Ternyata Ki Tanu Metir tidak saja sekedar meyakinkan dirinya bahwa Ki Tambak Wedi telah tidak ada di Sangkal Putung, tetapi yang lebih panting baginya adalah membentuk Agung Sedayu dan Swandaru, sehingga kedua anak-anak muda itu benar-benar mencerminkan perguruannya. Perlahan-lahan Kiai Gringsing mencoba untuk membiasakan kedua anak-anak muda itu mempergunakan senjata sejenis senjatanya. Tetapi Ki Tanu Metir tidak ingin melepas pedang-pedang itu dari lambung murid-muridnya. Bahkan Kiai Gringsing ingin murid-muridnya dapat mempergunakan senjata-senjata itu berpasangan. Itulah sebabnya maka setiap malam Swandaru dan Agung Sedayu pasti berada di sekitar Gunung Gowok bersama gurunya, Ki Tanu Metir. Bahkan sekali-sekali bersama Sumangkar dan Widura. Mereka ingin juga menyaksikan kemajuan kedua anak-anak muda itu. Ingin melihat keduanya tidak saja memutar pedangnya, tetapi sekali-sekali melentingkan cambuk yang berpangkal pendek tetapi berjuntai cukup panjang, dan sekali-sekali mereka bersenjatakan sebuah cemeti yang lentur.
Sebagai
seorang paman Widura berbangga melihat kemajuan Agung Sedayu. Kadang-kadang ia
menahan tertawanya seorang diri ketika ia tanpa sesadarnya mengenangkan
masa-masa Agung Sedayu untuk pertama kalinya datang ke kademangan ini.
Kedatangannya benar-benar telah mengejutkannya. Bagaimana mungkin Agung Sedayu
seorang diri berani menempuh perjalanan di malam hari dari Jati Anom sampai ke
Sangkal Putung.
Namun di
hari-hari kemudian, dikenalnya Agung Sedayu itu seperti pada kanak-kanaknya.
Penakut yang tidak tanggung-tanggung. Ia takut terhadap apa saja. Terhadap
seseorang, terhadap peristiwa-peristiwa yang dianggapnya terlampau keras dan
terhadap gelap malam. Semuanya itu membuatnya menjadi seorang anak muda yang
lain dari anak-anak muda sebayanya.
“Anak itu
hampir membeku dibentak-bentak oleh Sidanti,” desis Widura di dalam hatinya.
Tetapi Widura
tidak pula dapat menyembunyikan kekagumannya atas kemenakannya itu. Meskipun ia
tidak berani berbuat sesuatu, meskipun ia tidak mampu untuk berbuat banyak,
namun ia dapat juga mempelajari ilmu tata bela diri. Ternyata otaknya cukup
cerdas, dan cukup- memiliki kemampuan untuk menerimanya. Bahkan yang tidak
disangka-sangkanya, Agung Sedayu mampu menyusun unsur-unsur tata bela diri di
atas rontal. Akhirnya dinding yang mengungkungnya itu mampu dipecahkannya.
Seperti telur yang sedang menetas, maka meledaklah dinding yang selama ini
mengurungnya di dalam suasana ketakutan. Seperti anak ayam yang merangkak ke
luar dari pecahan telurnya, Agung Sedayu melihat keadaan di sekitarnya dalam
penilaian yang wajar. Sehingga akhirnya Agung Sedayu itu seakan-akan dilahirkan
kembali. Lahirlah seorang Agung Sedayu yang sekarang ini. Widura menarik nafas
panjang. Ia terkejut ketika ia mendengar cambuk yang meledak berturut-turut
beberapa kali. Ketika ia mengangkat wajahnya, dilihatnya Agung Sedayu bersama
Swandaru sedang berlatih melawan gurunya. Widura mengangguk-anggukkan kepalanya
melihat kemanakannya mampu meloncat secepat burung sikatan, tetapi ia kagum
juga melihat tenaga Swandaru sekuat tenaga seekor gajah. Kedua anak-anak muda
itu kini tidak saja bersenjata pedang, tetapi mereka menggenggam cambuk pula, justru
di tangan kanan dan pedang-pedang mereka di tangan kiri. Pasangan kedua senjata
itu ternyata cukup menggetarkan. Sekali-sekali terdengar cambuk itu meledak,
namun sesaat kemudian maka pedang-pedang mereka telah terjulur lurus langsung
mengarah ke dada lawan.
“Hem,” Widura
menarik nafas dalam-dalam. Katanya di dalam hatinya,
“Aku sudah
tidak akan dapat menyamai anak-anak itu, Agung Sedayu dan Swandaru memiliki
kekhususannya masing-masing, Agung Sedayu menempatkan kekuatan geraknya pada
kelincahan dan ketangkasannya, sedang Swandaru mempercayakan kepada tenaganya
yang bukan main besarnya. Namun demikian Swandaru yang gemuk itu mampu juga
bergerak cepat, meskipun memiliki beberapa perbedaan yang khusus dengan
kecepatan gerak Agung Sedayu.”
Namun dalam
pengamatan Widura, meskipun mereka berguru kepada seorang guru, tetapi
terpengaruh oleh bekal, darah yang mengalir di dalam tubuh mereka, ternyata
Agung Sedayu masih mempunyai beberapa kelebihan dari saudara muda
seperguruannya. Meskipun agaknya Kiai Gringsing tidak membedakan keduanya,
tetapi perkembangan mereka sendiri serta bekal yang mereka bawa sejak mereka
berguru kepada orang tua itulah yang telah menentukan. Demikianlah yang terjadi
beberapa hari kemudian. Ketekunan Swandaru dan Agung Sedayu ternyata telah
banyak bermanfaat bagi mereka. Hari-hari yang pendek itu telah mereka
pergunakan sebaik-baiknya. Baik oleh Swandaru dan Agung Sedayu sendiri, maupun
oleh gurunya. Beberapa unsur baru dan bahkan yang masih dalam penyusunan telah
dicobakannya pula.
Karena di
hari-hari itu tidak ada kerja yang lain daripada memperdalam ilmunya, maka di
saat-saat yang pendek itu, mereka telah mendapatkan beberapa kemajuan yang
dapat memberi kebanggaan kepada mereka. Menambah ketabahan hati seandainya
mereka bertemu dengan bahaya di sepanjang jalan. Ki Tanu Metir pun merasa, bahwa kini sudah sampai saatnya
kedua muridnya itu dibawanya untuk mengenal perjalanan. Tidak seperti anak-anak
nakal yang berjalan sekehendak hati dan berbuat tanpa kendali, tetapi
perjalanan itu akan diawasinya sendiri.
“Kita sudah
cukup lama meyakinkan diri kita, bahwa agaknya Ki Tambak Wedi telah benar-benar
tidak berada di sekitar daerah ini, Ngger,” berkata Ki Tanu Metir kepada kedua
muridnya.
“Karena itu,
maka aku kira, kita sudah sampai waktunya untuk mencoba sebuah perjalanan.
Perjalanan yang akan banyak memberikan pengalaman bagi kalian.”
Hati kedua
muridnya itu tiba-tiba melonjak. Saat-saat itulah yang mereka tunggu. Sebuah
perjalanan. Bukan sekedar sebuah perjalanan, tetapi mereka ingin juga mengikuti
jejak perjalanan Ki Tambak Wedi. Mereka ingin tahu apakah yang sudah
dilakukannya di sepanjang jalan dari Sangkal Putung sampai ke bukit Menoreh.
“Kita akan
berjalan ke Barat,” berkata Ki Tanu Metir,
“melintasi
Hutan Tambak Baya dan Mentaok yang lebat dan berbahaya. Tetapi yang lebih
berbahaya lagi adalah justru apabila kita telah lepas dari hutan-hutan itu dan
menginjakkan kaki kita di Tanah Perdikan Menoreh.”
Agung Sedayu
dan Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka menyadari sepenuhnya apa
yang dikatakan gurunya. Betapa besar bahaya yang akan mereka hadapi di hutan
Mentaok, namun menurut penilaian mereka maka bahaya itu akan dapat mereka
atasi. Seandainya di hutan itu masih juga ada penyamun-penyamun karena Daruka
tidak menepati janjinya, maka penyamun-penyamun itu pun menurut perhitungan
lahiriah, pasti akan dapat dilawannya. Seandainya mereka bertemu dengan
binatang-binatang buas pun, maka mereka tidak perlu menjadi gentar.
Tetapi apabila
mereka kemudian keluar dari hutan yang lebat itu dan kemudian menginjakkan
kaki-kaki mereka di telatah Menoreh, maka yang dihadapinya adalah Ki Tambak
Wedi, Sidanti, dan Argajaya. Bahkan kemungkinan mereka akan berhadapan juga
dengan Argapati yang bergelar Ki Gede Menoreh. Lalu bagaimanakah dengan pasukan-pasukan
mereka, Pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang perkasa?
Bagaimanapun
juga, tetapi dada anak-anak muda itu menjadi berdebar-debar juga.
“Tetapi Ki
Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya bertiga berani juga berada di sekitar
Sangkal Putung,” desis Agung Sedayu di dalam hatinya.
“Di Menoreh
kita akan berbuat serupa dengan mereka di sini. Sudah tentu tidak dengan
kelicikan-kelicikannya yang tidak berperikemanusiaan.”
Kedua anak
muda itu kemudian mendengar gurunya berkata,
“Kita
tetapkan, kapankah kita berangkat?”
“Terserahlah
kepada Kiai,” jawab Agung Sedayu.
“Kalian perlu
menyiapkan diri.”
“Apakah yang
harus kami persiapkan?” bertanya Swandaru.
“Diri kalian
sendiri. Kalian harus mengatur perasaan dan nalar. Mempersiapkan segala
perhitungan yang mapan Kalian harus dapat membayangkan apa saja yang kira-kira
terjadi di perjalanan supaya kalian tidak kehilangan akal apabila tiba-tiba
saja kalian menghadapi bahaya yang cukup besar.”
“Aku sudah
siap sejak lama, Guru,” sahut Swandaru.
“Perjalanan
ini bukan perjalanan tamasya,” berkata gurunya,
“tetapi sebuah
perjalanan yang berbahaya. Kau menangkap rencana perjalanan ini dengan sudut
pandangan yang menyebelah. Kau dilanda oleh kegirangan hati seorang anak muda.
Kau mungkin terlalu bernafsu ingin melihat daerah-daerah yang selama ini belum
kalian lihat. Kau mungkin terlalu bernafsu untuk membuat perhitungan dengan Ki
Tambak Wedi. Tetapi kau tidak memperhitungkan bahaya seperti yang telah aku
katakan. Karena itu, siapkan dirimu dalam kesungguhan.”
Kedua
anak-anak muda itu sekali lagi mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Yang
terpenting dari semuanya dalam mempersiapkan hati dan nalar adalah, bahwa
perjalanan ini jangan dikotori oleh perasaan-perasaan yang melonjak-lonjak.
Jangan diburu oleh dendam. Tetapi bekalilah dengan maksud yang baik. Kalau
kalian ingin menambah pengalaman, maka pengalaman itu akan kalian trapkan dalam
landasan kebesaran jiwa. Nah, sekarang bertanyalah kepada diri kalian sendiri,
apakah sebenarnya keinginan yang mendorong kalian untuk melakukan sebuah perjalanan,
dan justru kalian merasa senang apabila perjalanan itu dilakukan ke Barat? Ke
Menoreh?”
Agung Sedayu
dan Swandaru tidak menjawab. Tetapi mereka merasakan sentuhan langsung di dalam
hati. Bahkan pertanyaan itu serasa bergulung-gulung bergema di dalam diri
mereka, “Ya, kenapa ke Menoreh?”
Tetapi mereka
tidak dapat berbohong kepada diri sendiri. Sebenarnyalah bahwa mereka telah
didorong oleh rasa dendam mereka terhadap Sidanti. Dendam yang
bertimbun-timbun. Sejak Sidanti berada di Sangkal Putung. Baik Agung Swandaru
maupun Swandaru mempunyai persoalannya sendiri-sendiri. Beberapa kali Swandaru
terpaksa menahan sakit dan malu karena Sidanti telah beberapa kali menampar
pipinya yang gembung itu. Sedangkan Agung Sedayu mempunyai beberapa masalah
yang tidak juga dapat dilupakan. Bahkan Sidanti telah hampir berhasil membunuh
Untara, kakaknya satu-satunya. yang kemudian mencapai puncaknya dengan
hilangnya Sekar Mirah. Kedua anak muda itu bersama-sama merasa kehilangan.
“Angger
berdua,” berkata Ki Tanu Metir kemudian,
“meskipun
kalian tidak menjawab, tetapi aku dapat ikut merasakannya, betapa kalian
menyimpan persoalan dengan Angger Sidanti.”
Agung Sedayu
dan Swandaru masih saja berdiam diri.
“Tetapi bukan
itulah sebenarnya yang memaksa aku membawa kalian untuk pergi ke Menoreh.
Seandainya demikian, maka aku akan membawa kalian menunggu saja di Sangkal
Putung atau di Jati Anom. Suatu ketika Sidanti pasti akan datang lagi.” Orang
tua itu terdiam sejenak, kemudian
“Tetapi, Ngger. Justru aku mengira bahwa Angger
Sidanti itu akan kembali, maka aku berhasrat untuk pergi ke Menoreh. Kecuali
dengan demikian Angger berdua mendapat suatu pengalaman yang baik di sepanjang
jalan, pengalaman untuk berbuat baik apabila diperlukan di sepanjang
perjalanan, pengalaman untuk menahan diri dan menahan nafsu yang mempunyai
berbagai macam bentuk, juga untuk mendapat pengalaman menahan diri dalam
perhitungan-perhitungan yang cermat. Menilai persoalan sesuai dengan
kepentingannya. Apakah Angger mengetahui maksudku?”
Agung Sedayu
dan Swandaru masih saja berdiam diri. Seolah-olah mereka telah membeku meskipun
mata mereka memandangi wajah gurunya.
“Angger,” berkata
orang tua itu,
“kalian harus
dapat menimbang. Kita harus melihat persoalan kita, dan yang lebih besar
daripada itu adalah persoalan Pajang dan Menoreh itu sendiri. Kita harus dapat
mengetahui sikap Argapati yang bergelar Ki Gede Menoreh. Kita harus dapat
menilai dengan cermat. Seandainya ayah Sidanti itu bersikap lain, maka
kita pun harus bersikap lain. Maksudku,
seandainya Argapati tidak sependapat dengan Sidanti. Tetapi apabila Menoreh
bulat-bulat melawan Pajang, maka kita
pun akan menentukan sikap kita. Ingat, jangan diburu hanya oleh
kepentingan sendiri.”
Agung Sedayu
dan Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini ia tahu benar maksud gurunya.
Gurunya ingin mengatakan, bahwa yang mendorong mereka ke Menoreh, bukanlah
kepentingan pribadi mereka, tetapi terutama adalah kepentingan Pajang dan
Menoreh itu sendiri.
Meskipun tidak
dikatakan oleh orang tua itu, namun tampak pada nada kata-katanya, bahwa Ki
Tanu Metir benar-benar mencemaskan kemungkinan yang paling jelek yang dapat
terjadi antara Pajang dan Menoreh.
“Kita sudah
cukup parah,” desis orang tua itu kemudian,
“apalagi di
daerah Selatan ini. Pertentangan antara Jipang dan Pajang yang berkepanjangan,
orang-orang di antara mereka yang keras kepala tanpa mau melihat kenyataan,
kemudian munculnya orang-orang yang memiliki nafsu pribadi yang
berlebih-lebihan seperti Sidanti dan gurunya Ki Tambak Wedi, telah banyak merampas
tenaga, pikiran, dan bahkan nyawa. Apakah sekarang kita masih belum sampai
saatnya untuk berbuat lain daripada berkelahi di antara kita? Seandainya Ki
Gede Menoreh nanti benar-benar keblinger, menuruti nafsu puteranya itu, maka
kita harus berprihatin. Karena itu, Ngger, seandainya kita menjumpai Ki
Argapati dalam kebimbangan, jangan mendorongnya untuk memilih jalan yang
menyedihkan itu. Seandainya di dalam kebimbangannya, kalian bertindak menurut
nafsu pribadi, untuk kepuasan sendiri, maka berarti kalian telah menjerumuskan
Ki Argapati ke dalam bencana. Bahkan seluruh Pajang mungkin akan terkena
sentuhannya.”
Agung Sedayu
dan Swandaru mengangkat wajahnya. Tampaklah wajah itu menjadi berkerut-merut.
Agaknya mereka tidak begitu jelas akan maksud kata-kata gurunya.
“Angger,”
sambung Ki Tanu Metir,
“jelasnya
adalah, apabila Ki Argapati sedang mempertimbangkan tindakan-tindakan yang
diambilnya, maka kalian jangan melepaskan dendam kalian. Baik terhadap Sidanti
maupun terhadap Argajaya. Seandainya kebimbangan Argapati itu semisal neraca
yang seimbang, di antara sikapnya yang jujur menghadapi kenyataan dan harga
dirinya sebagai seorang ayah, maka sentuhan sedikit saja akan menyebabkan
neraca itu berguncang. Sudah tentu guncangan yang terbesar kemungkinannya adalah,
Argapati akan bersikap sebagai seorang ayah, karena kita sudah melanggar harga
dirinya pula, hadir di Menoreh tanpa seijinnya. Tetapi kalau kita biarkan saja
ia berada dalam pertimbangannya, mungkin ia akan bersikap lain. Mungkin
pikirannya yang jernih akan menang. Apabila demikian, maka kita tidak akan
berbuat apa-apa. Kita serahkan persoalannya kepada Argapati. Mungkin dengan
demikian kita tidak mendapat kepuasan pribadi karena kita tidak dapat bertindak
langsung terhadap orang-orang yang kita ingini. Tetapi itu adalah tindakan yang
paling baik bagi Pajang dan juga bagi Menoreh.”
Terasa desir
yang lembut menyentuh jantung kedua anak muda itu. Tetapi mereka tahu maksud
gurunya. Meskipun demikian darah muda yang mengalir di dalam tubuh mereka
serasa bergolak. Apabila gurunya menghendaki demikian, maka seolah-olah
perjalanan mereka ke Menoreh tidak lebih dari perjalanan yang sia-sia bagi diri
mereka sendiri. Mereka tidak boleh apa-apa. Mereka akan menjadi seorang
perantau yang sekedar ingin melihat sebuah pegunungan yang membujur ke Selatan
di sebelah Alas Mentaok. Tidak lebih dari itu. Mungkin mereka akan melihat dan
mendengar ceritera tentang sikap Ki Argapati.
Ki Tanu Metir
melihat kekecewaan di dalam sorot mata kedua muridnya. Karena itu maka ia pun berkata,
“Tetapi jangan
menganggap bahwa perjalanan ini tidak ada artinya. Seandainya, ya seandainya Ki
Argapati mendengarkan ceritera Sidanti, kemudian menyiapkan pasukan segelar
sepapan, nah, kalian akan berjasa terhadap Pajang.”
“Apakah kita
akan melawan pasukan segelar sepapan yang dipimpin oleh Ki Argapati yang
bergelar Ki Gede Menoreh dan Ki Tambak Wedi itu?” bertanya Swandaru dalam
kekecewaannya.
Ki Tanu Metir
yang telah mendalami jiwa murid-muridnya itu tersenyum. Jawabnya,
“Sudah tentu
tidak, Ngger. Tetapi bukankah dengan demikian kita akan dapat melaporkannya
kepada pimpinan Prajurit Pajang?”
“Dan kita
tidak dapat berbuat apa-apa pula? Kita hanya sekedar melaporkannya. Kemudian
datang pasukan Pajang yang lengkap di bawah pimpinan senapati-senapati tertingginya,
mungkin Gede Pemanahan sendiri, mungkin Ki Penjawi atau bahkan Ki Patih
Mancanegara, atau setidak-tidaknya Kakang Untara didampingi oleh Paman
Sumangkar,” sahut Swandaru.
Sekali lagi Ki
Tanu Metir tersenyum. Katanya,
“Kita dapat
berbuat banyak. Tetapi ingat, bukan untuk kepuasan pribadi. Kita dapat berbuat
seperti apa yang kita lakukan di Tambak Wedi. Memberikan jasa-jasa baik
terhadap pasukan Pajang.”
Kedua murid
Kiai Gringsing itu terdiam. Sadarlah mereka kini, bahwa perjalanan ini sama
sekali bukan perjalanan seperti yang mereka inginkan selama ini. Mereka ingin
pergi ke Menoreh, menemui Sidanti dan Argajaya untuk membuat perhitungan.
Mencari cara untuk dapat melepaskan kemarahan yang membakar hati. Perang
tanding. Tetapi yang terjadi akan jauh berbeda. Meskipun demikian, mereka dapat
mengerti maksud gurunya. Nalar mereka dapat menerima. Bahkan mereka tidak dapat
berpikir lain daripada untuk kepentingan Pajang itu. Tetapi perasaan merekalah
yang kadang-kadang masih terasa bergolak di dalam dada mereka. Perasaan yang
mereka tekan sedapat-dapat menurut pertimbangan nalar. Namun, Ki Tanu
Metir pun menyadari, apakah pada suatu
saat perasaan itu tidak terdorong keluar tanpa mereka sadari? Apakah mereka
pada suatu saat tidak diledakkan oleh perasaan yang justru kini sedang mereka
tekan kuat-kuat?
“Mudah-mudahan
aku dapat mengendalikan anak-anak ini,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya.
Tetapi yang dikatakan adalah,
“Baiklah kita
tentukan, besok lusa kita berangkat.”
Tiba-tiba
kedua anak-anak muda murid Kiai Gringsing itu merasa perjalanan yang akan
mereka lakukan terlampau hambar. Tidak ada lagi dorongan yang melonjak-lonjak
di dalam dada mereka. Perjalanan yang akan mereka tempuh bagi mereka kini
hanyalah sebuah perjalanan biasa. Perjalanan seperti yang pernah mereka lakukan
semasa kanak-kanak mereka. Pergi ke kademangan lain bersama kakek untuk melihat
sanak keluarga yang sudah lama tidak berjumpa. Bukan lagi perjalanan dalam
gairah darah remaja mereka. Meskipun demikian mereka ingin juga mempergunakan
kesempatan itu. Mungkin mereka dapat melihat Alas Mentaok lebih banyak dari
yang pernah mereka lakukan. Mungkin mereka akan mendapat pengalaman-pengalaman
lain di sepanjang perjalanan, dalam perburuan binatang di dalam hutan.
Kiai Gringsing
yang tua itu dapat melihat gejolak di dalam dada murid-muridnya. Tetapi ia
tidak memberikan tanggapan apa pun. Dibiarkannya muridnya untuk melihat sendiri
dan mengalaminya, apa yang akan mereka jumpai di sepanjang jalan. Mereka akan
segera meyakini bahwa perjalanan ini bukanlah sebuah tamasya yang sejuk.
Daerah-daerah yang akan mereka lewati akan memberitahukan kepada mereka, bahwa
mereka tidak boleh tidur di sepanjang langkah mereka.
“Nah,” berkata
Kiai Gringsing itu kemudian,
“sejak kini
kalian harus mempersiapkan diri. Kalian tidak perlu membuat ceritera tentang
perjalanan ini kepada kawan-kawan kalian. Besok, sehari kalian masih berada di
kademangan ini. Tetapi fajar berikutnya, kalian harus sudah berada di
perjalanan. Supaya perjalananmu tidak terganggu, maka senjata-senjata yang
harus kalian bawa pun harus kalian sesuaikan dengan keadaan. Kalian tidak perlu
membawa pedang-pedang kalian yang panjang itu. Kalian dapat membawa keris-keris
sipat andel yang dapat kalian sembunyikan di bawah baju, dan senjata yang memberikan
kepercayaan kepada diri, cambuk yang dapat dililitkan seperti sehelai ikat
pinggang.”
Kedua muridnya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Agung Sedayu memang mempunyai sebilah keris
peninggalan yang dibawanya dari Jati Anom dan Swandaru pun memilikinya pula
dari ayahnya.
“Sekarang,
kalian dapat mulai dengan persiapan-persiapan kalian,” berkata gurunya pula.
“Kami sudah
siap, Guru,” jawab Swandaru. “Seandainya besok
pun kami sudah siap pula untuk berangkat.”
“Kalian masih
harus mencuci pakaian. Selembar dua lembar kalian harus membawa ganti pakaian.”
“Apakah itu
perlu bagi seorang perantau?” bertanya Swandaru.
“Perlu, Ngger.
Seandainya kau kedinginan di jalan, maka kau akan mempunyai selimut. Seandainya
tempatmu bermalam penuh dengan nyamuk, maka kau dapat menutup seluruh tubuhmu.
Apalagi apabila pakaian yang kau pakai itu sobek, kau akan mempunyai ganti.”
“Kita akan
berhati-hati, Kiai. Aku kira aku tidak akan berjalan menerobos semak-semak
duri.”
“Memang, kita
dapat berhati-hati. Tetapi bagaimanakah kalau baju kita itu sobek bukan karena
duri, bukan karena ranting-ranting yang patah dan bukan pula karena umurnya
yang tua?”
“Lalu kenapa
guru?” bertanya Agung Sedayu.
“Memang
mungkin baju-baju kita sobek karena duri, ranting-ranting dan karena
ketuaannya. Tetapi yang perlu kau sadari bahwa bajumu itu akan dapat sobek
karena ujung pedang. Bahkan bukan saja bajumu, tetapi mungkin kulitmu.”
Kedua muridnya
mengerutkan keningnya. Hampir bersamaan mereka bertanya,
“Pedang siapa?
Bukankah kita hanya sekedar berjalan-jalan di telatah Menoreh dan tidak berbuat
apa-apa.”
“Memang kita
tidak berbuat apa-apa. Tetapi orang lain dapat berbuat apa-apa atas kita. Dan
apakah kita hanya membiarkan saja apa yang terjadi itu?”
“Oh,” kedua
muridnya menarik nafas dalam-dalam.
“Ya,
demikianlah,” gumam mereka di dalam hati, “memang hal-hal yang serupa itu akan
dapat terjadi.”
Maka
mereka pun kemudian mempersiapkan diri
mereka. Menyiapkan sepengadeg pakaian yang akan mereka bawa dalam perjalanan.
Mereka menyiapkan senjata-senjata khusus mereka menurut nasehat gurunya. Sebuah
cambuk bertangkai pendek dan berjuntai panjang yang mereka buat dari janget
berangkap tiga ganda. Sebagai senjata di dalam perkelahian yang sebenarnya,
maka senjata itu dilengkapi dengan karah-karah baja. Tidak hanya di tangkainya,
tetapi hampir di setiap cengkang, janget-janget itu terikat oleh kepingan baja
yang tipis. Dalam keadaan yang memaksa, maka tangkai yang pendek bersalutkan
kepingan baja itu akan mampu membentur senjata-senjata tajam. Dan dalam keadaan
yang khusus pula, maka mereka akan dapat mempergunakan cambuk-cambuk itu tidak
seperti yang lazim. Mereka dapat memegang senjata mereka pada ujung jangetnya,
dan tangkai yang pendek itu akan menjadi sebuah penggada yang bertangkai
panjang dan lemas.
Kiai Gringsing
telah mengajari murid-muridnya untuk mempergunakan senjata-senjata itu dalam
segala keadaan dan kemungkinan. Bahkan mereka mampu mempergunakan dalam
rangkapannya. Cambuk di tangan kanan dan keris-keris mereka di tangan kiri.
Dengan senjata itu, maka semua macam senjata akan dapat mereka hadapi. Bahkan
mereka yang berpedang di tangan kanan dan berperisai baja di tangan kiri.
Meskipun senjata mereka hanya sekedar sehelai cambuk, tetapi saluran kekuatan
yang memancar dari senjata itu, akan mampu merenggut senjata-senjata lawan dan
bahkan mematahkan tulang-tulang leher. Apalagi apabila senjata itu berada di
tangan Kiai Gringsing sendiri.
Meskipun demikian
Kiai Gringsing itu berkata,
“Aku mengharap
bahwa kalian tidak akan pernah mempergunakan senjata-senjata itu. Mudah-mudahan
yang terjadi adalah perlakuan yang baik di antara sesama. Juga apa yang akan
kita alami dan kita perbuat. Betapa dahsyatnya senjata macam apa pun, tetapi
kedahsyatannya hanyalah terbatas. Ingat, hanya terbatas. Terbatas sekali.”
Agung Sedayu
dan Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya, meskipun nasehat gurunya itu
terdengar janggal di telinga mereka. Mereka mempersiapkan diri dengan segala
perlengkapan. Tetapi gurunya mengatakan kepada mereka, bahwa mudah-mudahan
mereka tidak perlu mempergunakan senjata itu. Tetapi kedua anak-anak muda yang
sudah cukup lama bergaul dengan Kiai Gringsing itu segera menangkap maksudnya.
Kiai Gringsing lebih senang apabila tidak perlu mempergunakan kekerasan apa pun
apabila benar-benar tidak dipaksa oleh keadaan. Sedikit banyak, sifat itu telah
mempengaruhi kedua muridnya, meskipun kadang-kadang darah muda mereka masih
juga melanda dinding jantung dengan dahsyatnya, sehingga nasehat-nasehat serupa
itu sering mereka lupakan. Dan kini gurunya berkata pula kepada mereka tentang
hal itu, bahkan gurunya menambahkannya, bahwa betapapun dahsyatnya sepucuk
senjata, tetapi kedahsyatan itu hanyalah terbatas. Terbatas sekali.
Ingatan kedua
anak-anak muda itu langsung membubung tinggi kepada Kekuatan yang Maha Besar.
Kekuatan yang memancari dan menyumberi segala kekuatan, kekuatan yang berjalan
di sepanjang jalan yang dikehendaki-Nya. Meskipun setiap manusia selalu
disertai oleh segala kekurangan dan kepicikannya, sehingga setiap langkahnya
tidak akan ada yang sempurna di hadapan yang Maha Besar, tetapi adalah menjadi
kuwajiban manusia untuk berusaha mendekatkan diri kepada kebenaran. Kebenaran
yang mutlak. Sedang penilaian tentang kebenaran yang mutlak itu tidak akan
dapat diberikan oleh manusia. Kebenaran yang mutlak hanyalah berada pada Tuhan
yang Maha Benar. Sehingga jalan manusia untuk mendekat kepada kebenaran adalah
mendekat kepada Tuhannya. Mencoba sejauh-jauhnya melakukan segala petunjuk-Nya
yang didasari semata-mata atas kasih-Nya, menjauhkan manusia dari kesesatan. Apabila
ingatan mereka telah menyentuh kepada Sumbernya, maka baik Agung Sedayu dan
Swandaru segera menjadi tenang. Meskipun sifat manusia adalah khilaf, tetapi
lambaran kepercayaan yang kuat akan mengurangi sejauh-jauhnya kekhilafan itu.
Dengan demikian maka sikap dan pandangan mereka terhadap keadaan menjadi tenang
pula. Mereka tidak diburu lagi oleh berbagai macam kebencian dan dendam.
Agung Sedayu
dan Swandaru pun kemudian menyiapkan
diri mereka. Namun kini bukan senjata merekalah yang utama, bukan lagi
kebencian dan dendam yang mendorong mereka untuk pergi, tetapi terpercik hasrat
yang cerah di dalam dada mereka. Bahwa mereka harus dapat berbuat sesuatu untuk
kepentingan sesama. Inilah yang harus mereka lakukan. Meskipun demikian mereka pun tetap menyadari, bahwa untuk itu, mungkin
mereka harus menghentikan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan tujuan
mereka. Bahkan mungkin akan perlu dilakukan dengan kekerasan apabila terpaksa
sekali. Tetapi kekerasan itu bukan tujuan. Kekerasan itu hanya sebagai alat.
Karena itu, maka alat itu, kekerasan, tidak boleh bertentangan dengan
tujuannya. Adalah tidak wajar, seandainya untuk kepentingan kemanusiaan, maka
dilakukan tindakan-tindakan di luar perikemanusiaan. Untuk menghentikan tindak
yang melanggar hukum kemanusiaan telah dilakukan tindak kekerasan yang serupa. Ketika
malam menjadi semakin dalam, di hari berikutnya, Swandaru duduk di ruang dalam
rumahnya bersama ayah dan ibunya, yang sibuk melipat pakaiannya sepengadeg.
Besok pada saat fajar menyingsing, Swandaru akan pergi mengikuti gurunya,
mencari pengalaman-pengalaman baru di dalam hidupnya.
“Apakah kau
akan memerlukan waktu yang lama Swandaru?” bertanya ayahnya.
Swandaru
menggelengkan kepalanya, jawabnya, “Aku belum tahu ayah. Mudah-mudahan tidak
terlampau lama.”
“Kau harus
cepat kembali Swandaru,” berkata ibunya. Tampaklah matanya menjadi basah. Untuk
pertama kalinya ia melepaskan anak laki-lakinya itu pergi meninggalkan
kademangan, merantau untuk waktu yang tidak tertentu. Ketika Swandaru pergi
mencari Sekar Mirah, sama sekali tidak terasa kekhawatiran seperti saat ini.
Bukan karena mereka tidak tahu, betapa berbahayanya perjalanan ke Tambak Wedi,
tetapi terdorong oleh kecemasan, kemarahan dan perasaan-perasaan lain yang
menyesak, maka justru mereka berbangga melihat Swandaru meninggalkan rumah
mereka mencari adiknya. Tetapi perasaan kedua orang tua itu kini berbeda.
Seolah-olah mereka melepas Swandaru ke dalam kegelapan yang tidak mereka
ketahui, apakah yang telah menunggunya di balik kelam itu. Kini tidak ada lagi
dorongan apa pun di dalam diri kedua
orang tua itu, untuk melepaskan Swandaru pergi. Karena itu, maka terasa betapa
berat hati mereka.
“Segalanya
akan sangat tergantung kepada guru,” sahut Swandaru.
Kedua orang
tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Ya, semuanya
sangat tergantung kepada gurumu. Aku pun
telah mengatakan kepada gurumu, perjalananmu yang pertama ini seharusnya tidak
akan menjadi terlampau berat bagimu dan angger Agung Sedayu.”
“Mudah-mudahan
ayah.”
“Kau harus
hati-hati di sepanjang jalan Swandaru. Meskipun aku tidak tahu benar, tetapi
aku membayangkan bahaya yang akan kau hadapi di sepanjang jalan,” berkata
ibunya.
“Ya, Ibu.”
“Kau harus
dapat membawa diri. Harus kau pilih jalan yang jauh dari reribed. Jangan banyak
membuat persoalan dan jangan terburu oleh nafsu.”
“Ya, Ibu.
Tetapi sebagian terbesar akan sangat tergantung pula kepada guru.”
Kedua orang
tua-tua itu menganggukkan kepala mereka. Terdengar suara Ki Demang lirih,
“Aku percaya
kepada gurumu, Swandaru. Gurumu bukan orang yang dikuasai oleh nafsu. Bukan
orang yang cepat kehilangan nalar dan akal. Ia seorang yang rendah hati dan
tepa slira.”
Swandaru tidak
menjawab. Namun terasa olehnya betapa hatinya menjadi berdebar-debar.
Perpisahan yang dipersiapkan memang kadang-kadang terasa terlampau berat.
Agaknya lebih baik apabila tiba-tiba saja ia berangkat karena desakan suatu
persoalan yang penting seperti pada saat hilangnya Sekar Mirah. Meskipun ada
kemungkinan pada saat itu, bahwa ia tidak akan kembali bersama wadagnya, tetapi
hanya namanya saja, tetapi saat itu perasaannya tidak seberat perasaannya di
saat ini. Meskipun demikian, hasratnya untuk pergi telah bulat. Ia pasti akan
berangkat besok menjelang fajar bersama gurunya dan saudara seperguruannya,
Agung Sedayu. Dalam pada itu Agung Sedayu sedang duduk di halaman bersama
pamannya, Widura. Pamannya, seperti juga ayah Swandaru, memberinya berbagai
nasehat. Meskipun Widura tidak memiliki pengalaman dan ilmu seluas Kiai
Gringsing, tetapi ia dapat juga memberikan beberapa nasehat yang baik kepada
Agung Sedayu.
Sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya Agung Sedayu berkata,
“Aku akan
selalu mengingat segala pesan Paman.”
“Baik, Sedayu.
Aku mengharap bahwa kau tidak saja menjunjung tinggi namamu, nama perguruan dan
gurumu, tetapi juga nama keluargamu. Kau adalah putera Kakang Sadewa. Nama
Sadewa ternyata lebih banyak dikenal orang dari nama ayahmu itu sendiri.
Daripada nama ayahmu yang sebenarnya. Sejak ayahmu mengenal dunia ini dengan
sadar, ia telah membenci kejahatan. Banyak hal yang telah dilakukan oleh ayahmu
di masa mudanya. Mudah-mudahan kau pun akan mewarisi sifat-sifatnya itu. Dalam
beberapa bentuk aku telah melihat sifat-sifat ayahmu ada di dalam diri kakakmu.
Sedang kau membawa beberapa macam sifat dari ibumu. Tetapi bagaimanapun juga
akhirnya kau adalah seorang perkasa seperti Kakang Sadewa. Bahkan suatu
perpaduan yang akan sangat manis apabila di dalam dirimu terdapat sifat ayahmu,
seorang yang tegak berdiri di atas kebenaran sejauh-jauh dapat dijangkau oleh nalar
dan perasaan manusia yang tidak sempurna ini, tetapi juga dibumbui oleh kasih
yang tulus dan jujur seperti yang terpancar dari keibuan ibumu.” Widura
berhenti sejenak. Ditatapnya kepala Agung Sedayu yang tunduk, lalu sejenak
kemudian dilanjutkannya,
“Meskipun
sifat-sifat yang demikian seolah-olah hanya terdapat di dalam dongeng-dongeng
dapat disebutkan beberapa macam watak manusia yang berlawanan sama sekali, yang
benar seolah-olah tidak pernah terkena salah, dan yang salah seakan-akan tidak
memiliki kebenaran sama sekali, namun kau harus mampu menempatkan dirimu
menurut pilihan yang tepat. Adalah pasti bahwa seseorang pernah berbuat
kesalahan, tetapi kesadaran untuk berbuat baik harus kau miliki.” Sekali lagi
Widura berhenti sejenak, dan kemudian,
“Yang lebih
penting Sedayu, kau harus selalu merasa dekat dengan Tuhanmu. Dengan demikian
kau akan tabah menghadapi setiap persoalan, tetapi dengan demikian kau juga
akan selalu takut berbuat kesalahan.”
Agung Sedayu
masih menundukkan kepalanya. Seperti pada saat-saat ia makan nasi, terasa bahwa
tubuhnya, wadagnya, menjadi semakin segar dan kuat. Maka kata-kata pamannya
merupakan makanan bagi kesadaran rohaniahnya. Makanan yang memberinya kesegaran
batin.
“Begitulah,
Sedayu,” berkata pamannya kemudian.
“Sebenarnya
aku tidak perlu berbicara terlampau panjang. Aku percaya bahwa gurumu akan
berbuat seperti yang aku harapkan. Kiai Gringsing adalah orang yang tepat
bagimu. Sayang aku tidak dapat mengenalnya dengan pasti, siapakah sebenarnya Ki
Tanu Metir. Tetapi bahwa ia telah mengenal ayahmu dengan baik, telah memberikan
harapan, bahwa ia adalah orang yang tepat untuk menuntunmu. Adalah suatu
teka-teki bagiku, bahwa Ki Tanu Metir telah mengenal hampir setiap orang yang
mempunyai beberapa kelebihan dari orang lain. Ia mengenal Ki Tambak Wedi, Ki
Sumangkar, Ki Gede Pemanahan, dan agaknya Ki Gede Menoreh pula. Tetapi
orang-orang itu tidak pernah dapat mengetahui dengan pasti, siapakah Kiai
Gringsing yang juga disebut Ki Tanu Metir. Orang itu telah mengenal aku pula, sebelum
aku mengerti dengan siapa aku berhadapan. Mungkin ayahmulah satu-satunya orang
yang dapat menyebut dengan pasti, siapakah sebenarnya Kiai Gringsing yang aneh
itu.”
Agung Sedayu
kini mengangguk-anggukkan kepalanya. Setiap hari ia berada bersama-sama dengan
gurunya. Tetapi seolah-olah orang tua itu masih saja di selaputi oleh segumpal
kabut yang tebal. Namun telah tertanam keyakinan di dalam dada mereka yang
mengenal Kiai Gringsing, bahwa orang ini sama sekali bukan orang yang berada di
jalan yang sesat.
Dalam pada itu
terdengar Widura berkata,
“Sedayu,
apakah semua persiapan telah kau atur dengan baik?”
“Sudah,
Paman.”
“Apakah kau
akan membawa senjata pula?”
“Ya, Paman.
Senjata khusus menurut petunjuk Kiai Gringsing. Selain sesuai dengan ajaran
tata gerak yang diberikan, maka senjata itu tidak akan terlampau jelas seperti
sehelai pedang.”
“Ya, senjata
itu dapat kau lingkarkan seperti ikat pinggang.”
“Ya, Paman.
Dan sebilah keris. Kerisku akan aku bawa pula besok.”
Pamannya
mengangguk-anggukkan kepalanya, katanya,
“Mudah-mudahan
kerismu selalu memberimu peringatan. Kau tidak boleh melupakan dirimu dan
keadaanmu. Kau pernah merasakan, betapa sakitnya orang disiksa oleh ketakutan.
Karena itu jangan menakut-nakuti orang lain. Sebab orang lain pun akan merasakan seperti apa yang pernah
kau rasakan.”
Sekali lagi
Agung Sedayu mengangguk sambil menjawab, “Ya, Paman.”
“Sekarang
beristirahatlah. Besok kau akan berangkat pagi-pagi sekali. Di manakah gurumu
sekarang?”
“Mungkin guru
baru berjalan-jalan, Paman. Kami mendapat kesempatan malam ini untuk minta diri
dan mempersiapkan bekal yang akan kami bawa.”
Widura
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali lagi ia menyuruh Agung Sedayu untuk
segera beristirahat, karena malam telah menjadi semakin malam.
Sejenak
kemudian Widura itu pun telah
meninggalkan kemanakannya, dan masuk ke pringgitan. Ia masih melihat di ruang
dalam, dari celah-celah pintu yang terbuka sedikit, Swandaru duduk di hadapan
ayah dan ibunya. Tetapi ia tidak melihat Sekar Mirah di antara mereka. Sementara
itu Agung Sedayu masih saja duduk di halaman. Dari tempatnya ia melihat
beberapa orang prajurit yang berjaga-jaga di regol halaman, di bawah sinar
pelita yang redup. Tetapi tempat duduk Agung Sedayu sendiri terlindung oleh
baying-bayang yang agak gelap. Sejenak ia merenungi regol halaman kademangan
itu. Pertama kali ia datang ke Sangkal Putung, regol halaman itu selalu
tertutup. Beberapa orang pengawal membawanya dan memberikan tanda-tanda dengan
ketokan pintu regol. Kemudian Ki Demang Sangkal Putung sendirilah yang
membawanya dari regol halaman menyeberangi pelataran, naik ke pendapa dan
kemudian menghadap pamannya. Agung Sedayu menarik nafas. Besok justru ia akan
meninggalkan halaman ini. Ketika angin malam yang sejuk menyentuh keningnya,
terasa udara yang dingin seakan-akan merasuk sampai ke tulang sungsum.Ketika ia
bergeser dari tempat duduknya untuk berdiri dan meninggalkan tempat yang
dingin, dan menghindari gigitan nyamuk yang buas, maka tiba-tiba ia terkejut
mendengar desir lembut di belakangnya. Agung Sedayu mengurungkan niatnya.
Diperhatikannya suatu itu yang semakin lama menjadi semakin dekat. Tetapi Agung
Sedayu tidak perlu cemas, sebab ia berada di dalam lingkungan dinding halaman
kademangan yang tinggi. Meskipun demikian ia tidak boleh lengah. Hatinya
menjadi kian berdebar-debar ketika terdengar desir itu menjadi semakin dekat.
Namun pendengarannya yang terlatih segera dapat mengetahui, bahwa langkah itu
sama sekali tidak berbahaya baginya. Karena itu maka segera ia berpaling.
Tetapi sekali lagi ia terperanjat. Di dalam keremangan ia melihat sesosok tubuh
berdiri tegak beberapa langkah dari padanya. Seorang perempuan. Tergagap Agung
Sedayu menyapa lirih,
“Kau, Mirah?”
Yang berdiri
itu adalah Sekar Mirah. Tetapi ketika ia mendengar suara Agung Sedayu,
tiba-tiba saja terasa darahnya membeku. Gadis itu menjadi kebingungan dan tidak
mengerti apa yang harus dilakukannya. Agung Sedayu yang melihat Sekar Mirah
membeku di tempatnya, menjadi bingung pula. Perlahan-lahan ia berdiri, tetapi
ia tidak melangkah maju. Sejenak mereka berdiri tegak berhadapan dalam jarak
beberapa langkah. Tetapi masing-masing saling terbungkam dalam ketegangan. Baru
beberapa saat kemudian Agung Sedayu berhasil menguasai dirinya. Dicobanya untuk
menenangkan detak jantungnya, dan perlahan-lahan ia bertanya,
“Mirah. Kenapa
kau berada di situ?”
Sekar Mirah
masih membeku. Pertanyaan Agung Sedayu itu telah membuatnya semakin bingung.
Seolah-olah pertanyaan itu bergulung-gulung di kepalanya,
“Ya, kenapa
aku berada di sini?”
Tiba-tiba Sekar
Mirah menyadari dirinya, bahwa ia adalah seorang gadis, seorang gadis yang
sedang menginjak dewasa. Karena itu maka terasa wajahnya menjadi panas. Sebelum
ia dapat berbuat sesuatu, terdengar suara Agung Sedayu mengulangi,
“Kenapa kau
berada di sini di malam begini?”
Sekar Mirah
masih terdiam.
“Apakah kau
disuruh oleh ayah atau ibumu?”
Sekar Mirah
tidak menjawab.
“Atau,” Agung
Sedayu tidak dapat mencari pertanyaan yang lain.
Sekali lagi
keduanya terdiam. Namun Agung Sedayu kini sudah tidak lagi dikuasai oleh
kejutan yang membingungkan. Ia telah berhasil menguasai perasaannya. Karena
Sekar Mirah masih juga berdiam diri, maka selangkah Agung Sedayu maju mendekatinya
sambil bertanya pula,
“Mungkin kau
mempunyai sesuatu keperluan Mirah? Mungkin dengan seseorang? Pelayanmu
barangkali, atau keperluan-keperluan lain yang harus segera kau selesaikan.”
Sekar Mirah
masih berdiam diri. Tetapi perlahan-lahan digelengkannya kepalanya. Agung
Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia kini menjadi gelisah. Bukan karena kehadiran
Sekar Mirah, tetapi bagaimana ia mendapatkan jawaban dari padanya atas
pertanyaan-pertanyaannya.
“Hari sudah
jauh malam, Mirah. Apakah kau tidak pergi tidur, atau beristirahat?”
Sekar Mirah
mengangkat wajahnya. Dalam keremangan malam Agung Sedayu tidak dapat melihat
wajah itu dengan jelas. Namun kemudian perlahan-lahan terdengar gadis itu
berkata,
“Aku sudah
lama menunggu di sudut rumah.”
“O, kenapa
baru sekarang kau datang kemari?”
“Kau baru
berbicara dengan Paman Widura. Aku tidak berani mengganggu.”
“Dan kau
menunggu saja di sudut rumah itu.”
“Ya, hampir
aku tidak sabar. Pamanmu terlampau lama.”
“Aku
mendengarkan nasehat-nasehatnya. Lalu, apakah kau juga ingin berbicara sesuatu
dengan aku?”
Sekali lagi
Sekar Mirah terdiam.
“Bagaimana?”
desak Agung Sedayu.
“Kau aneh,
Kakang,” tiba-tiba terdengar suara itu menjadi sendat.
Agung Sedayu
mengerutkan keningnya. Dan ia mendengar suara Sekar Mirah lambat,
“Bukankah
besok kau akan pergi meninggalkan Sangkal Putung?”
Agung Sedayu
tidak segera menjawab. Tetapi terasa debar jantungnya menjadi semakin cepat.
Baru kini ia menyadari kesalahannya, ia tidak memerlukan untuk minta diri
kepada Sekar Mirah, meskipun secara tidak langsung ia sudah mengatakannya,
bahwa ia akan pergi bersama guru dan saudara seperguruannya, Swandaru.
Sejenak
keduanya terdiam. Di kejauhan terdengar tengara menggema memenuhi kademangan.
Ternyata tanpa mereka sadari, malam telah hampir sampai di pusatnya. Sekar
Mirah mengangkat wajahnya mendengar tengara kentongan itu. Ia harus segera
masuk ke dalam biliknya. Apabila ibunya mengetahui bahwa diam-diam ia merayap
ke luar rumah di tengah malam begini, maka ibunya pasti akan marah kepadanya.
“Kakang,”
desis Sekar Mirah kemudian, “sudah tengah malam. Aku harus segera tidur.”
Agung Sedayu
menganggukkan kepalanya. Jawabnya,
“Tidurlah,
Mirah. Aku besok minta diri kepadamu, kepada seluruh keluarga di kademangan
ini.”
Sekar Mirah menundukkan
kepalanya. Desisnya,
“Aku hanya
dapat mengucapkan selamat jalan, Kakang.”
“Terima kasih,
Mirah,” sahut Agung Sedayu,
“mudah-mudahan
aku selamat di perjalanan dan keluarga di sini pun selamat seluruhnya.”
“Mudah-mudahan
kau segera kembali. Aku mengharap bahwa kau akan kembali ke Sangkal Putung,
Kakang, tidak ke Jati Anom.”
“Jarak antara
Sangkal Putung dan Jati Anom tidak terlampau jauh di masa damai Mirah.”
Sekar Mirah
terdiam. Ia mengharap Agung Sedayu mengatakan banyak hal tentang dirinya.
Tetapi Agung Sedayu pun terdiam pula.
Bahkan dadanya yang sudah mulai tenang menjadi berdebar-debar kembali.
Alangkah jauh
perbedaan sifat antara Agung Sedayu dan Sidanti. Sekar Mirah pernah berkawan
agak rapat dengan Sidanti, karena gadis itu mengagumi Sidanti sebagai seorang
pahlawan yang tiada bandingnya di Sangkal Putung selain Widura sendiri pada
saat itu. Tetapi ternyata bahwa ia hanya sekedar mengaguminya. Tidak lebih
daripada itu. Meskipun Sidanti agak lebih banyak memberikan waktunya untuk
bersama-sama dengan Sekar Mirah berjalan-jalan, berbicara dan bahkan
kadang-kadang seperti anak-anak mereka bermain-main, namun ternyata Sidanti
tidak dapat mengikat hati Sekar Mirah seerat tali yang dilepaskan oleh Agung
Sedayu dengan kediriannya. Dengan segenap sifat-sifatnya. Meskipun Sekar Mirah
lebih senang melihat seorang laki-laki yang agak banyak membanggakan dirinya
seperti Sidanti, namun ada unsur lain yang tidak dapat dimengerti oleh Sekar
Mirah, kenapa Agung Sedayu pun dikaguminya pula. Apalagi setelah, ia menyadari
bahwa hampir di dalam segala hal Agung Sedayu tidak dapat dikalahkan oleh
Sidanti, sejak mereka beradu dalam kecakapan memanah.
“Tetapi Agung
Sedayu tidak pernah berkata dengan bangga ‘Mirah, tinggallah kau di sini. Besok
aku akan bertemu dengan Tohpati, biarlah aku penggal lehernya, aku bawa pulang
kepalanya ke kademangan ini untuk menjadi alas kakimu’ dan Agung Sedayu juga
tidak pernah berkata kepadanya ‘Apa pun yang kau minta Mirah. Aku akan sanggup
mengadakan. Tak ada orang yang dapat menghalangi aku. Tak ada jarak yang dapat
membatasi gerakku. Lautan akan aku keringkan dan gunung-gunung akan aku runtuh
dan ratakan.”
Tidak. Agung
Sedayu tidak pernah berkata demikian. Pada saat anak muda itu datang ke Sangkal
Putung untuk pertama kalinya, memang ia berceritera tentang perkelahiannya
dengan beberapa orang di sepanjang perjalanannya. Tetapi Agung Sedayu untuk
seterusnya tidak pernah berbangga atas dirinya. Bahkan di saat-saat itu, di
saat-saat ia baru saja berada di kademangan ini tampaknya selalu dicengkam oleh
keragu-raguan dan kecemasan.
“Ia terlampau
takut terhadap pamannya,” pikir Sekar Mirah saat itu.
Setiap kali Agung
Sedayu hanya berkata kepadanya,
“Mudah-mudahan
aku berhasil mengatasi lawan-lawanku, Mirah.” Hanya itu. Hanya itu saja yang
dikatakan, seolah-olah ia tidak meyakini kekuatan sendiri. Sebenarnya Sekar
Mirah agak kecewa terhadap sikap itu. Sikap yang menurut Sekar Mirah kurang
jantan. Kurang tatag dan ragu-ragu. Namun meskipun demikian anak muda itu telah
mengikat hatinya, dalam keadaannya itu.
Dan kali
ini pun Agung Sedayu berkata kepadanya,
“Mudah-mudahan
aku selamat di perjalanan dan keluarga di sini
pun selamat seluruhnya.”
Kenapa Agung
Sedayu itu tidak berkata,
“Mirah, aku
akan pergi ke Menoreh. Kelak aku akan kembali dengan membawa kepala Sidanti
untuk alas kakimu. Kau akan dapat melepaskan dendammu kepadanya. Dan kepala itu
adalah tanda katresnanku kepadamu.”
Tidak, Agung
Sedayu tidak berkata demikian. Bahkan kemudian ia mendengar Agung Sedayu yang
berdiri mematung di hadapannya itu berkata,
“Pergilah
tidur, Mirah. Mudah-mudahan kau besok pagi tidak terlambat bangun, sehingga kau
dapat melihat keberangkatanku bersama Kiai Gringsing dan Adi Swandaru.”
Terasa leher
gadis itu tersumbat, sehingga ia tidak dapat menyahut. Ia menjadi kecewa.
Perpisahan itu sama sekali tidak berkesan kejantanan seorang prajurit yang
pergi berperang. Tetapi anak muda yang bernama Agung Sedayu itu minta diri
kepadanya seperti seorang perantau yang akan mencari sesuap nasi bagi
keluarganya yang ditinggalkannya. Kata-kata yang diucapkan tidak lebih dari,
“Mudah-mudahan
aku selamat.”
Tetapi Sekar
Mirah tidak dapat berdiri di tempatnya terlampau lama. Ia harus masuk ke dalam
biliknya. Karena itu maka katanya,
“Selamat
malam, Kakang. Besok aku akan bangun pagi-pagi sekali untuk menyiapkan makan
pagi kalian sebelum berangkat.”
Terasa desir
yang lembut menggores jantung Agung Sedayu. Ia sendiri tidak tahu, pengaruh apa
yang telah menyentuh isi dadanya. Hampir setiap hari Sekar Mirah dan
pembantu-pembantunya menyiapkan makan untuk mereka. Untuk pamannya, untuk
dirinya dan untuk para prajurit Pajang di Sangkal Putung. Tetapi ketika Sekar
Mirah mengatakan itu langsung kepadanya, terasa debar dadanya menjadi semakin
cepat.
“Terima kasih,
Mirah,” hanya itulah, yang diucapkannya, lalu dilanjutkannya, “Selamat malam.”
Tetapi Sekar
Mirah masih belum juga beranjak dari tempatnya. Gadis itu masih berdiri saja
seolah-olah mematung. Ia masih mengharap Agung Sedayu mengatakan sesuatu
kepadanya, sebagaimana seorang laki-laki yang perkasa siap untuk berangkat ke
medan perang, meninggalkan seorang kekasih yang dicintainya.
Tetapi Agung
Sedayu tidak berkata apa-apa. Agung Sedayu
pun menjadi seakan-akan beku ketika ia melihat Sekar Mirah masih saja
berdiri mematung.
“Oh,” desah
Sekar Mirah di dalam hatinya. Hatinya yang menjadi kisruh.
Agung Sedayu
malahan menjadi beku. Diam dan tidak berkata-kata lagi. Tiba-tiba gadis itu
memutar tubuhnya membelakangi. Hampir meledak tangis yang ditahan di dadanya.
Ia menjadi kecewa melihat sikap itu. Sikap yang bagi Sekar Mirah kurang jantan.
Kurang berani. Bukan kurang berani menghadapi lawan, tetapi ia sama sekali
tidak berkata-kata apa-apa kepadanya. Dan sikapnya menunjukkan keragu-raguan
yang menjemukan. Agung Sedayu menjadi bingung melihat Sekar Mirah yang
tiba-tiba menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Sekuat tenaga gadis itu
bertahan untuk tidak menangis. Untuk sesaat ia berhasil. Meskipun demikian
dadanya serasa akan meledak.
Karena Agung
Sedayu tidak berbuat sesuatu, maka Sekar Mirah
pun tidak akan dapat mengharap apa-apa lagi daripadanya saat itu. Ia
tidak akan dapat mendengar kata-kata yang dapat membuat jantungnya bergetar.
Baik Agung Sedayu sebagai seorang laki-laki yang mempunyai banyak kelebihan
dari laki-laki yang lain, yang sudah ternyata bahwa ia mampu melawan Sidanti,
bahkan dalam, beberapa hal ia telah melampauinya, maupun sebagai seorang laki-laki
yang telah menjerat hatinya. Laki-laki yang meskipun tidak memberikan
kebanggaan kepadanya, namun dalam keseluruhannya Agung Sedayu telah mengikatnya
terlampau erat. Agung Sedayu terlalu sopan. Bukan, bukan terlalu sopan, tetapi
hatinya selalu dicengkam oleh keragu-raguan. Meskipun ia telah berhasil
memecahkan dinding yang mengurungnya dalam ketakutan, namun ia masih belum
berhasil melepaskan diri dari kebimbangan dan keragu-raguan untuk bersikap.
Apalagi apabila terkenang olehnya sikap kakaknya, Untara.
Agung Sedayu
yang ragu-ragu itu terperanjat ketika tiba-tiba saja, ia melihat Sekar Mirah
itu meloncat berlari meninggalkannya. Sehingga tanpa sesadarnya ia memanggil,
“Mirah.
Mirah.”
Tetapi Sekar
Mirah seakan-akan tidak mendengarnya. Ia berlari terus meninggalkan Agung
Sedayu berdiri seorang diri sambil termangu-mangu. Ia menjadi semakin bingung
menghadapi Sekar Mirah. Ia tidak mengerti apa yang harus dilakukan.
Sekar Mirah
yang yakin benar, bahwa Agung Sedayu tidak akan mengejarnya, kemudian berhenti di
belakang rumahnya. Dicobanya untuk menekan hatinya yang seolah-olah sedang
mendidih oleh kekecewaan. Ia masih sadar, bahwa ia tidak boleh mengejutkan ayah
dan ibunya. Mungkin Swandaru yang masih juga belum tidur. Perlahan-lahan
didorongnya lawang leregan di butulan belakang. Kemudian dengan hati-hati pintu
itu ditutup kembali setelah ia melangkah masuk. Dengan hati-hati pula
diangkatnya slarak kayu dan disilangkannya pada daun pintu. Berjingkat ia
melangkah menuju ke biliknya. Rumahnya sudah terlampau sepi. Ia tidak mendengar
suara apa pun lagi. Ketika ia lewat
melalui bilik ibunya, hatinya menjadi berdebar-debar. Tetapi bilik itu telah
tertutup. Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Namun kekecewaan di dalam
dadanya hampir tidak tertahankan lagi, seakan ingin meledak.
Dengan
hati-hati ia melangkah ke pintu biliknya. Bilik itu tertutup rapat. Ia
sendirilah yang menutupnya ketika ia diam-diam pergi ke luar. Perlahan-lahan
sekali ditariknya pintu leregan bilik itu. Perlahan-lahan sekali supaya tidak
menimbulkan bunyi. Bunyi derit yang lembut sekalipun. Sedikit demi sedikit
pintu itu terbuka. Semakin lebar. Dan ketika ia menjenguk ke dalam,
hampir-hampir ia menjadi pingsan. Jantungnya serasa berhenti berdetak karena
kejutan yang luar biasa. Untunglah ia tidak menjerit keras-keras. Dilihatnya
seorang duduk di atas pembaringannya. Sinar pelita yang redup agak
kemerah-merahan memancar jatuh di atas wajah yang bulat gemuk.
Swandaru.
Swandaru
menahan suara tertawanya melihat adiknya terkejut bahkan hampir menjadi
pingsan. Perlahan-lahan ia berdiri dam berkata lambat,
“Masuklah.
Apakah kau terkejut?”
Sekar Mirah
masih terbungkam. Detak jantungnya masih belum berjalan wajar. Kedua telapak
tangannya masih menutupi mulutnya yang hampir berteriak.
“Masuklah. Aku
tidak ingin mengejutkan kau.”
Sekar Mirah
masih berdiri membeku.
“Masuklah,
Mirah. Darimanakah kau.”
Sekar Mirah
tidak menjawab. Tetapi ia tidak berbuat apa
pun ketika kakaknya mendekatinya membimbingnya masuk ke dalam biliknya
dan mendorongnya duduk di atas pembaringannya.
“Maafkan aku,
Mirah. Aku tidak ingin mengejutkan kau. Aku sengaja menunggumu, karena aku akan
minta diri pula kepadamu.”
Sekar Mirah
masih terdiam. Dan Swandaru berkata terus sambil berdiri di mukanya.
“Apakah kau
tadi menemui Kakang Agung Sedayu di luar?”
Sekar Mirah
tidak menyahut. Kejutan yang menghentak dadanya masih belum mereda. Swandaru
pun kemudian berdiam diri untuk sesaat. Dibiarkannya adiknya menjadi tenang.
Perlahan-lahan ia berjalan mondar-mandir di dalam ruangan yang sempit itu. Angin malam yang dingin menyusup
lubang-lubang dinding menyentuh tubuh-tubuh mereka. Di kejauhan terdengar suara
angkup nangka mencicit seperti sedang menjerit-jerit. Sekali lagi terdengar
suara tengara kentongan di kejauhan, sahut-menyahut. Kini malam benar-benar
telah sampai ke pusatnya. Tengah malam. Bukan saja suara kentongan dalam nada
dara muluk yang terdengar sahut-menyahut, tetapi kemudian disusul oleh kokok
ayam jantan untuk yang pertama kalinya, menjalar dari kandang ke kandang,
merambat ke seluruh kademangan. Swandaru menarik nafasnya. Ketika disangkanya
adiknya telah agak tenang, maka ia pun
berkata,
“Aku ingin
minta diri kepadamu, Mirah.”
Tetapi
ternyata Sekar Mirah masih belum menjawab. Meskipun kejutan yang menghentak
dadanya telah mereda, tetapi kekecewaan atas Agung Sedayu masih belum terhapus.
Bahkan kemudian ia menjadi sangat jengkel terhadap kakaknya yang telah
mengejutkannya.
“Kau marah,
Mirah?” bertanya Swandaru.
“Aku sama
sekali tidak sengaja mengejutkan kau.” Tetapi Swandaru tersenyum di dalam
hatinya. Ia sengaja menutup pintu bilik Sekar Mirah, supaya gadis itu terkejut.
Tetapi biasanya Sekar Mirah tidak terlampau lama marah kepadanya. Sejenak saja
kemarahannya telah menjadi cair. Tetapi kali ini, justru besok ia akan pergi.
Sekar Mirah agaknya benar-benar marah kepadanya.
“Aku minta
maaf Mirah. Aku datang untuk minta diri, besok aku akan pergi,” Swandaru
berhenti sejenak. Dilihatnya Sekar Mirah menundukkan kepalanya.
“Besok aku dan
Kakang Agung Sedayu akan pergi melintasi hutan Mentaok, pergi ke Menoreh.
Bukankah kau sudah mendengarnya pula? Kami akan pergi bersama guru, Kiai
Gringsing.” Sekali lagi Swandaru berhenti berbicara. Dipandanginya kepala Sekar
Mirah yang tunduk. Lalu diteruskannya,
“Apakah kau
mempunyai pesan sesuatu? Katakanlah. Mungkin kau mempunyai kepentingan. Apakah
kau ingin aku memenggal kepala Sidanti dan membawanya pulang supaya kau menjadi
bersenang hati, atau bahkan kedua-duanya dengan kepala Argajaya?”
Tiba-tiba
Sekar Mirah tersentak. Dengan serta-merta ia menengadahkan kepalanya. Kata-kata
itulah yang ingin didengarnya. Tetapi tidak dari mulut kakaknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar