AGUNG Sedayu yang sedang memperhatikan kedatangan pengawas yang berkumis itu terkejut, ketika Swandaru berteriak,
“Awas,
Kakang!”
Agung Sedayu
sadar, bahwa orang yang jatuh itu masih mungkin berbuat sesuatu. Karena itu ia
pun segera berpaling ke arahnya. Tepat pada saatnya, Agung Sedayu melihat orang
itu berusaha bangkit dan melemparkan lagi sebuah pisau kecil ke arahnya. Untunglah,
bahwa Agung Sedayu tidak terlambat. Ia masih sempat mengelak, sekaligus
memungut sebuah batu dan melontarkannya ke arah orang yang kini sudah duduk
itu. Ternyata lemparan Agung Sedayu kali ini, dari jarak yang lebih dekat,
disertai kemarahan yang melonjak di dadanya, telah menumbuhkan akibat yang
parah. Lemparannya kali ini mengenai dada orang itu. Sejenak serasa nafasnya
terhenti mengalir. Kemudian, semuanya menjadi gelap. Dan orang itu pun menjadi
pingsan. Tetapi kini Agung Sedayu masih harus menghadapi pengawas yang berkumis
itu. Dengan wajah yang merah padam ia mendekati Agung Sedayu sambil berkata,
“Kau memang
anak gila. Apakah kau sadari, apa yang telah kau lakukan?”
Agung Sedayu
berdiri tegak di atas kedua kakinya yang merenggang. Semuanya sudah terlanjur
menjadi kisruh. Karena itu, maka ia harus menghadapi lawannya itu. Kalau tidak,
maka agaknya ia sendirilah yang akan menjadi korban. Sementara itu, selagi
semua perhatian tertuju kepada Agung Sedayu dan pengawas yang berkumis itu,
Kiai Gringsing mendapat kesempatan untuk merawat pemimpin pengawas yang terluka
punggungnya. Dengan hati-hati Kiai Gringsing mencabut pisau itu. Sejenak ia
tertegun. Pisau itu pun agaknya beracun pula. Untunglah bahwa di dalam keadaan
yang gawat, di antara orang-orang yang selalu bermain-main dengan racun, ia
sudah menyiapkan beberapa jenis obat-obatan. Tanpa menarik perhatian orang
lain. Kiai Gringsing segera menaburkan serbuk obat ke atas luka itu. Kemudian
dimasukkannya sebutir obat yang lain ke dalam mulutnya. Desisnya,
“Telanlah. Kau
akan sembuh.”
Di antara
sadar dan tidak, pemimpin pengawas itu berusaha menelan obat yang diberikan
oleh Kiai Gringsing, sementara lukanya terasa menjadi sangat panas.
“Jangan
terkejut. Lukamu memang terasa sakit, tapi kau akan sembuh. Percayalah dan
berdoalah agar Tuhan menolongmu.”
Orang itu
mengangguk-anggukkan kepalanya, meskipun terpaksa menyeringai menahan sakit
yang menggigit punggungnya. Dalam pada itu, pengawas yang berkumis itu pun
telah berdiri berhadapan dengan Agung Sedayu. Beberapa orang perlahan-lahan
bergeser mendekatinya. Wanakerti pun telah berada di dekat keduanya yang sudah
siap menghadapi segala kemungkinan.
“Kau sadar apa
yang telah kau lakukan?” bertanya petugas yang berkumis itu.
Agung Sedayu
tidak segera menjawab. Ditatapnya wajah pengawas yang berkumis itu dan
Wanakerti berganti-ganti. Bahkan kadang-kadang ia masih sempat berpaling ke
arah orang yang kini terbaring pingsan di samping gundukan padas. Dalam pada
itu, Swandaru yang sudah mendapat kesempatan beristirahat sejenak, telah
berdiri pula. Tertatih-tatih ia berjalan mendekati kakak seperguruannya. Kini
ia sudah berhasil menarik cambuknya yang melilit kaki orang yang
kekurus-kurusan yang ternyata sedang pingsan pula.
“Aku jadi
sangat bingung,” berkata Swandaru kemudian tanpa menghiraukan apa pun.
“Orang-orang
di sini adalah orang-orang yang sangat aneh bagiku. Aku sama sekali tidak
mengerti akan tingkah laku mereka.”
“Diam!” bentak
orang berkumis itu.
“Atau kau akan
aku bunuh sama sekali dengan saudaramu ini.”
“Jangan. Aku
memang masih ingin hidup.”
Orang berkumis
itu menggeram, sementara Agung Sedayu berkata,
“Kenapa kita
tidak mencoba berbicara dengan baik. Mungkin kita hanya sekedar salah paham.
Dengan berbicara berterus terang, semua persoalan akan dapat diselesaikan.”
“Tidak ada
gunanya!” teriak pengawas berkumis itu.
“Anak itu
benar,” berkata Wanakerti,
“kita masih
mempunyai banyak kemungkinan selain kekerasan.”
“Aku melihat
perkembangan keadaan dari ketiga orang ini. Kedua orang yang sudah dikalahkan
oleh anak yang gemuk ini sudah berusaha untuk berbicara, jauh sebelum peristiwa
ini terjadi.”
“Bukan
pembicaraan,” sahut Agung Sedayu,
“tetapi
pengusiran. Setiap kali kita berbicara, maka yang disebut-sebutnya hanyalah,
agar kami meninggalkan tanah garapan ini tanpa alasan yang masuk akal. Mereka
menghendaki kami pergi. Hanya itu. Sudah tentu kami berkeberatan, karena para
petugas pun tidak menginginkan demikian.”
“Ya,” berkata
Wanakerti,
“kami memang
tidak berkeberatan. Hanya, keonaran memang harus diusut sebaik-baiknya.”
“Jangan ikut
campur,” bentak prajurit berkumis itu,
“apakah kau
ingin mengalami nasib seperti pemimpin kita itu?”
“Tidak akan
mungkin lagi. Lihat, pelempar pisau itu sedang pingsan.”
“Orang itu
memang sedang pingsan. Tetapi ia tidak mengalami gangguan yang berarti. Ia
sekedar tidak menyadari keadaan dirinya. Namun lemparanmu memang dahsyat
sekali. Bukankah kau telah melemparnya dengan batu?”
“Ya,” jawab
Agung Sedayu.
“Itu adalah
kesalahan yang besar. Kau sudah berani melawan pengawas. Pengawas daerah yang
sedang dibuka ini. Kau sudah mencederai orang lain.”
“Sekali lagi
bukan maksudku. Kalau kau perkenankan, biarlah aku menolong orangmu itu. Dan
orang itu sama sekali bukan petugas di sini. Seterusnya kita akan berbicara
dengan mulut, bukan dengan ujung senjata macam apa pun juga.”
“Jangan
mencoba menghindari tanggung jawab. Sekarang serahkan kedua tanganmu. Kau
memang harus diikat.”
“Jangan
bertindak sendiri,” berkata Wanakerti.
“Aku juga
seorang petugas seperti kau. Kau bukan pimpinan di sini. Kau dan aku tidak akan
berbeda. Hakmu sama dengan hakku dan wewenangmu sama dengan wewenangku.”
“Tetapi ada
yang lain,” petugas itu menggeram,
“kemampuanmu
sama sekali tidak akan dapat menyamai kemampuanku. Kau tidak lebih baik dari
orang yang tinggi kekar, yang sama sekali tidak berdaya melawan anak yang gemuk
itu. Dan kau tidak akan dapat melawan aku.”
“Aku tidak
sendiri,” suara Wanakerti menjadi berat. Meskipun ia sadar, bahwa petugas yang
berkumis itu pasti mempunyai kelebihan dari para petugas yang lain. Tetapi
Wanakerti pun sadar bahwa petugas yang seorang ini pasti mempunyai latar
belakang tersendiri pula, sehingga ia bertindak sebelum membicarakannya dengan
kawan-kawannya.
Dalam pada
itu, para petugas yang lain pun telah berada di sekitar Wanakerti. Wajah mereka
menjadi tegang. Betapapun juga, setelah Wanakerti menyatakan perasaannya, para
pengawas yang lain pun ikut pula menyadari, apakah yang sebenarnya mereka
hadapi. Pengawas yang berkumis itu pun menjadi bertambah tegang. Sekali-sekali
dipalingkannya wajahnya kepada orang yang pingsan di samping seonggok batu
padas. Dengan demikian, maka segalanya telah berubah. Orang yang pingsan itu
sama sekali tidak lagi dapat membantunya. Meskipun demikian pengawas yang gemuk
itu sama sekali tidak menyerah. Tiba-tiba saja ia mencabut pedangnya sambil
berkata lantang,
“Aku telah
bertindak tepat menurut pendapatku. Siapa pun yang akan menghalangi, harus aku
singkirkan. Aku tidak peduli apakah mereka itu para petugas sendiri.”
Wanakerti maju
selangkah. Katanya,
“Pemimpin kita
telah cedera. Kita bukan orang yang terlampau dungu untuk menilai keadaan.
Setiap orang akan dapat menghubungkan, orang yang tinggi kekar, orang yang
kekurus-kurusan, kau, dan orang yang pingsan itu. Aku tidak tahu, hubungan
apakah yang sudah kalian jalin selama ini. Tetapi sudah tentu, maksud kalian
sama sekali tidak akan kami benarkan. Kami, para petugas terpaksa harus
menangkap kau dan orang-orang lain itu.”
“Persetan!”
geram orang berkumis itu, “Ayo, siapa dahulu yang akan mati.”
Agung Sedayu
menjadi bingung. Tetapi ketika ia maju selangkah, Wanakerti berkata,
“Serahkan
kepada kami. Kamilah yang akan menyelesaikannya.”
Orang berkumis
itu menggeram. Dengan mata yang kemerah-merahan dilihatnya tiga orang pengawas
telah mengepungnya.
“Menyerahlah.
Kami yang seharusnya berlima, kini tinggal bertiga, setelah pemimpin kami
terluka dan kau berada di luar lingkungan kami. Tetapi kami masih tetap akan
menjalankan tugas kami sebaik-baiknya.”
Pengawas yang
berkumis itu memandang ketiga kawannya berganti-ganti. Wajah yang tegang
menjadi semakin tegang. Namun tiba-tiba saja ia tertawa berkepanjangan.
“Aku mengenal
kalian bertiga dengan baik,” berkata orang berkumis itu di antara derai
tertawanya.
“Kalian sama
sekali tidak akan mampu berbuat apa-apa. Aku tahu pasti, bahwa kalian adalah
pengecut-pengecut yang hanya mampu menyembunyikan diri. Coba katakan kepadaku,
kenapa kalian semalam tidak berani keluar dari gardu pengawas itu meskipun
kalian tahu, bahwa rumah ini terbakar? Kalian adalah petugas yang harus menjaga
ketenteraman daerah dari apa pun juga. Juga seandainya di daerah ini ada
hantu-hantu. Tetapi kalian tidak mampu. Kalian tidak dapat mengatasi kesulitan
hubungan antara para pembuka hutan dengan hantu-hantu sehingga korban masih
saja berjatuhan. Yang terakhir, suatu isyarat yang sangat berat. Api. Sedang
ketiga orang ini masih saja berkeras kepala.”
“Kami akui,”
jawab Wanakerti,
“kami tidak
dapat melakukan tugas kami dengan baik. Ternyata usahamu selama ini telah
berhasil. Kau berhasil menakut-nakuti kami apabila kami akan melakukan suatu
tindakan.”
“Itu adalah
kebodohan kalian. Kebodohan orang yang kalian sebut pemimpin kalian itu.”
“Jangan banyak
bicara,” berkata Wanakerti kemudian, “menyerahlah.”
“Kau gila.
Pemimpinmu sudah mati. Sebentar lagi kau dan semua orang yang tidak tunduk
kepada perintahku.”
“Kau sudah
memberontak kepada Ki Gede Pemanahan.”
“Kau. Kaulah
yang sama sekali tidak mampu menjalankan tugas yang dibebankan kepada kalian.
Termasuk pemimpin yang dungu itu. Nah, apa katamu?”
Wanakerti
tidak menyahut. Ia maju selangkah, diikuti oleh kawan-kawannya dari arah yang
lain.
“Jadi kita
akan bertempur?” bertanya orang berkumis itu.
Wanakerti
masih tetap diam. Tetapi setapak demi setapak ia maju terus. Orang berkumis itu
pun kemudian segera menyiapkan dirinya. Agaknya ia tidak akan dapat menghindar
lagi. Ia harus melawan ketiga kawan-kawannya. Dalam pada itu, Kiai Gringsing
sudah berhasil mengatasi saat-saat yang paling berbahaya dari pemimpin pengawas
yang terluka. Perlahan-lahan pemimpin pengawas itu merasa tubuhnya bertambah
baik, meskipun ia menjadi sangat lemah karena racun-racun yang bertambah tajam.
Kalau saja tidak ada orang tua itu, maka ia pasti sudah mati di dalam beberapa
kejapan mata saja. Kiai Gringsing pun merasa bahwa usahanya berhasil. Karena
itu, kini ia dapat memperhatikan keadaan di sekitarnya. Ketika ia berpaling,
dilihatnya orang yang tinggi kekar itu sedang menunggui kawannya yang masih
pingsan.
“Apakah
kawanmu itu akan kau biarkan saja?” bertanya Gringsing.
Orang yang tinggi
kekar itu menjadi bingung.
“Kemarilah,”
berkata Kiai Gringsing.
Orang itu
masih saja ragu-ragu.
“Kemarilah.
Aku tidak menggigit.”
Dengan bimbang
orang yang tinggi kekar itu melangkah mendekati Kiai Gringsing. Kegarangannya
selama ini sama sekali sudah lenyap. Bahkan wajahnya tampak menjadi pucat dan
suram.
“Kau harus
mencari air,” berkata Kiai Gringsing setelah orang yang tinggi kekar itu
mendekat.
“Teteskanlah
ke dalam mulutnya. Setitik demi setitik. Jangan terlampau banyak supaya kau
tidak membunuhnya, karena titik air itu justru akan menyumbat kerongkongannya.
Bawalah orang itu ke barak. Bukankah kau bertubuh raksasa. Kau pasti kuat
membawanya. Nanti aku akan datang menolongnya. Luka-luka itu tidak berbahaya
meskipun terasa sakit sekali. Bersihkan darahnya dan usahakan menahan apabila
masih ada yang mengalir dari luka-luka itu. Tetapi luka-luka itu adalah
luka-luka yang dangkal saja.
Orang yang
tinggi kekar itu seakan-akan sudah tidak mampu berpikir sama sekali. Di antara
sadar dan tidak, ia kemudian kembali kepada kawannya yang pingsan. Diangkatnya
kawannya itu dengan kedua tangannya, kemudian dibawanya meninggalkan arena yang
masih diliputi oleh ketegangan. Karena kini semua perhatian tertuju kepada para
pengawas yang sudah siap untuk bertempur, tidak seorang pun yang menghiraukan
orang yang kekar itu, selain Swandaru. Tetapi Swandaru pun kemudian
membiarkannya ketika ia mendapat isyarat dari gurunya.
“Kenapa orang
itu kau biarkan pergi?” bertanya pemimpin pengawal yang masih terlampau lemah
itu.
“Mereka tidak
akan pergi. Orang yang tinggi kekar itu sudah kehabisan nalar. Ia akan menurut
apa yang akan aku katakan. Apalagi keduanya itu pun sama sekali tidak penting.
Aku menganggap bahwa bawahanmu yang berkumis itulah yang termasuk orang penting
dari lingkungan yang belum kita kenal ini. Juga orang yang pingsan, yang
melemparkan pisau ke punggungmu.”
Pemimpin
pengawas itu mengangguk-angguk. Tetapi tiba-tiba ia bertanya,
“Siapakah
sebenarnya kau dan anak-anakmu?”
“Aku dan
anak-anakku. Itu sudah betul.”
“Ya, namamu
dan kedudukanmu.”
“Sudah aku
katakan. Kami ingin ikut membuka hutan ini karena kami tidak lagi mempunyai
harapan apa-apa di daerah kami yang lama.”
“Kau sangka
aku percaya?”
“Sekarang
tentu tidak. Tetapi biarlah untuk sementara itulah aku. Percaya atau tidak
percaya.”
Pemimpin
pengawas itu menarik nafas dalam-dalam.
“Kau dapat
duduk sendiri?” bertanya Kiai Gringsing.
“Ya.”
“Baiklah. Aku
akan mengambil orang yang pingsan itu sebentar. Sudah tentu aku tidak akan
melepaskannya seperti orang yang kekurus-kurusan itu.”
Pemimpin
pengawas itu merenung sejenak. Dipandanginya orang-orang yang sedang
mengerumuni para pengawas yang justru telah berselisih di antara mereka,
sehingga pemimpin pengawas itu tidak dapat melihat, apa yang sedang terjadi di
arena.
“Tunggulah,
aku tidak akan lama,” desis Kiai Gringsing.
Pengawas itu
menganggukkan kepalanya. Kiai Gringsing pun kemudian berjalan dengan
tergesa-gesa ke tempat orang yang sedang pingsan karena hentakkan batu yang
telah dilemparkan oleh Agung Sedayu. Karena pengawas yang berkumis itu sedang
memusatkan perhatiannya kepada tiga orang lawannya yang mengepungnya, maka ia
sama sekali tidak sempat melihat, bahwa seseorang telah mengambil orang yang
pingsan itu. Pada saat Kiai Gringsing mendekatinya, ternyata orang itu sudah
mulai membuka matanya. Ia mencoba mengingat-ingat apa yang sebenarnya telah
terjadi. Ketika ia mulai sadar, maka dengan susah payah ia pun mencoba untuk
bangkit. Tetapi pada saat itu sepasang tangan yang kuat telah mencengkam
pundaknya. Sejenak ia menyeringai, namun tiba-tiba ia telah kehilangan
kesadarannya kembali. Dengan tergesa-gesa Kiai Gringsing pun kemudian
membawanya kepada pemimpin pengawas yang terluka. Diletakkannya orang yang
pingsan itu di sampingnya sambil berkata,
“Ia masih pingsan.
Sebentar lagi ia akan sadar.”
“Bagaimana
kalau ia lari? Aku sama sekali tidak mempunyai kekuatan untuk berbuat sesuatu.”
“Sebaiknya
tangan dan kakinya diikat saja.”
Pemimpin
pengawas itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan kain panjangnya sendiri,
orang itu pun telah diikat tangan dan kakinya, sehingga apabila ia sadar kelak
ia tidak akan dapat lari dan berbuat apapun.
“Kau sekarang
dapat menungguinya,” desis Kiai Gringsing.
“Kau?”
“Aku akan
melihat apa yang terjadi. Agaknya anak buahmu telah berselisih pendapat.”
“Ya. Tetapi
ternyata orang yang berkumis itu cukup berbahaya. Ia pasti mempunyai bekal
untuk menyombongkan dirinya seperti itu.”
“Aku akan
melihat. Jagalah orang yang terikat ini baik-baik. Keadaanmu pun pasti akan
segera berangsur baik.”
Pengawas itu
menganggukkan kepalanya. Dengan susah payah, dicabutnya pedangnya sambil berkata,
“Kalau ia
memberontak aku tinggal menghunjamkan pedangku saja.”
“Jangan kau
bunuh. Kita memerlukannya.”
“Aku tahu.
Tetapi ujung pedangku akan dapat menakut-nakutinya, meskipun aku tidak mampu
mengangkatnya sama sekali.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Namun sejenak kemudian, ia pun pergi
meninggalkan pemimpin pengawas yang masih sangat lemah itu untuk melihat apa
yang telah terjadi di dalam lingkaran orang-orang yang sedang tegang. Ternyata
bahwa suasana telah memuncak. Hampir bersamaan ketiga pengawas itu telah
menyerang. Tetapi ternyata benar tangkas, dengan lincahnya ia berloncatan
menghindari serangan yang datang dari tiga arah itu. Bahkan ia masih juga
sempat menggeliat, sambil mengayunkan tangan kirinya. Meskipun tidak terlalu
keras, tetapi sisi telapak tangan itu masih juga sempat mengenai pundak salah
seorang lawannya, sehingga orang itu menyeringai menahan sakit. Namun dalam
pada itu, para pengawas itu pun menjadi semakin berhati-hati. Mereka menyerang
pula berurutan dari arah yang berlainan. Meskipun demikian, ternyata orang yang
berkumis itu masih mampu untuk menempatkan dirinya. Ia sama sekali tidak gentar
melawan ketiga kawan-kawannya, meskipun dalam penilaian wajar, ketiga pengawas
itu cukup mempunyai kemampuan. Bahkan kemampuan seorang prajurit. Tetapi
lawannya yang seorang itu memang seorang yang memiliki ilmu yang cukup tinggi. Sejenak
mereka bertempur melingkar-lingkar. Semakin lama semakin seru. Tetapi juga
ternyata bahwa ketiga orang itu tidak akan segera dapat menguasai keadaan. Agaknya
kelima pengawas itu merasa, bahwa dengan begitu saja mereka tidak akan dapat
menangkap orang yang berkumis itu. Karena itu maka tiba-tiba salah seorang dari
ketiganya telah mencabut pedangnya sambil berkata,
“Aku terpaksa
memaksamu untuk menyerah sekarang.”
Tetapi orang
yang berkumis itu justru tertawa. Katanya,
“Apakah kita
akan mempergunakan senjata?”
“Ya,” jawab
pengawas yang telah mencabut pedangnya.
Orang yang
berkumis itu memandanginya sejenak. Kemudian dipandanginya pula kedua orang
lawannya yang lain. Mereka pun agaknya telah siap pula mencabut senjata mereka.
Yang
berdebar-debar kemudian adalah Agung Sedayu, Swandaru, dan Kiai Gringsing, yang
telah ikut menyaksikan perkelahian itu pula. Agaknya senjata-senjata itu justru
akan berbahaya bagi Wanakerti sendiri bersama kedua kawannya. Menilik sikap dan
geraknya, orang yang berkumis itu memang bukan orang kebanyakan. Ia bukan tataran
seorang pengawas bawahan.
“Siapakah yang
menempatkannya di dalam lingkungan pengawas itu?” bertanya Kiai Gringsing di
dalam hatinya. Tanpa sesadarnya ia berpaling. Di sela-sela orang yang
berkerumun, ia melihat tawanannya masih terbaring ditunggui oleh pemimpin
pengawas yang terluka itu.
“Kalianlah
yang telah mulai dengan senjata,” berkata orang yang berkumis itu.
“Kalau terjadi
sesuatu atas kalian, bukan salahku. Sebenarnya aku hanya ingin membawa kalian
menghadap Ki Gede Pemanahan atau Mas Ngabehi Loring Pasar. Tetapi dengan
senjata-senjata itu, mungkin keadaan akan berbeda. Mungkin ujung senjata kita
akan mengambil keputusan lain. Kalian mengerti?”
Ketiga
pengawas yang lain tidak menyahut.
“Nah,
bersiaplah,” desis orang berkumis itu. Ketiga pengawas yang lain itu pun masih
tetap berdiam diri. Wanakerti memandang orang berkumis itu dengan dada yang
berdebar-debar. Ia menyadari, bahwa orang yang berkumis itu memiliki beberapa
kelebihan. Tetapi tanggung jawabnya kini justru serasa tergugah.
Orang berkumis
itu bergeser beberapa langkah. Ditatapnya ketiga ujung pedang lawannya
berganti-ganti. Tetapi tampaknya ia sama sekali tidak gentar menghadapi mereka.
Di luar lingkaran orang-orang yang dengan tegang menyaksikan perkelahian itu,
perlahan-lahan orang yang melemparkan pisau belati beracun ke arah punggung
pemimpin pengawas itu mulai sadar. Perlahan-lahan ia membuka matanya. Namun
kemudian disadarinya bahwa tangan dan kakinya telah terikat.
“Setan alas!”
ia menggeram.
“Apa kabar, Ki
Sanak?” sapa pemimpin pengawas yang ada di belakang orang yang terikat itu.
Dengan susah
payah orang itu berpaling. Ia terperanjat melihat pemimpin pengawas itu duduk
sambil menggenggam pedang yang teracu kepadanya, “Aku dapat juga membunuhmu.
Meskipun pedangku tidak beracun seperti pisaumu,” pemimpin pengawas itu
mengerutkan keningnya,
“He, agaknya
kita pernah bertemu.”
Orang itu
berusaha sama sekali untuk melepaskan tangannya. Tetapi ia tidak berhasil.
“Ha,” berkata
pemimpin pengawas itu,
“aku ingat,
bukankah kau dukun yang tinggal di gubug sebelah dari gubug yang roboh oleh
angin dua hari yang lalu? He, bukankah kau dukun itu?”
Orang yang
terikat itu sama sekali tidak menjawab.
“Kenapa kau
lakukan hal itu atasku, he? Apakah kau termasuk orang-orang yang bergabung
dalam suatu gerombolan dengan maksud-maksud tertentu?”
Orang itu sama
sekali tidak menjawab. Tetapi kadang-kadang ia masih menyeringai menahan sakit
di dadanya yang terkena lemparan batu Agung Sedayu.
“Kenapa, he?
Selama ini kau dihormati karena kau dapat menolong sesamamu di sini. Hanya
orang-orang yang mengalami gangguan hantu-hantu saja yang tidak dapat kau
obati, itu pun kau dapat menunjukkan agar kami berhubungan dengan dukun yang
tinggal terpencil itu. Ternyata di dalam keadaan ini kau telah memusuhi kami,
para petugas.”
Orang itu
masih tetap berdiam diri. Kini ia berbaring diam membelakangi pemimpin pengawas
itu.
“Dengar,”
desis pemimpin pengawas itu,
“meskipun aku
terluka, aku masih dapat membunuhmu.”
Dukun itu
mengerutkan keningnya ketika terasa ujung pedang pemimpin pengawas itu
menyentuh punggungnya.
“Di bagian
inilah kira-kira pisaumu menancap di punggungku. Aku pun dapat melubangi
punggungmu di bagian ini pula. Tetapi sayang bahwa pedangku tidak beracun,”
namun tiba-tiba pemimpin pengawas itu berkata.
“He, inilah
pisaumu yang dicabut dari punggungku. Meskipun sudah merasuk ke tubuhku, namun
agaknya masih ada juga sisa racun yang dapat membumbui darahmu.”
Orang itu
terkejut sehingga ia tersentak. Tetapi karena kaki dan tangannya terikat, ia
hanya dapat berguling. Dengan wajah yang tegang ia melihat pemimpin pengawas
itu menggenggam sebilah pisau yang dikenalnya baik-baik. Pisaunya sendiri.
“Kau kenal
pisau ini?”
“Jangan.
Jangan. Pisau itu sangat beracun.”
“Pisau ini
telah tertancap di punggungku. Sampai saat ini aku masih terlampau lemah karena
racun ini. Aku masih belum mampu berdiri tegak. Tetapi aku masih mampu bergeser
mendekati kau, kemudian menggoreskan pisau ini memotong urat nadimu di
pergelangan tangan.”
“Jangan.
Jangan.”
“Kalau kau
mempunyai obat pemunah racun di dalam tubuhmu, kau pun akan mati juga, karena
darahmu akan mengalir lewat nadimu yang terputus sampai jantungmu kering.”
“Jangan
berbuat begitu.”
“Kenapa? Kau
sudah berbuat atasku. Kenapa aku tidak boleh berbuat atasmu?”
“Tetapi,
tetapi aku tidak ingin membunuhmu.”
Meskipun
punggungnya masih terasa pedih, pemimpin pengawas itu masih juga dapat tertawa.
Katanya,
“Kau tidak
bermaksud membunuhku?”
Orang itu
terdiam.
“Baiklah, aku
tidak akan membunuhmu sekarang. Kau sangat diperlukan bersama seorang
pengawasku yang telah memberontak.”
Orang itu kian
menjadi tegang. Ia sama sekali tidak menduga bahwa pemimpin pengawas itu masih
sempat hidup, dan masih juga ada orang yang berani melawan kehendak pengawas
yang berkumis itu. Bahkan ternyata orang yang tinggi kekar dan yang
kekurus-kurusan itu sudah tidak berdaya.
“Apa yang kau
renungkan?” bertanya pemimpin pengawas itu.
“Bukan
apa-apa,” jawab dukun yang terikat itu.
“Bukan
apa-apa? Tentu kau sedang merenungkan sesuatu. Apa kau tidak mau menjawab?”
Orang itu
terdiam. Tetapi ujung pedang pengawas itu menyentuh tubuhnya,
“Katakan, apa
yang sedang kau renungkan.”
“Bukan
apa-apa,” orang itu tergagap.
“Bohong!”
pemimpin pengawas itu menekankan ujung pedangnya.
“Atau dengan
pisau beracun ini.”
“Jangan,
jangan. Aku sedang berpikir, kenapa aku telah terlibat di dalam persoalan yang
tidak aku ketahui ini.”
“Nah. Kau
sebaiknya memang harus menjawab, meskipun aku tahu bahwa kau berbohong. Kau
dapat mengatakan apa saja, karena aku tidak dapat melihat gambaran dari angan-anganmu
itu. Tetapi aku bukan orang yang terlampau bodoh untuk sama sekali tidak dapat
mereka-reka, yang sedang kau pikirkan.”
Orang itu
masih tetap berdiam diri.
“Baiklah aku
memang belum mempunyai kekuatan untuk memaksamu berbicara. Kini aku sedang menunggu
akhir dari perkelahian itu.”
Tanpa
sesadarnya orang itu pun mencoba memandang ke arah orang-orang yang melingkari
para pengawas yang sedang berselisih itu. Tetapi ia tidak berhasil melihat,
selain punggung-punggung orang-orang yang berdiri dengan tegangnya.
“Kawanmu itu
sedang mencoba membela dirinya. Para pengawas yang lain sudah siap
menangkapnya. Dengan demikian akan mendapat gambaran yang jelas, apakah
sebenarnya yang telah terjadi di daerah ini.”
“Kalian tidak
akan mendapatkan apa-apa.”
“Setidak-tidaknya
kami dapat menangkap beberapa orang yang dapat membahayakan daerah ini.”
“Itulah
kebodohanmu.”
“Apa?” pemimpin
pengawal itu membentak.
“Kau
menganggap aku bodoh?”
Dukun yang
terikat itu merasa ujung pedang pemimpin pengawas itu semakin menekan tubuhnya.
“Coba ulangi
lagi, apakah aku memang terlampau bodoh?”
“Tidak. Bukan
maksudku,” sahut orang itu dengan serta merta.
“Nah,
sebenarnya itulah gambaran angan-anganmu yang sebenarnya tentang aku. Tetapi
biarlah. Aku memang tidak ingin membunuhmu sekarang.”
Orang itu
tidak menyahut. Tetapi ia merasa aneh dan heran, bahwa pemimpin pengawas itu
masih saja tetap hidup. Tidak ada orang yang dapat menyelamatkan diri dari bisa
yang diulaskan pada pisaunya. Tetapi ternyata pemimpin pengawas itu masih tetap
hidup. Dalam pada itu, ketiga pengawas yang sedang berhadapan dengan orang
berkumis itu, telah mulai menyerang berganti-ganti, sehingga perkelahian pun
telah mulai berlangsung. Semakin lama menjadi semakin seru dan mendebarkan
jantung. Meskipun pengawas yang berkumis itu hanya seorang diri dan harus
menghadapi tiga orang kawannya, namun ternyata ia memang memiliki bekal yang
cukup baik, sehingga ia masih tetap mampu bertahan. Bahkan kadang-kadang ia
masih juga sempat menyerang dengan dahsyatnya, sehingga ketiga lawan-lawannya
terkejut karenanya. Demikianlah, maka perkelahian itu semakin lama menjadi
semakin seru. Namun dengan demikian justru menjadi semakin nyata, bahwa ketiga
pengawas termasuk Wanakerti sama sekali tidak mampu mengimbangi orang berkumis
itu. Semakin lama, orang itu justru menjadi semakin lincah. Pedangnya
menyambar-nyambar seperti seekor burung sikatan. Cepat dan langsung mengarah ke
bagian-bagian yang berbahaya. Mereka yang menyaksikan perkelahian itu
terperanjat ketika tiba-tiba saja mereka mendengar keluhan tertahan, dan
seleret warna merah membekas di lengan salah seorang pengawas yang bertempur
bertiga bersama-sama. Kemudian setitik demi setitik darah mulai mengucur dari
luka itu, menodai bajunya. Sejenak kemudian terdengar suara pengawas yang
berkumis itu tertawa sambil berkata,
“Nah. Darah
mulai menitik dari lukamu. Jangan salahkan aku kalau kalian nanti tidak akan
dapat keluar lagi dari lingkaran perkelahian ini.”
Demikian
lantangnya suara orang berkumis itu sehingga tanpa sesadarnya dukun yang
terluka itu berkata,
“Nah. kau
dengar? Apakah kau sangka kawan-kawanmu itu akan berhasil menangkapnya?”
Pemimpin
pengawas itu merenung sejenak. Kemudian ia mendengar lagi orang berkumis itu
berkata keras-keras,
“Jangan
menyesal. Semuanya sudah terlanjur. Kita harus mengakhiri persoalan ini dengan
pedang yang sudah dicabut dari sarungnya.”
Tidak
terdengar jawaban sama sekali. Tetapi ujung pedang pemimpin pengawas itu telah
menekan tubuh orang yang terikat itu,
“Kau pun akan
mati.”
“Kenapa aku?”
“Kalau orang
berkumis itu menang, ia pun akan membunuh aku pula. Karena itu, sebelum aku
mati, kau harus mati lebih dahulu.”
“Kenapa aku?”
“Jangan
berpura-pura. Kenapa kau melempar aku dengan pisau ketika aku berselisih dengan
orang itu?”
“Tetapi,
tetapi ……,” orang itu menjadi tergagap.
“Nah, jangan
banyak bicara lagi. Kita tunggu. Kalau lingkaran orang-orang itu menyibak, dan
yang keluar dari lingkaran itu pengawas yang berkumis, maka aku akan segera
menghunjamkan pedangku kepadamu dan menyembunyikan pisau itu di tanganku.
Begitu ia mendekat, mengayunkan pedangnya ke leherku, aku masih sempat
melemparkanya dengan pisau beracun ini dan melukainya meskipun hanya sebaris
kecil, seperti goresan ujung duri.”
“Tetapi,
apakah kau tidak berpikir, bahwa dengan menghidupi aku, kau akan tetap hidup
pula?”
“Aku tidak
berpengharapan lagi. Kalau aku membiarkan kau hidup, aku memang teramat bodoh.”
Wajah dukun
itu menegang sejenak. Ia berusaha untuk menemukan akal, agar orang berkumis itu
berkesempatan menolongnya.
“Orang ini
masih sangat lemah,” desisnya di dalam hati,
“kalau aku
berguling-guling agak cepat, ia tidak akan mampu mengejarku. Pada saat aku
yakin akan kemenangan pengawas itu, aku harus cepat-cepat berguling menjauh
sambil berteriak-teriak.”
Demikianlah, maka
dukun yang terikat itu menunggu kesempatan untuk mendapatkan pertolongan.
Karena itu, maka ia selalu saja mengawasi, kalau-kalau orang-orang yang
melingkari arena itu mulai menyibak.
Tetapi agaknya
perkelahian itu masih berlangsung terus. Meskipun seorang dari ketiga pengawas
yang bertempur bersama itu sudah terluka, namun mereka masih tetap bertempur
mati-matian. Namun keadaan selanjutnya telah membuat beberapa orang menjadi
kian menegang. Agaknya ketiga orang itu sama sekali tidak akan mampu mengimbangi
lawannya yang hanya seorang itu. Ternyata bahwa seorang yang lain telah
tergores pula oleh senjata orang berkumis itu, bahkan juga Wanakerti sendiri. Swandaru
yang berdiri di belakang Agung Sedayu, menyaksikan perkelahian itu dengan dada
berdebar-debar. Bahkan kemudian ia melangkah maju sambil meremas ujung
cambuknya. Agung Sedayu menahan nafasnya. Sekali-sekali ia berpaling kepada
gurunya yang telah menjadi cemas pula. Tetapi Kiai Gringsing masih tetap
berdiri diam di tempatnya. Demikianlah, perkelahian itu semakin lama menjadi
semakin jelas, bahwa ketiga pengawas yang berkelahi bersama-sama itu berada di
dalam bahaya. Orang berkumis itu dengan lincahnya berloncatan dengan senjata
yang menyambar-nyambar. Meskipun demikian, Wanakerti dan kedua kawannya telah
mencoba berbuat sebaik-baiknya yang dapat dilakukannya. Mereka mengadakan
perlawanan mati-matian, meskipun mereka menyadari bahwa mereka berada di dalam
bahaya yang dapat merampas nyawanya.
Swandaru yang
tidak dapat menahan diri melihat perkelahian itu, berbisik kepada Agung Sedayu,
“Apakah kita
akan membiarkan ketiganya mati? Atau seandainya kita akan berbuat sesuatu, kita
menunggu korban itu berjatuhan lebih dahulu, atau kita tidak akan berbuat
apa-apa sama sekali.”
“Kita akan
berbuat sesuatu,” bisik Agung Sedayu.
“Berbuat atau
tidak berbuat kita pasti akan tersudut, karena orang berkumis itu memang
berminat membunuh kita. Ketiga pengawas itu hanya sekedar mencoba mencegahnya.”
“Karena itu
kita tidak boleh membiarkan mereka menjadi korban,” Swandaru berdesis pula.
“Tetapi apakah
pedang itu beracun juga?”
“Tampaknya
tidak. Pedang itu adalah pedang pengawas. Orang itu yakin akan dapat
mengalahkan lawannya. Tetapi tidak mustahil bahwa ia membawa senjata beracun
pula, seperti yang lain.”
Swandaru
mengangguk-anggukan kepalanya. Lalu,
“Aku akan
mencegah mereka terbunuh.”
“Jangan kau.
Kau masih lelah. Nafasmu belum pulih.”
“Jadi.”
“Aku akan
minta ijin pada guru.”
Swandaru
mengangguk-angguk. Katanya,
“Cepatlah,
sebelum salah seorang dari mereka menjadi korban. Apalagi ketiga-tiganya.”
Agung Sedayu
pun kemudian bergeser mendekati gurunya. Tetapi sebelum ia mengatakan sesuatu,
agaknya gurunya telah mengetahuinya, sehingga ia mendahuluinya berkata lambat,
“Hati-hatilah.
Pedang itu pasti bukan senjata satu-satunya. Tetapi ingat, jangan bunuh orang
itu. Kami memerlukannya.”
Agung Sedayu
mengangguk. Namun di dalam hati ia berkata,
“Mudah-mudahan
aku tidak kehilangan kesempatan untuk menangkapnya hidup-hidup. Atau justru
akulah yang ditangkapnya.”
Demikianlah,
sejenak kemudian salah seorang pengawas yang berkelahi itu terloncat surut.
Sebuah luka yang agak dalam telah menyobek bahunya, sehingga ia menjadi semakin
lemah karenanya. Dengan demikian, maka kedudukan ketiga pengawas itu menjadi
semakin sulit. Orang berkumis itu tertegun sejenak. Ketika ia melihat ketiga
lawannya termangu-mangu, ia pun tertawa berkepanjangan sambil berkata,
“Nah, apakah
kalian menyesal?”
Ketiga
lawannya sama sekali tidak menyahut.
“Sayang,
kalian tidak akan mendapat kesempatan lagi.”
Wanakerti menggeretakkan
giginya. Suara tertawa itu memang sangat menyakitkan hati.
“Aku sama
sekali tidak ingin mendapat belas kasihanmu,” geram Wanakerti,
“karena kami
merasa sanggup melakukan tugas kami sebaik-baiknya. Kau mengerti?”
“Maksudmu kau
akan bertempur sampai mati?”
“Maksudku, aku
akan membunuhmu.”
Orang berkumis
itu tertawa semakin keras. Namun tiba-tiba suara tertawanya berhenti ketika
Wanakerti berkata,
“Sebenarnya
kami tidak memerlukan kau lagi. Seandainya kau tidak dapat kami tangkap, dan
bahkan seandainya kamu akan mati sekalipun, kami tidak akan berkeberatan.
Kawanmu yang pingsan itu agaknya telah diambil oleh para petugas yang lain. Ia
akan dapat banyak memberikan keterangan.”
“He,” orang
itu terkejut. Tetapi ketika ia berpaling yang dilihatnya adalah orang-orang
yang berkerumun.
“Minggir,” ia
berteriak.
Ternyata
beberapa orang menjadi ketakutan dan segera menyibak. Di sela-sela orang-orang
yang telah menyibak itu, orang berkumis itu hanya dapat melihat seonggok batu
padas. Kawannya memang sudah tidak berada di tempatnya.
“Aku melihat
seseorang mengambilnya,” berkata Wanakerti, “dan aku sengaja memancing
perhatianmu. Kini, apa yang hendak kau katakan kepada Ki Gede Pemanahan
seandainya ia datang kemari?”
Orang berkumis
itu menjadi tegang sejenak. Namun kemudian ia menggeram,
“Licik. Licik
sekali.”
Wanakerti
tidak menjawab. Meskipun lukanya terasa pedih, tetapi ia mencoba untuk tertawa,
“Kami tidak
berkeberatan untuk mati. Tetapi segala usahamu di sini akan gagal.”
Dalam pada
itu, orang yang terikat itu pun dapat mendengar serba sedikit pembicaraan
mereka yang berada di arena. Apalagi suara orang berkumis yang keras dan
lantang itu. Sejenak meloncat di hatinya keinginannya untuk berteriak,
memberitahukan kepada orang berkumis itu, bahwa ia masih berada di tempat itu,
meskipun terikat. Tetapi ketika mulutnya hampir saja bergerak, ujung pedang
pemimpin pengawas itu telah menyentuh bukan saja punggung atau lambungnya,
tetapi mulutnya.
“Aku tahu, kau
akan berteriak memanggilnya,” desis pemimpin pengawas itu.
Orang yang
terikat itu mengumpat di dalam hati. Tetapi ia memang tidak mendapat kesempatan
untuk berteriak. Karena itu, ia tidak berhasil memberikan isyarat apa pun
kepada orang berkumis yang berada di arena. Orang berkumis yang telah berhasil
melukai ketiga lawannya itu menjadi termangu-mangu. Ia sudah berusaha mencegah
anak gembala tua yang melempar dukun yang pingsan itu dengan batu. Tetapi kini
ternyata ada orang lain yang melakukannya.
“Siapakah yang
telah berani mengambilnya?” ia menggeram.
Wanakerti
berdesis menahan sakit. Namun kemudian ia menjawab,
“Aku tidak
tahu. Tetapi menurut sikap dan pakaiannya, ia adalah utusan atau
setidak-tidaknya pengawas yang sedang bertugas melihat-lihat perkembangan
daerah ini.”
“Bohong, kau
bohong. Aku tidak mendengar suara kuda. Kalau benar mereka yang kau maksudkan,
mereka pasti datang berkuda. Mereka tidak akan langsung mengetahui apa yang
telah terjadi di sini.”
Wanakerti
mengerutkan keningnya. Ia tidak segera dapat menjawab. Tetapi kemudian ia
berkata,
“Aku tidak
tahu pasti siapakah yang telah mengambilnya. Tetapi pasti bukan dari
golonganmu.”
Orang berkumis
itu menggeram. Katanya,
“Orang itu
pasti belum terlampau jauh. Aku harus menemukannya.”
Tiba-tiba saja
orang itu ingin segera menyelesaikan pekerjaannya di arena ini. Karena itu,
maka wajahnya menjadi merah dan tatapan matanya menjadi liar.
“Kalian harus
segera mati, supaya aku segera dapat menangkap orang yang telah mencuri orang
yang pingsan itu.”
Wanakerti
tidak menyahut. Bersama kedua kawan-kawannya yang telah terluka ia pun segera
bersiap. Tetapi kini ia sudah berhasil mempengaruhi perasaan orang itu,
sehingga ia akan selalu diganggu oleh kegelisahannya. Ternyata bahwa kedua
kawan Wanakerti yang telah terluka itu pun mengerti maksudnya. Mereka harus
bertahan sejauh-jauh dapat dilakukan. Semakin lama orang berkumis itu akan
menjadi semakin gelisah, sehingga pengamatannya atas dirinya sendiri pasti akan
berkurang. Sejenak kemudian maka perkelahian itu pun terulang lagi. Tetapi
meskipun orang berkumis itu menjadi gelisah namun ia masih tetap garang. Bahkan
sikap dan geraknya menjadi semakin kasar, meskipun kadang-kadang tergesa-gesa
dan kurang cermat. Wanakerti tidak lagi berusaha menyerang. Ia hanya sekedar
bertahan dan mengganggu orang berkumis itu apabila ia sedang menyerang kawannya
yang paling lemah, yang pundak, tangan dan bahunya sudah terluka. Meskipun
demikian, namun Wanakerti dan kedua kawannya benar-benar berada di dalam
kesulitan. Mereka semakin terdesak dan kehilangan kesempatan, sehingga pada
suatu saat, orang berkumis itu berteriak,
“Aku sudah
tidak sabar lagi. Kalian memang harus mati sekarang, di sini.”
Pedang orang
berkumis itu pun kemudian berputar semakin cepat menyambar-nyambar ke segala
arah.
Namun ia
terkejut ketika tiba-tiba saja Agung Sedayu berkata kepadanya,
“He, jangan
cemas. Dukun yang pingsan itu kini sedang diobati. Seseorang telah membawanya
ke tempat Kiai Damar. Karena di sini tidak ada dukun yang lain selain dirinya
sendiri, maka hanya Kiai Damar-lah yang akan dapat menolongnya.”
Ternyata
kata-kata Agung Sedayu telah menarik perhatian orang berkumis itu, sehingga ia
tertegun sejenak. Ditatapnya wajah Agung Sedayu yang telah maju beberapa
langkah mendekatinya.
“Darimana kau
tahu?” bertanya orang berkumis itu.
“Seseorang
telah mengambilnya. Aku kira ia akan dibawa kepada Kiai Damar.”
“Ya, darimana
kau tahu?”
Pertanyaan itu
ternyata telah membingungkan Agung Sedayu, sehingga sekenanya saja ia menjawab,
“Aku hanya
menduga. Tetapi, kenapa kau begitu bernafsu untuk mempertahankan orang yang
pingsan itu? Seharusnya kau relakan saja orang itu. Karena ia telah melukai
pemimpinmu.”
“Tidak sekedar
melukai. Luka yang sekecil ujung jarum pun akan berarti kematian.”
“Tetapi
pemimpinmu masih belum mati.”
“Bohong!”
Agung Sedayu
menjadi ragu-ragu sejenak. Tanpa sesadarnya ia berpaling kepada gurunya. Ketika
gurunya menganggukkan kepalanya, maka ia pun menarik nafas dalam-dalam.
“Baiklah,”
katanya kemudian kepada orang berkumis itu,
“kau akan
dapat melihatnya sendiri.”
“Bohong. Kau
akan menjebak aku?”
“Tidak,” jawab
Agung Sedayu.
Namun dalam
pada itu, pemimpin pengawas itu pun menjadi berdebar-debar. Ia sama sekali
tidak mengerti maksud Agung Sedayu. Tetapi percakapan yang sebagian didengarnya
itu telah mendebarkan jantungnya. Karena itu, maka ia pun menekankan pedangnya
kini di leher tawanannya sambil menyembunyikan pisau di bawah rerumputan.
Setiap saat ia siap menghunjamkan pedangnya ke leher tawanannya dan kemudian
menggoreskan pisau, itu apabila orang berkumis itu mendekatinya. Betapa lemah
tubuhnya, tetapi ia pasti masih sanggup melemparkan pisau pada jarak yang
sangat dekat dan melukainya. Sejenak kemudian pemimpin pengawas itu malahan
mendengar Agung Sedayu berkata lantang,
“Menyibaklah.
Biarlah orang ini melihat, bahwa pemimpinnya masih dan akan tetap hidup.”
Beberapa orang
yang mengerumuni arena itu pun segera menyibak. Dan apa yang dilihat oleh orang
berkumis itu memang telah mengejutkannya. Pemimpin pengawas itu duduk di
rerumputan sambil mengacukan pedang ke leher dukun yang pingsan itu.
“Setan alas,
siapakah yang telah berkhianat?” ia berteriak. Tetapi ketika ia melangkah
mendekati mereka Agung Sedayu berkata,
“Jangan pergi
ke sana. Perkelahian ini masih belum selesai.”
Langkah orang
berkumis itu terhenti. Sejenak ia memandang Agung Sedayu dengan sorot mata yang
aneh. Sekali-sekali ia masih juga memandang Wanakerti dan kedua kawannya
berganti-ganti.
Dengan nada
yang dalam ia menggeram,
“Jadi
maksudmu, agar aku membunuh ketiga orang ini dahulu?”
“Bukan
begitu,” jawab Agung Sedayu,
“sebaiknya kau
tidak usah mengurus orang itu. Pemimpin pengawas itu telah berhasil menangkap
orang yang melempar punggungnya dengan pisau, dan bahwa orang itu telah terikat
di sana. Biarlah nanti Ki Gede Pemanahan atau puteranya yang akan mengadili.”
Orang berkumis
itu menjadi termangu-mangu sejenak. Ia menjadi bingung menghadapi keadaan yang
tidak disangka-sangkanya. Banyak hal yang tiba-tiba saja harus dihadapinya.
Hadirnya tiga orang ayah beranak itu sejak semula memang telah menimbulkan
kecurigaan, sehingga dengan segala macam usaha, bersama-sama dengan
kawan-kawannya ia telah berusaha mengusirnya. Tetapi kini justru ia dihadapkan
pada keadaan yang tidak dimengertinya. Kenapa pemimpin pengawas itu dapat
bertahan dari bisa racun yang sangat tajam. Dan alangkah menjengkelkan sekali
bahwa anak yang gemuk itu dapat mengalahkan kedua kawannya yang terdahulu,
sehingga ia harus ikut bertindak hari ini bersama dukun yang justru telah
tertangkap itu. Semuanya sama sekali tidak seperti yang direncanakan, karena
perhitungannya tentang ayah dan kedua anak-anaknya itu meleset. Dan kini ia
harus berhadapan dengan mereka seorang diri.
“Persetan,”
orang itu menggeram di dalam hatinya,
“ketiga
pengawas itu sudah tidak berdaya. Anak ini kalau perlu harus dibinasakan lebih
dahulu.”
Karena itu,
maka orang berkumis itu kemudian berkata,
“Siapa yang
akan menghalangi aku? Aku akan mengambil orang yang terikat itu. Aku
memerlukannya.”
“Apakah yang
akan kau lakukan?”
“Itu
urusanku.”
“Tetapi ia
telah membuat suatu kesalahan yang besar. Dan adalah wajar sekali kalau dia
diikat dan kemudian diserahkan kepada Ki Gede Pemanahan.”
Orang berkumis
itu berpikir sejenak. Siapakah yang telah mengikat orang itu? Sudah pasti ada
orang yang telah melakukannya. Apalagi pemimpin pengawas itu masih juga belum mati
meskipun punggungnya telah terkena racun. Dalam kebingungan itu terdengar suara
Agung Sedayu,
“Sudahlah.
Jangan berbuat sesuatu yang dapat menjeratmu sendiri. Lebih baik kau menyerah.
Kami tidak akan membunuhmu seperti apabila kau yang menguasai kami. Kami adalah
orang-orang yang mengerti tentang keharusan mempergunakan saluran-saluran
tertentu untuk menjatuhkan hukuman, meskipun kami dapat menguasai kau. Meskipun
dengan sewenang-wenang kami dapat memperlakukan apa saja atasmu. Tetapi kami
pun sadar, bahwa itu tidak akan dibenarkan oleh Ki Gede Pemanahan dan
puteranya, Raden Sutawijaya, sehingga kami harus membawamu menghadap sesuai
dengan keharusan yang berlaku.” Sambil terpaling kepada para pengawas yang
sudah terluka ia bertanya,
“Bukankah
begitu?”
“Kalau ia
menyerah,” sahut Wanakerti.
“Tetapi ia
sudah melakukan perlawanan dan melukai kami.”
“Meskipun
demikian, kalau ia menyerah, ia akan mendapat kesempatan.”
“Tetapi kalau
ia melawan, kami akan membunuhnya berramai-ramai. Bahkan kami akan mempergunakan
tenaga orang-orang yang ada di sini untuk menangkapnya atau membunuhnya seperti
rampokan macan di alun-alun.”
Orang berkumis
itu menjadi tegang.
“Karena itu,
menyerahlah selagi masih ada kesempatan. Kau tidak mempunyai kawan lagi yang
dapat membantumu, sedang kami ini mempunyai banyak sekali tenaga yang dapat
berbuat sesuatu atasmu.”
Sejenak orang
itu masih berdiam diri. Namun tiba-tiba ia menggeram,
“Ayo, siapa
yang akan menangkap aku?” Bahkan kemudian ia berteriak,
“Siapa? Siapa
yang akan ikut campur di dalam perkelahian ini? Mari, mari.” Sejenak kemudian
orang berkumis itu mengacukan pedangnya kepada orang-orang yang mengerumuni
arena itu,
“Mari, mari,
siapa yang akan ikut mati di sini?”
Tetapi
orang-orang yang berdiri di sekitarnya itu pun berdesakan mundur. Mereka adalah
petani-petani miskin yang mempertaruhkan waktunya dengan suatu harapan, membuka
tanah baru untuk keluarga mereka. Mereka sama sekali tidak ingin melakukan apa
pun yang bersifat kekerasan, apalagi mempergunakan senjata. Mereka bukan orang-orang
yang biasa berkelahi. Mereka hanya sekedar ingin membuka tanah pertanian baru.
“Ayo siapa?”
Tidak seorang
pun yang berani tetap berdiri di tempatnya.
“Nah, lihat.
Mereka adalah kelinci-kelinci yang ketakutan melihat taring serigala. Ayo,
jangan terlampau lama. Kita selesaikan persoalan kita, kemudian aku akan
menyelesaikan pemimpin pengawas yang dungu itu.”
Orang berkumis
itu telah menjadi liar. Matanya menjadi merah dan nafasnya tersengal-sengal.
Selangkah ia maju mendekati Wanakerti sambil berdesis,
“Kaulah yang
harus mati lebih dahulu.”
Agung Sedayu
melihat suasana yang semakin berat bagi Wanakerti dan kawan-kawannya. Mereka
pasti tidak akan dapat bertahan lebih lama lagi. Luka-luka mereka pun perlu
mendapat perawatan agar mereka tidak menjadi kehabisan darah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar