Jilid 004 Halaman 3


Hudaya menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
“aku menjadi agak kecewa. Mungkin ia mempunyai perhitungannya sendiri. Kalau ia menang maka tak ada kekaguman apa pun padanya. Adalah lumrah ia dapat memenangkan pertandingan sekecil ini. Tetapi kalau ia dikalahkan Sidanti, maka namanya akan menjadi surut”

Citra Gati mengangguk-anggukkan kepalanya. Ketika ia memandang berkeliling, ternyata sebagian dari para penonton telah meninggalkan lapangan itu. Tak ada hadiah yang akan diberikan, namun Ki Demang Sangkal Putung akan menyiapkan pesta dengan memotong beberapa ekor lembu bagi kemenangan anaknya dan kemenangan Sidanti. Citra Gati itu mengerutkan keningnya ketika ia melihat Sidanti dan Sekar Mirah sedang bercakap-cakap dengan asiknya. Ketika sekali ia memandang Agung Sedayu, dilihatnya anak muda itu menundukkan wajahnya. Sesaat kemudian Widura dengan resmi menutup pertandingan itu. Disebutnya para pemenangnya yang disambut dengan sorak yang gemuruh. Swandaru bagi anak-anak muda Sangkal Putung ternyata merupakan pemenang dalam segala lapangan. Sedangkan bagi anak buah Widura sendiri, Sidanti lah yang menjuarainya. Namun dalam pada itu, kekecewaan di hatinya terhadap Agung Sedayu kini benar-benar telah sampai kepuncaknya. Ia melihat kekecewaan pada beberapa orang lain. Dan ki Demang itu pun telah bertanya kepadanya, kenapa Agung Sedayu tidak bersedia turut serta meramaikannya. karena itu, demikian ia selesai dengan kata penutupnya, ia sama sekali tidak berkata apa pun kepada Sedayu. Langsung ia pergi meninggalkan lapangan itu dengan kepala tunduk. Beberapa anak buahnya segera mengikutinya di belakang. Ki Demang pun berjalan pula di sampingnya. Katanya,
“Dimanakah angger Sedayu?”
“Masih di belakang kakang” sahut Widura kosong.
Ki Demang itu pun berpaling. Dilihatnya Sidanti berjalan bersama Sekar Mirah dan dilihatnya Sedayu masih berada di tempatnya bersama Swandaru.
Tetapi Ki Demang itu tidak bertanya lagi. Betapa pun juga dirasakannya sesuatu berdesir di dadanya. Sebagai seorang ayah, Ki Demang prihatin atas pilihan anak gadisnya. Karena sikap Sekar Mirah itu, maka pada suatu saat dapat terjadi hal-hal yang tak diinginkan. Sebagai seorang yang telah cukup usianya, ia tahu benar apa yang tersembunyi di dalam hati Agung Sedayu dan Sidanti. Tetapi ia belum dapat berbuat sesuatu. Dan memang sedang dipikirkannya, bagaimana ia dapat mengendalikan gadis itu. Agung Sedayu melihat arus manusia itu dengan berdebar-debar pula. Lapangan itu seakan-akan sebuah telaga yang mengalir ke segenap penjuru, semakin lama menjadi semakin kering, sehingga akhirnya tinggallah beberapa orang saja yang masih hilir mudik di lapangan itu.
“Apakah tuan akan kembali?” bertanya Swandaru kepada Sedayu.
Sedayu mengangguk,
“Ya” jawabnya singkat. Tetapi ia masih duduk di tempatnya.
“Marilah” ajak Swandaru.
Agung Sedayu memandang berkeliling untuk sesaat. Kemudian ia pun berdiri. Katanya,
“Sebentar Swandaru, apakah kau tergesa-gesa?”
“Tidak” jawab Swandaru.
“Tetapi apakah ada sesuatu yang penting di lapangan ini?”

Sekali lagi Swandaru memandang berkeliling. Orang-orang yang bertugas membersihkan lapangan itu pun telah hampir selesai dengan pekerjaannya. Dan sesaat kemudian lapangan itu pun benar-benar telah sepi.
Tiba-tiba terdengarlah Swandaru itu bertanya,
“Tuan, kenapa tuan tidak ikut dalam perlombaan ini?”
Sedayu menggeleng lemah,
“Tidak Swandaru”
“Aku muak melihat kesombongan Sidanti. Dan aku muak pula melihat Sidanti,” berkata Swandaru pula.
“Biarlah nanti di rumah aku hajar perempuan itu”
“Jangan Swandaru” cegah Sedayu.
“Tak ada gunanya. Biarlah ia berbuat apa saja yang disukainya”
Swandaru terdiam. Namun ia menjadi heran. Sedayu masih belum beranjak dari tempatnya,
“Apakah yang tuan tunggu?” ia bertanya.
Sekali lagi Sedayu memandang berkeliling. Lapangan oi telah benar-benar menjadi sepi. Hanya satu dua orang saja yang masih sibuk melipat tikar dan beberapa perlengkapan.
“Swandaru” berkata Agung Sedayu lirih. Namun kemudian kata-katanya terputus, dan ia menjadi ragu-ragu.
Swandaru memperhatikan wajah Agung Sedayu dengan seksama. Setelah beberapa lama Agung Sedayu berdiam diri, maka bertanyalah Swandaru,
“Apakah yang akan tuan katakan?”
Sekali lagi pandangan mata Agung Sedayu beredar. Kemudian katanya,
“apakah aku dapat meminjam panahmu itu?”
“Apakah yang akan tuan lakukan?” bertanya Swandaru.
“Aku ingin berlatih memanah, supaya lain kali aku dapat ikut serta dalam perlombaan seperti ini”
“Sekarang?”
“Ya”
“Apakah tuan belum pandai memanah?”
Agung Sedayu menggeleng.
“Belum Swandaru”
Swandaru menarik nafas. Ia benar-benar kecewa mendengar pengakuan itu. karena itu ia bertanya,
“Apakah tuan berkata sebenarnya?”
“Apakah kau sangka aku pandai memanah?” bertanya Agung Sedayu.
“Tuan adalah anak muda yang kami kagumi. Ataukah mengkin tuan hanya pandai bertempur dalam jarak yang pendek? Dengan pedang dan tombak?”
“Entahlah Swandaru. Cobalah lihat, bagaimanakah penilaianmu atas diriku”

Swandaru tidak menjawab. dengan tergesa-gesa ia melepaskan busur yang menyilang di punggungnya dan diambilnya anak panahnya dari bumbung di lambung kuda putihnya.
“Inilah tuan” katanya.
“Namun berlatih memanah bukanlah dapat dilakukan sehari dua hari”
“Itulah sebabnya kau mulai dari sekarang”
Swandaru tidak menjawab. ia menjadi tegang ketika ia melihat Sedayu memegang busur dan anak panahnya.
“Swandaru” berkata Sedayu,
“Aku akan mencoba mengenai sasaran yang masih bergantung itu. Tolong, ayunkanlah seperti pada saat perlombaan tadi”
Swandaru menjadi heran. Kalau Agung Sedayu masih ingin belajar, mengapa sasaran itu harus diayunkannya? Tetapi ia tidak menjawab. Ia berjalan saja ke arah sasaran yang masih tergantung terbalik itu. Ditariknya orang-orangan itu dan kemudian dilepaskannya seperti pada saat perlombaan kedua antara Hudaya, Citra Gati dan Sidanti. Tetapi Swandaru menjadi bertambah heran ketika ia melihat Agung Sedayu menggelengkan kepalanya. Dengan tangan Agung Sedayu memberi isyarat, supaya Swandaru mempercepat ayunan orang-orangan itu.
“Aneh”“ pikir Swandaru,
“Apakah yang akan dilakukannya?”
Kini Swandaru itu pun tidak bertanya. Ditariknya orang-orangan itu semakin jauh, dan kemudian sasaran itu tidak saja dilepaskan namun didorongnya sehingga ayunannya menjadi bertambah cepat.
Tetapi kemudian Swandaru itu melihat Agung Sedayu melambaikan tangannya memanggil. Berlari-lari kecil Swandaru pergi mendekati Agung Sedayu, katanya setelah ia berdiri di samping anak muda itu,
“Nah, sekarang apakah yang akan tuan lakukan?”
“Swandaru” berkata Agung Sedayu,
“Apakah yang harus aku kenai?”
“Terserahlah kepada tuan” jawab Swandaru.
“namun dalam perlombaan-perlombaan, kepalanyalah yang diangap mempunyai nilai tertinggi”
Sedayu tidak menjawab lagi. Perlahan-lahan ia mengangkat busurnya, sedang Swandaru memandanginya dengan wajah yang tegang.
“Aku akan mengenainya dari atas berturut-turut” berkata Agung Sedayu.
“Mulai dari bandul, kemudian badan, leher dan yang terakhir kepala”
Swandaru tidak menjawab. Meskipun untuk mengenai kepala sasaran itu cukup sulit, namun mengenai semua bagian berturut-turut menurut rencana itu pun bukan pekerjaan yang mudah. Apalagi ia belum pernah melihat, apakah Sedayu itu benar-benar dapat membidikkan panahnya. Tetapi kemudian Swandaru itu pun terpaku melihat anak panah Sedayu. Anak panah yang pertama itu laju dengan cepatnya, dan seperti apa yang dikatakan oleh Agung Sedayu, anak panah itu mengenai bandulnya tepat di tengah-tengah.
“Tuan” berkata Swandaru dengan serta-merta.
“Ternyata tuan tidak sedang belajar memanah. Tuan dapat mengenai sasaran yang tuan bidik dengan tepat”
“Aku akan mencoba mengenai badannya” sahut Sedayu. Namun ia meneruskan kata-katanya,
“Tetapi kau harus berjanji”
“Apakah yang harus aku janjikan?”
“Jangan berkata kepada siapa pun tentang apa yang akan kau lihat”
Swandaru mengerutkan keningnya. Ia benar-benar tidak mengerti sikap Agung Sedayu. Apakah ia sedang merahasiakan sesuatu? Seandainya ia mempunyai cara yang khusus, supaya cara itu tidak dapat ditiru oleh orang lain, apakah salahnya kalau ia mengatakan hasilnya saja? Meskipun demikian, namun Swandaru itu mengguk kosong sambil menjawab,
“Baiklah tuan”
“Kau berjanji?”
“Ya”
“Bagus” sahut Sedayu. Dalam pada itu ia telah mengangkat busurnya kembali. Dan panahnya yang kedua itu pun benar-benar mengenai bagian badan dari orang-orangan yang masih saja terayun-ayun itu.
“Luar biasa” desis Swandaru.
“Tuan benar-benar mengherankan. Tuan membidik bandul, anak panah tuan hinggap di bandul. Tuan membidik badan dan anak panah tuan hinggap di badan. Sekarang tuan akan mengenai lehernya, bukan begitu?”
“Aku akan coba” jawab Sedayu. Namun demikian ia selesai mengucapkan kata-katanya, demikian anak panahnya terbang menuju sasarannya, leher.
“Bukan main tuan” berkata Swandaru.
“Sekarang bukankah tuan akan mengenai kepala orang-orangan itu?”
Sedayu mengangguk.
“Seharusnya, tuan mengenainya tiga kali. Dengan demikian aku akan yakin, bahwa tuan lebih pandai dari anak muda yang sombong itu”
“Jangan membanding-bandingkan Swandaru” sahut Sedayu.
“Aku tidak sedang berlomba. Perlombaan itu sudah selesai dan Sidanti lah yang mendapatkan kedudukan tertinggi. Sedang kini aku hanya bermain-main saja. Tak ada hubungan apa pun dengan perlombaan yang baru saja selesai.”
Sekali lagi Swandaru mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak berkata apapun. Diamatinya anak panah dibusur Sedayu dengan seksama. Sambil membungkuk-bungkuk ia memerhatikan setiap gerak jari Agung Sedayu. Dan sesaat kemudian lepaslah anak panah yang keempat itu. Sekali lagi Swandaru berteriak,
“Bukan main, bukan main. Tuan telah mengenainya pula”

Sedayu tertawa kecil. Ia senang pula melihat seseorang mengaguminya. Apabila demikian, sebenarnya timbul pula keinginannya agar semua prang mengetahuinya pula, bahwa sebenarnya ia pun dapat berbuat saperti apa yang dilakukan oleh orang lain. Namun kembali ia menjadi cemas, apabila dibayangkannya akibat dari kelebihannya itu. Ia cemas kalau ada orang yang mendendamnya. Dan kini yang hadir di lapangan itu tinggal seorang saja. Swandaru. Dan Swandaru telah berjanji kepadanya, untuk tidak mengatakan apa pun dan kepada siapa pun tentang apa yang dilihatnya. Karena itu, sebagai imbangan dari ketakutannya, maka meledaklah keinginannya untuk menunjukkan setiap kemampuan yang ada pada dirinya, meskipun hanya terhadap seorang saja dan kepada dirinya sendiri.
Maka katanya,
“Swandaru, berapakah anak panahmu seluruhnya?”
“Sepuluh tuan” jawab Swandaru.
“Marilah, berilah aku dua lagi, supaya aku dapat mengenai kepala sasaran itu tiga kali”
Swandaru yang menjadi gembira melihat permainan Agung Sedayu itu pun berlari-lari kekudanya. Diambilnya seluruh anak panahnya dan diserahkannya kepada Agung Sedayu,
“Inilah tuan”
Agung Sedayu menerima anak panah itu. Kemudian dengan cepatnya ia melepaskan dua anak panah berturu-turut. Dan keduanya itu pun hinggap dikepala sasaran pula.
Swandaru itu pun bertepuk tangan sambil berteriak-teriak,
“Mengagumkan, mengagumkan”. Namun kemudian ia terdiam ketika Agung Sedayu berdesis,
“Jangan ribut Swandaru, aku tidak mau bermain-main lagi”
“Ternyata tuan melampaui setiap orang yang ikut dalam perlombaan itu. Kenapa tuan sendiri tidak ikut serta?”
Sekali lagi Agung Sedayu membantah, katanya,
“Tidak, tak ada hubungannya dengan perlombaan yang baru saja berakhir”
“Ya” sahut Swandaru.
“Memang tak ada hubungannya. Tetapi tuan benar-benar telah mengagumkan aku. Seandainya tuan melakukannya selagi masih banyak orang di lapangan ini, maka lapangan ini pasti akan meledak karena sorak mereka yang gemuruh”
“Sudahlah. Lupakan perlombaan itu” potong Agung Sedayu.
“Apakah kita masih akan bermain-main?”
“Tentu” jawab Swandaru.
“Apakah tuan masih mempunyai permainan yang lebih baik lagi?”
“Swandaru” berkata Agung Sedayu kemudian.
“Apakah yang lebih kecil dari kepala sasaran itu?”
Swandaru mengerutkan keningnya.jnya, “Tak ada tuan”

Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ditatapnya sasaran yang bergerak-gerak terayun kian kemari meskipun sudah semakin lambat. Dan kemudian terdengar ia bertanya,
“Swandaru, bahan apakah yang dibuat untuk tali pengikat orang-orangan itu?”
Swandaru menjadi heran. Ia tidak tahu maksud pertanyaan Agung Sedayu. Meskipun demikian ia menjawab juga,
“Serat tuan, serat nanas yang dipilin menjadi tali yang kuat”
“Apakah bukan jangat?”
“Oh, bukan tuan. Jangat kulit terlalu kaku”
“Marilah kita buktikan”
Sekali lagi Swandaru menjadi keheran-heranan. Apakah hubungannya antara panah-panah dan serat nanas itu? karena itu maka ia bertanya,
“Bagaimanakah tuan akan membuktikan? Dan apakah gunanya?”
Agung Sedayu tidak menjawab. namun dipasangnya sebatang anak panah dibusurnya. Perlahan-lahan busur itu pun diangkatnya. Kini ia membidikkan anak panah itu.
Swandaru yang masih belum tahu maksud Agung Sedayu memperhatikannya dengan berbagai pertanyaan memenuhi dadanya. Kali ini Agung Sedayu menarik tali busur sepenuhnya, sehingga busur itu seakan-akan hampir menjadi patah. Dengan hati yang berdebar-debar Swandaru memandangi busurnya. Namun tiba-tiba Agung Sedayu melepaskan anak panah itu, dan anak panah itu terbang secepat angin. Betapa Swandaru menjadi terkejut menyaksikan hasil bidikan Agung Sedayu. Sehingga untuk beberapa saat ia tegak seperti patung. Dengan mulut ternganga ia menyaksikan anak panah yang lepas dari busurnya dengan laju yang tinggi itu telah memutus tali penggantung orang-orangan yang terayun-ayun. Demikian cepatnya dan demikian kerasnya. Barulah ia tahu maksud pertanyaan Agung Sedayu, tentang bahan pembuat tali itu. Swandaru pun pernah juga melihat tali penggantung sasaran itu terputus karena anak panah. Namun justru karena sama sekali tak disengaja. Justru karena anak panah yang condong dari arah bidikan. Tetapi kini Agung Sedayu telah dengan sengaja membidik tali itu. Tali yang jauh lebih kecil dari sasaran itu sendiri. Dan Agung Sedayu ternyata tepat mengenainya. Karena itu, ketika ia menyadari tentang apa yang dilihatnya maka dengan serta-merta ia meloncat maju. Dengan gairahnya ia mengguncang-guncang bahu Agung Sedayu sambil berkata terbata-bata,
“Tuan. Ternyata dugaanku benar. Tuan ternyata benar-benar melampaui setiap orang yang pernah aku lihat. Bukankah dengan mengenai tali itu terbukti tuan tak mungkin dikalahkan oleh siapa pun juga. Tali itu jauh lebih kecil dari kepala sasaran itu. Dan tali itu sedang bergerak-gerak. Ternyata tuan dapat mengenainya. Tidak saja tepat, namun tuan sudah berhasil memutuskannya. Bukankah dengan demikian berarti bahwa tuan mengenainya tepat di tengah-tengah?”
Agung Sedayu yang terguncang-guncang itu pun melepaskan dirinya. Sambil tertawa ia berkata,
“Jangan Swandaru. Nanti tubuhku rontok karena guncanganmu. Ternyata tenagamu luar biasa pula, sehingga tulang-tulangku hampir remuk karenanya”
Swandaru menarik nafas. Dengan penuh kekaguman sekali lagi ia memandangi ujung tali yang terputus oleh anak panah Agung Sedayu. Sambil menggeleng-gelengkan kepala ia bergumam,
“Apakah tuan dapat menaruh biji-biji mata di ujung-ujung anak panah itu?”

Agung Sedayu tidak menjawab. namun ia tertawa. Kini ia pun menjadi bergembira pula seperti Swandaru. Bahkan ia menjadi semakin berbangga. Timbullah keinginannya untuk menunjukkan berbagai macam permainan, yang dapat menunjukkan kelebihan-kelebihan yang dimilikinya dari orang lain sebagai pencurahan hatinya yang selalu terkekang oleh kekerdilan jiwanya.
“Swandaru” berkata Agung Sedayu kemudian,
“Di dalam pertempuran orang tidak saja terikat kepada sasaran tertentu. Mungkin ia harus membidik lawan yang sedang berlari kencang bahkan di atas punggung kuda. Mungkin ia harus membidik tubuh lawannya yang hanya nampak sebagian kecil karena bersembunyi di balik pepohonan. Nah, maukah kau membantu aku bermain-main dengan anak panah?”
“Tentu tuan” jawab Swandaru.
“Tetapi kau harus tatag. Jangan cemas, apabila kau melihat anak panah yang mendatang”
“Apakah yang harus aku lakukan?”
“Bawalah orang-orangan itu sambil berpacu di punggung kuda. Aku akan mencoba mengenainya”
“Ah, bukankah itu berbahaya?
Agung Sedayu berpikir sejenak. Kemudian jawabnya,
“Baiklah. Aku mempunyai cara lain. Lepaskanlah kepala sasaran itu. Lemparkan ke udara. Biarlah aku mengenainya dengan anak panah”
“Bagus. Permainan yang mengasyikan” sahut Swandaru yang kemudian berlari-lari mengambil sasaran yang telah terjatuh di tanah. Dilepasnya bagian kepalanya dan dengan isyarat ia menunjukkan kepala orang-orangan itu kepada Agung Sedayu. Agung Sedayu kemudian bersiap. Dengan isyarat pula ia memberi tanda kepada Swandaru untuk melemparkan sasaran itu keudara. Kedua anak muda itu benar-benar menjadi bergembira, seperti sepasang anak-anak yang sedang bermain-main. Dalam kegembiraan itu maka Agung Sedayu telah melupakan segalanya. Melupakan kecemasannya dan melupakan kemungkinan-kemungkinan yang dapat menyeretnya kedalam persoalan-persoalan yang tidak dikehendakinya. Swandaru yang berdiri beberapa puluh langkah dari Agung Sedayu itu pun kemudian melemparkan sasarannya ke arah Agung Sedayu. Ternyata betapa besarnya tenaga Swandaru. Meskipun sasaran itu hampir tak memiliki berat, namun Swandaru berhasil melemparkan melambung melampaui tempat Agung Sedayu berada. Tetapi sasaran itu tidak sempat melampauinya. Ketika benda itu hampir sampai di atas kepalanya, maka meluncurlah anak panah Agung Sedayu dengan kecepatan tinggi. Apa yang dilihat oleh Swandaru benar-benar mentakjubkannya. Kini ia bertepuk sejadi-jadinya. Ia melihat anak panah itu menyambar sasarannya dan bahkan sasaran itu pun ikut serta melambung ke atas dibawa oleh arus anak panah Agung Sedayu, hampir tegak lurus ke udara. Tetapi tepuk tangan Swandaru itu pun kemudian terhenti. Ia melihat Agung Sedayu melangkah beberapa langkah maju. Dengan tegangnya ia menunggu, apalagi yang akan dilakukan oleh Agung Sedayu itu, yang kini berdiri tepat di bawah sasarannya yang hampir mencapai puncak ketinggian. Dan ternyatalah sesaat kemudian sasaran itu pun seolah-olah terhenti di udara, dan sesaat pula sasaran itu menukik turun dengan cepatnya. Namun kembali Swandaru terkejut. Ia melihat Agung Sedayu menarik busurnya dan sebuah anak panah terbang secepat tatit menyambar sasaran yang sedang meluncur turun itu. Sesaat kemudian kedua benda itu pun seolah-olah beradu. Anak panah Agung Sedayu yang kesembilan telah berhasil mematuk sasarannya pula, sehingga benda itu pun kemudian berputar seperti baling-baling di udara. Dua batang anak panah yang saling bertentangan itu seolah-olah sengaja dipasang sebagai jari-jari dari sebuah baling-baling. Swandaru kini tak dapat menguasai diri lagi. Dengan cepatnya ia berlari mendekati Agung Sedayu sambil berteriak-teriak,
“Gila, bagaimana tuan dapat melakukan itu?”

Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia melingkar beberapa langkah surut. Sasaran yang dikenainya melambung pula ke atas, namun tidak setinggi semula. Karena itu, kini Agung Sedayu siap melakukan permainannya yang terakhir. Panahnya tinggal sebatang, dan panah itu akan dihabiskannya. Dengan cepatnya ia memasang anak panah itu dan sebelum sasarannya jatuh menyentuh tanah, maka Agung Sedayu masih sempat menyambarnya dengan anak panahnya yang kesepuluh. Sasaran itu terlempar beberapa langkah, dan kemudian terjatuh di tanah. Namun seakan-akan sasaran itu terseret oleh kekuatan anak panah Sedayu beberapa langkah lagi. Apa yang dilihat oleh Swandaru itu hampir-hampir tak masuk diakalnya. Tiga anak panah hinggap pada satu sasaran yang sedang melambung di udara. Seperti orang yang benar-benar kehilangan kesadaran Swandaru berteriak-teriak kegirangan. Bahkan kemudian anak itu telah kehilangan keseimbangan berpikir. Dengan serta-merta ia berteriak,
“Tuan. Setiap orang Sangkal Putung harus tahu apa yang telah tuan lakukan. ternyata Sidanti tidak sepantasnya untuk menamakan dirinya pemanah terbaik dari Sangkal Putung. Sebab tuan dapat memanah jauh lebih baik daripadanya”
Agung Sedayu terkejut mendengar kata-kata Swandaru itu. Dengan cemasnya ia berkata,
“Jangan Swandaru, bukankah kau telah berjanji?”
“Tuan terlalu merendahkan diri” sahut Swandaru.
“Tetapi sekali lagi anak yang sombong itu harus menyadari keadaannya, ia bukan manusia yang tak ada bendingnya. Bahkan Sidanti itu pasti tak akan dapat melakukan seperti apa yang tuan lakukan itu”
“Jangan Swandaru” cegah Agung Sedayu.
Namun Swandaru seolah-olah sudha tidak mendengar lagi kata-kata Agung Sedayu itu. Dengan cepatnya ia berlari ke arah kuda putihnya. Dan sebelum Agung Sedayu sempat berbuat sesuatu, Swandaru telah meloncat ke punggung kudanya itu dan seperti sedang berpacu dengan hantu kuda itu lari kencang-kencang. Agung Sedayu menjadi bingung. Untunglah bahwa dalam endongnya sudah tidak terselip lagi sebatang anak panahpun. Seandainya, ya seandainya demikian, maka sudah pasti kuda Swandaru itu tak akan dapat pulang ke kandang. Tetapi yang terjadi, Agung Sedayu itu berdiri dengan kaki gemetar melihat kuda Swandaru itu terbang meninggalkan lapangan. Sekilas berterbangan pulalah di dalam benaknya, apakah kira-kira yang akan dilakukan oleh Swandaru itu. Terbayanglah kemudian, Sidanti akan datang dengan wajah yang merah membara karena kemarahannya. Di dalam hati Agung Sedayu itu, timbullah suatu penyesalan. Betapa dengan sombongnya ia telah menunjukkan beberapa permainan yang akan dapat membawa kesulitan kepadanya. Apalagi kini pamannya sedang marah pula kepadanya. Namun ia sudah tidak dapat berbuat sesuatu. Swandaru itu kini telah hilang di balik rimbunnya dedaunan. Yang tinggal adalah sebuah kepulan debu yang putih, semakin lama semakin tipis dan akhirnya lenyap ditiup angin yang sepoi-sepoi. karena itu, maka keringat yang dingin segera mengalir membasahi segenap tubuh Agung Sedayu.

Swandaru itu pun memacu kudanya menyusul Sidanti yang sedang berjalan perlahan-lahan kembali kekademangan. Dengan asyiknya ia bercakap-cakap dengan beberapa orang yang sedang mengaguminya. Bahkan Sekar Mirah yang kemudian berjalan di samping ayahnya itu pun berkali-kali berpaling dan sekali-sekali dipujinya anak muda itu di hadapan ayahnya. Ki Demang Sangkal Putung hanya kadang-kadang saja menanggapi pujian-pujian itu. Namun di dalam hatinya, orang tua itu benar-benar mengeluh. Gadisnya harus benar-benar dikuasainya. karena itu, maka Ki Demang Sangkal Putung itu, bahkan bertekad untuk bersikap lebih keras lagi terhadap Sekar Mirah. Ia menyesal bahwa anak gadisnya satu-satunya itu terlalu dimanjakannya. Baik oleh dirinya sendiri mau pun oleh ibunya, sehingga Sekar Mirah itu mempunyai sifat yang sukar dikendalikan. Ia berbuat seenaknya seperti yang dikehendakinya. Perasaannya terlalu tampil ke depan, jauh ke depan dari pikiran wajarnya. Widura berjalan saja tanpa menghiraukan apapun. Hanya kadang-kadang saja ia memandang orang-orang yang lalu lalang di sekitarnya. Ditatapnya wajah-wajah yang dengan gembira pulang dari lapangan menyaksikan perlombaan-perlombaan yang sangat menarik hati. Perlombaan-perlombaan yang jarang terjadi di kademangan yang subur itu. Tetapi langkah Widura itu pun kemudian terhenti, ketika ia melihat dua orang berkuda menuju ke arahnya. Dua orang yang dikenal baik oleh Widura, sebagai laskarnya yang patuh. Bahkan kedatangan dua orang berkuda itu pun sangat menarik perhatian orang-orang yang sedang berjalan pulang dari lapangan itu. Sehingga ada di antaranya yang ikut berhenti pula, menanti kalau-kalau ada sesuatu yang penting bagi Sangkal Putung. Tetapi kedua orang itu ternyata sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda yang mencemaskan, dengan tersenyum-senyum ia kemudian turun dari kudanya dan kemudian mengangguk hormat kepada Widura. Widura pun mengangguk pula. dilihatnya juga kedua orang itu hanya tersenyum-senyum, namun bagi Widura, senyum mereka adalah senyum yang tak begitu wajar. Meskipun demikian Widura tahu benar maksud kedua orang itu. Mereka tidak mau merampas kegembiraan orang-orang Sangkal Putung dengan sikap-sikap yang tegang dan tergesa-gesa. Widura pun kemudian tidak bertanya langsung apa keperluan mereka. Tetapi ia yakin pasti ada sesuatu. Kedua orang itu adalah orang yang sedang bertugas berjaga-jaga di ujung kademangan.
“Perlombaan sudah selesai” berkata Widura kepada mereka.
“Marilah kita ke kademangan”
Kedua orang itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya, dan dengan menuntun kuda mereka, mereka berjalan di samping Widura ke kademangan.
Sidanti pun melihat kedua orang itu pula, demikian juga Hudaya dan Citra Gati. Bahkan Sonya yang berjalan jauh-jauh di belakang bersama Sendawa mempercepat langkah mereka. Tetapi mereka menjadi kecewa ketika ternyata kedua orang itu tak berkata apa-apa.
Orang-orang Sangkal Putung yang berhenti karena kedatangan orang-orang berkuda itu pun kemudian meneruskan langkah mereka. Ternyata dalam tanggapan mereka, kedua orang berkuda itu pun agaknya hanya ingin menyaksikan perlombaan di lapangan, namun mereka sudah terlambat.

Namun Widura yang segera ingin tahu apa yang sudah terjadi itu, ternyata tidak sabar menunggu sampai mereka tiba di kademangan. karena itu maka perlahan-lahan hampir berbisik ia berkata,
“Ada sesuatu?”
Salah seorang dari kedua orang berkuda itu mengangkat wajahnya. sesaat ia memandang orang-orang berjalan di sekitarnya namun kemudian dengan berbisik pula ia berkata,
“Tak begitu penting, meskipun harus mendapat perhatian”
“Apakah itu?”
“Di antara beberapa orang yang lewat di muka gardu penjagaan kami, kami melihat seorang yang menarik perhatian kami”
Widura mengerutkan keningnya. Kemudian katanya,
“Siapa?”
“Seorang yang barangkali hadir juga menyaksikan perlombaan di lapangan. Meskipun pakaiannya kumal dan kotor, namun tongkatnya telah meyakinkan kami”
“Tongkat baja putih?”
Orang itu mengangguk.
“Berkelapa kuning berbentuk tengkorak?”
Sekali lagi orang itu mengangguk.
Widura itu pun menggeram,
“Macan yang gila itu sempat menyaksikan perlombaan itu pula”
“Aku sangka demikian. Namun kami tidak berani menangkapnya. Sebab kami tahu pasti kekuatan yang tersimpan pada dirinya”
“Kalian telah berbuat benar” sahut Widura.
“Juga kalian tak dapat menghitung, berapa orang yang dibawanya”
Prajurit berkuda itu mengangguk. Katanya,
“Kami berenam di dalam gardu kami. Seandainya kami harus bertempur, belum pasti kami berenam sempat melaporkan kehadirannya. Yang dapat kami lakukan hanyalah memukul tanda bahaya. Dan orang-orang itu pun segera akan lenyap. Sedang sebagian besar dari kami, pasti sudah mati”
“Benar” sahut Widura pula, kemudian katanya,
“Apakah mereka sudah meninggalkan Sangkal Putung?”
“Kami menyangka demikian” jawab orang itu.
“Aku juga menyangka demikian” berkata Widura.
“Orang itu hanya ingin tahu, apakah yang terjadi di sini, dan sekaligus ia dapat mengetahui pula, gambaran kekuatan laskar kita di sini. Untunglah bahwa perlombaan pedang dan sodoran hanya aku peruntukkan anak-anak muda Sangkal Putung, sehingga Tohpati itu tidak dapat mengukur kekuatan prajurit Pajang di Sangkal Putung”

Orang itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan kemudian mereka itu pun saling berdiam diri. Namun apa yang didengar oleh Widura dari penjaga-penjaganya itu, semakin meyakinkannya, bahwa apa yang dikatakan Kiai Gringsing semalam benar-benar akan dilakukan oleh Tohpati. Sekali lagi menyergap Sangkal Putung. Namun tiba-tiba mereka dikejutkan oleh derap kaki kuda yang berdentang-dentang di jalan berbatu-batu di belakang mereka. Semakin lama menjadi semakin keras, sehingga setiap orang yang mendengarnya menjadi cemas karenanya. Bahkan kedua prajurit berkuda itu pun menjadi cemas pula. Karena itu, maka semua mata, berpuluh-puluh pasang, seakan-akan melekat ditikungan jalan di belakang mereka. Sesaat kemudian muncullah kuda itu, seekor kuda putih dengan penunggangnya yang gemuk bulat. Swandaru.
“Oh” hampir semua mulut berdesah, ketika mereka melihat anak muda itu. Sedang Swandaru itu pun menjadi terkejut pula ketika dilihatnya beberapa orang berhenti di jalan seakan-akan sedang menunggunya. Sehingga tanpa sesadarnya ia bertanya sambil menarik kekang kudanya.
“Apakah yang kalian tunggu?”
Kuda Swandaru itu berhenti beberapa langkah dari Sidanti. Namun Sidanti itu kemudian sama sekali tak memperhatikannya. Dengan langkah yang tetap Sidanti meneruskan perjalanannya kembali kekademangan.
Ki Demang Sangkal Putung, yang masih agak jauh dari padanya menjawab pertanyaan anaknya,
“Kau mengejutkan kami, Swandaru”
“Ah” sahut Swandaru.
“Betapa ayah mudah menjadi terkejut, sedang kakang Sidanti pun sama sekali tidak terkejut mendengar derap kudaku”
Langkah Sidanti pun terhenti. Dengan wajah yang asam ia berpaling ke arah Swandaru. Namun hanya sebentar, dan kembali ia tidak memperhatikan anak muda itu lagi, seakan-akan kehadirannya sama sekali tak berarti baginya. Swandaru melihat kemasaman wajah itu. karena itu maka hatinya pun menjadi semakin panas. Tiba-tiba timbullah keinginannya untuk memanaskan hati Sidanti pula. maka katanya lantang,
“Kakang Sidanti, berhentilah sebentar”
Sekali lagi Sidanti berpaling, kali ini ia memandang Swandaru dengan tajam, katanya,
“Jangan ribut Swandaru”
“Aku tidak sedang ribut,“ Jawabnya.
“Tetapi aku ingin memberitahukan kepadamu, bahwa sebenarnya bukan kaulah pemanah terbaik di Sangkal Putung”

Kali ini Sidanti benar-benar berhenti. Ia tidak saja berpaling, namun dengan sigapnya ia memutar tubuhnya. Ditatapnya wajah Swandaru dengan tajamnya. Dan bertanyalah anak muda itu dengan suara yang bergetar,
“Apa katamu Swandaru?”
Ki Demang Sangkal Putung dan Widura pun tertarik pula pada kata-kata Swandaru itu. Namun mereka menjadi cemas, dan berkatalah Ki Demang Sangkal Putung,
“Swandaru, hati-hatilah dengan kata-katamu”
Swandaru tidak menghiraukan kata-kata ayahnya. Dengan masih tetap di atas punggung kudanya ia berkata,
“Aku berkata sebenarnya, bahwa kakang Sidanti bukan pemanah terbaik di antara kita”
Sidanti itu pun menjadi heran mendengar kata-kata Swandaru yang tiba-tiba itu. karena itu beberapa langkah ia maju mendekati Swandaru. katanya,
“Ulangi Swandaru. dan apa alasannya?”
“Baik” jawab Swandaru.
“Aku ulangi. Kau bukan pemanah terbaik di Sangkal Putung. Alasanku, di lapangan masih ada seorang pemanah yang pasti melampaui kecakapanmu”
Dada Sidanti menjadi bergelora. Betapa hatinya menjadi panas. Seandainya pada saat itu tidak ada Widura, Ki Demang Sangkal Putung, Hudaya, Citra Gati, Sekar Mirah maka mulut Swandaru itu pasti sudah ditamparnya untuk ketiga kalinya. Tetapi kini ia masih mencoba menahan dirinya. Sedang beberapa orang lain pun melangkah mendekati mereka. Widura, Ki Demang Sangkal Putung, Hudaya, Citra Gati, Sekar Mirah dan beberapa orang lainnya. Sekali lagi Ki Demang Sangkal Putung mencoba mencegah anaknya yang kurang dapat menempatkan diri itu, katanya,
“Swandaru, sudahlah, jangan membual. Apa pun yang terjadi di lapangan menurut katamu, namun perlombaan sudah selesai. Dan angger Sidanti lah yang kami anggap sebagai pemenangnya”
Swandaru tertawa. Jawabnya,
“Ternyata anggapan itu salah ayah”
“Tidak bisa” sahut ayahnya.
“Kami semuanya menjadi saksi”

Swandaru masih tertawa. Dipandangnya kemudian wajah-wajah yang tegang di sekitarnya. Dilihatnya beberapa orang memandangnya dengan penuh pertanyaan pada sinar matanya. kKarena itu, maka Swandaru itu pun berkata pula,
“Baiklah. Katakanlah dalam perlombaan itu kakang Sidanti ternyata menjadi pemenang. Namun aku katakan bahwa ia bukanlah pemanah terbaik di Sangkal Putung”
Widura masih tetap berdiam diri. Dengan cepatnya ia memaklumi maksud Swandaru. ketika tak dilihatnya Agung Sedayu di antara mereka, maka pasti Agung Sedayu lah yang dimaksud oleh Swandaru itu.dan dengan cepat pula Widura dapat mengira-irakan apakah yang telah dilakukan oleh Agung Sedayu. Agaknya ia telah melakukan beberapa permainan bersama Swandaru. Namun Widura menjadi heran, bahwa Swandaru telah menyusul Sidanti dan mengatakan apa yang dilihatnya. Apakah maksud Swandaru itu telah disetujui Agung Sedayu?
Sidanti telah hampir tak dapat menahan dirinya lagi. Dengan lantang ia berteriak,
“Jangan banyak bicara Swandaru. katakan siapa orangnya!”
Swandaru meredupkan matanya. Dipandangnya Sidanti baik-baik. Apakah yang akan terjadi kalau ia menyebutkan nama orang yang telah mengagumkannya itu? Dan dengan las-lasan disebutnya nama itu, katanya,
“Kau ingin tahu namanya? Namanya Agung Sedayu”
Sidanti mendengar nama itu, seperti suara guruh yang meledak di atas kepalanya. Sesaat wajahnya menjadi tegang, namun sesaat kemudian tubuhnya menjadi gemetar. Tiba-tiba semua orang pun menjadi tegang pula ketika mereka melihat Sidanti itu, tanpa sepatah katapun, melangkah dengan tergesa-gesa menyibak semua orang yang berdiri di sekitarnya. Dengan dada yang bergelora ia berjalan kembali kepalangan sambil menjinjing busurnya. Namun demikian masih juga ia bergumam,
“Bagus. Kita buktikan, siapakah di antara kita yang akan menjadi pemanah terbaik di Sangkal Putung”
Beberapa orang yang kemudian tersadar akan keadaan itu, segera berjalan pula kembali ke lapangan. Mereka ingin menyaksikan apakah gerangan yang akan terjadi. Widura memandang si dengan hati yang berdebar-debar pula. sesaat ia menjadi ragu-ragu. Namun sesaat kemudian disadarinya, bahwa ia harus hadir pula di lapangan. Seandainya terjadi sesuatu dengan Sidanti dan Agung Sedayu, maka ia pun harus dengan cepat dapat mengatasinya. Meskipun demikian, Widura itu tak dapat melupakan kehadiran Tohpati di Sangkal Putung. karena itu sebelum ia pergi menyusul Sidanti, dipesannya dua orang berkuda itu untuk segera kembali kegardunya, katanya,
“Kembalilah ke gardumu. Beritahukan kemudian gardu-gardu yang lain. Dan selalu siapkanlah tanda bahaya. Jangan terlambat”
Kedua orang itu mengangguk, jawabnya,
“Baik. Akan segera kami lakukan”
Demikian kedua orang berkuda itu pergi, maka berkatalah Widura kepada ki Demang yang masih saja berdiri kebingungan,
“Marilah kita saksikan, apakah yang terjadi”
“Baik, baik” jawab Ki Demang. Dan kepada Swandaru ia berkata,
“Swandaru, kau selalu saja bikin perkara. Bukankah dengan demikian kau telah memanaskan hati Sidanti? Apalagi kalau ternyata kata-katamu benar. Lalu bagaimanakah dengan hasil perlombaan itu?”
“Kalau mereka ingin bertanding, apa salahnya ayah” jawab Swandaru.
“Bukankah dengan demikian kita akan mendapat penilaian yang jujur atas semua orang di Sangkal Putung?”
“Kalau ada yang ketinggalan dalam perlombaan, itu adalah karena keinginannya sendiri” jawab Ki Demang. Namun ia tidak dapat berkata apa pun seterusnya, ketika diingatnya bahwa Agung Sedayu adalah kemenakan Widura.
Tetapi Widura lah yang meneruskan,
“Apa yang terjadi kemudian tidak akan mempengaruhi hasil perlombaan. Adalah salah Agung Sedayu sendiri kenapa ia tidak ikut serta dalam perlombaan itu. Betapa pun pandainya ia membidikkan anak panah, namun apabila itu dilakukan setelah perlombaan, maka tak ada sebuah nilai pun yang dapat diberikan padanya”
Swandaru kini jadi terdiam. Ia sama sekali tak berani menjawab kata-kata Widura. Namun orang lainlah yang kemudian berkata,
“Biarlah kakang. Biarlah anak muda yang sombong itu dapat menilai dirinya. Seandainya seseorang dapat melampauinya, meskipun kelebihan itu tak dapat mempengaruhi hasil perlombaan, namun kita semua akan mengetahuinya, bahwa ada orang lain yang sebenarnya lebih berhak atas kemenangan itu daripada Sidanti”
Widura berpaling ke arah suara itu. Dilihatnya di belakangnya Hudaya mengangguk-anggukkan kepalanya, sambil berkata,
“Kau benar kakang Citra Gati”
Widura menarik nafas dalam-dalam. Meskipun demikian ia menjawab,
“Aku harus ada di antara mereka. Pertandingan yang kemudian ini pun tak boleh lebih dari pertandingan memanah”
Hudaya tersenyum masam. Sahutnya,
“Apa salahnya? Bukankah semuanya ini terjadi diluar arena yang seharusnya? Kalau kali ini kakang masih mencegahnya, maka itu hanya aka nberarti menunda-nunda penyelesaian”

Di dalam hatinya Widura pun membenarkan kata-katanya Hudaya itu. Namun segera terlintas di dalam kepalanya, bayangan-bayangan yang mencemaskannya. Tohpati. Kalau orang-orangnya sibuk dengan bentrokan-bentrokan antara sesama, apakah jadinya kalau Tohpati itu tiba-tiba saja menerkam Sangkal Putung,? Kalau terjadi sesuatu, maka hal itu pasti akan didengar oleh Macan Kepatihan itu. Sebab siapa tahu bahwa seorang dua orang dari laskar Jipang masih ada di antara mereka dan menyaksikan perselisihan itu. Hal inilah yang tak terpikirkan oleh Hudaya, Citra Gati dan orang-orang lain. Mereka hanya menuruti perasaan mereka saja. Kebenciannya kepada kesombongan Sidanti agaknya telah benar-benar memuncak. Dan mereka mengharap Agung Sedayu akan memberi beberapa peringatan kepada Sidanti. Namun ada hal lain lagi yang tak mereka ketahui. Agung Sedayu tidak lebih dari seorang penakut. Karena itu, kali ini pun Widura menjadi pening karenanya. Meskipun demikian, maka Widura berkata tegas,
“Tak akan ada perkelahian di antara kita”
Hudaya dan Citra Gati tidak berkata-kata lagi. Namun wajahnya membayangkan kekecewaan hatinya. Sesaat mereka saling berpandangan. Hudaya itu, kemudian tersenyum hambar ketika ia melihat Citra Gati mengangkat bahunya. Ketika mereka melihat Widura melangkah kembali ke lapangan, mereka itu pun mengikutinya pula. sedang Ki Demang Sangkal Putung dengan wajah yang masam berkata kepada anaknya,
“Swandaru, segera kau akan melihat akibat pokalmu itu”
Swandaru menundukkan wajahnya. kini baru disadarinya, mengapa Agung Sedayu mencegahnya untuk tidak menyampaikan cerita tentang dirinya itu kepada siapa pun juga. Barulah kini ia dapat menilai perbuatannya itu. Namun semuanya sudah terjadi. Dan sebenarnya hatinya pun terbersit harapan seperti yang diucapkan oleh Hudaya dan Citra Gati itu. Namun ia tidak membantah ayahnya lagi. Bahkan ia pun kemudian turun dari kudanya dan dituntunnya kuda itu berjalan di belakang ayahnya. Sedang Sekar Mirah ternyata berjalan jauh mendahului. Dengan tergesa-gesa ia berjalan di belakang Sidanti di antara beberapa orang lain yang ingin juga menyaksikan pertandingan yang kedua, yang pasti tidak kalah menggemparkan dari pertandingan yang baru saja selesai. Bahkan beberapa orang sudah mulai menilai-nilai kedua anak muda yang mereka anggap sebagai pahlawan-pahlawan yang mengagumkan. Mereka berdua adalah anak muda yang namanya menjadi buah bibir orang-orang Sangkal Putung. Sidanti ternyata terkenal sebagai seorang yang gagah berani yang dengan kesaktiannya mampu bertahan melawan Macan Kepatihan. Sedang Agung Sedayu bagi mereka merupakan seorang pahlawan penyelamat padukuhan Sangkal Putung.
Keduanya kini akan berhadapan dalam satu pertandingan memanah. Alangkah mengasyikkan.

Sidanti sendiri yang berjalan paling depan dari iring-iringan yang semakin lama menjadi semakin panjang itu, dadanya benar-benar bergelora karena hatinya yang panas. Sejak semula ia berharap agar ia dapat bertanding dalam kesempatan apa pun dengan Agung Sedayu. Namun ia menjadi kecewa ketika Agung Sedayu tidak ikut serta dalam perlombaan itu. Namun tiba-tiba di belakangnya, Agung Sedayu telah membuatnya menjadi bersakit hati. Kini biarlah dibuktikan siapa di antara mereka berdua yang berhak menamakan dirinya pemanah terbaik di Sangkal Putung. Kabar itu, kabar tentang Agung Sedayu, segera menjalar seperti api yang membakar kademangan Sangkal Putung. Setiap mulut dan setiap telinga telah dirayapi oleh berita itu. Beberapa orang berlari-lari pulang, untuk memanggil kakak-kakak mereka, adik-adik mereka dan keluarga-keluarga mereka yang telah terlanjur sampai di rumah, untuk menyaksikan pertandingan yang pasti akan menggembirakan hati mereka, melampaui pertandingan yang baru saja selesai. Beberapa saat kemudian Sidanti itu pun menjadi semakin dekat dengan lapangan di muka banjar desa, sejalan dengan hatinya yang menjadi semakin bergelora oleh kemarahan. Maka ia pun semakin mempercepat langkahnya, seakan-akan ia ingin meloncat dengan satu loncatan yang akan dapat mencapai sisa jarak yang sudah tidak terlalu jauh itu. Di lapangan, Agung Sedayu berdiri dengan dada yang berdebar-debar. Berbagai perasaan berkecamuk di dalam dadanya. Cemas, kecewa, meyesal bercampur baur. Sehingga lututnya pun menjadi gemetar. Ternyata Swandaru tidak menepati janjinya, sehingga akibatnya benar-benar tak seperti yang diharapkan. karena itu, dalam kebingungan Agung Sedayu itu berjalan hilir mudik tak menentu. Sekali-sekali ingin ia pergi meninggalkan lapangan. Tetapi kemudian ia menjadi ragu-ragu. Sehingga akhirnya dadanya itu pun serasa berdnentangan, ketika ia mendengar suara orang-orang yang ribut semakin lama menjadi semakin dekat. Dan ternyatalah kemudian apa yang ditakutkannya. Dari balik rimbunnya daun-daun, dari balik dinding-dinding batu, muncullah orang-orang itu. Berbondong-bondong dan kemudian pecah berlarian mengelilingi lapangan. Darah Agung Sedayu itu pun hampir berhenti mengalir ketika dilihatnya, di ujung iring-iringan itu berjalan seorang yang sanga menakutkan baginya. Sidanti. Dan Sidanti itu langsung berjalan ke arah Agung Sedayu. Dengan langkah yang tetap namun tergesa-gesa, seakan-akan ia takut terlambat, meskipun hanya sekejap. Tetapi hati Agung Sedayu itu pun kemudian menjadi agak tenteram ketika kemudian dilihatnya, pamannya datang pula ke lapangan. Ki Demang Sangkal Putung dan beberapa orang lagi. Dengan demikian ia hanya dapat berdoa mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu atas dirinya. Sidanti itu pun kemudian berhenti hanya beberapa langkah saja di muka Agung Sedayu. Dengan wajah tegang dipandanginya wajah Agung Sedayu.

Agung Sedayu masih saja berdiri di tempatnya. Betapa pun dadanya berguncang, namun dicobanya juga menguasau dirinya. Bahkan kemudian dilihatnya juga Sekar Mirah yang memandangnya dengan penuh teka-teki. Akhirnya pamannya dan Ki Demang Sangkal Putung pun berdiri dilingkaran itu pula. hanya Swandarulah yang berdiri agak jauh, namun wajahnya masih sasa tampak memancarkan kebanggaannya atas Agung Sedayu. Sekali-sekali disambarnya wajah Sidanti dengan tatapan matanya. Ditariknya bibirnya ke samping dan kemudian ia tersenyum. Betapa menyesal Agung Sedayu melihat anak muda itu. Namun kini semuanya telah terlanjur. Dan dirinyalah kini yang menjadi pusat perhatian segenap penduduk Sangkal Putung yang semakin lama menjadi semakin banyak. Seperti guruh menggelegar di langit, Agung Sedayu itu mendengar Sidanti berkata parau,
“Adi Agung Sedayu. Aku telah mendengar apa yang baru saja kau lakukan”
Agung Sedayu menggigit bibirnya. Dengan sudut matanya memandang wajah Swandaru. namun ia pengumpat di dalam hati ketika dilihatnya Swandaru itu tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian Agung Sedayu itu menjawab,
“Aku tidak berbuat apa-apa kakang Sidanti”
Sidanti mengerutkan keningnya. Kemudian anak muda itu tersenyum masam,
“Jangan menghina aku. Kenapa kau tidak turut saja berlomba?”
“Aku tidak berhasrat” sahut Agung Sedayu.
“Tetapi kenapa kau membuat kericuhan setelah pertandingan selesai?”
“Apakah yang aku lakukan?”
Mata Sidanti menjadi semakin menyala. Dan hati Agung Sedayu menjadi semakin kecut karenanya. Namun dicobanya juga untuk tetap menatap wajah Sidanti dengan wajah tengadah. Tetapi lututnyalah yang terasa bergetaran. Meskipun demikian Agung Sedayu tidak dapat menghindarkan diri dari pertanggungan jawabnya atas semua perbuatannya. Kata-katanya dan anggapan orang-orang Sangkal Putung bahwa ia adalah seorang pahlawan. Dan anggapan-anggapan itu belum pernah dibantahnya. Apalagi ketika dilihatnya di sampingnya Sekar Mirah berdiri dengan wajah yang cerah. Kepada gadis itu pun telah banyak diceritakannya tentang perjalanannya ke Sangkal Putung bersama kakaknya dahulu. Dan diceritakannya betapa ia berdua bertempur melawan Alap-alap Jalatunda dan pande besi dari Sendang Gabus. Betapa dengan dahsyatnya ia berdua berhasil membunuh tiga orang di antaranya dan cerita-cerita lain yang dibuatnya untuk menutupi kekerdilan jiwanya. Kini ia dihadapkan pada satu pembuktian. Ia tidak dapat berbuat apapun, selain berbuat sesuatu untuk menyelamatkan namanya. Tetapi, betapa ia memaksa dirinya, namun lututnya yang gemetar dan hatinya yang berdebar-debar itu sangat menyulitkannya.
Dan kemudian terdengar Sidanti berkata pula dengan suara yang lantang,
“Kau telah menyuruh Swandaru berteriak-teriak sepanjang jalan, bahwa pemenang dalam perlombaan itu bukan pemanah terbaik di Sangkal Putung”
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Sekali lagi dipandanginya wajah Swandaru. dan Agung Sedayu itu pun menjadi semakin menyesali sikap Swandaru itu. Dengan tertawa Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun Agung Sedayu itu kemudian menggelengkan kepalanya. Jawabnya,
“Aku tidak menyuruhnya. Dan aku tidak berbuat apa-apa”

Semua orang yang mendengar jawaban Agung Sedayu itu menjadi heran. Tanpa berjanji, maka semua orang berpaling ke arah anak muda yang gemuk itu, seolah-olah mereka bertanya kepadanya, apakah yang dikatakannya itu benar-benar bukan sebuah dongengan. Swandaru pun merasakan pertanyaan-pertanyaan yang memancar dari wajah-wajah itu. Sesaat ia menjadi bingung. Kenapa Agung Sedayu idak saja mengakuinya dan kalau perlu membuktikan di hadapan orang-orang itu? Kenapa masih saja ia merendahkan dirinya sedemikian? Namun tiba-tiba Swandaru itu pun mundur beberapa langkah, keluar dari lingkaran orang yang berjejal-jejal. Dengan nanar ia memandang berkeliling lapangan. Akhirnya ia berlari-lari untuk memungut sesuatu yang tergolek di lapangan itu.
“Inilah” teriaknya,
“Aku akan dapat memberikan bukti kepada kalian. Lihatlah sasaran ini. Panah-panahku masih tertancap di sini. Sasaran ini aku lemparkan ke udara, dan anak muda itu telah mengenainya tiga kali di udara. Ya tiga kali di udara”
Semua mata memandangi bekas kepala orang-orangan itu. Mereka melihatnya tiga anak panah masih melekat pada benda itu. Dan mereka mendengar pula kata-kata Swandaru itu. Tiga anak panah mengenai satu sasaran yang terbang di udara. Mereka tidak tahu, bagaimana cara Agung Sedayu mengenainya. Namun dengan serta-merta mereka bertepuk tangan gemuruh. Tepuk tangan yang gemuruh itu benar-benar telah menyalakan bara di dada Sidanti. Selangkah ia maju, dan terdengarlah ia berkata lantang,
“Bohong, adakah kalian melihat, bagaimana caranya ia mengenainya?”
Suara yang gemuruh itu pun berangsur diam. Dan akhirnya sama sekali ketika mereka melihat Widura melangkah maju memasuki lingkaran. Dengan tenangnya ia memandang Sidanti dan Agung Sedayu berganti-ganti. Kemudian dipandangnya semua wajah yang berdiri mengitari mereka itu. Betapa pun juga, Widura itu pun berusaha untuk mengasai keadaan. Sebagai seorang pemimpin maka ia harus berbuat sesuatu. karena itu maka katanya,
“Tak ada pengaruh apa pun atas perlombaan yang sudah berjalan. Kita sudah menetapkan pemenangnya. Namun permainan-permainan yang lain masih akan dapat dilakukan. Tetapi bukan untuk merubah dan mempengaruhi perlombaan itu.”


Halaman 1 2 3


<<< Jilid 003                                                                                                       Jilid 005 >>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar