KETIKA SUMANGKAR menghentakkan tangkai parang itu, maka yang kemudian berada di dalam genggamannya hanyalah tinggal tangkainya saja. Ternyata parang itu patah. Kekuatan Sumangkar dan jepitan batang kayu yang ditebasnya ternyata melampaui kekuatan parang pembelah kayu itu.
“Ah,” sekali
terdengar Sekar Mirah berdesah.
“Patah ..ngger
,” Sumangkar berkata lirih,
“aku tidak
sengaja mematahkannya.”
Sekar Mirah
masih saja berdiri tegak mematung. Ia sedang terpukau oleh penglihatannya yang
dianggapnya tidak masuk akal.
“Kekuatan
apakah yang tersimpan di dalam tubuh orang tua ini?” katanya di dalam hati.
Dan ia
mendengar Sumangkar berkata,
“Kalau parang
ini tidak patah ngger, aku akan memotong kayu itu. Tetapi parang ini telah
patah.”
Sekar Mirah
tidak menjawab. Ia masih berdiri membeku.
“Apakah kau
heran?” bertanya Sumangkar.
Tanpa
sesadarnya Sekar Mirah menganggukkan kepalanya.
“Tidak
mengherankan sama sekali ,” berkata Sumangkar kemudian, “kau pun akan dapat
melakukannya Mirah.”
“He,” alis
Sekar Mirah terangkat, sekali lagi ia tidak percaya kepada inderanya. Apakah
benar ia mendengar Sumangkar berkata,
“Kau pun akan dapat melakukannya Mirah.”
Dan Sumangkar
itu berkata seterusnya,
“Aku tidak
berbohong. Kalau kau ingin dapat berbuat demikian, maka kau pun akan dapat
melakukannya.”
“Apakah Kiai
bergurau?” desis Sekar Mirah kemudian.
Sumangkar
tersenyum. Jawabnya,
“Tidak ngger,
aku tidak bergurau. Apakah kau sangka bahwa sejak lahir aku dapat melakukan hal
yang demikian itu? Apakah kau sangka bahwa sejak kanak-kanak Kiai Gringsing
mampu melecutkan cambuknya seperti ledakan guntur di langit? Apakah kau sangka
bahwa Ki Tambak Wedi mampu memecahkan dada lawannya hanya dengan lemparan
gelang-gelang besi atau Ki Gede Pemanahan mampu memecah regol Kadipaten Jipang
dengan sehelai keris yang kecil saja, kerisnya yang bernama Kiai Naga Kumala
sejak mereka lahir?”
Sekali lagi
Sekar Mirah berdiri mematung. Terasa sesuatu bergetar di dalam dadanya.
“Nah,
bagaimanakah perasaanmu? Heran atau curiga bahwa aku dan orang-orang tua
seperti aku ini telah kerasukan setan? Tidak Mirah. Kami tidak mencari kekuatan
tenaga jasmaniah dan tenaga tersimpan di dalam diri kami masing-masing ini
dengan bantuan setan-setan. Tidak. Dengan demikian kita telah menentang sumber
kekuatan itu sendiri. Meskipun ada juga orang yang mencarinya dalam dunia yang
hitam, tetapi betapa besar tenaga yang dapat dilahirkan oleh kekuatan hitam, namun
Yang Maha Kuat, Yang Maha Kuasa, adalah sumber dari semua yang ada. Juga sumber
dari kekuatan yang kasat mata dan yang tidak kasat mata. Karena itu jangan
menyangka bahwa kami harus mencari kekuatan semacam ini kemana-mana. Sebab pada
dasarnya kekuatan itu telah ada di dalam diri kami masing-masing. Soalnya,
apakah kita mampu mengungkapkannya atau tidak.
Sekar Mirah
masih berdiri di tempatnya. Bahkan tanpa berkedip ditatapnya wajah Ki
Sumangkar. Dan ia mendengar orang tua itu meneruskannya,
“Sekar Mirah. Kita
tinggal memohon kepada Sumber Kekuatan di dalam diri, kepada Yang Maha Tinggi,
apakah kita diperkenankan mempelajari kekuatan di dalam diri kita, kemudian
mengenalnya dan mengungkapkannya.” Sekali Iagi Ki Sumangkar itu berhenti
berbicara. Dilihatnya Sekar Mirah dengan penuh minat mendengarkannya.
“Karena itu,
“berkata Sumangkar pula,
“kita tidak
perlu mencari apa pun di luar Sumbernya. Kita tidak perlu mencari kekuatan di
lereng-lereng gunung, di gua-gua yang singup, di samping batu-batu yang besar atau
di bawah pohon-pohon yang rimbun dan angker. Tidak. Sebab Sumber dari segala
Hidup dan Kekuatan itu seolah-olah mata air yang mengalir ke segenap penjuru.
Ke segenap saluran. Dan kita adalah salah satu dari saluran yang diciptakannya
pula. Dengan demikian apabila kita membuka bendungan, segera aliran itu akan
membasahi diri kita. Soalnya, apakah kita mampu membuka bendungan itu cukup
lebar. Dan untuk melakukannya, untuk mendapatkan aliran yang cukup, kita harus
berusaha dan memohon. Berusaha dan memohon. Berusaha sebagai kenyataan
kesungguhan dari permohonan itu. Dan itu tidak perlu dilakukan di tempat-tempat
yang angker. Kita dapat melakukannya di sembarang tempat. Bahkan di
tengah-tengah pasar sekalipun asal kita mampu memusatkan kehendak dan setiap getaran
di dalam diri, untuk melakukannya.” Sekali lagi Sumangkar berhenti. Seakan-akan
ia ingin mengetahui, apakah Sekar Mirah dapat menangkap dan mengendapkan
kata-katanya. Sejenak kemudian Sumangkar itu berkata pula.
“Tetapi ngger,
kadang-kadang kita memang memerlukan tempat yang sepi dan tersendiri. Bukan
karena kita memerlukan bantuan kekuatan-kekuatan yang ada dalam kesepian dan
kesendirian, bukan karena kita tidak percaya bahwa Sumber kita cukup kuat,
sehingga kita mencari sumber yang lain meskipun sumber itu dialiri oleh
kekuatan hitam, tidak. Kalau kita menyepi dan menyendiri itu adalah sekedar
usaha supaya pemusatan pikiran dan seluruh kehendak dapat menjadi bulat dan
bersungguh-sungguh menghadap kepada Sumber Hidup kita untuk memohon agar kita
diperkenankan mengungkapkan kekuatan-kekuatan yang ada di dalam diri kita atas
kurnia-Nya. Sudah tentu, dengan janji di dalam diri, bahwa tujuan daripadanya
pun tidak menyimpang dari jalan yang ditunjukkannya.”
Perlahan-lahan
Sumangkar melihat Sekar Mirah mengangguk-anggukkan kepalanya. Agaknya meskipun
ia tidak seluruhnya dapat mengerti keterangan Sumangkar itu, namun ia dapat
merasakan dan menghayatinya. Meskipun dari sorot matanya, Sumangkar masih
melihat keragu-raguan.
“Apakah kau
ragu-ragu ngger ?” orang tua itu bertanya.
“Mungkin kau
bertanya di dalam hati, seandainya demikian, kenapa kekuatan-kekuatan itu
sering berbenturan?”
Sekar Mirah
tidak menjawab. Tetapi sebagian terbesar dari dugaan Ki Sumangkar itu benar. Ia
memang menyimpan pertanyaan itu di dalam hatinya.
“Sekar Mirah,”
berkata Sumangkar itu pula,
“seandainya
kita bersama-sama memiliki pengertian yang sama dan penilaian yang sama tentang
kebenaran, maka kita pasti tidak akan bertengkar satu sama lain kecuali dengan
orang-orang yang sengaja mengambil kekuatan dari dunia yang hitam. Tetapi
kenyataan yang terjadi, kita yang merasa diri kita bersama-sama mencari
kekuatan dari Sumber hidup kita, masih juga berbenturan. Itulah kekurangan
manusia. Betapapun manusia merasa dirinya mumpuni, tetapi manusia tidak akan
dapat mengenal kebenaran yang mutlak. Rahasia kebenaran ini tidak akan dapat
dikuasai oleh manusia yang manapun, selagi ia masih terikat dengan hidup
duniawinya. Adalah picik sekali, apabila seseorang menganggap dirinya benar
mutlak dan orang lain salah mutlak Tetapi sekali lagi kita dihadapkan pada
kekurangan manusia, kebodohan, kekerdilan dan kesombongannya. Meskipun
disadarinya juga bahwa tidak dapat digayuhnya kebenaran yang mutlak, namun
selalu saja kita saling menyalahkan orang lain dan menggenggam kebenaran
menurut penilaian diri.”
Wajah Sekar
Mirah menjadi semakin tegang. Ia mencoba mengerti arti kata-kata Sumangkar.
Namun tidak seluruhnya dapat dicernakannya. Meskipun demikian, ia dapat
menjajagi maksud Ki Sumangkar.
“Nah Mirah,” berkata
Sumangkar itu kemudian,
“aku terlampau
banyak berbicara. Aku bukan orang yang bersih dalam hidupku. Aku adalah
seseorang yang baru saja mendapat pengampunan karena aku ikut melawan kekuasaan
Pajang karena kebodohan dan kesombonganku.” Orang tua itu berhenti sejenak,
tetapi dari sorot matanya terpancar perasaan yang aneh. Namun tidak terucapkan.
Sebenarnya bahwa di dalam dada Sumangkar tersimpan pula perasaan yang tidak
dapat lepas daripadanya, bahwa orang-orang Pajang pun seperti juga dengan
dirinya, bodoh dan sombong. Sehingga benturan di antara saudara, Pajang dan
Jipang dapat terjadi.
Tetapi
Sumangkar itu menggelengkan kepalanya. Katanya di dalam hati,
“Mudah-mudahan
kata Ki Gede Pemanahan itu benar, bahwa ia bertempur tidak karena perasaan
benci. Ia bertempur karena cintanya kepada sesama, kepada orang-orang Pajang
dan Jipang, kepada rakyat Demak seluruhnya. Agar mereka terlepas dari kekuasaan
yang tidak sewajarnya. Tetapi bagaimanapun juga Ki Gede Pemanahan itu masih
juga tidak dapat melepaskan diri dari hidup duniawinya.”
Sumangkar itu
terkejut ketika tiba-tiba saja ia mendengar suara Sekar Mirah bertanya
kepadanya,
“Kiai, apakah
Kiai berkata sebenarnya bahwa aku pun dapat melakukan seperti yang Kiai lakukan
itu?”
Sumangkar
menarik nafas dalam-dalam. Kemudian jawabnya,
“Ya, ya ngger.
Kau akan dapat berbuat seperti itu apabila kau berkeinginan dengan
sungguh-sungguh.”
“Tentu Kiai,
aku berkeinginan sungguh-sungguh. Apakah aku dapat belajar untuk itu?”
Sumangkar
tersenyum, jawabnya,
“Apakah kau
ingin belajar?”
“Ya Kiai. Aku
ingin. Aku tidak mau menjadi seseorang yang hanya dapat menggantungkan diriku
sendiri kepada orang lain. Kepada ayah dan kepada kakang Swandaru. Kalau aku
dapat berdiri sendiri, setidak-tidaknya menjaga diriku sendiri, maka aku akan
senang sekali.”
“Ya ngger.
Tetapi sebelumnya kau harus mengetahuinya, bahwa sebelum sampai ke tingkatan
itu, kau harus bekerja keras. Belajar dan berlatih. Kau akan masuk ke dalam
cara hidup yang berbeda dengan yang selama ini kau jalani. Kau tidak akan lagi
tenggelam dalam kesibukan di dapur, meskipun itu tidak akan dapat kau
tinggalkan sebagai seorang gadis. Betapapun juga, kau tetap seorang gadis yang
harus melakukan pekerjaan dari seorang gadis dan kelak seorang ibu. Tetapi
sebagian waktumu akan kau pergunakan untuk belajar dan berlatih. Kau akan
menjadi lelah dan bermandikan keringat. Kau akan kehilangan banyak waktu untuk
bermain-main dengan gadis-gadis sebayamu. Kau akan kehilangan waktu untuk
membuat permainan Nini Towong, untuk melihat siwur yang melonjak-lonjak, karena
kau sendirilah yang harus melonjak-lonjak.”
“Ya Kiai.
Tentu aku sanggup melakukannya. Aku sudah semakin besar, dan aku sudah tidak
pantas lagi ikut bermain Nini Towong. Bahkan permainan apa pun lainnya.”
Sumangkar
terdiam sejenak. Dipandanginya wajah gadis itu. Lalu katanya,
“Tetapi kau
adalah seorang gadis ngger. Kau tidak dapat
mengambil keputusan sendiri seperti kakakmu Swandaru. Kau harus minta
ijin kepada ayah dan ibumu.”
“Ah, itu tidak
perlu Kiai. Aku sudah cukup dewasa untuk menentukan jalanku sendiri.”
Sekar Mirah
menjadi kecewa ketika ia melihat Sumangkar menggelengkan kepalanya.
“Ini bukan
sekedar bermain-main ngger. Kau harus menjalani cara hidup yang jauh berbeda.
Dan untuk itu ayah dan ibumu harus tahu dan mengijinkannya.”
“Tidak perlu
Kiai. Tidak perlu. Bagaimana seandainya ayah dan ibu tidak mengijinkannya.”
“Kalau ayah
dan ibumu tidak mengijinkannya, kau pun harus mundur.”
“Tidak. Tidak.
Aku tidak mau mundur. Aku harus berjalan terus seperti yang aku inginkan.”
“Ini adalah
ujianmu yang pertama Sekar Mirah. Untuk menjadi seorang murid yang baik, kau
harus menunjukkan sikap yang baik. Aku pun akan mencoba memilih murid yang
baik, yang patuh kepada guru dan orang tuanya. Apabila terhadap guru dan orang
tuanya sudah tidak ada kepatuhan, maka apakah ia kelak akan dapat mematuhi
segala macam nasehat dan petunjuk dari guru dan orang tua itu, apabila kita
telah berpisah? Katakan misalnya, apabila aku yang tua ini dan ayah bundamu
telah tiada?”
“Oh,” Sekar
Mirah berdesah perlahan sekali. Sumangkar tidak segera melanjutkan
kata-katanya. Dilihatnya Sekar Mirah menundukkan kepalanya. Kata-kata Sumangkar
itu ternyata tepat menyentuh dinding-dinding hatinya. Karena itu, maka untuk
sesaat mulutnya seakan-akan terbungkam.
“Nah, Sekar
Mirah,” kemudian Ki Sumangkar berkata perlahan-lahan,
“cobalah
berbicara dengan ayah dan ibu. Kalau kau mampu menjelaskan keinginanmu dan
perasaanmu, maka aku kira mereka tidak akan berkeberatan. Tetapi ingat, sebagai
seorang anak kau harus patuh terhadap orang tua. Itu adalah pernyataan terima
kasihmu kepada mereka yang telah melahirkan, mengasuh dan membesarkan kau. Kau
mengerti?”
“Ya Kiai,”
sahut Sekar Mirah lambat sekali, suaranya seakan-akan bergetar di dalam
kerongkongannya saja.
“Aku akan
minta ijin kepada ayah dan ibu.”
“Kalau kau
dapatkan ijin itu Mirah, maka kita akan segera mulai, sebelum aku menjadi
semakin keriput dan tidak mampu lagi berbuat apa-apa. Kakakmu Swandaru selalu
memilih tempat di samping Gunung Gowok untuk berlatih. Tempat itu cukup luas
dan sepi. Hampir tidak menarik perhatian dan terlindung pula.”
“Ya Kiai.
Sekarang juga aku akan menemui ayah dan ibu.”
“Hati-hati.
Jangan memaksa dan menyakiti hatinya. Bagi Sangkal Putung masih belum lazim
seorang gadis mempelajari ilmu bela diri. Karena itulah maka kau pasti akan
menghadapi banyak kesulitan. Tetapi apabila ayah dan ibumu mengijinkannya, maka
kesulitan itu satu-satu akan kau langkahi.”
“Ya Kiai.”
“Sekarang
cobalah minta ijin ayah dan ibumu. Mudah-mudahan mereka mengerti, bahwa kau
selalu terancam bahaya. Kalau kau sedikit banyak mampu menjaga dirimu sendiri,
maka ayah dan ibumu tidak selalu gelisah apabila kau tidak berada di sisi
mereka.”
“Baiklah
Kiai,” sahut Sekar Mirah,
“aku akan
berkata kepada ayah dan ibu. Mudah-mudahan aku diijinkan.”
Gadis itu pun
segera meninggalkan Ki Sumangkar mencari ayah dan ibunya. Kedua orang tuanya
itu terkejut melihat sikapnya yang tampak gelisah dan tergesa-gesa.
“Apakah yang
terjadi ?”
“Aku ingin
mengatakan sesuatu yang penting kepada ayah dan ibu bersama-sama,” Sekar Mirah
berkata dengan serta merta tanpa kata-kata pendahuluan.
“Apakah yang
penting itu?”
“Tentang
diriku. Bukankah aku sudah besar.”
Kedua orang
tuanya mengerutkan alisnya. Mereka menduga-duga maksud perkataan anaknya. Yang
mula-mula tergetar di dada mereka adalah, Sekar Mirah merasa dirinya seorang
gadis dewasa dalam hubungannya dengan Agung Sedayu.
“Bukankah
begitu ayah. Bukankah aku sudah cukup dewasa.”
Ayahnya menarik
nafas dalam-dalam. Katanya,
“Kalau kau
sudah dewasa, lalu apakah maksudmu Mirah, kau adalah seorang gadis. Meskipun
kau sudah dewasa, kau tetap seorang gadis.”
Dada Sekar
Mirah berdesir mendengar jawaban ayahnya. Terbata-bata ia berkata,
“Justru aku
seorang gadis ayah.”
“Oh,” ayahnya
menjadi heran mendengar jawabnya,
“kenapa justru
seorang gadis. Seorang gadis harus bersikap sopan dan halus. Kau tidak boleh
berbuat sekehendak hatimu Mirah,
Betapapun perasaanmu dicengkam oleh suatu keinginan.”
“Apakah
sebenarnya perbedaan seorang gadis dan seorang anak laki-laki ? Ayah, aku
memerlukannya. Hidupku selama ini selalu diancam oleh bahaya.”
“Maksudmu
Sidanti?”
“Ya, ayah. Aku
harus mendapat ketenteraman, Karena itulah aku akan melakukannya.”
“Apa pun yang
terjadi atas dirimu Mirah. Tetapi itu tidak pantas. Kau tidak dapat berbuat
sehendak hatimu, menuruti perasaanmu. Kau seorang gadis. Ingat, kau seorang
gadis. Aku sudah selalu memperingatkan kau, bahwa ada perbedaan menurut tata
kesopanan antara seorang gadis dan seorang anak laki-laki. Tata kesopanan itu
sampai saat ini masih kita junjung tinggi. Kalau kau kemudian kehilangan
sifat-sifatmu sebagai seorang gadis, maka alangkah cemarnya namamu dan nama
keluargamu. Kau menjadi gadis yang tidak berharga lagi.”
“Ayah,” potong
Sekar Mirah,
“kenapa dengan
demikian aku menjadi tidak berharga, bahkan mencemarkan nama ayah dan ibu,
bahkan seluruh keluarga? Tidak ayah, bahkan sebaliknya, Aku akan mengangkat
nama keluarga. Lebih daripada itu, aku tidak akan selalu menggantungkan nasibku
kepada ayah, ibu dan kakang Swandaru Geni.”
“Tetapi caramu,
Mirah. Caramu, yang tidak aku setujui. Kau adalah seorang gadis. Sekali lagi,
kau adalah seorang gadis. Kau mempunyai sifat kodrati yang berbeda dengan
seorang anak laki-laki. Kau mempunyai kedudukan yang telah diatur dalam adat
dan kebiasaan. Kau harus tunduk Mirah.”
“Oh, terlalu.
Itu terlalu sekali ayah.” tiba-tiba Sekar Mirah tidak dapat mengendalikan
perasaannya. Air matanya mulai meleleh di pipinya.
“Mirah,”
terdengar suara ibu Sekar Mirah sareh,
“ingatlah
Mirah, meskipun kau hanya anak seorang Demang, tetapi kau harus tetap menjaga
namamu Aku tidak menolak pilihanmu itu Mirah, tetapi lebih baik kau diam. Lebih
baik kau tidak berbuat sesuatu lebih dahulu.”
“Bagaimana hal
itu dapat terjadi ibu, kalau aku hanya berdiam diri. Tidak. Aku harus berbuat
sesuatu. Aku harus berbuat supaya itu dapat terjadi.”
“Tidak Mirah,”
Ki Demang Sangkal Putung pun kemudian
menjadi semakin keras.
“Kau tidak
boleh berbuat apa-apa. Kau harus menunggu. Kalau benar Agung Sedayu dan kau telah bersepakat untuk
hidup bersama, biarlah ia datang kepadaku, bersama dengan kakaknya atau
pamannya. Ia harus menyatakan keinginannya lebih dahulu. Baru kau berbuat
sesuatu. Sebelum itu, aku melarang kau berbuat apa pun untuk kepentingan itu.”
Hampir-hampir Sekar Mirah memekik mendengar kata-kata
ayahnya Sejenak ia berusaha menahan gelora di dadanya. Kedua tangannya menutup
wajahnya yang menjadi kemerah-merahan.
Ibunya
terkejut melihat tanggapan yang tiba-tiba terjadi pada anaknya. Seolah-olah
kata-kata ayahnya telah langsung memukul perasaannya, sehingga anak itu merasa
terguncang karenanya. Karena itu, maka runtuhlah ibanya. Sebagai seorang ibu,
maka perasaannya menjadi lebih cepat cair daripada ayahnya. Perlahan-lahan Nyi
Demang bergeser mendekatinya dan membelai rambutnya. Katanya sareh,
“Tenangkan
hatimu Mirah.”
Tetapi Sekar
Mirah tidak mengucapkan sepatah katapun. Gadis itu masih menutup wajahnya
dengan kedua telapak tangannya.
“Kami
bermaksud baik Mirah,” berkata ibunya pula,
“bukan maksud
kami melarangmu.” Sekar Mirah masih berdiam diri.
Yang terdengar
adalah suara ayahnya berat,
“Aku terpaksa,
Mirah. Aku terpaksa berbuat demikian untuk kepentinganmu dan kepentingan
keluargaku. Siapa pun angger Agung Sedayu, seandainya ia putera Sultan
sekalipun, ia harus tahu menempatkan dirinya sebagai seorang laki-laki.”
Kedua suami
isteri itu terkejut bukan buatan ketika mereka melihat Sekar Mirah itu
tiba-tiba meloncat. Dengan sekuat-kuat tenaganya dicubitnya lengan ayahnya.
Tidak hanya sekali, tetapi berkali-kali. Hampir berteriak gadis itu berkata,
“Ayah
berbicara sekehendak ayah saja. Aku tidak tahu apa yang ayah katakan.”
“Mirah,
Mirah,” ayahnya mengaduh, “jangan Mirah. Tetapi kenapa kau sebenarnya ?”
Ibunya yang
duduk dengan mulut ternganga tidak dapat berbuat apa-apa, seolah-olah ia
menjadi beku di tempatnya.
“Mirah, kenapa
kau ?” Ayahnya pun kemudian hampir berteriak pula kesakitan.
“Dengarlah
aku. Tenanglah. Jangan mengamuk begitu.”
“Ayah
berbicara sekehendak sendiri, menurut kesenangan ayah saja. Aku sama sekali
tidak berbicara tentang Agung Sedayu. Apa peduliku atas anak muda itu aku
berbicara tentang diriku sendiri. Tentang Sekar Mirah. Tidak tentang orang lain.”
Ki Demang
Sangkal Putung suami isteri menjadi bingung. Mereka saling berpandangan
sejenak. Ketika Sekar Mirah kemudian menjadi tenang dan duduk sambil
menundukkan kepalanya dalam-dalam Ki Demang bertanya,
“Aku tidak
mengerti Mirah. Aku tidak mengerti sikapmu kali ini.
“Aku juga
tidak mengerti apa yang ayah katakan.”
“Mirah,”
ayahnya mengerutkan keningnya,
“bukankah kau
mengatakan bahwa kau kini sudah dewasa ?”
“Ya, dan
apakah hubungannya antara kedewasaanku dengan Agung Sedayu?”
Sekali lagi Ki
Demang Sangkal Putung menjadi terdiam. Sekali lagi kedua suami isteri itu
saling memandang dengan sorot mata yang memancarkan seribu macam pertanyaan
yang bergetar di dalam dada mereka.
“Ayah,” tiba-tiba suara Sekar Mirah menjadi renyah
dan tiba-tiba saja gadis itu tidak menangis lagi.
“Aku tidak
berbicara tentang orang Iain. Aku berbicara tentang diriku sendiri.”
Ayahnya masih
belum menjawab.
“Aku ingin
dapat melindungi diriku sendiri ayah. Setiap waktu aku terancam bahaya, aku
ingin dapat menyelamatkan diriku sendiri. Setidak-tidaknya aku dapat
memperpanjang waktu sebelum aku mendapatkan pertolongan.”
Ayahnya masih
tetap berdiam diri.
“Aku sudah
menemui Ki Sumangkar.”
Ayah dan
ibunya mengerutkan keningnya.
“Ayah dan ibu
jangan cemas, aku tidak akan ngunggah-unggahi untuk melamar Ki Sumangkar.”
“Ah,” ayahnya
berdesah.
“Ki Sumangkar
telah menyatakan kesanggupannya untuk menuntun aku dalam tata bela diri. Asal
ayah dan ibu mengijinkan.”
Ki Demang
suami isteri menarik nafas dalam-dalam.
“Ki
Sumangkar pun telah berjanji untuk
melakukannya di tempat yang terasing. Seperti yang sering dilakukan oleh kakang
Swandaru, di dekat Gunung Gowok.”
“Oh,” sekali
lagi ayahnya berdesah,
“kau membuat
kepalaku hampir terlepas Mirah. Kau membuat aku dan ibumu menjadi sangat
bingung.”
“Salah ayah
dan ibu sendiri. Aku belum selesai berbicara, ayah dan ibu seolah-olah telah
tahu persoalannya. Aku pun ternyata keliru menangkap kata-kata ayah dan ibu.”
“Kau tidak
mengatakannya tentang itu, tentang ilmu tata bela diri.”
“Aku kira ayah
telah mengerti maksudku, atau mendengar ketika aku berbicara dengan Ki
Sumangkar, sehingga dengan tergesa-gesa ayah melarang.”
Ki Demang menggeleng-gelengkan
kepalanya.
“Kau memang
selalu membuat kepalaku menjadi pening, sejak Sidanti ada di halaman ini.
Kemudian kehadiran angger Agung Sedayu. Lalu kau hilang, dan sekarang kau
membuat aku hampir kehilangan akal.”
“Nah, bukankah
sekarang ayah tahu persoalannya ? Mudahnya, aku akan berguru kepada Ki
Sumangkar. Meskipun aku seorang gadis. Tetapi hal ini akan dapat dirahasiakan.
Tidak ada orang lain yang mengetahuinya. Setidaknya, orang yang mengetahuinya
sangat terbatas.” Sekar Mirah berhenti
sebentar, lalu,
“Boleh ayah.
Boleh bukan?”
“Hem,” ayahnya
menggigit bibirnya,
“kau aneh
Mirah. Sebenarnya hal yang kau sebut itu pun tidak biasa dilakukan oleh
gadis-gadis.”
Wajah Sekar
Mirah yang sudah mulai cerah, kini menjadi suram kembali. Dipandanginya wajah
ayahnya yang tampaknya masih disaput oleh kebingungan dan keragu-raguan.
Seperti anak-anak yang dihadapkan pada
teka-teki yang sangat sulit, kedua suami isteri itu duduk tanpa berkisar
sejengkalpun. Kadang-kadang mereka saling berpandangan dan kadang-kadang ibu
Sekar Mirah itu memandangi wajah puterinya dengan mulut ternganga. Sedang Ki
Demang pun selalu bertanya-tanya di dalam dirinya,
“Apakah
sebenarnya kemauan anak ini ?”
Sejenak
kemudian mereka mendengar suara Sekar Mirah,
“Jadi
bagaimana ayah, boleh bukan? Aku akan dapat banyak berbuat untuk diriku
sendiri, untuk keluarga, bahkan untuk Sangkal Putung. Bukankah dengan demikian
aku tidak akan merendahkan namaku dan nama keluargaku. Meskipun hal ini masih
belum biasa terjadi, tetapi bukankah tidak menjadi pantangan seperti orang
gadis yang melamar laki-laki bakal suaminya?”
“Ah,” sekali
lagi Ki Demang berdesah.
“Boleh bukan
ayah ?”
Ki Demang
Sangkal Putung yang masih saja ragu-ragu dan bingung itu akhirnya tidak dapat
lagi mengelakkan desakan Sekar Mirah yang mengalir seperti bendungan pecah.
Sehingga akhir ia berkata,
“Baiklah
Mirah. Aku tidak berkeberatan. Tetapi jaga dirimu baik-baik. Sekali lagi aku
peringatkan, kau seorang gadis. Kau harus tetap dapat menjaga dirimu sebagai
seorang gadis. Meskipun seandainya kemudian kau berhasil memperoleh ilmu tata
bela diri yang baik, tetapi kau tidak boleh melupakan dirimu sendiri. Kau harus
tetap memegang adat kesopanan dalam tindak tanduk, tingkah laku dan tutur kata.
Aku tidak akan berbangga melihat kau, sebagai seorang gadis, meskipun kau
memiliki kecakapan seperti laki-laki dalam tata bela diri, tetapi lalu bersikap
seperti laki. Apalagi apabila kau menjadi sombong dan setiap saat ingin mencari
saluran untuk menunjukkan kelebihanmu.”
“Itulah ayah,
aku telah mengatakan, bahwa aku telah dewasa, telah cukup mengerti untuk
membuat pertimbangan-pertimbangan tentang baik dan buruk. Dewasa tidak saja
dalam pengertian bentuk jasmaniah, tetapi juga dewasa dalam berpikir dan
berbuat.”
“Kata-katamu
seperti kata-kata orang dewasa yang sebenarnya. Baiklah Mirah. Tetapi ingat
selalu pesan ayah dan ibu. Kau tetap seorang gadis, meskipun kau mampu
menangkap angin.”
“Tentu ayah,
aku tidak akan berubah menjadi laki-laki. Aku tetap seorang gadis.”
“Maksudku
dengan tingkah laku seorang gadis. Dengan sikap dan sifat seorang gadis. Kau
mengerti?”
“Tentu ayah.
Aku mengerti,” sahut Sekar Mirah dengan serta merta. Lalu,
“Sekarang aku
akan menemui Ki Sumangkar, Ayah. Aku akan berkata kepadanya bahwa ayah tidak
berkeberatan.”
“Tunggu Mirah.
Aku masih belum selesai.”
“Apa lagi ayah
? Aku sudah cukup. Aku akan menyampaikannya kepada Ki Sumangkar.”
“Tunggu
Mirah,” potong ayahnya. Tetapi Sekar Mirah telah meloncat. berdiri. Ketika
beberapa langkah ia berlari, ia mendengar ayahnya berkata,
“Itu pertanda
bahwa kau masih belum dewasa Mirah.”
Sekar Mirah
tertegun di muka pintu. Perlahan-lahan ia memutar diri menghadap kepada
ayahnya. Dan ia mendengar ayahnya berkata,
“Kau
sebenarnya masih terlampau kanak-kanak. Kau masih belum dapat mengendapkan
perasaanmu dan berbuat dengan tenang. Kau masih selalu dikuasai oleh perasaanmu
yang melonjak-lonjak itu Mirah.”
Dada Sekar
Mirah menjadi berdebar-debar.
“Tetapi
baiklah. Kau ingat-ingat saja pesan ayah dan ibu dan bahkan kata-katamu
sendiri, bahwa kau telah mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.”
“Ya ayah,”
sahut Sekar Mirah.
“Pergilah.
Hati-hati.”
“Terimakasih
ayah.” Sekar Mirah itu pun kemudian melangkah keluar. Tetapi ia tidak
berlari-lari lagi. Langkahnya dibuatnya menjadi perlahan-lahan namun mantap. Ia
ingin menjadi seseorang yang benar-benar
telah dewasa, tindak tanduk dan
cara berpikir.
Sumangkar
bergembira pula mendengar keputusan ayah dan ibu Sekar Mirah. Sambil tersenyum
ia berkata,
“Aku pun akan
menemui ayah dan ibumu ngger. Aku harus berbicara dengan mereka supaya kelak
tidak ada persoalan yang dapat mengejutkannya.”
“Silahkan
Kiai,” jawab Sekar Mirah,
”tetapi
cepatlah. Aku tidak sabar lagi. Aku merasa bahwa diriku seakan-akan telah mampu
berbuat apa saja.”
“Jangan
tergesa-gesa. Kau memerlukan waktu. Tidak hanya sehari dua hari. Tetapi setahun
dua tahun.”
“Berapa pun
waktu yang diperlukan, tetapi bukankah lebih cepat lebih baik?”
Sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya Sumangkar tertawa,
“Baiklah.
Tetapi aku harus bertemu dengan ayah dan ibumu dahulu.” Ternyata Sumangkar
melakukan apa yang dikatakannya. Ia memerlukan secara khusus menemui Ki Demang
Sangkal Putung suami isteri. Bahkan Widura diberitahukannya pula.
“Kami tidak
berkeberatan,” berkata ayah dan ibu Sekar Mirah. Tetapi kami menuntut agar
Sekar Mirah tidak kehilangan sifat-sifat kegadisannya dan kelak sifat-sifat
keibuannya.”
“Aku akan
mencobanya,” sahut Sumangkar.
“Mudah-mudahan
paman berhasil,” sela Widura,
“sebab Sekar
Mirah kelak akan berhubungan dengan seorang laki-laki sebagai suami isteri.
Kadang-kadang di dalam hubungan keluarga sering terjadi persoalan-persoalan
kecil yang harus dipecahkan. Kalau Sekar Mirah kehilangan sifat keibuannya,
maka tidak mustahil akan terjadi pertempuran kecil-kecilan di dalam lingkungan
keluarga itu. Kalau keduanya kemudian lupa diri, akibatnya akan berbahaya.”
Sumangkar
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia dapat mengerti sikap Widura, karena mau
tidak mau pemimpin pasukan Pajang di Sangkal Putung itu kelak akan
berkepentingan. Sumangkar bukannya tidak tahu hubungan yang ada antara Agung
Sedayu dan Sekar Mirah. Sebagai paman Agung Sedayu, Widura ingin mendapat
gambaran yang baik bagi kemenakannya kelak. Karena itu, Sekar Mirah yang
apabila tidak ada perubahan sikap dari kedua anak muda itu, akan menjadi
menantu kemenakannya, diharapkannya akan menjadi seorang isteri yang baik,
seorang ibu yang dapat mengerti tentang kedudukannya sebagai seorang ibu.
Widura tahu benar sifat-sifat Agung Sedayu. Sifat yang lebih banyak dipengaruhi
oleh sifat-sifat kanak-kanak yang dekat dengan ibunya.
“Angger Widura,”
berkata Sumangkar kemudian,
“aku akan
berusaha sejauh mungkin, bahwa ilmu tata bela diri yang akan dipelajarinya
tidak menghilangkan sifat-sifat keibuannya. Angger benar, bahwa apabila seorang
gadis telah kehilangan sifat-sifatnya, maka ia tidak akan dapat menjadi ibu
yang baik kelak. Padahal hari depan dari Kademangan ini dan dari seluruh
Pajang, terletak di tangan angkatan yang bakal datang. Dan angkatan yang bakal
datang itu akan lahir dari ibu-ibu.”
“Tepat,” sahut
Widura,
“kalau ibu-ibu
tidak lagi dapat berbuat seperti seorang ibu, maka apakah yang akan terjadi
pada masa-masa mendatang? Bagaimanakah dengan anak-anak yang bakal dilahirkan?
Meskipun tidak seluruhnya akan dibebankan pada pertanggungan jawab seorang ibu,
tetapi orang yang terdekat dari kanak-kanak di masa kecilnya adalah ibu. Ibulah
yang pertama-tama meletakkan dasar kejiwaan pada kanak-kanak itu.”
Ki Demang
Sangkal Putung mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia menjadi agak berlega hati
karena ternyata Sumangkar dapat mengerti maksudnya, bahkan Widura pun telah menambah penjelasan sesuai dengan
keinginannya.
“Mudah-mudahan
Sekar Mirah tidak melepaskan diri dari tanggungjawab itu. Kelak, kalau ia
menjadi seorang ibu, ia tidak hanya sekedar menjadi seorang ibu tanpa
menghiraukan keibuannya. Apa pun yang dapat dilakukan di luar dinding halaman
rumahnya, tetapi yang terpenting adalah rumah itu bagi seorang ibu. Kita tidak
akan dapat berbicara tentang angkatan mendatang tanpa berbicara tentang orang
tua-tua yang mengisi angkatan kini. Kita tidak dapat berbicara tentang Sidanti tanpa
berbicara tentang angkatan sebelumnya, Argapati, isterinya dan Ki Tambak Wedi.
Dan kita tidak akan dapat berbicara tentang angkatan mendatang tanpa berbicara
tenang anak-anak muda kini. Semakin tipis perhatian kita terhadap angkatan
mendatang karena kesibukan kita dengan persoalan kita sendiri, maka semakin
suramlah masa-masa mendatang itu,” gumam Widura seolah-olah ditujukan kepada
diri sendiri. Dan tiba-tiba saja mendesak di dadanya kerinduannya kepada
keluarganya. Apakah ia termasuk orang-orang yang tidak bertanggungjawab kepada
masa datang karena tidak sempat mendidik anak-anaknya? Dalam melakukan
kewajibannya sebagai seorang prajurit, maka ia lebih banyak berada di luar
rumahnya.
“Tetapi aku
percaya kepada isteriku,” desis Widura di dalam hatinya. “Isteriku mengerti
akan tugasku. Ia telah menempatkan dirinya benar-benar sebagai seorang isteri
prajurit. Ia telah menyisihkan segala macam kesenangan diri, meskipun isteriku
masih terhitung belum terlampau jauh dari masa-masa mudanya.”
Widura menarik
nafas dalam-dalam. Tetapi tidak semua isteri dari mereka yang tidak sempat
berada di lingkungan keluarganya berbuat baik. Isteri-isteri yang terlampau
sering ditinggalkan oleh suaminya, karena tugas-tugasnya, dan kemudian
isteri-istri itu tenggelam dalam kesibukan sendiri, maka anak-anak yang lahir
dari keadaan yang demikian itu kadang-kadang kehilangan pengamatan. Dan
anak-anak itu akan melakukan apa saja yang disenanginya. Baik atau buruk. Maka
Ki Demang Sangkal Putung telah mempercayakan Sekar Mirah kepada Sumangkar. Ki
Demang Sangkal Putung suami isteri mengharap, bahwa Sumangkar akan benar-benar
berhasil membuat anaknya menjadi seorang gadis yang mempunyai kecakapan yang
baik untuk membela dirinya, tetapi tanpa melepaskan diri dari suasana
kegadisannya.
Ternyata
kepercayaan ini menjadi terlampau berat bagi Sumangkar. Apalagi pada dasarnya
Sekar Mirah adalah seorang gadis yang terlampau manja, terlampau menghargai
dirinya sendiri melampaui orang Iain. Namun dengan sabar dan tekun Sumangkar
menuntunnya. Seperti yang dilakukan oleh Kiai Gringsing, Sumangkar setiap kali
membawa Sekar Mirah ke Gunung Gowok yang kecil. Di samping puntuk itulah Sekar
Mirah mulai menekuni ilmu yang diberikan oleh Sumangkar. Karena Sekar Mirah
sama sekali belum mengenal ilmu semacam itu, maka Ki Sumangkar terpaksa
menuntunnya dari permulaan sekali. Tetapi Sekar Mirah benar-benar seorang gadis
yang mentakjubkan. Tekadnya yang bulat telah banyak membantunya. Apa pun yang
harus dilakukan, dilakukannya dengan baik tanpa menghiraukan keadaan dirinya.
Gadis itu seolah-olah tidak mengenal lelah. Tenaganya ternyata cukup kuat. Yang
terpenting dari segalanya adalah kemauannya yang menyala-nyala.
Ia tidak mau
untuk seterusnya selalu dihantui saja oleh Sidanti. Ia tidak mau bahwa pada
suatu ketika ia akan diculik dan disembunyikan. Bahkan mungkin Sidanti yang
telah kehilangan akal akan menjadi buas. Tidak saja menculik dan
menyembunyikan, tetapi ia tidak mau membiarkan Sekar Mirah hilang lagi dari
tangannya.
Itulah yang
mendorong Sekar Mirah keras tanpa mengenal lelah. Kapan saja gurunya
menyuruhnya. Dan apa saja yang harus dilakukannya. Hasratnya yang sangat besar
telah membuatnya menjadi seorang murid yang sangat patuh. Seorang murid yang
dengan tekun dan sebaik-baiknya melakukan perintah gurunya. Tetapi yang paling
menarik bagi Sekar Mirah adalah latihan-latihan jasmaniah. Ia tidak begitu
tertarik kepada nasehat-nasehat gurunya, meskipun tampaknya gadis itu
mendengarkan dengan baik segala petuah Sumangkar. Tetapi Sumangkar yang tua
itupun cukup tajam menangkap sikap muridnya. Karena itu ia tidak pernah
mempergunakan waktu-waktu yang khusus untuk memberikan petunjuk kepada Sekar
Mirah tentang jalan hidup yang harus ditempuhnya. Sebab jika demikian, maka
Sekar Mirah menjadi gelisah. Ia ingin gurunya segera selesai dengan
petunjuk-petunjuknya. Ia tergesa-gesa untuk segera mulai dengan latihan-latihan
jasmaniah dan petunjuk-petunjuk tentang latihannya.
Sumangkar
menyelipkan nasehat-nasehatnya justru pada saat Sekar Mirah sedang dibakar oleh
gairah latihannya. Setiap kali, tidak jemu-jemunya. Setiap kali Sumangkar
mempergunakan waktu-waktu yang sebaik-baiknya untuk kepentingan hari depan
Sekar Mirah itu sendiri. Sumangkar tahu, bahwa kemauan yang keras dari gadis
itu, selain karena sifatnya yang memang keras, juga karena dendam yang membakar
dadanya. Dendam dan kecemasan, bahwa Sidanti akan datang lagi untuk
mengambilnya. Tetapi bukan saja itu, bukan saja dendam dan kecemasan. Sekar
Mirah juga diamuk oleh perasaan kecewanya terhadap Agung Sedayu. Agung Sedayu,
orang yang telah berhasil menangkap hatinya, tetapi tidak bersikap seperti yang
dikehendakinya. Ia ingin kelak menunjukkan kepada Agung Sedayu, bahwa meskipun
ia bukan seorang laki-laki, tetapi ia akan dapat lebih bersikap jantan daripada
Agung Sedayu yang seolah-olah selalu dibayangi oleh keragu-raguan dan
kebimbangan. Agung Sedayu yang diharapkannya itu ternyata tidak memberi
kepuasan sikap kepadanya. Kepergiannya sama sekali tidak membayangkan tekadnya
yang membaja untuk menangkap Sidanti, hidup atau mati. Bahkan yang diucapkannya
adalah, “Mudah-mudahan aku selamat Mirah.”
“O ,” Sekar
Mirah setiap kali berdesis,
“kalau kau
hanya ingin selamat Sedayu, baiklah kau tinggal di dapur, menanak atau mengupas
kulit melinjo. Tetapi tidak bagi laki-laki jantan. Ia tidak hanya sekedar
berbuat supaya selamat. Tetapi seorang laki-laki harus berteriak lantang sambil
mengangkat pedangnya tinggi-tinggi.
“Gunung akan
aku runtuhkan, dan laut akan aku keringkan.” Tetapi Agung Sedayu tidak berkata
demikian. Tidak.” Sekar Mirah kian kecewa karena angan-angannya sendiri, lalu,
“Biarlah aku lah kelak yang akan berkata kepadanya : Akulah yang akan membawa
kepala Sidanti kepadamu, kakang.”
Semula,
Sumangkar yang tua itu memang dirambati oleh kecemasan melihat dendam yang membara
di hati Sekar Mirah. Ternyata latihan-latihan dan hasratnya telah didorong oleh
perasaannya itu. Tetapi Sumangkar akhirnya menemukan juga cara,
setidak-tidaknya untuk mengurangi api dendam yang telah mendidihkan darah gadis
Sangkal Putung itu. Betapapun lambatnya.
Sementara itu,
tiga sosok tubuh yang berjalan tertatih-tatih berada di dalam padatnya hutan
Mentaok. Semakin lama semakin jauh. Wajah-wajah mereka yang tegang membayangkan
dendam yang menyala di dalam dada mereka. Mereka adalah Ki Tambak Wedi,
Argajaya, dan Sidanti. Langkah mereka terasa terlampau berat, dan sekali-sekali
Sidanti bergumam di dalam mulutnya,
“Kenapa kita
tidak bertemu dengan orang-orang gila yang sering menyamun di hutan ini?”
“Untuk apa kau
mencari mereka?” bertanya gurunya.
“Aku ingin
melepaskan perasaan yang menekan dan hampir memecahkan dadaku.”
“Kau ingin
membunuh, asal membunuh saja?
“Supaya aku
tidak mati karena dadaku sendiri yang seolah-olah mencekik jalan pernafasanku.”
Gurunya tidak
menjawab. Mereka masih berjalan maju perlahan-lahan karena jalan yang mereka
lalui adalah hutan yang padat, yang dipenuhi oleh bermacam-macam
tumbuh-tumbuhan yang paling besar hingga yang paling kecil. Yang merambat dan
berduri yang roboh malang melintang.
“Perjalanan
ini telah benar-benar menyiksaku guru,” desis Sidanti itu kemudian.
“Aku sudah
berkata kepadamu, bahwa perjalanan yang kita lakukan sama sekali bukan
perjalanan yang akan memberi harapan bagi kita. Bukankah aku pernah mengatakan,
apakah tidak lebih baik berbuat sesuatu, tanpa mengganggu ayahmu Argapati.”
“Bukan, bukan
itu maksudku guru,” cepat-cepat Sidanti membantah.
“Aku justru
menjadi tersiksa karena perjalanan yang sepi. Aku tidak mendapat kesempatan
untuk melepaskan perasaanku yang menyesak ini.”
Gurunya tidak
menyahut. Dipandanginya kemladean yang menyangkut di cabang-cabang pepohonan.
Kemladean yang menjadi semakin rimbun, tetapi batang-batang yang ditempelinya
menjadi semakin keras.
Tiba-tiba Ki
Tambak Wedi berdesis, “Bagaimana luka di pundakmu?”
“Sudah sembuh
sama sekali guru. Bekasnya sudah hampir hilang sama sekali.”
Kemudian
mereka terdiam. Argajaya sama sekali tidak bernafsu untuk ikut berbicara. Ia
berjalan saja sambil menundukkan kepalanya. Tetapi meskipun demikian, hatinya
tidak juga dapat melupakan dendam yang menyala. Kekalahannya yang terjadi
berturut-turut benar-benar telah membuatnya mendendam sampai ke ujung
ubun-ubun. Tetapi mereka adalah laki-laki yang luar biasa. Laki-laki yang
memiliki banyak kelebihan dari laki-laki Iain. Karena itu, maka betapapun lebatnya
hutan Mentaok, namun mereka sama sekali tidak gentar. Bahkan Sidanti menjadi
terlampau kecewa karena perjalanan itu dirasanya terlampau sepi dan menjemukan.
Ia akan menjadi senang sekali seandainya mereka bertemu dengan sekelompok
penyamun. Namun mereka tidak menjumpainya.
Meskipun Ki
Tambak Wedi dan Argajaya tidak berkata sesuatu, tetapi mereka menjadi heran
pula, bahwa bulan ini serasa terlampau sepi. Biasanya, meskipun hanya sekali
dua kali, mereka pasti bertemu dengan gerombolan-gerombolan penyamun yang
selalu mengganggu di perjalanan.
Tetapi kali
ini, sejak mereka memasuki hutan Tambak Baya serasa hutan-hutan ini menjadi
sesepi tanah pekuburan.
“Kemanakah
orang-orang yang biasanya berkeliaran di hutan-hutan ini? Daruka misalnya?
Apakah mereka telah mati semuanya saling berkelahi di antara mereka?” desis Ki
Tambak Wedi di dalam hatinya. Tetapi pertanyaan itu tidak dapat dicari
jawabnya. Penyamun-penyamun yang paling kecil pun sama sekali tidak mereka
jumpai pula di perjalanan itu.
Namun sejenak
kemudian angan-angan Ki Tambak Wedi sudah tidak lagi terikat kepada hutan yang
sedang dilaluinya. Berbeda dengan Sidanti, yang menyimpan harapan di dalam
dirinya. Semakin dekat dengan kampung halamannya, ia menjadi semakin segar.
Tetapi kening Ki Tambak Wedi tampak semakin berkerut-merut. Banyak sekali
persoalan yang bergulat di dalam dirinya. Keragu-raguan, cemas, gelisah dan
ketidaktentuan. Setiap kali teringat olehnya nama Argapati, maka setiap kali
dadanya berdesir.
“Kita akan
segera keluar dari hutan ini guru,” gumam Sidanti kemudian.
Seperti orang
yang tersedar dari mimpi yang mencemaskan, Ki Tambak Wedi menyahut,
“Ya, ya. Kita
akan segera keluar dari hutan ini.”
“Kita akan
segera dapat melepaskan diri dari siksaan dendam yang mencengkam dada kita,”
Argajaya yang tidak banyak berbicara di sepanjang perjalanan itu menyambung.
Ki Tambak Wedi
tidak menjawab. Tetapi wajahnya dilukisi oleh kebimbangan hatinya yang semakin
dalam.
“Bukan
demikian Kiai ?” bertanya Argajaya.
“Ya, ya,
demikianlah hendaknya.”
“Apakah Kiai
masih juga ragu-ragu”
Ki Tambak Wedi
tidak segera menjawab.
“Aku mengenal
kakang Argapati luar dan dalamnya. Aku adalah adiknya. Kakang Argapati adalah
seorang yang percaya kepada diri sendiri. Orang yang memiliki pengamatan yang
tajam terhadap persoalan yang dihadapinya. Kalau Sidanti kelak mengatakan apa
yang telah terjadi, dan Kiai membenarkannya, maka aku tidak akan ragu-ragu.
Sidanti adalah putera satu-satunya bagi kakang Argapati. Ada seorang
saudaranya, tetapi ia adalah seorang gadis. Dan kebanggaan kakang Argapati
pasti tertumpah kepada Sidanti. Itulah sebabnya maka Sidanti diserahkannya
kepada Kiai, karena kakang Argapati merasa bahwa Kiai lebih banyak menyimpan
kemungkinan bagi Sidanti di hari depannya.”
Ki Tambak Wedi
menarik nafas dalam-dalam. Matanya yang tajam setajam mata burung hantu itu
tiba-tiba meredup. Orang tua itu tidak berpaling ke arah Argajaya dan muridnya.
Tetapi matanya menatap kekejauhan, menembus sela-sela dedaunan yang rimbun. Dan
hatinyalah yang menyahut tanpa diucapkannya.
“Tidak. Kau
tidak tahu Argapati seluruhnya, meskipun kau adiknya.”
Argajaya heran
melihat sikap Ki Tambak Wedi. Kalau Argapati telah menyerahkan Sidanti ke dalam
tangannya, berarti Argapati mempunyai kepercayaan yang besar kepadanya. Dari
hal itu terjadi karena Argapati pasti sudah mengenal Ki Tambak Wedi dengan baik
dan sebaliknya. Tetapi agaknya Ki Tambak Wedi kini sedang dicengkam oleh
kebimbangan.
“Mungkin Ki
Tambak Wedi merasa bahwa ia telah gagal membentuk Sidanti menjadi seorang yang
berpangkat di dalam tata keprajuritan Pajang,” berkata Argajaya di dalam
hatinya,
“tetapi hal
itu sangat tergantung kepada banyak hal. Tidak dapat disalahkan kepada Ki
Tambak Wedi sepenuhnya.”
Sejenak mereka
kemudian saling berdiam diri. Kadang-kadang mereka diganggu oleh suara
binatang-binatang hutan yang meraung dikejauhan. Tetapi sebagian besar dari
mereka, binatang-binatang buas itu, keluar dari sarang mereka di malam hari.
Dalam
keheningan itu terdengar Sidanti bergumam.
“Kalau kita
sudah keluar dari hutan ini, maka kita akan berjalan lebih cepat. Tetapi
sebelum kita masuk ke Menoreh, kita harus menjadi orang-orang yang pantas
berjalan di tanah perdikan ayahku itu.”
“Kau akan
mencari pakaian di sepanjang jalan?” bertanya Argajaya.
“Ya, tidak
hanya untuk aku sendiri, tetapi untuk guru dan paman juga.”
Argajaya tidak
menyahut lagi sedang gurunya pun masih berdiam diri. Dengan pakaian mereka yang
kumal itu ternyata mereka tidak terlampau banyak menarik perhatian orang. Hanya
karena mereka membawa senjata yang agak tidak lazim dibawa oleh orang-orang
padesan sajalah yang kadang-kadang membuat beberapa orang mengawasi mereka
sampai beberapa langkah. Orang-orang padesan, hampir setiap orang, memang
selalu membawa golok. Bukan saja senjata untuk menghadapi binatang-binatang buas
yang memang sering datang ke sawah dan ladang mereka, tetapi juga untuk
memotong dan menebas kayu. Golok atau parang itu selalu terselip di pinggang
mereka di dalam wrangka yang sederhana. Tetapi ketiga orang ini membawa
senjata-senjata yang lain. Pedang, tombak pendek dan senjata yang disembunyikan
di dalam selongsong kain putih. Beberapa orang dapat mencoba menjawab
pertanyaan yang bergelut di dalam dada mereka tentang ketiga orang itu. Mereka
adalah pemburu-pemburu binatang hutan. Tetapi yang lain mencurigai mereka
sebagai orang-orang jahat yang berkeliaran mencari sasaran yang baik.
Tetapi apabila
mereka telah sampai di kampung halaman sendiri, maka pakaian yang kumal dan
bernoda darah itu akan justru menjadi pembicaraan. Mungkin mereka membuat tanggapan-tanggapan
kehendak mereka sendiri. Mungkin mereka mengagumi, tetapi mungkin mencurigai.
Perjalanan
seterusnya di dalam hutan itu hampir tidak menjumpai persoalan-persoalan yang
berarti. Mereka hanya menjumpai rintangan-rintangan alam yang ketat dan padat.
Tetapi mereka tidak bertemu dengan penyamun atau perampok-perampok kecil.
Tetapi justru membuat mereka menjadi heran. Akhirnya mereka itu pun keluar dari
hutan itu. Harapan Sidanti untuk bertemu dengan seseorang atau segerombolan
penyamun tidak terpenuhi sampai pohon yang terakhir mereka lampaui. Sidanti
tidak mendapat tempat untuk menumpahkan kemarahan yang terendam di dalam dada
bersama dendam dan kebencian.
“Sidanti,”
berkata gurunya ketika mereka telah berada sebuah lapangan perdu
“Aku tidak
ingin mengecewakan kau. Tetapi aku juga tidak ingin perjalanan ini terganggu.
Kau jangan mencari-cari persoalan saja di sepanjang jalan. Kau dapat berbuat
sesuka hatimu di hutan Mentaok terhadap gerombolan penyamun dan perampok.
Tetapi kau tidak dapat berbuat demikian dengan orang-orang lain yang akan kau
jumpai di perjalanan ini. Kita akan segera menginjak padesan dan pedukuhan.
Beberapa Kademangan dan sudah ada yang mengenal kau, atau angger Argajaya
sebagai putera dan adik Kepala Tanah Perdikan Menoreh. Kala kau berbuat sesuka
hatimu yang akan dapat menyakitkan hati mereka, maka berita itu akan segera
tersebar sampai kepada orang Menoreh, mungkin akan sampai pula kepada
keluargamu. Kepada ayahmu, Argapati.”
Sidanti
mengerutkan keningnya. Tetapi ia menjawab,
“Aku masih
memerlukan pakaian tiga pengadeg guru. Buat aku, paman Argajaya, dan guru.”
Ki Tambak Wedi
mengerutkan keningnya. Pendapat ini memang ada benarnya. Ia tidak akan dapat
masuk ke tlatah Menoreh dengan keadaannya. Karena itu maka ia tidak segera dapat
menjawab.
“Bagaimana
guru?”
Ki Tambak Wedi
menarik nafas dalam-dalam, Tetapi persoalan itu telah memukul dadanya seperti
tangan-tangan yang keras dan kuat. Seorang yang mempunyai nama yang menakutkan
di lereng Gunung Merapi terpaksa melakukan perampasan yang tidak berarti
sekedar untuk berganti pakaian. Perbuatan itu tidak ubahnya dengan perbuatan
pencuri-pencuri ayam yang takut kelaparan Tetapi keadaannya memang
memerlukannya.
“Apakah tidak
ada jalan lain Sidanti?”
“Membeli ?
Atau menukarkan senjata kita?” sahut Sidanti yang hampir-hampir tenggelam dalam
arus perasaannya.
“Hem,” Ki
Tambak Wedi menarik nafas dalam-dalam. Hampir-hampir ia membentak anak muda
yang kasar itu. Tetapi ia sadar, bahwa Sidanti sedang dicengkam oleh kekecewaan
yang bertubi-tubi. Karena itu maka anak itu akan dapat menjadi semakin berputus
asa apabila ia ikut pula menyakitkan hatinya.
Sesaat kemudian
orang tua itu bertanya,
“Lalu cara
apakah yang akan kau lakukan Sidanti, seperti caramu yang pernah kau perbuat
untuk mendapatkan bajumu itu?”
“Aku akan
berbuat baik guru, tetapi kalau orang itu menentang maksudku, maka aku akan
berbuat dengan kekerasan.”
“Hem,” sekali
lagi Ki Tambak Wedi menarik nafas dalam-dalam.
“Aku tidak
melihat cara lain,” gumam Sidanti.
Ki Tambak Wedi
tidak menyahut lagi. Akhirnya ia tidak lagi mau memikirkannya. Kepalanya
sendiri sudah cukup pening memikirkan apa yang akan terjadi nanti sesudah ia
bertemu dengan Argapati. Pertemuan yang menggetarkan jantungnya. Banyak
persoalan-persoalan yang terpendam di dalam dadanya. Tetapi apakah dengan
kegagalan Sidanti ini, ia tidak akan menjadi semakin terdesak ke dalam keadaan
yang paling menyakitkan hati?
Mereka
kemudian berjalan sambil berdiam diri. Masing-masing menyelusuri angan-angan
sendiri. Tetapi ada kesamaan di antara mereka, kecewa, dendam, benci, dan
kecemasan menghadapi masa datang. Di sepanjang jalan, Sidanti mencoba untuk
menemukan rumah yang mungkin dapat dimasukinya. Rumah yang di dalamnya
tersimpan pakaian yang diperlukan. Tetapi agaknya rumah yang bertebaran di
padukuhan-padukuhan dan padesan-padesan kecil yang dilampauinya, tidak Lebih
dari rumah-rumah petani yang kekurangan.
“Gila,”
gumamnya, lalu, “apakah tidak ada seorang pun yang cukup mampu untuk menyimpan
tiga pengadeg pakaian?”
Gurunya dan
pamannya tidak menyahut. Betapapun juga perasaan mereka masih terlampau berat
untuk melakukan perampasan yang hina itu.
“Aku sudah tidak
peduli lagi,” geram Sidanti,
“tetapi aku
harus masuk ke tanah ayahku sebagai putera Kepala Daerah Tanah Perdikan
Menoreh.”
Tetapi di
sepanjang perjalanan mereka, mereka benar-benar tidak menjumpainya. Padesan
demi padesan, sehingga mereka telah menjadi semakin dekat dengan tlatah
Menoreh.
“Gila,” Sidanti
menjadi semakin jengkel.
“Di depan kita
terbentang hutan rindang. Hutan perburuan dari keluarga kita. Kalau aku belum
mendapatkan pakaian, bagaimanakah kalau aku bertemu dengan keluarga Menoreh di
perburuan itu.”
“Kalau
demikian, tidak apa-apa,” sahut Argajaya,
“adalah
kebetulan sekali. Mereka akan dapat mengerti keadaan kita yang sebenarnya.
Merekalah yang harus mencari pakaian untuk kita sebelum orang-orang Menoreh
melihat kita. Kita masuk ke Tanah Perdikan kita sebagai seorang anggota
keluarga kakang Argapati.”
“Tetapi apa
kata ayah tentang kita?”
“Tidak
apa-apa. Justru kakang Argapati akan mengerti yang sebenarnya telah terjadi dan
mempercepat tindakan yang akan diambilnya.”
Sidanti
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia masih juga heran melihat gurunya
berwajah semakin muram. Gurunya sama sekali tidak membayangkan harapan bahwa
setelah mereka sampai di Menoreh maka mereka akan menemukan suatu kekuatan
untuk melepaskan dendam yang membara di pusar jantung mereka. Bahkan semakin
dekat dengan Pegunungan Menoreh, maka ia menjadi semakin diam dan penuh dengan
kebimbangan. Ternyata teka-teki itu telah menggelisahkan hati Sidanti pula.
Namun Sidanti tidak akan dapat memaksa gurunya untuk mengatakan. Ia masih tetap
menyangka bahwa gurunya merasa cemas tentang nasibnya, karena ternyata ia tidak
dapat maju dalam keprajuritan Pajang, bahkan kini ia tersingkir sebagai buruan.
Satu-satu padesan telah mereka lampaui. Akhirnya mereka sampai ke hutan yang
tidak begitu lebat. Hutan yang sengaja dipelihara untuk menjadi tempat berburu
keluarga Kepala Tanah Perdikan Menoreh. Sidanti mengenal daerah ini
sebaik-baiknya. Ia sendiri sering melakukan perburuan di hutan ini dahulu,
ketika ia masih terlampau muda, sebelum ia mengikuti gurunya ke padepokan
Tambak Wedi. Meskipun itu telah bertahun-tahun lampau tetapi seolah-olah baru
kemaren terjadi. Derap kaki-kaki kudanya dan beberapa orang pengiringnya
memecah kesunyian hutan ini. Beberapa ujung panah berterbangan mengejar
binatang-binatang buruan yang berlari ketakutan.
“Hem,” Sidanti
menarik nafas dalam-dalam.
“Itu telah
terjadi beberapa tahun yang lampau. Paman masih muda dan cekatan. Aku masih
terlampau muda,” katanya di dalam batin.
Sidanti
menggigit bibirnya seperti kenangan yang menggigit jantungnya. “Menyenangkan
sekali,” desisnya.
Namun kemudian
Sidanti meninggalkan tanah perdikan ini. Meninggalkan ayahnya, tanah kelahiran
dan kawan-kawan bermain lebih dari sepuluh tahun yang lampau. Seolah-olah
terngiang kembali pesan ayahnya ketika ia telah siap berangkat bersama gurunya
ke padepokan Tambak Wedi,
“Sidanti, kau
adalah harapan masa depan dari Tanah Perdikan ini. Kau harus mampu membawa
dirimu. Kau harus menurut segala petunjuk dan perintah gurumu, supaya kau tidak
tersesat jalan.”
“Ah,” Sidanti
mengeluh. Apa yang sudah terjadi atas dirinya? Siapakah yang bersalah? Sidanti
sendiri, atau gurunya, atau kedua-duanya?
Sidanti tidak
berani mencari jawab. Digeleng-gelengkannya kepalanya untuk mengusir kenangan
yang mengejar-ngejarnya. Ia ingin berdiri di atas kenyataannya. Dan ia akan
melangkah ke depan dari keadaan yang ada kini. Ia tidak dapat berangan-angan
dan tidak dapat melangkah surut ke beberapa tahun yang lampau. Tidak. Ia harus
maju, seperti majunya waktu.
Sidanti
tersadar ketika ia mendengar Argajaya berkata,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar