Jilid 029 Halaman 2


Ternyata Ki Tanu Metir tidak saja sekedar meyakinkan dirinya bahwa Ki Tambak Wedi telah tidak ada di Sangkal Putung, tetapi yang lebih panting baginya adalah membentuk Agung Sedayu dan Swandaru, sehingga kedua anak-anak muda itu benar-benar mencerminkan perguruannya. Perlahan-lahan Kiai Gringsing mencoba untuk membiasakan kedua anak-anak muda itu mempergunakan senjata sejenis senjatanya. Tetapi Ki Tanu Metir tidak ingin melepas pedang-pedang itu dari lambung murid-muridnya. Bahkan Kiai Gringsing ingin murid-muridnya dapat mempergunakan senjata-senjata itu berpasangan. Itulah sebabnya maka setiap malam Swandaru dan Agung Sedayu pasti berada di sekitar Gunung Gowok bersama gurunya, Ki Tanu Metir. Bahkan sekali-sekali bersama Sumangkar dan Widura. Mereka ingin juga menyaksikan kemajuan kedua anak-anak muda itu. Ingin melihat keduanya tidak saja memutar pedangnya, tetapi sekali-sekali melentingkan cambuk yang berpangkal pendek tetapi berjuntai cukup panjang, dan sekali-sekali mereka bersenjatakan sebuah cemeti yang lentur.
Sebagai seorang paman Widura berbangga melihat kemajuan Agung Sedayu. Kadang-kadang ia menahan tertawanya seorang diri ketika ia tanpa sesadarnya mengenangkan masa-masa Agung Sedayu untuk pertama kalinya datang ke kademangan ini. Kedatangannya benar-benar telah mengejutkannya. Bagaimana mungkin Agung Sedayu seorang diri berani menempuh perjalanan di malam hari dari Jati Anom sampai ke Sangkal Putung.

Namun di hari-hari kemudian, dikenalnya Agung Sedayu itu seperti pada kanak-kanaknya. Penakut yang tidak tanggung-tanggung. Ia takut terhadap apa saja. Terhadap seseorang, terhadap peristiwa-peristiwa yang dianggapnya terlampau keras dan terhadap gelap malam. Semuanya itu membuatnya menjadi seorang anak muda yang lain dari anak-anak muda sebayanya.
“Anak itu hampir membeku dibentak-bentak oleh Sidanti,” desis Widura di dalam hatinya.
Tetapi Widura tidak pula dapat menyembunyikan kekagumannya atas kemenakannya itu. Meskipun ia tidak berani berbuat sesuatu, meskipun ia tidak mampu untuk berbuat banyak, namun ia dapat juga mempelajari ilmu tata bela diri. Ternyata otaknya cukup cerdas, dan cukup- memiliki kemampuan untuk menerimanya. Bahkan yang tidak disangka-sangkanya, Agung Sedayu mampu menyusun unsur-unsur tata bela diri di atas rontal. Akhirnya dinding yang mengungkungnya itu mampu dipecahkannya. Seperti telur yang sedang menetas, maka meledaklah dinding yang selama ini mengurungnya di dalam suasana ketakutan. Seperti anak ayam yang merangkak ke luar dari pecahan telurnya, Agung Sedayu melihat keadaan di sekitarnya dalam penilaian yang wajar. Sehingga akhirnya Agung Sedayu itu seakan-akan dilahirkan kembali. Lahirlah seorang Agung Sedayu yang sekarang ini. Widura menarik nafas panjang. Ia terkejut ketika ia mendengar cambuk yang meledak berturut-turut beberapa kali. Ketika ia mengangkat wajahnya, dilihatnya Agung Sedayu bersama Swandaru sedang berlatih melawan gurunya. Widura mengangguk-anggukkan kepalanya melihat kemanakannya mampu meloncat secepat burung sikatan, tetapi ia kagum juga melihat tenaga Swandaru sekuat tenaga seekor gajah. Kedua anak-anak muda itu kini tidak saja bersenjata pedang, tetapi mereka menggenggam cambuk pula, justru di tangan kanan dan pedang-pedang mereka di tangan kiri. Pasangan kedua senjata itu ternyata cukup menggetarkan. Sekali-sekali terdengar cambuk itu meledak, namun sesaat kemudian maka pedang-pedang mereka telah terjulur lurus langsung mengarah ke dada lawan.
“Hem,” Widura menarik nafas dalam-dalam. Katanya di dalam hatinya,
“Aku sudah tidak akan dapat menyamai anak-anak itu, Agung Sedayu dan Swandaru memiliki kekhususannya masing-masing, Agung Sedayu menempatkan kekuatan geraknya pada kelincahan dan ketangkasannya, sedang Swandaru mempercayakan kepada tenaganya yang bukan main besarnya. Namun demikian Swandaru yang gemuk itu mampu juga bergerak cepat, meskipun memiliki beberapa perbedaan yang khusus dengan kecepatan gerak Agung Sedayu.”
Namun dalam pengamatan Widura, meskipun mereka berguru kepada seorang guru, tetapi terpengaruh oleh bekal, darah yang mengalir di dalam tubuh mereka, ternyata Agung Sedayu masih mempunyai beberapa kelebihan dari saudara muda seperguruannya. Meskipun agaknya Kiai Gringsing tidak membedakan keduanya, tetapi perkembangan mereka sendiri serta bekal yang mereka bawa sejak mereka berguru kepada orang tua itulah yang telah menentukan. Demikianlah yang terjadi beberapa hari kemudian. Ketekunan Swandaru dan Agung Sedayu ternyata telah banyak bermanfaat bagi mereka. Hari-hari yang pendek itu telah mereka pergunakan sebaik-baiknya. Baik oleh Swandaru dan Agung Sedayu sendiri, maupun oleh gurunya. Beberapa unsur baru dan bahkan yang masih dalam penyusunan telah dicobakannya pula.

Karena di hari-hari itu tidak ada kerja yang lain daripada memperdalam ilmunya, maka di saat-saat yang pendek itu, mereka telah mendapatkan beberapa kemajuan yang dapat memberi kebanggaan kepada mereka. Menambah ketabahan hati seandainya mereka bertemu dengan bahaya di sepanjang jalan. Ki Tanu Metir  pun merasa, bahwa kini sudah sampai saatnya kedua muridnya itu dibawanya untuk mengenal perjalanan. Tidak seperti anak-anak nakal yang berjalan sekehendak hati dan berbuat tanpa kendali, tetapi perjalanan itu akan diawasinya sendiri.
“Kita sudah cukup lama meyakinkan diri kita, bahwa agaknya Ki Tambak Wedi telah benar-benar tidak berada di sekitar daerah ini, Ngger,” berkata Ki Tanu Metir kepada kedua muridnya.
“Karena itu, maka aku kira, kita sudah sampai waktunya untuk mencoba sebuah perjalanan. Perjalanan yang akan banyak memberikan pengalaman bagi kalian.”
Hati kedua muridnya itu tiba-tiba melonjak. Saat-saat itulah yang mereka tunggu. Sebuah perjalanan. Bukan sekedar sebuah perjalanan, tetapi mereka ingin juga mengikuti jejak perjalanan Ki Tambak Wedi. Mereka ingin tahu apakah yang sudah dilakukannya di sepanjang jalan dari Sangkal Putung sampai ke bukit Menoreh.
“Kita akan berjalan ke Barat,” berkata Ki Tanu Metir,
“melintasi Hutan Tambak Baya dan Mentaok yang lebat dan berbahaya. Tetapi yang lebih berbahaya lagi adalah justru apabila kita telah lepas dari hutan-hutan itu dan menginjakkan kaki kita di Tanah Perdikan Menoreh.”
Agung Sedayu dan Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka menyadari sepenuhnya apa yang dikatakan gurunya. Betapa besar bahaya yang akan mereka hadapi di hutan Mentaok, namun menurut penilaian mereka maka bahaya itu akan dapat mereka atasi. Seandainya di hutan itu masih juga ada penyamun-penyamun karena Daruka tidak menepati janjinya, maka penyamun-penyamun itu pun menurut perhitungan lahiriah, pasti akan dapat dilawannya. Seandainya mereka bertemu dengan binatang-binatang buas pun, maka mereka tidak perlu menjadi gentar.
Tetapi apabila mereka kemudian keluar dari hutan yang lebat itu dan kemudian menginjakkan kaki-kaki mereka di telatah Menoreh, maka yang dihadapinya adalah Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya. Bahkan kemungkinan mereka akan berhadapan juga dengan Argapati yang bergelar Ki Gede Menoreh. Lalu bagaimanakah dengan pasukan-pasukan mereka, Pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang perkasa?
Bagaimanapun juga, tetapi dada anak-anak muda itu menjadi berdebar-debar juga.
“Tetapi Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya bertiga berani juga berada di sekitar Sangkal Putung,” desis Agung Sedayu di dalam hatinya.
“Di Menoreh kita akan berbuat serupa dengan mereka di sini. Sudah tentu tidak dengan kelicikan-kelicikannya yang tidak berperikemanusiaan.”
Kedua anak muda itu kemudian mendengar gurunya berkata,
“Kita tetapkan, kapankah kita berangkat?”
“Terserahlah kepada Kiai,” jawab Agung Sedayu.
“Kalian perlu menyiapkan diri.”
“Apakah yang harus kami persiapkan?” bertanya Swandaru.
“Diri kalian sendiri. Kalian harus mengatur perasaan dan nalar. Mempersiapkan segala perhitungan yang mapan Kalian harus dapat membayangkan apa saja yang kira-kira terjadi di perjalanan supaya kalian tidak kehilangan akal apabila tiba-tiba saja kalian menghadapi bahaya yang cukup besar.”
“Aku sudah siap sejak lama, Guru,” sahut Swandaru.
“Perjalanan ini bukan perjalanan tamasya,” berkata gurunya,
“tetapi sebuah perjalanan yang berbahaya. Kau menangkap rencana perjalanan ini dengan sudut pandangan yang menyebelah. Kau dilanda oleh kegirangan hati seorang anak muda. Kau mungkin terlalu bernafsu ingin melihat daerah-daerah yang selama ini belum kalian lihat. Kau mungkin terlalu bernafsu untuk membuat perhitungan dengan Ki Tambak Wedi. Tetapi kau tidak memperhitungkan bahaya seperti yang telah aku katakan. Karena itu, siapkan dirimu dalam kesungguhan.”
Kedua anak-anak muda itu sekali lagi mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Yang terpenting dari semuanya dalam mempersiapkan hati dan nalar adalah, bahwa perjalanan ini jangan dikotori oleh perasaan-perasaan yang melonjak-lonjak. Jangan diburu oleh dendam. Tetapi bekalilah dengan maksud yang baik. Kalau kalian ingin menambah pengalaman, maka pengalaman itu akan kalian trapkan dalam landasan kebesaran jiwa. Nah, sekarang bertanyalah kepada diri kalian sendiri, apakah sebenarnya keinginan yang mendorong kalian untuk melakukan sebuah perjalanan, dan justru kalian merasa senang apabila perjalanan itu dilakukan ke Barat? Ke Menoreh?”
Agung Sedayu dan Swandaru tidak menjawab. Tetapi mereka merasakan sentuhan langsung di dalam hati. Bahkan pertanyaan itu serasa bergulung-gulung bergema di dalam diri mereka, “Ya, kenapa ke Menoreh?”

Tetapi mereka tidak dapat berbohong kepada diri sendiri. Sebenarnyalah bahwa mereka telah didorong oleh rasa dendam mereka terhadap Sidanti. Dendam yang bertimbun-timbun. Sejak Sidanti berada di Sangkal Putung. Baik Agung Swandaru maupun Swandaru mempunyai persoalannya sendiri-sendiri. Beberapa kali Swandaru terpaksa menahan sakit dan malu karena Sidanti telah beberapa kali menampar pipinya yang gembung itu. Sedangkan Agung Sedayu mempunyai beberapa masalah yang tidak juga dapat dilupakan. Bahkan Sidanti telah hampir berhasil membunuh Untara, kakaknya satu-satunya. yang kemudian mencapai puncaknya dengan hilangnya Sekar Mirah. Kedua anak muda itu bersama-sama merasa kehilangan.
“Angger berdua,” berkata Ki Tanu Metir kemudian,
“meskipun kalian tidak menjawab, tetapi aku dapat ikut merasakannya, betapa kalian menyimpan persoalan dengan Angger Sidanti.”
Agung Sedayu dan Swandaru masih saja berdiam diri.
“Tetapi bukan itulah sebenarnya yang memaksa aku membawa kalian untuk pergi ke Menoreh. Seandainya demikian, maka aku akan membawa kalian menunggu saja di Sangkal Putung atau di Jati Anom. Suatu ketika Sidanti pasti akan datang lagi.” Orang tua itu terdiam sejenak, kemudian
 “Tetapi, Ngger. Justru aku mengira bahwa Angger Sidanti itu akan kembali, maka aku berhasrat untuk pergi ke Menoreh. Kecuali dengan demikian Angger berdua mendapat suatu pengalaman yang baik di sepanjang jalan, pengalaman untuk berbuat baik apabila diperlukan di sepanjang perjalanan, pengalaman untuk menahan diri dan menahan nafsu yang mempunyai berbagai macam bentuk, juga untuk mendapat pengalaman menahan diri dalam perhitungan-perhitungan yang cermat. Menilai persoalan sesuai dengan kepentingannya. Apakah Angger mengetahui maksudku?”
Agung Sedayu dan Swandaru masih saja berdiam diri. Seolah-olah mereka telah membeku meskipun mata mereka memandangi wajah gurunya.
“Angger,” berkata orang tua itu,
“kalian harus dapat menimbang. Kita harus melihat persoalan kita, dan yang lebih besar daripada itu adalah persoalan Pajang dan Menoreh itu sendiri. Kita harus dapat mengetahui sikap Argapati yang bergelar Ki Gede Menoreh. Kita harus dapat menilai dengan cermat. Seandainya ayah Sidanti itu bersikap lain, maka kita  pun harus bersikap lain. Maksudku, seandainya Argapati tidak sependapat dengan Sidanti. Tetapi apabila Menoreh bulat-bulat melawan Pajang, maka kita  pun akan menentukan sikap kita. Ingat, jangan diburu hanya oleh kepentingan sendiri.”
Agung Sedayu dan Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini ia tahu benar maksud gurunya. Gurunya ingin mengatakan, bahwa yang mendorong mereka ke Menoreh, bukanlah kepentingan pribadi mereka, tetapi terutama adalah kepentingan Pajang dan Menoreh itu sendiri.

Meskipun tidak dikatakan oleh orang tua itu, namun tampak pada nada kata-katanya, bahwa Ki Tanu Metir benar-benar mencemaskan kemungkinan yang paling jelek yang dapat terjadi antara Pajang dan Menoreh.
“Kita sudah cukup parah,” desis orang tua itu kemudian,
“apalagi di daerah Selatan ini. Pertentangan antara Jipang dan Pajang yang berkepanjangan, orang-orang di antara mereka yang keras kepala tanpa mau melihat kenyataan, kemudian munculnya orang-orang yang memiliki nafsu pribadi yang berlebih-lebihan seperti Sidanti dan gurunya Ki Tambak Wedi, telah banyak merampas tenaga, pikiran, dan bahkan nyawa. Apakah sekarang kita masih belum sampai saatnya untuk berbuat lain daripada berkelahi di antara kita? Seandainya Ki Gede Menoreh nanti benar-benar keblinger, menuruti nafsu puteranya itu, maka kita harus berprihatin. Karena itu, Ngger, seandainya kita menjumpai Ki Argapati dalam kebimbangan, jangan mendorongnya untuk memilih jalan yang menyedihkan itu. Seandainya di dalam kebimbangannya, kalian bertindak menurut nafsu pribadi, untuk kepuasan sendiri, maka berarti kalian telah menjerumuskan Ki Argapati ke dalam bencana. Bahkan seluruh Pajang mungkin akan terkena sentuhannya.”
Agung Sedayu dan Swandaru mengangkat wajahnya. Tampaklah wajah itu menjadi berkerut-merut. Agaknya mereka tidak begitu jelas akan maksud kata-kata gurunya.
“Angger,” sambung Ki Tanu Metir,
“jelasnya adalah, apabila Ki Argapati sedang mempertimbangkan tindakan-tindakan yang diambilnya, maka kalian jangan melepaskan dendam kalian. Baik terhadap Sidanti maupun terhadap Argajaya. Seandainya kebimbangan Argapati itu semisal neraca yang seimbang, di antara sikapnya yang jujur menghadapi kenyataan dan harga dirinya sebagai seorang ayah, maka sentuhan sedikit saja akan menyebabkan neraca itu berguncang. Sudah tentu guncangan yang terbesar kemungkinannya adalah, Argapati akan bersikap sebagai seorang ayah, karena kita sudah melanggar harga dirinya pula, hadir di Menoreh tanpa seijinnya. Tetapi kalau kita biarkan saja ia berada dalam pertimbangannya, mungkin ia akan bersikap lain. Mungkin pikirannya yang jernih akan menang. Apabila demikian, maka kita tidak akan berbuat apa-apa. Kita serahkan persoalannya kepada Argapati. Mungkin dengan demikian kita tidak mendapat kepuasan pribadi karena kita tidak dapat bertindak langsung terhadap orang-orang yang kita ingini. Tetapi itu adalah tindakan yang paling baik bagi Pajang dan juga bagi Menoreh.”
Terasa desir yang lembut menyentuh jantung kedua anak muda itu. Tetapi mereka tahu maksud gurunya. Meskipun demikian darah muda yang mengalir di dalam tubuh mereka serasa bergolak. Apabila gurunya menghendaki demikian, maka seolah-olah perjalanan mereka ke Menoreh tidak lebih dari perjalanan yang sia-sia bagi diri mereka sendiri. Mereka tidak boleh apa-apa. Mereka akan menjadi seorang perantau yang sekedar ingin melihat sebuah pegunungan yang membujur ke Selatan di sebelah Alas Mentaok. Tidak lebih dari itu. Mungkin mereka akan melihat dan mendengar ceritera tentang sikap Ki Argapati.
Ki Tanu Metir melihat kekecewaan di dalam sorot mata kedua muridnya. Karena itu maka ia  pun berkata,
“Tetapi jangan menganggap bahwa perjalanan ini tidak ada artinya. Seandainya, ya seandainya Ki Argapati mendengarkan ceritera Sidanti, kemudian menyiapkan pasukan segelar sepapan, nah, kalian akan berjasa terhadap Pajang.”
“Apakah kita akan melawan pasukan segelar sepapan yang dipimpin oleh Ki Argapati yang bergelar Ki Gede Menoreh dan Ki Tambak Wedi itu?” bertanya Swandaru dalam kekecewaannya.
Ki Tanu Metir yang telah mendalami jiwa murid-muridnya itu tersenyum. Jawabnya,
“Sudah tentu tidak, Ngger. Tetapi bukankah dengan demikian kita akan dapat melaporkannya kepada pimpinan Prajurit Pajang?”
“Dan kita tidak dapat berbuat apa-apa pula? Kita hanya sekedar melaporkannya. Kemudian datang pasukan Pajang yang lengkap di bawah pimpinan senapati-senapati tertingginya, mungkin Gede Pemanahan sendiri, mungkin Ki Penjawi atau bahkan Ki Patih Mancanegara, atau setidak-tidaknya Kakang Untara didampingi oleh Paman Sumangkar,” sahut Swandaru.
Sekali lagi Ki Tanu Metir tersenyum. Katanya,
“Kita dapat berbuat banyak. Tetapi ingat, bukan untuk kepuasan pribadi. Kita dapat berbuat seperti apa yang kita lakukan di Tambak Wedi. Memberikan jasa-jasa baik terhadap pasukan Pajang.”

Kedua murid Kiai Gringsing itu terdiam. Sadarlah mereka kini, bahwa perjalanan ini sama sekali bukan perjalanan seperti yang mereka inginkan selama ini. Mereka ingin pergi ke Menoreh, menemui Sidanti dan Argajaya untuk membuat perhitungan. Mencari cara untuk dapat melepaskan kemarahan yang membakar hati. Perang tanding. Tetapi yang terjadi akan jauh berbeda. Meskipun demikian, mereka dapat mengerti maksud gurunya. Nalar mereka dapat menerima. Bahkan mereka tidak dapat berpikir lain daripada untuk kepentingan Pajang itu. Tetapi perasaan merekalah yang kadang-kadang masih terasa bergolak di dalam dada mereka. Perasaan yang mereka tekan sedapat-dapat menurut pertimbangan nalar. Namun, Ki Tanu Metir  pun menyadari, apakah pada suatu saat perasaan itu tidak terdorong keluar tanpa mereka sadari? Apakah mereka pada suatu saat tidak diledakkan oleh perasaan yang justru kini sedang mereka tekan kuat-kuat?
“Mudah-mudahan aku dapat mengendalikan anak-anak ini,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya. Tetapi yang dikatakan adalah,
“Baiklah kita tentukan, besok lusa kita berangkat.”
Tiba-tiba kedua anak-anak muda murid Kiai Gringsing itu merasa perjalanan yang akan mereka lakukan terlampau hambar. Tidak ada lagi dorongan yang melonjak-lonjak di dalam dada mereka. Perjalanan yang akan mereka tempuh bagi mereka kini hanyalah sebuah perjalanan biasa. Perjalanan seperti yang pernah mereka lakukan semasa kanak-kanak mereka. Pergi ke kademangan lain bersama kakek untuk melihat sanak keluarga yang sudah lama tidak berjumpa. Bukan lagi perjalanan dalam gairah darah remaja mereka. Meskipun demikian mereka ingin juga mempergunakan kesempatan itu. Mungkin mereka dapat melihat Alas Mentaok lebih banyak dari yang pernah mereka lakukan. Mungkin mereka akan mendapat pengalaman-pengalaman lain di sepanjang perjalanan, dalam perburuan binatang di dalam hutan.

Kiai Gringsing yang tua itu dapat melihat gejolak di dalam dada murid-muridnya. Tetapi ia tidak memberikan tanggapan apa pun. Dibiarkannya muridnya untuk melihat sendiri dan mengalaminya, apa yang akan mereka jumpai di sepanjang jalan. Mereka akan segera meyakini bahwa perjalanan ini bukanlah sebuah tamasya yang sejuk. Daerah-daerah yang akan mereka lewati akan memberitahukan kepada mereka, bahwa mereka tidak boleh tidur di sepanjang langkah mereka.
“Nah,” berkata Kiai Gringsing itu kemudian,
“sejak kini kalian harus mempersiapkan diri. Kalian tidak perlu membuat ceritera tentang perjalanan ini kepada kawan-kawan kalian. Besok, sehari kalian masih berada di kademangan ini. Tetapi fajar berikutnya, kalian harus sudah berada di perjalanan. Supaya perjalananmu tidak terganggu, maka senjata-senjata yang harus kalian bawa pun harus kalian sesuaikan dengan keadaan. Kalian tidak perlu membawa pedang-pedang kalian yang panjang itu. Kalian dapat membawa keris-keris sipat andel yang dapat kalian sembunyikan di bawah baju, dan senjata yang memberikan kepercayaan kepada diri, cambuk yang dapat dililitkan seperti sehelai ikat pinggang.”
Kedua muridnya mengangguk-anggukkan kepalanya. Agung Sedayu memang mempunyai sebilah keris peninggalan yang dibawanya dari Jati Anom dan Swandaru pun memilikinya pula dari ayahnya.
“Sekarang, kalian dapat mulai dengan persiapan-persiapan kalian,” berkata gurunya pula.
“Kami sudah siap, Guru,” jawab Swandaru. “Seandainya besok  pun kami sudah siap pula untuk berangkat.”
“Kalian masih harus mencuci pakaian. Selembar dua lembar kalian harus membawa ganti pakaian.”
“Apakah itu perlu bagi seorang perantau?” bertanya Swandaru.
“Perlu, Ngger. Seandainya kau kedinginan di jalan, maka kau akan mempunyai selimut. Seandainya tempatmu bermalam penuh dengan nyamuk, maka kau dapat menutup seluruh tubuhmu. Apalagi apabila pakaian yang kau pakai itu sobek, kau akan mempunyai ganti.”
“Kita akan berhati-hati, Kiai. Aku kira aku tidak akan berjalan menerobos semak-semak duri.”
“Memang, kita dapat berhati-hati. Tetapi bagaimanakah kalau baju kita itu sobek bukan karena duri, bukan karena ranting-ranting yang patah dan bukan pula karena umurnya yang tua?”
“Lalu kenapa guru?” bertanya Agung Sedayu.
“Memang mungkin baju-baju kita sobek karena duri, ranting-ranting dan karena ketuaannya. Tetapi yang perlu kau sadari bahwa bajumu itu akan dapat sobek karena ujung pedang. Bahkan bukan saja bajumu, tetapi mungkin kulitmu.”
Kedua muridnya mengerutkan keningnya. Hampir bersamaan mereka bertanya,
“Pedang siapa? Bukankah kita hanya sekedar berjalan-jalan di telatah Menoreh dan tidak berbuat apa-apa.”
“Memang kita tidak berbuat apa-apa. Tetapi orang lain dapat berbuat apa-apa atas kita. Dan apakah kita hanya membiarkan saja apa yang terjadi itu?”
“Oh,” kedua muridnya menarik nafas dalam-dalam.
“Ya, demikianlah,” gumam mereka di dalam hati, “memang hal-hal yang serupa itu akan dapat terjadi.”

Maka mereka  pun kemudian mempersiapkan diri mereka. Menyiapkan sepengadeg pakaian yang akan mereka bawa dalam perjalanan. Mereka menyiapkan senjata-senjata khusus mereka menurut nasehat gurunya. Sebuah cambuk bertangkai pendek dan berjuntai panjang yang mereka buat dari janget berangkap tiga ganda. Sebagai senjata di dalam perkelahian yang sebenarnya, maka senjata itu dilengkapi dengan karah-karah baja. Tidak hanya di tangkainya, tetapi hampir di setiap cengkang, janget-janget itu terikat oleh kepingan baja yang tipis. Dalam keadaan yang memaksa, maka tangkai yang pendek bersalutkan kepingan baja itu akan mampu membentur senjata-senjata tajam. Dan dalam keadaan yang khusus pula, maka mereka akan dapat mempergunakan cambuk-cambuk itu tidak seperti yang lazim. Mereka dapat memegang senjata mereka pada ujung jangetnya, dan tangkai yang pendek itu akan menjadi sebuah penggada yang bertangkai panjang dan lemas.
Kiai Gringsing telah mengajari murid-muridnya untuk mempergunakan senjata-senjata itu dalam segala keadaan dan kemungkinan. Bahkan mereka mampu mempergunakan dalam rangkapannya. Cambuk di tangan kanan dan keris-keris mereka di tangan kiri. Dengan senjata itu, maka semua macam senjata akan dapat mereka hadapi. Bahkan mereka yang berpedang di tangan kanan dan berperisai baja di tangan kiri. Meskipun senjata mereka hanya sekedar sehelai cambuk, tetapi saluran kekuatan yang memancar dari senjata itu, akan mampu merenggut senjata-senjata lawan dan bahkan mematahkan tulang-tulang leher. Apalagi apabila senjata itu berada di tangan Kiai Gringsing sendiri.
Meskipun demikian Kiai Gringsing itu berkata,
“Aku mengharap bahwa kalian tidak akan pernah mempergunakan senjata-senjata itu. Mudah-mudahan yang terjadi adalah perlakuan yang baik di antara sesama. Juga apa yang akan kita alami dan kita perbuat. Betapa dahsyatnya senjata macam apa pun, tetapi kedahsyatannya hanyalah terbatas. Ingat, hanya terbatas. Terbatas sekali.”
Agung Sedayu dan Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya, meskipun nasehat gurunya itu terdengar janggal di telinga mereka. Mereka mempersiapkan diri dengan segala perlengkapan. Tetapi gurunya mengatakan kepada mereka, bahwa mudah-mudahan mereka tidak perlu mempergunakan senjata itu. Tetapi kedua anak-anak muda yang sudah cukup lama bergaul dengan Kiai Gringsing itu segera menangkap maksudnya. Kiai Gringsing lebih senang apabila tidak perlu mempergunakan kekerasan apa pun apabila benar-benar tidak dipaksa oleh keadaan. Sedikit banyak, sifat itu telah mempengaruhi kedua muridnya, meskipun kadang-kadang darah muda mereka masih juga melanda dinding jantung dengan dahsyatnya, sehingga nasehat-nasehat serupa itu sering mereka lupakan. Dan kini gurunya berkata pula kepada mereka tentang hal itu, bahkan gurunya menambahkannya, bahwa betapapun dahsyatnya sepucuk senjata, tetapi kedahsyatan itu hanyalah terbatas. Terbatas sekali.
Ingatan kedua anak-anak muda itu langsung membubung tinggi kepada Kekuatan yang Maha Besar. Kekuatan yang memancari dan menyumberi segala kekuatan, kekuatan yang berjalan di sepanjang jalan yang dikehendaki-Nya. Meskipun setiap manusia selalu disertai oleh segala kekurangan dan kepicikannya, sehingga setiap langkahnya tidak akan ada yang sempurna di hadapan yang Maha Besar, tetapi adalah menjadi kuwajiban manusia untuk berusaha mendekatkan diri kepada kebenaran. Kebenaran yang mutlak. Sedang penilaian tentang kebenaran yang mutlak itu tidak akan dapat diberikan oleh manusia. Kebenaran yang mutlak hanyalah berada pada Tuhan yang Maha Benar. Sehingga jalan manusia untuk mendekat kepada kebenaran adalah mendekat kepada Tuhannya. Mencoba sejauh-jauhnya melakukan segala petunjuk-Nya yang didasari semata-mata atas kasih-Nya, menjauhkan manusia dari kesesatan. Apabila ingatan mereka telah menyentuh kepada Sumbernya, maka baik Agung Sedayu dan Swandaru segera menjadi tenang. Meskipun sifat manusia adalah khilaf, tetapi lambaran kepercayaan yang kuat akan mengurangi sejauh-jauhnya kekhilafan itu. Dengan demikian maka sikap dan pandangan mereka terhadap keadaan menjadi tenang pula. Mereka tidak diburu lagi oleh berbagai macam kebencian dan dendam.

Agung Sedayu dan Swandaru  pun kemudian menyiapkan diri mereka. Namun kini bukan senjata merekalah yang utama, bukan lagi kebencian dan dendam yang mendorong mereka untuk pergi, tetapi terpercik hasrat yang cerah di dalam dada mereka. Bahwa mereka harus dapat berbuat sesuatu untuk kepentingan sesama. Inilah yang harus mereka lakukan. Meskipun demikian mereka  pun tetap menyadari, bahwa untuk itu, mungkin mereka harus menghentikan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan tujuan mereka. Bahkan mungkin akan perlu dilakukan dengan kekerasan apabila terpaksa sekali. Tetapi kekerasan itu bukan tujuan. Kekerasan itu hanya sebagai alat. Karena itu, maka alat itu, kekerasan, tidak boleh bertentangan dengan tujuannya. Adalah tidak wajar, seandainya untuk kepentingan kemanusiaan, maka dilakukan tindakan-tindakan di luar perikemanusiaan. Untuk menghentikan tindak yang melanggar hukum kemanusiaan telah dilakukan tindak kekerasan yang serupa. Ketika malam menjadi semakin dalam, di hari berikutnya, Swandaru duduk di ruang dalam rumahnya bersama ayah dan ibunya, yang sibuk melipat pakaiannya sepengadeg. Besok pada saat fajar menyingsing, Swandaru akan pergi mengikuti gurunya, mencari pengalaman-pengalaman baru di dalam hidupnya.
“Apakah kau akan memerlukan waktu yang lama Swandaru?” bertanya ayahnya.
Swandaru menggelengkan kepalanya, jawabnya, “Aku belum tahu ayah. Mudah-mudahan tidak terlampau lama.”
“Kau harus cepat kembali Swandaru,” berkata ibunya. Tampaklah matanya menjadi basah. Untuk pertama kalinya ia melepaskan anak laki-lakinya itu pergi meninggalkan kademangan, merantau untuk waktu yang tidak tertentu. Ketika Swandaru pergi mencari Sekar Mirah, sama sekali tidak terasa kekhawatiran seperti saat ini. Bukan karena mereka tidak tahu, betapa berbahayanya perjalanan ke Tambak Wedi, tetapi terdorong oleh kecemasan, kemarahan dan perasaan-perasaan lain yang menyesak, maka justru mereka berbangga melihat Swandaru meninggalkan rumah mereka mencari adiknya. Tetapi perasaan kedua orang tua itu kini berbeda. Seolah-olah mereka melepas Swandaru ke dalam kegelapan yang tidak mereka ketahui, apakah yang telah menunggunya di balik kelam itu. Kini tidak ada lagi dorongan apa  pun di dalam diri kedua orang tua itu, untuk melepaskan Swandaru pergi. Karena itu, maka terasa betapa berat hati mereka.
“Segalanya akan sangat tergantung kepada guru,” sahut Swandaru.
Kedua orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Ya, semuanya sangat tergantung kepada gurumu. Aku  pun telah mengatakan kepada gurumu, perjalananmu yang pertama ini seharusnya tidak akan menjadi terlampau berat bagimu dan angger Agung Sedayu.”
“Mudah-mudahan ayah.”
“Kau harus hati-hati di sepanjang jalan Swandaru. Meskipun aku tidak tahu benar, tetapi aku membayangkan bahaya yang akan kau hadapi di sepanjang jalan,” berkata ibunya.
“Ya, Ibu.”
“Kau harus dapat membawa diri. Harus kau pilih jalan yang jauh dari reribed. Jangan banyak membuat persoalan dan jangan terburu oleh nafsu.”
“Ya, Ibu. Tetapi sebagian terbesar akan sangat tergantung pula kepada guru.”
Kedua orang tua-tua itu menganggukkan kepala mereka. Terdengar suara Ki Demang lirih,
“Aku percaya kepada gurumu, Swandaru. Gurumu bukan orang yang dikuasai oleh nafsu. Bukan orang yang cepat kehilangan nalar dan akal. Ia seorang yang rendah hati dan tepa slira.”

Swandaru tidak menjawab. Namun terasa olehnya betapa hatinya menjadi berdebar-debar. Perpisahan yang dipersiapkan memang kadang-kadang terasa terlampau berat. Agaknya lebih baik apabila tiba-tiba saja ia berangkat karena desakan suatu persoalan yang penting seperti pada saat hilangnya Sekar Mirah. Meskipun ada kemungkinan pada saat itu, bahwa ia tidak akan kembali bersama wadagnya, tetapi hanya namanya saja, tetapi saat itu perasaannya tidak seberat perasaannya di saat ini. Meskipun demikian, hasratnya untuk pergi telah bulat. Ia pasti akan berangkat besok menjelang fajar bersama gurunya dan saudara seperguruannya, Agung Sedayu. Dalam pada itu Agung Sedayu sedang duduk di halaman bersama pamannya, Widura. Pamannya, seperti juga ayah Swandaru, memberinya berbagai nasehat. Meskipun Widura tidak memiliki pengalaman dan ilmu seluas Kiai Gringsing, tetapi ia dapat juga memberikan beberapa nasehat yang baik kepada Agung Sedayu.
Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya Agung Sedayu berkata,
“Aku akan selalu mengingat segala pesan Paman.”
“Baik, Sedayu. Aku mengharap bahwa kau tidak saja menjunjung tinggi namamu, nama perguruan dan gurumu, tetapi juga nama keluargamu. Kau adalah putera Kakang Sadewa. Nama Sadewa ternyata lebih banyak dikenal orang dari nama ayahmu itu sendiri. Daripada nama ayahmu yang sebenarnya. Sejak ayahmu mengenal dunia ini dengan sadar, ia telah membenci kejahatan. Banyak hal yang telah dilakukan oleh ayahmu di masa mudanya. Mudah-mudahan kau pun akan mewarisi sifat-sifatnya itu. Dalam beberapa bentuk aku telah melihat sifat-sifat ayahmu ada di dalam diri kakakmu. Sedang kau membawa beberapa macam sifat dari ibumu. Tetapi bagaimanapun juga akhirnya kau adalah seorang perkasa seperti Kakang Sadewa. Bahkan suatu perpaduan yang akan sangat manis apabila di dalam dirimu terdapat sifat ayahmu, seorang yang tegak berdiri di atas kebenaran sejauh-jauh dapat dijangkau oleh nalar dan perasaan manusia yang tidak sempurna ini, tetapi juga dibumbui oleh kasih yang tulus dan jujur seperti yang terpancar dari keibuan ibumu.” Widura berhenti sejenak. Ditatapnya kepala Agung Sedayu yang tunduk, lalu sejenak kemudian dilanjutkannya,
“Meskipun sifat-sifat yang demikian seolah-olah hanya terdapat di dalam dongeng-dongeng dapat disebutkan beberapa macam watak manusia yang berlawanan sama sekali, yang benar seolah-olah tidak pernah terkena salah, dan yang salah seakan-akan tidak memiliki kebenaran sama sekali, namun kau harus mampu menempatkan dirimu menurut pilihan yang tepat. Adalah pasti bahwa seseorang pernah berbuat kesalahan, tetapi kesadaran untuk berbuat baik harus kau miliki.” Sekali lagi Widura berhenti sejenak, dan kemudian,
“Yang lebih penting Sedayu, kau harus selalu merasa dekat dengan Tuhanmu. Dengan demikian kau akan tabah menghadapi setiap persoalan, tetapi dengan demikian kau juga akan selalu takut berbuat kesalahan.”

Agung Sedayu masih menundukkan kepalanya. Seperti pada saat-saat ia makan nasi, terasa bahwa tubuhnya, wadagnya, menjadi semakin segar dan kuat. Maka kata-kata pamannya merupakan makanan bagi kesadaran rohaniahnya. Makanan yang memberinya kesegaran batin.
“Begitulah, Sedayu,” berkata pamannya kemudian.
“Sebenarnya aku tidak perlu berbicara terlampau panjang. Aku percaya bahwa gurumu akan berbuat seperti yang aku harapkan. Kiai Gringsing adalah orang yang tepat bagimu. Sayang aku tidak dapat mengenalnya dengan pasti, siapakah sebenarnya Ki Tanu Metir. Tetapi bahwa ia telah mengenal ayahmu dengan baik, telah memberikan harapan, bahwa ia adalah orang yang tepat untuk menuntunmu. Adalah suatu teka-teki bagiku, bahwa Ki Tanu Metir telah mengenal hampir setiap orang yang mempunyai beberapa kelebihan dari orang lain. Ia mengenal Ki Tambak Wedi, Ki Sumangkar, Ki Gede Pemanahan, dan agaknya Ki Gede Menoreh pula. Tetapi orang-orang itu tidak pernah dapat mengetahui dengan pasti, siapakah Kiai Gringsing yang juga disebut Ki Tanu Metir. Orang itu telah mengenal aku pula, sebelum aku mengerti dengan siapa aku berhadapan. Mungkin ayahmulah satu-satunya orang yang dapat menyebut dengan pasti, siapakah sebenarnya Kiai Gringsing yang aneh itu.”
Agung Sedayu kini mengangguk-anggukkan kepalanya. Setiap hari ia berada bersama-sama dengan gurunya. Tetapi seolah-olah orang tua itu masih saja di selaputi oleh segumpal kabut yang tebal. Namun telah tertanam keyakinan di dalam dada mereka yang mengenal Kiai Gringsing, bahwa orang ini sama sekali bukan orang yang berada di jalan yang sesat.
Dalam pada itu terdengar Widura berkata,
“Sedayu, apakah semua persiapan telah kau atur dengan baik?”
“Sudah, Paman.”
“Apakah kau akan membawa senjata pula?”
“Ya, Paman. Senjata khusus menurut petunjuk Kiai Gringsing. Selain sesuai dengan ajaran tata gerak yang diberikan, maka senjata itu tidak akan terlampau jelas seperti sehelai pedang.”
“Ya, senjata itu dapat kau lingkarkan seperti ikat pinggang.”
“Ya, Paman. Dan sebilah keris. Kerisku akan aku bawa pula besok.”
Pamannya mengangguk-anggukkan kepalanya, katanya,
“Mudah-mudahan kerismu selalu memberimu peringatan. Kau tidak boleh melupakan dirimu dan keadaanmu. Kau pernah merasakan, betapa sakitnya orang disiksa oleh ketakutan. Karena itu jangan menakut-nakuti orang lain. Sebab orang lain  pun akan merasakan seperti apa yang pernah kau rasakan.”
Sekali lagi Agung Sedayu mengangguk sambil menjawab, “Ya, Paman.”
“Sekarang beristirahatlah. Besok kau akan berangkat pagi-pagi sekali. Di manakah gurumu sekarang?”
“Mungkin guru baru berjalan-jalan, Paman. Kami mendapat kesempatan malam ini untuk minta diri dan mempersiapkan bekal yang akan kami bawa.”
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali lagi ia menyuruh Agung Sedayu untuk segera beristirahat, karena malam telah menjadi semakin malam.

Sejenak kemudian Widura itu  pun telah meninggalkan kemanakannya, dan masuk ke pringgitan. Ia masih melihat di ruang dalam, dari celah-celah pintu yang terbuka sedikit, Swandaru duduk di hadapan ayah dan ibunya. Tetapi ia tidak melihat Sekar Mirah di antara mereka. Sementara itu Agung Sedayu masih saja duduk di halaman. Dari tempatnya ia melihat beberapa orang prajurit yang berjaga-jaga di regol halaman, di bawah sinar pelita yang redup. Tetapi tempat duduk Agung Sedayu sendiri terlindung oleh baying-bayang yang agak gelap. Sejenak ia merenungi regol halaman kademangan itu. Pertama kali ia datang ke Sangkal Putung, regol halaman itu selalu tertutup. Beberapa orang pengawal membawanya dan memberikan tanda-tanda dengan ketokan pintu regol. Kemudian Ki Demang Sangkal Putung sendirilah yang membawanya dari regol halaman menyeberangi pelataran, naik ke pendapa dan kemudian menghadap pamannya. Agung Sedayu menarik nafas. Besok justru ia akan meninggalkan halaman ini. Ketika angin malam yang sejuk menyentuh keningnya, terasa udara yang dingin seakan-akan merasuk sampai ke tulang sungsum.Ketika ia bergeser dari tempat duduknya untuk berdiri dan meninggalkan tempat yang dingin, dan menghindari gigitan nyamuk yang buas, maka tiba-tiba ia terkejut mendengar desir lembut di belakangnya. Agung Sedayu mengurungkan niatnya. Diperhatikannya suatu itu yang semakin lama menjadi semakin dekat. Tetapi Agung Sedayu tidak perlu cemas, sebab ia berada di dalam lingkungan dinding halaman kademangan yang tinggi. Meskipun demikian ia tidak boleh lengah. Hatinya menjadi kian berdebar-debar ketika terdengar desir itu menjadi semakin dekat. Namun pendengarannya yang terlatih segera dapat mengetahui, bahwa langkah itu sama sekali tidak berbahaya baginya. Karena itu maka segera ia berpaling. Tetapi sekali lagi ia terperanjat. Di dalam keremangan ia melihat sesosok tubuh berdiri tegak beberapa langkah dari padanya. Seorang perempuan. Tergagap Agung Sedayu menyapa lirih,
“Kau, Mirah?”
Yang berdiri itu adalah Sekar Mirah. Tetapi ketika ia mendengar suara Agung Sedayu, tiba-tiba saja terasa darahnya membeku. Gadis itu menjadi kebingungan dan tidak mengerti apa yang harus dilakukannya. Agung Sedayu yang melihat Sekar Mirah membeku di tempatnya, menjadi bingung pula. Perlahan-lahan ia berdiri, tetapi ia tidak melangkah maju. Sejenak mereka berdiri tegak berhadapan dalam jarak beberapa langkah. Tetapi masing-masing saling terbungkam dalam ketegangan. Baru beberapa saat kemudian Agung Sedayu berhasil menguasai dirinya. Dicobanya untuk menenangkan detak jantungnya, dan perlahan-lahan ia bertanya,
“Mirah. Kenapa kau berada di situ?”
Sekar Mirah masih membeku. Pertanyaan Agung Sedayu itu telah membuatnya semakin bingung. Seolah-olah pertanyaan itu bergulung-gulung di kepalanya,
“Ya, kenapa aku berada di sini?”
Tiba-tiba Sekar Mirah menyadari dirinya, bahwa ia adalah seorang gadis, seorang gadis yang sedang menginjak dewasa. Karena itu maka terasa wajahnya menjadi panas. Sebelum ia dapat berbuat sesuatu, terdengar suara Agung Sedayu mengulangi,
“Kenapa kau berada di sini di malam begini?”
Sekar Mirah masih terdiam.
“Apakah kau disuruh oleh ayah atau ibumu?”
Sekar Mirah tidak menjawab.
“Atau,” Agung Sedayu tidak dapat mencari pertanyaan yang lain.

Sekali lagi keduanya terdiam. Namun Agung Sedayu kini sudah tidak lagi dikuasai oleh kejutan yang membingungkan. Ia telah berhasil menguasai perasaannya. Karena Sekar Mirah masih juga berdiam diri, maka selangkah Agung Sedayu maju mendekatinya sambil bertanya pula,
“Mungkin kau mempunyai sesuatu keperluan Mirah? Mungkin dengan seseorang? Pelayanmu barangkali, atau keperluan-keperluan lain yang harus segera kau selesaikan.”
Sekar Mirah masih berdiam diri. Tetapi perlahan-lahan digelengkannya kepalanya. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia kini menjadi gelisah. Bukan karena kehadiran Sekar Mirah, tetapi bagaimana ia mendapatkan jawaban dari padanya atas pertanyaan-pertanyaannya.
“Hari sudah jauh malam, Mirah. Apakah kau tidak pergi tidur, atau beristirahat?”
Sekar Mirah mengangkat wajahnya. Dalam keremangan malam Agung Sedayu tidak dapat melihat wajah itu dengan jelas. Namun kemudian perlahan-lahan terdengar gadis itu berkata,
“Aku sudah lama menunggu di sudut rumah.”
“O, kenapa baru sekarang kau datang kemari?”
“Kau baru berbicara dengan Paman Widura. Aku tidak berani mengganggu.”
“Dan kau menunggu saja di sudut rumah itu.”
“Ya, hampir aku tidak sabar. Pamanmu terlampau lama.”
“Aku mendengarkan nasehat-nasehatnya. Lalu, apakah kau juga ingin berbicara sesuatu dengan aku?”
Sekali lagi Sekar Mirah terdiam.
“Bagaimana?” desak Agung Sedayu.
“Kau aneh, Kakang,” tiba-tiba terdengar suara itu menjadi sendat.
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Dan ia mendengar suara Sekar Mirah lambat,
“Bukankah besok kau akan pergi meninggalkan Sangkal Putung?”
Agung Sedayu tidak segera menjawab. Tetapi terasa debar jantungnya menjadi semakin cepat. Baru kini ia menyadari kesalahannya, ia tidak memerlukan untuk minta diri kepada Sekar Mirah, meskipun secara tidak langsung ia sudah mengatakannya, bahwa ia akan pergi bersama guru dan saudara seperguruannya, Swandaru.
Sejenak keduanya terdiam. Di kejauhan terdengar tengara menggema memenuhi kademangan. Ternyata tanpa mereka sadari, malam telah hampir sampai di pusatnya. Sekar Mirah mengangkat wajahnya mendengar tengara kentongan itu. Ia harus segera masuk ke dalam biliknya. Apabila ibunya mengetahui bahwa diam-diam ia merayap ke luar rumah di tengah malam begini, maka ibunya pasti akan marah kepadanya.
“Kakang,” desis Sekar Mirah kemudian, “sudah tengah malam. Aku harus segera tidur.”
Agung Sedayu menganggukkan kepalanya. Jawabnya,
“Tidurlah, Mirah. Aku besok minta diri kepadamu, kepada seluruh keluarga di kademangan ini.”
Sekar Mirah menundukkan kepalanya. Desisnya,
“Aku hanya dapat mengucapkan selamat jalan, Kakang.”
“Terima kasih, Mirah,” sahut Agung Sedayu,
“mudah-mudahan aku selamat di perjalanan dan keluarga di sini pun selamat seluruhnya.”
“Mudah-mudahan kau segera kembali. Aku mengharap bahwa kau akan kembali ke Sangkal Putung, Kakang, tidak ke Jati Anom.”
“Jarak antara Sangkal Putung dan Jati Anom tidak terlampau jauh di masa damai Mirah.”
Sekar Mirah terdiam. Ia mengharap Agung Sedayu mengatakan banyak hal tentang dirinya. Tetapi Agung Sedayu  pun terdiam pula. Bahkan dadanya yang sudah mulai tenang menjadi berdebar-debar kembali.

Alangkah jauh perbedaan sifat antara Agung Sedayu dan Sidanti. Sekar Mirah pernah berkawan agak rapat dengan Sidanti, karena gadis itu mengagumi Sidanti sebagai seorang pahlawan yang tiada bandingnya di Sangkal Putung selain Widura sendiri pada saat itu. Tetapi ternyata bahwa ia hanya sekedar mengaguminya. Tidak lebih daripada itu. Meskipun Sidanti agak lebih banyak memberikan waktunya untuk bersama-sama dengan Sekar Mirah berjalan-jalan, berbicara dan bahkan kadang-kadang seperti anak-anak mereka bermain-main, namun ternyata Sidanti tidak dapat mengikat hati Sekar Mirah seerat tali yang dilepaskan oleh Agung Sedayu dengan kediriannya. Dengan segenap sifat-sifatnya. Meskipun Sekar Mirah lebih senang melihat seorang laki-laki yang agak banyak membanggakan dirinya seperti Sidanti, namun ada unsur lain yang tidak dapat dimengerti oleh Sekar Mirah, kenapa Agung Sedayu pun dikaguminya pula. Apalagi setelah, ia menyadari bahwa hampir di dalam segala hal Agung Sedayu tidak dapat dikalahkan oleh Sidanti, sejak mereka beradu dalam kecakapan memanah.
“Tetapi Agung Sedayu tidak pernah berkata dengan bangga ‘Mirah, tinggallah kau di sini. Besok aku akan bertemu dengan Tohpati, biarlah aku penggal lehernya, aku bawa pulang kepalanya ke kademangan ini untuk menjadi alas kakimu’ dan Agung Sedayu juga tidak pernah berkata kepadanya ‘Apa pun yang kau minta Mirah. Aku akan sanggup mengadakan. Tak ada orang yang dapat menghalangi aku. Tak ada jarak yang dapat membatasi gerakku. Lautan akan aku keringkan dan gunung-gunung akan aku runtuh dan ratakan.”
Tidak. Agung Sedayu tidak pernah berkata demikian. Pada saat anak muda itu datang ke Sangkal Putung untuk pertama kalinya, memang ia berceritera tentang perkelahiannya dengan beberapa orang di sepanjang perjalanannya. Tetapi Agung Sedayu untuk seterusnya tidak pernah berbangga atas dirinya. Bahkan di saat-saat itu, di saat-saat ia baru saja berada di kademangan ini tampaknya selalu dicengkam oleh keragu-raguan dan kecemasan.
“Ia terlampau takut terhadap pamannya,” pikir Sekar Mirah saat itu.
Setiap kali Agung Sedayu hanya berkata kepadanya,
“Mudah-mudahan aku berhasil mengatasi lawan-lawanku, Mirah.” Hanya itu. Hanya itu saja yang dikatakan, seolah-olah ia tidak meyakini kekuatan sendiri. Sebenarnya Sekar Mirah agak kecewa terhadap sikap itu. Sikap yang menurut Sekar Mirah kurang jantan. Kurang tatag dan ragu-ragu. Namun meskipun demikian anak muda itu telah mengikat hatinya, dalam keadaannya itu.
Dan kali ini  pun Agung Sedayu berkata kepadanya,
“Mudah-mudahan aku selamat di perjalanan dan keluarga di sini  pun selamat seluruhnya.”
Kenapa Agung Sedayu itu tidak berkata,
“Mirah, aku akan pergi ke Menoreh. Kelak aku akan kembali dengan membawa kepala Sidanti untuk alas kakimu. Kau akan dapat melepaskan dendammu kepadanya. Dan kepala itu adalah tanda katresnanku kepadamu.”
Tidak, Agung Sedayu tidak berkata demikian. Bahkan kemudian ia mendengar Agung Sedayu yang berdiri mematung di hadapannya itu berkata,
“Pergilah tidur, Mirah. Mudah-mudahan kau besok pagi tidak terlambat bangun, sehingga kau dapat melihat keberangkatanku bersama Kiai Gringsing dan Adi Swandaru.”

Terasa leher gadis itu tersumbat, sehingga ia tidak dapat menyahut. Ia menjadi kecewa. Perpisahan itu sama sekali tidak berkesan kejantanan seorang prajurit yang pergi berperang. Tetapi anak muda yang bernama Agung Sedayu itu minta diri kepadanya seperti seorang perantau yang akan mencari sesuap nasi bagi keluarganya yang ditinggalkannya. Kata-kata yang diucapkan tidak lebih dari,
“Mudah-mudahan aku selamat.”
Tetapi Sekar Mirah tidak dapat berdiri di tempatnya terlampau lama. Ia harus masuk ke dalam biliknya. Karena itu maka katanya,
“Selamat malam, Kakang. Besok aku akan bangun pagi-pagi sekali untuk menyiapkan makan pagi kalian sebelum berangkat.”
Terasa desir yang lembut menggores jantung Agung Sedayu. Ia sendiri tidak tahu, pengaruh apa yang telah menyentuh isi dadanya. Hampir setiap hari Sekar Mirah dan pembantu-pembantunya menyiapkan makan untuk mereka. Untuk pamannya, untuk dirinya dan untuk para prajurit Pajang di Sangkal Putung. Tetapi ketika Sekar Mirah mengatakan itu langsung kepadanya, terasa debar dadanya menjadi semakin cepat.
“Terima kasih, Mirah,” hanya itulah, yang diucapkannya, lalu dilanjutkannya, “Selamat malam.”
Tetapi Sekar Mirah masih belum juga beranjak dari tempatnya. Gadis itu masih berdiri saja seolah-olah mematung. Ia masih mengharap Agung Sedayu mengatakan sesuatu kepadanya, sebagaimana seorang laki-laki yang perkasa siap untuk berangkat ke medan perang, meninggalkan seorang kekasih yang dicintainya.
Tetapi Agung Sedayu tidak berkata apa-apa. Agung Sedayu  pun menjadi seakan-akan beku ketika ia melihat Sekar Mirah masih saja berdiri mematung.
“Oh,” desah Sekar Mirah di dalam hatinya. Hatinya yang menjadi kisruh.
Agung Sedayu malahan menjadi beku. Diam dan tidak berkata-kata lagi. Tiba-tiba gadis itu memutar tubuhnya membelakangi. Hampir meledak tangis yang ditahan di dadanya. Ia menjadi kecewa melihat sikap itu. Sikap yang bagi Sekar Mirah kurang jantan. Kurang berani. Bukan kurang berani menghadapi lawan, tetapi ia sama sekali tidak berkata-kata apa-apa kepadanya. Dan sikapnya menunjukkan keragu-raguan yang menjemukan. Agung Sedayu menjadi bingung melihat Sekar Mirah yang tiba-tiba menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Sekuat tenaga gadis itu bertahan untuk tidak menangis. Untuk sesaat ia berhasil. Meskipun demikian dadanya serasa akan meledak.

Karena Agung Sedayu tidak berbuat sesuatu, maka Sekar Mirah  pun tidak akan dapat mengharap apa-apa lagi daripadanya saat itu. Ia tidak akan dapat mendengar kata-kata yang dapat membuat jantungnya bergetar. Baik Agung Sedayu sebagai seorang laki-laki yang mempunyai banyak kelebihan dari laki-laki yang lain, yang sudah ternyata bahwa ia mampu melawan Sidanti, bahkan dalam, beberapa hal ia telah melampauinya, maupun sebagai seorang laki-laki yang telah menjerat hatinya. Laki-laki yang meskipun tidak memberikan kebanggaan kepadanya, namun dalam keseluruhannya Agung Sedayu telah mengikatnya terlampau erat. Agung Sedayu terlalu sopan. Bukan, bukan terlalu sopan, tetapi hatinya selalu dicengkam oleh keragu-raguan. Meskipun ia telah berhasil memecahkan dinding yang mengurungnya dalam ketakutan, namun ia masih belum berhasil melepaskan diri dari kebimbangan dan keragu-raguan untuk bersikap. Apalagi apabila terkenang olehnya sikap kakaknya, Untara.
Agung Sedayu yang ragu-ragu itu terperanjat ketika tiba-tiba saja, ia melihat Sekar Mirah itu meloncat berlari meninggalkannya. Sehingga tanpa sesadarnya ia memanggil,
“Mirah. Mirah.”
Tetapi Sekar Mirah seakan-akan tidak mendengarnya. Ia berlari terus meninggalkan Agung Sedayu berdiri seorang diri sambil termangu-mangu. Ia menjadi semakin bingung menghadapi Sekar Mirah. Ia tidak mengerti apa yang harus dilakukan.
Sekar Mirah yang yakin benar, bahwa Agung Sedayu tidak akan mengejarnya, kemudian berhenti di belakang rumahnya. Dicobanya untuk menekan hatinya yang seolah-olah sedang mendidih oleh kekecewaan. Ia masih sadar, bahwa ia tidak boleh mengejutkan ayah dan ibunya. Mungkin Swandaru yang masih juga belum tidur. Perlahan-lahan didorongnya lawang leregan di butulan belakang. Kemudian dengan hati-hati pintu itu ditutup kembali setelah ia melangkah masuk. Dengan hati-hati pula diangkatnya slarak kayu dan disilangkannya pada daun pintu. Berjingkat ia melangkah menuju ke biliknya. Rumahnya sudah terlampau sepi. Ia tidak mendengar suara apa  pun lagi. Ketika ia lewat melalui bilik ibunya, hatinya menjadi berdebar-debar. Tetapi bilik itu telah tertutup. Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Namun kekecewaan di dalam dadanya hampir tidak tertahankan lagi, seakan ingin meledak.
Dengan hati-hati ia melangkah ke pintu biliknya. Bilik itu tertutup rapat. Ia sendirilah yang menutupnya ketika ia diam-diam pergi ke luar. Perlahan-lahan sekali ditariknya pintu leregan bilik itu. Perlahan-lahan sekali supaya tidak menimbulkan bunyi. Bunyi derit yang lembut sekalipun. Sedikit demi sedikit pintu itu terbuka. Semakin lebar. Dan ketika ia menjenguk ke dalam, hampir-hampir ia menjadi pingsan. Jantungnya serasa berhenti berdetak karena kejutan yang luar biasa. Untunglah ia tidak menjerit keras-keras. Dilihatnya seorang duduk di atas pembaringannya. Sinar pelita yang redup agak kemerah-merahan memancar jatuh di atas wajah yang bulat gemuk.
Swandaru.

Swandaru menahan suara tertawanya melihat adiknya terkejut bahkan hampir menjadi pingsan. Perlahan-lahan ia berdiri dam berkata lambat,
“Masuklah. Apakah kau terkejut?”
Sekar Mirah masih terbungkam. Detak jantungnya masih belum berjalan wajar. Kedua telapak tangannya masih menutupi mulutnya yang hampir berteriak.
“Masuklah. Aku tidak ingin mengejutkan kau.”
Sekar Mirah masih berdiri membeku.
“Masuklah, Mirah. Darimanakah kau.”
Sekar Mirah tidak menjawab. Tetapi ia tidak berbuat apa  pun ketika kakaknya mendekatinya membimbingnya masuk ke dalam biliknya dan mendorongnya duduk di atas pembaringannya.
“Maafkan aku, Mirah. Aku tidak ingin mengejutkan kau. Aku sengaja menunggumu, karena aku akan minta diri pula kepadamu.”
Sekar Mirah masih terdiam. Dan Swandaru berkata terus sambil berdiri di mukanya.
“Apakah kau tadi menemui Kakang Agung Sedayu di luar?”
Sekar Mirah tidak menyahut. Kejutan yang menghentak dadanya masih belum mereda. Swandaru pun kemudian berdiam diri untuk sesaat. Dibiarkannya adiknya menjadi tenang. Perlahan-lahan ia berjalan mondar-mandir di dalam ruangan yang sempit itu.  Angin malam yang dingin menyusup lubang-lubang dinding menyentuh tubuh-tubuh mereka. Di kejauhan terdengar suara angkup nangka mencicit seperti sedang menjerit-jerit. Sekali lagi terdengar suara tengara kentongan di kejauhan, sahut-menyahut. Kini malam benar-benar telah sampai ke pusatnya. Tengah malam. Bukan saja suara kentongan dalam nada dara muluk yang terdengar sahut-menyahut, tetapi kemudian disusul oleh kokok ayam jantan untuk yang pertama kalinya, menjalar dari kandang ke kandang, merambat ke seluruh kademangan. Swandaru menarik nafasnya. Ketika disangkanya adiknya telah agak tenang, maka ia  pun berkata,
“Aku ingin minta diri kepadamu, Mirah.”
Tetapi ternyata Sekar Mirah masih belum menjawab. Meskipun kejutan yang menghentak dadanya telah mereda, tetapi kekecewaan atas Agung Sedayu masih belum terhapus. Bahkan kemudian ia menjadi sangat jengkel terhadap kakaknya yang telah mengejutkannya.
“Kau marah, Mirah?” bertanya Swandaru.
“Aku sama sekali tidak sengaja mengejutkan kau.” Tetapi Swandaru tersenyum di dalam hatinya. Ia sengaja menutup pintu bilik Sekar Mirah, supaya gadis itu terkejut. Tetapi biasanya Sekar Mirah tidak terlampau lama marah kepadanya. Sejenak saja kemarahannya telah menjadi cair. Tetapi kali ini, justru besok ia akan pergi. Sekar Mirah agaknya benar-benar marah kepadanya.
“Aku minta maaf Mirah. Aku datang untuk minta diri, besok aku akan pergi,” Swandaru berhenti sejenak. Dilihatnya Sekar Mirah menundukkan kepalanya.
“Besok aku dan Kakang Agung Sedayu akan pergi melintasi hutan Mentaok, pergi ke Menoreh. Bukankah kau sudah mendengarnya pula? Kami akan pergi bersama guru, Kiai Gringsing.” Sekali lagi Swandaru berhenti berbicara. Dipandanginya kepala Sekar Mirah yang tunduk. Lalu diteruskannya,
“Apakah kau mempunyai pesan sesuatu? Katakanlah. Mungkin kau mempunyai kepentingan. Apakah kau ingin aku memenggal kepala Sidanti dan membawanya pulang supaya kau menjadi bersenang hati, atau bahkan kedua-duanya dengan kepala Argajaya?”
Tiba-tiba Sekar Mirah tersentak. Dengan serta-merta ia menengadahkan kepalanya. Kata-kata itulah yang ingin didengarnya. Tetapi tidak dari mulut kakaknya.


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar