Jilid 055 Halaman 1


AGUNG Sedayu yang sedang memperhatikan kedatangan pengawas yang berkumis itu terkejut, ketika Swandaru berteriak,
“Awas, Kakang!”
Agung Sedayu sadar, bahwa orang yang jatuh itu masih mungkin berbuat sesuatu. Karena itu ia pun segera berpaling ke arahnya. Tepat pada saatnya, Agung Sedayu melihat orang itu berusaha bangkit dan melemparkan lagi sebuah pisau kecil ke arahnya. Untunglah, bahwa Agung Sedayu tidak terlambat. Ia masih sempat mengelak, sekaligus memungut sebuah batu dan melontarkannya ke arah orang yang kini sudah duduk itu. Ternyata lemparan Agung Sedayu kali ini, dari jarak yang lebih dekat, disertai kemarahan yang melonjak di dadanya, telah menumbuhkan akibat yang parah. Lemparannya kali ini mengenai dada orang itu. Sejenak serasa nafasnya terhenti mengalir. Kemudian, semuanya menjadi gelap. Dan orang itu pun menjadi pingsan. Tetapi kini Agung Sedayu masih harus menghadapi pengawas yang berkumis itu. Dengan wajah yang merah padam ia mendekati Agung Sedayu sambil berkata,
“Kau memang anak gila. Apakah kau sadari, apa yang telah kau lakukan?”
Agung Sedayu berdiri tegak di atas kedua kakinya yang merenggang. Semuanya sudah terlanjur menjadi kisruh. Karena itu, maka ia harus menghadapi lawannya itu. Kalau tidak, maka agaknya ia sendirilah yang akan menjadi korban. Sementara itu, selagi semua perhatian tertuju kepada Agung Sedayu dan pengawas yang berkumis itu, Kiai Gringsing mendapat kesempatan untuk merawat pemimpin pengawas yang terluka punggungnya. Dengan hati-hati Kiai Gringsing mencabut pisau itu. Sejenak ia tertegun. Pisau itu pun agaknya beracun pula. Untunglah bahwa di dalam keadaan yang gawat, di antara orang-orang yang selalu bermain-main dengan racun, ia sudah menyiapkan beberapa jenis obat-obatan. Tanpa menarik perhatian orang lain. Kiai Gringsing segera menaburkan serbuk obat ke atas luka itu. Kemudian dimasukkannya sebutir obat yang lain ke dalam mulutnya. Desisnya,
“Telanlah. Kau akan sembuh.”
Di antara sadar dan tidak, pemimpin pengawas itu berusaha menelan obat yang diberikan oleh Kiai Gringsing, sementara lukanya terasa menjadi sangat panas.
“Jangan terkejut. Lukamu memang terasa sakit, tapi kau akan sembuh. Percayalah dan berdoalah agar Tuhan menolongmu.”
Orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya, meskipun terpaksa menyeringai menahan sakit yang menggigit punggungnya. Dalam pada itu, pengawas yang berkumis itu pun telah berdiri berhadapan dengan Agung Sedayu. Beberapa orang perlahan-lahan bergeser mendekatinya. Wanakerti pun telah berada di dekat keduanya yang sudah siap menghadapi segala kemungkinan.
“Kau sadar apa yang telah kau lakukan?” bertanya petugas yang berkumis itu.
Agung Sedayu tidak segera menjawab. Ditatapnya wajah pengawas yang berkumis itu dan Wanakerti berganti-ganti. Bahkan kadang-kadang ia masih sempat berpaling ke arah orang yang kini terbaring pingsan di samping gundukan padas. Dalam pada itu, Swandaru yang sudah mendapat kesempatan beristirahat sejenak, telah berdiri pula. Tertatih-tatih ia berjalan mendekati kakak seperguruannya. Kini ia sudah berhasil menarik cambuknya yang melilit kaki orang yang kekurus-kurusan yang ternyata sedang pingsan pula.
“Aku jadi sangat bingung,” berkata Swandaru kemudian tanpa menghiraukan apa pun.
“Orang-orang di sini adalah orang-orang yang sangat aneh bagiku. Aku sama sekali tidak mengerti akan tingkah laku mereka.”
“Diam!” bentak orang berkumis itu.
“Atau kau akan aku bunuh sama sekali dengan saudaramu ini.”
“Jangan. Aku memang masih ingin hidup.”
Orang berkumis itu menggeram, sementara Agung Sedayu berkata,
“Kenapa kita tidak mencoba berbicara dengan baik. Mungkin kita hanya sekedar salah paham. Dengan berbicara berterus terang, semua persoalan akan dapat diselesaikan.”
“Tidak ada gunanya!” teriak pengawas berkumis itu.
“Anak itu benar,” berkata Wanakerti,
“kita masih mempunyai banyak kemungkinan selain kekerasan.”
“Aku melihat perkembangan keadaan dari ketiga orang ini. Kedua orang yang sudah dikalahkan oleh anak yang gemuk ini sudah berusaha untuk berbicara, jauh sebelum peristiwa ini terjadi.”
“Bukan pembicaraan,” sahut Agung Sedayu,
“tetapi pengusiran. Setiap kali kita berbicara, maka yang disebut-sebutnya hanyalah, agar kami meninggalkan tanah garapan ini tanpa alasan yang masuk akal. Mereka menghendaki kami pergi. Hanya itu. Sudah tentu kami berkeberatan, karena para petugas pun tidak menginginkan demikian.”
“Ya,” berkata Wanakerti,
“kami memang tidak berkeberatan. Hanya, keonaran memang harus diusut sebaik-baiknya.”
“Jangan ikut campur,” bentak prajurit berkumis itu,
“apakah kau ingin mengalami nasib seperti pemimpin kita itu?”
“Tidak akan mungkin lagi. Lihat, pelempar pisau itu sedang pingsan.”
“Orang itu memang sedang pingsan. Tetapi ia tidak mengalami gangguan yang berarti. Ia sekedar tidak menyadari keadaan dirinya. Namun lemparanmu memang dahsyat sekali. Bukankah kau telah melemparnya dengan batu?”
“Ya,” jawab Agung Sedayu.
“Itu adalah kesalahan yang besar. Kau sudah berani melawan pengawas. Pengawas daerah yang sedang dibuka ini. Kau sudah mencederai orang lain.”
“Sekali lagi bukan maksudku. Kalau kau perkenankan, biarlah aku menolong orangmu itu. Dan orang itu sama sekali bukan petugas di sini. Seterusnya kita akan berbicara dengan mulut, bukan dengan ujung senjata macam apa pun juga.”
“Jangan mencoba menghindari tanggung jawab. Sekarang serahkan kedua tanganmu. Kau memang harus diikat.”
“Jangan bertindak sendiri,” berkata Wanakerti.
“Aku juga seorang petugas seperti kau. Kau bukan pimpinan di sini. Kau dan aku tidak akan berbeda. Hakmu sama dengan hakku dan wewenangmu sama dengan wewenangku.”
“Tetapi ada yang lain,” petugas itu menggeram,
“kemampuanmu sama sekali tidak akan dapat menyamai kemampuanku. Kau tidak lebih baik dari orang yang tinggi kekar, yang sama sekali tidak berdaya melawan anak yang gemuk itu. Dan kau tidak akan dapat melawan aku.”
“Aku tidak sendiri,” suara Wanakerti menjadi berat. Meskipun ia sadar, bahwa petugas yang berkumis itu pasti mempunyai kelebihan dari para petugas yang lain. Tetapi Wanakerti pun sadar bahwa petugas yang seorang ini pasti mempunyai latar belakang tersendiri pula, sehingga ia bertindak sebelum membicarakannya dengan kawan-kawannya.

Dalam pada itu, para petugas yang lain pun telah berada di sekitar Wanakerti. Wajah mereka menjadi tegang. Betapapun juga, setelah Wanakerti menyatakan perasaannya, para pengawas yang lain pun ikut pula menyadari, apakah yang sebenarnya mereka hadapi. Pengawas yang berkumis itu pun menjadi bertambah tegang. Sekali-sekali dipalingkannya wajahnya kepada orang yang pingsan di samping seonggok batu padas. Dengan demikian, maka segalanya telah berubah. Orang yang pingsan itu sama sekali tidak lagi dapat membantunya. Meskipun demikian pengawas yang gemuk itu sama sekali tidak menyerah. Tiba-tiba saja ia mencabut pedangnya sambil berkata lantang,
“Aku telah bertindak tepat menurut pendapatku. Siapa pun yang akan menghalangi, harus aku singkirkan. Aku tidak peduli apakah mereka itu para petugas sendiri.”
Wanakerti maju selangkah. Katanya,
“Pemimpin kita telah cedera. Kita bukan orang yang terlampau dungu untuk menilai keadaan. Setiap orang akan dapat menghubungkan, orang yang tinggi kekar, orang yang kekurus-kurusan, kau, dan orang yang pingsan itu. Aku tidak tahu, hubungan apakah yang sudah kalian jalin selama ini. Tetapi sudah tentu, maksud kalian sama sekali tidak akan kami benarkan. Kami, para petugas terpaksa harus menangkap kau dan orang-orang lain itu.”
“Persetan!” geram orang berkumis itu, “Ayo, siapa dahulu yang akan mati.”
Agung Sedayu menjadi bingung. Tetapi ketika ia maju selangkah, Wanakerti berkata,
“Serahkan kepada kami. Kamilah yang akan menyelesaikannya.”
Orang berkumis itu menggeram. Dengan mata yang kemerah-merahan dilihatnya tiga orang pengawas telah mengepungnya.
“Menyerahlah. Kami yang seharusnya berlima, kini tinggal bertiga, setelah pemimpin kami terluka dan kau berada di luar lingkungan kami. Tetapi kami masih tetap akan menjalankan tugas kami sebaik-baiknya.”
Pengawas yang berkumis itu memandang ketiga kawannya berganti-ganti. Wajah yang tegang menjadi semakin tegang. Namun tiba-tiba saja ia tertawa berkepanjangan.
“Aku mengenal kalian bertiga dengan baik,” berkata orang berkumis itu di antara derai tertawanya.
“Kalian sama sekali tidak akan mampu berbuat apa-apa. Aku tahu pasti, bahwa kalian adalah pengecut-pengecut yang hanya mampu menyembunyikan diri. Coba katakan kepadaku, kenapa kalian semalam tidak berani keluar dari gardu pengawas itu meskipun kalian tahu, bahwa rumah ini terbakar? Kalian adalah petugas yang harus menjaga ketenteraman daerah dari apa pun juga. Juga seandainya di daerah ini ada hantu-hantu. Tetapi kalian tidak mampu. Kalian tidak dapat mengatasi kesulitan hubungan antara para pembuka hutan dengan hantu-hantu sehingga korban masih saja berjatuhan. Yang terakhir, suatu isyarat yang sangat berat. Api. Sedang ketiga orang ini masih saja berkeras kepala.”
“Kami akui,” jawab Wanakerti,
“kami tidak dapat melakukan tugas kami dengan baik. Ternyata usahamu selama ini telah berhasil. Kau berhasil menakut-nakuti kami apabila kami akan melakukan suatu tindakan.”
“Itu adalah kebodohan kalian. Kebodohan orang yang kalian sebut pemimpin kalian itu.”
“Jangan banyak bicara,” berkata Wanakerti kemudian, “menyerahlah.”
“Kau gila. Pemimpinmu sudah mati. Sebentar lagi kau dan semua orang yang tidak tunduk kepada perintahku.”
“Kau sudah memberontak kepada Ki Gede Pemanahan.”
“Kau. Kaulah yang sama sekali tidak mampu menjalankan tugas yang dibebankan kepada kalian. Termasuk pemimpin yang dungu itu. Nah, apa katamu?”
Wanakerti tidak menyahut. Ia maju selangkah, diikuti oleh kawan-kawannya dari arah yang lain.
“Jadi kita akan bertempur?” bertanya orang berkumis itu.
Wanakerti masih tetap diam. Tetapi setapak demi setapak ia maju terus. Orang berkumis itu pun kemudian segera menyiapkan dirinya. Agaknya ia tidak akan dapat menghindar lagi. Ia harus melawan ketiga kawan-kawannya. Dalam pada itu, Kiai Gringsing sudah berhasil mengatasi saat-saat yang paling berbahaya dari pemimpin pengawas yang terluka. Perlahan-lahan pemimpin pengawas itu merasa tubuhnya bertambah baik, meskipun ia menjadi sangat lemah karena racun-racun yang bertambah tajam. Kalau saja tidak ada orang tua itu, maka ia pasti sudah mati di dalam beberapa kejapan mata saja. Kiai Gringsing pun merasa bahwa usahanya berhasil. Karena itu, kini ia dapat memperhatikan keadaan di sekitarnya. Ketika ia berpaling, dilihatnya orang yang tinggi kekar itu sedang menunggui kawannya yang masih pingsan.
“Apakah kawanmu itu akan kau biarkan saja?” bertanya Gringsing.
Orang yang tinggi kekar itu menjadi bingung.
“Kemarilah,” berkata Kiai Gringsing.
Orang itu masih saja ragu-ragu.
“Kemarilah. Aku tidak menggigit.”
Dengan bimbang orang yang tinggi kekar itu melangkah mendekati Kiai Gringsing. Kegarangannya selama ini sama sekali sudah lenyap. Bahkan wajahnya tampak menjadi pucat dan suram.
“Kau harus mencari air,” berkata Kiai Gringsing setelah orang yang tinggi kekar itu mendekat.
“Teteskanlah ke dalam mulutnya. Setitik demi setitik. Jangan terlampau banyak supaya kau tidak membunuhnya, karena titik air itu justru akan menyumbat kerongkongannya. Bawalah orang itu ke barak. Bukankah kau bertubuh raksasa. Kau pasti kuat membawanya. Nanti aku akan datang menolongnya. Luka-luka itu tidak berbahaya meskipun terasa sakit sekali. Bersihkan darahnya dan usahakan menahan apabila masih ada yang mengalir dari luka-luka itu. Tetapi luka-luka itu adalah luka-luka yang dangkal saja.
Orang yang tinggi kekar itu seakan-akan sudah tidak mampu berpikir sama sekali. Di antara sadar dan tidak, ia kemudian kembali kepada kawannya yang pingsan. Diangkatnya kawannya itu dengan kedua tangannya, kemudian dibawanya meninggalkan arena yang masih diliputi oleh ketegangan. Karena kini semua perhatian tertuju kepada para pengawas yang sudah siap untuk bertempur, tidak seorang pun yang menghiraukan orang yang kekar itu, selain Swandaru. Tetapi Swandaru pun kemudian membiarkannya ketika ia mendapat isyarat dari gurunya.
“Kenapa orang itu kau biarkan pergi?” bertanya pemimpin pengawal yang masih terlampau lemah itu.
“Mereka tidak akan pergi. Orang yang tinggi kekar itu sudah kehabisan nalar. Ia akan menurut apa yang akan aku katakan. Apalagi keduanya itu pun sama sekali tidak penting. Aku menganggap bahwa bawahanmu yang berkumis itulah yang termasuk orang penting dari lingkungan yang belum kita kenal ini. Juga orang yang pingsan, yang melemparkan pisau ke punggungmu.”
Pemimpin pengawas itu mengangguk-angguk. Tetapi tiba-tiba ia bertanya,
“Siapakah sebenarnya kau dan anak-anakmu?”
“Aku dan anak-anakku. Itu sudah betul.”
“Ya, namamu dan kedudukanmu.”
“Sudah aku katakan. Kami ingin ikut membuka hutan ini karena kami tidak lagi mempunyai harapan apa-apa di daerah kami yang lama.”
“Kau sangka aku percaya?”
“Sekarang tentu tidak. Tetapi biarlah untuk sementara itulah aku. Percaya atau tidak percaya.”
Pemimpin pengawas itu menarik nafas dalam-dalam.
“Kau dapat duduk sendiri?” bertanya Kiai Gringsing.
“Ya.”
“Baiklah. Aku akan mengambil orang yang pingsan itu sebentar. Sudah tentu aku tidak akan melepaskannya seperti orang yang kekurus-kurusan itu.”

Pemimpin pengawas itu merenung sejenak. Dipandanginya orang-orang yang sedang mengerumuni para pengawas yang justru telah berselisih di antara mereka, sehingga pemimpin pengawas itu tidak dapat melihat, apa yang sedang terjadi di arena.
“Tunggulah, aku tidak akan lama,” desis Kiai Gringsing.
Pengawas itu menganggukkan kepalanya. Kiai Gringsing pun kemudian berjalan dengan tergesa-gesa ke tempat orang yang sedang pingsan karena hentakkan batu yang telah dilemparkan oleh Agung Sedayu. Karena pengawas yang berkumis itu sedang memusatkan perhatiannya kepada tiga orang lawannya yang mengepungnya, maka ia sama sekali tidak sempat melihat, bahwa seseorang telah mengambil orang yang pingsan itu. Pada saat Kiai Gringsing mendekatinya, ternyata orang itu sudah mulai membuka matanya. Ia mencoba mengingat-ingat apa yang sebenarnya telah terjadi. Ketika ia mulai sadar, maka dengan susah payah ia pun mencoba untuk bangkit. Tetapi pada saat itu sepasang tangan yang kuat telah mencengkam pundaknya. Sejenak ia menyeringai, namun tiba-tiba ia telah kehilangan kesadarannya kembali. Dengan tergesa-gesa Kiai Gringsing pun kemudian membawanya kepada pemimpin pengawas yang terluka. Diletakkannya orang yang pingsan itu di sampingnya sambil berkata,
“Ia masih pingsan. Sebentar lagi ia akan sadar.”
“Bagaimana kalau ia lari? Aku sama sekali tidak mempunyai kekuatan untuk berbuat sesuatu.”
“Sebaiknya tangan dan kakinya diikat saja.”
Pemimpin pengawas itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan kain panjangnya sendiri, orang itu pun telah diikat tangan dan kakinya, sehingga apabila ia sadar kelak ia tidak akan dapat lari dan berbuat apapun.
“Kau sekarang dapat menungguinya,” desis Kiai Gringsing.
“Kau?”
“Aku akan melihat apa yang terjadi. Agaknya anak buahmu telah berselisih pendapat.”
“Ya. Tetapi ternyata orang yang berkumis itu cukup berbahaya. Ia pasti mempunyai bekal untuk menyombongkan dirinya seperti itu.”
“Aku akan melihat. Jagalah orang yang terikat ini baik-baik. Keadaanmu pun pasti akan segera berangsur baik.”
Pengawas itu menganggukkan kepalanya. Dengan susah payah, dicabutnya pedangnya sambil berkata,
“Kalau ia memberontak aku tinggal menghunjamkan pedangku saja.”
“Jangan kau bunuh. Kita memerlukannya.”
“Aku tahu. Tetapi ujung pedangku akan dapat menakut-nakutinya, meskipun aku tidak mampu mengangkatnya sama sekali.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Namun sejenak kemudian, ia pun pergi meninggalkan pemimpin pengawas yang masih sangat lemah itu untuk melihat apa yang telah terjadi di dalam lingkaran orang-orang yang sedang tegang. Ternyata bahwa suasana telah memuncak. Hampir bersamaan ketiga pengawas itu telah menyerang. Tetapi ternyata benar tangkas, dengan lincahnya ia berloncatan menghindari serangan yang datang dari tiga arah itu. Bahkan ia masih juga sempat menggeliat, sambil mengayunkan tangan kirinya. Meskipun tidak terlalu keras, tetapi sisi telapak tangan itu masih juga sempat mengenai pundak salah seorang lawannya, sehingga orang itu menyeringai menahan sakit. Namun dalam pada itu, para pengawas itu pun menjadi semakin berhati-hati. Mereka menyerang pula berurutan dari arah yang berlainan. Meskipun demikian, ternyata orang yang berkumis itu masih mampu untuk menempatkan dirinya. Ia sama sekali tidak gentar melawan ketiga kawan-kawannya, meskipun dalam penilaian wajar, ketiga pengawas itu cukup mempunyai kemampuan. Bahkan kemampuan seorang prajurit. Tetapi lawannya yang seorang itu memang seorang yang memiliki ilmu yang cukup tinggi. Sejenak mereka bertempur melingkar-lingkar. Semakin lama semakin seru. Tetapi juga ternyata bahwa ketiga orang itu tidak akan segera dapat menguasai keadaan. Agaknya kelima pengawas itu merasa, bahwa dengan begitu saja mereka tidak akan dapat menangkap orang yang berkumis itu. Karena itu maka tiba-tiba salah seorang dari ketiganya telah mencabut pedangnya sambil berkata,
“Aku terpaksa memaksamu untuk menyerah sekarang.”
Tetapi orang yang berkumis itu justru tertawa. Katanya,
“Apakah kita akan mempergunakan senjata?”
“Ya,” jawab pengawas yang telah mencabut pedangnya.
Orang yang berkumis itu memandanginya sejenak. Kemudian dipandanginya pula kedua orang lawannya yang lain. Mereka pun agaknya telah siap pula mencabut senjata mereka.

Yang berdebar-debar kemudian adalah Agung Sedayu, Swandaru, dan Kiai Gringsing, yang telah ikut menyaksikan perkelahian itu pula. Agaknya senjata-senjata itu justru akan berbahaya bagi Wanakerti sendiri bersama kedua kawannya. Menilik sikap dan geraknya, orang yang berkumis itu memang bukan orang kebanyakan. Ia bukan tataran seorang pengawas bawahan.
“Siapakah yang menempatkannya di dalam lingkungan pengawas itu?” bertanya Kiai Gringsing di dalam hatinya. Tanpa sesadarnya ia berpaling. Di sela-sela orang yang berkerumun, ia melihat tawanannya masih terbaring ditunggui oleh pemimpin pengawas yang terluka itu.
“Kalianlah yang telah mulai dengan senjata,” berkata orang yang berkumis itu.
“Kalau terjadi sesuatu atas kalian, bukan salahku. Sebenarnya aku hanya ingin membawa kalian menghadap Ki Gede Pemanahan atau Mas Ngabehi Loring Pasar. Tetapi dengan senjata-senjata itu, mungkin keadaan akan berbeda. Mungkin ujung senjata kita akan mengambil keputusan lain. Kalian mengerti?”
Ketiga pengawas yang lain tidak menyahut.
“Nah, bersiaplah,” desis orang berkumis itu. Ketiga pengawas yang lain itu pun masih tetap berdiam diri. Wanakerti memandang orang berkumis itu dengan dada yang berdebar-debar. Ia menyadari, bahwa orang yang berkumis itu memiliki beberapa kelebihan. Tetapi tanggung jawabnya kini justru serasa tergugah.
Orang berkumis itu bergeser beberapa langkah. Ditatapnya ketiga ujung pedang lawannya berganti-ganti. Tetapi tampaknya ia sama sekali tidak gentar menghadapi mereka. Di luar lingkaran orang-orang yang dengan tegang menyaksikan perkelahian itu, perlahan-lahan orang yang melemparkan pisau belati beracun ke arah punggung pemimpin pengawas itu mulai sadar. Perlahan-lahan ia membuka matanya. Namun kemudian disadarinya bahwa tangan dan kakinya telah terikat.
“Setan alas!” ia menggeram.
“Apa kabar, Ki Sanak?” sapa pemimpin pengawas yang ada di belakang orang yang terikat itu.
Dengan susah payah orang itu berpaling. Ia terperanjat melihat pemimpin pengawas itu duduk sambil menggenggam pedang yang teracu kepadanya, “Aku dapat juga membunuhmu. Meskipun pedangku tidak beracun seperti pisaumu,” pemimpin pengawas itu mengerutkan keningnya,
“He, agaknya kita pernah bertemu.”
Orang itu berusaha sama sekali untuk melepaskan tangannya. Tetapi ia tidak berhasil.
“Ha,” berkata pemimpin pengawas itu,
“aku ingat, bukankah kau dukun yang tinggal di gubug sebelah dari gubug yang roboh oleh angin dua hari yang lalu? He, bukankah kau dukun itu?”
Orang yang terikat itu sama sekali tidak menjawab.
“Kenapa kau lakukan hal itu atasku, he? Apakah kau termasuk orang-orang yang bergabung dalam suatu gerombolan dengan maksud-maksud tertentu?”
Orang itu sama sekali tidak menjawab. Tetapi kadang-kadang ia masih menyeringai menahan sakit di dadanya yang terkena lemparan batu Agung Sedayu.
“Kenapa, he? Selama ini kau dihormati karena kau dapat menolong sesamamu di sini. Hanya orang-orang yang mengalami gangguan hantu-hantu saja yang tidak dapat kau obati, itu pun kau dapat menunjukkan agar kami berhubungan dengan dukun yang tinggal terpencil itu. Ternyata di dalam keadaan ini kau telah memusuhi kami, para petugas.”
Orang itu masih tetap berdiam diri. Kini ia berbaring diam membelakangi pemimpin pengawas itu.
“Dengar,” desis pemimpin pengawas itu,
“meskipun aku terluka, aku masih dapat membunuhmu.”
Dukun itu mengerutkan keningnya ketika terasa ujung pedang pemimpin pengawas itu menyentuh punggungnya.
“Di bagian inilah kira-kira pisaumu menancap di punggungku. Aku pun dapat melubangi punggungmu di bagian ini pula. Tetapi sayang bahwa pedangku tidak beracun,” namun tiba-tiba pemimpin pengawas itu berkata.
“He, inilah pisaumu yang dicabut dari punggungku. Meskipun sudah merasuk ke tubuhku, namun agaknya masih ada juga sisa racun yang dapat membumbui darahmu.”
Orang itu terkejut sehingga ia tersentak. Tetapi karena kaki dan tangannya terikat, ia hanya dapat berguling. Dengan wajah yang tegang ia melihat pemimpin pengawas itu menggenggam sebilah pisau yang dikenalnya baik-baik. Pisaunya sendiri.
“Kau kenal pisau ini?”
“Jangan. Jangan. Pisau itu sangat beracun.”
“Pisau ini telah tertancap di punggungku. Sampai saat ini aku masih terlampau lemah karena racun ini. Aku masih belum mampu berdiri tegak. Tetapi aku masih mampu bergeser mendekati kau, kemudian menggoreskan pisau ini memotong urat nadimu di pergelangan tangan.”
“Jangan. Jangan.”
“Kalau kau mempunyai obat pemunah racun di dalam tubuhmu, kau pun akan mati juga, karena darahmu akan mengalir lewat nadimu yang terputus sampai jantungmu kering.”
“Jangan berbuat begitu.”
“Kenapa? Kau sudah berbuat atasku. Kenapa aku tidak boleh berbuat atasmu?”
“Tetapi, tetapi aku tidak ingin membunuhmu.”
Meskipun punggungnya masih terasa pedih, pemimpin pengawas itu masih juga dapat tertawa. Katanya,
“Kau tidak bermaksud membunuhku?”
Orang itu terdiam.
“Baiklah, aku tidak akan membunuhmu sekarang. Kau sangat diperlukan bersama seorang pengawasku yang telah memberontak.”
Orang itu kian menjadi tegang. Ia sama sekali tidak menduga bahwa pemimpin pengawas itu masih sempat hidup, dan masih juga ada orang yang berani melawan kehendak pengawas yang berkumis itu. Bahkan ternyata orang yang tinggi kekar dan yang kekurus-kurusan itu sudah tidak berdaya.
“Apa yang kau renungkan?” bertanya pemimpin pengawas itu.
“Bukan apa-apa,” jawab dukun yang terikat itu.
“Bukan apa-apa? Tentu kau sedang merenungkan sesuatu. Apa kau tidak mau menjawab?”
Orang itu terdiam. Tetapi ujung pedang pengawas itu menyentuh tubuhnya,
“Katakan, apa yang sedang kau renungkan.”
“Bukan apa-apa,” orang itu tergagap.
“Bohong!” pemimpin pengawas itu menekankan ujung pedangnya.
“Atau dengan pisau beracun ini.”
“Jangan, jangan. Aku sedang berpikir, kenapa aku telah terlibat di dalam persoalan yang tidak aku ketahui ini.”
“Nah. Kau sebaiknya memang harus menjawab, meskipun aku tahu bahwa kau berbohong. Kau dapat mengatakan apa saja, karena aku tidak dapat melihat gambaran dari angan-anganmu itu. Tetapi aku bukan orang yang terlampau bodoh untuk sama sekali tidak dapat mereka-reka, yang sedang kau pikirkan.”
Orang itu masih tetap berdiam diri.
“Baiklah aku memang belum mempunyai kekuatan untuk memaksamu berbicara. Kini aku sedang menunggu akhir dari perkelahian itu.”

Tanpa sesadarnya orang itu pun mencoba memandang ke arah orang-orang yang melingkari para pengawas yang sedang berselisih itu. Tetapi ia tidak berhasil melihat, selain punggung-punggung orang-orang yang berdiri dengan tegangnya.
“Kawanmu itu sedang mencoba membela dirinya. Para pengawas yang lain sudah siap menangkapnya. Dengan demikian akan mendapat gambaran yang jelas, apakah sebenarnya yang telah terjadi di daerah ini.”
“Kalian tidak akan mendapatkan apa-apa.”
“Setidak-tidaknya kami dapat menangkap beberapa orang yang dapat membahayakan daerah ini.”
“Itulah kebodohanmu.”
“Apa?” pemimpin pengawal itu membentak.
“Kau menganggap aku bodoh?”
Dukun yang terikat itu merasa ujung pedang pemimpin pengawas itu semakin menekan tubuhnya.
“Coba ulangi lagi, apakah aku memang terlampau bodoh?”
“Tidak. Bukan maksudku,” sahut orang itu dengan serta merta.
“Nah, sebenarnya itulah gambaran angan-anganmu yang sebenarnya tentang aku. Tetapi biarlah. Aku memang tidak ingin membunuhmu sekarang.”
Orang itu tidak menyahut. Tetapi ia merasa aneh dan heran, bahwa pemimpin pengawas itu masih saja tetap hidup. Tidak ada orang yang dapat menyelamatkan diri dari bisa yang diulaskan pada pisaunya. Tetapi ternyata pemimpin pengawas itu masih tetap hidup. Dalam pada itu, ketiga pengawas yang sedang berhadapan dengan orang berkumis itu, telah mulai menyerang berganti-ganti, sehingga perkelahian pun telah mulai berlangsung. Semakin lama menjadi semakin seru dan mendebarkan jantung. Meskipun pengawas yang berkumis itu hanya seorang diri dan harus menghadapi tiga orang kawannya, namun ternyata ia memang memiliki bekal yang cukup baik, sehingga ia masih tetap mampu bertahan. Bahkan kadang-kadang ia masih juga sempat menyerang dengan dahsyatnya, sehingga ketiga lawan-lawannya terkejut karenanya. Demikianlah, maka perkelahian itu semakin lama menjadi semakin seru. Namun dengan demikian justru menjadi semakin nyata, bahwa ketiga pengawas termasuk Wanakerti sama sekali tidak mampu mengimbangi orang berkumis itu. Semakin lama, orang itu justru menjadi semakin lincah. Pedangnya menyambar-nyambar seperti seekor burung sikatan. Cepat dan langsung mengarah ke bagian-bagian yang berbahaya. Mereka yang menyaksikan perkelahian itu terperanjat ketika tiba-tiba saja mereka mendengar keluhan tertahan, dan seleret warna merah membekas di lengan salah seorang pengawas yang bertempur bertiga bersama-sama. Kemudian setitik demi setitik darah mulai mengucur dari luka itu, menodai bajunya. Sejenak kemudian terdengar suara pengawas yang berkumis itu tertawa sambil berkata,
“Nah. Darah mulai menitik dari lukamu. Jangan salahkan aku kalau kalian nanti tidak akan dapat keluar lagi dari lingkaran perkelahian ini.”
Demikian lantangnya suara orang berkumis itu sehingga tanpa sesadarnya dukun yang terluka itu berkata,
“Nah. kau dengar? Apakah kau sangka kawan-kawanmu itu akan berhasil menangkapnya?”
Pemimpin pengawas itu merenung sejenak. Kemudian ia mendengar lagi orang berkumis itu berkata keras-keras,
“Jangan menyesal. Semuanya sudah terlanjur. Kita harus mengakhiri persoalan ini dengan pedang yang sudah dicabut dari sarungnya.”
Tidak terdengar jawaban sama sekali. Tetapi ujung pedang pemimpin pengawas itu telah menekan tubuh orang yang terikat itu,
“Kau pun akan mati.”
“Kenapa aku?”
“Kalau orang berkumis itu menang, ia pun akan membunuh aku pula. Karena itu, sebelum aku mati, kau harus mati lebih dahulu.”
“Kenapa aku?”
“Jangan berpura-pura. Kenapa kau melempar aku dengan pisau ketika aku berselisih dengan orang itu?”
“Tetapi, tetapi ……,” orang itu menjadi tergagap.
“Nah, jangan banyak bicara lagi. Kita tunggu. Kalau lingkaran orang-orang itu menyibak, dan yang keluar dari lingkaran itu pengawas yang berkumis, maka aku akan segera menghunjamkan pedangku kepadamu dan menyembunyikan pisau itu di tanganku. Begitu ia mendekat, mengayunkan pedangnya ke leherku, aku masih sempat melemparkanya dengan pisau beracun ini dan melukainya meskipun hanya sebaris kecil, seperti goresan ujung duri.”
“Tetapi, apakah kau tidak berpikir, bahwa dengan menghidupi aku, kau akan tetap hidup pula?”
“Aku tidak berpengharapan lagi. Kalau aku membiarkan kau hidup, aku memang teramat bodoh.”
Wajah dukun itu menegang sejenak. Ia berusaha untuk menemukan akal, agar orang berkumis itu berkesempatan menolongnya.
“Orang ini masih sangat lemah,” desisnya di dalam hati,
“kalau aku berguling-guling agak cepat, ia tidak akan mampu mengejarku. Pada saat aku yakin akan kemenangan pengawas itu, aku harus cepat-cepat berguling menjauh sambil berteriak-teriak.”
Demikianlah, maka dukun yang terikat itu menunggu kesempatan untuk mendapatkan pertolongan. Karena itu, maka ia selalu saja mengawasi, kalau-kalau orang-orang yang melingkari arena itu mulai menyibak.

Tetapi agaknya perkelahian itu masih berlangsung terus. Meskipun seorang dari ketiga pengawas yang bertempur bersama itu sudah terluka, namun mereka masih tetap bertempur mati-matian. Namun keadaan selanjutnya telah membuat beberapa orang menjadi kian menegang. Agaknya ketiga orang itu sama sekali tidak akan mampu mengimbangi lawannya yang hanya seorang itu. Ternyata bahwa seorang yang lain telah tergores pula oleh senjata orang berkumis itu, bahkan juga Wanakerti sendiri. Swandaru yang berdiri di belakang Agung Sedayu, menyaksikan perkelahian itu dengan dada berdebar-debar. Bahkan kemudian ia melangkah maju sambil meremas ujung cambuknya. Agung Sedayu menahan nafasnya. Sekali-sekali ia berpaling kepada gurunya yang telah menjadi cemas pula. Tetapi Kiai Gringsing masih tetap berdiri diam di tempatnya. Demikianlah, perkelahian itu semakin lama menjadi semakin jelas, bahwa ketiga pengawas yang berkelahi bersama-sama itu berada di dalam bahaya. Orang berkumis itu dengan lincahnya berloncatan dengan senjata yang menyambar-nyambar. Meskipun demikian, Wanakerti dan kedua kawannya telah mencoba berbuat sebaik-baiknya yang dapat dilakukannya. Mereka mengadakan perlawanan mati-matian, meskipun mereka menyadari bahwa mereka berada di dalam bahaya yang dapat merampas nyawanya.
Swandaru yang tidak dapat menahan diri melihat perkelahian itu, berbisik kepada Agung Sedayu,
“Apakah kita akan membiarkan ketiganya mati? Atau seandainya kita akan berbuat sesuatu, kita menunggu korban itu berjatuhan lebih dahulu, atau kita tidak akan berbuat apa-apa sama sekali.”
“Kita akan berbuat sesuatu,” bisik Agung Sedayu.
“Berbuat atau tidak berbuat kita pasti akan tersudut, karena orang berkumis itu memang berminat membunuh kita. Ketiga pengawas itu hanya sekedar mencoba mencegahnya.”
“Karena itu kita tidak boleh membiarkan mereka menjadi korban,” Swandaru berdesis pula.
“Tetapi apakah pedang itu beracun juga?”
“Tampaknya tidak. Pedang itu adalah pedang pengawas. Orang itu yakin akan dapat mengalahkan lawannya. Tetapi tidak mustahil bahwa ia membawa senjata beracun pula, seperti yang lain.”
Swandaru mengangguk-anggukan kepalanya. Lalu,
“Aku akan mencegah mereka terbunuh.”
“Jangan kau. Kau masih lelah. Nafasmu belum pulih.”
“Jadi.”
“Aku akan minta ijin pada guru.”
Swandaru mengangguk-angguk. Katanya,
“Cepatlah, sebelum salah seorang dari mereka menjadi korban. Apalagi ketiga-tiganya.”
Agung Sedayu pun kemudian bergeser mendekati gurunya. Tetapi sebelum ia mengatakan sesuatu, agaknya gurunya telah mengetahuinya, sehingga ia mendahuluinya berkata lambat,
“Hati-hatilah. Pedang itu pasti bukan senjata satu-satunya. Tetapi ingat, jangan bunuh orang itu. Kami memerlukannya.”
Agung Sedayu mengangguk. Namun di dalam hati ia berkata,
“Mudah-mudahan aku tidak kehilangan kesempatan untuk menangkapnya hidup-hidup. Atau justru akulah yang ditangkapnya.”
Demikianlah, sejenak kemudian salah seorang pengawas yang berkelahi itu terloncat surut. Sebuah luka yang agak dalam telah menyobek bahunya, sehingga ia menjadi semakin lemah karenanya. Dengan demikian, maka kedudukan ketiga pengawas itu menjadi semakin sulit. Orang berkumis itu tertegun sejenak. Ketika ia melihat ketiga lawannya termangu-mangu, ia pun tertawa berkepanjangan sambil berkata,
“Nah, apakah kalian menyesal?”
Ketiga lawannya sama sekali tidak menyahut.
“Sayang, kalian tidak akan mendapat kesempatan lagi.”
Wanakerti menggeretakkan giginya. Suara tertawa itu memang sangat menyakitkan hati.
“Aku sama sekali tidak ingin mendapat belas kasihanmu,” geram Wanakerti,
“karena kami merasa sanggup melakukan tugas kami sebaik-baiknya. Kau mengerti?”
“Maksudmu kau akan bertempur sampai mati?”
“Maksudku, aku akan membunuhmu.”
Orang berkumis itu tertawa semakin keras. Namun tiba-tiba suara tertawanya berhenti ketika Wanakerti berkata,
“Sebenarnya kami tidak memerlukan kau lagi. Seandainya kau tidak dapat kami tangkap, dan bahkan seandainya kamu akan mati sekalipun, kami tidak akan berkeberatan. Kawanmu yang pingsan itu agaknya telah diambil oleh para petugas yang lain. Ia akan dapat banyak memberikan keterangan.”
“He,” orang itu terkejut. Tetapi ketika ia berpaling yang dilihatnya adalah orang-orang yang berkerumun.
“Minggir,” ia berteriak.

Ternyata beberapa orang menjadi ketakutan dan segera menyibak. Di sela-sela orang-orang yang telah menyibak itu, orang berkumis itu hanya dapat melihat seonggok batu padas. Kawannya memang sudah tidak berada di tempatnya.
“Aku melihat seseorang mengambilnya,” berkata Wanakerti, “dan aku sengaja memancing perhatianmu. Kini, apa yang hendak kau katakan kepada Ki Gede Pemanahan seandainya ia datang kemari?”
Orang berkumis itu menjadi tegang sejenak. Namun kemudian ia menggeram,
“Licik. Licik sekali.”
Wanakerti tidak menjawab. Meskipun lukanya terasa pedih, tetapi ia mencoba untuk tertawa,
“Kami tidak berkeberatan untuk mati. Tetapi segala usahamu di sini akan gagal.”
Dalam pada itu, orang yang terikat itu pun dapat mendengar serba sedikit pembicaraan mereka yang berada di arena. Apalagi suara orang berkumis yang keras dan lantang itu. Sejenak meloncat di hatinya keinginannya untuk berteriak, memberitahukan kepada orang berkumis itu, bahwa ia masih berada di tempat itu, meskipun terikat. Tetapi ketika mulutnya hampir saja bergerak, ujung pedang pemimpin pengawas itu telah menyentuh bukan saja punggung atau lambungnya, tetapi mulutnya.
“Aku tahu, kau akan berteriak memanggilnya,” desis pemimpin pengawas itu.
Orang yang terikat itu mengumpat di dalam hati. Tetapi ia memang tidak mendapat kesempatan untuk berteriak. Karena itu, ia tidak berhasil memberikan isyarat apa pun kepada orang berkumis yang berada di arena. Orang berkumis yang telah berhasil melukai ketiga lawannya itu menjadi termangu-mangu. Ia sudah berusaha mencegah anak gembala tua yang melempar dukun yang pingsan itu dengan batu. Tetapi kini ternyata ada orang lain yang melakukannya.
“Siapakah yang telah berani mengambilnya?” ia menggeram.
Wanakerti berdesis menahan sakit. Namun kemudian ia menjawab,
“Aku tidak tahu. Tetapi menurut sikap dan pakaiannya, ia adalah utusan atau setidak-tidaknya pengawas yang sedang bertugas melihat-lihat perkembangan daerah ini.”
“Bohong, kau bohong. Aku tidak mendengar suara kuda. Kalau benar mereka yang kau maksudkan, mereka pasti datang berkuda. Mereka tidak akan langsung mengetahui apa yang telah terjadi di sini.”
Wanakerti mengerutkan keningnya. Ia tidak segera dapat menjawab. Tetapi kemudian ia berkata,
“Aku tidak tahu pasti siapakah yang telah mengambilnya. Tetapi pasti bukan dari golonganmu.”
Orang berkumis itu menggeram. Katanya,
“Orang itu pasti belum terlampau jauh. Aku harus menemukannya.”
Tiba-tiba saja orang itu ingin segera menyelesaikan pekerjaannya di arena ini. Karena itu, maka wajahnya menjadi merah dan tatapan matanya menjadi liar.
“Kalian harus segera mati, supaya aku segera dapat menangkap orang yang telah mencuri orang yang pingsan itu.”
Wanakerti tidak menyahut. Bersama kedua kawan-kawannya yang telah terluka ia pun segera bersiap. Tetapi kini ia sudah berhasil mempengaruhi perasaan orang itu, sehingga ia akan selalu diganggu oleh kegelisahannya. Ternyata bahwa kedua kawan Wanakerti yang telah terluka itu pun mengerti maksudnya. Mereka harus bertahan sejauh-jauh dapat dilakukan. Semakin lama orang berkumis itu akan menjadi semakin gelisah, sehingga pengamatannya atas dirinya sendiri pasti akan berkurang. Sejenak kemudian maka perkelahian itu pun terulang lagi. Tetapi meskipun orang berkumis itu menjadi gelisah namun ia masih tetap garang. Bahkan sikap dan geraknya menjadi semakin kasar, meskipun kadang-kadang tergesa-gesa dan kurang cermat. Wanakerti tidak lagi berusaha menyerang. Ia hanya sekedar bertahan dan mengganggu orang berkumis itu apabila ia sedang menyerang kawannya yang paling lemah, yang pundak, tangan dan bahunya sudah terluka. Meskipun demikian, namun Wanakerti dan kedua kawannya benar-benar berada di dalam kesulitan. Mereka semakin terdesak dan kehilangan kesempatan, sehingga pada suatu saat, orang berkumis itu berteriak,
“Aku sudah tidak sabar lagi. Kalian memang harus mati sekarang, di sini.”
Pedang orang berkumis itu pun kemudian berputar semakin cepat menyambar-nyambar ke segala arah.
Namun ia terkejut ketika tiba-tiba saja Agung Sedayu berkata kepadanya,
“He, jangan cemas. Dukun yang pingsan itu kini sedang diobati. Seseorang telah membawanya ke tempat Kiai Damar. Karena di sini tidak ada dukun yang lain selain dirinya sendiri, maka hanya Kiai Damar-lah yang akan dapat menolongnya.”
Ternyata kata-kata Agung Sedayu telah menarik perhatian orang berkumis itu, sehingga ia tertegun sejenak. Ditatapnya wajah Agung Sedayu yang telah maju beberapa langkah mendekatinya.
“Darimana kau tahu?” bertanya orang berkumis itu.
“Seseorang telah mengambilnya. Aku kira ia akan dibawa kepada Kiai Damar.”
“Ya, darimana kau tahu?”
Pertanyaan itu ternyata telah membingungkan Agung Sedayu, sehingga sekenanya saja ia menjawab,
“Aku hanya menduga. Tetapi, kenapa kau begitu bernafsu untuk mempertahankan orang yang pingsan itu? Seharusnya kau relakan saja orang itu. Karena ia telah melukai pemimpinmu.”
“Tidak sekedar melukai. Luka yang sekecil ujung jarum pun akan berarti kematian.”
“Tetapi pemimpinmu masih belum mati.”
“Bohong!”
Agung Sedayu menjadi ragu-ragu sejenak. Tanpa sesadarnya ia berpaling kepada gurunya. Ketika gurunya menganggukkan kepalanya, maka ia pun menarik nafas dalam-dalam.
“Baiklah,” katanya kemudian kepada orang berkumis itu,
“kau akan dapat melihatnya sendiri.”
“Bohong. Kau akan menjebak aku?”
“Tidak,” jawab Agung Sedayu.
Namun dalam pada itu, pemimpin pengawas itu pun menjadi berdebar-debar. Ia sama sekali tidak mengerti maksud Agung Sedayu. Tetapi percakapan yang sebagian didengarnya itu telah mendebarkan jantungnya. Karena itu, maka ia pun menekankan pedangnya kini di leher tawanannya sambil menyembunyikan pisau di bawah rerumputan. Setiap saat ia siap menghunjamkan pedangnya ke leher tawanannya dan kemudian menggoreskan pisau, itu apabila orang berkumis itu mendekatinya. Betapa lemah tubuhnya, tetapi ia pasti masih sanggup melemparkan pisau pada jarak yang sangat dekat dan melukainya. Sejenak kemudian pemimpin pengawas itu malahan mendengar Agung Sedayu berkata lantang,
“Menyibaklah. Biarlah orang ini melihat, bahwa pemimpinnya masih dan akan tetap hidup.”

Beberapa orang yang mengerumuni arena itu pun segera menyibak. Dan apa yang dilihat oleh orang berkumis itu memang telah mengejutkannya. Pemimpin pengawas itu duduk di rerumputan sambil mengacukan pedang ke leher dukun yang pingsan itu.
“Setan alas, siapakah yang telah berkhianat?” ia berteriak. Tetapi ketika ia melangkah mendekati mereka Agung Sedayu berkata,
“Jangan pergi ke sana. Perkelahian ini masih belum selesai.”
Langkah orang berkumis itu terhenti. Sejenak ia memandang Agung Sedayu dengan sorot mata yang aneh. Sekali-sekali ia masih juga memandang Wanakerti dan kedua kawannya berganti-ganti.
Dengan nada yang dalam ia menggeram,
“Jadi maksudmu, agar aku membunuh ketiga orang ini dahulu?”
“Bukan begitu,” jawab Agung Sedayu,
“sebaiknya kau tidak usah mengurus orang itu. Pemimpin pengawas itu telah berhasil menangkap orang yang melempar punggungnya dengan pisau, dan bahwa orang itu telah terikat di sana. Biarlah nanti Ki Gede Pemanahan atau puteranya yang akan mengadili.”
Orang berkumis itu menjadi termangu-mangu sejenak. Ia menjadi bingung menghadapi keadaan yang tidak disangka-sangkanya. Banyak hal yang tiba-tiba saja harus dihadapinya. Hadirnya tiga orang ayah beranak itu sejak semula memang telah menimbulkan kecurigaan, sehingga dengan segala macam usaha, bersama-sama dengan kawan-kawannya ia telah berusaha mengusirnya. Tetapi kini justru ia dihadapkan pada keadaan yang tidak dimengertinya. Kenapa pemimpin pengawas itu dapat bertahan dari bisa racun yang sangat tajam. Dan alangkah menjengkelkan sekali bahwa anak yang gemuk itu dapat mengalahkan kedua kawannya yang terdahulu, sehingga ia harus ikut bertindak hari ini bersama dukun yang justru telah tertangkap itu. Semuanya sama sekali tidak seperti yang direncanakan, karena perhitungannya tentang ayah dan kedua anak-anaknya itu meleset. Dan kini ia harus berhadapan dengan mereka seorang diri.
“Persetan,” orang itu menggeram di dalam hatinya,
“ketiga pengawas itu sudah tidak berdaya. Anak ini kalau perlu harus dibinasakan lebih dahulu.”
Karena itu, maka orang berkumis itu kemudian berkata,
“Siapa yang akan menghalangi aku? Aku akan mengambil orang yang terikat itu. Aku memerlukannya.”
“Apakah yang akan kau lakukan?”
“Itu urusanku.”
“Tetapi ia telah membuat suatu kesalahan yang besar. Dan adalah wajar sekali kalau dia diikat dan kemudian diserahkan kepada Ki Gede Pemanahan.”
Orang berkumis itu berpikir sejenak. Siapakah yang telah mengikat orang itu? Sudah pasti ada orang yang telah melakukannya. Apalagi pemimpin pengawas itu masih juga belum mati meskipun punggungnya telah terkena racun. Dalam kebingungan itu terdengar suara Agung Sedayu,
“Sudahlah. Jangan berbuat sesuatu yang dapat menjeratmu sendiri. Lebih baik kau menyerah. Kami tidak akan membunuhmu seperti apabila kau yang menguasai kami. Kami adalah orang-orang yang mengerti tentang keharusan mempergunakan saluran-saluran tertentu untuk menjatuhkan hukuman, meskipun kami dapat menguasai kau. Meskipun dengan sewenang-wenang kami dapat memperlakukan apa saja atasmu. Tetapi kami pun sadar, bahwa itu tidak akan dibenarkan oleh Ki Gede Pemanahan dan puteranya, Raden Sutawijaya, sehingga kami harus membawamu menghadap sesuai dengan keharusan yang berlaku.” Sambil terpaling kepada para pengawas yang sudah terluka ia bertanya,
“Bukankah begitu?”
“Kalau ia menyerah,” sahut Wanakerti.
“Tetapi ia sudah melakukan perlawanan dan melukai kami.”
“Meskipun demikian, kalau ia menyerah, ia akan mendapat kesempatan.”
“Tetapi kalau ia melawan, kami akan membunuhnya berramai-ramai. Bahkan kami akan mempergunakan tenaga orang-orang yang ada di sini untuk menangkapnya atau membunuhnya seperti rampokan macan di alun-alun.”
Orang berkumis itu menjadi tegang.
“Karena itu, menyerahlah selagi masih ada kesempatan. Kau tidak mempunyai kawan lagi yang dapat membantumu, sedang kami ini mempunyai banyak sekali tenaga yang dapat berbuat sesuatu atasmu.”
Sejenak orang itu masih berdiam diri. Namun tiba-tiba ia menggeram,
“Ayo, siapa yang akan menangkap aku?” Bahkan kemudian ia berteriak,
“Siapa? Siapa yang akan ikut campur di dalam perkelahian ini? Mari, mari.” Sejenak kemudian orang berkumis itu mengacukan pedangnya kepada orang-orang yang mengerumuni arena itu,
“Mari, mari, siapa yang akan ikut mati di sini?”

Tetapi orang-orang yang berdiri di sekitarnya itu pun berdesakan mundur. Mereka adalah petani-petani miskin yang mempertaruhkan waktunya dengan suatu harapan, membuka tanah baru untuk keluarga mereka. Mereka sama sekali tidak ingin melakukan apa pun yang bersifat kekerasan, apalagi mempergunakan senjata. Mereka bukan orang-orang yang biasa berkelahi. Mereka hanya sekedar ingin membuka tanah pertanian baru.
“Ayo siapa?”
Tidak seorang pun yang berani tetap berdiri di tempatnya.
“Nah, lihat. Mereka adalah kelinci-kelinci yang ketakutan melihat taring serigala. Ayo, jangan terlampau lama. Kita selesaikan persoalan kita, kemudian aku akan menyelesaikan pemimpin pengawas yang dungu itu.”
Orang berkumis itu telah menjadi liar. Matanya menjadi merah dan nafasnya tersengal-sengal. Selangkah ia maju mendekati Wanakerti sambil berdesis,
“Kaulah yang harus mati lebih dahulu.”
Agung Sedayu melihat suasana yang semakin berat bagi Wanakerti dan kawan-kawannya. Mereka pasti tidak akan dapat bertahan lebih lama lagi. Luka-luka mereka pun perlu mendapat perawatan agar mereka tidak menjadi kehabisan darah.


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar