Jilid 050 Halaman 1


WAJAH Swandaru menjadi merah padam. Sambil bersungut-sungut ditatapnya wajah Agung Sedayu sejenak. Ketika ia melihat Agung Sedayu masih juga tersenyum, Swandaru bergumam,
“Tidak. Aku tidak sedang sakit.”
Gurunya tidak segera menyahut. Kini dipandanginya wajah Agung Sedayu yang masih juga tersenyum.
“Benar, Guru. Adi Swandaru sedang sakit. Tetapi yang sakit bukan badannya.”
Gurunya menjadi tegang. Dengan nada yang tinggi ia bertanya,
“Ya Swandaru, kau sakit? Tetapi yang sakit bukan badanmu?”
Kini sadarlah Swandaru yang gemuk itu, bahwa gurunya pun agaknya telah dengan sengaja mengganggunya. Karena itu maka jawabnya,
“Ya. Yang sakit bukan badanku. Tetapi ingatanku.”
Kiai Gringsing dan Agung Sedayu pun kemudian tertawa, sedang Swandaru masih juga bersungut-sungut. Namun akhirnya Kiai Gringsing berkata,
“Baiklah. Kalau demikian biarlah Angger Swandaru berada di sini. Aku agak kurang menghiraukan perasaannya. Tetapi kini aku mengerti, bahwa memang sebaiknya Anakmas Swandaru tidak ikut serta. Ia memang perlu beristirahat sepekan dua pekan.”
Swandaru tidak menjawab. Ditatapnya wajah Agung Sedayu yang melemparkan tatapan matanya jauh-jauh.
“Angger Agung Sedayu akan pergi sendiri bersama pasukan kecil itu mengantarkan Ki Argajaya karena hal itu memang diperlukan,” berkata Kiai Gringsing kemudian.
“Baik Guru,” jawab Agung Sedayu. Namun tiba-tiba mereka berpaling ketika terdengar suara Sekar Mirah,
“Aku akan ikut serta bersama Kakang Agung Sedayu menggantikan Kakang Swandaru di dalam pasukan itu.”
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Sekilas ia berpaling ke arah Ki Sumangkar, seolah-olah ia berkata,
“Apakah kita akan dapat mengijinkannya?”
Ki Sumangkar pun kemudian menarik nafas dalam-dalam.
“Apakah kau perlu ikut bersamanya?” Sumangkar bertanya.
“Ya, Guru,” jawab Sekar Mirah, “Kakang Swandaru merasa perlu untuk tinggal.”
“Tetapi,” berkata Kiai Gringsing,
“aku menjadi bingung. Di mana aku harus berada. Aku tinggal di sini atau aku harus pergi bersama Agung Sedayu dan Sekar Mirah?”
“Kenapa Kiai harus pergi bersama aku dan Kakang Agung Sedayu atau menunggui Kakang Swandaru?”
Kiai Gringsing tidak dapat segera menjawab. Tetapi ketika ia memandang wajah Ki Sumangkar, orang tua itu pun menganggukkan kepalanya. Ia tahu bahwa Kiai Gringsing memerlukannya. Adalah kurang bijaksana bahwa yang tua-tua membiarkan anak-anak muda itu tanpa pengawasan, justru mereka telah menyatakan diri mereka saling mengikat.
“Kiai,” berkata Ki Sumangkar kemudian,
“aku akan ikut bersama Sekar Mirah dan Angger Agung Sedayu.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan agaknya anak-anak muda itu pun kemudian menyadari, kenapa orang-orang tua itu menjadi bingung untuk melepaskan mereka pergi berdua saja.
Dengan demikian, maka meskipun dengan alasan yang lain, Ki Sumangkar turut serta bersama dengan Agung Sedayu dan Sekar Mirah di dalam pasukan kecil yang mengantarkan Ki Argajaya. Atas pendapat Kiai Gringsing, Ki Argapati pun tidak berkeberatan, bahwa kedua orang itu pun pergi bersama Agung Sedayu untuk membantu kesulitan yang mungkin timbul.

Maka setelah pasukan kecil itu bersiap seluruhnya, mereka pun kemudian berangkat meninggalkan induk padukuhan. Agaknya rombongan kecil itu memang benar-benar telah menarik perhatian. Beberapa orang yang melihatnya segera memberitahukan kepada tetangga-tetangganya, bahwa sekelompok pasukan pengawal Menoreh telah lewat mengantarkan Ki Argajaya.
“He,” desis seseorang yang melihat pasukan itu,
“bukankah di antara mereka itu terdapat Ki Argajaya?”
“Ya, Ki Argajaya? Apakah ia akan dibawa ke tempat hukumannya yang baru?”
“Mungkin, ia akan digantung di bawah Puncang Kembar.”
“Tidak,” seseorang menggeleng,
“tidak ada tanda-tanda bahwa ia akan menjalani hukuman. Mungkin ia akan dibebaskan. Bukankah Ki Argapati telah menyerukan pengampunan umum?”
Orang-orang itu pun saling berpadangan. Salah seorang yang tidak mau berteka-teki tiba-tiba berteriak,
“He, akan dibawa ke mana orang itu?”
Hampir segenap isi rombongan kecil itu berpaling. Tetapi tidak seorang pun yang menjawab.
“Apakah orang itu akan digantung di bawah Pucang Kembar?” teriak orang itu pula.
Tidak seorang  pun juga yang menjawabnya. Namun, pertanyaan itu benar-benar telah menyentuh perasaan Ki Argajaya. Kini ia menyadari, betapa tanggapan rakyat Menoreh kepadanya. Kepada perbuatan yang telah dilakukannya.
Karena itu, maka kepalanya yang tunduk menjadi semakin tunduk. Sebuah pengakuan yang mendalam telah menusuk-nusuk jantungnya. Apalagi ketika dilihatnya sawah-sawah yang kering dan tidak terpelihara. Di sana-sini para petani sedang sibuk memperbaiki parit sehingga mereka masih belum sempat menanami sawahnya yang memang tidak dapat dikerjakannya selama peperangan berkecamuk. Hatinya berdesir tajam ketika mereka melewati sebuah regol yang sudah menjadi abu dan belum sempat diperbaiki. Para pengawal terpaksa mendampingi Ki Argajaya ketika mereka melihat anak-anak muda yang berkumpul di ujung jalan padukuhannya itu berteriak,
“Ha, inilah salah seorang yang telah membakar regol kita.”
“Bukan hanya regol kita,” teriak yang lain,
“tetapi ia sudah membakar seluruh Tanah Perdikan Menoreh.”
Terasa dada Ki Argajaya menjadi semakin pepat. Tetapi ia sudah menemukan pengakuan yang pasrah. Ia memang telah melakukan semua kesalahan itu, sehingga ia harus menelan kepahitan perasaan itu tanpa dapat mengelak lagi. Karena itu maka ia pun kemudian berjalan dengan kepala yang tetap tunduk. Seakan-akan ia tidak berani lagi memandang Tanah Perdikan Menoreh yang porak poranda itu.
“Apakah kita masih akan berjalan jauh?” tiba-tiba salah seorang pengawal berdesis.
Pemimpin pengawal dan kawan-kawannya pun segera berpaling kepadanya. Sudah tentu ia tahu bahwa mereka masih akan berjalan beberapa lama lagi, melintasi beberapa buah bulak dan padukuhan.
“Kenapa?” bertanya pemimpin pengawal.
“Kenapa kita harus mengantarkannya pulang? Apakah orang itu belum pernah melihat jalan di daerah ini?”
Dada Argajaya berdesir. Ternyata bukan saja orang-orang di tepi-tepi jalan yang mengumpatnya. Bahkan di dalam pasukan pengawal ini  pun terselip perasaan itu.
Pemimpin pengawal itu pun menjadi berdebar-debar pula. Dugaannya ternyata tidak jauh keliru. Kalau perasaan itu berkembang, maka keadaan akan menjadi panas. Karena itu cepat-cepat ia menjawab,
“Itu bukan persoalan kita. Kita mengemban perintah Ki Gede Menoreh, apa pun alasannya.”
Ternyata usahanya untuk sementara berhasil. Pengawal itu tidak bertanya lebih lanjut, sedang orang-orang lain yamg mulai dijalari oleh perasaan yang serupa, yang agaknya sudah mulai akan terangkat oleh pertanyaan seorang kawannya itu, menjadi terbungkam. Mereka menghormati Kepala Tanah Perdikannya, sehingga mereka patuh menjalani tugas yang dibebankan kepada mereka. Mengantarkan Ki Argajaya dengan selamat sampai di rumahnya, kemudian mengawal rumah itu untuk sementara sampai petugas yang akan menggantikan mereka datang.

Dalam pada itu, di balik gerumbul-gerumbul liar agak di tengah-tengah sawah yang tidak terpelihara, beberapa orang melihat iring-iringan itu dengan wajah yang tegang. Salah seorang daripadanya adalah seorang anak laki-laki yang masih sangat muda.
“Kemana mereka akan pergi?” salah seorang dari mereka itu berdesis.
“Ini adalah suatu pameran kebaikan hati Ki Argapati. Mungkin ini adalah satu dari sekian banyak orang yang diampuninya dalam rangka pengampunan umum yang telah diteriakkan oleh Kepala Tanah Perdikan yang nyaris terbunuh itu.”
Anak yang masih sangat muda yang ada di antara mereka tidak segera dapat menyambung pembicaraan kawan-kawannya. Ia melihat, bahwa di antara rombongan itu adalah ayahnya.
“Bukankah itu Ki Argajaya?” desis seorang kawannya. Anak muda itu mengangguk.
“Agaknya ayah akan diantarkan pulang,” desisnya.
“Pulang? Atau mungkin ke suatu tujuan yang tidak diketahui.”
“Jalan ini adalah jalan pulang. Mungkin ayah telah mengucapkan sumpah untuk tetap setia kepada Ki Gede. Atau janji-janji yang lain.”
“Mungkin. Mungkin juga Ki Argajaya akan menjadi alat yang baik untuk menangkap kita.”
Anak muda itu mengerutkan keningnya. Dan kawannya berkata seterusnya,
“Aku tidak mengira bahwa Ki Argajaya akan bersedia melakukannya.”
“Apakah kau yakin bahwa ayah akan berbuat demikian?”
“Lalu apalagi?”
“Apakah ayah tidak sedang dibawa ke suatu tempat untuk menjalani hukuman?”
“Aku sependapat dengan kau. Jalan ini adalah jalan pulang bagi Ki Argajaya.”
Anak muda itu terdiam.
“Kita mengangkat senjata justru karena kita membela pendirian Ki Argajaya, Sidanti, dan Ki Tambak Wedi. Aku menaruh hormat yang tinggi kepada Sidanti yang memilih mati dari segala keadaan yang lain. Ia tidak menyerah meskipun ia berhadapan langsung dengan Ki Argapati, yang meskipun orang itu adalah ayahnya sendiri. Itu adalah suatu sikap yang jantan.”
Anak muda itu menjadi tegang.
“Tetapi Ki Argajaya memilih jalan lain.”
“Persetan orang itu,” geram anak muda itu,
“aku akan memilih jalan seperti Kakang Sidanti, meskipun ia adalah ayahku sendiri. Tetapi ayah sudah ingkar pada perjuangan kita. Kita sudah terlanjur menyingsingkan lengan baju kita. Kini ayah menyerahkan diri seperti seorang pengecut.”
“Kita akan berhenti bertempur kalau kita sudah mati. Seandainya kita menyerah sekalipun, apakah jaminannya bahwa kita akan benar-benar diampuni seperti Ki Argajaya? Seandainya Ki Argajaya tidak akan dipergunakan sebagai alat untuk menjerat kita, aku kira Argapati tidak akan bersikap begitu lunak kepadanya.”
“Kita akan memilih waktu. Aku mengenal halaman rumahku dengan baik. Pasti jauh lebih baik dari pengawal-pengawal yang bodoh itu, sehingga meskipun halaman rumah itu dijaga, aku pasti akan dapat memasukinya.”
“Kita tidak akan ingkar pada perjuangan yang sudah kita letakkan. Kalau kita tidak berputus asa, maka lambat laun kita akan mendapat pengikut pula. Kita harus menumbuhkan ketidakpuasan rakyat kepada keadaan yang berkembang kemudian.”
“Aku akan pulang pada suatu saat,” desis anak muda itu,
“aku akan menemui ayah di rumah. Kalau ayah berkeras hati, apa boleh buat. Kakang Sidanti juga mati di tangan ayahnya. Bagaimana kalau terjadi sebaliknya?”
“Sidanti mati dibunuh adiknya selagi ia beradu di hadapan ayahnya.”
“Itu tentu sudah diatur sebelumnya.”
Mereka  pun kemudian terdiam sejenak. Mereka memandang iring-iringan. itu semakin lama menjadi semakin jauh.
“Persetan dengan mereka,” anak muda itu menggeram pula, “akan datang saatnya kita menuntut.”
“Ya, kita yang sudah dikorbankannya, kemudian ditinggalkannya dalam keadaan yang sulit ini.”

Sekelompok orang-orang itu pun masih memandangi iring-iringan itu untuk sejenak. Namun kemudian mereka segera bergeser dan menghilang di antara tetanaman liar yang tumbuh di sana sini. Mereka sudah berketetapan untuk membalas sakit hati mereka yang mereka tanggungkan selama ini. Kekalahan yang bertubi-tubi dan apalagi kini mereka, merasa tidak berharga sama sekali. Satu-satunya jalan bagi mereka untuk dapat sekedar mengobati sakit hati itu adalah melakukan kekerasan. Siapa pun korbannya. Dan kini mereka telah menemukan sasaran yang menggairahkan. Ki Argajaya yang telah mereka anggap berkhianat. Ki Argajaya sendiri merasa bahwa ia memang berada di dalam keadaan yang sulit. Ternyata Ki Argapati bukan hanya sekedar ingin mengawasinya, tetapi kecemasan Kepala Tanah Perdikan itu kini benar-benar dapat dirasakannya. Tetapi ternyata bahwa di dalam lingkungan para pengawal sendiri ada orang-orang seperti yang dicemaskannya itu, meskipun agaknya pemimpin pengawal telah menunjukkan sikapnya yang baik. Demikianlah iring-iringan itu semakin lama menjadi semakin mendekati rumah Ki Argajaya. Tetapi semakin banyak pula mereka melihat wajah-wajah yang tidak puas dan bahkan memancarkan dendam di hati mereka. Dengan hati yang berdebar-debar Ki Argajaya kemudian memasuki regol padukuhannya. Iring-iringan itu berhenti sejenak di depan regol karena para pengawal padukuhan itu ingin mendengar keputusan Ki Argapati tentang adiknya itu.
“Ki Argajaya sudah diampuni kesalahannya, seperti juga orang-orang lain yang mendengar seruan Ki Argapati,” pemimpin rombongan pengawal yang mengantarkan Ki Argajaya itu menelaskan.
Pemimpin pengawal padukuhan itu memandang Ki Argajaya dari ujung kakinya sampai ke ikat kepalanya, seakan-akan belum pernah melihat sebelumnya. Dengan nada yang kecut ia bertanya,
“Benarkah begitu Ki Argajaya?”
Ki Argajaya merasakan nada yang pahit itu menyentuh perasaannya. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa pun juga. Sambil nengangguk ia menjawab,
“Ya demikianlah agaknya.”
“Apakah Ki Argajaya tidak memegang tekad perlawanan seperti Sidanti yang mati oleh adiknya sendiri?”
“Aku mengalami perkembangan tanggapan terhadap keadaanku dan keadaan Tanah ini. Ini adalah sikap yang membuat aku dimaafkan oleh Kakang Argapati.”
“Ternyata Sidanti agak lebih jantan dari Ki Argajaya. Ia mati menggenggam tanggung jawab.”
“Aku mengalami perkembangan perasaan, pikiran, dan tanggapan. Ini adalah pertanda bahwa aku masih hidup, seperti orang-orang lain pula. Kadang-kadang keputusan yang telah dibuat hari ini akan disesali di keesokan harinya.”
“Huh, kau memang pandai menyusun kalimat-kalimat itu. Tetapi kau bagi kami tidak lebih dari seorang pengecut.”
Ki Argajaya tidak menjawab. Ia harus menerima penghinaan yang langsung menusuk jantungnya itu.
Pemimpin pengawal yang mengantarkannya pun tidak menyahut. Ia menyadari keadaan yang sedang dihadapinya. Kalau ia ikut campur dalam pembicaraan itu, maka suasananya tidak akan menjadi semakin baik. Karena itu ia telah membatasi dirinya untuk membiarkan Ki Argajaya menjawab sendiri pertanyaan itu selama pembicaraan itu tidak berbahaya bagi segala pihak.
“Bukankah sekarang kau akan pulang ke rumahmu?” tanya pemimpin pengawal itu.
“Ya,” jawab Ki Argajaya.
Tiba-tiba pemimpin pengawal itu menyingkir sambil menbungkukkan kepalanya dalam-dalam, “Silahkan, Tuanku.”
Sekali lagi dada Ki Argajaya berdesir. Tetapi sekali lagi ia harus menelan penghinaan itu. Sejenak kemudian maka iring-iringan itu  pun melanjutkan perjalanannya. Yang menarik perhatian bagi para pengawal bukan saja Ki Argajaya, tetapi seorang gadis yang ada di dalam iring-iringan itu.
“Siapakah gadis itu?” desis salah seorang dari mereka.
Yang lain menggelengkan kepalanya,
“Aku pernah melihatnya di rumah Ki Argapati. Mungkin gadis itu kawan Pandan Wangi dari daerah lain, atau mungkin masih ada hubungan keluarga dengannya.”
“Gadis itu datang dari Sangkal Putung,” berkata yang lain.
“Gadis itu adalah adik gembala muda yang gemuk, yang ikut membantu kita menumpas pemberontakan Sidanti.”
“Darimana kau tahu.”
“Semua orang mengetahuinya.”
“Aku tidak tahu.”
“Kau memang selalu ketinggalan.”

Kawannya mengerutkan keningnya. Kemudian ia  pun berdesis,
“Kenapa ia ikut bersama iring-iringan ini?”
“Entahlah. Aku tidak tahu. Nanti aku tanyakan kepadanya. Mungkin ia memang mencari aku.”
“Huh, sebaiknya sekali-sekali kau melihat bayangan wajahmu di dalam air. Kau akan tahu bahwa kau sama sekali tidak berbentuk.”
Mereka terdiam ketika mereka melihat pemimpin pengawal di padukuhan itu berjalan di depan mereka sambil bersungut-sungut. Ia masih menyesali Ki Argajaya yang telah membakar Tanah Perdikan ini dan meninggalkan bekas yang sukar untuk dihapuskan. Sekarang, agaknya ia telah dibebaskan dari segala tuntutan. Tetapi ternyata pemimpin pengawal itu kemudian berhenti. Ditatapnya para pengawal yang sedang berbicara itu. Dan tiba-tiba saja ia bertanya,
“Kenapa gadis Sangkal Putung yang bernama Sekar Mirah itu ada pula di dalam rombongan ini?”
Pengawal-pengawal itu menggelengkan kepalanya,
“Aku tidak tahu,” salah seorang dari mereka menjawab. Pemimpin pengawal itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia melanjutkan langkahnya.
“He, ada juga perhatiannya kepada gadis itu,” desis salah seorang dari mereka.
Kawannya tidak menjawab. Dipandanginya saja langkah pemimpin pengawal itu. Kemudian mereka pun saling berpandangan satu sama lain. Tetapi mereka tidak berbicara apa pun lagi. Sementara itu, Ki Argajaya bersama para pengawal yang mengantarkannya menjadi semakin dekat dengan halaman rumahnya. Namun ternyata dada Argajaya menjadi kian berdebar-debar. Rumah itu baginya serasa menjadi asing.
Di rumah itulah ia mula-mula bersama Sidanti dan Ki Tambak Wedi merencanakan perlawanan. Pengawal-pengawal yang tinggal di sekitar rumahnya adalah inti dari pasukannya. Apalagi ketika Sidanti menunjukkan beberapa kelebihannya bersama gurunya, maka seakan-akan semakin yakinlah perjuangan mereka untuk mendapatkan kemenangan. Kemudian berdatanganlah orang-orang dari luar tlatah Menoreh yang akan ikut serta di dalam pertarungan antara keluarga itu. Meskipun Ki Argajaya sadar, bahwa mereka tidak akan lebih baik dari perampok-perampok yang melihat medan yang lunak di dalam kemelutnya peperangan, namun Argajaya, Sidanti, dan Ki Tambak Wedi merasa, bahwa pada akhirnya mereka akan dapat menguasai orang-orang itu. Ternyata bahwa pergaruh mereka semakin lama menjadi semakin besar, sehingga mereka berhasil merebut padukuhan induk dan mendesak Ki Argapati. Tetapi akhir dari semuanya itu adalah seperti yang disaksikannya kini. Kuburan yang menjadi semakin padat, sawah yang terbengkelai dan permusuhan yang tersebar di mana-mana.
Ki Argajaya seakan-akan tersedar dari lamunannya ketika ia sampai di muka regol rumahnya. Terasa dadanya berdesir tajam sekali. Rumah yang ditinggalkannya beberapa saat itu menjadi seakan-akan sudah bertahun-tahun tidak berpenghuni. Kotor, sepi, dan pintu pringgitan yang tertutup rapat. Tiang-tiang pendapa yang tegak kaku itu bagaikan tubuh-tubuh yang tegang menunggu berakhirnya masa yang pahit.
“Kita sudah sampai,” desis pemimpin pengawal itu,
“kami persilahkan Ki Argajaya masuk bersama tamu-tamu itu. Kami akan mengawal di halaman depan dan halaman belakang.”
Ki Argajaya menjadi termangu-mangu. Tetapi ia sadar, bahwa yang disebutnya sebagai tamu-tamunya adalah Agung Sedayu, Sekar Mirah, dan gurunya.
“Kenapa mereka ikut kemari?” katanya di dalam hati, meskipun ia menyadari bahwa mereka harus membantu pemimpin pengawal apabila ia menghadapi kesulitan.
“Silahkan,” pemimpin pengawal itu mengulangi.
“Terima kasih,” sahut Argajaya. Kemudian kepada Agung Sedayu, Sekar Mirah, dan Sumangkar ia berkata,
“Marilah. Aku persilahkan kalian melihat-lihat rumah yang menjadi seperti tanah pekuburan ini.”
Tetapi Agung Sedayu menyahut,
“Aku akan berada di antara para pengawal, karena aku merupakan bagian dari mereka selagi aku berada di Tanah Perdikan Menoreh.”
Ki Argajaya mengerutkan keningnya. Dan Agung Sedayu berkata selanjutnya,
“Silahkanlah Ki Sumangkar dan kau Sekar Mirah. Kawanilah Ki Argajaya yang barangkali akan menjadi kesepian.”
Ki Sumangkar mengerutkan keningnya. Dipandanginya muridnya sejenak, lalu katanya kepada Agung Sedayu,
“Baiklah. Aku dan Sekar Mirah akan mengawani Ki Argajaya.”
Maka ditinggalkannya Agung Sedayu bersama para pengawal di luar. Ki Sumangkar mengerti, bahwa Agung Sedayu memang ditugaskan untuk mengawani pemimpin pengawal yang mungkin pada suatu saat akan mengalami kesulitan dari anak buahnya sendiri. Dikawani oleh Ki Sumangkar dan Sekar Mirah, Ki Argajaya  pun kemudian naik ke pendapa. Seperti orang asing ia memandang ke sekitarnya dengan berbagai pertanyaan di dalam hatinya. Tiba-tiba saja tangannya menjadi gemetar ketika ia meraba pintu pringgitan yang tertutup.

Perlahan-lahan Ki Argajaya mengetuk pintu rumahnya. Sekali, dua kali. Tetapi ia tidak mendengar jawaban. Ketukan itu  pun semakin lama menjadi semakin keras. Namun masih belum juga terdengar jawaban. Ki Argajaya menjadi gelisah.
“Apakah istriku tidak di rumah?” ia bertanya kepada diri sendiri. Tetapi ia tidak tahu, bagaimana ia harus menjawab pertanyaan itu. Sebenarnyalah Ki Argajaya tidak mengetahui, bahwa isterinya benar-benar sudah berada di puncak ketakutannya. Setiap kali pintu diketuk, maka setiap kali hatinya serasa tersayat. Kalau ia membukakan pintu, maka yang ditemuinya adalah orang-orang yang selalu menggetarkan perasaannya. Kadang-kadang para pengawal Tanah Perdikan, muncul dengan senjata terhunus sambil menggeram,
“Aku melihat seseorang bersembunyi di rumah ini.”
Tanpa menunggu jawabnya, para pengawal itu  pun langsung memasuki rumahnya dan menggeledah setiap sudut. Tetapi karena tidak diketemukan sesuatu, mereka pun pergi sambil bersungut-sungut.
Namun di saat lain, yang tiba-tiba saja menyusup masuk pada saat pintu dibuka adalah sisa-sisa orang-orang suaminya. Dengan kasar mereka minta persediaan apa saja yang ada. Katanya,
“Anakmulah yang memerlukan semua itu.”
Dengan demikian maka perasaan perempuan yang menjadi semakin tua itu bagaikan ilalang yang diombang-ambingkan oleh angin prahara. Tanpa pegangan. Kini setiap ketukan pintu terasa bagaikan pisau yang menyengat jantungnya. Karena itu, maka ia tidak lagi berani bangkit dari amben bambu di ruang dalam.
“Kalau aku tidak membuka pintu itu, mereka pasti akan mengelilingi rumah ini,” desisnya. Dan perempuan itu memang membiarkan pintu samping rumahnya tetap terbuka. Siang dan malam. Ia tidak perlu lagi membuka pintu, seandainya laki-laki yang kasar dari pihak mana pun juga ingin memasuki rumahnya. Namun Ki Argajaya tidak mengetahui, bahwa pintu samping itu terbuka. Karena itu ia pun mengetuk semakin lama semakin keras. Nyi Argajaya yang mendengar ketukan itu pun menjadi gelisah pula. Orang-orang yang biasa datang ke rumahnya sudah mengetahui, bahwa pintu sebelah selalu terbuka. Tetapi Nyai Argajaya masih tetap duduk di tempatnya. Dicobanya untuk menduga-duga siapakah kira-kira yang telah mengetuk pintunya itu semakin lama justru menjadi semakin keras.
“Mungkin para pengawal padukuhan ini baru saja diganti dengan orang-orang baru,” katanya di dalam hati,
“mereka masih belum tahu bahwa pintu di sebelah selalu terbuka.”
Nyai Argajaya menjadi ragu-ragu sejenak. Namun akhirnya ia memutuskan,
“Biar sajalah. Kalau mereka mau memecah pintu, biarlah pintu itu dipecah. Kalau salah seorang dari mereka sempat menengok ke samping, mereka pasti akan melihat pintu terbuka.”
Ki Argajaya yang sedang mengetok pintu itu  pun menjadi gelisah pula. Bahkan ia berkata di dalam hatinya,
“Apakah rumah ini benar-benar sudah kosong?”
Tetapi ia tidak berani membenarkan angan-angannya itu. “Tidak,” ia membantah sendiri di dalam hatinya pula,
“istriku pasti masih berada di rumah ini.”
Karena itu, maka sekali lagi ia mengetuk semakin keras. Kali ini ia memanggil isterinya dengan suara yang gemetar,
“Nyai, Nyai. Apakah kau tidak ada di rumah?”
Ternyata suara itu didengar oleh Nyai Argajaya. Semula ia tidak dapat mengenal lagi suara itu. Namun lambat laun, warna suara yang semula kabur itu, menjadi semakin lama semakin jelas di depan mata hatinya.
“Nyai, Nyai.”
Tiba-tiba Nyai Argajaya menjadi berdebar-debar. Ia tidak percaya lagi pada pendengarnya yang sudah terlampau sering keliru. Namun demikian, suara ini terlampau menarik baginya, sehingga dipasangnya pendengarannya baik-baik.
“Nyai, Nyai.”
Terasa darah perempuan tua yang sudah hampir membeku itu menjadi hangat kembali. Kini ia mulai berpengharapan, bahwa ia tidak salah lagi dengan pendengarannya kali ini. Perlahan-lahan ia berdiri dan berjalan selangkah-selangkah mendekati pintu. Dengan suara parau tiba-tiba saja ia bertanya,
“Siapa di luar?”
Jawaban itu telah menyentuh perasaan Ki Argajaya, sehingga dengan serta-merta ia menjawab,
“Aku, Nyai. Argajaya.”
Dada perempuan tua itu berdesir. Tetapi ia tidak segera yakin akan pendengarannya. Sekian lama ia mengalami kekecewaan. Dan kali ini ia menjadi ragu-ragu. Apakah ia benar-benar mendengar suara itu.
“Aku, Nyai. Bukakan pintu.”
Kini Nyai Argajaya menjadi semakin yakin, bahwa yang didengarnya itu adalah suara suaminya. Karena itu, maka dengan tergesa-gesa ia pergi ke pintu pringgitan. Dengan tergesa-gesa pula dilontarkannya selarak, sehingga suaranya berderak-derak di lantai. Dengan serta-merta, perempuan itu membuka daun pintu. Namun hampir saja ia menjadi pingsan ketika yang berdiri di hadapannya adalah seorang laki-laki yang tidak dikenal. Sumangkar.
“O,” terdengar ia mengeluh,
“apa lagi yang akan datang di rumah ini.”
Namun sebelum ia kehilangan tenaganya, terasa daun pintu itu terdorong ke samping. Ketika pintu itu terbuka lebar, barulah ia melihat orang-orang lain yang berdiri di luar. Seorang gadis muda dan seorang laki-laki yang pucat.
“Kakang. Kakang Argajaya. Benarkah?”
“Ya, Nyai. Aku Argajaya.”
“O,” tiba-tiba perempuan itu memekik sambil berlari ke arah suaminya.
“Akhirnya kau pulang juga.”

Ki Argajaya memeluk isterinya yang menangis. Ia tidak menghiraukan lagi, siapa saja yang ada di tempat itu. Tetapi ia ingin menumpahkan segala macam kepahitan, kepedihan, dan berbagai perasaan yang bercampur baur di dalam dadanya. Lewat air matanya yang seperti terperas dari pusat jantungnya, Nyai Argajaya menangis sejadi-jadinya. Ki Argajaya dapat mengerti, betapa berat penderitaan yang dialami oleh isterinya saat ia tidak ada di rumah. Pasti tidak kurang pedihnya dari yang dialaminya sendiri.
“Sudahlah, Nyai,” Ki Argajaya berusaha menenteramkan hati istertnya itu,
“kita mempunyai dua orang tamu.”
Tetapi Nyai Argajaya seolah-olah tidak mendengar kata-kata itu. Ia masih belum puas menumpahkan segala macam perasaan yang selama ini menyumbat dadanya. Ki Sumangkar hanya dapat menundukkan kepalanya, sedang Sekar Mirah melemparkan tatapan matanya jauh-jauh. Betapa keras hatinya, tetapi ia pun seorang gadis, sehingga terasa matanya menjadi panas mendengar tangis Ki Argajaya yang memelas. Seperti kepada Sidanti, kebencian Sekar Mirah kepada Argajaya pun pernah sampai ke puncak ubun-ubunnya. Namun melihat keadaannya, ia tidak dapat mempertahankan perasaannya itu. Seperti pada saat ia melihat mayat Sidanti terbujur di lantai bermandi darah, maka kini ia menjadi iba hati melihat pertemuan dua orang tua yang telah mengalami kepahitan hidup masing-masing.
“Sudahlah, Nyai,” Argajaya masih berusaha menenteramkan hati isterinya meskipun tenggorokannya sendiri serasa tersumbat.
“Anakmu, Kakang,” desis perempuan itu.
“Bagaimana dengan anak itu,” bertanya suaminya.
“Ia masih belum kembali.”
“Sama sekali?”
“Ya, sama sekali. Tetapi aku memang pernah melihatnya, hanya seperti bayangan hantu yang tampak sekejap lalu menghilang lagi.”
Ki Argajaya menarik nafas dalam-dalam. Lalu ia  pun bertanya,
“Dengan siapa kau tinggal di rumah ini?”
“Dengan perempuan tua itu, pemomong anakmu.”
Ki Argajaya mengangguk-anggukkan kepalanya, “Ia masih di sini?”
“Ia mengawani aku dalam keadaan apa pun.”
“Di mana ia sekarang?”
“Ia berada di rumah belakang. Jarang-jarang sekali ia masuk ke dalam kalau aku tidak memanggilnya.”
Ki Argajaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini dihadapinya keluarganya yang porak-poranda seperti Tanah Perdikan Menoreh ini pula. Dengan demikian ia menjadi semakin menyadari, bahwa akibat dari sikap yang keras yang telah menyalakan api peperangan di Tanah ini benar-benar tidak bermanfaat bagi siapa pun. Mereka  pun kemudian bersama-sama duduk di atas sebuah amben yang besar di ruang dalam. Seperti halamannya, maka rumah itu pun seakan-akan sama sekali tidak berpenghuni. Kotor dan tidak terawat.
“Maaf,” desis Nyai Argajaya,
“kami tidak dapat menerima kalian dengan cara yang lebih baik.”
Ki Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya sambil menjawab,
“Tidak apa, Nyai. Di dalam masa-masa seperti ini, kita tidak akan dapat menuntut terlampau banyak. Kita harus memahami keadaan.”
“Tetapi rumah ini benar-benar menjadi rumah hantu.”
Ki Sumangkar tersenyum.
“Aku sudah terbiasa berada di tengah-tengah peperangan.”
Ki Argajaya mengerutkan keningnya. Dan tiba-tiba sorot matanya seakan-akan bertanya tentang laki-laki tua yang mengawani Sekar Mirah itu.
“Maksudku,” dengan serta-merta Sumangkar menyambung,
“aku sudah sering mengalami masa-masa yang pahit. Aku melihat bergesernya kekuasaan dari Demak ke Pajang. Kemudian pergolakan yang seakan-akan tidak ada henti-hentinya antara Pajang dan Jipang. Dengan demikian, aku dapat banyak melihat akibat dari peperangan.”
Argajaya mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Perang itu pasti lebih dahsyat dari yang kita alami di ini.”
Ki Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Terkenang olehnya sekilas, betapa ia tinggal di hutan-hutan dan di pategalan-pategalan yang terbengkelai, pada saat ia mengikuti pasukan Tohpati yang sudah kehilangan arah perjuangannya.
Katanya di dalam hati,
“Perang itu di mana-mana sama. Yang menimbulkan kematian, kekerasan, dan penyimpangan dari sifat-sifat kemanusiaan yang wajar.”
Sejenak Sumangkar menundukkan kepalanya. Argajaya hanyut ke dalam suatu kenangan yang mendebarkan. Ia mengangkat wajahnya ketika ia mendengar Nyai Argajaya berdiri sambil berkata,
“Maaf, aku akan ke dapur sejenak.”
“Jangan menjadi sibuk karena kedatangan kami,” jawab Sumangkar.
Nyai Argajaya menarik nafas, “Hanya airlah yang akan dapat aku sediakan untuk menjamu tamu-tamu kami sekarang.”
“Itu sudah cukup. Dan anggaplah bahwa kami sama sekali bukan tamu. Kami akan tinggal di sini beberapa hari.”
“He,” Nyai Argajaya terperanjat. Kemudian ditatapnya wajah suaminya, seolah-olah ia minta pertimbangan.
“Ya,” berkata Ki Argajaya,
“mereka datang bersama sepasukan kecil pengawal, mengawani aku di perjalanan. Mereka akan tinggal di sini untuk beberapa lama, untuk melindungi aku dan keluargaku dari dendam yang mungkin tumbuh di pihak-pihak yang terlibat dalam pertengkaran di atas Tanah Perdikan ini.”
“Tetapi,” Nyai Argajaya tidak melanjutkan kata-katanya.
Ki Argajaya ternyata menangkap kegelisahan di dalam hati isterinya. Katanya,
“Kita tidak usah malu mengatakan, bahwa kita tidak akan dapat menjamu mereka selama mereka ada di rumah ini. Bukankah begitu.”
Perempuan itu ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia  pun menganggukkan kepalanya.
“Bukan tanggungan kita, Nyai,” berkata Ki Argajaya kemudian.
“Mereka akan mendapat rangsum mereka dari dapur-dapur yang khusus dibuat untuk anggota-anggota pengawal yang bertugas di seluruh Tanah Perdikan ini.”
Perempuan itu mengangguk-angguk pula. Tetapi kini ditatapnya wajah kedua orang tamunya itu. Dan agaknya Ki Argajaya  pun menangkap maksudnya. Katanya,
“Kedua tamu kita ini pun akan mendapat bagian dari mereka.”
Nyai Argajaya menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya,
“Syukurlah. Aku tidak akan dapat berbuat apa-apa. Keadaanku sudah terlampau parah. Aku hanya mempunyai persediaan yang sangat terbatas. Itu  pun aku dapatkan dengan susah payah. Perempuan tua pemomong anakmu itulah yang mencari untuk kami di sini, dengan menukarkan macam-macam barang yang ada dengan beras dan jagung.”

Ki Argajaya mengerutkan keningnya. Ia menjadi semakin menyadari kepahitan hidup isterinya selama ini.
“Kami berdua jangan menjadi beban yang membuat Nyai terlampau sibuk,” ulang Sumangkar kemudian.
“Kami sudah mendapat bagian kami di antara pasukan pengawal. Tetapi hanya karena kami termasuk orang-orang yang agak lain dari anggota pengawal yang lain, maka kami telah dipersilahkan masuk ke dalam rumah ini oleh Ki Argajaya.”
Nyai Argajaya menjadi heran, dan bahkan Ki Argajaya pun bertanya-tanya di dalam hatinya,
“Apakah kelainan itu?”
Dan Ki Sumangkar pun meneruskan,
“Perbedaan itu adalah, karena aku adalah seorang tua yang barangkali tidak lagi dapat berbuat terlampau banyak seperti anak-anak muda, sedang anakku ini adalah seorang gadis.”
Ki Argajaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambil mengusap keningnya ia berkata,
“Aku sudah menjadi bingung, karena aku tidak dapat melihat kelainan itu. Justru sekarang aku baru menyadari akan hal itu. Aku hanya menganggap bahwa kalian adalah tamu-tamu kami. Tamu-tamu Tanah Perdikan Menoreh.”
Ki Sumangkar tersenyum. Katanya,
“Karena itu, silahkan Nyai duduk saja di sini. Kita dapat berbicara tentang banyak hal yang kita alami masing-masing selama ini.”
“Terima, kasih, tetapi aku akan merebus air,” Nyai Argajaya  pun kemudian meninggalkan ruangan itu. Yang tinggal adalah Sumangkar, Sekar Mirah, dari Argajaya. Namun sejenak mereka hanya saling berdiam diri, meskipun di dalam dada masing-masing menggelepar berbagai masalah yang sedang mereka hadapi di saat-saat yang akan segera datang.
Dalam pada itu, para pengawal segera mencari tempatnya masing-masing tanpa menunggu Ki Argajaya. Mereka seakan-akan mengerti, bahwa Ki Argajaya tidak akan sempat menunjukkan tempat bagi mereka. Karena itu sebagian dari mereka pun segera naik ke pendapa, dan yang lain duduk-duduk di serambi gandok.
“Apakah di sini tidak ada selembar tikar pun?” desis salah seorang pengawal.
Yang lain, yang duduk di tangga mengerutkan keningnya. Katanya,
“Huh, di sini kita akan mengalami kejemuan selama beberapa hari.”
“Beberapa hari?”
“Ya. Apa kau sangka nanti sore kau dapat pulang ke rumah isterimu?”
Kawannya hanya dapat menarik nafas dalam-dalam.
“Kalau tidak ada tikar di sini, kita akan tidur di lantai.”
“Tidak. Aku akan mencari belarak, dan aku akan membuat ketepe. Apa bedanya dengan tikar?”
Kawannya tidak menyahut. Sambil menguap ia bersandar pada sebuah tiang. Tetapi sejenak kemudian digeleng-gelengkannya kepalanya. Desisnya,
“Aku sudah mulai mengantuk.”
“Persetan dengan Ki Argajaya. Biar saja kalau orang ini dirampok rakyat seperti macan di alun-alun. Apakah keberatannya? Mungkin karena ia adik Ki Argapati. Tetapi ia sudah melawan kakaknya itu. Apa lagi yang harus disayangkan?”
Tidak seorang  pun yang menjawab. Namun wajah-wajah mereka telah membayangkan kelesuan. Sejak perang berkecamuk, para pengawal itu seakan-akan belum pernah beristirahat sepenuhnya. Setiap kali mereka masih harus bergilir menjaga daerah-daerah yang terpencil. Dan kini mereka harus mengawal orang yang telah membakar Tanah Perdikan ini menjadi abu. Namun perintah yang mereka terima harus mereka kerjakan. Betapa  pun beratnya, mereka harus melakukannya di halaman yang kotor dan menjemukan itu pula. Dengan hati yang berat mereka harus mendengarkan nama mereka disebut oleh pimpinan mereka untuk berjaga-jaga pada waktu-waktu tertentu, berganti-gantian di depan regol halaman dan di bagian belakang rumah itu.
“Kita mencari tikar di gerbang padukuhan ini. Barangkali para pengawal di sana mempunyai kelebihan,” berkata salah seorang dari antara pengawal itu.
“Aku mengantuk sekali. Nanti malam aku bertugas. Sekarang aku akan tidur.”
“Carilah. Kalau ada, aku ikut tidur.”
Tetapi yang lain berkata,
“Aku akan bertanya kepada Ki Argajaya, apakah di rumah ini tidak ada tikar sama sekali, meskipun tikar lama.”
Demikianlah, maka para pengawal itu  pun mulai menempatkan dirinya. Tanpa dipersilahkan oleh Ki Argajaya yang masih belum mapan benar meskipun di rumah sendiri, para pengawal itu mencari tempatnya masing-masing. Mereka mencari sendiri tikar di rumah itu. Ternyata mereka masih, menemukan beberapa helai dan bahkan ada di antaranya yang masih baru. Di antara para pengawal itu adalah Agung Sedayu yang selalu dibawa berbincang oleh pimpinan pengawal itu, sementara Sumangkar dan Sekar Mirah yang menjadi tamu Ki Argajaya itu mendapat tempat di ruang dalam.
“Bilik kami terlampau kotor,” berkata Nyai Argajaya,
“sehingga malam ini masih belum dapat dipergunakan.”
“Sudahlah,” sahut Sumangkar,
“biarlah aku tidur di amben ini bersama-sama dengan Ki Argajaya, sedang Sekar Mirah dapat saja tidur di sembarang tempat di dalam rumah ini.”
“Biarlah ia tidur di dalam bilik yang sering aku pergunakan sehari-hari. Aku akan tidur di bilik sebelah,” berkata Nyai Argajaya.
“Dimana pun aku dapat tidur,” berkata Sekar Mirah. Demikianlah sambil minum dan makan ubi rebus mereka mencoba untuk berbicara wajar, meskipun kadang-kadang terasa juga pembicaraan mereka membeku.
Sekar Mirah yang sama sekali tidak mengetahui keadaan rumah itu, tanpa prasangka apa  pun kemudian memasuki bilik yang diperuntukkan baginya. Bilik Nyai Argajaya.

Ketika malam pun kemudian turun, menyelubungi pedukuhan itu maka masing-masing segera mengambil tempatnya untuk beristirahat. Ki Sumangkar dan Ki Argajaya mempergunakan amben besar di ruang tengah, sedang Nyai Argajaya tidur di bilik di sebelah bilik Sekar Mirah, meskipun masih belum bersih benar. Dalam pada itu, serombongan orang-orang yang benar-benar sudah tidak dapat berpikir jernih, masih berusaha mendekati rumah Ki Argajaya. Mereka itu justru dipimpin oleh seorang anak muda, putera Ki Argajaya sendiri.
“Aku harus dapat bertemu dengan ayah dan ibu malam ini,” berkata anak muda itu.
“Berbahaya sekali,” desis kawannya,
“kenapa kita tidak menunggu kesempatan lain yang lebih baik.”
“Terlampau lama. Aku kira pengawal-pengawal itu akan tetap berada di rumah itu untuk beberapa hari.”
“Tetapi tidak di hari pertama,” kawannya masih mencoba meyakinkan.
“Mereka masih segar, dan mereka masih berada di puncak kewaspadaan.”
“Sudah aku katakan, aku mengenal halaman rumah itu lebih baik dari siapa pun. Tidak seorang pun yang mengetahui lubang di atap rumah itu. Aku dapat masuk lewat lubang itu langsung ke bilik dalam.”
“Tetapi seluruh halaman diawasi oleh para pengawal.”
“Mereka tidak akan dapat melihat segala sudut. Mereka tidak akan melihat jalur yang telah dibuat di balik-balik gerumbul di halaman samping di antara pagar batu dan lumbung yang kosong itu.”
Kawannya mengerutkan keningnya. Tetapi ia menjadi cemas, bahwa kali ini mereka tidak akan dapat lolos lagi.
“Di siang hari pun beberapa orang di antara kita berhasil melepaskan diri dari pengawal-pengawal yang bodoh itu. Apalagi malam yang gelap seperti ini.”
Kawan-kawannya saling berpandangan sejenak. Namun sorot mata mereka masih juga dapat memancarkan kecemasan. Meskipun mereka selama ini seakan-akan sudah tidak berperhitungan lagi, namun untuk memasuki halaman itu pada malam pertama dari kehadiran Ki Argajaya, merupakan suatu tindakan yang seharusnya tidak dilakukan.
“Apakah kalian takut?” tiba-tiba anak muda itu bertanya.
“Bukan, bukan karena takut,” jawab salah seorang kawannya,
“tetapi kita masih dapat berbuat banyak. Kenapa kita harus membunuh diri?”
“Huh, kalian memang sudah menjadi pengecut. Kalau kalian memang tidak berani masuk, biar aku sajalah yang memasuki halaman rumah itu.”
“Sudah aku katakan, kami tidak takut. Tetapi itu suatu tindakan yang kurang bijaksana.”
“Aku tidak peduli. Tetapi aku yakin bahwa tidak seorang pun yang akan melihat aku memasuki halaman rumah itu dan bahkan sampai aku masuk ke bilik dalam, bilik ibu.”
Kawan-kawannya tidak segera menjawab. Tetapi kekhawatiran yang sangat, tidak dapat mereka sembunyikan. Tiba-tiba salah seorang dari mereka berkata,
“Baiklah, kalau kau memang berkeras untuk bertemu dengan ayah dan ibumu. Tetapi bagaimana kalau ada di antara para pengawal itu yang tidur di dalam rumahmu, sehingga ia dapat membahayakan kedatanganmu.”
“Kalau hanya dua atau tiga orang pengawal, biarlah, aku akan menyelesaikan.”
“Tetapi hal itu akan memanggil pengawal-pengawal yang lain di luar rumah.”
“O, sejak kapan kalian mulai ragu-ragu untuk melakukan sesuatu tindakan? Kalau kita semua berpikir serupa itu, kita tidak akan sempat melakukan apa-apa. Sebaiknya kita menyerah saja memenuhi panggilan Ki Argapati. Kita akan diampuni dan kita tidak akan dituntut apa pun juga. Tetapi dengan demikian kita sudah berkhianat terhadap perjuangan kita, terhadap Kakang Sidanti yang gagah berani dan gurunya Ki Tambak Wedi. Di dalam bilik yang dijaga ketat Kakang Sidanti masih melakukan perlawanan.”
“Benar,” sahut seorang yang sudah agak tua,
“tetapi manakah yang penting. Berhasil memasuki rumah itu dan menemui ayah dan ibumu, entah akibat apa yang timbul dari pertemuan itu, atau hanya sekedar menunjukkan keberanian?”
Anak muda itu tidak menjawab.
“Kalau kau hanya ingin sekedar menunjukkan keberanian, marilah kita serang rumah itu dari depan. Tetapi kalau kau ingin bertemu dengan ayah ibu, biarlah kita berpikir sejenak, cara yang sebaik-baiknya kita tempuh.”
Anak muda itu tidak segera menyahut. Dipandanginya wajah kawannya yang sudah agak tua itu.
“Bagaimana?”
“Aku ingin bertemu dengan ayah dan ibu, meskipun kalau pembicaraan kita tidak berhasil, aku akan mengambil sikap tegas.”
“Nah, kalau begitu, kita harus membuat pertimbangan-pertimbangan. Kalau kita memang seorang pemberani, biarlah kita mati, tetapi kalau persoalan yang ingin, kita lakukan itu sesudah selesai. Dalam hal ini, setelah kau berhasil bertemu dengan ayah dan ibumu.”
“Ibu tidak bersalah,” berkata anak muda itu,
“tetapi ayah sudah berkhianat.”
“Terserahlah menurut penilaianmu. Kami tidak berani mengambil sikap, karena kami tidak tahu pasti bagaimana tanggapanmu atas kelakuan ayahmu itu.”
“Sikapku tegas. Ayah sudah mengkhianati perjuangan kami.”
“Lalu maksudmu?”
“Ayah harus memilih. Berada di pihak kami dengan meninggalkan rumah itu, menembus penjagaan atas dirinya, atau ………” suaranya terputus.
“Atau,” desak kawannya.
“Mati sajalah seperti Kakang Sidanti.”
“Tidak mungkin. Ayahmu tidak akan mungkin mati jantan seperti Sidanti. Kalau ia kau bunuh misalnya, maka ia akan menjadi semakin hina.”
“Memang ia pantas dihinakan.”

Kawannya itu tidak menyahut lagi. Sejenak mereka saling berpandangan. Tetapi mereka masih tetap saling berdiam diri.
“Marilah,” berkata anak muda itu.
“Tunggu lewat tengah malam, kalau kau memang tidak dapat dicegah lagi.”
Anak muda itu hampir tidak dapat menyabarkan dirinya lagi. Tetapi kali ini ia menurut. Ia akan memasuki rumahnya lewat tengah malam, langsung memanjat dan masuk ke dalam lewat lubang yang memang sudah disediakan di atas atap, langsung memasuki bilik tidur ibunya. Tetapi anak muda itu sama sekali tidak mengetahui, bahwa yang ada di dalam bilik itu kini sama sekali bukan ibunya lagi, tetapi seorang gadis dari Sangkal Putung yang bernama Sekar Mirah. Maka mereka menunggu dengan gelisah, sampai bintang Gubug Penceng condong ke Barat. Putera Ki Argajaya itu hampir sudah tidak dapat bersabar lagi. Setiap kali dibelainya hulu pedangnya sambil menggeram. Namun ia masih harus duduk termenung beberapa saat lagi lamanya. Angin malam yang dingin bertiup semakin lama semakin basah. Di kejauhan terdengar suara burung kedasih mengusik sepinya malam. Sedang bintang yang gemerlapan tergantung menebar di seluruh dataran langit yang luas. Anak muda yang sedang menunggu itu rasa-rasanya sudah tidak dapat bersabar lagi. Bintang Gubug Penceng di atas ujung Selatan rasa-rasanya tergeser terlampau lamban.
“Apakah ini belum tengah malam,” anak muda itu bertanya.
“Kira-kira saat ini baru tengah malam,” jawab yang lain.
“Aku akan pergi. Sendiri.”
Kawan-kawannya saling berpandangan sejenak. Agaknya anak itu sudah dihinggapi oleh kemarahan yang tidak dapat dikendalikannya lagi, sehingga ia terlampau bernafsu untuk melakukan rencananya itu tanpa menghiraukan apa  pun juga.
“Kalian menunggu aku di sini.”
“Jangan tergesa-gesa,” berkata kawannya yang sudah agak tua,
“kau tidak boleh pergi sendiri. Itu sangat berbahaya bagimu.”
“Tetapi kemungkinan untuk diketahui oleh para penjaga itu menjadi semakin berkurang. Aku dapat mencari jalan sebabnya untuk dapat sampai ke dalam bilik ibu. Kalau ada orang lain yang ikut bersamamu, maka ia hanya akan mengganggu saja.”
“Jangan kehilangan akal. Kalau kau mempunyai kawan meskipun hanya seorang, maka kau akan dapat berbincang tentang sesuatu hal yang harus segera kau putuskan. Apalagi, kalau kau harus melawan beberapa orang sekaligus di dalam rumah itu. Kau mempunyai kawan pula agar perkelahian itu cepat selesai sebelum para pengawal yang lain mengetahuinya.”
Anak muda itu merenung sejenak. Tetapi ia tidak segera mengambil keputusan. Bahkan ia bertanya,
“Kalau aku membawa seorang kawan, siapakah yang akan pergi bersamaku?”
“Kaulah yang harus memilih. Siapakah yang paling kau percaya di antara kami.”
Anak muda itu mengerutkan keningnya. Dan tiba-tiba saja ia berkata lemah,
“Orang itu sudah mati.”
“Jangan kau hiraukan lagi si kurus yang sudah dibunuh oleh orang asing itu. Sekarang, pilihlah di antara kami yang masih ada. Kami tidak kalah tangguh dari si kurus itu.”
Anak itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian dipandanginya seorang anak yang masih muda pula, meskipun agak lebih tua dari dirinya sendiri. Seorang anak muda yang berbadan kekar dan berdada bidang, meskipun tidak terlampau tinggi.
“Kau sajalah,” berkata putera Ki Argajaya.
“Tepat,” jawab kawannya yang sudah agak tua,
“orang ini adalah orang yang paling baik di antara kami.”
“Badak itu memang akan berguna bagimu,” desis kawannya yang lain.

Anak muda yang bertubuh kekar itu tersenyum. Ia merasa mendapat kehormatan dari kawan-kawannya yang lain. Dan ia kemudian menjawab,
“Aku senang sekali ikut bersamamu. Aku ingin melihat, apakah para pengawal yang ada di rumahmu itu sudah ada yang aku kenal.”
“Jangan mencari perkara. Kalian pergi untuk menemui Ki Argajaya. Itulah masalahnya. Bukan melihat pengawal yang lagi berjaga-jaga. Bukan menantang mereka berkelahi. Terserahlah kalau persoalan yang sebenarnya telah selesai. Tetapi yang penting, kalian dapat bertemu dengan Ki Argajaya. Kalau Ki Argajaya bersedia meninggalkan rumahnya dan bergabung bersama kita, maka lambat laun kita pasti akan berhasil menyusun kekuatan lebih baik dari yang ada sekarang. Bahkan mungkin akan dapat mengimbangi kekuatan Argapati lagi.”
Anak muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Terbayang di rongga matanya peperangan yang baru saja terjadi di atas Tanah Perdikan ini. Peperangan yang telah menghancurkan sendi-sendi kehidupan rakyatnya. Tetapi kalau perjuangannya menang, Ki Argajaya berhasil mengusir kakaknya, maka garis kekuasaan Menoreh akan berpindah pada garis keturunan keluarganya. Apalagi Sidanti kini sudah tidak ada lagi. Maka tanggung jawab perjuangan berpindah ke tangannya. Anak yang masih terlalu muda itu merasa, sepeninggal Sidanti ialah yang harus memimpin perjuangan. Namun kadang-kadang ia mengeluh di dalam hati.
“Kakang Sidanti didampingi sepenuhnya oleh gurunya, bahkan sampai mengorbankan nyawanya. Tetapi aku tidak mendapat perlindungan dari siapa pun. Bahkan ayah telah berkhianat.”
“Nah, hati-hatilah. Perjuangan kita masih panjang. Kalau kalian gagal, maka semuanya akan berhenti sampai di sini. Kita harus menelan semua kekalahan, semua hinaan dan semua kesalahan,” terdengar kawannya yang sudah agak tua itu memperingatkan.
“Tunggulah kalian di sini. Aku akan pergi sekarang.”
“Sudah tentu kami tidak akan sekedar menunggu. Kami akan memancing perhatian para pengawal itu. Pengawal yang ada di regol padukuhan, dan pengawal yang ada di halaman rumah Ki Argajaya.”
“Apa yang akan kalian lakukan.”
“Bermain-main.”
“Ya, tetapi apa yang akan kalian perbuat.”
“Kami akan membakar rumah di pojok desa itu. Semua perhatian akan tertumpah kepada api yang menyala.”
“Tidak ada gunanya. Itu adalah tugas para pengawal di regol padukuhan dan kawan-kawannya. Yang ada di halaman rumah ayah itu pasti tidak akan beranjak. Mereka justru akan menjadi semakin bersiaga.”
“Tentu. Tetapi perhatian mereka sepenuhnya akan tertuju kepada api itu. Dua orang di antara kami akan menyerang halaman rumah itu dari depan dengan panah.”
“Kalian tidak akan mendapatkan apa-apa. Mereka pasti akan berlindung.”
“Soalnya bukan mengenai sasaran, tetapi menarik perhatian. Mereka memang akan bersiaga. Tetapi aku berani bertaruh kepala, bahwa perhatian mereka tertuju kepada lawan di luar halaman. Kalau kalian menyusup di dalam gerumbul-gerumbul di sebelah kandang, dan naik ke atap rumah itu, pasti tidak akan mereka duga sama sekali.”
Anak muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya
“Masuklah ke halaman rumah itu setelah api mulai menyala,” berkata orang yang sudah agak tua itu.
“Ingat. Tepat pada saat api mulai menyala. Mereka belum sempat memikirkan apa-apa, selain memperhatikan api itu. Baru kemudian mereka akan bersikap. Dalam pada itu kau sudah ada di atas atap. Setidak-tidaknya kau sudah ada di halaman itu. Serangan kami kemudian akan menarik perhatian mereka selanjutnya, sehingga kau akan sela-mat memasuki rumah itu.”
“Baiklah. Aku harap ibu tidak akan mengganggu aku, karena aku akan langsung sampai ke biliknya.” Anak itu berhenti sejenak, lalu, “Cepat, lakukanlah rencana kalian itu.”

Kawan-kawannya kemudian segera meninggalkannya. Mereka pergi ke sasaran yang telah mereka pilih. Sebuah rumah di pojok desa. Dengan tanpa mendapat kesulitan sama sekali masing-masing dapat mendekati sasaran mereka dengan segera. Para pengawal hanya berada di sekitar regol padukuhan, sedang mereka yang mengawal Ki Argajaya sama sekali tidak beranjak dari halaman rumah itu, kecuali penghubungnya yang kadang-kadang pergi mengambil kebutuhan-kebutuhan lain bagi mereka dan seisi halaman itu, termasuk Ki Argajaya dan keluarganya. Memang kadang-kadang para pengawal di regol padukuhan itu melepaskan sekelompok kecil orang-orangnya untuk meronda dan berkeliling seluruh padukuhan, namun itu terjadi hanya tiga kali dalam semalam suntuk, sehingga tidak akan terlampau sulit untuk menghindari mereka. Karena itu, maka kawan-kawan putera Ki Argajaya itu pun segera mencapai rumah yang telah mereka tandai. Rumah kecil dan beratap ilalang.
“Sekarang?” bertanya salah seorang dari mereka perlahan-lahan.
Orang yang sudah setengah tua menganggukkan kepalanya sambil berdesis,
“Apakah isi rumah itu sudah tidur?”
“Sudah.”


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar