Jilid 005 Halaman 1


KEMBALI terdengar tepuk tangan yang gemuruh. Orang-orang yang berdiri berkeliling itu tak akan mau dikecewakan. Mereka benar-benar ingin menyaksikan pertandingan yang pasti akan menyenangkan sekali. Orang-orang itu pun kemudian diam kembali ketika Widura berkata pula,
“Nah, aku sangka Sidanti ingin mengulangi permainan panah seperti yang telah dilakukannya, bersama-sama Agung Sedayu”
“Ya kakang” sahut Sidanti.
Kini Widura memandangi wajah Agung Sedayu. Dilihatnya beberapa titik keringat membasahi keningnya. Namun kali ini Widura sengaja ingin memaksa Agung Sedayu agar berbuat sesuatu yang dapat mendorong dirinya untuk lebih percaya kepada kemampuan diri. Karena itu maka katanya,
“Agung Sedayu, biarlah kau melakukannya. Tak ada persoalan apapun. Permainan ini hanya sekedar kelanjutan dari keinginan orang-orang Sangkal Putung mengenalmu. Sedangkan Sidanti ingin pula memperkenalkan dirinya lebih banyak lagi. Bukankah dengan kawan bermain yang lebih baik, akan lebih banyak permainan-permainan yang dapat dipertunjukkan? Bukan hanya sekedar menyamai atau melampaui sedikit kemampuan-kemampuan Hudaya atau Citra Gati”
Hudaya dan Citra Gati yang berdiri di belakang Widura pun tersenyum masam. Namun mereka tidak marah. Bahkan mereka menjadi bersenang hati, bahwa Widura memberi kesempatan kepada kemenakannya untuk melakukan pertandingan meskipun hanya memanah saja. Kata-kata pamannya itu terasa sedikit dapat menyejukkan hati Agung Sedayu. Bukankah dengan demikian, pamannya akan menjaminnya untuk seterusnya, apabila ada akibat dari permainan ini? Seandainya ia melampaui Sidanti, sedang Sidanti itu kemudian marah kepadanya, bukankah itu menjadi tanggung jawab pamannya? karena itu, terdorong pula oleh keadaan yang telah menyudutkannya, maka Agung Sedayu tidak dapat berbuat lain. Dengan ragu-ragu ia menganggukkan kepalanya. Katanya lirih,
“Baiklah paman. Kalau paman menghendaki”
Widura tersenyum. Baru kali ini sejak beberapa hari pamannya itu tersenyum kepadanya. Karena itu hati Agung Sedayu itu pun menjadi bertambah besar pula.
“Nah, baiklah kita berikan tempat kepada mereka berdua” berkata Widura.
Maka orang-orang yang melingkari mereka itu pun kemudian berlari-larian menyibak. Sedang Swandaru menjadi bergembira pula. segera ia pun berlari-lari pula berkeliling lapangan untuk memungut panah-panahnya yang berserakan di sekitar orang-orangan yang telah dilepas kepalanya. Tetapi kemudian Widura menjadi sulit menentukan sasaran. Tidak menarik lagi apabila mereka berdua harus mengenai orang-orangan itu, walau pun diayunkannya sekali. Mereka pasti akan dengan mudah dapat mengenainya. Dalam pada itu tiba-tiba berkatalah Swandaru,
“Paman Widura, pertandingan ini baru dapat dimulai, seandainya kakang Sidanti mampu berbuat seperti yang dilakukan oleh anak muda itu. Mengenai sasaran tiga kali berturut-turut di udara”
Widura mengerutkan keningnya. Kata-katanya itu benar juga, tetapi belum seorang pun yang melihat, Agung Sedayu melakukannya selain Swandaru. Karena itu Widura ingin berbuat adil. Kedua-duanya harus mulai dengan sasaran dan kesempatan yang sama. Maka katanya,
“Swandaru, apakah sasaran orang-orangan itu masih ada?”
“Masih paman” jawab Swandaru.
“Nah, ambillah bandulnya. Ikatlah bandul itu dengan tali yang agak panjang”

Swandaru belum tahu benar maksud Widura. meskipun demikian ia berjalan juga mengambil vandul orang-orangan yang masih terletak di ujung lapangan. Kemudian diambilnya sisa-sisa tali yang masih terserak-serak di sana-sini. Dengan tali itu maka bandul itu pun diikatnya.
“Sudahkah bandul itu kau ikat dengan tali?” bertanya Sonya.
Swandaru mangangguk. Jawabnya,
“Bagaimanakah maksud paman Widura dengan bandul ini?”
“Peganglah ujung talinya dan putarlah bandul itu di atas kepalamu” Sahut Sonya.
“Ah” jawab Swandaru perlahan-lahan.
“Jangan aku. Sidanti itu dapat membidikkan panahnya ke arah perutku”
Sonya tersenyum. Katanya,
“Mereka adalah pemanah-pemanah yang baik. Mereka pasti tidak akan mengenaimu”
Swandaru menggeleng.
“Peganglah” jawabnya,
“Kalau mereka membidik sasaran itu, maka sasaran itulah yang akan dikenainya. Tetapi kalau Sidanti itu membidik perutku?”
“Marilah” jawab Sonya,
“Berikanlah bandul itu, biarlah perutku yang dibidiknya”
Maka kini Sonyalah yang memegang sasaran itu. Dipegangnya ujung tali yang lain, dan diputarnya bandul itu di atas kepalanya dalam lingkaran yang berjari-jari sepanjang tali yang lebih dari sedepa panjangnya, mendatar. Swandaru itu pun kemudian berlari-lari menepi, bahkan kemudian didekatinya Agung Sedayu yang telah memegang busurnya dan beberapa anak panah di dalam endongnya.
“Masing-masing mendapat kesempatan tiga kali” berkata Widura ketika mereka sudah hampir mulai,
“Sampai hitungan kelima belas”
Sidanti pun telah mempersiapkan busurnya pula. dengan wajah tegang ia mengikuti bandul yang berputar di atas kepala Sonya. Ketika Widura mulai dengan hitungan pertama, maka Sidanti lah yang lebih dahulu mengangkat busurnya. Sesaat kemudian terbanglah anak panahnya yang pertama, disambut dengan sorak sorai penonton di sekitar lapangan. Anak panah itu tepat mengenai sasarannya langsung ikut berputar pula dengan bandul itu. Dengan sudut matanya Sidanti melihat tangan Agung Sedayu. Dan tangan itu pun telah bergerak pua. Dan meluncurlah anak panah Agung Sedayu. Kali ini pun para penonton bersorak bergemuruh. Anak panah Agung Sedayu pun hinggap pula pada sasarannya. Sidanti itu pun menarik nafas panjang. Ia mengumpat di dalam hatinya,
“Setan itu mampu juga mengenainya”

Tetapi hitungan Widura sudah sampai yang keenam. Karena itu maka Sidanti itu pun sekali lagi mengangkat busurnya, dan sekali lagi anak panahnya meloncat dari busurnya. Kali ini pun anak panah Sidanti itu tepat mengenai sasarannya, dan karena itu maka para penonton pun menjadi semakin riuh, bersorak dan bertepuk tangan. Dan sorak sorai itu menjadi semakin membahana ketika anak panah Agung Sedayu seakan-akan tanpa mereka lihat, demikian saja telah melekat pada sasaran itu pula. agaknya ketika mereka dang asyik dengan anak panah Sidanti, Agung Sedayu pun telah melepaskan anak panahnya yang kedua. Sekali lagi Sidanti mengumpat pula. Katanya dalam hati,
“Aku harus mengenai untuk yang ketiga kalinya. Kalau anak itu mampu pula mengenai tiga kali, maka harus ditempuh cara yang lain untuk menentukan siapakah di antara kita yang akan menjadi pemanah terbaik”
Tetapi Sidanti itu menjadi terkejut. Tiba-tiba meledaklah sorak para penonton seperti akan meruntuhkan langit. Ketika ia mengangkat wajahnya, dilihatnya sebuah anak panah lagi telah ikut serta dalam putaran bandul di atas kepala Sonya. Agaknya dengan cepat Agung Sedayu telah melepaskan anak panahnya yang ketiga.
“Gila” desisnya. Ketika itu ia mendengar Widura sudah mencapai hitungan yang kesebelas. Dengan hati-hati Sidanti mengangkat busurnya. Kali ini ia harus benar-benar dapat mengenainya dengan tepat. Kalau tidak, maka Sedayu sudah akan menyisihkannya pada babak yang pertama. Namun ternyata Sidanti adalah pembidik yang baik. Panahnya yang terbang secepat kilat itu pun kemudian mengenai sasarannya pula, disambut oleh sorak yang semakin bergelora. Lapangan di muka banjar desa itu benar-benar seperti akan meledak. Agung Sedayu masih berdiri di tempatnya sambil mengamat-amati sasaran yang kini sudah tidak diputar lagi. Dengan kedua tangannya Sonya mengacung-acungkan bandul itu sambil berteriak,
“Enam panah!”
Widura itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Kalian ternyata mempunyai kecakapan yang sama. Karena itu, biarlah kita adakan permainan yang lain. Namun aku belum tahu, apakah sasaran yang lebih baik dapat kita gunakan”
Sidanti mengangguk-anggukkan kepalanya, namun ia pun belum tahu sasaran apakah yang sebaiknya dipergunakan. Sedang Agung Sedayu lagi sibuk mendengarkan orang menyebut-nyebut namanya. Ia menjadi berbangga juga karenanya. Bahkan kemudian timbul juga keinginannya untuk mendapat pujian yang lebih besar dari para penonton itu. Untuk sesaat ia melupakan pula akibat-akibat yang bisa terjadi. Sebab ia telah membebankan seluruh tanggung jawab kepada pamannya. Terasa sesuatu menjalar di dalam dada Agung Sedayu. Belum pernah ia sepanjang umurnya mendapat pujian semeriah ini. Pada masa-masa kecilnya, ibunya selalu memujinya. Namun bukan karena ia berbuat sesuatu. Ibunya memuji untuk menyenangkannya saja.

Apa pun yang dilakukannya maka ibunya tidak pernah mencelanya. Sedang ayahnya sekali-sekali sering memujinya pula apabila ia berhasil berbuat sesuatu menurut kehendak ayahnya. Tetapi ayahnya lebih sering kecewa terhadapnya dari pada memujinya. Bahkan sering ia harus menangis kalau ayahnya menyuruhnya mengulang dan mengulang suatu perbuatan yang tak dapat dilakukannya. Betapa sulitnya latihan-latihan yang diberikan ayahnya dahulu kepadanya. Memanah, bandil dan bermacam-macam ketangkasan membidik. Namun ayahnya selalu mengatakan kepadanya,
“Kau mampu Sedayu, kau pasti mampu melakukannya” Dan akhrinya ternyata, setelah ayahnya memberinya contoh berkali-kali, akhirnya ia mampu juga melakukannya. Berkali-kali ia diajak ayahnya berdiri di pematang dengan busur di tangan. Ia harus mendapatkan tiga ekor burung dengan tiga batang anak panah. Burung yang tidak boleh dikenainya di atas tanah atau dahan-dahan kayu. Burung itu seakan-akan harus dipetiknya dari udara. Namun akhirnya ia berhasil juga. Kalau ia menangis karenanya, ayahnya berkata kepadanya,
“Agung Sedayu, apakah kira-kira yang akan dapat kau lakukan? Kau tidak berani memegang tangkai pedang, apakah kau juga tidak mampu memegang busur?”
Kalau ibunya mendengar pertanyaan itu, maka ibunya selalu menjawab,
“Apakah dalam hidup ini tidak ada pekerjaan yang lebih baik dari berkelahi?”
Dan ayahnya menjawab,
“Tentu, tentu ada. Dan anak-anakku seharusnya tidak berkelahi. Tetapi mereka harus menjadi laki-laki jantan yang mampu menempatkan dirinya dalam segala keadaan. Ia harus menjadi seorang yang dapat melakukan pengabdian dalam segala bentuk. Mereka harus menghindari segala bentuk kekerasan, namun mereka pun harus dapat melenyapkan kekerasan. Kekerasan yang bertentangan dengan rasa pengabdiannya. Karena itu mereka pun harus dibekali pula dengan ilmu yang mungkin akan berguna bagi pengabdian mereka. Melawan kejahatan, bukan untuk sebaliknya”
Apabila demikian, maka ibunya segera memeluknya sambil mengusap air mata. Bisiknya,
“Biarlah pekerjaan itu dilakukan orang lain. Tetapi bukan anakku. Kekerasan akan dapat berakibat buruk perkelahian dapat meneteskan darah. Aku tidak mau kehilangan lagi”
Ayahnya tidak membantah lagi. Bahkan ayahnya selalu berkata dengan lembut,
“Maafkan aku nyai. Aku masih selalu ingat pada masa-masa mudaku”

Tetapi kalau ia kemudian keluar dari bilik ibunya, Untara, kakaknya berkata kepadanya,
“Ibu sekarang berubah. Ibu dahulu ikut berbangga kalau ayah berhasil melenyapkan kejahatan. Melindungi orang-orang lemah dari penindasan. Ibulah yang sering menggosok pedang ayah dengan minyak dan getah-getahan untuk menjadikan pedang ayah mengkilat seperti bersinar. Dan ibu pulalah yang menggosok busur ayah dengan angkup kayu sehingga busur itu menjadi gemerlapan”
Suasana yang demikian itulah yang kemudian membentuknya menjadi seorang yang kerdil. Ibunya yang selalu memanjakannya dan menakut-nakutinya dengan segala macam cara. Menyekapnya dalam pelukannya. Apabila ia bertanya,
“Ibu, bukankah ibu dahulu berbangga atas kejantanan ayah?” Maka ibunya akan menjawab,
“Sebuah mimpi yang menakutkan anakku. Itu terjadi pada masa-masa ayahmu masih muda. Ternyata kini ayahmu pun menyadarinya. Bahwa tak ada yang dapat dicapainya dengan pedang di tangan. Tak akan ditemui ketentraman dan kedamaian di hati”, dan ayahnya pun pernah pula mengatakannya demikian. Namun menurut ayahnya, dunia masih tetap seperti keadaannya. Parah, karena kejahatan, nafsu, kebencian, dan segala macam bentuk kekerasan, karena itu maka segala itu harus mendapat imbangan. Tetapi harus memiliki landasan yang berlawanan. Dan landasan itu adalah cinta kasih antar sesama. Kalau sekali-sekali harus digenggamnya tangkai pedang, maka haruslah dilandasi pula dengan cinta kasih. Untuk menegakkan sendi-sendi kehidupan manusia dan kemanusiaan berdasarkan cinta kasih itu. Dan terjadilah benturan-benturan perasaan di dalam dada Agung Sedayu. Ia menjadi seorang penakut karena ibunya, namun angan-angannya kadang-kadang membumbung tinggi dalam sifat-sifat kejantanan dan kesatriaan. Perasaan-perasaan itulah yang kini sedang saling mendesak. Seorang jantan tidak boleh membiarkan dirinya dihina tanpa sebab. Seorang jantan harus mempertahankan namanya demi kebenaran seperti mempertahankan nyawanya. Kalau nama itu lenyap, maka biarlah lenyap pula nyawanya. Tetapi dilain pihak, betapa tiba-tiba lututnya menjadi gemetar apabila ia dihadapkan pada persoalan-persoalan yang dapat menimbulkan pertentangan.

Agung Sedayu yang kini sedang berdiri di arena itu masih mendengar tepuk tangan yang semakin lama menjadi semakin surut. Dilihatnya pula, pamannya sedang berbicara dengan beberapa orang. Di antaranya Ki Demang Sangkal Putung dan Citra Gati. Agaknya mereka sedang sibuk mencari kemungkinan untuk membua sasaran yang lebih sulit dari sasaran-sasaran yang pernah dibuatnya. Ketika ia berpaling, dilihatnya Sidanti berdiri dengan angkuhnya. Dengan acuh tak acuh anak muda itu melihat Widura yang sedang sibuk itu. Sekali-sekali Sidanti itu memandang berkeliling lapangan dan melambaikan tangannya menyambut lambaian tangan anak-anak muda yang mengaguminya. Agung Sedayu pun kemudian memandang sekeliling lapangan. Orang-orang berjejal-jejal itu seperti sudah tidak sabar lagi menunggu. Beberapa orang yang sudah berteriak-teriak dan dengan tidak sabar mereka melambai-lambaikan tangan mereka. Ketika dilihatnya Sekar Mirah, maka dada Agung Sedayu itu pun berdesir. Gadis itu tersenyum kepadanya. Senyum yang aneh,
“Ah” katanya dalam hati.
“Baru tadi aku lihat ia tersenyum dan memuji-muji Sidanti”. Namun gadis itu mempunyai kesan yang aneh di dalam hatinya. Tiba-tiba timbullah keinginannya agar Sekar Mirah itu selalu tersenyum kepadanya, tidak kepada Sidanti. Sorak sorai ditepi lapangan, serta senyum Sekar Mirah itu agaknya berpengaruh juga di hati Agung Sedayu. Ternyata di dalam hatinya yang kerdil itu tumbuh juga keinginannya untuk mempertahankan namanya.
“Sidanti itu pasti tidak akan mendendam” pikirnya,
“Ia seharusnya bersikap jujur. Kalah atau menang. Aku pun demikian juga. Namun aku mengharap untuk memenangkan pertandingan ini. Seandainya, ya seandainya Sidanti itu marah kepadaku, biarlah paman Widura menyelesaikannya”
Karena itulah maka kemudian Sedayu berketetapan hati untuk berbuat sebaik-baiknya. Akan ditandinginya apa saja yang akan dilakukan oleh Sidanti.
“Tetapi seandainya aku mampu” desanya di dalam hati.
Widura masih sibuk berbicara dengan Ki Demang Sangkal Putung. Agaknya mereka belum menemukan cara yang paling baik untuk mengadakan pertandingan berikutnya. Sidanti yang berdiri di samping Agung Sedayu itu pun menjadi tidak sabar. Ia ingin segera mengakhiri pertandingan itu. Ia ingin segera mendengar orang-orang di sekitar lapangan itu bertepuk gemuruh untuknya. Dan ia ingin anak-anak muda Sangkal Putung melambaikan tangannya kepadanya dan mengelu-elukannya, mengikutinya di belakang sambil memujinya sampai di kademangan. Dan lebih dari itu, ia ingin Sekar Mirah itu pun berjalan di sampingnya sambil mengumpati Agung Sedayu yag ternyata tidak mampu melampaui kecakapannya. Karena itu, maka anak muda yang sombong itu tiba-tiba bereriak,
“Kakang Widura. marilah kita akhiri pertandingan ini supaya kita tidak berlarut-larut, membidik sasaran yang terlalu baik seperti perlombaan anak-anak saja. Biarlah sekarang aku dapat menganjurkan cara yang baik”
Widura, Ki Demang Sangkal Putung, Swandaru, dan orang-orang yang sedang sibuk berpikir itu pun berpaling kepadanya. Dengan ragu-ragu Widura berkata,
“Apakah cara itu?”
Seklai Sidanti berpaling kepada Agung Sedayu, kemudian katanya,
“Namun terserah juga, apakah adi Sedayu sanggup melakukannya. Kalau tidak, biarlah aku mempertunjukkan permainan itu sendiri. Dengan demikian pemenang pertandingan ini segera dapat ditentukan”
“Ya” sahut Widura,
“Tetapi bagaimanakan cara itu?”
Sidanti tersenyum. jawabnya,
“Agak sukar dimengerti. Tetapi aku pasti dapat melakukannya”. Sidanti itu berhenti sebentar. Sengaja ia membiarkan orang-orang yan gmendengar kata-katanya itu menjadi semakin bernafsu untuk mengetahuinya. Baru sesaat kemudian ia berkata,
“Cara yang pasti akan menarik perhatian”
“Ya” sahut Citra Gati tidak sabar,
“Jangan melingkar-lingkar. Sebutkan cara itu”
“Jangan tergesa-gesa kakang Citra Gati. Kau pasti akan keheranan. Melihat pun kau tak akan dapat mengerti, apalagi melakukannya”
Citra Gati tersinggung karenanya. Maka jawabnya lantang,
“Jangan sombong anak muda. Kau masih belum mampu mengalahkan Macan Kepatihan di pertempuran, dan melampaui lawanmu di arena pertandingan ini”
Sidanti mengerutkan keningnya. Tetapi dengan cepat Widura menengahinya,
“Nah baiklah. Marilah kita mulai. Aku setuju dengan cara apa pun yang dikehendaki, asal masih dalam batas kemungkinan dan tidak berbahaya. Kalau Sedayu tidak sanggup melakukannya, maka ia dapat dianggap kalah”

Sidanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Kembali ia tersenyum dan sekali lagi ia memandang wajah Agung Sedayu. Kini Agung Sedayulah yang menjadi acuh tak acuh. Apa pun cara itu, ia akan menerimanya. Kalau masih mungkin dilakukan oleh Sidanti maka ia pun akan mempunyai kemungkinan yang sama. Citra Gati masih bersungut-sungut, bahkan katanya dalam hati,
“Widura terlalu memanjakannya, sehingga kepentingan kemenakannya sendiri sama sekali tidak diperhatikannya”
Dalam pada itu terdengarlah Sidanti berkata,
“kakang Widura, perintahlah salah seorang melepaskan anak panah menyilang lapangan ini melambung ke udara. Nah, biarlah kami mencoba mengenainya”
Widura tertegun mendengar pendapat itu. Apalagi Ki Demang Sangkal Putung. Bahkan sesaat Citra Gati pun terbungkam, namun kemudian bergumam lirih,
“Aneh, benar-benar aneh”
Sidanti melihat orang-orang itu menjadi keheranan. Karena itu, maka ia menjadi semakin menengadahkan dadanya. Dengan lantang ia berkata,
“Marilah, sebelum senja. Supaya aku masih dapat melihat anak panah yang terbang di udara itu”
Widura tidak dapat berbuat lain dari menyetujuinya. Meskipun demikian sekilas ia menyambar wajah Agung Sedayu dengan pandangan matanya. Namun dilihatnya anak muda itu masih acuh tak acuh saja. Sehingga dengan demikian maka Widura itu pun tidak berkata apa pun kepadanya. Sidanti yang melihat Agung Sedayu sama sekali tidak terperanjat mendengar usulnya itu, maka ialah yang menjadi heran. Apakah anak itu tidak mendengar, atau anak itu pun akan acuh tak acuh terhadap pertandingan berikutnya. Dan teka-teki itu ternyata telah mendebarkan jantung Sidanti. Meskipun demikian, ia masih dapat berteriak nyaring di dalam hatinya,
“Ayolah Agung Sedayu, yang merasa menjadi pemanah terbaik di Sangkal Putung, tandingilah Sidanti.”
Widura itu pun kemudian mengumumkan cara yang akan ditempuh atas usul Sidanti, belum lagi mereka mulai dengan pertandingan itu, maka lapangan itu telah menjadi gempar. Para penonton yang keheran-heranan itu telah menyambut pengumuman Widura dengan tepuk tangan dan sorak sorai yang bergelora. Hudayalah yang mendapat tugas untuk melepaskan anak panah menyilang garis bidik Sidanti dan Agung Sedayu. Ia sendiri tidak dapat mengerti, bagaimana cara anak-anak muda itu akan membidikkan anak panahnya. Namun Hudaya itu bergumam pula di dalam hatinya,
“Bukan siatu hal yang tak mungkin. Sebab laju anak panah itu dapat diperhitungkan”
Tetapi kemudian Swandaru pun menjadi gelisah. Ialah yang pertama-tama berteriak-teriak sepanjang jalan, bahwa bukan Sidanti lah pemanah terbaik di Sangkal Putung. Namun sekarang ia mendengar sendiri usul Sidanti itu. Memanah sebatang anak panah yang melaju di udara, tentu lebih sukar mengenai sasaran kepala orang-orangan itu. Karena itu ia masih belum dapat menebak, apakah Agung Sedayu dapat juga berbuat sebaik Sidanti. Kalau kemudian Agung Sedayu tak mampu menandingi Sidanti, maka ia pun pasti akan mendapat banyak kesulitan. Agung Sedayu pasti akan marah padanya dan Sidanti akan semakin mentertawakannya.

Karena itu, maka Swandaru itu pun mendekati Agung Sedayu yang berdiri tegak di tempatnya. Bisiknya perlahan-lahan,
“Bagaimanakah tuan, apakah tuan mungkin juga berbuat demikian?”
Agung Sedayu menggeleng lemah, jawabnya, “Entahlah Swandaru”
Swandaru menjadi semakin gelisah. Dalam pada itu, Hudaya pun telah siap pula. kini Widura sendirilah yang memegang bende untuk memberi tanda kepada Hudaya, kapan ia harus melepaskan anak panahnya. Ketika kemudian Sidanti telah menganggukkan kepalanya, maka dibunyikahlah bende itu. Dan Hudaya menarik tali busurnya pula, sambil tersenyum ia membidik anak panah yang terbang itu. Orang-orang yang berjejal-jejal di tepi lapangan itu menjadi diam kaku seperti beratus-ratus patung yang berjajar-jajar. Semuanya memandang ke arah anak panah Sidanti. Dan sesaat kemudian anak panah itu meloncat dari busurnya. Cepat, melampaui kecepatan anak panah Hudaya. Semua mata pun kemudian seakan-akan terpancang pada anak panah itu. Wajah-wajah yang tegang dan hati yang tegang pula. Yang terjadi kemudian, betapa lapangan itu menjadi menggelegar, seakan-akan seribu guntur meledak di langit. Tepuk tangan sorai sorai dan bahkan di antara mereka melonjak-lonjak dan menari-nari. Anak-anak muda saling berteriak-teriak dan orang-orang tua mengangguk-anggukkan kepala mereka.
“Luar biasa. Luar biasa” desisnya.
Citra Gati menggigit bibirnya, sedang Hudaya menggaruk-garuk kepalanya. Widura pun sesaat terpaku diam di tempatnya. Semua mata melihat, anak panah Sidanti itu seakan-akan menyongsong anak panah Hudaya dalam garis silang. Dan pada suatu titik yang condong, anak panah Sidanti berhasil mengenai ekor anak panah Hudaya, sehingga kedua anak panah itu pun kemudian terpelanting dan berubah arahnya masing-masing. Ketika Sidanti berpaling ke arah Sekar Mirah, dilihatnya gadis itu melonjak-lonjak sambil mengacung-acungkan tangannya.
“Dahsyat” teriaknya. Sidanti tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian dilambaikannya tangannya kepada orang-orang yang masih saja berteriak-teriak tak jemu-jemunya. Betapa mereka menjadi kagum. Seakan-akan mereka tak percaya, bahwa hal yang demikian dapat terjadi. Dua batang anak panah saling berkejaran di udara.
Tetapi ternyata hal itu telah terjadi di hadapan mata kepala mereka. Dan karena itu, maka mereka pun menjadi takjub. Gemuruh di lapangan itu pun kemudian mereda, ketika mereka melihat Widura mengangkat tangannya. Kemudian dengan tangannya pula Widura memberi isyarat kepada Hudaya untuk bersiap-siap. Kini pertandingan itu sampai pada penentuan terakhir. Semua orang itu pun kini terpaku memandang Agung Sedayu. Namun semua orang itu pun telah menjadi ragu-ragu pula. Apakah Agung Sedayu juga dapat melakukannya?

Swandaru yang berdiri di belakang Agung Sedayu telah menjadi gemetar karenanya. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa Sidanti itu mampu berbuat demikian menakjubkannya. Dalam dada anak muda itu pun kini menjalar kebimbangan yang semakin lama semakin tebal. Karena itu, maka tubuhnya telah menjadi basah oleh keringat dingin yang mengalir tak putus-putusnya.
“Apakah kau sudah siap Sedayu?” terdengar suara Widura perlahan-lahan. Terasa pula pada nada suaranya, keragu-raguan terhadap kemenakannya itu.
Agung Sedayu itu pun mengangguk perlahan. Jawabnya,
“Sudah paman”
Widura memandang kemenakannya itu dengan seksama. Seakan-akan ia menyesal juga atas pertandingan yang dilakukan itu. Kalau Agung Sedayu gagal, maka jiwanya yang kerdil itu akan menjadi semakin kerdil. Ia akan menjadi semakin merasa dirinya tak berharga. Sedang Sidanti telah melakukan suatu permainan yang mengagumkan. Meskipun demikian, pertandingan itu harus dilangsungkan. Kalah atau menang. Sedayu harus menghadapinya dengan jujur. Maka, setelah semuanya siap, dengan ragu-ragu Widura memukul bendenya sebagai pertanda bahwa Hudaya harus melepaskan satu anak panah lagi. Perlahan-lahan Hudaya mengangkat busurnya. Semua mata seakan-akan melekat pada anak panah itu. Dan sesaat kemudian, anak panah Hudaya yang kedua lepas dari busurnya, melambung ke udara seperti anak panahnya yang pertama. Kini semua mata dengan cepatnya berpindah ke tangan Agung Sedayu. Ternyata Agung Sedayu tidak membidik perlahan-lahan seperti Sidanti. Ia tidak menunggu anak panah Hudaya melampaui titik yang tegak lurus di hadapannya. Dengan tangkasnya ia menarik tali busurnya kuat-kuat, seakan-akan busur itu ingin dipatahkannya. Kemudian, semua orang menjadi tegang karenanya. Kini anak panah itu melontar dengan cepat, secepat petir menyambar di langit. Para penonton tidak mendapat kesempatan yang cukup untuk melihat anak panah itu. Namun yang terjadi kemudian telah memukau mereka. Bahkan karena itu, maka lapangan itu menjadi sunyi senyap. Seandainya sebatang jarum terjatuh, maka suaranya pasti akan mengejutkan seperti suara guruh. Yang terdengar kemudian adalah suatu derak di udara. Kemudian sepi kembali. Sesepi padang yang tak berpenghuni. Beratus-ratus pasang mata tak sempat berkedip, sedang beratus-ratus mulut menjadi ternganga karenanya. Seperti orang bermimpi mereka melihat anak panah Agung Sedayu secepat tatit menyambar anak panah Hudaya tepat di tengah-tengah. Demikian kerasnya anak panah Agung Sedayu sehingga anak panah Hudaya menjadi retak di tengah-tengah, dan terlontar ke samping terbawa oleh anak panah Agung Sedayu. Demikian kedua anak panah itu jatuh di tanah, maka semua orang yang terpukau itu seakan-akan terbangun dari mimpinya. Dengan serta-merta maka meledaklah sorak sorai mereka. Seperti gemuruhnya gunung runtuh menimpa ombak lautan yang dahsyat. Menggelegar beruntun susul menyusul. Tidak saja anak-anak, namun orang-orang dewasa, anak-anak muda Sangkal Putung pun berloncat-loncatan di lapangan itu. Menari-nari dan melemparkan apa saja ke udara. Caping-caping mereka, ikat pinggang selebar telapak tangan, tongkat-tongkat dan bahkan terompah-terompah mereka.

Swandaru yang berdiri di belakang Agung Sedayu melihat pula penturan kedua anak panah itu. Terasa dadanya menjadi bergetar seakan-akan benturan anak panah itu terjadi di dalam rongga dadanya. Ia melihat pula kedua anak panah itu jatuh di tanah. Dan dengan serta-merta, ia berlari sekencang-kencangnya, memungut kedua batang anak panah itu. Sambil berlari-lari kembali anak yang gemuk itu berteriak-teriak sekeras-kerasnya seperti sedang mabuk tuak. Katanya,
“Lihat, lihat. Anak panah paman Hudaya dikenai di tengah-tengah sehingga menjadi retak karenanya”
Widura pun menjadi terpaku di tempatnya. Terasa sesuatu berdesir di dadanya. Bahkan kemudian mulutnya seakan-akan menjadi terbungkam. Dari tempatnya berdiri, ditatapnya wajah Agung Sedayu. Dan seakan-akan terpancar dari wajah itu, bayangan wajah ayahnya. Ki Sadewa, ipar Widura itu. Wajah itu pun tampaknya memancarkan kerendahan hati yang tulus. Karena itu maka timbullah iba hatinya, kalau selama ini anak itu dibiarkannya kecemasan tentang nasibnya dan tiba-tiba pula terpancarlah janji di dalam hatinya,
“Kalau aku mampu, biarlah aku mencoba menjadikannya seorang anak muda yang berhati jantan. Kecakapannya bermain panah, ketrampilannya berolah pedang dan bahkan kekuatan-kekuatan jasmaniah yang tersimpand di dalam tubuhnya, pasti akan memungkinkan anak itu melampaui anak-anak sebayanya, bahkan akan dapat melampaui diriku sendiri”
Yang benar-benar tak dapat menahan perasaannya adalah Sekar Mirah. Gadis itu benar-benar lupa akan dirinya. Seperti kuda yang lepas dari ikatannya ia berlari kencang-kencang ke arah Agung Sedayu yang masih berdiri di tempatnya. Namun tiba-tiba langkahnya terhenti. Terasa seseorang menangkap tangannya dan menariknya.
“Apakah yang akan kau lakukan?”
Sekar Mirah berpaling. Dilihatnya ayahnya memandangnya dengan tajam. Dan Sekar Mirah pun menundukkan wajahnya. jawabnya,
“Tidak apa-apa ayah”
“Ingat Mirah” berkata ayahnya, “Kau adalah seorang gadis”
“Aku tidak akan berbuat apa-apa ayah” sahut Sekar Mirah sekali lagi.
Ki Demang Sangkal Putung melepaskan tangannya sambil berkata,
“Jangan menodai namamu sendiri. Bersoraklah kalau kau mau bersorak. Berteriaklah kalau kau mau berteriak. Namun di tempatmu. Tak perlu kau pergi mendekat. Baik Sidanti maupun Agung Sedayu”
Sekar Mirah menggigit bibirnya. Namun dengan demikian ia mulai menyadari dirinya, bahwa ia kini berada di tengah-tengah ratusan orang yang menyaksikan pertunjukan itu. Karena itu, ia harus lebih hati-hati membawa diri. Meskipun demikian ia berkata juga,
“Ayah, aku hanya ingin mengucapkan selamat atas kemenangan Agung Sedayu.”
“Siapa bilang ia menang?” semuanya yang mendengar pertanyaan itu menjadi terkejut, sehingga serentak mereka berpaling. Ternyata mereka melihat Sidanti dengan wajah yang merah membara. Dengan tajamnya ia memandang Sekar Mirah yang masih berdiri di samping ayahnya. Agaknya Sidanti telah mendengar Sekar Mirah memuji Agung Sedayu dengan kemenangannya.
Ketika Sekar Mirah melihat wajah Sidanti itu, hatinya menjadi berdebar-debar. Namun ia merasa berhak berbuat apa pun sekehendaknya. Karena itu, maka ia tidak mau dibentak-bentak oleh Sidanti.
Tetapi sebelum ia menjawab, terasa ayahnya menggamitnya sambil berbisik,
“Diamkan anak itu”

Sekar Mirah memandangi wajah ayahnya dengan kecewa. Tetapi ia tidak berani melanggarnya. Namun ternyata terdengar jawab dari arah lain,
“Bukankah sudah, ternyata bahwa bidikan Agung Sedayu lebih baik dari bidikanmu”
Warna merah di wajah Sidanti menjadi semakin menyala. Apalagi ketika ia menyadari bahwa suara itu suara Swandaru, demikian marahnya Sidanti sehingga untuk sesaat ia bahkan menjadi terbungkam. Namun tubuh dan dadanya menjadi bergetar. Agung Sedayu yang melihat wajah Sidanti itu pun tiba-tiba menjadi cemas pula, apakah anak itu akan menjadi marah? Bahkan bukan saja Agung Sedayu, tetapi juga Widura menjadi cemas. Karena itu segera wajah melangkah maju. Diangkatnya kedua tangannya tinggi-tinggi sambil berteriak di antara sorak para penonton yang masih saja menggema, katanya,
“Pertandingan sudah selesai. Kedua-duanya berhasil mengenai panah-panah yang masih berada di udara. Karena itu maka kedua-duanya memiliki kecakapan membidik yang sama. Dengan demikian dalam pertandingan ini tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah”
Mendengar keputusan itu, sorak para penonton justru menjadi diam. Mereka merasa aneh atas keputusan itu. Meskipun benar, kedua-duanya dapat mengenai sasarannya, namun terasa bidikan Agung Sedayu lebih tepat dari bidikan Sidanti. Karena itu menurut mereka Agung Sedayu dapat dianggap memenangkan pertandingan ini. Bahkan hampir bersamaan Hudaya, Citra Gati, Sendawa meloncat masuk ke lapangan. Yang mula-mula berkata adalah Citra Gati,
“Apakah penilaian ini cukup adil?”
Widura mengerutkan keningnya mendengar pertanyaan itu. Pertanyaan itu adalah wajar dan bahkan di dalam dirinya sendiri, timbul pula pertanyaan semacam itu. Namun demikian, tebaran pandangan Widura tidak saja terbatas di tengah-tengah lapangan dan membiarkan perasaannya berbicara. Pandangannya telah jauh melampaui batas-batas yang dapat dilihatnya di tempat yang sempit itu. Dilihatnya disuatu tempat Tohpati telah mulai menyusun kekuatannya, dan di tempat lain Ki Tambak Wedi seakan-akan selalu mengintipnya. Karena itu, ia dengan pertimbangan yang masak ia menjawab,
“Kita tidak menentukan, bagian manakah yang harus dikenai oleh pemanah-pemanahnya. Kita hanya melepaskan anak panah ke udara. Nah, salah seorang dari para pemanah itu membidik ekornya, yang lain membidik tepat di tengah-tengah. Dan keduanya mengenai tepat di arah yang dikehendakinya. Bukankah dengan demikian kedua-duanya telah berhasil?”
Hudaya menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menjawab,
“Kami menjadi saksi. Perasaan kami, aku dan para penonton, mengatakan bahwa Agung Sedayu lebih baik dari Sidanti.”
Widura mengerutkan keningnya. Ia benar-benar berada di tempat yang sulit. Ia tidak mau melepaskan Sidanti. Tetapi Hudaya, Citra Gati, Sendaya dan beberapa orang itu adalah orang-orang yang menpunyai pengaruh yang kuat di antara laskarnya. Sudah tentu ia tidak dapat bekerja berdua saja dengan Sidanti, atau dengan satu dua orang yang lain. Sementara itu, sementara Widura sedang sibuk berpikir untuk memecahkan persoalan yang sulit itu, terdengar suara Sidanti parau,
“Kakang Widura, pertandingan dapat diulangi. Kita harus sampai pada penentuan, siapakah yang menang dan yang kalah. Kita tidak boleh menjadi orang-orang banci”
“Bagus” teriak Hudaya, Citra Gati, Sendawa dan orang-orang lain, “Ulangi” teriak mereka.
Widura benar-benar menjadi pening. Namun ia harus mempunyai sikap. Maka katanya,
“Tidak. Pertandingan sudah selesai. Tak ada gunanya kita ulangi. Aku sudah tahu pasti. Hasilnya akan sama saja. Keduanya akan mendapat nilai yang sama”
“Tidak” teriak Sidanti.
“Aku menuntut perlakuan yang adil. Tidak ada yang menentukan arah bidikan pada panah yang dilepaskan oleh kakang Hudaya. Tetapi meskipun aku mengenai tempat yang aku kehendaki, namun orang-orang menganggap bidikan Adi Sedayu lebih tepat. Aku ingin menghilangkan kesan itu”
Widura menggeleng. “Sudah aku katakan. Aku akan menyelenggarakannya lain kali”
“Sekarang” teriak Sidanti pula.

Suasana segera meningkat menjadi semakin tegang. Beberapa langkah Sidanti maju mendekati Widura dengan wajah yang merah menyala. Sedang dari arah lain, Citra Gati, Hudaya, Sendawa, Sonya, dan beberapa orang lagi pun maju pula. wajah mereka tidak kalah tegangnya dengan wajah Widura sendiri. Sesaat Agung Sedayu menjadi bingung melihat perkembangan keadaan. Ia melihat Sidanti menjadi marah, dan dilihatnya pula Hudaya dan kawan-kawannya pun menjadi tegang. Sehingga setiap kemungkinan akan dapat terjadi. Karena itu maka tiba-tiba berkata,
“Paman, seandainya pertandingan ini diadakan lagi, maka aku tidak akan dapat mengikutinya”
Kata-kata itu seolah-olah merupakan penggerak yang menggerakkan setiap kepala untuk berpaling ke arahnya. Sidanti pun memandang wajah Agung Sedayu dengan tajamnya. Dan bahkan Citra Gati yang tidak dapat menahan perasaannya berteriak,
“Kenapa?”
Sedayu menjadi berdebar-debar. Jawabnya,
“Aku tidak dapat melakukan permainan yang lebih baik. Seandainya kakang Sidanti mempunyai cara yang lain, maka pasti aku tidak dapat mengikutinya. Aku sudah sampai pada puncak kecakapan yang ada padaku”
“Bohong” teriak Sidanti dan Hudaya hampir bersamaan, meskipun maksudnya berbeda-beda, sehingga keduanya menjadi terkejut karenanya. Namun yang meneruskan kata-katanya hanyalah Sidanti,
“Kau hanya akan mempertahankan keadaan serupa ini. Dimana orang-orang mempunyai kesan bahwa kau adalah pemanah yang lebih baik daripadaku”
Agung Sedayu menjadi bingung. Karena itu ia tidak menjawab. sehingga yang menjawab kemudian adalah Widura,
“Sedayu berkata benar. Kalau Sidanti masih mungkin melakukan permainan yang lebih baik lagi, maka Sedayu akan kalah”
“Tidak adil” teriak Citra Gati.
“Tidak adil” teriak Sidanti,
“Kesan orang-orang akan menjadi semakin menguntungkannya. Seolah-olah ia sekedar mengalah untuk memberi kesempatan kepadaku. Tidak. Bukan perlakuan jantan bagi Sidanti. Sidanti tidak sekedar ingin mendapat perlakuan yang cengeng Sidanti adalah seorang anak muda yang jantan”
Kata-kata itu benar-benar berkesan bagi Widura, bahkan Hudaya, Citra Gati dan yang lain-lain pun terdiam pula karenanya. Betapapun mereka harus mengakui kelebihan Sidanti daripada mereka, meskipun apabila mereka dihadapkan pada suatu keadaan yang memaksa, mereka tidak takut pula melawan Sidanti.
Lapangan itu tiba-tiba menjadi hening. Dengan hati yang semakin tegang, mereka, para penonton itu melihat keadaan yang semakin tegang pula. Beberapa orang laki-laki telah mendekat mereka. Dan membentuk sebuah gelang memagari mereka yang sedang bertengkar. Yang berkata kemudian adalah Widura tegas,
“Tak akan ada pertandingan lagi”
“Ada” sahut Sidanti.
Sekali lagi Widura menjawab lebih keras, “Tidak!”
Tetapi tiba-tiba hati Widura itu berdesir. Di tengah-tengah lingkaran orang-orang yang melihat keributan itu, tiba-tiba terjatuh sebuah benda yang benar-benar mengejutkannya. Sepotong besi yang lengkung hampir berbentuk lingkaran.
“Setan” Widura mengumpat di dalam hati. “Ki Tambak Wedi itu ada pula di sini”
Ketika ia memandang wajah Sidanti, dilihatnya anak muda itu tersenyum, senyum yang sangat menyakitkan hati. Sementara itu beberapa orang menjadi heran juga. Namun tak seorang pun di antara mereka yang melihat, siapakah yang telah melemparkan sepotong besi di tengah-tengah mereka. Meskipun demikian, beberapa orang menjadi berdebar-debar. Meskipun mereka tidak tahu arti sepotong besi itu selain Widura, namun mereka merasakan sesuatu yang tidak wajar.

Ternyata benda itu sangat berpengaruh bagi Widura, ia tidak tahu pasti maksud Ki Tambak Wedi, namun ia dapat menduga bahwa Ki Tambak Wedi telah memperkuat pendapat muridnya. Dengan demikian maka Widura itu berpikir dan berpikir sehingga kepalanya hampir meledak karenanya. Ditinjaunya segenap segi-segi. Kalau ia mengadakan pertandingan sekali lagi maka persoalannya tidak akan terpecahkan. Apalagi Sidanti merasa bahwa ada semacam perlakuan yang tidak wajar terhadapnya. Menang atau kalah, Sidanti pasti akan kecewa. Kalau ia kalah, maka darahnya pasti akan semakin menyala, tetapi kalau ia kalah, maka ia akan menyangka bahwa Agung Sedayu tidak bersungguh-sungguh. Tetapi ternyata guru Sidanti itu telah ikut campur pula, bagi Widura yang sebaik-baiknya adalah bubar. Pulang ke kademangan. Namun Sidanti menolak dan gurunya memperkuat. Sehingga untuk menjaga ketenangan kademangan, apakah ia harus memenuhi permintaan Sidanti yang juga merupakan permintaraan dari Hudaya, Citra Gati dan yang lain-lain, meskipun dalam perhitungan yang berlawanan? Widura menarik nafas dalam-dalam. Hampir saja ia hanyut oleh kehendak orang-orang yang sedang kehilangan kejernihan pikiran itu. Hampir ia kehilangan ketetapan hati sebagai seorang pemimpin. Dalam keadaan yang demikian itu, ketika dada Widura sedang bergetar karena benturan-benturan pertimbangannya, maka sekali lagi orang-orang yang berdiri melingkar itu terkejut. Kali ini mereka melihat sebuah cemeti kuda melenting dan jatuh hampir menimpa Widura. Widura pun terkejut pula karenanya. Tetapi tiba-tiba jantungnya serasa berhenti. Dengan nanar ia memandang berkeliling. Namun yang dilihatnya adalah wajah-wajah yang tegang dan penuh kecemasan. Widura tidak berhasil melihat seseorang yang dicarinya. Ia tidak berhasil menemukan orang yang dapat disangkanya Kiai Gringsing. Namun ia pasti, bahwa orang aneh itu hadir pula di tengah-tengah lapangan. Cemeti kuda itu telah memberitahukan kepadanya, bahwa orang itu ada didekatnya. Dengan demikian, maka pertimbangan-pertimbangan Widura yang hampir condong dan roboh sama sekali itu itu, seakan-akan menemukan kekuatannya yang baru. Ia tahu benar maksud Kiai Gringsing itu. Dan ia percaya bahwa Kiai Gringsing tidak hanya sekedar mengganggunya seperti biasanya. Dengan cemetinya itu Kiai Gringsing pasti ingin berkata kepadanya,
“Jangan hiraukan orang yang bergelang besi itu, biarlah ia menjadi urusanku”
Dan kini sekali lagi Widura mengangkat wajahnya. ia melihat Sidanti keheran-heranan melihat cemeti itu. Juga Hudaya, Citra Gati dan yang lain-lain. Namun ketika ia memandang Agung Sedayu dilihatnya wajah Agung Sedayu tidak lagi sepucat tadi. Agaknya Agung Sedayu pun mengenal cemeti itu pula, dan tanpa disengaja, hatinya menjadi tenang. Kiai Gringsing yang belum dikenalnya baik-baik itu, telah mencengkam kepercayaannya, sehingga seakan-akan orang aneh itu dapat dipakainya sebagai sandaran apabila terjadi sesuatu. Ketegangan itu kemudian dipecahkan oleh suara Widura tegas dan lantang,
“Tidak ada apa-apa lagi. Itulah keputusanku!”

Terdengar gigi Sidanti gemeretak. Betapa dadanya dibakar oleh kemarahan. Dengan demikian, maka setiap orang di Sangkal Putung dan setiap orang yang melihat pertandingan itu, termasuk kawan-kawannya sendiri, akan tetap berkesan bahwa Agung Sedayu telah mengalahkannya. Karena itu maka sekali lagi ia mencoba memaksakan kehendaknya, katanya,
“Kakang Widura, aku minta pertandingan diadakan lagi”
Widura menggeleng, namun sebelum ia menjawab terdengarlah Citra Gati berkata,
“Apakah keberatannya kakang. Marilah kita melihat keadaan dengan jujur. Siapa yang kalah biarlah ia kalah dan siapa yang menang biarlah ia menang. Setan atau malaikat. Dengan demikian kita melihat kenyataan dengan pasti”
Widura mengerutkan keningnya. Dengan tajam ia memandang Citra Gati. Jawabnya,
“Apakah tujuan kita berada di Sangkal Putung ini? Apakah kita hanya sekedar ingin mengetahui siapakah di antara kita yang paling sakti dan paling cakap? Bahkan apakah cukup apabila kita menemukan siapakah di antara kita yang paling benar dan paling jujur? Sedang tujuan pokok dari perjuangan kita tidak selesai. Ayo, katakan kepadaku, apakah dengan saling ribut di antara kita, Tohpati dapat terselesaikan. Sisa-sisa laskar Jipang akan dapat kita batasi kegiatannya, atau bahkan kita hancurkan. Sekarang katakan padaku, apakah tujuan pertandingan ulangan ini jujur pula, sekedar untuk mendapatkan pemenangnya dengan kukur? Atau karena keinginan kita sekalian untuk menunjuk kelemahan orang lain dan menghinakannya?”
Kata-kata itu benar-benar menusuk jantung Citra Gati. Sehingga orang itu pun kemudian menundukkan wajahnya. demikian juga Hudaya, Sendawa yang bertubuh raksasa dan Sonya yang kecil serta beberapa orang lainnya. Mereka merasakan kebenaran kata-kata Widura itu. Sebenarnyalah bahwa pertandingan ulangan itu pun tidak dilakukan dengan tujuan jujur. Karena itu, maka mereka pun menjadi terdiam karenanya. Tetapi ternyata kata-kata itu tanpa disengaja telah menjadikan Sidanti makin marah. Ia merasa bahwa di dalam kata-kata itu tersembunyi pengertian-pengertian yang seakan-akan memastikan bahwa Agung Sedayu akan dapat memenangkannya pula. pebih-lebih menurut anggapan Citra Gati. Karena itu, Sidanti tidak mau diam. Apalagi ketika diingatnya bahwa gurunya ada pula ditempat itu. Katanya,
“Kenapa kakang Widura takut melihat kenyataan seandaiknya adi Sedayu itu tak mampu menandingi kecakapanku?”
Sekali lagi dada Widura berdesir. Namun ia harus menahan diri. Ia tidak bileh hanyut dalam arus perasaannya, supaya anak buahnya tidak menjadi berantakan karenanya. Tetapi sebelum ia menjawab tiba-tiba meloncatlah seorang gadis yang telah kehilangan pengamatan diri. Digoncang-goncangnya tubuh Agung Sedayu sambil berteriak,
“Kenapa tuan diam saja? Kenapa tuan tidak menyanggupinya dan membuktikannya bahwa tuan dapat memenangkannya?”
Bukan main terkejutnya Widura dan Agung Sedayu sendiri. Tetapi Hudaya, Citra Gati dan Sendawa sama sekali tidak terkejut. Sejak tadi mereka melihat gadis itu menjadi gelisah. Sekali-sekali ia maju, namun kemudian mundur kembali. Mereka melihat gadis itu meremas-remas tangannya sendiri dan bahkan menghentak-hentakkan kakinya. Tetapi yang terkejut sekali adalah Ki Demang Sangkal Putung. Dengan cepatnya ia meloncat dan menarik anaknya itu ketepi. Dengan marahnya ia membentak,
“Mirah, apakah kau sudah menjadi gila?”

Sekar Mirah, gadis yang selalu hanyut menurut arus persaannya itu pun terkejut pula. Karena itu ia menyesal, namun hal itu telah terlanjur dilakukannya. Ketika ia mencoba melihat wajah-wajah di sekitarnya, maka seakan-akan mereka itu memandangnya dengan heran, sehingga kemudian Sekar Mirah itu pun menundukkan wajahnya. Tetapi apa yang dilakukan Sekar Mirah itu ternyata seakan-akan minyak yang ditumpahkan ke dalam api yang menyala di dada Sidanti. Gadis itu benar-benar telah menggelaplan matanya. Gadis yang selalu mengganggu perasaannya itu. Karena itu tiba-tiba ia berteriak,
“Aku akan melangsungkan pertandingan. Disetujui atau tidak disetujui. Tidak ada sasaran yang lebih baik yang harus kita kenai. Ayo Sedayu bersiaplah. Sasaran itu adalah kita masing-masing!”
Kata-kata Sidanti itu seperti guruh yang menyambar setiap telinga yang mendengarnya. Kata-kata itu jelas mereka mengerti maksudnya. Bukankah dengan demikian Sidanti telah menjerumuskan dirinya dalam suatu perang tanding dengan senjata panah?
Belum lagi gema kata-kata itu lenyap, terdengar Sidanti itu berkata pula,
“Kita tentukan cara-cara menurut kehendak kita sendiri. Jangan hiraukan orang lain kalau kau jantan. Kita berdiri beradu pungung. Kita melangkah maju masing-masing sepuluh langkah. Kemudian siapakah di antara kita yang paling cepat memutar tubuh kita, membidikkan anak panah dan mengenai kepala lawan, itulah yang menang. Kita akan tahu dengan pasti, siapakah yang lebih baik di antara kita. Sebab yang kalah dapat segera ditandai, mati”
Denyut nadi Sedayu terasa berhenti karenanya. Tantangan itu tak disangka-sangkanya. Karena itu betapa tiba-tiba terasa lututnya menjadi gemetar. Mati. Kata-kata itu sangat menakutkannya. Ia tidak pernah berpikir untuk dibunuh atau membunuh. Apalagi dalam keadaan serupa itu.
Swandaru yang berdiri di belakang Agung Sedayu pun jadi tergetar karenanya. Disadarilah kini, betapa jauh akibat yang sudah terjadi akibat kelancangannya. Kalau terjadi sesuatu atas mereka, apakah ia Agung Sedayu atau pun Sidanti, maka itu benar-benar akan merugikan Sangkal Putung. Sidanti telah berhasil menyelamatkan hidupnya pada saat ia melawan Tohpati, dan Sedayu pun selamat pula meskipun ia berpapasan dengan pande besi Sendang Gabus, Alap-alap Jalatunda berempat. Dan sekarang, salah seorang dari mereka harus mati karena tangan keluarga sendiri. Dengan demikian maka Swandaru itu pun menyesal tak habis-habisnya. Tetapi ia sama sekali tidak tahu, bagaimana ia harus memperbaiki kesalahannya. Apalagi sekali-sekali ia melihat ayahnya memandanginya dengan penuh penyesalan pula. Widura masih tegak seperti patung. Kata-kata Sidanti itu, tak disangka-sangkanya. Juga Hudaya, Citra Gati dan kawan-kawannya pun tidak menyangka. Namun Widura memakluminya, bahwa Sekar Mirah lah sebab langsung dari keputusan Sidanti itu.
Ketika Widura itu memandang Agung Sedayu, ia melihat anak itu gemetar. Beberapa orang lain pun melihat pula. namun mereka mempunyai sangkaan lain. Seperti Sidanti yang gemetar karena marah, maka mereka pun menyangka bahwa Agung Sedayu menjadi marah pula, namun kemarahannya itu ditahannya, karena anak muda yang patuh itu takut benar kepada pamannya. Dengan demikian maka semua mata kini memandang kepada Widura, seakan-akan semua menunggu keputusan apakah yang akan diambilnya.

Tetapi kepala Widura itu benar-benar akan pecah karenanya. Ia kini tidak tahu, bagaimana ia akan mengatasinya. Apakah ia sendiri harus mengambil keputusan yang dapat berakibat dirinya sendiri yang harus berkelahi seperti beberapa waktu yang lalu. Dan ternyata pula terdengar Sidanti berkata,
“Kali ini aku tidak mau dihalang-halangi. Siapa pun yang mencoba mencegahnya, orang itulah yang akan menjadi lawanku. Sekarang atau kapan pun”
Lapangan itu benar-benar dicengkam oleh ketegangan. Tak seorang pun yang berani berkata sepatah katapun. Mereka melihat wajah-wajah yang kaku. Widura, Hudaya, Citra Gati, Agung Sedayu. Swandaru. Ki Demang Sangkal Putung. Sekar Mirah dan Sidanti sendiri. Bahkan wajah Sidanti itu kini benar-benar telah menjadi merah biru.
Widura yang tahu benar perasaan Agung Sedayu, menjadi semakin bingung. Kalau saja anak itu berani dan menghadapinya dengan tatag, maka ia yakin bahwa Sidanti tak akan dapat mendahuluinya. Widura itu yakin benar, bahwa anak-anak Ki Sadewa telah mewarisi keahliannya dalam berbagai senjata bidik. Tetapi hati Agung Sedayu adalah hati yang kerdil. Meskipun demikian, apabila keadaan memaksa ia harus membesarkan hati anak itu. Ia harus mencoba meyakinkah bahwa ia akan menang. Dan keputusan itu akhirnya menjadi bulat di dada Widura. Ia tidak melihat persoalan lain lagi. Namun ia hanya ingin merubah tata cara pertandingan itu. Tidak sampai mati. Dan yang harus dikenai bukanlah tempat-tempat yang berbahaya. Namun apakah Sidanti yang menjadi seolah-olah gila itu mau menerimanya dan apakah meskipun sudah diperlunak itu Agung Sedayu berani menghadapinya.
Dada Widura menjadi semakin berdebar-debar ketika ia mendengar Sidanti berteriak,
“Minggir. Pertandingan akan dimulai”
Ketika semua orang menyibak, maka Agung Sedayu menjadi semakin takut. Dipandangnya wajah pamannya, dan hampir-hampir ia berteriak memanggilnya. Hampir ia kehilangan rasa malunya untuk sedikit saja mepertahankan namanya yang selama ini menjadi semakin dikagumi.
Lingkaran yang mengitari mereka yang sedang dibakar oleh ketegangan itu, semakin lama menjadi semakin luas. Sementara itu Sidanti sudah bergerak setapak maju. Namun Widura dengan wajah yang tegang kaku masih berdiri di tempatnya. Ketika ia memandang wajah Sidanti, dilihatnya wajah itu telah benar-benar menjadi sedemikian liarnya. Dalam pada itu, Widura pun menyadari, bahwa Sidanti benar-benar tak akan dapat diajak berbicara. Kehadiran gurunya agaknya berpengaruh juga kepadanya. Sebab dengan demikian ia menyangka, bahwa apa yang dikehendakinya pasti akan terpenuhi.
Tetapi Widura itu pun memperhitungkan kehadiran Kiai Gringsing. Ia tidak tahu pasti, apakah Kiai Gringsing akan dapat mengimbangi kekuatan Ki Tambak Wedi apabila diperlukan. Namun ia pernah melihat, tangan Kiai Gringsing itu mampu meluruskan kembali sepotong besi yang melengkung karena tangan Ki Tambak Wedi, sehingga untuk sementara, maka ia dapat mengabaikan kehadiran guru Sidanti. Biarlah Kiai Gringsing mengurusnya.

Ketika keadaan semakin meningkat, maka Widura tidak dapat tetap berdiam diri di tempatnya. Ia harus berbuat sesuatu. Kalau mungkin mengurungkannya. Kalau tidak, apa pun yang dapat mengurangi kemungkinan-kemungkinan yang tak diharapkan. Karena itu, maka dengan lantang ia berkata,
“Bagus, pertandingan akan segera dimulai. Tetapi kita belum menentukan peraturannya”
“Aku tidak memerlukannya” teriak Sidanti. Aku sudah menetapkan peraturan itu”
“Apakah hakmu?” bertanya Widura.
“Akulah yang berkepentingan” jawab Sidanti.
“Aku yang berkuasa di sini” sahut Widura tidak kalah lantangnya, “Aku akan membuat peraturan”
“Tidak” jawab Sidanti pula,
“Apa pun yang akan kau lakukan, aku tetap pada pendirianku. Aku akan membidik jantung Agung Sedayu dan membunuhnya. Meskipun Agung Sedayu tidak melawan”
Dada Widura kini telah bergetar semakin cepat. Sedemikian peningnya kepalanya, sehingga ia hampir muntah karenanya. Kini ternyata Sidanti tak dapat diajaknya berbicara. Karena itu maka ia harus berbuat sesuatu. Adalah tidak adil apabila dibiarkannya Agung Sedayu mati ketakutan.
“Apakah kau sudah tetap pada pendirianmu?” bertanya Widura kepada Sidanti.
“Jangan hiraukan aku” kemudian kepada Agung Sedayu ia berkata,
“Aku akan berdiri di belakangmu beradu punggung. Aku mengharap seseorang menghitung sampai hitungan yang kesepuluh. Nah, kemudian kau atau aku yang akan mati”
Widura telah benar-benar kehilangan kesempatan. Maka tak ada yang dapat dilakukan kecuali mencoba menyelamatkan Agung Sedayu. Karena itu dengan langkah yang panjang ia berjalan di samping Agung Sedayu. Widura itu pun berhenti sesaat. Ditatapknya wajah kemenakannya itu dengan penuh iba. Namun dari mulutnya meluncurlah kata-katanya perlahan sekali,
“Matilah kau pengecut. Apa pun yang akan kau lakukan, kau pasti akan mati di lapangan ini. Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan dirimu adalah melawan. Melawan. Mendahuluinya, membidik dadanya, atau kepalanya atau bahu kanannya. Kalau kau tak sampai hati untuk membunuh, maka yang dapat kau kenai adalah tangannya yang memegang busur itu. Secepatnya, sebelum panahnya menembus otakmu. Kalau kau tak mampu melakukannya, maka otakmulah yang akan dirobeknya dengan anak panahnya, dan jangan mencoba menyebut nama Ki Sadewa. Itu hanya akan menodai nama kakak iparku. Hanya mulut yang jantan sajalah yang pantas menyebut namanya”


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar