Jilid 008 Halaman 2


Ditatapnya cahaya matahari yang bermain-main di atas tanah yang kering seperti berloncat-loncatan berkejaran. Anak muda itu mengerutkan keningnya. Hampir saja kepalanya dipecahkan oleh Sidanti di halaman ini, di samping kandang kuda itu. Namun kini ia akan mendapat kesempatan yang lebih banyak untuk mematangkan diri sendiri. Ki Tanu Metir yang dikaguminya itu telah berjanji untuk menjadikannya seorang murid.
“Mudah-mudahan aku dapat menjadi seorang murid yang baik” gumamnya.
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya dengan sendirinya. Ia mencoba memahami kata-kata Ki Tanu Metir kepada Swandaru semalam. Dan ia dapat mengertinya. Agung Sedayu itu kemudian berpaling ketika ia mendengar gerit senggot di atas sumur. Dilihatnya seorang gadis mengambil air dari sumur itu. Dada Agung Sedayu terasa berdesir. Gadis yang sudah sering kali dilihatnya itu tiba-tiba menjadi bertambah segar dalam siraman cahaya matahari pagi yang bermain-main ditubuhnya. Tubuh yang bulat segar. Tubuh yang kuat seperti tubuh kawan-kawannya gadis pedesaan yang tidak saja duduk bersolek di dalam biliknya tetapi juga bekerja keras membantu ayah bundanya.
Perlahan-lahan Agung Sedayu berjalan menghampirinya. Ketika gadis itu berpaling, maka Agung Sedayu tersenyum kepadanya,
“biarlah aku membantumu”
“Jangan Tuan” sahut Sekar Mirah, “Biarlah aku mengambil air sendiri.”
Panggilan itu terasa asing baginya kini. Tiba-tiba ia sama sekali tidak senang mendengar sebutan itu. Karena itu, maka katanya,
“Mirah. Jangan panggil aku demikian. Biarlah kita yang menghuni rumah ini bersikap akrab. Seperti Swandaru kini tidak lagi diperkenankan bersikap terlalu hormat”.

Sekar Mirah menundukkan wajahnya. Dilihatnya bayangannya di dalam sumur. Bayangan seorang gadis remaja yang segar gembira. Tetapi bayangan itu kemudian pudar dan lenyap ketika upihnya menyentuh permukaan air itu.
“Bagaimana aku harus menyebut tuan?” bertanya Sekar Mirah tanpa berpaling.
“Bertanyalah pada Swandaru.” sahut Agung Sedayu,
“Bagaimana ia menyebut aku sekarang.”
“Ah” Sekar Mirah itu tersenyum. Diangkatnya takir upihnya ke atas. Dan dituangkannya air dari takir upih sebesar bejana itu ke dalam kelentingnya.
“Marilah, aku ambilkan air untukmu” berkata Agung Sedayu.
“Jangan tuan” jawab Sekar Mirah
“Jangan panggil demikian”
“Bagaimana?”
“Bertanyalah pada kakakmu”
“Baik, aku akan merubah panggilan itu nanti kalau aku telah bertemu dengan kakang Swandaru. Bukankah sekarang aku belum tahu bagaimana aku harus memanggil tuan?”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya bertanya,
“Kenapa bukan orang lain yang mengambil air ini?. Bukan pembatu-pembatumu?”
“Tak ada bedanya” sahut Sekar Mirah
Agung Sedayu terdiam. Ditatapnya sekali lagi Sekar Mirah yang sedang menimba air itu seperti baru sekali dilihatnya. Sekar Mirah yang merasa selalu diperhatikan oleh Agung Sedayu menjadi segan. Sehingga katanya kemudian,
“Tuan, apakah yang aneh padaku?”
“Oh” wajah Agung Sedayu menjadi kemerah-merahan. Cepat-cepat ia berpaling sambil berkata,
“Tak ada. Tak ada yang aneh padamu. Tetapi aku ingin membantumu mengambil air”
“Tak usah” sahut Sekar Mirah
Agung Sedayu tidak lagi memaksanya. Dibiarkannya Sekar Mirah menimba air. Mengisi kelentingnya dan kemudian menjinjingnya pada lambungnya.
“Berat?” bertanya Agung Sedayu
Sekar Mirah menggeleng lemah, “Tidak” jawabnya,
“Aku sudah biasa mengambil air”
Agung Sedayu tidak berkata-kata lagi. Dilihatnya saja Sekar Mirah itu berjalan sambil menjinjing kelenting itu. Terasa hatinya menjadi tergetar melihat langkah gadis itu. Cepat, lincah dan penuh gerak dan gairah atas pekerjaannya.
“Gadis yang keras hati” desah Agung Sedayu.

Sebenarnya Sekar Mirah mempunyai hati yang menyala-nyala menyongsong hari depannya. Dilihatnya setiap orang dari anggota prajurit Pajang dengan seksama. Dinilainya seorang demi seorang, dan dikaguminya mereka yang penuh kejantanannya berjuang melawan musuh-musuhnya. Itulah sebabnya mula-mula Sekar Mirah hampir tak pernah berpisah dengan Sidanti. Didorongnya pemuda itu untuk bertempur, berkelahi dan melawan musuh. Di desaknya pemuda itu untuk menemukan tempat yang sebaik-baiknya dalam kesatuannya. Dilecutnya Sidanti untuk meraih masa-masa yang gemilang pada masa-masa yang akan datang. Dan Sidanti mendengarkannya dengan penuh minat. Sidanti menerimanya dengan penuh harapan. Bukan saja apa yang dikatakan oleh Sekar Mirah, namun demikianlah kata hatinya sendiri. Ia adalah seorang anak muda yang memandang masa depan sebagai miliknya. Miliknya sendiri. Sebagai api yang disiram minyak ia bertemu dengan Sekar Mirah. Hasrat yang tersimpan di hatinya menjadi semakin menyala. Apalagi gurunya adalah seorang yang bernama Ki Tambak Wedi. Seorang yang bercita-cita setinggi awan di langit. Namun dirinya sendiri tidak pernah dapat menggapainya, sehingga dengan demikian maka dinobatkannya dirinya sendiri menjadi seorang yang disegani dan ditakuti di daerah lereng gunung Merapi. Pertemuan di antara merekalah yang sebenarnya telah membakar Sangkal Putung. Bukan saja usaha Macan Kepatihan yang nyata-nyata berhadapan beradu dada, namun Sidanti ternyata merupakan bahaya yang membayang di balik punggung.
Tetapi ternyata Sekar Mirah itu pun menjadi kecewa terhadap Sidanti. Ternyata bukan Sidanti yang ingin didorongnya maju, tetapi dirinya sendiri. Ketika ia melihat nafsu Sidanti yang menyala-nyala, justru ia menjadi kecewa. Sidanti berjuang untuk dirinya sendiri, bukan untuk Sekar Mirah. Sekar Mirah bagi Sidanti adalah seorang yang baik hati, yang mendorongnya untuk semakin gigih berjuang. Tidak untuk Pajang, tetapi untuk dirinya, Sidanti. Dan ternyata Sekar Mirah adalah seorang gadis yang cantik. Ketika kemudian hadir Agung Sedayu, maka hati Sekar Mirah segera berkisar. Ia mengharap untuk menemukan seorang pahlawan yang baru. Pahlawan yang dapat mendengarkan suara hatinya. Pahlawan yang dapat mengerti gelora dadanya. Pahlawan yang akan berjuang untuknya, yang akan mempersembahkan setiap kemenangan kepadanya. Tetapi Sekar Mirah belum menemukannya pada Agung Sedayu. Ternyata sampai kini Agung Sedayu benar-benar seorang yang berjuang dengan tulus.
“Ia adalah kemenakan paman Widura” berkata Sekar Mirah di dalam hatinya,
“Sehingga karena itu maka ia tidak akan berani berbuat diluar kehendak pamannya itu”

Karena itu, maka Sekar Mirah menjadi ragu-ragu. Ketika ia melihat perang tanding di lapangan, antara Sidanti dan Agung Sedayu dalam ketangkasan memanah dan seterusnya, hatinya benar-benar berguncang-guncang. Sekali-sekali ia kagum melihat ketangkasan Sidanti, serta nyala dan hasrat untuk menggenggam masa depan di tangannya. Ia melihat anak muda itu dengan penuh tekad menentang setiap tantangan. Sedang Agung Sedayu seolah-olah dibayangi oleh keragu-raguan dan kebimbangan. Tetapi kemudian perasaan Sekar Mirah itu terlempar pada suatu harapan yang diilihatnya dalam kemampuan Agung Sedayu. Ketrampilannya melepas anak panahnya, serta ketepatan bidiknya telah menariknya ke dalam satu pertimbangan yang kacau. Kemenangan Agung Sedayu pada saat itu telah benar-benar meyakinkan Sekar Mirah, bahwa hari depan Sidanti pasti akan benar-benar tertutup. Dalam pada itu, maka hilanglah segenap keragu-raguannya. Ia tidak dapat lagi bergantung pada anak itu, kepada Sidanti. Bahkan meskipun seandainya Sidanti menemukan masa-masa yang maju dan gemilang, maka masa-masa yang demikian adalah masa-masanya sendiri. Masa-masa yang dimilikinya sendiri. Bukan masa-masa yang akan diperuntukkannya. Bahkan dirinya pun bagi Sidanti, pasti hanya akan dipergunakan untuk kepentingan anak muda itu. Sebagai pendorong dan penuntun menjelang hari-hari yang akan lebih terang, bagi Sidanti. Tetapi kini Sidanti sudah tidak ada di Sangkal Putung lagi. Sidanti telah hilang dari halaman rumahnya. Ia mendengar beberapa orang berkata kepadanya, seandainya perkelahian di antara Agung Sedayu dan Sidanti itu dilakukan dengan jujur, maka sudah pasti Sidanti tidak akan memenangkannya. Tetapi tiba-tiba Sidanti telah berbuat curang. Tetapi karena itulah maka Swandaru pun menjadi terlibat pula ke dalamnya.
Sekar Mirah yang kemudian bekerja di dapur itu pun tidak dapat segera menggeser perasaannya. Agung Sedayu tampaknya telah berubah. Ia kini tampak segar dan gembira. Dihari-hari yang lewat, Agung Sedayu hampir tak pernah keluar dari pringgitan. Baru sejak akhir-akhir ini seringkali ia tampak berjalan-jalan di halaman. Namun wajahnya masih saja selalu dibayangi oleh kemuraman dan keragu-raguan. Tetapi kini sudah tidak lagi. Wajah itu menjadi cerah. Dan Sekar Mirah tidak dapat mengingkari dirinya lagi. Ia telah tertarik pada wajah itu. Wajah yang tampak lebih halus dan lunak dari wajah Sidanti. Tetapi apakah api yang menyala di dada Sedayu itu sedahsyat api yang menyala di dada Sidanti?

Hari itu Sangkal Putung tidak mendapat perubahan apa-apa. seperti hari-hari yang lain, para petugas sibuk dengan kewajibannya. Gardu-gardu masih berisi penjaga-penjaga yang mengawasi keadaan. Dan warung di ujung desa masih juga ramai dikunjungi para pembeli dan penjual yang tidak berani pergi ke tempat yang lebih jauh. Untara kini telah menjadi lebih baik. Ia telah dapat turun ke halaman dan melihat laskar Pajang melakukan tugasnya. Satu-satu Untara menanyakan kepada mereka, nama mereka dan rumah tempat tinggal mereka. Keluarga mereka dan segala sesuatu yang berhubungan dengan mereka itu sebagai seorang prajurit dan sebagai manusia. Ketika Untara itu bertanya kepada seorang yang berwajah keras dan berjanggut tebal, maka didengarnya jawaban,
“Aku beranak sebelas tuan”
“Sebelas” Untara terkejut,
“Dimana sekarang mereka tinggal?”
“Pengging”
“Kau berasal dari Pengging?”
“Ya” jawab orang itu.
Untara meninggalkannya. Sebelas orang. Dan sebelas orang itu semua beserta ibunya menunggunya di rumah. Menunggu orang yang berjanggut tebal itu pulang.
“Hem” Untara menggeram. Katanya dalam hati,
“Persoalan Macan Kepatihan harus cepat selesai. Kalau tidak, maka persoalan ini akan berlarut-larut. Waktu yang akan dipakai untuk merampungkan persoalan ini tidak terbatas pada bilangan minggu, bulan dan bahkan tahun”
Tetapi Untara harus menunggu punggungnya sembuh benar-benar. Kalau kekuatannya telah pulih kembali, maka ia akan memimpin langsung laskar ini bersama Widura. Mereka tidak boleh hanya menunggu saja, namun mereka harus bergerak, menusuk dijantung pertahanan dan tempat persembunyian mereka.

Ada pun Agung Sedayu dan Swandaru sejak hari itu adalah murid Ki Tanu Metir. Mereka sudah tidak lagi dibingungkan oleh orang yang berkerudung kain gringsing. Namun Ki Tanu Metir sendiri itu pun masih membawa teka-teki pula bagi mereka. Apakah sebenarnya ia seorang dukun tua saja? Seorang dukun yang tidak mempunyai kepentingan langsung dengan Agung Sedayu atau Untara atau Widura atau Swandaru?, namun Agung Sedayu dan Swandaru sama sekali tidak mempersulit diri mereka. Mereka ingin mendapat ilmu dari orang tua itu. Dan ia akan memanfaatkan ilmu itu kelak. Sejak hari itu, maka Swandaru dan Agung Sedayu telah mulai dengan hari pertama mereka berguru. Ki Tanu Metir membawa mereka ke sungai yang agak jauh dari Sangkal Putung. Di sanalah mereka mendapat beberapa petunjuk dari Ki Tanu Metir. Petunjuk-petunjuk untuk memulai dengan pelajaran-pelajaran jasmaniah. Mereka harus mendengarkan petunjuk-petunjuk itu dan mencoba mengertinya. Agung Sedayu mendengarkan setiap kata-kata Ki Tanu Metir dengan seksama. Dicobanya untuk mengerti dan dicobanya untuk mencernakannya. Namun Swandaru merasa waktu itu terbuang-buang. Baginya lebih baik Ki Tanu Metir langsung mengajarnya dengan unsur-unsur gerak daripada harus mendengarkannya berbicara saja tentang beberapa hal yang penting untuk masa depannya. Tetapi Ki Tanu Metir itu berbicara terus, dan ia masih harus mendengarkannya.
“Anak-anakku” berkata Ki Tanu Metir,
“Apa yang akan kalian dapat, hendaknya akan dapat bermanfaat bagi masa-masa mendatang. Bukan saja bagi kalian berdua, tetapi juga bagi beberapa lingkungan kalian. Ilmu yang akan kalian pelajari adalah sekedar alat. Alat itu tidak selalu harus dipergunakan dalam setiap kesempatan dan keadaan. Tetapi alat hanya akan dipergunakan pada kemungkinan yang paling tepat”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya sedang Swandaru memandangi percikan-percikan air yang mengalir di bawah batu-batu tempat duduk mereka.
“Hari ini adalah hari yang pertama bagi kalian” berkata Ki Tanu Metir itu,
“Dan dihari pertama kalian harus yakini, bahwa alat yang akan kalian terima bukanlah alat yang terbaik. Katakanlah bahwa alat ini adalah alat yang paling jelek. Alat yang hanya akan dipergunakan apabila sudah tidak ada alat lain, yang dapat kalian pakai. Namun jangan pula mencari sebab, sehingga kalian terdorong pada kemungkinan untuk mempergunakan alat ini. Ingat-ingatlah, alat ini adalah alat yang paling jelek yang kau miliki. Alat yang paling baik adalah alat yang telah ada di dalam dirimu. Kasih sayang di antara sesama dan pegangan-pegangan yang kalian dapat dari ibadah kalian kepada Tuhan. Ingatlah ini. Janganlah dengan alat ini kalian mengorbankan apa yang sudah kalian miliki itu”
Kembali Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya dan Swandaru masih saja memandangi percikan air di bawah tempat duduk mereka.
“Apakah kalian mengerti kata-kataku?” bertanya Ki Tanu Metir itu kemudian.
“Ya Kiai” sahut Agung Sedayu dan Swandaru hampir bersamaan.
“Bagus” berkata Ki Tanu Metir kemudian,
“Ingat, jangan sesorangan. Jangan salah langkah. Bahkan tak ada seorang pun di dunia ini yang paling menang. Suatu ketika seseorang pasti akan dikalahkan oleh yang lain, dan yang lain itu akan dikalahkan pula orang yang lain lagi. Lebih baik kalian tak pernah mempergunakan ilmu ini sepanjang hidupmu, daripada setiap kali kau terpaksa melakukannya. Namun kalian dengan ini mengemban tugas-tugas kemanusiaan yang wajib kalian tegakkan. Sudah tentu tanpa mengorbankan segi kemanusiaan yang lain”
Kembali Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya dan kali ini pun Swandaru mengangguk-angguk pula.
“Nah, kita kembali ke kademangan” berkata Ki Tanu Metir

Swandaru terkejut. Jadi hanya inilah pelajaran pertama yang akan diterimanya? Ia tidak sabar lagi. Sidanti dapat datang nanti sore atau besok atau lusa. Apakah ia telah dapat mencapai ilmu yang diharapkannya? Ki Tanu Metir pun meihat perubahan wajah Swandaru. Dilihatnya Swandaru itu memandanginya dengan penuh keheranan. Karena itu maka Ki Tanu Metir itu pun bertanya,
“Kenapa ngger?”
Swandaru mengangkat alisnya. Kemudian jawabnya,
“Jadi hanya inikah yang Kiai berikan hari ini?”
“Ya”
“Kenapa hanya duduk-duduk begini kita harus pergi jauh-jauh dari rumah?”
Ki Tanu Metir memandang Swandaru dengan heran. Anak itu sama sekali belum dapat menyesuaikan dirinya sebagai seorang murid terhadap gurunya. Namun Ki Tanu Metir tidak menjadi kecewa karenanya. Sedikit demi sedikit ia harus menuntun muridnya yang aneh itu.
“Swandaru” berkata Ki Tanu Metir,
“Lebih baik kita mengambil tempat yang jauh daripada kita dilihat orang. Bagiku tidak akan menguntungkan bila sebelum kita mulai apa-apa orang-orang sudah meributkan perbuatan kita. Mungkin hanya seorang dua orang sajalah yang mengetahuinya, namun sampai sehari maka hal itu pasti sudah akan sumebar ke segenap sudut kademangan. Dan setiap orang akan menilaimu setiap hari. Hari ini kau dapat berbuat apa, dan besok kau akan dapat berbuat apa lagi”
“Baik Kiai” jawab Swandaru,
“Aku sependapat. Tetapi marilah segera kita mulai. Apabila besok atau lusa aku bertemu dengan Sidanti, maka aku tidak lagi memerlukan pertolongan orang lain untuk melawannya”
Ki Tanu Metir terkejut mendengar kata-kata itu. Namun kemudian ia pun tersenyum. Jawabnya,
“Angger, ketahuilah, bahwa untuk membentuk seseorang menjadi seorang Sidanti, itu diperlukan waktu bukan sehari dua hari. Tetapi setahun dua tahun. Bahkan lebih. Tergantung juga kepada orang-orang itu sendiri. Kalau ia mampu, maka ia akan menjadi lebih cepat terbentuk. Tetapi tidak dalam sehari dua hari. Apalagi kau harus menyusul orang lain yang jauh lebih dulu daripadamu. Bukankah dengan demikian kau memerlukan waktu yang lama?”

Alangkah kecewanya Swandaru mendengar kata-kata Ki Tanu Metir itu. Ia memang pernah mendengar, bahwa berguru kepada seseorang diperlukan waktu yang lama. Tetapi kalau setiap kesempatan dipergunakan sebaik-baiknya maka waktu itu pasti akan dapat diperpendek. Seperti saat ini misalnya, mereka hanya duduk-duduk saja diterik matahari, sesudah itu pulang kembali kekademangan. Bukankah dengan demikian mereka hanya membuang-buang waktu saja. Besoknya mereka akan kehilangan waktu pula. Lusa dan seterusnya. Tetapi Swandaru itu tidak berkata-kata lagi. Ketika Ki Tanu Metir dan Agung Sedayu telah berdiri, ia pun segera berdiri pula. Namun Ki Tanu Metirlah yang masih berkata lagi, katanya,
“Swandaru, kau tidak perlu tergesa-gesa, asal untuk seterusnya kau bekerja dengan tekun, maka mudah-mudahan kau akan segera dapat menyusul Sidanti itu”
“Ya Kiai” sahut Swandaru kesal. Ia telah membayangkan sejak semalam dirinya menjadi seorang yang perkasa melampaui Sidanti, bahkan melampaui keperkasaan Tohpati. Tetapi ia masih harus menunda keinginan itu. Bahkan sama sekali ia belum mendapat apa-apa dihari pertama, kecuali nasehat-nasehat saja.
Ia tersadar ketika Ki Tanu Metir itu berkata pula,
“Marilah kita pulang”
“Marilah Kiai” sahut Swandaru kosong.
Tetapi sekali lagi Swandaru heran. Ki Tanu Metir itu malahan pergi ke tengah sungai sambil mengajak mereka,
“Mari ikuti aku”
Swandaru dan Agung Sedayu menjadi ragu-ragu sejenak. Kalau orang tua itu mengajaknya pulang, mengapa ia malahan pergi ke tengah, dan tidak berjalan menyusur tanggul seperti semula.
Tetapi Agung Sedayu segera mengerti maksud orang tua itu. Ia pun kemudian mengikutinya meloncat dari batu ke batu menyusul Ki Tanu Metir.
“Bukankah sungai ini nanti akan sampai di pinggir desa Sangkal Putung dan sidatannya akan lewat sebelah halaman rumahmu Swandaru?” bertanya Ki Tanu Metir.
“Ya” jawab Swandaru yang berdiri di tepian.
“Karena itu, marilah kita mengambil jalan memintas, lewat sungai ini maka kita akan lebih cepat sampai”
“Ah” desah Swandaru,
“Aku lebih senang menyusur tanggul ini”

Ki Tanu Metir tertawa. Agung Sedayu pun tersenyum pula. agaknya Swandaru benar-benar tidak tahu maksud gurunya, sehingga karena itu, maka Agung Sedayu berkata,
“Swandaru, mari kita bermain kejar-kejaran di atas batu-batu ini”
Swandaru menggeleng malas. Ia semakin kesal karenanya. Waktunya telah banyak terbuang. Apakah mereka masih harus bermain seperti anak-anak.
Tetapi kembali Agung Sedayu mengajaknya sambil tertawa,
“Swandaru, lihatlah betapa Ki Tanu Metir meloncat dari batu ke batu. Marilah”
Kembali Swandaru menggeleng. Katanya dalam hati,
“Akh, apa lagi kerja orang tua itu. Bukankah lebih baik memberitahukan kepada kita, apa yang harus kita lakukan? Unsur-unsur gerak, satu atau dua, untuk diulang-ulang”
Tetapi dengan demikian Agung Sedayu pun menjadi kesal pula. Swandaru benar-benar tidak segera tahu maksud orang lain tanpa diberitahukannya sejelas-jelasnya. Seperti juga sifatnya sendiri yang selalu terbuka dan terus terang. Karena itu, maka Agung Sedayu itu pun terpaksa berkata,
“Swandaru, kau ikut berlatih atau tidak?”
Swandaru terkejut.
“Berlatih?” ulangnya, “Berlatih apa?”
“Inilah latihan pertama yang harus kita lakukan”
“Oh” Swandaru itu tertegun sesaat. Kemudian dilihatnya Ki Tanu Metir meneruskan perjalanannya. Meloncat dari satu batu ke batu yang lain dengan lincahnya tanpa menyentuh air sedikit pun juga. Bahkan sekali-sekali diloncatinya batu-batu yang kecil dan goyah. Namun batu-batu itu seakan-akan bergerak pun tidak.

Sesaat Swandaru terpaku di tempatnya. Dilihatnya Ki Tanu Metir meloncat-loncat seperti orang sedang menari. Di belakangnya menyusul Agung Sedayu. Dengan hati-hati anak muda itu meloncat pula dari batu ke batu. Namun tampaklah betapa ia masih harus memperhitungkan setiap langkahnya. Dicobanya mengikuti apa yang telah dilakukan oleh Ki Tanu Metir. Namun sekali-sekali ia masih harus berhenti menjaga kesetimbangan tubuhnya. Tiba-tiba Swandaru itu pun tertawa, digaruk-garuknya kepalanya sambil bergumam,
“Alangkah bodohnya aku. Aku tidak segera tahu maksud orang tua itu”
Maka dengan serta-merta Swandaru itu pun berteriak,
“Tunggu, aku ikut serta”
Ki Tanu Metir itu pun segera berhenti. Demikian juga Agung Sedayu. Mereka bersama-sama berpaling dan dilihatnya Swandaru Geni meloncat ke atas sebuah batu yang besar. Tubuhnya yang bulat itu meluncur dari tebing sungai dan mencoba berdiri di atas batu itu. Sesaat ia masih harus mengatur keseimbangannya, namun kemudian ia tertawa sambil berkata,
“Tunggulah, aku akan segera sampai ke tempatmu kakang Sedayu”
Swandaru itu pun segera mulai dengan loncatan-loncatannya. Dari satu batu ke batu yang lain. Dicobanya juga meloncati batu-batu yang telah tersentuh kaki Ki Tanu Metir. Namun sekali-sekali batu-batu itu terguncang dan Swandaru terpaksa berpegangan pada batu-batu yang lain. Bahkan satu kali ia tergelincir dan jatuh masuk ke dalam air.
“Gila” gumamnya seorang diri. Pakaiannya menjadi basah kuyup. Dengan wajah bersungut-sungut ia muncul dari dalam air seperti seekor tikus kehujanan.
Agung Sedayu dan Ki Tanu Metir tidak dapat menahan tawa mereka. Ketika Swandaru kemudian bangkit dan berdiri di atas sebuah batu maka Ki Tanu Metir berkata,
“Bukan apa-apa. kau hanya jatuh ke dalam air”
“Ya, tidak apa-apa” sahut Swandaru kesal.
Tetapi tiba-tiba ia mengumpat ketika Ki Tanu Metir berkata,
“Ulangi. Ulangi sekali lagi”
“Kenapa aku harus mengulangi. Apakah Ki Tanu Metir ingin melihat aku sekali lagi jatuh ke dalam air?”
“Tidak” jawab Ki Tanu Metir,
“Latihan ini adalah latihan dasar. Sekedar menghangatkan tubuh. Karena itu, maka angger harus dapat melakukannya.”

Swandaru bersungguh-sungguh. Dilangkahinya kembali beberapa batu yang sudah dilampauinya. Dan sekali lagi meloncat ke jurusan Agung Sedayu. Namun kali ini pun Swandaru masih belum dapat berdiri dengan tegak pada batu yang telah menggelincirkannya. Namun kali ini ia tidak jatuh bulat-bulat ke dalam air. Setelah beberapa saat ia bertahan atas keseimbangannya, maka terpaksa ia harus terjun kembali. Namun ia dapat tegak di atas kakinya, meskipun di dalam air juga.
“Bukan main” Swandaru itu mengeluh. Apalagi ketika Ki Tanu Metir minta ia mengulanginya satu kali lagi.
Swandaru terpaksa mengulangi sekali lagi. Kali ini ia benar-benar memperhitungkan setiap langkahnya. Dengan hati-hati ia meloncat dari satu batu ke batu berikutnya. Dan ketika ia meloncat ke batu yang itu-itu juga, maka ia menahan nafasnya. Dijaganya keseimbangan tubuhnya benar-benar dan ditapakkannya kakinya pada ujung jari-jarinya, dalam pemusatan perhatian yang bulat. Swandaru menarik nafas panjang ketika untuk yang ketiga kalinya ia berhasil. Tubuhnya seakan-akan menjadi bertambah ringan, dan keseimbangannya serasa menjadi lebih baik. Ia tidak tahu apakah sebabnya hal itu dapat terjadi,
“Mungkin karena aku telah melakukannya tiga kali berturut-turut” katanya dalam hati.
Tetapi ia tidak dapat terlalu lama tegak berdiri menikmati kemenangannya yang pertama itu. Ketika ia mengangkat wajahnya, dilihatnya Ki Tanu Metir berkata,
“Marilah, teruskan perjalanan ini sampai ke ujung desa Sangkal Putung”
Agung Sedayu pun kemudian berputar dan melanjutkan loncatan-loncatannya. Namun ketika suatu kali, dilompatinya sebuah batu yang sedikit goyah, maka batu itu pun bergerak sedikit ke samping, dan kini Agung Sedayu lah yang terbanting dipermukaan air. Swandaru terkejut, namun kemudian ia tertawa terbahak-bahak,
“Nah, rasakanlah. Aku sudah lebih dahulu mandi. Kakang pun harus mandi pula”
Ki Tanu Metir pun berhenti pula, dilihatnya Agung Sedayu bangkit dari dalam air sambil tertawa. Kainnya, bajunya, ikat kepalanya menjadi basah kuyup. Perlahan-lahan ia berdiri dan dikibaskannya pakaiannya yang dilekati pasir sungai.
“Hem” desis Swandaru,
“Memang segar kakang, mandi dengan segenap pakaiannya”
Agung Sedayu tersenyum. Katanya,
“Kau nanti juga harus melampaui batu ini Swandaru”
“He” Swandaru mengerutkan keningnya. Dilihatnya batu yang telah menjatuhkan Agung Sedayu itu. Batu yang seakan-akan bergoyang-goyang digerakkan arus sungai yang tidak seberapa deras.
“Ah” katanya dalam hati,
“Bagaimana mungkin”

Sesaat kemudian dilihatnya Agung Sedayu telah siap untuk mengulangi langkahnya tanpa mendapat perintah dari Ki Tanu Metir. Ia tahu benar, bahwa setiap kesalahan harus dibetulkannya. Dipusatkannya segenap perhatiannya. Dengan wajah yang tegang ditatapnya batu itu. Kemudian ditahankannya nafasnya dan dengan sepenuh hasrat ia meloncati kembali batu-batu itu sehingga akhirnya sampailah ia kepada batu yang agak goyah itu. Namun kali ini ia berbuat cepat sekali. Bahkan kakinya seakan-akan tidak berpijak pada batu itu. Batu itu hanya disentuhnya saja. Sedang kakinya yang lain segera meloncat ke batu yang lain pula. Batu itu pun bergerak pula sedikit. Namun Agung Sedayu telah meloncat lebih lanjut, sehingga kali ini Agung Sedayu selamat sampai ke batu berikutnya. Agung Sedayu itu pun kemudian berhenti. Kini ia melihat Swandaru yang semakin lama menjadi semakin dekat. Ketika ia sampai ke batu yang goyah itu, maka ia bergumam di dalam hati,
“Aku sudah bersedia, dan aku tidak akan jatuh lagi ke dalam sungai”
Tetapi ternyata ia salah sangka. Batu itu adalah batu yang goyah. Sehingga karenanya, maka ketika ia meloncat ke atasnya, sekali lagi ia terguncang dan kehilangan keseimbangan. Meskipun ia berusaha untuk meloncat ke batu yang lain, namun ternyata ia tidak berhasil. Tetapi Swandaru kali ini tidak mau jatuh sendiri ke dalam air. Agung Sedayu yang menunggunya sambil tertawa tiba-tiba terkejut. Dengan tidak disangka-sangka tangan Swandaru meraih pundaknya, dan jatuhlah mereka berdua ke dalam air bersama-sama. Ketika mereka muncul lagi dari permukaan air, maka mereka tidak dapat menahan gelak tawa mereka yang seperti meledak dari dada.

Ki Tanu Metir yang melihat mereka bergumul di dalam air itu pun tertawa pula terkekeh-kekeh, sampai tubuhnya terguncang-guncang. Demikian asyiknya ia tertawa dan melihat murid-muridnya yang basah kuyup, sehingga Ki Tanu Metir itu tidak melihat bahwa beberapa orang melihatnya dengan pandangan yang tajam. Mereka sama sekali tak mengetahuinya, apa yang dilakukan oleh kedua anak-anak muda itu. Tiba-tiba batu tempat Ki Tanu Metir berdiri berguncang, dan hampir saja Ki Tanu Metir kehilangan keseimbangan. Secepat kilat ia sempat berpaling dan memandangi orang orang di tepi sungai itu. Tetapi sekejap kemudian tiba-tiba Ki Tanu Metir pun terhuyung-huyung dan jatuh pula ke dalam air. Agung Sedayu dan Swandaru terkejut. Ki Tanu Metir itu pun terpelanting jatuh. Tetapi segera mereka terlihat beberapa orang di tepi sungai itu tertawa terbahak-bahak. Seseorang di antaranya masih memegang sebutir batu, sedang orang yang lain berkata,
“lemparanmu tepat kakang.”
Mata Agung Sedayu dan Swandaru terbelalak melihat orang-orang itu, seorang di antaranya adalah orang yang bertubuh tinggi tegap, berkumis melintang. Di tangannya tergenggam sebatang tongkat besi baja putih dengan kepala kekuning-kuningan berbentuk sebuah tengkorak.
Hampir saja Swandaru berdesis. Tetapi untunglah ia dapat menahan diri. Namun hatinya berteriak,
“Macan Kepatihan”
Agung Sedayu pun berdiri tegak tak bergerak. Tetapi tiba-tiba mereka berdua terkejut ketika mendengar Ki Tanu Metir berkata, “E, tole tolonglah. Tolonglah aku berdiri.”
Sesaat mereka heran melihat Ki Tanu Metir tertatih-tatih berusaha untuk berdiri. Namun sekali-sekali ia tergelincir kembali. Tubuhnya benar-benar menggigil dan dengan terbata-bata ia berteriak-teriak sambil melambaikan tangannya.

Agung Sedayu cepat menangkap maksud Ki Tanu Metir. Orang tua itu telah menjadi seorang tua yang tak berdaya. Karena itu segera ia berlari dan menolong Kiai Gringsing yang sedang menggigil. Diangkatnya orang tua itu berdiri dan didudukkannya di atas sebuah batu yang besar. Sedangkan Swandaru melihat perbuatan Sedayu itu dengan herannya. Kenapa orang tua itu harus ditolongnya berdiri dan harus dipapah ke atas sebuah batu yang besar? Bukankah orang tua itu pula yang besar? Bukankah orang tua itu pula yang telah memaksanya meloncat-loncat dan memberi mereka beberapa contoh untuk melakukannya? Namun Swandaru tidak bertanya apa pun juga. Ia pun perlahan-lahan berjalan mendekati Ki Tanu Metir. Ia semakin heran ketika dilihatnya orang tua itu menyeringai kesakitan. Ia sendiri telah tiga kali jatuh terpelanting, namun ia tidak merasa apa-apa. Orang tua itu baru sekali jatuh. Tetapi ia telah tampak sedemikian payahnya.
Tetapi ia menarik nafas ketika ia mendengar orang tua itu berbisik,
“Jangan terjadi bentrokan dengan orang-orang itu sekarang”
“Oh” desahnya. Sekali dilayangkannya pandangan matanya ke tebing dan kemudian dipandanginya orang tua yang duduk kedinginan di atas batu itu.
Tetapi Swandaru kini telah mengerti maksud Ki Tanu Metir itu. Dan mereka berdua, Agung Sedayu dan Swandaru pun kemudian mengerti pula, bahwa sebenarnya Ki Tanu Metir pasti akan mampu mempertahankan keseimbangannya seandainya yang hadir di pinggir kali itu Ki Tambak Wedi, tetapi orang tua itu pasti mempunyai pertimbangan lain sehingga ia tidak mau terlibat dalam bentrokan dengan Tohpati dan beberapa kawannya saat ini.
“He!” tiba-tiba mereka mendengar seseorang di antara orang-orang yang berdiri di tebing itu berteriak,
“Siapakah kalian?”
Ki Tanu Metir memandangi mereka dengan wajah ketakutan. Kemudian jawabnya gemetar,
“Kami orang-orang Benda tuan”
“Apa kerja kalian di sini?”
“Kami sedang menyelusur air sawah tuan. Dan kami berhenti sejenak untuk mandi”
Orang-orang itu tertawa. Kata salah seorang dari mereka itu,
“Apakah kalian biasa mandi dengan seluruh pakaian kalian?”
“Tidak tuan. Salah seorang anak itu tergelincir, namun rupa-rupanya ia tidak mau melihat kawannya masih tetap kering”
Kembali mereka tertawa. dan kembali terdengar salah seorang berteriak,
“Apakah benar-benar kalian hanya menyusuri air?”
“Ya tuan” sahut Ki Tanu Metir,
“Tetapi siapakah tuan-tuan ini?”
“Kami dari Sangkal Putung” sahut orang yang bertongkat baja putih itu.

Swandaru menjadi berdebar-debar. Ia pernah bertemu muka dengan Macan Kepatihan itu, selagi Tohpati itu bertempur melawan Sidanti dan Widura. tetapi pertemuan itu hanya sekejap dan Tohpati waktu itu sedang disibukkan oleh perkelahian itu. Sehingga agaknya Tohpati itu kurang mengenalnya.
Ki Tanu Metir kemudian bertanya pula,
“Apakah yang akan tuan lakukan di sini?”
“Hem. Aku ingin mendapat beras, apakah orang-orang Benda mempunyai persediaan cukup?”
Ki Tanu Metir mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia menggeleng. Jawabnya perlahan-lahan,
“Ah, tuan telah memeras semua persediaan kami. Beberapa orang Pajang yang berada di Sangkal Putung itu? Setiap minggu kami harus menyerahkan berbakul-bakul beras, sehingga kami sendiri akan menjadi kelaparan karenanya”
Tohpati itu tertawa. Kemudian katanya,
“Bukankah dengan demikian kalian membantu perjuangan kami melawan orang-orang Jipang?”
“Bagi kami tuan, sudah tentu lebih penting makan kami sehari-hari”
Macan Kepatihan mengerutkan keningnya. Dipandangnya ketiga orang yang berada di bawah tebing itu berganti-ganti. Kemudian katanya,
“He, apakah anak-anak muda itu tidak mau ikut bergabung dengan kami untuk melawan laskar Macan Kepatihan?”
Ki Tanu Metir menggeleng,
“Mereka adalah cucu-cucuku. Biarlah mereka menikmati ketentraman hidup di rumah. Apakah keuntungan kami apabila anak-anak muda itu turut bertempur?”
“Anak-anak muda seluruh kademangan Sangkal Putung bangkit serentak. Mereka telah menyumbangkan tenaga mereka untuk kemenangan Pajang. Apakah cucu-cucumu itu tidak ikut serta he?”
“Sudah aku katakan buat apa mereka ikut bertempur? Dan apakah sebenarnya keuntungan orang-orang Pajang dan orang-orang Jipang yang kini saling bertentangan?”
“Kami sedang mempertahankan pendirian kami masing-masing. Kami tidak senang melihat pengikut-pengikut Arya Penangsang berkeliaran”
“Mungkin pimpinan tuan tidak senang melihat Arya Penangsang. Tetapi apakah perlunya pertengkaran itu berlarut-larut terus? Sejak Arya Penangsang terbunuh, maka persoalan kalian sebenarnya telah selesai”
“Siapa yang bilang he, pak tua?”
Ki Tanu Metir tertawa. Kemudian katanya,
“Lima enam hari yang lalu, kawan-kawan tuan datang ke pondokku. Seorang bertubuh sedang, masih sangat muda dan tampan. Dikawani oleh seorang yang sudah menginjak setengah umur. Namun wajahnya menunjukkan kewibawaan yang tinggi. Namanya Untara dan Widura”
Macan Kepatihan mengerutkan keningnya. Kemudian ia bertanya,
“Apakah yang mereka lakukan dipondokmu?”
“Apakah tuan-tuan kenal mereka?”
“Tentu” sahut Macan Kepatihan,
“Untara adalah senopati laskar Pajang di daerah ini. Di kaki-kaki gunung Merapi. Sedang paman Widura adalah pimpinan laskar Pajang di Sangkal Putung”
“Oh, jadi mereka adalah pemimpin-pemimpin tuan?”

Macan Kepatihan menggigit bibirnya. Adalah tidak senang mendengar pertanyaan itu. Tetapi ia terpaksa menjawab,
“Ya, apa yang mereka lakukan?”
“Pertama, mereka mencari beras seperti tuan, mereka telah membawa sepuluh bakul beras. Apakah tuan tidak mendapat bagian dari yang sepuluh bakul itu sehingga tuan terpaksa mencari sendiri?”
Tohpati terdiam sesaat. Tetapi kemudian jawabnya,
“Kau benar-benar orang tua yang bodoh. Berapa ratus orang Pajang yang berada di Sangkal Putung. Sepuluh bakul beras hanya cukup untuk tiga hari, paling lama lima hari. Nah, apakah yang akan kami makan besok, lusa dan seterusnya?”
“Dari desa-desa lain tuan akan dapat mengambil beras pula. Tetapi itu tidak penting. Yang penting pemimpin-pemimpin tuan itu berkata kepadaku bahwa sebenarnya mereka telah jemu bertempur”
“Tidak” sahut Macan Kepatihan.
“Apa yang tidak, tuan? Apakah tuan tidak bertanya bahwa pemimpin-pemimpn tuan pernah berkata demikian? Atau apakah tuan tidak percaya bahwa orang-orang Jipang juga jenuh bertempur? Atau tuan tidak percaya bahwa setiap orang sudah jemu melihat pertempuran?”
“Aku tidak percaya bahwa pemimpin-pemimpin Pajang berkata demikian. Aku juga tidak percaya bahwa orang-orang Jipang telah jemu bertempur pula. Dan aku juga tidak percaya bahwa setiap orang sudah jemu melihat pertempuran.”
“Jadi jelasnya tuan tidak percaya kepadaku?”
“Bukan. Mungkin orang Pajang berkata kepadamu. Tetapi mereka tidak berkata yang sebenarnya.”
“Mereka berbohong? Apakah gunanya?”
“Orang-orang Jipang pun tidak pernah merasa jemu bertempur. Mereka sedang memperjuangkan sebuah cita-cita. Dan cita-cita itu akan mereka bawa mati.”
“Cita-cita? Bertanya Ki Tanu Metir,
“apakah sebenarnya cita-cita itu bagi orang Jipang? Apakah mereka akan menghidupkan kembali dan meletakkan Arya Jipang yang sudah gugur itu apabila mereka sudah berhasil? Tuan. Apakah tuan tidak sependapat dengan pemimpin-pemimpin tuan? Bahwa sebenarnya di antara mereka dan orang-orang Jipang itu tidak terdapat soal-soal yang tidak perlu melibatkan mereka dalam pertentangan yang berlarut-larut? Pemimpin-pemimpin tuan itu berkata, bahwa orang-orang Jipang yang sekarang masih mengangkat senjata, sebenarnya hanyalah orang-orang yang keras hati dalam kesetiakawanan mereka. Kalau mereka setia pada cita-cita mereka semula, maka cita-cita itu tidak akan dapat terlaksana. Apa pun yang akan mereka lakukan. Seandainya orang-orang Pajang akhirnya dapat mereka tumpas, namun trah Sekar Seda Lepen, dasar dari perjuangan Arya Penangsang telah punah. Tak ada orang yang dapat menempatkan diri sebagai penerus cita-cita itu. Tak ada orang yang dapat menamakan diri trah Sekar Seda Lepen.”
“Tetapi itu adalah perjuangan menuntut keadilan. Siapakah yang membunuh Sekar Seda Lepen? Kalau Sekar Seda Lepen tidak terbunuh, apakah Arya Penangsang tidak akan naik ke atas tahta?”
“Ya,ya. Pemimpin tuan juga mengatakan dasar tuntutan orang-orang Jipang itu, sekarang tuan juga mengatakan.
“Oh” Tohpati mengusap kumisnya. Hampir-hampir ia lupa, bahwa ia mengaku sebagai orang Sangkal Putung.

Tetapi tak seorang pun tahu pasti, apa yang terjadi dengan Sekar Seda Lepen. Terdengar Ki Tanu Metir meneruskan,
“dan semua itu telah lampau. Kalau kita tenggelam dalam urut-urutan dendam, kapan kita akan berhenti berkelahi sesama kita?”
Tohpati terdiam. Sesaat sambil mengurut-urut kumisnya yang tebal melintang. Di dalam hatinya timbullah berbagai pertanyaan tentang orang tua yang mengaku berasal dari padukuhan Benda itu. Macan Kepatihan sama sekali tidak dapat mengerti, kenapa orang-orang dari Benda dapat berkata-kata seperti yang diucapkan oleh orang tua itu.
“Mungkin orang-orang Widura, atau Widura sendiri pernah berkata demikian seperti yang dikatakannya tadi.” Berkata Tohpati dalam hatinya. Kemudian suara di dalam hatinya itu berkata pula,
“Apakah benar-benar Widura dan Untara sudah jemu bertempur?” Tohpati kemudian menggelengkan kepalanya ketika di dalam hatinya terbetik suatu pertanyaan,
“Apakah orang-orang Jipang tidak jemu bertempur? Kapankah pertempuran itu akan berakhir?”
“Tidak” kata-kata orang itu dibantahnya sendiri di dalam hatinya pula,
“Aku tidak akan pernah jemu bertempur. Syukurlah kalau orang-orang Pajang telah menjadi jemu. Itu adalah pertanda pertama bahwa mereka telah sampai ke tepi jurang kehancuran mereka.”
Tetapi Tohpati itu terkejut ketika Ki Tanu Metir berkata pula,
“Nah, Tuan. Kalau tuan tidak sedang mengejar-ngejar orang Jipang, maka tuan akan dapat hidup di dalam lingkungan keluarga tuan. Di dalam lingkungan anak istri tuan kalau tuan sudah punya. Kalau tidak, maka ibu tuan dan ayah tuan tidak akan selalu menunggu tuan diambang pintu halaman”
“Kami bukan laki-laki cengeng” sahut Tohpati,
“Setiap perjuangan memerlukan pengorbanan. Kau pun harus mengorbankan berasmu untuk perjuangan ini. Nanti siang aku akan segera datang ke Benda untuk mengambil beras itu”
“Jangan tuan, jangan hari ini. Tuan pasti akan kecewa, sebab perempuan-perempuan kami belum menumbuk padi. Besok atau lusa baru tuan dapat datang mengambilnya”
“Aku perlu hari ini. Katakan kepada penduduk Benda, bahwa laskar Pajang tidak dapat menunda kebutuhannya. Siapa yang tidak tunduk kepada setiap perintah laskar Pajang, maka ia akan dihabisi jiwanya. Kau dengar?”
“Huh, tuan menakut-nakuti kami. Laskar Jipang pun tidak mengancam sekasar itu, tuan. Apakah tuan sedang bersenda gurau?”

Tohpati tersenyum di dalam hati. Kalau ia dapat memisahkan laskar Pajang dari kekuatan rakyat yang mendukungnya, maka kekuatan Pajang pasti akan berkurang. Setidak-tidaknya di Sangkal Putung. Karena itu, maka jawabnya,
“Persetan dengan laskar Jipang. Apakah mereka juga sering mengambil beras ke padukuhan Benda?”
“Ya tuan, kadang-kadang. Tetapi mereka tidak pernah mengancam seperti tuan”
“Jipang ternyata sedang berusaha mendekatkan dirinya kepada orang-orang padesan untuk mendapat dukungan. Tetapi Pajang lah yang berkuasa atas kalian, sehingga kalian tidak bebas membantah perintahnya”
Mata Agung Sedayu dan Swandaru yang sejak tadi duduk mematung, tiba-tiba memancarkan kemarahannya yang selama ini ditahan di dalam hatinya. Mereka tidak dapat mendengar fitnahan yang sedemikian tajamnya atas laskar Pajang yang berada di Sangkal Putung. Tetapi sebelum mereka berbuat sesuatu, maka dengan isyarat tangan yang disembunyikan di balik batu, Ki Tanu Metir telah mencegah mereka berbuat sesuatu.
Dalam pada itu, maka terdengar Ki Tanu Metir itu berkata pula,
“Nah, itulah tuan. Kalau kalian, tuan-tuan tidak saling bertentangan, maka tuan-tuan tidak perlu berebut pengaruh atas rakyat padesan. Tuan-tuan dapat berbuat banyak untuk orang-orang kecil seperti kami ini”
“Tidak mungkin. Mereka bertentangan kepentingan. Kami orang-orang Pajang akan mempertahankan kemenangan kami, meskipun kami tahu, bahwa tuntutan Arya Penangsang itu adil”
Mendengar kebohongan itu, hampir-hampir Swandaru dan Agung Sedayu tidak dapat menguasai diri. Tetapi sekali lagi Ki Tanu Metir memberinya isyarat.
“Ya, katakanlah bahwa tuntutan Arya Penangsang itu adil. Tetapi garis keturunan yang sekarang memegang kekuasaan atas Demak telah patah. Putra-putra Sultan Trenggana telah hampir punah pula. Pangeran Prawata telah dibunuh oleh Arya Penangsang. Sunan Hadiri dari Kalinyamat. Kemudian yang terakhir tetapi gagal adalah Adipati Jipang. Katakanlah bahwa Arya Penangsang sedang berjuang menuntut warisan. Lalu, apakah Adipati Hadiwijaya di Pajang harus dengan rela hati menyerahkan lehernya untuk dipancung? Sedang Hadiwijaya itu sama sekali tidak tahu menahu tentang terbunuhnya Sekar Seda Lepen. Bukankah Adipati Pajang pun merasa, bahwa kini sedang memperjuangkan keadilan? Nah tuan, selama keadilan itu dilihat dari sudut yang berbeda-beda, maka keadilan itu sendiri tidak akan dapat serupa bentuknya. Karena itu maka yang paling baik adalah apa yang dikatakan pemimpin tuan. Menjemukan. Pertentangan yang berlarut-larut adalah menjemukan sekali. Pertentangan itu tidak akan dapat memberikan apa-apa kepada kami. Kepada orang-orang kecil. Bahkan hanya akan menguras lumbung-lumbung kami. Beras-beras kami dan hidup kami akan menjadi semakin kering. Tetapi kalau tuan tidak saling bertentangan menimbang dendam di hati, maka kami akan dapat bekerja dengan baik, dengan tenang, dengan tentram. Dan tuan-tuan yang bijaksana akan dapat menuntun kami, tidak dalam olah senjata, tidak dalam bermain pedang dan tombak, tetapi dalam olah tetanen dan kebutuhan kami sehari-hari”

Macan Kepatihan terdiam pula sesaat. Kata-kata itu benar-benar menyentuh sudut hatinya. Tetapi tiba-tiba terdengar orang yang berdiri di sampingnya, Sanakeling, tertawa terbahak-bahak. Katanya,
“He pak tua. Darimana kau dengar uraian yang melingkar-lingkar itu?”
Ki Tanu Metir memandang orang yang berdiri di samping Macan Kepatihan itu. Kemudian jawabnya,
“Sebagian aku dengar dari pemimpin-pemimpin tuan sendiri. Dari orang yang bernama Widura dan yang lain bernama Untara”
Sekali lagi Macan Kepatihan mengerutkan keningnya. Kalau Widura dan Untara berpendirian demikian, maka apakah sebenarnya yang telah mendorong mereka, orang-orang Pajang dan orang-orang Jipang saling berbunuhan? Namun kembali Sanakeling berkata, “Mungkin pemimpin-pemimpin kami sedang berputus asa karena mereka tidak segera berhasil menguasai keadaan di sini, begitu?”
Swandaru dan Agung Sedayu menjadi benar-benar muak mendengar percakapan itu. Mereka menjadi heran, kenapa Ki Tanu Metir masih juga telaten berbicara dengan Macan Kepatihan. Apalagi orang yang berdiri di sampingnya itu.
Yang paling sukar untuk mengendalikan dirinya adalah Swandaru. Hampir-hampir ia berteriak memaki-maki. Untunglah bahwa Agung Sedayu yang agaknya lebih tenang menggamitnya. Agung Sedayu yang sejak masa anak-anaknya selalu menghindari bentrokan-bentrokan, ternyata berpengaruh juga sampai saat ini. Meskipun alasannya telah berbeda. Dahulu Agung Sedayu menghindari setiap bentrokan dengan siapa pun juga karena ia takut mengalami. Tetapi sekarang, ia menghindari bentrokan karena pertimbangan lain. Kali ini gurunya tidak mengijinkannya. Kebiasaannya untuk menghindari setiap pertentangan pada masa kecilnya ternyata membantu memperliat hatinya, menambah kesabarannya. Karena ini, apalagi di samping gurunya, ia sama sekali tidak takut bertempur dengan beberapa orang yang berada di atas tebing. Namun gurunya mengisyaratkan kepadanya untuk tetap tenang dan menghindari betrokan. Meskipun Agung Sedayu tidak tahu benar alasan gurunya, namun ia mematuhinya.
Ki Tanu Metir yang mendengar kata-kata orang yang berdiri di samping Macan Kepatihan menjadi seakan-akan terkejut. Kemudian sambil mengangkat kepalanya ia bertanya,
“Apakah pemimpin-pemimpin kalian benar-benar berputus asa?”
“Tentu” sahut Sanakeling,
“Kalau tidak, maka ia pasti tidak akan mengigau seperti itu. Perang adalah kewajiban seorang prajurit. Jadi apabila ada seorang prajurit yang tidak mau berperang, maka ia adalah seorang prajurit yang tak bernilai”
“Oh, jadi apabila keadaan Pajang dan Jipang telah menjadi baik kembali, maka apakah Adipati Pajang akan memecat semua prajuritnya?”
“Ah, orang tua yang bodoh. Tentu tidak. Negara yang tidak mempunyai prajurit maka negara itu akan tidak berarti. Setiap saat lawan mereka akan dengan senang hati merampok segala miliknya”
“Oh, jadi apabila peperangan yang satu sudah selesai, maka setiap negara perlu membuat persoalan dengan negara lain?”
“He, kenapa?”
“Prajurit dan perang adalah satu, menurut tuan yang di samping itu”
Macan Kepatihan tertawa. Sanakeling akhirnya tertawa juga.
“Alangkah bodohnya pertanyaan itu” gumam Sanakeling. Tetapi Macan Kepatihan menggelengkan kepalanya. Gumamnya,
“Tidak. Pertanyaan itu bukan pertanyaan yang bodoh. Ia telah mengambil kesimpulan yang tepat dari kata-katamu sendiri”
“Tetapi maksudku bukan begitu kakang. Maksudku, setiap prajurit harus bersedia berperang, tidak boleh jemu”
“Jelaskan kepada orang tua itu, jangan kepadaku” potong Macan Kepatihan.
“Oh” Sanakeling mengerutkan keningnya. Dipandangnya orang tua yang duduk di atas batu dibawah. Kakinya berjuntai terendam di dalam arus sungai yang tidak sedemikian keras. Tiba-tiba wajah Sanakeling menjadi tegang. Dan dengan bersungguh-sungguh ia berkata,
“Marilah kita tinggalkan orang tua gila itu”

Sanakeling tidak menunggu jawaban Macan Kepatihan. Segera ia memutar tubuhnya dan berjalan menjauhi tebing sungai itu bersama beberapa orang yang lain. Namun ketika Macan Kepatihan akan beranjak pergi, maka Ki Tanu Metir itu memanggilnya,
“Tuan” katanya, “Tunggulah sebentar”
Macan Kepatihan berhenti. Ditatapnya wajah Ki Tanu Metir yang kedinginan. Katanya,
“Ada apa kakek?”
“Tuan, apakah nanti tuan akan datang kepadukuhan kami?”
“Tentu. Prajurit Pajang tidak dapat menunggu lebih dari saat yang telah ditentukannya sendiri. Orang yang mencoba menghambat perintahnya, maka ia akan dibinasakan”
“Tuan” berkata Ki Tanu Metir, “Berapa tahun peperangan ini akan berakhir?”
“Kenapa?”
“Aku ingin menghitung umurku dengan kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi, tuan. Kalau peperangan ini masih akan berlangsung lama maka aku akan melihat padukuhanku benar-benar menjadi kering, dan anak cucuku pasti akan mati kelaparan. Sebab beras-beras kami akan selalu mengalir keluar padukuhan kami. Sekali harus kami serahkan kepada tuan. Kepada laskar Pajang. Sekali yang lain kepada laskar Jipang”
“Kenapa kau beri juga beras kepada orang-orang Jipang?”
“Mereka datang dengan senjata di tangan tuan. Apakah yang dapat kami lakukan? Baik orang Pajang maupun orang Jipang. Dan sebenarnyalah pemimpin-pemimpin tuan menjadi jemu berperang. Apakah tuan tidak? Seorang prajurit Pajang pernah berkata kepadaku, bahwa ketika ia berangkat ke medan perang, anaknya baru berumur tiga hari. Anak yang lahir dari istrinya tercinta, setelah mereka hampir sepuluh tahun kawin. Prajurit itu berkata ‘Kalau aku pulang nanti, anakku pasti sudah besar. Tetapi ia pasti takut melihat wajahku yang setiap hari menjadi semakin buas karena bau darah’. Tuan, benarkah demikian? Apakah prajurit yang selalu berada di peperangan menjadi buas, eh, maksudku keras?”

Tohpati melangkah kembali ke tebing sungai itu. Ia tertarik mendengar kata-kata Ki Tanu Metir. Pertanyaan yang didengarnya itu benar-benar telah menyentuh hatinya. Dan tanpa setahunya ia menganggukkan kepalanya,
“Ya. Mungkin prajurit itu benar. Setiap hari seorang prajurit dihadapkan pada saat-saat yang tegang dan melihat kekerasan”
“Apakah tuan tidak berpendapat bahwa ketegangan dan kekerasan itu sebaiknya berakhir?”
Tohpati tiba-tiba mengerutkan keningnya. Dan dengan serta-merta ia melangkah surut. Ia tidak mau mendengarkan pertanyaan-pertanyaan orang tua itu mebih banyak lagi. Pertanyaan-pertanyaan yang mengetuk dinding hatinya. Dinding hati seorang manusia yang kebetulan menjadi seorang prajurit. Seorang manusia yang kebetulan memiliki senjata di tangannya dan sedang memperjuangkan kehendak dan cita-cita dengan senjata itu. Bahkan mencoba memaksakan kehendak itu kepada orang lain dengan tajam senjatanya, baik atau tidak baik menurut penilaian orang lain. Tohpati kini tidak mau mendengarkan lagi Ki Tanu Metir memanggilnya. Cepat ia berputar dan melangkah pergi meninggalkan orang tua yang duduk berjuntai di atas batu. Beberapa langkah daripadanya berdiri Sanakeling bertolak pinggang. Di sampingnya dua orang kawannya sedang mengais-ngais tanah dengan ujung pedangnnya.
“Kenapa orang tua gila itu masih saja dilayani” gumam Sanakeling.
Macan Kepatihan tidak menjawab. Ia berpaling sejenak, namun ia berjalan terus sambil menundukkan wajahnya. Sanakeling pun kemudian berjalan pula di belakangnya bersama kedua orang yang berdiri di sampingnya. Dikejauhan tiga orang berjalan mendekati mereka dan berjalan dalam rombongan itu pula. Dan mereka masih mendapat kawan seorang lagi. Seorang anak muda yang bermata tajam, setajam mata burung alap-alap. Mereka adalah orang-orang yang harus mengawasi keadaan selama Tohpati berhenti di tepi sungai. Untunglah bahwa Alap-alap Jalatunda tidak turut menjenguk ke dalam sungai itu. Apabila demikian, maka ia pasti tidak akan melupakan Agung Sedayu.

Sepeninggal Macan Kepatihan, Swandaru tidak sabar lagi, sehingga dengan serta-merta ia bertanya,
“Kiai, Tohpati itu ternyata telah datang ke hadapan Kiai. Kenapa orang itu tidak saja Kiai tangkap? Tidakkah dengan demikian maka pertempuran yang Kiai katakan menjemukan itu akan segera berakhir?”
“Tidak mungkin ngger. Apakah kita bertiga akan mampu menangkapnya?”
“Kenapa tidak? Bukankah mereka hanya berempat atau lima orang? Kiai sendiri pasti akan mampu melakukannya”
“Mungkin aku mampu mengalahkan lima orang itu. Tetapi bagaimana dengan kalian? Lihatlah, apakah mereka benar-benar hanya berlima?”
“Bukankah aku masih dapat menghitung demikian baik?” sahut Swandaru dengan nada tinggi.
“Belum tentu. Coba, tengoklah sekarang”
Swandaru menjadi ingin membuktikan kebenaran kata-kata Ki Tanu Metir. Karena itu segera ia meloncat berlari ke tebing. Dengan tergesa-gesa ia mendaki tebing, dan dengan hati-hati ia mencoba mengintip Macan Kepatihan yang sudah berjalan agak jauh. Ketika dilihatnya rombongan itu, Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Ternyata Ki Tanu Metir benar. Mereka tidak hanya berlima atau berenam. Tetapi sekarang rombongan itu menjadi tidak kurang dari sepuluh orang.


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar