Ia ingin mendengar dari mulut Agung Sedayu. Betapa hatinya menjadi terlampau kecewa. Tiba-tiba saja gsdis itu meloncat berdiri, berlari kepada kakaknya. Dengan tangisnya ia berkata sambil mencubiti kakaknya bertubi-tubi.
“Kau terlampau
nakal, Kakang. Kau terlampau nakal. Kau mengejutkan aku sehingga aku hampir
menjadi pingsan.”
“Oh, oh,”
Swandaru terkejut. Terasa jari-jari Sekar Mirah menyengat tanpa hentinya.
“Mirah. Mirah.”
“Kau terlampau
nakal,” desis Sekar Mirah. Tangannya masih saja mencubiti kakaknya. Ia ingin
melepaskan segala macam perasaan yang menghentak-hentak di dadanya. Ia ingin
melepaskan kekecewaan yang ditahannya. Ia ingin menumpahkan tangisnya yang
disimpannya, sehingga dadanya serasa akan pecah.
“Mirah,
Mirah,” Swandaru hampir berteriak, “aku minta maaf.”
Tiba-tiba
Sekar Mirah menghentikan cubitannya. Dan yang tidak disangka-sangka oleh
Swandaru Sekar Mirah itu meremas leher bajunya sambil menangis sejadi-jadinya.
“Kakang,”
gadis itu berdesah.
“He,” Swandaru
yang selama ini menyangka bahwa Sekar Mirah marah kepadanya, menjadi bingung.
“Kau
benar-benar marah kepadaku, Mirah.”
Tangis Sekar
Mirah tidak mereda.
Swandaru
menjadi semakin bingung. Ia tidak menyangka bahwa permainannya akan membuat
Sekar Mirah benar-benar marah. Tetapi Swandaru tidak mengerti apa yang sedang
bergolak di dada adiknya.
“Aku minta
maaf, Mirah. Aku tidak ingin membuatmu marah.”
Swandaru
melihat Sekar Mirah perlahan-lahan menggelengkan kepalanya.
“Tidak,
Kakang. Aku tidak marah kepadamu.”
“Oh,” Swandaru
semakin tidak mengerti. “Lalu, kenapa kau menangis?”
Sekar Mirah
tidak menjawab. Tetapi tangisnya masih saja menyesakkan dadanya.
“Duduklah
Mirah. Kau dapat berkata dengan tenang.”
Sekar Mirah
tidak menjawab. Tetapi ia menurut saja ketika sekali lagi Swandaru mendorongnya
duduk di atas pembaringannya.
“Apakah kau
baru saja bertemu dengan Kakang Agung Sedayu?”
“Ya,” Sekar
Mirah mengangguk.
“Apakah kau
bertengkar?”
Sekar Mirah
menggeleng. “Tidak, Kakang.”
“Lalu, kenapa
kau menjadi marah, dan akulah yang menjadi kambing hitam, sehingga tubuhku
menjadi merah biru kau cubiti. Bahkan kau menggigit lenganku.”
Sekar Mirah
tidak segera menyahut.
“Agaknya kau
bertengkar dengan Kakang Agung Sedayu.”
Sekali lagi
Sekar Mirah menggeleng.
“Tidak. Aku
tidak bertengkar. Bahkan Kakang Agung Sedayu hampir berdiam diri saja. Ia tidak
berkata apa-apa. Ia hanya minta diri dan berkata ‘Mudah-mudahan aku selamat,
Mirah.’ Hanya itu.”
Swandaru
mengerutkan keningnya.
“Lalu apakah
yang harus dikatakan?”
“Ternyata ia
adalah seorang yang dicengkam oleh keragu-raguan. Ia seorang laki-laki yang
perkasa, yang memiliki beberapa kelebihan dari orang lain. Dari Sidanti dan
Argajaya. Tetapi ia tidak berani berkata seperti yang kau katakan, Kakang. Ia
tidak berani berkata jantan seperti Kakang Sidanti dahulu.”
“Hus,”
Swandaru memotong, “kau masih juga menyebut-nyebut nama Sidanti?”
Sekar Mirah
menundukkan kepalanya. Ia telah terdorong mengucapkan nama itu. Terdorong oleh
kekecewaannya atas sikap Agung Sedayu yang menurut penilaiannya tidak sejantan
Sidanti.
“Mirah,”
berkata Swandaru,
“aku tidak
senang mendengar nama itu masih kau sebut-sebut. Kalau kau masih juga ingin
menyebut nama itu, maka kau harus berkata ‘Bawalah kepala Sidanti itu
kepadaku.’ Jangan kau ucapkan kalimat yang lain tentang anak setan itu.”
Sekar Mirah
membersihkan air yang meleleh di pipinya dengan lengan bajunya. Katanya,
“Kakang, aku
merasakan perbedaan sikap antara keduanya, Sidanti dan Kakang Agung Sedayu.
Kakang Agung Sedayu adalah seorang pendiam yang menjemukan sekali. Seorang yang
ragu-ragu dan tidak mengerti kekuatan yang tersimpan di dalam dirinya. Ia tidak
menyadari kelebihannya dari orang lain, atau memang ia seorang yang sama sekali
tidak mempunyai kepercayaan pada diri sendiri.”
“Hem,”
Swandaru bergumam.
“Tetapi
Sidanti tidak. Sidanti yakin akan dirinya. Ia mempunyai ketetapan hati untuk
melakukan suatu pekerjaan. Ia mempunyai kepercayaan kepada diri sendiri.”
“Jangan,
Mirah. Jangan kau ulangi lagi,” potong Swandaru. Meskipun kata-kata itu
diucapkan perlahan-lahan, namun tekanan nadanya benar-benar menunjukkan bahwa
ia tidak senang mendengarnya.
Tetapi Sekar
Mirah masih berkata,
“Aku mengagumi
anak-anak muda yang perkasa, yang percaya kepada diri sendiri dan mempunyai
cita-cita yang mantap.”
“Seperti
Sidanti?”
Sekar Mirah
terdiam.
“Seharusnya
Sidanti sudah mati bagimu, Mirah. Atau kau benar-benar ingin melihat anak setan
itu mati?”
Sekar Mirah
masih berdiam diri.
“Mirah,”
berkata Swandaru, “betapa perkasa anak muda yang bernama Sidanti itu, tetapi ia
tak akan mampu melampaui Kakang Agung Sedayu. Bahkan sekarang, aku pun sanggup
dipasang di hadapannya dengan senjata di tangan. Anak itu pernah menampar
wajahku beberapa kali. Tetapi untuk seterusnya tidak akan dapat terjadi lagi
selagi aku masih mampu bernafas.”
Sekar Mirah
seakan-akan menjadi beku di tempatnya. Kepalanya menunduk, sedang tangannya
bermain-main dengan ujung bajunya. Tetapi tampak pipinya masih basah.
“Sidanti
sekarang sudah bukan tandingan Agung Sedayu lagi.”
Sekar Mirah
mengangkat wajahnya, katanya,
“Tetapi
sifat-sifatnya yang selalu dibayangi oleh keragu-raguan itu membuat aku benci
kepadanya.”
Swandaru menarik
nafas. Kemudian katanya,
“Apakah kau
membenci Kakang Agung Sedayu.”
“Ya, aku benci
kepadanya. Tidak ada seorang pun yang
paling aku benci selain Kakang Agung Sedayu.”
“Betul
begitu?”
“Ya.”
“Baiklah,”
berkata Swandaru sambil melangkah mundur. “Sekarang aku akan menemuinya.”
“Kenapa?”
bertanya Sekar Mirah dengan serta-merta.
“Mirah,” berkata
Swandaru bersungguh-sungguh,
“aku adalah
kakakmu. Aku sudah bekerja dengan susah payah untuk melepaskan kau dari sarang
Tambak Wedi. Karena itu adalah kuwajibanku untuk membelamu. Kalau kau benci
kepada Kakang Agung Sedayu, maka aku pun harus berlaku demikian juga. Aku akan
pergi mendapatkannya. Dimana ia sekarang?”
“Untuk apa kau
menemuinya?” bertanya Sekar Mirah.
“Aku harus
menyampaikannya ‘Sekar Mirah benci kepadamu’. Begitulah. Aku harus berkata
kepadanya supaya ia mengerti akan dirinya. Selama ini ia merasa mendapat hati.
Apalagi sepeninggal Sidanti.”
“Apa yang akan
kau perbuat itu, Kakang?” Sekar Mirah menjadi cemas.
“Sudah aku
katakan. Ia harus menyadari dirinya, bahwa kau benci kepadanya. Ia harus mengerti.
Seandainya ia menjadi kecewa, biarlah ia pergi dan memisahkan diri dari aku dan
guru besok. Apalagi seandainya ia marah, biarlah aku akan menghadapinya. Aku
tidak akan gentar. Seandainya aku kalah, maka aku dapat mengerahkan segenap
anak-anak muda Sangkal Putung untuk menangkapnya dan memukulinya sampai mati
sekalipun.”
“Kakang.”
“Aku pergi
sebentar. Tidak terlampau lama. Aku akan segera kembali memberitahukan
kepadamu, bahwa aku telah memukuli anak yang kau benci itu.”
“Kakang.”
“Jangan tidur
dulu, Mirah. Aku segera kembali.”
Swandaru
segera memutar tubuhnya. Tetapi ketika ia baru melangkah setapak tiba-tiba
Sekar Mirah memegangi bajunya.
“Kenapa,
Mirah.”
“Jangan,
Kakang. Jangan.”
“Kenapa
jangan? Lepaskan aku. Anak itu harus mendapat pelajaran.”
“Jangan,
Kakang. Jangan.”
“Biar, biar
saja. Lepaskan aku. Kenapa kau menahan. Bajuku akan sobek karenanya.”
“Kau tidak
usah berbuat apa-apa, Kakang.”
“Tidak, Mirah.
Kakang Agung Sedayu harus segera mendengar, bahwa kau membencinya. Ia harus
segera menyadari dirinya dan tidak melanjutkan mimpinya yang mengasyikkan itu.
Ia harus segera bangun dan melihat kenyataan, bahwa Sekar Mirah bukanlah gadis
yang pantas diharapkannya. Aku harus menemuinya sekarang, dan langsung
memberitahukannya. Jangan takut seandainya ia marah. Sangkal Putung penuh
dengan anak-anak muda yang sanggup berbuat apa saja untukku.”
Tetapi Sekar
Mirah masih saja memegangi bajunya. Bahkan semakin keras, sehingga Swandaru
yang telah melangkah maju itu terpaksa surut, supaya bajunya tidak sobek karenanya.
“Kenapa kau
mencegah, Mirah? Aku tidak senang menyimpan perasaan itu di dalam hati. Aku
ingin persoalanmu dengan Kakang Agung Sedayu menjadi jelas.”
“Jangan,
Kakang, jangan kau katakan kepadanya.”
“Biar, biar
saja. Apakah kau mencemaskan aku?”
“Tidak. Tetapi
jangan kau katakan.”
“Kenapa? Coba
katakan, kenapa? Bukankah kau membencinya? Bahkan Agung Sedayu adalah orang
yang paling kau benci di dunia ini, melampaui kebencianmu kepada Sidanti.”
Tiba-tiba
tanpa disadarinya Sekar Mirah menggeleng.
“Tidak. Tidak
begitu.”
“He?” Swandaru
mengerutkan keningnya.
“Jadi
bagaimana?”
Sekar Mirah
tidak menjawab. Tetapi ia menundukkan. kepalanya.
Melihat Sekar
Mirah mencoba menghindari pandangan matanya, Swandaru tidak dapat lagi menahan
tertawanya. Tiba-tiba saja suara tertawa itu berderai, meskipun anak yang gemuk
itu berusaha sekuat-kuatnya untuk tidak mengejutkan ayah dan ibunya yang belum
lama masuk ke dalam bilik mereka. Sekar Mirah terkejut mendengar Swandaru
tertawa. Ketika gadis itu mengangkat wajahnya, dilihatnya Swandaru menutup
mulutnya dengan sebelah telapak tangannya, sedang tangannya yang lain memegangi
perutnya yang bulat.
“Kenapa kau
tertawa?” Sekar Mirah bertanya.
Swandaru tidak
segera menjawab, ia masih tenggelam dalam derai tertawanya.
“Kakang, kenapa
kau tertawa? Kenapa he?” Sekar Mirah menjadi semakin bernafsu.
“Mirah,”
Swandaru menahan diri sehingga nafasnya menjadi terengah-engah,
“lain kali
hati-hatilah berbicara. Kau berkata bahwa kau benci kepada Kakang Agung Sedayu,
tetapi kau memegangi bajuku sehingga hampir sobek ketika kau dengar aku akan
menyampaikannya kepada Kakang Agung Sedayu.”
Sekar Mirah
mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia menyadari bahwa agaknya Swandaru tidak
benar-benar ingin menyampaikannya kepada Agung Sedayu. Ternyata Swandaru itu
telah mengganggunya lagi setelah kakaknya itu mengejutkannya, ketika ia
memasuki bilik ini. Karena itu maka sekali lagi Sekar Mirah itu meloncat.
Kakaknya itu seolah-olah diterkamnya dan dicubitinya habis-habisan
“Mirah,
Mirah.”
Sekar Mirah
tidak mendengarkannya. Bahkan kemudian Sekar Mirah menggigit lengan Swandaru
sekali lagi. Lebih keras.
“Mirah. He,
aku kapok, Mirah. Aku tidak akan mengganggumu lagi.”
“Terlalu kau,
Kakang, terlalu,” Sekar Mirah menjadi semakin bernafsu, sehingga Swandaru
terpaksa melonjak-lonjak kesakitan. Tetapi ia tidak berhasil mencegah Sekar
Mirah menyakitinya.
Sekar Mirah
itu baru berhenti ketika ia mendengar suara dari dalam bilik ayahnya,
“Mirah, kau
kenapa?”
Sekar Mirah
segera melangkah surut, sedang Swandaru berdiri tegak di tempatnya. Mereka
kemudian mendengar langkah ayahnya tergesa-gesa.
Ketika pintu
bergerit, dan kemudian perlahan-lahan terbuka, maka mereka melihat ayahnya
berdiri di ambang pintu dengan wajah yang tegang.
“Oh, kau
Swandaru,” desah ayahnya setelah dilihatnya Swandaru di dalam bilik itu juga.
“Apa yang kau
kerjakan? Apakah kalian bertengkar?”
Swandaru
menggeleng. “Tidak, Ayah.”
“Apakah kau
baru menangis, Mirah?”
“Tidak, Ayah,”
jawab Sekar Mirah.
Ayahnya
terdiam. Tetapi ia tidak percaya mendengar jawaban Sekar Mirah. Ia melihat mata
gadis itu masih merah.
Sejenak
kemudian ia berkata, “Swandaru, apakah kau masih saja suka mengganggu adikmu?”
Swandaru
menundukkan kepalanya, “Tidak, Ayah. Aku tidak menganggu.”
Hampir saja
Sekar Mirah berteriak membantah. Tetapi ia berhasil menahan dirinya. Ia malu
apabila kakaknya nanti mengatakan persoalannya dengan Agung Sedayu.
“Lalu kenapa
Sekar Mirah menangis?”
Swandaru
menjadi bingung sejenak. Lalu tiba-tiba saja ia menjawab,
“Ia ingin ikut
bersama aku besok ayah.”
“He,” ayahnya
terkejut, dan bahkan Sekar Mirah pun terkejut pula. Tetapi ia tidak membantah.
“Benarkah
begitu, Mirah?” bertanya ayahnya.
Sekar Mirah
tidak segera menjawab. Dipandangnya wajah kakaknya sejenak. Ketika dilihatnya
wajah itu membayangkan kecemasan hatinya apabila ia mengingkarinya, maka
timbullah iba di hati gadis itu. Ia sudah puas mencubiti kakaknya sehingga
merah biru, bahkan menggigitnya.
“Ya, Mirah,
kau akan ikut serta besok?”
Tiba-tiba
Sekar Mirah mengangguk berat dan jawabannya seolah-olah tersangkut di
kerongkongan,
“Ya, Ayah. Aku
ingin ikut.”
“Oh,” ayahnya
menarik nafas dalam. Dan Swandaru pun
menarik nafas panjang pula. Bahkan kemudian ia berkata,
“Aku
melarangnya, dan anak itu memang menangis. Tetapi tidak lama ia agaknya
menyadari kekeliruannya.”
Ki Demang
Sangkal Putung mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Syukurlah.
Kau jangan terlampau menuruti perasaanmu saja, Mirah. Perjalanan ini bukan
perjalanan tamasya. Kau harus dapat membayangkan bahaya yang mengancam di
sepanjang perjalanan, apalagi Alas Mentaok yang garang itu.”
Sekar Mirah
tidak segera menjawab, tetapi ia mengumpat di dalam hatinya. Ayahnya justru
marah kepadanya, meskipun ceritera itu hanya sekedar ceritera yang dibuat-buat
oleh kakaknya Swandaru. Meskipun demikian adalah lebih baik daripada kakaknya
mengatakan persoalannya yang sebenarnya.
Karena kedua
anak-anaknya diam, maka Ki Demang itu berkata kepada Swandaru,
“Nah,
Swandaru. Beristirahatlah. Besok kau akan mulai dengan perjalanan itu.”
“Baik, Ayah,”
jawab Swandaru. Dan ayahnya meneruskan kali ini kepada Sekar Mirah,
“Kau pun harus segera tidur, Mirah. Besok kau
harus bangun pagi-pagi benar untuk mempersiapkan makan pagi buat kakakmu dan
Kiai Gringsing beserta Angger Agung Sedayu.”
“Ya, Ayah,”
jawab Sekar Mirah sambil menundukkan kepalanya.
Ayahnya
itu pun kemudian pergi meninggalkan
bilik itu bersama Swandaru. Setelah menutup pintu lereg biliknya, Sekar Mirah
segera merebahkan dirinya di pembaringannya. Sejenak ia masih mengumpat-umpat
karena kenakalan kakaknya. Tetapi kemudian angan-angannya segera bergeser
kepada Agung Sedayu. Anak muda itu memang aneh baginya. Aneh. Ia tidak mengerti
kenapa anak muda yang perkasa seperti Agung Sedayu, seolah-olah tidak mempunyai
keberanian untuk menentukan sikap dan berbuat sesuatu yang menggetarkan hati.
Sekar Mirah
itu terkejut ketika tiba-tiba pintunya bergerit dan sekali lagi terbuka.
Berjingkat Swandaru masuk ke dalam sambil meletakkan jari telunjuknya di depan
mulutnya.
Perlahan-lahan
Sekar Mirah bangkit. Ketika ia akan berdiri, kakaknya berkata,
“Tak usah
berdiri, aku hanya sebentar. Aku masih merasa belum selesai dengan
persoalanmu.”
“Apa lagi?”
bertanya Sekar Mirah sambil bersungut.
“Tentang
Kakang Agung Sedayu,” jawab Swandaru. Kemudian perlahan-lahan ia berkata
lancer,
“Dengar. Kau
salah sangka tentang Kakang Agung Sedayu. Aku ternyata lebih banyak mengenal
sifatnya daripada kau. Kakang Agung Sedayu adalah seorang yang rendah hati.
Seorang yang bagiku terlampau baik. Ia tidak pernah menyombongkan dirinya tanpa
maksud. Mungkin ia pernah mengucapkan kata-kata yang berlebih-lebihan pada saat
ia datang. Tetapi maksudnya untuk menenteramkan hati kita di sini, bahwa
kedatangannya akan dapat membantu melindungi kademangan ini. Tetapi
sebenarnyalah ia seorang yang rendah hati. Kau ingat, bahwa ia tidak turut
dalam perlombaan memanah dahulu meskipun kecakapannya memanah tiga kali lipat
dari Sidanti? Kau harus mengerti, memang Kakang Agung Sedayu berbeda dengan
Sidanti dan berbeda dengan aku sendiri dan dengan kau. Tetapi yang rendah hati
bukanlah seorang penakut atau pengecut. Itu adalah caranya. Ia tidak akan
berkata bahwa lautan akan diloncatinya, dan gunung akan disamparnya sampai
rata. Tidak. Ia hanya akan berkata ‘Mudah-mudahan aku selamat’. Kau mengerti,
Mirah?”
Sekar Mirah
tidak menjawab. Tetapi kepalanya ditundukkannya dalam-dalam.
“Nah, sekarang
tidurlah. Aku sudah puas. Terserahlah kepadamu, kepada caramu menilai Kakang
Agung Sedayu.”
Swandaru tidak
menunggu jawaban Sekar Mirah. Sambil berjingkat ia melangkah keluar pintu dan
berjalan hati-hati ke pringgitan. Malam ini ia tidur di bentangan tikar di
pringgitan bersama Agung Sedayu. Agaknya Agung Sedayu telah merebahkan dirinya
pula meskipun masih belum tertidur. Namun sejenak kemudian mereka pun telah memejamkan mata dan perlahan-lahan
mereka jatuh tertidur.
Sebelum fajar
pecah di Timur, Agung Sedayu dan Swandaru telah bersiap. Kiai Gringsing sudah
berada di antara mereka pula di pringgitan. Seteguk-seteguk mereka minum air
hangat dan setelah mereka makan pagi, maka mereka pun segera berkemas. Beberapa orang
mengantarkan mereka sampai ke regol halaman ketika mereka kemudian berangkat.
Widura, Ki Demang dan Nyi Demang, Sekar Mirah, dan satu dua orang yang lain.
Tidak banyak yang mengerti bahwa hari itu Kiai Gringsing dan kedua muridnya
akan meninggalkan Sangkal Putung. Sumangkar yang tua pun berdiri sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya di sisi regol halaman. Terasa sesuatu bergetar di dalam dadanya.
Bahkan ia berbisik lirih kepada Kiai Gringsing,
“Kiai, aku iri
hati kepadamu. Kau mempunyai dua orang murid yang dapat kau banggakan. Tidak
hanya sikap dan tindak-tanduk, tidak hanya ketangkasannya menggenggam senjatamu
yang aneh itu, tetapi mereka adalah anak-anak yang baik.”
Kiai Gringsing
tersenyum, jawabnya,
“Mudah-mudahan
aku berhasil untuk seterusnya.”
“Aku menjadi
sangat prihatin Kiai,” sambung Sumangkar.
“Perguruanku
akan segera putus sampai ujung umurku. Dahulu aku mengharapkan Angger Tohpati
akan menjadi penyambung cabang perguruanku lewat Ki Patih Mantahun. Tetapi ia
telah tidak ada lagi. Dan aku sampai saat ini tidak mempunyai seorang murid
pun.”
“Kau dapat
menemukannya, Adi,” sahut Kiai Gringsing yang ikut merasakan betapa sepinya
hati orang tua itu.
“Aku belum
melihat.”
“Mudah-mudahan
Adi segera menemukannya.”
Sumangkar
menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak berkata apa-apa lagi.
Sejenak
kemudian maka ketiga orang itu pun
berangkat meninggalkan Kademangan Sangkal Putung. Sekali lagi orang-orang tua
di Sangkal Putung itu memberikan doa selamat kepada mereka, dan sekali lagi
Sekar Mirah mendengar Agung Sedayu berdesis kepadanya,
“Mudah-mudahan
aku selamat dan segera kembali ke kademangan ini.”
Sekar Mirah
menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak dapat menyembunyikan pelupuk matanya
yang bendul karena tangisnya semalam. Bahkan saat ini pun matanya telah menjadi basah pula. Dua
anak-anak muda yang paling dekat dengan dirinya bersama-sama pergi. Agung
Sedayu dan kakaknya Swandaru.
Meskipun
hampir setiap hari kakaknya selalu mengganggunya tetapi setiap kali kakaknya
tidak di rumah, terasa rumahnya menjadi sepi. Swandaru adalah satu-satunya
saudaranya. Dan kali ini Swandaru pergi untuk waktu yang tidak tertentu.
Sedangkan anak muda yang lain, Agung Sedayu, meskipun ia tidak sesuai dengan
sifat-sifatnya yang kurang jantan menurut penilaian Sekar Mirah, namun anak
muda itu benar-benar telah menambat hatinya dengan segala sifat-sifatnya yang
tidak disukainya itu. Kepergian Agung Sedayu pasti akan membuatnya semakin
sepi. Memang terasa, kata-kata anak muda itu seolah-olah memberi kedamaian di
hatinya. Tidak terbayang kekerasan dan perkelahian. Tidak tersirat dendam dan
kebencian terhadap siapa pun juga. Tetapi apabila darahnya sedang mendidih
mengingat perlakuan Sidanti atasnya, maka bagi Sekar Mirah sikap yang penuh
kedamaian dan kesejukan itu adalah sikap yang terlampau lemah. Ia sendiri
menyimpan dendam tiada taranya kepada Sidanti dan orang-orangnya. Juga kepada
Ki Tambak Wedi. Ia ingin Agung Sedayu mendendamnya seperti dirinya. Mengancam
dan menggenggam keinginan untuk membalas dendam dan sakit hatinya. Tetapi Agung
Sedayu hanya sekedar berkata kepadanya,
“Mudah-mudahan
aku selamat, Mirah. Dan segera kembali ke kademangan ini.”
Meskipun demikian
ketika ketiga orang in mulai melangkahkan kakinya meninggalkan regol halaman,
terasa dadanya menjadi sesak. Ia melihat Swandaru melambaikan tangannya
kepadanya dan berkata,
“Baik-baiklah
menjaga dirimu, Mirah.”
Sekar Mirah
itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia ingin menjawab dan mengucapkan selamat
jalan, tetapi tenggorokannya serasa tersumbat. Itulah sebabnya ia hanya berdiri
saja mematung. Dicobanya untuk menggerakkan tangannya, membalas lambaian tangan
kakaknya. Tetapi tangan itu serasa menjadi terlampau kaku. Meskipun demikian
Sekar Mirah itu berhasil menahan air matanya untuk tidak membanjir dari
pelupuknya yang basah. Tiba-tiba timbul di dalam hatinya, bahwa sikap yang
sebaik-baiknya adalah melepaskan keduanya dengan tabah, dengan dada tengadah.
Ia tidak ingin menangis lagi seperti kanak-kanak dan perempuan cengeng. Ia
bukan kanak-kanak lagi, dan ia bukan perempuan yang cengeng. Sekar Mirah
menggeretakkan giginya. Dan sesaat kemudian ia berhasil mengangkat tangannya
dan melambaikan tangan itu. Dipaksanya bibirnya untuk tersenyum.
Tiba-tiba Sekar
Mirah itu berkata lantang,
“Selamat jalan
Kakang Swandaru, selamat jalan Kakang Agung Sedayu. Mudah-mudahan kalian
kembali dengan selamat setelah kalian berhasil melepaskan sakit yang menyekat
hati. Perjalanan kalian adalah perjalanan jantan, bukan perjalanan
perawan-perawan yang pergi ngunggah-unggahi.”
Ki Tanu Metir
mengerutkan keningnya mendengar kata-kata Sekar Mirah. Tetapi ia tersenyum
saja. Dibiarkannya Swandaru menjawab, “Doakan, Mirah.”
Tetapi Sekar
Mirah tidak mendengar Agung Sedayu menjawab sepatah kata pun. Bahkan ia melihat
wajah itu membayangkan keragu-raguannya. Sesaat dipandanginya wajah gurunya.
Tetapi ia tidak mendapatkan kesan sesuatu, meskipun ia melihat gurunya itu
tersenyum.
Sekar Mirah
berdesah di dalam hatinya.
“Sekali lagi
aku melihat wajah yang menjemukan itu. Ragu-ragu, ragu-ragu, selalu dalam
keragu-raguan,” ia mengumpat di dalam hatinya. Tetapi ia tidak dapat melepaskan
bayangan wajah yang selalu ragu-ragu itu.
Ketiganya, Ki
Tanu Metir, Agung Sedayu, dan Swandaru
pun semakin lama menjadi semakin jauh. Sementara itu langit menjadi
semakin cerah. Orang-orang yang berdiri di luar regol kademangan masih melihat
ketiganya berjalan perlahan-lahan semakin lama semakin sayup. Sejenak kemudian
maka ketiga orang yang tampaknya menjadi semakin kecil itu menghilang di
tikungan. Betapa gelora di dada Sekar Mirah serasa mengguncang-guncang
jantungnya, namun ia bertahan untuk tidak menangis. Diangkatnya kepalanya dan
ditengadahkannya wajahnya. Ia kemudian berjalan di samping ayahnya masuk ke
dalam halaman dan berjalan naik ke pendapa beriringan dengan ibunya, Sumangkar,
Widura dan beberapa orang lain. Meskipun demikian, tidak banyak dari mereka
yang berbicara. Satu dua saja berdesis perlahan-lahan dan hanya beberapa
kata-kata. Kemudian hening lagi. Ketika Widura, Sumangkar, dan Ki Demang
meletakkan dirinya, duduk di pringgitan kademangan, maka Sekar Mirah berjalan
di belakang ibunya langsung masuk ke ruang dalam. Nyai Demang itu pun agaknya menahan dirinya untuk tidak
menangis ketika melepaskan Swandaru. Ditabahkannya hatinya, dan ditahankannya
perasaannya. Ternyata sikapnya mempengaruhi sikap Sekar Mirah pula. Sekar Mirah
yang bertahan mati-matian itu seolah-olah mendapat kekuatan baru melihat sikap
ibunya yang tenang dan seolah-olah meyakinkan, bahwa perjalanan kakaknya tidak
akan menemukan kesulitan. Meskipun demikian, Sekar Mirah yang kemudian masuk ke
dalam biliknya masih harus mencari kekuatan untuk tidak terbenam ke dalam sikap
seorang gadis yang ditinggalkan oleh orang-orang yang dikasihinya. Ia kemudian
terpaksa menyibukkan dirinya dengan segala macam kerja. Membenahi biliknya,
pakaiannya dan kemudian gadis itu berlari-lari ke luar, pergi ke perigi.
Diraihnya senggot timba, dan dengan menggeretakkan giginya, ia mulai menimba
air, mengisi gentong dan jembangan. Tetapi dengan menimba air dari sumur itu,
hatinya masih saja berguncang. Karena itu dilepaskan senggot timba itu sehingga
suaranya berderak-derak. Gadis itu kemudian berlari ke tumpukan kayu di sudut
kandang. Diraihnya sebuah parang, dan dengan sekuat-kuat tenaganya
dihantamkannya parang itu pada seonggok kayu di samping kandang itu.
Gadis yang
sedang bertahan diri terhadap deraan perasaannya itu terkejut ketika ia
mendengar sapa lembut di belakangnya, “Kenapa kau menjadi terlampau gelisah,
Mirah.”
Sekar Mirah
itu mengangkat wajahnya dan kemudian berpaling ke arah suara itu. Ia menarik
nafas lega ketika dilihatnya yang berdiri di samping kandang itu adalah Ki
Sumangkar.
“O,” desah gadis
itu, “Kiai mengejutkan aku.”
Sumangkar
tersenyum, katanya,
“Kau terlampau
sibuk. Itulah sebabnya maka kau terkejut.”
“Ya, aku terlampau
sibuk,” sahut Sekar Mirah,
“tetapi
bukankah Kiai duduk-duduk di pringgitan bersama ayah dan Paman Widura?”
“Mereka pun telah sibuk dengan kewajiban
masing-masing.”
Sekar Mirah
mengangguk-anggukkan kepalanya, dan Sumangkar itu bertanya lagi,
“Kenapa kau
sendiri akan memotong kayu itu? Tidakkah ada orang lain? Pembantu-pembantu
kademangan ini? Tentu lebih baik laki-lakilah yang memotong dan membelah kayu
itu. Kalau tidak ada seorang pun yang hari ini sempat, maka kau dapat minta
tolong kepada prajurit-prajurit yang sedang beristirahat.”
“Tidak, Kiai,”
sahut Sekar Mirah,
“aku pun dapat memotong dan membelah kayu. Apakah
bedanya seorang laki-laki dengan seorang perempuan? Aku dapat juga mengambil
air di sumur itu setiap pagi, aku juga dapat bekerja keras seperti laki-laki.
Dan aku kira tenagaku pun cukup kuat meskipun tidak memadai laki-laki yang
kuat. Tetapi aku berani beradu tenaga dengan laki-laki yang sedang.”
Sumangkar
tersenyum, katanya,
“Aku percaya,
Ngger, memang kau adalah seorang gadis yang rajin. Dengan demikian maka
tenagamu pun akan berkembang dengan baik. Kau dapat membawa padi setenggok
penuh di dalam dukungan, seperti yang dibawa oleh laki-laki di atas kepalanya.
Kau memang seorang gadis yang memiliki tenaga yang cukup.”
“Nah, kalau
demikian, kenapa aku harus minta bantuan laki-laki hanya sekedar ingin memotong
dan membelah kayu?”
“Ya, ya. Aku
keliru.”
Mendengar
jawaban itu, Sekar Mirah justru terdiam. Ditatapnya mata orang tua yang
tersenyum di hadapannya. Di wajah itu dilihatnya goresan-goresan umur yang
semakin dalam.
“Nah,
teruskanlah, Ngger,” berkata Sumangkar kemudian. Sekar Mirah masih berdiam diri.
Tetapi ia menjadi segan untuk meninggalkan pekerjaan itu, karena ia sudah
terlanjur membanggakan dirinya.
“Silahkan,
Ngger. Aku tidak mengganggu, bukan?”
“O, tidak,”
jawab Sekar Mirah ragu. Namun tanpa disadarinya gadis itu kini menatap seonggok
kayu di hadapannya. Kayu yang masih belum terpotong pendek dan terbelah. Kayu
yang baru saja ditebang dan dipotong-potong panjang, ditimbun di samping
kandang.
Kini Sekar
Mirah akan memotong-motong kayu itu menjadi pendek dan kemudian membelahnya
dengan kapak, supaya kayu itu lekas menjadi kering dan siap untuk dibakar di
dapur. Sekali gadis itu menarik nafas dalam-dalam. Ia memang tidak pernah
melakukannya. Tetapi ia tidak boleh mundur. Ia sudah terlanjur mengatakan,
bahwa ia pun mampu melakukannya. Tidak hanya laki-laki. Karena itu, maka segera
diayunkannya parangnya, sekuat tenaga dihantamkannya kepada sepotong kayu yang
tertimbun di hadapannya. Terdengar gadis itu berdesis kecil. Begitu kuatnya ia
mengayunkan parangnya, sehingga terasa tangannya menjadi sakit. Tetapi ia tidak
mau berhenti, sekali lagi parang itu diayunkan, dan sekali lagi ia berdesis.
Tetapi parang itu terayun sekali lagi, sekali lagi dan sekali lagi.
Sumangkar yang
melihat gadis itu berusaha dengan sekuat-kuat tenaganya memotong kayu itu tersenyum
di dalam hatinya.
“Gadis ini
memang agak keras kepala. Mirip dengan sifat-sifat kakaknya, Angger Swandaru.
Tetapi orang-orang yang demikianlah kadang-kadang yang akan dapat mencapai
cita-citanya. Ia tidak gentar menghadapi rintangan dan hambatan. Tenaganya pun
ternyata cukup kuat. Sayang ia tidak menggenggam tangkai parang itu dengan
baik, sehingga tangannya akan segera terasa sakit, dan bahkan mungkin akan
dapat terkilir karenanya.”
Karena itu
maka Sumangkar itu pun segera melangkah
maju, perlahan-lahan ia berdesis,
“Luar biasa,
Ngger. Luar biasa.”
Sekar Mirah
berhenti sejenak. Ketika ia menegakkan punggungnya, terasa punggungnya pun
menjadi sakit. Karena itu, maka dengan sebelah tangannya ia menekan lambungnya.
Sumangkar yang
melihat gadis itu berusaha dengan sekuat-kuat tenaganya memotong kayu itu
tersenyum di dalam hatinya.
“Gadis ini
memang agak keras kepala. Mirip dengan sifat-sifat kakaknya, Angger Swandaru.
Tetapi orang-orang yang demikianlah kadang-kadang yang akan dapat mencapai
cita-citanya.”
“Sakit?”
bertanya Sumangkar.
“Tidak, Kiai,
aku tidak merasa apa-apa.”
“Bagus,” sahut
Sumangkar, “kau memang luar biasa, Ngger. Kayu itu akan segera terpotong.”
Sekar Mirah
mengerutkan keningnya. Ia merasa orang tua itu menyindirnya, karena luka pada
kayu itu masih belum senyari.
Sumangkar
agaknya dapat menangkap perasaan Sekar Mirah itu, sehingga dengan tergesa-gesa
ia menyambung,
“Maksudku,
kalau Angger Sekar Mirah meneruskannya, maka kayu itu pun pasti akan terpotong.”
Sekar Mirah
mengangguk perlahan-lahan.
“Tetapi, Mirah,”
berkata Sumangkar kemudian,
“agaknya kau
kurang baik menggenggam parangmu. Coba, berikanlah parangmu itu.”
Tanpa
sesadarnya, maka parang itu diserahkannya kepada Sumangkar.
“Begini,”
berkata Sumangkar,
“lihat
beginilah seharusnya kau menggenggam parang itu. Ayunkan perlahan-lahan, lurus
ke depan supaya parang ini tidak menggeliat. Kau dapat mengayunkan dan membuat
luka-luka di kayu ini agak miring, tetapi jangan terlampau banyak. Kemudian
dari arah miring yang berlawanan. Kalau kau sudah dapat tepat menjatuhkan
parangmu pada luka yang pertama, maka barulah kau ayunkan parang ini semakin
keras. Dengan demikian, kau tidak membuat luka di beberapa tempat seperti ini.
Ini terjadi karena kau tidak ajeg menggerakkan parangmu dalam ayunan yang ajeg
pula. Nah, cobalah.”
Sekar Mirah
tanpa sesadarnya memperhatikan dan mendengarkan keterangan Ki Sumangkar itu
baik-baik. Diamatinya dengan saksama bagaimana Ki Sumangkar menggenggam tangkai
parangnya, kemudian bagaimana ia mengayunkan parang itu.
“Aku juga
dapat melakukannya,” tiba-tiba Sekar Mirah berkata.
Sumangkar
tersenyum. Diserahkannya parang itu kepada Sekar Mirah sambil berkata,
“Cobalah.”
Perlahan-lahan
Sekar Mirah mengayunkan parangnya. Satu kali, dua kali, tiga kali. Kini ia
sudah, dapat menjatuhkan mata parangnya pada luka yang telah dibuatnya. Tidak
bergeser lagi setiap kali. Semakin lama semakin keras, semakin keras.
“Bagus,” desis
Ki Sumangkar.
Sekar Mirah
tidak menyahut. Tetapi seakan-akan ia tenggelam dalam keasyikan memotong kayu
itu.
Sumangkar
melihat keringat yang bercucuran di kening gadis itu, maka katanya,
“Sudahlah,
Mirah. Kau letih. Biarlah saja dilanjutkan oleh orang lain.”
Tetapi Sekar
Mirah seakan-akan tidak mendengar kata-kata itu. Bahkan ia bekerja semakin
keras. Ayunannya menjadi semakin cepat dan cepat. Luka pada batang kayu itu
dengan cepat bertambah dalam. Percikan tatalnya melontar-lontar ke segenap
arah. Bahkan satu dua memercik ke wajah Sekar Mirah sendiri. Tetapi Sekar Mirah
sama sekali tidak menghiraukannya.
“Sudahlah,
Ngger,” Sumangkar mengulangi, tetapi Sekar Mirah seakan-akan masih belum
mendengarnya.
Orang tua itu
menarik nafas dalam-dalam. Katanya di dalam hati,
“Gadis ini
memang keras kepala. Ia sama sekali tidak mau mundur apabila ia ingin berbuat
sesuatu.”
Baju Sekar
Mirah sudah menjadi basah kuyup oleh keringatnya yang seperti diperas dari
dalam tubuhnya. Namun ia sama sekali tidak ingin berhenti bekerja. Semakin lama
semakin keras dan cepat.
Sekali lagi
Sumangkar menarik nafas dalam? Kini ia melihat Sekar Mirah itu melepaskan
parangnya, menekan lambungnya dengan kedua tangannya. Kemudian diusapnya
keringat yang menetes dari keningnya dengan lengan bajunya.
“Heh,” Sekar
Mirah mengangguk-anggukkan kepalanya, “putus juga akhirnya.”
“Luar biasa,
Ngger,” desis Ki Sumangkar.
Sekar Mirah
berpaling,
“Apakah yang
luar biasa? Bukankah pekerjaan ini pekerjaan yang biasa saja? Tidak ada apa-apa
yang lain dari kerja biasa, memotong kayu?”
“Ya, ya,”
sahut Sumangkar,
“tetapi bahwa
Angger Sekar Mirah yang melakukan itulah yang luar biasa. Bahkan seorang
laki-laki pun mungkin tidak akan dapat
selesai secepat itu.”
Sekar Mirah
tidak menjawab. Sekali lagi ia mengusap peluhnya dengan lengan bajunya.
Perlahan-lahan ia berdesah,
“Ah, lelah
juga akhirnya, Kiai.”
Orang tua itu
tertawa. Katanya,
“Lelah, tentu
lelah. Angger sudah bekerja terlampau keras. Kayu itu sudah terpotong.”
Tertatih-tatih
Sekar Mirah itu melangkah dan menjatuhkan dirinya di bebatur kandang. Sekali ia
menarik nafas panjang.
“Lenganku
menjadi sakit, Kiai, dan telapak tanganku terasa nyeri.” Tetapi segera
disambungnya,
“Tidak, Kiai,
tidak hanya nyeri, tetapi lihat tanganku menjadi melempung sebesar biji jagung
di dua tempat.”
“Angger belum
biasa,” jawab Sumangkar,
“tetapi
apabila Angger telah biasa, maka tangan itu tidak, akan melempung lagi.”
Sekar Mirah
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Nah,
beristirahatlah. Kau pasti lelah sekali.” Sumangkar itu berhenti sejenak. Tanpa
dikehendakinya sendiri, diamatinya gadis yang keras hati itu dengan saksama.
Tubuhnya yang bulat padat seperti kebanyakan gadis padesan yang bekerja keras
setiap hari. Di sawah dan di rumah. Wajahnya yang memancarkan kekerasan hatinya
itu dan matanya yang memandang hari depannya dengan penuh keyakinan.
“Sayang ia
seorang gadis,” desah orang tua itu di dalam hatinya,
“seandainya ia
seorang laki-laki muda, mungkin ia tidak akan kalah dari kakaknya Swandaru.”
Sumangkar itu
mengangguk-anggukkan kepalanya tanpa disadarinya. Dan ia berkata pula di dalam
hatinya,
“Apakah
salahnya, meskipun ia seorang gadis. Mungkin ia akan lebih baik dari seorang
anak laki-laki. Sekarang gadis tidak akan kalah dari seorang anak muda apabila
cukup terlatih. Seorang gadis mempunyai kelebihannya sendiri disesuaikan dengan
kodratnya. Perasaan seorang gadis biasanya lebih tajam dari seorang laki-laki
apalagi firasatnya. Mungkin seorang gadis akan lebih cepat dapat menanggapi
keadaan dari seorang laki-laki. Tetapi seorang gadis harus dituntun untuk
mempergunakan nalar. Tidak hanya sekedar perasaan saja.”
“Angger Sekar
Mirah agaknya dapat berlaku demikian. Tenaganya cukup kuat, perasaannya cukup
tajam dan nalarnya akan dapat juga berkembang dengan baik.”
Sumangkar
tidak dapat lagi mengelakkan diri dari cengkaman perasaannya. Ia merasakan
sesuatu yang menarik perhatiannya pada gadis itu. Kekerasan hati, kekuatan
jasmaniah dan ketabahannya.
“Aku belum
pernah merasa tertarik kepada seseorang seperti kepada gadis ini,” katanya di
dalam hati,
“bahkan
anak-anak muda yang pernah aku jumpai pun tidak menarik perhatianku. Aku pernah
melihat kelebihan Angger Alap-alap Jalatunda dari anak-anak muda yang lain
kecuali Angger Tohpati. Bahkan apabila mendapat kesempatan dan tuntunan,
Alap-alap Jalatunda tidak akan kalah dari Angger Sanakeling dan bahkan Angger
Sidanti. Tetapi watak anak itu sangat menjemukan dan bahkan memuakkan. Ilmuku
akan jatuh ke tanah yang subur tetapi sangar. Aku tidak mau.” Sumangkar itu
tiba-tiba mengangguk-anggukkan kepalanya,
“Apakah
salahnya apabila muridku seorang gadis?”
Tetapi
Sumangkar menyimpan perasaan itu di dalam hatinya. Ia ingin mengenal gadis itu
lebih banyak. Sifat-sifatnya, tabiatnya dan yang terpenting baginya adalah
wataknya. Apakah gadis itu akan dapat menjadi penyambung perguruannya yang
baik. Tidak saja dalam olah kanuragan tetapi juga dalam solah tingkah dan
tindak tanduk. Sebelum Tohpati mati, maka ia adalah satu-satunya harapan bagi
perguruannya. Tetapi ia terseret ke dalam arus yang telah menjerumuskannya ke
dalam langkah yang sesat. Sebenarnya sikap Tohpati itu sendiri dapat memberinya
kebanggaan. Namun landasan untuk berpijak bagi Macan Kepatihan itu kemudian,
yang tidak dapat dibenarkannya. Sumangkar itu tersadar dari angan-angannya
ketika ia melihat Sekar Mirah berdiri. Ia mengusap telapak tangannya sambil
berdesis,
“Aku harus
membuat obat untuk menyembuhkan tanganku yang melempung ini, Kiai.”
“Apakah yang
akan kau pergunakan untuk mengobatinya?”
“Kencur.”
Sumangkar
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Kelak, kalau
Angger telah menjadi biasa, maka tangan Angger itu tidak akan melempung lagi.”
“Aku akan
membiasakannya. Setiap hari.”
Sumangkar mengangguk-anggukkan
kepalanya,
“Baiklah.
Tetapi hati-hati. Jangan sampai mengenai tangan atau bagian-bagian tubuhmu
sendiri.”
“Aku dapat
berhati-hati,” sahut Sekar Mirah.
Sumangkar
tersenyum. Dibiarkannya gadis itu pergi meninggalkannya. Tetapi kesan yang
didapatinya dari gadis itu tidak juga disingkirkannya. Bahkan tumbuhlah
keinginan yang mendesak untuk berbuat sesuatu sebelum umurnya menjadi semakin
tua, dan ia akan segera menurun dari puncak kemampuannya, sebelum ia
berkesempatan menurunkan ilmunya. Sementara itu Sekar Mirah langsung pergi ke
dapur untuk mencari beberapa potong kencur untuk mengobati tangannya. Tetapi ia
benar-benar bertekad untuk membuat tangannya tidak lagi secengeng itu.
“Tanganku
harus menjadi tangan yang kuat,” desisnya di dalam hatinya. Dan ia benar-benar
ingin berbuat untuk itu.
Sumangkar
terkejut ketika di hari berikutnya, ia melihat Sekar Mirah telah sibuk di
samping kandang. Meskipun tangannya masih terasa sakit, tetapi rasa sakit itu
sama sekali tidak dihiraukannya. Dengan sepenuh minat ia mengayunkan parang
memotong sebatang kayu yang teronggok di samping kandang.
“Apakah lengan
Angger sudah tidak sakit lagi?” bertanya Sumangkar.
“Tanganku
terlampau cengeng, Kiai,” jawabnya, “aku harus mengajarnya untuk menjadi
sedikit kuat.”
Sumangkar
tersenyum. Ia menjadi semakin tertarik kepada gadis yang mempunyai tekad
sebesar itu. Menurut perhitungan Sumangkar, untuk kepentingan yang lebih besar,
maka ia akan tidak segan-segan untuk berbuat jauh lebih banyak lagi.
“Mirah,”
berkata orang tua itu,
“sebaiknya
Angger jangan memaksakan diri. Aku senang melihat Angger bekerja keras tetapi
Angger harus mengingat kekuatan tubuh Angger.”
“Kalau aku
memanjakan diri Kiai,” jawab Sekar Mirah,
“maka aku akan
menjadi seorang yang akan selalu bergantung kepada orang lain. Tidak Kiai, aku
harus berbuat sesuatu supaya aku mampu berdiri tegak seperti orang-orang lain.
Seperti Kiai, seperti ayah dan seperti Kakang Swandaru. Aku tidak mau selalu
menjadi beban orang lain, seperti apa yang baru saja terjadi. Aku tidak dapat
berbuat apa-apa ketika Sidanti mengambil aku dari padepokan ini.”
“Oh,”
Sumangkar mengerutkan keningnya.
“Dengan
melatih diri mengayunkan parang ini, setidak-tidaknya aku akan dapat berbuat
sesuatu, melawan sedapat-dapat, sementara mulutku dapat berteriak memanggil
orang lain.”
Sumangkar
tertawa,
“Kau memang
luar biasa. Seharusnya kau tidak usah menilai diri seperti ayahmu dan kakakmu
Swandaru, sebab mereka adalah laki-laki.”
“Apa bedanya?”
Sekar Mirah tiba-tiba mengangkat wajahnya dan menengadahkan dadanya,
“apakah
perempuan selamanya harus bergantung kepada laki-laki. Tidak Kiai. Ada juga hak
bagi seorang perempuan untuk membela diri. Bukankah di dalam ceritera-ceritera
dan dongeng-dongeng banyak juga disebutkan bahwa seorang perempuan mampu juga
menjadi prajurit?”
“Ya, ya Ngger.
Apalagi ceritera pewayangan.”
“Nah, kalau
demikian apakah salahnya aku menjadi seorang yang mampu menyelamatkan diriku
sendiri seperti laki-laki.”
“Ya. ya
Ngger,” sahut Sumangkar,
“tetapi itu
tidak terlampau mudah. Tenaga seorang laki-laki menurut kodratnya berbeda
dengan seorang perempuan. Seorang pemuda akan berbeda dengan seorang gadis.”
“Aku tahu,
Kiai, tetapi seorang perempuan yang lemah dan sama sekali tidak dapat berbuat
apa-apa, akan jauh lebih lemah dari seorang perempuan yang lemah tetapi
berusaha untuk menemukan kekuatan di dalam kelemahanya.”
“Oh,” Sumangkar
mengerutkan keningnya,
“pendapat
Angger mengagumkan.”
“Tidak
mengagumkan, Kiai. Pendapat itu lahir karena pengalaman yang pahit yang pernah
aku alami. Aku tidak mau pengalaman semacam itu terulang. Aku senang seandainya
aku dapat sedikit memiliki kekuatan untuk menjaga diri. Aku tidak mau menjadi
seorang yang menyerah kepada kelemahannya. Aku harus menemukan kekuatan.”
Sumangkar
tidak segera menjawab. Tetapi ia melihat tekad yang menyala di wajah gadis itu.
“Kiai, sejak
kecil aku mengagumi sifat-sifat jantan. Aku kagum melihat laki-laki memancarkan
kelaki-lakiannya. Tidak seperti laki-laki yang cengeng, yang ragu-ragu dan
kehilangan kepercayaan diri.”
Sumangkar
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia menjadi semakin mengenal watak dan
sifat-sifat dari gadis puteri Ki Demang Sangkal Putung itu. Keras hati seperti
kakaknya, Swandaru. Dengan demikian, maka ia menjadi semakin tertarik
kepadanya. Seolah-olah orang tua itu menemukan tanah yang subur terbentang di
hadapannya setelah bertahun-tahun ia kehilangan sawah garapannya.
“Angger,” orang
tua itu kemudian berkata,
“Angger
benar-benar membuat aku heran. Meskipun Angger selama ini seolah-olah tidak
lepas dari sisi ayah dan ibu, tetapi wawasan Angger Sekar Mirah ternyata cukup
jauh. Pengalaman Angger yang baru saja terjadi itu masih belum cukup untuk
membuat Angger Sekar Mirah menjadi berwawasan sedemikian jauhnya, seandainya di
dalam diri Angger sendiri tidak tersimpan benih-benih yang baik seperti yang
tersimpan di dalam diri Angger Swandaru. Pengalaman yang terjadi atas Angger
Sekar Mirah dapat menumbuhkan bermacam-macam akibat. Bagi orang lain, maka
akibatnya akan sangat berbeda. Seseorang dapat menjadi semakin berkecil hati.
Semakin ketakutan dan kehilangan kepercayaan. Bahkan pada orang lain lagi dapat
menumbuhkan keputus-asaan dan rendah diri. Tetapi sebaliknya kau menjadi
semakin teguh seperti karang yang setiap hari dihantam oleh ombak.”
“Oh, sejak
kemarin Kiai selalu memuji. Mudah-mudahanlah demikian hendaknya.”
“Aku tidak
memuji, Mirah. Aku mengatakan sebenarnya,” sahut Ki Sumangkar,
“tetapi
sadarilah. Bahwa sekedar menggenggam tangkai parang itu masih jauh daripada
cukup untuk menjaga diri. Menjadikan telapak tanganmu bertambah kebal itu pun
bukan jalan dan cara yang cukup.”
Sekar Mirah mengerutkan
keningnya. Jawabnya,
“Ya, aku tahu,
Kai. Aku tahu bahwa hanya dengan demikian, maka pasti tidak akan berarti
apa-apa bagi keselamatan diri. Tetapi setidak-tidaknya aku sudah mulai untuk
suatu tujuan yang lebih jauh.”
“Apakah tujuan
itu?”
Sekar Mirah
terdiam. Dipandanginya wajah Sumangkar yang telah digoresi oleh garis-garis
tahun. Orang ini tampaknya menjadi semakin tua. Dan tiba-tiba saja terungkat di
dalam hati gadis itu, bahwa orang tua ini adalah seorang yang memiliki
kemampuan seperti Kiai Gringsing, seperti Ki Tambak Wedi, seperti Ki Patih
Mantahun menurut pendengarannya, seperti Ki Gede Pemanahan.
Dada Sekar
Mirah menjadi berdebar-debar. Ia melihat ujud yang sederhana. Seperti Ki Tanu
Metir. Tetapi pada kesederhanaan itu memancar kelebihan-kelebihan yang dahsyat
seperti Ki Tanu Metir pula. Katanya di dalam hati.
“Apakah aku
dapat memperoleh sesuatu dari orang tua itu?”
Dalam
keragu-raguannya ia mendengar Sumangkar itu berkata,
“Mirah, coba,
biarlah aku yang memotong kayu itu.”
Sekar Mirah
seakan-akan tersadar dari sebuah mimpi yang dapat menumbuhkan harapan di
dadanya. Dengan terbata-bata ia menjawab,
“Tidak, Kiai. Tidak
usah. Biarlah aku saja yang menyelesaikannya. Seandainya tanganku tidak mampu
karena sakit, maka biarlah orang-orangku yang menyelesaikannya.”
Sumangkar
tersenyum. “Berikanlah parang itu.”
Sekar Mirah
menjadi seakan-akan kehilangan kesadarannya ketika Sumangkar maju beberapa
langkah. Mengajukan tangannya dan mengambil parang di tangan Sekar Mirah.
“Lihatlah,
Ngger, beginilah seharusnya Angger memotong kayu,” berkata orang tua itu sambil
melangkah mendekati sebatang kayu yang lain terbujur di sisi kandang. Kayu itu
bukan sekedar sepotong dahan atau cabang yang sedang. Tetapi kayu itu adalah
sepotong kayu yang cukup besar.
“Apakah Kiai
akan memotong kayu itu?” bertanya Sekar Mirah.
“Ya,” jawab
Sumangkar.
“Hanya dengan
parang?”
“Ya.”
“Seharusnya
dipergunakan kapak. Dan seharusnya bukan Kiai-lah yang melakukannya.”
Sumangkar
tersenyum. Kini ia telah berdiri di samping batang kayu yang menelentang itu.
Dipandangnya batang kayu itu sejenak. Kemudian perlahan-lahan ia berjongkok. Ia
harus membuat gadis Sangkal Putung itu menjadi kagum. Karena itu kali ini ia
tidak sekedar memberikan contoh, bagaimanakah caranya menggenggam tangkai
parang seperti kemarin. Tidak cuma memberi contoh bagaimanakah parang itu harus
diayunkan. Tetapi kali ini ia akan memberikan contoh yang lain, contoh yang
bukan sekedar tenaga lahiriahnya. Seperti Kiai Gringsing mampu melecutkan
cambuknya dan menimbulkan ledakan yang dahsyat, maka orang tua ini pun mampu menyalurkan kekuatan-kekuatan yang
tidak tampak pada gerak dan tingkah laku sehari-hari.
Perlahan-lahan
Sumangkar mengangkat parangnya. Di pusatkannya segenap kekuatannya. Ketika
perlahan-lahan pula parang itu terangkat kemudian terayun dengan derasnya, maka
Sekar Mirah seolah-olah tidak dapat bernafas lagi. Dadanya seakan-akan berhenti
bekerja dan segenap perhatiannya tertumpah kepada mata parang Ki Sumangkar.
Bahkan jantungnya pun terasa berhenti berdetak. Sejenak kemudian, Sekar Mirah
berdesis menyaksikan parang itu membenam ke dalam batang kayu itu. Membenam
dalam-dalam. Seperti membenarkannya ke dalam sebatang pokok pisang. Terdengar
mulut gadis itu sekali lagi berdesis. Tetapi kedua tangannya kemudian menutup
mulutnya yang ternganga. Ia tidak percaya kepada penglihatannya. Benarkah
parang itu membenam hampir separo ke dalam batang sebesar itu?
Sejenak ia
melihat Sumangkar mencoba menarik parangnya yang membenam itu. Tetapi ternyata
parang itu tidak cukup kuat. Parang itu adalah parang pemotong kayu. Karena itu
maka parang itu tidak dapat mengimbangi kekuatan Sumangkar yang tercurah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar