Jilid 012 Halaman 2


Agung Sedayu melihat beberapa orang terpaksa menyibak. Hudaya yang terluka itu pun terpaksa menjauh dari ayunan tongkat baja putih itu. Ia sama sekali tidak sekedar menyelamatkan nyawanya, tetapi dengan penuh kesadaran dan perhitungan, beberapa orang telah berusaha secara bersama-sama mengepung Macan Kepatihan yang sedang mengamuk.
“Hem,” desis Agung Sedayu. “Macan yang garang itu sampai di sayap ini pula.”
Sekali ia berpaling kepada Sanakeling. Betapa ia mengumpat di dalam hatinya. Sanakeling telah menjadi semakin jauh. Tanpa Agung Sedayu usahanya menjadi bertambah lancar. Berangsur-angsur ia membawa anak buahnya semakin jauh mendekati hutan yang berada tidak jauh lagi dari mereka.

Tetapi Agung sedayu tidak dapat membiarkan Macan Kepatihan merusak orang-orangnya di belakang garis peperangan. Karena itu, dengan serta merta ia meloncat surut dan langsung masuk ke dalam lingkaran pertempuran itu. Macan Kepatihan melihat Senapati di sayap kanan itu. Dengan serta merta ia menyerangnya. Namun Agung sedayu berhasil menghindarinya. Bahkan dengan kelincahannya ia segera menyerangnya kembali. Macan Kepatihan heran melihat kelincahan lawannya. Anak yang masih sangat muda ini. Tetapi hatinya yang telah menjadi semakin gelap telah mendorongnya untuk bertempur semakin garang. Dalam pada itu, Untara dan Widura  pun telah menjadi semakin dekat dengan lingkaran pertempuran antara Agung Sedayu dan Macan Kepatihan yang lukanya telah menjadi arang kranjang. Ketika mereka melihat, bahwa Agung Sedayu telah terlihat dalam pertempuran melawan Tohpati yang mengamuk itu, maka keduanya tertegun. Sesaat mereka berdua melihat, betapa Agung Sedayu mampu melawan Macan yang garang itu. Mereka melihat bahwa kelincahan dan ketangkasan anak muda itu benar-benar membanggakan. Namun dalam siasat dan tangguh, ternyata bahwa pengalaman Macan Kepatihan berlipat-lipat berada di atas Agung Sedayu. Untara dan Widura tidak terlalu lama membiarkan Agung Sedayu bertempur sendiri melawan Tohpati, mereka menyadari bahwa setiap gerak Macan Kepatihan mempunyai kemungkinan yang membahayakan jiwa Agung sedayu. Karena itu maka segera mereka berdua berloncatan maju. Tohpati melihat Untara dan Widura, maka segera ia melepaskan lawannya yang masih muda itu. Dengan cepatnya ia mencoba menyusup kembali ke tengah-tengah lawan. Ketika sebuah goresan yanq panjang menyilang di lambungnya. Macan Kepatihan sama sekali tidak menghiraukannya. Ternyata pedang Agung Sedayu masih sempat menyentuhnya, pada saat Tohpati berusaha menghindari Untara dan Widura, dan menambah segores lagi luka pada tubuh Senapati Jipang yang perkasa itu. Darah yang merah segera mengalir dari luka itu seperti darah yang mengalir dari luka-luka yang lain. Namun luka ini agaknya lebih dalam dari luka-luka yang telah lebih dahulu menghiasi tubuh Tohpati. Untara dan Widura melihat usaha menghindar itu, cepat mereka berusaha memotong arah. Tetapi mereka terkejut, ketika mereka tiba, sebuah pedang yang besar, dengan derasnya menyambar tubuh Macan Kepatihan itu. Macan Kepatihan  pun terkejut. Tak ada waktu baginya untuk menghindar. Karena itu, maka segera dilawannya pedang itu dengan tongkatnya. Terjadilah sebuah benturan yang dahsyat. Seolah-olah bunga api memercik ke udara dari titik benturan itu. Pedang yang berat itu terpantul. Terasa tangan yang menggerakkannya bergetar. Seakan-akan perasaan pedih menjalar dari tajam pedangnya menyengat tangannya. Tetapi pedang itu tidak terlepas dari tangan seperti beberapa saat yang lampau. Pedang itu masih tetap dalam genggaman dan bahkan sesaat kemudian pedang itu telah terayun-ayun kembali.

Sekali lagi Tohpati terkejut. Setelah ia meninggalkan Agung sedayu ditemuinya pula seorang anak muda yang mengherankan baginya. Seorang anak muda yang memiliki kekuatan raksasa. Ternyata dalam benturan itu tangan Tohpati pun bergetar meskipun tongkatnya tidak terpantul seperti pedang yang menghantamnya. Anak muda itu adalah seorang anak muda yang gemuk bulat. Ketika Tohpati menatap wajah anak muda itu, tampaklah sekilas wajah itu menyeringai menahan pedih, namun sesaat kemudiam wajah itu telah tersenyum.
“He kelinci bulat,” teriak Tohpati,
“kau ingin membunuh dirimu?”
Sambil tersenyum anak muda itu, yang tidak lain adalah Swandaru Geni menjawab,
“Jumlah lukamu seperti bintang yang melekat di langit. Tanpa dapat dihitung lagi. Apakah kau masih akan bertempur terus.”
Macan Kepatihan tidak menjawab. Tongkatnya dengan kerasnya terayun ke kepala Swandaru. Swandaru yang telah dapat mengukur kekuatan Macan Kepatihan segera menghindar. Ia tidak berani melawan pukulan tongkat itu dengan pedangnya. Demikian tongkat itu meluncur beberapa jari saja dari kepalanya, pedangnya segera terjulur lurus-lurus ke lambung lawannya. Tohpati yang tidak dapat mengenai lawannya melihat pedang itu cepat ia meloncat surut. Namun kembali ia terkejut, Agung Sedayu telah berada di sampingnya sambil menggerakkan pedangnya pula. Cepat Macan Kepatihan melontarkan diri jauh-jauh. Ia berusaha menghindari setiap senapati Pajang. la hanya ingin menahan arus desakan pasukan lawannya atas pasukannya yang sedang mundur. Namun tak teraba apa yang tersembunji di dalam hatinya. Berkali-kali terngiang di dalam dadanya,
“Serangan ini akan merupakan serangan terakhir bagiku.”
Tohpati itu pun kemudian mengayun-ayun tongkatnya sambil berloncatan di antara para prajurit Pajang. Kekacauan yang ditimbulkannya memang berpengaruh atas tekanan-tekanan pasukan Pajang. Sekali-sekali mereka terganggu pula karena hiruk pikuk yang ditimbulkan oleh amuk Tohpati. Sanakeling yang melihat betapa senapatinya telah terluka arang kranjang menjadi berdebar-debar. Betapapun juga, terasa luka itu seperti luka pada tubuhnya sendiri. Karena itu, maka ia berteriak,
“Raden, mundurlah. Kami akan melindungi.”
“Gila kau Sanakeling,” teriak Tohpati yang bertempur tidak demikian jauh dari Sanakeling yang sedang menyelamatkan anak buahnya.
“Kalau kau gagal, kepalamu menjadi taruhan. Bukan kau yang melindungi kalian. Selamatkan orang-orangmu. Jangan keras kepala.”
Sanakeling tidak menjawab. Tetapi ia berdesah hati. Apalagi ketika dilihatnya Macan Kepatihan kemudian menjadi semakin lemah. Meskipun demikian, tandangnya justru menjadi semakin garang.

Laskar Jipang itu semakin lama menjadi semakin dekat dengan batas hutan. Di sana-sini telah bertebaran gerumbul-gerumbul liar. Ternyata keadaan medan telah memberikan sedikit perlindungan kepada sisa pasukan Jipang itu. Sesaat lagi mereka telah sampai ke batas hutan, dan sesaat lagi matahari pun akan tenggelam di bawah cakrawala. Tetapi waktu yang sesaat itu adalah waktu yang menentukan bagi Macan Kepatihan sendiri yang mati-matian mencoba melindungi anak buahnya sejauh-jauh yang dapat dilakukan. Setiap kali goresan-goresan ditubuhnya itu bertambah-tambah juga. Setiap kali ia menghindari seorang Senapati Pajang, maka setiap kali ditemuinya Senapati yang lain, seakan-akan segenap jalan telah tertutup rapat baginya. Untara, Widura, Agung Sedayu dan anak yang gemuk bulat itu. Anak yang mewakili anak-anak muda Sangkal Putung. Tidak seperti dalam pertempuran yang terdahulu, maka kini Swandaru telah memiliki bekal dari gurunya, Kiai Gringsing meskipun belum setinggi Agung Sedayu. Macan Kepatihan melihat bahwa kemungkinannya untuk menghindar telah tertutup rapat-rapat. Tetapi ia melihat juga, bahwa pasukannya telah hampir mencapai ujung hutan dan bahkan ia melihat juga bahwa warna merah di langit sudah menjadi semakin suram. Setiap pemimpin kelompok prajurit Pajang telah berusaha untuk memperlambat gerakan mundur pasukan Jipang. Tetapi setiap kali usaha mereka terganggu oleh hiruk pikuk yang ditimbulkan oleh Tohpati dan beberapa orang yang terlalu setia kepadanya. Meskipun satu demi satu orang-orang itu terpaksa menjadi korban. Namun beberapa langkah lagi, pertempuran itu telah sampai di batas hutan. Batas yang menentukan, bahwa pasukan Jipang telah berhasil dalam gerakan menghindarkan diri dari kehancuran mutlak meskipun untuk tujuan itu, korban harus berjatuhan.

Dalam pada itu Macan Kepatihan masih juga berjuang sekuat-kuat tenaganya. Dalam hiruk-pikuk yang semakin riuh, dalam ketegangan yang semakin memuncak sejalan dengan jarak hutan yang semakin pendek dan matahari yang semakin rendah, betapa Macan Kepatihan harus berjuang melawan prajurit-prajurit Pajang yang berkerumun di sekitarnya seperti semut mengerumuni gula. Namun sekali-kali lingkaran prajurit Pajang itu menebar apabila tongkat Tohpati terayun berputaran. Tetapi Widura, Untara, Agung Sedayu dan Swandaru tidak turut berpencaran mundur. Mereka siap menunggu setiap kemungkinan dengan pedang di tangan mereka. Setiap kali Macan Kepatihan meloncat ke salah seorang dari mereka, maka pedang di dalam genggaman menyambutnya dengan penuh gairah. Dan setiap kali pula tubuh Tohpati menjadi bertambah rapat dihiasi dengan luka-luka yang mengalirkan darahnya yang merah. Seakan-akan warna merah bara yang menyala. Tetapi tubuh Tohpati itu adalah tubuh yang terdiri dari kulit daging dan tulang. Betapa besar tekad yang menyala di dalam dadanya, namun kekuatan tubuhnya ternyata sangat terbatas sebagai tubuh manusia biasa. Sehingga semakin lama, Macan yang garang itu  pun menjadi semakin lemah, meskipun tekadnya sama sekali tidak surut. Sumangkar menyaksikan semuanya itu dari jarak yang semakin dekat. Sumangkar sendiri kini berdiri di batas hutan, di atas sebongkah batu padas. Sekali-sekali wajahnya menjadi tegang, dan sekali-sekali ia memalingkan wajahnya. Meskipun warna-warna senja telah menjadi suram, namun Sumangkar yang tua itu masih dapat menyaksikan betapa Macan Kepatihan mengamuk seperti harimau lapar. Tetapi di sekitarnya berdiri senapati-senapati Pajang, Untara, Widura, Agung Sedayu dan Swandaru. Meskipun keempat orang itu ternyata telah dikekang oleh kejantanan mereka sehingga mereka tidak bertempur berpasangan bersama-sama. Dan bahkan seakan-akan mereka menunggu dengan tekunnya, siapakah di antara mereka yang dipilih oleh Macan Kepatihan itu melawannya. Namun Tohpati tidak segera berbuat demikian. Ia masih saja berusaha untuk melepaskan dirinya dan berjuang di antara hiruk-pikuk pasukan-pasukan Pajang, meskipun ternyata usahanya sia-sia.

Tetapi tiba-tiba gerak Tohpati itu terhenti. Ditegakkannya lehernya tinggi-tinggi. Ia masih melihat pasukan yang bertempur itu susut seperti air yang tergenang dan tiba-tiba mendapatkan saluran untuk mengalir. Bahkan seolah-olah seluruh pasukan yang bertempur itu terhisap masuk ke dalam hutan. Hati Tohpati itu berdesir. Tiba-tiba terdengar ia berteriak,
“Hei, apakah kalian berhasil?”
Tak ada jawaban. Tetapi dengan demikian Tohpati itu yakin bahwa pasukannya telah berhasil menyelamatkan diri ke dalam hutan itu. Apalagi matahari telah sedemikian rendahnya sehingga di dalam hutan itu pasti sudah menjadi semakin gelap. Terdengarlah kemudian suara tertawa Tohpati itu meledak. Berkepanjangan seperti gelombang laut menempa pantai, beruntun bergulung-gulung berkepanjangan. Di antara derai tertawanya terdengar kata-katanya,
“Bagus. Bagus. Kalian telah berhasil.”
Untara, Widura, Agung Sedayu dan Swandaru melihat pula pasukan Jipang yang berhasil melepaskan diri itu. Terdengar gigi mereka gemeretak. Hampir-hampir mereka berloncatan mengejar pasukan yang berlari itu. Tetapi kesadaran mereka, bahwa hal itu tidak akan berarti sama sekali, telah mencegah mereka. Dan bahkan kemudian mereka menyadari, bahwa di antara mereka masih berdiri senapati Jipang yang terpercaya, Macan Kepatihan. Keempat senapati Pajang itu berdiri mematung. Ujung-ujung pedang mereka lurus-lurus terarah kepada Macan Kepatihan yang masih saja tertawa terbahak-bahak. Seakan-akan sama sekali tidak dilihatnya keempat Senapati yang berdiri mengitarinya. Untara. Widura, Agung Sedayu dan Swandaru itu pun belum juga mengganggunya. Dibiarkannya Macan Kepatihan itu tertawa sepuas-puasnya. Baru ketika suara tertawa itu mereda, mereka berempat seperti berjanji maju beberapa langkah mendekati. Tohpati itu pun kemudian tersadar bahwa ia masih berada dalam kepungan. Apalagi terasa olehnya bahwa darahnya telah terlampau banyak mengalir. Namun ia adalah seorang Senapati. Karena itu dengan lantang ia berkata,
“Ayo, inilah Macan Kepatihan. Majulah bersama-sama hai orang-orang Pajang.”

Untara mengerutkan alisnya. Ketika ia memandangi keadaan di sekelilingnya, dilihatnya beberapa orang prajurit masih berdiri mengerumuninya, selain mereka yang berusaha mengejar prajurit Jipang ke dalam hutan, yang pasti tidak akan banyak hasilnya. Tetapi dalam keadaan yang demikian, terasa seakan-akan ia tidak sedang berada dalam peperangan yang masing-masing telah memasang gelar yang sempurna. Kini, ia merasa seakan-akan ia berhadapan seorang dengan seorang. Untara dan Macan Kepatihan. Karena itu, maka Untara itu pun melangkah maju sambil berkata,
“Kakang Tohpati. Kalau Kakang bertempur seorang diri, maka salah seorang dari kami pun akan melayani seorang diri pula.”
Tohpati mengerutkan keningnya. Kemudian terdengar ia menggeram. Namun di dalam hatinya terbersitlah perasaan hormatnya kepada senapati muda ini. Dalam peperangan sebenarnya Untara dapat menempuh jalan lain untuk membunuhnya. Ia dapat memerintahkan setiap orang dan senapati bawahannya untuk membunuhnya beramai-ramai. Tetapi Untara tidak berbuat demikian. Ia masih menghargai nilai-nilai keperwiraan orang-seorang, sehingga betapa berat akibatnya, ia menyediakan diri untuk melakukan perang tanding.
Macan Kepatihan itu tidak segera menjawab. Perlahan-lahan ia memandang seorang demi seorang. Untara, Widura, Agung Sedayu dan Swandaru. Ketika mata Tohpati hinggap pada anak muda yang bertubuh bulat itu hati Untara menjadi berdebar-debar. Barulah disadari kesalahannya. Ia tidak dengan tegas menawarkan dirinya sendiri untuk menghadapi Tohpati, tetapi ia memberi kesempatan kepada Macan Kepatihan untuk memilih lawan. Apabila kemudian Macan Kepatihan itu memilih Swandaru atau Agung Sedayu sekalipun maka keadaan anak-anak muda itu pasti akan sangat mengkhawatirkan. Meskipun Tohpati sudah bermandikan darah karena luka-luka pada seluruh tubuhnya, namun tandangnya masih saja segarang Macan Kepatihan pada saat ia terjun di dalam arena peperangan itu. Tetapi agaknya Swandaru sama sekali tidak menginsyafi bahaya itu. Ketika Tohpati memandangnya dengan tajamnya, anak muda itu tersenyum. Senyum yang hampir-hampir tak pernah hilang dari bibirnya. Ia kini sama sekali tidak takut menghadapi harimau yang garang itu. Bahkan ia ingin tahu, mencoba, sampai di mana kemampuannya setelah ia berguru kepada Kyai Gringsing. Tetapi Tohpati bukan seorang yang licik. Ia tidak dapat merendahkan harga dirinya, sebagaimana Untara telah bersikap jantan pula kepadanya. Ia tahu benar, bahwa yang paling lemah dari mereka berempat adalah anak yang gemuk bulat itu. Tetapi dengan lantang ia menjawab,
“Baik Adi Untara. Kalau kau menawarkan lawan, baiklah aku memilih. Orang yang aku pilih adalah Adi sendiri. Untara, senapati Pajang yang mendapat kepercayaan untuk menyelesaikan sisa-sisa pasukan Jipang di Lereng Gunung Merapi.”

Hati Untara berdesir mendengar jawaban itu. Sebagaimana Tohpati merasa hormat akan keputusannya untuk melakukan perang tanding, maka Untara  pun menganggukkan kepalanya sebagai ungkapan perasaan hormatnya.
“Terima kasih,” sambutnya. “Aku telah bersedia.”
Tohpati mengangguk-anggukkan kepalanya. Selangkah ia maju menghadap kepada Untara. Sementara Untara maju pula, mendekatinya. Dalam pada itu Untara masih sempat berbisik kepada Widura,
“Paman, tariklah seluruh pasukan. Sangat berbahaya untuk bekejar-kejaran di dalam hutan yang kurang kita kenal.”
Widura mengangguk. Tetapi ia tidak mau meninggalkan perang tanding itu. Karena itu, diperintahkannya seorang penghubung untuk memukul tanda, dan memerintahkannya supaya Hudaya menghimpun kembali segenap pasukan. Sementara itu, Untara kini telah siap menghadapi setiap kemungkinan. Tohpati  pun telah berdiri dengan kaki renggang menghadapi senapati muda itu. Tongkatnya erat tergenggam di tangannya yang telah basah oleh darah. Seleret-seleret warna merah tergores pula pada tongkat baja putihnya. Pada saat-saat tongkat itu menyambar kening lawan, maka darah yang terpercik daripadanya pasti membasahi tongkatnya pula.
“Ayo, mulailah Untara. Senja telah hampir menjelang kelam. Kita selesaikan, persoalan di antara kita sebelum malam,” geram Tohpati.
Untara tidak menjawab. Ia melangkah selangkah lagi maju. Pedangnya segera menunduk tepat mengarah ke dada lawannya. Dalam pada itu, Tohpati tidak menunggu lebih lama lagi. Segera ia meloncat menyerang dengan sebuah ayunan tongkat baja putihnya. Meskipun lukanya arang kranjang, namun kecepatannya bergerak masih belum susut barang serambutpun. Untara yang telah bersiap menghadapi kemungkinan itu, dengan cepatnya menghindarkan diri. Bahkan pedangnya pun segera terjulur mematuk lambung. Namun Tohpati masih sempat pula mengelakkan dirinya. Kini mereka terlihat dalam perang tanding yang dahsyat. Tohpati memeras ilmunya dalam kemungkinan yang terakhir. Disadarinya bahwa Untara adalah seorang senapati yang pilih tanding. Dalam keadaan yang sempurna pun ia tidak akan dapat mengalahkannya, apalagi kini. Darahnya telah menetes dari luka, dan keringatnya pun seolah-olah telah kering terperas. Tetapi ia adalah seorang senapati besar yang sadar akan kebesaran dan harga dirinya sebagai seorang laki-laki jantan.

Meskipun senja telah menjadi semakin suram namun Sumangkar masih dapat melihat apa yang terjadi di tengah-tengah arena itu. Ia melihat dari daerah yang lebih kelam karena dedaunan. Bahkan kemudian ia tidak puas melihat peristiwa itu dari tempatnya. Tiba-tiba ia melompat turun dari bongkahan batu padas itu dan menyusur tepi hutan yang kegelapan maju semakin dekat. Di belakangnya Kyai Gringsing selalu mengikutinya. Ia tidak ingin melepaskan Sumangkar. Kalau-kalau orang itu berbuat sesuatu dengan tiba-tiba. Tetapi ternyata Sumangkar itu tidak langsung menuju ke arena. Beberapa langkah ia berhenti, dan kembali ia mencari tempat yang agak tinggi untuk menyaksikan perkelahian antara Macan Kepatihan dan Tohpati. Sedang Kyai Gringsing  pun tidak kalah nafsunya untuk melihat pertempuran itu, sehingga kemudian ia berdiri tepat di belakang Sumangkar. Dengan tegangnya Sumangkar mengikuti perkelahian itu. Selangkah demi selangkah dinilainya dengan seksama. Ia sama sekali tidak memperdulikan hiruk-pikuk para prajurit Pajang yang sedang berhimpun kembali, tidak jauh di hadapannya, namun para prajurit Pajang itu pun sama sekali tidak memperhatikannya, karena ujung malam yang turun perlahan-lahan, seperti kabut yang hitam merayap dari langit merata keseluruh permukaan bumi. Tetapi pertempuran antara Macan Kepatihan dan Untara masih berlangsung terus. Semakin lama semakin dahsyat. Sedang Sumangkar yang menyaksikan pertempuran itu pun menjadi semakin tegang. Tiba-tiba ketegangan Sumangkar itu pun memuncak. Kini ia berdiri di atas ujung kakinya dan dijulurkannya lehernya, supaya ia dapat melihat semakin jelas.
“Oh,” desahnya kemudian. Suaranya seolah-olah tersekat di kerongkongan, dan darahnya serasa berhenti mengalir. Diangkatnya kedua belah tangannya menutup wajahnya. Perlahan-lahan ia berpaling. Gumamnya perlahan-lahan dengan suara parau,
“Raden.”

Kyai Gringsing pun melihat apa yang terjadi. Ia melihat Tohpati menyerang dengan kekuatannya yang terakhir. Namun tubuh Untara yang masih segar sempat menghindarinya, tetapi ujung pedangnya dijulurkannya lurus-lurus tepat mengarah ke lambung lawannya. Tohpati yang sudah menjadi semakin lemah, kurang tepat memperhitungkan waktu. Ia terdorong oleh kekuatannya sendiri, dan langsung lambungnya tersobek oleh pedang Untara. Terdengar Tohpati menggeram pendek. Selangkah ia surut. sebuah luka yang dalam menganga pada lambungnya. Betapa kemarahannya membakar jantungnya, namun tiba-tiba terasa tulang-tulangnya seolah-olah terlepas dari tubuhnya. Meskipun demikian tanpa disadari oleh Untara, Macan Kepatihan melontarkan tongkatnya secepat petir menyambar di udara. Betapa Untara terkejut melihat sambaran tongkat baja putih berkepala tengkorak itu. Dengan kecepatan yang mungkin dilakukan ia merendahkan dirinya dan berusaha memukul tongkat itu dengan pedangnya. Tetapi demikian cepatnya sehingga ia tidak dapat melakukannya dengan sempurna. Pedangnya berhasil menyentuh kepala tongkat itu, tetapi dengan demikian ujung yang lain menyadi oleng dan dengan kerasnya memukul kening Untara. Untara yang sedang merendahkan diri itu terdorong mundur, dan sesaat ia kehilangan keseimbangan. Dengan kerasnya ia terbanting jatuh. Beberapa kali ia berguling. Matanya terasa menjadi gelap dan kepalanya menyadi sangat pening. Seakan-akan sebuah bintang di langit telah jatuh menimpanya. Namun ia masih cukup sadar. Ia sadar bahwa lawannya, Macan Kepatihan masih tegak berdiri di hadapannya. Karena itu cepat ia memusatkan kekuatannya dan meskipun dengan tertatih-tatih ia mencoba berdiri, bersiaga menghadapi segala kemungkinan yang dapat terjadi atasnya. Tetapi kini ia sudah tidak menggenggam pedang lagi. Pedangnya terpelanting dari tangannya, pada saat ia jatuh berguling di tanah. Meskipun demikian terasa kening Untara masih sedemikian sakitnya. Bintik-bintik putih seolah-olah berterbangan di dalam rongga matanya. Beratus-ratus bahkan beribu-ribu. Karena itu maka dengan sekuat tenaganya, ia mencoba untuk menembus keremangan ujung malam dengan pandangan matanya yang kabur. Untara itu melihat Tohpati maju selangkah mendekatinya. Namun tiba-tiba ia terhuyung-huyung. Sesaat kemudian Macan yang garang itu terjatuh pada lututnya dan mencoba menahan tubuhnya dengan kedua tangannya. Untara masih tetap berdiri di tempatnya. Sekilas matanya menyambar orang-orang yang berdiri mengitarinya. Widura, Agung Sedaju, Swandaru Geni dan kini beberapa orang lain telah hadir pula. Ki Demang Sangkal Putung dan beberapa orang pemimpin kelompok. Ketika ia kembali memandangi Tohpati, maka dilihatnya orang itu menjadi semakin lemah.

Sesaat tepi hutan itu dicengkam oleh kesepian. Kesepian yang tegang. Desir angin di dedaunan terdengar seperti tembang megatruh yang menawan hati. Sayup-sayup di kejauhan suara burung hantu terputus-putus seperti sedu sedan yang pedih, sepedih hati biyung kehilangan anaknya di medan peperangan. Dalam kesenyapan itu, tiba-tiba terdengar suara Tohpati bergetar di antara desah angin malam yang lirih,
“Adi Untara, aku mengakui kemenanganmu.”
Dada Untara berdesir mendengar suara itu. Bukan saja Untara, tetapi juga Widura, Agung Sedaju, Swandaru, Ki Demang Sangkal Putung dan beberapa orang yang lain. Namun di antara mereka yang paling dalam merasakan sentuhan suara itu adalah Untara sendiri, sehingga justru sesaat ia diam mematung. la tersadar ketika sekali lagi Tohpati berkata dengan suaranya yang parau dalam,
“Aku mengucapkan selamat atas kemenangan ini Adi Untara.”
Untara tidak dapat menahan hatinya lagi mendengar pengakuan yang jujur itu. Pengakuan dari seorang Senapati jantan dari Jipang. Karena itu, maka beberapa langkah ia maju mendekati Macan Kepatihan yang sudah menjadi sangat lemas.
“Kakang Tohpati …,” terdengar suara Untara patah-patah,
“maafkan aku.”
Tohpati menggeleng,
“Jangan berkata demikian Untara. Berkatalah dengan nada seorang Senapati yang menang dalam peperangan. Supaya aku puas mengalami kekalahan ini.”
Untara terdiam. Ia tidak tahu apa yang akan diucapkannya. Karena itu kembali ia mematung. Matanya tajam-tajam menembus malam yang semakin gelap, hinggap pada tubuh yang sudah menjadi kian lemah dan lemah. Perlahan-lahan Tohpati terduduk di tanah. Bahkan kemudian terdengar ia menggeram,
“Aku akan mati.”
Untara maju selangkah lagi. Ia melihat dengan wajah yang tegang Tohpati menjatuhkan dirinya, terlentang sambil menahan desah yang kadang-kadang terlontar dari mulutnya.

Sumangkar melihat Tohpati itu terbujur di tanah, dalam hatinya terasa menjadi sangat pedih. Anak itu bukan anaknya, bukan muridnya, tetapi ia telah berada dalam satu lingkungan yang sama-sama dialami. Pahit, manis dan lebih-lebih lagi ia adalah murid saudara seperguruannya. Harapan sebagai penerus ilmu perguruan Kedung Jati. Tetapi anak itu kini terbujur dengan darah yang mengalir dan luka-lukanya yang arang kranjang. Darah Sumangkar itu pun tiba-tiba bergelora. Dengan tangkasnya la meloncat turun dari bongkahan batu padas sambil menggeram,
“Celaka aku, Kyai…”
Kyai Gringsing terkejut melihat sikap itu, sehingga untuk sesaat ia masih berdiam diri. Namun lamat-lamat ia melihat wajah Sumangkar yang kosong memancarkan perasaan putus asa.
“Kyai,” berkata Sumangkar pula,
“tak ada yang menahan aku untuk hidup terus. Karena itu, marilah kita membuat perhitungan terakhir. Perhitungan orang-orang tua.”
Kyai Gringsing menarik nafas dalam-dalam, tetapi ia belum beranjak dari tempatnya. Bahkan ia masih sempat berpaling dan melihat Untara, Widura, Agung Sedayu dan Swandaru beserta beberapa orang lain berlutut di samping Macan Kepatihan yang nafasnya seakan-akan tinggal tersangkut di ujung kerongkongannya.
“He Kyai,” panggil Sumangkar,
“turunlah. Kita bertempur seorang lawan seorang. Antarkan aku menemani Angger Macan Kepatihan”
Sekali lagi Kyai Gringsing memandangi orang-orang yang berdiri mengerumuni Macan Kepatihan dan orang yang berlutut di sekitarnya. Ternyata tak seorang pun di antara mereka yang mendengar kata-kata Sumangkar, sehingga mereka berdua masih tetap belum dilihat oleh mereka. Namun Kyai Gringsing masih belum bergerak. Tetapi ia menjadi kian berhati-hati. Ketika dilihatnya Sumangkar menggenggam tongkatnya semakin erat pada pangkalnya siap untuk digunakannya. Dan apa yang disangkanya itu terjadi. Ketika Kyai Gringsing tidak juga mau turun dari bongkahan batu padas, tiba-tiba Sumangkar berkata,
“Baiklah kalau Kyai tidak mau mulai. Aku yang akan mulai. Terserahlah kepadamu apakah kau bersedia untuk melawan dan membunuhku, atau aku yang akan membunuhmu.”
Sumangkar tidak menunggu lebih lama lagi. Segera ia meloncat dan mengayunkan tongkatnya menyambar lutut Kyai Gringsing. Tetapi Kyai Gringsing telah bersiaga. Segera ia meloncat menghindar dan sekaligus melontar turun dari atas batu padas itu. Namun Sumangkar tidak melepaskannya. Dengan sebuah loncatan yang panjang dan cepat ia mengejarnya. Seperti orang kerasukan, tongkatnya terayun-ayun deras sekali menyambar-nyambar. Seolah-olah ia telah kehilangan segenap perhitungan dan pikirannya yang bening seperti Macan Kepatihan sendiri. Kyai Gringsing pun segera berloncatan menghindari. Dengan lincahnya ia melontar-lontarkan dirinya, menyusup di sela-sela putaran tongkat baja putih berkepala tengkorak yang bergerak secepat tatit. Tetapi Kyai Gringsing mampu bergerak melampaui kecepatan tongkat itu, sehingga berkali-kali ia masih saja dapat menghindari setiap serangan yang datang

Sumangkar benar-benar telah waringuten. Tongkatnya bergerak semakin lama semakin cepat, sehingga kemudian seolah-olah telah berubah menyadi gumpalan awan putih yang mengejar Kyai Gringsing kemana ia pergi. Gumpalan awan yang siap untuk menelannya dan menghancur-lumatkan. Serangan Sumangkar itu menyadi semakin lama semakin dahsyat seperti prahara yang mengamuk di padang-padang yang dengan dahsyatnya pula menghantam bukit-bukit dan lereng-lereng gunung. Namun Kyai Gringsing adalah lawan yang tangguh baginya. Dengan kecepatan yang melampaui kecepatan prahara, ia selalu mampu menghindari setiap serangan yang datang. Betapapun kalutnya otak Sumangkar, namun ia bukanlah seorang yang mudah kehilangan harga diri dan kejantanan. Usianya yang telah lanjut itu pun telah menuntunnya menjadi seorang yang dapat melikat sikap-sikap yang tidak wajar. Demikian pula kali ini. Beberapa kali ia mencoba meyakinkan dugaannya dengan memperketat serangan-serangannya atas Kyai Gringsing itu. Namun akhirnya ia yakin, bahwa Kyai Gringsing menghadapinya dalam sikap yang tidak wajar. Orang itu sama sekali tidak pernah membalasnya dengan serangan-serangan, tetapi orang itu hanya sekedar menghindari serangan-serangannya yang bahkan dapat berakibat maut. Karena itu, maka Betapapun gelap pikirannya, namun ia masih mampu untuk manilai sikap itu. Sehingga tiba-tiba ia menghentikan serangannya sambil berkata,
“Kyai, kenapa Kyai tidak melawan? Kenapa Kyai hanya sekedar menghindar dan meloncat surut? Apakah menurut anggapan Kyai, Sumangkar tidak cukup bernilai untuk berdiri sebagai lawan Kyai?”
Kyai Gringsing menarik nafas. Dengan dahi yang berkerut-kerut ia menjawab,
“Tidak. Sama sekali tidak. Aku menghargai Adi Sumangkar sebagai murid kedua dari perguruan Kedung Jati yang tak kalah nilainya dari Ki Patih Mantahun sendiri. Tetapi kini kau tidak sedang bertempur melawan Kyai Gringsing, sehingga karena itu aku tidak dapat melayanimu.”
“He,” Sumangkar terkejut.
“Kenapa aku kau anggap tidak sedang bertempur melawan Kyai Gringsing?”
Kyai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Dijawabnya,
“Adi Sumangkar. Ternyata kau tidak sedang bertempur, tetapi kini kau sedang membunuh dirimu karena itu aku tidak dapat menjadi alat untuk itu.”
Dada Sumangkar berdesir mendengar jawaban itu. Terasa sesuatu menyentuh langsung ke pusat jantungnya. Sekali terdengar ia menggeram, namun kemudian tangannya menjadi lemah. Tongkatnya kini tergantung lunglai pada tangan kanannya yang kendor. Perlahan-lahan terdengar ia bergumam,
“Hem, Kyai menebak tepat. Aku memang sedang membunuh diri, dan aku mengharap Kyai dapat membantuku.”
Kyai Gringsing menggelengkan kepalanya. Jawabnya,
“Tidak Adi Sumangkar. Aku tidak dapat melakukannya.”
“Aku tidak peduli. Kalau Kyai tidak mau membunuhku, maka jangan menyesal kalau aku yang membunuhmu.” Namun kata-kata Sumangkar itu sama sekali tidak meyakinkan. Tangannya masih tergantung lemah dan genggamannya atas senjatanya pun tidak bertambah erat.
“Adi Sumangkar,” berkata Kyai Gringsing.
“Apakah keputusanmu itu sudah kau pertimbangkan baik-baik.”
“Tentu,” Sahut Sumangkar. “Keputusanku tidak akan dapat berubah.”

Kyai Gringsing memandangi wajah Sumangkar tajam-tajam. Meskipun malam telah menjadi semakin kelam namun terasa oleh Kyai Gringsing, bahwa pada wajah Sumangkar benar-benar terbayang keputusasaan yang dalam.
“Adi,” berkata Kyai Gringsing,
“kenapa kau akan membunuh dirimu?”
“Aku telah jemu melihat kehidupan Kyai, hidupku, hidup orang-orang Jipang dan hidup kita semua.”
“Apakah Adi sudah berpikir jauh? Mungkin Adi ingin menghindari kepahitan yang mencengkeram jantung Adi, namun dengan jalan yang sama sekali salah. Macan Kepatihan telah mati terbunuh dalam peperangan sebagai seorang jantan. Tetapi bagaimana kata orang dengan Sumangkar? Murid kedua dari perguruan Kedung Jati?”
“Aku mati dalam peperangan melawan seorang sakti bernama Kyai Gringsing.”
Kyai Gringsing menggeleng.
“Tidak. Kesannya akan menjadi lain sekali. Sumangkar mati membunuh diri, itu pun terserah kepadamu Adi. Tetapi aku tidak dapat mendengar orang lain mengatakan, Kyai Gringsing-lah yang telah melakukan itu. Tidak. Aku bukan alat untuk membunuh diri.”
“Tak ada orang yang mengetahui, bahwa kau membunuh aku pada saat hatiku gelap.”
“Ada.”
“Siapa?”
“Hatiku sendiri”
“Persetan!” geram Sumangkar.
“Terserah kepadamu. Kalau kau tidak mau, maka aku akan membunuhmu.”
“Aku akan lari meninggalkan tempat ini sejauh-jauhnya. Kau pasti tidak akan dapat mengejar aku. Dan aku akan bersembunyi sampai terdengar kabar, bahwa Sumangkar telah mati. Entah ia membunuh diri, entah ia mati dikeroyok orang.”

Kembali dada Sumangkar menjadi bergelora. Terasa bahwa kata-kata Kyai Gringsing itu menyentuh langsung ke pusat jantungnya, sehingga karena itu ia diam sesaat mencoba memandangi wajah Kyai Gringsing yang seolah-olah ditabiri oleh sebuah selaput yang kelam. Yang terdengar kemudian adalah suara Kyai Gringsing kembali,
“Adi Sumangkar. Daripada Adi sibuk membunuh apakah tidak lebih baik Adi mencoba melihat, apakah Raden Tohpati itu masih hidup ataukah benar-benar sudah mati?”
“Tak ada gunanya,” geram sumangkar.
“Mungkin ada. Kalau ia masih hidup ia akan dapat memberi pesan kepada Adi.”
“Kalau ia sudah mati?”
“Adi akan dapat mengurusnya. Menguburkannya dengan baik sebagai murid dari kakak seperguruanmu.”
Kembali Sumangkar terdiam. Namun tiba-tiba ia berkata,
“Apakah Untara akan mengijinkan aku mendekatinya?”
“Aku sangka ia tidak akan berkeberatan.”
“Apakah Kyai yakin?”
“Ya.”
“Kalau ia menolak kehadiranku, maka aku akan tersinggung sekali karenanya. Padahal aku sama sekali tidak ingin membunuh lagi. Bahkan aku ingin terbunuh oleh siapapun.”
“Marilah kita pergi bersama.”
Sumangkar mengerutkan keningnya. Namun Kyai Gringsing seakan-akan tidak mempedulikannya lagi. Ia berjalan ke arah orang-orang yang berkerumun itu sambil bergumam,
“Marilah Adi.”
Sumangkar menjadi ragu-ragu sesaat. Tetapi kemudian ia pun melangkah di samping Kyai Gringsing, berjalan ke arah Macan Kepatihan terbaring.

Ketika kemudian beberapa orang mendengar langkahnya, mereka menjadi terkejut. Mereka segera bersiaga. Tetapi dalam pada itu terdengar Kyai Gringsing berkata,
“Aku, Tanu Metir.”
“Oh,” desah beberapa orang.
Untara, Agung Sedayu dan orang-orang lain pun mendengar suara itu. Serentak mereka mengangkat kepala mereka dan mencoba mengetahui arah suara yang melontar dari luar lingkaran orang-orang yang sedang berkerumun.
“Apakah itu Kyai Tanu Metir?” bertanya Untara.
“Ya,” sahut suara itu.
“Kyai datang tepat pada waktunya,” berkata Untara itu kemudian.
Kyai Gringsing sama sekali tidak tahu maksud kata-kata itu. Tetapi ia tidak bertanya lagi. Ia berjalan langsung manerobos beberapa orang yang menyibak, memberinya jalan. Namun beberapa orang itu bertanya-tanya di dalam hati mereka, siapakah orang yang berjalan bersama ki Tanu Metir itu? Demikian Agung Sedayu dan Swandaru melihat kedatangan Kyai Gringsing beserta Sumangkar, segera mereka berdiri. Diamatinya orang itu, dan terasa bahwa mereka pernah melihatnya. Namun yang pertama-tama menyebut namanya adalah Agung Sedayu. Dengan nada yang penuh kebimbangan ia berkata,
“Apakah paman ini paman Sumangkar?”
Sumangkar mengerutkan keningnya. Sekali ia berpaling memandang wajah anak muda itu dan kemudian jawabnya,
“Ya Ngger. Aku adalah Sumangkar.”
Dalam pada itu tanpa sesadarnya Untara  pun segera meloncat berdiri. Selangkah ia surut. Ditatapnya wajah itu dengan tajamnya. Ia pernah mengenalinya dahulu, sebelum terjadi persoalan antara Jipang dan Pajang, meskipun hanya sepintas. Tetapi bersamaan dengan pecahnya Jipang orang itu pun kemudan menghilang. Baru kemudian didengarnya, bahwa orang itu datang pada saat Macan Kepatihan hampir menghembuskan nafasnya yang terakhir. Kenapa ia tidak datang bersama pasukannya seperti yang mereka perhitungkan sejak semula?

Tetapi ketika Untara melihat kehadiran ki Tanu Metir bersama Sumangkar, maka hatinya menjadi agak tenang. Meskipun demikin ia masih tetap berdiri kaku di tempatnya. Melihat kecurigaan Untara, Sumangkar menarik nafas panjang-panjang. Timbullah kembali kecemasannya, seandainya tiba-tiba Untara itu mengusirnya, atau bahkan mencobanya untuk menangkap? Ia sama sekali sudah tidak berhasrat untuk bertempur, apalagi membunuh seseorang. Namun apabila hatinya tersinggung, maka hal itu akan dapat terjadi. Tetapi kemudian disadarinya bahwa Kyai Gringsing berdiri di sampingnya. Maka apabila terjadi demikian, ia mengharap Kyai Gringsing akan membunuhnya saja. Sesaat mereka dicengkam oleh kebekuan yang tegang. Masing-masing saling berpandangan dengan penuh kecurigaan. Kebekuan itu pun kemudian dipecahkan oleh sebuah gumam perlahan sekali.
“Siapakah yang datang?” suara itu adalah suara Tohpati.
Semua berpaling kepada yang terbaring diam. Hanya dadanya saja yang masih tampak bergelombang, menghembuskan nafas yang tidak teratur lagi.
Yang menjawab pertanyaan itu adalah Sumangkar.
“Aku Raden, pamanmu Sumangkar.”
“O,” desah Tohpati,
“apakah paman dapat mendekati aku?”
Sumangkar menjadi ragu-ragu. Ditatapnya wajah Untara, seolah-olah ia meminta ijin kepadanya.
Untara pun tidak segera mengatakan sesuatu. Seperti Sumangkar ia menjadi ragu-ragu. Bahkan kemudian ia berpaling kepada Ki Tanu Metir. Dalam keremangan malam ia melihat Ki Tanu Metir menganggukkan kepalanya, sehingga Untara itu pun kemudian berkata,
“Silahkan, Paman.”
“Terima kasih Ngger,” gumam Sumangkar, yang kemudian berjongkok di samping Macan Kepatihan.
Untara, Widura, Agung Sedayu, Swandaru dan beberapa orang lain masih berdiri di tempatnya. Mereka sadar bahwa Sumangkar adalah seorang yang tidak dapat diduga-duga kesaktiannya. Kalau tiba-tiba saja ia menggerakkan tongkat baja putihnya, maka akibatnya tidak dapat dibayangkan. Meskipun ada di antara mereka itu seorang yang bernama Kyai Gringsing, namun Kyai Gringsing pun pasti memerlukan waktu untuk mengatasi keadaan. Sedang dalam waktu yang tiba-tiba itu, pasti sudah jatuh korban di antara mereka.

Di samping Sumangkar itu, kemudian mereka melihat Kyai Gringsing berjongkok pula. Dengan saksama diamat-amatinya tubuh Tohpati yang arang kranjang itu.
“Paman Sumangkar,” terdengar suara Macan Kepatihan perlahan-lahan sekali.
Sumangkar itu menggeram. Tiba-tiba terasa tenggorokannya menjadi kering, ketika dilihatnya luka-luka yang tiada terhitung di tubuh murid kakak seperguruahnya itu.
“Angger,” desisnya,
“lukamu tiada terhitung jumlahnya. Kau telah berjuang untuk melindungi seluruh anak buahmu dengan mengorbankan dirimu sendiri.”
Macan Kepatihan mencoba untuk memperbaiki pernafasannya. Tetapi terasa bahwa nafas itu semakin lemah. Dalam pada itu tiba-tiba terdengar suara Untara di belakang Kyai Gringsing,
“Kyai, apakah Kyai masih melihat kemungkinan untuk mengobati kakang Tohpati?”
Kyai Gringsing mengerutkan keningnya. Namuh sebelum menjawab terdengar suara lemah Macan Kepatihan,
“Tak ada gunanya. Tak akan ada gunanya, karena aku sudah terlalu lemah. Bahkan seandainya mungkinpun, maka kesembuhanku akan berakibat tidak baik bagi keadaan.”
“Kenapa?” bertanya Untara.
“Kematianku adalah akhir daripada bencana yang menimpa rakyat Demak. Aku adalah sisa terakhir dari senapati yang mendapat kepercayaan para prajurit Jipang. Sepeninggalku aku mengharap bahwa mereka akan membuat pertimbangan-pertimbangan. Bukankah begitu paman Sumangkar?”
Sumangkar menganggukkan kepalanya. Jawabnya singkat, namun meluncur dari dasar hatinya.
“Ya Ngger.”
“Baik. Baik,” Macan Kepatihan meneruskan. Suaranya menjadi semakin lambat, sedang nafasnya menjadi semakin tak teratur. Kepada Untara kemudian ia berkata,
“Adi Untara. Di manakah kau?”
Untara itu melangkah maju. Ia sudah lupa akan setiap bahaya yang mengancamnya, apabila Sumangkar itu berbuat hal-hal di luar dugaan. Kini ia berjongkok dekat di samping kepala Macan kepatihan.
“Adi Untara, kau benar-benar seorang kesatria. Kau mampu melupakan dendam atas seseorang yang menghadapi saat-saat kematiannya. Jarang orang dapat berbuat seperti kau ini.”
Untara tidak menjawab. Dan didengarnya suara Macan kepatihan terputus-putus,
“Paman Sumangkar tidak bersalah. Orang itu tidak pernah turut bertanggung jawab dalam segala gerak dan perbuatan pasukan Jipang. Karena itu aku minta maaf untuknya.”
Untara menganggukkan kepalanya pula. Dari mulutnya demikian saja meluncur jawabnya,
“Ya. Paman Sumangkar tidak turut bertanggung jawab.”
“Seluruh tanggung jawab ada padaku Adi.”
“Ya,” sahut Untara.
“Angger,” tiba-tiba Sumangkar memotong,
“biarlah kita berbagai tanggung jawab. Kenapa aku tidak ikut bertanggung jawab pula atas segalanya yang telah terjadi?”
“Jangan membantah paman,” sahut Macan Kepatihan.
“Ini adalah kata-kataku terakhir.”

Sumangkar tertegun. Tetapi ia tidak berkata apapun. Dan didengarnya kemudian suara Macan kepatihan terputus-putus,
“Paman. Adakah paman dapat membantu aku?”
“Tentu Ngger, tentu,” sahut Sumangkar cepat-cepat.
“Terima kasih, Paman. Paman akan sudi menguburkan mayatku, apabila Adi Untara tidak berkeberatan. Mudah-mudahan kematianku menjadi pertanda bahwa tidak ada gunanya perselisihan ini akan berlangsung terus.”
Tohpati mencoba menarik nafas dalam-dalam, namun ia menjadi semakin lemah, semakin lemah. Getar darahnya pun semakin lama semakin menjadi lemah pula. Ketika ia mencoba memandangi orang-orang yang berdiri di sekelilingnya, maka yang dilihatnya hanyalah bayangan-bayangan hitam yang tidak dapat dikenalnya lagi.
“Paman,” desisnya.
Sumangkar beringsut maju semakin dekat. Dirabanya tangan Macan Kepatihan yang menjadi bertambah dingin.
“Adi Untara,” panggilnya lambat.
Untara  pun berkisar pula ke samping Sumangkar. Agaknya Tohpati ingin minta kepada mereka. Tetapi nafasnya menjadi semakin lamban.
“Angger,” panggil Sumangkar.
Terasa tangan Tohpati bergetar, dan mulutnya berdesis. Sumangkar segera meletakkn telinganya ke bibir murid kakak seperguruannya itu, dan didengarnya kata-kata terakhir.
“Mudah-mudahan Tuhan mengampuni aku.”
“Mohonlah Ngger. Mohonlah ampun.”
Tetapi Tohpati sudah tidak mampu menjawab. Kini matanya sudah berpejam dan nafasnya menjadi kian lemah. Sesaat kemudian tangannya tergerak sedikit dan nafasnya pun berhentilah untuk selama-lamanya.
“Angger,” desis Sumangkar.

Tetapi Tohpati tidak lagi dapat menyahut. Ketika Sumangkar itu kemudian yakin bahwa Macan Kepatihan yang garang itu sudah tidak dapat mendengar panggilannya, tiba-tiba ia menundukkan kepalanya dalam-dalam. Terasa sesuatu bergelora di dalam dadanya. Nafasnya sendiri serasa akan putus pula seperti nafas Macan Kepatihah itu. Sumangkar yang tua itu terkejut sendiri ketika terasa setetes air jatuh ke tangannya.
“Hem,” ia menarik nafas dalam-dalam.
“Anak, ini telah pergi mendahului aku.”
Suasana di pinggir hutan itu kemudian menjadi hening. Daun-daun pepohonan seolah-olah menundukkan tangkai mereka, dan angin berhenti berhembus. Di kejauhan terdengar suara burung hantu menyentuh ulu hati. Ngelangut. Mereka semuanya tersentak ketika mereka mendengar guruh meledak di udara, didahului oleh cahaya kilat yang memercik sekilas. Seperti berjanji mereka menengadahkan wajah-wajah mereka menatap langit. Dan kembali mereka terkejut ketika mereka melihat awan yang kelam menggantung di langit. Mendung yang seakan-akan siap untuk meluncur turun ke permukaan bumi.
“Adi Sumangkar,” terdengar suara Kiai Gringsing,
“bagaimana dengan Angger Macan Kepatihan?”
“Aku akan mencoba memenuhi pesannya, Kiai, apabila Angger Untara mengijinkannya.”
“Silahkan Paman,” sahut Untara.
“Aku akan segera kembali. Dan aku menunggu keputusan Angger atas diriku.”
Untara menggigit bibirnya. Kemudian katanya,
“Paman telah menunjukkan kesediaan Paman untuk tidak lagi berbuat hal-hal yang bakal merugikan Pajang. Karena itu, berdasarkan pertimbangan-pertimbangan bahwa Paman tidak turut serta bertanggung jawab atas segala tingkah laku pasukan Jipang, maka aku akan mencoba memohonkan ampun untuk Paman Sumangkar.”
Tiba-tiba Sumangkar menggelengkan kepalanya, katanya,
“Aku tidak ingin belas kasian. Aku tidak ingin mengingkari tanggung jawab yang betapapun beratnya, yang akan turut menentukan hukuman atasku.”
Untara mengerutkan keningnya. Katanya,
“Lalu apakah arti kata-kata Macan kepatihan pada saat terakhir ini?”
“Ia ingin membebankan kesalahan pada dirinya sendiri.”
“Kalau begitu Paman tidak ingin mengakui kebenaran kata­katanya. Sehingga Paman menolak setiap pemaafan?”
“Aku tidak ingin mendapatkan belas kasihan itu.”
“Kalau begitu apa maksud Paman sebenarnya? Apakah Paman akan mengambil alih pimpinan dari tangan Macan Kepatihan?” desak Untara.

Tiba-tiba Sumangkar berdiri. Dipandanginya wajah Untara yang telah berdiri pula di hadapamnya.
“Angger,” berkata Sumangkar yang hatinya sedang kelam seperti kelamnya langit.
“Aku telah berkata bahwa aku akan kembali dan akan menerima semua hukuman yang akan ditimpakan kepadaku. Kau tidak percaya? Apakah kau akan mencoba menangkap Sumangkar sekarang?”
“Paman,” terdengar suara Untara menjadi semakin berat. Sebagai seorang senapati muda maka ia tidak segera dapat mengatasi gelora di dalam dadanya sendiri. Hatinya benar-benar tersinggung ketika ia mendengar penolakan Sumangkar atas tawarannya uutuk mendapatkan keringanan hukuman dan pengampunan atas kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukannya. Karena itu sebagai seorang pengemban tugas ia berkata,
“Aku adalah Senapati Pajang yang mendapat kepercayaan di daerah ini. Aku telah mencoba melihat kebenaran dan kealpaan pada tempatnya sendiri-sendiri. Tetapi penolakan Paman sangat menyakitkan hati. Karena itu apakah aku harus meneruskan tindakan pengamanan dengan cara yang telah aku tempuh sampai saat ini terharap Macan Kepatihan?”
Sumangkar itu mundur selangkah. Tiba-tiba digenggamnya tongkat baja putihnya erat-erat. Dengan tajamnya dipandanginya wajah Untara. Dari sela-sela bibirnya yang gemetar ia berkata,
“Baik. Kalau itu yang kau inginkan Ngger. Silahkan. Aku bersedia menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi atasku. Umurku sudah lanjut, dan aku sudah jemu untuk melakukan perbuatan-perbuatan terkutuk di muka bumi ini. Karena itu, marilah. Apa yang akan kau lakukan atasku.”
Untara  pun tiba-tiba menggeram. Dari matanya seolah-olah memancar api kemarahan. Ia adalah senapati Pajang yang berwenang untuk melakukan kebijaksanaan di daerah ini. Karena itu, maka tanpa sesadarnya, ia memandang berkeliling. Kepada Widura, Agung Sedayu, Swandaru, dan kepada para pemimpin-pemimpin kelompok pasukannya. Sambaran mata Untara itu, seakan-akan merupakan perintah bagi mereka, bagi Widura, Agung Sedayu, Swandaru dan semua orang yang berdiri mengitari mereka serentak mereka bersiaga dan serentak pedang-pedang mereka siap untuk menerkam Sumangkar yang berdiri di tengah-tengah lingkaran manusia itu.

Tiba-tiba dalam ketegangan yang memuncak itu, terdengarlah suara tertawa. Perlahan-lahan, namun nadanya seakan-akan menghantam dinding jantung. Suara itu adalah suara Ki Tanu Metir, yang masih saja berada di tempatnya. Namun kini ia pun telah berdiri, menghadap ke arah Sumangkar. Di antara suara tertawanya yang perlahan-lahan itu terdengar ia berkata,
“Adi Sumangkar yang bijaksana. Apakah sebenarnya yang akan kau lakukan? Apakah kau masih ingin membunuh dirimu? Barangkali cara ini pun akan dapat kau tempuh. Mati dikeroyok orang. Apakah cara ini juga dapat memberi kepuasan kepadamu?”
“Tidak. Aku hanya bersedia mati oleh tangan Kiai Gringsing yang cukup bernilai bagiku. Bukan karena tangan anak-anak atau pun siapa saja. Sumangkar akan bertahan sampai kesempatan yang terakhir. Kecuali kalau kau ikut serta dengan mereka.”
Kembali suara tertawa Kiai Gringsing mengumandang di pinggiran hutan itu, seolah-olah menelusur sampai ke kaki bukit. Katanya,
“Untara. Naluri keprajuritan Adi Sumangkar masih terlalu tebal. Ia melihat murid kakak seperguruannya mati karena tusukan pedang. Ia melihat Macan Kepatihan bukan saja sebagai senapati yang dibanggakannya, tetapi Raden Tohpati adalah penerus dari perguruan Kedung Jati. Itulah sebabnya ia merasa kehilangan. Perasaan itu sedemikian menusuk hatinya, sehingga betapapun mengendapnya hati Adi Sumangkar, namun kadang-kadang ia kehilangan keseimbangan dalam kejutan yang tiba-tiba semacam ini. Harga dirinya sama sekali tidak tersentuh seandainya Macan Kepatihan itu tidak lebih dan tidak kurang dari panglima perangnya saja. Tetapi karena Macan kepatihan itu bersangkut-paut dengan perguruannya, maka ternyata sentuhan itu agak terlalu tajam baginya.”
Untara mendengar penjelasan itu, kata demi kata. Baginya apa yang dikatakan oleh Kiai Gringsing itu cukup jelas. Tidak lain adalah permintaan yang serupa seperti yang telah diucapkan. Pengampunan. Namun ternyata Kiai Gringsing mengucapkan dalam nada yang berbeda. Meskipun demikian, ia masih tetap berdiri tegak dengan pedang di dalam genggamannya siap untuk bertindak apabila keadaan memaksa.

Namun bagi Sumangkar, kata-kata Kiai Gringsing itu benar-benar telah melemahkan segala sendi tulangnya. Ia merasa seolah-olah dihadapkan pada sebuah cermin yang besar untuk melihat dirinya sendiri. Kegugupan, kegelisahan, kecemasan, harga diri, putus-asa dan segala perasaan bercampur baur sehingga ia tidak menemukan keserasian nalar dan perasaan. Tiba-tiba orang tua itu menundukkan kepalanya. Ia sadar, bahwa Kiai Gringsing  pun telah mencoba meredakan kemarahan Untara dan mencoba mencegah ia untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat menyulitkan keadaan. Sesaat suasana kembali menjadi sepi-senyap. Kembali di kejauhan terdengar suara burung hantu seperti mengetuk-ngetuk dada. Dan malam pun serasa bertambah dalam.
“Adi sumangkar,” kembali terdengar suara Kiai Gringsing.
“Bagaimana kalau aku ulangi kata-kata Macan Kepatihan? Bahwa sepeninggalnya perselisihan akan tidak berlangsung terus?”
Sumangkar menganggukkan kepalanya. Jawabnya lirih,
“Ya, Kakang.”
“Nah, sekarang marilah kita singkirkan perasaan harga diri kita masing-masing yang terlalu berlebih-lebihan. Sekarang lakukan yang kau kehendaki. Menguburkan Tohpati dengan baik menurut cara yang kau inginkan. Sesudah itu, kau akan kembali dan persoalan akan selesai. Begitu?”
Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Kata-kata Kiai Gringsing itu sama sekali tidak berbeda dengan kata-kata Untara. Tetapi kini ia telah menjadi semakin menyadari keadaannya. Bahkan kemudian ia berkata sambil membungkukkan kepalanya.
“Baik Kakang. Aku akan menerima segala persoalan dengan senang hati. Kalau aku harus menerima pengampunan, biarlah aku mengucapkan terima kasih kalau aku akan menerima hukuman, biarlah hukuman itu akan aku jalani.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Ketika ia melihat Untara akan mengucapkan sesuatu, cepat-cepat ia mendahului,
“Sekarang, bukankah Adi Sumangkar akan kau persilahkan membawa Raden Tohpati. Ngger?”
Untara tertegun sejenak. Namun ia menganggukkan kepalanya. “Ya Kiai.”
“Dan kau akan menerimanya kembali kelak?”
Kembali Untara mengangguk, “Ya Kiai.”
“Bagus. Aku bukan Panglima prajurit Pajang, bahkan seorang prajurit pun bukan. Tetapi, aku yakin bahwa Angger Untara memang akan berbuat demikian.”

Hati Untara itu pun menjadi luluh pula melihat sikap Sumangkar yang kini seakan-akan melepaskan segala macam kepentingan sendiri. Bahkan harga dirinya sekalipun. Karena itu, maka terdengar Untara itu pun kemudian berkata,
“Silahkan Paman Sumangkar. Kesempatan itu akan Paman dapat seperti yang Paman kehendaki.”
Sekali lagi Sumangkar menganggukkan kepalanya dalam-dalam. Katanya,
“Terima kasih. Aku akan membawa angger Tohpati di antara anak buahnya. Aku akan mengucapkan kembali kata-kata terakhirnya, bahwa kematiannya akan menjadi pertanda bahwa perselisihan tidak akan berlangsung terus.”

Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Sesaat dadanya terasa bergetar. Ada yang akan dikatakannya, namun ia menjadi bimbang. Namun setelah melalui beberapa pertimbangan ia berkata,
“Demi kakuasaan yang ada padaku Paman Sumangkar, aku akan memberikan pengampunan kepada anak buah Macan Kepatihan yang dengan suka rela dan tulus menyerahkan dirinya. Namun seterusnya aku akan melakukan tugasku sabaik-baiknya, apabila ada di antara mereka yang menolak uluran tangan ini.”


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar