Dalam kebingungan itu, tiba-tiba Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam ketika ia melihat sekelompok peronda lewat. Dengan serta-merta ia bertanya,
“Di manakah
paman Samekta dan paman Kerti?”
Tetapi yang
menjawab adalah Wrahasta,
“Paman Samekta
berada di regol desa, sedang Paman Kerti pergi ke tempat pengungsian. Ia harus
memimpin pasukan yang berada di sana.”
Dada Pandan
Wangi kembali menjadi berdebar-debar ketika para peronda itu meneruskan
langkahnya.
Sejenak
kemudian mereka berdua berdiri mematung dalam kediaman. Yang terdengar
lamat-lamat adalah suara angkup nangka dan derik jengkerik di kebun. Namun
tiba-tiba mereka berpaling ketika mereka mendengar langkah tergesa-gesa menuju
ke arah mereka. Beberapa langkah lagi orang itu berhenti, sambil berdesis,
“Wrahasta?”
“Ya,” sahut
Wrahasta.
“Ki Samekta
memanggilmu.”
“Mengapa?”
“Obor-obor itu
mulai bergerak.”
Wrahasta
mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia melangkah dengan tergesa-gesa meninggalkan
Pandan Wangi yang masih berdiri termangu-mangu, diikuti oleh orang yang
memanggilnya. Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Untuk sementara ia dapat
melepaskan dirinya dari cengkaman kebingungan. Namun kemudian kakinya segera
terayun menyusul Wrahasta. Ia pun ingin
segera tahu, apa yang telah terjadi. Di muka regol Samekta berdiri dengan
tegangnya. Ketika Wrahasta kemudian telah berada di sampingnya, ia berkata,
“Lihat,
orang-orang Sidanti benar-benar ingin mengepung padesan ini dari segala arah.”
“Bodoh
sekali,” desis Wrahasta.
“Jangan segera
mengambil kesimpulan itu. Kita tidak tahu kemantapan pasukan mereka. Mereka
mungkin hanya menyebarkan obor keliling desa ini, sedang ia menempatkan
kekuatan mereka pada tempat yang telah mereka perhitungkan.”
Wrahasta
mengerutkan keningnya. Tiba-tiba mereka berpaling ketika mereka mendengar suara
Pandan Wangi,
“Tetapi gelar
itu bukan gelar yang baik untuk menyerang.”
Samekta
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan mantap ia menyahut,
“Kau benar,
Wangi. Ternyata pandanganmu mengenai gelar keprajuritan cukup tajam meskipun
kau belum pernah mempelajarinya dengan sungguh-sungguh. Dengan menebarkan
orang-orangnya, Sidanti pasti akan mengambil sikap itu.”
Pandan Wangi
tidak menyahut. Tetapi wajahnya menjadi berkerut mendengar pujian itu. Apalagi
ketika disadarinya bahwa beberapa orang memandanginya dengan berbagai macam
tanggapan yang kurang dimengertinya.
“Meskipun
demikian,” berkata Samekta,
“kita tidak
boleh lengah. Kita tidak dapat melihat apa yang telah mereka persiapkan
sebenarnya. Kita tidak tahu apa yang terdapat di kegelapan itu. Kita hanya
melihat obor-obor itu terpencar. Tetapi apakah orang-orang mereka benar-benar
terpencar, masih belum kita ketahui. Kita masih menunggu beberapa petugas sandi
kita.”
Pandan Wangi
tidak menyahut. Tetapi terasa bahwa Samekta telah meluruskan tanggapannya atas
pasukan lawan meskipun sebagian terbesar pendapatnya dibenarkan.
“Ayah minta
aku memberitahukan apa yang terjadi,” berkata Pandan Wangi kemudian.
“Ya, tunggulah
sampai ada perkembangan seterusnya. Sampai saat ini kita tidak melihat sesuatu
yang mencemaskan.”
“Tetapi ayah
menunggu.”
“Seseorang
akan menghubungi Ki Argapati dan menyampaikan laporan bahwa keadaan tidak berubah.
Kau masih tetap di sini menunggu perkembangan.”
Pandan Wangi
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kepada penghubung itu ia berpesan, bahwa
apabila keadaan meningkat, ia sendiri akan datang memberitahukan kepada
ayahnya.
“Kita dapat
beristirahat sejenak,” berkata Samekta,
“sementara
pengawasan akan diperketat.”
“Bagaimana
dengan pasukan berkuda?”
“Aku sudah
memesan mereka, agar mereka tidak meninggalkan padesan ini sebelum ada isyarat.
Mereka akan jemu menunggu perkembangan berikutnya tanpa berbuat sesuatu.”
“Tidak, mereka
pasti juga melihat obor-obor itu,”
Wrahasta tidak
menjawab. Sejenak kemudian para pemimpin itu pun pergi ke tempat pimpinan untuk
beristirahat dan berbicara tentang keadaan. Pandan Wangi ikut bersama mereka.
Ia tidak mau terpisah dari orang-orang lain, supaya Wrahasta tidak mendapat
kesempatan untuk menyudutkannya ke dalam kesulitan. Sementara itu, di seputar
padesan, pasukan Sidanti mengepung dengan seluruh kekuatan. Meskipun demikian,
mereka memang tidak akan segera menyerang. Mereka sedang mempertimbangkan
kekuatan yang ada di kedua belah pihak. Gerakannya kali ini hanya sekedar
memberikan tekanan-tekanan kepada hati pasukan Argapati, sambil menjajagi
keadaan. Karena itu, maka pasukan itu tidak segera mengadakan gerakan sama
sekali. Mereka berada di tempatnya sambil menggenggam senjata masing-masing.
Meskipun demikian mereka memerlukan seluruh kekuatan yang ada, supaya apabila
setiap saat justru pasukan Argapati yang menyergap mereka, mereka tidak menjadi
terpecah-belah dan kalang kabut.
Bahkan di
dalam pasukan itu ikut pula Ki Tambak Wedi sendiri, beserta Sidanti dan
Argajaya.
“Apakah yang
dapat kita ketahui dengan penjajagan ini, Guru?” bertanya Sidanti.
“Kita sekedar
melihat suasana. Apabila keadaan yang demikian ini terjadi berulang-ulang, maka
pasti akan berpengaruh atas kebulatan hati mereka. Semakin lama mereka pasti
akan menjadi kecut dan berkecil hati sehingga pada saatnya, kita akan
meruntuhkan segenap keberanian mereka. Sementara itu kita akan dapat mengetahui
apakah sebenarnya kekuatan yang mencampuri keadaan ini cukup berat sehingga
kita perlu memperhitungkannya.”
Sidanti
mengerutkan keningnya. Sambil bertolak pinggang ia berdiri tegak memandangi
cahaya lampu yang berkeredipan di dalam padesan di hadapannya yang meloncat
dari sela-sela rimbunnya pering ori yang melingkari desa itu. Sebuah obor
menyala di pintu regol. Lamat-lamat Sidanti dapat melihat beberapa orang yang
hilir-mudik di bawah obor di luar regol itu.
“Mereka tidak
menutup pintu regol,” desis Sidanti
“Mereka bukan
orang-orang yang terlampau bodoh,” sahut Argajaya,
“sehingga
mereka mengerti, bahwa cara kita ini sama sekali bukan gelar untuk menyerang
mereka. Obor-obor yang tersebar itu hanya sekedar memberikan kesan bahwa kita
akan mengepung mereka supaya mereka terpisah dari lingkungan di luar kedua desa
sebelah-menyebelah ini. Tetapi mereka
pun sadar bahwa mereka pasti akan dapat memecahkan kepungan yang
terlampau tipis ini.”
“Ya,” sahut
Tambak Wedi,
“memang bukan
itu tujuan kita. Kita akan membuat mereka menjadi cemas, gelisah, dan
perasaan-perasaan lain yang tidak menentu. Apalagi dalam saat Argapati sedang
luka parah. Aku mengharap bahwa Argapati tidak dapat mengendalikan diri,
sehingga keadaan ini telah membuatnya semakin parah.”
Argajaya tidak
menyahut. Ia dapat mengerti tujuan Ki Tambak Wedi yang mempergunakan berbagai
cara untuk mtnghancurkan lawannya. Tidak saja dengan kekuatan badaniah, tetapi
dengan mempengaruhi segi kejiwaan lawannya, ia berusaha memperlemah daya
perlawanaan mereka. Tetapi yang terlebih penting adalah usaha Ki Tambak Wedi
untuk menilai kekuatan lawan secara langsung. Ternyata beberapa orang yang
berhasil merayap mendekati regol di dalam kegelapan, telah kembali kepadanya.
“Apa yang kau
lihat?” bertanya Sidanti tidak sabar.
“Beberapa
orang pemimpin yang berdiri di luar regol,” jawab penghubung itu.
“Tetapi
sekarang mereka telah masuk lagi.”
“Ya, mereka
pasti menganggap bahwa gerakan ini tidak terlampau berbahaya, meskipun mereka
cukup bersiaga,” sahut Sidanti.
“Tetapi
siapakah yang kau lihat?”
“Samekta,
Wrahasta, Pandan Wangi, dan beberapa orang pemimpin pengawal yang lain.”
“Apakah ada
orang yang belum kau kenal yang pantas kau curigai sebagai orang yang bukan
berasal dari tanah perdikan ini di antara mereka?”
Orang Sidanti
yang berhasil mendekati regol padesan tempat pemusatan pasukan pengawal tanah
perdikan itu mencoba mengingat-ingat siapa sajakah di antara mereka yang berada
di regol desa. Wajah-wajah mereka adalah wajah-wajah yang tidak asing lagi
baginya, meskipun ada di antara mereka yang belum dikenalnya. Tetapi sama
sekali tidak ada kesan bahwa di antara mereka ada orang yang tidak dikenal.
Karena itu
maka jawabnya sambil menggelengkan kepalanya,
“Aku tidak
melihat yang pantas aku curigai. Mereka adalah orang-orang Menoreh.”
Ki Tambak Wedi
mengerutkan keningnya. Teka-teki tentang kelompok kecilnya di Pucang Kembar
sampai saat itu masih belum terjawab.
“Tidak ada
orang lain,” tiba-tiba Sidanti berdesis.
“Belum dapat
dipastikan,” sahut Ki Tambak Wedi, “mungkin mereka berada di dalam regol.”
Orang yang
berhasil keluar dari padesan itu pun tidak mengatakan bahwa ada orang-orang
yang tidak dikenal berada di dalam desa itu. Ki Tambak Wedi mengerutkan
keningnya.
“Yang datang
bersama Ki Argapati yang terluka itu pun hanya Pandan Wangi, Kerti, dan
beberapa pengawal yang semua telah di kenalnya sebagai orang-orang Menoreh,”
sambung Sidanti pula.
“Ya, ya,”
sahut Ki Tambak Wedi,
“mungkin juga
begitu. Tetapi hatiku belum mantap. Aku masih ingin melihat dan menunggu
beberapa hari. Tetapi padesan ini harus tetap kita awasi. Kita akan meletakkan
sebagian dari kekuatan kita di padesan terdekat, dengan jalur-jalur penghubung
yang baik dengan induk tanah perdikan ini.”
Sebelum
Sidanti menjawab terdengar suara tertawa Ki Muni yang berdiri di belakang Ki
Tambak Wedi,
“Kapan pun
kita melakukannya akibatnya tidak akan jauh berbeda. Kita tidak perlu
tergesa-gesa. Tetapi seandainya sekarang pun, tidak akan banyak terdapat
rintangan-rintangan. Aku sudah melihat apa yang akan terjadi. Dari ilmuku aku
tahu bahwa Argapati sekarang sedang sekarat. Malam nanti, selambat-lambatnya
besok pagi, ia akan mati. Memang terdapat perlawanan yang baik dari dalam
dirinya yang memiliki kekuatan yang luar biasa. Tetapi kekuatan itu juga
terbatas.” Ki Muni berhenti sejenak. Sambil mengerutkan dahinya ia berkumat-kamit.
Kemudian katanya,
“Pada saat
Argapati mati, maka seluruh kekuatan pasukannya akan terpukul dari dalam diri
mereka sendiri. Keberanian, tekad, dan kemauan mereka akan runtuh bersama mayat
Argapati yang akan dikuburkan di dalam bumi. Nah, kalian tidak akan terlampau
sulit untuk mengalahkannya. Dengan bersorak-sorak dan berteriak-teriak saja
kalian akan dapat mematahkan perlawanan mereka. Dan mereka pun akan tidak ubahnya seperti kerbau yang
paling bodoh.”
Ki Tambak Wedi
mengerutkan keningnya. Ia tidak mempergunakan perhitungan serupa itu menghadapi
Argapati. Tetapi ia tidak menolak keterangan Ki Muni itu. Sebab menurut
keyakinan Ki Tambak Wedi sendiri, memang ada ilmu yang dapat melihat
peristiwa-peristiwa yang akan terjadi, seperti apa yang pernah dipelajarinya
meskipun tidak mendalam. Tetapi menghadapi Argapati, ia lebih cenderung
mempergunakan perhitungan tata keprajuritan. Keteguhan hati Argapati pasti akan
mempersulit penglihatannya melalui ilmu-ilmunya yang masih belum sempurna. Namun
ia tidak mengerti, betapa jauh Ki Muni menguasai ilmu serupa itu. Tetapi apa
yang dikatakannya memang masuk akal. Argapati akan mati, malam ini atau besok
pagi-pagi. Pasukannya akan kehilangan gairah perlawannya dan akan segera dapat
dikalahkan. Meskipun demikian Ki Tambak Wedi masih juga ragu-ragu.
“Kita pasti
tidak akan memasuki tempat itu malam ini,” tiba-tiba ia bergumam.
“Kita masih
belum mendapatkan kemantapan.”
“Itu pun tidak
menjadi soal,” jawab Ki Muni.
“Adalah lebih
baik apabila kita menunggu Argapati mati. Kita tidak akan melepaskan korban
terlampau banyak.”
“Tetapi
bagaimana kalau ia nanti dapat sembuh,” potong Sidanti.
“Penglihatanku
tidak pernah salah,” sahut Ki Muni.
“Hanya oleh
sebab yang tidak terduga-duga hal itu dapat terjadi. Tetapi hal yang tidak
terduga-duga itu pun tidak aku lihat, sehingga sembilan dari sepuluh
kemungkinan, Argapati akan mati.”
“Apakah Ki
Muni dapat juga melihat hadirnya kekuatan dari luar Menoreh pada pihak Ki
Gede?” bertanya Sidanti tiba-tiba.
Wajah Ki Muni
menjadi berkerut-merut. Ditatapnya wajah Sidanti sejenak. Kemudian sambil menggelengkan
kepala ia menjawab,
“Aku belum
berusaha melihatnya. Aku baru berusaha melihat kemungkinan yang akan terjadi
pada Ki Gede. Aku ternyata khilaf, bahwa aku tidak melihat kemungkinan itu sama
sekali.”
Sidanti
menarik keningnya. Tetapi ia tidak berkata apa pun, ia agak kurang tertarik
dengan cara yang dipergunakan oleh Ki Muni. Baginya, perhitungan jasmaniahlah
yang paling baik dipergunakan di dalam gelar perang seperti saat ini.
“Baiklah, kita
menunggu segala kemungkinan dan perkembangan keadaan. Tetapi kita tetap di
tempat. Kita kepung desa ini supaya pasukan Argapati menjadi tintrim dan cemas
menghadapi keadaan mereka di saat-saat mendatang. Seandainya kita masih belum
mendapatkan kepastian, maka besok malam hal yang serupa ini pun akan kita lakukan, sementara itu
petugas-petugas sandi akan berusaha melihat apa yang ada di dalam lingkungan
pagar pering ori itu.”
Tidak ada
seorang pun yang menjawab. Argajaya agaknya
telah kehilangan gairah untuk ikut campur dalam percakapan itu. Betapapun juga
Argapati adalah saudara kandungnya. Kemungkinan bahwa kakaknya itu akan mati,
ternyata mempengaruhi pikirannya pula. Kadang-kadang timbullah keragu-raguannya
atas kemungkinan yang akan dapat dicapai dengan caranya ini. Sesudah Argapati
dikalahkan, bagaimana dengan dirinya? Apakah ia akan berhasil mengusir Ki
Tambak Wedi dan Sidanti?
“Tetapi
Sidanti bukan trah Argapati dan ia tidak akan berhak untuk mempergunakan nama
itu dan gelar Ki Gede Menoreh,” katanya di dalam hati, namun kemudian,
“Tetapi apakah
aku mampu menghadapinya, dan apakah orang-orang Menoreh mempercayainya
seandainya aku mengatakan keadaan yang sebenarnya.”
Keragu-raguan
yang tajam telah meledak di dalam hati Argajaya. Sekali-sekali disambarnya
wajah Sidanti, kemudian wajah Ki Tambak Wedi. Kedua wajah itu memang mirip.
Sidanti memang bukan hanya sekedar murid Ki Tambak Wedi. Terbayang di rongga
mata Argajaya bayangan wajah kakak iparnya, Rara Wulan. Menurut anggapannya
saat itu, Rara Wulan adalah seorang perempuan yang paling baik yang dikenalnya.
Seorang penurut. Seorang yang sangat berbakti kepada suaminya. Seorang yang
tidak pernah menimbulkan persoalan di dalam rumah tangganya.
“Semua itu
hanya sekedar tebusan dari dosa-dosanya,” gumamnya di dalam hati.
Ketika
Argajaya menarik nafas dalam-dalam, ia melihat Sidanti memandanginya. Hanya
sekilas, kemudian anak muda itu melangkah beberapa langkah dan duduk di atas
rerumputan yang basah oleh embun. Sejenak kemudian Ki Tambak Wedi pun melangkah
pergi diiringi oleh Ki Muni, sedang Argajaya masih tetap berada di tempatnya. Argajaya
pun kemudian meletakkan dirinya pula, duduk di atas sebuah batu sambil
memandangi padesan di depannya. Desa kecil yang berpagar rapat dengan
batang-batang pering ori. Beberapa berkas cahaya lampu memancar menggores
gelapnya malam. Sekali lagi Argajaya menarik nafas dalam-dalam. Ia terkejut
ketika seseorang menggamitnya. Ketika ia berpaling dilihatnya Ki Wasi duduk di
belakang.
“He,” sapa Ki Wasi,
“apakah yang kau renungkan?”
“Tanah ini,”
sahut Argajaya.
Ki Wasi
bergeser selangkah maju dan duduk di sisi Argajaya. Tanpa sesadarnya ia pun merenungi desa di hadapannya. Kemudian
ditebarkannya pandangan matanya ke sekelilingnya. Tidak ada orang lain yang
berada di dekatnya.
“Akhirnya api
berkobar tanpa dapat dikendalikan,” desis Ki Wasi.
Argajaya
menganggukkan kepalanya.
“Ya. Tanah ini
telah terbakar hangus. Kelak kita hanya akan mendapatkan abunya saja.”
Ki Wasi
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Aku
kehilangan pertimbangan, yang manakah sebenarnya yang paling baik aku lakukan.
Ketika aku melihat kau berdiri di pihak Sidanti, maka aku yang dicengkam oleh
keragu-raguan segera memisahkan diri dari Ki Argapati.”
“Ya,” sahut
Argajaya.
“Sayang, bahwa
Argapati lebih senang kepada kedudukannya daripada kepada anak laki-lakinya,
yang sebenarnya dapat menjadi penerus cita-citanya.”
Terasa dada
Argajaya berdesir. Namun ia menjawab terbata-bata,
“Ya, ya.
Kakang Argapati tidak mau mengalah.”
“Angger Argajaya,”
berkata Ki Wasi,
“apakah Angger
Argajaya sama sekali tidak mempunyai pengaruh untuk memperingatkan Ki Argapati
agar ia mengurungkan niatnya memusuhi puteranya sendiri? Yang paling menderita
dalam persoalan ini adalah Menoreh. Pertentangan antara ayah dan anak itu akan
membenturkan kekuatan-kekuatan yang ada di dalam Tanah ini. Apabila Ki Argapati
bersedia mengalah, kemudian memberikan kesempatan kepada yang muda untuk ikut
memimpin pemerintahan meskipun masih tetap dalam pengawasan yang tua-tua, maka
keadaan akan menjadi berbeda. Sebaliknya Sidanti juga jangan meninggalkan
ayahnya sama sekali, yang sampai saat ini telah menunjukkan kemampuannya,
menjadikan Menoreh Tanah Perdikan yang besar dan disegani.”
Argajaya hanya
dapat mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Ya, Ki Wasi.
Memang seharusnya demikian.”
Tetapi
Argajaya tidak mengatakan kepada Ki Wasi hubungan yang sebenarnya antara
Argapati dan Sidanti. Juga hubungan antara Sidanti, Ki Tambak Wedi, dan dirinya
sendiri dengan Pajang. Juga tidak tentang nafsu yang menyala-nyala di dalam
dada Sidanti dan sudah tentu di dalam dadanya sendiri, untuk meloncat ke
jenjang yang paling atas dari segala macam jabatan.
“Sekarang
keadaan telah menjadi parah,” sambung Ki Wasi.
“Ki Argapati
sendiri mengalami luka-luka parah dan tidak seorang pun yang dapat menolongnya.
Aku pun tidak, meskipun sebelum ini aku terlampau dekat dengan Ki Gede.”
Argajaya tidak
menyahut. Ketika ia berpaling dilihatnya mata Ki Wasi menjadi suram. Pandangan
mata yang suram itu seolah-olah meluncur jauh menembus dinding pering ori yang
rapat itu. Dan tiba-tiba Argajaya mendengar Ki Wasi bergumam,
“Lepas dari
semua masalah, adalah kewajibanku untuk menyembuhkan orang yang sakit.
Sebenarnya aku ingin pergi mendapatkan Ki Argapati. Tetapi agaknya Ki Argapati
sendiri telah menutup kemungkinan itu. Ki Argapati atau orang yang dekat dengannya,
mungkin Samekta, mungkin Kerti, atau mungkin Angger Wrahasta, telah melarang
dan menolak aku dan Ki Muni.”
Argajaya
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Tanpa ilmu
macam apa pun, memang sudah dapat diramalkan bahwa Ki Argapati akan menemui
ajalnya.” suara Ki Wasi merendah. “Sayang. Sayang sekali.”
Argajaya
seolah-olah membeku di tempatnya. Seperti Ki Wasi, ia pun kemudian memandangi keredip lampu minyak
di dalam padesan itu. Ditatapnya kemudian nyala obor di depan regol. Kemudian
terdengar ia berdesah perlahan-lahan.
Sementara itu,
Samekta, Wrahasta, dan Pandan Wangi sedang duduk melingkari lampu minyak di
atas ajuk-ajuk yang rendah. Mereka berkesimpulan bahwa Sidanti tidak akan
menyerang malam ini.
“Mereka ingin
meruntuhkan ketahanan hati kita,” berkata Samekta.
“Meskipun
demikian, kita tidak boleh kehilangan kewaspadaan.”
“Mereka pasti
menyangka bahwa luka Ki Gede menjadi semakin parah,” sahut Wrahasta.
“Tetapi pasti ada
sesuatu yang menahan mereka. Kalau mereka yakin Ki Gede menjadi semakin parah,
maka mereka pasti akan menyerang malam ini. Dan sudah tentu mereka tidak akan
memasang gelar seperti saat ini.”
“Kita hanya
dapat menunggu perkembangan berikutnya.”
“Kita tahan
dulu pasukan berkuda itu untuk tidak melakukan gerakan apa pun. Terasa bahwa
ada sesuatu yang masih harus dipertimbangkan oleh Ki Tambak Wedi. Sesuatu yang
kita masih belum tahu dengan pasti.”
Wrahasta
menganguk-anggukkan kepalanya. Tanpa disengaja dipandanginya mata Pandan Wangi
yang suram. Tetapi gadis itu menunduk dalam-dalam. Meskipun Pandan Wangi
seolah-olah tidak ikut di dalam pembicaraan itu, namun di dalam hatinya ia
sedang mencoba mencari-cari kebenaran kata-kata Samekta, bahwa Ki Tambak Wedi masih
harus mempertimbangkan sesuatu. Sesuatu yang belum dapat dimengertinya. Tetapi
dalam pada itu Pandan Wangi mencoba menghubungkannya dengan orang-orang
bercambuk yang telah memberi obat kepada ayahnya dan yang telah melepaskannya
dari tangan Ki Peda Sura.
“Mereka tidak
hanya satu orang,” berkata Pandan Wangi di dalam hatinya.
“Yang aku
lihat pasti bukan yang dilihat oleh ayah. Bukan karena namanya berbeda. Nama
dapat dibuat seribu macam bagi seseorang. Tetapi ciri orang yang menolongku itu
sama sekali tidak sama dengan anak muda yang menyerahkan obat itu kepada ayah.
Yang menurut ayah, adalah seorang anak muda yang gemuk. Persamaan di antara
mereka adalah keduanya mempergunakan cambuk sebagai senjata mereka, atau
sebagai tanda pengenal mereka. Orang-orang itulah agaknya yang sedang
dipertimbangkan oleh Ki Tambak Wedi. Mungkin yang dikatakan oleh Gupita ayahnya
itulah yang harus diperhitungkan oleh Ki Tambak Wedi. Ayah Gupita yang sampai
saat ini masih belum dapat dikenal siapakah orangnya.”
Tetapi Pandan Wangi
menyimpan pendapatnya itu di dalam hati. Ia tidak mengerti, kenapa tiba-tiba
saja ia tidak ingin mempersoalkan anak-anak muda bercambuk itu di hadapan
Wrahasta. Sementara itu malam pun menjadi semakin malam. Para penjaga dan para
peronda tidak melihat gerakan-gerakan yang berbahaya dari pasukan Sidanti.
Beberapa di antara obor-obor mereka telah padam karena kehabisan minyak. Tetapi
petugas-petugas sandi telah tersebar di tengah-tengah sawah, di antara kedua
pasukan yang telah siap itu. Petugas sandi dari kedua belah pihak. Mereka
saling mengintai untuk melihat apabila ada gerakan-gerakan yang aneh dan tanpa
terduga-duga. Di tepi pategalan, di ujung bulak, pasukan berkuda yang dipimpin
oleh Wigatri menunggu dalam kegelisahan. Tetapi karena mereka melihat obor yang
berkeredipan di seputar desa tempat pemusatan pasukan pengawal Tanah Perdikan
Menoreh, maka segera mereka menyadari, bahwa pasukan Sidanti benar-benar telah
mengepung desa itu. Karena itu, maka mereka terpaksa menyabarkan diri mereka, menunggu
isyarat yang akan diberikan, apabila diperlukan.
“Apakah kita
hanya akan menunggu semalam suntuk?” bertanya salah seorang dari mereka kepada
Wigatri.
“Kita hanya
dapat menunggu. Aku mendapat pesan, bahwa setiap gerakan yang akan kita
lakukan, harus berdasarkan kepada isyarat yang akan diberikan. Mungkin kita
harus pergi dan menarik perhatian pasukan lawan itu di tempat-tempat lain
dengan menyalakan api yang cukup besar. Tetapi mungkin juga kita diperlukan
untuk membantu mengurangi kepungan itu.”
Sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya, anak muda yang bertanya kepadanya melangkah
pergi, kembali ke kudanya. Namun tampak kegelisahan menyekat rongga dadanya.
Meskipun demikian mereka masih cukup sabar menunggu segala macam perintah dan
mentaatinya.
Sebenarnya
Wigatri sendiri pun telah menjadi
gelisah pula. Sekali-sekali dibelainya leher kudanya yang diikatkannya pada
sebatang pohon. Kemudian berjalan hilir-mudik sambil menundukkan kepalanya.
Beberapa orang yang lain duduk terpencar di atas rerumputan sambil membelai
senjata-senjata mereka. Namun demikian, beberapa di antara mereka yang sedang
bertugas untuk mengawasi keadaan, telah berada di tempatnya dengan sepenuh
kewaspadaan.
“Kalian dapat
beristirahat sebaik-baiknya,” berkata Wigatri kepada kawan-kawannya yang tidak
sedang bertugas.
“Kalian boleh
berbaring atau apa pun. Tetapi setiap saat kalian harus sudah siap meloncat ke
punggung kuda kalian.”
Maka beberapa
orang dari mereka pun kemudian dengan tenangnya berbaring di rumput yang basah
oleh embun. Tetapi kehangatan dada mereka membuat mereka sama sekali tidak
merasakan betapa dinginnya malam. Bahkan ada di antara mereka yang duduk di
antara sadar dan tidak karena diserang oleh kantuk. Sebagian terbesar dari
mereka memperhitungkan, bahwa malam ini mereka hanya sekedar berpindah tidur
saja dari barak-barak mereka di dalam padesan.
Sebenarnyalah
bahwa malam itu tidak ada sesuatu yang terjadi. Menjelang fajar, Sidanti telah
menarik pasukannya. Namun seperti yang telah dipesankan Ki Tambak Wedi untuk
menempatkan beberapa bagian dari pasukannya di tempat yang lebih dekat dengan
padesan tempat pemusatan pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh.
“Kita harus
berusaha agar mereka tidak mendapat kesempatan mengumpulkan bahan makanan,”
berkata Ki Tambak Wedi.
“Tetapi persediaan
mereka masih cukup banyak,” jawab Sidanti.
Tetapi Ki Muni
menggeleng.
“Tidak. Aku
yakin bahwa mereka akan kehabisan padi. Tetapi sebelum itu mereka pasti sudah
menyerah apabila Argapati mati. Hanya satu dua orang saja dari mereka yang
telah menjadi gila, akan mengadakan perlawanan terus.” Ki Muni berhenti
sejenak.
“Lalu setelah
fajar menyingsing, aku ingin mendengar suara tangis Pandan Wangi, menangisi
mayat ayahnya.”
“Seandainya
benar Argapati mati,” sahut Ki Wasi, “hal itu pasti akan dirahasiakan untuk
sementara.”
Ki Tambak Wedi
menganggukkan kepalanya.
“Ya. Pasti.
Tetapi kita harus berusaha untuk selalu mendengar berita tentang Ki Argapati.
Apakah sampai saat ini masih ada petugas sandi yang berada di dalam desa itu?”
“Ya,” sahut
Argajaya,
“masih ada dua
orang kita di dalam desa itu. Keduanya adalah penduduk desa itu sendiri. Mereka
tidak akan mudah keluar dari desa itu. Sehingga mereka hanya akan dapat
memberikan isyarat-isyarat saja tentang keadaan di dalam.”
“Tetapi kita
sulit untuk mengerti isyarat itu,” jawab Sidanti. “Kita tidak sempat membuat
persetujuan, apakah yang akan dilakukan dan tanda-tanda apakah yang akan
diberikan seandainya Argapati meninggal atau ada orang lain yang ikut campur di
dalam peperangan ini.”
Argajaya tidak
menjawab. Tetapi hal tersebut adalah memang benar.
Ki Tambak
Wedi pun kemudian hanya dapat
mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang sulit baginya untuk dapat mengetahui
keadaan di dalam lingkaran pering ori itu. Tetapi ia tidak segera menjadi putus
asa. Kedua orang itu pasti akan menemukan akal untuk menyampaikan berita
terutama berita terpenting dari dalam, seandainya mereka benar-benar tidak
dapat lolos lagi dengan cara apa pun. Dalam pada itu, ketika pasukan Tambak
Wedi ditarik dari sekitar tempat pemusatan pengawal Tanah Perdikan Menoreh,
maka para penghuni desa itu pun merasa seolah-olah mereka dapat mulai bernafas
lagi. Tetapi itu bukan berarti bahwa bahaya yang sebenarnya telah lenyap.
Mereka menyadari, bahwa di siang hari pun kemungkinan yang sama akan dapat terjadi.
Bahkan mungkin pada saatnya Ki Tambak Wedi akan menyerang desa itu di siang
hari.
Pandan Wangi,
yang telah berada di samping ayahnya, melaporkan semua yang terjadi. Ternyata
bahwa pasukan kakaknya, Sidanti, hanya sekedar membuat suatu gerakan untuk mengetuk
ketabahan hati para pengawal Tanah Perdikan Menoreh.
Ki Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya perlahan-lahan,
“Sidanti
menuggu berita kematianku.”
Pandan Wangi
tidak segera menyahut, tetapi kepalanya tertunduk dalam-dalam.
“Tetapi aku heran
bahwa Sidanti tidak benar-benar menyerang malam ini,” gumam Ki Argapati
kemudian.
“Berita
tentang lukaku yang parah pasti telah sampai kepada mereka.”
Pandan Wangi
kemudian menganggukkan kepalanya pula. Jawabnya,
“Kita memang
menyangka bahwa Kakang Sidanti akan mempergunakan kesempatan ini.”
“Ternyata
serangan itu tidak dilakukannya,” sambung ayahnya.
“Dengan
demikian kita akan dapat mengambil kesimpulan, bahwa Ki Tambak Wedi pasti
memperhitungkan kemungkinan lain yang dapat terjadi.”
Pandan Wangi sekali
lagi mengangguk-anggukkan kepalanya. Ternyata perhitunggan ayahnya sesuai
dengan perhitungan Samekta dan para pemimpin yang lain. Bahkan Kerti yang
kemudian kembali ke desa itu pun
mengatakan serupa itu pula.
“Wangi,”
berkata ayahnya,
“agaknya Ki Tambak
Wedi telah mencium hadirnya orang bercambuk itu di tlatah Menoreh. Aku tidak
tahu, dalam bentuk apakah gambaran Ki Tambak Wedi itu, apakah ia memang sudah
mengenalnya atau pernah mendengar namanya atau mungkin ia hanya menduga-duga,
tetapi aku kira Ki Tambak Wedi memperhitungkan hadirnya kekuatan yang lain di
atas tanah perdikan ini. Ketika kami bertempur di bawah Pucang Kembar, dan Ki
Tambak Wedi berhasil melukai aku agaknya memang telah terjadi sesuatu yang
tidak terduga-duga. Tambak Wedi yang menunggu kehadiran orang-orangnya yang
memang sudah dipersiapkan menjadi kecewa. Bahkan yang datang hanyalah seorang
yang telah terluka parah. Inilah agaknya yang menahan Ki Tambak Wedi untuk
bertindak malam ini. Agaknya ia perlu menjajagi apa yang ada di dalam
lingkungan pertahanan ini.”
Pandan Wangi
masih mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan ayahnya meneruskannya,
“Tetapi
hati-hatilah selanjutnya. Sebab sebagaimana kau ketahui, bahwa tidak ada
kekuatan apa pun di luar kekuatan kita
sendiri. Aku berterima kasih bahwa aku telah di selamatkan oleh obat yang
diberikannya. Tetapi seandainya Ki Tambak Wedi tidak ragu-ragu dan menyerang
malam tadi, mungkin kita sudah terpecah menjadi kepingan-kepingan yang sama
sekali tidak berarti lagi.” Ki Argapati berhenti sejenak, lalu,
“Namun
sekarang kita pun masih harus
berprihatin. Kalau daya kemampuan obat ini kemudian lenyap, maka tidak akan ada
seorang pun yang dapat melanjutkan
pengobatan atas lukaku. Aku tidak dapat membayangkan, apakah yang akan terjadi
kemudian. Mungkin aku dapat mencoba mencari dedaunan yang dapat menolong.
Tetapi aku bukan seorang yang mempelajari ilmu pengobatan dengan baik. Karena
itu keragu-raguan Ki Tambak Wedi harus kita manfaatkan. Pasukan berkuda itu
mungkin dapat membantu. Mereka harus berbuat dan mencoba menghilangkan jejak
mereka supaya mereka tidak dikenal sebagai orang-orang Menoreh. Dengan
demikian, maka Ki Tambak Wedi akan tetap menganggap bahwa memang ada kekuatan
lain yang hadir di atas Tanah Perdikan ini untuk mengimbanginya. Aku mempunyai
pikiran, bahwa beberapa orang dari pasukan berkuda itu supaya mempergunakan
cambuk yang panjang juntainya, tetapi bertangkai pendek. Aku mengharap, pasukan
itu dapat menimbulkan persoalan baru bagi Ki Tambak Wedi, sementara kita
menunggu, apakah sebenarnya yang dikehendaki oleh orang-orang bercambuk itu.”
Pandan Wangi
mengangguk-angguk pula. Ia mengerti maksud ayahnya. Sebelum ayahnya mampu
berbuat sesuatu, ayahnya akan mengaburkan perhitungan Ki Tambak Wedi dengan
caranya. Orang-orang bercambuk itu agaknya telah menumbuhkan pikiran baru pada
ayahnya.
“Mudah-mudahan
Ki Tambak Wedi pernah mendengar tentang orang-orang bercambuk itu,” katanya di
dalam hati.
“Panggillah
Samekta,” berkata Ki Argapati kemudian.
“Baik, Ayah,”
jawab Pandan Wangi yang kemudian melangkah pergi meninggalkan ruangan itu.
Tetapi Pandan Wangi tidak pergi sendiri. Ia masih selalu berusaha menghindari
pertemuan seorang diri dengan Wrahasta. Sehingga karena itu, maka disuruhnya
seorang pengawal untuk menyampaikan pesannya kepada Ki Samekta. Samekta
mendengarkan cara Ki Argapati itu sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia
dapat mengerti maksud Ki Gede Menoreh. Namun ia bertanya,
“Tetapi Ki
Gede, bagaimanakah sikap orang bercambuk itu sendiri? Apakah Gupala, Gupita,
dan orang yang diakuinya sebagai ayahnya itu tidak merasa terlanggar haknya?”
“Mudah-mudahan
tidak, Samekta. Aku mengharap seandainya demikian, mereka akan menemui aku.”
Sekali lagi
Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. Setelah berdiam sejenak ia berkata,
“Kami akan
mencoba Ki Gede. Aku akan membuat agar empat orang di antara mereka, menjadi
bayangan dari orang-orang bercambuk itu. Mudah-mudahan hal ini justru tidak
menumbuhkan persoalan baru bagi Menoreh.”
Demikianlah
maka Samekta mencoba untuk memenuhi cara yang harus ditempuhnya menurut
petunjuk Ki Gede Menoreh, untuk menunda gerakan Ki Tambak Wedi sampai pada
suatu saat Ki Argapati telah menjadi berangsur baik, maka ia harus mengaburkan
perhatian Ki Tambak Wedi dengan gelar sandi, seakan-akan ada unsur kekuatan
baru yang harus diperhitungkan setidak-tidaknya oleh Ki Tambak Wedi.
Maka ketika
malam kemudian mendekat, maka pasukan berkuda yang dipimpin Wigatri telah
bersiap pula. Demikian mereka mendengar laporan bahwa pasukan Sidanti bergerak
seperti malam kemarin mendekati desa, maka pasukan berkuda itu dilepas oleh
Samekta dengan tugas yang khusus. Sekali lagi Samekta berpesan, jangan
menimbulkan korban yang tidak berarti. Baik bagi anggota pasukan berkuda itu
sendiri, maupun pada sasaran yang akan dituju.
Samekta
sendiri bersama Wrahasta dan Pandan Wangi berdiri tegak di muka regol desa
untuk melihat obor-obor yang seolah-olah merayap mendekati mereka. Tetapi
seperti malam yang lampau obor-obor itu berhenti pada jarak yang tidak
terlampau dekat dalam gelar yang sama seperti yang pernah terjadi.
“Mereka masih
belum akan menyerang,” desis Samekta. “Itu hanya sekedar pameran kekuatan.”
Wrahasta
menganggukkan kepalanya. Jawabnya,
“Aku juga
menyangka demikian. Tetapi kemungkinan yang lain dapat terjadi. Apakah paman
Kerti sudah siap di tempatnya?”
“Ya. Ia telah
pergi ke desa sebelah.”
Kemudian
mereka pun terdiam. Ki Argapati pun telah mendengar laporan, bahwa pasukan
Sidanti telah datang untuk kedua kalinya. Dan bahwa pasukan Menoreh pun telah
siap menghadapi segenap kemungkinan. Namun seperti malam yang telah lewat,
pasukan Sidanti itu tidak segera berbuat sesuatu. Mereka berada dalam jarak
yang tetap sambil duduk-duduk dan bahkan ada yang terkantuk-kantuk bersandar
sebatang pohon atau saling bersandar punggung. Samekta dan para pemimpin yang
lain pun kemudian masuk ke dalam regol desa dan setelah sekedar memeriksa
pasukannya, maka mereka pun segera kembali ke tempat pimpinan. Namun tampak di
wajah-wajah mereka, sesuatu yang menegang di dadanya. Para pemimpin itu tidak
dapat melepaskan diri dari ingatan mereka tentang pasukan berkuda yang sudah
harus mulai melakukan tugas mereka. Sejenak kemudian mereka terkejut ketika
seorang pengawal dengan teresa-gesa masuk ke rumah itu. Dengan tergesa-gesa
pula ia berkata,
“Ki Samekta,
aku, eh, para pengawas mendengar suara titir di kejauhan. Kami melihat warna
semburat merah di langit.”
“Kebakaran
maksudmu?”
Pengawal itu
mungangguk, “Ya.”
Sejenak para
pemimpin itu saling berpandangan. Segera mereka mengetahui, bahwa Wigatri telah
berbuat sesuatu.
“Dari arah
mana kau melihat api itu?”
“Di padukuhan
induk.”
Samekta
menarik nafas dalam-dalam. Ternyata Wigatri masih juga dibakar oleh darah
mudanya. Agaknya pasukan berkuda itu langsung membuat huru-hara di padukuhan
induk, atau padukuhan-padukuhan lain dekat padukuhan induk.
“Mereka adalah
anak-anak yang berani,” gumam Wrahasta.
Samekta
menganguk-anggukkan kepalanya. Keberanian anak-anak muda itu memang tidak
disangsikan lagi. Namun yang masih perlu ditekankan kepada Wigatri adalah
pertimbangan di samping luapan perasaan yang hampir tidak terkendali.
“Marilah kita
melihat,” desis Samekta.
“Dan Ki
Argapati pun harus segera mendengar laporan ini pula.”
Sejenak
kemudian maka Samekta, Wrahasta, Pandan Wangi, dan beberapa orang pemimpin yang
lain pun segera keluar regol untuk
melihat apa yang terjadi, sedang seorang penghubung telah langsung pergi
melaporkan kepada Ki Argapati. Ketika para pemimpin pasukan Pengawal Tanah
Perdikan Menoreh melihat langit yang diwarnai oleh nyala api, serta suara titir
yang seolah-olah memekik-mekik, maka terasa dada mereka pun tergetar.
“Rumah
siapakah yang telah menjadi korban pertama ini?” desis Samekta.
“Wigatri tahu
benar, siapakah yang masih harus mendapat perlindungan, dan siapakah yang
benar-benar telah berkhianat,” sahut Wrahasta yang masih dialiri oleh darah
mudanya pula.
Samekta
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi sejenak ia tidak menyahut. Yang
dipandanginya kini adalah obor-obor yang menjadi gelisah pula. Agaknya api dan
suara titir itu telah menarik perhatian pasukan Sidanti yang sedang mengepung
padesan itu.
“Apakah yang
sudah terjadi?” bertanya Ki Tambak Wedi.
“Kebakaran,”
jawab Argajaya.
“Tetapi titir
itu adalah pertanda bahwa daerah itu dilanda oleh bahaya”
Ki Tambak Wedi
menggeram. Tetapi ia tidak segera mengambil kesimpulan.
“Kita harus
melihat apa yang telah terjadi,” berkata Sidanti.
Ki Tambak Wedi
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak segera terpengaruh oleh keadaan
itu. Sebagai seorang yang cukup berpengalaman ia mampu mengendalikan diri dan
berbuat dengan kepala yang dingin.
“Kita harus
segera menarik pasukan ini,” tiba-tiba Ki Muni memotong dengan nafas
tersengal-sengal,
“aku melihat
api dan mendengar suara titir.”
“Kami telah
melihatnya pula,” sahut Argajaya.
“Kalau begitu,
kita harus segera kembali. Kita harus segera melawan serangan yang membabi buta
itu.”
“Tunggu,”
potong Ki Tambak Wedi,
“jangan
seperti anak-anak kehilangan makanan.” Ki Tambak Wedi berhenti sejenak, lalu,
“Kita tetap di
sini. Perintahkan dua orang untuk melihat apa yang telah terjadi.”
“O, jadi kau
menunggu seluruh padukuhan induk menjadi karang abang?” teriak Ki Muni.
“Cepat!” Ki
Tambak Wedi seolah-olah tidak mendengar suara Ki Muni.
“Kemudian
mereka harus datang kemari lagi. Berkuda.”
Sejenak
kemudian maka dua orang anak buah Sidanti meninggalkan pasukannya untuk kembali
ke pedukuhan induk. Mereka harus melihat apa yang telah terjadi. Dan
mereka pun harus segera kembali, bahkan
berkuda. Dengan demikian, maka keduanya segera berlari-lari kecil memintas
persawahan. Berlari-lari sepanjang pematang dan meloncat parit-parit kecil.
Sementara itu di kejauhan masih dilihatnya warna merah menjilat langit. Samekta
dan para pemimpin pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh masih berada di
tempatnya. Mereka menjadi berdebar-debar ketika mereka melihat, sama sekali
tidak ada perubahan pada gelar lawannya. Betapa gelisah obor-obor yang
melingkari padesan itu, namun obor itu tidak beranjak dari daerah lingkarannya.
“Apakah Ki
Tambak Wedi sama sekali tidak memperhatikan kebakaran itu?” desis Wrahasta.
“Ki Tambak
Wedi adalah orang yang cukup berpengalaman” sahut Samekta.
“Mungkin ia
sedang menimbang-nimbang. Mungkin ia sedang memerintahkan satu dua orang untuk
melihat apa yang sedang terjadi. Atau masih ada kemungkinan-kemungkinan yang lain.
Tetapi aku yakin, bahwa yang terjadi akan berpengaruh pada lawan kita.”
Wrahasta tidak
menjawab. Tetapi tatapan matanya seolah-olah menyala memandangi obor-obor yang
masih saja berada di kejauhan.
“Kita tidak
perlu menungguinya di sini,” berkata Samekta kemudian.
“Kami akan
mendapat laporan segera apabila terjadi perubahan keadaan. Di tengah-tengah
sawah itu bertebaran para petugas sandi yang akan dapat memberitahukan setiap
gerakan lawan.”
Wrahasta
menganggukkan kepalanya. “Baik. Sementara kita menunggu perkembangan keadaan.”
Samekta dan
para pemimpin yang lain pun segera masuk
dan kembali ke tempat pimpinan. Sementara para petugas tetap mengawasi keadaan
dengan saksama.
Di luar
padesan itu, agak di kejauhan, Ki Tambak Wedi menunggu orang-orangnya dengan
gelisah. Sementara itu Ki Muni menggerutu tidak habis-habisnya. Sedang Sidanti,
Argajaya, dan Ki Wasi duduk merenung sambil sekali-sekali mengawasi warna merah
di langit. Ketika mereka telah hampir kehilangan kesabaran, maka terdengarlah
derap dua ekor kuda mendekat. Semakin lama semakin dekat. Ternyata mereka
adalah dua orang petugas yang telah dikirim oleh Sidanti untuk melihat keadaan.
“Apa yang
telah terjadi?” bertanya Sidanti tidak sabar.
“Sebuah
serangan dari sepasukan berkuda,” jawab salah seorang dari mereka.
“Pasukan
berkuda?” tanya Argajaya meloncat berdiri.
“Siapakah
mereka itu?” desak Sidanti.
“Kami tidak
dapat menyebutkan, siapakah mereka itu. Hampir semua dari mereka memakai
secarik kain putih di lehernya, dan bahkan sebagian untuk menutup wajah mereka
sehingga hanya mata mereka sajalah yang tampak.”
Ki Tambak Wedi
mengerutkan keningnya, sedang Sidanti dan Argajaya menggeram hampir bersamaan.
“Jangan
terkejut,” Ki Tambak Wedi berkata dengan nada datar.
“Dalam keadaan
yang sulit, orang-orang Menoreh pasti telah membuat permainan yang memuakkan.”
“Dalam
sekaratnya Argapati masih dapat membuat onar,” sahut Ki Muni.
“Tetapi
bukankah Argapati telah mati. Kalau tidak semalam maka pasti siang tadi.
Bukankah begitu Ki Muni?” sahut Sidanti yang mulai menjadi jengkel terhadap
orang yang banyak bicara itu.
Mata Ki Muni
terbelalak mendengar kata-kata Sidanti itu. Hampir saja ia berteriak, tetapi
ketika dilihatnya Ki Tambak Wedi maka maksudnya itu pun diurungkannya.
“Siapa tahu,”
ia bergumam.
“Tidak seorang
pun mengerti apa yang sebenarnya telah terjadi dengan Argapati. Mungkin ia
memang sudah mati sekarang.”
“Kita tidak
berbicara tentang kemungkinan,” sahut Sidanti,
“kita sekarang
berbicara tentang semua persoalan yang benar-benar terjadi dan telah terjadi.”
Lalu kepada kedua orang berkuda itu ia bertanya,
“Apakah yang
dapat kau katakan tentang mereka itu?”
Kedua orang itu
termenung sejenak, katanya,
“Mungkin bukan
sesuatu yang penting untuk diketahui, tetapi yang kami dengar pada mereka,
adalah sesuatu yang tidak lazim terjadi di atas Tanah Perdikan Menoreh ini.”
“Apa, apa yang
kau dengar itu?”
“Di antara
mereka terdapat beberapa orang yang bersenjata cambuk. Demikian keterangan yang
aku dengar dari mereka yang melihat langsung orang-orang berkuda itu.”
Hampir
bersamaan Ki Tambak Wedi, Argajaya, dan Sidanti terloncat maju. Dan hampir
bersamaan pula mereka bertanya,
“Orang
bercambuk?”
“Ya,” jawab
orang itu. Tapi ia sendiri menjadi heran. Kenapa Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan
Argajaya terperanjat mendengar keterangannya.
“Apakah kau
berkata sebenarnya?” bertanya Sidanti.
“Demikianlah
menurut pendengaranku. Aku sendiri tidak sempat menyaksikan. Ketika aku sampai
di tempat itu mereka telah pergi sambil meninggalkan api.”
Ternyata
berita itu bagi Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya adalah berita yang
mendebarkan jantung. Meskipun mereka belum dapat meyakinkan perasaan mereka,
tapi tanggapan mereka atas berita itu langsung meloncat ke peristiwa-peristiwa
yang pernah terjadi di seberang alas Mentaok. Dua orang yang bertugas melihat
keadaan dan mengabarkanya itu menjadi semakin heran. Agaknya senjata cambuk itu
benar-benar telah menarik perhatian. Bahkan seorang yang telah hampir mumpuni
seperti Ki Tambak Wedi pun masih juga terkejut mendengar berita tentang cambuk
itu.
Sementara itu
Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya saling berpandangan sejenak. Meskipun
mereka tidak mengucapkan kata-kata, tetapi seolah-olah mereka telah berbicara
panjang lebar tentang segala macam kemungkinan. Dan sejenak kemudian Ki Tambak
Wedi bertanya,
“Apakah yang
sudah dilakukan oleh orang-orang yang bersenjata cambuk itu? Apakah mereka
membunuh lawan-lawannya atau membuat para peronda ketakutan?”
Salah seorang
dari kedua petugas itu menjawab,
“Tidak, Kiai.
Mereka tidak berbuat apa-apa. Memang mereka berkelahi sejenak. Hanya sejenak,
karena kemampuan mereka seolah-olah tidak terlawan, sedang senjata mereka yang
aneh itu terlampau liar. Tetapi mereka tidak membunuh seorang pun. Mereka hanya
membakar dua buah gubug kecil yang sudah hampir roboh, sebuah gardu, dan dua
buah kandang kuda yang kosong, karena kuda-kudannya telah dikumpulkan dan
dipakai oleh pasukan kita.”
Sekali lagi Ki
Tambak Wedi menggeram. Mereka tidak melihat apa yang telah terjadi. Tetapi
gambaran itu samakin mendekatkannya kepada suatu dugaan tentang seseorang yang
paling dibencinya selama ini, sejak ia berada di Tambak Wedi. Bahwa orang-orang
yang bersenjata cambuk itu tidak melakukan pembunuhan dan sekedar membakar
barang-barang yang tidak penting seolah-olah sengaja dipilihnya, semakin
menguatkan dugaannya atas sifat dan watak orang itu.
“Apakah
pasukan kecil yang telah aku persiapkan di Pucang Kembar juga telah dibinasakan
oleh orang yang bersenjata cambuk itu?” pertanyaan itu telah tumbuh di hati Ki
Tambak Wedi. Sedang Sidanti dan Argajaya seolah-olah telah dicengkam oleh suatu
perasaan yang tidak menentu.
Dengan
demikian maka sejenak para pemimpin dari pasukan yang menentang kekuasaan
Argapati itu terdiam dalam cengkaman yang menggelora.
“Aku tidak
tahu, apakah yang sebenarnya telah terjadi?” bertanya Ki Muni.
“Kenapa berita
tentang orang-orang yang bersenjata cambuk itu tampaknya terlampau
membingungkan, bahkan mencemaskan?”
Ki Tambak Wedi
berpaling. Katanya, “Pada saatnya kau akan tahu bahwa pengetahuanmu tentang
obat-obatan itu sama sekali tidak berarti dibandingkan dengan orang yang
bersenjata cambuk itu.”
“He, siapakah
orang itu?”
“Belum pasti.
Tetapi sebaiknya kau dan Ki Wasi pada saatnya berkenalan dengannya.”
Ki Wasi
mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia
pun bertanya,
“Siapakah
orang itu?”
Tetapi Ki
Tambak Wedi menggelengkan kepalanya.
“Aku tidak
tahu. Semuanya masih sekedar dugaan. Kalau aku telah melihat sendiri, maka
semua akan menjadi jelas.”
“Tetapi
bagaimana Ki Tambak Wedi akan melihat mereka? Apakah gerakan mereka dapat
diduga sebelumnya?” bertanya Ki Wasi kemudian.
Pertanyaan itu
memang sulit untuk dijawab. Meskipun demikian Ki Tambak Wedi berkata,
“Kita harus
berusaha. Tepatnya aku akan berusaha supaya suatu ketika aku dapat bertemu
dengan mereka di mana pun.”
Ki Wasi
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sementara itu Ki Muni maju beberapa langkah.
“Ki Tambak
Wedi, tidak seorang pun di dunia ini
yang dapat melampaui kepandaian Ki Muni dalam hal obat-obatan. Mungkin aku
tidak dapat mengalahkan Ki Tambak Wedi dalam olah kanuragan. Tegasnya kalau
kita berkelahi dengan pedang, maka aku pasti akan kalah. Tetapi aku punya cara
lain untuk mengalahkan lawanku. Ilmu itu tidak akan dapat dilawan. Seperti ilmu
obat-obatan yang aku miliki. Aku menguasai segala macam racun dan penawarnya,
segala macam dedaunan dan akar-akaran, bisa ular, kumbang, kemladean, kadal
hijau berleher merah, semut salaka, laba-laba hijau bergelang perak, dan segala
macam binatang. Tidak ada seorang pun
yang mampu menguasai ilmu seperti itu.”
“Kita tidak
perlu segala macam ilmu tetek bengek itu,” potong Sidanti dengan kesalnya.
“Aku
memerlukan kekuatan yang dapat mengalahkan orang-orang yang bersenjata cambuk
itu. Habis perkara. Aku tidak peduli dengan apa ia melawan. Dengan pedang,
dengan tombak, atau dengan mulutnya.”
Wajah Ki Muni
itu serasa disengat oleh api. Sejenak ia berdiri tegak di tempatnya, seperti
tonggak yang mati. Betapa dadanya menggelora, namun mulutnya serasa terkunci. Ki
Tambak Wedi menjadi berdebar-debar juga mendengar kata-kata Sidanti yang
terlampau tajam itu, sehingga ia mencoba untuk menenangkan gelora di dada Ki
Muni.
“Jagalah
sedikit perasaanmu Sidanti. Kita masih belum tahu pasti siapa orang itu.
Kegelisahanmu terlampau berlebih-lebihan sehingga kau tidak sadar lagi apa yang
kau ucapkan.”
Sidanti sudah
hampir membuka mulutnya, namun Ki Tambak Wedi segera mendahului,
“Tetapi yang
penting sekarang mana yang pertama-tama harus kita lakukan.”
Ki Muni masih
mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Tetapi ia memang tidak dapat berbuat apa-apa,
selagi Ki Tambak Wedi masih ada di dekatnya. Ia merasa cukup mampu untuk
membungkam mulut Sidanti yang menyakitkan hati itu, tetapi terhadap Ki Tambak
Wedi ia merasa sama sekali tidak akan mampu mengimbanginya. Itulah sebabnya ia
terpaksa menyimpan segala macam perasaan di dalam dadanya. Namun di dalam
hatinya ia bergumam,
“Pada suatu
saat anak itu pasti akan berlutut sambil minta maaf kepadaku, apabila aku dapat
membuktikan, bahwa dengan ilmuku aku mampu membunuh siapa pun juga dari
kejauhan. Kalau benar ada orang-orang bercambuk itu, aku dapat menggendamnya
sehingga tanpa sesadarnya mereka akan datang kepadaku. Mudah-mudahan hatinya
tidak berlapis baja, sehingga hal itu mungkin aku lakukan. Sesuatu yang tidak
akan terjadi pada Argapati yang berhati teguh itu.”
Berita tentang
orang-orang yang bersenjata cambuk itu benar-benar mencapai sasarannya.
Ternyata sejak saat itu, maka pertimbangan Ki Tambak Wedi menjadi semakin
njelimet. Ia tidak dapat berbuat dengan tergesa-gesa dan tidak dapat terlampau
percaya bahwa Ki Argapati benar-benar akan mati.
“Setan
bercambuk itu adalah dukun yang hampir tidak ada duanya,” desisnya.
“Kalau
benar-benar ia berada di Menoreh, maka keadaan akan menjadi lain. Aku harus
lebih berhati-hati.”
Sidanti yang
duduk di sampingnya tidak menyahut. Namun kerut-merut di keningnya membayangkan
betapa hatinya bergolak dengan dahsyatnya.
“Aku harus
berusaha melihat, apakah dugaanku benar,” berkata Ki Tambak Wedi.
“Kalau kita
hanya ditakut-takuti oleh bayangan kita sendiri, maka kita adalah orang yang
paling bodoh di muka bumi ini.”
Demikianlah Ki
Tambak Wedi benar-benar bertekad untuk dapat melihat sendiri, siapakah orang
yang bersenjata cambuk itu. Dengan demikian maka di malam berikutnya ia tidak
ikut bersama-sama pasukan Sidanti yang masih berusaha menurunkan ketabahan para
pengawal Tanah Perdikan Menoreh dengan mengepung pusat pertahanannya.
Pasukannya kali itu dipercayakannya kepada Sidanti dan Argajaya, didampingi
oleh Ki Wasi dan Ki Muni beserta beberapa orang yang datang dari luar Tanah
Perdikan Menoreh. Ki Tambak Wedi sendiri telah menyusup ke tempat yang mungkin
akan didatangi atau dilewati pasukan berkuda yang semalam telah membakar
beberapa buah kandang dan gardu. Mungkin mereka akan kembali lagi atau pergi ke
daerah di sekitarnya. Sebelum itu Ki Tambak Wedi telah memerlukan menemui Ki
Peda Sura untuk meyakinkan pendengarannya tentang lawan Ki Peda Sura.
“Seorang anak
muda,” jawab Ki Peda Sura. Sebenarnya ia tidak senang untuk menyebutnya karena
harga dirinya.
“Apakah Ki
Peda Sura dapat mengenal cirinya?”
“Tidak ada
kekhususannya. Ia adalah seorang anak muda yang mengagumkan. Lebih tangkas dari
Pandan Wangi, sehingga mereka berdua berhasil melukai aku.”
“Apakah kau
dapat menyebutkan sesuatu yang aneh atau yang agak lain dari para pengawal
tanah perdikan?”
“Aku yakin ia
bukan anak tanah perdikan ini.”
“Apakah jenis
senjatanya?”
Ki Peda Sura
tidak segera menjawab. Sebenarnya terlampau berat untuk menyebutkan bahwa anak
muda itu bersenjatakan cambuk. Hanya sekedar cambuk.
Tetapi karena
Ki Tambak Wedi telah mendesaknya, maka mau tidak mau ia mengatakannya juga,
“Memang aneh.
Senjata anak muda itu adalah sebuah cambuk. Cambuk yang berjuntai panjang dan
bertangkai pendek.”
Dada Ki Tambak
Wedi berdesir mendengar jawaban itu. Keyakinannya tentang lawannya yang paling
diseganinya di seberang Alas Mentaok menjadi semakin nyata terbayang di
kepalanya. Karena itu, maka tiba-tiba orang tua itu menggeram.
“Apakah kau
pernah melihat atau mendengar sesuatu tentang orang yang bersenjata cambuk
itu?” bertanya Ki Peda Sura.
Ki Tambak Wedi
tidak menjawab pertanyaan itu, tetapi ia justru minta diri dan berkata,
“Aku akan
melihat, apakah yang sebenarnya sedang kita hadapi ini. Apakah kita sedang
berhadapan dengan kelinci atau dengan harimau loreng.”
Ki Peda Sura
yang masih belum sembuh benar heran mendengar kata-kata itu. Tetapi ia tidak
sempat bertanya sesuatu karena Ki Tambak Wedi segera pergi meninggalkannya.
Tetapi sayang
bahwa malam itu Ki Tambak Wedi tidak bertemu dengan orang-orang berkuda dan
yang di antara mereka itu bersenjata cambuk. Ternyata orang-orang berkuda itu
telah menempuh jalan yang lain sama sekali dari jalan yang diduga oleh Ki
Tambak Wedi. Orang-orang berkuda itu sama sekali tidak menimbulkan kerusakan
dan bencana apa pun. Mereka hanya mendatangi beberapa gardu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar