Jilid 039 Halaman 1


“AKU sudah menyebarkan perintah untuk menarik semua pasukan. Dan aku juga sudah menyiapkan pasukan berkuda yang akan mengimbangi semua gerak lawan, kalau perlu dengan melakukan kekerasan dan mengorbankan beberapa buah rumah penduduk yang kelak akan kita perhitungkan.”
Wrahasta mengerutkan keningnya. Terbayang di dalam angan-angannya seakan-akan sekelompok burung elang yang terbang dari satu dahan ke dahan yang lain. Pasukan yang demikian memang dapat mempengaruhi pertimbanggan lawan dan kadang-kadang dapat mengalihkan gerakan pasukan. Tetapi orang-orang yang berada di dalam pasukan itu harus benar-benar orang-orang terpilih. Bukan saja kemampuannya bertempur, tetapi lebih dari pada itu, adalah ketabahan hati mereka menghadapi semua keadaan, kesadaran mereka akan perjuangannya dan ketiadaan pamrih bagi diri sendiri.
“Apakah orang-orangnya sudah dipilih?” Wrahasta kemudian bertanya.
“Sebab untuk menjadi anggota pasukan itu, beberapa syarat harus dipenuhi. Apalagi apabila ada di antara mereka yang mempunyai cacad pribadi. Maka mereka pasti akan melakukan hal-hal yang merugikan nama baik pasukan Pengawal Tanah Perdikan ini.”
“Aku mengharap demikian,” sahut Samekta.
“Pada saat terakhir aku sendirilah yang akan menentukan orang-orangnya dari mereka yang telah ditunjuk.”
Wrahasta dan Kerti mengangguk-anggukkan kepala mereka. Mereka mencoba membayangkan, apakah yang akan dapat terjadi apabila dalam waktu yang singkat kedua pihak harus berbenturan lagi. Keduanya akan menjadi semakin parah. Tetapi terlebih parah lagi adalah pasukan Ki Argapati. Sudah tentu Ki Tambak Wedi akan ikut di dalam pasukan itu bersama Sidanti dan Ki Argajaya. Mungkin Ki Peda Sura dan orang-orang lain yang belum diketahuinya.
Jika demikian, maka sulitlah bagi pasukan Pengawal Tanah Perdikan Menoreh untuk mempertahankan diri. Mungkin pasukan berkuda itu akan mampu mengurai pemusatan pasukan Sidanti. Namun sudah tentu tidak akan cukup kuat untuk ikut menentukan akhir dari keseluruhan.
“Tetapi kita berusaha. Kita memang harus berbuat sesuatu,” tiba-tiba saja Kerti berdesis.
“Kita tidak akan menyerahkan diri kita untuk dibantai tanpa melakukan perlawanan. Setiap laki-laki harus ikut di dalam pasukan.”
Samekta mengangguk-anggukan kepalanya. Katanya,
“Sampai saat ini hampir tidak ada laki-laki yang tersisa. Yang kita harapkan untuk menambahkan kekuatan adalah orangg-orang tua yang sampai saat ini justru telah meletakkan senjata mereka, tetapi mereka cukup mempunyai pengalaman dan kemampuan. Mereka harus kita bawa kembali ke medan-medan dan menarik senjata-senjata mereka dari wrangkanya. Mereka akan didampingi oleh anak-anak muda yang merupakan kekuatan mereka, sedang mereka, dengan pengalaman dan kemampuan mereka, akan mengarahkan kekuatan itu ke sasaran yang benar.”
Sekali lagi Kerti den Wrahasta itu mengangguk-anggukkan kepala.
“Aku harus mendapat laporan tentang perintahku,” berkata Samekta kemudian. Lalu katanya,
“Kalian ada pendapat?”
Kerti dan Wrahasta menggelengkan kepala mereka.
“Aku kira untuk sementara, gerakan itu sudah cukup,” sahut Kerti.
“Kita memerlukan senjata jarak jauh lebih banyak lagi,” berkata Wrahasta kemudian.
“Tekanan pada pintu-pintu masuk padesan ini perlu kita kurangi dengan panah-panah apabila mereka benar-benar datang. Kita harus membuat tempat-tempat yang mapan di atas bambu-bambu ori untuk menempatkan pasukan panah kita.”
“Ya, aku kira kau dapat melakukannya. Berikan perintah itu kepada pasukan yang berkepentingan.”

Wrahasta menganggukkan kepalanya. Ia tidak menunggu sehingga waktu akan terlalu habis oleh meningkatnya keadaan. Segera ia berdiri dan melangkah ke luar, mempersiapkan keadaan pintu gerbang masuk ke padesan di empat penjuru dengan menempatkan pasukan berpanah di sela-sela pering ori. Samekta dan Kerti masih saja berbicara tentang keadaan pasukan mereka. Kesulitan-kesulitan yang akan mereka hadapi dan cara-cara yang akan dapat ditempuh untuk mengatasi setiap kesulitan itu.
“Pada saatnya kita harus menyampaikan kepada Ki Argapati supaya kita tidak salah jalan,” berkata Kerti.
“Meskipun saat ini masih belum memungkinkan karena lukanya, namun aku mengharap bahwa sesudah ia beristirahat, ia akan dapat dibawa berbincang-bincang. Meskipun Ki Gede sendiri tidak akan ikut turun ke peperangan, tetapi nasehatnya sangat kita perlukan.”
Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia masih belum dapat membayangkan, seandainya Ki Gede mengetahui semua persoalan, apakah ada seseorang yang dapat mencegahnya, supaya ia tidak meninggalkan pembaringannya, turun ke medan perang meskipun lukanya belum sembuh?
“Tetapi kita harus berhati-hati,” desis Samekta.
“Kita mengenal sifat Ki Gede Menoreh baik-baik.”
“Ya,” sahut Kerti.
“Hampir saja aku tidak berhasil mengajaknya masuk ke desa ini. Demikian ia mendengar bahwa Pandan Wangi terpisah dari pasukanya, hampir saja ia kehilangan kesadaran dirinya.”
“Karena itu, maka untuk sementara kita akan berusaha mengatasi semua persoalan di sini tanpa mengganggu Ki Argapati,” berkata Samekta kemudian.
“Ya, tetapi bagaimanakah kira-kira perasaan Ki Gede, apabila suatu ketika kita minta ia meninggalkan desa ini karena pasukan Sidanti sudah di ambang pintu dan tidak dapat dibendung lagi?”
Samekta mengerutkan keningnya. Tetapi kemudian ia menjawab,
“Aku mempunyai perhitungan, bahwa keadan yang demikian tidak akan terlampau cepat terjadi. Aku percaya kepada Wrahasta dan aku mengharap hahwa pasukan berkuda yang akan tersusun itu dapat mengganggu susunan rencana Ki Tambak Wedi. Aku masih mengharap mudah-mudahan Ki Argapati cepat sembuh dan mampu memimpin pasukannya.”
Kerti mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Obat yang didapatkannya dari orang bercambuk itu benar-benar baik. Setelah mengalami benturan yang dahsyat di dalam tubuhnya. Ki Argapati tampak menjadi segar.”
“Tetapi apakah masih ada sisa obat itu?”
Kerti menggelengkan kepalannya.
“Tidak. Semua sudah habis ditaburkan di atas lukanya. Kalau daya penyembuh obat itu tidak berkurang, maka aku mengharap Ki Gede akan bisa lekas sembuh.”

Samekta tidak menyahut. Tetapi wajahnya menunjukkan keragu-raguan. Biasanya obat hanya mempunyai daya penyembuh yang sangat terbatas, sehingga setiap kali obat itu harus diganti. Meskipun demikian Samekta tidak mengatakannya. Bahkan ia berdoa mudah-mudahan obat yang satu ini mempunyai kelebihan dari obat-obat yang lain. Sehingga terloncat dari bibirnya,
“Apabila Ki Gede lekas sembuh, maka kita akan hidup kembali. Kita akan menengadahkan kepala kita. Pasukan yang ada masih cukup kuat untuk merebut kembali seluruh Tanah ini dari pengkhianatan.”
Kerti mengangguk-angguk pula. Tetapi tiba-tiba ia bergumam,
“Persoalan yang harus didengar oleh Ki Gede bukan saja persoalan Tanah Perdikan ini.”
“Apa lagi?”
“Pandan Wangi.”
“Kenapa Pandan Wangi? Meskipun ia seorang gadis tetapi ia adalah seorang senapati yang baik. Bahkan terlampau baik. Bahwa ia terpisah dari pasukannya, adalah karena rasa tanggung jawabnya yang berlebih-lebihan, apalagi ia sama sekali belum berpengalaman.”
“Bukan itu. Aku tahu bahwa ia adalah seorang senapati yang baik di medan perang. Tetapi ia adalah seorang gadis. Itulah lihat kilatan matanya, aku menganggapnya mata itu dipenuhi oleh yang harus diketahui oleh Ki Argapati.”
Samekta mengerutkan keningnya. Ia tidak segera menangkap reaksi dari Kerti. Namun ia mengangguk-angukkan kepalanya ketika ia mendengar Kerti berkata,
“Maksudku, persoalan Pandan Wangi sebagai seorang gadis. Bukankah kau pernah berkata, bahwa sesuatu tergetar di dalam dada Wrahasta tentang Pandan Wangi.”
“O,” sahut Samekta penuh pengertian, “ya, itu  pun merupakan suatu persoalan bagi Ki Argapati.”
“Mudah-mudahan Pandan Wangi tidak mempersoalkannya sekarang dengan ayahnya”
“Mungkin ia asyik berceritera tentang gembala itu.” Tiba-tiba Samekta mengangkat wajahnya seolah-olah ia sedang mengenang sesuatu,
“Gembala itu?”
“Kenapa dengan gembala itu?” bertanya Kerti.
“Aku pernah menyangkanya seorang gembala yang jujur tetapi dungu,” desis Samekta.
“Tetapi ternyata akulah yang dungu.”
“Kau pernah bertemu dengan gembala itu?”
Samekta tersenyum. Jawabnya,
“Terlalu sekali. Ketika aku mendengar ia menyebut namanya, aku katakan kepadanya, bahwa namanya terlampau baik, lebih baik dari namaku. Apa jawabnya setelah ia mengetahui namaku? Katanya, ‘Ya, memang namaku lebih baik dari Samekta, meskipun Samekta juga sudah cukup baik, tetapi tidak sebaik Gupita.’”
“O,” Kerti  pun tersenyum.
“Aku menyangkanya seorang yang dungu. Ketika aku melihat kilatan matanya, aku menganggapnya mata itu dipenuhi oleh bayangan harapan dari seorang gembala untuk mendapatkan perlindungan,” suara Samekta menurun. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata,
“Pantas, kata-katanya saat itu, betapa terasa kedunguannya, namun cukup membuat aku pening. Ia bertanya, ‘Apakah kalau ada seseorang yang merampas kambing-kambingku, merampas hakku, orang itu tidak dihukum?’ Dan pertanyaan itu membuat aku pening.”
“Apa jawabmu?”
“Kalau aku tahu tentang anak itu sebenarnya, jawabku pasti lain. Tetapi saat itu aku menjawab, -Bahwa mereka yang melanggar peraturan, merampas kambing, merampas hak seseorang itu mempunyai pedang di lambungnya. Untuk menghukumnya, diperlukan pedang yang lebih tajam dari pedang mereka.-”
Kerti mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan Samekta berkata,
“Tentu ia mentertawakan jawabanku saat itu, seolah-olah ketetapan dan tegaknya peraturan itu semata-mata berada di ujung pedang.”
“Ternyata ia bukan anak yang dungu seperti yang kamu sangka.”
“Ya. Kalau benar kata Pandan Wangi, bahwa Gupita itulah yang menolongnya, dan bersama-sama melukai Ki Peda Sura, maka kilatan matanya saat itu adalah pertanda bahwa ia mempunyai sesuatu yang tersimpan di dadanya. Sekarang aku menyadari keadaanya saat itu. Itulah agaknya sebabnya ia sama sekali tidak menyingkirkan kambing-kambingnya ketika orang-orang liar yang berada di pihak Sidanti mendatanginya. Ternyata ia siap untuk menghadapi keenam orang yang telah mencegat Pandan Wangi saat itu.”

Kerti masih mengagguk-anggukkan kepalanya. Namun timbul kekhawatiran di dalam dadanya. Pandan Wangi adalah seorang gadis. Kalau ia sudah mulai mengagumi seorang anak muda, maka kadang-kadang seorang gadis tidak lagi mampu memisahkannya, apakah ia mengaguminya sebagai seorang prajurit yang tangkas di peperangan, ataukah ia mengaguminya sebagai seorang anak muda yang lembut, atau justru sikapnya yang kasar, yang telah menyentuh hatinya, atau perasaan apa pun. Perasaan yang berbeda-beda dalam bentuk dan sifatnya itu, kadang-kadang dibaurkan menjadi satu di dalam hati seorang gadis. Namun hal yang demikian adalah suatu hal yang sudah wajar. Kalau tidak ada persoalan-persoalan yang lain, maka hal itu tidak perlu dipersoalkan, atau dicemaskan. Tetapi tidak demikian halnya dengan Pandan Wangi. Sebelum Pandan Wangi berbicara tentang gembala itu, maka seorang anak muda yang lain, yang hampir setiap hari keduaya bertemu pandang, telah lebih dulu mengaitkan cita-cita hidupnya kepadanya. Dan anak muda itu mempunyai peranan yang cukup penting bagi Tanah Perdikan Menoreh.
Samekta agaknya menangkap getar perasaan Kerti, sehingga ia berkata lirih,
“Sudah tentu hadirnya gembala itu merupakan persoaIaan baru bagi Ki Argapati. Mungkin persoalan ini akan dapat berkepanjangan. Gembala itu pasti bukan tanpa maksud melibatkan dirinya dalam masalah Tanah Perdikan Menoreh.”
“Ya”, jawab Kerti,
“Ternyata gembala itu masih akan bertambah satu lagi dengan seorang anak muda yang gemuk, yang menyebut dirinya bernama Gupala.”
Samekta tidak segera menyahut. Kadang-kadang ia menyesali keadaan itu, keadaan yang kurang menguntungkan pada saat-saat serupa ini. Justru karena Pandan Wangi seorang gadis. Kalau Pandan Wangi bukan seorang gadis, kehadiran gembala itu akan dapat menumbuhkan harapan yang pasti, selagi ia bermaksud baik dan tanpa pamrih yang dapat merugikan tanah perdikan ini. Tetapi keadaannya agak berbeda karena Pandan Wangi adalah seorang gadis.

Sementara itu, di induk Tanah Perdikan Menoreh, Ki Tambak Wedi, Sidanti, Argajaya, dan beberapa orang pemimpin pasukannya sedang sibuk berbicara tentang Ki Argapati. Petugas sandinya yang berhasil keluar dari padesan tempat pemusatan pasukan Menoreh, telah sampai dengan selamat di padukuhan induk dan langsung menemui pimpinan tertingginya.
“Apakah kau pasti bahwa sakit Argapati cukup parah?”
“Ya,” jawab orang tua itu,
“aku pasti. Aku melihat sendiri, bagaimana ia turun dari kuda, kemudian dengan susah naik ke rumah yang disediakan untuk puterinya, Pandan Wangi. Aku mendengar langsung dari seorang pengawal yang mendapat tugas untuk mencari seorang dukun yang cukup baik.”
“Apakah kau tidak menawarkan Ki Wasi. Bukankah Ki Wasi dahulu hampir tidak pernah terpisah dari Ki Argapati.”
Kakek petugas sandi itu mengerutkan keningnya. Ketika mengedarkan pandangan matanya ia melihat seorang laki-laki, berkumis dan berjanggut pendek tersenyum kepadanya. Tanpa ditanya orang itu berkata perlahan-lahan,
“Sayang. Aku tidak dapat mengikuti jalan pikiran Ki Argapati yang telah sampai hati memusuhi puteranya sendiri. Adalah tidak pantas bagi seorang ayah berbuat demikian. Betapapun besar kesalahan seorang anak, tetapi ia adalah setitik dari darahnya. Apakah seorang anak terpaksa melakukan perlawanan atas ayahnya, maka kesalahan yang sebenarnya pasti terletak kepada ayah itu sendiri. Setidak-tidaknya ia tidak berbasil membentuk anaknya menjadi seorang anak yang berbakti. Apalagi sikap yang terlampau keras seperti yang dilakukan oleh Ki Gede saat ini terhadap satu-satunya puteranya yang justru kelak akan mewarisi Tanah ini.”
Setiap orang di dalam ruangan itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Mereka menjadi semakin yakin dan mantap untuk berperang di pihak Sidanti. Namun beberapa orang yang lain acuh tidak acuh saja mendengar kata-kata itu. Orang-orang yang datang dari luar Menoreh sama sekali tidak peduli, apakah yang mereka persoalkan. Apakah ada perselisihan antara anak dan ayah, apakah ada sekelompok yang sedang mamperjuangkan cita-cita, apakah ada pihak-pihak yang sedang menuntut haknya, apakah ada apa  pun juga, namun semua itu akan dapat mereka manfaatkan untuk kepentingan mereka masing-masing.
“Persetan,” berkata salah seorang dari mereka di dalam hatinya.
“Aku tidak peduIi. Tetapi persengketaan ini harus segera menjalar. Sampai saat ini aku belum berhasil mendapatkan apa pun. Ternyata setan-setan yang lain telah mendahului aku. Kecuali sebuah pendok sepuhan dan sebuah timang kecil, aku belum mendapat apa-apa lagi.”
Berbeda dengan mereka, maka getar dalam dada Sidanti terasa menjadi semakin cepat mengalir. Ia menyadari bahwa pemahaman Ki Wasi atas dirinya ternyata keliru. Apakah kata orang tua itu seandainya ia tahu, bahwa Sidanti sama sekali bukan titik darah Ki Argapati?
Tetapi ditahankannya perasaan itu jauh-jauh di dalam dadanya. Bahkan kemudian ia bertanya kepada kakek petugas sandi itu, “Siapakah yang memberi obat kepada Ki Argapati?”
Kakek tua itu menggeleng.
“Kami tidak tahu. Tetapi mereka sedang mencari.”

Tiba-tiba dari sela-sela mereka yang berada di dalam ruangan itu terdengar suara tertawa terkekeh-kekeh. Seorang laki-laki tua, berkumis, berjanggut, dan berambut jarang, tertawa sampai terangguk-angguk. Ikat kepalanya yang dililitkan begitu saja di kepalanya tanpa menutupi sebagian daripadanya, menunjukkan kejarangan rambutnya di ubun-ubun. Di kedua belah tangan laki-laki tua itu mempergunakan sepasang binggel akar kayu berlian, dan di lehernya tersangkut berbagai macam benda-benda yang dianggapnya keramat. Taring celeng mati ngurak, biji asam berangkai genap, sepotong besi berwarna kuning, tiga bongkah batu kecil berwarna telon bersap tiga, dan beberapa macam benda-benda yang lain. Sedang pada ikat pinggangnya tergantung sebuah tempurung kecil berisikan berbagai reramuan obat-obatnya dan sebuah kantong kain berisikan barbagai macam bunga-bunga yang dianggapnya aneh. Bunga semboja bermahkota genap. Bunga telasih putih, bunga pohung sungsang, dan bunga sekar jagad.
Sejenak semua mata terpancang kepada orang tua itu. Dengan matanya yang tajam orang tua itu memandang kepada petugas sandi yang memberitakan terutama keadaan Argapati. Sejenak kemudian ia berkata,
“Apakah Argapati atau orang-orangnya tidak menyebut namaku?”
Petugas sandi itu menggeleng. Namun tiba-tiba ia berkata,
“Ya, nama Kiai disebutnya juga.”
“Apa kata Argapati tentang aku?”
“Bukan Argapati, tetapi salah seorang pengawal yang bertugas mencari dukun yang dapat dipercaya.”
“Apa katanya?”
“Argapati mencari seorang dukun. Tetapi bukan Ki Wasi dan Ki Muni.”
Sekali lagi suara tertawa laki-laki tua, yang bernama Ki Muni itu meledak, sehingga tubuhnya berguncang-guncang. Tetapi tiba-tiba suara tertawanya terputus. Dikerutkannya dahinya sambil berkata,
“Tetapi aku tidak mempunyai alasan yang sama seperti Ki Wasi. Pada saat Argapati masih berkuasa, Ki Wasi betah duduk sehari muput, bahkan semalam suntuk, menjagainya denggan setia. Mengurut kakinya dan mengobati luka-lukanya kalau kakinya terantuk tlundak pintu. Tetapi aku tidak. Sejak semula aku menentangnya. Aku pernah menantangnya berperang tanding. Tetapi Argapati tidak bersedia. Karena itu, sampai saat ini pun aku tetap menentangnya.”
“Jangan ngundat-undat, Kakang Muni,” potong Ki Wasi.
“Kau tidak berkata dengan jujur. Apakah yang pernah kau lakukan saat itu hampir setiap orang mengetahuinya. Tetapi aku tidak perlu mengungkapnya kembali. Yang penting adalah apa yang kini sedang kita hadapi. Syukurlah kau mampu menghadapi Ki Argapati itu dalam perang tanding seperti Ki Tambak Wedi. Dengan demikian maka nama Ki Muni akan segera dipasang di samping nama-nama Ki Argapati, Ki Tambak Wedi, dan nama-nama lain yang sejajar dengan nama-nama itu.”

Sepercik warna merah menjalar di wajah Ki Muni. Tiba-tiba wajah itu menjadi tegang. Dari sepasang matanya memancar kemarahan yang menyala di dalam dadanya. Dengan suara yang berat ia menggeram,
“Persetan dengan kau, Adi Wasi. Apa kau sangka aku tidak mampu meremas mulutmu itu, he? Dahulu kau menjilat telapak kaki Argapati, sekarang kau bersimpuh di hadapan Angger Sidanti. Huh, orang seperti kau memang tidak dapat dipercaya sepenuh hati.”
Ki Wasi menarik nafas dalam-dalam. Tampak betapa ia terlampau sulit menahan perasaannya. Tetapi ia masih dapat berkata sareh,
“Apakah kita akan berbantah dan saling mengungkapkan kenistaan di masa lampau? Kalau itu yang kau kehendaki, maka aku akan bersedia. Bahkan kalau kau masih juga belum puas, dan kau menghendaki yang lain, maka meskipun aku sudah merasa cukup tua, tetapi aku masih ingin mencoba mempertahankan harga diriku, Kakang.”
Sekali lagi suara tertawa Ki Muni meledak memenuhi ruangan. Beberapa orang ikut terseret dalam ketegangan itu. Sejenak mereka hanyut dalam perbantahan yang semakin seru. Tetapi tiba-tiba Argajaya tersenyum dalam hatinya. Ia mengenal kedua orang itu dan ia mengetahui apa yang telah mereka lakukan di masa-masa lampau mereka. Karena itu, adalah sangat menggelikan apabila orang berbicara tentang diri sendiri di saat ini, di mana keadaan telah meningkat menjadi semakin panas.
Agaknya Ki Muni masih juga ingin menjawab. Tetapi tiba-tiba Ki Tambak Wedi memotong,
“Ya, aku tahu semuanya. Aku bukan seorang yang tuli. Aku telah mendengar tentang kalian selengkapnya. Tetapi marilah kita lupakan masa lampau itu. Kita kini sedang menghadapi tugas yang cukup berat. Kami mengharap kalian berdua selalu berada dalam tugas kalian sebaik-baiknya. Aku tidak akan menempatkan Ki Muni di medan-medan perang untuk menghadapi langsung Ki Argapati atau menempatkan Ki Wasi sebagai seorang senapati perang untuk merebut Karang Sari atau Patemon, atau daerah-daerah lain yang kini masih dikuasai oleh orang-orang Argapati. Tetapi aku minta setiap saat kalian dapat menyembuhkan orang-orang yang terluka di peperangan. Itu adalah tugas kalian. Kalian tidak usah bertengkar berebut benar tentang pendirian masing-masing. Baik di saat ini maupun di saat-saat lampau.”
Keduanya tidak menjawab. Sesaat mereka saling memandang, namun kemudian mereka melemparkan pandangan mata mereka jauh-jauh keluar dari ruangan itu ke titik-titik di kejauhan.
“Yang perlu kita pertimbangkan sekarang, apakah yang sebaiknya kita lakukan,” berkata Ki Tambak Wedi.
“Kalau benar-benar Argapati terluka parah, apakah ia akan dapat sembuh? Mungkin ada dukun-dukun kecil yang mencoba mengobatinya pula. Tetapi apakah mereka mampu membersihkan racun pada luka Ki Argapati itu. Kalau tidak, maka betapapun lambatnya, luka itu akan menjalar dan akan menghancurkan kulit dan dagingnya.”
“Tetapi Ki Argapati sendiri mengerti, bagaimana ia harus mengobati luka-luka,” berkata Ki Wasi.
“Ya, ilmu itu sekedar dimilikinya seperti aku juga mengerti serba sedikit. Tetapi untuk melawan luka yang parah, diperlukan sorang yang benar-benar memiliki pengetahuan tentang itu seperti Ki Wasi dan Ki Muni.”
“Tentu,” sahut Ki Muni.
“Kalau benar ia terluka parah, maka biarkan saja ia sehari dua hari. Ia akan mati dengan sendirinya.”

Ki Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi sebagai seorang yang cukup mempunyai pertimbangan tentang peperangan ia berpendirian lain. Ia tidak dapat menunggu sampai Argapati itu mati dengan sendirinya. Ia tidak dapat menunggu waktu yang tidak berkepastian. Sebagai seseorang yang mempunyai perhitungan medan, pikirannya agak lain dari pikiran Ki Muni. Maka katanya,
“Memang Argapati mungkin akan mati dengan sendirinya. Tetapi kita tidak dapat melepaskan waktu ini, di saat-saat Argapati menjelang hari terakhirnya. Kita harus mempergunakan waktu sebaik-baiknya.”
“Apakah yang akan kita lakukan Kiai?” bertanya Argajaya.
Ki Tambak Wedi tidak segera menyahut. Tetapi ia melihat kilatan mata Sidanti, bahwa anak ini telah menangkap maksudnya. Bahkan Sidanti lah yang mendahului berkata,
“Kita hancurkan sisa-sisa pasukan Argapati itu selagi mereka belum mampu bangun dari pingsan. Kalau kita menunda-nunda lagi, mungkin ada sesuatu yang dapat menolong Argapati sehingga keadaan akan segera berubah.”
Argajaya menarik nafas dalam-dalam. Sebagai seorang senopati pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh, ia tidak dapat berpendirian lain, kecuali membenarkan sikap Sidanti. Tetapi betapa  pun juga terasa sesuatu berdesir di dadanya. Argapati yang sedang dibicarakan itu adalah kakaknya.
“Tetapi aku sudah bertekad untuk menyingkirkannya,” katanya di dalam hati.
“Kemudian, aku harus menempuh perjuangan dalam babak yang baru. Aku pasti tidak akan dapat melihat Sidanti menjadi kepala Tanah Perdikan ini. Dan aku juga tidak dapat mempercayai Ki Tambak Wedi sepenuhnya, bahwa ia akan memberi kesempatan kepadaku ikut serta di dalam pemerintahan. Apalagi apabila dengan landasan Tanah Perdikan ini Ki Tambak Wedi dapat membawa Sidanti merayap ke singgasana Pajang.”
Argajaya terkejut ketika ia mendengar Ki Tambak Wedi bertanya kepadanya,
“Bagaimanakah sebaiknya? Apakah kau sependapat dengan Sidanti.”
“Ya. Ya,” Argajaya tergagap,
“aku sependapat. Memang tidak ada jalan lain yang dapat kita tempuh sekarang.”
Ki Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang menurut perhitungan yang paling tepat, pasukannya harus segera bergerak, memukul pasukan Argapati yang sedang terluka parah itu. Menurut perhitungan keprajuritan, maka pasukan Argapati tidak akan dapat bertahan. Mereka tidak mempunyai pimpinan yang dapat mengimbangi para pemimpin dari pasukan Sidanti. Tetapi ternyata Ki Tambak Wedi masih tampak ragu-ragu. Sekali-sekali dipandanginya wajah Sidanti, kemudian wajah Argajaya, lalu beredar kepada orang-orang yang berada di dalam ruangan itu.
“Kita harus segera melakukannya, Guru,” berkata Sidanti kemudian.
“Lebih cepat lebih baik. Selama orang-orang Argapati masih berada dalam kegelisahan.”
“Ya, ya,” Ki Tambak Wedi mengangguk-angguk,
“tetapi kita jangan kehilangan perhitungan. Kita harus mempertimbangkan keadaan dari segala segi.”
“Apalagi yang harus kita pertimbangkan, Guru? Kita sudah siap. Seandainya sekarang pun kita sudah siap untuk melakukannya. Tetapi menurut pertimbanganku, nanti malam kita bergerak. Kita tidak usah menunggu besok.”
Tetapi Ki Tambak Wedi menggelengkan kepalanya. Katanya,
“Kita cukup kuat bergerak di siang hari. Bagiku gerakan di siang hari dalam keadaan ini akan lebih menguntungkan. Kesempatan untuk melarikan diri lebih kecil bagi Argapati yang sakit itu. Kita akan dapat melihat segala gerakan timbal-balik. Kita akan dapat menunjukkan kemenangan-kemenangan kita kepada para pengikut Argapati itu, sehingga nafsu perlawanan mereka  pun pasti akan terpengaruh.”
Sidanti mengerutkan keningnya. Kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia berkata,
“Dapat banyak terjadi dalam waktu semalam ini. Mungkin timbul berbagai macam perubahan keadaan.”
“Itu memang mungkin sekali,” jawab Ki Tambak Wedi,
“tetapi kita jangan tergesa-gesa, sehingga kita kehilangan pertimbangan nalar.”
“Apalagi yang dapat menghambat gerakan kita?” bertanya Sidanti.
“Marilah kita perhitungkan,” berkata Ki Tambak Wedi, kemudian.
“Peristiwa yang terjadi atas sekelompok orang yang telah aku persiapkan di sekitar Pucang Kembar telah menumbuhkan banyak pertanyaan di hatiku.”
“Itu pasti pokal pasukan-pasukan Argapati yang memang telah dipersiapkan dahulu.”
“Mereka sama sekali tidak mengetahui, tentang sekelompok orang kita itu.”
“Kelompok mereka pun akan melakukan seperti apa yang kita persiapkan atas Guru.”
“Aku tidak berkesan demikian, Sidanti. Aku melihatnya lebih jauh dari sekedar kebetulan itu.”
“Lalu apakah yang telah terjadi menurut pertimbangan Guru?”
“Aku menjumpai keanehan. Aku telah menemukan bekas perkelahian antara sekelompok orang-orang kita itu dengan lawan mereka. Tetapi aku tidak dapat membayangkan, siapakah lawan mereka itu. Kalau mereka adalah sekelompok orang-orang Menoreh, maka akibat dari pertempuran itu pasti berbeda. Aku tidak banyak menemukan bekas-bekas dari perkelahian itu. Aku hanya melihat tiga mayat yang terbaring di sana. Kemudian ke manakah perginya yang lain?”
“Mereka berselisih dan saling bertempur. Bukankah aku telah mengatakan, bahwa kemungkinan itu dapat terjadi?”
Ki Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia bergumam,
“Memang kemungkinan ini dapat terjadi. Tetapi kemungkinan itu terlampau kecil. Mereka berangkat dalam keadaan yang baik tanpa ada tanda-tanda perselisihan apa pun di antara mereka. Sedangkan seandainya demikian, di antara kedua pihak itu yang masih hidup pasti akan sampai kepada kita untuk melaporkan keadaan itu.”
“Tidak, Guru. Aku pasti bahwa sebagian dari mereka ingin berkhianat. Sebagian ingin mencegah. Tetapi agaknya mereka yang berada di pihak yang teguh itu terlampau lemah. Mungkin memang hanya tiga orang itu yang semuanya mati terbunuh.”
“Lalu apakah yang dilakukan oleh yang lain?”
“Mereka melarikan diri.”

Ki Tambak Wedi mengernyitkan keningnya. Ia tidak melihat keuntungan apa pun dari mereka yang disangka melarikan diri itu. Tetapi seandainya demikian, maka luka-luka pada ketiga mayat itu pasti akan berbicara, bahwa mereka telah terbunuh dalam perkelahian yang tidak seimbang. Tetapi luka-luka pada mayat itu sangat mencurigakannya.
“Apakah Guru masih tetap ragu-ragu?”
Ki Tambak Wedi menganggukkan kepalanya. Dengan nada yang dalam ia bergumam,
“Lalu siapakah yang telah melukai Ki Peda Sura itu? Seorang anak muda yang tiba-tiba saja berkelahi di pihak Pandan Wangi?”
Tidak seorang  pun yang segera dapat menjawab. Ki Peda Sura sendiri masih belum bernafsu untuk berceritera tentang anak muda yang melukainya bersama Pandan Wangi. Agaknya orang itu memang berusaha untuk berdiam diri tentang luka yang dideritanya.
“Tidak masuk akal,” gumam Ki Peda Sura di dalam hatinya ketika orang-orang yang berusaha mengetahui persoalannya telah pergi.
“Anak muda itu hanya bersenjata sehelai cambuk.”
Dengan demikian maka orang-orang lain tidak mendapat gambaran yang jelas tentang anak muda yang telah berhasil melukai Ki Peda Sura itu bersama Pandan Wangi. Agaknya Ki Peda Sura telah tersinggung harga dirinya, karena senjata lawannya hanya sehelai cambuk.
Tetapi pertanyaan Ki Tambak Wedi tentang orang yang telah melukai Ki Peda Sura itu memang menumbuhkan persoalan di dalam hati Sidanti. Betapa pun juga ia berusaha menyembunyikan perasaannya tentang hal itu, untuk sekedar menuruti nafsunya yang menyala-nyala, namun ia tidak dapat ingkar, bahwa sebenarnya ia merasakan adanya suatu kekuatan yang kurang dikenalnya ikut campur di dalam persoalan Tanah Perdikan Menoreh. Kekuatan yang sampai saat ini masih diselubungi oleh kabut yang tebal. Ketika angan-angannya terbang melintasi Kali Praga dan melintasi Alas Mentaok, maka Sidanti tiba-tiba menggeram,
“Persetan, seandainya mereka hadir di sini, maka umur mereka pasti akan tinggal seumur kembang bakung.”
Namun kadang-kadang tumbuh pula getar di dalam hatinya. Angan-angannya kadang-kadang tidak hanya terhenti pada jarak yang dekat dari Alas Mentaok. Namun kadang-kadang ia sampai pada persoalan Tanah Alas Mentaok itu sendiri. Ia pernah mendengar betapa keras tuntutan Ki Gede Pemanahan atas Bumi Mentaok yang oleh Adiwijaya telah disanggupkan akan diberikan kepadanya setelah ia berhasil menyingkirkan Aryo Penangsang.
Terbayang di dalam angan-angannya seorang anak muda dengan sebatang tombak pendek di tangannya.
“Tidak mungkin. Anak itu tidak akan berkeliaran di sini.”
Sidanti menarik nafas dalam-dalam. Diangkatnya wajahnya dan dipandanginya bayang-bayang dedaunan di halaman yang bergerak-gerak.
“Apa yaug kau pikirkan, Sidanti?” bertanya Ki Tambak Wedi.
“Memang mungkin ada kekuatan dari luar Tanah ini, Guru.”
Ki Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Itulah yang akan aku katakan kepadamu, kepada Angger Argajaya, dan kepada semuanya di sini. Kekuatan yang masih samar-samar tetapi sudah terasa kehadirannya ini harus kita pertimbangkan sebaik-baiknya.”
“Kekuatan dari manakah menurut dugaan Ki Tambak Wedi?” bertanya Ki Muni yang lehernya dikalungi dengan berbagai macam jimat.
“Kami belum tahu.”
Sekali lagi Ki Muni tertawa. Katanya,
“Kita kadang-kadang memang dibayangi oleh dugaan-dugaan kita yang samar-samar tetapi menakutkan. Kalau ada kekuatan itu, maka berapakah jumlah mereka? Segelar sepapan atau berapa?”
Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Jawabnya,
“Ki Muni, kekuatan yang hanya satu dua orang, tetapi memiliki beberapa kelebihan dari orang-orang kebanyakan, akan sangat berarti bagi kita masing-masing. Katakanlah bahwa pasukan kita di sini dan pasukan Argapati telah sama-sama mengalami luka parah. Katakanlah bahwa kekuatan kami kini seimbang. Maka setiap kehadiran kekuatan itu akan segera merubah keseimbangan itu.”
“Ah,” Ki Muni mengeluh,
“Kiai adalah seorang yang memiliki pengalaman yang pasti jauh lebih banyak dari aku di sini. Tetapi tampaknya Kiai terlampau hati-hati. Cobalah perhitungkan. Kalau selama ini kekuatan pasukan kita seimbang dengan kekuatan Argapati, maka kita pasti tidak akan berhasil mendesaknya. Padahal seperti yang kau ketahui, Kiai, kita di sini belum mengerahkan segenap kemampuan yang ada. Ki Wasi dan aku masih belum ikut berbuat sesuatu kecuali mengobati orang sakit. Meskipun kami tidak setangkas Ki Tambak Wedi, tetapi cobalah, pada suatu ketika aku ingin bertemu dengan orang yang bernama Argapati itu.”

Ki Tambak Wedi menarik keningnya. Ia melihat wajah Sidanti yang berkerut. Tetapi ketika Sidanti itu akan menjawab, maka segera anak muda itu digamitnya. Ia tahu benar bahwa Sidanti dan Argajaya menjadi muak mendengar orang itu membual. Meskipun demikian mereka tidak juga meniadakan kekuatan yang ada pada orang itu.
“Baiklah, Ki Muni,” sahut Ki Tambak Wedi,
“suatu ketika keinginanmu itu akan terjadi. Suatu ketika Argapati akan sembuh dari sakitnya dan kau akan mendapat kesempatan pertama untuk melawannya.”
Tiba-tiba wajah Ki Muni menjadi tegang. Namun hanya sejenak. Sejenak kemudian terdengar suara tertawanya,
“Sayang. Sayang sekali. Aku menjadi cemas bahwa cita-cita yang demikian itu tidak akan pernah dapat terjadi. Besok atau lusa, Argapati akan mati.”
“Bagaimana kalau ia tetap hidup?”
“Tidak mungkin,” jawab orang yang berkalung jimat di lehernya itu.
“Seandainya ada obat untuknya, maka aku akan melawannya dengan cara lain. Aku akan membunuhnya dengan caraku. Aku akan menenungnya. Aku dapat membunuh tanpa meraba tubuhnya.” Dan suara tertawa orang itu menggema lagi di seluruh ruangan. Ki Wasi hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Kawannya yang seorang ini memang mempunyai tabiat yang aneh. Tetapi tidak seorang  pun yang berhasrat untuk mencegahnya. Hampir semua orang telah mengenalnya sebagai seorang pembual terbesar di seluruh Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi kecuali seorang pembual sebenarnyalah bahwa memang ia seorang dukun yang baik. Ia terkenal bukan hanya sekedar mengobati luka-luka lama dan baru, mengobati penyakit di dalam tubuh seseorang, atau penyakit-penyakit yang tiba-tiba, tetapi ia memiliki kekuatan gaib yang dapat dipergunakan untuk tujuan-tujuan tertentu. Setiap orang memperkatakannya sebagai seorang juru tenung yang sakti.
“Baiklah,” berkata Ki Tambak Wedi yang mempelajari juga ilmu semacam itu, meskipun ia lebih mementingkan olah kanuragan. “Tetapi kita harus membuat perhitungan-perhitungan lahiriah. Kita barus memperhitungkan setiap kemungkinan adanya kekuatan yang ikut campur dalam persoalan ini.”
Ki Muni kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang ia tidak dapat ingkar, bahwa menghadapi persoalan perang antara keluarga ini, perhitungan-perhitiungan atas dasar penilaian keprajuritan harus dimatangkan. Hanya dalam perselisihan pribadi sajalah, maka caranya itu dapat diterapkan. Kekuatan tenungnya  pun ternyata hanya terbatas. Dan mau tidak mau Ki Muni harus mengakui di dalam hatinya, bahwa Ki Tambak Wedi  pun memiliki pengetahuan yang serupa.
“Lalu apakah yang sebaiknya kami lakukan menurut Guru?” bertanya Sidanti.
“Kita harus menjajagi keadaan,” jawab gurunya.
Sidanti mengerutkan keningnya. Ia tidak segera dapat mengerti apakah yang dimaksud dengan gurunya. Namun Ki Tambak Wedi  pun kemudian menguraikan rencananya, menjajagi keadaan dalam waktu sehari dua hari sambil mengikuti perkembangan keadaan Ki Gede Menoreh yang terluka parah itu. Demikianlah kedua belah pihak telah memperkuat diri sendiri, membuat rencana untuk menghadapi setiap perkembangan keadaan dan mencoba untuk saling mengetahui rencana dan usaha masing-masing pihak.

Sementara itu, malam  pun kemudian hadir di permukaan bumi. Semakin lama menjadi semakin gelap. Di tempat pemusatan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh serta tempat pengungsian para keluarga yang juga dijaga cukup kuat, para peronda telah hilir-mudik dengan kewaspadaan tertinggi. Mereka berjalan dari gardu ke gardu, menyusuri setiap lorong dan menjaga setiap pintu keluar dan masuk padesan. Di mulut-mulut lorong, pada tempat-tempat tertentu telah dibuat tempat-tempat di antara duri dari pering ori, planggrangan untuk para pengawal yang akan memperkuat pertahanan tempat-tempat kedudukan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh dengan senjata-senjata jarak jauh, panah dan bandil, pelempar tombak kecil-kecil dan pelempar batu-batu dengan ujung-ujung bambu yang lentur. Namun begitu tegang hati para pemimpin pengawal tanah perdikan, mereka sama sekali tidak ingin mengganggu Ki Argapati pada saat-saat ia masih habis bergulat dengan lukanya. Dibiarkannya Ki Argapati beristirahat ditemani oleh puterinya, meskipun Pandan Wangi sendiri banyak berceritera tentang pertempuran yang telah dialaminya. Namun Pandan Wangi tidak menggelisahkan ayahnya dengan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi dalam waktu singkat. Pandan Wangi sendiri tidak tahu pasti, bahwa ada seorang petugas sandi yang lolos dari tempat ini dan yang akan dapat mengabarkan tentang keadaan Ki Gede, sehingga akibat daripadanya akan berbahaya bagi pertahanan para penggawal.
Samekta sendiri pada saat itu hilir-mudik bersama-sama dengan Wrahasta memeriksa setiap gardu-gardu terpenting. Melihat kesiap-siagaan pasukan pengawal yang di tempatkan di depan mulut-mulut lorong masuk di empat penjuru. Melihat kelengkapan senjata-senjata jarak jauh dan bahkan Samekta sendiri telah mengunjungi padesan di sebelah, tempat keluarga mereka diungsikan, dijaga oleh kekuatan yang cukup untuk melindungi mereka dari setiap sergapan. Samekta telah mengatur pasukannya sedemikian, sehingga kedua tempat itu akan selalu dapat diamatinya dengan baik. Dan arus pasukannya akan dapat berpindah-pindah dengan cepat dan lancar. Telah diperhitungkannya kemungkinan pasukan lawan berusaha untuk memotong hubungan antara kedua tempat itu, atau menyerang dari arah yang lain. Namun demikian, Ki Argapati bukan seorang pemalas yang hanya ingin berbaring diam di pembaringannya. Bagaimanapun juga, ketajaman perasaan keprajuritannya telah memperhitung-kan semua persoalan yang telah terjadi. Meskipun Ki Argapati tidak tahu bahwa ada seorang yang telah melepaskan berita tentang sakitnya yang parah, namun ia memperhitungkannya seandainya hal yang demikian itu terjadi. Karena itu, maka setelah ia cukup puas berbicara dengan Pandan Wangi, seseorang disuruhnya memanggil Samekta menghadapnya.
Tanpa diduga-duga Ki Gede bertanya,
“Bagaimana dengan persiapanmu, Samekta?”
Samekta menarik nafas dalam-dalam, jawabnya,
“Cukup baik, Ki Gede. Tetapi kita tidak perlu cemas untuk saat-saat yang pendek ini. Aku memperhitungkannya bahwa setidak-tidaknya malam ini tidak akan terjadi sesuatu.”
Tetapi dada Samekta berdebar-debar ketika ia melihat Ki Argapati mengernyitkan keningnya sambil berkata,
“Apakah kau tidak mempersiapkan pasukanmu dalam kesiagaan tertinggi?”
Samekta menjadi ragu-ragu.
“Kalau kau menganggap bahwa malam ini tidak akan terjadi sesuatu maka kau ternyata telah lengah Samekta.”
Samekta menjadi semakin ragu-ragu menghadapi pembicaraan itu.
“Samekta,” berkata Ki Gede lirih,
“kita sudah kehilangan waktu satu senja. Karena itu kejarlah keterlambatan itu sekarang. Kau harus berusaha mempersiapkan orang-orangmu seolah-olah malam ini pasukan lawan akan menyerang kita. Seharusnya kau memperhitungkan kemungkinan itu. Seharusnya kau memperhitungkan kemungkinan bahwa berita tentang lukaku yang parah ini akan sampai ke telinga Ki Tambak Wedi. Bukankah begitu? Dengan demikian maka apabila perhitungan Tambak Wedi sejalan dengan perhitunganku, kesempatan ini pasti akan dimanfaatkan sebaik-baiknya. Tidak ada seorang pun yang akan mampu berhadapan seorang lawan seorang dengan Ki Tambak Wedi. Apalagi di dalam pasukannya telah ada Sidanti dan Argajaya. Peda Sura yang barangkali telah berangsur baik dan beberapa orang lain.”

Sesaat Samekta tidak dapat menyahut. Ternyata meskipun ia tidak membicarakannya dengan Ki Argapati tentang perkembangan terakhir, maka itu tidak berarti bahwa ia telah memberi kesempatan kepada Ki Argapati untuk beristirahat dengan tenang dan tanpa memikirkan persoalan perang yang sedang berkobar itu. Karena Samekta tidak segera menjawab, maka Ki Argapati mendesaknya,
“Apakah dasar perhitunganmu, bahwa malam ini tidak akan terjadi sesuatu?”
Samekta tidak dapat ingkar lagi. Maka dengan terus terang ia berkata,
“Ki Gede. Sebenarnya kita memang telah berada dalam kesiagaan tertinggi. Sebenarnya aku mempunyai perhitungan yang serupa. Tetapi kami tidak bermaksud untuk mengganggu Ki Gede sehingga kami memang sengaja membuat suasana seolah-olah tidak menegang.”
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia merasakan, betapa orang-orangnya berusaha dengan sungguh-sungguh membantunya dalam keadaan yang paling sulit. Bukan saja untuk mempertahankan kekuasaannya di atas Tanah Perdikan Menoreh, tetapi juga berusaha sungguh-sungguh untuk membuatnya tenang dalam keadaannya kini. Perlahan-lahan terdengar Ki Argapati berkata,
“Terima kasih, Samekta. Aku memang sudah menyangka, bahwa kalian tidak akan sebodoh itu, membiarkan diri kita kehilangan kewaspadaan. Usaha kalian untuk membuat hatiku tenteram sangat aku hargai. Namun sebaiknya jangan membuat aku seperti kepompong yang tidak mengerti arah. Sebaiknya kalian membicarakan semua masalah dengan aku.”
Samekta tidak menyahut. Ditundukkanya kepalanya dalam-dalam. Ia sudah tidak akan dapat ingkar lagi. Tetapi ia menarik nafas ketika ia mendengar Ki Argapati berkata,
“Tetapi aku tahu bahwa maksud kalian baik. Dan karena itulah maka aku mengucapkan terima kasih.”
Samekta hanya dapat mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Namun ia menjadi sadar, bahwa ketajaman perasaan Ki Gede sebagai seorang prajurit memang tidak dapat diselebungi dengan cara apa pun.
“Untuk seterusnya Samekta,” berkata Ki Gede itu kemudian,
“sampaikan semua persoalan kepadaku. Meskipun aku sadar, bahwa aku masih belum mampu berbuat terlampau banyak, tetapi mudah-mudahan aku masih dapat ikut berbicara dan berpikir, apakah sebaiknya yang harus kita lakukan.”
“Maafkan kami, Ki Gede,” berkata Samekta kemudian.
“Untuk seterusnya aku akan selalu melaporkan semua perkembangan kepada Ki Gede.”
“Terima kasih,” Ki Gede mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Sekarang aku ingin mendengar apa yang telah kau kerjakan.”

Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian dengan singkat diberitahukannya apa saja yang telah dipersiapkan. Pasukan yang bersenjata panah di mulut-mulut lorong, pasukan berkuda dan kesiagaan di seluruh padesan ini dan padesan tempat para keluarga di tempatkan. Jalur hubungan di antara keduanya dan segala macam kemungkinan yang lain.
“Ternyata kalian benar-benar tidak mengecewakan. Kalian telah mencoba membuat imbangan yang baik dalam keadaan yang sulit serupa ini. Baiklah, sekarang pergilah ke pasukanmu yang sedang bersiap-siap itu. Aku ingin mendengar laporan setiap kali. Kau dapat menyuruh orang lain menemui aku. Kerti atau Wrahasta atau orang lain lagi.”
“Baiklah, Ki Gede,” sahut Samekta yang kemudian minta diri kembali ke pasukannya. Ke rumah yang dipergunakan sebagai pusat pimpinan pasukan pengawal yang sedang tersisih dari induk Tanah Perdikan Menoreh. Belum lagi Samekta sampai ke rumah itu, ia tertegun melihat Wrahasta berjalan tergesa-gesa menemuinya. Sebelum ia bertanya Wrahasta telah berkata,
“Aku sangka kau masih berada di tempat Ki Gede beristirahat.”
“Apakah ada sesuatu yang penting?”
“Ya,” sahut anak muda bertubuh raksasa itu,
“Apakah yang sudah terjadi?”
“Seorang petugas sandi melihat gerakan pasukan lawan menuju kemari.”
Dada Samekta menjadi berdebar-debar. Tetapi hal itu memang sudah termasuk dalam perhitungannya. Karena itu maka sambil mengangguk-angguk ia menjawab,
“Bukankah semua bagian di dalam pasukan kita sudah siap pada tugasnya masing-masing”
Wrahasta mengangguk sambil menjawab,
“Ya. Semua sudah di tempatnya masing-masing.”
“Bagaimana dengan pasukan berkuda?”
“Pasukan itulah yang menunggu perintah.”
Samekta berpikir sejenak. Kemudian katanya,
“Panggilah pemimpin pasukan berkuda itu.”
Wrahasta pun kemudian dengan tergesa-gesa pergi untuk memanggil orang yang mendapat kepercayaan memimpin pasukan berkuda. Pasukan yang khusus dibentuk untuk menanggapi keadaan yang sulit itu. Pasukan yang terdiri dari anak-anak muda yang sudah cukup berpengalaman bertempur di atas punggung kuda. Memiliki keberanian dan kecepatan berpikir. Pasukan ini adalah pasukan andalan yang akan dapat mempengaruhi keadaan.
Sejenak kemudian, di rumah tempat pimpinan pasukan Pengawal Tanah Perdikan, seorang anak muda yang bertubuh tegap, berjambang lebat dan bermata tajam menghadap Samekta dengan dada tengadah. Wajahnya memancarkan api tekad yang menyala di dadanya. Di lehernya tersangkut secarik kain putih sebagai pertanda keikhlasan hatinya di dalam pengabdiannya.
“Wigatri,” berkata Samekta,
“kepadamulah kami meletakkan harapan. Kami mengharap bahwa pasukanmu berhasil setiap kali merubah suasana. Tetapi ingat, kalian jangan bertindak terlampau jauh. Kalian harus tetap ingat, bahwa semua pihak yang sedang bertengkar ini adalah saudara kita sendiri. Memang ada beberapa orang yang mencoba menarik keuntungan dari peristiwa ini. Tetapi hal itu jangan kau jadikan alasan untuk berbuat sewenang-wenang.” Samekta berhenti sejenak, lalu,
“Kalian dapat berbuat agak keras untuk menarik perhatian lawan ke arahmu. Tetapi jangan mengorbankan rakyat yang tidak tahu-menahu tentang pertengkaran yang sedang terjadi ini. Apakah kau dapat mengerti?”
Anak muda yang bernama Wigatri itu menganggukkan kepalanya,
“Ya, Paman, aku mengerti.”
“Nah, kuasai tugasmu baik-baik. Kalian dapat menimbulkan kebingungan dan bahkan dapat menyalakan api di malam hari, namun korban yang kau berikan harus seimbang dengan tujuan tindakanmu itu. Apakah kau mengerti?”
“Ya, Paman.”
“Mungkin ada anak buahmu yang terlampau dikendalikan oleh perasaannya. Nah, itu adalah tanggung jawabmu.” Samekta berhenti sejenak, lalu,
“Sekarang, kalian harus berusaha berada di luar lingkaran pasukan Sidanti yang bergerak kemari.”

Anak muda yang bernama Wigatri itu mengerutkan keningnya. Sejenak ia berdiam diri. Hanya debar jantungnya sajalah yang terasa menjadi semakin keras memukul dinding dadanya. Dan ia mendengar Samekta berkata seterusnya,
“Sekarang pergilah. Atau masih ada pertanyaan?”
Wigatri menyahut, “Apakah Sidanti sudah mulai bergerak?”
“Pasukannya bergerak kemari. Tidak mustahil padesan ini dikepungnya. Karena itu, kau harus segera pergi, supaya kalian tidak berada juga di dalam kepungan.”
“Baik, Paman. Bukankah kami harus membuat kesan bahwa pasukan Menoreh telah menyerang di tempat-tempat tertentu?”
“Ya. Tetapi kalian harus menunggu isyarat. Kalau tidak ada isyarat itu, kalian harus tetap berada di sekitar tempat ini. Mungkin kalian kami perlukan untuk memecah kepungan Sidanti dan menyerang mereka dari belakang”
“Baik.”
“Ingat, segala macam isyarat akan kami berikan seperti yang sudah kami beritahukan.”
“Baik, Paman,” jawab Wigatri. “Sekarang, perkenankan kami pergi.”
“Hati-hatilah.”
Wigatri pun segera minta diri kepada para pemimpin yang lain. Dengan tergesa-gesa ia pergi ke pasukannya yang ternyata selalu siap sedia di segala saat. Wigatri tidak memerlukan waktu lama untuk mempersiapkan diri dan seluruh pasukannya. Sejenak kemudian, kesepian malam telah dipecahkan oleh derap kaki-kaki kuda yang berlari-lari meninggalkan padesan.
Sementara itu Samekta telah mengirim penghubung menghadap Ki Gede menyampaikan semua berita tentang pasukan Sidanti dan persiapan yang dilakukannya. Di luar padesan itu, Wigatri membawa pasukannya berpacu ke arah yang telah ditunjuk oleh para pemimpin pasukan Pengawal Tanah Perdikan ke arah yang berbeda dari arah gerakan pasukan Sidanti. Tidak terlampau jauh dari padesan mereka berhenti, menunggu perkembangan keadaan. Para pemimpin di padesan yang baru saja ditinggalkan pasti akan memberinya isyarat untuk melakukan sesuatu gerakan. Meskipun demikian, Wigatri tidak lengah dengan menempatkan beberapa orang anggotanya untuk mengawasi keadaan.
Ketegangan yang merata telah mencengkam seluruh padesan tempat pemusatan pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh dan tempat-tempat pengungsian keluarga mereka. Para pengawal sama sekali tidak melepaskan senjata-senjata mereka dari tangan. Bahkan hampir setiap laki-laki, tua muda yang meskipun bukan pasukan pengawal, namun mereka telah menempatkan diri dalam barisan.

Ketika malam menjadi semakin malam, maka ketegangan  pun menjadi semakin memuncak. Beberapa orang petugas sandi secara terus-menerus melaporkan tentang gerakan lawan.
“Mereka telah berada di depan hidung kita,” berkata salah seorang petugas sandi.
Samekta, Kerti, Wrahasta, dan para pemimpin yang lain berdiri tegak di mulut lorong desa, di luar regol. Mata mereka beredar di kegelapan, seolah-olah ingin melihat, apa saja yang tersembunyi di balik layar yang hitam pekat itu.
Tiba-tiba hampir berbareng mereka tersentak. Mereka melihat seleret api di kejauhan. Obor.
“Aku melihat obor,” desis Kerti.
“Ya,” sahut Wrahasta.
Tetapi dada mereka menjadi semakin berdebar-debar ketika tiba-tiba obor itu seolah-olah terpecah menjadi percikan api yang berpuluh-puluh jumlahnya dan berpencaran di hadapan pemimpin pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh itu pada jarak yang tidak terlampau jauh.
“Mereka berusaha untuk mengepung padesan ini,” desis Samekta.
Kerti dan Wrahasta mengangguk-anggukkan kepala mereka. Tanpa sesadarnya mereka berpaling dan melihat beberapa buah planggrangan pada carang-carang pering ori. Beberapa orang pengawal dengan busur di tangan mereka telah siap untuk menyambut kedatangan lawan.
“Mereka sudah siap,” desis Wrahasta.
“Pasukan yang lain pun telah siap. Kita akan menutup regol ini dan menyambut mereka dengan lontaran tombak-tombak apabila mereka mencoba memecahkan pintu. Pasukan kita tidak akan mendekati pintu itu, sehingga dengan demikian tidak akan mungkin terjadi salah bidik.”
“Bagus,” sahut Samekta.
“Kita bertahan di dalam lingkungan pering ori. Tetapi siapakah yang memimpin pasukan di tempat pengungsian itu?”
“Untuk sementara mereka dipimpin oleh pimpinan kelompok masing-masing sambil menunggu perintah lebih lanjut.”
Samekta mengerutkan keningnya. Kemudian katanya,
“Salah satu orang dari kita harus ke sana.”
“Aku akan pergi” sahut Kerti.

Kerti tidak menunggu jawaban. Segera ia pergi mengambil seekor kuda. Bersama dua orang pengawal ia meninggalkan desa itu menuju ke desa sebelah untuk memimpin pasukan pengawal yang sedang berusaha melindungi para pengungsi dan anak-anak. Seorang penghubung telah dikirim pula oleh Samekta untuk memberitahukan hal itu kepada Ki Argapati sambil melaporkan segala persiapan yang telah dilakukannya. Ki Argapati mendengarkan laporan itu dengan dada yang berdebar-debar. Tetapi ia tidak dapat berbuat sesuatu. Setelah ia menjadi tenang, maka ia menyadari betapa lukanya itu sangat berbahaya, apabila ia tidak berhasil mengendalikan diri. Tetapi apabila keadaan menjadi semakin memuncak, apakah ia akan berbaring terus di pembaringannya?
Dengan pandangan mata yang sayu dan wajah yang pucat ia berkata kepada Pandan Wangi,
“Lihatlah apa yang terjadi.”
“Baik, Ayah,” jawab Pandan Wangi.
“Aku harus mendengar setiap perkembangan yang terjadi.”
“Ya, Ayah”
Dan Pandan Wangi itu pun segera minta diri kepada ayahnya, turun ke halaman dan pergi ke ujung lorong. Dengan langkah yang tetap dan dada tengadah ia berjalan menyusuri jalan padesan. Tangan kanannya tanpa disadarinya telah meraba-raba hulu pedangnya. Tetapi langkahnya tiba-tiba terhenti ketika ia melihat seorang anak muda yang bertubuh raksasa berdiri di pinggir jalan sambil membungkuk hormat kepadanya.
“Ah,” Pandan Wangi berdesah.
“Kemana kau, Wangi?” bertanya Wrahasta.
“Ayah menyuruh aku melihat apa yang sebenarnya terjadi ke ujung jalan.”
“Desa ini sudah dikepung.”
“Itulah yang akan aku lihat.”
“Kita harus bekerja dengan sepenuh tenaga. Bukan kita berkecil hati, Wangi, tetapi kita tidak boleh mengabaikan kenyataan, bahwa kita berada dalam kesulitan.”
Pandan Wangi menyadari pula akan hal ini. Karena itu maka ia  pun menganggukkan kepalanya sambil menjawab,
“Ya Wrahasta. Kita semua menyadarinya. Tetapi kita tidak dapat berbuat lain daripada bertempur. Bertempur sampai kemungkinan yang terakhir.”
Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Mungkin masih ada jalan. Kita masih dapat surut beberapa langkah ke padesan yang lain. Seandainya hal ini harus terjadi, maka kita harus berdasar pada suatu kemungkinan, bahwa kita akan dapat merebut semua kedudukan kembali.”

Pandan Wangi tidak menjawab, Tetapi debar jantungnya menjadi semakin cepat. Apalagi ketika ia mendengar Wrahasta berkata,
“Meskipun demikian, Wangi, aku masih menyisihkan waktu untuk kepentingan pribadiku.”
“Ah,” sekali lagi Pandan Wangi berdesah,
“kita semua sedang disibukkan oleh tugas kita masing-masing.”
“Pandan Wangi,” kata-kata Wrahasta menurun,
“mungkin aku tidak akan dapat melihat matahari terbit esok pagi. Namun sebelum itu aku ingin mendengar jawabanmu. Aku ingin kepastian, Wangi, bukan sekedar teka-teki.”
Terasa tubuh Pandan Wangi menjadi gemetar oleh debar yang semakin meugguncang dadanya. Namun dengan demikian justru mulutnya seakan-akan menjadi terbungkam.
“Kenapa kau diam saja, Wangi?”
Pandan Wangi menjadi semakin bingung. Ia tidak tahu, jawaban apakah yang sebaiknya diucapkan. Beberapa saat yang lalu ia telah mencoba memberikan harapan di hati anak muda yang bertubuh raksasa itu, meskipun tidak memancar dari lubuk hatinya. Dan kini sekali lagi ia dihadapkan pada kesulitan yang sama. Untuk mengalihkan pembicaraan, Pandan Wangi mencoba mengelak,
“Ayah menunggu aku, Wrahasta. Aku harus segera pergi ke gardu di ujung lorong ini.”
“Kau hanya memerlukan waktu sekejap untuk mengucapkan sepatah kata, Wangi.”
Dada Pandan Wangi menjadi semakin pepat. Sedang punggungnya telah menjadi basah oleh keringat dingin. Saat yang dihadapi oleh Tanah Perdikan Menoreh adalah saat yang paling gawat. Kalau saja ia bukan puteri Kepala Tanah Perdikan, maka Wrahasta tidak akan dapat mempergunakan saat-saat yang demikian ini untuk menekankan maksudnya. Meskipun Pandan Wangi tidak menyangsikan kesetiaan Wrahasta atas Tanah ini, namun ia menyadari, bahwa keadaan anak muda ini dapat menggoncangkan perasaannya apabila ia menjadi kecewa.


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar