Jilid 016 Halaman 1


DALAM kegelisahannya, Ki Tambak Wedi itu kemudian berjalan mendekati desa Benda. Di sepanjang langkahnya, tak habis-habisnya ia mengumpat-umpat.
“Akhirnya aku harus pergi juga ke desa itu. Lebih baik sejak semula aku kerjakan sendiri pekerjaan ini.”
Setelah meloncati beberapa buah parit dan menyibak beberapa macam tanaman di sawah-sawah, akhirnya Ki Tambak Wedi berdiri di luar dinding desa itu. Dari tempatnya berdiri Ki Tambak Wedi dapat melihat jalan yang membujur di tengah-tengah bulak memasuki desa kecil itu. Tetapi Ki Tambak Wedi tidak mau masuk desa lewat jalan yang dilihatnya. Lebih baik baginya untuk meloncati dinding batu desa itu. Ketika Ki Tambak Wedi menjejakkan kakinya di dalam lingkungan dinding batu, orang tua itu menggeram. Api yang dilihatnya sudah menjadi semakin besar. Dengan hati-hati ia berjalan ke arah api itu. Tetapi, di sekitar api itu tampaknya terlampau sepi. Ia tidak melihat Sidanti, Sanakeling dan Alap-alap Jalatunda.
“Hem,” geramnya berulang kali.
“Anak-anak gila itu pergi ke mana saja. Mereka sama sekali tidak mau memperhitungkan keadaan. Mereka menuruti saja perasaannya.”
Tiba-tiba Ki Tambak Wedi teringat, bahwa di desa itu pasti ada prajurit Pajang yang sedang mengawasi keadaan menjelang saat penyerahan orang-orang Jipang. Gumamnya,
“Hem, mungkin Sidanti sedang melihat-lihat, apakah di desa ini ada orang-orang Pajang. kalau benar diketemukannya beberapa orang prajurit, maka anak itu pasti sedang melepaskan kemarahannya.”
Sejenak Ki Tambak Wedi menjadi berbimbang hati. Tetapi kemudian kembali ia bergumam,
“Biarlah aku melihatnya pula. Orang-orang Pajang pasti berada di ujung jalan itu.”
Akhirnya Ki Tambak Wedi  pun segera dengan tergesa-gesa menyusup rimbunnya dedaunan, meloncati dinding-dinding halaman, pergi ke ujung jalan.

Dalam pada itu Wira Lele masih berpacu dengan kudanya. Beruntunglah ia bahwa ketika Ki Tambak Wedi berjalan mendekati jalan yang dilaluinya, ia telah lampau. Kalau hantu lereng Merapi itu melihatnya, maka sudah pasti bahwa tubuh Wira Lele akan terbanting dari punggung kudanya, karena Ki Tambak Wedi akan melempar dengan gelang-gelang besinya. Kuda Swandaru adalah kuda yang cukup baik, sehingga lajunya benar-benar seperti anak panah meluncur dari busurnya. Ia harus segera menemui Untara, mengabarkan apa yang telah terjadi, sehingga rencana yang telah disusun rapi oleh pimpinannya itu tidak pecah berserakan. Akhirnya Wira Lele melihat juga sebuah barisan yang berhenti di tengah-tengah bulak. Barisan itu adalah barisan Pajang dan anak-anak muda Sangkal Putung.
Ketika Untara melihat api yang menjilat ke udara, maka hatinya menjadi berdebar-debar. Dengan ragu-ragu ia berkata kepada Ki Gede Pemanahan,
“Ki Gede, aku melihat ketidak-wajaran dari desa Benda itu.”
Ki Gede mengerutkan keningnya. Ketika ia berpaling, memandangi wajah Untara, dilihatnya pada wajah itu beberap titik keringat. Kali ini Ki Gede benar-benar menjadi kecewa. Ternyata persiapan Untara masih belum terlampau masak, sehingga di saat-saat yang ditentukan masih juga terjadi peristiwa-peristiwa yang menegangkan dan bahkan mungkin dapat membahayakan. Tetapi Ki Gede puas dengan persiapan pasukan Pajang dan anak-anak muda Sangkal Putung yang berbaris di belakangnya. Bahwa seandainya orang-orang Jipang itu berkhianat atas persetujuan yang telah dibuatnya, atau sengaja menjebak para prajurit Pajang, maka pasukan itu sudah benar-benar dalam kesiagaan tempur.
“Bagaimana pertimbanganmu Untara?” bertanya Ki Gede Pemanahan.
“Beberapa orang harus menyaksikan keadaan desa itu dari dekat.”
Ki Gede Pemanahan mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya,
“Di desa itu tak akan kau jumpai bahaya yang besar. Kalau orang-orang Jipang ingin menjebakmu di sana, maka tidak akan terjadi pembakaran itu.”
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi bagaimanapun juga api itu telah mencemaskannya. Maka katanya,
“Ya Ki Gede, demikianlah kiranya. Tetapi api itu sendiri dapat menimbulkan berbagai pertanyaan. Mungkin tanpa disengaja para penjaga telah membakar sebuah timbunan jerami atau alang-alang. Tetapi mungkin juga karena sebab-sebab lain.”
“Kita tidak mendengar tanda bahaya,” sela Widura yang berdiri di belakang Untara.
Ki Gede Pemanahan masih mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak panglima itu berdiam diri dan berpikir. Kemudian katanya,
“Baik juga kau mengirimkan beberapa penghubung untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya.”

Untara mengangguk. Di belakang barisan itu ada tiga orang penghubung dengan kuda-kuda mereka yang siap untuk melakukan tugas itu. Tetapi Untara itu kemudian tertegun diam. Dari kejauhan, mereka melihat seekor kuda muncul di tikungan, dari balik tanaman-tanaman jagung dan gerumbul jarak liar yang berserakan di pinggir-pinggir jalan. Kuda itu berpacu semakin dekat. Debu yang dilemparkan oleh kaki-kakinya mengepul tinggi ke udara.
“Siapa?” desis Ki Gede Pemanahan.
Untara tidak segera menyahut. Tetapi kemudian setelah orang berkuda itu menjadi semakin dekat ia menjawab,
“Wira Lele, Ki Gede, pemimpin pengawas yang aku tempatkan di Benda.”
Ki Gede Pemanahan mengangguk-anggukkan kepalanya. Wajahnya sama sekali tidak membayangkan kegelisahan dan kecemasan. Wajah Panglima Wira Tamtama itu selalu membayangkan ketenangan hatinya, sehingga orang-orang lain pun menjadi tenang pula karenanya. Semakin lama Wira Lele itu pun menjadi semakin dekat, sementara itu wajah Untara dan Widura menjadi semakin tegang. Mereka merasa tidak sabar lagi menunggu kuda yang berlari kencang seperti angin itu.
Demikian Wira Lele sampai di hadapan mereka, maka segera Untara dan Widura menyongsongnya sambil bertanya,
“Apa yang terjadi?”
Untara dan Widura menjadi semakin berdebar-debar ketika mereka melihat wajah Wira Lele yang pucat dan keringatnya yang membasahi seluruh tubuhnya.
“Apa yang terjadi?” Untara mengulangi pertanyaannya.
Dengan serta-merta Wira Lele itu turun dari kudanya, menganggukkan kepalanya dalam-dalam, kemudian menjawab,
“Di Benda telah terjadi kebakaran.”
“Kenapa?” bertanya Widura singkat.
Sejenak Wira Lele menjadi ragu-ragu kembali. Apakah ia harus mengatakan seperti pesan Sutawijaya, atau ia harus mengatakan sebenarnya.
“Kenapa?” desak Widura.
“Oh,” Wira Lele tergagap. Akhirnya ia memutuskan untuk mengatakan keadaan yang sebenarnya. Dengan terbata-bata dan seolah-olah tidak berurutan, kata-katanya berebut dahulu meloncat dari mulutnya.
“Beberapa gubug telah dibakar Sidanti.”
Mendengar kalimat yang pendek itu dada Untara dan Widura bergetar. Hampir bersamaan mereka mengulangi nama itu,
“Sidanti?”
“Ya.”
Ki Gede Pemanahan pun melangkah maju sambil bertanya,
“Apakah Sidanti memasuki desa kecil itu?”
Wira Lele menganggukkan kepalanya dalam-dalam ketika ia melihat Panglima itu bertanya kepadanya,
“Ya tuan, Sidanti, Sanakeling dan Alap-alap Jalatunda.”
“Bertiga?” bertanya Ki Gede Pemanahan.
“Ya Ki Gede, mereka bertiga.”

Sejenak Untara dan Widura saling berpandangan. Sekilas teringat olehnya Agung Sedayu, Swandaru dan Sutawijaya yang mendahului mereka. Apakah mereka tidak terjebak oleh Sidanti dan kedua kawan-kawannya. Bahkan tiada disengaja terloncat pertanyaan dari mulut Untara,
“Bagaimana dengan anak-anak muda yang datang berkuda. Apakah kau bertemu dengan mereka?”
“Ya,” sahut Wira Lele.
“Kini mereka saling berhadapan. Kuda yang aku pakai adalah kuda Angger Swandaru.”
Untara dan Widura memandangi kuda itu. Kuda itu memang kuda Swandaru.
“Kini mereka pasti sedang bertempur,” sambung Wira Lele.
“Tetapi kau lihat Sidanti hanya bertiga?” sela Widura.
“Ya.”
Widura menarik nafas. Sementara itu Untara berkata,
“Mudah-mudahan anak-anak itu tidak mengalami kesulitan.”
“Kalau mereka benar-benar hanya bertiga,” tiba-tiba terdengar Ki Gede Pemanahan berkata.
“Maka aku mengharap anak-anak itu akan dapat mengatasinya.” Ki Gede itu diam sesaat. Kemudian ia berpaling kepada Untara.
“Apakah adikmu dapat melawan Sanakeling?”
Untara itu mengangguk.
“Aku harap demikian Ki Gede. Mereka berdua pernah bertemu di garis perang, pada saat terakhir.”
“Kalau begitu, mereka tidak akan menemui kesulitan.” Ki Gede itu terdiam sesaat. Tetapi sejenak kemudian tampak wajahnya yang tenang itu berkerut. Tiba-tiba kata-katanya mengejutkan Untara,
“Wira Lele, bukankah namamu Wira Lele?”
“Ya Ki Gede,” sahut Wira Lele sambil menganggukkan kepalanya.
“Kau benar-benar hanya melihat tiga orang dari mereka?”
“Ya Ki Gede. Hanya tiga orang. Di perjalanan kemari pun aku tidak melihat orang-orang lain.”
“Tetapi di antara mereka bertiga itu ada Sidanti,” gumam Ki Gede Pemanahan.
“Kalau begitu,” katanya, “berikan kudamu kepadaku.”
“Ki Gede,” potong Untara, “apakah yang akan Ki Gede lakukan sekarang?”
“Sidanti adalah murid Tambak Wedi. Hantu itu mungkin berada di sana pula.”
“Ki Gede, aku dan paman Widura yang bertanggung jawab atas semua peristiwa ini. Karena itu, biarlah aku pergi mendahului.”
“Apakah kau dapat berbuat sesuatu kalau tiba-tiba muncul di arena perkelahian itu Ki Tambak Wedi?”
Untara terbungkam. Tetapi ia melangkah maju ketika ia melihat Ki Gede Pemanahan merenggut kendali kuda Wira Lele.
“Jangan Ki Gede,” minta Untara.
“Ki Gede adalah Panglima Wira Tamtama. Keselamatan Ki Gede jauh lebih berharga dari keselamatan kita semuanya.”
“Ah,” desah Ki Gede yang tiba-tiba telah meloncat ke atas punggung kuda itu.
“Aku sedang mencemaskan keselamatan anakku. Aku akan mendahului kalian, cepat susul aku. Kalau terjadi sesuatu bukanlah salahmu, tetapi salah anakku yang nakal itu.”
“Ki Gede,” Untara masih ingin mencegah, tetapi ia tidak tahu kata-kata apakah yang akan diucapkan.
“Aku menyadari maksudmu Untara,” sahut Ki Gede Pemanahan,
“tetapi pada masa-masa mudaku, aku senakal anakku itu pula. Karena itu jangan cemaskan aku.”

Untara tidak dapat berbuat sesuatu lagi. Ia hanya dapat melihat Ki Gede memutar kudanya. Yang terdengar kemudian adalah kata-kata salah seorang perwira pengawalnya,
“Ki Gede, apakah Ki Gede tidak menunggu kami?”
Ki Gede tersenyum, katanya,
“Lindungilah panji-panji itu. Biarlah panji-panji itu tetap berkibar.”
Tak seorang pun sempat mencegahnya. Kuda itu segera meloncat dan berlari sekencang badai. Gemeretak di atas tanah berbatu-batu. Semakin lama semakin jauh.
Untara itu pun kemudian tersentak. Tiba-tiba mulutnya berteriak,
“He, berikan kuda penghubung itu. Kenapa kalian diam saja sejak tadi?”
Para penghubung yang memegang kendali kuda di bagian belakang dari barisan itu terkejut mendengar teriakan Untara. Karena itu, maka dengan segera mereka meloncat naik ke punggung-pungung kuda dan membawa kuda-kuda mereka maju mendekati Untara.
“Berikan satu kepadaku,” teriak Untara itu pula.
Para penghubung itu sama sekali tidak tahu maksud Untara. Tetapi mereka pun segera berloncatan turun dan salah seorang dari pada mereka menyerahkan kendali kudanya kepada Untara.
“Kau akan pergi juga?” bertanya Widura.
“Ya.”
“Sendiri?”
Untara ragu-ragu sejenak. Sehingga Widura berkata pula,
“Apakah aku akan menyertaimu?”
Untara menggeleng,
“Tidak. Paman memimpin pasukan ini.” Untara berhenti sejenak kemudian dipandanginya beberapa orang perwira dan pengawal Ki Gede Pemanahan yang lain. Rupa-rupanya orang-orang itu pun tahu maksudnya, sehingga salah seorang dari mereka berkata,
“Aku akan pergi bersamamu Adi Untara.”
“Marilah,” sahut Untara.
“Aku juga, bukankah ada tiga ekor kuda,” berkata seorang yang lain.
Maka sejenak kemudian mereka bertiga telah berada di punggung kuda. Dengan sentuhan pada lambung-lambung kuda itu, maka ketiganya meloncat dan berlari seperti dikejar hantu. Tiga ekor kuda itu berpacu dengan cepatnya, berderak-derak di atas jalan yang menuju ke desa kecil di hadapan mereka, Benda.

Di desa Benda, pada saat itu sedang berlangsung suatu perkelahian yang semakin lama menjadi semakin seru. Sidanti yang melawan Sutawijaya benar-benar telah berusaha memeras segenap kemampuannya. Namun ia harus melihat kenyataan pula, bahwa Sutawijaya benar-benar memiliki kelincahan dan ketangguhan yang suIit ditandinginya. Dengan senyum yang selalu membayang di bibirnya, Sutawijaya  pun berusaha untuk menebus kekalahannya. Bahkan tiba-tiba lukanya itu seolah-olah menjadi terasa pedih kembali.
“Hem,” geramnya,
“sedikitnya sebuah goresan di tubuhmu, Sidanti.”
Sidanti tidak menyahut. Tetapi bekerja lebih keras lagi. Ia sama sekali tidak dapat mengharapkan bantuan siapa pun juga dalam perkelahian ini, sebab kedua kawannya telah terlibat pula dalam perkelahian yang seru. Meskipun Alap-alap Jalatunda tidak mengalami tekanan yang berat, bahkan sekali-sekali ia berhasil mendesak Swandaru yang gemuk, namun belum menunjukkan suatu kepastian bahwa ia akan dapat mengalahkan lawannya. Kekuatan Swandaru ternyata benar-benar merupakan kekuatan raksasa. Sedang Sanakeling, hampir tidak pernah mendapat kesempatan untuk menarik nafas. Ternyata Agung Sedayu cukup cepat menghadapinya. Keduanya adalah orang-orang pilihan dari pihak yang berlawanan, yang pernah bertemu di garis perang, sehingga dengan demikian, maka kini mereka telah berusaha sekuat-kuat tenaga masing-masing untuk segera menguasai lawannya.
Tiba-tiba Sanakeling, Agung Sedayu, Alap-alap Jalatunda dan Swandaru terkejut ketika mereka mendengar suara Sidanti mengumpat keras-keras,
“Setan. Jangan berbangga dengan sentuhan senjatamu itu.”
Yang terdengar kemudian adalah suara tertawa Sutawijaya. Katanya,
“Jangan mengumpat-umpat. Aku hanya menagih hutangmu, tidak lebih. Dan aku masih belum menuntut bunganya.”
“Mampus kau!” teriak Sidanti pula sambil menyerang Sutawijaya sejadi-jadinya. Wajahnya menjadi merah padam dan matanya seakan-akan menyala. Dari lengan kirinya menetes darah yang merah segar.
Agung Sedayu  pun tersenyum pula melihat luka Sidanti, bahkan Swandaru dengan serta-merta berteriak pula,
“He, apakah murid Ki Tambak Wedi itu dapat dilukai?”
“Tunggu, aku akan menjobek mulutmu Swandaru,” sahut Sidanti lantang.
Tetapi Swandaru menjawab pula,
“Lenganmu sudah terluka. Apakah kau masih dapat menyombongkn dirimu lagi?”
Kata-kata Swandaru terputus. Ia masih akan berkata lagi, tetapi ketika ia baru saja membuka mulutnya, ujung pedang Alap-alap Jalatunda hampir saja masuk ke dalam mulutnya itu.
“Gila kau,” anak yang gemuk itu mengumpat. Dengan cepatnya ia meloncat mundur. Tetapi Alap-alap Jalatunda mengejarnya dan dengan pedangnya ia menyerang lambung.
Swandaru memutar tubuhnya setengah lingkaran. Ia tidak mau menghindar lagi. Dengan sekuat tenaganya, pedang Alap-alap Jalatunda itu ditangkisnya dengan pedangnya pula. Terdengar suara berdentang. Dari sentuhan kedua tajam pedang itu memercik bunga api. Namun sekali lagi terasa oleh Alap-alap Jalatunda, betapa kuatnya tangan Swandaru, meskipun Swandaru terpaksa mengakui pula kecepatan bergerak Alap-alap Jalatunda. Hampir saja lambungnya tersobek oleh pedangnya.

Sementara itu, Ki Tambak Wedi berjalan dengan tergesa-gesa menyusup rimbunnya dedaunan di kebun-kebun dan meloncati pagar-pagar halaman, menuju ke ujung desa itu. Ia menyangka bahwa di sana pasti ada gardu pengawas.
“Mungkin Sidanti dan kawan-kawannya sedang berpesta,” gumamnya.
“Tetapi itu adalah perbuatan yang bodoh. Meskipun seandainya mereka berhasil membunuh lima atau enam orang, tetapi mereka hampir-hampir tidak lagi dapat berpikir tentang kemungkinan-kemungkinan lain. Mungkin Sidanti demikian bernafsu dan mencincang korbannya. Mungkin Sanakeling dan Alap-alap Jalatunda berbuat serupa.Tetapi kalau mareka tertangkap oleh orang-orang Pajang, maka mereka pasti akan mengalami perlakuan yang sama.”
Sambil bersungut-sungut Ki Tambak Wedi itu berjalan semakin cepat mendekati gardu perondan di ujung jalan.
Ketika Ki Tambak Wedi sudah menjadi semakin dekat, maka mulailah ia mendengar gemerincing senjata beradu, namun karena rimbunnya pepohonan dan dinding-dinding halaman, maka orang tua itu masih belum dapat melihat apa yang terjadi di gardu peronda itu.
“Hem,” gumamnya sambil melangkah lebih cepat,
“siapakah yang berada di gardu itu sehingga Sidanti, Sanakeling dan Alap-alap Jalatunda memerlukan waktu yang cukup lama untuk membinasakannya?”
Demikian ketika ia sampai di halaman terakhir, di tepi jalan di muka gardu itu, maka lewat di atas dinding halaman ia melihat beberapa buah kepala tersembul. Kepala yang bergerak-gerak bergeser dan kadang-kadang berputaran.
“ltulah mereka,” desisnya.
Tiba-tiba Ki Tambak Wedi itu menjadi semakin tergesa-gesa. Langkahnya menjadi semakin panjang, dan kemudian dengan serta merta ia menjengukkan kepalanya dari atas dinding itu.
Demikian kepalanya tersembul di atas dinding halaman, demikian darahnya serasa membeku. Ia melihat muridnya bertempur melawan Sutawijaya. Bukan itu saja, tetapi dari tubuh muridnya telah menetes darah. Di lingkaran yang lain, ia melihat Sanakeling bertempur melawan Agung Sedayu, dan Alap-alap Jalatunda melawan Swandaru Geni. Sedang di muka gardu ia masih melihat beberapa prajurit Pajang berdiri dengan mulut ternganga, seperti sedang menonton adu jago.
Tanpa disengaja Ki Tambak Wedi itu pun menggeram. Ketika ia sekali mengayunkan kakinya, maka kini ia telah duduk bertengger di atas dinding batu itu.

Anak-anak muda yang sedang bertempur itu terkejut. Seakan-akan tiba-tiba saja tanpa sangkan-paran mereka melihat seseorang duduk di atas dinding. Apalagi ketika mereka melihat wajah yang keras, hidung yang melengkung seperti paruh burung betet, dan kumis yang tebal, maka terasa dada mereka berdesir. Lebih-lebih Sutawijaya, Agung Sedayu dan Swandaru. Dengan segera mereka mengenal, bahwa orang itu adalah Ki Tambak Wedi.
“Hem,” kembali terdengar Ki Tambak Wedi menggeram,
“ternyata kalian sedang bermain-main.”
“Ya, guru,” sahut Sidanti. Hatinya yang sudah mulai berkeriput tiba-tiba kini mekar kembali ketika ia melihat gurunya,
“Aku ingin membawa mereka, setidak-tidaknya kepala mereka ke lereng Gunung Merapi.”
Meskipun debar jantung Sutawijaya belum mereda oleh kehadiran Ki Tambak Wedi, namun mendengar bualan Sidanti sempat juga ia tertawa. Katanya,
“He, apakah kau ingin memenggal leherku?”
“Tentu,” sahut Sidanti lantang.
“Baik,” jawab Sutawijaya,
“mari perkelahian ini kita lanjutkan. Gurumu menjadi saksi. Sutawijaya atau Sidanti yang hanya pandai membual tetapi tidak mampu mempermainkan senjatanya?”
Terdengar gigi Sidanti gemeretak. Tantangan itu benar-benar menyakitkan hatinya, tetapi ia menyadari keadaan yang dihadapi. Dengan demikian Sidanti itu terbungkam. Yang terdengar hanyalah gemeretak giginya. Bukan saja Sidanti yang menjadi sakit hati mendengar tantangan itu, tetapi Ki Tambak Wedi  pun menjadi marah pula. Dengan suara parau ia berkata,
“Sutawijaya, bagaimanapun juga kau menyombongkan dirimu, tetapi ketahuilah, bahwa hari ini adalah hari akhir hidupmu.”

Terasa sesuatu berdesir di dalam dada Sutawijaya. Tetapi ia bukan seorang pengecut. Sekilas ia memandang kawan-kawannya yang masih saja bertempur. Namun wajah-wajah itu pun sama sekali tidak menunjukkan ketakutan. Agung Sedayu dan Swandaru menyadari keadaan yang di hadapinya pula. Kehadiran Ki Tambak Wedi berarti bahaya yang tak akan dapat mereka hindari. Tetapi mereka tidak akan bersimpuh dan menyembah mohon ampun di bawah kaki hantu lereng Merapi itu. Bahkan hati mereka bergetar ketika mereka mendengar Sutawijaya menjawab sambil tertawa,
“Bagus Ki Tambak Wedi. Kau pasti akan mampu membunuh aku. Dan aku pun akan melawanmu dengan sikap jantan. Aku dan kawan-kawanku tidak akan lari meninggalkan gelanggang. Tetapi sebelum mati, aku minta kepadamu, untuk sedikit mendorong muridmu supaya ia pun dapat bersikap jantan. Nah Ki Tambak Wedi, apabila demikian, maka aku akan menyelesaikan perkelahian ini sebagai perkelahian di antara dua orang laki-laki. Bukan perkelahian anak-anak yang masih harus merengek-rengek minta pertolongan kepada ayah atau gurunya.”
Sekali lagi terdengar gigi Sidanti gemeretak. Ia benar-benar dihadapkan pada suatu keadaan yang sulit. Sebagai seorang laki-laki, maka ia tidak mungkin menghindari tantangan itu. Namun kenyataan mengatakan kepadanya, bahwa ia benar tidak mampu melawan Sutawijaya. Apalagi ketika Swandaru menyahut lantang,
“Nah, sekarang baru akan tampak, siapakah yang jantan dan siapakah yang hanya berani menampar mulut orang yang pasti tak akan mampu melawan.”
“Tutup mulutmu!” bentak Sidanti. Kemarahannya seakan-akan hampir meledakkan dadanya.
Tetapi Swandaru tertawa. Meskipun suara tertawanya agak sumbang. Suara tertawa sebagai pelepas perasaannya. Sebab ia tahu benar, bahwa sebentar lagi apabila Ki Tambak Wedi itu meloncat turun dari atas dinding batu itu, maka nyawanya akan melayang. Ki Tambak Wedi  pun merasa dihadapkan pada suatu persoalan yang rumit. Tetapi ia pasti akan lebih menghargai nyawa muridnya dari pada sekedar harga diri. Karena itu, maka segera ia berkata,
“Jangan mencoba menipu aku anak cengeng. Kau pasti mencoba menunggu orang-orang Pajang datang kemari. Tetapi aku tidak sebodoh itu. Apa pun yang akan kau katakan tentang muridku, tentang perguruanku, aku tidak peduli. Sebab umurmu tidak akan lebih dari sesilir bawang.”
Dada Sutawijaya berdesir mendengar jawaban Tambak Wedi itu. Bukan karena ia takut terbunuh, tetapi ia menghadapi keadaan yang menurut penilaiannya tidak adil. Demikian juga agaknya perasaan Agung Sedayu dan Swandaru Geni. Tetapi sudah pasti mereka tidak dapat ingkar. Betapapun hatinya memberontak. Mereka ingin diberi kesempatan menyelesaikan perkelahian itu lebih dahulu. Tetapi apa boleh buat, Tambak Wedi bukanlah seorang yang sekedar akan menjadi saksi dari perkelahian itu, tetapi ia adalah salah satu dari musuh-musuhnya. Ketika kemudian mereka melihat Ki Tambak Wedi itu meloncat turun, maka hampir bersamaan Sutawijaya, Agung Sedayu dan Swandaru Geni menggeram. Pada saat terakhir itu mereka mencoba berbuat sebaik-baiknya, mencoba menekan lawan dengan segenap kekuatan terakhir. Swandaru dengan sepenuh tenaga menghantam lawannya dengan pedangnya yang berhulu gading. Ia tidak perduli, apakah musuhnya akan melawan serangannya itu dengan sebuah tangkisan atau akan menghindar. Tetapi ia seolah-olah menjadi bermata gelap. Seperti badai pedangnya melanda Alap-alap Jalatunda.

Alap-alap itu terkejut, justru pada saat yang sama sekali tak disangka-sangkanya. Ia menyangka Swandaru akan mencoba menyelamatkan dirinya dari Ki Tambak Wedi atau setidak-tidaknya perkelahiannya itu akan menjadi lemah karena putus asa. Namun ternyata bentuk keputus-asaan yang terungkap dalam diri Swandaru adalah berbeda dari yang dibayangkan oleh Alap-alap Jalatunda. Dalam keputus-asaan, Swandaru masih mencoba membinasakan lawannya, sama sekali bukan ingin melarikan diri sementara Ki Tambak Wedi akan membunuh Sutawijaya. Karena itu, maka Alap-alap Jalatunda terpaksa melayani saat-saat terakhir dari perkelahian itu. Ketika ia mencoba menangkis serangan Swandaru, maka terasa tangannya menjadi nyeri. Hampir-hampir senjatanya itu terlepas. Untunglah bahwa dengan sisa kekuatan tangannya ia mampu mempertahankan senjatanya. Meskipun demikian, sementara nyeri tangannya masih menyengat-nyengat, Alap-alap itu terpaksa berloncatan surut menghindari serangan-serangan Swadaru berikutnya. Demikian pula agaknya Agung Sedayu. Dengan sepenuh tenaga ia berjuang. Dipergunakannya saat-saat terakhir yang pendek untuk mencoba mendahului tangan Ki Tambak Wedi atas dirinya. Tetapi Sanakeling  pun mampu menghindari setiap serangannya meskipun ia harus berloncatan surut dan mengumpat-umpat tak habis-habisnya. Ki Tambak Wedi melihat kedua anak muda itu sambil menggeram. Tiba-tiba ia berkata dengan nada parau,
“Hem, kalian telah mulai sekarat.” Kemudian kepada Sanakeling dan Alap-alap Jalatunda, hantu lereng Merapi itu berkata,
“Tahanlah musuh-musuhmu itu sesaat. Jangan sampai mereka melarikan diri. Yang pertama-tama akan aku bunuh adalah Sutawijaya, kemudian Agung Sedayu dan yang terakhir, anak yang gemuk itu, biarlah Sidanti yang menyelesaikan.” Tetapi kata-kata Ki Tambak Wedi itu terputus. Bahkan yang lain pun terkejut pula ketika tiba-tiba mereka mendengar Sidanti memekik kecil, sehingga semua perhatian telah terpukau karenanya.
Ki Tambak Wedi itu pun menjadi terkejut pula. Ia melihat darah yang merah mengalir dari dada Sidanti.
“Setan!” Sidanti itu mengumpat sambil meloncat jauh-jauh ke belakang. Tetapi Sutawijaya benar-benar seperti orang kesurupan. Ia tidak mempedulikannya lagi. Dengan cepatnya ia mengejar lawannya. Sekali lagi tombaknya terjulur, kali ini mengarah leher Sidanti yang sudah kehilangan keseimbangan. Saat-saat itu adalah saat yang sangat berbahaya bagi Sidanti. Seolah-olah ia telah kehilangan kesempatan untuk menyelamatkan dirinya. Meskipun demikian anak muda itu masih juga mampu menghindar dengan jalan satu-satunya. Dengan serta-merta ia menjatuhkan dirinya dan berguling ke samping. Usaha itu hanya berguna sementara bagi Sidanti. Sebab Sutawijaya  pun segera meloncat pula menerkam Sidanti yang masih berguling di tanah dengan tombaknya. Darah Sanakeling dan Alap-alap Jalatunda serasa berhenti melihat peristiwa itu. Mereka melihat tombak itu terangkat dan apabila kemudian tombak itu mematuk ke bawah, maka nyawa Sidanti  pun pasti akan melayang.

Tetapi beruntunglah bagi Sidanti, bahwa saat itu gurunya berada di tempat itu pula. Sudah tentu Ki Tambak Wedi tidak akan membiarkan muridnya dibunuh di hadapan hidungnya. Karena itu segera ia meloncat seperti tatit menyambar di langit. Dengan sebuah sentuhan yang tergesa-gesa pada lambung Sutawijaya, maka anak muda itulah yang kemudian terlempar beberapa langkah. Yang terdengar kemudian adalah suara tubuh Sutawijaya itu terbanting jatuh. Kini nafas Agung Sedayu dan Swandaru Geni lah yang tertahan di kerongkongan. Mereka melihat Sutawijaya itu terbanting dan berguling beberapa kali. Namun alangkah kuatnya tubuh anak muda itu. Demikian ia berguling beberapa kali, maka segera ia meloncat bangkit. Tombaknya, Kiai Pasir Sewukir, masih dalam genggamannya. Tetapi demikian ia berhasil berdiri, maka anak muda itu pun menyeringai menahan sakit pada lambung dan punggungnya.
“Tambak Wedi,” anak muda itu menggeram. Tampaklah kini matanya seakan-akan menyala karena kemarahannya.
“Ternyata kau pengecut seperti muridmu. Aku sangka perguruan lereng Merapi adalah perguruan yang menempa kejantanan dan kejujuran. Tetapi ternyata kau telah mengajari muridmu dengan perbuatan yang licik.”
“Tutup mulutmu!” bentak Ki Tambak Wedi lebih,
“baik kau mengucapkan pesan-pesanmu. Aku benar-benar akan membunuhmu kini.”
Gigi Sutawijaya gemeretak. Sejenak ia terpaku diam karena kemarahannya yang memuncak. Terasa detak jantungnya menjadi semakin keras memukul-mukul rongga dadanya. Tetapi Sutawijaya itu kemudian mengangkat wajahnya. Yang berderap itu bukanlah suara jantungnya saja, tetapi suara itu adalah derap kaki-kaki kuda, namun kuda itu masih terlampau jauh. Bukan saja Sutawijaya yang mendengar derap suara kaki-kaki kuda di kejauhan, tetapi Ki Tambak Wedi dan semuanya yang ada di tempat itu pun mendengarnya pula.
“Gila,” Ki Tambak Wedi itu pun mengumpat. Sejenak ia menjadi bimbang.
Suara kaki-kaki kuda itu sekilas terasa memberi harapan bagi Sutawijaya dan kawan-kawannya, tetapi kening Sutawijaya itu pun kemudian berkerut. Katanya di dalam hati,
“Hem, kenapa mereka datang berkuda? Derap kaki kuda itu hanya akan mempercepat kematianku. Seandainya mereka datang sambil berjalan kaki dapat mendekati tempat ini sebelum aku dicekiknya, maka aku masih dapat mengharap pertolongannya seperti Sidanti mendapat pertolongan gurunya.”
Tetapi yang terjadi adalah, mereka datang berkuda. Derap kaki-kaki kuda itu telah memberitahukan kehadiran mereka selagi mereka masih jauh.
“Bukan saja mempercepat kematianku,” desis Sutawijaya pula di dalam hatinya,
“tetapi itu pun akan sangat berhahaya bagi mereka sendiri. Seandainya Ki Tambak Wedi tidak sendiri dan orang-orang yang lain ini pun tidak sedang terikat oleh lawan masing-masing, maka mereka akan dengan mudahnya disergap dari balik-balik dinding halaman.”
Namun kata-kata di hati Sutawijaya itu pun terputus, geram ki Tambak Wedi,
“Alangkah bodohnya orang-orang Pajang. Kehadiran mereka hanya mempercepat kematianmu. Sayang aku tidak mendapat kesempatan bermain-main dengan penunggang-penungang kuda yang bodoh itu.”
Sutawijaya tidak menjawab. Pikiran itu dapat dimengertinya. Ketika kemudian ia berpaling ke arah kedua kawannya, mereka  pun telah berhenti berkelahi.
“Sidanti,” berkata Ki Tambak Wedi,
“sebentar lagi beberapa orang dari Pajang akan datang. Aku kira bukan seluruh pasukan, mereka hanyalah orang-orang yang mendahului pasukan itu.”
“Wira Lele telah lepas dari tangan kami guru. Ia sempat memberitahukan peristiwa ini kepada orang-orang Pajang itu,” sahut Sidanti.
“Tidak apa,” berkata gurunya,
“sekarang tinggalkan tempat ini cepat-cepat. Pilihlah arah yang tepat seperti yang kita rencanakan supaya kau tidak dilihat oleh orang-orang berkuda itu.”
Sidanti tidak segera menyahut. Terasa harga dirinya tersentuh. Tetapi terdengar gurunya membentak,
“Cepat! Tinggalkan tempat ini, bersama Sanakeling dan Alap-alap Jalatunda. Biarlah aku menyelesaikan ketiga-tiganya.”
Ketiganya tidak lagi menunggu Ki Tambak Wedi mengulangi. Derap kaki kuda itu sudah semakin dekat. Namun tiba-tiba derap itu berhenti.

Ki Tambak Wedi mengangkat wajahnya. Tetapi ia tidak lagi mendapat banyak kesempatan. Ia tidak iagi mempedulikan suara-suara kaki yang hilang itu. Sidanti dan kedua kawan-kawannya  pun tidak. Ketiganya segera meloncat berlari meninggalkan tempat itu. Agung Sedayu dan Swandaru masih mencoba untuk mencegah mereka, tetapi ketika mereka melihat Ki Tambak Wedi menimang gelang-gelang besinya maka maksud itu pun diurungkannya. Usahanya pasti akan sia-sia dan mereka pasti hanya akan mati tanpa arti. Lebih baik bagi mereka untuk mempersiapkan diri melawan hantu lereng Merapi itu bersama-sama. Derap kuda itu masih juga belum terdengar Iagi. Mereka sudah tidak begitu jauh. Tetapi mereka pasti berhenti. Kalau tidak, maka mereka pasti sudah tampak di tikungan sebelah.
“Aku tidak peduli lagi, apa yang akan kalian katakan,” geram Tambak Wedi.
“Sekarang kalian akan aku bunuh dengan caraku. Kalau kuda-kuda itu tampak di tikungan, maka kalian akan menggelepar di tanah. Kalian tidak akan segera mati, tetapi kalian tidak akan dapat disembuhkan. Aku akan meremas tulang-tulang iga kalian.”
Ki Tambak Wedi itu pun maju selangkah mendekati Sutawijaya. Anak itulah yang paling dibencinya. Sesudah itu Agung Sedayu.
“Setidak-tidaknya kau,” desisnya.
Sutawidjaja itu pun melangkah surut. Ia melihat Agung Sedayu dan Swandaru justru meloncat mendekatinya. Senjata-senjata mereka telah siap terjulur lurus ke dada Tambak Wadi.
“Jangan terlampau banyak sekarat,” geramnya pula.
“Aku menunggu kuda itu muncul di tikungan, supaya penunggangnya melihat bagaimana kalian bertiga mati.”
Tetapi kuda-kuda itu belum juga muncul. Bahkan suara derapnya pun belum terdengar. Agung Sedayu dan Swandaru agaknya tidak dapat bersabar lagi. Merekalah yang tiba-tiba mendahului menyerang Ki Tambak Wedi. Namun bagi Ki Tambak Wedi, serangan-serangan itu tidak banyak berarti. Meskipun kemudian Sutawijaya ikut pula bertempur. Dengan loncatan-loncatan pendek serta mempergunakan gelang-gelang besinya, Ki Tambak Wedi selalu berhasil menghindari dan menangkis serangan-serangan anak-anak muda itu.
“Gila, kenapa kuda-kuda itu tidak juga muncul. Kalau mereka meloncat turun, dan mencoba mendatangi tempat ini sambil bersembunyi, maka aku akan sangat kecewa. Sebab aku pasti akan membunuh kalian dengan tergesa-gesa. Tetapi apa boleh buat. Lebih baik aku berbuat cepat dari pada terlambat. Aku tidak akan menunggu kuda-kuda itu.”

Tetapi tiba-tiba kembali terdengar kuda berderap. Ki Tambak Wedi itu pun kemudian tersenyum. Katanya,
“Ha, aku mempunyai kesempatan yang baik. Tunggu sampai kuda itu muncul di tikungan supaya mereka melihat kalian menggelepar kesakitan seperti ayam disembelih. Aku mengharap ayahmulah yang datang, Sutawijaya.”
Ketiga anak muda itu sama sekali tidak menjawab. Mereka memperketat serangan-serangan mereka. Meskipun mereka tahu, bahwa mereka sama sekali tidak berarti bagi Ki Tambak Wedi, namun mereka ingin mati sebagaimana seorang laki-laki mati di dalam peperangan. Bukan seperti seekor cucurut yang mati ketakutan melihat seekor kucing candramawa.
Tetapi Ki Tambak Wedi menjadi semakin bergembira melayani anak-anak muda itu, meskipun sebenarnya ia telah hampir sampai pada puncak permainannya. Ia hanya menunggu kuda-kuda itu muncut di tikungan. Kemudian dengan gerakan yang pasti tak akan dapat dihindari oleh ketiga anak-anak muda itu, Ki Tambak Wedi akan menyelesaikan pertempuran. Ia mengharap bahwa orang-orang berkuda itu masih sempat melihat ketiga anak-anak muda itu menjelang saat matinya dengan penuh penderitaan.
“Ha,” teriak Ki Tambak Wedi kemudian, “itulah mereka.”
Dada Sutawijaya, Agung Sedayu dan Swandaru berdesir. Kini mereka tinggal menunggu saat yang sama sekali tidak menyenangkan itu. Ki Tambak Wedi pasti akan melakukan seperti yang dikatakannya. Meremas tulang-tulang iga mereka.
Namun tiba-tiba sekali lagi mereka terkejut. Yang mereka dengar lebih jelas bukanlah langkah kuda-kuda itu, tetapi derap langkah orang berlari. Sesaat gerak Ki Tambak Wedi terganggu. Tetapi segera ia mengetahui bahwa di antara mereka yang berkuda, pasti ada seseorang yang dengan bersembunyi-sembunyi mendekati perkelahian itu. Karena itu wajahnya menjadi tegang. Tetapi apa yang akan dilakukan Ki Tambak Wedi, masih belum dapat mendahului langkah itu. Sebelum Ki Tambak Wedi berbuat sesuatu, maka tiba-tiba mereka melihat sebuah bayangan melayang hinggap di atas dinding halaman di sebelah yang lain dari arah kedatangan Ki Tambak Wedi. Darah hantu lereng Merapi itu terasa seolah-olah berhenti mengalir dengan tiba-tiba. Ia tidak menyangka, bahwa salah seorang dari mereka mampu datang secepat itu. Dan ternyata yang bertengger di atas dinding halaman itu adalah Ki Gede Pemanahan.
Ki Tambak Wedi melihat, bahwa sekali lagi ia mengalami kegagalan. Otaknya yang telah dipenuhi oleh berbagai pengalaman segera mengatakan, bahwa tak akan ada gunanya lagi baginya berbuat sesuatu atas ketiga anak-anak muda itu. Ia menyesal bukan kepalang, bahwa ia menunggu kuda-kuda itu muncul di tikungan, sehingga ia terlambat karenanya. Ia tidak menyangka sama sekali, bahwa seseorang mampu bergerak secepat Ki Gede Pemanahan. Seandainya salah seorang yang berkuda itu tadi meloncat turun pada saat kuda-kuda itu berhenti, maka betapapun tinggi kemampuannya berlari, tetapi orang itu pasti belum sampai di tempat ini. Namun ternyata Ki Gede Pemanahan mampu melakukannya.

Karena itu, maka segera Ki Tambak Wedi merubah rencananya. Setapak la meloncat mundur, dan tiba-tiba ketika tangannya bergerak sebuah gelang telah lepas seperti anak panah meloncat dari busurnya. Untunglah bahwa yang dibidiknya adalah Ki Gede Pemanahan, secepat gelang-gelang itu pula, Ki Gede Pemanahan menjatuhkan dirinya dari alas dinding itu. Seperti seekor kucing ia meloncat turun, dan secepatnya tegak di atas kedua kakinya yang kokoh kuat bagaikan sepasang tonggak baja. Sedang di tangan Ki Gede itu telah tergenggam pusakanya, Kiai Naga Kemala. Terdengar Ki Tambak Wedi itu menggeram. Tiba-tiba di tangannya telah tergenggam pula sebuah gelang-gelang yang lain. Tetapi apa yang dilakukannya adalah di luar dugaan mereka yang melihatnya. Cepat seperti kilat, Ki Tambak Wedi meloncat surut, kemudian dengan kecepatan yang sama, ia meloncat lebih jauh lagi, melampaui dinding halaman dari arah ia datang. Ki Gede Pernanahan segera berlari ke dinding itu pula. Tetapi ketika ia sudah bersiap untuk meloncat, tiba-tiba ia tertegun. Sekali dilayangkan pandangan matanya, tetapi regol halaman ternyata berada agak jauh daripadanya.
“Tidak ada gunanya,” desisnya.
“Ayah tidak mengejarnya?” dengan serta merta Sutawijaya bertanya.
“Sudah terlampau jauh,” sahut Ki Gede Pemanahan.
“Ayah tidak meloncati dinding itu?” berkata anaknya,
“kalau ayah meloncat pula, maka setan itu pasti belum terlampau jauh.”
Ki Gede Pemanahan menggelengkan kepalanya sambil tersenyum,
“Aku masih sayang akan dahiku. Kalau kepalaku muncul dari batik dinding maka sebuah gelang-gelang pasti akan menyambarnya. Aku tidak tahu, apakah aku dapat menghindarinya, karena arahnya belum aku ketahui dengan pasti.”
“O,” Sutawijaya menarik nafas sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Ya, itu akan dapat terjadi,” gumamnya. Kemudian katanya,
“Untunglah bahwa lingkaran yang pertama tidak dilemparkan kepalaku. Kalau ia berbuat demikian, maka aku tidak lagi dapat melihat orang-orang Jipang yang menyerah itu.”
Ki Gede Pemanahan menggeleng,
“Ia tidak akan berbuat demikiam selagi ia masih ingin melepaskan diri. Kalau ia membunuhmu dengan lingkaran itu, maka keris ini akan menancap di dadanya. Ia tidak akan sempat menghindar selagi ia berusaha melihat hasil gelang-gelangnya atasmu. Ki Tambak Wedi  pun tahu pasti, bahwa aku dapat juga melemparkan kerisku ini ke arahnya. Karena itu ia mendahului aku sebelum aku sempat mengayunkan tanganku.”

Dalam pada itu, maka ketiga ekor kuda beserta para penunggangnya kini sudah menjadi semakin dekat. Demikian mereka menghentikan kuda-kuda mereka, demikian para penunggang itu berloncatan turun.
“Ternyata Ki Gede telah berada di tempat ini?” bertanya Untara sambil mengangguk dalam-dalam.
“Kenapa?” bertanya Ki Gede,
“bukankah memang aku pergi lebih dahulu dari padamu?”
“Aku menjadi cemas ketika aku melihat seekor kuda di halaman di sebelah tikungan, di mulut lorong ini.”
“Itu memang kudaku.”
“Lalu, apakah kuda itu Ki Gede tinggalkan?”
“Ya. Aku mencoba untuk berhati-hati. Sebelum aku mendekati desa ini, kudaku telah aku perlambat dan kemudian aku turun dan menuntun kuda itu memasuki desa ini. Bahkan kuda itu kemudian aku tinggalkan di sana.”
Untara dan kedua perwira pengawal Ki Gede Pemanahan itu saling berpandangan. Mereka ternyata demikian tergesa-gesa sehingga mereka tidak sempat untuk memikirkan bahaya yang dapat bersembunyi di balik setiap helai daun di desa ini. Seandainya Sidanti membawa beberapa kawan yang Iain, maka mereka pasti sudah terjebak di atas punggung kuda mereka masing-masing.
Untara yang masih belum menghapus keringat di keningnya itu kemudian berkata,
“Kami ternyata terlampau tergesa-gesa. Untunglah bahwa kami tidak mendapat serangan dari tempat-tempat berhenti sesaat, karena ketergesa-gesaan kami itu.” Untara berhenti sesaat, dipandanginya anak muda yang masih tegak di tempatnya masing-masing dengan senjata di tangan-tangan mereka. Kemudian katanya pula,
“Untunglah bahwa Ki Gede telah sampai di tempat ini. Sekali lagi aku terlambat beberapa saat. Kami berhenti sejenak di ujung desa karena kami melihat kuda Swandaru yang Ki Gede pakai. Kami bertanya-tanya di dalam hati kami, namun kami tidak menemukan jawabnya. Akhirnya kami meneruskan perjalanan. Sampai di tikungan kami melihat apa jang terjadi di sini.”
“Kalau aku tidak mendahului kalian dan kalian tidak melihat kudaku sehingga kalian tidak berhenti, apakah yang kira-kira akan kalian lakukan?” bertanya Ki Gede Pemanahan.
Pertanyaan itu telah memukul dada Untara sehingga anak muda itu menundukkan kepalanya.
“Ya, apakah yang akan aku lakukan seandainya aku justru datang lebih dahulu dari Ki Gede Pemanahan? Apakah aku akan melawan Ki Tambak Wedi?” Karena itulah maka Untara mendjawab lirih,
“Tak ada yang dapat kami lakukan Ki Gede. Mungkin kami adalah korban yang berikutnya.”

Ki Gede tersenyum. Sambil menyarungkan kerisnya ia berkata,
“Sudahlah, jangan kau pikirkan lagi Tambak Wedi itu. Semuanya sudah lalu.” Kemudian ki Gede itu berpaling kepada puteranya,
“Sutawijaya, jadikanlah peristiwa ini peringatan bagimu. Jangan terlampau menuruti keinginan. Aku pun hampir terlambat. Untung aku mendengar Ki Tambak Wedi mengancam dengan marahnya, sehingga suaranya terdengar dari balik dinding-dinding halaman ini. Mula-mula aku memang tidak segera menemukan tempat ini. Dan aku datang tepat pada waktunya.”
Sutawijaya menundukkan kepalanya. Ia tidak menjawab sepatah katapun. Apalagi ketika kemudian terasa lambungnya menjadi sakit. Lambung yang terkena sentuhan Ki Tambak Wedi, sehingga ia terbanting jatuh pada saat ia hampir berhasiI membunuh Sidanti. Ketika ia menyeringai menahan nyeri sambil meraba-raba lambungnya itu, Ki Gede Pemanahan memandanginya dengan cemas. “Kenapa lambungmu?” bertanya orang tua.
“Sakit,” sahut Sutawijaya.
“Ya kenapa?”
Sutawijaya ragu-ragu. Tetapi kemudian ia berkata,
“Tak apa-apa. Mungkin sedikit terkilir.”
Tetapi jawaban itu tidak meyakinkan Ki Gede Pemanahan sehingga sekali lagi ia bertanya,
“Kenapa lambung itu?”
Namun Sutawijaya yang nakal itu memandangi wajah Agung Sedayu dan Swandaru berganti-ganti sambil tersenyum kecut.
“Kenapa?” desak ayahnya.
Yang menjawab kemudian adalah Swandaru,
“Putera Ki Gede telah terkena sentuhan Ki Tambak Wedi dan terbanting jatuh.”
Ki Gede Pemanahan mengerutkan keningnya. Perlahan-lahan ia mendekati anaknya sambil bertanya,
“Benarkah begitu?”
Sutawijaya mengangguk.
“Hem,” desis Ki Gede Pemanahan,
“untunglah bahwa tulang-tulangmu tidak patah.”
“Ki Tambak Wedi terlampau tergesa-gesa,” sahut Sutawijaya.
“Ia berada dalam jarak yang cukup jauh. Hampir tak masuk di akal, bahwa kemudian dengan satu kali loncatan, aku terpelanting.”
“Kenapa ia berbuat demikian. Bukankah ia akan membunuh kalian bertiga? Kenapa tidak langsung saja kau dicekiknya?”
“Ya. Tetapi saat itu ia sedang berusaha menyelamatkan Sidanti yang kehilangan kesempatan untuk mengelak, sedang Ki Tambak Wedi ingin membunuhku dengan cara yang dianggap sangat menyenangkan hatinya.”

Ki Gede Pemanahan mengangguk-anggukkan kepalanya. Terbayang di dalam angan-angannya, bagaimana anaknya dan kedua kawannya bertempur. Namun ia mengucap syukur di dalam hatinya, bahwa ia datang tidak terlambat seperti Untara dan kedua kawan-kawannya, sehingga ia sempat menyelamatkan anaknya. Bukan saja suatu hal yang sangat memggembirakan dirinya sendiri, tetapi juga menghindarkannya dari murka Adipati Pajang. Sebab Sutawijaya itu telah diangkat sebagai putera Adipati Pajang, dan keselamatannya telah dititipkan kepadanya. Seandainya saat itu Sutawijaya mengalami cidera atau bahkan terbunuh oleh Ki Tambak Wedi, maka ia akan mengalami bencana dua kali lipat. Ia akan kehilangan anak laki-lakinya dan mungkin ia akan kehilangan jabatannya pula karena murka Adipati Pajang yang merasa kehilangan anaknya pula. Dalam pada itu, maka sekali lagi terasa betapa kecewa hati Panglima Wira Tamtama itu atas hasil kerja Untara. Sangkal Putung yang disangkanya sudah tidak akan diganggu lagi oleh orang-orang Jipang seperti laporan yang disampaikan oleh Untara, ternyata masih menyimpan bahaya yang hampir saja menelan keselamatannya dan keselamatan anaknya. Namun Ki Gede Pemanahan berusaha untuk menyimpan penyesalan itu di dalam hatinya. Bagaimanapun juga, ia masih mencoba mengerti bahwa Untara di hadapkan pada suatu keadaaan yang tidak dapat diperhitungkannya lebih dahulu. Unsur Ki Tambak Wedi agaknya adalah sumber dari kekacauan persiapan dan perhitungannya. Kalau tidak ada hantu lereng Merapi itu, maka Sangkal Putung benar-benar tidak akan terganggu lagi. Kini yang mereka tunggu adalah parkembangan keadaan yang tumbuh pada orang-orang Jipang yang akan menyerah itu. Mereka pasti melihat api itu pula dan bagaimanakah tanggapan mereka atas api itu sama sekali tidak diketahui oleh Untara dan para prajurit Pajang yang lain. Sementara itu Widura membawa pasukannya dengan tergesa-gesa ke desa kecil itu. Kalau terjadi sesuatu, maka ia pun ikut bertanggung jawab pula bersama dengan Untara. Karena itu maka ia ingin segera sampai dan melihat apa yang telah terjadi. Dengan hati-hati pasukan itu pun kemudian memasuki desa Benda. Namun desa itu masih saja sepi seperti tidak terjadi apa-apa, kecuali api yang kini semakin lama menjadi semakin surut. Untunglah bahwa jarak dari rumah yang satu ke rumah yang lain cukup jauh sehingga api itu tidak menjalar ke rumah-rumah yang lain. Widura menjadi berlega hati ketika kemudian dilihatnya di ujung lorong itu Ki Gede Pemanahan, Untara, Sutawijaya dan yang lain-lain masih berdiri di muka gardu. Bahkan para penjaga  pun masih juga tegak seperti patung.
Hati Widura menjadi semakin tenteram ketika dilihatnya orang-orang yang berdiri di ujung jalan itu memandangi pasukannya sambil tersenyum. Namun ketika ia menjadi semakin dekat, hatinya menjadi sedikit berdebar-debar kembali, karena dilihatnya ujung tombak Sutawijaya menjadi semburat merah oleh warna darah.
Widura itu pun kemudian menganggukkan kepalanya dalam-dalam sambil bertanya,
“Apakah yang sudah terjadi Ki Gede? Bukankah angger Sutawijaya, putera Ki Gede tidak mengalami cidera?”
“Itulah orangnya,” sahut Ki Gede sambil menunjuk puteranya.
“Hampir saja ia mati dicekik hantu lereng Merapi.”
“Oh,” Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekilas ia mampu membayangkan bahwa agaknya kedatangan Ki Gede Pemanahan telah menyelamatkannya.

Kini Widura telah berada di Benda bersama seluruh pasukannya. Prajurit Pajang dan laskar Sangkal Putung. Karena itu, maka kewajibannya adalah menunggu perintah, apa yang harus dilakukannya menjelang kehadiran orang-orang Jipang yang akan menyerah. Kalau mereka mengingkari janji, maka yang akan terjadi adalah pertempuran. Bahkan mungkin mereka harus berlari-lari kembali ke induk kademangan apabila para pengawas melihat orang-orang Jipang mengambil jalan melingkar dan bermaksud langsung menusuk ke jantung kademangan. Tetapi meskipun demikian, maka pasukan cadangan yang ditinggalkan akan mampu menahan orang-orang Jipang itu sampai sebagian dari pasukan ini datang kembali. Tetapi apabila terjadi demikian, maka pasti tak akan ada ampun lagi bagi orang-orang Jipang itu. Matahari yang merambat semakin tinggi kini telah hampir mencapai puncak langit. Beberapa saat lagi, maka saat yang dijanjikan akan tiba. Karena itu, maka seluruh pasukan itu pun berjaga-jaga. Beberapa orang pemimpin kelompok telah mengatur anak buah masing-masing dan menempatkan mereka terpisah-pisah. Di sawah-sawah yang tidak ditanami di hadapan desa Benda itulah nanti orang-orang Jipang berkumpul. Mereka akan mengumpulkan senjata-senjata mereka dan membiarkan orang-orang Pajang mengambilnya. Itu adalah suatu upacara penyerahan yang telah disepakati.
Ki Gede Pemanahan, Untara dan para pemimpin prajurin Pajang dan Sangkal Putung kini berdiri berjajar di muka gardu di ujung lorong. Pandangan mereka seolah-olah melekat pada gerumbul-gerumbul di hadapan mereka. Di hadapan mereka kini terbentang sebidang tanah persawahan yang seakan-akan hampir tidak pernah mendapat perawatan. Para petani menjadi agak ketakutan sejak orang-orang Jipang saling berkeliaran di sekitar desa itu. Apalagi tanah yang terbentang agak jauh dari padesan. Gerumbul-gerumbul liar dan ilalang telah tumbuh semakin tinggi. Tanah itu sama sekali telah tidak lagi digarap oleh pemiliknya. Dari balik-balik gerumbul-gerumbul itulah nanti akan datang orang-orang Jipang yang telah menyatakan diri menjerah bersama senjata-senjata mereka. Mereka akan menyeberangi padang rumput yang tidak terlampau luas dan berjalan lewat tanah persawahan yang kini telah menjadi liar itu. Para pemimpin prajurit Pajang itu sekali-sekali menengadahkan wajah-wajah mereka memandangi matahari yang sudah semakin tegak di atas kepala. Matahari itu kini telah mencapai titik terlinggi tepat di puncak langit.
“Saatnya telah tiba,” gumam Ki Gede Pemanahan.

Hati Untara menjadi berdebar-debar. Mudah-mudahan tidak terjadi malapelaka bagi Sangkal Putung. Mudah-mudahan rencana ini dapat berjalan sesuai dengan rencana. Tiba-tiba ia menyesal atas ketergesa-gesaannya. Ia telah memberanikan diri menyatakan bahwa persoalan orang-orang Jipang segera akan selesai sepeninggal Macan Kepatihan. Bahkan ia telah memberanikan menyatakan bahwa Sangkal Putung kini telah aman tenteram dan mengharap kehadiran Ki Gede Pemanahan untuk menerima penyerahan sisa-sisa terakhir dari orang-orang Jipang itu. Sedang beberapa orang yang tidak sependapat dengan mereka yang menyerah itu, sama sekali tidak akan berarti apa-apa. Bahkan mereka akan dapat diabaikan untuk sementara. Namun ternyata kehadiran Ki Gede Pemanahan telah disambut oleh Ki Tambak Wadi di tegal jagung. Bahkan kemudian putera ki Gede Pemanahan  pun hampir-hampir menjadi korban pula. Tetapi kini semuanya itu telah terjadi. Kalau sekali lagi terjadi sesuatu, maka kepercayaan Ki Gede Pemanahan kepadanya pasti akan surut terlampau jauh. Dalam pada itu kembali terdengar Ki Gede Pemanalan berkata,
“Bukankah matahari telah berada tepat di atas kepala.”
“Ya, Ki Gede,” sahut Untara ragu-ragu.
“Apakah saat ini yang telah mereka janjikan?”
“Ya, Ki Gede,” kembali terdengar suara Untara datar. Dalam pada itu kembali Untara teringat kepada Kiai Gringsing yang seakan-akan menghilang. Namun ia sama sekali tidak dapat menuntutnya untuk sesuatu kewajiban tertentu. Sebab Kiai Gringsing bukan prajurit Pajang dan bukan anak buahnya.
“Kita tunggu sejenak,” gumam Ki Gede Pemanahan.
“Kalau sepemakan sirih mereka tidak nampak, maka aku akan langsung memberikan perintah lain.”
Meskipun Ki Gede Pemanahan bergumam sambil tersenyum, tetapi jelas bagi Untara, bahwa perasaan Ki Gede Pemanahan menjadi tidak begitu senang melihat peristiwa-peristiwa yang terjadi di Sangkal Putung itu. Peristiwa-peristiwa yang sejak kedatangannya telah menunjukkan bahwa Sangkal Putung tidak sebaik seperti laporan Untara. Kini mereka berdiri dengan tegangnya, memandangi sawah yang ditumbuhi rumput-rumput liar dan batang-batang jarak yang menjadi lebat. Di belakang gerumbul-gerumbul itu dapat bersembunyi orang-orang Jipang. Bahkan mereka dapat bertebaran jauh dari Selatan ke Utara. Mungkin pula mereka menyusup ke Sangkal Putung lewat di belakang gerumbul-gerumbul itu langsung mendekati induk kademangan dan menyerang dari samping. Hampir tak seorang  pun yang bercakap-cakap. Mereka bersiaga sepenuhnya menghadapi setiap kemungkinan yang akan terjadi. Para prajurit Pajang dan laskar Sangkal Putung yang menebar itu  pun memandangi gerumbul di hadapan mereka dengan mata yang hampir tidak berkedip. Semakin lama dada Untara seakan-akan menjadi semakin bergolak. Dada itu akan dapat meledak apabila laskar Jipang tidak segera tampak. Apalagi Ki Gede Pemanahan segera akan menjatuhkan perintah lain. Perintah yang belum diketahui akan bagaimana bunyinya.

Dalam ketegangan itu, tiba-tiba mereka melihat sesuatu yang bergerak-gerak dari dalam gerumbul di hadapan mereka. Mereka melihat seseorang menyeruak batang-batang perdu dan kemudian muncul di atas rumput-rumput liar yang tumbuh subur di atas tanah persawahan yang tidak ditanami itu. Untara melihat orang itu dengan dada berdebar-debar. Selangkah ia maju sambil bergumam,


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar