Jilid 029 Halaman 3


Ia ingin mendengar dari mulut Agung Sedayu. Betapa hatinya menjadi terlampau kecewa. Tiba-tiba saja gsdis itu meloncat berdiri, berlari kepada kakaknya. Dengan tangisnya ia berkata sambil mencubiti kakaknya bertubi-tubi.
“Kau terlampau nakal, Kakang. Kau terlampau nakal. Kau mengejutkan aku sehingga aku hampir menjadi pingsan.”
“Oh, oh,” Swandaru terkejut. Terasa jari-jari Sekar Mirah menyengat tanpa hentinya. “Mirah. Mirah.”
“Kau terlampau nakal,” desis Sekar Mirah. Tangannya masih saja mencubiti kakaknya. Ia ingin melepaskan segala macam perasaan yang menghentak-hentak di dadanya. Ia ingin melepaskan kekecewaan yang ditahannya. Ia ingin menumpahkan tangisnya yang disimpannya, sehingga dadanya serasa akan pecah.
“Mirah, Mirah,” Swandaru hampir berteriak, “aku minta maaf.”
Tiba-tiba Sekar Mirah menghentikan cubitannya. Dan yang tidak disangka-sangka oleh Swandaru Sekar Mirah itu meremas leher bajunya sambil menangis sejadi-jadinya.
“Kakang,” gadis itu berdesah.
“He,” Swandaru yang selama ini menyangka bahwa Sekar Mirah marah kepadanya, menjadi bingung.
“Kau benar-benar marah kepadaku, Mirah.”
Tangis Sekar Mirah tidak mereda.

Swandaru menjadi semakin bingung. Ia tidak menyangka bahwa permainannya akan membuat Sekar Mirah benar-benar marah. Tetapi Swandaru tidak mengerti apa yang sedang bergolak di dada adiknya.
“Aku minta maaf, Mirah. Aku tidak ingin membuatmu marah.”
Swandaru melihat Sekar Mirah perlahan-lahan menggelengkan kepalanya.
“Tidak, Kakang. Aku tidak marah kepadamu.”
“Oh,” Swandaru semakin tidak mengerti. “Lalu, kenapa kau menangis?”
Sekar Mirah tidak menjawab. Tetapi tangisnya masih saja menyesakkan dadanya.
“Duduklah Mirah. Kau dapat berkata dengan tenang.”
Sekar Mirah tidak menjawab. Tetapi ia menurut saja ketika sekali lagi Swandaru mendorongnya duduk di atas pembaringannya.
“Apakah kau baru saja bertemu dengan Kakang Agung Sedayu?”
“Ya,” Sekar Mirah mengangguk.
“Apakah kau bertengkar?”
Sekar Mirah menggeleng. “Tidak, Kakang.”
“Lalu, kenapa kau menjadi marah, dan akulah yang menjadi kambing hitam, sehingga tubuhku menjadi merah biru kau cubiti. Bahkan kau menggigit lenganku.”
Sekar Mirah tidak segera menyahut.
“Agaknya kau bertengkar dengan Kakang Agung Sedayu.”
Sekali lagi Sekar Mirah menggeleng.
“Tidak. Aku tidak bertengkar. Bahkan Kakang Agung Sedayu hampir berdiam diri saja. Ia tidak berkata apa-apa. Ia hanya minta diri dan berkata ‘Mudah-mudahan aku selamat, Mirah.’ Hanya itu.”
Swandaru mengerutkan keningnya.
“Lalu apakah yang harus dikatakan?”
“Ternyata ia adalah seorang yang dicengkam oleh keragu-raguan. Ia seorang laki-laki yang perkasa, yang memiliki beberapa kelebihan dari orang lain. Dari Sidanti dan Argajaya. Tetapi ia tidak berani berkata seperti yang kau katakan, Kakang. Ia tidak berani berkata jantan seperti Kakang Sidanti dahulu.”
“Hus,” Swandaru memotong, “kau masih juga menyebut-nyebut nama Sidanti?”
Sekar Mirah menundukkan kepalanya. Ia telah terdorong mengucapkan nama itu. Terdorong oleh kekecewaannya atas sikap Agung Sedayu yang menurut penilaiannya tidak sejantan Sidanti.
“Mirah,” berkata Swandaru,
“aku tidak senang mendengar nama itu masih kau sebut-sebut. Kalau kau masih juga ingin menyebut nama itu, maka kau harus berkata ‘Bawalah kepala Sidanti itu kepadaku.’ Jangan kau ucapkan kalimat yang lain tentang anak setan itu.”
Sekar Mirah membersihkan air yang meleleh di pipinya dengan lengan bajunya. Katanya,
“Kakang, aku merasakan perbedaan sikap antara keduanya, Sidanti dan Kakang Agung Sedayu. Kakang Agung Sedayu adalah seorang pendiam yang menjemukan sekali. Seorang yang ragu-ragu dan tidak mengerti kekuatan yang tersimpan di dalam dirinya. Ia tidak menyadari kelebihannya dari orang lain, atau memang ia seorang yang sama sekali tidak mempunyai kepercayaan pada diri sendiri.”
“Hem,” Swandaru bergumam.
“Tetapi Sidanti tidak. Sidanti yakin akan dirinya. Ia mempunyai ketetapan hati untuk melakukan suatu pekerjaan. Ia mempunyai kepercayaan kepada diri sendiri.”
“Jangan, Mirah. Jangan kau ulangi lagi,” potong Swandaru. Meskipun kata-kata itu diucapkan perlahan-lahan, namun tekanan nadanya benar-benar menunjukkan bahwa ia tidak senang mendengarnya.
Tetapi Sekar Mirah masih berkata,
“Aku mengagumi anak-anak muda yang perkasa, yang percaya kepada diri sendiri dan mempunyai cita-cita yang mantap.”
“Seperti Sidanti?”
Sekar Mirah terdiam.
“Seharusnya Sidanti sudah mati bagimu, Mirah. Atau kau benar-benar ingin melihat anak setan itu mati?”
Sekar Mirah masih berdiam diri.
“Mirah,” berkata Swandaru, “betapa perkasa anak muda yang bernama Sidanti itu, tetapi ia tak akan mampu melampaui Kakang Agung Sedayu. Bahkan sekarang, aku pun sanggup dipasang di hadapannya dengan senjata di tangan. Anak itu pernah menampar wajahku beberapa kali. Tetapi untuk seterusnya tidak akan dapat terjadi lagi selagi aku masih mampu bernafas.”
Sekar Mirah seakan-akan menjadi beku di tempatnya. Kepalanya menunduk, sedang tangannya bermain-main dengan ujung bajunya. Tetapi tampak pipinya masih basah.
“Sidanti sekarang sudah bukan tandingan Agung Sedayu lagi.”
Sekar Mirah mengangkat wajahnya, katanya,
“Tetapi sifat-sifatnya yang selalu dibayangi oleh keragu-raguan itu membuat aku benci kepadanya.”
Swandaru menarik nafas. Kemudian katanya,
“Apakah kau membenci Kakang Agung Sedayu.”
“Ya, aku benci kepadanya. Tidak ada seorang  pun yang paling aku benci selain Kakang Agung Sedayu.”
“Betul begitu?”
“Ya.”
“Baiklah,” berkata Swandaru sambil melangkah mundur. “Sekarang aku akan menemuinya.”
“Kenapa?” bertanya Sekar Mirah dengan serta-merta.
“Mirah,” berkata Swandaru bersungguh-sungguh,
“aku adalah kakakmu. Aku sudah bekerja dengan susah payah untuk melepaskan kau dari sarang Tambak Wedi. Karena itu adalah kuwajibanku untuk membelamu. Kalau kau benci kepada Kakang Agung Sedayu, maka aku pun harus berlaku demikian juga. Aku akan pergi mendapatkannya. Dimana ia sekarang?”
“Untuk apa kau menemuinya?” bertanya Sekar Mirah.
“Aku harus menyampaikannya ‘Sekar Mirah benci kepadamu’. Begitulah. Aku harus berkata kepadanya supaya ia mengerti akan dirinya. Selama ini ia merasa mendapat hati. Apalagi sepeninggal Sidanti.”
“Apa yang akan kau perbuat itu, Kakang?” Sekar Mirah menjadi cemas.
“Sudah aku katakan. Ia harus menyadari dirinya, bahwa kau benci kepadanya. Ia harus mengerti. Seandainya ia menjadi kecewa, biarlah ia pergi dan memisahkan diri dari aku dan guru besok. Apalagi seandainya ia marah, biarlah aku akan menghadapinya. Aku tidak akan gentar. Seandainya aku kalah, maka aku dapat mengerahkan segenap anak-anak muda Sangkal Putung untuk menangkapnya dan memukulinya sampai mati sekalipun.”
“Kakang.”
“Aku pergi sebentar. Tidak terlampau lama. Aku akan segera kembali memberitahukan kepadamu, bahwa aku telah memukuli anak yang kau benci itu.”
“Kakang.”
“Jangan tidur dulu, Mirah. Aku segera kembali.”
Swandaru segera memutar tubuhnya. Tetapi ketika ia baru melangkah setapak tiba-tiba Sekar Mirah memegangi bajunya.
“Kenapa, Mirah.”
“Jangan, Kakang. Jangan.”
“Kenapa jangan? Lepaskan aku. Anak itu harus mendapat pelajaran.”
“Jangan, Kakang. Jangan.”
“Biar, biar saja. Lepaskan aku. Kenapa kau menahan. Bajuku akan sobek karenanya.”
“Kau tidak usah berbuat apa-apa, Kakang.”
“Tidak, Mirah. Kakang Agung Sedayu harus segera mendengar, bahwa kau membencinya. Ia harus segera menyadari dirinya dan tidak melanjutkan mimpinya yang mengasyikkan itu. Ia harus segera bangun dan melihat kenyataan, bahwa Sekar Mirah bukanlah gadis yang pantas diharapkannya. Aku harus menemuinya sekarang, dan langsung memberitahukannya. Jangan takut seandainya ia marah. Sangkal Putung penuh dengan anak-anak muda yang sanggup berbuat apa saja untukku.”
Tetapi Sekar Mirah masih saja memegangi bajunya. Bahkan semakin keras, sehingga Swandaru yang telah melangkah maju itu terpaksa surut, supaya bajunya tidak sobek karenanya.
“Kenapa kau mencegah, Mirah? Aku tidak senang menyimpan perasaan itu di dalam hati. Aku ingin persoalanmu dengan Kakang Agung Sedayu menjadi jelas.”
“Jangan, Kakang, jangan kau katakan kepadanya.”
“Biar, biar saja. Apakah kau mencemaskan aku?”
“Tidak. Tetapi jangan kau katakan.”
“Kenapa? Coba katakan, kenapa? Bukankah kau membencinya? Bahkan Agung Sedayu adalah orang yang paling kau benci di dunia ini, melampaui kebencianmu kepada Sidanti.”
Tiba-tiba tanpa disadarinya Sekar Mirah menggeleng.
“Tidak. Tidak begitu.”
“He?” Swandaru mengerutkan keningnya.
“Jadi bagaimana?”
Sekar Mirah tidak menjawab. Tetapi ia menundukkan. kepalanya.

Melihat Sekar Mirah mencoba menghindari pandangan matanya, Swandaru tidak dapat lagi menahan tertawanya. Tiba-tiba saja suara tertawa itu berderai, meskipun anak yang gemuk itu berusaha sekuat-kuatnya untuk tidak mengejutkan ayah dan ibunya yang belum lama masuk ke dalam bilik mereka. Sekar Mirah terkejut mendengar Swandaru tertawa. Ketika gadis itu mengangkat wajahnya, dilihatnya Swandaru menutup mulutnya dengan sebelah telapak tangannya, sedang tangannya yang lain memegangi perutnya yang bulat.
“Kenapa kau tertawa?” Sekar Mirah bertanya.
Swandaru tidak segera menjawab, ia masih tenggelam dalam derai tertawanya.
“Kakang, kenapa kau tertawa? Kenapa he?” Sekar Mirah menjadi semakin bernafsu.
“Mirah,” Swandaru menahan diri sehingga nafasnya menjadi terengah-engah,
“lain kali hati-hatilah berbicara. Kau berkata bahwa kau benci kepada Kakang Agung Sedayu, tetapi kau memegangi bajuku sehingga hampir sobek ketika kau dengar aku akan menyampaikannya kepada Kakang Agung Sedayu.”
Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia menyadari bahwa agaknya Swandaru tidak benar-benar ingin menyampaikannya kepada Agung Sedayu. Ternyata Swandaru itu telah mengganggunya lagi setelah kakaknya itu mengejutkannya, ketika ia memasuki bilik ini. Karena itu maka sekali lagi Sekar Mirah itu meloncat. Kakaknya itu seolah-olah diterkamnya dan dicubitinya habis-habisan
“Mirah, Mirah.”
Sekar Mirah tidak mendengarkannya. Bahkan kemudian Sekar Mirah menggigit lengan Swandaru sekali lagi. Lebih keras.
“Mirah. He, aku kapok, Mirah. Aku tidak akan mengganggumu lagi.”
“Terlalu kau, Kakang, terlalu,” Sekar Mirah menjadi semakin bernafsu, sehingga Swandaru terpaksa melonjak-lonjak kesakitan. Tetapi ia tidak berhasil mencegah Sekar Mirah menyakitinya.
Sekar Mirah itu baru berhenti ketika ia mendengar suara dari dalam bilik ayahnya,
“Mirah, kau kenapa?”
Sekar Mirah segera melangkah surut, sedang Swandaru berdiri tegak di tempatnya. Mereka kemudian mendengar langkah ayahnya tergesa-gesa.
Ketika pintu bergerit, dan kemudian perlahan-lahan terbuka, maka mereka melihat ayahnya berdiri di ambang pintu dengan wajah yang tegang.
“Oh, kau Swandaru,” desah ayahnya setelah dilihatnya Swandaru di dalam bilik itu juga.
“Apa yang kau kerjakan? Apakah kalian bertengkar?”
Swandaru menggeleng. “Tidak, Ayah.”
“Apakah kau baru menangis, Mirah?”
“Tidak, Ayah,” jawab Sekar Mirah.
Ayahnya terdiam. Tetapi ia tidak percaya mendengar jawaban Sekar Mirah. Ia melihat mata gadis itu masih merah.
Sejenak kemudian ia berkata, “Swandaru, apakah kau masih saja suka mengganggu adikmu?”
Swandaru menundukkan kepalanya, “Tidak, Ayah. Aku tidak menganggu.”
Hampir saja Sekar Mirah berteriak membantah. Tetapi ia berhasil menahan dirinya. Ia malu apabila kakaknya nanti mengatakan persoalannya dengan Agung Sedayu.
“Lalu kenapa Sekar Mirah menangis?”
Swandaru menjadi bingung sejenak. Lalu tiba-tiba saja ia menjawab,
“Ia ingin ikut bersama aku besok ayah.”
“He,” ayahnya terkejut, dan bahkan Sekar Mirah pun terkejut pula. Tetapi ia tidak membantah.
“Benarkah begitu, Mirah?” bertanya ayahnya.

Sekar Mirah tidak segera menjawab. Dipandangnya wajah kakaknya sejenak. Ketika dilihatnya wajah itu membayangkan kecemasan hatinya apabila ia mengingkarinya, maka timbullah iba di hati gadis itu. Ia sudah puas mencubiti kakaknya sehingga merah biru, bahkan menggigitnya.
“Ya, Mirah, kau akan ikut serta besok?”
Tiba-tiba Sekar Mirah mengangguk berat dan jawabannya seolah-olah tersangkut di kerongkongan,
“Ya, Ayah. Aku ingin ikut.”
“Oh,” ayahnya menarik nafas dalam. Dan Swandaru  pun menarik nafas panjang pula. Bahkan kemudian ia berkata,
“Aku melarangnya, dan anak itu memang menangis. Tetapi tidak lama ia agaknya menyadari kekeliruannya.”
Ki Demang Sangkal Putung mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Syukurlah. Kau jangan terlampau menuruti perasaanmu saja, Mirah. Perjalanan ini bukan perjalanan tamasya. Kau harus dapat membayangkan bahaya yang mengancam di sepanjang perjalanan, apalagi Alas Mentaok yang garang itu.”
Sekar Mirah tidak segera menjawab, tetapi ia mengumpat di dalam hatinya. Ayahnya justru marah kepadanya, meskipun ceritera itu hanya sekedar ceritera yang dibuat-buat oleh kakaknya Swandaru. Meskipun demikian adalah lebih baik daripada kakaknya mengatakan persoalannya yang sebenarnya.
Karena kedua anak-anaknya diam, maka Ki Demang itu berkata kepada Swandaru,
“Nah, Swandaru. Beristirahatlah. Besok kau akan mulai dengan perjalanan itu.”
“Baik, Ayah,” jawab Swandaru. Dan ayahnya meneruskan kali ini kepada Sekar Mirah,
“Kau  pun harus segera tidur, Mirah. Besok kau harus bangun pagi-pagi benar untuk mempersiapkan makan pagi buat kakakmu dan Kiai Gringsing beserta Angger Agung Sedayu.”
“Ya, Ayah,” jawab Sekar Mirah sambil menundukkan kepalanya.
Ayahnya itu  pun kemudian pergi meninggalkan bilik itu bersama Swandaru. Setelah menutup pintu lereg biliknya, Sekar Mirah segera merebahkan dirinya di pembaringannya. Sejenak ia masih mengumpat-umpat karena kenakalan kakaknya. Tetapi kemudian angan-angannya segera bergeser kepada Agung Sedayu. Anak muda itu memang aneh baginya. Aneh. Ia tidak mengerti kenapa anak muda yang perkasa seperti Agung Sedayu, seolah-olah tidak mempunyai keberanian untuk menentukan sikap dan berbuat sesuatu yang menggetarkan hati.
Sekar Mirah itu terkejut ketika tiba-tiba pintunya bergerit dan sekali lagi terbuka. Berjingkat Swandaru masuk ke dalam sambil meletakkan jari telunjuknya di depan mulutnya.
Perlahan-lahan Sekar Mirah bangkit. Ketika ia akan berdiri, kakaknya berkata,
“Tak usah berdiri, aku hanya sebentar. Aku masih merasa belum selesai dengan persoalanmu.”
“Apa lagi?” bertanya Sekar Mirah sambil bersungut.
“Tentang Kakang Agung Sedayu,” jawab Swandaru. Kemudian perlahan-lahan ia berkata lancer,
“Dengar. Kau salah sangka tentang Kakang Agung Sedayu. Aku ternyata lebih banyak mengenal sifatnya daripada kau. Kakang Agung Sedayu adalah seorang yang rendah hati. Seorang yang bagiku terlampau baik. Ia tidak pernah menyombongkan dirinya tanpa maksud. Mungkin ia pernah mengucapkan kata-kata yang berlebih-lebihan pada saat ia datang. Tetapi maksudnya untuk menenteramkan hati kita di sini, bahwa kedatangannya akan dapat membantu melindungi kademangan ini. Tetapi sebenarnyalah ia seorang yang rendah hati. Kau ingat, bahwa ia tidak turut dalam perlombaan memanah dahulu meskipun kecakapannya memanah tiga kali lipat dari Sidanti? Kau harus mengerti, memang Kakang Agung Sedayu berbeda dengan Sidanti dan berbeda dengan aku sendiri dan dengan kau. Tetapi yang rendah hati bukanlah seorang penakut atau pengecut. Itu adalah caranya. Ia tidak akan berkata bahwa lautan akan diloncatinya, dan gunung akan disamparnya sampai rata. Tidak. Ia hanya akan berkata ‘Mudah-mudahan aku selamat’. Kau mengerti, Mirah?”
Sekar Mirah tidak menjawab. Tetapi kepalanya ditundukkannya dalam-dalam.
“Nah, sekarang tidurlah. Aku sudah puas. Terserahlah kepadamu, kepada caramu menilai Kakang Agung Sedayu.”
Swandaru tidak menunggu jawaban Sekar Mirah. Sambil berjingkat ia melangkah keluar pintu dan berjalan hati-hati ke pringgitan. Malam ini ia tidur di bentangan tikar di pringgitan bersama Agung Sedayu. Agaknya Agung Sedayu telah merebahkan dirinya pula meskipun masih belum tertidur. Namun sejenak kemudian mereka  pun telah memejamkan mata dan perlahan-lahan mereka jatuh tertidur.

Sebelum fajar pecah di Timur, Agung Sedayu dan Swandaru telah bersiap. Kiai Gringsing sudah berada di antara mereka pula di pringgitan. Seteguk-seteguk mereka minum air hangat dan setelah mereka makan pagi, maka mereka  pun segera berkemas. Beberapa orang mengantarkan mereka sampai ke regol halaman ketika mereka kemudian berangkat. Widura, Ki Demang dan Nyi Demang, Sekar Mirah, dan satu dua orang yang lain. Tidak banyak yang mengerti bahwa hari itu Kiai Gringsing dan kedua muridnya akan meninggalkan Sangkal Putung. Sumangkar yang tua  pun berdiri sambil mengangguk-anggukkan kepalanya di sisi regol halaman. Terasa sesuatu bergetar di dalam dadanya. Bahkan ia berbisik lirih kepada Kiai Gringsing,
“Kiai, aku iri hati kepadamu. Kau mempunyai dua orang murid yang dapat kau banggakan. Tidak hanya sikap dan tindak-tanduk, tidak hanya ketangkasannya menggenggam senjatamu yang aneh itu, tetapi mereka adalah anak-anak yang baik.”
Kiai Gringsing tersenyum, jawabnya,
“Mudah-mudahan aku berhasil untuk seterusnya.”
“Aku menjadi sangat prihatin Kiai,” sambung Sumangkar.
“Perguruanku akan segera putus sampai ujung umurku. Dahulu aku mengharapkan Angger Tohpati akan menjadi penyambung cabang perguruanku lewat Ki Patih Mantahun. Tetapi ia telah tidak ada lagi. Dan aku sampai saat ini tidak mempunyai seorang murid pun.”
“Kau dapat menemukannya, Adi,” sahut Kiai Gringsing yang ikut merasakan betapa sepinya hati orang tua itu.
“Aku belum melihat.”
“Mudah-mudahan Adi segera menemukannya.”
Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak berkata apa-apa lagi.
Sejenak kemudian maka ketiga orang itu  pun berangkat meninggalkan Kademangan Sangkal Putung. Sekali lagi orang-orang tua di Sangkal Putung itu memberikan doa selamat kepada mereka, dan sekali lagi Sekar Mirah mendengar Agung Sedayu berdesis kepadanya,
“Mudah-mudahan aku selamat dan segera kembali ke kademangan ini.”
Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak dapat menyembunyikan pelupuk matanya yang bendul karena tangisnya semalam. Bahkan saat ini  pun matanya telah menjadi basah pula. Dua anak-anak muda yang paling dekat dengan dirinya bersama-sama pergi. Agung Sedayu dan kakaknya Swandaru.

Meskipun hampir setiap hari kakaknya selalu mengganggunya tetapi setiap kali kakaknya tidak di rumah, terasa rumahnya menjadi sepi. Swandaru adalah satu-satunya saudaranya. Dan kali ini Swandaru pergi untuk waktu yang tidak tertentu. Sedangkan anak muda yang lain, Agung Sedayu, meskipun ia tidak sesuai dengan sifat-sifatnya yang kurang jantan menurut penilaian Sekar Mirah, namun anak muda itu benar-benar telah menambat hatinya dengan segala sifat-sifatnya yang tidak disukainya itu. Kepergian Agung Sedayu pasti akan membuatnya semakin sepi. Memang terasa, kata-kata anak muda itu seolah-olah memberi kedamaian di hatinya. Tidak terbayang kekerasan dan perkelahian. Tidak tersirat dendam dan kebencian terhadap siapa pun juga. Tetapi apabila darahnya sedang mendidih mengingat perlakuan Sidanti atasnya, maka bagi Sekar Mirah sikap yang penuh kedamaian dan kesejukan itu adalah sikap yang terlampau lemah. Ia sendiri menyimpan dendam tiada taranya kepada Sidanti dan orang-orangnya. Juga kepada Ki Tambak Wedi. Ia ingin Agung Sedayu mendendamnya seperti dirinya. Mengancam dan menggenggam keinginan untuk membalas dendam dan sakit hatinya. Tetapi Agung Sedayu hanya sekedar berkata kepadanya,
“Mudah-mudahan aku selamat, Mirah. Dan segera kembali ke kademangan ini.”
Meskipun demikian ketika ketiga orang in mulai melangkahkan kakinya meninggalkan regol halaman, terasa dadanya menjadi sesak. Ia melihat Swandaru melambaikan tangannya kepadanya dan berkata,
“Baik-baiklah menjaga dirimu, Mirah.”
Sekar Mirah itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia ingin menjawab dan mengucapkan selamat jalan, tetapi tenggorokannya serasa tersumbat. Itulah sebabnya ia hanya berdiri saja mematung. Dicobanya untuk menggerakkan tangannya, membalas lambaian tangan kakaknya. Tetapi tangan itu serasa menjadi terlampau kaku. Meskipun demikian Sekar Mirah itu berhasil menahan air matanya untuk tidak membanjir dari pelupuknya yang basah. Tiba-tiba timbul di dalam hatinya, bahwa sikap yang sebaik-baiknya adalah melepaskan keduanya dengan tabah, dengan dada tengadah. Ia tidak ingin menangis lagi seperti kanak-kanak dan perempuan cengeng. Ia bukan kanak-kanak lagi, dan ia bukan perempuan yang cengeng. Sekar Mirah menggeretakkan giginya. Dan sesaat kemudian ia berhasil mengangkat tangannya dan melambaikan tangan itu. Dipaksanya bibirnya untuk tersenyum.
Tiba-tiba Sekar Mirah itu berkata lantang,
“Selamat jalan Kakang Swandaru, selamat jalan Kakang Agung Sedayu. Mudah-mudahan kalian kembali dengan selamat setelah kalian berhasil melepaskan sakit yang menyekat hati. Perjalanan kalian adalah perjalanan jantan, bukan perjalanan perawan-perawan yang pergi ngunggah-unggahi.”
Ki Tanu Metir mengerutkan keningnya mendengar kata-kata Sekar Mirah. Tetapi ia tersenyum saja. Dibiarkannya Swandaru menjawab, “Doakan, Mirah.”
Tetapi Sekar Mirah tidak mendengar Agung Sedayu menjawab sepatah kata pun. Bahkan ia melihat wajah itu membayangkan keragu-raguannya. Sesaat dipandanginya wajah gurunya. Tetapi ia tidak mendapatkan kesan sesuatu, meskipun ia melihat gurunya itu tersenyum.
Sekar Mirah berdesah di dalam hatinya.
“Sekali lagi aku melihat wajah yang menjemukan itu. Ragu-ragu, ragu-ragu, selalu dalam keragu-raguan,” ia mengumpat di dalam hatinya. Tetapi ia tidak dapat melepaskan bayangan wajah yang selalu ragu-ragu itu.

Ketiganya, Ki Tanu Metir, Agung Sedayu, dan Swandaru  pun semakin lama menjadi semakin jauh. Sementara itu langit menjadi semakin cerah. Orang-orang yang berdiri di luar regol kademangan masih melihat ketiganya berjalan perlahan-lahan semakin lama semakin sayup. Sejenak kemudian maka ketiga orang yang tampaknya menjadi semakin kecil itu menghilang di tikungan. Betapa gelora di dada Sekar Mirah serasa mengguncang-guncang jantungnya, namun ia bertahan untuk tidak menangis. Diangkatnya kepalanya dan ditengadahkannya wajahnya. Ia kemudian berjalan di samping ayahnya masuk ke dalam halaman dan berjalan naik ke pendapa beriringan dengan ibunya, Sumangkar, Widura dan beberapa orang lain. Meskipun demikian, tidak banyak dari mereka yang berbicara. Satu dua saja berdesis perlahan-lahan dan hanya beberapa kata-kata. Kemudian hening lagi. Ketika Widura, Sumangkar, dan Ki Demang meletakkan dirinya, duduk di pringgitan kademangan, maka Sekar Mirah berjalan di belakang ibunya langsung masuk ke ruang dalam. Nyai Demang itu  pun agaknya menahan dirinya untuk tidak menangis ketika melepaskan Swandaru. Ditabahkannya hatinya, dan ditahankannya perasaannya. Ternyata sikapnya mempengaruhi sikap Sekar Mirah pula. Sekar Mirah yang bertahan mati-matian itu seolah-olah mendapat kekuatan baru melihat sikap ibunya yang tenang dan seolah-olah meyakinkan, bahwa perjalanan kakaknya tidak akan menemukan kesulitan. Meskipun demikian, Sekar Mirah yang kemudian masuk ke dalam biliknya masih harus mencari kekuatan untuk tidak terbenam ke dalam sikap seorang gadis yang ditinggalkan oleh orang-orang yang dikasihinya. Ia kemudian terpaksa menyibukkan dirinya dengan segala macam kerja. Membenahi biliknya, pakaiannya dan kemudian gadis itu berlari-lari ke luar, pergi ke perigi. Diraihnya senggot timba, dan dengan menggeretakkan giginya, ia mulai menimba air, mengisi gentong dan jembangan. Tetapi dengan menimba air dari sumur itu, hatinya masih saja berguncang. Karena itu dilepaskan senggot timba itu sehingga suaranya berderak-derak. Gadis itu kemudian berlari ke tumpukan kayu di sudut kandang. Diraihnya sebuah parang, dan dengan sekuat-kuat tenaganya dihantamkannya parang itu pada seonggok kayu di samping kandang itu.
Gadis yang sedang bertahan diri terhadap deraan perasaannya itu terkejut ketika ia mendengar sapa lembut di belakangnya, “Kenapa kau menjadi terlampau gelisah, Mirah.”
Sekar Mirah itu mengangkat wajahnya dan kemudian berpaling ke arah suara itu. Ia menarik nafas lega ketika dilihatnya yang berdiri di samping kandang itu adalah Ki Sumangkar.
“O,” desah gadis itu, “Kiai mengejutkan aku.”
Sumangkar tersenyum, katanya,
“Kau terlampau sibuk. Itulah sebabnya maka kau terkejut.”
“Ya, aku terlampau sibuk,” sahut Sekar Mirah,
“tetapi bukankah Kiai duduk-duduk di pringgitan bersama ayah dan Paman Widura?”
“Mereka  pun telah sibuk dengan kewajiban masing-masing.”

Sekar Mirah mengangguk-anggukkan kepalanya, dan Sumangkar itu bertanya lagi,
“Kenapa kau sendiri akan memotong kayu itu? Tidakkah ada orang lain? Pembantu-pembantu kademangan ini? Tentu lebih baik laki-lakilah yang memotong dan membelah kayu itu. Kalau tidak ada seorang pun yang hari ini sempat, maka kau dapat minta tolong kepada prajurit-prajurit yang sedang beristirahat.”
“Tidak, Kiai,” sahut Sekar Mirah,
“aku  pun dapat memotong dan membelah kayu. Apakah bedanya seorang laki-laki dengan seorang perempuan? Aku dapat juga mengambil air di sumur itu setiap pagi, aku juga dapat bekerja keras seperti laki-laki. Dan aku kira tenagaku pun cukup kuat meskipun tidak memadai laki-laki yang kuat. Tetapi aku berani beradu tenaga dengan laki-laki yang sedang.”
Sumangkar tersenyum, katanya,
“Aku percaya, Ngger, memang kau adalah seorang gadis yang rajin. Dengan demikian maka tenagamu pun akan berkembang dengan baik. Kau dapat membawa padi setenggok penuh di dalam dukungan, seperti yang dibawa oleh laki-laki di atas kepalanya. Kau memang seorang gadis yang memiliki tenaga yang cukup.”
“Nah, kalau demikian, kenapa aku harus minta bantuan laki-laki hanya sekedar ingin memotong dan membelah kayu?”
“Ya, ya. Aku keliru.”
Mendengar jawaban itu, Sekar Mirah justru terdiam. Ditatapnya mata orang tua yang tersenyum di hadapannya. Di wajah itu dilihatnya goresan-goresan umur yang semakin dalam.
“Nah, teruskanlah, Ngger,” berkata Sumangkar kemudian. Sekar Mirah masih berdiam diri. Tetapi ia menjadi segan untuk meninggalkan pekerjaan itu, karena ia sudah terlanjur membanggakan dirinya.
“Silahkan, Ngger. Aku tidak mengganggu, bukan?”
“O, tidak,” jawab Sekar Mirah ragu. Namun tanpa disadarinya gadis itu kini menatap seonggok kayu di hadapannya. Kayu yang masih belum terpotong pendek dan terbelah. Kayu yang baru saja ditebang dan dipotong-potong panjang, ditimbun di samping kandang.

Kini Sekar Mirah akan memotong-motong kayu itu menjadi pendek dan kemudian membelahnya dengan kapak, supaya kayu itu lekas menjadi kering dan siap untuk dibakar di dapur. Sekali gadis itu menarik nafas dalam-dalam. Ia memang tidak pernah melakukannya. Tetapi ia tidak boleh mundur. Ia sudah terlanjur mengatakan, bahwa ia pun mampu melakukannya. Tidak hanya laki-laki. Karena itu, maka segera diayunkannya parangnya, sekuat tenaga dihantamkannya kepada sepotong kayu yang tertimbun di hadapannya. Terdengar gadis itu berdesis kecil. Begitu kuatnya ia mengayunkan parangnya, sehingga terasa tangannya menjadi sakit. Tetapi ia tidak mau berhenti, sekali lagi parang itu diayunkan, dan sekali lagi ia berdesis. Tetapi parang itu terayun sekali lagi, sekali lagi dan sekali lagi.
Sumangkar yang melihat gadis itu berusaha dengan sekuat-kuat tenaganya memotong kayu itu tersenyum di dalam hatinya.
“Gadis ini memang agak keras kepala. Mirip dengan sifat-sifat kakaknya, Angger Swandaru. Tetapi orang-orang yang demikianlah kadang-kadang yang akan dapat mencapai cita-citanya. Ia tidak gentar menghadapi rintangan dan hambatan. Tenaganya pun ternyata cukup kuat. Sayang ia tidak menggenggam tangkai parang itu dengan baik, sehingga tangannya akan segera terasa sakit, dan bahkan mungkin akan dapat terkilir karenanya.”
Karena itu maka Sumangkar itu  pun segera melangkah maju, perlahan-lahan ia berdesis,
“Luar biasa, Ngger. Luar biasa.”
Sekar Mirah berhenti sejenak. Ketika ia menegakkan punggungnya, terasa punggungnya pun menjadi sakit. Karena itu, maka dengan sebelah tangannya ia menekan lambungnya.
Sumangkar yang melihat gadis itu berusaha dengan sekuat-kuat tenaganya memotong kayu itu tersenyum di dalam hatinya.
“Gadis ini memang agak keras kepala. Mirip dengan sifat-sifat kakaknya, Angger Swandaru. Tetapi orang-orang yang demikianlah kadang-kadang yang akan dapat mencapai cita-citanya.”
“Sakit?” bertanya Sumangkar.
“Tidak, Kiai, aku tidak merasa apa-apa.”
“Bagus,” sahut Sumangkar, “kau memang luar biasa, Ngger. Kayu itu akan segera terpotong.”
Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Ia merasa orang tua itu menyindirnya, karena luka pada kayu itu masih belum senyari.
Sumangkar agaknya dapat menangkap perasaan Sekar Mirah itu, sehingga dengan tergesa-gesa ia menyambung,
“Maksudku, kalau Angger Sekar Mirah meneruskannya, maka kayu itu  pun pasti akan terpotong.”
Sekar Mirah mengangguk perlahan-lahan.
“Tetapi, Mirah,” berkata Sumangkar kemudian,
“agaknya kau kurang baik menggenggam parangmu. Coba, berikanlah parangmu itu.”
Tanpa sesadarnya, maka parang itu diserahkannya kepada Sumangkar.
“Begini,” berkata Sumangkar,
“lihat beginilah seharusnya kau menggenggam parang itu. Ayunkan perlahan-lahan, lurus ke depan supaya parang ini tidak menggeliat. Kau dapat mengayunkan dan membuat luka-luka di kayu ini agak miring, tetapi jangan terlampau banyak. Kemudian dari arah miring yang berlawanan. Kalau kau sudah dapat tepat menjatuhkan parangmu pada luka yang pertama, maka barulah kau ayunkan parang ini semakin keras. Dengan demikian, kau tidak membuat luka di beberapa tempat seperti ini. Ini terjadi karena kau tidak ajeg menggerakkan parangmu dalam ayunan yang ajeg pula. Nah, cobalah.”
Sekar Mirah tanpa sesadarnya memperhatikan dan mendengarkan keterangan Ki Sumangkar itu baik-baik. Diamatinya dengan saksama bagaimana Ki Sumangkar menggenggam tangkai parangnya, kemudian bagaimana ia mengayunkan parang itu.
“Aku juga dapat melakukannya,” tiba-tiba Sekar Mirah berkata.
Sumangkar tersenyum. Diserahkannya parang itu kepada Sekar Mirah sambil berkata, “Cobalah.”
Perlahan-lahan Sekar Mirah mengayunkan parangnya. Satu kali, dua kali, tiga kali. Kini ia sudah, dapat menjatuhkan mata parangnya pada luka yang telah dibuatnya. Tidak bergeser lagi setiap kali. Semakin lama semakin keras, semakin keras.
“Bagus,” desis Ki Sumangkar.
Sekar Mirah tidak menyahut. Tetapi seakan-akan ia tenggelam dalam keasyikan memotong kayu itu.
Sumangkar melihat keringat yang bercucuran di kening gadis itu, maka katanya,
“Sudahlah, Mirah. Kau letih. Biarlah saja dilanjutkan oleh orang lain.”

Tetapi Sekar Mirah seakan-akan tidak mendengar kata-kata itu. Bahkan ia bekerja semakin keras. Ayunannya menjadi semakin cepat dan cepat. Luka pada batang kayu itu dengan cepat bertambah dalam. Percikan tatalnya melontar-lontar ke segenap arah. Bahkan satu dua memercik ke wajah Sekar Mirah sendiri. Tetapi Sekar Mirah sama sekali tidak menghiraukannya.
“Sudahlah, Ngger,” Sumangkar mengulangi, tetapi Sekar Mirah seakan-akan masih belum mendengarnya.
Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya di dalam hati,
“Gadis ini memang keras kepala. Ia sama sekali tidak mau mundur apabila ia ingin berbuat sesuatu.”
Baju Sekar Mirah sudah menjadi basah kuyup oleh keringatnya yang seperti diperas dari dalam tubuhnya. Namun ia sama sekali tidak ingin berhenti bekerja. Semakin lama semakin keras dan cepat.
Sekali lagi Sumangkar menarik nafas dalam? Kini ia melihat Sekar Mirah itu melepaskan parangnya, menekan lambungnya dengan kedua tangannya. Kemudian diusapnya keringat yang menetes dari keningnya dengan lengan bajunya.
“Heh,” Sekar Mirah mengangguk-anggukkan kepalanya, “putus juga akhirnya.”
“Luar biasa, Ngger,” desis Ki Sumangkar.
Sekar Mirah berpaling,
“Apakah yang luar biasa? Bukankah pekerjaan ini pekerjaan yang biasa saja? Tidak ada apa-apa yang lain dari kerja biasa, memotong kayu?”
“Ya, ya,” sahut Sumangkar,
“tetapi bahwa Angger Sekar Mirah yang melakukan itulah yang luar biasa. Bahkan seorang laki-laki  pun mungkin tidak akan dapat selesai secepat itu.”
Sekar Mirah tidak menjawab. Sekali lagi ia mengusap peluhnya dengan lengan bajunya. Perlahan-lahan ia berdesah,
“Ah, lelah juga akhirnya, Kiai.”
Orang tua itu tertawa. Katanya,
“Lelah, tentu lelah. Angger sudah bekerja terlampau keras. Kayu itu sudah terpotong.”
Tertatih-tatih Sekar Mirah itu melangkah dan menjatuhkan dirinya di bebatur kandang. Sekali ia menarik nafas panjang.
“Lenganku menjadi sakit, Kiai, dan telapak tanganku terasa nyeri.” Tetapi segera disambungnya,
“Tidak, Kiai, tidak hanya nyeri, tetapi lihat tanganku menjadi melempung sebesar biji jagung di dua tempat.”
“Angger belum biasa,” jawab Sumangkar,
“tetapi apabila Angger telah biasa, maka tangan itu tidak, akan melempung lagi.”
Sekar Mirah mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Nah, beristirahatlah. Kau pasti lelah sekali.” Sumangkar itu berhenti sejenak. Tanpa dikehendakinya sendiri, diamatinya gadis yang keras hati itu dengan saksama. Tubuhnya yang bulat padat seperti kebanyakan gadis padesan yang bekerja keras setiap hari. Di sawah dan di rumah. Wajahnya yang memancarkan kekerasan hatinya itu dan matanya yang memandang hari depannya dengan penuh keyakinan.
“Sayang ia seorang gadis,” desah orang tua itu di dalam hatinya,
“seandainya ia seorang laki-laki muda, mungkin ia tidak akan kalah dari kakaknya Swandaru.”
Sumangkar itu mengangguk-anggukkan kepalanya tanpa disadarinya. Dan ia berkata pula di dalam hatinya,
“Apakah salahnya, meskipun ia seorang gadis. Mungkin ia akan lebih baik dari seorang anak laki-laki. Sekarang gadis tidak akan kalah dari seorang anak muda apabila cukup terlatih. Seorang gadis mempunyai kelebihannya sendiri disesuaikan dengan kodratnya. Perasaan seorang gadis biasanya lebih tajam dari seorang laki-laki apalagi firasatnya. Mungkin seorang gadis akan lebih cepat dapat menanggapi keadaan dari seorang laki-laki. Tetapi seorang gadis harus dituntun untuk mempergunakan nalar. Tidak hanya sekedar perasaan saja.”
“Angger Sekar Mirah agaknya dapat berlaku demikian. Tenaganya cukup kuat, perasaannya cukup tajam dan nalarnya akan dapat juga berkembang dengan baik.”
Sumangkar tidak dapat lagi mengelakkan diri dari cengkaman perasaannya. Ia merasakan sesuatu yang menarik perhatiannya pada gadis itu. Kekerasan hati, kekuatan jasmaniah dan ketabahannya.
“Aku belum pernah merasa tertarik kepada seseorang seperti kepada gadis ini,” katanya di dalam hati,
“bahkan anak-anak muda yang pernah aku jumpai pun tidak menarik perhatianku. Aku pernah melihat kelebihan Angger Alap-alap Jalatunda dari anak-anak muda yang lain kecuali Angger Tohpati. Bahkan apabila mendapat kesempatan dan tuntunan, Alap-alap Jalatunda tidak akan kalah dari Angger Sanakeling dan bahkan Angger Sidanti. Tetapi watak anak itu sangat menjemukan dan bahkan memuakkan. Ilmuku akan jatuh ke tanah yang subur tetapi sangar. Aku tidak mau.” Sumangkar itu tiba-tiba mengangguk-anggukkan kepalanya,
“Apakah salahnya apabila muridku seorang gadis?”
Tetapi Sumangkar menyimpan perasaan itu di dalam hatinya. Ia ingin mengenal gadis itu lebih banyak. Sifat-sifatnya, tabiatnya dan yang terpenting baginya adalah wataknya. Apakah gadis itu akan dapat menjadi penyambung perguruannya yang baik. Tidak saja dalam olah kanuragan tetapi juga dalam solah tingkah dan tindak tanduk. Sebelum Tohpati mati, maka ia adalah satu-satunya harapan bagi perguruannya. Tetapi ia terseret ke dalam arus yang telah menjerumuskannya ke dalam langkah yang sesat. Sebenarnya sikap Tohpati itu sendiri dapat memberinya kebanggaan. Namun landasan untuk berpijak bagi Macan Kepatihan itu kemudian, yang tidak dapat dibenarkannya. Sumangkar itu tersadar dari angan-angannya ketika ia melihat Sekar Mirah berdiri. Ia mengusap telapak tangannya sambil berdesis,
“Aku harus membuat obat untuk menyembuhkan tanganku yang melempung ini, Kiai.”
“Apakah yang akan kau pergunakan untuk mengobatinya?”
“Kencur.”
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Kelak, kalau Angger telah menjadi biasa, maka tangan Angger itu tidak akan melempung lagi.”
“Aku akan membiasakannya. Setiap hari.”
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya,
“Baiklah. Tetapi hati-hati. Jangan sampai mengenai tangan atau bagian-bagian tubuhmu sendiri.”
“Aku dapat berhati-hati,” sahut Sekar Mirah.

Sumangkar tersenyum. Dibiarkannya gadis itu pergi meninggalkannya. Tetapi kesan yang didapatinya dari gadis itu tidak juga disingkirkannya. Bahkan tumbuhlah keinginan yang mendesak untuk berbuat sesuatu sebelum umurnya menjadi semakin tua, dan ia akan segera menurun dari puncak kemampuannya, sebelum ia berkesempatan menurunkan ilmunya. Sementara itu Sekar Mirah langsung pergi ke dapur untuk mencari beberapa potong kencur untuk mengobati tangannya. Tetapi ia benar-benar bertekad untuk membuat tangannya tidak lagi secengeng itu.
“Tanganku harus menjadi tangan yang kuat,” desisnya di dalam hatinya. Dan ia benar-benar ingin berbuat untuk itu.
Sumangkar terkejut ketika di hari berikutnya, ia melihat Sekar Mirah telah sibuk di samping kandang. Meskipun tangannya masih terasa sakit, tetapi rasa sakit itu sama sekali tidak dihiraukannya. Dengan sepenuh minat ia mengayunkan parang memotong sebatang kayu yang teronggok di samping kandang.
“Apakah lengan Angger sudah tidak sakit lagi?” bertanya Sumangkar.
“Tanganku terlampau cengeng, Kiai,” jawabnya, “aku harus mengajarnya untuk menjadi sedikit kuat.”
Sumangkar tersenyum. Ia menjadi semakin tertarik kepada gadis yang mempunyai tekad sebesar itu. Menurut perhitungan Sumangkar, untuk kepentingan yang lebih besar, maka ia akan tidak segan-segan untuk berbuat jauh lebih banyak lagi.
“Mirah,” berkata orang tua itu,
“sebaiknya Angger jangan memaksakan diri. Aku senang melihat Angger bekerja keras tetapi Angger harus mengingat kekuatan tubuh Angger.”
“Kalau aku memanjakan diri Kiai,” jawab Sekar Mirah,
“maka aku akan menjadi seorang yang akan selalu bergantung kepada orang lain. Tidak Kiai, aku harus berbuat sesuatu supaya aku mampu berdiri tegak seperti orang-orang lain. Seperti Kiai, seperti ayah dan seperti Kakang Swandaru. Aku tidak mau selalu menjadi beban orang lain, seperti apa yang baru saja terjadi. Aku tidak dapat berbuat apa-apa ketika Sidanti mengambil aku dari padepokan ini.”
“Oh,” Sumangkar mengerutkan keningnya.
“Dengan melatih diri mengayunkan parang ini, setidak-tidaknya aku akan dapat berbuat sesuatu, melawan sedapat-dapat, sementara mulutku dapat berteriak memanggil orang lain.”
Sumangkar tertawa,
“Kau memang luar biasa. Seharusnya kau tidak usah menilai diri seperti ayahmu dan kakakmu Swandaru, sebab mereka adalah laki-laki.”
“Apa bedanya?” Sekar Mirah tiba-tiba mengangkat wajahnya dan menengadahkan dadanya,
“apakah perempuan selamanya harus bergantung kepada laki-laki. Tidak Kiai. Ada juga hak bagi seorang perempuan untuk membela diri. Bukankah di dalam ceritera-ceritera dan dongeng-dongeng banyak juga disebutkan bahwa seorang perempuan mampu juga menjadi prajurit?”
“Ya, ya Ngger. Apalagi ceritera pewayangan.”
“Nah, kalau demikian apakah salahnya aku menjadi seorang yang mampu menyelamatkan diriku sendiri seperti laki-laki.”
“Ya. ya Ngger,” sahut Sumangkar,
“tetapi itu tidak terlampau mudah. Tenaga seorang laki-laki menurut kodratnya berbeda dengan seorang perempuan. Seorang pemuda akan berbeda dengan seorang gadis.”
“Aku tahu, Kiai, tetapi seorang perempuan yang lemah dan sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa, akan jauh lebih lemah dari seorang perempuan yang lemah tetapi berusaha untuk menemukan kekuatan di dalam kelemahanya.”
“Oh,” Sumangkar mengerutkan keningnya,
“pendapat Angger mengagumkan.”
“Tidak mengagumkan, Kiai. Pendapat itu lahir karena pengalaman yang pahit yang pernah aku alami. Aku tidak mau pengalaman semacam itu terulang. Aku senang seandainya aku dapat sedikit memiliki kekuatan untuk menjaga diri. Aku tidak mau menjadi seorang yang menyerah kepada kelemahannya. Aku harus menemukan kekuatan.”
Sumangkar tidak segera menjawab. Tetapi ia melihat tekad yang menyala di wajah gadis itu.
“Kiai, sejak kecil aku mengagumi sifat-sifat jantan. Aku kagum melihat laki-laki memancarkan kelaki-lakiannya. Tidak seperti laki-laki yang cengeng, yang ragu-ragu dan kehilangan kepercayaan diri.”

Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia menjadi semakin mengenal watak dan sifat-sifat dari gadis puteri Ki Demang Sangkal Putung itu. Keras hati seperti kakaknya, Swandaru. Dengan demikian, maka ia menjadi semakin tertarik kepadanya. Seolah-olah orang tua itu menemukan tanah yang subur terbentang di hadapannya setelah bertahun-tahun ia kehilangan sawah garapannya.
“Angger,” orang tua itu kemudian berkata,
“Angger benar-benar membuat aku heran. Meskipun Angger selama ini seolah-olah tidak lepas dari sisi ayah dan ibu, tetapi wawasan Angger Sekar Mirah ternyata cukup jauh. Pengalaman Angger yang baru saja terjadi itu masih belum cukup untuk membuat Angger Sekar Mirah menjadi berwawasan sedemikian jauhnya, seandainya di dalam diri Angger sendiri tidak tersimpan benih-benih yang baik seperti yang tersimpan di dalam diri Angger Swandaru. Pengalaman yang terjadi atas Angger Sekar Mirah dapat menumbuhkan bermacam-macam akibat. Bagi orang lain, maka akibatnya akan sangat berbeda. Seseorang dapat menjadi semakin berkecil hati. Semakin ketakutan dan kehilangan kepercayaan. Bahkan pada orang lain lagi dapat menumbuhkan keputus-asaan dan rendah diri. Tetapi sebaliknya kau menjadi semakin teguh seperti karang yang setiap hari dihantam oleh ombak.”
“Oh, sejak kemarin Kiai selalu memuji. Mudah-mudahanlah demikian hendaknya.”
“Aku tidak memuji, Mirah. Aku mengatakan sebenarnya,” sahut Ki Sumangkar,
“tetapi sadarilah. Bahwa sekedar menggenggam tangkai parang itu masih jauh daripada cukup untuk menjaga diri. Menjadikan telapak tanganmu bertambah kebal itu pun bukan jalan dan cara yang cukup.”
Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Jawabnya,
“Ya, aku tahu, Kai. Aku tahu bahwa hanya dengan demikian, maka pasti tidak akan berarti apa-apa bagi keselamatan diri. Tetapi setidak-tidaknya aku sudah mulai untuk suatu tujuan yang lebih jauh.”
“Apakah tujuan itu?”
Sekar Mirah terdiam. Dipandanginya wajah Sumangkar yang telah digoresi oleh garis-garis tahun. Orang ini tampaknya menjadi semakin tua. Dan tiba-tiba saja terungkat di dalam hati gadis itu, bahwa orang tua ini adalah seorang yang memiliki kemampuan seperti Kiai Gringsing, seperti Ki Tambak Wedi, seperti Ki Patih Mantahun menurut pendengarannya, seperti Ki Gede Pemanahan.
Dada Sekar Mirah menjadi berdebar-debar. Ia melihat ujud yang sederhana. Seperti Ki Tanu Metir. Tetapi pada kesederhanaan itu memancar kelebihan-kelebihan yang dahsyat seperti Ki Tanu Metir pula. Katanya di dalam hati.
“Apakah aku dapat memperoleh sesuatu dari orang tua itu?”
Dalam keragu-raguannya ia mendengar Sumangkar itu berkata,
“Mirah, coba, biarlah aku yang memotong kayu itu.”
Sekar Mirah seakan-akan tersadar dari sebuah mimpi yang dapat menumbuhkan harapan di dadanya. Dengan terbata-bata ia menjawab,
“Tidak, Kiai. Tidak usah. Biarlah aku saja yang menyelesaikannya. Seandainya tanganku tidak mampu karena sakit, maka biarlah orang-orangku yang menyelesaikannya.”
Sumangkar tersenyum. “Berikanlah parang itu.”
Sekar Mirah menjadi seakan-akan kehilangan kesadarannya ketika Sumangkar maju beberapa langkah. Mengajukan tangannya dan mengambil parang di tangan Sekar Mirah.
“Lihatlah, Ngger, beginilah seharusnya Angger memotong kayu,” berkata orang tua itu sambil melangkah mendekati sebatang kayu yang lain terbujur di sisi kandang. Kayu itu bukan sekedar sepotong dahan atau cabang yang sedang. Tetapi kayu itu adalah sepotong kayu yang cukup besar.
“Apakah Kiai akan memotong kayu itu?” bertanya Sekar Mirah.
“Ya,” jawab Sumangkar.
“Hanya dengan parang?”
“Ya.”
“Seharusnya dipergunakan kapak. Dan seharusnya bukan Kiai-lah yang melakukannya.”
Sumangkar tersenyum. Kini ia telah berdiri di samping batang kayu yang menelentang itu. Dipandangnya batang kayu itu sejenak. Kemudian perlahan-lahan ia berjongkok. Ia harus membuat gadis Sangkal Putung itu menjadi kagum. Karena itu kali ini ia tidak sekedar memberikan contoh, bagaimanakah caranya menggenggam tangkai parang seperti kemarin. Tidak cuma memberi contoh bagaimanakah parang itu harus diayunkan. Tetapi kali ini ia akan memberikan contoh yang lain, contoh yang bukan sekedar tenaga lahiriahnya. Seperti Kiai Gringsing mampu melecutkan cambuknya dan menimbulkan ledakan yang dahsyat, maka orang tua ini  pun mampu menyalurkan kekuatan-kekuatan yang tidak tampak pada gerak dan tingkah laku sehari-hari.
Perlahan-lahan Sumangkar mengangkat parangnya. Di pusatkannya segenap kekuatannya. Ketika perlahan-lahan pula parang itu terangkat kemudian terayun dengan derasnya, maka Sekar Mirah seolah-olah tidak dapat bernafas lagi. Dadanya seakan-akan berhenti bekerja dan segenap perhatiannya tertumpah kepada mata parang Ki Sumangkar. Bahkan jantungnya pun terasa berhenti berdetak. Sejenak kemudian, Sekar Mirah berdesis menyaksikan parang itu membenam ke dalam batang kayu itu. Membenam dalam-dalam. Seperti membenarkannya ke dalam sebatang pokok pisang. Terdengar mulut gadis itu sekali lagi berdesis. Tetapi kedua tangannya kemudian menutup mulutnya yang ternganga. Ia tidak percaya kepada penglihatannya. Benarkah parang itu membenam hampir separo ke dalam batang sebesar itu?
Sejenak ia melihat Sumangkar mencoba menarik parangnya yang membenam itu. Tetapi ternyata parang itu tidak cukup kuat. Parang itu adalah parang pemotong kayu. Karena itu maka parang itu tidak dapat mengimbangi kekuatan Sumangkar yang tercurah.


Halaman 1 2 3


<<< Jilid 028                                                                                                       Jilid 030 >>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar