PANDAN WANGI menundukkan kepalanya. Sudah terbayang di pelupuk matanya, ayahnya membangun sebuah penjara khusus bagi pamannya Argajaya dan kakaknya Sidanti. Bangunan yang kuat, dipagari oleh papan-papan yang tebal dan deriji-deriji kayu yang besar. Sepasukan pengawal pilihan yang akan mengawasinya siang dan malam, siap dengan senjata masing-masing.
“Sampai
kapan?” ia berdesis di dalam hatinya. Ketika terkilas wajah ayahnya yang pucat,
maka terbayanglah penderitaan batin orang tua itu, di masa mudanya, pada saat
Arya Teja yang baru saja memasuki jenjang perkawinan dengan Rara Wulan. Namun
kemudian ternyata bahwa semua impiannya telah buyar, karena merasa telah
dikhianati oleh perempuan itu. Dan perempuan itu kemudiam melahirkan Sidanti. Kepala
Pandan Wangi menjadi semakin tunduk.
“Wajar sekali
apabila ayah sangat membenci Ki Tambak Wedi dan mungkin juga Kakang Sidanti,”
katanya pula di dalam hatinya.
“Wangi,”
Pandan Wangi terkejut ketika ayahnya menyebut namanya,
“sudahlah.
Jangan tercengkam oleh keadaan Sidanti itu. Kau akan kehilangan waktu, tenaga
dan pikiran yang justru kini sangat diperlukan oleh Tanah Perdikan ini.”
Pandan Wangi
menganggukkan kepalanya.
“Ya, Ayah. Aku
mengerti.”
“Nah, karena
itu, aku percayakan saja pamanmu dan kakakmu kepada mereka yang mendapat beban
untuk itu. Lakukanlah tugas-tugasmu yang lain bersama pamanmu Samekta dan Kerti
yang barangkali kini masih nganglang membersihkan seluruh Tanah Perdikan ini
dari mereka yang berkeras hati dan berkeras kepala, bahkan mereka yang berputus
asa. Kita harus membersihkan diri dahulu, dan barulah kita mulai membangun
Tanah.”
Pandan Wangi
menganggukkan kepalanya. “Ya, Ayah.”
“Aku pun sudah menjadi semakin baik, Wangi. Kau
tidak usah menunggui aku seperti kemarin. Mintalah dua orang pengawal yang
dapat dipercaya, dan suruhlah ia berada di sini. Mungkin aku memerlukan minum
atau makan atau keperluan-keperluan apa pun.”
“Baik, Ayah.”
“Kau dapat
keluar dari ruangan ini, melihat reruntuhan Tanah Perdikanmu. Dengan demikian
mungkin dapat tumbuh gagasan-gagasan yang akan sangat bermanfaat bagi Tanah
ini. Tetapi di dalam ruangan ini angan-anganmu seakan-akan terkunci oleh
dinding-dinding yang mati.”
Pandan Wangi
mengangguk pula dan menjawab, “Ya, Ayah.”
“Nah, pergilah
ke luar untuk melihat-lihat,” berkata ayahnya pula.
“Kalau kau
selalu berada di ruangan ini kau tidak ubahnya seperti pamanmu Argajaya dan
kakakmu Sidanti. Mungkin kau akan segera jemu, meskipun tanpa kau sadari,
sehingga kau pun dapat berangan-angan jauh ke dunia yang asing, Kadang-kadang
ada baiknya, tetapi kadang-kadang memang dapat menumbuhkan keinginan yang
kurang pada tempatnya.”
“Baik, Ayah.”
“Jangan lupa,
suruhlah dua orang pengawal mengawani.”
“Baik, Ayah.”
“Sementara
Samekta dan Kerti masih sibuk, dalam masalah yang penting, kau dapat berbicara
dengan gembala tua itu.”
Sekali lagi
Pandan Wangi menganggukkan kepalanya.
“Baik, ayah.
Pandan
Wangi pun kemudian melangkah ke luar.
Dua pengawal terpilih yang memang sudah disiapkannya, disuruhnya. memasuki
bilik ayahnya, untuk menjaga dan melayaninya.
“Kemana
Ngger?” bertanya gembala tua yang melihatnya keluar ruang dalam.
“Aku akan
sekedar melepaskan ketegangan, Kiai.”
“Bagus. Bagus.
Itu perlu sekali bagi Angger, yang selama ini seakan-akan selalu dicengkam oleh
suasana yang tidak menentu. Sekali-sekali Angger Pandan Wangi memang harus
melihat cerahnya matahari, hijaunya dedaunan dan silir angin di bawah
pepohonan.
Pandan Wangi
menarik nafas dalam-dalam. Sambil melanjutkan langkahnya ia menjawab,
“Ya, Kyai,
supaya jantungku tidak meledak karenanya.”
Orang tua itu
mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak menyahut lagi. Ia sadar, bahwa Pandan
Wangi selalu diganggu oleh kekesalan hati selama ini. Karena itu maka ia pun kemudian kembali duduk di antara para
pengawal yang mengawasi pintu bilik Sidanti di bagian dalam.
Di ujung
gandok, Gupala berbaring sambil mendendangkan lagu macapat. Lamat-lamat.
Suaranya memang tidak begitu baik, tetapi ungkapannya berhasil menyentuh
perasaan pendengarnya. Beberapa orang pengawal yang mendengar suara tembangnya
itu pun tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. Bahkan ada di antara mereka
yang bergumam,
“Ah, anak muda
yang gemuk itu membuat aku mengantuk.”
Tetapi Gupala
berlagu terus perlahan-lahan. Di sampingnya Gupita duduk sambil menggosok
tangkai cambuknya yang melilit di lambung, dengan angkup keluwih. Langkah
Pandan Wangi tertegun ketika telinganya tersentuh suara tembang di kejauhan.
Lamat-lamat saja. Tanpa sesadarnya langkahnya seakan-akan dituntun oleh getaran
suara Gupala yang menyusuri halaman. Satu-satu langkah Pandan Wangi membawanya
berjalan di sepanjang emper gandok menyusup regol samping masuk ke dalam
longkangan tengah, kemudian lewat sebuah pintu ia sampai ke ujung belakang
gandok. Pandan Wangi terhenti ketika tiba-tiba ia melihat Gupita yang duduk
tepekur sambil menggosok-gosok tangkai cambuknya di samping Gupala yang
berbaring sambil berdendang.
“He,”
tiba-tiba saja dendang Gupala terputus, “marilah,” sapa Gupala dengan
serta-merta.
“Apakah kau
mendapat tugas untuk melihat tawanan kami?”
Gupita pun
kemudian mengangkat wajahnya. Dilihatnya Pandan Wangi berdiri kaku sambil
menundukkan kepalanya. Sementara beberapa orang pengawal yang bertebaran di
halaman kebun belakang sama sekali tidak menghiraukannya. Mereka duduk
terkantuk-kantuk dan bahkan ada yang tidur mendekur bersandar pepohonan.
Gupala pun segera bangkit dan duduk, di samping
Gupita. Sejenak dipandanginya saja wajah gadis yang tunduk itu. Sesaat kemudian
ia berpaling ke arah Gupita yang masih juga berdiam diri. Tiba-tiba suasana
menjadi kaku, seperti tiang-tiang serambi gandok yang tegak tanpa bergerak sama
sekali. Demikian juga ketiga anak-anak muda itu. Gupala, Gupita, dan Pandan
Wangi yang masih berdiri.
Namun kekakuan
itu kemudian dipecahkan oleh suara teriakan Gupala. Sambil berdiri ia berkata,
“He, kenapa
tiba-tiba saja kita seperti dicekik hantu.” Kemudian kepada Pandan Wangi ia berkata,
“Marilah,
barangkali kau membawa perintah atau berita atau kau akan bersama-sama
berdendang dengan kami di sini?”
Pandan Wangi
tidak menyahut. Tetapi ketika tampak olehnya solah anak yang gemuk itu, maka
ia pun tersenyum.
“Ha, kau sudah
tarsenyum,” berkata Gupala. Tetapi kata-katanya terputus karena Gupita
menggamitnya.
Tetapi tanpa
ragu-ragu Gupala malahan bertanya,
“Kenapa?
Apakah aku salah? Maksudku, aku ingin mempersilahkannya.”
“Hus,” desis
Gupita, “kenapa kau? Aku tidak melarangmu.”
“Tetapi kau
menggamit aku.”
Gupala
mengerutkan keningnya. Dan sekali lagi ia melihat Pandan Wangi tersenyum.
“Kalau begitu,”
berkata Gupala selanjutnya,
“marilah.
Duduklah di sini.”
Pandan Wangi
masih berdiri di tempatnya.
“Kita
bercakap-cakap,” berkata Gupala.
“Tetapi,
apakah kau sedang bertugas?”
Pandan Wangi
menggelengkan kepalanya.
“Tidak. Aku
tidak sedang bertugas apa pun.”
“Bagus.
Duduklah. Kita berbicara tentang banyak hal. Tentang yang tidak menjemukan
seperti kerjaku selama aku di sini. Menunggui sangkar yang meskipun berisi,
tetapi tidak pernah berkicau.”
“Hus,” sekali
lagi Gupita berdesis. Dan tiba-tiba saja wajah Pandan Wangi berkerut.
Perlahan-lahan
Gupita berbisik,
“Bukankah
orang itu pamannya.”
“O,” Gupala
menjadi gelisah,
“tidak.
Maksudku, bukan orang ini yang berkicau. Aku memang senang sekali burung. Dan
aku ingin memelihara seekor burung di dalam sangkar, supaya berkicau setiap
saat.”
Mau tidak mau
Pandan Wangi terpaksa tersenyum pula. Hampir tanpa disadarinya ia melangkah
maju mendekati kedua anak-anak muda itu. Sekilas dilihat wajah keduanya. Gupita
yang tenang datar dan Gupala yang riang dan cerah.
“Keduanya
pasti bukan saudara seperti yang mereka katakan,” berkata Paadan Wangi di dalam
hatinya.
“Keduanya
pasti bukan anak gembala yang luar biasa itu. Aku kira keduanya adalah
murid-muridnya. Saudara seperguruan.”
Tetapi langkah
Pandan Wangi tertegun. Ia berdiri beberapa langkah dari kedua anak-anak muda
itu ketika tiba-tiba Gupala bertanya,
“Ataukah kau
akan melihat-lihat seluruh halaman rumah ini? Marilah aku tunjukkan, barangkali
kau ingin melihat apa yang ada di seputar rumah yang sudah tidak terpelihara
lagi ini.”
Tetapi sekali
lagi kata-kata Gupala terputus ketika Gupita berkata,
“Rumah ini
rumah Ki Argapati, ayah Pandan Wangi. Kalau kau ingin melihat-lihat, Pandan
Wangi-lah yang seharusnya yang mengantar kau.”
“O,” Gupala
menjadi semakin gelisah,
“lalu, apa
yang akan aku lakukan?”
Sekali lagi
Pandan Wangi harus tersenyum melihat tingkah laku Gupala. Namun dengan demikian
ia menjadi semakin mengenal jiwanya. Jiwanya yang selama ini tertekan oleh
berbagai masalah, kesungguhan yang berlebih-lebihan. Lingkungan keluarga yang
mengecewakannya setelah ia mengetahui keadaannya yang sebenarnya, perang dan
ketegangan di bilik ayahnya yang sakit, maka sikap Gupala benar-benar merupakan
kelainan yang segar. Itulah sebabnya, perasaan Pandan Wangi seolah-olah
terbuka. Angin yang silir telah menyusup ke pusat jantungnya. Kedua anak-anak
muda itu memberikan nafas yang berbeda dari kehidupannya sehari-hari.
“Atau, kalau
begitu,” Gupala tergagap,
“duduklah di
sini. Di dalam bilik ini tersimpan Ki Argajaya. Selama ini kami mendapat tugas
untuk menungguinya siang dan malam. Berganti-ganti. Kadang-kadang harus berdua.
Dan Tanah Perdikan ini serasa terlampau sepi bagi kami.”
“Kenapa
terlampau sepi?” tiba-tiba Pandan Wangi bertanya.
“Di sini tidak
ada penari, penabuh gamelan yang cakap dan tidak ada pula tayub yang meriah.”
“Hus,” desis
Gupita.
Pandan Wangi
kini tertawa. Katanya,
“Tentu ada.
Kalau keadaan tidak sepanas ini, kau dapat melihat gadis-gadis Menoreh menari
diiringi oleh para penabuh yang cakap. Tetapi ayah memang tidak suka pada
tayub.”
Gupala
mengangguk,
“Benar. Aku
juga tidak suka, ayah juga tidak suka. Bahkan melarang tayub di wilayahnya.”
“Siapakah
ayahmu?” tiba-tiba Pandan Wangi bertanya, “apakah bukan gembala tua itu?”
Sekali lagi
Gupala tergagap. Sejenak ia terbungkam. Namun kemudian ia tertawa,
“Tentu saja,
ayah memang melarang tayub di wilayahnya. Wilayah ayahku memang tidak mungkin
menyelenggarakan tayub karena rakyatnya terdiri dari kambing-kambing.”
Ketiganya
tidak dapat menahan tertawa lagi. Gupita, Gupala, dan bahkan Pandan Wangi.
Sejenak Pandan Wangi dapat melupakan kepahitan yang selama ini tersimpan di
dalam hatinya tentang berbagai masalah yang serasa bertimbun-timbun di dalam
dadanya. Tanpa sesadarnya Pandan Wangi pun kemudian duduk di antara mereka.
Wajahnya yang selalu suram itu menjadi cerah. Dan wajah Pandan Wangi yang
cerah, adalah wajah yang menyentuh perasaan anak muda yang gemuk itu sampai ke
pusat jantung. Meskipun pembicaraan ketiga anak-anak muda itu masih belum
terlampau lancar, namun pembicaraan yang berbeda dari pembicaraan yang setiap
hari mencengkam perasaan Pandan Wangi itu, telah berhasil membuatnya sedikit
gembira. Kadang-kadang ia tersenyum dan bahkan kadang-kadang ia tertawa. Ternyata
selingan yang demikian itu sangat dibutuhkan oleh Pandan Wangi. Terasa
kesegaran merayapi dadanya. Seperti pada saat-saat ia pergi berburu bersama
Kerti di hutan-hutan yang tidak terlampau lebat, selagi Tanah ini masih belum dibakar
oleh api pertentangan di antara keluarga sendiri. Dengan demikian, maka di
hari-hari berikutnya Pandan Wangi kadang-kadang memerlukan menemui kedua
gembala-gembala muda itu untuk sekedar berbicara tentang apa saja. Tentang
Tanah Pendikan Menoreh, tentang bukit-bukit kapur, Sungai Praga dan tentang
hutan perburuan yang menyenangkan.
“Apakah kau
mau menunjukkan hutan itu kepadaku?” bertanya Gupala.
“Tentu,” jawab
Pandan Wangi, “tetapi tidak sekarang.”
“Apakah
salahnya kalau kita sekarang atau besok pergi ke sana?” bertanya Gupala.
“Tentu tidak
mungkin.”
“Besok kita
berangkat pagi-pagi benar, supaya sebelum tengah hari kita sudah kembali.”
Pandan Wangi
menggelengkan kepalanya,
“Aku tidak
sampai hati meninggalkan Ayah yang terluka itu sekedar untuk melihat-lihat
hutan perburuan.”
Gupala
mengerutkan keningnya. Tetapi kepalanya kemudian terangguk-angguk. Katanya
kemudian,
“Aku pun tidak dapat meninggalkan pintu sangkar
batu itu.”
“Hus,” desis
Gupita.
“Maksudku,
pintu yang tentu tidak disukai oleh penghuni ruangan itu.”
Pandan Wangi
tidak menyahut.
“Tetapi sampai
kapan aku harus berada di sini?”
“Tidak
terlampau lama. Ayah akan membangun ruangan-ruangan yang kuat untuk menyimpan
Paman dan Kakang Sidanti.”
“Kapan?”
“Ayah ingin
berbicara dahulu dengan Paman dan Kakang Sidanti. Kalau mereka bersedia
membantu ayah, maka ayah tidak akan merasa perlu membangun sangkar-sangkar
itu.”
“Kalau tidak?”
Pandan Wangi
mengerutkan keningnya. Namun Gupala segera berkata,
“Baiklah. Kita
berbicara tentang hal lain lagi. Sudah tentu yang tidak menyangkut
masalah-masalah yang tidak kau sukai.”
Pandan Wangi
menganggukkan kepalanya.
Dan Gupala pun
kemudian berusaha untuk berbicara tentang masalah-masalah yang sama sekali
tidak penting, namun yang dengan demikian dapat mengurangi ketegangan hati
Pandan Wangi. Namun pertemuan yang sering terjadi itu, telah memahat hati
Gupala menjadi semakin dalam. Kadang-kadang anak yang pada umumnya selalu
bergembira itu menjadi perenung. Kadang-kadang ia duduk sambil memandang jauh
menerawang ke ketiadaan. Gupita segera dapat menangkap perasaan adik
seperguruannya. Kali ini agaknya Gupala tidak bergurau. Ia benar-benar telah
terpikat oleh gadis Tanah Perdikan Menoreh. Kadang-kadang hati Gupita sendiri
menjadi berdebar-debar tanpa sebab. Sekilas membayang senyum Pandan Wangi yang
tertahan-tahan di dalam kepahitan perasaan, setelah ia mengalami
guncangan-guncangan yang tidak terkirakan. Tetapi Gupita adalah seorang anak
muda yang sudah terlampau biasa menahan hati. Ia merasa bahwa ia tidak berhak
lagi untuk menilai kecantikan gadis Menoreh itu. Ia tidak mau ingkar pada
kesediaannya untuk mengikatkan diri kepada seorang gadis yang ditinggalkannya
di Sangkal Putung.
Karena itu,
Gupita mencoba untuk bersikap lebih dewasa dari Gupala menghadapi persoalannya.
Sehingga ia berusaha untuk menjauhkan segala kesan tentang perasaannya sendiri
atas gadis itu. Itulah sebabnya, kini ia menyimpan serulingnya. Ia hampir tidak
pernah lagi meniup seruling itu. Setiap nada yang dilontarkan oleh serulingnya
akan dapat menimbulkan getaran-getaran hati yang paling tersembunyi sekalipun.
Apalagi ia sadar, bahwa Pandan Wangi pun tertarik pula kepada nada-nada
serulingnya itu.
“Kakang,” pada
suatu kali Gupala berkata dengan wajah yang bersungguh-sungguh kepadanya,
“apakah Kakang
Gupita mau menolong aku?”
Gupita menjadi
heran. Karena itu maka ia bertanya,
“Apakah yang
harus aku tolong?”
Gupala menelan
ludahnya. Kemudian ia menggeleng-gelengkan kepalanya seakan-akan hendak
mengusir kenangan yang tidak dikehendakinya.
“Tetapi aku tidak
tahu, apakah Guru setuju atau tidak.”
“Apa?”
“Kakang,”
suara Gupala menjadi semakin lambat.
“He, jangan
seperti orang yang kelaparan. Aku tidak mendengar lagi suaramu.”
Gupala menarik
nafas dalam-dalam. Ia menjadi sangat gelisah, sehingga keringat dinginnya
mengalir membasahi leher dan punggungnya.
“Katakan
Gupala. Kalau aku dapat membantumu, aku akan membantu.”
“Ya, ya. Aku
percaya.”
“Tetapi aku
tidak tahu, apa yang harus aku lakukan untuk membantumu. Apa kesulitanmu dan
apakah keinginanmu.”
“Tetapi apakah
guru tidak akan marah?”
“Kalau
masalahnya masalah yang wajar, guru tentu tidak akan marah. Tetapi apa itu,
katakanlah supaya aku dapat memberitahukan pertimbangan.”
“Itulah.”
“Kenapa
itulah? Kau belum mengatakan apa-apa.”
Gupala menjadi
semakin gugup. Kini keringatnya sudah menitik dari keningnya. Beberapa kali
bibirnya bergerak-gerak seakan-akan hendak mengucapkan sesuatu, tetapi suaranya
ditelannya kembali sebelum terucapkan. Gupita melihat kegelisahan yang
mencengkam adik seperguruannya itu. Meskipun ia belum pasti, tetapi ia dapat
meraba apakah yang akan dikatakan oleh Gupala. Anak itu pada dasarnya tidak
ragu-ragu untuk berbuat sesuatu. Ia berkata apa yang ingin dikatakannya, dan
kadang-kadang ia melakukan apa saja yang menarik baginya tanpa pertimbangan.
Tetapi tiba-tiba ia menjadi gelisah, bimbang dan seakan-akan tidak menentu
lagi.
“Gupala,”
berkata Gupita sareh,
“tenangkan
hatimu. Aku kira masalahmu adalah masalah yang penting, sehingga kau mendapat
kesukaran untuk mengatakannya. Tetapi masalah yang penting itu pasti langsung
menyangkut pribadimu sendiri.”
Gupala
mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia berdesis,
“Ya, memang
menyangkut pribadiku langsung.”
“Aku sudah
menduga. Tetapi katakanlah. Jangan ragu-ragu.”
Gupala mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya tersendat-sendat,
“Kakang, di
sini tidak ada ayah tidak ada ibu. Yang ada hanyalah Kakang dan guru. Tetapi
untuk mengatakannya kepada guru, aku masih ragu-ragu. Barangkali Kakang dapat
menolongku.”
“Apakah aku
harus mengatakannya kepada guru.”
“Tidak, bukan
itu,” potong Gupala cepat-cepat.
“Maksudku, aku
ingin meyakinkan dahulu, apakah aku tidak sedang bermimpi. Apabila semuanya
sudah pasti, barulah aku minta Kakang menyampaikannya kepada guru.”
“Lalu apakah
sekarang yang akan aku lakukan?”
Gupala menarik
nafas dalam-dalam. Katanya,
“Aku akan
minta tolong kepadamu Kakang. Aku ingin meyakinkan, apakah aku benar-benar
tidak sedang bermimpi.”
“Ya, aku
yakin, kau sekarang memang tidak sedang bermimpi.”
“Bukan, bukan
itu. Aku kira kau sudah tahu maksudku.”
“Mungkin. Aku
tahu masalahmu. Tetapi aku tidak tahu, cara yang bagaimana yang harus aku
lakukan untuk meyakinkan kau.”
Gupala menelan
ludahnya. Dengan suara parau ia berkata lirih,
“Tolong
Kakang, tanyakan kepada Pandan Wangi, apakah ia dapat mengerti perasaanku.”
Gupita
mengerutkan keningnya. Terasa sesuatu bergetar di dadanya. Sesuatu yang sama
sekali tidak dikehendaki. Namun dengan sekuat tenaganya perasaan itu ditekannya
dalam-dalam. Dengan sadar ia menghadapi keadaannya kini. Sekali lagi ia
berkesimpulan, bahwa ia sama sekali sudah tidak berhak menilai Pandan Wangi,
apalagi di hadapan Gupala. Karena itu, maka tiba-tiba Gupita yang sudah
terlampau biasa mengendalikan perasaannya itu tersenyum. Sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya ia berkata,
“Hem,
begitulah hendaknya. Kau adalah seorang laki-laki. Kau harus berani menyatakan
perasaanmu.”
“Tetapi,
tetapi apakah Kakang Gupita tidak mengalami kesukaran pada masa-masa seperti
ini?”
Gupita menarik
nafas dalam-dalam. Hubungannya dengan gadis Sangkal Putung itu memang agak
berbeda dengan hubungan Gupala dengan Pandan Wangi. Ia tidak perlu menyatakan
apa pun kepadanya. Gadis itu seakan-akan langsung mengerti perasaannya, dan
bahkan gadis itu pun langsung pula membuka hatinya. Tanpa kata-kata, sikapnya
memang sudah meyakinkan. Bahkan kadang-kadang berlebih-lebihan menurut perasaan
Gupita. Tetapi Pandan Wangi bersikap lain. Pandan Wangi sama sekali tidak
memberikan kesan apa pun terhadap Gupala. Bahkan setiap kali Gupita mengenangkan
masa-masa permulaan ia mengenal gadis itu, dadanya berdesir. Ia melihat sesuatu
tersirat di mata gadis itu, seperti ia pernah melihat mata gadis Sangkal Putung
itu pula. Namun gadis ini kemudian menundukkan kepalanya dan berjalan menjauh.
Berbeda dengan sikap gadis Sangkal Putung itu. Ia langsung tertawa sambil
mendekatinya dan berkata,
“Inilah aku.”
Gupita menarik
nafas dalam-dalam.
“Kakang,”
berkata Gupala kemudian,
“aku minta
tolong kepadamu, bukankah kau tidak berkeberatan? Kau dapat menemui Pandan
Wangi di mana kau kehendaki, membawanya sendiri dan menanyakannya apakah ia
dapat mengerti perasaanku.”
Gupita
termenung sejenak. Tugas itu pasti akan terasa sangat berat baginya. Ia harus
menyatakan perasaan seorang anak muda kepada Pandan Wangi. Tetapi anak muda itu
adalah Gupala.
“Apakah kelak
aku dapat membedakan, bahwa pertanyaan itu adalah pertanyaan yang aku ucapkan
tidak atas namaku sendiri, tetapi atas nama Gupala?” ia bertanya kepada diri
sendiri di dalam hatinya. Namun kemudian terasa hatinya itu menghentak,
“Aku harus
menolongnya. Aku sama sekali tidak berkepentingan.”
Karena Gupita
tidak segera menjawab, maka Gupala bertanya dengan cemasnya,
“Apakah kau
berkeberatan?”
Dengan
serta-merta, Gupita menjawab,
“Tidak, aku
tidak berkeberatan. Tetapi bagaimana dan kapan aku mendapat kesempatan itu.”
“Kapan saja,”
jawab Gupala,
“kau dapat
berpura-pura melihat-lihat hutan perburuan atau melihat apa yang dapat
ditunjukkannya kepadamu.”
“Bersama kau?”
“Tentu tidak.
Tentu tidak.”
Gupita mengangguk-anggukkan
kepalanya,
“Tetapi jangan
tergesa-gesa. Aku harus mendapatkan waktu yang paling baik.”
“Tentu tidak.
Tetapi jangan terlampau lama.”
“Lalu,
bagamana dengan bilik itu?”
“Serahkan
kepadaku. Aku mempunyai banyak kawan. Para pengawal akan siap membantuku kalau
terjadi sesuatu.”
Gupita
mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Hampir tanpa disadarinya ia berkata,
“Baiklah, aku
akan menanyakan kepadanya tentang hal itu. Besok atau lusa atau kapan saja aku
mendapat kesempatan.”
“Terima
kasih,” desis Gupala,
“tetapi kau
harus pandai menyusun kalimat, agar gadis itu tidak mempunyai kesempatan untuk
menolaknya.”
Gupita tidak
menjawab. Tetapi ia sudah membayangkan kesulitan yang bakal dihadapinya. Dalam
masalah yang wajar saja, ia tidak akan dapat menyatakan sesuatu dengan mudah.
Apalagi dalam masalah yang sulit serupa itu, meskipun bukan untuk
kepentingannya sendiri. Namun ia merasa berkewajiban pula untuk menolong adik
seperguruannya Betapapun beratnya. Dengan demikian, maka Gupita selalu berusaha
mencari kesempatan untuk dapat berbicara kepada Pandan Wangi tanpa terganggu.
Tetapi ia pun selalu berusaha untuk tidak menumbuhkan salah paham kepada gadis
itu, tentang tingkah lakunya sendiri. Di halaman rumah itu, Gupita sering
menyingkir, apabila Pandan Wangi berkunjung ke ujung gandok. Ia hanya ikut
menemuinya sebentar, kemudian dengan alasan apa pun ia berusaha menjauhkan
dirinya. Meskipun demikan Gupala tidak pernah mendapat kesempatan untuk
mengatakan sesuatu, sehingga ia benar-benar tergantung kepada kakak seperguruannya.
“Jangan
terlampau lama,” berkata Gupala pada suatu saat kepada Gupita.
“Setiap kali
kau malah meninggalkan kami sehingga aku menjadi seperti orang bisu karenanya.”
Gupita
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia memang harus melakukannya. Kalau ia menunda-nunda
waktu, maka ia sendiri akan selalu merasa dibebani oleh kewajiban yang
seakan-akan tidak akan pernah terselesaikan.
“Besok aku
akan minta kepadanya untuk menunjukkan daerah-daerah yang asing bagiku. Aku
akan mencari kesempatan.”
“Terima kasih,
Kakang. Aku kira memang lebih mudah mengatakan masalah orang lain dari masalah
diri sendiri.”
Gupita
mengangguk-anggukkan kepalanya.
Ketika
Pandanwangi sedang berdiri termangu-mangu di tangga pendapa rumahnya,
Gupita-lah yang berjalan mendekatinya, meskipun hatinya berdebar-debar. Ia
sudah mereka-reka alasan yang paling tepat untuk membawa Pandan Wangi
meninggalkan padukuhan induk. Ia ingin mendapat kesempatan yang benar tidak
akan terganggu. Kalau ia tidak berhasil, dan bahkan apalagi menumbuhkan salah
paham, maka kesan yang membayang di wajah Pandan Wangi akan segera dapat
dilihat orang lain. Kesan itu akan dapat menumbuhkan berbagai pertanyaan pada
orang-orang lain yang melihatnya. Tetapi apabila mereka hanya berdua, maka ia
akan mendapat kesempatan untuk memperbaiki kesalah pahaman itu.
“Pandan Wangi,”
berkata Gupita kemudian,
“apakah kau
pernah mendengar pesan Ki Argajaya kepada ayah?”
“Apakah pesan
itu?” bertanya Pandan Wangi.
“Pamanmu minta
agar ayah mencari puteranya yang ikut terlibat dalam persoalan Tanah Perdikan
ini. Ia minta agar Ki Argapati sudi memaafkannya.”
“Tentu, ayah
tentu akan memaafkannya. Ia masih terlampau muda, sehingga sebenarnya ia masih
belum tahu apa yang telah terjadi.”
“Tetapi
bukankah anak itu sampai saat ini belum kita ketahui, di mana ia berada?”
Pandan Wangi
mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya,
“Aku mengharap
ia berada di rumahnya.”
“Apakah kau
yakin?”
“Tentu tidak.
Tetapi Bibi ada di rumah. Seorang penghubung telah menemuinya, dan menyatakan
pesan ayah kepadanya, bahwa bibi tidak perlu cemas. Ayah tidak menyangkutkannya
dengan kesalahan paman.”
“Sudah lama?”
“Belum. Tetapi
penghubung berikutnya, ternyata tidak kembali kepada ayah.”
“Kenapa?”
“Memang masih
ada satu dua orang yang berkeliaran di padukuhan-padukuhan kecil. Mereka masih
saja menyebarkan dendam dan kekisruhan.”
Gupita
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian ia berkata,
“Pandan Wangi,
apakah tidak sebaiknya kita bertanya kepada Bibi Argajaya, apakah puteranya itu
ada di rumah.”
“Ayah sudah
bertanya lewat penghubung yang pertama. Tetapi bibi menjawab, bahwa anak itu
belum juga pulang sejak berkobar peperangan.”
“Tetapi
sekarang keadaan sudah agak tenang. Sebenarnya bahwa Ki Argapati pun minta
tolong kepada ayah untuk mencarinya, dan ayah sendiri masih belum sempat
meninggalkan rumah ini.”
“Kaulah yang
harus mencarinya?”
“Tidak harus.
Tetapi aku ingin menolong ayah dan pamanmu. Apakah kau berkeberatan?”
“Kenapa
berkeberatan?”
“Maksudku,
apabila kita bersama-sama pergi ke rumah pamanmu?”
Pandan Wangi
mengerutkan keningnya. Sekilas ditatapnya wajah anak muda itu. Tersirat suatu
kenangan, pada saat ia hampir saja terperosok ke dalam bencana yang tidak
terbayangkan, ketika ia berhasil melepaskan diri dari tangan beberapa laki-laki
yang liar dan buas karena pertolongan kakak dan pamannya. Saat itulah ia
melihat gembala ini. Tiba-tiba Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Tanpa
sesadarnya ia berpaling ke arah ujung gandok. Tetapi ia tidak dapat melihatnya,
karena pagar dan sudut pendapa yang menjorok di sebelah regol samping. Pada
saat yang mendebarkan hati itu, Pandan Wangi belum pernah melihat gembala yang
seorang lagi. Yang gemuk tetapi pandai berkelakar, meskipun agak kurang
hati-hati.
“Bagaimana?”
desak Gupita, “mumpung masih pagi.”
“Apakah ayah
akan mengijinkan?” desis Pandan Wangi.
“Kita hanya
pergi sebentar. Tetapi kalau kita berhasil membawanya menghadap, ayahmu dan
pamanmu akan sangat senang sekali.”
Pandan Wangi
mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang hanya sebentar apabila ia pergi berkuda.
Tetapi apakah sudah tidak akan ada gangguan apa pun di perjalanan. Sejenak
gadis itu berpikir. Sekali-sekali ia berpaling, seakan-akan ia ingin
meyakinkan, bahwa ayahnya tidak akan berkeberatan apabila ia pergi sejenak ke
runah pamannya, untuk mencari adik sepupunya. Dalam keragu-raguan itu,
terlintas bayangan-bayangan yang menahannya. Tetapi hasrat di dasar hatinya
semakin lama menjadi semakin kuat mendorongnya pergi.
“Sudah lama
aku tidak melihat tlatah Menoreh,” katanya di dalam hati.
“Seandainya
ada gangguan di perjalanan, aku kira aku bersama Gupita akan mempunyai waktu
dan kesempatan untuk melepaskan diri. Peronda-peronda pasti akan hilir-mudik di
segala jalan-jalan di Tanah Perdikan Menoreh.”
Karena itu,
maka tiba-tiba Pandan Wangi menganggukkan kepalanya. Ada dorongan yang lain,
kecuali keinginannya untuk melihat-lihat wilayahnya dan sekedar untuk menemukan
adik sepupunya.
“Baiklah,”
katanya kemudian, “aku akan berkemas.”
“Aku akan
memberitahukan kepada ayah. Apalagi Ki Samekta dan Ki Kerti tidak sedang berada
di halaman ini.”
“Mereka tidak
meronda. Mereka ada di banjar,” jawab Pandan Wangi.
“Karena itu,
aku akan memberitahukannya kepada ayah, supaya ia mengerti, bahwa halaman ini
sedang kosong.”
“Terserahlah.
Tetapi aku tidak akan minta ijin kepada ayah. Aku kira ayah tidak akan
mengijinkan. Aku hanya akan mengatakan kepada ayah, bahwa aku akan keluar
sebentar, supaya tidak mencari aku.”
“Baiklah,”
sahat Gupita.
Maka
keduanya pun segera mempersiapkan diri.
Menyiapkan kuda masing-masing, dan bukan hanya sekedar mempersiapkan yang
tampak oleh mata tetapi terlebih-lebih lagi, Gupita sedang menyiapkan susunan
kalimat-kalimat yang akan dikatakannya kepada Pandan Wangi atas nama Gupala. Ketika
Gupita sudah siap, dan Pandan Wangi sudah menunggunya di halaman. Gupala
berbisik di telinga kakak seperguruannya,
“Kau harus
berhasil.”
Gupita
menganggukkan kepalanya. Namun ia masih berpesan juga,
“Hati-hatilah
dengan Ki Argajaya.”
“Percayakan ia
kepadaku.”
Gupita pun kemudian meninggalkan halaman rumah
Kepala Tanah Perdikan yang sudah dihuni kembali itu, menyusur jalan padukuhan,
menuju ke rumah Ki Argajaya. Sejenak kemudian mereka telah melampaui gardu
peronda yang terakhir. Kepada para penjaga Pandan Wangi berpesan, bahwa ia akan
melihat-lihat padukuhan-padukuhan kecil di sekitar padukuhan induk itu.
“Apakah masih
ada hubungan yang ajeg antara para pengawal di sini dan mereka yang di
tempatkan di padukuhan-padukuhan lain setiap saat?” bertanya Gupita.
“Ya. Setiap
kali penghubung-penghubung dan peronda-peronda hilir-mudik,” jawab Pandan
Wangi.
Gupita
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi sebenarnya ia menjadi cemas. Kalau
setiap kali ia bertemu dengan para peronda dan penghubung di sepanjang jalan,
apakah ia akan mendapat kesempatan untuk mengatakan maksudnya kepada Pandan
Wangi? Meskipun demikian Gupita masih tetap mengharap, bahwa ia akan dapat
melakukan tugasnya dengan baik. Demikianlah maka mereka berdua berpacu dengan
kencangnya menuju ke rumah paman Pandan Wangi. Mereka menyusur jalan yang
berbatu-batu, namun kadang-kadang berdebu tebal. Sawah-sawah di
sebelah-menyebelah jalan kelihatan sangat kurang terpelihara. Parit-parit
menjadi kering, dan rerumputan tumbuh dengan liarnya.
“Keadaan ini
harus segera diakhiri,” desis Pandan Wangi,
“Parit-parit
harus segera mengalir dan sawah-sawah harus ditanami. Kalau keadaan ini
berlarut-larut, maka bahaya paceklik yang dahsyat tidak akan dapat dicegah
lagi.”
Gupita
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mengerti kecemasan yang merayap gadis itu.
Sebagai anak satu-satunya Kepala Tanah Perdikan Menoreh yang masih dapat
diharap, maka Pandan Wangi sudah sewajarnya untuk langsung berbicara tentang
kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi atas tanahnya. Tetapi hal itu
ternyata kurang menarik perhatian Gupita. Angan-angannya selalu dipenuhi oleh
kalimat-kalimat yang akan disampaikannya kepada Pandan Wangi, atas nama adik
seperguruannya.
“Menoreh
memang memerlukan setiap tenaga yang ada,” berkata Pandan Wangi. Dan
Gupita pun hanya mengangguk-anggukkan
kepalanya saja.
“Kenapa kau
diam saja?” bertanya Pandan Wangi. Baginya Gupita bukannya seorang pendiam.
Meskipun tidak sebanyak Gupala namun anak muda ini dapat juga berbicara tentang
berbagai macam masalah. Tentang sawah, tanaman, ternak dan bahkan sampai ke
jalan-jalan yang silang-menyilang di atas Tanah perdikan ini.
“Aku sedang
berpikir tentang adik sepupumu,” jawab Gupita.
“Kita akan
segera melihat, apakah ia ada di rumahnya.”
Gupita
mengangguk-anggukkan kepalanya,
“Ia masih
terlampau muda.”
“Ya,” jawab
Pandan Wangi.
“Ia masih agak
lebih muda dari Gupala.”
“Ya. Aku kira
jaraknya ada beberapa tahun.”
“Ya. Apalagi
Gupala sekarang. Ia sudah menjadi semakin dewasa.”
“Kenapa
sekarang?” bertanya Pandan Wangi.
“Ada perubahan
yang terjadi atas dirinya selama ia berada di atas Tanah Perdikan ini.”
“Apa?”
Gupita menarik
nafas dalam-dalam. Ia sudah mendapat jalan untuk mengatakannya. Tetapi
tiba-tiba saja terasa lehernya seakan-akan tersumbat.
“Perubahan apa
yang sudah terjadi pada adikmu itu?” Pandan Wangi mendesak.
Tetapi Gupita
menggelengkan kepalanya,
“Aku hanya
menduga-duga saja.”
Pandan Wangi
mengerutkan keningnya. Ia merasakan bahwa tidak seluruh perasaan Gupita
dituangkannya. Sesuatu pasti masih tersimpan di dalam hatinya. Namun Pandan
Wangi tidak bertanya lagi. Dibiarkannya Gupita menemukan kesempatan untuk
mengatakan yang masih bersisa di dalam hatinya. Meskipun demikian terasa juga
jantung Pandan Wangi menjadi berdebar-debar. Betapa ia ingin mengusir getar
yang menyentuh-nyentuh batinnya, namun setiap kali terasa sesuatu telah
mengguncang isi dadanya.
Pandan Wangi
terperanjat ketika tiba-tiba saja Gupita bertanya,
“Apakah rumah
pamanmu masih jauh?”
Pandan Wangi
tergagap. Dengan serta-merta ia menjawab,
“Ya. Masih
cukup jauh.”
Gupita
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dilontarkannya pandangan matanya ke persawahan
di sekitarnya. Persawahan yang tidak terpelihara. Tetapi setiap kali ia ingin
menyampaikan pesan Gupala terasa lehernya seakan-akan tersumbat. Bahkan
kalimat-kalimat yang sudah disusunnya rapi, menjadi pecah berserakan seperti
awan dihembus angin yang kencang.
“Kalau aku
memang tidak berkepentingan apa pun, kenapa aku menjadi begitu bodoh dan
pengecut,” ia mencoba memaksa dirinya untuk segera sampai pada persoalaanya.
Namun mulutnya serasa benar-benar terkunci, sehingga yang dapat dilakukan
hanyalah sekedar menelan ludahnya.
“Kita masih
akan melampaui dua bulak panjang,” berkata Pandan Wangi.
“O,” Gupita
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi dengan kuda, jarak itu tidak akan
terlampau lama dilampaui.
Dalam pada
itu, ia berkata kepada dirinya sendiri,
“Ternyata aku
masih belum siap benar-benar. Biarlah, nanti setelah kami kembali dari rumah Ki
Argajaya.”
Kuda-kuda itu
pun kemudian berpacu semakin cepat. Padukuhan yang berada di depan mereka sudah
menjadi semakin dekat, sehingga sejenak kemudian mereka telah sampai ke mulut
lorong yang memasuki padukuhan itu. Seorang peronda yang berada di gardu di
regol padukuhan itu pun berdiri, sedang kawannya yang lain yang bertugas di
luar regol sudah lebih dahulu merundukkan tombaknya. Tetapi ketika mereka
melihat bahwa yang berkuda itu adalah Pandan Wangi, maka mereka pun kemudian menepi. Meskipun demikian
petugas yang berdiri di luar regol itu masih bertanya,
“Kemanakah kau
akan pergi?”
“Aku hanya
sekedar melihat-lihat,” jawab Pandan Wangi.
“Hati-hatilah,”
berkata penjaga itu,
“keadaan masih
belum cukup baik. Satu-dua orang dari mereka, masih saja melakukan pengacauan
dalam keputus-asaan.”
Sebelum Pandan
Wangi menjawab, orang yang lain telah berkata,
“Sebaiknya
kalian singgah di sini saja. Kalian akan mendapatkan apa saja yang kalian
inginkan. Degan kambil ijo, buah-buahan yang lain, sawo, duku dan salak? Di
sini kalian tinggal mengambil langsung dari pohonnya.”
Pandan Wangi
tersenyum. Jawabnya,
“Terima kasih.
Tetapi aku akan meneruskan perjalanan.”
“Memang
berbahaya. Kadang-kadang orang-orang yang tidak terduga-duga muncul dari balik
gerumbul-gerumbul. Itu akan membahayakan.”
Pandan Wangi
tidak segera menjawab. Dipandanginya wajah Gupita yang menegang. Namun kemudian
ia berkata,
“Kami akan
berhati-hati. Dan kami memang tidak akan pergi terlampau jauh.”
“Kau tahu,”
berkata penjaga itu,
“padukuhan di
seberang bulak itu adalah padukuhan Ki Argajaya. Banyak orang di sekitar
rumahnya yang masih tetap setia kepadanya. Dalam keadaan sehari-hari mereka
tampaknya sudah benar-benar menyerah, dan tidak akan berbuat apa pun. Namun
sudah tiga orang di antara kita yang hilang. Benar-benar hilang tidak berbekas.
Bahkan seorang penghubung Ki Argapati pun pernah hilang pula di sekitar
padukuhan itu.” Orang itu berhenti sejenak, lalu,
“Ki Samekta
pernah datang ke padukuhan itu dengan sepasukan pengawal. Tetapi kita tidak
menemukan apa-apa selain rumah-rumah yang kotor dan tua, petani-petani miskin
yang ketakutan dan anak-anak muda yang kehilangan pegangan.”
Pandan Wangi
tidak segera menjawab.
“Nah,” berkata
pengawal itu, “kalian pasti tahu, apakah artinya semua itu.”
Hampir
bersamaan Gupita dan Pandan Wangi menganggukkan kepalanya. Terdengar suara
Pandan Wangi lirih,
“Mereka telah
meluluhkan diri dengan rakyat yang barangkali memang tidak bersalah. Tetapi
untuk menemukan mereka di antara sekian banyak orang memang merupakan pekerjaan
yang sulit. Apalagi kalau tetangga-tetangga mereka tidak ada yang berani turun
tangan, bahkan tidak berani melaporkannya kepada yang berkuwajiban.”
“Ya,” berkata
pengawal itu,
“namun dalam
keadaan yang menguntungkan bagi mereka, tiba-tiba saja mereka menyergap.”
Pandan Wangi
menarik nafas dalam-dalam. Kini ia menyadari benar-benar bahwa memang tidak
mudah membangun Tanah Perdikan yang benar-benar sudah menjadi abu ini. Mungkin
dalam waktu yang terhitung tidak terlampau lama, rumah-rumah yang rusak,
regol-regol padukuhan yang terbakar, parit-parit dan sawah-sawah dapat segera
diperbaiki. Tetapi keutuhan dan kebulatan hati rakyatnya, pasti akan memerlukan
waktu yang lama untuk memulihkan kembali. Dendam sudah terlanjur ditaburkan
karena kematian demi kematian di peperangan. Kematian sanak-kadang, adik, suami
dan kekasih tidak akan mudah dilupakan. Sedang mereka mempunyai sasaran yang
tepat untuk menjatuhkan tuduhan, siapakah yang sudah membunuh orang-orang yang
mereka kasihi itu. Dengan demikian sejenak Pandan Wangi berdiam diri,
seakan-akan membeku di atas punggung kudanya. Tetapi darah Argapati yang mengalir
di dalam dirinya, justru selalu mendorongnya untuk berjalan terus. Sebagai
seorang puteri Kepala Tanah Perdikan maka Pandan Wangi justru merasa
bertanggung jawab untuk melihat, apakah yang sebenarnya telah terjadi di
padukuhan itu. Karena itu maka ia pun
bertanya,
“Bukankah di
padukuhan itu ada juga beberapa orang pengawal?”
“Ya, sepasukan
kecil pengawal telah di tempatkan di padukuhan itu,” jawab pengawal itu.
“Nah, apa lagi
yang dicemaskan.”
“Di sepanjang
bulak dapat saja sesuatu terjadi dengan tiba-tiba. Mungkin di pategalan dan di
padukuhan kecil di tengah-tengah bulak itu. Meskipun padukuhan itu hampir tidak
pernah diperhitungkan, namun kadang-kadang justru bahaya bersembunyi di sana.”
Dada Pandan
Wangi berdesir ketika ia mendengar padukuhan kecil dan pategalan di tengah
bulak panjang itu. Terkenang olehnya beberapa orang laki-laki yang mencegatnya
dan hampir saja menjerumuskannya ke dalam bencana yang tidak terkirakan.
Tetapi kini ia
tidak seorang diri. Apalagi ia yakin, bahwa beberapa orang peronda akan selalu
hilir-mudik dari padukuhan yang satu ke padukuhan yang lain. Dengan demikian
maka Pandan Wangi itu pun berkata,
“Aku
perhatikan peringatanmu. Tetapi kami berdua akan berjalan terus. Kami akan
melihat-lihat apa yang kini ada di atas reruntuhan Tanah yang harus kita bangun
kembali ini.”
Pengawal itu
menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak berhak melarangnya. Ia sudah mencoba
memperingatkan bahaya yang dapat terjadi di sepanjang perjalanan. Tetapi
keduanya agaknya tetap pada pendirian mereka. Karena itu, para pengawal hanya
dapat menundukkan kepala mereka ketika kuda-kuda itu meneruskan perjalanannya.
“Kami akan
berhati-hati,” berkata Pandan Wangi.
Maka keduanya
pun kemudian meninggalkan regol itu, masuk ke dalam padukuhan yang sedang besarnya.
Tetapi jalan itu tidak membelah padukuhan itu di tengah-tengah. Beberapa jalur
jalan kecil menyusup ke setiap penjuru. Tetapi jalan induk itu segera berbelok
dan meninggalkan padukuhan itu, membujur di tengah-tengah bulak yang panjang,
meskipun ada juga pategalan dan sebuah padukuhan kecil yang seperti sebuah
pulau menjorok di tengah-tengah lautan yang luas, beberapa puluh langkah dari
jalan itu. Sejenak keduanya saling berdiam diri. Mereka sedang menilai jalan
yang terbentang di hadapan mereka. Panjang sekali. Memang kemungkinan seperti
yang dikatakan oleh para pengawal itu dapat saja terjadi. Dari
gerumbul-gerumbul liar yang tumbuh di pematang sawah yang tidak terpelihara,
memang mungkin datang serangan-serangan yang tiba-tiba dari orang-orang yang berputus
asa, yang hanya sekedar ingin melepaskan dendam tanpa tujuan. Mereka merasa
bahwa mereka tidak akan lagi dapat hidup di atas Tanah Perdikan ini.
Seolah-olah di atas Tanah ini sudah tidak ada lagi tempat untuk berdiri. Orang-orang
yang demikianlah yang sebenarnya berbahaya. Orang-orang yang berbuat tanpa
tujuan dan pertimbangan apa pun. Karena itu, maka keduanya memang harus
berhati-hati. Mereka harus memperhatikan setiap gerumbul di pinggir jalan.
Mereka harus memperhatikan setiap gerak di sebelah-menyebelah di antara
tanaman-tanaman yang tidak terpelihara. Tetapi kuda-kuda mereka berlari terus
dengan kencangnya. Bagaimanapun juga mereka menyadari bahaya yang dapat
menerkam mereka, namun keduanya adalah orang-orang yang mempunyai kelebihan
dari orang-orang kebanyakan.
Semakin lama
mereka pun menjadi semakin dekat dengan
padukuhan yang mereka tuju. Sekali-sekali mereka berpaling memandang debu yang
mengepul di belakang kaki-kaki kuda mereka, namun jalan itu memang sepi.
“Tempat yang
baik untuk melepaskan dendam,” tiba-tiba terdengar Gupita berkata.
Pandan Wangi
berpaling,
”Kenapa baik?”
ia bertanya.
“Orang-orang
yang bermaksud jahat dapat melihat, apakah ada peronda yang lewat atau tidak,”
jawab Gupita.
“Jalan ini
terlampau panjang.”
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan
kepalanya. Memang orang-orang yang bermaksud jahat dapat memperhitungkan,
apakah perbuatannya akan diketahui oleh para peronda atau tidak. Apabila mereka
melihat di kejauhan kepul debu, maka mereka akan segera berlari dan bersembunyi.
“Kita memang
harus berhati-hati,” desis Pandan Wangi. Namun sampai pertengahan bulak yang
panjang itu mereka tidak mendapat gangguan apa pun. Sebentar lagi mereka akan
melampaui simpang tiga yang berbelok ke padukuhan kecil di tengah-tengah bulak
yang disambung oleh sebuah pategalan. Dengan demikian mereka menjadi semakin
berwaspada. Dapat saja seseorang meloncat dari dalam parit sambil mengayunkan
pedangnya, kemudian berlari menghilang di padukuhan kecil itu. Mungkin orang
itu akan terus masuk ke dalam pategalan dan berlari ke seberang ke padepokan
adbmcadangan dotwordpress dotcom di mana api dibukit lebih membara. Tetapi
mungkin juga, mereka bersembunyi di sudut-sudut yang tidak tersentuh tangan di
dalam padukuhan itu, sedang orang-orang di sekitarnya tidak berani
menunjukkannya karena ancaman senjata. Tetapi keduanya kemudian melampaui
simpang tiga tanpa ada kesulitan apa pun. Tidak ada seseorang yang menyerang
mereka. Bahkan tidak ada tanda yang mencurigakan sama sekali.
Dengan
demikian mereka memacu kuda-kuda mereka semakin cepat. Padukuhan yang mereka
tuju pun menjadi semakin dekat, sehingga
tanpa mereka sadari, bulak yang panjang itu telah hampir seluruhnya berada di
belakang mereka.
“Kita telah
sampai,” tiba-tiba saja Pandan Wangi berdesis.
Gupita mengerutkan
keningnya. Di hadapan mereka adalah sebuah regol padukuhan. Beberapa orang
pengawal berdiri di sebelah-menyebelah jalan dengan senjata mereka
masing-masing. Namun ketika mereka ketahui, bahwa yang datang itu adalah Pandan
Wangi dan Gupita, maka mereka pun menarik nafas panjang-panjang. Ketika
keduanya telah berada beberapa langkah saja di depan para pengawal, maka Pandan
Wangi dan Gupita segera menghentikan kuda mereka. Sambil memandang para
pengawal seorang demi seorang Pandan Wangi bertanya,
“Bagaimanakah
keadaan padukuhan ini?”
Seorang yang
memimpin para pengawal itu maju selangkah sambil menjawab,
“Sampai hari
ini tidak ada sesuatu yang mencemaskan.”
“Apakah
penduduk padukuhan ini telah dapat ditenangkan, setelah Paman Argajaya
tertangkap?”
“Sedikit demi
sedikit. Tetapi masih ada saja yang tidak berhasil kami jinakkan. Kadang-kadang
masih juga ada seorang pengawal yang tidak kembali ke pangkalan.”
Pandan Wangi
mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dan pengawal
itu bertanya,
“Apakah kalian
hanya berdua?”
“Ya.”
“Sangat
berbahaya. Untung kalian tidak menjumpai apa pun di perjalanan.”
Pandan Wangi
dan Gupita mengangguk-angguk.
“Kenapa kalian
tidak membawa pengawal?”
Pertanyaan itu
memang membingungkan Pandan Wangi. Dan ia pun bertanya kepada diri sendiri,
“Kenapa tidak
membawa pengawal?”
Pandan Wangi
menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak dapat mengingkari, bahwa ia memang
ingin berada dalam perjalanan tanpa orang lain. Sedang Gupita pun menjadi berdebar-debar pula. Ia memang
sangat berkepentingan bahwa tidak ada seorang pengawal yang mengawani mereka
berdua, karena ia memang mencari kesempatan untuk menyampaikan perasaan Gupala.
“Kenapa?”
desak pengawal itu.
“Kami tidak
sengaja sampai ke padukuhan ini,” jawab Pandan Wangi.
“Kami hanya
sekedar melihat-lihat keadaan Tanah Perdikan setelah perang selesai. Tetapi
tanpa sesadar kami, kuda-kuda kami telah membawa kami sampai ke tempat ini.”
Pengawal itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia masih bertanya lagi,
“Kemanakah
kalian akan pergi kemudian?”
“Aku akan
bertemu dengan bibi,” sahut Pandan Wangi.
Pengawal itu
mengerutkan keningnya. Jawabnya kemudian,
“Sebaiknya
kalian berkunjung saja ke tempat lain.”
“Kenapa?”
“Kami belum
dapat membuktikannya. Tetapi sependengaran kami, kadang-kadang tempat itu
dipergunakan oleh orang-orang yang kini masih saja liar itu untuk bersembunyi
sehari dua hari, sebelum mereka merasa aman.”
“Apakah kalian
tidak dapat mencegahnya?”
“Kami sedang
mencari bahan. Tetapi kami sudah mempersiapkan perangkap bagi mereka.”
“Aku akan pergi
ke rumah itu. Apakah kau tahu, bahwa putera Paman Argajaya ada di rumah?”
Pengawal itu
menggelengkan kepalanya.
“Aku tidak
tahu. Tetapi aku belum pernah melihatnya.”
“Mungkin anak
itu memang bersembunyi. Biarlah aku melihatnya.”
“Itu sangat
berbahaya.”
“Mungkin aku
dapat mendekatinya dengan cara lain. Aku adalah saudara sepupunya.”
Pengawal itu
mengerutkan keningnya. Tetapi kemudan ia berkata,
“Ki Argajaya
bukan sekedar saudara sepupu Ki Argapati, tetapi keduanya adalah kakak-beradik
seayah-ibu.”
Pandan Wangi
mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun demikian niatnya sama sekali tidak
mereda. Karena itu maka katanya kemudian,
“Aku akan
mencobanya. Mudah-mudahan aku berhasil. Setidak-tidaknya aku dapat
memberitahukan kepada bibi, agar ia tidak terus-menerus dicengkam oleh
kecemasan dan ketakutan, justru karena pengikut paman yang putus asa itu selalu
mengganggunya.”
Pengawal itu
menarik nafas panjang-panjang. Katanya kemudian,
“Baiklah. Aku
sudah mencoba mencegah. Tetapi kalau kalian tetap ingin memasuki rumah itu, aku
akan menyediakan empat atau lima orang pengawal.”
“Jangan,”
Pandan Wangi menolak dengan serta-merta.
“Kedatangan
kami bersama beberapa orang pengawal akan berkesan kurang baik. Kesan
permusuhan akan membayangi pertemuan itu. Biarlah kami berdua memasuki halaman
rumah paman.” Pandan Wangi berhenti sejenak, namun kemudian,
“Tetapi aku
tidak berkeberatan apabila kalian mengawasi keadaan di luar halaman. Meski pun demikian jangan terlampau dekat. Dan
jangan menampakkan diri dalam kesiagaan, seakan-akan kalian memang mengepung
rumah itu.”
Pengawal itu mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“Baiklah.
Tetapi hati-hatilah.”
Pandan Wangi
dan Gupita pun segera melanjutkan
perjalanan mereka, memasuki padukuhan itu, menuju ke rumah Argajaya. Rumah yang
terletak hampir di tengah-tengah padukuhan. Rumah yang besar dan berhalaman
luas, meskipun tidak sebesar rumah Ki Argapati. Sepeninggal Pandan Wangi dan
Gupita, maka beberapa orang pengawal pun
segera dipersiapkan. Lima orang bersama pemimpin pengawal itu sendiri,
diam-diam menyelusur jalan-jalan sempit mendekati halaman rumah Ki Argajaya.
Mereka tetap mencemasksn nasib Pandan Wangi dan Gupita, karena rumah itu sampai
saat terakhir memang masih merupakan teka-teki yang belum terpecahkan. Meskipun
sekali dua kali para pengawal pernah memasuki rumah itu dengan tiba-tiba, namun
mereka sama sekali tidak menemukan apa pun, selain caci-maki dan
umpatan-umpatan dari seluruh penghuninya. Bahkan Nyai Argajaya pun marah bukan
kepalang. Sambil menuding-nuding pemimpin pengawal ia mengumpat tidak
habis-habisnya. Pemimpin pengawal itu mengira bahwa ada tempat-tempat
persembunyian rahasia yang tidak dapat mereka ketemukan di halaman rumah itu. Pandan
Wangi dan Gupita menghentikan kudanya ketika mereka sampai di muka regol halaman.
Keduanya berpandangan sejenak, kemudian Pandan Wangi berbisik,
“Inilah rumah
itu.”
Gupita
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini ia tidak dapat menghindari lagi.
Sebenarnya ia sama sekali tidak ingin memasuki halaman rumah itu. Ia hanya
ingin mendapat kesempatan menyampaikan pesan Gupala kepada Pandan Wangi. Tetapi
akhirnya ia harus berdiri di hadapan rumah Ki Argajaya. Kalau putera Ki
Argajaya itu ada di dalam halaman itu, kemudian bersedia mereka bawa menghadap
Ki Argapati, maka kesempatannya untuk berbicara dengan Pandan Wangi akan lepas
lagi, dan Gupala pun pasti akan mengumpat-umpatnya pula. Dengan demikian Gupita
menjadi ragu-ragu. Apakah dengan demikian ia tidak berbuat kekeliruan, sehingga
persoalan Gupala masih harus tertunda lagi. Pandan Wangi yang tidak mengerti,
apa yang bergejolak di dalam dada Gupita berkata,
“Apakah kau
melihat sesuatu yang mencurigakan?”
Gupita menarik
nafas dalam-dalam. Ia kini menyadari keadaannya. Mau tidak mau ia harus
memasuki rumah yang ada di hadapannya. Tetapi ketika ia memandangi halaman yang
berada di belakang regol yang terbuka itu, memang terasa, seakan-akan halaman
rumah itu menyimpan suatu rahasia yang tidak mudah dipecahkan. Namun kemudian
ia berkata,
“Mungkin hanya
sekedar prasangka. Meskipun demikian kita memang harus berhati-hati.”
“Baklah,”
jawab Pandan Wangi,
“marilah kita
memasuki rumah itu. Mudah-mudahan bibi dapat menerima kedatanganku.”
Gupita
menganggukkan kepalanya.
Keduanya pun kemudian meloncat turun. Mereka menuntun
kuda masing-masing memasuki regol halaman. Pandan Wangi berjalan di depan,
kemudian tiga-empat langkah di belakangnya Gupita berjalan sambil mengawasi
keadaan. Halaman rumah itu memang terasa terlampau sepi. Bahkan dedaunan pun sama sekali tidak ada yang bergetar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar