Jilid 012 Halaman 1


BETAPAPUN kebimbangan bergelora di dalam batinnya, namun akhirnya Sumangkar itu tidak juga dapat membiarkan kekalahan demi kekalahan melanda pasukan murid kakak seperguruannya. Karena itu berkali-kali terdengar ia berdesah, kemudian menggeram. Wajahnya semakin lama menjadi semakin tegang. Dan orang tua itu menjadi semakin kuat menggenggam senjatanya. Ketika ia mendengar orang-orang Pajang bersorak, seakan-akan dirinyalah yang disorakinya. Seorang tua yang tidak berarti dan tidak tahu diri. Di dalam arena pertempuran itu sendiri, Sanakeling terpaksa melihat kenyataan, bahwa adik Untara yang bernama Agung Sedayu itu benar-benar seorang anak muda yang tangguh. Anak muda yang lincah dan cekatan. Geraknya kadang-kadang terasa aneh dan membingungkan. Sebenarnya Agung Sedayu mempunyai cara yang khusus dalam olah pertempuran, ia tidak saja mempergunakan unsur-unsur yang dipelajarinja dari gurunya, dari ayahnya, dari kakaknya, dan dari pengalamannya yang sedikit itu, tetapi Agung Sedayu telah berhasil membuat cara-cara dan unsur-unsur tersendiri, karena ketekunannya membuat gambar-gambar di atas rontal. Sehingga, Sanakeling yang dengan tatag berani melawan Widura kini terpaksa bertempur dengan memeras segenap ilmu yang dimilikinya.

Di induk pasukan, Tohpati  pun mengalami banyak kesulitan. Apalagi setelah Untara dapat melepaskan segenap perhatiannya atas sayap kanannya yang agak mengalami kesulitan. Kini sayap itu telah menjadi mantap kembali. Karena itu ia tinggal memusatkan perhatiannya kepada Tohpati dan induk pasukannya. Namun Sonya, di sisi kiri dan Swandaru di sisi kanan, ternyata banyak membantunya, memperingan tekanan-tekanan yang Iangsung ke pusat pasukannya. Apalagi di sayap kiri, Widura telah mencoba mempengaruhi seluruh medan lewat sayapnya. Dikerahkannya kekuatan sayapnya untuk mendesak semakin maju. Kemenangan yang dicapainya diharapkannya dapat langsung menimbulkan pengaruh pada induk pasukan lawan dan lebih-lebih bagi Tohpati sendiri. Menurut perhitungan Widura, kini telah sampai saatnya, Tohpati mengalami kesulitan yang sama seperti yang dialami oleh Untara di permulaan peperangan ini. Sekali-sekali terdengar di induk pasukan, Tohpati menggeram sambil menggeretakkan giginya. Kemarahannya telah memuncak sampai ke ujung ubun-ubunnya. Tetapi ia tidak mau hangus terbakar oleh kemarahannya. Karena itu, ia masih mempergunakan segenap kesadaran serta perhitungan. Ia harus bertahan sampai matahari terbenam meskipun seandainya harus menarik mundur pasukannya beberapa langkah untuk beberapa kali. Tetapi ia harus memelihara agar pasukannya tidak terpecah. Sebab dengan demikian, maka akan hilanglah gairah segenap anak buahnya. Hati mereka akan berkeriput sekecil nati tikus. Apa pun yang akan dilakukan besok, apabila hati anak buahnya masih tetap terpelihara seperti hari ini, maka kemungkinan-kemungkinan lain masih akan terjadi. Namun ia masih harus menghadapi kenyataan. Pasukan Pajang dan Sangkal Putung mendesaknya seperti prahara. Sumangkar yang melihat kekalahan-kekalahan yang semakin lama semakin sering, menjadi kehilangan segenap keragu-raguannya. Bara yang menyala di dalam dadanya terasa menjadi semakin panas. Dan tiba-tiba terdengar ia bergumam,
“Tahanlah sesaat ngger, mudah-mudahan aku akan dapat membantumu.”
Kata-kata Sumangkar itu, seakan-akan merupakan sebuah perintah bagi dirinya sendiri. Tiba-tiba terasa darahnya bergolak. Usianya yang sudah lanjut itu sama sekali tidak berpengaruh atas ilmu dan ketangkasannya. Bahkan semakin tua ilmunya menjadi semakin masak, dan segala geraknya menjadi semakin mapan. Demikianlah dengan sigapnya Sumangkar meloncat turun dari bongkahan tanah padas. Kemudian diamat-amatinya tongkatnya sambil bergumam kepada diri sendiri,
“Masa itu datang kembali.” Dan kepada tongkatnya ia berkata,
“Kau sudah terlalu lama beristiratat. Marilah kita bekerja kembali. Aku tidak akan membawamu bertempur melawan kelinci-kelinci yang tidak berdaya dari sangkal Putung dan Pajang. Pekerjaanmu hanya mempengaruhi tekad dan gairah peperangan itu. Tolonglah aku, karena aku terpaksa, menyingkirkan Angger Untara.”
Sumangkar itu kemudian mengangkat wajahnya. Di berbagai tempat dilekukan-lekukan tanah yang dalam, masih dilihatnya air yang tergenang sisa hujan semalam, meskipun karena panas yang terik di sana-sini tampak debu yang berhamburan.
“Maafkan aku Angger Untara,” desisnya, “aku terpaksa melakukannya.”

Sumangkar itu kemudian menggigit bibirnya, seolah-olah ia sedang mengusir parasaan lain yang mengganggunya. Kemudian dengan dada tengadah ia melangkah menuju kearena peperangan. Namun tiba-tiba langkah orang tua itu terhenti. Lamat-lamat ia mendengar orang memanggilnya. Perlahan-lahan seperti sebuah bisikan.
“Adi Sumangkar. Adi, berhentilah sebentar.”
Langkah Sumangkar tertegun. Dipalingkannya wajahnya. Dan ia benar-benar terkejut ketika dilihatnya seseorang duduk di bawah sebuah gerumbul kecil di samping bongkahan tanah padas tempatnya berdiri menyaksikan peperangan itu. Tetapi Sumangkar itu pun telah menyimpan pengalaman yang banyak sekali di dalam dirinya, sehingga sesaat kemudian ia sudah berhasil menguasai dirinya. Bahkan sambil tersenyum ia menjawab,
“Ah. Aku terkejut mendengar sapa Ki Sanak.”
Orang itu mengangguk.
“Maafkan kalau aku mengejutkanmu. Bukan maksudku berbuat demikian, sehingga karena itu, aku menyapamu perlahan-lahan.”
“Ya, ya. Kau sudah berhati-hati. Tetapi orang-orang tua seperti aku ini memang mudah menjadi terkejut. Bukankah begitu.”
Orang itu pun tersenyum. Orang itu pun sudah setua Sumangkar, bahkan setahun dua tahun di atasnya. Sambil tersenyum ia menjawab,
“Benar. Kau benar Adi. Orang-orang tua mudah benar menjadi terkejut.”
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian,
“Apakah Ki Sanak memerlukan aku?”
“Ya,” sahut orang itu.
“Aku ingin mempunyai seorang kawan untuk melihat peperangan itu.”
“Baik,” jawab Sumangkar,
“aku akan mengawanimu. Tetapi biarlah aku melihatnya dahulu dari dekat. Nanti aku akan segera kembali.”

Orang tua itu menggeleng. Sambil masih duduk bersandar sebongkah padas ia menggeleng,
“Jangan nanti. Dan sebaiknya Adi tidak usah pergi ke arena. Bukankah di sana tempat anak-anak muda saling menyombongkan kecakapan mereka memainkan senjata? Sama sekali bukan tempatnya orang-orang tua seperti kita?”
Dada Sumangkar berdesir. Sebagai seorang yang telah cukup makan asin pahit penghidupan, segera ia menyadari maksud kata-kata itu. Karena itu maka kemudian ia pun tersenyum. Ia berdiri menghadap orang yang duduk bersandar padas itu. Perlahan-lahan mengangguk-angguk sambil tersenyum. Senyumnya membayangkan tanggapannya atas orang itu. Sumangkar itu pun segera mengerti siapakah yang duduk di hadapannya. Orang itu pasti seorang yang pilih tanding sehingga Sumangkar sama sekali tidak mengetahui kehadirannya. Sikapnya dan kata-katanya yang tenang meyakinkan. Sorot matanya yang tajam menembus langsung ke pusat jantungnya. Dan ternyata sesaat kemudian Sumangkar segera mengetahui, meskipun ia belum pasti. Tetapi tidak ada orang lain yang dapat disangkanya, orang yang duduk di hadapannya itu. Sehingga karena itu maka segera ia berkata,
“Hem. Bukankah Kakang yang menamakan diri Kiai Gringsing?”
Orang itu mengangguk sambil tertawa kecil. Katanya,
“Dari mana Adi tahu tentang aku?”
“O,” sahut Sumangkar,
“bukankah kita pernah bertemu? Bukankah Kiai pernah mengunjungi daerah ini bersama dua orang murid Kakang selagi aku sedang bermain-main dengan Ki Tambak Wedi bersama muridnya yang bernama Sidanti.”
Orang tua itu, yang sebenarnya adalah Gringsing, tertawa pula. Katanya,
“Benar. Benar. Ingatanmu baik sekali Adi. Ternyata meskipun saat itu malam tidak terlalu terang, kau masih juga dapat mengenal aku.”

Sumangkar tertawa pula. Namun hatinya berdebar-debar menghadapi persoalan yang tiba-tiba saja tumbuh. Sudah tentu Kiai Gringsing akan berbuat sesuatu, apabila ia benar-benar akan terjun ke dalam arena. Karena itu, maka ia harus menentukan suatu sikap untuk mengatasi setiap perkembangan keadaaan. Tanpa sesadarnya tiba-tiba ia berpaling ke arah peperangan yang masih saja berkobar dengan dahsyatnya. Sekali lagi dadanya berdesir. Ia melihat beberapa bagian dari gelar Dirada Meta telah terdesak-mundur. Gelar perang yang tangguh itu benar-benar sudah berada dalam bahaya.
“Kiai,” berkata Sumangkar itu kemudian,
“aku tidak banyak mempunyai waktu. Apakah Kiai tidak berkeberatan apabila Kiai duduk di sini sebentar? Aku akan pergi ke arena itu, ikut serta dengan anak-anak Jipang bermain-main senjata.”
“Ah,” sahut Kiai Gringsing perlahan-lahan.
“Sudahlah. Jangan melelahkan diri sendiri, marilah duduk di sini. Kita lihat pertunjukan itu.”
“Kau aneh Kiai,” berkata Sumangkar.
“Pertunjukan itu terlalu menjemukan bagiku. Apakah tidak demikian bagimu?”
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Ia melihat Sumangkar berdiri tegak seperti sebatang tonggak yang kokoh. Karena itu maka perlahan-lahan orang tua itu pun berdiri. Banyak hal yang dapat terjadi menilik sikap Sumangkar itu.
“Apakah yang akan kau lakukan atas permainan yang menjemukan itu?” bertanya Ki Tanu Metir.
Sumangkar terdiam sesaat. Sekali lagi ia berpaling, dan sekali lagi ia melihat pasukan Jipang yang terdorong mundur beberapa langkah.
“Kiai Gringsing,” berkata Sumangkar,
“aku adalah seorang bawahan dari Macan Kepatihan. Apakah aku akan dapat berdiam diri melihat pertempuran itu? Ternyata Angger Untara memiliki kecemerlangan rencana untuk menghadapi Macan Kepatihan. Sebelum ini aku mengagumi ketangguhan dan ketangkasan pasukan Jipang di bawah pimpinan Tohpati. Namun ketika aku melihat cara yang ditempuh dan perhitungan-perhitungan yang matang dari Angger Untara, maka aku benar-benar menundukkan kepala untuk itu.”
Kiai Gringsing mengangguk-angguk kepalanya. Sahutnya,
“Lalu, bagaimana sekarang?”
“Aku harus ikut dalam permainan itu, Kiai berkeberatan?”
“O, tidak. Tentu tidak. Adalah menjadi kewajibanmu untuk melakukannya. Bukankah kau seorang prajurit?”
Sumangkar menjadi bimbang mendengar jawaban itu. Ia tidak dapat mengerti kenapa Kiai Gringsing seakan-akan membiarkan untuk berbuat sesuatu atas pertempuran itu. Namun Sumangkar bukan anak-anak yang mudah terpedaya oleh ucapan-ucapan yang meragukan. Karena itu, maka ia tidak akan dapat mempercayainya, seandainya Kiai Gringsing dengan sukarela membiarkannya masuk ke dalam arena. Meskipun demikian katanya,
“Terima kasih Kiai. Agaknya Kiai akan bersabar menunggu aku kembali dari arena.”
“Nanti dulu, Adi,” sahut Ki Tanu Metir.

Sumangkar tertegun sejenak. Tetapi ia sebelumnya telah memperhitungkannya, bahwa pekerjaannya akan bertambah berat. Ia tidak akan begitu saja dapat hadir di dalam peperangan itu, apalagi memusnahkan Untara, selagi Kiai Gringsing masih berada di tempat itu.
“Jangan tergesa-gesa.”
“Waktuku hanya sedikit Kakang. Lihatlah, pasukan Jipang telah terdesak jauh ke belakang garis benturan antara kedua gelar itu.”
“Belum Adi. Mereka sekarang berada pada garis yang terjadi pada saat kedua pasukan itu berbenturan. Kau hanya melihat pasukan Jipang terus menerus mundur. Tetapi aku melihat sejak pertempuran itu terjadi. Mula-mula pasukan Pajang dan anak-anak muda Sangkal Putung lah yang terdesak sampai jauh ke belakang garis itu. Sekarang mereka mendesak maju. Namun belum terlalu jauh melampaui garis benturan itu?
“O, agaknya kau lebih dahulu sampai di sini Kiai?”
“Aku melihat sejak peperangan itu mulai. Sejak pasukan Jipang muncul dari balik pepohonan hutan dangan panji-panji kebesaran, rontek dan umbul-umbul yang megah itu. Aku melihat pasukan Pajang dan anak-anak Sangkal Putung datang dari arah yang lain dengan ketiga panji-panji yang mereka agung-agungkan. Dan aku melihat bagaimana mereka berbenturan.”
“Hem,” Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
“Kalau demikian, kau melihat kedatanganku pula Kakang.”
“Ya, aku melihat kau berdiri di sini. Sekali-sekali kau meloncat naik ke atas tanah padas itu. Sekali kau meloncat turun. Aku tidak akan mendekatimu, kalau aku tidak tertarik pada tongkat yang kau bawa itu. Tongkat itu mirip benar dengan tongkat Macan Kepatihan.”
Sumangkar mengangguk-angukkan kepalanya,
“Ya tongkat ini memang mirip dengan tongkat Angger Tohpati.”
“Apakah Tohpati membagikan tongkat semacam itu kepada para prajuritnya?”

Sumangkar menarik alisnya. Namun demikian ia tersenyum. Jawabnya,
“Pertanyaanmu membingungkan Kiai. Baiklah aku mencoba menjawabnya. Tongkat ini adalah ciri dari perguruan Kedung Jati. Aku kira Kiai sudah mengetahuinya pula.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Ya,” sahutnya. “Macan Kepatihan adalah murid Mantahun. Saudara seperguruanmu.”
“Tepat. Bukanlah wajar kalau aku membantunya? Selain paman gurunya, aku adalah prajurit Jipang pula.”
“Sudah aku katakan, bahwa adalah kewajibanmu membantu Angger Tohpati. Namun aku ingin memberitahukan pula kepadamu. Kalau Tohpati itu murid kakak seperguruanmu, maka Untara adalah kakak dari muridku.”
Sumangkar menarik nafas. Ia melihat kemungkinan yang ada di hadapannya. Namun ia masih tersenyum, katanya,
“Kalimat yang disilang-balikkan. Membingungkan Kiai.”
“Tidak terlalu sulit,” jawab Kiai Gringsing sambil tersenyum pula.
“Angger Tohpati adalah murid dari kakak seperguruanku. Jelas?”
“Ya, aku tahu.”
“Kalau demikian, maka kewajibanmu atas Angger Tohpati tidak akan jauh berbeda dari kewajibanku atas Angger Untara,” berkata Kiai Gringsing pula.
“Namun aku tetap berdiam diri melihat Angger Untara terdesak dengan sengitnya, sebelum laskar cadangan itu datang.”

Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Semuanya sudah pasti baginya. Tak ada jalan lain. Karena itu, maka lebih baik segala sesuatunya segera terjadi daripada masih harus menunggu perkembangan yang kecil sekali kemungkinannya. Karena itu maka katanya,
“Ada satu perbedaan Kiai. Aku prajurit Jipang. Apakah Kiai prajurit Pajang atau laskar Sangkal Putung? Seandainya demikian, maka kita berbeda pendirian. Mungkin Kiai dapat berdiam diri terhadap Untara, tetapi aku tidak akan dapat berbuat demikian. Aku harus menyingkirkan Angger Untara.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Ditatapnya wajah Sumangkar dengan tajamnya, namun sekali-sekali ia berpaling memandangi arena pertempuran pula. Ia tahu benar bahwa Sumangkar tidak akan dapat dicegahnya dengan kata-kata. Tetapi ia masih ingin mencoba untuk memperpanjang waktu sehingga Sumangkar akan terlambat. Kiai Gringsing itu pun melihat pula, bahwa pasukan Jipang sudah semakin lemah dan terus menerus terdesak mundur. Maka katanya sambil tersenyum,
“Jangan begitu Adi. Jangan berkata sekeras itu. Bukankah kita, yang tua-tua ini sudah tidak pantas ikut bermain-main dengan senjata? Sebaiknya kita duduk saja di sini sambil melihat kalau Adi setuju, marilah kita bertaruh, siapakah yang akan menang.”
“Apakah yang akan kita pertaruhkan?” bertanya Sumangkar.
“Apakah Kiai, mempunyai barang-barang berharga?”
“Apa saja dapat kita pertaruhkan,” sahut Kiai Gringsing,
“ikat kepala, kain panjang kita, atau timang kita?”
“Bagaimana kalau aku usulkan Kiai?” berkata Sumangkar.
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tersenyum sambil menjawab,
“Boleh. Barangkali Adi mempunyai usul yang baik.”
Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya,
“Taruhan kita adalah anak-anak muda itu. Macan Kepatihan dan Untara.”
“He?” bertanya Kiai Gringsing sambil mengusap keningnya,
“bagaimana mungkin? Kalau kita mengadu ayam, maka mereka adalah ayam jantan kita masing-masing.”
“Permainannyalah yang harus kita tentukan,” potong Sumangkar.
“Oh,” Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sumangkar sudah tidak akan dapat diperlunak lagi. Ternyata orang itu berkata,
“Marilah kita yang berlomba, bukan hanya sekedar membuat taruhan.”
“Apakah. perlombaan itu?”
“Kita berlomba lari sampai ke arena,” ajak Sumangkar.
Kiai Gringsing menggeleng.
“Aku bukan seorang pelari. Tetapi kalau Adi akan berlari, mungkin aku akan mencoba menangkap ujung kainmu.”

Orang-orang tua itu sudah sampai pada kemungkinan terakhir, menyelesaikan soal mereka dengan cara yang tak mereka kehendaki. Tetapi mereka tidak akan dapat berbuat lain. Mereka ternyata telah berada dalam puncak kemungkinan itu.
“Kiai Gringsing,” berkata Sumangkar kemudian,
“Kiai telah pernah melihat aku bermain-main melawan Ki Tambak Wadi, tetapi aku belum pernah melihat, bagaimana Kiai melontarkan kaki. Karena itu, maafkan aku. Aku akan mulai dengan usulku. Terserahlah kepada Kiai, apakah Kiai akan turut serta berlomba lari atau tidak.”
Sumangkar tidak menunggu jawaban lagi. Segera ia melontar surut sambil memutar tubuhnya. Ia mengharap Kiai Gringsing akan meloncat mencegatnya. Tetapi Sumangkar menjadi kecewa, Kiai Gringsing belum beranjak dari tempatnya, katanya,
“Apakah aku harus mengejarmu?”
Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Sambil menahan gelora di dadanya ia bertanya,
“Kenapa Kiai tidak mengejar aku dan menangkap kainku seperti kata Kiai.”
“Aku akan mencobanya kalau kau betul-betul telah mulai dengan lomba itu.”
“Hem,” desis Sumangkar. Ia menjadi jengkel melihat ketenangan Kiai Gringsing.
“Kiai yakin benar akan perhitungan Kiai? Aku pasti tidak akan berlari terus meninggalkan Kiai dengan membiarkan diriku membelakangi Kiai. Begitu? Aku tidak akan membiarkan punggungku tersentuh oleh tangan Kiai. Karena itu Kiai tidak perlu mengejar aku. Tetapi bagaimana seandainya aku membuat perhitungan pula, bahwa Kiai tidak akan mengejar dan mencegat aku, lalu aku benar-benar berlari ke arena yang semakin parah bagi Jipang itu?”
“Adi,” berkata Kiai Gringsing.
“Sebenarnya apa yang akan kita lakukan itu tidak akan ada gunanya. Seandainya kita membuat permainan sendiri, maka permainan kita tidak akan mempengaruhi pertempuran itu. Betapapun lemahnya satu di antara kita, tetapi kita pasti akan memerlukan waktu. Dan lihatlah kini. Betapa laskar Jipang telah terdesak semakin jauh.”

Dada Sumangkar bergetar mendengar kata-kata Kiai Gringsing itu. Ia dapat mengerti dan ia sependapat pula. Menurut perhitungan, seandainya Kiai Gringsing memiliki ilmu yang tidak terpaut banyak daripadanya, maka waktu yang diperlukan pasti akan lebih banyak dari waktu yang diperlukan oleh pasukan Pajang untuk memecah barisan Macan Kepatihan. Tetapi kadang-kadang perasaan seseorang tidak sejalan dengan pikirannya. Meskipun Sumangkar menyadarinya, namun apakah ia akan duduk diam dan menonton pasukan Jipang terpecah belah tanpa berbuat sesuatu? Dan benarkah bahwa Kiai Gringsing memiliki ilmu yang cukup baik untuk bertahan cukup lama. Akhirnya Sumangkar tidak lagi ingin membuat perhitungan-perhitungan. Tetapi ia harus berbuat sesuatu. Karena itu maka katanya,
“Kiai, aku kagum melihat sikap dan ketenangan Kiai. Tetapi aku tidak akan terpengaruh oleh apapun. Aku tetap dalam pendirianku. Angger Untara harus dilenyapkan supaya prajurit Pajang menjadi kehilangan pegangan, dan bertempur tanpa ikatan.”
“Jangan supaya aku tidak berusaha meniadakan Macan Kepatihan pula.”
“Terserah kepadamu. Aku tetap akan melakukan rencanaku.”
Kiai Gringsing menarik nafas. Setapak ia maju, ia tidak akan membiarkan Sumangkar berlari ke arena, dan langsung membunuh Untara. Melihat Kiai Gringsing bergerak, Sumangkar tiba-tiba merenggangkan kakinya. Tongkatnya digenggamnya dengan tangan kanannya dan sinar matanya tajam hinggap di wajah Kiai Gringsing. Kiai Gringsing kini sudah tidak tersenyum lagi. Ia pernah melihat Sumangkar bertempur melawan Tambak Wedi. Tetapi Sumangkar tidak mempergunakan senjatanya yang mengerikan itu. Kini senjata itu berada dalam genggamannya. Karena itu maka nilai orang itu pasti akan berbeda. Sumangkar kali ini pasti akan berada di puncak kemampuannya. Kedua orang tua itu, Kiai Gringsing dan Sumangkar kini telah berdiri berhadapan. Keduanya adalah orang-orang yang berfikir bening dan berilmu hampir mumpuni. Namun kini mereka terpaksa berdiri dalam kesiagaan yang paling tinggi.
“Adi Sumangkar, apakah kita orang tua-tua ini pun terpaksa tidak tahu diri dan saling bertengkar seperti anak-anak?” bertanya Kiai Gringsing.
“Aku tidak ingin itu terjadi Kiai, bukankah aku hanya ingin menyingkirkan Untara dari peperangan itu,” sahut Sumangkar.
“Baiklah. Aku tidak mempunyai pilihan lain. Bukankah sudah aku katakan, bahwa Untara adalah kakak dari murid perguruanku?”
“Terserah kepada Kiai. Aku sudah siap.”

Kiai Gringsing kemudian menarik ujung kainnya dan diselipkan di ikat pinggangnya. Kain itu adalah kain gringsing. Perlahan-lahan ia mengambil sesuatu dari bawah bajunya, melingkar di perutnya.
“Senjata Sumangkar adalah senjata pilihan,” desisnya di dalam hati.
“Aku harus berhati-hati.”
Tiba-tiba di tangan Kiai Gringsing itu pun tergenggam sebuah cambuk yang pendek namun berjuntai panjang. Itulah senjatanya yang paling berbahaya. Sumangkar mengerutkan keningnya melihat senjata itu. Ia mencoba mengingat-ingat. Perguruan manakah yang mempunyai ciri khusus sebuah cambuk yang berjuntai panjang, kira-kira satu setengah kali panjang pedang biasa. Tetapi Sumangkar belum berhasil menemukannya.
“Hem,” katanya dalam hati,
“orang semacam Kiai Grinsing itu pasti seorang yang berbahaya sekali. Meskipun aku belum melihat geraknya, tetapi agaknya ia lebih berbahaya dari Ki Tambak Wedi.”
Dalam pada itu Kiai Gringsing  pun berkata di hatinya,
“Alangkah tinggi tekad Sumangkar. Dan alangkah tabah hatinya menghadapi persoalan yang semakin gawat ini. Agaknya ia masih mencoba untuk mengatasi persoalan ini. Persoalan antara dirinya sendiri dan persoalan anak-anak Jipang itu.”
Dan ketika tiba-tiba Sumangkar sorak di medan perang, ia berpaling sekali lagi. Dilihatnya pasukan Jipang terdesak dalam jarak yang cukup panjang. Meskipun kemudian mereka berhenti dan mencoba bertahan lagi, namun Sumangkar semakin menjadi cemas bahwa pasukan itu segera akan pecah sebelum senja.
Tanpa disengajanya, tiba-tiba ia melangkah maju mendekati Kiai Gringsing.
“Tak ada pilihan lain,” desisnya.
Kiai Gringsing mengangguk,
“Ya tak ada pilihan lain.”
“Apakah Kiai siap?” bertanya Sumangkar sambil menggerakkan ujung tongkatnya yang kuning dan berbentuk tengkorak.
Kiai Gringsing mengangguk. “Aneh” desisnya,
“aku bersembunyi karena aku takut Angger Untara membawa aku serta dalam peperangan itu. Tetapi tiba-tiba aku terpaksa menghadapi seorang lawan.”
“Jangan terlalu merendahkan diri Kiai,” sahut Sumangkar,
“marilah, sebelum anak-anak itu selesai bermain-main.”

Kiai Gringsing tidak menjawab. Tetapi ia mempersiapkan dirinya menyambut segala kemungkinan. Sumangkar  pun kemudian maju selangkah. Kini tongkatnya telah bergerak-gerak. Dan ketika ia mendengar sekali lagi sorak yang gemuruh maka tiba-tiba ia meloncat menyerang Kiai Gringsing. Kiai Gringsing telah bersiap menyambut serangan itu. Selangkah meloncat ke samping dan tiba-tiba ia mengerakkan tangannya. Ujung cambuknya bergetar cepat sekali menyambar lawannya yang melontar di sampingnya. Sumangkar benar-benar terkejut melihat ujung cambuk yang seakan-akan mengejar untuk mematuk tengkuknya. Cepat ia menghindar sambil merendahkan dirinya. Tetapi sekali lagi ia terkejut, ujung cambuk yang tidak menyentuhnya itu meledak di atas kepalanya seperti ledakan petir di langit. Sumangkar menggeram. Sekali lagi ia meloncat ke samping untuk mengambil jarak yang cukup. Namun Sumangkar adalah orang yang cukup cekatan mengimbangi gerak Kyai Gringsing. Demikian ia berjejak di atas tanah, demikian ia melontar menyusup ke dalam batas pertahanan lawannya. Tongkatnya terayun deras sekali ke arah kaki Kiai Gringsing. Kini Kiai Gringsing-lah yang terkejut. Tetapi ia adalah orang yang cukup berpengalaman menghadapi setiap kemungkinan. Dengan lincahnya ia meloncat ke samping dan dengan lincahnya pula ia menggerakkan senjatanya. Sumangkar yang gagal mengenai lutut Kiai Gringsing cepat-cepat melontar surut menghadapi kejaran ujung cambuk lawannya yang seakan-akan mempunyai biji mata. Hanya karena ketrampilannya maka ia berhasil melepaskan diri dari sengatan-sengatan ujung cambuk itu. Demikian mereka terbenam dalam pertempuran yang semakin lama semakin sengit. Orang-orang tua itu bertempur dalam jarak yang tidak demikian jauhnya dari garis pertempuran. Sekali-sekali mereka mendengar sirak yang gemuruh dari kedua belah pihak. Pasukan Jipang yang walau pun selalu terdesak mundur namun sekali-sekali mereka masih juga menjumpai kemenangan-kemenangan kecil. Bahkan sekali-sekali mereka juga berhasil maju selangkah dua langkah. Tetapi sesaat kemudian mereka terdesak kembali.

Sorak-sorai yang gemuruh itu seakan-akan adalah sorak-sorai para penonton yang menyoraki kedua orang-orang trua itu. Bagaimanapun juga maka suara-suara itu telah mempengaruhi perasaaan mereka. Seolah-olah para prajurit itu melihat bahwa sekali-sekali Kiai Gringsing terpaksa berloncatan surut namun di saat yang lain Sumangkar terpaksa berguling-guling menghindari ujung cambuk Kiai Gringsing. Pertempuran di kedua arena itu berlangsung terus meskipun sifatnya sangat berbeda. Di satu lingkaran, mereka bertempur dalam garis perang yang panjang. Benturan antara dua kekuatan yang besar dalam gelar yang sempurna. Masing-masing dipimpin oleh Senapati yang cukup tangguh dan beberapa senapati pengapit. Sedangkan di arena kecil, tidak begitu jauh dari garis perang itu, dua orang yang sudah menjelang hari-hari tuanya, bertempur dengan serunya pula. Keduanya mampu bergerak melampaui kecepatan gerak orang kebanyakan. Di antara bayangan yang berloncatan mengeletarlah suara letupan-letupan cambuk Kiai Gringsing dan kilatan cahaya keputih-putihan dari tongkat baja kuning Sumangkar. Sekali-sekali cahaya kekuningan seleret-seleret menyambar seperti pijar bara api. Kedua arena pertempuran yang berbeda bentuk dan sifat itu semakin lama menjadi semakin seru. Dan matahari  pun semakin lama semakin menurun di sisi langit sebelah Barat. Untara yang mempimpin seluruh kekuatan Pajang dan Sangkal Putung melihat bahwa ia akan dapat mengatasi keadaan. Karena itu, semakin besarlah usahanya untuk segera mengakhiri peperangan sebelum korban menjadi semakin lama semakin banyak di kedua belah pihak. Dengan penuh tanggung jawab ia bertempur melawan Macan Kepatihan sambil sekali-sekali mengawasi setiap sudut pertempuran. Ketika ia yakin bahwa kedudukan sayap-sayapnya  pun menjadi bertambah baik, maka seperti angin taufan ia memperkuat serangan-serangannya atas Macan Kepatihan. Sekali-sekali Macan Kepatihan itu menggeram dan menggertakkan giginya. Semakin lama disadarinya, bahwa pasukannya menjadi semakin kalut. Satu-satu korban berjatuhan dan sekali-kali ia mendengar pekik dan keluh kesah, bahkan sekali sebuah jeritan melengking menyayat hatinya yang parah.

Widura  pun melihat keadaan itu. Kesempatan ini tidak boleh lampau. Ia tidak boleh menunggu anak-anak muda Sangkal Putung yang datang kemudian menjadi kelelahan dan dengan demikian kekuatan seluruh pasukannya menjadi surut kembali. Karena itu, maka ia  pun segera memperketat tekanan atas sayap lawan. Pedangnya yang berat terayun-ayun seperti baling-baling. Lawannya, Alap-alap Jalatunda yang bertempur bertiga melawannya dengan gigih. Tetapi Widura adalah seorang Senapati yang berpengalaman menghadapi setiap keadaan medan, sehingga dengan mudahnya ia berhasil mempersempit kesempatan lawannya. Di sayap yang lain, Agung Sedayu gigih melawan Sanakeling. Dalam pertempuran itu Sanakeling terpaksa mengakui, anak yang masih sangat muda, adik Untara itu tidak dapat diabaikannya. Bahkan beberapa kali ia mengalami kesulitan dengan unsur-unsur gerak yang aneh dan hampir tak dapat dimengertinya. Untunglah bahwa Sanakeling adalah prajurit sejak mudanya. Karena itu, maka dengan bekal kemampuan dan pengalamannya ia masih tetap bertahan mengimbangi kecepatan bergerak Agung Sedayu. Namun Agung Sedayu benar-benar telah lupa akan kewajibannya yang lain. Ia merasa bahwa ia berada dalam keadaan sendiri, lepas dari kewajiban-kewajiban lainnya. Untunglah Hudaya masih tetap berada di sampingnya meskipun kian lama ia menjadi semakin pucat dan lemah. Darah masih saja mengalir dari lukanya meskipun tidak begitu deras. Meskipun demikian ia tidak dapat meninggalkan arena, karena ia pun menyadari sepenuhnya, bahwa Agung Sedayu adalah seorang anak muda yang mampu bertempur dengan baik, tetapi ia belum seorang Senapati yang baik, yang melihat pertempuran dalam keseluruhan. Demikian tegalan kering itu telah menjadi kancah pertempuran yang dasyat. Tanah yang telah menjadi merah berlumuran darah, menghamburkan debunya menjulang tinggi ke langit. Matahari menjadi suram karenanya, sesuram wajah anak gadis yang ditinggalkan kekasihnya ke medan pertempuran. Kilatan cahaya yang terpantul di ujung-ujung senjata masih gemerlapan. Panji-panji, rontek dan umbul-umbul masih tegak di kedua pihak meskipun tidak lagi semegah semula. Namun angin yang semakin kencang telah menyentuh-nyentuhnya dan melambaikan daun-daun rontek dan umbul-umbul. Panji-panji yang megah berkibaran seperti tangan yang menggelepar menyentak-nyentak, seolah-olah tangan seorang senapati sedang memberi aba-aba.

Agak jauh dari mereka, Sumangkar masih bertempur melawan Kiai Gringsing dengan gigihnya. Kedua orang tua yang telah kenyang makan pahit manis perkelahian itu, bertempur dengan cara mereka sendiri. Tetapi bagaimanapun juga, mereka tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh peperangan yang berlangsung di sebelah. Sorak-sorai yang gemuruh dan gerakan-gerakan surut dari salah satu pihak dari antara mereka. Sejenak kemudian, tiba-tiba Sumangkar melontar mundur beberapa langkah sambil berdesis,
“Tunggu Kiai. Aku ingin melepaskan diri sebentar.”
Kiai Gringsing mendengar desis itu. Ia adalah seorang yang dapat menghadapi lawan dengan hati lapang. Ia tidak mau berbuat curang selagi lawan dalam keadaan yang tidak wajar, karena itu demikian ia mendengar desis Sumangkar itu, ia  pun segera menghentikan serangannya. Dan bahkan terdengar ia bertanya,
“Apa yang mengganggumu Adi?”
Sumangkar tidak menjawab. Namun ia tahu pasti bahwa Kiai Gringsing akan menghargai nilai-nilai kejantanannya, sehingga ia tidak akan menyerangnya selagi ia tidak bersiaga. Kini ia berdiri tegak bagaikan patung batu. Nafasnya yang tersengal-sengal satu-satu, meluncur lewat lubang-lubang hidungnya. Ia mengakui kini bahwa Kiai Gringsing adalah seorang yang luar biasa. Seorang yang tidak kalah nilainya dari Ki Tambak Wedi yang merasa dirinya tidak terlawan. Namun ternyata orang yang tidak dikenal ini sama sekali tidak berada di bawah tingkat ilmu Ki Tambak Wedi. Bahkan diam-diam ia mengakui, bahwa ia pasti tidak akan dapat mengalahkannya. Tetapi bukan itulah yang mendebarkan jantungnya. Bahkan di luar sadarnya ia berkata,
“Lihatlah Kiai, pasukan Jipang terdorong jauh ke belakang.”
“Ya,” jawab Kiai Gringsing singkat.
Namun dengan serta merta terloncatlah dari mulut Sumangkar yang gelisah,
“Umbul-umbul itu kini sudah tidak tegak lagi.”

Kiai Gringsing tidak menjawab. Tetapi ia melihat apa yang dikatakan oleh Sumangkar. Pasukan Jipang terdorong jauh. Namun tiba-tiba garis perang itu terhenti bergeser. Kiai Gringsing dan Sumangkar melihat apa yang terjadi. Macan Kepatihan sedang berusaha mempersempit gelarnya.
“Bukan main,” guman Kiai Gringsing.
Sumangkar berpaling,
“Apa yang bukan main Kiai”
“Murid kakak seperguruanmu,” jawab Kiai Gringsing,
“Ia berhasil menemukan cara untuk mengurangi tekanan lawannya.”
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Tohpati telah berusaha memperpendek garis perangnya.
Dengan kekuatan yang lebih baik, seorang-seorang, ia mengharap dapat mengurangi kekalahan-kekalahan yang selama ini dideritanya. Macan Kepatihan mengharap, bahwa dalam keadaan yang demikian, anak-anak muda Sangkal Putung tidak akan mendapat kesempatan yang baik. Bahkan ketika pertempuran itu baru mulai, mereka menjadi kebingungan untuk mengambil tempat. Tetapi Widura di sayap kiri bukan orang yang mudah dikelabuhi. Ketika ia melihat gelar lawannya menyempit, segera ia menebarkan ujung sayapnya, mencoba melingkar dan mencapai garis serangan dari belakang gelar lawannya. Tetapi Alap-alap Jalatunda tidak membiarkannya, sehingga terpaksa ujung pasukannya pun menebar pula mencegah pasukan Widura yang ingin memotong garis di belakang gelar. Tohpati menggeram melihat cara Widura melawan gelarnya. Tetapi ia tidak dapat mencegahnya. Bahkan ia  pun akan mengambil sikap serupa seperti apa yang dilakukan oleh Alap-alap Jalatunda apabila ia menghadapi keadaan yang serupa. Tetapi Tohpati tidak juga dapat bertahan lebih lama lagi. Ketika matahari menjadi semakin rendah, pasukannya telah benar-benar terdesak jauh ke belakang. Ke tengah-tengah padang rumput yang terbentang di sisi hutan tempat persembunyian Macan Kepatihan. Sekali-sekali Macan Kepatihan masih mencoba meneriakkan aba-aba. Namun gunanya hampir tidak ada sama sekali. Pasukannya telah benar-benar menjadi payah dan kehilangan kesempatan. Betapa Sanakeling mencoba menekan lawannya, namun Agung Sedayu mampu mengimbanginya dengan baik. Bahkan sekali-sekali terdengar Sanakeling mengumpat dengan kata-kata yang kotor.

Kini Macan Kepatihan sudah tidak dapat berbuat lebih banyak lagi. Hatinya menyala seperti nyala matahari di langit. Tetapi banyak hal yang telah mengganggunya selama ini. Ketika ia berkesempatan menebarkan pandangan matanya sesaat kepada pasukannya maka hatinya berdesir. Pasukannya benar-benar telah menjadi payah. Kalau Untara berhasil memecah pasukannya itu segera sebelum gelap dan masih jauh dari hutan itu maka pasukannya kali ini akan benar-benar hancur. Kesempatan untuk mengundurkan diri dengan selamat, sangat kecil. Pasukannya pasti akan diremuk lumatkan saat mereka mencoba mengundurkan dirinya. Korban pasti akan bertimbun-timbun dan untuk seterusnya akan sulit baginya untuk menyusun kekuatan kembali. Karena itu, maka ia harus berjuang sekuat-kuat tenaga untuk bertahan sampai matahari terbenam atau mundur dalam gelar yang teratur sampai ke tepi hutan itu. Tetapi Untara bukan tidak dapat menebak maksud itu. Ia tahu benar bahwa Macan Kepatihan sedang berusaha mencari kesempatan yang sebaik-baiknya untuk menyelamatkan pasukannya. Karena itulah justru beberapa kali terdengar ia meneriakkan aba-aba, aba-aba yang sebenarnya hanya merupakan cara-cara yang dapat mempengaruhi daya dan gairah bagi prajurit-prajuritnya. Sumangkar yang melihat peperangan itu menjadi semakin tegang. Ia melihat umbul-umbul dan rontek, bahkan panji-panji Jipang kadang-kadang telah tidak tegak lagi. Sekali-sekali ia melihat umbul-umbul itu condong bahkan hampir roboh didorong oleh geseran garis perang. Sekali-sekali ia melihat sebuah rontek dari antara sekian banyak rontek, terseret jauh di belakang pasukan Jipang yang sedang bertahan mati-matian. Bahkan semakin lama, Sumangkar tidak dapat melihat umbul-umbul dan rontek, serta panji-panji Jipang masih berada di tempat yang seharusnya bagi sebuah gelar Dirada Meta. Sementara itu peperangan menjadi semakin riuh. Hati Macan Kepatihan menjadi semakin cemas, matahari baginya berjalan terlampau lambat. Bahkan seakan-akan telah berhenti di langit. Sedang korban di pihaknya, satu-satu berjatuhan tak henti-hentinya. Di sayap kirinya, Betapapun Sanakeling berusaha, namun Agung Sedayu mampu mengimbanginya. Kini yang ditempuh oleh Macan Kepatihan adalah cara yang kedua. Perlahan-lahan pasukannya bergeser surut terus-menerus. Mereka mencoba mendekati hutan yang sudah menjadi semakin dekat. Pasukan itu harus mundur dalam gelar yang teratur apabila mereka masih ingin sebagian besar dapat menyelamatkan diri. Meskipun dengan demikian, korban akan tetap berjatuhan.

Tetapi Untara tidak dapat membiarkannya. Segera ia memberi pertanda kepada beberapa orang penghubungnya. Dan naiklah panji-panji pimpinan di belakangnya dengan gerak-gerak yang khusus diulang-ulang. Gerak dari panji-panji itu adalah perintah, gelar dari pasukan Pajang dan Sangkal Putung harus segera berubah. Gelar Sapit Urang. Tampaklah beberapa perubahan di dalam gelar Pajang. Macan Kepatihan yang melihat perubahan itu, mencoba mempergunakan kesempatan. Dengan kemarahan yang menyala-nyala ia menyerang langsung ke induk pasukan berserta beberapa orang pengiringnya. Namun induk pasukan itu telah siap menerimanya, sehingga usahanya itu sama sekali tidak berarti. Dengan kemarahan yang seakan-akan meledakkan dadanya ia melihat Widura merubah sikap sayapnya menjadi sebuah sapit raksasa, yang siap memotong usaha Dirada Meta itu mengundurkan dirinya. Meskipun Agung Sedayu tidak cepat mengatur sayapnya, namun Hudaya telah membantunya. Meskipun dalam saat perubahan itu terjadi, sayap kanan terpaksa surut beberapa langkah. Sehingga gelar Untara menjadi agak condong. Namun sesaat kemudian sapit kanan itu pun segera dapat mengimbangi sapit yang lain, melingkar dalam usaha pencegahan pasukan Jipang tenggelam ke dalam hutan. Darah Macan Kepatihan seakan telah mendidih melihat sikap gelar pasukan Untara. Terdengar ia menggeram keras sekali. Tetapi ia tidak dapat hanya sekedar marah-marah saja. Ia harus cepat mengambil tindakan untuk menyelamatkan orang-orangnya. Macan Kepatihan sesaat menjadi bimbang. Namun tiba-tiba melonjaklah di dalam benaknya, beberapa persoalan yang beberapa saat yang lampau mempengaruhi perasaannya. Pertemuannya dengan orang tua di pinggir sungai. Beberapa persoalan tentang orang-orangnya sendiri, kejemuan, dan berpuluh-puluh macam persoalan lagi. Apakah ia masih harus melihat pertentangan yang terjadi itu berkepanjangan tanpa ujung dan pangkal? Apakah ia masih harus melihat bencana menimpa rakyat Demak yang sedang dilanda oleh perpecahan yang semakin dahsyat? Pembunuhan-pembunuhan liar, perampokan, pemerasan, perkosaan terhadap peradaban.
Dan yang terakhir terngiang kembali adalah kata-katanya sendiri,
“Kali ini adalah kali yang terakhir.”

Gigi Macan Kepatihan gemeretak. Tetapi ia telah menemukan keputusan di dalam dirinya. Pertempuran ini harus merupakan pertempuran yang terakhir bagi pasukannya. Kalau umbul-umbul, rontek, dan panji-panji Jipang itu akan roboh di arena ini, biarlah umbul-umbul, rontek, dan pandji-panji itu tidak akan bangkit kembali. Yang tidak akan muncul lagi dalam percaturan sejarah kerajaan Demak. Kalau pasukannya mau hancur, hancurlah sekarang. Persoalan akan segera selesai. Kejemuan dan ketidak-pastian bagi sisa anak buahnya akan hilang. Tatapi apakah ia harus mengorbankan orang-orangnya? Orang-orang yang di antaranya sama sekali tidak ikut bertanggung jawab atas pertentangan antara Jipang dan Pajang? Orang-orang yang hanya terseret oleh arus permusuhan tanpa tahu sebab-sebabnya? Bahkan orang-orang yang sama sekali tidak mengenal siapakah Arya Penangsang, dan siapakah Adipati Adiwijaya yang juga bernama Jaka Tingkir di masa kecilnya? Semua itu bergolak di dalam kepala Tohpati justru pada saat-saat yang sangat berbahaya. Pada saat-saat sapit-sapit raksasa dari gelar Supit Urang itu bergerak melingkar untuk mencoba mengurungnya dalam lingkaran maut. Dalam keadaan yang cukup baik, Macan Kepatihan dapat segera merubah gelarnya dalam bentuk yang lain, yang sanggup menghadapi lawan dari setiap arah, dan sanggup mematahkan kepungan di setiap sisi. Gelar Cakra Byuha. Gelar sebuah lingkaran bergerigi. Namun dalam keadaan yang telah payah benar itu, Macan Kepatihan tidak melihat manfaatnya. Bahaya setiap usaha merubah gelar akan memberi peluang bagi lawannya di saat-saat perubahan itu terjadi. Tetapi Macan Kepatihan, seorang Senopati Jipang yang terpercaya itu pun tidak akan dapat mengorbankan orang-orangnya. Sumangkar melihat pertempuran itu dengan dada yang berdebar-debar. Setiap kali ia melihat sebuah umbul-umbul roboh, setiap kali terasa segores luka membekas di dalam hatinya. Ialah yang pernah menyelamatkan umbul-umbul, rontek dan panji-panji Jipang dari kepatihan ketika Jipang dipukul hancur oleh pasukan Pajang dibawah pimpinan Ki Gade Pemanahan. Kini ia menyaksikan satu demi satu umbul-umbul, rontek dan panji-panji itu roboh. Karena itulah maka jantungnya serasa dibelah dengan sembilu. Namun ia kini tidak dapat menghindari kenyataan. Di sampingnya berdiri seorang yang tidak dikenal sebelumnya, namun orang itu pasti akan dapat mencegahnya, apa saja yang akan dilakukan.
Ketika sekali lagi ia melibat sebuah umbul-umbul roboh maka tanpa sesadarnya ia berdesis,
“Harapan itu kini telah tenggelam sama sekali seperti tenggelamnya umbul-umbul dan rontek itu di dalam arus peperangan.”

Kiai Gringsing yang mendengar desis itu maju selangkah. Kesan permusuhan pada wajah kedua orang itu kini sama sekali tidak berbekas. Bahkan dengan nada yang serupa Kiai Gringsing berkata,
“Ya. Pasukan Jipang itu tidak akan dapat ditolong lagi.”
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Angger Macan Kepatihan kali ini mengambil tindakan yang akibatnya dapat berbahaya sekali, seperti apa yang ternyata sedang terjadi kini.”
“Ya,” sahut Kiai Gringsing.
Sesaat keduanya terdiam. Namun wajah-wajah mereka kini menjadi tegang. Mereka sedang menyaksikan saat-aat terakhir dari peperangan itu. Sumangkar hatinya dicengkam oleh kecemasan, kepedihan dan kepahitan yang tiada taranya. Sedang Kiai Gringsing sedang mencemaskan sikap para prajurit Padjang. Apakah mereka cukup berjiwa besar menghadapi kehancuran lawannya? Apakah mereka tidak akan kehilangan diri mereka sebagai manusia yang mengagungkan kemanusiaan sebagai ungkapan bakti mereka kepada Sumber Hidup mereka? Sebenarnyalah saat itu Macan Kepatihan telah melakukan tindakan terakhir untuk menyelamatkan orang-orangnya. Dengan lantang ia berteriak, memerintahkan segenap pasukannya menarik diri ke dalam hutan yang sudah tidak terlampau jauh. Mereka diberi kesempatan selagi sapit raksasa lawan itu belum selesai dalam usaha mereka mengepung pasukan yang sedang payah.
Sanakeling menggeram melihat isyarat itu. Tetapi ia tidak mampu berbuat apa pun juga. Ia pun harus meyakini, bahwa kali ini mereka tidak akan berhasil mengalahkan laskar Sangkal Putung yang bertempur bersama-sama dengan para prajurit Pajang. Karena itu maka perlahan-lahan ia membuat gerakan-gerakan untuk mempersiapkan pengunduran pasukannya dengan hati-hati dan penuh bahaya. Sebab apabila gerakan mundur ini gagal pula, maka akan tumpaslah segenap anak buahnya. Tetapi Sanakeling itu terkejut ketika ia melihat Tohpati dengan tongkat baja putihnya ia mengamuk sejadi-jadinya. Seperti orang yang kehilangan kesadaran, Macan Kepatihan bertempur dengan gigihnya. Bahkan ia sama sekali tidak berkisar dari tempatnya meskipun laskarnya telah surut beberapa langkah.
“Raden Tohpati,” teriak Sanakeling yang mencemaskan.
“Cepat mundur!” teriak Tohpati tidak kalah kerasnya.
Sanakeling tidak tahu maksud Macan Kepatihan yang sama sekali tidak ada tanda-tanda untuk menarik dirinya mengikuti laskarnya.
“Cepat!” teriak Macan Kepatihan itu kemudian.
“Kalau kau terlambat, maka kaulah yang akan aku penggal lehermu.”

Sanakeling menggigit bibirnya. Kedua senjatanya masih bergerak dengan cepatnya, melindungi dirinya. Berkali-kali ia meloncat menyelamatkan diri dari terkaman Agung Sedayu yang menjadi semakin garang, sehingga sekali-sekali Sanakeling mengeluh di dalam hati,
“Gila adik Untara ini.”
Namun perintah Macan Kepatihan yang terakhir benar-benar mengejutkannya. Bahkan Untara  pun terkejut pula mendengar perintah Macan Kepatihan yang keras bagi anak buahnya. Tetapi Sanakeling tidak berani melawan perintah itu. Perlahan-lahan ia menarik dirinya di antara pasukannya mengundurkan diri ke tepi padang yang berbatasan dengan hutan.
“Licik,” geram Untara. Namun ia tidak yakin akan perkataannya sendiri. Apa yang dilakukan oleh Macan Kepatihan adalah suatu sikap wajar yang mencerminkan kematangannya dalam olah peperangan. Apabila terasa bahwa pasukannya tidak mungkin bertahan lebih lama lagi, maka pasti dicari jalan untuk menyelamatkan diri. Untara segera mengetahui apa yang sedang dilakukan oleh Macan Kepatihan itu. Karena itu maka segera jatuhlah printahnya, untuk memecah pasukan lawan sebelum berhasil menyembunyikan diri di balik pepohonan dan lenyap ke dalam hutan. Pasukan Pajang  pun serentak mendesak maju. Mereka mencoba untuk mengurungkan usaha Macan Kepatihan dengan menggagalkan gerak mundur yang teratur itu. Betapa beratnya usaha yang dilakukan oleh Macan Kepatihan dan senapati-senapati bawahannya. Tekanan prajurit Pajang semakin terasa menekan hampir tak tertahankan. Hanya kesadaran mereka, bahwa apabila gelar mereka terpecah sebelum mereka mencapai hutan, berarti kehancuran mutlak, itulah yang masih tetap mengikat mereka dalam satu kesatuan. Macan Kepatihan melihat, tekanan yang semakin lama semakin menjadi pepat. Itulah sebabnya, maka tiba-tiba ia melontar jauh ke samping dan segera melepaskan Untara dari lingkaran perkelahian. Dengan garangnya ia berloncatan melindungi pasukannya yang masih mencoba mencapai jarak yang semakin dekat.
“Gila,” geram Untara. Dengan satu ayunan tongkat, ia melihat dua prajuritnya jatuh terkapar di tanah. Karena itu alangkah marahnya Senapati Pajang itu, dengan serta merta ia meloncat mengejar Macan Kepatihan. Tetapi Macan Kepatihan selalu berusaha menjauhinya. Di antara prajurit Pajang ia berloncatan sambil memutar senjatanya untuk menahan arus pasukan Pajang yang menjadi semakin deras. Setiap kali ia meluncur seperti tatit mencari tempat baru untuk melepaskan kemarahannya dan menahan arus lawan. Sekali lagi Untara menggeram. Dengan marahnya ia mendesak terus mengejar Macan Kepatihan. Namun Macan Kepatihan selalu berloncatan kian kemari.

Sanakeling yang melihat Macan Kepatihan segera menyadari, bahwa Macan Kepatihan dengan caranya berusaha mencoba menghambat gerak maju pasukan Pajang. Perkelahian di dalam lingkungan prajurit-prajurit Pajang melawan Tohpati yang berkeliaran itu berpengaruh juga atas gerak maju pasukan Pajang. Sebab mereka selalu saja memperhatikan, jangan-jangan tongkat Tohpati itu tiba-tiba hinggap di punggung mereka, atau kepala mereka terpecahkan oleh tongkat baja putih yang mengerikan itu. Tetapi Sanakeling tidak dapat berbuat lain daripada membawa pasukannya mengundurkan diri. Meskipun demikian, ia melihat beberapa orang yang terlalu setia kepada Macan Kepatihan, membatalkan niatnya untuk beringsut mundur. Bahkan seperti Macan Kapatihan mereka menceburkan diri mereka ke tengah-tengah pasukan lawan, seperti serangga yang menyeburkan diri mereka ke dalam api. Namun usaha Macan Kepatihan dan beberapa orang yang setia kepadanya itu berguna pula. Meskipun satu demi satu orang-orang itu tergilas oleh arus kemarahan para prajurit Pajang dan Sangkal Putung, namun gerak itu mendapat kesempatan lebih banyak dari semula. Widura  pun kemudian melihat cara yang ditempuh oleh Macan Kepatihan itu. Karena itu, maka segera ia harus ikut serta mengatasinya. Maka dihentikannya usahanya untuk mengejar Alap-alap Jalatunda. Usaha itu diserahkannya kepada anak buahnya. Bagaimanapun juga, Alap-alap Jalatunda sedang berusaha seperti Sanakeling membawa orang-orangnya bergeser mundur, sehingga Alap-alap itu hampir-hampir sama sekali tidak berbahaya. Dengan tangkasnya Widura  pun mencoba menyusup di antara prajurit Pajang sendiri. Ia melihat Macan Kepatihan semakin lama semakin dekat ke sayapnya, sebab Untara selalu berusaha mengejarnya. Dengan penuh tanggung jawab, tiba-tiba Widura, berhasil berdiri berhadapan dengan Senapati Jipang itu.
“Setan tua,” teriak Tohpati, “kau mencoba mengganggu aku, Paman Widura?, “
Widura tidak menjawab, tetapi pedangnya terjulur lurus ke arah dada Macan Kepatihan. Namun Macan Kepatihan itu dengan garangnya menggeram dan menghindar, melepaskan diri dari tusukan pedang itu, sekaligus dengan melontarkan serangan balasan. Tongkatnya terayun dengan derasnya ke arah pelipis Widura. Namun Widura  pun segera berhasil menghindarkan dirinya. Cepat ia beringsut ke samping dan meloncat kembali dalam satu putaran menyambar lambung lawannya. Tetapi Tohpati tiba-tiba meloncat jauh-jauh dan sesaat kemudian ia telah tenggelam dalam hiruk pikuk pasukan Pajang. Sekali-sekali tampak tongkatnya terayun-ayun, dan bertebarlah para prajurit Pajang menjauhkan diri dari padanya. Widura melihat peristiwa itu dengan darah yang mendidih. Ketika ia meloncat maju, dilihatnya Untara  pun telah sampai pula di samping Macan Kepatihan itu.

Dada Macan Kepatihan berdesir ketika ia melihat dua orang Senapati Pajang itu bersama-sama datang kepadanya. Sesaat ia diam mematung sambil berpikir. Namun tiba-tiba ia meloncat dengan cepatnya menyusup masuk ke dalam lingkungan prajurit-prajurit Pajang sambil mengayunkan tongkat kian kemari. Dengan loncatan-loncatan yang panjang ia berusaha meninggalkan Widura dan Untara. Namun sama sekali tak dikehendakinya untuk ikut serta mundur bersama-sama dengan pasukannya. Sebab dengan demikian, apabila ia ikut serta menarik diri, pasukan Pajang akan mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk memecah pasukannya yang telah menjadi semakin parah. Widura dan Untara, ketika melihat Tohpati mencoba menghilang di antara pasukannya, segera mengejarnya. Tetapi Untara dan Widura tidak dapat berbuat seperti Tohpati. Melanggar siapa saja yang berada di hadapannya. Menerjang dan bahkan menginjak tubuh yang terdorong jatuh. Untara dan Widura harus mencari jalan di antara mereka. Kadang-kadang menunggu seseorang menyibak, dan kadang-kadang harus mendorong seseorang ke samping, tetapi tidak sekasar Tohpati. Untara dan Widura tidak dapat mencari jalan dengan memutar pedangnya di antara laskarnya sendiri. Dan laskarnya pun tidak akan berdesak-desakan menyisih seperti apabila mereka melihat Tohpati dengan beberapa orang yang paling setia kepadanya lewat di antara mereka. Meskipun para prajurit Pajang bukanlah prajurit-prajurit pengecut, namun mereka pasti masih harus mempunyai berbagai pertimbangan untuk langsung berhadapan dengan Macan Kepatihan beserta tongkat baja putihnya. Karena itulah, maka Untara dan Widura tidak dapat cepat menyusul Tohpati. Meskipun demikian Tohpati itu tidak terlepas dari pengamatan mereka. Kemana Tohpati itu pergi, maka Untara dan Widura selalu berada di belakangnya. Dengan demikian Tohpati  pun tidak mempunyai keleluasaan untuk bertempur di satu titik. Setiap kali ia harus melontar pergi meninggalkan seorang atau dua orang korban luka, atau bahkan ada pula yang tak mampu bertahan karena hantaman tongkat baja putih itu.

Tetapi para prajurit Pajang bukannya dengan sukarela menyerahkan diri mereka. Dengan gigih mereka memberikan perlawanan apabila mereka sudah tidak mungkin lagi untuk menghindar. Dengan demikian, maka setiap kali mereka melihat seseorang di antara mereka jatuh di tanah, apakah ia terluka apakah ia gugur dalam peperangan itu, namun setiap kali pula ujung-ujung pedang tergores pada tubuh Senapati Jipang yang perkasa itu. Dengan demikian, maka baju dan bahkan segenap pakaian Tohpati itu telah dibasahi bukan saja oleh keringat yang mengalir semakin deras, namun percikan-percikan darah telah menodainya di sana-sini. Goresan-goresan yang bahkan ada yang cukup dalam dan panjang telah membekas di tubuh itu, seperti guratan-guratan pada tubuh seekor harimau dalam rampogan di alun-alun. Seekor macan jantan yang garang, yang dilepaskan di alun-alun di antara prajurit bertombak dalam hari-hari besar yang khusus. Demikian itulah keadaan Macan Kepatihan yang tidak kalah garangnya dengan harimau jantan yang Betapapun besarnya. Di sayap kanan, Agung Sedayu yang mencoba memberikan tekanan yang semakin berat kepada Sanakeling selalu berusaha untuk tidak memberi kesempatan kepada senapati Jipang itu mengatur anak buahnya menarik diri dari peperangan. Apalagi dibantu oleh Hudaya yang lebih cakap daripadanya mengatur pasukannya. Namun ternyata Sanakeling masih mampu juga, perlahan-lahan menarik seluruh pasukannya dengan teratur, meskipun beberapa kali mereka mengalami kesulitan. Satu-satu anak buahnya berjatuhan. Namun baginya tidak ada cara lain yang lebih baik. Cara itu adalah cara yang paling sedikit menyerahkan korban-korban di antara anak buahnya. Agung Sedayu yang sedang dengan gigih bertempur melawan Sanakeling yang bertempur dengan olah-playu di dalam suasana yang paling mungkin dilakukan itu, tiba-tiba terkejut, ketika terjadi hiruk pikuk di belakangnya. Ketika ia berpaling, dilihatnya kilatan-kilatan tongkat baja putih di antara ujung senjata anak buahnya. Dalam cahaja matahari yang semakin rendah tongkat itu memantulkan sinarnya yang sudah menjadi kemerah-merahan. Dada Agung sedayu berdesir. Ketika sekali lagi Sanakeling menarik diri jauh-jauh dari padanya, ia tidak mengejarnya. Bahkan kemudian ia terpaksa memperhatikan apakah yang terjadi dalam hiruk-pikuk itu.


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar