Agung Sedayu melihat beberapa orang terpaksa menyibak. Hudaya yang terluka itu pun terpaksa menjauh dari ayunan tongkat baja putih itu. Ia sama sekali tidak sekedar menyelamatkan nyawanya, tetapi dengan penuh kesadaran dan perhitungan, beberapa orang telah berusaha secara bersama-sama mengepung Macan Kepatihan yang sedang mengamuk.
“Hem,” desis
Agung Sedayu. “Macan yang garang itu sampai di sayap ini pula.”
Sekali ia
berpaling kepada Sanakeling. Betapa ia mengumpat di dalam hatinya. Sanakeling
telah menjadi semakin jauh. Tanpa Agung Sedayu usahanya menjadi bertambah
lancar. Berangsur-angsur ia membawa anak buahnya semakin jauh mendekati hutan yang
berada tidak jauh lagi dari mereka.
Tetapi Agung
sedayu tidak dapat membiarkan Macan Kepatihan merusak orang-orangnya di
belakang garis peperangan. Karena itu, dengan serta merta ia meloncat surut dan
langsung masuk ke dalam lingkaran pertempuran itu. Macan Kepatihan melihat
Senapati di sayap kanan itu. Dengan serta merta ia menyerangnya. Namun Agung
sedayu berhasil menghindarinya. Bahkan dengan kelincahannya ia segera
menyerangnya kembali. Macan Kepatihan heran melihat kelincahan lawannya. Anak
yang masih sangat muda ini. Tetapi hatinya yang telah menjadi semakin gelap
telah mendorongnya untuk bertempur semakin garang. Dalam pada itu, Untara dan
Widura pun telah menjadi semakin dekat
dengan lingkaran pertempuran antara Agung Sedayu dan Macan Kepatihan yang
lukanya telah menjadi arang kranjang. Ketika mereka melihat, bahwa Agung Sedayu
telah terlihat dalam pertempuran melawan Tohpati yang mengamuk itu, maka
keduanya tertegun. Sesaat mereka berdua melihat, betapa Agung Sedayu mampu
melawan Macan yang garang itu. Mereka melihat bahwa kelincahan dan ketangkasan
anak muda itu benar-benar membanggakan. Namun dalam siasat dan tangguh,
ternyata bahwa pengalaman Macan Kepatihan berlipat-lipat berada di atas Agung
Sedayu. Untara dan Widura tidak terlalu lama membiarkan Agung Sedayu bertempur
sendiri melawan Tohpati, mereka menyadari bahwa setiap gerak Macan Kepatihan
mempunyai kemungkinan yang membahayakan jiwa Agung sedayu. Karena itu maka
segera mereka berdua berloncatan maju. Tohpati melihat Untara dan Widura, maka
segera ia melepaskan lawannya yang masih muda itu. Dengan cepatnya ia mencoba
menyusup kembali ke tengah-tengah lawan. Ketika sebuah goresan yanq panjang
menyilang di lambungnya. Macan Kepatihan sama sekali tidak menghiraukannya.
Ternyata pedang Agung Sedayu masih sempat menyentuhnya, pada saat Tohpati
berusaha menghindari Untara dan Widura, dan menambah segores lagi luka pada
tubuh Senapati Jipang yang perkasa itu. Darah yang merah segera mengalir dari
luka itu seperti darah yang mengalir dari luka-luka yang lain. Namun luka ini
agaknya lebih dalam dari luka-luka yang telah lebih dahulu menghiasi tubuh
Tohpati. Untara dan Widura melihat usaha menghindar itu, cepat mereka berusaha
memotong arah. Tetapi mereka terkejut, ketika mereka tiba, sebuah pedang yang
besar, dengan derasnya menyambar tubuh Macan Kepatihan itu. Macan
Kepatihan pun terkejut. Tak ada waktu
baginya untuk menghindar. Karena itu, maka segera dilawannya pedang itu dengan
tongkatnya. Terjadilah sebuah benturan yang dahsyat. Seolah-olah bunga api
memercik ke udara dari titik benturan itu. Pedang yang berat itu terpantul.
Terasa tangan yang menggerakkannya bergetar. Seakan-akan perasaan pedih
menjalar dari tajam pedangnya menyengat tangannya. Tetapi pedang itu tidak
terlepas dari tangan seperti beberapa saat yang lampau. Pedang itu masih tetap
dalam genggaman dan bahkan sesaat kemudian pedang itu telah terayun-ayun
kembali.
Sekali lagi
Tohpati terkejut. Setelah ia meninggalkan Agung sedayu ditemuinya pula seorang
anak muda yang mengherankan baginya. Seorang anak muda yang memiliki kekuatan
raksasa. Ternyata dalam benturan itu tangan Tohpati pun bergetar meskipun
tongkatnya tidak terpantul seperti pedang yang menghantamnya. Anak muda itu
adalah seorang anak muda yang gemuk bulat. Ketika Tohpati menatap wajah anak
muda itu, tampaklah sekilas wajah itu menyeringai menahan pedih, namun sesaat
kemudiam wajah itu telah tersenyum.
“He kelinci
bulat,” teriak Tohpati,
“kau ingin
membunuh dirimu?”
Sambil
tersenyum anak muda itu, yang tidak lain adalah Swandaru Geni menjawab,
“Jumlah lukamu
seperti bintang yang melekat di langit. Tanpa dapat dihitung lagi. Apakah kau
masih akan bertempur terus.”
Macan
Kepatihan tidak menjawab. Tongkatnya dengan kerasnya terayun ke kepala
Swandaru. Swandaru yang telah dapat mengukur kekuatan Macan Kepatihan segera
menghindar. Ia tidak berani melawan pukulan tongkat itu dengan pedangnya.
Demikian tongkat itu meluncur beberapa jari saja dari kepalanya, pedangnya
segera terjulur lurus-lurus ke lambung lawannya. Tohpati yang tidak dapat
mengenai lawannya melihat pedang itu cepat ia meloncat surut. Namun kembali ia
terkejut, Agung Sedayu telah berada di sampingnya sambil menggerakkan pedangnya
pula. Cepat Macan Kepatihan melontarkan diri jauh-jauh. Ia berusaha menghindari
setiap senapati Pajang. la hanya ingin menahan arus desakan pasukan lawannya
atas pasukannya yang sedang mundur. Namun tak teraba apa yang tersembunji di
dalam hatinya. Berkali-kali terngiang di dalam dadanya,
“Serangan ini
akan merupakan serangan terakhir bagiku.”
Tohpati itu
pun kemudian mengayun-ayun tongkatnya sambil berloncatan di antara para
prajurit Pajang. Kekacauan yang ditimbulkannya memang berpengaruh atas
tekanan-tekanan pasukan Pajang. Sekali-sekali mereka terganggu pula karena
hiruk pikuk yang ditimbulkan oleh amuk Tohpati. Sanakeling yang melihat betapa
senapatinya telah terluka arang kranjang menjadi berdebar-debar. Betapapun
juga, terasa luka itu seperti luka pada tubuhnya sendiri. Karena itu, maka ia
berteriak,
“Raden,
mundurlah. Kami akan melindungi.”
“Gila kau
Sanakeling,” teriak Tohpati yang bertempur tidak demikian jauh dari Sanakeling
yang sedang menyelamatkan anak buahnya.
“Kalau kau
gagal, kepalamu menjadi taruhan. Bukan kau yang melindungi kalian. Selamatkan
orang-orangmu. Jangan keras kepala.”
Sanakeling
tidak menjawab. Tetapi ia berdesah hati. Apalagi ketika dilihatnya Macan
Kepatihan kemudian menjadi semakin lemah. Meskipun demikian, tandangnya justru
menjadi semakin garang.
Laskar Jipang
itu semakin lama menjadi semakin dekat dengan batas hutan. Di sana-sini telah
bertebaran gerumbul-gerumbul liar. Ternyata keadaan medan telah memberikan
sedikit perlindungan kepada sisa pasukan Jipang itu. Sesaat lagi mereka telah
sampai ke batas hutan, dan sesaat lagi matahari pun akan tenggelam di bawah
cakrawala. Tetapi waktu yang sesaat itu adalah waktu yang menentukan bagi Macan
Kepatihan sendiri yang mati-matian mencoba melindungi anak buahnya sejauh-jauh
yang dapat dilakukan. Setiap kali goresan-goresan ditubuhnya itu
bertambah-tambah juga. Setiap kali ia menghindari seorang Senapati Pajang, maka
setiap kali ditemuinya Senapati yang lain, seakan-akan segenap jalan telah
tertutup rapat baginya. Untara, Widura, Agung Sedayu dan anak yang gemuk bulat
itu. Anak yang mewakili anak-anak muda Sangkal Putung. Tidak seperti dalam
pertempuran yang terdahulu, maka kini Swandaru telah memiliki bekal dari
gurunya, Kiai Gringsing meskipun belum setinggi Agung Sedayu. Macan Kepatihan
melihat bahwa kemungkinannya untuk menghindar telah tertutup rapat-rapat.
Tetapi ia melihat juga, bahwa pasukannya telah hampir mencapai ujung hutan dan
bahkan ia melihat juga bahwa warna merah di langit sudah menjadi semakin suram.
Setiap pemimpin kelompok prajurit Pajang telah berusaha untuk memperlambat
gerakan mundur pasukan Jipang. Tetapi setiap kali usaha mereka terganggu oleh
hiruk pikuk yang ditimbulkan oleh Tohpati dan beberapa orang yang terlalu setia
kepadanya. Meskipun satu demi satu orang-orang itu terpaksa menjadi korban.
Namun beberapa langkah lagi, pertempuran itu telah sampai di batas hutan. Batas
yang menentukan, bahwa pasukan Jipang telah berhasil dalam gerakan
menghindarkan diri dari kehancuran mutlak meskipun untuk tujuan itu, korban
harus berjatuhan.
Dalam pada itu
Macan Kepatihan masih juga berjuang sekuat-kuat tenaganya. Dalam hiruk-pikuk
yang semakin riuh, dalam ketegangan yang semakin memuncak sejalan dengan jarak
hutan yang semakin pendek dan matahari yang semakin rendah, betapa Macan
Kepatihan harus berjuang melawan prajurit-prajurit Pajang yang berkerumun di sekitarnya
seperti semut mengerumuni gula. Namun sekali-kali lingkaran prajurit Pajang itu
menebar apabila tongkat Tohpati terayun berputaran. Tetapi Widura, Untara,
Agung Sedayu dan Swandaru tidak turut berpencaran mundur. Mereka siap menunggu
setiap kemungkinan dengan pedang di tangan mereka. Setiap kali Macan Kepatihan
meloncat ke salah seorang dari mereka, maka pedang di dalam genggaman
menyambutnya dengan penuh gairah. Dan setiap kali pula tubuh Tohpati menjadi
bertambah rapat dihiasi dengan luka-luka yang mengalirkan darahnya yang merah.
Seakan-akan warna merah bara yang menyala. Tetapi tubuh Tohpati itu adalah
tubuh yang terdiri dari kulit daging dan tulang. Betapa besar tekad yang
menyala di dalam dadanya, namun kekuatan tubuhnya ternyata sangat terbatas
sebagai tubuh manusia biasa. Sehingga semakin lama, Macan yang garang itu pun menjadi semakin lemah, meskipun tekadnya
sama sekali tidak surut. Sumangkar menyaksikan semuanya itu dari jarak yang
semakin dekat. Sumangkar sendiri kini berdiri di batas hutan, di atas sebongkah
batu padas. Sekali-sekali wajahnya menjadi tegang, dan sekali-sekali ia
memalingkan wajahnya. Meskipun warna-warna senja telah menjadi suram, namun
Sumangkar yang tua itu masih dapat menyaksikan betapa Macan Kepatihan mengamuk
seperti harimau lapar. Tetapi di sekitarnya berdiri senapati-senapati Pajang,
Untara, Widura, Agung Sedayu dan Swandaru. Meskipun keempat orang itu ternyata
telah dikekang oleh kejantanan mereka sehingga mereka tidak bertempur
berpasangan bersama-sama. Dan bahkan seakan-akan mereka menunggu dengan
tekunnya, siapakah di antara mereka yang dipilih oleh Macan Kepatihan itu
melawannya. Namun Tohpati tidak segera berbuat demikian. Ia masih saja berusaha
untuk melepaskan dirinya dan berjuang di antara hiruk-pikuk pasukan-pasukan
Pajang, meskipun ternyata usahanya sia-sia.
Tetapi
tiba-tiba gerak Tohpati itu terhenti. Ditegakkannya lehernya tinggi-tinggi. Ia
masih melihat pasukan yang bertempur itu susut seperti air yang tergenang dan
tiba-tiba mendapatkan saluran untuk mengalir. Bahkan seolah-olah seluruh
pasukan yang bertempur itu terhisap masuk ke dalam hutan. Hati Tohpati itu
berdesir. Tiba-tiba terdengar ia berteriak,
“Hei, apakah
kalian berhasil?”
Tak ada
jawaban. Tetapi dengan demikian Tohpati itu yakin bahwa pasukannya telah
berhasil menyelamatkan diri ke dalam hutan itu. Apalagi matahari telah
sedemikian rendahnya sehingga di dalam hutan itu pasti sudah menjadi semakin
gelap. Terdengarlah kemudian suara tertawa Tohpati itu meledak. Berkepanjangan
seperti gelombang laut menempa pantai, beruntun bergulung-gulung
berkepanjangan. Di antara derai tertawanya terdengar kata-katanya,
“Bagus. Bagus.
Kalian telah berhasil.”
Untara,
Widura, Agung Sedayu dan Swandaru melihat pula pasukan Jipang yang berhasil
melepaskan diri itu. Terdengar gigi mereka gemeretak. Hampir-hampir mereka
berloncatan mengejar pasukan yang berlari itu. Tetapi kesadaran mereka, bahwa
hal itu tidak akan berarti sama sekali, telah mencegah mereka. Dan bahkan
kemudian mereka menyadari, bahwa di antara mereka masih berdiri senapati Jipang
yang terpercaya, Macan Kepatihan. Keempat senapati Pajang itu berdiri mematung.
Ujung-ujung pedang mereka lurus-lurus terarah kepada Macan Kepatihan yang masih
saja tertawa terbahak-bahak. Seakan-akan sama sekali tidak dilihatnya keempat
Senapati yang berdiri mengitarinya. Untara. Widura, Agung Sedayu dan Swandaru
itu pun belum juga mengganggunya. Dibiarkannya Macan Kepatihan itu tertawa
sepuas-puasnya. Baru ketika suara tertawa itu mereda, mereka berempat seperti
berjanji maju beberapa langkah mendekati. Tohpati itu pun kemudian tersadar
bahwa ia masih berada dalam kepungan. Apalagi terasa olehnya bahwa darahnya
telah terlampau banyak mengalir. Namun ia adalah seorang Senapati. Karena itu
dengan lantang ia berkata,
“Ayo, inilah
Macan Kepatihan. Majulah bersama-sama hai orang-orang Pajang.”
Untara
mengerutkan alisnya. Ketika ia memandangi keadaan di sekelilingnya, dilihatnya
beberapa orang prajurit masih berdiri mengerumuninya, selain mereka yang
berusaha mengejar prajurit Jipang ke dalam hutan, yang pasti tidak akan banyak
hasilnya. Tetapi dalam keadaan yang demikian, terasa seakan-akan ia tidak
sedang berada dalam peperangan yang masing-masing telah memasang gelar yang
sempurna. Kini, ia merasa seakan-akan ia berhadapan seorang dengan seorang.
Untara dan Macan Kepatihan. Karena itu, maka Untara itu pun melangkah maju sambil
berkata,
“Kakang
Tohpati. Kalau Kakang bertempur seorang diri, maka salah seorang dari kami pun
akan melayani seorang diri pula.”
Tohpati
mengerutkan keningnya. Kemudian terdengar ia menggeram. Namun di dalam hatinya
terbersitlah perasaan hormatnya kepada senapati muda ini. Dalam peperangan
sebenarnya Untara dapat menempuh jalan lain untuk membunuhnya. Ia dapat
memerintahkan setiap orang dan senapati bawahannya untuk membunuhnya
beramai-ramai. Tetapi Untara tidak berbuat demikian. Ia masih menghargai
nilai-nilai keperwiraan orang-seorang, sehingga betapa berat akibatnya, ia
menyediakan diri untuk melakukan perang tanding.
Macan
Kepatihan itu tidak segera menjawab. Perlahan-lahan ia memandang seorang demi
seorang. Untara, Widura, Agung Sedayu dan Swandaru. Ketika mata Tohpati hinggap
pada anak muda yang bertubuh bulat itu hati Untara menjadi berdebar-debar.
Barulah disadari kesalahannya. Ia tidak dengan tegas menawarkan dirinya sendiri
untuk menghadapi Tohpati, tetapi ia memberi kesempatan kepada Macan Kepatihan
untuk memilih lawan. Apabila kemudian Macan Kepatihan itu memilih Swandaru atau
Agung Sedayu sekalipun maka keadaan anak-anak muda itu pasti akan sangat
mengkhawatirkan. Meskipun Tohpati sudah bermandikan darah karena luka-luka pada
seluruh tubuhnya, namun tandangnya masih saja segarang Macan Kepatihan pada
saat ia terjun di dalam arena peperangan itu. Tetapi agaknya Swandaru sama
sekali tidak menginsyafi bahaya itu. Ketika Tohpati memandangnya dengan
tajamnya, anak muda itu tersenyum. Senyum yang hampir-hampir tak pernah hilang
dari bibirnya. Ia kini sama sekali tidak takut menghadapi harimau yang garang
itu. Bahkan ia ingin tahu, mencoba, sampai di mana kemampuannya setelah ia
berguru kepada Kyai Gringsing. Tetapi Tohpati bukan seorang yang licik. Ia
tidak dapat merendahkan harga dirinya, sebagaimana Untara telah bersikap jantan
pula kepadanya. Ia tahu benar, bahwa yang paling lemah dari mereka berempat
adalah anak yang gemuk bulat itu. Tetapi dengan lantang ia menjawab,
“Baik Adi
Untara. Kalau kau menawarkan lawan, baiklah aku memilih. Orang yang aku pilih
adalah Adi sendiri. Untara, senapati Pajang yang mendapat kepercayaan untuk
menyelesaikan sisa-sisa pasukan Jipang di Lereng Gunung Merapi.”
Hati Untara
berdesir mendengar jawaban itu. Sebagaimana Tohpati merasa hormat akan
keputusannya untuk melakukan perang tanding, maka Untara pun menganggukkan kepalanya sebagai ungkapan
perasaan hormatnya.
“Terima
kasih,” sambutnya. “Aku telah bersedia.”
Tohpati
mengangguk-anggukkan kepalanya. Selangkah ia maju menghadap kepada Untara.
Sementara Untara maju pula, mendekatinya. Dalam pada itu Untara masih sempat
berbisik kepada Widura,
“Paman,
tariklah seluruh pasukan. Sangat berbahaya untuk bekejar-kejaran di dalam hutan
yang kurang kita kenal.”
Widura
mengangguk. Tetapi ia tidak mau meninggalkan perang tanding itu. Karena itu,
diperintahkannya seorang penghubung untuk memukul tanda, dan memerintahkannya
supaya Hudaya menghimpun kembali segenap pasukan. Sementara itu, Untara kini
telah siap menghadapi setiap kemungkinan. Tohpati pun telah berdiri dengan kaki renggang
menghadapi senapati muda itu. Tongkatnya erat tergenggam di tangannya yang
telah basah oleh darah. Seleret-seleret warna merah tergores pula pada tongkat
baja putihnya. Pada saat-saat tongkat itu menyambar kening lawan, maka darah
yang terpercik daripadanya pasti membasahi tongkatnya pula.
“Ayo, mulailah
Untara. Senja telah hampir menjelang kelam. Kita selesaikan, persoalan di
antara kita sebelum malam,” geram Tohpati.
Untara tidak
menjawab. Ia melangkah selangkah lagi maju. Pedangnya segera menunduk tepat
mengarah ke dada lawannya. Dalam pada itu, Tohpati tidak menunggu lebih lama
lagi. Segera ia meloncat menyerang dengan sebuah ayunan tongkat baja putihnya.
Meskipun lukanya arang kranjang, namun kecepatannya bergerak masih belum susut
barang serambutpun. Untara yang telah bersiap menghadapi kemungkinan itu,
dengan cepatnya menghindarkan diri. Bahkan pedangnya pun segera terjulur
mematuk lambung. Namun Tohpati masih sempat pula mengelakkan dirinya. Kini
mereka terlihat dalam perang tanding yang dahsyat. Tohpati memeras ilmunya
dalam kemungkinan yang terakhir. Disadarinya bahwa Untara adalah seorang
senapati yang pilih tanding. Dalam keadaan yang sempurna pun ia tidak akan
dapat mengalahkannya, apalagi kini. Darahnya telah menetes dari luka, dan
keringatnya pun seolah-olah telah kering terperas. Tetapi ia adalah seorang
senapati besar yang sadar akan kebesaran dan harga dirinya sebagai seorang
laki-laki jantan.
Meskipun senja
telah menjadi semakin suram namun Sumangkar masih dapat melihat apa yang
terjadi di tengah-tengah arena itu. Ia melihat dari daerah yang lebih kelam
karena dedaunan. Bahkan kemudian ia tidak puas melihat peristiwa itu dari
tempatnya. Tiba-tiba ia melompat turun dari bongkahan batu padas itu dan
menyusur tepi hutan yang kegelapan maju semakin dekat. Di belakangnya Kyai
Gringsing selalu mengikutinya. Ia tidak ingin melepaskan Sumangkar. Kalau-kalau
orang itu berbuat sesuatu dengan tiba-tiba. Tetapi ternyata Sumangkar itu tidak
langsung menuju ke arena. Beberapa langkah ia berhenti, dan kembali ia mencari
tempat yang agak tinggi untuk menyaksikan perkelahian antara Macan Kepatihan dan
Tohpati. Sedang Kyai Gringsing pun tidak
kalah nafsunya untuk melihat pertempuran itu, sehingga kemudian ia berdiri
tepat di belakang Sumangkar. Dengan tegangnya Sumangkar mengikuti perkelahian
itu. Selangkah demi selangkah dinilainya dengan seksama. Ia sama sekali tidak
memperdulikan hiruk-pikuk para prajurit Pajang yang sedang berhimpun kembali,
tidak jauh di hadapannya, namun para prajurit Pajang itu pun sama sekali tidak
memperhatikannya, karena ujung malam yang turun perlahan-lahan, seperti kabut yang
hitam merayap dari langit merata keseluruh permukaan bumi. Tetapi pertempuran
antara Macan Kepatihan dan Untara masih berlangsung terus. Semakin lama semakin
dahsyat. Sedang Sumangkar yang menyaksikan pertempuran itu pun menjadi semakin
tegang. Tiba-tiba ketegangan Sumangkar itu pun memuncak. Kini ia berdiri di
atas ujung kakinya dan dijulurkannya lehernya, supaya ia dapat melihat semakin
jelas.
“Oh,” desahnya
kemudian. Suaranya seolah-olah tersekat di kerongkongan, dan darahnya serasa
berhenti mengalir. Diangkatnya kedua belah tangannya menutup wajahnya.
Perlahan-lahan ia berpaling. Gumamnya perlahan-lahan dengan suara parau,
“Raden.”
Kyai Gringsing
pun melihat apa yang terjadi. Ia melihat Tohpati menyerang dengan kekuatannya
yang terakhir. Namun tubuh Untara yang masih segar sempat menghindarinya,
tetapi ujung pedangnya dijulurkannya lurus-lurus tepat mengarah ke lambung
lawannya. Tohpati yang sudah menjadi semakin lemah, kurang tepat
memperhitungkan waktu. Ia terdorong oleh kekuatannya sendiri, dan langsung
lambungnya tersobek oleh pedang Untara. Terdengar Tohpati menggeram pendek.
Selangkah ia surut. sebuah luka yang dalam menganga pada lambungnya. Betapa
kemarahannya membakar jantungnya, namun tiba-tiba terasa tulang-tulangnya
seolah-olah terlepas dari tubuhnya. Meskipun demikian tanpa disadari oleh
Untara, Macan Kepatihan melontarkan tongkatnya secepat petir menyambar di
udara. Betapa Untara terkejut melihat sambaran tongkat baja putih berkepala
tengkorak itu. Dengan kecepatan yang mungkin dilakukan ia merendahkan dirinya
dan berusaha memukul tongkat itu dengan pedangnya. Tetapi demikian cepatnya
sehingga ia tidak dapat melakukannya dengan sempurna. Pedangnya berhasil
menyentuh kepala tongkat itu, tetapi dengan demikian ujung yang lain menyadi
oleng dan dengan kerasnya memukul kening Untara. Untara yang sedang merendahkan
diri itu terdorong mundur, dan sesaat ia kehilangan keseimbangan. Dengan
kerasnya ia terbanting jatuh. Beberapa kali ia berguling. Matanya terasa
menjadi gelap dan kepalanya menyadi sangat pening. Seakan-akan sebuah bintang
di langit telah jatuh menimpanya. Namun ia masih cukup sadar. Ia sadar bahwa
lawannya, Macan Kepatihan masih tegak berdiri di hadapannya. Karena itu cepat
ia memusatkan kekuatannya dan meskipun dengan tertatih-tatih ia mencoba
berdiri, bersiaga menghadapi segala kemungkinan yang dapat terjadi atasnya.
Tetapi kini ia sudah tidak menggenggam pedang lagi. Pedangnya terpelanting dari
tangannya, pada saat ia jatuh berguling di tanah. Meskipun demikian terasa
kening Untara masih sedemikian sakitnya. Bintik-bintik putih seolah-olah
berterbangan di dalam rongga matanya. Beratus-ratus bahkan beribu-ribu. Karena
itu maka dengan sekuat tenaganya, ia mencoba untuk menembus keremangan ujung
malam dengan pandangan matanya yang kabur. Untara itu melihat Tohpati maju
selangkah mendekatinya. Namun tiba-tiba ia terhuyung-huyung. Sesaat kemudian
Macan yang garang itu terjatuh pada lututnya dan mencoba menahan tubuhnya
dengan kedua tangannya. Untara masih tetap berdiri di tempatnya. Sekilas
matanya menyambar orang-orang yang berdiri mengitarinya. Widura, Agung Sedaju,
Swandaru Geni dan kini beberapa orang lain telah hadir pula. Ki Demang Sangkal
Putung dan beberapa orang pemimpin kelompok. Ketika ia kembali memandangi
Tohpati, maka dilihatnya orang itu menjadi semakin lemah.
Sesaat tepi
hutan itu dicengkam oleh kesepian. Kesepian yang tegang. Desir angin di
dedaunan terdengar seperti tembang megatruh yang menawan hati. Sayup-sayup di
kejauhan suara burung hantu terputus-putus seperti sedu sedan yang pedih,
sepedih hati biyung kehilangan anaknya di medan peperangan. Dalam kesenyapan
itu, tiba-tiba terdengar suara Tohpati bergetar di antara desah angin malam
yang lirih,
“Adi Untara,
aku mengakui kemenanganmu.”
Dada Untara
berdesir mendengar suara itu. Bukan saja Untara, tetapi juga Widura, Agung
Sedaju, Swandaru, Ki Demang Sangkal Putung dan beberapa orang yang lain. Namun
di antara mereka yang paling dalam merasakan sentuhan suara itu adalah Untara
sendiri, sehingga justru sesaat ia diam mematung. la tersadar ketika sekali
lagi Tohpati berkata dengan suaranya yang parau dalam,
“Aku
mengucapkan selamat atas kemenangan ini Adi Untara.”
Untara tidak
dapat menahan hatinya lagi mendengar pengakuan yang jujur itu. Pengakuan dari
seorang Senapati jantan dari Jipang. Karena itu, maka beberapa langkah ia maju
mendekati Macan Kepatihan yang sudah menjadi sangat lemas.
“Kakang
Tohpati …,” terdengar suara Untara patah-patah,
“maafkan aku.”
Tohpati
menggeleng,
“Jangan
berkata demikian Untara. Berkatalah dengan nada seorang Senapati yang menang
dalam peperangan. Supaya aku puas mengalami kekalahan ini.”
Untara
terdiam. Ia tidak tahu apa yang akan diucapkannya. Karena itu kembali ia
mematung. Matanya tajam-tajam menembus malam yang semakin gelap, hinggap pada
tubuh yang sudah menjadi kian lemah dan lemah. Perlahan-lahan Tohpati terduduk
di tanah. Bahkan kemudian terdengar ia menggeram,
“Aku akan
mati.”
Untara maju
selangkah lagi. Ia melihat dengan wajah yang tegang Tohpati menjatuhkan
dirinya, terlentang sambil menahan desah yang kadang-kadang terlontar dari
mulutnya.
Sumangkar
melihat Tohpati itu terbujur di tanah, dalam hatinya terasa menjadi sangat
pedih. Anak itu bukan anaknya, bukan muridnya, tetapi ia telah berada dalam
satu lingkungan yang sama-sama dialami. Pahit, manis dan lebih-lebih lagi ia
adalah murid saudara seperguruannya. Harapan sebagai penerus ilmu perguruan
Kedung Jati. Tetapi anak itu kini terbujur dengan darah yang mengalir dan
luka-lukanya yang arang kranjang. Darah Sumangkar itu pun tiba-tiba bergelora.
Dengan tangkasnya la meloncat turun dari bongkahan batu padas sambil menggeram,
“Celaka aku,
Kyai…”
Kyai Gringsing
terkejut melihat sikap itu, sehingga untuk sesaat ia masih berdiam diri. Namun
lamat-lamat ia melihat wajah Sumangkar yang kosong memancarkan perasaan putus
asa.
“Kyai,”
berkata Sumangkar pula,
“tak ada yang
menahan aku untuk hidup terus. Karena itu, marilah kita membuat perhitungan
terakhir. Perhitungan orang-orang tua.”
Kyai Gringsing
menarik nafas dalam-dalam, tetapi ia belum beranjak dari tempatnya. Bahkan ia
masih sempat berpaling dan melihat Untara, Widura, Agung Sedayu dan Swandaru
beserta beberapa orang lain berlutut di samping Macan Kepatihan yang nafasnya
seakan-akan tinggal tersangkut di ujung kerongkongannya.
“He Kyai,”
panggil Sumangkar,
“turunlah.
Kita bertempur seorang lawan seorang. Antarkan aku menemani Angger Macan
Kepatihan”
Sekali lagi
Kyai Gringsing memandangi orang-orang yang berdiri mengerumuni Macan Kepatihan
dan orang yang berlutut di sekitarnya. Ternyata tak seorang pun di antara
mereka yang mendengar kata-kata Sumangkar, sehingga mereka berdua masih tetap
belum dilihat oleh mereka. Namun Kyai Gringsing masih belum bergerak. Tetapi ia
menjadi kian berhati-hati. Ketika dilihatnya Sumangkar menggenggam tongkatnya
semakin erat pada pangkalnya siap untuk digunakannya. Dan apa yang disangkanya
itu terjadi. Ketika Kyai Gringsing tidak juga mau turun dari bongkahan batu
padas, tiba-tiba Sumangkar berkata,
“Baiklah kalau
Kyai tidak mau mulai. Aku yang akan mulai. Terserahlah kepadamu apakah kau
bersedia untuk melawan dan membunuhku, atau aku yang akan membunuhmu.”
Sumangkar
tidak menunggu lebih lama lagi. Segera ia meloncat dan mengayunkan tongkatnya
menyambar lutut Kyai Gringsing. Tetapi Kyai Gringsing telah bersiaga. Segera ia
meloncat menghindar dan sekaligus melontar turun dari atas batu padas itu. Namun
Sumangkar tidak melepaskannya. Dengan sebuah loncatan yang panjang dan cepat ia
mengejarnya. Seperti orang kerasukan, tongkatnya terayun-ayun deras sekali menyambar-nyambar.
Seolah-olah ia telah kehilangan segenap perhitungan dan pikirannya yang bening
seperti Macan Kepatihan sendiri. Kyai Gringsing pun segera berloncatan
menghindari. Dengan lincahnya ia melontar-lontarkan dirinya, menyusup di
sela-sela putaran tongkat baja putih berkepala tengkorak yang bergerak secepat
tatit. Tetapi Kyai Gringsing mampu bergerak melampaui kecepatan tongkat itu,
sehingga berkali-kali ia masih saja dapat menghindari setiap serangan yang
datang
Sumangkar
benar-benar telah waringuten. Tongkatnya bergerak semakin lama semakin cepat,
sehingga kemudian seolah-olah telah berubah menyadi gumpalan awan putih yang
mengejar Kyai Gringsing kemana ia pergi. Gumpalan awan yang siap untuk
menelannya dan menghancur-lumatkan. Serangan Sumangkar itu menyadi semakin lama
semakin dahsyat seperti prahara yang mengamuk di padang-padang yang dengan
dahsyatnya pula menghantam bukit-bukit dan lereng-lereng gunung. Namun Kyai
Gringsing adalah lawan yang tangguh baginya. Dengan kecepatan yang melampaui kecepatan
prahara, ia selalu mampu menghindari setiap serangan yang datang. Betapapun
kalutnya otak Sumangkar, namun ia bukanlah seorang yang mudah kehilangan harga
diri dan kejantanan. Usianya yang telah lanjut itu pun telah menuntunnya
menjadi seorang yang dapat melikat sikap-sikap yang tidak wajar. Demikian pula
kali ini. Beberapa kali ia mencoba meyakinkan dugaannya dengan memperketat
serangan-serangannya atas Kyai Gringsing itu. Namun akhirnya ia yakin, bahwa
Kyai Gringsing menghadapinya dalam sikap yang tidak wajar. Orang itu sama
sekali tidak pernah membalasnya dengan serangan-serangan, tetapi orang itu
hanya sekedar menghindari serangan-serangannya yang bahkan dapat berakibat
maut. Karena itu, maka Betapapun gelap pikirannya, namun ia masih mampu untuk
manilai sikap itu. Sehingga tiba-tiba ia menghentikan serangannya sambil
berkata,
“Kyai, kenapa
Kyai tidak melawan? Kenapa Kyai hanya sekedar menghindar dan meloncat surut?
Apakah menurut anggapan Kyai, Sumangkar tidak cukup bernilai untuk berdiri
sebagai lawan Kyai?”
Kyai Gringsing
menarik nafas. Dengan dahi yang berkerut-kerut ia menjawab,
“Tidak. Sama
sekali tidak. Aku menghargai Adi Sumangkar sebagai murid kedua dari perguruan
Kedung Jati yang tak kalah nilainya dari Ki Patih Mantahun sendiri. Tetapi kini
kau tidak sedang bertempur melawan Kyai Gringsing, sehingga karena itu aku
tidak dapat melayanimu.”
“He,”
Sumangkar terkejut.
“Kenapa aku
kau anggap tidak sedang bertempur melawan Kyai Gringsing?”
Kyai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dijawabnya,
“Adi
Sumangkar. Ternyata kau tidak sedang bertempur, tetapi kini kau sedang membunuh
dirimu karena itu aku tidak dapat menjadi alat untuk itu.”
Dada Sumangkar
berdesir mendengar jawaban itu. Terasa sesuatu menyentuh langsung ke pusat
jantungnya. Sekali terdengar ia menggeram, namun kemudian tangannya menjadi
lemah. Tongkatnya kini tergantung lunglai pada tangan kanannya yang kendor.
Perlahan-lahan terdengar ia bergumam,
“Hem, Kyai
menebak tepat. Aku memang sedang membunuh diri, dan aku mengharap Kyai dapat
membantuku.”
Kyai Gringsing
menggelengkan kepalanya. Jawabnya,
“Tidak Adi
Sumangkar. Aku tidak dapat melakukannya.”
“Aku tidak
peduli. Kalau Kyai tidak mau membunuhku, maka jangan menyesal kalau aku yang
membunuhmu.” Namun kata-kata Sumangkar itu sama sekali tidak meyakinkan.
Tangannya masih tergantung lemah dan genggamannya atas senjatanya pun tidak
bertambah erat.
“Adi Sumangkar,”
berkata Kyai Gringsing.
“Apakah
keputusanmu itu sudah kau pertimbangkan baik-baik.”
“Tentu,” Sahut
Sumangkar. “Keputusanku tidak akan dapat berubah.”
Kyai Gringsing
memandangi wajah Sumangkar tajam-tajam. Meskipun malam telah menjadi semakin
kelam namun terasa oleh Kyai Gringsing, bahwa pada wajah Sumangkar benar-benar
terbayang keputusasaan yang dalam.
“Adi,” berkata
Kyai Gringsing,
“kenapa kau
akan membunuh dirimu?”
“Aku telah
jemu melihat kehidupan Kyai, hidupku, hidup orang-orang Jipang dan hidup kita
semua.”
“Apakah Adi
sudah berpikir jauh? Mungkin Adi ingin menghindari kepahitan yang mencengkeram
jantung Adi, namun dengan jalan yang sama sekali salah. Macan Kepatihan telah
mati terbunuh dalam peperangan sebagai seorang jantan. Tetapi bagaimana kata
orang dengan Sumangkar? Murid kedua dari perguruan Kedung Jati?”
“Aku mati
dalam peperangan melawan seorang sakti bernama Kyai Gringsing.”
Kyai Gringsing
menggeleng.
“Tidak.
Kesannya akan menjadi lain sekali. Sumangkar mati membunuh diri, itu pun
terserah kepadamu Adi. Tetapi aku tidak dapat mendengar orang lain mengatakan,
Kyai Gringsing-lah yang telah melakukan itu. Tidak. Aku bukan alat untuk
membunuh diri.”
“Tak ada orang
yang mengetahui, bahwa kau membunuh aku pada saat hatiku gelap.”
“Ada.”
“Siapa?”
“Hatiku
sendiri”
“Persetan!”
geram Sumangkar.
“Terserah
kepadamu. Kalau kau tidak mau, maka aku akan membunuhmu.”
“Aku akan lari
meninggalkan tempat ini sejauh-jauhnya. Kau pasti tidak akan dapat mengejar
aku. Dan aku akan bersembunyi sampai terdengar kabar, bahwa Sumangkar telah
mati. Entah ia membunuh diri, entah ia mati dikeroyok orang.”
Kembali dada
Sumangkar menjadi bergelora. Terasa bahwa kata-kata Kyai Gringsing itu
menyentuh langsung ke pusat jantungnya, sehingga karena itu ia diam sesaat
mencoba memandangi wajah Kyai Gringsing yang seolah-olah ditabiri oleh sebuah
selaput yang kelam. Yang terdengar kemudian adalah suara Kyai Gringsing
kembali,
“Adi
Sumangkar. Daripada Adi sibuk membunuh apakah tidak lebih baik Adi mencoba
melihat, apakah Raden Tohpati itu masih hidup ataukah benar-benar sudah mati?”
“Tak ada
gunanya,” geram sumangkar.
“Mungkin ada.
Kalau ia masih hidup ia akan dapat memberi pesan kepada Adi.”
“Kalau ia
sudah mati?”
“Adi akan
dapat mengurusnya. Menguburkannya dengan baik sebagai murid dari kakak
seperguruanmu.”
Kembali
Sumangkar terdiam. Namun tiba-tiba ia berkata,
“Apakah Untara
akan mengijinkan aku mendekatinya?”
“Aku sangka ia
tidak akan berkeberatan.”
“Apakah Kyai
yakin?”
“Ya.”
“Kalau ia
menolak kehadiranku, maka aku akan tersinggung sekali karenanya. Padahal aku
sama sekali tidak ingin membunuh lagi. Bahkan aku ingin terbunuh oleh siapapun.”
“Marilah kita
pergi bersama.”
Sumangkar
mengerutkan keningnya. Namun Kyai Gringsing seakan-akan tidak mempedulikannya
lagi. Ia berjalan ke arah orang-orang yang berkerumun itu sambil bergumam,
“Marilah Adi.”
Sumangkar
menjadi ragu-ragu sesaat. Tetapi kemudian ia pun melangkah di samping Kyai
Gringsing, berjalan ke arah Macan Kepatihan terbaring.
Ketika
kemudian beberapa orang mendengar langkahnya, mereka menjadi terkejut. Mereka
segera bersiaga. Tetapi dalam pada itu terdengar Kyai Gringsing berkata,
“Aku, Tanu
Metir.”
“Oh,” desah
beberapa orang.
Untara, Agung
Sedayu dan orang-orang lain pun mendengar suara itu. Serentak mereka mengangkat
kepala mereka dan mencoba mengetahui arah suara yang melontar dari luar
lingkaran orang-orang yang sedang berkerumun.
“Apakah itu
Kyai Tanu Metir?” bertanya Untara.
“Ya,” sahut
suara itu.
“Kyai datang
tepat pada waktunya,” berkata Untara itu kemudian.
Kyai Gringsing
sama sekali tidak tahu maksud kata-kata itu. Tetapi ia tidak bertanya lagi. Ia
berjalan langsung manerobos beberapa orang yang menyibak, memberinya jalan.
Namun beberapa orang itu bertanya-tanya di dalam hati mereka, siapakah orang
yang berjalan bersama ki Tanu Metir itu? Demikian Agung Sedayu dan Swandaru
melihat kedatangan Kyai Gringsing beserta Sumangkar, segera mereka berdiri.
Diamatinya orang itu, dan terasa bahwa mereka pernah melihatnya. Namun yang
pertama-tama menyebut namanya adalah Agung Sedayu. Dengan nada yang penuh
kebimbangan ia berkata,
“Apakah paman
ini paman Sumangkar?”
Sumangkar
mengerutkan keningnya. Sekali ia berpaling memandang wajah anak muda itu dan
kemudian jawabnya,
“Ya Ngger. Aku
adalah Sumangkar.”
Dalam pada itu
tanpa sesadarnya Untara pun segera
meloncat berdiri. Selangkah ia surut. Ditatapnya wajah itu dengan tajamnya. Ia
pernah mengenalinya dahulu, sebelum terjadi persoalan antara Jipang dan Pajang,
meskipun hanya sepintas. Tetapi bersamaan dengan pecahnya Jipang orang itu pun
kemudan menghilang. Baru kemudian didengarnya, bahwa orang itu datang pada saat
Macan Kepatihan hampir menghembuskan nafasnya yang terakhir. Kenapa ia tidak
datang bersama pasukannya seperti yang mereka perhitungkan sejak semula?
Tetapi ketika
Untara melihat kehadiran ki Tanu Metir bersama Sumangkar, maka hatinya menjadi
agak tenang. Meskipun demikin ia masih tetap berdiri kaku di tempatnya. Melihat
kecurigaan Untara, Sumangkar menarik nafas panjang-panjang. Timbullah kembali
kecemasannya, seandainya tiba-tiba Untara itu mengusirnya, atau bahkan
mencobanya untuk menangkap? Ia sama sekali sudah tidak berhasrat untuk
bertempur, apalagi membunuh seseorang. Namun apabila hatinya tersinggung, maka
hal itu akan dapat terjadi. Tetapi kemudian disadarinya bahwa Kyai Gringsing
berdiri di sampingnya. Maka apabila terjadi demikian, ia mengharap Kyai
Gringsing akan membunuhnya saja. Sesaat mereka dicengkam oleh kebekuan yang
tegang. Masing-masing saling berpandangan dengan penuh kecurigaan. Kebekuan itu
pun kemudian dipecahkan oleh sebuah gumam perlahan sekali.
“Siapakah yang
datang?” suara itu adalah suara Tohpati.
Semua
berpaling kepada yang terbaring diam. Hanya dadanya saja yang masih tampak
bergelombang, menghembuskan nafas yang tidak teratur lagi.
Yang menjawab
pertanyaan itu adalah Sumangkar.
“Aku Raden,
pamanmu Sumangkar.”
“O,” desah
Tohpati,
“apakah paman
dapat mendekati aku?”
Sumangkar
menjadi ragu-ragu. Ditatapnya wajah Untara, seolah-olah ia meminta ijin
kepadanya.
Untara pun
tidak segera mengatakan sesuatu. Seperti Sumangkar ia menjadi ragu-ragu. Bahkan
kemudian ia berpaling kepada Ki Tanu Metir. Dalam keremangan malam ia melihat
Ki Tanu Metir menganggukkan kepalanya, sehingga Untara itu pun kemudian
berkata,
“Silahkan,
Paman.”
“Terima kasih
Ngger,” gumam Sumangkar, yang kemudian berjongkok di samping Macan Kepatihan.
Untara,
Widura, Agung Sedayu, Swandaru dan beberapa orang lain masih berdiri di
tempatnya. Mereka sadar bahwa Sumangkar adalah seorang yang tidak dapat
diduga-duga kesaktiannya. Kalau tiba-tiba saja ia menggerakkan tongkat baja
putihnya, maka akibatnya tidak dapat dibayangkan. Meskipun ada di antara mereka
itu seorang yang bernama Kyai Gringsing, namun Kyai Gringsing pun pasti
memerlukan waktu untuk mengatasi keadaan. Sedang dalam waktu yang tiba-tiba
itu, pasti sudah jatuh korban di antara mereka.
Di samping
Sumangkar itu, kemudian mereka melihat Kyai Gringsing berjongkok pula. Dengan
saksama diamat-amatinya tubuh Tohpati yang arang kranjang itu.
“Paman
Sumangkar,” terdengar suara Macan Kepatihan perlahan-lahan sekali.
Sumangkar itu
menggeram. Tiba-tiba terasa tenggorokannya menjadi kering, ketika dilihatnya
luka-luka yang tiada terhitung di tubuh murid kakak seperguruahnya itu.
“Angger,”
desisnya,
“lukamu tiada
terhitung jumlahnya. Kau telah berjuang untuk melindungi seluruh anak buahmu
dengan mengorbankan dirimu sendiri.”
Macan
Kepatihan mencoba untuk memperbaiki pernafasannya. Tetapi terasa bahwa nafas
itu semakin lemah. Dalam pada itu tiba-tiba terdengar suara Untara di belakang
Kyai Gringsing,
“Kyai, apakah
Kyai masih melihat kemungkinan untuk mengobati kakang Tohpati?”
Kyai Gringsing
mengerutkan keningnya. Namuh sebelum menjawab terdengar suara lemah Macan
Kepatihan,
“Tak ada
gunanya. Tak akan ada gunanya, karena aku sudah terlalu lemah. Bahkan
seandainya mungkinpun, maka kesembuhanku akan berakibat tidak baik bagi
keadaan.”
“Kenapa?”
bertanya Untara.
“Kematianku
adalah akhir daripada bencana yang menimpa rakyat Demak. Aku adalah sisa
terakhir dari senapati yang mendapat kepercayaan para prajurit Jipang.
Sepeninggalku aku mengharap bahwa mereka akan membuat
pertimbangan-pertimbangan. Bukankah begitu paman Sumangkar?”
Sumangkar
menganggukkan kepalanya. Jawabnya singkat, namun meluncur dari dasar hatinya.
“Ya Ngger.”
“Baik. Baik,”
Macan Kepatihan meneruskan. Suaranya menjadi semakin lambat, sedang nafasnya
menjadi semakin tak teratur. Kepada Untara kemudian ia berkata,
“Adi Untara.
Di manakah kau?”
Untara itu
melangkah maju. Ia sudah lupa akan setiap bahaya yang mengancamnya, apabila
Sumangkar itu berbuat hal-hal di luar dugaan. Kini ia berjongkok dekat di
samping kepala Macan kepatihan.
“Adi Untara,
kau benar-benar seorang kesatria. Kau mampu melupakan dendam atas seseorang
yang menghadapi saat-saat kematiannya. Jarang orang dapat berbuat seperti kau
ini.”
Untara tidak
menjawab. Dan didengarnya suara Macan kepatihan terputus-putus,
“Paman
Sumangkar tidak bersalah. Orang itu tidak pernah turut bertanggung jawab dalam
segala gerak dan perbuatan pasukan Jipang. Karena itu aku minta maaf untuknya.”
Untara
menganggukkan kepalanya pula. Dari mulutnya demikian saja meluncur jawabnya,
“Ya. Paman
Sumangkar tidak turut bertanggung jawab.”
“Seluruh
tanggung jawab ada padaku Adi.”
“Ya,” sahut
Untara.
“Angger,”
tiba-tiba Sumangkar memotong,
“biarlah kita
berbagai tanggung jawab. Kenapa aku tidak ikut bertanggung jawab pula atas
segalanya yang telah terjadi?”
“Jangan
membantah paman,” sahut Macan Kepatihan.
“Ini adalah
kata-kataku terakhir.”
Sumangkar
tertegun. Tetapi ia tidak berkata apapun. Dan didengarnya kemudian suara Macan
kepatihan terputus-putus,
“Paman. Adakah
paman dapat membantu aku?”
“Tentu Ngger,
tentu,” sahut Sumangkar cepat-cepat.
“Terima kasih,
Paman. Paman akan sudi menguburkan mayatku, apabila Adi Untara tidak
berkeberatan. Mudah-mudahan kematianku menjadi pertanda bahwa tidak ada gunanya
perselisihan ini akan berlangsung terus.”
Tohpati
mencoba menarik nafas dalam-dalam, namun ia menjadi semakin lemah, semakin
lemah. Getar darahnya pun semakin lama semakin menjadi lemah pula. Ketika ia
mencoba memandangi orang-orang yang berdiri di sekelilingnya, maka yang
dilihatnya hanyalah bayangan-bayangan hitam yang tidak dapat dikenalnya lagi.
“Paman,”
desisnya.
Sumangkar
beringsut maju semakin dekat. Dirabanya tangan Macan Kepatihan yang menjadi
bertambah dingin.
“Adi Untara,”
panggilnya lambat.
Untara pun berkisar pula ke samping Sumangkar. Agaknya
Tohpati ingin minta kepada mereka. Tetapi nafasnya menjadi semakin lamban.
“Angger,”
panggil Sumangkar.
Terasa tangan
Tohpati bergetar, dan mulutnya berdesis. Sumangkar segera meletakkn telinganya
ke bibir murid kakak seperguruannya itu, dan didengarnya kata-kata terakhir.
“Mudah-mudahan
Tuhan mengampuni aku.”
“Mohonlah
Ngger. Mohonlah ampun.”
Tetapi Tohpati
sudah tidak mampu menjawab. Kini matanya sudah berpejam dan nafasnya menjadi
kian lemah. Sesaat kemudian tangannya tergerak sedikit dan nafasnya pun berhentilah
untuk selama-lamanya.
“Angger,”
desis Sumangkar.
Tetapi Tohpati
tidak lagi dapat menyahut. Ketika Sumangkar itu kemudian yakin bahwa Macan
Kepatihan yang garang itu sudah tidak dapat mendengar panggilannya, tiba-tiba
ia menundukkan kepalanya dalam-dalam. Terasa sesuatu bergelora di dalam
dadanya. Nafasnya sendiri serasa akan putus pula seperti nafas Macan Kepatihah
itu. Sumangkar yang tua itu terkejut sendiri ketika terasa setetes air jatuh ke
tangannya.
“Hem,” ia
menarik nafas dalam-dalam.
“Anak, ini
telah pergi mendahului aku.”
Suasana di
pinggir hutan itu kemudian menjadi hening. Daun-daun pepohonan seolah-olah
menundukkan tangkai mereka, dan angin berhenti berhembus. Di kejauhan terdengar
suara burung hantu menyentuh ulu hati. Ngelangut. Mereka semuanya tersentak
ketika mereka mendengar guruh meledak di udara, didahului oleh cahaya kilat
yang memercik sekilas. Seperti berjanji mereka menengadahkan wajah-wajah mereka
menatap langit. Dan kembali mereka terkejut ketika mereka melihat awan yang kelam
menggantung di langit. Mendung yang seakan-akan siap untuk meluncur turun ke
permukaan bumi.
“Adi
Sumangkar,” terdengar suara Kiai Gringsing,
“bagaimana
dengan Angger Macan Kepatihan?”
“Aku akan
mencoba memenuhi pesannya, Kiai, apabila Angger Untara mengijinkannya.”
“Silahkan
Paman,” sahut Untara.
“Aku akan
segera kembali. Dan aku menunggu keputusan Angger atas diriku.”
Untara menggigit
bibirnya. Kemudian katanya,
“Paman telah
menunjukkan kesediaan Paman untuk tidak lagi berbuat hal-hal yang bakal merugikan
Pajang. Karena itu, berdasarkan pertimbangan-pertimbangan bahwa Paman tidak
turut serta bertanggung jawab atas segala tingkah laku pasukan Jipang, maka aku
akan mencoba memohonkan ampun untuk Paman Sumangkar.”
Tiba-tiba
Sumangkar menggelengkan kepalanya, katanya,
“Aku tidak
ingin belas kasian. Aku tidak ingin mengingkari tanggung jawab yang betapapun
beratnya, yang akan turut menentukan hukuman atasku.”
Untara mengerutkan
keningnya. Katanya,
“Lalu apakah
arti kata-kata Macan kepatihan pada saat terakhir ini?”
“Ia ingin
membebankan kesalahan pada dirinya sendiri.”
“Kalau begitu
Paman tidak ingin mengakui kebenaran katakatanya. Sehingga Paman menolak
setiap pemaafan?”
“Aku tidak
ingin mendapatkan belas kasihan itu.”
“Kalau begitu
apa maksud Paman sebenarnya? Apakah Paman akan mengambil alih pimpinan dari
tangan Macan Kepatihan?” desak Untara.
Tiba-tiba
Sumangkar berdiri. Dipandanginya wajah Untara yang telah berdiri pula di
hadapamnya.
“Angger,”
berkata Sumangkar yang hatinya sedang kelam seperti kelamnya langit.
“Aku telah
berkata bahwa aku akan kembali dan akan menerima semua hukuman yang akan
ditimpakan kepadaku. Kau tidak percaya? Apakah kau akan mencoba menangkap
Sumangkar sekarang?”
“Paman,”
terdengar suara Untara menjadi semakin berat. Sebagai seorang senapati muda
maka ia tidak segera dapat mengatasi gelora di dalam dadanya sendiri. Hatinya
benar-benar tersinggung ketika ia mendengar penolakan Sumangkar atas tawarannya
uutuk mendapatkan keringanan hukuman dan pengampunan atas kesalahan-kesalahan yang
pernah dilakukannya. Karena itu sebagai seorang pengemban tugas ia berkata,
“Aku adalah
Senapati Pajang yang mendapat kepercayaan di daerah ini. Aku telah mencoba
melihat kebenaran dan kealpaan pada tempatnya sendiri-sendiri. Tetapi penolakan
Paman sangat menyakitkan hati. Karena itu apakah aku harus meneruskan tindakan
pengamanan dengan cara yang telah aku tempuh sampai saat ini terharap Macan
Kepatihan?”
Sumangkar itu
mundur selangkah. Tiba-tiba digenggamnya tongkat baja putihnya erat-erat.
Dengan tajamnya dipandanginya wajah Untara. Dari sela-sela bibirnya yang
gemetar ia berkata,
“Baik. Kalau
itu yang kau inginkan Ngger. Silahkan. Aku bersedia menghadapi segala
kemungkinan yang akan terjadi atasku. Umurku sudah lanjut, dan aku sudah jemu
untuk melakukan perbuatan-perbuatan terkutuk di muka bumi ini. Karena itu,
marilah. Apa yang akan kau lakukan atasku.”
Untara pun tiba-tiba menggeram. Dari matanya
seolah-olah memancar api kemarahan. Ia adalah senapati Pajang yang berwenang
untuk melakukan kebijaksanaan di daerah ini. Karena itu, maka tanpa sesadarnya,
ia memandang berkeliling. Kepada Widura, Agung Sedayu, Swandaru, dan kepada
para pemimpin-pemimpin kelompok pasukannya. Sambaran mata Untara itu,
seakan-akan merupakan perintah bagi mereka, bagi Widura, Agung Sedayu, Swandaru
dan semua orang yang berdiri mengitari mereka serentak mereka bersiaga dan
serentak pedang-pedang mereka siap untuk menerkam Sumangkar yang berdiri di
tengah-tengah lingkaran manusia itu.
Tiba-tiba
dalam ketegangan yang memuncak itu, terdengarlah suara tertawa. Perlahan-lahan,
namun nadanya seakan-akan menghantam dinding jantung. Suara itu adalah suara Ki
Tanu Metir, yang masih saja berada di tempatnya. Namun kini ia pun telah
berdiri, menghadap ke arah Sumangkar. Di antara suara tertawanya yang perlahan-lahan
itu terdengar ia berkata,
“Adi Sumangkar
yang bijaksana. Apakah sebenarnya yang akan kau lakukan? Apakah kau masih ingin
membunuh dirimu? Barangkali cara ini pun akan dapat kau tempuh. Mati dikeroyok
orang. Apakah cara ini juga dapat memberi kepuasan kepadamu?”
“Tidak. Aku
hanya bersedia mati oleh tangan Kiai Gringsing yang cukup bernilai bagiku.
Bukan karena tangan anak-anak atau pun siapa saja. Sumangkar akan bertahan
sampai kesempatan yang terakhir. Kecuali kalau kau ikut serta dengan mereka.”
Kembali suara
tertawa Kiai Gringsing mengumandang di pinggiran hutan itu, seolah-olah
menelusur sampai ke kaki bukit. Katanya,
“Untara.
Naluri keprajuritan Adi Sumangkar masih terlalu tebal. Ia melihat murid kakak
seperguruannya mati karena tusukan pedang. Ia melihat Macan Kepatihan bukan
saja sebagai senapati yang dibanggakannya, tetapi Raden Tohpati adalah penerus
dari perguruan Kedung Jati. Itulah sebabnya ia merasa kehilangan. Perasaan itu
sedemikian menusuk hatinya, sehingga betapapun mengendapnya hati Adi Sumangkar,
namun kadang-kadang ia kehilangan keseimbangan dalam kejutan yang tiba-tiba
semacam ini. Harga dirinya sama sekali tidak tersentuh seandainya Macan
Kepatihan itu tidak lebih dan tidak kurang dari panglima perangnya saja. Tetapi
karena Macan kepatihan itu bersangkut-paut dengan perguruannya, maka ternyata
sentuhan itu agak terlalu tajam baginya.”
Untara
mendengar penjelasan itu, kata demi kata. Baginya apa yang dikatakan oleh Kiai
Gringsing itu cukup jelas. Tidak lain adalah permintaan yang serupa seperti
yang telah diucapkan. Pengampunan. Namun ternyata Kiai Gringsing mengucapkan
dalam nada yang berbeda. Meskipun demikian, ia masih tetap berdiri tegak dengan
pedang di dalam genggamannya siap untuk bertindak apabila keadaan memaksa.
Namun bagi
Sumangkar, kata-kata Kiai Gringsing itu benar-benar telah melemahkan segala
sendi tulangnya. Ia merasa seolah-olah dihadapkan pada sebuah cermin yang besar
untuk melihat dirinya sendiri. Kegugupan, kegelisahan, kecemasan, harga diri,
putus-asa dan segala perasaan bercampur baur sehingga ia tidak menemukan
keserasian nalar dan perasaan. Tiba-tiba orang tua itu menundukkan kepalanya.
Ia sadar, bahwa Kiai Gringsing pun telah
mencoba meredakan kemarahan Untara dan mencoba mencegah ia untuk melakukan
perbuatan-perbuatan yang dapat menyulitkan keadaan. Sesaat suasana kembali
menjadi sepi-senyap. Kembali di kejauhan terdengar suara burung hantu seperti
mengetuk-ngetuk dada. Dan malam pun serasa bertambah dalam.
“Adi
sumangkar,” kembali terdengar suara Kiai Gringsing.
“Bagaimana
kalau aku ulangi kata-kata Macan Kepatihan? Bahwa sepeninggalnya perselisihan
akan tidak berlangsung terus?”
Sumangkar
menganggukkan kepalanya. Jawabnya lirih,
“Ya, Kakang.”
“Nah, sekarang
marilah kita singkirkan perasaan harga diri kita masing-masing yang terlalu
berlebih-lebihan. Sekarang lakukan yang kau kehendaki. Menguburkan Tohpati
dengan baik menurut cara yang kau inginkan. Sesudah itu, kau akan kembali dan
persoalan akan selesai. Begitu?”
Sumangkar
menarik nafas dalam-dalam. Kata-kata Kiai Gringsing itu sama sekali tidak
berbeda dengan kata-kata Untara. Tetapi kini ia telah menjadi semakin menyadari
keadaannya. Bahkan kemudian ia berkata sambil membungkukkan kepalanya.
“Baik Kakang.
Aku akan menerima segala persoalan dengan senang hati. Kalau aku harus menerima
pengampunan, biarlah aku mengucapkan terima kasih kalau aku akan menerima
hukuman, biarlah hukuman itu akan aku jalani.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ketika ia melihat Untara akan mengucapkan sesuatu,
cepat-cepat ia mendahului,
“Sekarang,
bukankah Adi Sumangkar akan kau persilahkan membawa Raden Tohpati. Ngger?”
Untara
tertegun sejenak. Namun ia menganggukkan kepalanya. “Ya Kiai.”
“Dan kau akan
menerimanya kembali kelak?”
Kembali Untara
mengangguk, “Ya Kiai.”
“Bagus. Aku
bukan Panglima prajurit Pajang, bahkan seorang prajurit pun bukan. Tetapi, aku
yakin bahwa Angger Untara memang akan berbuat demikian.”
Hati Untara
itu pun menjadi luluh pula melihat sikap Sumangkar yang kini seakan-akan melepaskan
segala macam kepentingan sendiri. Bahkan harga dirinya sekalipun. Karena itu,
maka terdengar Untara itu pun kemudian berkata,
“Silahkan
Paman Sumangkar. Kesempatan itu akan Paman dapat seperti yang Paman kehendaki.”
Sekali lagi
Sumangkar menganggukkan kepalanya dalam-dalam. Katanya,
“Terima kasih.
Aku akan membawa angger Tohpati di antara anak buahnya. Aku akan mengucapkan
kembali kata-kata terakhirnya, bahwa kematiannya akan menjadi pertanda bahwa
perselisihan tidak akan berlangsung terus.”
Untara
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sesaat dadanya terasa bergetar. Ada yang akan
dikatakannya, namun ia menjadi bimbang. Namun setelah melalui beberapa
pertimbangan ia berkata,
“Demi
kakuasaan yang ada padaku Paman Sumangkar, aku akan memberikan pengampunan
kepada anak buah Macan Kepatihan yang dengan suka rela dan tulus menyerahkan
dirinya. Namun seterusnya aku akan melakukan tugasku sabaik-baiknya, apabila
ada di antara mereka yang menolak uluran tangan ini.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar