“AKU akan menunggu sebentar. Kalau tidak segera ada pemberitahuan dari induk pasukanmu yang sedang bertempur itu, aku akan menyusul mereka. Mungkin mereka memerlukan bantuan.”
Pemimpin
pengawal itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian dipersilahkannya anak
muda itu singgah sebentar di padukuhan itu sambil menunggu berita dari
padukuhan induk tentang pertempuran untuk merebut kembali daerah yang telah
dirampas oleh Sidanti. Tetapi akhirnya anak muda itu tidak telaten. Setelah ia
duduk termenung sejenak, maka ia pun kemudian berdiri dan mencari pemimpin
pengawal yang sedang sabuk dengan para korban.
“Aku akan
pergi ke padukuhan induk,” berkata anak muda itu.
“Baiklah,”
pemimpin pengawal itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Tetapi
kehadiran orang yang tidak dikenal di medan pertempuran mudah menumbuhkan salah
sangka.”
“Aku sudah
memperhitungkannya seperti pada saat aku datang kemari.”
Pemimpin
pengawal itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu,
“Apakah kau
memerlukan seekor kuda?”
“Ya, aku
memerlukannya. Jangan takut, aku akan mengembalikan kuda itu pada saatnya.”
Pemimpin
pengawal itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya,
“Kalau kau tidak
membantu kami, maka kami tidak akan memberikan kuda itu.”
Anak muda itu
tersenyum. Kemudian diterimanya seekor kuda dari salah seorang pengawal. Sambil
meloncat ke punggung kuda itu ia berkata,
“Hati-hatilah.
Mungkin masih ada orang-orang yang berkeliaran di daerah ini.”
“Terima
kasih,” jawab pengawal itu.
Anak muda yang
bersenjata tombak pendek itu pun segera
memacu kudanya meninggalkan padukuhan kecil. Sejenak para pengawal memandangi
debu putih yang terlontar dari kaki-kaki kuda itu, namun kemudian kuda itu pun seakan-akan hilang ditelan ujung
rerumputan dan gerumbul-gerumbul perdu.
Kehadiran anak
muda di atas punggung kuda itu di daerah peperangan agaknya telah mengejutkan
para pengawal yang sedang menjaga daerah yang baru saja mereka kuasai. Karena
itu, beberapa orang dari mereka segera berloncatan ke tengah jalan dengan
senjata-senjata telanjang di tangan masing-masing. Salah seorang dari mereka
mengangkat senjatanya sambil berteriak,
“Berhenti!”
Anak muda di
atas punggung kuda itu pun menarik kekang kudanya, sehingga kuda itu berhenti
beberapa langkah dari pengawal yang menghentikannya.
“Siapa kau?”
bertanya pemimpin pengawal itu.
Anak muda itu
tersenyum. Ia tidak menjawab pertanyaan itu, tetapi katanya kemudian,
“Aku akan
bertemu dengan Ki Argapati, Kepala Tanah Perdikan Menoreh.”
Pengawal itu
mengerutkan keningnya,
“Apakah
keperluanmu?”
“Aku mempunyai
keperluan yang tidak boleh diketahui oleh orang lain, selain Ki Argapati,
gembala tua beserta kedua anaknya yang bernama Gupita dan Gupala, serta dua
orang prajurit yang telah membantu kalian dalam pertempuran ini, Hanggapati dan
Dipasanga.”
Pengawal itu
termangu-mangu sejenak, sementara anak muda itu menilai bekas-bekas pertempuran
iang baru saja berlangsung. Katanya di dalam hati,
“Agaknya
pasukan Ki Argapati sudah berhasil memasuki padukuhan induk.”
Anak muda di
atas punggung kuda itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali-sekali ia menatap
wajah-wajah para pengawal yang masih termangu-mangu. Sejenak beberapa orang di
antara mereka saling memandang, tetapi wajah-wajah itu masih saja memancarkan
keragu-raguan,
“Mudah-mudahan
mereka adalah para pengawal Tanah Perdikan Menoreh,” desis anak muda itu.
“Kalau
penilaianku keliru, dan orang-orang ini adalah anak buah Sidanti, maka aku
terpaksa lari terbirit-birit.”
Baru sejenak
kemudian salah seorang pengawal berkata,
“Hanya
orang-orang yang sudah kami kenal sajalah yang boleh memasuki daerah ini.”
Anak muda itu
mengerutkan keningnya. Ia sama sekali tidak terkejut, dan bahkan sudah
diduganya lebih dahulu. Namun ia harus dapat meyakinkan pengawal-pengawal itu,
bahwa ia tidak bermaksud jahat. Karena itu maka katanya,
“Ki Sanak, aku
mempunyai keperluan yang khusus. Karena itu, aku minta ijin untuk menemuinya.”
“Ki Argapati
masih dalam keadaan sakit,” jawab pengawal itu.
“Kalau begitu,
aku akan bertemu dengan ayah Gupita, atau anak itu sendiri.”
“Siapa kau?”
“Bawa aku
kepadanya. Aku juga seorang gembala.”
Tetapi pengawal
itu mengerutkan keningnya,
“Pakaianmu
bukan pakaian seorang gembala.”
Anak muda itu
memandangi pakaiannya sejenak. Pakaian itu sudah lusuh dan kotor. Tetapi memang
pakaian itu bukan pakaian seorang gembala, sehingga anak muda itu justru
tersenyum sendiri.
“Tolonglah,”
katanya, “aku ingin bertamu dengan salah seorang dari mereka.”
“Kami
mencurigai setiap orang yang tidak kami kenal.”
“Tetapi ada
yang sudah mengenal kami,” sahut anak muda itu.
“Bawa kami
kepadanya.”
“Serahkan
senjatamu.”
“Ah,”
desahnya,
“jangan
berlebih-lebihan. Aku hanya seorang diri. Meskipun aku bersenjata apa pun,
tetapi aku tidak akan dapat berbuat apa-apa di dalam lingkunganmu yang padat
dengan ujung-ujung tombak dan pedang. Aku hanya sekedar ingin bertemu dengan
salah seorang dari anak-anak muda atau kedua prajurit itu.”
Dan tiba-tiba
salah seorang pengawal bertanya,
“Apakah kau
juga seorang prajurit Pajang?”
Anak muda itu
tersenyum, tetapi ia tidak menyahut.
Para pengawal
itu pun kemudan berunding sejenak. Sekali-sekali ditatapnya wajah anak muda
yang jernih itu. Salah seorang dari mereka berdesis,
“Wajahnya
bersih. Aku tidak mencurigainya.”
“Jangan mudah
terkecoh. Marilah, kita antar saja ia menghadap saalah seorang pemimpin kita,
atau anak-anak muda yang mereka sebut namanya itu.”
Yang lain
mengangguk-anggukkan kepalanya, sehingga mereka
pun bersepakat untuk mengantar anak muda itu, langsung kepada
orang-orang yang dicarinya.
“Baiklah,”
berkata salah seorang pengawal kemudian.
“Tetapi kau
harus mengikuti ketentuan kami.”
“Apakah ketentuan
itu? Menyerahkan senjataku?”
“Yang pertama,
turunlah dari kudamu. Kemudian berjalan bersama kami.”
Anak muda itu
mengerutkan keningnya. Kemudian ia berdesis,
“Maaf. Aku
agak tergesa-gesa sehingga aku lupa turun dari punggung kuda.” Ia berhenti sebentar,
lalu
“Apakah kalian
tidak mengenal kuda ini?”
Para pengawal
itu terdiam sejenak. Ketika anak muda itu kemudian meloncat turun, maka
mereka pun melihat kuda itu seutuhnya.
Tetapi mereka menggelengkan kepala sambil berguman,
“Aku belum
pernah melihatnya.”
“Baklah,”
berkata anak muda itu, “mungkin kalian bukan pasukan berkuda, atau tidak
tertarik kepada kuda.”
“Kami memang
bukan pasukan berkuda,” jawab salah seorang pengawal.
Kemudian anak
muda itu pun harus berjalan mengikuti seorang pengawal yang berjalan di depan.
Di belakangnya dua orang pengawal mengikutinya dengan senjata telanjang.
“Mereka cukup
berhati-hati,” berkata anak muda itu di dalam hatinya.
“Apalagi di
sepanjang jalan, para pengawal yang sedang berjaga-jaga selalu siap menghadapi
kemungkinan.”
Dua anak muda
yang menuntun seekor kuda itu sendiri memang sangat menarik perhatian. Beberapa
orang bertanya-tanya di dalam hati, dan bahkan ada yang saling berbisik di
antara mereka. Ketika mereka sampai di regol halaman banjar yang agak luas, maka
disuruhnya ia menunggu. Seseorang pergi mendahului untuk memberitahukan, bahwa
seseorang sedang mencari Ki Argapati, atau salah seorang dan tamu-tamunya yang
telah membantu melepaskan padukuhan induk ini dari tangan Ki Tambak Wedi.
“Siapakah
namanya,” bertanya gembala tua yang menerima pemberitahuan tentang kehadiran
anak muda itu.
“Anak itu
tidak menyebut namanya. Tetapi ia membawa sebatang tombak pendek.”
“O, anak itu.
Baiklah, bawalah ia kemari.”
Dengan
demikian, maka anak muda bersenjata tombak pendek itu pun kemudian dibawa oleh
para pengawal ke rumah Kepala Tanah Perdikan yang baru saja direbutnya.
“Aku terlalu
lama tersiksa di gubug itu,” desis anak muda itu ketika ia bertemu dengan
gembala tua itu.
“Duduklah,”
desis gembala itu sambil tersenyum.
“Aku sudah
menghabiskan seluruh ketela puhung dan tiga ekor kambingnya.”
“Tiga ekor?”
gembala itu terbelalak.
Anak muda itu
mengangguk sambil tersenyum.
“Dan perut
Anakmas tidak menjadi sakit karenanya?”
Anak muda itu
menggelengkan kepalanya.
“Aku pilih yang
masih muda-muda.”
Orang tua itu
menggelengkan kepalanya. Sekali-sekali ia mengangguk-angguk, sehingga anak muda
itu tersenyum sambil meraba-raba perutnya.”
“Lalu sekarang
di manakah sisa kambing itu?” bertanya gembala itu.
“Aku simpan di
dalam kandang.”
“Tanpa
rumput?”
“Terpaksa aku
menyabit rumput dahulu sebelum aku datang kemari.”
Gembala itu
mengangguk-angguk dan mengangguk-angguk. Kemudian katanya,
“Terima kasih.
Jadi Angger mengetahui bahwa pertahanan Ki Tambak Wedi sudah pecah.”
“Tidak. Aku
pagi tadi datang ke pengungsian.”
“O,” desis
gembala itu, “dan para pengawal memberitahukan kepada Anakmas?”
“Mereka belum
tahu, bahwa pertempuran sudah selesai.”
“Mungkin. Baru
saja kami mengirimkan utusan, seorang penghubung.”
“Tetapi
ternyata kalian lengah,” berkata anak muda itu kemudian.
“Kenapa?”
Dan anak muda
itu pun kemudian menceriterakan apa yang
dilihatnya di tempat pengungsian itu.
“O,” gembala
itu mengerutkan keningnya,
“memang. Kami
telah membuat kesalahan yang besar. Mereka pasti orang-orang yang lari dari
peperangan ini.”
Anak muda itu
tidak menjawab. Hanya kepalanya saja yang terangguk-angguk.
Sejenak
kemudian mereka saling berdiam diri. Diam-diam anak muda itu mencari-cari.
Tetapi yang dicarinya tidak seorang pun
yang tampak. Gupita, Gupala, maupun Hanggapati atau Dipasanga. Sehingga
akhirnya ia terpaksa bertanya,
“Kemanakah
anak-anak Kiai itu?”
“O,” gembala
itu mengangkat wajahnya, “mereka sedang bertugas. Ki Hanggapati dan Ki
Dipasanga pun sedang bertugas pula.”
“Maksud Kiai?”
“Tidak ada orang-orang
yang dapat dipercaya untuk mengawasi Sidanti dan Argajaya kecuali keempat orang
itu.”
“Maksud Kiai,
Sdianti dan Argajaya tertangkap hidup?”
Orang tua itu
mengangguk.
“Mengherankan,”
desis anak muda itu.
“Kenapa
mengherankan?”
“Apakah mereka
menyerah?”
“Tidak. Kami
harus berjuang mati-matian untuk menangkap mereka hidup-hidup. Dan kami
berhasil setelah membuat mereka pingsan.”
Anak muda itu
mengangguk-angguk. Kemudian ia bertanya,
“Di manakah
mereka sekarang disimpan?”
“Di ruang
belakang rumah ini. Sidanti ditunggui oleh Ki Hanggapati dan Ki Dipasanga
bersama beberapa orang pengawal, sedang Argajaya dijaga oleh Gupita dan
Gupala.”
Anak muda itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian,
“Lalu,
bagaimana dengan Ki Argapati?”
“Lukanya agak
parah. Ia masih harus banyak beristirahat. Untunglah bahwa ia dapat tidur
sekarang, sehingga penderitaannya agak berkurang.”
“Tetapi
bukankah Kiai sudah mengobatinya?”
“Ya.”
Anak muda itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu,
“Sebenarnya
aku ingin bertemu dengan Ki Hanggapati dan Dipasanga. Aku sudah terlampau lama
pergi. Ayahanda pasti sudah menunggu.”
“Maksud
Angger, Ayahanda Pemanahan atau Ayahanda Adiwijaya dari Pajang?”
“Ayah
Pemanahan. Kami tidak dapat menunggu lebih lama lagi penyerahan resmi Tanah
Mentaok. Aku kira ayah sudah mulai membuka hutan itu.”
Apakah dengan
demikian tidak dicemaskan timbulnya perasoalan antara Pajang dan Ki Gede
Pemanahan?”
Anak muda itu
mengangkat pundaknya, dan gembala itu
pun meneruskan,
“Persoalan
dengan Pajang bukan persoalan anak-anak, Ngger.”
“Ayah sudah
memperhitungkan.”
“Jadi, Ki Gede
Pemanahan sudah memperhitungkan segala akibatnya?”
“Jangan
meninjau persoalan ini terlampau jauh, Kiai.”
Orang tua itu
mengangguk-angguk pula.
“Tentu sudah
sejauh itu, bukan? Sebab, kalau tidak, kenapa Angger datang ke Menoreh?”
“Penglihatan
Kiai memang tajam sekali,” anak muda itu tersenyum.
“Apa boleh
buat.”
“Sama sekali
bukan penglihatanku yang tajam. Secara tidak langsung Angger sendiri yang
memberitahukannya kepadaku, sejak kita bertemu di Tanah Perdikan.”
“Mungkin. Dan
Ayahanda Pemanahan tidak akan dapat melangkah surut. Kami tidak mau ketinggalan
terlampau jauh dari Pati.”
Gembala tua
itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Karena itu,
mungkin aku tidak akan dapat terlalu lama menunggu.”
“Tunggulah
sehari dua hari. Mungkin Angger berkesempatan berbicara dengan Ki. Argapati.”
Orang tua itu berhenti sejenak, kemudian,
“Apakah Angger
akan bertemu dengan Sidanti atau Argajaya?”
“Tidak. Tidak
ada gunanya. Hal itu akan membangkitkan sakit hati saja pada mereka.”
“Kalau begitu
tinggallah di sini. Aku dapat mengatur penjagaan agar Ki Hanggapati dan Ki
Dipasanga dapat menemui Angger sekarang.”
“Tidak perlu
sekarang. Tetapi hari ini.”
“Baiklah,
Angger tinggal di sini.”
Orang tua itu
pun kemudan meninggalkan anak muda bertombak pendek itu seorang diri, setelah
diberitahukannya kepada para pengawal di halaman itu, bahwa anak muda itu
adalah tamunya.
Sementara
orang tua itu pergi, Samekta dan Kerti sempat menemui anak muda itu sejenak.
Tetapi seperti kepada para pengawal yang lain, anak muda itu tidak pernah
menyebat nama yang sebenamya. Ia hanya mengatakan, bahwa ia adalah kawan Gupita
dan Gupala yang datang ke atas Tanah Perdikan ini bersama Ki Hanggapati dan Ki
Dipasanga. Dalam pada itu Sidanti duduk di dalam ruang yang sempit sambil
menghentak-hentakkan kakinya. Berkali-kali ia berjalan hilir-mudik.
Kadang-kadang ia mencoba melihat ke luar dari sela-sela dinding. Tetapi ia
tidak dapat melihat apa pun, selain bintik-bintik cahaya matahari.
Anak muda itu
sadar, bahwa di luar biliknya, beberapa orang sedang berjaga-jaga. Namun
tiba-tiba langkahnya terhenti. Dirabamya dinding biliknya, justru di sebelah
dalam. Ia kenal benar ruangan demi ruangan di rumah itu, sehingga ia pun tahu
benar, bahwa di sebelah dinding itu adalah ruang belakang dari rumah yang
didiaminya semasa kecil ini. Kemudian sebuah longkangan kecil. Dan di sebelah
longkangan kecil yang dibatasi oleh gandok-gandok sebelah-menyebelah itu,
adalah bilik ayah dan ibunya, bilik yang paling kanan dari tiga buah bilik yang
berjajar. Ia sendiri kadang-kadang tidur di sentong tengah, tetapi
kadang-kadang di amben besar yang terhampar di ruang tengah rumahnya. Bahkan
kadang-kadang bersama pamannya, Argajaya yang tidak diketahui lagi nasibnya
kini.
“Aku tidak akan
dapat lari ke luar, ke halaman belakang,” berkata anak muda itu di dalam
hatinya.
“Tetapi
bagaimana kalau aku justru memecah dinding ini.”
Sidanti
mencoba menimbang-nimbang. Tetapi karena tidak dilandasi oleh ketenangan
pikiran yang wajar, maka ia pun segera dicengkam oleh nafsunya untuk
memberontak terhadap keadaan. Ia sama sekali sudah tidak memperhitungkan lagi
kemungkinan yang paling jelek yang dapat terjadi atasnya. Mati bukanlah sesuatu
yang wajib dipertimbangkan, karena mati adalah jalan yang lebih baik baginya
untuk mengakhiri persoalannya.
Sidanti
menarik nafas dalam-dalam. Diraba-rabanya dinding itu berulang kali. Dan
dicobanya untuk mendengarkan desis orang-orang yang berada di ruang dalam.
“Penjagaan
yang kuat pasti, berada di luar,” desisnya. “Aku tidak mendengar gemeramang
orang di ruang tengah. Ini suatu kelengahan.”
Sejenak
kemudian Sidanti mencoba mengorek sela-sela anyaman dinding bambu yang kasar
berlapis kepang. Ternyata dugaannya benar. Ia hanya melihat dua orang yang
duduk terkantuk-kantuk sambil memeluk senjatanya. Tiba-tiba darah Sidanti yang
menggelegak sama sekali tidak dapat ditahankannya lagi. Dengan hati-hati ia
pergi ke sudut bilik itu. Dengan tangannya yang kuat ia mencoba memutuskan
tali-tali pengikat dinding. Akhirnya satu demi satu tali itu terputus.
Perlahan-lahan ia berhasil membuka sudut biliknya, justru ke ruang belakang
yang menghadap ke longkangan dalam.
“Mudah-mudahan
tidak banyak orang, selain kedua penjaga itu,” desisnya di dalam hati.
Ketika dinding
itu sudah terbuka agak lebar, ia dapat melihat batas-batas gandok dan dapur.
Ternyata tidak seorang pun berada di
longkangan. Dan dapur pun agaknya masih
sepi. Sedang kedua pengawal yang duduk memeluk senjata-senjata mereka itu pun masih duduk di tempatnya. Oleh kelelahan
yang sangat, mereka menjadi lengah. Semalam suntuk mereka tidak tidur, bahkan
telah memeras tenaga, bertempur melawan orang-orang Ki Tambak Wedi.
Sejenak
Sidanti menilai keadaan. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya berkata,
“Aku tidak
dapat menerobos gandok, baik gandok kanan mau pun gandok kiri. Para pengawal
yang sedang beristirahat pasti berada di sana selain berada di banjar.”
Kemudan
dilayangkannya pandangan matanya ke pintu yang justru masuk ke ruang tengah.
Perlahan-lahan ia bergumam,
“Aku kira
ruangan itu pun kosong. Mudah-mudahan setan tua dengan kedua anak-anaknya itu
tidak berada di dalam.”
Akhirnya
Sidanti mengambil kesimpulan, justru ia akan lari lewat ruang dalam. kemudaan
menerobos pringgitan dan lari melintas pendapa, meloncat dinding justru di
depan rumah ini.
Menurut
perhitungan Sidanti, karena ia di tempatkan di ruang belakang, maka justru
bagian belakanglah yang diperkuat dengan orang-orang yang penting untuk
mengawasinya. Adalah sedikit sekali kemungkinan seorang tawanan justru lari
lewat ruang dalam dan pendapa.
“Kalau tidak
ada iblis-iblis pendatang itu, aku pasti dapat keluar dari halaman ini. Aku
kira mereka justru berada di belakang rumah kecuali dukun tua itu. Aku harap ia
berada di bilik Argapati yang terluka bersama Pandan Wangi.”
Setelah
perhitungannya dianggap masak, meskipun dalam kegelisahan dan kekisruhan,
Sidanti tidak menunggu lebih lama lagi. Dengan sekuat-kuat tenaganya dia
menyibakkan dinding bambu biliknya. Kemudian perlahan-lahan ia merangkak ke
luar justru masuk ke ruang belakang. Ketika kedua penjaga itu mendengar suara
gemerisik, mereka pun berpaling. Tetapi terlambat. Sisi telapak tangan Sidanti
telah menyentuh tengkuk mereka sehingga mereka pun terpelanting. Meskipun
demikian, salah seorang dari mereka masih sempat berteriak,
“Sidanti ………”
tetapi suaranya terputus karena kaki Sidanti telah memginjak lehemya.
Di halaman
belakang, Ki Hanggapati dan Ki Dipasanga duduk di atas sehelai tikar,
menghadapi mangkuk air panas, gula kelapa dan beberapa potong pondoh beras.
Ternyata mereka mendengar teriakan penjaga di ruang belakang yang terputus itu.
Serentak mereka terloncat berdiri. Dengan serta-merta mereka mendorong pintu
bilik itu. Tetapi mereka tidak menjumpai seorang pun. Yang mereka temukan
adalah dinding yang terbuka di pojok bilik.
“Sidanti
lari,” desis Hanggapati.
“Justru ia
masuk ke ruang belakang,” sahut Dipasanga.
Sejenak mereka
saling berpandangan. Namun sejenak kemudian mereka menyadari, bahwa Sidanti
adalah anak muda yang berbahaya. Karena itu, maka mereka tidak menunggu lagi.
Mereka tidak sempat berlari lewat pintu dan melingkari rumah belakang itu untuk
masuk ke longkangan. Karena itu, dinding yang memang sudah terbuka itu pun
dihentakkannya dengan kaki sehingga dinding itu berderak dan terbuka semakin
lebar.
Ketika mereka
memasuki ruang belakang, beberapa orang berloncatan pula dari gandok
sebelah-menyebelah masuk ke longkangan. Tetapi mereka tidak menjumpai apa pun lagi. Sidanti telah meninggalkan
longkangan itu justru masuk ke ruang dalam. Ruang itu memang kosong. Tidak
seorang pun berada di ruang dalam.
Sekilas Sidanti melihat pintu bilik kanan terbuka. Ia yakin bahwa Ki Argapati
sudah dibawa masuk ke dalam bilik itu. Tetapi menurut dugaannya, gembala tua itu
berada di sana pula. Karena itu, maka tidak ada niatnya sama sekali untuk
menjenguk bilik itu. Dengan cepatnya Sidanti berlari ke pringgitan. Pringgitan
yang kotor itu pun masih kosong pula.
Bahkan di sana-sini masih berhamburan sampah yang dilontarkan oleh
orang-orangnya semalam. Agaknya para pengawal masih segan untuk berada di dalam
ruangan yang kotor. Agaknya masih belum semua ruangan sempat dibersihkan,
sebersih bilik Ki Argapati.
Sidanti
menahan dirinya sejenak. Sekilas ia memperhitungkan keadaan. Kalau ia
melangkahi pintu pringgitan, ia akan sampai ke pendapa. Jika di pendapa itu ada
beberapa orang pengawal itu tidak akan banyak berarti. Tetapi kalau di pendapa
ada anak-anak muda yang bersenjata cambuk, maka ia harus bertempur.
“Lebih baik
mati daripada menjadi pangewan-ewan,” katanya di dalam hati.
Karena itu,
maka ia pun sudah berketetapan untuk
berlari ke luar. Dengan tergesa-gesa tangannya mendorong pintu pringgitan,
sehingga sekaligus pintu itu terbuka lebar. Dalam sekilas pula, ia tidak
melihat seorang pengawal pun yang berada di pendapa. Beberapa orang pengawal
berkeliaran di halaman dan di regol.
“Tetapi aku
tidak akan lewat regol itu,” geramnya, “aku akan meloncati dinding dan lari
kemana pun sebelum aku sempat kembali untuk melepaskan dendam di hati ini.”
Ketika Sidanti
mendengar keributan di ruang dalam, maka ia menyadari bahwa para pengawal mulai
mengejarnya. Karena itu, maka ia pun segera meloncat ke luar pintu.
Namun
langkahnya tiba-tiba tertegun, ketika seseorang yang duduk seorang diri di
pojok pendapa menghadapi hidangan yang masih hangat, memanggilnya,
“Sidanti?”
Hanya sekejap
Sidanti kehilangan waktu pada saat ia berpaling dan tertegun. Namun anak muda
yang memanggilnya itu ternyata cekatan sekali. Dalam sekejap itu ia telah
berhasil melompat dan berdiri di hadapannya dengan tombak pendeknya.
“Apakah kau
akan melarikan diri, Sidanti?” anak muda itu bertanya.
Sebuah getaran
yang dahsyat mengetuk dada Sidanti. Ia tidak menyangka sama sekali bahwa anak
muda itu ada di rumah itu pula. Bahkan ia tidak menyangka, bahwa anak muda itu
ada di Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi Sidanti tidak sempat bertanya. Ia sadar,
bahwa sebentar lagi para pengawal akan segera mengepungnya kalau ia masih
berada di halaman itu. Kalau kemudian datang para pemimpinnya pula, maka ia
akan kehilangan setiap kesempatan. Karena itu, maka sebelum ia menjawab,
tangannya telah lebih dahulu mengayunkan senjata yang dirampasnya dari penjaga
di ruang belakang. Serangan Sidanti benar-benar tidak diduga. Cepat, dan
langsung mengarah ke tempat yang berbahaya. Terapi lawannya ternyata seorang
yang lincah pula. Secepat ayunan senjatanya, anak muda itu berhasil menghindar.
Bahkan kemudian tombak pendeknya segera mematuk membalas serangan Sidanti yang
sudah kehilangan akal. Perkelahian pun
segera terjadi di atas pendapa. Keduanya adalah anak-anak muda yang tangkas dan
cekatan. Keduanya mempunyai beberapa kelebihan. Namun Sidanti kali ini hampir
tidak dapat mempergunakan otaknya sama sekali, sedang lawannya adalah seorang
anak muda yang mempunyai kecerdasan berpikir yang luar biasa, selain tempaan
jasmaniah yang matang. Dalam kegelapan hati, Sidanti menyerang sejadi-jadinya.
Namun dengan demikian, lawannya yang mempunyai perhitungan yang tajam itu
segera mengetahui kelemahannya. Apalagi ketika beberapa orang pengawal mulai
berdatangan mengelilingi keributan itu. Ternyata perkelahian itu tidak terjadi
terlampau lama. Dengan perhitungan yang masak, anak muda itu berhasi1
mengungkit senjata Sidanti, sehingga terlepas dari tangannya. Kemudian sebuah
ayunan tangkai tombak pendeknya berhasil mengenai kaki Sidanti, sehingga
Sidanti terdorong beberapa langkah kemudian jatuh berguling di lantai. Ketika
Sidanti siap untuk meloncat, ternyata ujung tombak pendek lawannya telah
melekat di dadanya. Dengan gerak naluriah Sidanti menahan dprinya dan membeku
untuk sesaat. Semua mata kemudian berpaling ketika mereka mendengar seseorang
berteriak,
“Jangan!
Jangan kau bunuh.”
Anak muda yang
bersenjata tombak itu pun berpaling. Matanya meredup ketika ia melihat seorang
gadis berdiri termangu-mangu dengan sepasang pedang di lambungnya.
Sesaat mereka
saling berdiam diri. Namun sesaat kemudian gadis itu melangkah maju sambil
berkata kepada Sidanti,
“Kenapa kau
berada di sini, Kakang?”
Sidanti tidak
menjawab.
“Jangan
berusaha untuk melakukan itu. Tidak akan terjadi apa-apa atasmu. Aku menjadi
jaminan.”
Sidanti yang
masih terbaring itu memandangi adiknya yang melangkah semakin mendekat. Ia
melihat kepahitan yang membayang di wajah gadis itu.
Pandan Wangi
pun kemudian berhenti beberapa langkah dari kakaknya. Ditatapnya wajah anak
muda yang memegang tombak pendek itu berganti-ganti dengan wajah Sidanti yang
tegang.
“Apakah kau
melukainya?” bertanya Pandan Wangi.
“Ia berusaha
untuk melarikan diri,” jawab anak muda itu.
“Siapakah kau?”
bertanya Pandan Wangi pula.
“Apakah kau
berhak untuk ikut campur dalam persoalan kami?”
Anak muda itu
menjadi heran. Dan tiba-tiba saja ia bertanya kepada gadis itu,
“Siapa kau?”
“Aku adalah
puteri dari Kepala Tanah Perdikan Menoreh. Kakang Sidanti adalah kakakku.”
Anak muda itu
menjadi bingung sejenak. Ia tidak mengerti apa yang harus dilakukan. Ia merasa
bahwa ia mencoba untuk membantu mencegah larinya Sidanti. Tetapi tiba-tiba,
gadis puteri kepala Tanah Perdikan ini marah-marah kepadanya.
“Gadis ini
adik Sidanti,” katanya di dalam hati.
“Keduanya
adalah putera dan puteri Ki Argapati.”
“Serahkan
persoalan Kakang Sidanti kepada kami,” berkata Pandan Wangi selanjutnya.
Awak muda yang
masih mengacungkan senjatanya itu mundur setapak. Kemudian katanya,
“Baik. Aku
tidak akan mencampuri persoalan kalian. Aku minta maaf.”
Jawaban
itu pun tidak diduga-duga sama sekali
oleh Pandan Wangi. Dengan serta-merta anak muda itu telah minta maaf kepadanya.
Karena itu, Pandan Wangi justru termenung sejenak.
Dengan
demikian maka ruangan itu seolah-olah jadi membeku. Setiap orang berdiri tegak
seperti tiang-tiang di pendapa. Hanya nafas mereka sajalah yang terdengar
bersahut-sahutan. Kebekuan itu ternyata telah merangsang hati Sidanti. Ketika
ia melihat ujung tombak anak muda itu berkisar dari dadanya, maka tiba-tiba
saja ia meloncat berdiri. Dengan satu hentakkan sekuat-kuat tenaganya, ia
berhasil merebut tombak pendek itu dari tangan pemiliknya. Perbuatan Sidanti
itu benar-benar telah mengguncang setiap jantung. Dengan demikian maka sejenak
setiap orang justru membeku di tempatnya, oleh pesona yang tidak
disangka-sangka. Dengan tangkasnya Sidanti meloncat surut, kemudian mengangkat
ujung tombak itu setinggi dada, siap mematuk anak muda yang memilikinya. Tetapi
adalah di luar dugaan pula, bahwa anak muda itu memang tangkas dan berhati
dingin. Ia tidak menjadi gugup dan kehilangan akal. Secepat kilat ia meloncat
merebut sebilah pedang seorang pengawal yang berdiri beberapa langkah dari
padanya. Ternyata anak muda itu tidak terlambat. Sekejap kemudian Sidanti telah
meloncat sambil menjulurkan tombak pendek itu langsung ke arah jantung. Namun
anak muda itu sudah menggenggam pedang di tangannya, sehingga dengan tangkasnya
ia berhasil memukul ujung tombak itu ke samping, sehingga sama sekali tidak
menyentuhnya. Tetapi anak muda itu tidak sempat membalas serangan Sidanti.
Ketika ia sudah siap untuk mengayunkan pedangnya, maka sepasang tangan telah
merenggut Sidanti. Suatu hentakkan kecil telah membuat tangan Sidanti tidak
berhasil mempertahankan tombak pendek itu. Kemudian disusul oleh sentuhan
jari-jari di tengkuknya. Sidanti merasa bahwa seluruh tulang-tulangnya terlepas
dari tubuhnya, seperti pada saat ia berada di peperangan. Pandangannya menjadi
kabur. Dan sejenak kemudian Sidanti telah terbaring diam di tengah-tengah
pendapa dikelilingi oleh para pengawal.
“Kiai, kau
telah membunuhnya?” Pandan Wangi hampir berteriak.
“Tidak,
Ngger,” jawab gembala tua yang kini berjongkok di sisi tubuh Sidanti.
“Aku
membuatnya sekedar beristirahat, agar perasaannya tidak selalu dikejar-kejar
oleh nafsu yang tidak juga dapat mengendap.”
Pandan Wangi
tidak menyahut. Perlahan-lahan ia maju mendekati kakaknya dan berjongkok pula
di sisinya.
“Tidak
seorang pun boleh menyakitinya, meskipun
ia seorang tawanan,” berkata Pandan Wangi dengan lantang.
Gembala tua
itu menggelengkan kepalanya.
“Tidak. Tidak
seorang pun yang berhak berbuat sesuatu atasnya.”
“Tetapi anak
muda itu telah melakukannya. Kalau aku tidak mencegahnya, ia telah membunuh
Kakang Sidanti.”
“Aku sama
sekali tidak berhasrat untuk membunuhnya,” sahut anak muda tang kini telah
memungut tombaknya kembali.
“Kalau begitu
kau hanya sekedar menunjukkan kemampuanmu yang melebihi Kakang Sidanti?”
“Aku tidak
ingin berbuat apa pun. Seperti yang aku katakan, aku hanya sekedar ingin
mencegah Sdanti melarikan diri.”
“Kau tidak
berhak,” Pandan Wangi menyahut. Kemudian, “Kenapa kau berada di sini?”
“Anak muda itu
tamuku, Ngger,” sahut gembala tua itu.
“Ia mencari
aku, anak-anakku, Ki Hanggapati dan Ki Dipasanga.”
Pandan Wangi
mengerutkan keningnya. Sedang anak muda itu pun terdiam sejenak. Dibiarkannya
orang tua itu memberikan penjelasan. Betapapun hatinya bergejolak, tetapi ia
tidak ingin membuat persoalan dengan orang-orang Menoreh, apalagi orang-orang
penting seperti Pandan Wangi, karena perhitungan kemungkinan di masa mendatang
bagi Alas Mentaok.
“Tetapi ia
sudah langsung mencampuri persoalan yang berkembang di atas Tanah Perdikan
ini.”
“Tentu bukan
maksudnya. Ia sebenarnya ingin menjemput kami apabila kami memang sudah tidak
diperlukan lagi.”
Terasa sesuatu
berdesir di dada Pandan Wangi. Dipandanginya orang tua itu sejenak. Namun
kepalanya pun kemudian tertunduk dalam-dalam.
“Ia memerlukan
kami, Ngger, karena anak muda ini pun sedang mencoba memperjuangkan haknya atas
Alas Mentaok.”
Pandan Wangi
mengerutkan keningnya. Perlahan-lahan ia mengerutkan wajahnya, namun wajah itu
pun segera tertunduk kembali.
Sejenak
pendapa itu dicengkam oleh kediaman yang tegang. Masing-masing berdiri kaku di
tempatnya. Perlahan-lahan Pandan Wangi berdiri dan melangkah menjauh. Ketika ia
melihat Samekta berdiri membeku di tempatnya, dadanya berdesir. Apalagi ketika
tatapan matanya menyentuh wajah Kerti yang tegang. Tiba-tiba Pandan Wangi
berlari kepada orang tua itu. Seperti anak-anak, ia menyembunyikan wajahnya di
dada pemomongnya. Betapa pun ia bertahan, tetapi ia tidak dapat membendung air
matanya yang meleleh ke pipinya.
Di antara
isaknya yang tersendat-sendat terdengar suaranya,
“Paman, apakah
yang sebaiknya aku lakukan?”
Kerti menarik
nafas dalam-dalam. Ia mengenal gadis itu sejak bertahun-tahun yang lalu. Sejak
gadis itu masih kanak-kanak. Karena itu, Pandan Wangi sudah tidak ubahnya
seperti anaknya sendiri. Apalagi tugasnya kemudian adalah menjadi pemomongnya.
Setiap gadis itu pergi berburu, pergi melihat-lihat bukit-bukit padas dan
goa-goa di lereng-lereng Bukit Menoreh, dan hampir kemana pun perginya, ia selalu menyertainya.
Gembala tua
yang masih berjongkok di samping tubuh Sidanti yang terbaring diam itu pun
kemudian berdiri. Perlahan-lahan ia berkata,
“Maafkan aku,
Ngger. Bukan maksudku menyinggung perasaan Angger.”
Pandan Wangi
tidak menyahut. Sedang dada gembala tua itu diamuk oleh penyesalan atas
keterlanjurannya. Ia sadar, bahwa kata-katanya memang terlampau tajam bagi seorang
gadis.
“Maksudku,” ia
mencoba untuk menenteramkan hati gadis itu,
“maksudku,
tamuku ini akan segera menemui Ki Argapati apabila keadaan memungkinkan.
Artinya, apabila kesehatannya sudah menjadi baik. Dan anak muda ini memang akan
berbicara tentang Alas Mentaok. Hanya itu.”
Pandan Wangi
mengangkat wajahnya perlahan-lahan. Tetapi ia masih menahan isaknya yang
menyesak dada. Persoalan yang kini membelit di hatinya bukan sekedar persoalan
Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi yang sekarang menjadi tawanan ayahnya itu adalah
kakaknya sendiri. Kakaknya yang baik sekali kepadanya sejak kanak-kanak, dan
bahkan setelah Sidanti menyatakan dirinya berdiri berseberangan dengan ayahnya,
Sidanti telah membebaskannya dari bencana yang paling dahsyat dalam hidupnya
sebagai seorang gadis. Kini semua orang memusuhinya. Semua orang memandang
Sidanti yang baik baginya itu sebagai seorang pengkhianat. Bahkan orang asing
yang tidak dikenal pun telah ikut campur pula.
Dalam
kerisauan itu, tiba-tiba ia berpaling. Sambil menunjuk kepada anak muda yang
bersenjata tombak pendek itu ia bertanya kepada gembala tua,
“Siapakah
tamumu ini, Kiai?”
Gembala tua
itu menjadi ragu-ragu sejenak. Tetapi sebaiknya ia memang berterus terang
supaya persoalannya tidak semakin berlarut-larut. Kalau orang-orang Menoreh
tidak mengenal anak muda itu, maka salah paham akan mungkin menjadi semakin
meluas.
Karena itu,
maka tanpa minta pertimbangan yang berkepentingan, orang tua itu menjawab,
“Memang
sebaiknya Angger Pandan Wangi mengetahui, siapakah anak muda itu. Ia adalah,
kawan Ki Hanggapati dan Ki Dipasanga. Kalau Angger ingin lebih mengenalnya
lagi, anak muda itu adalah putera Ki Gede Pemanahan yang bernama Raden
Sutawijaya bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar.”
“Kiai,” anak
muda bertombak pendek itu memotong. Tetapi namanya sudah terucapkan, dan bahkan
orang tua itu berkata seterusnya,
“Ia adalah
Putera angkat dari Adipati di Pajang, yang kini bergelar Sultan setelah Demak
tidak mungkin bangkit lagi, dan adipati-adipati putera dan menantu yang lain
tidak ada yang dapat mewarisi takhta.”
Jawaban itu
benar-benar mengejutkan, seperti meledaknya guruh di atas pendapa itu. Sejenak
para pengawal Tanah Perdikan Menoreh seakan-akan membeku di tempatnya. Dan
bahkan Pandan Wangi merasa seakan-akan darahnya berhenti mengalir.
Namun orang
tua itu berkata selanjutnya,
“Tetapi jangan
hiraukan itu. Meskipun ia adalah Raden Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi
Loring Pasar, tetapi ia tidak akan berbuat apa-apa. Ia adalah seorang anak muda
yang baik. Ia dapat mengerti apa yang telah dan baru saja terjadi.” Orang tua
itu berhenti sejenak, kemudian kepada Pandan Wangi ia berkata,
“Angger Pandan
Wangi. Hal ini jangan menambah kerisauan hatimu. Kami semua tahu, apa yang
telah mengguncangkan perasaanmu. Mungkin sepatah dua patah kataku memang
terdorong agak jauh. Tetapi pada dasarnya, kami mengetahui, bahwa kau tidak
sekedar menghadapi lawan seperti orang-orang lain. Kau mempunyai persoalan
pribadi yang rumit, seperti juga Ki Argapati. Ia menghadapi lawan yang
sekaligus anak dan adiknya, seperti kau menghadapi kakak dan pamanmu. Tetapi
kami sudah bertekad untuk menyerahkan persoalan ini kepada kalian. Kepada yang
berhak di atas Tanah Perdikan ini. Ki Argapati. Karena itulah maka kami
berusaha untuk menangkap Angger Sidanti dan Argajaya hidup-hidup.”
Ketika orang
tua itu terdiam, maka suasana menjadi hening. Namun di sana-sini masih juga
terdengar gemerisik para pengawal saling berbisik. Mereka menatap wajah anak
muda yang bersenjata tombak pendek itu dengan tajamnya, seolah-olah ingin mengenal
setiap lekuk dan garis-garis. Pandan Wangi sendiri masih juga berdiri di
tempatnya. Kejutan perasaannya serasa masih belum mengendap. Ia sama sekali
tidak menyangka bahwa yang berdiri di hadapannya itu adalah putera Panglima
Wira Tamtama di Pajang yang pernah didengar namanya. Tetapi sejenak kemudian
justru Pandan Wangi berhasil menguasai dirinya. Ia berbasil mengatur
perasaannya, tidak saja sebagai seorang gadis, tetapi juga sebagai seorang
puteri Kepala Tanah Perdikan Menoreh. Sehingga karena itu, dengan nada yang
berbeda ia kemudian berkata setelah air matanya kering,
“Aku minta
maaf, Tuan, karena sambutanku yang mungkin tidak menyenangkan. Tetapi hal itu
terjadi karena aku belum mengenal Tuan sama sekali.”
Sutawijaya
yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar itu menarik nafas dalam-dalam. Sekilas
dipandanginya wajah gembala tua yang masih termangu-mangu. Namun kemudian ia
berkata,
“Tidak ada
yang bersalah apa pun kali ini. Karena itu jangan minta maaf. Karena hal ini
memang sudah aku sengaja. Sebenarnya aku lebih senang tidak disebut namaku.”
Sebelum Pandan
Wangi menjawab, maka terdengar suara Samekta dalam,
“Jika
demikian, sebaiknya kami persilahkan Anakmas masuk ke ruang dalam. Meskipun
ruangan itu masih terlalu kotor, namun akan lebih baik daripada Anakmas berada
di pendapa.”
“Terima kasih.
Aku akan tetap di sini.”
“Anakmas, kami
mengharap, bahwa Anakmas tidak menolak.”
Sutawijaya
tidak dapat berbuat lain daripada menerimanya. Karena itu, maka ia pun kemudian
dibawa oleh Kerti dan Pandan Wangi masuk melewati pringgitan langsung ke ruang
dalam.
“Marilah,
Kiai,” Samekta merapersilahkan gembala tua itu pula.
“Silahkan
lebih dahulu. Aku akan menempatkan Angger Sidanti.”
Samekta
mengerutkan keninginya. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata,
“Baiklah.
Marilah, kita usahakan tempat yang sebaik-baiknya.”
“Apakah tidak
sebaiknya justru kita tempatkan di salah satu dari ketiga bilik di dalam?”
berkata gembala tua itu. “Dengan demikian maka kita telah menempatkannya di
tempat yang baik, sesuai dengan keinginan Angger Pandan Wangi, namun kita masih
memerlukan persetujuannya.”
Samekta
berpikir sejenak. Kemudian, kepalanya
pun terangguk-angguk. Perlahan-lahan ia bergumam seperti kepada diri
sendiri,
“Agaknya
pengawasannya pun menjadi lebih baik.”
“Jadi, apakah
hal ini dapat disetujui?”
“Aku setuju,
tetapi baiklah hal ini aku beritahukan Angger Pandan Wangi lebih dahulu.”
Samekta pun kemudian masuk sejenak ke ruang tengah,
untuk menemui Pandan Wangi yang sedang mempersilahkan Sutawijaya duduk.
“Terserahlah
kepada Paman,” jawab Pandan Wangi.
“Tetapi
bagaimana pendapat Angger.”
Pandan Wangi
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Baiklah. Aku sependapat.”
“Gembala tua
itu dapat langsung mengawasinya sambil duduk di ruang ini.”
Sekali lagi
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sejenak
kemudian maka Sidanti yang masih belum sadar sepenuhnya itu langsung dibawa
masuk ke ruang dalam. Setelah dibersihkan, maka ia pun di tempatkan di bilik
sebelah kiri. Bilik yang tidak begitu luas, tetapi agak lebih baik dari bilik
yang telah ditinggalkannya di bagian belakang rumah itu. Namun dengan demikian
kesempatan untuk lolos pun menjadi semakin sempit pula.
Dengan tertib
Samekta mengatur pengawasan longkangan belakang. Pengalaman yang baru saja
terjadi merupakan pelajaran yang sangat berharga bagi para pengawal, sehingga
mereka pasti tidak akan lengah lagi. Betapa pun lelah mencengkam tubuh
masing-masing, tetapi mereka tidak mau bernasib seperti kedua kawannya yang
sama sekali tidak sempat melawan ketika Sidanti tiba-tiba saja telah menyerang
mereka. Ketika semuamya sudah dianggap cukup, barulah Samekta dan gembala tua
itu turut duduk pula di ruang tengah bersama Sutawijaya.
Namun selama
ini agaknya Sutawijaya sama sekali tidak membicarakan apa pun tentang Alas
Mentaok dengan segala kemungkinannya. Agaknya ia hanya sekedar berceritera,
kenapa ia berada di Tanah Perdikan ini. Dan ceriteranya itu pun sama sekali
tidak lengkap seperti apa yang sebenarnya terjadi.
“Aku hanya
sekedar ingin melihat Tanah ini,” katanya, “dan lebih-lebih lagi, aku ingin
mencari kawan-kawanku yang menurut pendengaranku sudah lebih dahulu berada di
sini.”
Tidak seorang
pun yang tidak mempercayainya. Pandan Wangi, Kerti, dan kemudian juga Samekta
hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja.
“Tetapi
bagaimana, dengan Mentaok seperti yang dikatakan oleh gembala tua ini?”
bertanya Samekta kemudian.
“Ah, itu bukan
persoalan lagi.” Sutawijaya berhenti sejenak.
“Aku hanya
ingin berbicara sedikit dengan Ki Argapati sendiri apabila kesehatannya sudah
memungkinkan.”
Semuanya
mengangguk-anggukkan kepala mereka. Hal itu adalah wajar sekali, karena Kepala
Tanah Perdikan ini adalah Ki Argapati.
“Tetapi
bagaimana kalau pembicaraan itu tidak memungkinkan karena Ki Argapati tidak
segera dapat melayani Anakmas,” bertanya Samekta.
“Aku tidak
tergesa-gesa dan pembicaraan itu pun tidak begitu penting.”
Samekta
mengangguk-anggukkan kepalanya pula.
Ternyata pembicaraan
mengenai Ki Argapati itu, telah memperingatkan Pandan Wangi kepada ayahnya yang
sedang sakit. Karena itu maka katanya kemudian,
“Tuan kami
persilahkan duduk bersama Paman Samekta dan Paman Kerti. Aku akan menunggui
ayah yang masih terbaring di biliknya.”
“O, silahkan,”
jawab Sutawijaya.
Dan sejenak
kemudian Pandan Wangi pun telah memasuki bilik di ujung kanan yang dipergunakan
oleh Ki Argapati.
Sepeninggal
Pandan Wangi, maka Sutawijaya pun memanggil Hanggapati dan Dipasanga mendekat.
Perlahan-lahan ia bertanya, “Bagaimana dengan kalian?”
“Baik, Kami
tidak mengalami kesulitan apa pun.”
Sutawijaya
menganggukkan kepalanya, kemudian katanya kepada Samekta dan Kerti,
“Kedua
prajurit ini adalah orang-orang yang menjadi kepercayaanku.”
Kedua orang
tua itu mengangguk-anggukkan kepala mereka.
“Kami sudah
menduga bahwa keduanya adalah prajurit-prajurit dari Pajang.”
“Bukan dari Pajang,”
Sutawijaya memotong.
Samekta dan
Kerti mengerutkan kening mereka. Sejenak mereka saling berpandangan, dan
sejenak kemudian mereka memandang wajah Sutawijaya dengan sorot mata yang
bertanya-tanya, meskipun tidak terucapkan.
“Memang,
mereka bukan prajurit-prajurit Pajang,” Sutawijaya menegaskan, seakan-akan ia
dapat membaca isi hati kedua orang-orang tua itu.
“Jadi,
prajurit manakah keduanya?”
Sutawijaya
menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia tersenyum.
“Baiklah,
sebut saja ia memang bekas prajurit Pajang.”
“Dan sekarang
tidak lagi?”
Sutawijaya
menggeleng.
“Keduanya
sedang melakukan tugas yang tidak kalah pentingnya dengan tugas keprajuritan
Pajang.”
Kedua
orang-orang tua itu menjadi semakin bingung. Namun mereka mengangguk-anggukkan
kepala mereka tanpa mengerti maksud pembicaraan Sutawijaya.
“Mungkin
banyak hal-hal yang tidak jelas bagi kalian,” Sutawijaya itu berkata.
“Memang
mungkin harus demikan untuk saat ini.”
Samekta
mengangguk-anggukkan kepalanya sambil menjawab,
“Begitulah.”
Samekta masih
mengangguk-angguk dan Kerti menggaruk-garuk keningnya.
“Tetapi kenapa
kita berbicara tentang hal-hal yang sulit,” potong gembala tua itu,
“kenapa kita
tidak berbicara tentang hal-hal yang menyenangkan. Katakanlah, bahwa kita telah
menyelesaikan sebagian besar dari tugas kita. Bukankah begitu?”
Samekta dan
Kerti mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Nah,
seharusnya kita mulai membicarakan, kapan kita merayakan kemenangan ini.”
“Ah,” jawab
Kerti, “kita masih belum tahu, kapan Ki Argapati sembuh.”
“O, ya,”
gembala itu mengangguk-angguk.
“Nah, kalau
begitu, kita berbicara tentang Tanah ini. Apakah kekalahan pasukan Sidanti di
padukuhan induk ini sudah berarti kekuatan mereka patah sama sekali?”
“Tidak, Kiai,”
Samekta menggeleng,
“mungkin masih
ada sisa-sisa pengikutnya yang membuat kubu-kubu kecil untuk mempertahankan
diri karena mereka masih mempunyai pengharapan atas mimpi mereka yang dibiuskan
oleh Sidanti dan Ki Tambak Wedi, atau justru karena putus asa.”
Gembala tua
itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia
pun banyak bertanya tentang padukuhan-padukuhan kecil yang mungkin
dipergunakan oleh sisa-sisa pasukan Sidanti.
Sementara itu,
Guipita dan Gupala duduk termenung di ruang ujung belakang gandok kanan. Di
dalam ruangan itu tersimpan Ki Argajaya yang duduk merenungi nasibnya. Sekali-sekali
Gupala berdiri dan berjalan mondar-mandir dengan gelisahnya.
Katanya
kemudian,
“Pekerjaan ini
adalah pekerjaan yang paling menjemukan. Aku kira lebih baik tinggal di dalam
ruangan itu daripada berjaga-jaga di sini.”
“Hus,” desis
Gupita, “apakah kau lebih baik ditahan daripada menjaga tahanan ini.”
“Tentu,” jawab
Gupala, “kalau aku yang ditahan, maka apa pun dapat aku lakukan di dalam
ruangan itu. Tetapi kita tidak. Kita tidak dapat tidur betapa kantuknya. Sedang
Argajaya dapat saja tidur kapan saja ia kehendaki tanpa menghiraukan kita?
Tetapi kita tidak dapat. Kita harus menjaga jangan sampai ia lari. Namun Ki
Argajaya tidak peduli apakah kita akan melarikan diri ke mana pun.”
“Tetapi dari
segi lain.”
“Apa
misalnya.”
“Kita dapat
melihat udara di luar bilik itu.”
“Hanya sekedar
melihat. Tetapi kita terikat juga pada bilik itu.”
“Ah, jangan
mengigau. Apa pun yang kau katakan, tetapi kau tidak akan mau bertukar keadaan
dengan Ki Argajaya sekarang.”
Kemudian
mereka terdiam untuk sejenak. Mereka juga mendengarkan hiruk-pikuk yang terjadi
di pendapa rumah itu. Tetapi mereka tidak berani meninggalkan tugas mereka. Mereka
mengetahui apa yang terjadi dari beberapa orang pengawal yang membantu mereka
menjaga Ki Argajaya di luar sudut-sudut bilik itu. Tetapi mereka sama sekali
tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka berdua tidak dapat meninggalkan tanggung
jawab mereka. Meskipun ada beberapa orang prajurit yang ikut dalam penjagaan
itu, tetapi keduanya tidak dapat mempercayakan penjagaan atas Argajaya itu
kepada pengawal yang kemampuannya jauh ketinggalan dari Ki Argajaya. Apalagi
setelah mereka mendengar, bahwa Sidanti telah berusaha untuk melarikan diri.
“Anak itu
memang keras kepala,” desis Gupita.
“Untunglah
bahwa niat itu urung karena di pendapa ada seorang anak muda yang bersenjata
tombak pendek.”
“Ia tidak
sabar lagi menunggu kita.”
Gupala
tertawa. Katanya,
“Menunggu,
adalah pekerjaan yang paling menjemukan.”
Keduanya pun mengangguk-anggukkan kepala mereka.
Seperti tugas yang kini sedang mereka lakukan.. Menunggu. Sampai kapan?
Sementara itu
Argajaya sendiri duduk termenung di dalam bilik yang pengap. Tanpa sesadarnya
ia telah melihat semua peristiwa yang telah terjadi atas dirinya. Berurutan
seperti gambar-gambar yang tersusun rapi. Sejak ia meninggalkan Menoreh menuju
ke Padepokan Tambak Wedi.
Bukan, bukan
hanya sejak keberangkatannya. Tegapi justru jauh sebelum itu. Sejak ia masih
kanak-kanak. Kanak-kanak yang manja, dengan seorang kakaknya yang tekun.
“Kakang
Argapati adalah seorang kakak yang baik,” anggapan itu tumbuh sejak ia
menyadari, apa yang telah dilakukan oleh Arya Teja atasnya.
Terbayang
kemudian saat-saat terakhir ia berada di atas Tanah ini sebelum ia pergi
menengok Sidanti. Kakaknya masih tetap bersikap baik kepadanya. Argajaya
menarik nafas dalam. Perlahan-lahan ia dapat melihat apa yang terjadi itu
dengan hati yang tenang. Memang kadang-kadang harga dirinya masih melonjak
mengatasi kesadarannya yang mulai timbul. Tetapi karena suasana ruangan yang
sepi, kesendirian yang mencengkam, maka perasaan segera dapat diendapkannya
kembali. Sekali-sekali Argajaya itu berdesah. Bahkan kemudian ia dapat
menemukan bintik-bintik terang di dalam hatinya. Seperti seseorang yang
terbangun dari tidurnya dengan sebuah mimpi yang dahsyat, Argajaya mengusap
dadanya. Apa yang telah terjadi atas dirinya ternyata adalah noda-noda yang
paling hitam bagi Tanah Perdikan Menoreh.
Baru sekarang
ia bertanya, “Kenapa selama ini aku berada di pihak Sidanti?”
Argajaya
menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak dapat ingkar kepada dirinya sendiri. Ia
tidak dapat menyembunyikan diri dari pengakuan, bahwa ternyata ia telah
didorong pamrih-pamrih pribadi yang tidak terkendali. Argajaya yang tunduk itu
menjadi semakin tunduk. Meskipun di dalam ruangan itu tidak ada seorang pun selain dirinya sendiri, namun justru
penglihatan dari dalam dirinya itu telah membuatnya menyesal sampai ke dasar
hatinya. Penyesalan itulah yang kemudian telah membuat dirinya pasrah. Ia sama
sekali sudah tidak mempunyai niat apa
pun lagi. Ia akan menerima nasib apa
pun yang akan ditentukan oleh kakaknya atas dirinya. Perlahan-lahan
Argajaya menengadahkan wajahnya. Kini seleret kecerahan membayang di matanya.
Ia telah berhasil menyingkirkan kegelisahannya menghadapi masa-masa mendatang.
Sehingga dengan demikian, Argajaya yang tidak mengenal menyerah itu kini sama
sekali tidak berusaha untuk berbuat apa pun. Kali ini ia telah pasrah.
Betapapun keras hatinya, namun penglihatannya yang bening atas semua peristiwa
yang dialaminya, telah membuatnya luluh.
Berbeda sekali
dengan Sidanti. Ia sama sekali tidak melihat kesalahan yang melekat pada
dirinya. Kesadarannya tentang dirinya, bahwa ia bukan anak Argapati, telah
membuatnya menjadi tidak terkekang. Meskipun ia telah gagal untuk melarikan
dirinya, namun ia sama sekali tidak mau melihat kenyataan itu. Ketika
perlahan-lahan kekuatannya telah pulih kembali, maka ia pun mulai menilai ruangan yang
melingkunginya. Diraba-rabanya dinding yang membatasi ruangan itu. Dari satu
sudut ke sudut lain. Dicobanya untuk melihat kelemahan-elemahannya yang mungkin
dapat dipergunakannya untuk melepaskan diri.
“Mati dirampok
orang dalam perlawanan adalah lebih baik daripada digantung dengan tangan
terikat,” katanya di dalam hati. Dengan demikian, maka bagi Sidanti, melarikan
diri adalah jalan yang paling baik untuk mati. Meskipun demikian, ia masih
mencoba membuat perhitungan. Ia tidak mau mengalami nasib yang lebih jelek
daripada digantung. Kalau ia melarikan diri dan jatuh di tangan para prajurit
kebanyakan, maka ia memang dapat mengalami nasib yang jelek. Mungkin ia tidak
akan mati terbunuh, tetapi justru menjadi pengewan-ewan. Dengan demikian,
Sidanti masih juga mempergunakan sedikit perhitungan dengan pikirannya yang
sudah kisruh.
Di ruang
dalam, Sutawijaya kini duduk dikawani oleh gembala tua itu di samping Dipasanga
dan Hanggapati. Samekta dan Kerti telah minta diri untuk melakukan tugas-tugas
mereka. Pembicaraan Sutawijaya kini telah berkisar pada kepentingannya sendiri.
“Kita sudah
terlalu lama meninggalkan Ayah Ki Gede Pemanahan di Hutan Mentaok,” berkata
Sutawijaya.
Hanggapati dan
Dipasanga mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar