereka tertuju kepada lawan di luar
halaman. Kalau kalian menyusup di dalam gerumbul-gerumbul di sebelah kandang,
dan naik ke atap rumah itu, pasti tidak akan mereka duga sama sekali.”
Anak muda itu
mengangguk-anggukkan kepalanya
“Masuklah ke
halaman rumah itu setelah api mulai menyala,” berkata orang yang sudah agak tua
itu.
“Ingat. Tepat
pada saat api mulai menyala. Mereka belum sempat memikirkan apa-apa, selain
memperhatikan api itu. Baru kemudian mereka akan bersikap. Dalam pada itu kau
sudah ada di atas atap. Setidak-tidaknya kau sudah ada di halaman itu. Serangan
kami kemudian akan menarik perhatian mereka selanjutnya, sehingga kau akan
sela-mat memasuki rumah itu.”
“Baiklah. Aku
harap ibu tidak akan mengganggu aku, karena aku akan langsung sampai ke
biliknya.” Anak itu berhenti sejenak, lalu, “Cepat, lakukanlah rencana kalian
itu.”
Kawan-kawannya
kemudian segera meninggalkannya. Mereka pergi ke sasaran yang telah mereka
pilih. Sebuah rumah di pojok desa. Dengan tanpa mendapat kesulitan sama sekali
masing-masing dapat mendekati sasaran mereka dengan segera. Para pengawal hanya
berada di sekitar regol padukuhan, sedang mereka yang mengawal Ki Argajaya sama
sekali tidak beranjak dari halaman rumah itu, kecuali penghubungnya yang
kadang-kadang pergi mengambil kebutuhan-kebutuhan lain bagi mereka dan seisi
halaman itu, termasuk Ki Argajaya dan keluarganya. Memang kadang-kadang para
pengawal di regol padukuhan itu melepaskan sekelompok kecil orang-orangnya
untuk meronda dan berkeliling seluruh padukuhan, namun itu terjadi hanya tiga
kali dalam semalam suntuk, sehingga tidak akan terlampau sulit untuk
menghindari mereka. Karena itu, maka kawan-kawan putera Ki Argajaya itu pun
segera mencapai rumah yang telah mereka tandai. Rumah kecil dan beratap
ilalang.
“Sekarang?”
bertanya salah seorang dari mereka perlahan-lahan.
Orang yang
sudah setengah tua menganggukkan kepalanya sambil berdesis,
“Apakah isi
rumah itu sudah tidur?”
“Sudah.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar