KEDUA orang kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi tiba-tiba salah seorang dari mereka bertanya,
“Apakah benar
orang tua itu ayahmu?”
Agung Sedayu
mengerutkan keningnya,
“Ya, kenapa?”
jawabnya.
“Wajahmu sama
sekali tidak mempunyai persamaan dengan orang tua itu. Apakah kau anak
tirinya?”
“Bukan, aku
memang anaknya.”
“Saudaramu,
yang bernama Sangkan itu pun tidak mirip sama sekali dengan ayahmu, dan dengan
kau sendiri.”
Agung Sedayu
tersenyum. Jawabnya,
“Kalau ia
tidak segemuk itu, kalian akan segera melihat persamaan itu. Tetapi ia menjadi
sangat gemuk, sehingga kehilangan bentuk.”
Kedua orang
yang mengawaninya itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka mencoba
membayangkan wajah Swandaru apabila ia tidak menjadi segemuk itu.
“Mungkin,
mungkin,” yang seorang berdesis.
“Apa yang
mungkin?” bertanya kawannya.
“Kalau anak
muda itu tidak terlampau gemuk. mungkin ia mirip dengan kakaknya dan ayahnya.”
“Tetapi,”
bertanya yang lain,
“kenapa adikmu
dapat segemuk itu, tetapi kau tidak?”
“Anak itu
lahir di musim hujan, dan aku lahir di musim kemarau,” jawab Agung Sedayu
sambil tersenyum.
Kedua orang
itu pun tersenyum pula. Sekilas mereka melupakan kecemasan yang selama ini
telah mencengkam seluruh isi barak, dan orang-orang yang masih bersembunyi di
sekitar tempat itu. Sejenak kemudian mereka saling berdiam diri. Mereka
melangkahkan kaki mereka dengan ayunan yang teratur, justru karena mereka
sedang tenggelam dalam angan-angan masing-masing. Kadang-kadang terlintas di
kepala kedua orang yang mengawani Agung Sedayu itu, ketakutan dan kecemasan
yang selama ini selalu menghantui seisi barak dan bahkan para pengawas. Anak
muda itu, bersama adik dan ayahnya, ternyata telah melahirkan suasana yang baru
bagi mereka, meskipun mereka masih belum tahu pasti, apakah yang akan terjadi
selanjutnya tanpa orang yang kekar, yang kekurus-kurusan dan orang-orang lain
yang selama ini memegang sebagian besar peranan di dalam lingkungan mereka.
“Orang-orang
ini akan segera menggantikan mereka,” berkata kedua orang itu di dalam hatinya,
“dan kami
semuanya masih belum mengetahui, apakah keadaan akan menjadi lebih baik atau
bahkan sebaliknya?”
Sambil
merenungi angan-angan masing-masing, maka mereka pun kemudian menjadi semakin
dekat dengan barak yang sebagian telah dipergunakan sebagai dapur.
“Kita sudah
hampir sampai,” desis Agung Sedayu.
“Ya. Tetapi
bagaimana kalau kedua orang itu sudah menjadi pulih kembali dan melarikan
diri?”
“Kita akan
mencegah mereka.”
“Kalau mereka
melawan?”
“Kita akan
menangkap mereka.”
Kedua kawan
Agung Sedayu itu tidak menyahut. Tetapi mereka merasa ngeri apabila mereka pun
harus berkelahi menangkap kedua orang yang selama ini mereka takuti.
Terlebih-lebih lagi orang yang tinggi dan kekar itu, meskipun ternyata bahwa
orang yang kekurus-kurusan itu mempunyai peranan yang lebih penting dari orang
yang tinggi kekar itu. Ketika mereka memasuki pintu barak itu, mereka masih
melihat perempuan dan anak-anak duduk diam di tempatnya. Seakan-akan mereka
sama sekali tidak berani beranjak dari tempat mereka. Dengan wajah yang tegang
dan dibayangi oleh ketakutan, mereka memandang ketiga orang yang memasuki barak
mereka itu.
Sejenak, Agung
Sedayu dan kedua kawannya berdiri saja di muka pintu nemandangi seisi barak.
Namun sejenak kemudian, maka Agung Sedayu pun berkata,
“Kami bertiga
datang untuk menemani kalian di barak ini, supaya kalian tidak terlampau
ketakutan. Kami akan mencoba menjaga kalian dari segala macam kemungkinan yang
tidak kita kehendaki bersama-sama.”
Beberapa orang
perempuan saling berpandangan. Tetapi sorot mata mereka masih tetap
membayangkan keragu-raguan dan kebimbangan.
“Ya,” sahut salah
seorang kawan Agung Sedayu,
“kami akan
berada di tempat ini untuk beberapa saat. Bukankah kalian tidak berkeberatan?”
Sekali lagi
perempuan-perempuan yang ada di dalam barak itu saling berpandangan. Tetapi
mereka masih tetap berdiam diri. Namun demikian, karena kedua kawan Agung
Sedayu itu telah mereka kenal dengan baik sebelumnya, maka kedatangan mereka
benar-benar telah mengurangi perasaan takut yang mencengkam. Sejenak kemudian,
maka Agung Sedayu pun berkata kepada kedua kawannya,
“Tinggallah
kalian di sini. Aku akan melihat, apakah kedua orang itu masih ada di
tempatnya?”
Agung Sedayu
tidak menunggu jawaban kawan-kawannya. Ia pun segera melangkah masuk lewat
pintu butulan sampai ke dapur. Kemudian seperti petunjuk yang sudah diberikan
oleh Kiai Gringsing, ia pergi ke pintu yang masih diselarak. Di muka pintu. itu
Agung Sedayu berhenti sejenak. Dengan seksama ia mencoba mendengarkan tarikan
nafas dari dalamnya, sedang ia sendiri berusaha untuk menahan nafasnya
sebaik-baiknya.
“Mereka masih
ada di dalam,” desis Agung Sedayu di dalam hatinya.
Namun demikian
Agung Sedayu menjadi curiga, karena ia mendengar suara gemerisik dan derak
bambu yang patah.
“Apakah yang
mereka lakukan?” bertanya Agung Sedayu kepada dirinya sendiri.
Kecurigaan
Agung Sedayu pun bertambah-tambah pula, karena suara itu semakin lama justru
menjadi semakin keras, sejalan dengan tarikan nafas yang semakin memburu. Agung
Sedayu menjadi ragu-ragu sejenak. Ia tidak mendapat lubang yang cukup besar
untuk mengintip apa saja yang telah mereka lakukan di dalam bilik yang sempit
itu. Karena Agung Sedayu tidak ingin menduga-duga saja untuk selanjutnya, maka
Agung Sedayu pun dengan hati-hati mendekati selarak pintu butulan.
Perlahan-lahan pula ia mengangkat selarak itu. Kemudian menyentak ia mendorong
pintu butulan itu ke samping, sehingga pintu itu pun terbuka. Dada Agung Sedayu
berdesir. Ia melihat orang yang tinggi kekar itu, betapapun lemahnya masih
mencoba untuk membuka dinding bilik yang tidak terlampau kuat itu. Betapa
terkejut mereka berdua ketika mereka menyadari, bahwa pintu yang diselarak itu
kini sudah terbuka, dan seorang anak muda berdiri di muka pintu itu sambil
menyaksikan apa yang telah mereka lakukan. Sejenak Agung Sedayu berdiri tegang
memandang orang yang tinggi kekar, yang masih mencoba membuka dinding. Namun
tanpa sesadarnya ia pun kemudian melangkah maju mendekatinya sambil berkata,
“Apakah kau
masih berusaha untuk lari?”
Tanpa
diduga-duga, orang yang tinggi kekar itu mengerahkan segenap tenaga yang masih
tersisa padanya. Dengan serta-merta ia berdiri dan menyerang Agung Sedayu. Agung
Sedayu yang mengerti benar, bahwa orang itu sebenarnya sudah terlampau lemah,
sama sekali tidak melawan. Ia hanya mengelakkan dirinya. Selangkah ia bergeser
ke samping sambil memutar tubuhnya. Ternyata, karena serangannya sama sekali
tidak menyentuh anak muda itu, orang yang kekar itu terdorong oleh sisa
kekuatannya sendiri, yang sudah dihentakkan sejauh-jauh dapat dilakukan.
Sehingga dengan demikian, ia terhuyung-huyung dan dengan kerasnya jatuh
terjerembab. Kepalanya membentur tiang barak itu, yang untung, terbuat dari
bambu, sehingga tidak begitu menyakitinya. Namun demikian, sisa tenaga orang
itu seakan-akan benar-benar telah terkuras habis. Dengan demikian, maka orang
yang tinggi kekar itu sama sekali tidak lagi menyimpan tenaga yang cukup dapat
membawanya bangkit.
Agung Sedayu
menarik nafas menyaksikan orang itu terbaring diam. Namun dari sorot matanya,
Agung Sedayu masih dapat membaca apa yang tergores di hatinya. Agaknya orang
itu cukup keras kepala.
“Kau berbaring
saja di situ?” bertanya Agung Sedayu kepada orang yang tinggi kekar.
Orang itu
menggeram, sekilas dipandanginya kawannya yang masih juga terlampau lemah,
berbaring di tengah-tengah ruangan.
“Seandainya
kau berbasil membuka dinding ruangan ini, apa yang akan kau lakukan?” bertanya
Agung Sedayu pula.
Orang itu
masih tidak menjawab.
“Apakah kau
akan lari? Seandainya kau dapat melarikan dirimu, bagaimana dengan kawanmu yang
sudah sangat lemah ini?”
Sekali lagi
orang yang tinggi kekar itu menggeram. Tetapi ia masih belum dapat bangkit.
Dipandanginya saja Agung Sedayu dengan sorot mata yang semakin menyala.
“Kau telah
melakukan sesuatu yang ternyata merugikan dirimu sendiri,” berkata Agung
Sedayu. Lalu,
“Usahamu untuk
melarikan diri, telah menumbuhkan suatu keinginan padaku untuk mengikatmu pada
tiang barak ini.”
“Gila!”
tiba-tiba orang itu membentak.
“Kalau
kemudian kekuatanmu pulih kembali, dan kau memaksa untuk lari, maka tiang barak
yang tidak begitu kuat ini akan terseret dan atap ini akan runtuh menimpa kau
dan kawanmu itu.”
“Gila, kau benar-benar
anak gila! Aku tidak mau, aku tidak mau!”
“Tentu kau
tidak mau. Tetapi seperti kawanmu yang lemah sekali itu pun pasti tidak mau
apabila adikku bertanya kepadanya, apakah ia mau dipukuli dengan cambuk? Juga
pemimpin pengawas itu akan membiarkan dirinya terluka di punggung? Tentu tidak.
Tetapi kita kadang-kadang memang harus menerima perlakuan yang tidak sesuai
dengan keinginan kita sendiri. Bukankah begitu?”
“Persetan!”
“Tetapi,
terpaksa sekali. Terpaksa sekali, aku berbuat demikian.”
Wajah orang yang
tinggi kekar itu tiba-tiba menyala. Ia masih berusaha untuk bangkit. Tetapi
tubuhnya memang sudah terlampau lemah, sehingga ia harus berpegangan pada
dinding.
“Kau jangan
berbuat gila!” orang itu masih mencoba berteriak.
“Tidak. Aku
berbuat demikian, karena kau sama sekali tidak mau menunjukkan sikap
bersahabat. Kau masih juga ingin melarikan diri.”
Wajah orang
itu kini berubah menjadi liar. Sejenak ia memandang berkeliling. Kemudian
dengan tiba-tiba saja ia meloncat dan mencoba berlari menerobos pintu. Agung
Sedayu tidak segera mengejarnya. Ia tahu bahwa orang itu tidak mempunyai tenaga
yang cukup untuk melarikan diri dari bilik itu. Dengan demikian, maka dengan
tenang Agung Sedayu melangkah ke luar pintu ruangan itu. Ia menarik nafas
ketika ia melihat orang yang tinggi kekar itu terjerembab di muka perapian.
Untunglah bahwa api memang sudah padam, sehingga tangannya yang terperosok ke
dalamnya tidak terbakar karenanya, meskipun abunya masih cukup panas.
“Sudah aku
katakan,” berkata Agung Sedayu,
“kau masih
terlampau lemah. Dan kau tidak akan dapat ingkar dari perlakuan yang harus kau
jalani. Marilah, aku tolong kau kembali ke ruang kecil itu.”
“Tidak,
tidak!”
Tetapi Agung
Sedayu tidak menghiraukannya lagi. Diangkatnya orang itu untuk berdiri dan
dipapahnya kembali ke dalam bilik sempit dan pengap itu. Meskipun orang itu
masih berusaha melawan, bahkan mencoba mencekik Agung Sedayu yang memapahnya,
namun Agung Sedayu tidak menghiraukannya. Dengan mudahnya ia mengibaskan tangan
orang itu sambil berkata,
“Jangan
berbuat demikian, nanti aku banting kau.”
Orang itu
menggeram. Namun ia memang tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Tulang-tulangnya
serasa sudah terlepas dari tubuhnya, dan otot-ototnya menjadi tidak bertenaga. Karena
itu, ia tidak dapat berbuat lain kecuali menurut saja, dibawa oleh Agung Sedayu
ke dalam bilik yang sempit itu.
“Tunggulah di
sini sebentar, aku akan mencari seutas tali.”
“Gila!” ia
menggeram.
Agung Sedayu
tidak menyahut. Ia melangkah keluar meninggalkan orang itu duduk bersandar di
dinding. Namun Agung Sedayu tidak lupa menyelarak pintu itu rapat-rapat. Ketika
ia masuk ke ruang sebelah, ia masih tetap melihat orang-orang yang kecemasan.
Bahkan kedua kawannya pun tampaknya masih juga ragu-ragu menghadapi keadaan. Ketika
keduanya melihat Agung Sedayu, maka dengan serta-merta keduanya bertanya hampir
berbareng,
“Sudah?”
Agung Sedayu
mengerutkan keningnya,
“Apa yang
sudah?” ia bertanya.
“Apakah kita
sudah selesai dan dapat kembali ke barak kita sendiri?” bertanya salah seorang
dari mereka.
Agung Sedayu
menarik nafas dalam-dalam. Agaknya orang-orang di tempat ini benar-benar telah
dicengkam oleh ketakutan dan kecemasan. Namun jawabnya kemudian,
“Kita tidak
sekedar melihat orang-orang yang ada di sebelah dapur itu. Kita harus
menungguinya. Jadi, tugas kita masih panjang.”
“Di sini?”
“Apa salahnya?
Bukankah kita memang harus melindungi perempuan dan anak-anak? Bukankah
perempuan yang ada di barak ini dan anak-anaknya adalah isteri kalian dan
anak-anak kalian?”
“Aku belum
beristeri,” berkata salah seorang dari keduanya.
“Aku juga
belum,” jawab Agung Sedayu,
“tetapi adalah
kuwajiban kita melindungi perempuan dan anak-anak.”
Kedua kawannya
itu saling berpandangan. Dan mereka mendengar Agung Sedayu meneruskan,
“Seharusnya
kita berbuat sesuatu yang dapat memberikan ketenteraman di hati perempuan dan
anak-anak di sini. Bukan sebaliknya.”
Kedua orang
itu tidak menyahut. Mereka menundukkan kepala mereka. Tetapi mereka tidak dapat
mengusir begitu saja perasaan takut dan cemas yang seakan-akan sudah bersarang
di dalam hati mereka. Namun demikian, mereka mengerti apa yang dikatakan oleh
Agung Sedayu. Mereka memang tidak boleh menambah ketakutan dan kecemasan di
dalam barak ini.
“Duduklah di
situ,” berkata Agung Sedayu kemudian,
“kawani
perempuan dan anak-anak yang ketakutan. Kalian harus yakin bahwa untuk
sementara pasti tidak akan terjadi apa-apa. Dan dalam waktu yang sementara itu,
para pengawas sudah akan dapat membuat hubungan dengan induk pasukan mereka.
Kalian tidak akan ditakut-takuti lagi.”
Kedua orang
itu memandang Agung Sedayu sejenak. Salah seorang dari keduanya mengangguk-anggukkan
kepalanya sambil berkata,
“Ya.
Mudah-mudahan.”
“Aku yakin.
Kalian pun harus yakin.”
Keduanya
mengangguk-angguk pula. Namun salah seorang dari mereka kemudian bertanya,
“Sekarang kau
mau ke mana?”
“Tidak ke
mana-mana. Aku memerlukan seutas tali.”
“Untuk apa?”
“Untuk
mengikat pintu,” jawab Agung Sedayu sambil melangkahkan kakinya ke luar barak.
Di halaman,
Agung Sedayu mendapatkan beberapa potong tali dari bambu bekas pengikat kayu.
Tetapi ketika ia mengambil tali itu, terasa tali itu terlampau keras.
“Tali-tali ini
akan melukai tangannya,” katanya kepada diri sendiri. Karena itu, maka Agung
Sedayu pun tidak mau mempergunakannya, ia mencari tali yang lebih lunak lagi.
Tali dari sabut.
Akhirnya ia
menemukannya di sudut barak itu. Mungkin tali itu bekas tali pengikat
barang-barang dan alat-alat untuk dapur. Meskipun tali itu bukan dari sabut,
tetapi dari lulup kayu, namun tali itu cukup lunak untuk mengikat orang yang
keras kepala itu. Agung Sedayu pun kemudian membawa tali itu masuk ke dalam
bilik kecil di sebelah dapur. Orang yang tinggi kekar itu telah merangkak dan
bergeser dari tempatnya. Ia masih berusaha melepas tali-tali dinding. Tetapi ia
masih belum berhasil ketika Agung Sedayu masuk ke dalam bilik itu.
“Tidak. Aku
tidak mau!” orang itu tiba-tiba berteriak ketika ia melihat Agung Sedayu
membawa seutas tali.
“Jangan melawan,”
berkata Agung Sedayu,
“kalau kau
melawan, tanganmu mungkin akan terluka. Tetapi kalau kau diam, maka tidak akan
menumbuhkan gangguan apa pun padamu.”
“Aku bukan
seekor kerbau yang membiarkan hidungnya dicocok dengan tali keluh. Tidak. Aku
tidak mau.”
“Apakah kau
ingin aku melubangi hidungmu seperti seekor kerbau?”
“Tidak,
tidak!”
“Kalau begitu,
serahkan tanganmu. Aku akan mengikatnya pada tiang ini.”
Mata orang itu
menjadi merah menyala. Tetapi ia akhirnya harus menyadari, bahwa tenaganya
benar-benar sudah tidak dapat dipergunakannya lagi. Meskipun demikian, ia masih
meronta juga ketika Agung Sedayu kemudian mengikat tangannya.
“Maaf. Kalau
tidak, kau pasti akan berusaha melarikan dirimu. Aku terpaksa berbuat demikian,
karena aku tidak akan dapat terus-menerus menunggui kau di dalam bilik yang
pengap ini.”
“Gila!” orang
itu berteriak.
“Kau sangka
aku kerasan tinggal di dalam bilik ini?”
“Untuk
sementara. Lebih baik kau melepaskan segala pikiran dan angan-angan untuk
keluar dalam waktu dekat. Dengan demikian kau akan dapat tidur nyenyak.”
“Persetan!”
orang itu menggeram. Tetapi ia tidak dapat melawan, ketika Agung Sedayu
kemudian mengikat orang itu pada tiang bambu Petung yang besar.
Sejenak, Agung
Sedayu memandangi seorang lagi yang berbaring dengan lemahnya. Luka-lukanya
membujur lintang di tubuhnya. Pakaiannya yang sudah terkoyak-koyak sama sekali
tidak lagi dapat menutupi dada dan lengannya yang sobek. Darah yang beku
seakan-akan telah membalut seluruh permukaan kulitnya.
“Guru masih
belum mengobatinya,” desis Agung Sedayu di dalam hati. Tetapi Agung Sedayu tahu
benar alasan gurunya, kenapa ia masih membiarkan saja orang itu.
Dengan
demikian, maka Agung Sedayu pun dengan tenang meninggalkan kedua orang itu.
Yang seorang sudah diikatnya erat-erat, dan tidak akan dapat lolos lagi, sedang
yang seorang masih terlampau lemah untuk meninggalkan tempatnya. Sejenak
kemudian, maka Agung Sedayu pun keluar dari tempat itu dan kembali kepada kedua
orang kawan-kawannya yang masih duduk di tempatnya. Keduanya duduk dengan
tegangnya, tetapi keduanya tidak bercakap-cakap sama sekali.
Baru ketika
mereka melihat Agung Sedayu, salah seorang bertanya,
“Bagaimana
dengan kita?”
“Kita akan
duduk-duduk di sini untuk beberapa lama. Bukankah kita tidak mempunyai
pekerjaan apa pun hari ini?”
“Apa yang akan
kita kerjakan hari ini?”
“Tidak
apa-apa. Kita duduk-duduk di sini. Kalau kita lapar, di dapur ada nasi cukup
banyak.”
“Nasi?”
“Ya, nasi.
Apakah kalian tidak melihat? Kita mengharap bahwa mereka yang bertugas untuk
menyediakan makan akan segera kembali dan dapat membungkus nasi seperti
biasanya. Kalau tidak, kita akan kelaparan hari ini.”
Kedua orang
itu tidak menyahut.
“Kalau mereka
menyadari keadaan, maka seorang demi seorang pasti akan segera datang.”
Kedua kawannya
masih tetap berdiam diri.
“Marilah, kita
duduk di serambi depan. Di sini udaranya terlampau panas.”
Keduanya sama
sekali tidak menjawab. Tetapi ketika Agung Sedayu melangkah keluar, keduanya
mengikutinya di belakang.
Ketika Agung
Sedayu sudah hilang di balik pintu, tanpa sesadamya, beberapa orang di dalam
barak itu menarik nafas dalam-dalam. Mereka merasa seolah-olah tekanan yang
menyesak di dalam dada mereka sudah mulai mengendor, meskipun mereka masih
tetap dicengkam oleh ketakutan dan kecemasan. Di serambi depan, Agung Sedayu
duduk bersandar dinding sambil menjelujurkan kakinya. Desisnya,
“Desir angin
membuat aku mengantuk.”
“Jangan
tidur,” tiba-tiba seorang kawannya menyahut.
“Kenapa?”
Sejenak ia
terdiam, namun kemudian ia menggelengkan kepalanya sambil menjawab,
“Tidak
apa-apa.”
Agung Sedayu
tersenyum. Katanya,
“Bangunkanlah
kalau aku tertidur. Semalam suntuk aku hampir tidak memejamkan mata sama
sekali.”
Keduanya
tampak ragu-ragu. Tetapi mereka pun menganggukkan kepalanya.
Agaknya Agung
Ssdayu yang kemudian memejamkan matanya itu, dapat menimbulkan kesan
tersendiri. Anak muda itu sama sekali tidak terpengaruh oleh ketakutan dan
kecemasan. Bahkan begitu mudahnya ia memejamkan mata meskipun barangkali tidak
segera jatuh tertidur.
Sementara itu,
Kiai Gringsing yang telah selesai mengubur dukun yang terbunuh itu pun terpaksa
mengantarkan kembali beberapa orang yang pergi bersamanya dari barak. Sedang
Swandaru ditinggalkannya mengawani para pengawas yang masih belum sembuh dari
kelelahan dan kesakitan.
“Tidak akan
ada apa-apa untuk sementara,” berkata Kiai Gringsing kepada para pengawas dan
Agung Sedayu.
“Tetapi kalau
terjadi sesuatu, panggil aku dengan tengara, kentongan, atau apa saja.”
“Baiklah,”
jawab pemimpin pengawas yang masih berbaring di amben bambu di dalam gardunya.
Kiai Gringsing
pun kemudian bersama-sama dengan beberapa orang berjalan kembali ke barak. Tetapi
Kiai Gringsing sengaja menempuh jalan melingkar. Katanya,
“Kalau ada di
antara mereka yang bersembunyi melihat kita berjalan dari gardu pengawas,
mudah-mudahan mereka mengerti, bahwa keadaan telah berangsur baik.”
Kawan-kawannya
yang berjalan bersamanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Salah seorang dari
mereka menjawab,
“Tetapi apakah
mereka akan melihat kita?”
“Mudah-mudahan.
Mereka akan keluar dari persembunyian mereka, setelah sekian lama duduk di
bawah gerumbul-gerumbul yang lebat dan di atas tanah yang lembab. Barangkali
mereka menjadi jemu digigit nyamuk dan semut merah. Tetapi karena mereka masih
belum berani keluar dari pinggir hutan, mereka pasti hanya mengintip saja.”
Orang-orang
yang berjalan bersama Kiai Gringsing itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sebenarnyalah
bahwa memang satu dua orang yang sedang bersembunyi melihat Kiai Gringsing
berjalan bersama beberapa orang menuju ke barak mereka. Dengan ragu-ragu mereka
mengikuti saja dengan tatapan mata yang suram. Sekali-kali mereka berdesah, dan
mereka yang bersembunyi dua tiga orang bersama-sama, saling berpandangan
sejenak. Tetapi mereka masih tetap saja berdiam diri. Ternyata Kiai Gringsing
membawa mereka berjalan lewat bekas arena perkelahian. Dengan tengkuk yang
meremang, orang-orang itu melihat pengawas yang berkumis itu masih terbujur di
tempatnya,
“Tidak ada
seorang pun yang dapat menyentuhnya hari ini,” berkata Kiai Gringsing.
“Mudah-mudahan
besok kita dapat menguburkannya.”
Orang-orang
itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Nah, bukankah
kalian sudah melihat, bahwa tidak akan ada apa-apa lagi untuk sementara?”
“Tetapi.
Tetapi,” salah seorang dari mereka menjawab,
“bagaimana
dengan orang yang tinggi kekar, dan orang yang kekurus-kurusan itu?”
“Mereka ada di
dapur. Mereka sudah menjadi jinak,” jawab Kiai Gringsing.
“Apakah kalian
akan bertemu dengan mereka?”
Tetapi agaknya
orang-orang itu sama sekali tidak berniat untuk bertemu dengan kedua orang itu.
Apalagi membantu mengawasi mereka. Bagi mereka memang lebih baik ikut dengan
orang tua itu menguburkan mayat yang sudah pasti tidak akan dapat berbuat
apa-apa.
“Siapakah yang
kemudian pergi mengawani anak muda itu?” mereka pun bertanya di dalam hati,
karena Kiai Gringsing memang sudah memberitahukan sebelumnya, bahwa beberapa
orang nanti akan diajak oleh seorang anaknya menunggui kedua orang itu. Namun
demikian, perlahan-lahan Kiai Gringsing berhasil menumbuhkan ketenangan di hati
orang-orang yang ketakutan itu. Meskipun untuk beberapa saat lamanya, mereka
pasti masih selalu dipengaruhi oleh perasaan takut dan ngeri. Sejenak kemudian,
mereka pun melintasi sebuah tempat terbuka yang agak panjang. Tempat yang sudah
bersih dari pepohonan hutan, yang sedianya akan dipergunakan menjadi tanah
pekarangan. Tetapi karena orang-orang di tempat itu selalu dibayangi oleh
ketakutan, maka rencana itu masih belum dapat dilakukan.
Apalagi saat
itu, daerah yang terbuka itu benar-benar seperti kuburan. Sepi. Tidak ada
sesosok tubuh pun yang tampak melintas, selain Kiai Gringsing dan orang-orang
yang mengikutinya. Beberapa buah rumah yang sudah jadi pun seakan-akan seperti
cungkup-cungkup yang sepi. Namun di belakang mereka, beberapa orang yang
bersembunyi di pinggir-pinggir hutan pun segera mengikuti. Bahkan beberapa
orang berlari-lari dan menggabungkan diri pada iring-iringan kecil itu,
sehingga tampaknya semakin lama menjadi semakin panjang. Perasaan mereka
menjadi semakin tenang, ketika mereka sudah berada di barak. Mereka segera
duduk di tempat masing-masing dengan nafas yang tertahan-tahan. Beberapa orang
kemudian menarik nafas dalam-dalam dan mengucapkan sukur di dalam hati, bahwa
mereka tidak ikut serta menjadi korban pertentangan yang tiba-tiba saja
terjadi.
“Nah,”
bertanya Kiai Gringsing,
“siapakah di
antara kalian yang mendapat tugas di dapur hari ini?”
Beberapa orang
saling berpandangan.
“Siapa? Sayang
bahan-bahan yang telah masak di dapur. Dan bukankah kita hari ini memerlukan
makan pula?”
Beberapa orang
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Marilah,”
ajak Kiai Gringsing,
“kita pergi ke
dapur. Yang bertugas kami harapkan untuk melakukan tugasnya seperti biasa.
Semua persoalan yang terjadi, anggaplah sudah selesai untuk sementara.”
Meskipun masih
belum ada yang menyahut, tetapi Kiai Gringsing sudah melihat kesanggupan pada
beberapa wajah di antara mereka. Karena itu katanya kemudian,
“Marilah,
siapa yang akan membantu menyelesaikan makan kita, ikutlah aku. Yang lain kami
harap tinggal di sini sambil menunggu rangsum yang nanti akan segera kami
kirimkan, meskipun seandainya hanya sekedar nasi dengan garam atau dengan
sambal kelapa.”
Kiai Gringsing
menunggu sesaat. Kemudian ia pun melangkah keluar barak itu. Beberapa orang pun
kemudian bergeser dari tempatnya. Ketika seseorang berdiri, maka beberapa orang
yang lain pun telah berdiri pula dan mengikuti langkah Kiai Gringsing pergi ke
barak yang lain. Mereka sebagian adalah orang-orang yang memang bertugas di
dapur hari ini, yang seharusnya dibantu oleh beberapa orang perempuan. Jalan
setapak yang menghubungkan kedua barak itu yang biasanya di siang hari sering dilalui
orang-orang yang pergi hilir-mudik, masih juga terlampau sepi. Tidak ada
seorang pun yang berani berjalan sendiri, meskipun suasana sudah menjadi
semakin tenang. Di serambi depan barak yang lain, Agung Sedayu masih saja duduk
bersandar dinding sambil menjelujurkan kakinya. Bahkan sekilas ia terlena oleh
kelelahan. Sedang kedua kawannya yang duduk di sampingnya, seakan-akan sedang
menungguinya. Menunggui anak-anak yang baru saja dapat tertidur setelah
bermain-main sehari penuh. Agung Sedayu terperanjat ketika salah seorang
kawannya itu tiba-tiba menggamitnya sambil berkata,
“He, lihat.
Mereka sudah datang?”
“Siapa?”
bertanya Agung Sedayu.
Namun setelah
menggosok matanya yang kemerah-merahan, ia pun segera melihat bahwa yang datang
adalah gurunya bersama beberapa orang yang lain.
“Kenapa mereka
kemari?” desis kawan Agung Sedayu yang lain.
Agung Sedayu
menggelengkan kepalanya,
“Entahlah.
Tetapi mereka tampaknya sudah berhasil mengatasi ketakutan mereka. Lihatlah,
wajah-wajah mereka sudah menjadi bening.”
Kedua kawan
Agung Sedayu itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak kemudian, Kiai
Gringsing pun sudah ada di serambi itu pula. Sambil tersenyum ia berkata,
“Inilah
beberapa orang yang akan membantu menyelenggarakan rangsum kita hari ini.
Apakah ada beberapa orang perempuan yang siap membantu pula?”
“Aku belum
menanyakannya. Tetapi kalau dapur itu sudah dipanasi oleh perapian, aku rasa
mereka pun akan segera melakukannya,” jawab Agung Sedayu.
“Baiklah.
Silahkanlah. Kami akan tetap tinggal di sini menunggu lauk masak. Apa pun
wujudnya.”
Beberapa orang
pun kemudian pergi ke dapur. Mereka membenahi beberapa macam alat yang masih
berserakan. Beberapa orang perempuan kemudian telah berani bangkit dari
tempatnya dan masuk dengan ragu-ragu ke dalam dapur. Dengan hati yang
berdebar-debar mereka memandang dinding pintu yang diselarak oleh Agung Sedayu.
Kepada laki-laki yang ada di dalam dapur itu, mereka berdesis lambat sekali,
“Jangan
membuka pintu itu.”
“Kenapa?”
“Di situlah
kedua orang itu bersembunyi.”
“O, bukankah
mereka tidak bersembunyi? Orang tua dan anaknya itu sudah mengetahuinya, bahwa
mereka ada di dalam.”
Perempuan itu
tidak menyahut. Mereka hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Tetapi
tatapan mata mereka, masih membayangkan kecemasan. Seorang laki-laki yang ingin
disebut lebih berani dari kawan-kawannya melangkah mendekati pintu yang
diselarak itu. Tetapi ia tidak berbuat apa-apa. Bahkan kemudian ia pun bertanya
kepada seorang perempuan,
“Kenapa
diselarak dari luar?”
Perempuan itu
menggelengkan kepalanya. Namun perempuan yang lain berdesis,
“Aku mendengar
mereka bertengkar.”
“Siapa?”
“Anak muda
itu. Tetapi aku tidak tahu apa yang dipertengkarkan. Dari dalam barak, suara
mereka tidak jelas terdengar.”
Laki-laki itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali lagi ia mendekati pintu, seolah-olah
ingin meyakinkan apakah pintu itu benar-benar tidak dapat lagi dibuka dari
dalam. Kemudian berlagak seperti seorang yang menyaksikan kerja bawahannya, ia
mengangguk-angguk sambil berdesis lambat,
“Baik. Baik. Selarak
itu sudah mapan. Aku kira, mereka tidak akan dapat membuka lagi dari dalam.”
Dengan
demikian maka orang-orang yang bekerja di dapur itu merasa semakin tenang. Di
dalam bilik tertutup itu sama sekali tidak terdengar suara apa pun. Agaknya
orang-orang yang ada di dalam sama sekali sudah tidak mampu berbuat apa-apa
lagi. Karena itu, maka sebentar kemudian bau masakan sudah mulai memenuhi
dapur. Perlahan-lahan oleh kesibukan masing-masing, mereka hampir melupakan
peristiwa yang sudah mencengkam jantung mereka. Kini mereka disibukkan oleh air
yang sudah mendidih, santan yang harus dituang, kemudian dedaunan yang sedang
direbus, sedang yang lain menyiapkan daun pisang untuk membungkus nasi yang
akan dibagikan sebagai rangsum orang-orang yang ada di barak dan para pengawas.
Kiai Gringsing
dan Agung Sedayu yang masih duduk di serambi depan, merasa bahwa usaha mereka
sudah sebagian berhasil. Perempuan-perempuan di dalam barak itu pun sudah tidak
lagi dibayangi oleh wajah-wajah yang gelap, penuh ketakutan dan kecemasan.
“Aku akan
kembali ke gardu pengawas,” desis Kiai Gringsing.
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan
kepalanya,
“Baiklah. Aku
akan menunggui barak ini. Menunggu nasi masak.”
“Kalau nasi
masak jangan lupa, bawa rangsum kami ke gardu itu,” sahut Kiai Gringsing.
“Baiklah.”
“Tetapi, aku
ingin melihat orang-orang itu sejenak.”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“Sekarang?” ia
bertanya.
Kiai Gringsing
merenung sejenak. Namun kemudian ia menganggukkan kepalanya,
“Ya. Aku akan
melihatnya sejenak sekarang.”
“Aku telah
mengikatnya. Mereka selalu berusaha melarikan diri dengan membuka dinding,”
desis Agung Sedayu perlahan-lahan sekali.
“Keduanya?”
“Orang yang
tinggi kekar. Yang seorang masih terlampau lemah.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun sejenak kemudian ia pun bangkit dan
berkata,
“Aku akan
melihatnya sekarang.”
Agung Sedayu
kemudian bangkit pula dan mengikutinya. Beberapa orang memandangi keduanya
dengan sorot mata yang memancarkan berbagai macam pertanyaan. Tetapi pertanyaan-pertanyaan
itu tidak terucapkan. Diiringi oleh agung Sedayu, maka Kiai Gringsing segera
masuk ke dalam dapur. Ia menjadi ragu-ragu ketika ia melihat orang-orang di
dalam dapur itu sedang sibuk. Kalau terjadi sesuatu, maka hal itu pasti akan
mengganggu. Karena itu, Kiai Gringsing tidak langsung masuk ke dalam bilik yang
tertutup itu. Bersama Agung Sedayu ia berputar-putar sejenak di dalam dapur,
melihat-lihat berbagai macam masakan yang sedang dipanasi. Namun kemudian
mereka berdua sampai pada dinding yang memisahkan bilik kecil itu. Sejenak
mereka berdua berdiri sambil berdiam diri. Namun sejenak kemudian, tampak
kening Kiai Gringsing menjadi berkerut. Perlahan-lahan ia berbisik kepada Agung
Sedayu,
“Kau menangkap
sesuatu yang tidak wajar di dalam bilik kecil itu?”
Agung Sedayu
tidak segera menyahut.
“Kau mendengar
sesuatu di dalam?” bertanya Kiai Gringsing.
Agung Sedayu
menggeleng, “Tidak.”
“Justru tidak
itulah, aku menjadi curiga.”
Agung Sedayu
mengerutkan keningnya,
“Ya,” katanya
di dalam hati, “aku justru tidak mendengar sesuatu. Tarikan nafas pun tidak.”
Agung Sedayu
menjadi berdebar-debar. Kepalanya terangguk-angguk kecil. Namun ia tidak
berkata apa pun juga. Meskipun demikian wajahnya tampak menjadi tegang.
“Apakah kita
melihat sekarang?” bertanya Agung Sedayu.
“Tunggu.
Justru ada sesuatu yang kurang wajar, aku tidak ingin membuka pintu ini. Aku
tidak mau mengganggu kerja yang sudah mulai lancar.”
“Lalu?”
“Marilah kita
melihatnya dari luar.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia pun kemudian mengikuti gurunya melangkah
keluar dapur dan kemudian turun ke halaman. Dengan tanpa menarik perhatian
mereka segera melingkar lewat di sebelah barak itu langsung pergi ke belakang,
ke bagian luar dari bilik kecil di sebelah dapur.
Belum lagi
mereka sampai, mereka telah melihat sesuatu yang tidak pada tempatnya. Sebuah
dinding di sudut bilik itu ternyata telah terbuka.
“Guru,” desis
Agung Sedayu.
“Marilah kita
lihat,” sahut gurunya sebelum Agung Sedayu selesai berbicara.
Keduanya pun
kemudian dengan tergesa-gesa mendekati dinding yang ternyata sudah terbuka itu.
Sejenak mereka
berdiri termangu-mangu di muka dinding yang terbuka itu. Namun telah merayap di
dalam hati mereka, bahwa yang tidak mereka harapkan itu sudah terjadi.
Orang-orang yang mereka anggap sudah tidak akan dapat melarikan diri itu,
ternyata berhasil membuka dinding bambu.
“Marilah kita
melihatnya,” desis Kiai Gringsing.
Agung Sedayu
menganggukkan kepalanya. Perlahan-lahan, Kiai Gringsing mendekati lubang sudut
dinding itu. Perlahan-lahan pula ia berjongkok dan membuka dinding itu semakin
lebar. Setelah ia yakin tidak ada bahaya apa pun, maka ia pun segera menyuruk
masuk ke dalamnya dengan hati-hati. Agung Sedayu yang masih berdiri di luar
menjadi termangu-mangu. Namun sejenak kemudian, ia mendapat isyarat dari
gurunya, agar ia pun masuk pula ke dalamnya. Seperti gurunya, Agung Sedayu pun
menyuruk pula masuk. Tetapi begitu ia berdiri di dalam bilik itu, matanya
tiba-tiba terbelalak. Dilihatnya orang yang tinggi kekar, yang diikatnya dengan
tampar lulup itu, ternyata telah tidak bernyawa lagi. Sedang orang yang
kekurus-kurusan, yang di anggapnya masih terlampau lemah, telah tidak ada di
dalam bilik yang pengap itu. Terasa dada Agung Sedayu bergetar dahsyat sekali.
Ia merasa bahwa ia sudah salah hitung. Ternyata bahwa ia kali ini tidak berbuat
tepat atas kedua orang itu. Tetapi ketika Agung Sedayu akan membuka mulutnya,
gurunya berdesis sambil meletakkan jari telunjuknya di muka bibirnya. Kemudian
ia berbisik,
“Hati-hatilah.
Jangan merusak suasana. Orang-orang di dapur itu sudah mulai tenang. Kalau
mereka tahu apa yang terjadi di sini, mereka akan segera menjadi gelisah dan
ketakutan.”
Agung Sedayu
menganggukkan kepalanya. Karena itu, maka ia pun bertanya perlahan-lahan
sekali,
“Kenapa orang
itu mati, Guru?”
Kiai Gringsing
tidak segera menyahut. Didekatinya orang yang tinggi kekar, yang ternyata
memang sudah tidak bernyawa lagi itu.
“Ia mati
lemas,” berkata gurunya,
“pernafasannya
agaknya telah tersumbat.”
“Maksud Guru,
apakah karena ia terikat, maka ia tidak dapat melepaskan diri dari kemungkinan
pernafasannya terganggu itu?”
Gurunya menggelengkan
kepalanya. Jawabnya,
“Ia masih
sempat menggelengkan kepalanya. Tetapi pasti sudah terjadi sesuatu. Orang yang
kekurus-kurusaan itu ternyata telah pergi.”
Agung Sedayu
mengerutkan keningnya.
“Bagaimana
pendapatmu tentang orang itu?”
“Menurut
dugaanku, ia masih terlampau lemah, Guru.”
“Apakah yang
telah diperbuatnya ketika kau mengikat orang ini?”
“Tidak
apa-apa. Ia berbaring saja. Aku kira ia sama sekali sudah tidak sempat berbuat
apa-apa.”
“Itulah
kelebihannya. Dengan demikian, maka kita memang telah salah hitung. Aku pun
menyangka bahwa ia masih terlampau lemah. Tetapi kini aku berpikir lain. Ia
sengaja membuat dirinya demikian, sehingga menumbuhkan kesan, bahwa ia masih
terlampau lemah dan tidak mampu berbuat apa-apa.”
“Jadi?”
“Ia sudah
berhasil mengelabuhi kita. Orang itu telah melarikan diri.”
“Tetapi
bagaimana dengan orang ini? Kenapa ia tidak berusaha melepaskan ikatannya dan
membawanya pergi? Bukankah orang ini justru masih lebih kuat dari padanya?”
“Begitulah
tampaknya. Tetapi aku kira, orang yang kekurus-kurusan itu menganggap peran
orang ini sudah selesai, ia tidak memerlukannya lagi, sehingga karena itu, maka
orang ini telah dibunuhnya. Kau telah membantunya dengan mengikat tangan dan
kakinya.”
“Aku tidak
sengaja.”
“Ya. Kau
memang tidak sengaja. Kau memang tidak bersalah. Tetapi hal itu telah
dipergunakannya sebaik-baiknya. Ia tinggal menutup lubang pernafasannya saja,
sehingga kawannya itu akan mati lemas.”
Agung Sedayu
menggeretakkan giginya. Desisnya,
“Aku akan
mencarinya sampai ketemu.”
Tetapi gurunya
menggelengkan kepalanya,
“Jangan kau.
Kau masih terlampau muda untuk menjelajahi hutan ini.”
“Meskipun ia
berhasil keluar dan tempat ini, tetapi ia pasti belum begitu jauh.”
“Mungkin,
tetapi kita tidak tahu dengan pasti, isi dari hutan belantara di sekitar tempat
ini.”
“Jadi, apakah
kita akan membiarkan orang itu pergi?”
“Aku akan
mencarinya. Tetapi seandainya tidak aku ketemukan, apa boleh buat. Namun itu
berarti bahwa kita harus lebih berhati-hati, dan kita harus lebih cepat lagi
menghubungi Ki Gede Pemanahan.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Para pengawas
itu akan menjadi segera baik kembali. Mereka akan pergi bertiga menemui Ki Gede
Pemanahan atau puteranya. Biarlah pemimpin pengawal dan kita bertiga di sini
mengambil alih untuk sementara tugas-tugas itu.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Nah, biarlah
aku mencarinya sekarang. Namun meskipun aku menemukannya itu bukan berarti,
bahwa kita dapat melepaskan kewaspadaan. Ternyata daerah ini benar-benar telah
dikelilingi oleh suatu kelompok yang belum kita ketahui dengan pasti, maksud
dan tujuannya.”
Agung Sedayu
menganggukkan kepalanya.
“Mudah-mudahan
aku dapat menemukan orang itu. Aku kira ia memang belum terlampau jauh dari
tempat ini. Tetapi aku masih harus mencari arah yang tepat untuk menemukannya.”
Agung Sedayu
mengerutkan keningnya. Sejenak ia berdiam diri. Namun angan-angannya melambung
ke segenap penjuru. Terbayang di rongga matanya, orang yang lemah itu berjalan
tertatih-tatih menyuruk di antara semak-semak yang rimbun. Namun usaha untuk
melarikan diri itu benar telah menyakitkan hatinya.
“Guru,”
berkata Agung Sedayu kemudian,
“apakah aku
diperkenankan ikut mencari orang itu?”
Kiai Gringsing
tersenyum. Katanya,
“Kau tinggal
di sini. Orang-orang itu harus tetap tenang. Kalau mereka dihinggapi lagi oleh
ketakutan, maka mereka hanya akan menyusahkan saja. Usahakan agar mereka tetap
bekerja di dapur, dan agar makan dapat dikirim ke barak dan gardu pengawas.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Aku akan
pergi sekarang. Kalau ada kesempatan, beritahu adikmu, supaya ia tidak
menunggu. Beritahukan kepadanya apa yang sudah terjadi. Para pengawas memang
perlu mengetahui, tetapi orang lain tidak. Maksudku, tidak sekarang. Mungkin
nanti atau kapan saja, mereka pun perlu mengetahuinya.”
“Ya, Guru.”
“Kembalilah ke
dapur. Kau harus berlaku seperti orang-orang kebanyakan untuk sementara,
meskipun mereka sudah melihat kelebihanmu.”
“Ya, Guru.
“Hati-hatilah,
aku akan pergi.”
“Tetapi,
apakah guru tidak makan lebih dahulu? Aku kira semuanya sudah masak.”
Kiai Gringsing
mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tersenyum. Ditepuknya bahu Agung
Sedayu sambil berkata,
“Ah, kenapa
kau bertanya begitu? Kalau orang-orang di dapur itulah yang bertanya kepadaku,
itu sama sekali tidak aneh. Tetapi sekarang kau yang bertanya tentang makan
itu. Apakah aku belum pernah mengatakan kepadamu bahwa aku pernah berpuasa
sampai enam bulan penuh dan hanya sekedar makan seadanya di sore hari? Kalau
aku berbicara tentang nasi masak, lauk–pauk, dan rangsum barangkali kau tahu
maksudnya.”
Agung Sedayu
menundukkan kepalanya. Wajahnya menjadi kemerah-merahan. Ternyata kadang-kadang
ia masih salah menangkap maksud gurunya. Sambil mengangguk-angguk keeil ia
berdesis,
“Ya, agaknya
Guru ingin membuat kesan bahwa semuanya sudah tenang, dan membelokkan perhatian
orang-orang ini.”
Sekali lagi
Kiai Gringsing menepuk pundak Agung Sedayu. Kemudian ia berkata pula,
“Sudahlah.
Tungguilah mereka. Ikutlah dengan mereka, apa yang sebaiknya mereka lakukan.
Aku akan mencoba mencari jejak orang yang hilang ini. Yang sebenarnya berbahaya
bukan orang yang aku cari itu sendiri, tetapi apa yang akan dikerjakannya
kemudian.”
“Baik, Guru.”
“Sekarang,
marilah kita keluar dari tempat ini. Jangan kau sentuh dahulu mayat itu, supaya
tidak menumbuhkan kekacauan di ruang sebelah. Biarlah ia di tempatnya. Nanti
apabila kita sudah mendapatkan waktu yang tepat, baiklah kita selenggarakan
sebagaimana seharusnya.”
Agung Sedayu
hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Ia pun kemudian mengikutinya, ketika
gurunya keluar dari bilik yang sempit itu. Sejenak kemudian, Kiai Gringsing
sudah mulai melihat-lihat jejak yang barangkali dapat menunjukkan, kemana orang
yang kekurus-kurusan itu pergi. Ternyata rerumputan liar di sekitar barak itu
telah menolongnya. Orang yang kekurus-kurusan itu sama sekali tidak sempat
menghapus jejaknya. Rerumputan yang patah oleh injakan kakinya segera dapat
dilihat oleh Kiai Gringsing.
“Agung
Sedayu,” katanya,
“untuk
sementara aku dapat menemukan jejaknya. Aku akan mencoba mengikutinya. Tetapi
apabila ia sempat masuk ke hutan, maka pencaharian itu akan menjadi semakin
sulit. Meskipun begitu, aku akan mencoba mencarinya sehari ini. Kalau aku gagal
hari ini, aku akan menghentikannya.”
“Baiklah,
Guru. Aku akan berada di tengah-tengah mereka yang sedang bekerja di dapur
itu.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia pun melangkahkan kakinya, mengikuti
jejak orang yang kekurus-kurusan. Dari jejak itu Kiai Gringsing dapat menduga
bahwa orang itu pasti masih terlampau lemah. Kadang ia melihat bekas kaki yang
diseret di atas rerumputan.
“Mudah-mudahan
orang itu masih belum terlampau jauh,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya.
Namun sudah jelas baginya, bahwa jejak itu menuju langsung ke dalam hutan
belukar yang masih belum digarap.
Kiai Gringsing
pun kemudian berhenti sejenak ketika ia sudah sampai di tempat yang liar,
rerumputan alang-alang, dan gerumbul-gerumbul perdu yang lebat. Ditatapnya
daerah di sekelilingnya dengan seksama, kemudian dipandanginya hutan yang
lebat, beberapa ratus langkah lagi di hadapannya.
“Orang itu
pasti masuk ke sana,” desisnya. Tetapi gerumbul-gerumbul liar, pohon-pohon
perdu, dan bahkan batu-batu besar, akan dapat menjadi tempat persembunyian yang
baik.
Tetapi Kiai
Gringsing masih belum kehilangan jejak. Semakin tinggi batang-batang ilalang,
semakin jelas jejak itu pergi ke mana. Sesekali Kiai Gringsing melihat jejak
itu masuk ke dalam gerumbul. Tetapi ia masih dapat menemukan jejak
kelanjutannya, sehingga Kiai Gringsing masih berjalan mengikutinya. Dan bahkan
semakin jelas, bahwa orang itu telah masuk ke dalam hutan. Kiai Gringsing tidak
dapat menganggap tugas itu dapat dikerjakan sambil lalu saja. Mungkin orang
yang kekurus-kurusan itu sendiri memang sudah tidak berbahaya, tetapi apa yang
berada di dalam hutan yang lebat itu merupakan suatu rahasia baginya. Rahasia
yang tidak mudah dapat dipecahkannya. Seolah-olah ia harus berjalan dan
meraba-raba di dalam gelap yang pekat.
Tetapi Kiai
Gringsing tidak mengurungkan niatnya, ia tetap ingin mengikuti jejak orang yang
kekurus-kurusan itu. Ia ingin lebih hanyak tahu tentang keadaan yang
sebenarnya, di sekitar daerah pembukaan hutan ini. Persoalan yang selama ini
menarik perhatiannya adalah ketakutan orang-orang di dalam barak dan bahkan
para pengawas terhadap hantu-hantu. Kemudian peristiwa yang timbul
berturut-turut di saat-saat terakhir. Namun dalam pada itu, bagi Kiai Gringsing
tidak lagi dapat memisah-misahkan, hantu-hantu yang menakutkan itu dengan
tindakan-tindakan, perbuatan-perbuatan orang-orang yang terpaksa mengorbankan
dirinya. Demikianlah, maka dengan penuh kewaspadaan, Kiai Gringsing bergerak
maju mengikuti jejak kaki di atas rerumputan. Semakin lama semakin dekat dengan
hutan yang lebat.
“Apakah orang
kekurus-kurusan, yang telah terluka itu, tidak takut memasuki hutan yang liar
itu?” bertanya Kiai Gringsing kepada diri sendiri,
“dalam keadaan
itu, maka ia pasti tidak akan dapat berbuat apa-apa seandainya ada seekor
harimau lapar yang menjumpainya.”
Tetapi
ternyata orang itu telah memilih bersembunyi ke dalam hutan yang lebat itu.
Agaknya menurut perhitungannya, ia lebih baik bertemu, dan kalau perlu membuat
perhitungan dengan biatang buas daripada dengan manusia, jenisnya sendiri.
Kiai Gringsing
menarik nafas dalam-dalam. Katanya di dalam hati,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar