Jilid 036 Halaman 1


KETIKA KERTI mengangkat wajahnya, dilihatnya dahi Wrahasta berkerut merut. Bahkan Wrahasta itu berkata terbata-bata,
“Tetapi, tetapi itu tidak perlu, Pandan Wangi. Aku akan mengantarmu bersama orang-orang yang telah aku sediakan.”
“Terima kasih Wrahasta. Aku berterima kasih sekali. Tetapi biarlah Paman Kerti ikut bersamaku. Ia akan ikut melihat pula kesiagaan di halaman ini. Ia akan dapat memberi aku nasehat apa yang harus aku lakukan.”
“Itu tidak perlu sama sekali. Biarlah Paman Kerti berada di dalam rumah. Bukankah tugasnya di dalam rumah ini saja.”
“O, kau aneh sekali Wrahasta. Apakah sebenarnya keberatanmu? Paman Kerti adalah pemomongku. Biar sajalah ia ikut bersama aku.”
“Tetapi bukan demikian perintah Ayahmu, Pandan Wangi. Akulah yang bertanggung jawab atas keselamatan seisi rumah ini, termasuk kau. Bukan Kerti. Karena itu, biarlah Paman Kerti duduk saja di sini. Kau tidak akan terlampau lama. Dan kita akan segera kembali ke pringgitan ini.”
Terasa debar di dada Pandan Wangi menjadi semakin keras. Agaknya Wrahasta benar-benar ingin mendapat kesempatan untuk mendesakkan pertanyaannya. Namun justru karena itu, maka Pandan Wangi menjadi semakin kecut untuk pergi sendiri tanpa Kerti dan kawan-kawannya. Karena itu maka katanya,
“Wrahasta, aku akan pergi bersama Kerti dan kedua kawannya. Tidak ada keberatan yang dapat kau ajukan. Seandainya Ayah tidak berbuat demikian, inilah perbedaan antara Pandan Wangi dan ayahnya.”
“Ah,” Wrahasta berdesah. Tampak kekecewaan menjalar di wajahnya. Sejenak ia berdiam diri memandangi nyala pelita yang bergetar disentuh angin malam yang menyusup lubang pintu yang tidak tertutup rapat-rapat sekali. Melihat kekecewaan itu, Pandan Wangi menjadi kian berdebar-debar. Bagaimanapun juga, ia malam ini sangat memerlukan Wrahasta dan pengaruhnya atas pasukan pengawal yang terutama terdiri dari anak-anak muda sebaya dengan raksasa itu. Seandainya ia berbuat kurang sepantasnya bagi tanah kelahirannya ini, maka keadaan akan kian menjadi kisruh.
Sesaat kemudian terdengar pengawal muda bertubuh raksasa itu berkata,
“Baiklah Pandan Wangi. Silahkan pergi bersama Paman Kerti melihat-lihat pasukan pengawalmu.”

Sekilas Pandan Wangi memandang wajah Kerti yang tampaknya tidak memberikan kesan apa pun. Namun sebenarnya orang tua itu telah menahan perasaannya. Kini ia tahu benar arti pesan Samekta kepadanya. Sehingga dengan demikian, maka ia benar-benar ingin untuk pergi bersama Pandan Wangi.
Sejenak kemudian maka Pandan Wangi itu pun segera berdiri bersama semua orang yang berada di pringgitan itu. Perlahan-lahan ia melangkah keluar lewat pendapa yang remang-remang. Beberapa orang yang berada di pendapa berpaling ke arahnya. Orang-orang tua yang wajib mendampingi Pandan Wangi di bidang pemerintahan dan para pengawal yang lain, yang sedang duduk-duduk beristirahat. Namun segera mereka mengerti kemana Pandan Wangi akan pergi. Pandan Wangi  pun kemudian turun ke halaman, melangkah dengan kepala tunduk memutari halaman rumahnya, halaman depan dan halaman belakang. Hanya kadang-kadang saja ia mengangkat kepalanya, menyapa beberapa orang yang sedang berjaga-jaga. Lalu sejenak kemudian kepalanya telah menunduk lagi, seperti sedang menghitung langkah kakinya.
Tetapi dengan demikian, Pandan Wangi tahu, bahwa tidak ada dinding yang tidak terawasi sejengkal pun.
“Aku benar-benar tidak dapat lepas dari pengawasan mereka,” katanya dalam hati.
Sebenarnyalah bahwa di dalam hatinya tersimpan hasrat untuk pergi tanpa diketahui oleh orang lain ke Pucang Kembar. Ia ingin melihat apa yang sebenarnya terjadi di sana. Apakah ayahnya kira-kira dapat memenangkan perang tanding itu, atau barangkali Ki Tambak Wedi berbuat curang.
“Hatiku selalu diganggu oleh kecemasan. Aku merasakan getar yang menggelisahkan,” desisnya di dalam hati. Tetapi sudah tentu bahwa orang-orang di halaman itu tidak akan membiarkannya pergi seperti pesan ayahnya. Tugas para pengawal itu selain bertahan apabila ada bahaya, tetapi juga mengawasinya juga, sehingga Pandan Wangi itu merasa dirinya sebagai wakil ayahnya, Kepala Tanah Perdikan, sekaligus seorang tawanan. Meskipun ia menyadari dan mengerti maksud ayahnya, namun hatinya semakin lama semakin gelisah. Apalagi apabila teringat olehnya pertanyaan-pertanyaan yang diberikan oleh Wrahasta.
Setelah Pandan Wangi melihat seluruh kegiatan di halaman rumahnya, maka ia  pun segera kembali ke pendapa. Wrahasta mengantarnya sampai ke pintu, lalu katanya,
“Silahkan Pandan Wangi. Aku akan berada di halaman. Setiap kau memerlukan aku. Aku telah sedia.”
“Terima kasih Wrahasta,” jawab Pandan Wangi. Betapa  pun hatinya bergolak, namun ia harus bersikap baik. Bahkan ia cenderung untuk membuat Wrahasta itu tidak kehilangan harapannya.
“Setiap saat aku mungkin memerlukan kau.”
Sesaat mata Wrahasta menjadi berkilat-kilat. Namun kemudian ia berkata,
“Beristirahatlah. Percayakanlah halaman rumah dan seisinya kepadaku, seperti ayahmu mempercayakan pula.”
“Ya Wrahasta, aku percaya kepadamu. Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu yang dapat menggoncangkan tanah ini.”
“Seandainya ada, kita siap menghadapinya.”
“Ya.”
“Silahkan beristirahat. Aku minta diri.”

Pandan Wangi melihat langkah yang tegap dan berat meninggalkannya, melintas pendapa turun ke halaman. Wrahasta adalah seorang yang memiliki kepercayaan kepada diri sendiri. Bahkan agak terlampau besar. Pandan Wangi pun kemudian masuk ke dalam pringgitan bersama Kerti dan dua orang kawannya. Ia telah berhasil menghindari desakan pertanyaan-pertanyaan Wrahasta yang pasti akan menambahnya menjadi semakin bingung. Namun sejalan dengan itu, ia menyadari bahwa salah paham pada diri raksasa itu pun jadi semakin dalam. Agaknya Wrahasta benar-benar menaruh harapan kepadanya.
“O,” Pandan Wangi berdesah di dalam hatinya,
“aku benar-benar di hadapkan pada keadaan yang tidak aku kehendaki.”
Ketika kemudian Pandan Wangi duduk bersama-sama dengan Kerti dan kedua kawannya, ia seolah-olah menjadi beku. Kepalanya tertunduk dan wajahnya menjadi terlampau suram.
“Pandan Wangi,” berkata Kerti kemudian,
“sebaiknya kau memang harus beristirahat, Ngger. Mungkin kau terlampau ditegangkan oleh keadaan. Seandainya ada sesuatu yang penting, biarlah aku mengetuk pintu bilikmu. Meskipun kau pasti tidak akan dapat tidur, tetapi setidak-tidaknya kau akan mendapat kesegaran baru setelah kau berbaring beberapa saat.”
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Sejenak ia berpikir. Dan sejenak kemudian ia berkata,
“Baiklah Paman. Aku akan beristirahat sebentar. Mungkin aku akan mendapat sedikit ketenangan. Tetapi mungkin pula aku justru menjadi semakin tegang.” Pandan Wangi berhenti sejenak, lalu, “Sebentar lagi aku memerlukan laporan keadaan, di dalam dan di luar halaman ini.”
Maka sejenak kemudian Pandan Wangi, telah berada di dalam biliknya. Dibaringkannya dirinya di pembaringannya untuk mencoba beristirahat. Sekali-sekali dipejamkannya matanya, namun ia tidak berhasil untuk sekejap saja melupakan persoalan yang kini sedang membelit tanah perdikannya, ayahnya, dan dirinya sendiri.
“Hem,” Pandan Wangi berdesah. Kepalanya terasa pening. Sekali-sekali angan-angannya terbang ke Pucang Kembar. Ia sama sekali tidak dapat membayangkan apa yang telah terjadi. Tetapi satu hal yang sangat mengganggunya, adalah bahwa ia sama sekali tidak dapat mempercayai Ki Tambak Wedi.
Ketika ia melihat sikapnya, pada saat ia dicegat oleh enam orang yang tidak dikenal, maka tumbuhlah berbagai pertanyaan di dalam dirinya. Apalagi setelah ia merenungkan semua ceritera ayahnya, sikapnya dan kata-katanya, ia mendapat kesimpulan, bahwa Ki Tambak Wedi kini tidak dapat lagi dipercaya.
“Mungkin aku terlampau berprasangka,” gumamnya di dalam hati,
“tetapi aku tidak dapat mengingkari kata hati ini. Mungkin aku sekedar dicemaskan oleh nasib ayahku kini.”
Pandan Wangi menggigit bibimya. Dicobanya mencari jalan agar ia dapat pergi ke Pucang Kembar. Tetapi ia sadar, bahwa apabila ayahnya mengetahuinya, maka akibatnya akan dapat membahayakan sekali.
“Aku akan minta Paman Kerti pergi untuk melihat-lihat apa yang kini terjadi di bawah Pucang Kembar.” desisnya. Namun kemudian,
“Tetapi Wrahasta membuat aku menjadi ngeri. Paman Kerti harus tetap berada di sini.”

Pandan Wangi menjadi semakin bingung. Ia tidak berani memberi perintah langsung kepada seseorang atau siapa  pun untuk pergi ke Pucang Kembar. Tidak seorang  pun akan sanggup berangkat karena mereka takut kepada ayahnya. Ayahnya telah berpesan, tidak seorang  pun boleh melihat apa yang telah terjadi. Ia tidak mau menodai namanya sendiri. Satu atau dua orang yang melihat perkelahian itu, akan dapat menumbuhkan kesan yang kurang baik pada Ki Argapati, seolah-olah Ki Argapati telah membawa satu atau dua orang pengawal. Karena itu, juga mustahil baginya untuk memerintahkan seseorang atau dua orang untuk pergi. Dengan demikian, maka justru ketegangan dan kegelisahan semakin mengamuk di dalam dirinya. Sehingga dadanya serasa berguncang-guncang dan jantungnya serasa akan meledak. Tetapi tiba-tiba Pandan Wangi itu meloncat berdiri. Ia menemukan suatu cara untuk melaksanakan maksudnya. Perlahan-lahan ia melangkah keluar. Dan perlahan-lahan ia memanggil Kerti yang masih duduk di pringgitan.
“Paman, Paman Kerti.”
Kerti yang sedang terkantuk-kantuk terperanjat. Dengan tergesa-gesa ia berdiri dan bersama kedua kawannya mendekati Pandan Wangi,
“Ada apa Ngger?”
“Paman, kenapa aku tidak boleh keluar dari halaman rumah ini untuk pergi ke Pucang Kembar?”
“Jangan Ngger. Kau mempunyai tugas di sini. Tugas yang tidak dapat kau tinggalkan. Lebih daripada itu, kehadiranmu akan mengganggu ayahmu. Menurut penilaianku, Ki Tambak Wedi dan ayahmu memiliki kelebihannya masing-masing. Sekejap saja ayahmu lengah, atau perhatiannya terganggu, maka akibatnya akan berbahaya sekali baginya.”
“Tetapi bagaimanakah kalau Ki Tambak Wedi curang.”
“Apakah kira-kira bentuk kecurangannya itu?”
“Ia telah memanggil beberapa orang tidak dikenal ke dalam tanah perdikan ini. Apakah tidak mungkin bahwa ia membawa beberapa orang bersamanya dan beramai-ramai berkelahi bersamanya melawan Ayah di bawah Pucang Kembar.”
Kerti menarik nafas dalam-dalam. Kemungkinan itu memang dapat terjadi. Sidanti telah melakukan apa saja tanpa mengenal tanggung jawab untuk mencapai maksudnya. Di antaranya orang-orang yang tidak dikenal itu. Maka tidak mustahil apabila Ki Tambak Wedi mempergunakan cara yang sama. Tetapi tiba-tiba orang tua itu menggelengkan kepalanya,
“Tidak seorang  pun yang berani melanggar perintah Ki Gede Menoreh.”
“Aku akan pergi, Paman. Aku tidak akan menampakkan diriku. Aku akan bersembunyi. Hanya apabila keadaan memaksa aku akan membantu Ayah.”
“Tidak Ngger, tidak.”
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Lalu katanya, “Bagaimana apabila aku memaksa?”
“Jangan Ngger. Mungkin Angger akan berhasil. Tidak seorang  pun yang dapat menahan Angger di sini, meskipun kami mempergunakan segala wewenang yang diberikan oleh Ki Gede Menoreh, sebab tidak seorang  pun di sini yang mampu menahanmu, apalagi apabila Angger mempergunakan kekerasan. Namun demikian, aku minta jangan kau lakukan, Ngger. Untuk kepentinganmu dan kepentingan Ki Gede sendiri.”
Pandan Wangi tidak menyahut. Kerut di keningnya menjadi semakin dalam. Tiba-tiba saja ia berbalik dan dengan tergesa-gesa masuk ke dalam biliknya. Sebelum Kerti sempat bertanya sesuatu kepadanya, maka pintu bilik itu telah tertutup.
Kerti mengangkat bahunya. Dipandanginya kedua temannya dengan penuh kecemasan. Tetapi kedua kawannya itu pun menggelengkan kepalanya. Mereka  pun tidak tahu, apakah yang sepantasnya dilakukan.

Perlahan-lahan Kerti meninggalkan pintu bilik Pandan Wangi kembali ke pringgitan. Dengan penuh persoalan di dalam dirinya, ia merenung sambil menundukkan kepalanya. Namun kecemasan Pandan Wangi itu beralasan. Mungkin Ki Tambak Wedi berbuat curang. Mungkin, mungkin sekali. Memang tidak ada salahnya apabila seseorang atau dua orang pergi menengoknya. Tentu saja sambil bersembunyi-sembunyi, agar Ki Argapati tidak mengetahuinya. Apabila Ki Tambak Wedi tidak berbuat curang, maka orang-orang itu tidak boleh menampakkan dirinya. Tetapi seperti orang disengat lebah. Kerti terlonjak berdiri dan langsung berlari ke bilik Pandan Wangi. Tanpa mengetuk pintu bilik itu langsung dibukanya, untuk melihat apakah Pandan Wangi masih ada di dalamnya. Terasa dada Kerti akan meledak ketika ia tidak melihat Pandan Wangi di dalam biliknya. Dilihatnya setiap sudut, setiap lekuk dan bahkan di sisi gelodog bambu. Namun Pandan Wangi benar-benar tidak ada lagi di dalam bilik itu. Dengan tergesa-gesa Kerti meloncat keluar. Di depan bilik itu, hampir ia berbenturan dengan kedua kawannya yang menyusulnya.
“Pandan Wangi tidak berada di biliknya,” desis orang tua itu.
“Apakah ia pergi?”
“Mungkin sekali. Lihatlah pintu belakang. Apakah pintu itu terbuka. Tetapi jangan membuat gaduh. Lakukanlah seolah tidak terjadi sesuatu.”
Kedua kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan mereka melangkah ke ruang dalam. Dilihatnya pintu belakang yang langsung menuju ke serambi yang berhadapan dengan dapur masih tertutup rapat.
“Salarak pintu itu masih di tempatnya.” desis yang seorang.
Yang lain menganggukkan kepalanya. Jawabnya,
“Mungkin ia masih berada di dalam biliknya atau di dalam rumah ini.”
“Mungkin di bilik Ki Argapati.”
Keduanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian mereka melangkah kembali. Mereka ingin melihat ke dalam bilik Ki Argapati. Mungkin Pandan Wangi ada di sana. Tetapi sekali lagi mereka hampir berbenturan dengan Kerti yang baru saja melangkahi pintu bilik Ki Gede dari dalam.
“Kosong,” desis Kerti.
Kedua kawannya mengerutkan keningnya. Namun seperti orang tersadar dari mimpinya, Kerti berkata,
“Lihat pintu butulan samping.”
Ketiganya segera pergi ke pintu butulan. Pintu itu pun masih tertutup rapat. Tetapi ketika Kerti merabanya, pintu itu bergerak setebal jari.
“Pintu ini sudah tidak terkancing.”
Kawannya meninting selarak pintu sambil berkata,
“Inilah selaraknya.”
“Hem,” Kerti menarik nafas dalam-dalam.
“Aku terlampau bodoh. Seharusnya sejak aku mendengar maksudnya untuk pergi ke Pucang Kembar, aku sudah dapat menduga, bahwa anak yang keras hati itu akan lari seperti yang pernah dilakukan. Ia pernah lari untuk menemui kakaknya. Padahal waktu itu Ki Argapati ada di rumah. Apalagi kini. Tidak seorang  pun yang ditakutinya di dalam rumah ini. Bodoh sekali. Bodoh sekali. Aku menyadarinya setelah aku terlambat.”
“Itukah sebabnya kau terloncat dari tempat dudukmu?”
“Ya, itulah. Tetapi sudah terlambat.”
Kedua kawannya saling berpandangan. Tetapi mereka tidak mengerti apa yang sebaiknya mereka lakukan. Karena itu maka mereka  pun kemudian terdiam sambil memandangi wajah Kerti yang pucat.
“Oh. Kalau Pandan Wangi benar sampai ke Pucang Kembar, dan Ki Argapati mengetahuinya, alangkah besar akibatnya. Meskipun gadis itu menyadarinya juga, namun perasaannya yang melonjak-lonjak akan sangat sulit untuk dikendalikannya. Darah muda yang mengalir di dalam dirinya, justru darah Argapati yang keras hati, akan membuatnya kehilangan pengamatan diri.”
“Lalu apakah yang sebaiknya kami kerjakan?” bertanya salah seorang kawannya.
Kerti termenung sejenak. Namun kemudian ia berkata,
“Marilah kita lihat dahulu, mungkin ia masih berada di halaman.”
Kedua kawannya mengangguk-anggukkan kepala mereka. Salah seorang dari mereka berkata,
“Memang mustahil untuk keluar dari halaman rumah ini.”

Ketiganya  pun kemudian berjalan keluar. Mereka mencoba untuk tidak terpengaruh oleh hilangnya Pandan Wangi. Mereka berjalan seperti tidak terjadi sesuatu. Di luar pendapa mereka  pun segera berpencar. Tanpa berkata apa pun, mereka mencari ke arah yang berbeda-beda. Wrahasta yang duduk di gardu, di regol halaman melihat ketiga orang itu turun. Sejenak ia mengikuti dengan pandangan matanya yang tajam. Memang tumbuh pula pertanyaan di dalam dirinya, kenapa mereka kemudian pergi berpencaran. Namun karena sikap ketiga orang itu sama sekali tidak mencurigakannya, maka ia pun kemudian tidak mempedulikannya lagi. Tetapi tiba-tiba teringat olehnya, Pandan Wangi, yang tidak pernah dapat dijumpainya sendirian. Setiap kali Kerti selalu ada bersamanya. Karena itu, kepergian Kerti bersama kedua kawannya itu akan merupakan kesempatan baginya untuk bertemu dengan Pandan Wangi tanpa diganggu oleh siapa pun. Wrahasta menarik nafas dalam-dalam. Sejenak ia menjadi ragu-ragu. Apakah ia akan mempergunakan kesempatan itu? Namun agaknya hasratnya yang tidak tertahankan lagi untuk mendapat penjelasan dari Pandan Wangi telah mendesaknya. Sehingga karena itu, maka perlahan-lahan ia berdiri. Sesaat ia berdiri mematung di tempatnya. Kerti dan kedua kawannya tidak dilihatnya lagi, hilang di dalam bayang-bayang pepohonan.
“Aku akan masuk,”“ katanya di dalam hati, “banyak alasan yang dapat aku berikan, kenapa aku masuk.”
Wrahasta itu pun kemudian membulatkan maksudnya. Kepada para penjaga di gardu ia berkata,
“Aku akan menghadap Pandan Wangi. Ia setiap kali harus mendengar perkembangan keadaan.”
Kawan-kawannya tidak berprasangka apa pun. Tetapi salah seorang berkata,
“Tidak ada perkembangan apa-apa.”
“Itulah yang akan aku katakan, bahwa sampai saat ini tidak ada perkembangan apa pun, supaya ia tidak bertambah gelisah.”
Wrahasta itu pun kemudian melangkah perlahan-lahan ke pendapa. Ia masih melihat beberapa orang duduk-duduk sambil berbicara perlahan-lahan. Tetapi tidak seorang  pun dari mereka yang menaruh perhatian terhadap sikapnya.
Perlahan-lahan Wrahasta melintasi pendapa, membuka pintu pringgitan dan masuk ke dalamnya. Kemudian menutup pintu itu kembali. Namun di pringgitan itu sama sekali tidak dijumpainya seseorang. Pandan Wangi tidak ada di pringgitan.
“Hem,” ia berdesah, “aku harus bertemu sekarang. Tetapi di mana anak itu?”
Sejenak Wrahasta menjadi bimbang. Bahkan hampir-hampir ia melangkah keluar. Tetapi sekali lagi hasratnya untuk berbicara dengan Pandan Wangi mendesaknya lagi.
“Anak ini pasti tertidur,” densisnya perlahan-lahan sekali, “karena itulah, maka Kerti meninggalkannya.”
Wrahasta menarik nafas dalam-dalam. Ia benar-benar berada di dalam kebimbangan. Namun dalam pada itu di luar sadarnya ia melangkah ke pintu bilik Pandan Wangi yang separo tertutup.
Keragu-raguan semakin memuncak di dalam dadanya. Kini ia berdiri tegak di sisi pintu bilik itu dengan keringat yang membasahi tubuhnya. Bahkan terasa tubuhnya menjadi gemetar. Jauh melampaui dari saat-saat ia berdiri di hadapan seorang lawan yang betapa  pun dahsyatnya. Sekali-sekali disapunya seluruh ruangan itu dengan matanya. Kecemasan yang sangat, mencengkam dadanya. Bagaimanakah kata Kerti nanti apabila melihat sikapnya itu?
“Tetapi aku harus menemuinya,” katanya di dalam hati. “Sekarang.”
Dengan demikian, maka Wrahasta segera membulatkan tekadnya. Tetapi ia tidak mau mengejutkan Pandan Wangi. Apalagi membuat gadis itu memekik. Karena itu maka ia tidak mau langsung masuk ke dalam bilik itu. Perlahan-lahan mengetuk pintu sambil bergumam lirih,
“Wangi. Pandan Wangi.”
Namun bilik itu terlampau sepi. Sehingga Wrahasta mengulanginya,
“Pandan Wangi. Wangi.” Dan ketukan tangannya menjadi semakin keras.
Masih belum ada jawaban.

Wrahasta menarik nafas dalam-dalam. Pandan Wangi adalah seorang gadis yang menurut pendengarannya mempunyai ilmu yang cukup, meskipun ia belum pernah menyaksikannya sendiri. Karena itu, maka pendengarannya pun pasti terlatih baik, meskipun ia sedang tidur. Mustahillah apabila gadis itu masih belum mendengar panggilannya.
“Hem,” ia berdesah, “terlampau sulit untuk mengetahui perasaan yang sesungguhnya. Aku hanya dapat berharap-harap cemas. Tetapi aku tidak dapat mendengar ia berkata setegas-tegasnya, ‘Ya’.”
Akhirnya Wrahasta tidak telaten menunggu. Beberapa kali ia telah mengulangi panggilannya. Tetapi sama sekali tidak ada jawaban.
“Ia pasti sudah mendengar suaraku,” katanya di dalam hati, “aku mengharap tidak akan mengejutkannya.”
Perlahan-lahan dan sangat hati-hati Wrahasta melangkah ke pintu. Ditolaknya daun pintu lereg itu ke samping, dan dijengukkannya kepalanya. Perlahan-lahan sekali sambil berdesis,
“Maafkan aku Wangi.”
Tetapi tiba-tiba hatinya berguncang. Nafasnya terasa seakan-akan berhenti. Bilik itu ternyata kosong. Kosong sama sekali. Tidak ada seorang  pun di dalamnya. Apalagi Pandan Wangi yang sedang tidur. Jantung Wrahasta serasa akan meledak oleh kekecewaan. Bahkan hampir-hampir ia terlempar dalam kemarahan yang sangat. Tetapi kemudian orang yang bertubuh raksasa itu berusaha untuk mengendalikan dirinya.
“Salahku,” ia mencoba menghibur diri sendiri,
“bukan salah Pandan Wangi dan bukan salah Kerti. Tidak seorang  pun yang mengatakan kepadaku, bahwa Pandan Wangi sedang tidur di dalam biliknya. Tetapi dengan demikian di manakah anak itu sekarang? Apakah ia sedang berada di dapur, atau di pakiwan, atau di mana?”
Kegelisahan yang tajam telah tergores di dinding hatinya. Bahkan ia menjadi cemas tanpa disadari sebab-sebabnya.
“Ke manakah Kerti dan kedua kawannya itu?” baru kinilah tumbuh kecurigaan di hatinya. Karena itu, maka tergesa-gesa ia melangkah keluar dari ruangan itu, melintasi pendapa dan kemudian turun ke halaman. Kini ia berusaha untuk menemukannya Kerti dan bertanya tentang Pandan Wangi.
Tidak terlampau sulit untuk mencari Kerti di halaman itu. Kerti sedang berdiri di sisi regol butulan. Meskipun Kerti tidak bertanya sesuatu, tetapi apabila orang-orang di regol butulan itu melihat seseorang keluar, lewat regol atau meloncat dinding, mereka pasti akan mengantarkannya. Tetapi ternyata orang-orang di regol halaman belakang itu tidak mengatakan sesuatu.
“Paman Kerti,” Wrahasta tidak dapat menahan dirinya lagi, “aku memerlukanmu sekarang.”
Kerti mengerutkan keningnya. Ia menjadi berdebar-debar melihat sikap Wrahasta. Apakah mungkin Wrahasta yang melepaskan Pandan Wangi keluar regol halaman?
“Cepatlah sedikit,” desak Wrahasta.
Kerti tidak menyahut. Tetapi segera diikutinya Wrahasta ke tempat yang agak terlindung.
“Apakah kau melihat Pandan Wangi?” bertanya Wrahasta langsung.
Kerti yang tua itu memandang wajah Wrahasta tajam-tajam, seolah-olah langsung ingin melihat ke dalam pusat dadanya. Sejenak kemudian perlahan-lahan ia bertanya,
“Kenapa kau bertanya tentang Pandan Wangi?”
“Jangan mempersulit. Katakan di mana Pandan Wangi sekarang.”
“Jangan mendesak seperti itu, Wrahasta. Tetapi dengan demikian aku tahu bahwa kau telah mencarinya di dalam rumah dan kau tidak menemukannya. Bukankah begitu?”
Dada Wrahasta berdesir. Tetapi ia tidak sempat membuat pertimbangan-pertimbangan. Sambil menganggukkan kepalanya ia menjawab, “Ya. Aku telah mencarinya.”
“Pada saat kau melihat aku dan kedua kawan-kawanku keluar dari rumah itu?”
“Ya.”
“Kenapa? Kenapa kau mempergunakan waktu itu untuk bertemu dengan Pandan Wangi? Justru pada saat aku pergi keluar?”
Wrahasta tidak dapat segera menjawab pertanyaan itu. Dengan demikian sejenak ia terdiam. Namun sejenak kemudian ia menjawab,
“Kalau kau akan mempersoalkan hal itu, baiklah kita persoalkan kelak. Tetapi di mana Pandan Wangi sekarang?”
Kerti menarik nafas dalam-dalam. Maka dijawabnya dengan nada datar, yang meskipun perlahan-lahan, tetapi benar-benar telah menggoncangkan dada Wrahasta,
“Pandan Wangi ternyata tidak ada di dalam rumah itu. Itulah sebabnya aku sekarang sedang mencarinya di halaman rumah ini.”

Sejenak Wrahasta membeku di tempatnya. Namun gemuruh di dadanya serasa akan memecahkan jantungnya. Bahkan serasa ia tidak yakin akan pendengarannya. Apakah benar Kerti berkata demikian? Bahwa Pandan Wangi tidak ada di dalam rumah? Karena Wrahasta tidak segera berkata sesuatu, maka terdengar suara Kerti seolah-olah bergumam saja di dalam mulutnya,
“Ia masuk ke dalam biliknya. Aku sangka ia ingin beristirahat atau apabila mungkin tidur. Tetapi ternyata ia lenyap seperti ditelan hantu. Tetapi menurut dugaanku, amatlah sulit untuk keluar dari halaman ini tanpa dilihat oleh seseorang.”
Terdengar Wrahasta menggeram. Kemudian jawabnya patah-patah,
“Ya. Memang tidak mungkin keluar dari halaman rumah ini.”
“Marilah kita mencoba mencarinya. Tetapi tidak usah membuat gaduh. Biarlah mereka yang tidak tahu tidak menjadi ikut gelisah karenanya.”
Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya. “Marilah,” desisnya.
Kerti dan Wrahasta kemudian meninggalkan tempat itu ke arah yang berbeda-beda, seperti kedua kawan Kerti yang lain. Mereka menyusup ke segenap sudut dan tempat-tempat yang terlindung. Bahkan kandang kuda  pun mereka lihat pula, kalau-kalau Pandan Wangi baru sekedar bersembunyi sebelum mendapat kesempatan pergi.
Tetapi belum juga salah seorang dari mereka berhasil menemukan Pandan Wangi, sehingga mereka menjadi gelisah. Kerti yang kemudian berjalan di sepanjang dinding halaman, akhirnya menemukan juga tempat-tempat yang menurut penilaiannya cukup lemah. Satu dua penjaga ternyata duduk sambil terkantuk-kantuk.
“Apakah mungkin Pandan Wangi meloncat dinding halaman ini?” pertanyaan itu selalu mengganggunya.
Namun akhirnya Kerti berkesimpulan, bahwa hal itu memang mungkin sekali dilakukan. Pandan Wangi bukan seorang gadis biasa. Bahkan ia berada di atas semua laki-laki di tanah perdikan itu dalam olah kanuragan, sehingga sangat mungkin baginya untuk mengelabuhi satu dua orang pengawas yang berjaga-jaga di seputar rumahnya. Beberapa saat kemudian, Kerti, kedua kawannya, dan Wrahasta telah berkumpul di dalam pringgitan. Tampaklah wajah-wajah mereka menjadi tegang dan nafas mereka seakan-akan berkejaran lewat lubang hidung mereka karena kegelisahan.
“Kita ternyata tidak dapat menemukannya,” gumam Kerti seolah-olah kepada diri sendiri.
“Ya,” sahut Wrahasta, “anak itu seolah-olah hilang ditelan hantu.”
“Aku mencemaskannya apabila ia pergi ke Pucang Kembar,” berkata Kerti kemudian.
“Apakah ia bermaksud demikian?” bertanya Wrahasta.
“Ia selalu menyatakan keinginannya itu.”
“Kalau begitu, aku akan menyusulnya.”
“Jangan berbuat bodoh. Pikirkan lebih dahulu setiap tindakan,” sahut Kerti,
“apakah sudah sepantasnya kau meninggalkan tanggung jawabmu atas halaman dan rumah ini.”
“Pandan Wangi termasuk sebagian, bahkan yang terbesar dari tanggung jawabku. Karena itu, sudah seharusnya aku mencarinya sampai ketemu.”
Kerti yang tua itu menggelengkan kepalanya. Katanya,
“Jangan Wrahasta. Kau bertanggung jawab atas halaman ini seisinya. Kalau halaman ini kau tinggalkan dan malam ini juga Sidanti memasuki rumah ini, maka kesalahan terbesar terletak di bahumu. Sedang Pandan Wangi, serahkanlah ia kepadaku. Aku akan mencarinya dan membawanya kembali ke dalam rumah ini.”

Sejenak Wrahasta menahan nafasnya. Wajahnya menjadi semakin tegang. Ia mengerti maksud Kerti, tetapi perasaannya seolah-olah tidak dapat lagi dikekangnya. Ia menjadi terlampau cemas atas nasib Pandan Wangi.
“Jangan kau terlampau menuruti perasaanmu anak muda,” berkata Kerti kemudian,
“aku tidak akan mencampuri persoalanmu, persoalan anak-anak muda. Tetapi kau harus dapat memisahkan kepentingan yang satu dengan yang lain. Persoalan yang menyangkut tanah perdikan ini dan persoalan pribadimu.”
“Oh,” Wrahasta berdesah, “darimana kau tahu, Paman?”
“Aku adalah orang tua. Aku dapat menangkap getar dalam dada anak-anak muda. Karena itu, dengarlah nasehatku. Kau tinggal di sini. Aku akan pergi. Aku tahu apa yang harus aku kerjakan. Aku akan pergi ke Pucang Kembar, tanpa mengganggu perang tanding itu. Sebab apabila Ki Gede Menoreh mengetahui kehadiranku, atau salah seorang dari kita, maka alangkah marahnya. Kalau aku terlambat, dan Pandan Wangi telah ada di sana pula, maka aku  pun akan menerima akibat yang sama. Bahkan kehadiran Pandan Wangi apabila diketahui oleh ayahnya benar-benar merupakan bahaya yang pasti bagi Ki Gede.”
Wrahasta tidak segera menjawab. Perlahan-lahan kepalanya menunduk.
“Tinggallah kau di sini anak muda,” berkata Kerti kemudian,
“kedua kawanku ini pun akan tinggal di sini pula. Setiap saat Sidanti dan Argajaya akan merayap memasuki induk tanah perdikan ini. Adalah menjadi kewajibanmu untuk bertahan di sini.”
Wrahasta masih belum menjawab. Kepalanya kini benar-benar telah tertunduk dalam-dalam. Tampaklah ia sedang berpikir. Dicobanya untuk mengatasi gelora perasaannya, dan menempatkannya pada keadaan yang wajar. Wajar bagi seorang pemimpin pasukan pengawal yang mendapat perintah untuk bertanggung jawab atas halaman dan rumah ini.
“Apakah kau mengerti maksudku?” bertanya Kerti.
Perlahan-lahan Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya,
“Ya, aku mengerti. Tetapi apakah kau akan pergi seorang diri?”
“Aku akan singgah ke banjar. Aku akan menemui Samekta. Mungkin aku akan mendapat kawan yang baik dari banjar. Sebab kita sadar, siapakah yang kini sedang berada dan berperang tanding di bawah Pucang Kembar itu.”
Wrahasta mengangguk pula,
“Baiklah. Aku akan tinggal di sini. Mudah-mudahan kau berhasil menemukan dan membawa anak itu kembali ke rumah ini.”
“Aku akan berusaha,” sahut Kerti,
“nah, baiklah aku segera berangkat. Aku akan membawa kuda, supaya aku datang lebih cepat dari Pandan Wangi.”
Sesaat kemudian seekor kuda berderap lari meninggalkan halaman rumah Pandan Wangi. Suaranya gemeretak di atas jalan berbatu-batu, memecah sepinya malam. Semakin lama semakin jauh dan beberapa saat kemudian hilang dari pendengaran. Wrahasta masih berdiri di regol halaman. Debar jantungnya masih terasa menghentak-hentak di dadanya. Ia telah dicengkam oleh kecemasan tentang hilangnya Pandan Wangi. Cemas bahwa ia untuk seterusnya tidak akan dapat mengharapkannya, dan cemas atas tanggung jawab yang di bebankan kepadanya. Tetapi Wrahasta mencoba untuk menumpahkan segala harapannya kepada Kerti. Ia kenal orang tua itu. Ia tahu kemampuan yang tersimpan di dalam diri pemomong Pandan Wangi itu. Karena itu maka ia masih belum berputus asa.
Sementara itu Kerti memacu kudanya menyusup dalam keremangan malam. Sekali-sekali ditengadahkan wajahnya. Dilihatnya bulan yang bulat semakin meninggi. Seperti Pandan Wangi, terbayang di dalam angan-angannya, sebuah perkelahian antara hidup dan mati yang dahsyat telah terjadi di Pucang Kembar. Perkelahian antara dua orang yang pilih tanding.
“Hem,” orang tua itu menarik nafas dalam-dalam, seolah-olah ingin menghirup kesejukan malam sebanyak-banyaknya.
“Pandan Wangi benar-benar anak yang keras hati. Mudah-mudahan aku tidak terlambat.”
Kerti  pun mencoba memacu kudanya semakin cepat, supaya ia dapat mendahului Pandan Wangi. Kalau kedatangan Pandan Wangi itu diketahui oleh ayahnya, maka rusaklah perang tanding itu.
Ketika Kerti sampai di muka halaman banjar, maka segera ia menarik kekang kudanya. Seorang penjaga regol mendekatinya dengan tombak menunduk,
“Siapa?”
“Aku, Kerti. Apakah Samekta ada di dalam banjar?”
“O, kau Kiai, masuklah.”

Kerti segera memasuki halaman. Setelah kudanya diikatkannya pada sebatang kayu, maka dengan tergesa-gesa ia menemui Samekta yang duduk dengan beberapa orang pemimpin pengawal di pendapa.
“He, kau sendiri datang kemari?” bertanya Samekta.
Kerti mengangguk, “Ya,” jawabnya pendek.
“Kau nampak terlalu bersungguh-sungguh. Aku menjadi berdebar-debar.”
“Memang seharusnya kau menjadi berdebar-debar,” jawab Kerti yang masih juga sempat bergurau,
“aku memang ingin melihat kau menjadi tegang, berdebar-debar dan cemas, supaya aku tidak dicengkam perasaan demikian seorang diri.”
“O, jadi kau memerlukan kawan dalam kebingungan? Baiklah. Aku akan menjadi tegang, berdebar-debar dan cemas. Tetapi aku harus tahu apakah sebabnya, maka kau menjadi demikian.”
“Dengarlah baik-baik. Berpeganganlah pada tiang, supaya kau tidak terjatuh dan pingsan.”
“Katakanlah. Aku sudah terlanjur cemas. Dadaku sudah berdebar-debar dan darahku serasa semakin cepat mengalir.”
“Baiklah,” jawab Kerti yang wajahnya kini menjadi bersungguh-sungguh,
“Pandan Wangi ternyata tidak berada di rumahnya.”
“He,” Samekta tergeser secengkang, “kau berkata sebenarnya?”
“Hal ini benar-benar telah terjadi.”
Sejenak Samekta tidak dapat mengucapkan sepatah kata pun. Ditatapnya saja wajah Kerti, seakan-akan ingin melihat apa yang tersembunyi di balik wajah yang sudah mulai dilukai oleh kerut-merut itu.
“Apakah kau kurang percaya?”
Samekta tidak segera menjawab. Tetapi sejenak kemudiaa ia menggeleng,
“Bukan. Bukan karena aku tidak percaya. Hal itu memang mungkin sekali terjadi. Apabila benar demikian, maka anak itu sudah lari untuk kedua kalinya dari rumahnya. Tetapi apakah kalian lengah mengawasinya.”
“Sudah tentu. Kalau tidak, ia tidak akan dapat keluar dari halaman.”
Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. Gumamnya,
“Memang tidak perlu untuk mencari siapakah yang bersalah. Tetapi apakah kau dapat menduga, ke mana perginya? Yang terpenting sekarang adalah menemukannya, bukan mempersoalkan siapakah yang bertanggung jawab atas hilangnya itu.”
“Bagus. Ternyata pikiranmu masih cukup sehat,” sahut Kerti, yang kemudian menceriterakan apa yang dilihat dan didengarnya di dalam rumah Ki Argapati. Bagaimana sikap dan keinginan Pandan Wangi, sehingga pada suatu saat ia menemukan bilik itu kosong.
“Kalau begitu kita harus cepat pergi,” berkata Samekta, “tetapi apakah aku dapat meninggalkan banjar ini?”
“Bukan kau sendiri. Tetapi kau dapat menunjuk seseorang yang paling kau percaya untuk menemaniku.”
“Kau akan pergi?”
“Ya. Pekerjaan ini bukan pekerjaan sambilan. Aku harus menemukannya. Sedang kita tahu, di bawah Pucang Kembar itu kini sedang terjadi benturan yang dahsyat antara dua orang rakrasa yang perkasa.”
Samekta mengerutkan keningnya sambil mengangguk-angguk. Ia menyadari keadaan sepenuhnya. Karena itu maka dipilihnyalah dua orang pemimpin pengawal yang paling kuat di antara sekian banyak kawan-kawannya untuk pergi ke Pucang Kembar.
“Usahakan, supaya Ki Argapati tidak tahu apa yang terjadi. Kau harus menemukan Pandan Wangi sebelum Pandan Wangi berhasil mendekat. Kalau kau mempergunakan kuda, maka kau pasti akan jauh lebih cepat daripadanya, sehingga kau dapat mencegatnya sebelum ia naik ke tebing itu.”
“Ya. Aku akan berangkat sekarang.”
“Pergilah.”
Kerti  pun segera pergi bersama dua orang pemimpin pengawal yang terpilih. Mereka segera memacu kuda-kuda mereka seperti angin. Setiap kali mereka harus memperlambat derap kaki-kaki kuda itu di depan gardu-gardu peronda, untuk menjawab berbagal pertanyaan yang hampir bersamaan satu dengan lainnya. Namun betapa mereka menjadi jemu, mereka harus menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Maka semakin lama ketiga orang itu menjadi semakin dekat dengan Pucang Kembar. Tetapi mereka masih belum menemukan atau melampaui Pandan Wangi, sehingga Kerti semakin lama menjadi semakin gelisah karenanya.
“Derap kuda kita agaknya telah mendorong Pandan Wangi untuk bersembunyi,” berkata Kerti perlahan-lahan.
“Ya. Beberapa puluh langkah di muka, suara derap kuda ini sudah terdengar. Mungkin sebentar lagi, semakin kita maju, maka Ki Argapati di bawah Pucang Kembar pun akan mendengarnya pula,” sahut salah seorang temannya.
Kerti mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambil memperlambat lari kudanya ia berkata,
“Jangan terlampau cepat, supaya derap kaki-kaki kuda kita tidak terlampau keras.”

Ketiganya kemudian meneruskan perjalanan mereka dengan langkah-langkah yang lebih lamban. Kuda-kuda mereka berlari perlahan-lahan, sehingga sentuhan kaki-kaki kuda itu di atas tanah berbatu padas tidak menimbulkan suara terlampau keras.
“Kita sudah terlampau dekat,” berkata Kerti beberapa saat kemudian.
“lebih baik kita turun. Kita sembunyikan kuda kita, lalu kita mendekat dengan berjalan kaki. Kalau kita terlampau dekat, maka apabila kuda-kuda itu meringkik, rusaklah segala acara.”
Kawan-kawannya menyetujuinya, sehingga mereka bertiga pun meneruskan perjalanan itu sambil berjalan kaki. Hati-hati dan dengan penuh kewaspadaan. Tangan-tangan mereka seolah-olah tidak terpisah lagi dari hulu pedang mereka. Sedang kawan Kerti yang seorang, yang bertubuh kecil, mempunyai beberapa bilah pisau di ikat pinggangnya yang lebar, selebar telapak tangan. Tangannya yang pendek itu terlampau cepat melepaskan pisau-pisaunya, dengan bidikan yang tepat. Ia hampir tidak pernah gagal mengenai sasarannya. Apalagi sasaran yang diam, sedang sasaran bergerak  pun hampir pasti dapat dikuasainya.
Semakin dekat mereka dengan Pucang Kembar, mereka menjadi semakin berhati-hati. Mereka berjalan di antara semak-semak yang rimbun. Kemudian membungkuk-bungkuk dan berlari-lari kecil dari satu gerumbul kegerumbul yang lain. Namun mereka sama sekali tidak menemukan Pandan Wangi. Mereka sama sekali tidak melihat tanda-tanda apa pun tentang gadis itu. Sehingga dengan demikian, maka Kerti  pun menjadi semakin berdebar-debar. Keringat dingin telah mengalir di segenap wajah kulitnya. Bajunya menjadi basah, dan di keningnya mengembun beberapa titik keringat. Beberapa langkah lagi mereka menjadi semakin dekat. Dengan dada berdebar-debar mereka menjengukkan kepala mereka dari balik gerumbul-gerumbul yang rimbun. Terasalah desir yang tajam di dalam dada mereka, ketika remang-remang di kejauhan mereka melihat dua bayangan seperti endog pangamun-amun, bergetar di dalam keremangan cahaya rembulan yang bulat. Sesaat mereka saling berpandangan. Meskipun tidak sepatah kata  pun yang terucapkan, namun seolah-olah mereka saling dapat menangkap isi hati masing-masing. Kerti dan kedua orang kawannya adalah orang-orang yang memiliki pengalaman yang cukup sebagai pengawal-pengawal tanah perdikan. Namun mereka seperti kanak-kanak yang baru pertama kalinya melihat seekor kuda berpacu. Mereka melihat bayangan yang seakan-akan melayang-layang itu dengan mulut ternganga. Alangkah dahsyatnya.
Namun sejenak kemudian, Kerti menyadari keadaannya. Dengan berbisik perlahan sekali ia berkata,
“Kita tidak melihat Pandan Wangi di sini.”
“Mungkin ia berada di depan kita, semakin dekat dengan perkelahian itu.”
“Mungkin. Tetapi dengan demikian, sangat berbahaya baginya dan bagi Ki Argapati. Kalau kakinya menyentuh daun-daun kering itu, maka gemersik suaranya akan didengar oleh kedua orang yang luar biasa itu. Nah, kau pasti akan tahu akibatnya.”
Kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab. Sedang Kerti berbisik pula,
“Tetapi mungkin Pandan Wangi belum sampai ke tempat ini.”
“Baiklah kita menunggu saja di sini. Tempat ini cukup jauh, meskipun lamat-lamat kita melihat bayangan mereka yang berkelahi,” sahut kawannya.
Kerti mengangguk sambil berdesis,
“Kita sulit membedakan keduanya selain dari bentuk senjata mereka. Yang bertombak itu pasti Ki Argapati, sedang yang bersenjata lebih pendek itu adalah Ki Tambak Wedi.”
Demikianlah, maka mereka bertiga tetap berada di tempat itu, di balik sebuah gerumbul yang rimbun. Dengan sepenuh hati mereka mengikuti perkelahian antara kedua orang yang pilih tanding. Perkelahian yang te!ah sampai pada pucaknya dengan bertaruh nyawa. Seolah-olah mereka sedang melanjutkan perkelahian yang pernah terjadi di bawah Pucang Kembar itu pula beberapa puluh tahun yang lampau.

Sementara itu, Sidanti, dan Argajaya, sedang sibuk mengatur pasukannya. Mereka merasa, bahwa telah sampai saatnya, mereka berangkat untuk merebut induk Tanah Perdikan Menoreh.
“Kita akan memasuki padukuhaan induk itu dari Timur, Paman,” berkata Sidanti ketika pasukan mereka telah siap,
“seperti pesan guru.”
“Ya,” sahut pamannya,
“apakah pasukan yang akan memancing para pengawal itu telah siap pula.”
“Sudah. Aku sediakan sepasukan yang cukup kuat untuk bertahan beberapa lama, sementara pasukan induk kita masuk dari arah lain. Pasukan yang akan memancing perhatian itu akan datang dari arah Barat.”
“Bagus. Biarlah pasukan itu berangkat lebih dahulu.”
“Kita berangkat bersama-sama. Tetapi kita berpisah di jalan. Aku mengharap bahwa waktu yang kita perlukan tidak terpaut banyak. Kalau kita terlambat, pasukan yang datang dari Barat itu pasti sudah hancur lumat. Menurut pengamatan petugas-petugas sandi kita, pasukan pengawal Menoreh telah benar-benar dalam keadaan siaga.”
“Tetapi pasukan kita tidak berselisih banyak, Sidanti. Kekuatan kita  pun cukup besar.”
Argajaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia adalah orang yang cukup berpengalaman. Namun ia kagum melihat ketangkasan Sidanti berpikir, merencanakan serangan atas padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh. Agaknya pengetahuan Sidanti selama ia menjadi prajurit, di alasi oleh darah Paguhan yang mengalir di dalam tubuhnya, menjadikannya seorang yang cerdas.

Maka sejenak kemudian Sidanti, Argajaya, dan kedua pasukannya telah siap. Setelah Sidanti memberi beberapa penjelasan kepada kedua pasukan itu, maka mereka itu  pun segera berangkat. Pasukan yang pertama, yang sekedar memancing perlawanan pasukan-pasukan pengawal Menoren, telah diserahkan kepada seseorang yang dipercayanya, justru bukan orang Menoreh. Pasukan itu sebagian besar memang terdiri dari orang-orang yang tidak dikenal di tanan perdikan ini. Mereka terdiri dan orang-orang yang sama sekali tidak mempunyai tanggung jawab apa pun. Mereka sekedar berkelahi untuk kepentingan pribadi masing-masing. Dengan berkelahi mereka mengharap mendapatkan keuntungan-keuntungan yang jauh lebih banyak daripada apabila mereka bekerja wajar. Tetapi mereka menyadari, bahwa taruhannya adalah leher mereka.
“Merampok pun aku harus mempertaruhkan kepala,” pikir salah seorang dari mereka,
“kini aku mendapat kesempatan untuk melakukannya secara terbuka.”
“Kenapa kita dijadikan umpan di dalam gelar ini?” salah seorang dari mereka berdesis kepada kawannya.
Kawannya menggelengkan kepalanya,
“Tidak. Pasukan induk itu akan segera menarik perhatian para pengawal. Kita akan mendapat banyak kesempatan. Kalau kita masuk ke induk tanah perdikan ini bersama Sidanti dan Argajaya, maka setiap gerak kita akan diawasinya. Tetapi dari jurusan ini, kita akan bebas melakukan apa saja yang kita kehendaki.”
“Tetapi tugas ini terlampau berat. Sebelum pasukan induk itu datang, kita akan bertempur melawan kekuatan yang jauh melampaui kekuatan kita.”
“Sidanti sudah berjanji, bahwa waktu yang diperlukannya tidak terpaut banyak.”
“Bagaimana kalau ia ingkar, justru menunggu sampai kita binasa?”
“Tidak ada gunanya kita membunuh diri. Kalau menurut pertimbangan kita, pekerjaan kita terlampau berat, kenapa kita tidak lari saja dan kemudian memukul sendiri Sidanti dari arah yang lain. Kita akan mendapat hadiah dari Ki Argapati, seperti apa yang dijanjikan Sidanti. Bahkan kalau kita sempat, biarlah kedua pasukan itu saling berhantam. Kita akan mengambil apa saja yang dapat kita ambil.”
Keduanya tertawa pendek. Pekerjaan yang mereka hadapi sama sekali lidak memerlukan tanggung jawab apa pun, selain menuggu upah yang dijanjikan oleh Sidanti, dan kemungkinan-kemungkinan yang dapat dilakukan sepanjang pertempuran itu berlangsung. Demikianlah, maka kedua pasukan itu telah membelah gelap malam menyelusur jalan yang menuju ke induk Tanah Perdikan Menoreh.
Tetapi Sidanti tidak terlampau bodoh untuk menempuh jalan terdekat. Ia yakin, bahwa di sepanjang jalan terdekat itu, telah berhamburan petugas-petugas sandi dan pengawas-pengawas dari pasukan Ki Argapati. Karena itu, maka dipilihnya jalan yang lain. Jalan kecil yang agak melingkar. Namun menurut perhitungannya adalah jalan yana paling aman. Semakin lama, maka pasukan itu pun menjadi semakin dekat dengan induk tanah perdikan. Beberapa orang yang tinggal di rumah di pinggir jalan terkejut mendengar langkah kaki seperti air yang mengalir. Tidak henti-hentinya, seakan-akan tanpa ujung. Tetapi di dalam rumah itu pada umumnya sudah tidak ada lagi seorang laki-laki pun. Mereka telah menempatkan diri mereka menurut keyakinan masing-masing. Sebagian dari mereka berada di banjar Tanah Perdikan Menoreh, dan sebagian lagi turut serta dalam arus pasukan Sidanti yang menelusur jalan kecil seperti seekor ular raksasa yang sedang bergerak perlahan-lahan.

Ketika pasukan itu telah sampai di tempat yang mereka tentukan, maka pasukan ini  pun segera berhenti. Di tempat itulah pasukan akan berbagi. Sebagian akan membelok ke Barat dan akan masuk melalui padukuhan-padukuhan kecil di sebelah Barat induk tanah perdikan, dan yang lain akan menuju ke Timur, untuk seterusnya masuk ke pedukuhan induk dari arah yang berlawanan dari arah pasukan yang pertama.
“Aku percayakan pasukan ini kepadamu,” berkata Sidanti kepada pemimpin pasukan yang bertugas memancing dari arah Barat. Seorang yang datang dari seberang Kali Bogowanta, yang menamakan dirinya Ki Peda Sura. Meskipun namanya tidak begitu dikenal, namun ia adalah seorang yang berpengaruh. Ki Peda Sura adalah seorang yang mempunyai kekuatan tersendiri, karena ia datang ke tanah perdikan ini bersama beberapa orang anak buahnya, bahkan merupakan satu pasukan kecil tersendiri. Seperti orang-orang lain, maka Ki Peda Sura mendapat janji yang menyenangkan. Ia akan mendapat daerah yang subur di sisi Barat Tanah Perdikan Menoreh selama Sidanti memerintah tanah perdikan itu. Itulah sebabnya, maka ia berkeras hati untuk membantu dan memenangkan perlawanan Sidanti atas ayahnya, Ki Argapati, meskipun Ki Peda Sura telah mengenal Argapati pula.
“Selama Argapati berkuasa di Menoreh, aku tidak akan mendapat keuntungan apa-apa daripadanya,” katanya di dalam hati,
“tetapi agaknya berbeda dengan Sidanti. Aku dapat mengharap banyak daripadanya. Ia tidak akan dapat ingkar janji sebab selain aku dan orang-orangku banyak sekali orang-orang yang telah dilibatkannya dalam pertengkaran ini. Kalau ia ingkar, maka selamanya tanah ini tidak akan dapat tenteram meskipun di sini ada Ki Tambak Wedi.”
Sesaat kemudian Ki Peda Sura telah membawa pasukannya membelok ke arah Barat, menyusur sebuah pematang yang sempit. Mereka akan sampai pada sebuah jalan kecil untuk segera memasuki sebuah padesan kecil pula. Ki Peda Sura, meskipun bukan orang Menoreh, tetapi ia cukup mempunyai pengetahuan tentang daerah itu, sehingga ia menduga bahwa ia harus berhati-hati menghadapi peronda-peronda yang mungkin dipasang oleh Argapati di desa kecil itu.

Sedangkan Sidanti dan Argajaya bersama-sama berada di dalam induk pasukannya. Mereka akan memasuki induk tanah perdikannya dari arah yang berlawanan. Yang masuk ke rumah Argapati harus mendapat pengawasan sebaik-baiknya, sehingga Sidanti dan Argajaya berdua bersama-sama merasa perlu berada di induk pasukan itu.
“Rumah itu harus di selamatkan,” desis Sidanti, “isinya maupun bangunannya.”
“Ya,” sahut pamannya. “tidak boleh sehelai papan pun yang pecah pada rumah itu. Apalagi kehilangan harta milik. Orang-orang gila yang ikut dalam pasukan Peda Sura adalah perampok-perampok yang buas. Biar sajalah mereka akan dihancurkan oleh pasukan Argapati.”
“Jangan Paman. Kita masih memerlukan mereka untuk saat-saat mendatang.”
“Kalau kita sudah menduduki padukuhan induk, kita tidak lagi memerlukan mereka.”
Sidanti mengangguk-anggukkan kepalanya,
“Jadi itukah alasannya, kenapa Paman tadi sebelum berangkat berpendapat bahwa pasukan itu harus berangkat lebih dahulu?”
Argajaya tidak segera menjawab.
“Jangan sekarang Paman,” berkata Sidanti kemudian,
“seperti Guru berpesan, mereka kita manfaatkan sampai selesai.”
“Apabila kita sudah selesai, maka sulitlah bagi kita untuk menyingkirkan mereka.”
“Itu adalah tugas Guru. Tetapi aku kira tidak demikian. Kita dapat membuat persoalan sehingga mereka saling berkelahi, karena kita tahu kepentingan mereka di sini satu dengan yang lainnya berbeda, tetapi hakekatnya adalah sama. Mereka ingin merampok dan memiliki apa saja sebanyak-banyaknya.”
“Ya. Tetapi lebih lama mereka tinggal di sini, maka tanah ini akan menjadi semakin rusak.”
“Kita akan mempergunakan mereka sampai Argapati sama sekali tidak mampu lagi melawan kita. Baik Argapati sendiri apabila ia berhasil lolos dari tangan Guru, maupun orang-orangnya.”
“Tidak mungkin Sidanti. Tidak mungkin Kakang Argapati akan lolos dari tangan gurumu dan pembantu-pembantunya.”
Sidanti tidak menjawab. Tetapi timbullah pertanyaan di dalam dirinya,
“Kenapa Argajaya itu berpihak kepadaku?” Tetapi dijawabnya sendiri,
“Ah, biarlah itu diurus oleh Guru. Sudah tentu sikap itu mengandung pamrih, sebab Argapati adalah kakaknya sendiri.”

Namun terasa sesuatu berdesir di dalam dadanya. Sampai saat terakhir, saat gurunya berceritera kepadanya, ia pun menganggap bahwa Argapati itu adalah ayahnya. Bahkan sikapnya sama sekali tidak berbeda terhadapnya dan terhadap Pandan Wangi. Dan kini, tiba-tiba saja ia harus memusuhinya. Melawan orang yang selama ini dianggapnya sebagai ayahnya. Sidanti menarik nafas dalam-dalam. Ternyata pada akhirnya ia harus berpihak kepada ayahnya yang sebenarnya. Ki Tambak Wedi. Dan orang itu pun terlampau baik kepadanya selama ini. Karena itu pula agaknya Ki Tambak Wedi memanjakannya jauh melampaui seorang murid biasa. Sementara itu, pasukan Sidanti kedua-duanya menjadi semakin dekat, sehingga mereka harus berjalan lebih berhati-hati lagi. Baik Ki Peda Sura, maupun Sidanti, telah melepaskan beberapa orang yang harus berjalan mendahului pasukan-pasukan mereka yang sebenarnya. Dalam pada itu, di rumah Ki Argapati, Wrahasta menjadi terlampau gelisah. Ia berjalan hilir mudik di halaman. Kadang-kadang ia masih berusaha mencari Pandan Wangi di sudut-sudut gelap di halaman, tetapi ia sama sekali tidak menemukannya.
“Hem,” desahnya,
“anak itu memang anak yang terlampau keras hati. Tetapi ia sama sekali tidak menyadari, apakah yang sedang terjadi di dalam tanah perdikan ini. Ia tidak menyadari, betapa besarnya bahaya di sepanjang jalan dan bahaya yang menunggunya di bawah Pucang Kembar.”
Tetapi tiba-tiba Wrahasta itu terperanjat, ketika salah seorang kawan Kerti yang ditinggalkan berjalan-jalan tergesa-gesa menemuinya.
“Mengapa?” bertanya Wrahasta yang menjadi berdebar-debar karenanya.
“Wrahasta, ternyata Pandan Wangi ada di dalam rumahnya.”
“He,” Wrahasta itu hampir saja terlonjak,
“kau gila. Apakah kau ingin membuat aku semakin bingung?”
“Ikutlah aku,” jawab orang itu pendek tanpa memperhatikan kata-kata Wrahasta. Orang itu pun sama sekali tidak menunggu jawaban. Denqan tergesa-gesa ia berjalan mendahului, langsung menuju ke pringgitan. Sedang di belakangnya Wrahasta  pun berjalan mengikutinya tanpa bertanya lagi.
Ketika mereka melampaui pintu pringgitan, dada Wrahasta benar-benar berguncang.


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar