KETIKA KERTI mengangkat wajahnya, dilihatnya dahi Wrahasta berkerut merut. Bahkan Wrahasta itu berkata terbata-bata,
“Tetapi,
tetapi itu tidak perlu, Pandan Wangi. Aku akan mengantarmu bersama orang-orang
yang telah aku sediakan.”
“Terima kasih
Wrahasta. Aku berterima kasih sekali. Tetapi biarlah Paman Kerti ikut
bersamaku. Ia akan ikut melihat pula kesiagaan di halaman ini. Ia akan dapat memberi
aku nasehat apa yang harus aku lakukan.”
“Itu tidak
perlu sama sekali. Biarlah Paman Kerti berada di dalam rumah. Bukankah tugasnya
di dalam rumah ini saja.”
“O, kau aneh
sekali Wrahasta. Apakah sebenarnya keberatanmu? Paman Kerti adalah pemomongku.
Biar sajalah ia ikut bersama aku.”
“Tetapi bukan
demikian perintah Ayahmu, Pandan Wangi. Akulah yang bertanggung jawab atas
keselamatan seisi rumah ini, termasuk kau. Bukan Kerti. Karena itu, biarlah
Paman Kerti duduk saja di sini. Kau tidak akan terlampau lama. Dan kita akan
segera kembali ke pringgitan ini.”
Terasa debar
di dada Pandan Wangi menjadi semakin keras. Agaknya Wrahasta benar-benar ingin
mendapat kesempatan untuk mendesakkan pertanyaannya. Namun justru karena itu,
maka Pandan Wangi menjadi semakin kecut untuk pergi sendiri tanpa Kerti dan
kawan-kawannya. Karena itu maka katanya,
“Wrahasta, aku
akan pergi bersama Kerti dan kedua kawannya. Tidak ada keberatan yang dapat kau
ajukan. Seandainya Ayah tidak berbuat demikian, inilah perbedaan antara Pandan
Wangi dan ayahnya.”
“Ah,” Wrahasta
berdesah. Tampak kekecewaan menjalar di wajahnya. Sejenak ia berdiam diri
memandangi nyala pelita yang bergetar disentuh angin malam yang menyusup lubang
pintu yang tidak tertutup rapat-rapat sekali. Melihat kekecewaan itu, Pandan
Wangi menjadi kian berdebar-debar. Bagaimanapun juga, ia malam ini sangat
memerlukan Wrahasta dan pengaruhnya atas pasukan pengawal yang terutama terdiri
dari anak-anak muda sebaya dengan raksasa itu. Seandainya ia berbuat kurang
sepantasnya bagi tanah kelahirannya ini, maka keadaan akan kian menjadi kisruh.
Sesaat
kemudian terdengar pengawal muda bertubuh raksasa itu berkata,
“Baiklah
Pandan Wangi. Silahkan pergi bersama Paman Kerti melihat-lihat pasukan
pengawalmu.”
Sekilas Pandan
Wangi memandang wajah Kerti yang tampaknya tidak memberikan kesan apa pun.
Namun sebenarnya orang tua itu telah menahan perasaannya. Kini ia tahu benar
arti pesan Samekta kepadanya. Sehingga dengan demikian, maka ia benar-benar
ingin untuk pergi bersama Pandan Wangi.
Sejenak
kemudian maka Pandan Wangi itu pun segera berdiri bersama semua orang yang
berada di pringgitan itu. Perlahan-lahan ia melangkah keluar lewat pendapa yang
remang-remang. Beberapa orang yang berada di pendapa berpaling ke arahnya.
Orang-orang tua yang wajib mendampingi Pandan Wangi di bidang pemerintahan dan
para pengawal yang lain, yang sedang duduk-duduk beristirahat. Namun segera
mereka mengerti kemana Pandan Wangi akan pergi. Pandan Wangi pun kemudian turun ke halaman, melangkah
dengan kepala tunduk memutari halaman rumahnya, halaman depan dan halaman
belakang. Hanya kadang-kadang saja ia mengangkat kepalanya, menyapa beberapa
orang yang sedang berjaga-jaga. Lalu sejenak kemudian kepalanya telah menunduk
lagi, seperti sedang menghitung langkah kakinya.
Tetapi dengan
demikian, Pandan Wangi tahu, bahwa tidak ada dinding yang tidak terawasi
sejengkal pun.
“Aku
benar-benar tidak dapat lepas dari pengawasan mereka,” katanya dalam hati.
Sebenarnyalah
bahwa di dalam hatinya tersimpan hasrat untuk pergi tanpa diketahui oleh orang
lain ke Pucang Kembar. Ia ingin melihat apa yang sebenarnya terjadi di sana.
Apakah ayahnya kira-kira dapat memenangkan perang tanding itu, atau barangkali
Ki Tambak Wedi berbuat curang.
“Hatiku selalu
diganggu oleh kecemasan. Aku merasakan getar yang menggelisahkan,” desisnya di
dalam hati. Tetapi sudah tentu bahwa orang-orang di halaman itu tidak akan
membiarkannya pergi seperti pesan ayahnya. Tugas para pengawal itu selain
bertahan apabila ada bahaya, tetapi juga mengawasinya juga, sehingga Pandan
Wangi itu merasa dirinya sebagai wakil ayahnya, Kepala Tanah Perdikan,
sekaligus seorang tawanan. Meskipun ia menyadari dan mengerti maksud ayahnya,
namun hatinya semakin lama semakin gelisah. Apalagi apabila teringat olehnya pertanyaan-pertanyaan
yang diberikan oleh Wrahasta.
Setelah Pandan
Wangi melihat seluruh kegiatan di halaman rumahnya, maka ia pun segera kembali ke pendapa. Wrahasta
mengantarnya sampai ke pintu, lalu katanya,
“Silahkan
Pandan Wangi. Aku akan berada di halaman. Setiap kau memerlukan aku. Aku telah
sedia.”
“Terima kasih
Wrahasta,” jawab Pandan Wangi. Betapa
pun hatinya bergolak, namun ia harus bersikap baik. Bahkan ia cenderung
untuk membuat Wrahasta itu tidak kehilangan harapannya.
“Setiap saat
aku mungkin memerlukan kau.”
Sesaat mata
Wrahasta menjadi berkilat-kilat. Namun kemudian ia berkata,
“Beristirahatlah.
Percayakanlah halaman rumah dan seisinya kepadaku, seperti ayahmu mempercayakan
pula.”
“Ya Wrahasta,
aku percaya kepadamu. Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu yang dapat
menggoncangkan tanah ini.”
“Seandainya
ada, kita siap menghadapinya.”
“Ya.”
“Silahkan
beristirahat. Aku minta diri.”
Pandan Wangi
melihat langkah yang tegap dan berat meninggalkannya, melintas pendapa turun ke
halaman. Wrahasta adalah seorang yang memiliki kepercayaan kepada diri sendiri.
Bahkan agak terlampau besar. Pandan Wangi pun kemudian masuk ke dalam
pringgitan bersama Kerti dan dua orang kawannya. Ia telah berhasil menghindari
desakan pertanyaan-pertanyaan Wrahasta yang pasti akan menambahnya menjadi
semakin bingung. Namun sejalan dengan itu, ia menyadari bahwa salah paham pada
diri raksasa itu pun jadi semakin dalam. Agaknya Wrahasta benar-benar menaruh
harapan kepadanya.
“O,” Pandan
Wangi berdesah di dalam hatinya,
“aku benar-benar
di hadapkan pada keadaan yang tidak aku kehendaki.”
Ketika
kemudian Pandan Wangi duduk bersama-sama dengan Kerti dan kedua kawannya, ia
seolah-olah menjadi beku. Kepalanya tertunduk dan wajahnya menjadi terlampau
suram.
“Pandan Wangi,”
berkata Kerti kemudian,
“sebaiknya kau
memang harus beristirahat, Ngger. Mungkin kau terlampau ditegangkan oleh
keadaan. Seandainya ada sesuatu yang penting, biarlah aku mengetuk pintu
bilikmu. Meskipun kau pasti tidak akan dapat tidur, tetapi setidak-tidaknya kau
akan mendapat kesegaran baru setelah kau berbaring beberapa saat.”
Pandan Wangi
menarik nafas dalam-dalam. Sejenak ia berpikir. Dan sejenak kemudian ia
berkata,
“Baiklah
Paman. Aku akan beristirahat sebentar. Mungkin aku akan mendapat sedikit
ketenangan. Tetapi mungkin pula aku justru menjadi semakin tegang.” Pandan
Wangi berhenti sejenak, lalu, “Sebentar lagi aku memerlukan laporan keadaan, di
dalam dan di luar halaman ini.”
Maka sejenak
kemudian Pandan Wangi, telah berada di dalam biliknya. Dibaringkannya dirinya
di pembaringannya untuk mencoba beristirahat. Sekali-sekali dipejamkannya
matanya, namun ia tidak berhasil untuk sekejap saja melupakan persoalan yang
kini sedang membelit tanah perdikannya, ayahnya, dan dirinya sendiri.
“Hem,” Pandan
Wangi berdesah. Kepalanya terasa pening. Sekali-sekali angan-angannya terbang
ke Pucang Kembar. Ia sama sekali tidak dapat membayangkan apa yang telah
terjadi. Tetapi satu hal yang sangat mengganggunya, adalah bahwa ia sama sekali
tidak dapat mempercayai Ki Tambak Wedi.
Ketika ia
melihat sikapnya, pada saat ia dicegat oleh enam orang yang tidak dikenal, maka
tumbuhlah berbagai pertanyaan di dalam dirinya. Apalagi setelah ia merenungkan
semua ceritera ayahnya, sikapnya dan kata-katanya, ia mendapat kesimpulan,
bahwa Ki Tambak Wedi kini tidak dapat lagi dipercaya.
“Mungkin aku
terlampau berprasangka,” gumamnya di dalam hati,
“tetapi aku
tidak dapat mengingkari kata hati ini. Mungkin aku sekedar dicemaskan oleh
nasib ayahku kini.”
Pandan Wangi
menggigit bibimya. Dicobanya mencari jalan agar ia dapat pergi ke Pucang
Kembar. Tetapi ia sadar, bahwa apabila ayahnya mengetahuinya, maka akibatnya
akan dapat membahayakan sekali.
“Aku akan
minta Paman Kerti pergi untuk melihat-lihat apa yang kini terjadi di bawah
Pucang Kembar.” desisnya. Namun kemudian,
“Tetapi
Wrahasta membuat aku menjadi ngeri. Paman Kerti harus tetap berada di sini.”
Pandan Wangi
menjadi semakin bingung. Ia tidak berani memberi perintah langsung kepada
seseorang atau siapa pun untuk pergi ke
Pucang Kembar. Tidak seorang pun akan
sanggup berangkat karena mereka takut kepada ayahnya. Ayahnya telah berpesan,
tidak seorang pun boleh melihat apa yang
telah terjadi. Ia tidak mau menodai namanya sendiri. Satu atau dua orang yang
melihat perkelahian itu, akan dapat menumbuhkan kesan yang kurang baik pada Ki
Argapati, seolah-olah Ki Argapati telah membawa satu atau dua orang pengawal. Karena
itu, juga mustahil baginya untuk memerintahkan seseorang atau dua orang untuk
pergi. Dengan demikian, maka justru ketegangan dan kegelisahan semakin mengamuk
di dalam dirinya. Sehingga dadanya serasa berguncang-guncang dan jantungnya
serasa akan meledak. Tetapi tiba-tiba Pandan Wangi itu meloncat berdiri. Ia
menemukan suatu cara untuk melaksanakan maksudnya. Perlahan-lahan ia melangkah
keluar. Dan perlahan-lahan ia memanggil Kerti yang masih duduk di pringgitan.
“Paman, Paman
Kerti.”
Kerti yang
sedang terkantuk-kantuk terperanjat. Dengan tergesa-gesa ia berdiri dan bersama
kedua kawannya mendekati Pandan Wangi,
“Ada apa
Ngger?”
“Paman, kenapa
aku tidak boleh keluar dari halaman rumah ini untuk pergi ke Pucang Kembar?”
“Jangan Ngger.
Kau mempunyai tugas di sini. Tugas yang tidak dapat kau tinggalkan. Lebih
daripada itu, kehadiranmu akan mengganggu ayahmu. Menurut penilaianku, Ki
Tambak Wedi dan ayahmu memiliki kelebihannya masing-masing. Sekejap saja ayahmu
lengah, atau perhatiannya terganggu, maka akibatnya akan berbahaya sekali
baginya.”
“Tetapi
bagaimanakah kalau Ki Tambak Wedi curang.”
“Apakah
kira-kira bentuk kecurangannya itu?”
“Ia telah
memanggil beberapa orang tidak dikenal ke dalam tanah perdikan ini. Apakah
tidak mungkin bahwa ia membawa beberapa orang bersamanya dan beramai-ramai
berkelahi bersamanya melawan Ayah di bawah Pucang Kembar.”
Kerti menarik
nafas dalam-dalam. Kemungkinan itu memang dapat terjadi. Sidanti telah
melakukan apa saja tanpa mengenal tanggung jawab untuk mencapai maksudnya. Di
antaranya orang-orang yang tidak dikenal itu. Maka tidak mustahil apabila Ki
Tambak Wedi mempergunakan cara yang sama. Tetapi tiba-tiba orang tua itu
menggelengkan kepalanya,
“Tidak
seorang pun yang berani melanggar
perintah Ki Gede Menoreh.”
“Aku akan
pergi, Paman. Aku tidak akan menampakkan diriku. Aku akan bersembunyi. Hanya
apabila keadaan memaksa aku akan membantu Ayah.”
“Tidak Ngger,
tidak.”
Pandan Wangi
mengerutkan keningnya. Lalu katanya, “Bagaimana apabila aku memaksa?”
“Jangan Ngger.
Mungkin Angger akan berhasil. Tidak seorang
pun yang dapat menahan Angger di sini, meskipun kami mempergunakan
segala wewenang yang diberikan oleh Ki Gede Menoreh, sebab tidak seorang pun di sini yang mampu menahanmu, apalagi
apabila Angger mempergunakan kekerasan. Namun demikian, aku minta jangan kau
lakukan, Ngger. Untuk kepentinganmu dan kepentingan Ki Gede sendiri.”
Pandan Wangi
tidak menyahut. Kerut di keningnya menjadi semakin dalam. Tiba-tiba saja ia
berbalik dan dengan tergesa-gesa masuk ke dalam biliknya. Sebelum Kerti sempat
bertanya sesuatu kepadanya, maka pintu bilik itu telah tertutup.
Kerti
mengangkat bahunya. Dipandanginya kedua temannya dengan penuh kecemasan. Tetapi
kedua kawannya itu pun menggelengkan kepalanya. Mereka pun tidak tahu, apakah yang sepantasnya
dilakukan.
Perlahan-lahan
Kerti meninggalkan pintu bilik Pandan Wangi kembali ke pringgitan. Dengan penuh
persoalan di dalam dirinya, ia merenung sambil menundukkan kepalanya. Namun
kecemasan Pandan Wangi itu beralasan. Mungkin Ki Tambak Wedi berbuat curang.
Mungkin, mungkin sekali. Memang tidak ada salahnya apabila seseorang atau dua
orang pergi menengoknya. Tentu saja sambil bersembunyi-sembunyi, agar Ki
Argapati tidak mengetahuinya. Apabila Ki Tambak Wedi tidak berbuat curang, maka
orang-orang itu tidak boleh menampakkan dirinya. Tetapi seperti orang disengat
lebah. Kerti terlonjak berdiri dan langsung berlari ke bilik Pandan Wangi.
Tanpa mengetuk pintu bilik itu langsung dibukanya, untuk melihat apakah Pandan
Wangi masih ada di dalamnya. Terasa dada Kerti akan meledak ketika ia tidak
melihat Pandan Wangi di dalam biliknya. Dilihatnya setiap sudut, setiap lekuk
dan bahkan di sisi gelodog bambu. Namun Pandan Wangi benar-benar tidak ada lagi
di dalam bilik itu. Dengan tergesa-gesa Kerti meloncat keluar. Di depan bilik
itu, hampir ia berbenturan dengan kedua kawannya yang menyusulnya.
“Pandan Wangi
tidak berada di biliknya,” desis orang tua itu.
“Apakah ia
pergi?”
“Mungkin
sekali. Lihatlah pintu belakang. Apakah pintu itu terbuka. Tetapi jangan
membuat gaduh. Lakukanlah seolah tidak terjadi sesuatu.”
Kedua kawannya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan mereka melangkah ke ruang dalam.
Dilihatnya pintu belakang yang langsung menuju ke serambi yang berhadapan
dengan dapur masih tertutup rapat.
“Salarak pintu
itu masih di tempatnya.” desis yang seorang.
Yang lain menganggukkan
kepalanya. Jawabnya,
“Mungkin ia
masih berada di dalam biliknya atau di dalam rumah ini.”
“Mungkin di
bilik Ki Argapati.”
Keduanya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian mereka melangkah kembali. Mereka ingin
melihat ke dalam bilik Ki Argapati. Mungkin Pandan Wangi ada di sana. Tetapi
sekali lagi mereka hampir berbenturan dengan Kerti yang baru saja melangkahi
pintu bilik Ki Gede dari dalam.
“Kosong,” desis
Kerti.
Kedua kawannya
mengerutkan keningnya. Namun seperti orang tersadar dari mimpinya, Kerti
berkata,
“Lihat pintu
butulan samping.”
Ketiganya
segera pergi ke pintu butulan. Pintu itu pun masih tertutup rapat. Tetapi
ketika Kerti merabanya, pintu itu bergerak setebal jari.
“Pintu ini
sudah tidak terkancing.”
Kawannya
meninting selarak pintu sambil berkata,
“Inilah
selaraknya.”
“Hem,” Kerti
menarik nafas dalam-dalam.
“Aku terlampau
bodoh. Seharusnya sejak aku mendengar maksudnya untuk pergi ke Pucang Kembar,
aku sudah dapat menduga, bahwa anak yang keras hati itu akan lari seperti yang
pernah dilakukan. Ia pernah lari untuk menemui kakaknya. Padahal waktu itu Ki
Argapati ada di rumah. Apalagi kini. Tidak seorang pun yang ditakutinya di dalam rumah ini.
Bodoh sekali. Bodoh sekali. Aku menyadarinya setelah aku terlambat.”
“Itukah
sebabnya kau terloncat dari tempat dudukmu?”
“Ya, itulah.
Tetapi sudah terlambat.”
Kedua kawannya
saling berpandangan. Tetapi mereka tidak mengerti apa yang sebaiknya mereka lakukan.
Karena itu maka mereka pun kemudian
terdiam sambil memandangi wajah Kerti yang pucat.
“Oh. Kalau
Pandan Wangi benar sampai ke Pucang Kembar, dan Ki Argapati mengetahuinya,
alangkah besar akibatnya. Meskipun gadis itu menyadarinya juga, namun perasaannya
yang melonjak-lonjak akan sangat sulit untuk dikendalikannya. Darah muda yang
mengalir di dalam dirinya, justru darah Argapati yang keras hati, akan
membuatnya kehilangan pengamatan diri.”
“Lalu apakah
yang sebaiknya kami kerjakan?” bertanya salah seorang kawannya.
Kerti
termenung sejenak. Namun kemudian ia berkata,
“Marilah kita
lihat dahulu, mungkin ia masih berada di halaman.”
Kedua kawannya
mengangguk-anggukkan kepala mereka. Salah seorang dari mereka berkata,
“Memang
mustahil untuk keluar dari halaman rumah ini.”
Ketiganya pun kemudian berjalan keluar. Mereka mencoba
untuk tidak terpengaruh oleh hilangnya Pandan Wangi. Mereka berjalan seperti
tidak terjadi sesuatu. Di luar pendapa mereka
pun segera berpencar. Tanpa berkata apa pun, mereka mencari ke arah yang
berbeda-beda. Wrahasta yang duduk di gardu, di regol halaman melihat ketiga
orang itu turun. Sejenak ia mengikuti dengan pandangan matanya yang tajam.
Memang tumbuh pula pertanyaan di dalam dirinya, kenapa mereka kemudian pergi
berpencaran. Namun karena sikap ketiga orang itu sama sekali tidak
mencurigakannya, maka ia pun kemudian tidak mempedulikannya lagi. Tetapi
tiba-tiba teringat olehnya, Pandan Wangi, yang tidak pernah dapat dijumpainya
sendirian. Setiap kali Kerti selalu ada bersamanya. Karena itu, kepergian Kerti
bersama kedua kawannya itu akan merupakan kesempatan baginya untuk bertemu
dengan Pandan Wangi tanpa diganggu oleh siapa pun. Wrahasta menarik nafas
dalam-dalam. Sejenak ia menjadi ragu-ragu. Apakah ia akan mempergunakan kesempatan
itu? Namun agaknya hasratnya yang tidak tertahankan lagi untuk mendapat
penjelasan dari Pandan Wangi telah mendesaknya. Sehingga karena itu, maka
perlahan-lahan ia berdiri. Sesaat ia berdiri mematung di tempatnya. Kerti dan
kedua kawannya tidak dilihatnya lagi, hilang di dalam bayang-bayang pepohonan.
“Aku akan
masuk,”“ katanya di dalam hati, “banyak alasan yang dapat aku berikan, kenapa
aku masuk.”
Wrahasta itu
pun kemudian membulatkan maksudnya. Kepada para penjaga di gardu ia berkata,
“Aku akan menghadap
Pandan Wangi. Ia setiap kali harus mendengar perkembangan keadaan.”
Kawan-kawannya
tidak berprasangka apa pun. Tetapi salah seorang berkata,
“Tidak ada
perkembangan apa-apa.”
“Itulah yang
akan aku katakan, bahwa sampai saat ini tidak ada perkembangan apa pun, supaya
ia tidak bertambah gelisah.”
Wrahasta itu
pun kemudian melangkah perlahan-lahan ke pendapa. Ia masih melihat beberapa
orang duduk-duduk sambil berbicara perlahan-lahan. Tetapi tidak seorang pun dari mereka yang menaruh perhatian terhadap
sikapnya.
Perlahan-lahan
Wrahasta melintasi pendapa, membuka pintu pringgitan dan masuk ke dalamnya.
Kemudian menutup pintu itu kembali. Namun di pringgitan itu sama sekali tidak
dijumpainya seseorang. Pandan Wangi tidak ada di pringgitan.
“Hem,” ia
berdesah, “aku harus bertemu sekarang. Tetapi di mana anak itu?”
Sejenak
Wrahasta menjadi bimbang. Bahkan hampir-hampir ia melangkah keluar. Tetapi
sekali lagi hasratnya untuk berbicara dengan Pandan Wangi mendesaknya lagi.
“Anak ini
pasti tertidur,” densisnya perlahan-lahan sekali, “karena itulah, maka Kerti
meninggalkannya.”
Wrahasta
menarik nafas dalam-dalam. Ia benar-benar berada di dalam kebimbangan. Namun
dalam pada itu di luar sadarnya ia melangkah ke pintu bilik Pandan Wangi yang
separo tertutup.
Keragu-raguan
semakin memuncak di dalam dadanya. Kini ia berdiri tegak di sisi pintu bilik
itu dengan keringat yang membasahi tubuhnya. Bahkan terasa tubuhnya menjadi
gemetar. Jauh melampaui dari saat-saat ia berdiri di hadapan seorang lawan yang
betapa pun dahsyatnya. Sekali-sekali
disapunya seluruh ruangan itu dengan matanya. Kecemasan yang sangat, mencengkam
dadanya. Bagaimanakah kata Kerti nanti apabila melihat sikapnya itu?
“Tetapi aku
harus menemuinya,” katanya di dalam hati. “Sekarang.”
Dengan demikian,
maka Wrahasta segera membulatkan tekadnya. Tetapi ia tidak mau mengejutkan
Pandan Wangi. Apalagi membuat gadis itu memekik. Karena itu maka ia tidak mau
langsung masuk ke dalam bilik itu. Perlahan-lahan mengetuk pintu sambil
bergumam lirih,
“Wangi. Pandan
Wangi.”
Namun bilik
itu terlampau sepi. Sehingga Wrahasta mengulanginya,
“Pandan Wangi.
Wangi.” Dan ketukan tangannya menjadi semakin keras.
Masih belum
ada jawaban.
Wrahasta
menarik nafas dalam-dalam. Pandan Wangi adalah seorang gadis yang menurut pendengarannya
mempunyai ilmu yang cukup, meskipun ia belum pernah menyaksikannya sendiri.
Karena itu, maka pendengarannya pun pasti terlatih baik, meskipun ia sedang
tidur. Mustahillah apabila gadis itu masih belum mendengar panggilannya.
“Hem,” ia
berdesah, “terlampau sulit untuk mengetahui perasaan yang sesungguhnya. Aku
hanya dapat berharap-harap cemas. Tetapi aku tidak dapat mendengar ia berkata
setegas-tegasnya, ‘Ya’.”
Akhirnya
Wrahasta tidak telaten menunggu. Beberapa kali ia telah mengulangi panggilannya.
Tetapi sama sekali tidak ada jawaban.
“Ia pasti
sudah mendengar suaraku,” katanya di dalam hati, “aku mengharap tidak akan
mengejutkannya.”
Perlahan-lahan
dan sangat hati-hati Wrahasta melangkah ke pintu. Ditolaknya daun pintu lereg
itu ke samping, dan dijengukkannya kepalanya. Perlahan-lahan sekali sambil
berdesis,
“Maafkan aku
Wangi.”
Tetapi
tiba-tiba hatinya berguncang. Nafasnya terasa seakan-akan berhenti. Bilik itu
ternyata kosong. Kosong sama sekali. Tidak ada seorang pun di dalamnya. Apalagi Pandan Wangi yang
sedang tidur. Jantung Wrahasta serasa akan meledak oleh kekecewaan. Bahkan
hampir-hampir ia terlempar dalam kemarahan yang sangat. Tetapi kemudian orang
yang bertubuh raksasa itu berusaha untuk mengendalikan dirinya.
“Salahku,” ia mencoba
menghibur diri sendiri,
“bukan salah
Pandan Wangi dan bukan salah Kerti. Tidak seorang pun yang mengatakan kepadaku, bahwa Pandan
Wangi sedang tidur di dalam biliknya. Tetapi dengan demikian di manakah anak
itu sekarang? Apakah ia sedang berada di dapur, atau di pakiwan, atau di mana?”
Kegelisahan
yang tajam telah tergores di dinding hatinya. Bahkan ia menjadi cemas tanpa
disadari sebab-sebabnya.
“Ke manakah
Kerti dan kedua kawannya itu?” baru kinilah tumbuh kecurigaan di hatinya.
Karena itu, maka tergesa-gesa ia melangkah keluar dari ruangan itu, melintasi
pendapa dan kemudian turun ke halaman. Kini ia berusaha untuk menemukannya
Kerti dan bertanya tentang Pandan Wangi.
Tidak
terlampau sulit untuk mencari Kerti di halaman itu. Kerti sedang berdiri di
sisi regol butulan. Meskipun Kerti tidak bertanya sesuatu, tetapi apabila
orang-orang di regol butulan itu melihat seseorang keluar, lewat regol atau
meloncat dinding, mereka pasti akan mengantarkannya. Tetapi ternyata
orang-orang di regol halaman belakang itu tidak mengatakan sesuatu.
“Paman Kerti,”
Wrahasta tidak dapat menahan dirinya lagi, “aku memerlukanmu sekarang.”
Kerti
mengerutkan keningnya. Ia menjadi berdebar-debar melihat sikap Wrahasta. Apakah
mungkin Wrahasta yang melepaskan Pandan Wangi keluar regol halaman?
“Cepatlah
sedikit,” desak Wrahasta.
Kerti tidak
menyahut. Tetapi segera diikutinya Wrahasta ke tempat yang agak terlindung.
“Apakah kau
melihat Pandan Wangi?” bertanya Wrahasta langsung.
Kerti yang tua
itu memandang wajah Wrahasta tajam-tajam, seolah-olah langsung ingin melihat ke
dalam pusat dadanya. Sejenak kemudian perlahan-lahan ia bertanya,
“Kenapa kau
bertanya tentang Pandan Wangi?”
“Jangan
mempersulit. Katakan di mana Pandan Wangi sekarang.”
“Jangan
mendesak seperti itu, Wrahasta. Tetapi dengan demikian aku tahu bahwa kau telah
mencarinya di dalam rumah dan kau tidak menemukannya. Bukankah begitu?”
Dada Wrahasta
berdesir. Tetapi ia tidak sempat membuat pertimbangan-pertimbangan. Sambil
menganggukkan kepalanya ia menjawab, “Ya. Aku telah mencarinya.”
“Pada saat kau
melihat aku dan kedua kawan-kawanku keluar dari rumah itu?”
“Ya.”
“Kenapa?
Kenapa kau mempergunakan waktu itu untuk bertemu dengan Pandan Wangi? Justru
pada saat aku pergi keluar?”
Wrahasta tidak
dapat segera menjawab pertanyaan itu. Dengan demikian sejenak ia terdiam. Namun
sejenak kemudian ia menjawab,
“Kalau kau
akan mempersoalkan hal itu, baiklah kita persoalkan kelak. Tetapi di mana
Pandan Wangi sekarang?”
Kerti menarik
nafas dalam-dalam. Maka dijawabnya dengan nada datar, yang meskipun
perlahan-lahan, tetapi benar-benar telah menggoncangkan dada Wrahasta,
“Pandan Wangi
ternyata tidak ada di dalam rumah itu. Itulah sebabnya aku sekarang sedang
mencarinya di halaman rumah ini.”
Sejenak
Wrahasta membeku di tempatnya. Namun gemuruh di dadanya serasa akan memecahkan
jantungnya. Bahkan serasa ia tidak yakin akan pendengarannya. Apakah benar
Kerti berkata demikian? Bahwa Pandan Wangi tidak ada di dalam rumah? Karena
Wrahasta tidak segera berkata sesuatu, maka terdengar suara Kerti seolah-olah bergumam
saja di dalam mulutnya,
“Ia masuk ke
dalam biliknya. Aku sangka ia ingin beristirahat atau apabila mungkin tidur.
Tetapi ternyata ia lenyap seperti ditelan hantu. Tetapi menurut dugaanku,
amatlah sulit untuk keluar dari halaman ini tanpa dilihat oleh seseorang.”
Terdengar
Wrahasta menggeram. Kemudian jawabnya patah-patah,
“Ya. Memang
tidak mungkin keluar dari halaman rumah ini.”
“Marilah kita
mencoba mencarinya. Tetapi tidak usah membuat gaduh. Biarlah mereka yang tidak
tahu tidak menjadi ikut gelisah karenanya.”
Wrahasta
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Marilah,” desisnya.
Kerti dan
Wrahasta kemudian meninggalkan tempat itu ke arah yang berbeda-beda, seperti
kedua kawan Kerti yang lain. Mereka menyusup ke segenap sudut dan tempat-tempat
yang terlindung. Bahkan kandang kuda pun
mereka lihat pula, kalau-kalau Pandan Wangi baru sekedar bersembunyi sebelum
mendapat kesempatan pergi.
Tetapi belum
juga salah seorang dari mereka berhasil menemukan Pandan Wangi, sehingga mereka
menjadi gelisah. Kerti yang kemudian berjalan di sepanjang dinding halaman,
akhirnya menemukan juga tempat-tempat yang menurut penilaiannya cukup lemah.
Satu dua penjaga ternyata duduk sambil terkantuk-kantuk.
“Apakah
mungkin Pandan Wangi meloncat dinding halaman ini?” pertanyaan itu selalu
mengganggunya.
Namun akhirnya
Kerti berkesimpulan, bahwa hal itu memang mungkin sekali dilakukan. Pandan
Wangi bukan seorang gadis biasa. Bahkan ia berada di atas semua laki-laki di
tanah perdikan itu dalam olah kanuragan, sehingga sangat mungkin baginya untuk
mengelabuhi satu dua orang pengawas yang berjaga-jaga di seputar rumahnya. Beberapa
saat kemudian, Kerti, kedua kawannya, dan Wrahasta telah berkumpul di dalam
pringgitan. Tampaklah wajah-wajah mereka menjadi tegang dan nafas mereka seakan-akan
berkejaran lewat lubang hidung mereka karena kegelisahan.
“Kita ternyata
tidak dapat menemukannya,” gumam Kerti seolah-olah kepada diri sendiri.
“Ya,” sahut
Wrahasta, “anak itu seolah-olah hilang ditelan hantu.”
“Aku
mencemaskannya apabila ia pergi ke Pucang Kembar,” berkata Kerti kemudian.
“Apakah ia
bermaksud demikian?” bertanya Wrahasta.
“Ia selalu
menyatakan keinginannya itu.”
“Kalau begitu,
aku akan menyusulnya.”
“Jangan
berbuat bodoh. Pikirkan lebih dahulu setiap tindakan,” sahut Kerti,
“apakah sudah
sepantasnya kau meninggalkan tanggung jawabmu atas halaman dan rumah ini.”
“Pandan Wangi
termasuk sebagian, bahkan yang terbesar dari tanggung jawabku. Karena itu,
sudah seharusnya aku mencarinya sampai ketemu.”
Kerti yang tua
itu menggelengkan kepalanya. Katanya,
“Jangan
Wrahasta. Kau bertanggung jawab atas halaman ini seisinya. Kalau halaman ini
kau tinggalkan dan malam ini juga Sidanti memasuki rumah ini, maka kesalahan
terbesar terletak di bahumu. Sedang Pandan Wangi, serahkanlah ia kepadaku. Aku
akan mencarinya dan membawanya kembali ke dalam rumah ini.”
Sejenak
Wrahasta menahan nafasnya. Wajahnya menjadi semakin tegang. Ia mengerti maksud
Kerti, tetapi perasaannya seolah-olah tidak dapat lagi dikekangnya. Ia menjadi
terlampau cemas atas nasib Pandan Wangi.
“Jangan kau
terlampau menuruti perasaanmu anak muda,” berkata Kerti kemudian,
“aku tidak
akan mencampuri persoalanmu, persoalan anak-anak muda. Tetapi kau harus dapat
memisahkan kepentingan yang satu dengan yang lain. Persoalan yang menyangkut
tanah perdikan ini dan persoalan pribadimu.”
“Oh,” Wrahasta
berdesah, “darimana kau tahu, Paman?”
“Aku adalah
orang tua. Aku dapat menangkap getar dalam dada anak-anak muda. Karena itu,
dengarlah nasehatku. Kau tinggal di sini. Aku akan pergi. Aku tahu apa yang
harus aku kerjakan. Aku akan pergi ke Pucang Kembar, tanpa mengganggu perang
tanding itu. Sebab apabila Ki Gede Menoreh mengetahui kehadiranku, atau salah
seorang dari kita, maka alangkah marahnya. Kalau aku terlambat, dan Pandan
Wangi telah ada di sana pula, maka aku
pun akan menerima akibat yang sama. Bahkan kehadiran Pandan Wangi
apabila diketahui oleh ayahnya benar-benar merupakan bahaya yang pasti bagi Ki
Gede.”
Wrahasta tidak
segera menjawab. Perlahan-lahan kepalanya menunduk.
“Tinggallah
kau di sini anak muda,” berkata Kerti kemudian,
“kedua kawanku
ini pun akan tinggal di sini pula. Setiap saat Sidanti dan Argajaya akan
merayap memasuki induk tanah perdikan ini. Adalah menjadi kewajibanmu untuk
bertahan di sini.”
Wrahasta masih
belum menjawab. Kepalanya kini benar-benar telah tertunduk dalam-dalam.
Tampaklah ia sedang berpikir. Dicobanya untuk mengatasi gelora perasaannya, dan
menempatkannya pada keadaan yang wajar. Wajar bagi seorang pemimpin pasukan
pengawal yang mendapat perintah untuk bertanggung jawab atas halaman dan rumah
ini.
“Apakah kau
mengerti maksudku?” bertanya Kerti.
Perlahan-lahan
Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya,
“Ya, aku
mengerti. Tetapi apakah kau akan pergi seorang diri?”
“Aku akan
singgah ke banjar. Aku akan menemui Samekta. Mungkin aku akan mendapat kawan
yang baik dari banjar. Sebab kita sadar, siapakah yang kini sedang berada dan
berperang tanding di bawah Pucang Kembar itu.”
Wrahasta
mengangguk pula,
“Baiklah. Aku
akan tinggal di sini. Mudah-mudahan kau berhasil menemukan dan membawa anak itu
kembali ke rumah ini.”
“Aku akan
berusaha,” sahut Kerti,
“nah, baiklah
aku segera berangkat. Aku akan membawa kuda, supaya aku datang lebih cepat dari
Pandan Wangi.”
Sesaat
kemudian seekor kuda berderap lari meninggalkan halaman rumah Pandan Wangi.
Suaranya gemeretak di atas jalan berbatu-batu, memecah sepinya malam. Semakin
lama semakin jauh dan beberapa saat kemudian hilang dari pendengaran. Wrahasta
masih berdiri di regol halaman. Debar jantungnya masih terasa menghentak-hentak
di dadanya. Ia telah dicengkam oleh kecemasan tentang hilangnya Pandan Wangi.
Cemas bahwa ia untuk seterusnya tidak akan dapat mengharapkannya, dan cemas
atas tanggung jawab yang di bebankan kepadanya. Tetapi Wrahasta mencoba untuk
menumpahkan segala harapannya kepada Kerti. Ia kenal orang tua itu. Ia tahu
kemampuan yang tersimpan di dalam diri pemomong Pandan Wangi itu. Karena itu
maka ia masih belum berputus asa.
Sementara itu
Kerti memacu kudanya menyusup dalam keremangan malam. Sekali-sekali
ditengadahkan wajahnya. Dilihatnya bulan yang bulat semakin meninggi. Seperti
Pandan Wangi, terbayang di dalam angan-angannya, sebuah perkelahian antara
hidup dan mati yang dahsyat telah terjadi di Pucang Kembar. Perkelahian antara
dua orang yang pilih tanding.
“Hem,” orang
tua itu menarik nafas dalam-dalam, seolah-olah ingin menghirup kesejukan malam
sebanyak-banyaknya.
“Pandan Wangi
benar-benar anak yang keras hati. Mudah-mudahan aku tidak terlambat.”
Kerti pun mencoba memacu kudanya semakin cepat,
supaya ia dapat mendahului Pandan Wangi. Kalau kedatangan Pandan Wangi itu
diketahui oleh ayahnya, maka rusaklah perang tanding itu.
Ketika Kerti
sampai di muka halaman banjar, maka segera ia menarik kekang kudanya. Seorang
penjaga regol mendekatinya dengan tombak menunduk,
“Siapa?”
“Aku, Kerti.
Apakah Samekta ada di dalam banjar?”
“O, kau Kiai,
masuklah.”
Kerti segera
memasuki halaman. Setelah kudanya diikatkannya pada sebatang kayu, maka dengan
tergesa-gesa ia menemui Samekta yang duduk dengan beberapa orang pemimpin
pengawal di pendapa.
“He, kau
sendiri datang kemari?” bertanya Samekta.
Kerti
mengangguk, “Ya,” jawabnya pendek.
“Kau nampak
terlalu bersungguh-sungguh. Aku menjadi berdebar-debar.”
“Memang
seharusnya kau menjadi berdebar-debar,” jawab Kerti yang masih juga sempat
bergurau,
“aku memang
ingin melihat kau menjadi tegang, berdebar-debar dan cemas, supaya aku tidak
dicengkam perasaan demikian seorang diri.”
“O, jadi kau
memerlukan kawan dalam kebingungan? Baiklah. Aku akan menjadi tegang,
berdebar-debar dan cemas. Tetapi aku harus tahu apakah sebabnya, maka kau
menjadi demikian.”
“Dengarlah
baik-baik. Berpeganganlah pada tiang, supaya kau tidak terjatuh dan pingsan.”
“Katakanlah.
Aku sudah terlanjur cemas. Dadaku sudah berdebar-debar dan darahku serasa
semakin cepat mengalir.”
“Baiklah,”
jawab Kerti yang wajahnya kini menjadi bersungguh-sungguh,
“Pandan Wangi
ternyata tidak berada di rumahnya.”
“He,” Samekta
tergeser secengkang, “kau berkata sebenarnya?”
“Hal ini
benar-benar telah terjadi.”
Sejenak
Samekta tidak dapat mengucapkan sepatah kata pun. Ditatapnya saja wajah Kerti,
seakan-akan ingin melihat apa yang tersembunyi di balik wajah yang sudah mulai
dilukai oleh kerut-merut itu.
“Apakah kau
kurang percaya?”
Samekta tidak
segera menjawab. Tetapi sejenak kemudiaa ia menggeleng,
“Bukan. Bukan
karena aku tidak percaya. Hal itu memang mungkin sekali terjadi. Apabila benar
demikian, maka anak itu sudah lari untuk kedua kalinya dari rumahnya. Tetapi
apakah kalian lengah mengawasinya.”
“Sudah tentu.
Kalau tidak, ia tidak akan dapat keluar dari halaman.”
Samekta
mengangguk-anggukkan kepalanya. Gumamnya,
“Memang tidak
perlu untuk mencari siapakah yang bersalah. Tetapi apakah kau dapat menduga, ke
mana perginya? Yang terpenting sekarang adalah menemukannya, bukan
mempersoalkan siapakah yang bertanggung jawab atas hilangnya itu.”
“Bagus.
Ternyata pikiranmu masih cukup sehat,” sahut Kerti, yang kemudian
menceriterakan apa yang dilihat dan didengarnya di dalam rumah Ki Argapati.
Bagaimana sikap dan keinginan Pandan Wangi, sehingga pada suatu saat ia
menemukan bilik itu kosong.
“Kalau begitu
kita harus cepat pergi,” berkata Samekta, “tetapi apakah aku dapat meninggalkan
banjar ini?”
“Bukan kau
sendiri. Tetapi kau dapat menunjuk seseorang yang paling kau percaya untuk
menemaniku.”
“Kau akan
pergi?”
“Ya. Pekerjaan
ini bukan pekerjaan sambilan. Aku harus menemukannya. Sedang kita tahu, di
bawah Pucang Kembar itu kini sedang terjadi benturan yang dahsyat antara dua
orang rakrasa yang perkasa.”
Samekta mengerutkan
keningnya sambil mengangguk-angguk. Ia menyadari keadaan sepenuhnya. Karena itu
maka dipilihnyalah dua orang pemimpin pengawal yang paling kuat di antara
sekian banyak kawan-kawannya untuk pergi ke Pucang Kembar.
“Usahakan,
supaya Ki Argapati tidak tahu apa yang terjadi. Kau harus menemukan Pandan
Wangi sebelum Pandan Wangi berhasil mendekat. Kalau kau mempergunakan kuda,
maka kau pasti akan jauh lebih cepat daripadanya, sehingga kau dapat
mencegatnya sebelum ia naik ke tebing itu.”
“Ya. Aku akan
berangkat sekarang.”
“Pergilah.”
Kerti pun segera pergi bersama dua orang pemimpin
pengawal yang terpilih. Mereka segera memacu kuda-kuda mereka seperti angin.
Setiap kali mereka harus memperlambat derap kaki-kaki kuda itu di depan
gardu-gardu peronda, untuk menjawab berbagal pertanyaan yang hampir bersamaan
satu dengan lainnya. Namun betapa mereka menjadi jemu, mereka harus menjawab
pertanyaan-pertanyaan itu. Maka semakin lama ketiga orang itu menjadi semakin
dekat dengan Pucang Kembar. Tetapi mereka masih belum menemukan atau melampaui
Pandan Wangi, sehingga Kerti semakin lama menjadi semakin gelisah karenanya.
“Derap kuda
kita agaknya telah mendorong Pandan Wangi untuk bersembunyi,” berkata Kerti
perlahan-lahan.
“Ya. Beberapa
puluh langkah di muka, suara derap kuda ini sudah terdengar. Mungkin sebentar
lagi, semakin kita maju, maka Ki Argapati di bawah Pucang Kembar pun akan
mendengarnya pula,” sahut salah seorang temannya.
Kerti
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambil memperlambat lari kudanya ia berkata,
“Jangan
terlampau cepat, supaya derap kaki-kaki kuda kita tidak terlampau keras.”
Ketiganya
kemudian meneruskan perjalanan mereka dengan langkah-langkah yang lebih lamban.
Kuda-kuda mereka berlari perlahan-lahan, sehingga sentuhan kaki-kaki kuda itu
di atas tanah berbatu padas tidak menimbulkan suara terlampau keras.
“Kita sudah
terlampau dekat,” berkata Kerti beberapa saat kemudian.
“lebih baik
kita turun. Kita sembunyikan kuda kita, lalu kita mendekat dengan berjalan
kaki. Kalau kita terlampau dekat, maka apabila kuda-kuda itu meringkik,
rusaklah segala acara.”
Kawan-kawannya
menyetujuinya, sehingga mereka bertiga pun meneruskan perjalanan itu sambil
berjalan kaki. Hati-hati dan dengan penuh kewaspadaan. Tangan-tangan mereka
seolah-olah tidak terpisah lagi dari hulu pedang mereka. Sedang kawan Kerti
yang seorang, yang bertubuh kecil, mempunyai beberapa bilah pisau di ikat
pinggangnya yang lebar, selebar telapak tangan. Tangannya yang pendek itu
terlampau cepat melepaskan pisau-pisaunya, dengan bidikan yang tepat. Ia hampir
tidak pernah gagal mengenai sasarannya. Apalagi sasaran yang diam, sedang
sasaran bergerak pun hampir pasti dapat
dikuasainya.
Semakin dekat
mereka dengan Pucang Kembar, mereka menjadi semakin berhati-hati. Mereka
berjalan di antara semak-semak yang rimbun. Kemudian membungkuk-bungkuk dan
berlari-lari kecil dari satu gerumbul kegerumbul yang lain. Namun mereka sama
sekali tidak menemukan Pandan Wangi. Mereka sama sekali tidak melihat
tanda-tanda apa pun tentang gadis itu. Sehingga dengan demikian, maka
Kerti pun menjadi semakin
berdebar-debar. Keringat dingin telah mengalir di segenap wajah kulitnya.
Bajunya menjadi basah, dan di keningnya mengembun beberapa titik keringat. Beberapa
langkah lagi mereka menjadi semakin dekat. Dengan dada berdebar-debar mereka
menjengukkan kepala mereka dari balik gerumbul-gerumbul yang rimbun. Terasalah
desir yang tajam di dalam dada mereka, ketika remang-remang di kejauhan mereka
melihat dua bayangan seperti endog pangamun-amun, bergetar di dalam keremangan
cahaya rembulan yang bulat. Sesaat mereka saling berpandangan. Meskipun tidak
sepatah kata pun yang terucapkan, namun
seolah-olah mereka saling dapat menangkap isi hati masing-masing. Kerti dan
kedua orang kawannya adalah orang-orang yang memiliki pengalaman yang cukup
sebagai pengawal-pengawal tanah perdikan. Namun mereka seperti kanak-kanak yang
baru pertama kalinya melihat seekor kuda berpacu. Mereka melihat bayangan yang
seakan-akan melayang-layang itu dengan mulut ternganga. Alangkah dahsyatnya.
Namun sejenak
kemudian, Kerti menyadari keadaannya. Dengan berbisik perlahan sekali ia
berkata,
“Kita tidak
melihat Pandan Wangi di sini.”
“Mungkin ia
berada di depan kita, semakin dekat dengan perkelahian itu.”
“Mungkin.
Tetapi dengan demikian, sangat berbahaya baginya dan bagi Ki Argapati. Kalau
kakinya menyentuh daun-daun kering itu, maka gemersik suaranya akan didengar
oleh kedua orang yang luar biasa itu. Nah, kau pasti akan tahu akibatnya.”
Kawannya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab. Sedang Kerti berbisik
pula,
“Tetapi
mungkin Pandan Wangi belum sampai ke tempat ini.”
“Baiklah kita
menunggu saja di sini. Tempat ini cukup jauh, meskipun lamat-lamat kita melihat
bayangan mereka yang berkelahi,” sahut kawannya.
Kerti
mengangguk sambil berdesis,
“Kita sulit
membedakan keduanya selain dari bentuk senjata mereka. Yang bertombak itu pasti
Ki Argapati, sedang yang bersenjata lebih pendek itu adalah Ki Tambak Wedi.”
Demikianlah,
maka mereka bertiga tetap berada di tempat itu, di balik sebuah gerumbul yang
rimbun. Dengan sepenuh hati mereka mengikuti perkelahian antara kedua orang
yang pilih tanding. Perkelahian yang te!ah sampai pada pucaknya dengan bertaruh
nyawa. Seolah-olah mereka sedang melanjutkan perkelahian yang pernah terjadi di
bawah Pucang Kembar itu pula beberapa puluh tahun yang lampau.
Sementara itu,
Sidanti, dan Argajaya, sedang sibuk mengatur pasukannya. Mereka merasa, bahwa
telah sampai saatnya, mereka berangkat untuk merebut induk Tanah Perdikan
Menoreh.
“Kita akan
memasuki padukuhaan induk itu dari Timur, Paman,” berkata Sidanti ketika
pasukan mereka telah siap,
“seperti pesan
guru.”
“Ya,” sahut
pamannya,
“apakah
pasukan yang akan memancing para pengawal itu telah siap pula.”
“Sudah. Aku
sediakan sepasukan yang cukup kuat untuk bertahan beberapa lama, sementara
pasukan induk kita masuk dari arah lain. Pasukan yang akan memancing perhatian
itu akan datang dari arah Barat.”
“Bagus.
Biarlah pasukan itu berangkat lebih dahulu.”
“Kita
berangkat bersama-sama. Tetapi kita berpisah di jalan. Aku mengharap bahwa
waktu yang kita perlukan tidak terpaut banyak. Kalau kita terlambat, pasukan
yang datang dari Barat itu pasti sudah hancur lumat. Menurut pengamatan
petugas-petugas sandi kita, pasukan pengawal Menoreh telah benar-benar dalam keadaan
siaga.”
“Tetapi
pasukan kita tidak berselisih banyak, Sidanti. Kekuatan kita pun cukup besar.”
Argajaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia adalah orang yang cukup berpengalaman. Namun
ia kagum melihat ketangkasan Sidanti berpikir, merencanakan serangan atas
padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh. Agaknya pengetahuan Sidanti selama ia
menjadi prajurit, di alasi oleh darah Paguhan yang mengalir di dalam tubuhnya,
menjadikannya seorang yang cerdas.
Maka sejenak
kemudian Sidanti, Argajaya, dan kedua pasukannya telah siap. Setelah Sidanti
memberi beberapa penjelasan kepada kedua pasukan itu, maka mereka itu pun segera berangkat. Pasukan yang pertama,
yang sekedar memancing perlawanan pasukan-pasukan pengawal Menoren, telah
diserahkan kepada seseorang yang dipercayanya, justru bukan orang Menoreh.
Pasukan itu sebagian besar memang terdiri dari orang-orang yang tidak dikenal
di tanan perdikan ini. Mereka terdiri dan orang-orang yang sama sekali tidak
mempunyai tanggung jawab apa pun. Mereka sekedar berkelahi untuk kepentingan
pribadi masing-masing. Dengan berkelahi mereka mengharap mendapatkan
keuntungan-keuntungan yang jauh lebih banyak daripada apabila mereka bekerja
wajar. Tetapi mereka menyadari, bahwa taruhannya adalah leher mereka.
“Merampok pun
aku harus mempertaruhkan kepala,” pikir salah seorang dari mereka,
“kini aku
mendapat kesempatan untuk melakukannya secara terbuka.”
“Kenapa kita
dijadikan umpan di dalam gelar ini?” salah seorang dari mereka berdesis kepada
kawannya.
Kawannya
menggelengkan kepalanya,
“Tidak.
Pasukan induk itu akan segera menarik perhatian para pengawal. Kita akan
mendapat banyak kesempatan. Kalau kita masuk ke induk tanah perdikan ini
bersama Sidanti dan Argajaya, maka setiap gerak kita akan diawasinya. Tetapi
dari jurusan ini, kita akan bebas melakukan apa saja yang kita kehendaki.”
“Tetapi tugas
ini terlampau berat. Sebelum pasukan induk itu datang, kita akan bertempur
melawan kekuatan yang jauh melampaui kekuatan kita.”
“Sidanti sudah
berjanji, bahwa waktu yang diperlukannya tidak terpaut banyak.”
“Bagaimana
kalau ia ingkar, justru menunggu sampai kita binasa?”
“Tidak ada
gunanya kita membunuh diri. Kalau menurut pertimbangan kita, pekerjaan kita
terlampau berat, kenapa kita tidak lari saja dan kemudian memukul sendiri
Sidanti dari arah yang lain. Kita akan mendapat hadiah dari Ki Argapati,
seperti apa yang dijanjikan Sidanti. Bahkan kalau kita sempat, biarlah kedua
pasukan itu saling berhantam. Kita akan mengambil apa saja yang dapat kita
ambil.”
Keduanya
tertawa pendek. Pekerjaan yang mereka hadapi sama sekali lidak memerlukan
tanggung jawab apa pun, selain menuggu upah yang dijanjikan oleh Sidanti, dan
kemungkinan-kemungkinan yang dapat dilakukan sepanjang pertempuran itu
berlangsung. Demikianlah, maka kedua pasukan itu telah membelah gelap malam
menyelusur jalan yang menuju ke induk Tanah Perdikan Menoreh.
Tetapi Sidanti
tidak terlampau bodoh untuk menempuh jalan terdekat. Ia yakin, bahwa di
sepanjang jalan terdekat itu, telah berhamburan petugas-petugas sandi dan
pengawas-pengawas dari pasukan Ki Argapati. Karena itu, maka dipilihnya jalan
yang lain. Jalan kecil yang agak melingkar. Namun menurut perhitungannya adalah
jalan yana paling aman. Semakin lama, maka pasukan itu pun menjadi semakin
dekat dengan induk tanah perdikan. Beberapa orang yang tinggal di rumah di
pinggir jalan terkejut mendengar langkah kaki seperti air yang mengalir. Tidak
henti-hentinya, seakan-akan tanpa ujung. Tetapi di dalam rumah itu pada umumnya
sudah tidak ada lagi seorang laki-laki pun. Mereka telah menempatkan diri
mereka menurut keyakinan masing-masing. Sebagian dari mereka berada di banjar
Tanah Perdikan Menoreh, dan sebagian lagi turut serta dalam arus pasukan
Sidanti yang menelusur jalan kecil seperti seekor ular raksasa yang sedang
bergerak perlahan-lahan.
Ketika pasukan
itu telah sampai di tempat yang mereka tentukan, maka pasukan ini pun segera berhenti. Di tempat itulah pasukan
akan berbagi. Sebagian akan membelok ke Barat dan akan masuk melalui
padukuhan-padukuhan kecil di sebelah Barat induk tanah perdikan, dan yang lain
akan menuju ke Timur, untuk seterusnya masuk ke pedukuhan induk dari arah yang
berlawanan dari arah pasukan yang pertama.
“Aku
percayakan pasukan ini kepadamu,” berkata Sidanti kepada pemimpin pasukan yang
bertugas memancing dari arah Barat. Seorang yang datang dari seberang Kali
Bogowanta, yang menamakan dirinya Ki Peda Sura. Meskipun namanya tidak begitu
dikenal, namun ia adalah seorang yang berpengaruh. Ki Peda Sura adalah seorang
yang mempunyai kekuatan tersendiri, karena ia datang ke tanah perdikan ini
bersama beberapa orang anak buahnya, bahkan merupakan satu pasukan kecil
tersendiri. Seperti orang-orang lain, maka Ki Peda Sura mendapat janji yang
menyenangkan. Ia akan mendapat daerah yang subur di sisi Barat Tanah Perdikan
Menoreh selama Sidanti memerintah tanah perdikan itu. Itulah sebabnya, maka ia
berkeras hati untuk membantu dan memenangkan perlawanan Sidanti atas ayahnya,
Ki Argapati, meskipun Ki Peda Sura telah mengenal Argapati pula.
“Selama
Argapati berkuasa di Menoreh, aku tidak akan mendapat keuntungan apa-apa daripadanya,”
katanya di dalam hati,
“tetapi
agaknya berbeda dengan Sidanti. Aku dapat mengharap banyak daripadanya. Ia
tidak akan dapat ingkar janji sebab selain aku dan orang-orangku banyak sekali
orang-orang yang telah dilibatkannya dalam pertengkaran ini. Kalau ia ingkar,
maka selamanya tanah ini tidak akan dapat tenteram meskipun di sini ada Ki
Tambak Wedi.”
Sesaat
kemudian Ki Peda Sura telah membawa pasukannya membelok ke arah Barat, menyusur
sebuah pematang yang sempit. Mereka akan sampai pada sebuah jalan kecil untuk
segera memasuki sebuah padesan kecil pula. Ki Peda Sura, meskipun bukan orang
Menoreh, tetapi ia cukup mempunyai pengetahuan tentang daerah itu, sehingga ia
menduga bahwa ia harus berhati-hati menghadapi peronda-peronda yang mungkin
dipasang oleh Argapati di desa kecil itu.
Sedangkan
Sidanti dan Argajaya bersama-sama berada di dalam induk pasukannya. Mereka akan
memasuki induk tanah perdikannya dari arah yang berlawanan. Yang masuk ke rumah
Argapati harus mendapat pengawasan sebaik-baiknya, sehingga Sidanti dan
Argajaya berdua bersama-sama merasa perlu berada di induk pasukan itu.
“Rumah itu
harus di selamatkan,” desis Sidanti, “isinya maupun bangunannya.”
“Ya,” sahut
pamannya. “tidak boleh sehelai papan pun yang pecah pada rumah itu. Apalagi
kehilangan harta milik. Orang-orang gila yang ikut dalam pasukan Peda Sura
adalah perampok-perampok yang buas. Biar sajalah mereka akan dihancurkan oleh
pasukan Argapati.”
“Jangan Paman.
Kita masih memerlukan mereka untuk saat-saat mendatang.”
“Kalau kita
sudah menduduki padukuhan induk, kita tidak lagi memerlukan mereka.”
Sidanti mengangguk-anggukkan
kepalanya,
“Jadi itukah
alasannya, kenapa Paman tadi sebelum berangkat berpendapat bahwa pasukan itu
harus berangkat lebih dahulu?”
Argajaya tidak
segera menjawab.
“Jangan
sekarang Paman,” berkata Sidanti kemudian,
“seperti Guru
berpesan, mereka kita manfaatkan sampai selesai.”
“Apabila kita
sudah selesai, maka sulitlah bagi kita untuk menyingkirkan mereka.”
“Itu adalah
tugas Guru. Tetapi aku kira tidak demikian. Kita dapat membuat persoalan
sehingga mereka saling berkelahi, karena kita tahu kepentingan mereka di sini
satu dengan yang lainnya berbeda, tetapi hakekatnya adalah sama. Mereka ingin
merampok dan memiliki apa saja sebanyak-banyaknya.”
“Ya. Tetapi
lebih lama mereka tinggal di sini, maka tanah ini akan menjadi semakin rusak.”
“Kita akan
mempergunakan mereka sampai Argapati sama sekali tidak mampu lagi melawan kita.
Baik Argapati sendiri apabila ia berhasil lolos dari tangan Guru, maupun
orang-orangnya.”
“Tidak mungkin
Sidanti. Tidak mungkin Kakang Argapati akan lolos dari tangan gurumu dan
pembantu-pembantunya.”
Sidanti tidak
menjawab. Tetapi timbullah pertanyaan di dalam dirinya,
“Kenapa
Argajaya itu berpihak kepadaku?” Tetapi dijawabnya sendiri,
“Ah, biarlah
itu diurus oleh Guru. Sudah tentu sikap itu mengandung pamrih, sebab Argapati
adalah kakaknya sendiri.”
Namun terasa
sesuatu berdesir di dalam dadanya. Sampai saat terakhir, saat gurunya berceritera
kepadanya, ia pun menganggap bahwa Argapati itu adalah ayahnya. Bahkan sikapnya
sama sekali tidak berbeda terhadapnya dan terhadap Pandan Wangi. Dan kini,
tiba-tiba saja ia harus memusuhinya. Melawan orang yang selama ini dianggapnya
sebagai ayahnya. Sidanti menarik nafas dalam-dalam. Ternyata pada akhirnya ia
harus berpihak kepada ayahnya yang sebenarnya. Ki Tambak Wedi. Dan orang itu
pun terlampau baik kepadanya selama ini. Karena itu pula agaknya Ki Tambak Wedi
memanjakannya jauh melampaui seorang murid biasa. Sementara itu, pasukan
Sidanti kedua-duanya menjadi semakin dekat, sehingga mereka harus berjalan
lebih berhati-hati lagi. Baik Ki Peda Sura, maupun Sidanti, telah melepaskan
beberapa orang yang harus berjalan mendahului pasukan-pasukan mereka yang
sebenarnya. Dalam pada itu, di rumah Ki Argapati, Wrahasta menjadi terlampau
gelisah. Ia berjalan hilir mudik di halaman. Kadang-kadang ia masih berusaha
mencari Pandan Wangi di sudut-sudut gelap di halaman, tetapi ia sama sekali
tidak menemukannya.
“Hem,”
desahnya,
“anak itu
memang anak yang terlampau keras hati. Tetapi ia sama sekali tidak menyadari,
apakah yang sedang terjadi di dalam tanah perdikan ini. Ia tidak menyadari,
betapa besarnya bahaya di sepanjang jalan dan bahaya yang menunggunya di bawah
Pucang Kembar.”
Tetapi
tiba-tiba Wrahasta itu terperanjat, ketika salah seorang kawan Kerti yang
ditinggalkan berjalan-jalan tergesa-gesa menemuinya.
“Mengapa?”
bertanya Wrahasta yang menjadi berdebar-debar karenanya.
“Wrahasta,
ternyata Pandan Wangi ada di dalam rumahnya.”
“He,” Wrahasta
itu hampir saja terlonjak,
“kau gila.
Apakah kau ingin membuat aku semakin bingung?”
“Ikutlah aku,”
jawab orang itu pendek tanpa memperhatikan kata-kata Wrahasta. Orang itu pun
sama sekali tidak menunggu jawaban. Denqan tergesa-gesa ia berjalan mendahului,
langsung menuju ke pringgitan. Sedang di belakangnya Wrahasta pun berjalan mengikutinya tanpa bertanya
lagi.
Ketika mereka
melampaui pintu pringgitan, dada Wrahasta benar-benar berguncang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar