Jilid 008 Halaman 1


“JANGAN panggil dengan sebutan yang terlalu jauh. Panggillah dengan sebutan yang lebih dekat. Kakang. Juga kepada Untara lebih baik kau memanggilnya demikian” potong Widura.
“Ya” sahut Agung Sedayu, “Aku lebih senang”
“Baiklah” sahut Swandaru, “Marilah, minumlah”
Widura dan Agung Sedayu pun minum pula air jahe yang hangat. Dengan demikian maka keringat mereka semakin banyak mengalir membasahi tubuh mereka. Dalam pada itu Ki Tanu Metir itu pun bertanya pula,
“Dari manakah angger berdua malam ini. Apakah seperti biasanya nganglang setiap gardu perondan?”
“Ya” sahut Widura,
“Dan ke gunung Gowok. Aku sedang berlatih bermain pedang. Guruku, Agung Sedayu telah mencobakan ilmu yang paling akhir”
Ki Tanu Metir mengerutkan keningnya. Sedang Ki Demang Sangkal Putung menjadi terheran-heran. Apalagi Swandaru sehingga dengan serta-merta berdesah, “Ah”
Mereka menjadi semakin tidak mengerti ketika Widura berkata,
“Tetapi seorang yang menamakan diri Kiai Gringsing selalu saja mengganggu kami, sehingga usaha kami itu pun tidak dapat kami lakukan seperti yang kami kehendaki”
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Sebelum berkata sesuatu, maka Widura telah berkata pula,
“Akhirnya kami tidak meneruskan latihan kami. Tetapi kami berpacu dengan orang yang tidak kami kenal itu kekademangan”
Ki Tanu Metir menarik alisnya. Kemudian sambil tersenyum ia berkata,
“Siapakah yang lebih dahulu sampai?”
“Ki Tanu Metir” jawab Widura.
“He” sahut Ki Tanu Metir,
“Kau berpacu dengan Kiai Gringsing, namun kenapa aku yang lebih dahulu sampai?”
Widura menggeleng, jawabnya,
“Entahlah. Aku tidak tahu”

Ki Tanu Metir itu menundukkan wajahnya. Widura dan Agung Sedayu duduk dengan gelisahnya, sedang Ki Demang Sangkal Putung dan Swandaru masih saja memandang mereka dengan penuh pertanyaan yang memancar dari wajah-wajah mereka. Agung Sedayu yang semula juga ikut menjadi bingung perlahan-lahan dapat menangkap, apakah yang dilakukan pamannya itu. Bahkan kemudian tiba-tiba ia bertanya,
“Bagaimanakah dengan Kakang Untara?”
Pertanyaan itu mengejutkan Ki Tanu Metir, sehingga dengan serta-merta ia menjawab,
“Sudah semakin baik. Angger Untara sudah dapat bangun dan berjalan-jalan. Sebentar lagi luka itu akan sembuh, meskipun masih diperlukan waktu untuk memulihkan kekuatannya”
“Tetapi malam ini aku tidak harus berkuda ke Sangkal Putung sendiri, dan Kiai tidak usah menyusulku dan setelah Kiai kalah bertempur melawan aku, maka Kiai harus bertempur melawan Alap-alap Jalatunda”
Ki Tanu Metir tidak dapat menyembunyikan senyumnya lagi. Perlahan-lahan ia berdiri dan berjalan mendekati Untara. Ternyata Untara itu juga tidak sedang tidur. Bahkan ketika ia melihat Ki Tanu Metir itu mendekati maka desisnya,
“Bagaimana Kiai?”
“Kemana aku harus bersembunyi lagi ngger?” bertanya Ki Tanu Metir kepada Untara.
“Kiai tidak perlu bersembunyi lagi”
Ki Tanu Metir menarik nafas panjang. Kemudian gumamnya,
“Tamatlah cerita tentang seorang dukun tua dan tamatlah cerita tentang orang yang berkerudung kain gringsing”
“Cerita itu sudah lama tamat” sahut Widura.
Ki Tanu Metir berpaling. Ditatapnya wajah Widura yang aneh. Tetapi sesaat kemudian orang tua itu tertawa geli. Katanya,
“Terlalu banyak yang ingin kau ketahui ngger. Tetapi baiklah, aku tidak perlu bersembunyi lagi. Dugaanmu benar”

Widura tertawa. Agung Sedayu pun tertawa. tetapi Ki Demang Sangkal Putung dan Swandaru sama sekali tidak tahu, apakah yang lucu. Karena itu, maka Swandaru itu pun segera bertanya,
“Apakah yang aneh paman Widura?”
Widura menggeleng sambil tersenyum,
“Tidak apa-apa. hanya suatu permainan saja”
“Permainan apa?”
“Ki Tanu Metir mencoba bersembunyi ketika melihat kami lewat. Disangkanya kami tidak melihatnya”
Swandaru mengerutkan keningnya. Jawaban Widura itu semakin membingungkannya. Sehingga kemudian ia mendesaknya,
“Tetapi, bagaimanakah cerita tentang paman Widura dan orang yang disebut gurunya yang bernama Agung Sedayu itu?”
“Oh” sahut Widura,
“Aku hanya bermain-main. Ki Tanu Metir pernah bertanya kepadaku, siapakah guruku, karena aku tidak mau menunjukkannya, maka aku jawab saja sekenanya, Agung Sedayu”
Swandaru mengumpat-umpat di dalam hatinya. Ia tahu betul, bahwa bukan itulah jawaban dari pertanyaannya. Meskipun demikian ia sudah tidak bertanya lagi. Namun, bagaimanapun juga, ia tidak dapat menjajagi, bahwa sendau gurau itu telah mengungkapkan suatu peristiwa yang selama ini menjadi teka-teki bagi Widura. Meskipun Ki Tanu Metir belum mengatakan kepadanya, namun Widura telah dapat merabanya. Bagaimanakah yang pernah terjadi atas Untara. Bagaimanakah sebabnya, maka orang-orang di sekitar rumah Ki Tanu Metir menyangka bahwa orang tua itu bersama Untara telah hilang dibawa gerombolan Plasa Ireng. Kini semuanya sudah menjadi agak jelas bagi Widura. Sudah tentu Plasa Ireng beserta Alap-alap Jalatunda tidak akan dapat berbuat sesuatu terhadapnya. Ki Demang Sangkal Putung  pun sebenarnya mempunyai keinginan untuk mengetahui, apakah sebenarnya yang sedang dipercakapkan oleh Ki Tanu Metir dan Widura, tetapi ia segera mengendalikan dirinya. Persoalan-persoalan diluar dirinya, dan mungkin menyangkut kepentingan kelaskaran Pajang, lebih baik baginya untuk tidak turut mempersoalkannya apabila tidak diminta. Sesaat kemudian kembali mereka duduk melingkar di atas tikar pandan di pringgitan. Untara masih tetap berbaring di pembaringannya. Meskipun lukanya telah jauh berkurang, namun ia masih belum kuat benar untuk terlalu lama duduk. Di antara mereka sudah terhidang berbagai makanan. Meskipun sudah terlalu dingin, namun dapat juga untuk menggerakkan rahang-rahang mereka. Sambil makan Ki Tanu Metir berkata seakan-akan sambil lalu saja,
“Bagaimanakah kabarnya angger Sidanti itu sekarang?”
Widura mengerutkan keningnya. Dan dilihatnya wajah Swandaru menjadi tegang.
“Tak ada kabarnya” jawab Widura,
“Tetapi sudah pasti ia tidak akan kembali ke Sangkal Putung”
“Tetapi ia pasti mendendam” potong Swandaru tiba-tiba,
“Aku telah melukainya”

Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Sebenarnyalah bahwa Sidanti itu mendendam. Tidak saja kepada Swandaru tetapi juga kepada Agung Sedayu. Sedang mereka, Widura dan Agung Sedayu pun, mendengar dengan jelas, apa yang dikatakan oleh Ki Tambak Wedi, bahwa dendam Sidanti yang terbesar justru kepada Agung Sedayu dan Swandaru. Agung Sedayu yang dianggap menggesernya dari sudut hati Sekar Mirah, dan Swandaru yang telah melukainya bahkan hampir membunuhnya. Tetapi Agung Sedayu itu menjadi tenteram ketika ternyata bahwa Kiai Gringsing yang sekarang duduk di hadapannya sebagai seorang dukun tua itu, akan melindunginya. Tetapi Swandaru tidak mendengar janji yang pernah diucapkan oleh orang yang menamakan dirinya Kiai Gringsing. Sehingga dengan demikian maka dadanya menjadi berdebar-debar apabila diingatnya nama itu. Sidanti. Selagi mereka masih berada di halaman yang sama, Sidanti telah pernah menamparnya dua kali. Apalagi kini, maka Sidanti itu tidak akan sekedar menamparnya saja. Tetapi pasti membunuhnya. Ayahnya pun merasakan kecemasan itu. Karena itu selagi mereka mempercakapkan Sidanti, maka sama sekali Ki Demang Sangkal Putung itu pun ingin mencari perlindungan bagi anaknya. Maka katanya,
“Aku menjadi cemas juga akan Angger Sidanti itu. Hubungannya dengan Swandaru terlalu jelek. Sehingga keadaan Swandaru kini pun selalu terancam pula olehnya. Apalagi pada saat terakhir, Swandaru itu telah berusaha untuk membunuhnya, sehingga dengan demikian maka dendam angger Sidanti itu pun menjadi semakin dalam pula”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia berdesis,
“Swandaru berusaha menyelamatkan aku”
Widura melihat kecemasan yang membayang di wajah ayah-beranak itu. Baik Ki Demang Sangkal Putung maupun Swandaru agaknya tidak akan dapat merasa tenteram. Karena itu, maka Widura itu pun menjadi iba pula kepada mereka. Sehingga tanpa sengaja ia berkata,
“Jangan cemas kakang Demang, selagi Ki Tanu Metir masih di sini”
Ki Demang terkejut mendengar kata-kata Widura itu. Bahkan Ki Tanu Metir itu sendiri pun terkejut. Tetapi kembali Ki Demang Sangkal Putung itu menjadi kecewa. Ia menyangka bahwa Widura masih saja bergurau. Karena itu ia berdesah,
“Ah, nasib Swandaru benar-benar mencemaskan”
Widura menyadari kata-katanya. Bahkan ia menyesal, bahwa Ki Demang merasa ia hanya bergurau saja. Maka katanya kemudian untuk meyakinkan Ki Demang Sangkal Putung itu,
“Aku berkata sebenarnya kakang Demang. Sekaligus aku minta pula keringanan hati Ki Tanu Metir untuk menyelamatkan Agung Sedayu dan Swandaru bersama-sama”
Ki Demang Sangkal Putung sama sekali tidak segara dapat mengerti kata-kata itu. Sekali-sekali ditatapnya wajah Widura, dan sekali-sekali diamat-amatinya dukun tua itu. Sehingga akhirnya ia bertanya,
“Maksud adi, apakah apabila angger Agung Sedayu atau Swandaru dicederai oleh angger Sidanti, maka Ki Tanu Metir akan mengobatinya hingga sembuh?”

Ternyata Ki Demang Sangkal Putung itu benar-benar tidak mengerti maksud Widura. dan sebenarnya bahwa Widura mengatakan sesuatu sebelum lawan berbicaranya siap untuk menerimanya. Widura mengatakan suatu hal diluar pengetahuan Ki Demang Sangkal Putung. Tetapi, agak sulitlah bagi Widura untuk berkata terus terang tentang Ki Tanu Metir, meskipun ia sadar, bahwa itu harus dikatakannya. Setelah menimbang beberapa lama, maka kemudian Widura itu pun menjawab,
“Ki Demang, biarlah Ki Tanu Metir berusaha untuk memberikan beberapa pengetahuan kepada Agung Sedayu dan Swandaru, sehingga mereka berdua tidak dapat dikalahkan oleh Sidanti”
Ki Demang Sangkal Putung mengerutkan keningnya. Katanya dengan ragu-ragu,
“Angger Agung Sedayu barangkali dapat berbuat demikian. Sebab malahan angger Sedayu sudah melampaui ketinggian ilmu Sidanti. Tetapi anakku itu?”
“Itulah yang aku maksud, kakang” sahut Widura,
“Biarlah Ki Tanu Metir menuntun Swandaru dan Agung Sedayu. Karena Agung Sedayu telah memiliki bekal yang cukup, maka biarlah untuk Sementara Swandaru akan mendapat perhatian lebih banyak daripada Agung Sedayu. Sebab ternyata bahwa dendam itu disebabkan oleh Swandaru sedang berusaha menyelamatkan Agung Sedayu. Sehingga karena itulah maka aku pun minta dengan sangat Ki Tanu Metir untuk memenuhi permintaan itu”
Ki Demang Sangkal Putung benar-benar menjadi pening mendengar keterangan Widura yang justru menjadikannya semakin bingung. Swandaru pun tidak kalah bingungnya. Sehingga bahkan ia menjadi jengkel. Dengan bersungut-sungut ia berkata,
“Paman Widura, bahaya itu sebenarnya sedang mengancam kami. Aku dan kakang Agung Sedayu. Apakah dalam keadaan itu aku harus belajar mengobati luka-luka supaya aku sempat mengobati lukaku seandainya Sidanti mencelakakan aku?”
Widura benar-benar menjadi sulit untuk mengatakan maksudnya. Sedang Ki Tanu Metir sendiri sama sekali tidak membantunya. Karena itu, maka katanya kemudian kepada Ki Tanu Metir,
“Ki Tanu Metir, tolonglah, jelaskanlah maksudku kepada kakang Demang dan Swandaru. Dan katakanlah kepada kami, apakah Ki Tanu bersedia memenuhi permintaan kami. Mengambil Agung Sedayu dan Swandaru sebagai murid Kiai dan memberi mereka bekal keselamatannya dari ancaman Sidanti”

Ki Tanu Metir mengangkat wajahnya. ditatapnya setiap orang yang duduk di sekitarnya satu demi satu. Kemudian perlahan-lahan ia berkata,
“Jadi bagaimana Angger Widura?”
“Terserahlah kepada Kiai” jawab Widura.
Ki Tanu Metir mengangguk-angguk. Kemudian kepada Widura ia berkata,
“Angger, permintaan angger aku terima dengan senang hati. Mudah-mudahan aku mampu berbuat demikian, seperti yang telah aku ucapkan Ki Tambak Wedi sendiri. Sekarang apakah angger Agung Sedayu dan angger Swandaru bersedia menerima tawaran itu?”
Agung Sedayu lah yang dengan serta-merta menjawabnya,
“Aku sangat berterima kasih atas kesempatan itu Kiai”
Tetapi Swandaru belum juga menyadari keadaannya. Ia masih merasa seakan-akan percakapan itu seperti senda-gurau saja. Namun meskipun demikian ia tidak berkata apa-apa, hanya sinar matanya sajalah yang memancarkan kebimbangan dan kebingungannya.
Ki Tanu Metir menangkap kebimbangan di hati Swandaru itu. Karena itu, maka katanya,
“Angger, aku tahu angger menjadi ragu-ragu. Mungkin angger tidak mendapat keyakinan, bahwa dengan belajar kepadaku, angger mungkin akan menyelamatkan diri sendiri dari bahaya yang akan ditimbulkan oleh Sidanti. Karena itu, maka aku akan mencoba menyakinkan angger untuk kepentingan keselamatan angger sendiri” Ki Tanu Metir itu berhenti sesaat. Sekali lagi ditatapnya wajah-wajah yang ada di sekitarnya. Terasa alangkah berat hatinya untuk mengatakan sesuatu yang terkandung di dalam dadanya. Sebenarnya Ki Tanu Metir bukanlah seorang yang suka menunjukkan kelebihan-kelebihannya kepada orang lain. Sebenarnyalah bahwa apakah Swandaru percaya atau tidak, bukanlah kepentingannya. Juga seandainya Swandaru itu kelak akan mengalami nasib yang malang karena pokal Sidanti, itu pun sama sekali bukan kepentingannya. Namun ia sadari bahwa seharusnyalah anak itu diusahakan untuk dapat menyelamatkan dirinya sendiri. Meskipun Ki Tanu Metir itu pun mengetahuinya, bahwa pertentangan antara Swandaru dan Sidanti tidak saja timbul karena persoalan Agung Sedayu itu. Tetapi sejak masa-masa lampau sebelumnya, pertentangan itu memang telah ada. Namun sebab yang langsung sekali adalah usaha Swandaru membunuh Sidanti pada saat-saat Sidanti hampir saja berhasil melumpuhkan Agung Sedayu. Karena itu, oleh sesuatu tekanan di dalam hatinya yang belum pernah dikatakannya kepada orang lain, maka Ki Tanu Metir merasa berkewajiban untuk menolong Swandaru itu, seperti ia menolong Agung Sedayu sendiri, karena persoalan yang bersangkut-paut.
Setelah berhenti sejenak, Ki Tanu Metir itu berkata,
“Angger Swandaru, sebelum angger mulai dengan mematuhi petunjuk-petunjuk yang akan aku berikan, adalah wajar sekali kalau angger harus menjadi yakin, bahwa orang yang dipatuhi itu akan dapat memberinya sesuatu. Karena itu, maka biarlah aku mencoba meyakinkan angger. Aku bukan sengaja untuk menunjukkan keanehan dan mungkin juga menyombongkan diri, tetapi aku tidak melihat cara yang lain untuk itu”

Swandaru memandang Ki Tanu Metir tanpa berkedip. Ki Demang Sangkal Putung pun menjadi semakin bingung. Tetapi ia benar-benar ingin melihat, apakah yang akan dilakukan oleh Ki Tanu Metir itu. Ki Tanu Metir itu pun kemudian berpaling kepada Agung Sedayu dan berkata,
“Angger, apakah peristiwa yang angger saksikan tadi mampu meyakinkan angger Swandaru?”
Agung Sedayu tahu benar maksud Ki Tanu Metir. Karena itu segera diceritakannya apa yang baru saja dilihatnya. Tetapi seperti juga Ki Tanu Metir, Agung Sedayu ragu-ragu, apakah ceritanya cukup meyakinkan tanpa melihatnya sendiri. Meskipun demikian, maka Agung Sedayu telah mencoba menceritakan apa yang telah terjadi. Pertempuran antara Ki Tambak Wedi dan Kiai Gringsing. Dan ternyata bahwa Kiai Gringsing itu adalah Ki Tanu Metir itu sendiri. Swandaru dan Ki Demang Sangkal Putung mendengarkan cerita itu sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka dapat mengerti beberapa bagian dari cerita itu. Namun tampaklah pada wajah Swandaru, bahwa ia masih juga ragu-ragu mendengar cerita Agung Sedayu. Mereka bukan tidak percaya pada Agung Sedayu, namun mereka sangatlah sukar utuk membayangkannya, bahwa hal itu dapat terjadi atas seorang dukun tua seperti Ki Tanu Metir itu. Ki Tanu Metir pun dapat menangkap keragu-raguan itu. Tetapi apakah yang dilakukannya untuk meyakinkan mereka itu. Dalam kebimbangan itu tiba-tiba terdengar Untara berkata,
“Aku juga mempunyai sebuah cerita. Apakah kau mau mendengarkan Swandaru?”
“Tentu” sahut Swandaru kosong.
“Baiklah” berkata Untara pula. perlahan-lahan ia bangkit dan dengan perlahan-lahan pula ia berjalan dan duduk di samping Ki Tanu Metir.
“Lukaku sudah tidak berbahaya lagi” katanya.
Swandaru dan kesempatan memandanginya dengan tegang. Cerita apakah yang akan dikatakan oleh Untara itu.
“Ki Demang Sangkal Putung dan kau Swandaru” berkata Untara itu kemudian,
“Cerita ini adalah cerita tentang diriku sendiri. Cerita tentang seorang prajurit yang gagal memenuhi kewajibannya. Mungkin sebagian kalian telah mendengar dari Agung Sedayu, namun aku yakin bahwa pada saat itu paman Widura dan Agung Sedayu telah berusaha mencari aku” Untara berhenti sejenak. Dilihatnya tidak saja Swandaru dan ayahnya yang mendengarkannya dengan sungguh-sungguh. Tetapi juga Agung Sedayu dan Widura sendiri.
“Aku kira, pada waktu itu hampir semua orang menyangka aku telah hilang. Bahkan mungkin orang menyangka bahwa aku telah diculik oleh gerombolan Plasa Ireng, sebab sepeninggal Agung Sedayu kemari, pada waktu itu datanglah Plasa Ireng dan Alap-alap Jalatunda. Namun ternyata aku selamat. Di dalam rumah itu hanya ada aku berdua dengan Ki Tanu Metir. Seorang dukun tua. Aku sedang terluka, agak parah hampir seperti lukaku sekarang. Nah, siapakah menurut dugaan kalian yang telah menyelamatkan aku dari tangan Plasa Ireng itu?”

Widura dan Agung Sedayu menjadi semakin jelas akan persoalan itu. Sudah tentu Plasa Ireng tidak akan mampu mengambil Untara pada saat itu, sebab di dalam rumah itu ada Ki Tanu Metir, yang kemudian menamakan dirinya Kiai Gringsing. Swandaru dan Ki Demang Sangkal Putung pun segera dapat menjawab pertanyaan Untara itu. Sudah pasti Ki Tanu Metir. Namun kembali mereka tidak dapat membayangkan, apakah yang sudah dilakukan oleh dukun tua itu untuk menyelamatkan Untara. Bagaimanakah rupanya kira-kira kalau orang tua itu bertempur, apakah ia harus melawan Ki Tambak Wedi ataukah ia harus berkelahi melawan Plasa Ireng dengan beberapa orang kawannya. Swandaru dan Ki Demang itu benar-benar berada dalam kebimbangan dan keragu-raguan. Sehingga kemudian terdengar Untara berkata seterusnya,
“Nah, ternyata Ki Tanu Metir lah yang berhasil menyelamatkan aku. Setelah Ki Tanu Metir itu berhasil mengusir Plasa Ireng dan orangnya, maka segera aku pun disembunyikannya di atas kandang kuda, sementara itu Ki Tanu Metir pergi menyusul Agung Sedayu. Baru setelah Ki Tanu Metir kembali, maka aku dibawanya pergi, mengungsi ke tempat yang tak banyak dikenal orang. Dan memang tidak banyak orang yang akan menyangka bahwa aku disembunyikan oleh dukun tua itu. Namun sebenarnyalah demikian”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dadanya sudah berdebar-debar seandainya kakaknya mengatakan bahwa ia telah menjadi ketakutan dan hampir menjadi pingsan ketika kakaknya itu memaksanya pergi ke Sangkal Putung. Sehingga sampai saat terakhir, tidak seorang pun dari Sangkal Putung yang mengetahui, bahwa Agung Sedayu baru saja melampaui suatu masa yang tak pernah disangkanya akan terjadi. Swandaru dan Ki Demang Sangkal Putung pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun keragu-raguan yang bersarang di dalam dada mereka, masih belum dapat mereka lenyapkan.
Ki Tanu Metir yang melihat perasaan itu pun kemudian berkata,
“Angger Swandaru. Aku akan mencoba menunjukkan beberapa permainan yang dapat meyakinkan angger. Bukan semata-mata aku ingin dipercaya, namun semata-mata untuk memberikan dasar-dasar kepercayaan kepada Angger Swandaru, bahwa usahanya akan tidak terlalu sia-sia. Mungkin memang tidak akan dapat berhasil seperti yang diharapkan, misalnya, dalam waktu yang pendek akan segera dapat mengimbangi Sidanti, namun setidak-tidaknya ada usaha ke arah itu. Mudah-mudahan lambat-laun akan berhasil pula, meskipun dari sedikit”
Swandaru tiba-tiba menjadi gembira. Kalau ia akan dapat melihat apa pun yang dilakukan oleh Ki Tanu Metir, maka ia akan dapat meyakininya apa yang dilihat itu. Dan apabila demikian, maka ia berjanji di dalam hatinya, bahwa ia tidak akan merasa seorang murid yang tekun. Mudah-mudahan ia tidak akan merasa selalu terancam hidupnya oleh Sidanti sepanjang umurnya.

Karena itu ketika Ki Tanu Metir mengajak mereka itu kehalaman, maka dengan serta-merta Swandaru itu pun berdiri dan berkata,
“Benar-benar di luar kemampuanku untuk memikirkan apa yang telah terjadi itu, dan mungkin apa yang terjadi dalam permainan ini. Tetapi aku berjanji, bahwa aku akan menjadi seorang murid yang tekun, demi keselamatanku sendiri dan demi kelangsungan ketentraman di daerah ini”
“Bagus” seis Ki Tanu Metir,
“Angger adalah putra seorang Demang yang akan dapat nglintir kekuasaan itu. Mudah-mudahan angger akan dapat membawa bekal secukupnya”
“Terima kasih Kiai” jawab Swandaru.
Ki Tanu Metir itu pun kemudian berjalan mendahului mereka. Tetapi di muka pintu ia berhenti. Sambil berpaling ia berkata,
“Kita ke gunung Gowok”
Swandaru tidak peduli, apakah permainan itu dilakukan di rumah, di halaman, atau di gunung Gowok. Karena itu ia menjawab, “Marilah. Aku akan ikut kemana Kiai akan pergi”
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian kembali ia berjalan ke halaman. Ki Demang Sangkal Putung yang ingin juga melihat hal-hal yang baginya tak dapat dimengertinya itu ikut pula bersama Widura dan Agung Sedayu. Hanya Untara sajalah yang tinggal di pringgitan dan kembali ia membaringkan dirinya. Para penjaga regol yang melihat mereka keluar menjadi heran dan bertanya-tanya di dalam hati. Kemanakah mereka itu pergi? Widura dan Agung Sedayu baru saja pulang dari nganglang. Sekarang mereka pergi lagi bersama Ki Demang, Swandaru dan Ki Tanu Metir. Apakah ada seseorang yang perlu segera mendapat pertolongan dukun tua itu? Tetapi mereka tidak bertanya terlalu banyak. Mereka hanya menyapa dan sekedar bertanya sepantasnya. Namun Widura yang menjawabnya hanya sekedar menjawab sepantasnya,
“Berjalan-jalan” katanya.

Mereka itu pun kemudian berjalan tergesa-gesa ke gunung Gowok. Di sepanjang jalan itu, mereka hampir tidak bercakap-cakap sepatahpun. Masing-masing sedang sibuk dengan angan-angannya. Ki Tanu Metir itu pun sibuk pula dengan pikirannya sendiri. Adalah aneh sekali, bahwa ia seakan-akan memaksa seseorang untuk menjadi muridnya tidak atas permintaan anak itu sendiri. Hal yang benar-benar menggelikan. Bahkan terpaksa ia membuktikan kepada anak itu sesuatu yang meyakinkannya, untuk bersedia menjadi muridnya. Tetapi ia tidak dapat menolak permintaan Widura, dan ia tidak dapat membiarkan anak itu hidup dalam ketakutan atas bayangan orang lain yang mendendamnya. Ia harus menolongnya, meskipun dengan demikian terjadi kejanggalan itu. Pada saat permulaan dari penurunan ilmu itu, Ki Tanu Metir telah melihat sesuatu yang menarik perhatiannya pada Swandaru. Anak itu memiliki sikap tinggi hati lebih dari Agung Sedayu. Mungkin terpengaruh oleh kebiasaan hidupnya sebagai seorang anak Demang, sehingga seakan-akan ia pun memiliki pula kekuasaan yang dimiliki oleh ayahnya, Swandaru tidak segera menerima tawaran untuk menjadi muridnya. Namun ia meragukannya. Ia tidak ingin melihat hal-hal yang tidak dimengertinya itu lambat laun, namun dalam kebimbangan ia menunggu, meskipun telah didengarnya beberapa keterangan mengenai dirinya. Tetapi dengan demikian, maka Swandaru mempunyai sifat yang lebih terbuka pula, ia lebih senang melihat dan membuktikan langsung daripada menyimpan teka-teki di dalam hatinya.
“Namun anak muda itu harus tahu” berkata Ki Tanu Metir di dalam hatinya,
“Bahwa bukan kehendakku untuk mendapatkan murid-murid yang aku kehendaki, namun apa yang aku lakukan adalah untuk kepentingannya semata-mata, sehingga dengan demikian ia seharusnya tidak berbuat sekehendaknya seakan-akan tidak memerlukannya, tetapi harus benar-benar bertanggung-jawab bagi masa depannya sendiri”
Tetapi Ki Tanu Metir belum dapat mengatakan itu sekarang kepada Swandaru. Mungkin Agung Sedayu akan segera dapat mengertinya, namun Swandaru pasti belum. Anak itu harus melihat sesuatu lebih dahulu, sesuatu yang dapat menarik perhatiannya dan kepercayaannya. Tetapi apa?
Ki Tanu Metir menarik nafas panjang. Ia harus berbuat untuk menunjukkan kelebihannya dari orang lain. Benar-benar suatu hal yang asing baginya.
“Mudah-mudahan aku tidak sekedar terdorong untuk menyombongkan diri” orang tua itu tersenyum di dalam hati.

Tanpa terasa mereka pun kemudian sampai pula di sebuah tanah lapang kecil di dekat puntuk kecil yang bernama gunung Gowok. Widura dan Agung Sedayu sudah kenal betul dengan gunung itu. Kepada batang kelapa sawit di atasnya, dan kepada tanah lapang yang kecil itu. Jauh lebih baik dari Ki Demang Sangkal Putung itu sendiri. Swandaru menjadi gembira. Dilihatnya bintang-bintang yang bergantungan di langit yang biru. Dilihatnya awan yang tipis bergerak lembut ke utara. Sesaat Ki Tanu Metir berdiri termangu-mangu. Terasa sangatlah berat baginya untuk memulai sebuah permainan yang aneh-aneh. Mungkin ia akan dapat berbuat demikian dalam keadaan yang serta-merta, tetapi ketika hal itu dirancangnya lebih dahulu, maka malahan terasa menjadi sulit. Setelah sesaat mereka tegak membeku, maka Ki Tanu Metir menyadari, bahwa ia harus segera mulai. Karena itu, maka dengan agak canggung diambilnya sepotong besi yang diselipkannya diikat pinggangnya. Dengan ragu-ragu ia berkata kepada Swandaru,
“Lihatlah ngger, mungkin kau kenal potongan-potongan besi semacam ini. Dengan potongan-potongan besi semacam ini Ki Tambak Wedi mencoba menakut-nakuti lawannya. Dengan tangannya Ki Tambak Wedi membengkokkan besi-besi semacam ini sehingga hampir berbentuk lingkaran, sehingga mirip dengan bentuk senjata yang disukainya di samping nenggalanya seperti kepunyaan Sidanti yang tertinggal di Sangkal Putung”
Swandaru tidak menjawab, ia hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Ia menunggu apa yang akan dilakukan oleh Ki Tanu Metir atas potongan besi itu. Orang-orang yang berdiri tegak itu pun kemudian melihat, Ki Tanu Metir menggenggam besi itu erat-erat, kemudian dengan kekuatan tangannya sepotong besi itu dilengkungkannya hampir berbentuk sebuah lingkaran. Widura dan Agung Sedayu menahan nafasnya. Terlebih-lebih Widura, ia pernah melihat Ki Tambak Wedi menakut-nakutinya dengan permainannya semacam itu.
Tetapi mereka terkejut ketika Swandaru itu berkata,
“Kiai, apakah aku tidak dapat melakukannya?”
Ki Tanu Metir mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak mau mengecewakan Swandaru. Besi yang lengkung itu diluruskannya kembali dan diberikannya kepada Swandaru,
“apakah angger ingin mencoba?”
Swandaru menjadi ragu-ragu sejenak. Tetapi kemudian ia menjawab,
“Biarlah aku mencobanya Kiai”
Swandaru kemudian menerima potongan besi itu. Sesaat ia diam. Dipandanginya Ki Tanu Metir dan potongan besi itu berganti-ganti.
“Silakan ngger, silakan mencoba”
Swandaru itu masih berbimbang hati. Tetapi kemudian dicobanya melakukan seperti apa yang baru saja diperbuat oleh Ki Tanu Metir. Ketika ia mencoba melengkungkan besi itu, Swandaru benar-benar terkejut. Disangkanya pekerjaan itu amat mudahnya. Karena itu, maka dikerahkannya segenap kekuatan yang ada padanya. Dengan menggertakkan giginya, kedua tangannya menekan potongan besi itu. Ternyata kekuatan Swandaru pun benar-benar menakjubkan. Besi itu seakan-akan menggeliat, dan kemudian perlahan-lahan membengkok. Tetapi hanya sedikit sekali.

Nafas Swandaru menjadi terengah-engah. Ternyata kekuatannya yang dibangga-banggakannya selama ini hanya mampu membengkokkan besi itu sedikit saja. Itu pun telah dikerahkan tenaganya sebesar-besar mungkin. Sedang Ki Tanu Metir nampaknya dapat berbuat demikian mudahnya, bahkan kedua ujung dan pangkalnya menjadi hampir bertemu.
“Bagaimana ngger?” bertanya Ki Tanu Metir kemudian. Swandaru menyerahkan potongan besi itu kembali sambil berkata,
“Aku tidak mampu Kiai”
Ki Tanu Metir tersenyum. Dilihatnya mata Swandaru selalu memandanginya. Dari pandangan mata itu Ki Tanu Metir melihat kepercayaan yang mulai tumbuh di dalam hati Swandaru. Namun kepercayaan itu belum cukup meyakinkannya, bahwa Ki Tanu Metir benar-benar memiliki kelebihan seperti yang dikatakan oleh Agung Sedayu. Sebenarnyalah bahwa Swandaru pun belum pernah melihat kelebihan Ki Tambak Wedi dari orang lain. Tetapi Swandaru telah mempercayainya. Ia percaya karena ia melihat kelebihan Sidanti, murid Ki Tambak Wedi itu, selain setiap orang menyebutnya sebagai seorang yang paling ditakuti di sekitar gunung Merapi. Swandaru percaya karena hampir setiap mulut telah mengucapkannya. Sedang Ki Tanu Metir adalah seorang yang sama sekali tak dikenal sebelumnya. Ki Tanu Metir menyadari keadaan itu. Ketenaran seseorang berpengaruh juga bagi kepercayaan orang lain terhadapnya. Meskipun ketenaran belum tentu menunjukkan ukuran sebenarnya dari seseorang. Namun Ki Tanu Metir tidak mengingkari pendapat itu. Karena itu, maka ia masih harus mendapatkan kepercayaan lebih banyak lagi dari calon muridnya itu. Namun setiap ia akan mulai, maka keragu-raguannya tumbuh kembali di dadanya. Permainan yang manakah yang sepantasnya dipertunjukan. Apakah ia mengajak saja Agung Sedayu atau Widura bertempur atau berdua bersama-sama. Tetapi Ki Tanu Metir akan tetap merasakan kebimbangan Swandaru seandainya Swandaru merasa bahwa Widura dan Agung Sedayu telah bersama-sama bersetuju. Kalau demikian, maka sebaiknya Swandaru itu sendiri yang melakukannya.
Tetapi sudah tentu, bahwa permainan itu tidak harus merupakan perkelahian. Karena itu, maka berkatalah Ki Tanu Metir kepada Swandaru,
“Kau telah melihat pameran dengan kekuatan ngger. Tetapi tidak selalu bahwa kelebihan kekuatan pada seseorang akan dapat menyelamatkannya dari orang lain yang lebih lemah daripadanya. Kesempatan kelincahan seseorang juga akan turut menentukannya. Nah, sekarang marilah kita melihat, apakah kita cukup memiliki kelincahan”
Sebelum menjawab, maka Ki Tanu Metir itu kemudian mencari beberapa buah batu. Batu itu pun kemudian diletakkannya dalam sebuah lingkaran yang tidak terlalu besar. Kemudian katanya kepada Swandaru,
“Nah, marilah kita bermain kejar-kejaran. Apakah angger Swandaru mampu menyentuh aku di dalam lingkaran ini? Kalau aku meloncat terlalu jauh keluar lingkaran atau apabila Angger Swandaru berhasil menyentuh tubuhku, maka aku telah angger kalahkan”

Swandaru mengerutkan keningnya. Permaian ini adalah permainan anak-anak saja nampaknya. Karena itu maka ia menjadi ragu-ragu. Sehingga Ki Tanu Metir itu mendesaknya,
“Marilah ngger. Kejarlah aku”
Swandaru menarik nafas. Meskipun demikian dicobanya juga untuk menyentuh Ki Tanu Metir di dalam lingkaran itu. Mula-mula ia merasa bahwa Ki Tanu Metir terlalu menganggap dirinya sebagai anak-anak. Karena itu maka dilakukannya permintaan Ki Tanu Metir itu dengan segan-segan. Ia berjalan saja mendekati orang tua itu, dan dengan loncatan-loncatan dicobanya menyentuh tubuhnya. Tetapi semakin lama Swandaru itu pun menjadi semakin jengkel. Telah berkali-kali ia mencobanya, tetapi setiap kali orang tua itu selalu menghindarinya. Karena itu semakin lama Swandaru menjadi semakin bernafsu. Lingkaran itu tidak terlalu lebar. Ia tinggal mengejar dan menyentuh tanpa takut-takut untuk mendapat serangan atau apa pun dari orang tua itu. Tetapi ia tidak pernah berhasil. Semakin cepat ia bergerak, maka orang tua itu menjadi semakin cepat pula. Sekali-sekali merunduk, namun di saat yang lain meloncat tinggi-tinggi. Bahkan ketika Swandaru telah benar-benar kehilangan kesabarannya, dan dengan sepenuh tenaganya ia mengejarnya, maka Ki Tanu Metir itu benar-benar telah membingungkannya. Sekali-sekali ia bahkan kehilangan orang tua itu. Baru ketika orang tua itu memanggilnya, disadarinya, bahwa orang tua itu telah berada di belakangnya. Ternyatalah kemudian bahwa bukan Swandaru yang berhasil menyentuh Ki Tanu Metir. Tetapi berkali-kali Ki Tanu Metirlah yang menggamitnya sambil menghitung,
“Satu, dua, tiga……” dan setiap sentuhan maka Ki Tanu Metir menambah hitungannya. Ketika hitungan Ki Tanu Metir telah sampai bilangan keduapuluh lima, maka ia berkata,
“Kalau kita bertaruh ngger, setiap sentuhan sebutir kelapa, maka duapuluh lima butir angger harus membayar”
Akhirnya Swandaru itu pun berhenti. Nafasnya benar-benar terengah-engah. Ia berdiri sambil bertelekan dengan kedua tangannya pada pinggangnya. Dan dengan parau ia berkata,
“Tidak dapat. Tidak dapat Kiai”

Ki Demang Sangkal Putung mengangguk-anggukkan kepalanya. Sederhana sekali. Tetapi dengan permainan yang sederhana itu, Ki Tanu Metir benar-benar telah menunjukkan kekuatan dan kelincahan yang luar biasa. Ki Demang Sangkal Putung yang telah memiliki pengalaman yang jauh lebih panjang dari Swandaru segera melihat, bahwa Ki Tanu Metir adalah seorang yang sakti namun penuh kesederhanaan. Ia tidak menunjukkan kelebihannya dengan cara-cara yang mengejutkan dan mengerikan, namun dengan cara yang sangat sederhana. Dan dengan demikian, maka Ki Demang itu pun segera memahami, bahwa sifat-sifat itulah sebenarnya sifat Ki Tanu Metir. Bukan orang yang sesongaran dan terlalu membanggakan kelebihannya. Namun berbeda dengan Swandaru sendiri, Swandaru adalah anak muda yang sedang berkembang. Angan-angannya membumbung tinggi ke atas awan di langit yang biru. Tak pernah ia puas melihat keadaan sekitarnya. Ia ingin segalanya yang serba besar, dahsyat dan mengejutkan. Karena itulah maka ia sama sekali belum puas dengan apa yang dilihatnya itu. Meskipun ternyata bahwa ia tidak mampu menyentuh ujung baju Ki Tanu Metir, namun tidak demikianlah kesaktian seseorang menurut angan-angannya. Seorang yang sakti harus mampu berbuat sesuatu yang dahsyat dan mengerikan. Memukul seekor lembu dengan tangannya sehingga pecah kepalanya. Ia sama sekali tidak puas dengan main-main kejar-kejaran, meskipun dengan demikian ia dapat melihat kelincahan dan kecepatan bergerak Ki Tanu Metir. Ki Tanu Metir yang melihat Swandaru itu berdiri dengan nafas terengah-engah segera bertanya,
“Bagaimana angger Swandaru. Apakah angger dapat memahami apa yang angger lihat?”
“Tetapi dalam keadaan bahaya Kiai” jawab Swandaru,
“Kita tidak hanya sekedar berlari-lari dan menghindarkan diri. Namun kita harus dapat melumpuhkan lawan. Apakah dengan berlari-lari dan menghindar kita akan mampu menjatuhkan musuh-musuh kita?”
Ki Tanu Metir menarik nafas dalam-dalam. Kemudian jawabnya,
“Yang paling baik bagi kita ngger, adalah menyelamatkan diri kita. Apakah kita harus selalu menjatuhkan lawan kita dalam setiap pertempuran?”
Swandaru menjadi semakin tidak mengerti. Lalu apakah artinya pertempuran kalau kita hanya sekedar menghindarkan diri dengan berlari-lari saja? Karena itu maka ia bertanya,
“Jadi, apakah dengan berlari-lari menghindar persoalan akan selesai? Tidak Kiai. Misalnya Sidanti itu. Kalau suatu ketika aku bertemu dengan Sidanti, dan ia menyerangku, apakah aku hanya akan mampu melarikan diri, atau katakanlah menyelamatkan diriku sendiri. Apakah dengan demikian persoalanku dengan Sidanti selesai? Bagaimanakah kalau aku bertemu di saat yang lain?”
“Jadi bagaimana?” bertanya Ki Tanu Metir.
“Kalau aku bertempur” sahut Swandaru dengan nada yang berat,
“Maka aku harus dapat menghindari serangan lawan dan harus pula dapat membinasakan lawan”
Sekali lagi Ki Tanu Metir menarik nafas. Katanya,
“Jadi angger harus dapat membinasakan lawan dalam artian membunuhnya atau bagaimana?”
“Ya, demikianlah seharusnya”

Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali lagi ia melihat perbedaan yang tajam antara Swandaru dan Agung Sedayu. Meskipun keduanya anak muda, dan bahkan mungkin sebaya, namun keduanya memandang persoalan-persoalan yang harus dihadapinya dengan cara berpikir berbeda. Swandaru, seorang anak yang bertubuh kokoh kuat dengan bekal yang keras dan tegang dalam masa-masa pancaroba. Ketika anak itu meningkat dewasa, maka ia dihadapkan pada kekisruhan yang melanda kademangannya. Dalam pada itu ia hanya mendapat tuntunan lahiriah semata-mata. Berlatih untuk bertempur. Membinasakan lawan kalau tidak ingin dibinasakan. Sehingga semboyan yang ada padanya adalah, dibinasakan atau membinasakan. Tidak ada orang yang memberinya petunjuk, bahwa membinasakan lawan tidak selalu harus membunuhnya. Seorang yang dapat membinasakan lawan dalam tekad dan tujuannya yang salah, dan menjadikannya orang yang baik sehingga menyadari kesalahannya, untuk seterusnya menghentikan perbuatan-perbuatan itu, dapat juga dianggap sebagai usaha yang berhasil, meskipun tanpa membunuhnya. Tetapi ia tidak dapat memberitahukan hal itu sekarang. Dan sudah pasti, bahwa Swandaru tidak akan segera dapat mengerti. Pengertian tentang hal semacam itu, sudah tentu diperlukan waktu. Dan Ki Tanu Metir itu menyadari, bahwa waktu yang diperlukan untuk Swandaru akan jauh lebih banyak dari waktu yang diperlukan untuk Agung Sedayu. Swandaru pasti menganggap hal yang demikian sebagai suatu kelemahan atau bahkan mungkin sifat-sifat cengeng. Namun banyaklah contoh-contoh yang akan dapat diberikannya. Seorang penjahat dan liar pada suatu ketika akan dapat menjadi seorang alim yang berbudi. Yang bertobat dengan tulus dan menjadi seorang hamba Tuhan yang baik. Kesadaran yang demikian akan dapat terjadi dalam banyak persoalan. Dalam persoalan yang bersifat pribadi maupun persoalan yang lebih luas, sebagaimana yang dihadapi oleh Widura. Para pengikut Arya Penangsang sampai saat itu, masih belum mengakui keadaan yang dihadapinya. Sehingga karena itu maka mereka terperosok ke dalam perbuatan-perbuatan tercela. Bukan sebagai seorang prajurit yang memanggul cita-cita kenegaraan yang tinggi, tetapi kesempatan sebagai gerombolan-gerombolan yang menakut-nakuti rakyat.

Apa yang terjadi di hadapan Swandaru itulah yang mendorongnya dalam masa pancaroba itu, berangan-angan tentang kejantanan, kekerasan dan kemenangan-kemenangan yang tampak oleh mata. Ki Tanu Metir pun menyadari, bahwa tekad yang demikian tidak boleh dipatahkan, tetapi harus mendapat penyaluran yang wajar. Perlahan-lahan. Karena itulah maka Ki Tanu Metir itu pun kemudian tidak mempunyai pilihan yang lain untuk memenuhi harapan Swandaru, meskipun tidak berlebih-lebihan. Ia harus dapat memberikan suatu contoh yang tepat menurut selera anak muda dari Sangkal Putung itu. Tetapi apakah yang dapat dipertunjukkan di hadapannya. Di hadapan Swandaru dan orang-orang lain. Apakah ia harus mematahkan pedang dengan jari-jarinya atau memukul kelapa sawit itu hingga roboh dengan telapak tangannya? Tetapi bagaimanapun juga Ki Tanu Metir harus melakukannya. Kali ini Ki Tanu Metir tidak mau berbuat menurut seleranya. Ia harus dapat memenuhi selera Swandaru. Karena itu, maka lebih baik baginya untuk bertanya saja, katanya,
“Angger Swandaru, kalau angger tidak puas dengan permainan kejar-kejaran itu maka permainan apakah yang angger senangi?”
Swandaru pun tertegun diam. Ia sendiri menjadi bingung. Sejak lama ia mengangan-angankan untuk menjadi seorang jantan yang tidak dapat dikalahkan. Tetapi yang bagaimana? Ketika ia mendengar pertanyaan itu, maka ia pun menjadi bimbang. Ia tahu apa yang dimaksudkannya, tetapi ia tidak dapat mengatakan. Karena itu, maka Swandaru itu pun berkata dengan jujur,
“Kiai, aku sebenarnya hanya ingin menjadi laki-laki yang sakti. Mungkin seperti Ki Tambak Wedi, atau setidak-tidaknya seperti kakang Untara, atau yang lain-lain yang dapat memenangkan pertempuran-pertempuran dan perkelahian-perkelahian”
Sekali lagi Ki Tanu Metir menarik nafas dalam-dalam. Kehormatan yang diidam-idamkan oleh Swandaru ternyata adalah kemenangan jasmaniah. Kemenangan-kemenangan dalam perkelahian-perkelahian dan pertempuran. Ia sama sekali tidak mengangankan kemenangan lain yang dapat dicapainya tanpa perkelahian dan pertempuran. Tetapi Ki Tanu Metir menghargai kejujurannya. Swandaru itu berkata apa saja yang dipikirkannya. Karena itu, maka Ki Tanu Metir masih mempunyai harapan, bahwa kelak Swandaru itu akan dapat dituntunnya sedikit demi sedikit. Kali ini, Ki Tanu Metir benar-benar harus menunjukkan ketangkasannya berkelahi. Tidak ada pilihan lain. Tetapi bagaimana?
Tiba-tiba orang yang tampaknya demikian lemahnya, berjalan tersuruk-suruk dan dahi yang berkerut-kerut itu meloncat dengan garangnya. Dengan lantangnya ia berkata,
“He Angger Widura, cabutlah pedangmu. Berdua dengan Agung Sedayu. Tidak, ayolah bertiga dengan Swandaru, cepat sebelum aku melukai kalian dengan senjataku ini”

Hampir tak terlihat oleh mata mereka, Ki Tanu Metir tiba-tiba telah menggenggam sebuah cambuk kecil yang berjuntai beberapa cengkang. Bukan cambuk yang dipakainya bertempur melawan Ki Tambak Wedi, tetapi cambuk ini agak lebih kecil. Tetapi gerak Ki Tanu Metir itu benar-benar mengejutkan. Tiba-tiba saja ia sudah menyerang dengan senjatanya. Letusan cambuk itu meledak-ledak di telinga Swandaru seperti letusan-letusan bambu sebesar paha yang termakan api. Swandaru benar-benar terkejut melihat gerakan dan serangan yang tiba-tiba itu. Tanpa disadarinya segera ia mencabut pedangnya. Dan dengan serta-merta ia pun bersiap menghadapi setiap kemungkinan yang bakal datang. Widura dan Agung Sedayu pun segera menarik pedangnya. Meskipun agak segan-segan juga, namun mereka terpaksa menuruti kehendak itu. Sebab dengan demikian, maka mereka telah membantu meyakinkan Swandaru terhadap kelebihan Ki Tanu Metir. Tetapi kembali Swandaru terkejut bukan kepalang, sebelum ia sempat berbuat apa-apa, maka terasa seakan-akan sebuah sambaran menyentuh pedangnya. Ternyata ujung cambuk Ki Tanu Metir telah membelit pedangnya. Sebuah sentakan telah merenggut pedang itu dari tangannya. Sesaat Swandaru tegak seperti patung. Dilihatnya pedangnya terlempar dan jatuh beberapa langkah daripadanya. Demikian kagumnya ia melihat kecepatan itu, sehingga untuk sesaat ia tidak bergerak seperti tonggak.
“Kenapa pedangmu kau lepaskan” bertanya Ki Tanu Metir.
Swandaru tidak menjawab, namun ia segera menyadari keadaannya. Dilihatnya kini Widura dan Agung Sedayu telah menyerang Ki Tanu Metir itu dengan pedang masing-masing. Namun serangan keduanya seakan-akan sama sekali tidak berarti bagi Ki Tanu Metir. Dengan berloncatan serangan kedua orang itu dengan mudahnya dihindari.
“Mereka tidak bersungguh-sungguh” pikir Swandaru.
“Aku akan membuktikan bahwa Swandaru bukan tikus yang kagum melihat kucing menari-nari”
“Beri kesempatan aku mengambil senjataku” teriak Swandaru.
“Ambillah” sahut Ki Tanu Metir sambil melayani Agung Sedayu dan Widura.
Ki Tanu Metir itu pun kemudian berkata pula,
“Marilah Ki Demang kita bermain-main”

Ki Demang belum lagi selesai mengelus dadanya. Tidak disangkanya bahwa dukun tua itu benar-benar mampu bergerak selincah burung sikatan menghadapi ujung-ujung pedang. Tetapi ia tersadar ketika Swandaru berbisik,
“Mereka hanya pura-pura. Mari ayah, kita buktikan, apakah benar-benar Ki Tanu Metir bukan hanya seorang dukun saja”
Mula-mula Ki Demang Sangkal Putung merasa segan pula, tetapi ketika ia melihat Widura menggerakkan pedangnya seperti baling-baling dan melibat Ki Tanu Metir sejadi-jadinya, maka perlahan-lahan Ki Demang itu pun menarik pedangnya pula. Kini mereka bertiga menghadapi Ki Tanu Metir dengan pedang di tangan. Swandaru pun kemudian dengan tergesa-gesa memungut pedangnya pula. Dengan hati-hati ia segera mendekati lingkaran pertempuran itu untuk mencoba menunjukkan bahwa ia pun memiliki kekuatan yang dapat dibanggakan. Kalau sekali lagi ujung cemeti itu membelit pedangnya, maka pedang itu akan dipertahankan dengan kekuatannya. Meskipun Ki Tanu Metir itu memiliki kekuatan yang berlebihan, apakah ia dapat segera merebut pedangnya, sedangkan orang-orang lain akan menyerangnya? Setidak-tidaknya ayahnya, apabila Widura dan Agung Sedayu hanya berpura-pura saja. Tetapi sekali lagi Swandaru itu terkejut bukan kepalang. Baru saja ia mengacungkan ujung pedang itu, tiba-tiba sekali lagi pedangnya meloncat dari tangannya. Dan sekali lagi ia mendengar Ki Tanu Metir itu berkata,
“Jangan lepaskan Swandaru”
Swandaru menggeram. Berlari-lari ia memungut pedangnya. Kali ini ia tidak bernafsu untuk menyerang. Digenggamnya pedangnya erat-erat. Tetapi kali ini ia benar-benar menjadi bingung. Ketika terasa ujung cambuk Ki Tanu Metir menarik pedangnya, maka pedang itu dipertahankannya. Namun sebuah tarikan yang kuat telah membantingnya terjerembab. Tertatih-tatih Swandaru segera berusaha bangun. Sekali lagi menggeram, Swandaru merasa bahwa tarikan ujung cambuk itu terlalu tiba-tiba dan menyentak, sedangkan ia menggenggam pedangnya terlampau erat, sehingga ia tertarik ke depan dan kehilangan keseimbangan. Ketika ia tegak berdiri, dilihatnya Ki Tanu Metir masih sibuk melayani Widura, Agung Sedayu dan Ki Demang Sangkal Putung. Bukan main panas hati Swandaru Geni itu. Ternyata bahwa tiga kali ia kehilangan senjatanya, dan bahkan yang terakhir kalinya ia terpaksa jatuh terjerembab mencium tanah.

Dengan lengan bajunya, Swandaru membersihkan debu yang melekat di wajahnya. Bajunya pun menjadi kotor pula karenanya. Namun semuanya itu tak dihiraukannya. Kali ini ia benar-benar akan mempertahankan dirinya dari tarikan cambuk itu. Betapapun kuatnya Ki Tanu Metir, namun apabila ia benar-benar bertahan, maka ia pasti bahwa ujung cambuk yang kecil itu akan terputus oleh tajam pedangnya, meskipun terbuat dari janget tenatelon sekalipun. Karena itu, maka kini Swandaru memungut pedangnya sekali lagi. Digenggamnya pedang itu erat-erat. Dengan hati-hati ia berjalan ke titik pertempuran, dan diacungkannya pedangnya ke arah Ki Tanu Metir. Dengan sepenuh tenaga ia memegang hulu pedangnya. Sedang kedua kakinya yang melangkah setengah langkah ditekuk pada lututnya sedikit. Kini Swandaru berdiri rendah. Pedangnya teracung ke arah Ki Tanu Metir. Namun Swandaru itu sama sekali tidak bergerak. Kakinya seakan-akan menghunjam jauh ke dalam tanah, sehingga anak muda itu kini seakan-akan sebuah pokok dari sebatang pohon yang berakar jauh kepusat bumi.
“Kali ini aku akan bertahan sekuat-kuat tenagaku” kata Swandaru di dalam hatinya. Sehingga dengan demikian maka Swandaru itu memusatkan segenap kekuatannya pada genggaman pedangnya serta kedua belah kakinya.
Beberapa saat ia melihat pertempuran itu masih berlangsung. Sebenarnya bahwa Ki Tanu Metir sangat lincah dan cekatan diluar dugaan. Orang tua yang tampaknya tidak memiliki daya gerak sama sekali itu ternyata seorang yang dapat bergerak secepat kilat menjilat langit dan memiliki tenaga sekuat tenaga raksasa. Meskipun demikian, Swandaru masih tetap bertekad untuk bertahan dari kemungkinan yang keempat. Pedangnya terjatuh atau dirinya terjerembab. Tetapi kembali Swandaru itu terkejut. Kali ini Ki Tanu Metir itu tidak menyerangnya, mencabut pedang dari tangannya atau menariknya jatuh. Tiba-tiba Swandaru itu menjadi bingung ketika Ki Tanu Metir itu bertanya kepadanya,
“Swandaru, dengan berdiri mematung seperti itu, kau tidak akan dapat mengalahkan lawanmu. Betapa lemahnya lawanmu itu, maka ia akan dengan leluasa mencoba menyerangmu dari arah yang dipilihnya. Sedang engkau sendiri hanya tegak saja seperti sebuah tonggak. Kenapa?”
Pertanyaan itu benar-benar tak diduganya. Sesaat Swandaru tidak dapat menjawab, bahkan wajahnya menjadi merah. Dadanya bergelora dan berbagai perasaan berkecamuk di dalam hatinya. Tetapi kemudian ia menyadari kebenaran kata-kata Ki Tanu Metir. Ia tidak dapat bertempur dengan caranya itu. Berdiri diam tanpa bergerak. Karena itu, maka tiba-tiba Swandaru itu segera meloncat, menyerbu ke dalam pertempuran itu. Digerakkan pedangnya dengan garangnya, terayun-ayun menggetarkan. Tetapi sekali lagi pedangnya terlempar jatuh beberapa langkah daripadanya.

Kali ini Swandaru benar-benar terpaku di tempatnya. Kenapa hal itu dapat terjadi? Namun dengan demikian, benar-benar ia mendapatkan suatu keyakinan akan kecepatan bergerak Ki Tanu Metir itu. Dalam perkelahian itu, ia sama sekali tidak mendapat kesempatan sama sekali untuk mencoba melawan Ki Tanu Metir. Ia sama sekali tidak mendapatkan waktu sekejap pun untuk ikut serta dalam pertempuran itu. Sehingga dengan demikian, maka tiba-tiba Swandaru berkata,
“Aku tidak akan mengambil pedangku kembali.”
Ki Tanu Metir tersenyum dalam hati. Tetapi terdengar ia bertanya,
“Kenapa ngger?”
“Hem” Swandaru menarik nafas panjang-panjang. Jawabnya,
“Tak ada gunanya”
“Jadi bagaimana?” bertanya Ki Tanu Metir.
“Ya bagaimana? Aku sama sekali tidak sempat berbuat apa-apa.”
Ki Tanu Metir itu pun kemudian meloncat beberapa langkah ke belakang sambil berkata,
“Sudahlah. Kita akhiri pertempuran ini. Angger Swandaru telah menjadi jemu.”
Perkelahian itu pun segera berakhir. Widura dan Agung Sedayu tidak dapat menahan geli hatinya melihat Swandaru berdiri bertolak pinggang. Wajahnya berkerut-kerut dan bibirnya bergerak-gerak meskipun ia tidak berkata apa pun juga.
“Bagaimana? Bertanya Ki Demang Sangkal Putung pada anaknya.
Swandaru menggeleng-gelengkan kepalanya. Jawabnya bersungguh-sungguh,
“Aku tidak ikut apa-apa. Sama sekali tidak.”
“Kenapa?” bertanya Widura sambil tertawa.
Sekali lagi Swandaru menggelengkan kepalanya. Pipinya yang gembung itu bergerak-gerak lucu sekali. Namun kini ia telah mendapatkan suatu keyakinan di dalam hatinya, bahwa Ki Tanu Metir benar-benar orang yang luar biasa. Tetapi meskipun demikian, selera Swandaru agak berbeda dengan apa yang dilihatnya. Ia adalah seorang yang memiliki kekuatan jasmaniah yang besar sekali. Tubuhnya yang besar dan hampir bulat itu, baginya terlalu sulit untuk bergerak cepat. Karena itu, maka ingin sekali ia melihat Ki Tanu Metir melakukan suatu perbuatan yang dapat menggetarkan dadanya. Namun ia tidak berani mengatakannya. Disimpannya saja keinginan dalam hatinya.
“Mungkin suatu ketika aku akan melihatnya, atau barangkali Ki Tanu Metir hanya mampu berbuat seperti itu. Membanggakan kecepatan gerak tanpa dasar kekuatan?” Namun kemudian katanya di dalam hatinya,
“Tetapi Ki Tanu Metir mampu melengkungkan sepotong besi.”
Swandaru itu menggeleng kepalanya kembali. Diakuinya kekuatan Ki Tanu Metir. Tetapi hatinya bertanya pula,
“Aku kurang puas. Aku kurang puas. Kenapa Ki Tanu Metir tidak mau menggempur padas itu sampai pecah.”
Tetapi Swandaru tidak mengatakan ketidakpuasannya. Ketidakpuasan itu disimpannya saja di dalam hatinya.

Berbeda dengan Ki Demang Sangkal Putung. Demang itu menjadi benar-benar kagum melihat Ki Tanu Metir itu. Orang itu ternyata memiliki ketangkasan yang benar-benar tidak dibayangkan sebelumnya. Kekaguman Ki Demang Sangkal Putung tidak saja karena Ki Tanu Metir mampu bergerak dengan kecepatan yang tidak dimengertinya, sehingga Swandaru sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk bermain pedang, tetapi orang tua itu kagum juga akan cara Ki Tanu Metir untuk menunjukkan kelebihannya. Terasa bahwa usaha Ki Tanu Metir untuk memperlihatkan kepada orang lain, tidak terlalu berlebih-lebihan. Tanpa sikap sombong dan tidak menunjukkan kesadaran diri akan kelebihan-kelebihannya. Sikap yang dalam keseluruhannya benar-benar jarang ditemuinya. Sederhana, berilmu tinggi dan keseimbangan perasaan dan pikiran.
Orang-orang yang berada di lapangan kecil itu terkejut ketika mereka mendengar kokok ayam jantan yang bersahut-sahutan. Bintang-bintang yang berjejal-jejal di langit, satu demi satu telah menghilang. Sedang di timur membayang warna semburat merah mengusap langit yang biru kehitaman.
“Hampir fajar” desis Ki Tanu Metir.
“Apakah permainanmu ini sudah cukup?” Bertanya Widura kepada Swandaru.
Swandaru mengangguk kepalanya. Jawabnya,
“Sementara sudah cukup paman.”
“Sementara?” ulang ayahnya.
Swandaru tidak menjawab. Ditundukkannya kepalanya. Namun hatinya menyahut,
“Ya. Sementara. Aku ingin melihat kedasyatan tenaga Ki Tanu Metir. Menggugurkan gunung atau mengeringkan lautan. Dasyat. Tidak sekedar kelincahan dan kekuatan yang diam seperti melengkungkan sepotong besi. Tetapi kekuatan yang hidup. Yang menggetarkan dada ini.” Namun kata-kata itu sama sekali tidak terloncat dari bibirnya.
“Nah, apakah kita dapat kembali sekarang?” bertanya Ki Tanu Metir.
Semuanya mengiakan. Mereka segera akan melakukan kewajiban ibadah mereka.

Ketika fajar merekah, maka burung-burung liar terdengar berkicauan seakan-akan berebut keras meneriakkan selamat pagi. Cahaya matahari yang cerah melontar mengusap ujung-ujung pepohonan yang hijau segar. Di langit awan yang putih berhamburan mengalir ke utara didorong oleh angin ngarai. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Anak muda itu tegak berdiri di samping kandang kuda di belakang rumah Kademangan.


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar