SAMBIL menyeringai Kiai Telapak Jalak memutar rantainya seperti baling-baling. Tetapi cambuk Kiai Gringsing menyerangnya mendatar serendah lututnya, sehingga memaksa Kiai Telapak Jalak meloncat tinggi-tinggi. Tetapi begitu kakinya menyentuh tanah, sekali lagi ujung cambuk itu melecut lambungnya dan mengoyak bajunya. Bukan saja bajunya, tetapi juga kulitnya telah menitikkan darah. Kiai Telapak Jalak mengumpat-umpat. Tetapi umpatannya tidak dapat menyelamatkannya. Ia terputar setengah lingkaran ketika sekali lagi ujung trisula Sumangkar mendorongnya di punggung, dan sebelum ia terjatuh, cambuk Kiai Gringsing membelit dadanya, dan hentakan sendal pancing telah membuatnya terputar dan tidak lagi berhasil menjaga keseimbangannya. Sejenak kemudian Kiai Telapak Jalak, orang yang memiliki kemampuan melampaui orang biasa itu, tidak lagi dapat bertahan untuk tetap berdiri. Terhuyung-huyung sambil berputaran ia akhirnya jatuh terlentang di atas tanah yang lembab.
“Cepat,” desis
Kiai Gringsing. Sumangkar pun meloncat maju. Ia berhasil menginjak tangan kanan
Kiai Telapak Jalak yang menggenggam senjata. Ia mengharap bahwa dengan demikian
Kiai Telapak Jalak dapat dipaksanya menyerah. Tetapi Ki Sumangkar terpaksa
meloncat melepaskannya lagi, karena Kiai Telapak Jalak masih berusaha mematuk
kaki Sumangkar dengan kerisnya. Pada saat itulah, cambuk Kiai Gringsing meledak
dan ujungnya telah membelit tangan Kiai Telapak Jalak. Dengan suatu hentakan
yang kuat Kiai Gringsing mencoba menarik tangan itu agar kerisnya dapat
terlepas. Tetapi Kiai Telapak Jalak tidak mau melepaskan kerisnya begitu saja.
Ia masih mencoba menghentakkan tangannya. Tetapi ternyata bahwa kekuatan Kiai
Gringsing tidak dapat diatasinya. Bahkan tanpa disadarinya, pergelangan
tangannya yang terbelit ujung cambuk itu terluka karenanya. Meskipun demikian
Kiai Telapak Jalak tidak mau menyerah. Ia masih mencoba untuk menguasai
dirinya. Dengan sekuat-kuat tenaganya ia mendekapkan tangannya, kemudian sekali
ia berguling dan menyerang Kiai Gringsing dengan kakinya yang melenting dengan
kerasnya. Kiai Gringsing tidak menyangka bahwa di dalam keadaan itu Kiai
Telapak Jalak masih mampu menyerangnya, sehingga karena itu ia justru
terperanjat karenanya. Ia tidak mendapat kesempatan untuk menarik cambuknya dan
sudah tentu ia tidak ingin melepaskannya. Karena itu, sambil mengerahkan
kekuatannya ia menarik cambuknya itu. Ternyata kekuatan tarikan cambuk Kiai
Gringsing justru telah memutar tubuh Kiai Telapak Jalak dan menolongnya untuk
melenting dan tegak berdiri meskipun ia masih belum berhasil melepaskan
pergelangan tangannya. Namun dengan demikian ia mempunyai kesempatan yang lebih
baik daripada apabila ia masih terbaring di tanah. Tanpa menghiraukan apa pun
juga ia meloncat menyerang Kiai Gringsing dengan rantainya sekuat-kuat dapat
dilakukan.
Tetapi Kiai
Gringsing pun tidak tinggal diam. Sekali lagi ia menghentakkan cambuknya
sehingga Kiai Telapak Jalak terseret beberapa langkah. Dengan demikian maka
serangannya tidak lagi pada sasarannya. Namun demikian Kiai Telapak Jalak sama
sekali tidak menyerah. Ia masih berusaha mengurai ujung cambuk di tangannya.
Dan agaknya Kiai Gringsing kali ini tidak, menghalanginya, sehingga akhirnya
tangannya itu pun terlepas, meskipun tangan itu telah terluka. Tetapi Kiai
Gringsing tidak membiarkannya. Begitu ujung-cambuknya lepas, maka sekali lagi
ujung cambuk itu meledak memekakkan telinga. Dan sebuah jalur merah telah melekat
di dada Kiai Telapak Jalak. Sumangkar yang sejenak terpukau oleh peristiwa itu
tiba-tiba seperti tersadar dari lamunannya. Tiba-tiba saja ia melemparkan
trisulanya mematuk Kiai Telapak Jalak yang sedang kehilangan keseimbangan oleh
sentuhan ujung cambuk Kiai Gringsing. Dengan demikian maka ia sama sekali tidak
dapat menghindar lagi. Sekali lagi lambungnya tersobek oleh luka karena ujung
senjata Ki Sumangkar. Kiai Telapak Jalak terdorong selangkah ke samping. Tetapi
ia masih tetap berdiri. Wajahnya menjadi merah padam. Namun tidak terlintas
sama sekali niatnya untuk menyerah. Ketika kedua serangan datang beruntun dari
Ki Sumangkar dan Kiai Gringsing, maka Kiai Telapak Jalak sudah benar-benar
tidak berdaya. Jangankan menghindar dan menyerang kembali, sedangkan menangkis
pun tidak ada lagi sisa tenaganya yang cukup. Karena itu, maka ia pun segera
terhuyung-huyung surut beberapa langkah ke belakang. Namun demikian tatapan
matanya masih tetap membara. Sorot matanya itu masih tetap menantang dan
pantang menyerah. Kedua jenis senjatanya pun masih tetap pula di dalam
genggaman.
“Menyerahlah,”
desak Kiai Gringsing, “kau akan mendapat keringanan.”
“Persetan,” ia
menggeram. Namun dalam pada itu, mata Kiai Telapak Jalak seolah-olah menjadi
liar ketika ia melihat Raden Sutawijaya telah berada di dekat arena itu sambil
berkata,
”Semuanya
sudah selesai. Mereka telah dapat kami usir. Hanya sebagian kecil sajalah yang
masih melakukan perlawanan. Sebentar lagi para pengawal akan segera dapat
menguasai mereka.”
“Persetan,” sekali
lagi Kiai Telapak Jalak menggeram.
“Menyerahlah,”
desak Kiai Gringsing berulang kali,
“aku akan
menjamin bahwa kau akan mendapat sekedar pengampunan.”
“Aku tidak
memerlukan belas kasihan. Bunuhlah kalau kau mampu membunuh aku.”
“Baiklah,”
Sutawijaya lah yang menyahut sambil menggeretakkan gigi.
”Aku tidak
pernah meleset dari sasaran apabila aku melontarkan tombak pendekku ini.”
Tetapi ketika
Sutawijaya mengangkat tombaknya, Kiai Gringsing menggamitnya sambil berbisik,
“Kita
memerlukannya hidup-hidup.”
“O, ya,”
barulah Sutawijaya sadar betapa pentingnya Kiai Telapak Jalak itu, sehingga
karena itu, maka ia pun mengurungkan niatnya.
“Ayo, cepat.
Lakukanlah Sutawijaya,“ tantang Kiai Telapak Jalak,
“jangan
ragu-ragu. Inilah aku, Kiai Telapak Jalak. Lontarkanlah tombakmu itu.”
Tetapi
Sutawijaya menggeleng,
“Tidak. Aku
tidak akan melemparkan, tombak itu. Kami di sini sedang menunggu kedua anak
Truna Podang. Kami akan mengepungmu rapat-rapat dan menangkapmu hidup-hidup.
Kau sadar bahwa kau amat penting bagi kami?”
“Persetan!“
teriak Kiai Telapak Jalak.
Dalam pada
itu, Agung Sedayu dan Swandaru segera hadir pula di arena itu, setelah
orang-orang Kiai Telapak Jalak yang masih tersisa terusir dari medan. Sedangkan
yang lain jatuh sebagai korban atau luka-luka sehingga mereka tidak dapat
beringsut lagi dari tempatnya.
“Nah, kita
kepung orang ini rapat-rapat. Kita akan menangkapnya hidup-hidup.”
Mata Kiai
Telapak Jalak menjadi nanar. Ia melihat lima orang mengelilingi, masing-masing
dengan senjata di tangan. Tetapi ternyata bahwa mereka tidak berhasrat
benar-benar membunuhnya. Senjata-senjata itu tidak mereka pergunakan sebaiknya
meskipun ia sudah tidak berdaya lagi. Namun dengan demikian, kegelisahan telah
memuncak di hatinya. Ia sadar sepenuhnya apa yang akan terjadi atasnya apabila
ia berhasil ditangkap hidup-hidup oleh Raden Sutawijaya. Ia pasti akan dibawa
ke pusat pemerintahan tanah yang baru dibuka ini. Dihadapkan pada Ki Gede
Pemanahan dan kemudian dipaksa untuk mengatakan siapa saja yang pernah berhubungan
dengan dirinya dan usahanya yang gagal itu.
“Tidak!“ ia
menggeretakkan giginya. Ia sudah mendapat kebulatan tekad. Ia tidak akan
tertangkap hidup-hidup dan tidak akan pernah mengatakan kepada siapa pun juga,
siapa yang sebenarnya terlibat di dalam usaha untuk menggagalkan rencana
pembukaan Alas Mentaok dan membuat Mataram menjadi besar.
Tetapi adalah
suatu kenyataan bahwa ia tidak akan dapat keluar dari kepungan kelima orang
yang kini berdiri mengitarinya dengan senjata di tangan masing-masing. Dada Kiai
Telapak Jalak menjadi semakin berdebar-debar ketika ia melihat kelima orang itu
maju setapak demi setapak semakin dekat. Pada saatnya, mereka pasti akan
meloncat menerkamnya dan mengikat kedua tangan di punggungnya. Sejenak Kiai
Telapak Jalak masih berdiri terhuyung-huyung. Tangannya yang gemetar masih juga
bergerak mengayun-ayunkan rantainya. Tetapi kekuatannya sama sekali sudah tidak
berbahaya lagi bagi siapa pun juga, apalagi bagi Kiai Gringsing dan Ki
Sumangkar.
Dalam
keadaannya itu, masih juga terdengar Kiai Gringsing berkata,
“Apakah kau
masih tidak ingin menyerah.”
Kiai Telapak
Jalak memandanginya. Dan sekali lagi ia menggeram,
“Persetan. Aku
akan membunuh kalian berlima.”
Belum lagi
gema suaranya dihanyutkan angin, telah terdengar cambuk Kiai Gringsing meledak.
Sekali lagi pergelangan tangan Kiai Telapak Jalak terbelit oleh ujung cambuk
kiai Gringsing. Namun dengan sisa-sisa tenaganya, Kiai Telapak Jalak masih juga
tidak melepaskan kerisnya. Keris pusakanya yang selama ini selalu berhasil
menyelesaikan persoalan yang paling sulit yang dihadapinya. Dalam pada itu,
selagi tangan Kiai Telapak Jalak terbelit oleh ujung cambuk Kiai Gringsing,
maka sekali lagi terdengar cambuk meledak. Cambuk Agung Sedayu yang membelit
rantai di tangan kanan Kiai Telapak Jalak.
Karena
perhatiannya terpusat kepada kerisnya, serta sisa-sisa tenaganya yang semakin
susut, maka Kiai Telapak Jalak tidak dapat mempertahankan senjatanya itu.
Rantai itu pun kemudian terlepas dari tangannya dan terlempar beberapa langkah
dari padanya. Berbareng dengan itu, Ki Sumangkar pun melompat maju. Tangannya
telah terjulur ketengkuk Kiai Telapak Jalak. Ia ingin membuat orang yang keras
hati itu menjadi pingsan. Tetapi di dalam saat-saat terakhir itu Kiai Telapak
Jalak masih sempat menghindar. Tanpa diduga oleh Ki Sumangkar, Kiai Telapak
Jalak masih sempat membungkukkan kepalanya, justru pada saat Kiai Gringsing
mencoba menarik tangannya. Dengan demikian maka Kiai Telapak Jalak itu pun
terhentak beberapa langkah oleh tarikan cambuk Kiai Gringsing yang membelit
pergelangannya. Kiai Telapak Jalak masih sempat menyadari keadaannya. Ia masih
sempat melihat orang-orang yang berdiri di sekitarnya itu hampir bersamaan
meloncat maju untuk menerkamnya. Karena itu, maka ia pun harus mengambil sikap
terakhir untuk menghindarkan dirinya dari tangkapan orang-orang itu. Tetapi ia
tidak lagi dapat berbuat sesuatu dengan kerisnya, karena tangannya seakan-akan
telah terikat dengan ujung cambuk Kiai Gringsing. Ia tidak dapat lagi
mengayunkan keris itu meskipun masih tetap di dalam genggamannya. Namun
demikian. Begitu tangan-tangan mulai menyentuh tubuhnya, maka tanpa
diduga-duga, Kiai Telapak Jalak telah menggoreskan pergelangan tangan kanannya
pada ujung kerisnya sendiri. Goresan yang dalam dan dengan demikian telah
memotong urat nadinya. Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar terkejut bukan buatan.
Sekali lagi Kiai Gringsing mencoba membentakkan ujung cambuknya. Namun ia sudah
terlambat. Ujung keris itu telah melukai tangan Kiai Telapak Jalak sendiri. Sejenak
kelima orang yang mengitarinya itu berdiri termangu-mangu. Mereka melihat Kiai
Telapak Jalak yang lemah itu kemudian berjongkok sambil menyeringai menahan
sakit-sakit di tubuhnya.
“Kalian tidak
akan dapat menangkap aku hidup-hidup,“ ia masih berdesis. Tetapi suaranya telah
hampir tidak terdengar lagi.
Kiai Gringsing
menarik nafas dalam-dalam. Ia masih sanggup mengobati luka-luka di tubuh Kiai
Telapak Jalak. Tetapi racun keris itu akan bekerja sangat cepat di tubuh
pemiliknya. Apalagi Kiai Gringsing yakin, bahwa Kiai Telapak Jalak pasti tidak
akan bersedia untuk menelan obat yang dapat mengurangi kekerasan kerja racun
itu. Terlebih-lehih lagi, tubuh Kiai Telapak Jalak sudah terlampau lemah oleh
luka-lukanya dan darahnya yang mengalir tidak henti-hentinya.
Namun sejenak kemudian
darahnya seakan-akan telah membeku. Titik-titik darah dari luka-lukanya,
semakin sendat mengalir. Namun dengan demikian tubuh itu pun menjadi semakin
tidak berdaya. Dan akhirnya, Sutawijaya dan orang-orang yang mengelilingi Kiai
Telapak Jalak itu melihat orang yang keras hati itu pun terjatuh dan tidak akan
bangkit untuk selama-lamanya. Kiai Telapak Jalak meninggal. Meninggal oleh
kerisnya sendiri. Namun demikian, kelima orang yang berdiri di sekelilingnya
masih juga menundukkan kepalanya. Ternyata Kiai Telapak Jalak benar-benar
seorang yang keras hati. Namun sayang, bahwa ia telah mengeraskan hatinya di
dalam kesesatannya. Orang-orang yang berdiri di sekitar Kiai Telapak Jalak yang
sudah meninggal itu seakan-akan tersedar dari angan-angan mereka, ketika mereka
mendengar sorak di arena. Ternyata orang-orang Kiai Telapak Jalak yang terakhir
telah melarikan dirinya, meninggalkan kawan-kawannya yang terluka dan terbunuh
di peperangan itu. Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Kematian Kiai Telapak
Jalak dan Kiai Damar merupakan satu langkah maju bagi usahanya membuka Alas
Mentaok. Tetapi kematian kedua orang itu ternyata mendekap rahasia yang masih
tersimpan di balik pepohonan yang lebat di hutan Mentaok. Sutawijaya
berpendapat, bahwa pasti masih ada orang-orang lain yang terlibat di dalam
gerombolan mereka. Pasti bukan sekedar Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak. Jalan
pikiran orang-orang yang berada di sekeliling Kiai Telapak Jalak yang sudah
terbujur di tanah itu ternyata tidak jauh berbeda. Mereka telah membayangkan
sesosok tubuh yang diliputi oleh rahasia. Dan orang yang penuh rahasia itu
pasti berhubungan atau malahan berada di istana Pajang. Dan tiba-tiba saja
angan-angan Agung Sedayu bergeser kepada kakaknya Untara yang menurut
pendengarannya kini berada di daerah yang langsung dapat dibayangi perkembangan
Alas Mentaok.
“Tetapi pasti
bukan Kakang Untara,“ Agung Sedayu menghentakkan giginya rapat-rapat.
“Ia seorang
prajurit. Seorang senapati yang memiliki prajurit segelar sepapan. Meskipun ia
mendapat perintah untuk membayangi daerah yang baru berkembang ini, namun tentu
ia akan mempergunakan cara seorang prajurit. Bukan cara yang licik dengan
bermain hantu-hantuan.”
Tetapi Agung
Sedayu tetap menyimpan persoalan itu di dalam hatinya. Meskipun ia masih juga
dibayangi oleh kebimbangan, tetapi ia berusaha untuk mengendapkan hal itu di
dalam dirinya sendiri.
“Mungkin orang
lain tidak akan berpikir sejauh itu,“ katanya di dalam hati.
“Kalau aku
bertanya kepada seseorang, maka justru akan dapat menimbulkan persoalan bagi
mereka yang sebelumnya tidak pernah mempertimbangkannya.”
Demikianlah,
maka ketika matahari kemudian memanasi hutan Mentaok, para pengawal dan
penghuni barak yang tidak mengalami cidera apa pun, segera menjadi sibuk pula
mengurusi kawan-kawannya yang telah terluka dan bahkan ada juga yang dengan
kerongkongan yang serasa kering, mengangkat tubuh-tubuh sahabatnya yang gugur
di dalam peperangan itu.
“Kita tidak
dapat menghindarkan korban di antara kita,“ berkata Sutawijaya.
“Jer basuki
mawa beya. Kita harus menyerahkan tebusan bagi kesejahteraan yang kita
perjuangkan. Kita masih dapat mengucap sokur bahwa korban yang jatuh itu bukan
diri kita.” Sutawijaya berhenti sejenak, lalu dengan tekanan yang dalam ia
meneruskan,
“Kita masih
mendapat kesempatan hidup dan menghirup udara tanah yang telah kita bebaskan
ini, untuk beberapa lamanya. Tetapi yang telah menjadi korban itu tidak akan
lagi dapat melihat, apa yang akan terjadi atas tanah ini kelak.”
Para penghuni
barak itu mendengarkannya dengan sepenuh perhatian. Dan Sutawijaya pun berkata
selanjutnya,
“Karena itu,
kita tidak akan pernah melupakan mereka. Demikianlah seharusnya. Kalau kita
kelak berhasil dengan usaha kita, maka kita sudah dialasi dengan
pengorbanan-pengorbanan yang tidak ternilai harganya. Kalau kita kelak berhasil
membuat padukuhan-padukuhan yang subur di atas tanah ini, kita tidak boleh
melupakan tawur yang telah berhamburan, yang akan menjadi pupuk buat kesuburan
tanah ini. Dan itu bukan berarti bahwa kita, untuk selanjutnya tidak akan dapat
berbuat sesuatu yang mempunyai nilai yang sama dengan pengorbanan yang telah
mereka berikan. Bukan berarti bahwa apa yang kita lakukan kemudian sekedar
menyelesaikan persoalan yang telah dimulai. Kita masih mempunyai kesempatan
yang luas untuk berbuat sesuatu bagi tanah ini. Kita masih harus mengisi wadah
yang sekarang kita bina dengan pengorbanan yang mahal. Tetapi kita harus selalu
ingat, bahwa pernah terjadi perjuangan yang memungkinkan kita membuat
pengorbanan-pengorbanan lain dan mengembangkan usaha kita di atas tanah ini.”
Orang-orang
yang mendengarkan kata-kata Sutawijaya itu mengangguk-anggukkan kepala mereka.
Rasa-rasanya kata-kata itu meresap sampai ke tulang sungsum. Mereka yang
menyaksikan sendiri pengorbanan yang telah diberikan oleh kawan-kawannya yang
kini telah terbujur tidak bernafas, dan ada pula yang menjadi cacat buat seumur
hidupnya, tidak akan dapat melupakannya.
“Mereka tidak
akan dapat menuntut penghargaan apa pun, dan seandainya mereka masih menyadari
keadaannya, mereka pun tidak akan menuntut penghargaan atas perjuangannya. Juga
bagi keluarganya yang ditinggalkan. Soalnya terletak pada kita sendiri. Dalam
diri kita masih tersimpan budi yang akan terungkapkan di dalam segala
tindak-tanduk dan tingkah laku. Dan apakah yang dapat kita lakukan buat mereka
dan keluarga mereka?” Sekali lagi Sutawijaya berhenti. Sekali ia menarik nafas,
lalu,
“Mudah-mudahan
anak-anak yang sekarang masih terlampau kecil untuk mengingat apa yang baru
saja terjadi, dan apalagi yang akan lahir kemudian akan dapat mendengar, bahwa
pernah terjadi pengorbanan-pengorbanan yang tidak ternilai harganya. Seperti
air dalam segala bentuk dan manfaatnya, namun di suatu tempat yang barangkali
tidak pernah dihiraukan lagi, terdapatlah sumbernya. Mungkin di lereng-lereng
gunung yang diselimuti oleh hutan-hutan yang lebat, mungkin di tengah-tengah
belukar yang tersembunyi.”
Orang-orang
yang mendengar kelanjutan kata-kata itu pun masih juga mengangguk-angguk.
Mereka menyadari sepenuhnya apa yang sebenarnya telah terjadi. Dengan demikian,
maka dengan kesungguhan hati, mereka pun segera menyelenggarakan segala
sesuatunya dengan sebaik-baiknya. Tetapi ketakutan dan kecemasan, terutama pada
perempuan dan anak-anak, tidak segera dapat dihapuskan dari barak itu. Apalagi
mereka yang telah kehilangan salah seorang dari keluarga mereka. Suami, ayah,
atau anak laki-laki mereka. Maka hari-hari berikutnya merupakan hari yang
sangat suram. Namun sejak pertempuran yang menentukan itu, harapan-harapan yang
selama itu telah hampir pudar, mulai tumbuh kembali di hati setiap orang.
Mereka berharap bahwa untuk seterusnya mereka akan dapat bekerja dengan tenang
tanpa gangguan lagi.
Dalam pada itu
Sutawijaya pun telah memerintahkan tiga orang pengawal untuk pergi ke pusat
pemerintahan Mataram, mengambil beberapa buah pedati dan beberapa orang
pengawal untuk mengambil orang-orang Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak yang
tertawan, menyerah dan luka-luka. Mereka akan dibawa untuk mendapatkan
pemeriksaan yang lebih saksama, sehingga memungkinkan Mataram mengambil sikap
yang sebaik-baiknya terhadap daerah yang telah terbuka.
Sutawijaya pun
telah memerintahkan beberapa orang pengawal lewat ketiga orang pengawalnya yang
pergi ke Mataram, untuk menenteramkan daerah-daerah lain yang mengalami keadaan
serupa. Daerah-daerah yang sedang dibuka, tetapi terhenti karena gangguan
hantu-hantu. Para pengawal itu harus dapat menjelaskan keadaan yang sebenarnya
telah terjadi. Mereka harus memberitahukan dan meyakinkan, bahwa
pemimpin-pemimpin dari hantu-hantuan itu telah terbunuh. Sehingga dengan
demikian maka usaha pembukaan hutan Mentaok akan menjadi lancar kembali. Setelah
semuanya tersedia, pedati-pedati dan kelengkapannya, beberapa orang pengawal
yang cukup kuat, Sutawijaya pun minta diri kepada orang-orang yang tinggal di
barak itu.
“Ternyata
kalian adalah orang-orang yang mampu menjaga diri sendiri. Aku percaya bahwa
kalian akan-tetap menjadi pengawal kerja kalian sendiri. Selain itu, beberapa
pengawalku telah aku tinggalkan di sini di bawah pimpinan Wanakerti. Mereka,
akan memimpin kalian di dalam olah kanuragan. Jangan jemu melatih diri meskipun
tampaknya daerah ini telah menjadi tenang. Tetapi siapa tahu, bahwa akan datang
lagi gangguan-gangguan yang sengaja ingin merintangi usaha kalian.“
Orang-orang
yang tinggal di barak itu mengangguk-anggukkan kepala.
“Aku akan
minta diri, karena aku harus kembali ke Mataram. Dalam waktu yang tidak lama,
aku akan mengirimkan alat-alat yang lebih baik bagi kalian di sini dan di
samping itu, aku juga akan memberikan senjata yang baik buat kalian.”
Orang-orang
itu masih juga mengangguk-anggukkan kepala.
Sejenak
Sutawijaya terdiam. Dipandanginya orang-orang yang berkumpul di halaman itu.
Laki-laki, perempuan, dan kanak-anak. Dan di ujung dilihatnya Kiai Gringsing,
Sumangkar, Agung Sedayu, dan Swandaru berdiri di samping beberapa orang
pengawal. Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Bukan baru sekali ini dukun tua
itu berbuat sesuatu untuk ketenteraman hati sesama. Di Sangkal Putung ia telah
berbuat sesuatu pula. Bahkan hampir menentukan, bahwa kekuatan Macan Kepatihan
dapat dikalahkan, meskipun di antara mereka terdapat Sumangkar, yang kini
berada pula di situ, tetapi dalam kedudukan yang berlawanan. Hancurnya
Padepokan Tambak Wedi, sehingga Sidanti kehilangan pangkal berpijak dan
terpaksa kembali ke Menoreh. Tetapi kedatangannya di kampung halamannya sama
sekali tidak menumbuhkan kemanfaatan, justru sebaliknya. Di Menoreh itu pun
dukun tua itu hadir dan berbuat banyak sekali. Tanpa dukun tua itu,
penyelesaian atas Tanah Perdikan Menoreh pasti akan mengalami banyak sekali
perbedaan dengan apa yang terjadi sekarang.
Kini, di dalam
kesulitan yang hampir menggagalkan usahanya membuka tanah garapan baru di Alas
Mentaok, Kiai Gringsing dan kedua muridnya telah hadir pula.
“Suatu
perbuatan yang terpuji,“ desis Sutawijaya di dalam hati,
“benar-benar
tanpa pamrih.”
Tetapi
Sutawijaya tidak dapat berangan-angan terlampau lama. Orang-orang yang
berkumpul di halaman itu masih berada di tempatnya. Dan mereka masih menunggu,
apakah yang akan dikatakannya selanjutnya. Dan Sutawijaya itu pun berkata,
“Aku akan
segera meninggalkan tempat ini. Aku akan membawa semua tawanan dan mengajak Ki
Truna Podang bersama kawannya dan anak-anaknya bersama kami menghadap Ayahanda
Ki Gede Pemanahan.”
Semua orang
dengan serta-merta berpaling kepada Kiai Gringsing yang mengerutkan keningnya.
Sejenak dipandanginya wajah Sumangkar. Namun kemudian ia berkata,
“Maaf Raden.
Sebenarnya kami senang sekali mendapat kesempatan itu. Kami memang ingin
melihat dan apalagi menghadap Ki Gede Pemanahan. Tetapi sayang sekali, bahwa
kami tidak dapat melakukannya sekarang. Kami masih mempunyai suatu kepentingan
pribadi yang tidak dapat kami tunda lagi.”
Sutawijaya
mengerutkan keningnya. Teringat juga padanya saat-saat Kiai Gringsing
menghindari pertemuan dengan Ki Gede Pemanahan di Sangkal Putung. Karena itu,
justru timbullah keinginannya untuk mengetahui apakah sebabnya, Kiai Gringsing
tidak bersedia menghadap ayahanda Ki Gede Pemanahan.
“Kiai,“
berkata Sutawijaya,
“Kiai selalu
menghindari pertemuan dengan ayahanda. Apakah ada suatu sebab yang memaksa Kiai
berbuat demikian?”
“Tentu tidak,
Raden. Aku belum kenal secara pribadi dengan Ki Gede Pemanahan, sehingga aku
pun tidak mempunyai persoalan apa pun. Tetapi sudah aku katakan, kami mempunyai
persoalan pribadi yang tidak dapat ditunda. Mungkin Raden mengerti juga serba
sedikit, hubungan kami dengan Ki Demang di Sangkal Putung.”
Sutawijaya
hanya dapat mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mengerti bahwa Swandaru adalah
putera Ki Demang Sangkal Putung. Namun hal itu justru tidak akan menjadi
persoalan. Yang agaknya masih harus dipersoalkan adalah hubungan Agung Sedayu
dengan anak perempuan Ki Demang Sangkal Putung.
Namun demikian
Sutawijaya masih juga memerlukan beberapa keterangan dari orang tua itu.
Sehingga dengan demikian ia berkata,
“Baiklah Kiai.
Tetapi aku masih akan bertemu dengan Kiai sejenak sebelum aku meninggalkan
tempat ini.”
Kemudian
kepada penghuni barak itu Sutawijaya berkata,
“Aku bersama
pengawalku akan minta diri. Wanakerti akan tinggal di sini bersama beberapa
orang pengawal. Setiap saat aku akan datang melihat perkembangan tanah yang
sedang kalian buka, untuk selalu dapat menyediakan yang kalian perlukan tepat
pada waktunya.”
Orang-orang
yang mendengarnya mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Sekarang,
siapkan orang-orang yang terluka. Mereka akan naik di atas pedati. Dan aku
minta maaf kepada tawanan-tawanan yang harus kami perlakukan dengan agak
tertib, karena kami kekurangan orang yang dapat mengamat-amat kalian, sehingga
kami terpaksa mempergunakan tali-tali untuk sementara.”
Para tawanan
saling berpandangan sejenak. Namun mereka pun kemudian menundukkan kepala
mereka.
“Kita akan
segera berangkat,“ berkata Sutawijaya kemudian. Lalu kepada pengawalnya ia
berkata,
“Siapkan
semuanya sebaik-baiknya.”
Tetapi sebelum
berangkat Sutawijaya melangkah mendekati Kiai Gringsing sambil berbisik,
“Mataram
memerlukan bantuan kalian. Dan agaknya kalian sudah mulai di daerah yang sedang
dibuka ini. Kami mengucapkan terima kasih. Tetapi kami masih mengharap bantuan
yang jauh lebih besar.”
Kiai Gringsing
tertawa,
“Apakah yang
dapat kami lakukan? Kami adalah orang-orang kecil yang tidak banyak dapat
berbuat. Namun demikian, biarlah kami berusaha berbuat sebaik-baiknya untuk
membantu perkembangan tanah ini.”
“Terima
kasih,“ lalu,
“salamku buat
Untara. Aku tahu ia berada di Jati Anom bersama sebuah pasukan yang kuat.
Tolong, berikan penjelasan, agar Untara tidak mengawasi kami seperti ketika ia
mengawasi gerakan Tambak Wedi di lereng Merapi, atau sisa-sisa pasukan Tohpati
yang berkeliaran di sekitar Sangkal Putung.”
Dada Agung
Sedayu menjadi berdebar-debar karenanya. Sejenak ditatapnya wajah gurunya,
namun ia tidak mengatakan sesuatu.
“Untara adalah
seorang yang sudah menemukan kemantapan berpikir,“ berkata Kiai Gringsing.
“Meskipun ia
masih muda, tetapi jiwanya sudah matang.”
“Tetapi ia
seorang Senapati,“ sahut Sutawijaya.
“Ia akan
menjalankan perintah yang diterimanya dengan baik. Dan Untara adalah seorang
senapati yang baik.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun katanya kemudian,
“Tetapi Untara
pasti mempunyai kebijaksanaan di dalam menjalankan tugasnya. Ia bukan seorang
yang hanya mampu melakukan sesuatu tanpa pertimbangan.”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Aku berharap
demikian. Tetapi mungkin juga Untara mempunyai sikap yang keras terhadap tanah
yang baru dibuka ini.”
Kiai Gringsing
memandang Sutawijaya sejenak, lalu bertanya,
“Kenapa Raden
mempunyai prasangka yang demikian? Seakan-akan antara Mataram yang baru dibuka
ini, dengan Pajang, ada mendung yang mengalir mengantarainya. Bukankah Raden
Putera Sultan Pajang terkasih, yang menerima kepercayaan membawa tombak pusaka
istana Pajang, Kanjeng Kiai Pleret?”
Sutawijaya
menarik nafas dalam-dalam.
“Aku memang
pernah mendengar, bahwa seakan-akan Sultan Pajang akan mengingkari janjinya
atas tanah Mentaok.”
“Ya, Kiai.
Ayahanda Sultan tidak lagi teringat akan janjinya itu setelah Ayahanda Sultan
menyerahkan Pati dan terlebih-lebih lagi setelah Ayahanda Sultan menerima
hadiah dari Kanjeng Ratu Kalinyamat, yang pada saat itu sedang bertapa di bukit
tanpa mengenakan pakaian sama sekali, selain rambutnya sendiri, sepasang gadis
yang cantik. Dan agaknya itulah kelemahan Ayahanda Sultan Pajang. Meskipun
usianya semakin lanjut, namun gadis-gadis muda yang cantik akan dapat ikut
serta menentukan sikapnya di dalam pemerintahan yang mula-mula tampak penuh
dengan kewibawaan.”
Kiai Gringsing
menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
“Tidak ada
orang yang dapat mencegahnya. Terlebih-lebih orang-orang tua seperti Ki Gede
Pemanahan, seharusnya sudah mengetahui kebiasaan itu. Sejak muda, Mas Karebct
adalah seorang laki-laki yang senang bergaul dengan gadis-gadis manis.”
“Tetapi hal
itu jangan mempengaruhi sikap dan kewibawaannya sebagai seorang raja.”
“Tetapi khusus
mengenai Mataram, Raden, agaknya Ayahanda Sultan Pajang merasa tidak perlu
menyerahkannya sekarang, karena akhirnya akan jatuh juga ke tangan puteranya,
seandainya tidak lewat Ki Gede Pemanahan.”
”Itu sekedar
dugaan Kiai, sedang Pati sudah berpacu cepat sekali. Pati sudah mempunyai
kekuatan sebagai sebuah kadipaten pesisir yang cukup besar.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab lagi. Seleret
dipandanginya wajah Sumangkar yang untuk beberapa lama tinggal di Kepatihan
Jipang, sehingga ia pun pasti memahami dan bahkan pasti mempunyai sikap
terhadap perkembangan pemerintahan di Pajang. Tetapi dalam keadannya sekarang, lebih
baik kalau ia diam. Juga di dalam pembicaraan antara Kiai Gringsing dan Raden
Sutawijaya Ki Sumangkar tidak menyahut sama sekali. Bahkan ia selalu
menundukkan wajahnya, atau melemparkan tatapan matanya jauh-jauh. Ia selalu
mencoba menghindari pandangan mata Kiai Gringsing atau Raden Sutawijaya. Namun,
tiba-tiba saja di luar keinginannya, justru Raden Sutawijaya lah yang bertanya
kepada Ki Sumangkar,
“Kiai,
bagaimana pendapatmu? Ki Sumangkar adalah orang yang mengikuti perkembangan
pemerintahan Pajang sejak lama, meskipun arah pandangannya dari Jipang. Tetapi
bagaimana pendapat Paman?”
Ki Sumangkar
hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada dalam ia menjawab,
“Sebaiknya aku
tidak memikirkan lagi masalah-masalah serupa itu Raden. Aku akan membawa Angger
Swandaru kembali kepada ayah dan ibunya, dan membawa Angger Agung Sedayu kepada
……, eh, ke Sangkal Putung.”
Sutawijaya
menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia masih Juga bertanya,
“Apakah Kiai
sama sekali tidak mempunyai sikap apa pun terhadap persoalan ini.”
“Aku memang
tidak pernah memikirkannya, Raden, sehingga karena itu, sudah barang tentu aku
sampai sekarang tidak mempunyai sikap.”
Sutawijaya
tersenyum. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata,
“Baiklah. Aku
percaya bahwa kalian mempunyai sudut pandangan yang benar terhadap Pajang saat
ini. Pajang yang sudah lain dari Pajang yang dahulu.”
“Ya. Tentu
Pajang yang lain, karena Pajang sekarang tidak mempunyai seorang Panglima
pasukan yang bernama Ki Gede Pemanahan. Juga Putera Angkat Sultan Pajang yang
tidak berada di istana lagi.”
“Sebagai
seorang anak aku tetap berbakti kepada orang tua. Orang tuaku sendiri, dan
orang tua angkatku. Karena itu, sampaikan kepada orang-orang Pajang, bahwa aku
tetap berbakti kepada Ayahanda Sultan.
“Tetapi
sebagai seorang prajurit yang bercita-cita untuk membuka Alas Mentaok, Raden
sudah menempuh jalan sendiri.”
Sutawijaya
menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk sekali lagi ia berkata,
“Baiklah.
Tetapi kalian tidak akan salah menilai apa yang sedang kami lakukan di sini.
Demikian juga hendaknya Untara dan pasukannya yang mendapat beban di daerah
Selatan ini.”
“Baiklah,
Raden. Aku akan mencoba. Aku pun percaya bahwa sebenarnya tidak ada persoalan
antara dua daerah ini. Memang hati kita sebagai manusia kadang-kadang dicengkam
oleh berbagai macam perasaan. Namun karena kita mempunyai nalar pertimbangan,
maka kita harus dapat menemukan keseimbangan dari perasaan kita itu.”
“Terima kasih,
Kiai. Aku akan selalu mencoba mencari keseimbangan itu. Perasaan yang barangkali
terlalu meluap-luap, atau bahkan sebaliknya telah membeku sama sekali.”
Kiai Gringsing
mengerutkan keningnya, namun ia pun kemudian tersenyum sambil berkata,
“Kau dan
Ayahanda Ki Gede Pemanahan pasti tidak kurang bijaksana menanggapi masalah
ini.”
Sutawijaya pun
tersenyum pula. Katanya,
“Mudah-mudahan.
Mudah-mudahan kami masih dapat melihat perbedaan antara salah dan benar, antara
baik dan buruk. Sudah tentu bukan saja penilaian atas kepentingan pribadi kami
semata-mata, tetapi lebih dari itu kepentingan bagi kita semua, bagi rakyat
Pajang pada umumnya.”
“Ya, ya.
Demikianlah. Dan aku percaya bahwa kau dan ayahanda akan menemukan keseimbangan
itu.”
Sutawijaya
tidak mempersoalkannya lagi. Sudah tentu bahwa ia tidak akan dapat membentuk
sikap di dalam hati Kiai Gringsing dan Sumangkar. Mereka pasti mempunyai sikap
sendiri yang telah matang di dalam diri mereka. Karena itulah maka Sutawijaya
pun segera minta diri. Semuanya telah siap di halaman barak itu. Orang-orang
yang terluka telah berada di dalam pedati. Tawanan-tawanan yang terpaksa masih
harus diikat tangannya, karena tidak cukup banyak orang yang mengawasi mereka,
seandainya mereka tidak terikat. Sejenak kemudian maka Sutawijaya bersama
rombongannya itu pun meninggalkan barak itu. Beberapa pengawal berkuda berada
di depan, kemudian yang lain di belakang, dan di sisi sebelah-menyebelah dari
rombongan itu. Kepergian Sutawijaya menumbuhkan harapan baru bagi barak
terpencil itu. Ia pasti tidak akan melupakan daerah yang baru dibuka itu untuk
seterusnya, sehingga peralatan mereka pasti akan menjadi semakin cukup. Selain
itu, mereka pun telah mendapat beberapa macam senjata yang baik, yang dapat
mereka pergunakan untuk melindungi diri mereka setiap saat. Memang pasti masih
ada sisa-sisa anak buah Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak, yang meskipun sudah
kehilangan induknya, tetapi mereka masih juga bergerak tanpa tujuan. Sekedar
melepaskan dendam atau tujuan-tujuan kejahatan semata-mata.
Namun Kiai
Gringsing masih selalu mengatakan kepada para pengawal,
“Telapak Jalak
mungkin bukan orang terakhir. Namun setidak-tidaknya pekerjaanmu sudah menjadi
semakin ringan, untuk beberapa lama. Meskipun demikian, kesempatan ini adalah
kesempatan penempaan lahir dan batin bagi orang-orang di barak ini. Mereka baru
saja menemukan dirinya kembali. Kemenangan itu telah membuat mereka sadar,
bahwa mereka pun laki-laki. Pupuklah dan binalah dari hari ke hari. Mereka akan
menjadi pembantu-pembantu yang baik. Anak-anak mudanya tidak akan lagi
mempercayakan keselamatan dirinya dan keluarganya kepada orang lain, selain
kepada diri mereka sendiri.”
Para pengawal
itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Di mata mereka orang tua itu kini bukan
lagi seorang gembala yang sekedar ingin mendapat tanah garapan di daerah baru
ini dan bernama Truna Podang.
“Tetapi
bukankah Kiai akan tinggal bersama kami di sini untuk beberapa lama?” bertanya
salah seorang dari mereka.
“Sayang. Kami
masih mempunyai tugas tertentu. Kami akan pergi ke Sangkal Putung untuk
menyelesaikan tugas ini. Meskipun tugas pribadi,” jawab Kiai Gringsing sambil
tersenyum.
“Tugas yang
tidak dapat lagi ditunda-tunda,“ sambung Swandaru, lalu
“terutama bagi
kakangku ini.”
“Ah kau,“
desis Agung Sedayu.
“Kau sudah
terlampau rindu pada bunyi angkup di kampung halaman. Kenapa hanya aku?”
“Ya, sekedar
angkup nangka dan barangkali bunyi penggeret menjelang senja. Tetapi kau lain.”
“Ah,” Agung
Sedayu tidak menyahut lagi. Kalau ia masih juga menjawab, tentu Swandaru akan
semakin berkepanjangan. Karena itu, maka Agung Sedayu lebih senang berdiam
diri.
“Jadi, Kiai
berdua dan anak-anak muda ini benar-benar akan segera meninggalkan kami di
sini?” bertanya salah seorang pengawal.
“Terpaksa
sekali. Tetapi kami tidak akan melupakan tanah yang baru dibuka dan bernama
Mataram ini. Pada, suatu saat kami akan datang kembali untuk menengok kalian.
Mungkin sebulan, mungkin setengah tahun atau kapan pun. Mungkin tanah ini sudah
menjadi sebuah kota yang ramai dan berpenduduk padat, dikelilingi oleh dinding
batu yang kuat dan beregol ukir-ukiran yang disungging dengan warna-warna
cemerlang.”
“Mudah-mudahan,
Kiai. Dan kami yang ada di sini sekarang akan disebut sebagai cikal bakal dari
kota yang akan lahir ini.”
Kiai Gringsing
tersenyum. Lalu,
“Besok kami
terpaksa meninggalkan daerah ini. Berbuatlah sebaik-baiknya bagi para penghuni
yang sedang berpengharapan. Kini mereka akan bekerja lebih keras. Tetapi
ambillah waktu sedikit untuk membuat mereka menjadi pengawal kampung halaman
sendiri.”
“Baiklah,
Kiai. Kami akan mencoba. Mudah-mudahan kami tidak akan dilanda oleh badai
sepeninggal Kiai. Mudah-mudahan Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak menjadi
orang-orang terakhir, meskipun masih juga ada sisanya tetapi hendaknya sekedar
anak buahnya. Bukan orang yang justru lebih kuat lagi dari Kiai Telapak Jalak.
“Nama yang pernah
kita dengar adalah kedua nama itu. Menurut perhitunganku, tidak akan ada lagi
nama baru yang tebih besar dari Kiai Telapak Jalak untuk sementara. Seandainya
kelak timbul juga, maka ia adalah lawan bagi Ki Gede Pemanahan yang pasti tidak
akan tinggal diam.”
Para pengawal
itu menganggukkan kepalanya. Meskipun kadang-kadang masih juga membayang
kecemasan atas nasib barak ini, tetapi rasa-rasanya keadaan memang akan menjadi
semakin cerah. Dalam pada itu, Sutawijaya yang membawa beberapa orang pengawal
yang terluka dan tawanan-tawanan, menyelasuri jalan-jalan di antara pepohonan
hutan menuju ke pusat pemerintahan tanah Mataram yang sedang dikembangkan itu.
Begitu sulitnya perjalanan, sehingga iring-iringan itu bagaikan siput yang
merayap lambat sekali. Sekali-sekali roda pedati yang ditarik oleh sepasang
lembu telah terperosok ke dalam tanah yang gembur, sehingga beberapa orang
harus turun dari kudanya dan membantu mendorong dan mengangkat roda yang
terperosok itu. Namun demikian, semakin
dekat pula ke tujuannya. Dengan wajah yang basah oleh keringat, pakaian yang
kotor dan kusut, para pengawal itu memasuki kota yang sedang berkembang itu.
Beberapa orang yang berdiri di pintu gerbang menjadi terheran-heran melihat
kedatangan iring-iringan itu. Beberapa pengawal berkuda yang pakaiannya bernoda
lumpur, mengiringi beberapa pedati berisi orang-orang yang terluka dan bahkan
ada yang terikat. Tetapi ceritera tentang tawanan, orang-orang terluka, dan
bahkan ceritera tentang hantu-hantuan yang selama ini mencemaskan hati itu
segera tersiar dari telinga ke telinga. Bahkan beberapa orang segera
mengetahui, mereka yang tertawan itu adalah hantu-hantu yang selama ini
membayangi tanah yang baru dibuka itu.
“O, jadi
merekakah hantu-hantu itu?” bertanya salah seorang yang menjadi terheran-heran.
“Tetapi kenapa
mereka dapat tertangkap dan bahkan terikat.”
“Sama sekali
bukan hantu. Tetapi mereka menakut-nakuti seakan-akan mereka adalah hantu-hantu
yang berkuasa. Yang dapat melenyapkan diri, dapat berubah bentuk dan berkuda semberani.”
“Jadi sekedar
hantu-hantuan?”
“Ya.”
“Setan alas.
Dan hampir setiap orang menjadi ketakutan, terutama mereka yang sedang membuka
tanah garapan baru. Beberapa orang yang tidak tahan lagi terhadap gangguan
hantu-hantu itu telah mengurungkan niatnya dan meninggalkan tanah yang sedang
dibuka itu.”
Kawannya hanya
sekedar mengangguk-anggukkan kepalanya, karena sebenarnya ia sendiri termasuk
orang yang menyingkir dan lebih senang tinggal di tempat yang menjadi ramai
meskipun hanya sekedar menjadi pekerja pada seorang pemilik kebun kelapa yang
luas. Dalam pada itu, setelah menyerahkan para tawanan kepada para pengawal,
maka Sutawijaja pun langsung menghadap kepada Ayahanda Ki Gede Pemanahan untuk
memberikan keterangan tentang orang-orang itu. Dengan wajah yang tegang Ki Gede
Pemanahan mendengarkan laporan puteranya. Sekali-sekali ia mengangguk-anggukkan
kepalanya, namun kemudian ia menarik nafas dalam-dalam.
“Adalah
kebetulan sekali orang tua itu ada di sana,” berkata Ki Gede Pemanahan.
“Kalau tidak,
maka semuanya pasti akan gagal. Dan ada kemungkinan pula, kau tidak akan
kembali lagi kepadaku.”
“Ya, Ayah,
memang suatu kebetulan. Tetapi aku memang pernah minta kepada mereka untuk
membantuku ketika mereka berada di Tanah Perdikan Menoreh.”
“Ya. Tetapi
hal ini menjadi suatu pelajaran bagi kita. Aku merasa lengah menghadapi keadaan
ini. Aku kira persoalannya tidak akan menjadi begitu jauh dan dalam. Ternyata
di balik hutan ini bersembunyi orang-orang sekuat Kiai Damar dan Kiai Telapak
Jalak. Seharusnya aku sendiri terjun ke dalam pertempuran itu. Kini aku merasa
bahwa seakan-akan aku acuh tidak acuh terhadap tanah yang justru sedang dibuka
ini. Tanah yang telah menumbuhkan ketegangan antara kita dengan Sultan Pajang.”
Sutawijaya
tidak menyahut. Ia mengerti, kenapa ayahnya menyesal bahwa ia seakan-akan tidak
berbuat apa-apa sama sekali untuk menghadapi Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak.
Bahkan orang lain yang hampir tidak berkepentingan itulah yang telah
menyelesaikan.
“Sutawijaya,“
berkata Ki Gede Pemanahan,
”aku harus
menemuinya. Aku harus mengucapkan terima kasib kepadanya.”
“Aku sudah
mengundang mereka untuk datang kemari, Ayah,“ sahut Sutawijaya,
“tetapi Kiai
Gringsing agaknya berkeberatan. Ia harus segera pergi ke Sangkal Putung. Karena
Ki Demang di Sangkal Putung sudah menunggu anaknya dengan cemas. Swandaru sudah
terlampau lama pergi meninggalkannya ayah dan ibunya.”
”Apakah mereka
sudah berangkat?”
”Aku tidak
tahu, Ayah. Tetapi mereka masih akan tinggal beberapa lama di barak itu.”
Ki Gede
Pemanahan merenung sejenak. Orang tua itu menimbulkan berbagai persoalan di
dalam hatinya. Di Sangkal Putung Kiai Gringsing telah menghindari pembicaraan
dengan dirinya sehingga ia tidak dapat mengucapkan terima kasih kepadanya,
meskipun Kiai Gringsing telah ikut serta menyelesaikan persoalan Macan
Kepatihan. Kemudian masih banyak lagi yang dilakukannya yang langsung
bersinggungan dengan tugasnya, sebagai Panglima prajurit Pajang pada waktu itu.
Tanpa Kiai Gringsing, agaknya Tambak Wedi masih belum juga dapat selesai secepat
itu, meskipun Ki Tambak Wedi dan Sidanti saat itu berhasil meloloskan diri.
Ternyata bahwa Kiai Gringsing dan kedua muridnya itu pulalah yang menyusul Ki
Tambak Wedi dan Sidanti ke Tanah Perdikan Menoreh, dan membantu menyelesaikan
persoalannya pula.
“Sutawijaya,“ berkata
Ki Gede Pemanahan pula,
“aku akan
pergi ke barak itu. Mudah-mudahan orang tua itu masih berada di sana. Aku ingin
menyampaikan terima kasih kepadanya dan barangkali aku akan dapat mengenalinya
kembali, seandainya aku pernah bertemu sebelumnya dengan orang itu.”
Sutawijaya
mengerutkan keningnya. Dengan nada yang tinggi ia bertanya,
“Jadi Ayahanda
akan pergi menemuinya?”
“Ya. Aku akan
menemuinya.”
Sutawijaya
menarik nafas dalam-dalam. Ternyata bahwa persoalan yang telah terjadi itu
merupakan persoalan yang besar. Persoalan yang hampir saja menggagalkan seluruh
kerja yang sudah dimulai ini, karena ayahnya itu ternyata sangat menyesal.
Bahwa selama ini ia menganggap persoalan hantu-hantuan itu akan dapat
diselesaikan oleh puteranya dan pengawalnya yang terpercaya. Namun ternyata,
tanpa Kiai Gringsing anaknya pasti sudah binasa. Sehingga tanpa Sutawijaya,
baginya semua kerja yang sudah dimulai itu tidak akan ada artinya. Tanpa
Sutawijaya maka segala cita-cita dan usaha sama sekali tidak akan berguna lagi
bagi dirinya sendiri. Karena Sutawijaya merupakan lambang dari harapan di masa
mendatang di atas Tanah yang sedang dibukanya ini.
“Jadi, kapan
Ayah akan berangkat.”
“Secepatnya.
Besok bila matahari terbit, aku sudah berada di atas punggung kuda.”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia menjadi semakin menyakini arti dari
perbuatan Kiai Gringsing, Sumangkar, dan kedua anak-anak muda itu. Sengaja atau
tidak sengaja, mereka telah membuka kemungkinan bagi tanah ini untuk berkembang
selanjutnya. Demikianlah, di pagi hari berikutnya, Ki Gede Pemanahan sendirilah
yang pergi menemui Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar. Ki Sumangkar yang dahulu
pernah berdiri berseberangan ketika Pajang harus menghadapi Jipang sebagai
lawan, meskipun keduanya diperintah oleh adipati yang masih mempunyai hubungan
darah yang dekat.
Dalam
perjalanan itu, Ki Gede Pemanahan disertai puteranya Raden Sutawijaya dan
pengawal-pengawal pilihan. Bagaimana pun juga mereka masih harus berhati-hati
menghadapi Alas Mentaok yang padat pepat. Yang ternyata menyimpan rahasia yang
tidak mudah diungkapkan. Seperti rahasia yang didekap sampai saat matinya oleh
Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak. Hanya sebagian sajalah dari rahasia itu yang
sudah terungkapkan. Tetapi masih ada bagian-bagian yang tersembunyi dan yang
bahkan mungkin tidak kalah berbahaya dari yang sudah pernah terjadi. Maka di
bawah tusukan cahaya matahari pagi yang menembus dedaunan, sebuah iring-iringan
telah meninggalkan pusat pemerintahan tanah Mataram menuju ke daerah yang baru
dibuka di tepi Alas Mentaok. Meskipun menurut perhitungan Sutawijaya, tidak
akan ada lagi bahaya yang mengancam di sepanjang perjalanan, namun mereka tidak
kehilangan kewaspadaan. Mereka tidak tahu pasti, apakah yang sebenarnya telah
tersembunyi di balik pepohonan di sepanjang jalan. Tetapi seandainya ada juga
sepasukan orang-orang jahat yang menghadang perjalanan itu, sebenarnya mereka
tidak perlu cemas. Bahkan seandainya Kiai Telapak Jalak bangkit dari kuburnya
atau seseorang yang setingkat dalam olah kanuragan akan berdiri di tengah
jalan. Karena di antara mereka terdapat Ki Gede Pemanahan sendiri. Demikianlah
maka iring-iringan itu pun kemudian menerobos hutan semakin dalam. Hutan-hutan
yang semula rindang, dan jarang, namun kadang-kadang mereka harus menembus
hutan yang lebih pepat. Akhirnya mereka pun menjadi semakin dekat dengan daerah
yang sedang dibuka, dan yang hampir saja kehilangan segala kesempatannya itu.
“Daerah inilah
yang menjadi daerah pengaruh Kiai Damar,“ berkata Sutawijaya kepada ayahnya.
“Dan Kiai
Telapak Jalak?” bertanya Ki Gede Pemanahan.
“Di ujung yang
lain dari daerah hutan yang sedang dibuka ini. Ternyata mereka telah digerakkan
oleh satu tangan. Mungkin Kiai Telapak Jalak sendiri, tetapi mungkin masih ada
orang lain. Rahasia itulah yang masih harus kita singkapkan. Namun agaknya
kekuatan mereka telah hancur bersama kematian Kiai Damar dan Kiai Telapak
Jalak. Dan mereka memerlukan waktu yang panjang untuk memulainya lagi. Mereka
tidak akan dapat mempergunakan cara yang lama, menakut-nakuti dengan kedok
hantu-hantuan yang naik kuda semberani.”
Ki Gede
Pemanahan mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Dan selama
ini kita pun ikut juga percaya kepada hantu-hantu itu?” bertanya Ki Gede
Pemanahan.
“Aku selalu
berusaha menemukan mereka, Ayah. Hampir setiap kali aku meronda. Tetapi aku
tidak pernah menemukannya.”
“Dan para
pemimpin pengawal mulai menghubungi Kiai Telapak Jalak dan Kiai Damar.”
“Kami mencoba
menenteramkan hati mereka yang ketakutan. Tetapi hasilnya justru sebaliknya.
Ternyata keduanya adalah pelaku-pelaku utama dari pasukan hantu-hantuan itu.
Ki Gede
Pemanahan tidak menjawab lagi. Ketika ia menatap jalan sempit di hadapannya,
tampaklah di ujung jalan setapak itu, cahaya yang menerawang di antara
pepohonan hutan.
“Daerah itulah
yang sudah ditinggalkan oleh penggarapnya. Mereka menjadi ketakutan dan tidak
lagi berani meneruskan kerja mereka, membuka tanah garapan baru.”
“Dan kita
tidak berhasil mencegah hal itu?”
“Tidak, Ayah.
Mereka telah menjadi ketakutan. Kami sudah mencoba menempatkan beberapa orang
pengawal di antara mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar