Ditatapnya cahaya matahari yang bermain-main di atas tanah yang kering seperti berloncat-loncatan berkejaran. Anak muda itu mengerutkan keningnya. Hampir saja kepalanya dipecahkan oleh Sidanti di halaman ini, di samping kandang kuda itu. Namun kini ia akan mendapat kesempatan yang lebih banyak untuk mematangkan diri sendiri. Ki Tanu Metir yang dikaguminya itu telah berjanji untuk menjadikannya seorang murid.
“Mudah-mudahan
aku dapat menjadi seorang murid yang baik” gumamnya.
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya dengan sendirinya. Ia mencoba memahami kata-kata
Ki Tanu Metir kepada Swandaru semalam. Dan ia dapat mengertinya. Agung Sedayu
itu kemudian berpaling ketika ia mendengar gerit senggot di atas sumur.
Dilihatnya seorang gadis mengambil air dari sumur itu. Dada Agung Sedayu terasa
berdesir. Gadis yang sudah sering kali dilihatnya itu tiba-tiba menjadi
bertambah segar dalam siraman cahaya matahari pagi yang bermain-main
ditubuhnya. Tubuh yang bulat segar. Tubuh yang kuat seperti tubuh
kawan-kawannya gadis pedesaan yang tidak saja duduk bersolek di dalam biliknya
tetapi juga bekerja keras membantu ayah bundanya.
Perlahan-lahan
Agung Sedayu berjalan menghampirinya. Ketika gadis itu berpaling, maka Agung
Sedayu tersenyum kepadanya,
“biarlah aku
membantumu”
“Jangan Tuan”
sahut Sekar Mirah, “Biarlah aku mengambil air sendiri.”
Panggilan itu
terasa asing baginya kini. Tiba-tiba ia sama sekali tidak senang mendengar
sebutan itu. Karena itu, maka katanya,
“Mirah. Jangan
panggil aku demikian. Biarlah kita yang menghuni rumah ini bersikap akrab.
Seperti Swandaru kini tidak lagi diperkenankan bersikap terlalu hormat”.
Sekar Mirah
menundukkan wajahnya. Dilihatnya bayangannya di dalam sumur. Bayangan seorang
gadis remaja yang segar gembira. Tetapi bayangan itu kemudian pudar dan lenyap
ketika upihnya menyentuh permukaan air itu.
“Bagaimana aku
harus menyebut tuan?” bertanya Sekar Mirah tanpa berpaling.
“Bertanyalah
pada Swandaru.” sahut Agung Sedayu,
“Bagaimana ia
menyebut aku sekarang.”
“Ah” Sekar
Mirah itu tersenyum. Diangkatnya takir upihnya ke atas. Dan dituangkannya air
dari takir upih sebesar bejana itu ke dalam kelentingnya.
“Marilah, aku
ambilkan air untukmu” berkata Agung Sedayu.
“Jangan tuan”
jawab Sekar Mirah
“Jangan
panggil demikian”
“Bagaimana?”
“Bertanyalah
pada kakakmu”
“Baik, aku
akan merubah panggilan itu nanti kalau aku telah bertemu dengan kakang
Swandaru. Bukankah sekarang aku belum tahu bagaimana aku harus memanggil tuan?”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya bertanya,
“Kenapa bukan
orang lain yang mengambil air ini?. Bukan pembatu-pembatumu?”
“Tak ada
bedanya” sahut Sekar Mirah
Agung Sedayu
terdiam. Ditatapnya sekali lagi Sekar Mirah yang sedang menimba air itu seperti
baru sekali dilihatnya. Sekar Mirah yang merasa selalu diperhatikan oleh Agung
Sedayu menjadi segan. Sehingga katanya kemudian,
“Tuan, apakah
yang aneh padaku?”
“Oh” wajah
Agung Sedayu menjadi kemerah-merahan. Cepat-cepat ia berpaling sambil berkata,
“Tak ada. Tak
ada yang aneh padamu. Tetapi aku ingin membantumu mengambil air”
“Tak usah”
sahut Sekar Mirah
Agung Sedayu
tidak lagi memaksanya. Dibiarkannya Sekar Mirah menimba air. Mengisi
kelentingnya dan kemudian menjinjingnya pada lambungnya.
“Berat?”
bertanya Agung Sedayu
Sekar Mirah
menggeleng lemah, “Tidak” jawabnya,
“Aku sudah
biasa mengambil air”
Agung Sedayu
tidak berkata-kata lagi. Dilihatnya saja Sekar Mirah itu berjalan sambil
menjinjing kelenting itu. Terasa hatinya menjadi tergetar melihat langkah gadis
itu. Cepat, lincah dan penuh gerak dan gairah atas pekerjaannya.
“Gadis yang
keras hati” desah Agung Sedayu.
Sebenarnya
Sekar Mirah mempunyai hati yang menyala-nyala menyongsong hari depannya.
Dilihatnya setiap orang dari anggota prajurit Pajang dengan seksama. Dinilainya
seorang demi seorang, dan dikaguminya mereka yang penuh kejantanannya berjuang
melawan musuh-musuhnya. Itulah sebabnya mula-mula Sekar Mirah hampir tak pernah
berpisah dengan Sidanti. Didorongnya pemuda itu untuk bertempur, berkelahi dan
melawan musuh. Di desaknya pemuda itu untuk menemukan tempat yang
sebaik-baiknya dalam kesatuannya. Dilecutnya Sidanti untuk meraih masa-masa
yang gemilang pada masa-masa yang akan datang. Dan Sidanti mendengarkannya
dengan penuh minat. Sidanti menerimanya dengan penuh harapan. Bukan saja apa
yang dikatakan oleh Sekar Mirah, namun demikianlah kata hatinya sendiri. Ia
adalah seorang anak muda yang memandang masa depan sebagai miliknya. Miliknya
sendiri. Sebagai api yang disiram minyak ia bertemu dengan Sekar Mirah. Hasrat
yang tersimpan di hatinya menjadi semakin menyala. Apalagi gurunya adalah seorang
yang bernama Ki Tambak Wedi. Seorang yang bercita-cita setinggi awan di langit.
Namun dirinya sendiri tidak pernah dapat menggapainya, sehingga dengan demikian
maka dinobatkannya dirinya sendiri menjadi seorang yang disegani dan ditakuti
di daerah lereng gunung Merapi. Pertemuan di antara merekalah yang sebenarnya
telah membakar Sangkal Putung. Bukan saja usaha Macan Kepatihan yang
nyata-nyata berhadapan beradu dada, namun Sidanti ternyata merupakan bahaya
yang membayang di balik punggung.
Tetapi ternyata
Sekar Mirah itu pun menjadi kecewa terhadap Sidanti. Ternyata bukan Sidanti
yang ingin didorongnya maju, tetapi dirinya sendiri. Ketika ia melihat nafsu
Sidanti yang menyala-nyala, justru ia menjadi kecewa. Sidanti berjuang untuk
dirinya sendiri, bukan untuk Sekar Mirah. Sekar Mirah bagi Sidanti adalah
seorang yang baik hati, yang mendorongnya untuk semakin gigih berjuang. Tidak
untuk Pajang, tetapi untuk dirinya, Sidanti. Dan ternyata Sekar Mirah adalah
seorang gadis yang cantik. Ketika kemudian hadir Agung Sedayu, maka hati Sekar
Mirah segera berkisar. Ia mengharap untuk menemukan seorang pahlawan yang baru.
Pahlawan yang dapat mendengarkan suara hatinya. Pahlawan yang dapat mengerti
gelora dadanya. Pahlawan yang akan berjuang untuknya, yang akan mempersembahkan
setiap kemenangan kepadanya. Tetapi Sekar Mirah belum menemukannya pada Agung
Sedayu. Ternyata sampai kini Agung Sedayu benar-benar seorang yang berjuang
dengan tulus.
“Ia adalah
kemenakan paman Widura” berkata Sekar Mirah di dalam hatinya,
“Sehingga
karena itu maka ia tidak akan berani berbuat diluar kehendak pamannya itu”
Karena itu,
maka Sekar Mirah menjadi ragu-ragu. Ketika ia melihat perang tanding di
lapangan, antara Sidanti dan Agung Sedayu dalam ketangkasan memanah dan
seterusnya, hatinya benar-benar berguncang-guncang. Sekali-sekali ia kagum
melihat ketangkasan Sidanti, serta nyala dan hasrat untuk menggenggam masa
depan di tangannya. Ia melihat anak muda itu dengan penuh tekad menentang
setiap tantangan. Sedang Agung Sedayu seolah-olah dibayangi oleh keragu-raguan
dan kebimbangan. Tetapi kemudian perasaan Sekar Mirah itu terlempar pada suatu
harapan yang diilihatnya dalam kemampuan Agung Sedayu. Ketrampilannya melepas
anak panahnya, serta ketepatan bidiknya telah menariknya ke dalam satu
pertimbangan yang kacau. Kemenangan Agung Sedayu pada saat itu telah
benar-benar meyakinkan Sekar Mirah, bahwa hari depan Sidanti pasti akan
benar-benar tertutup. Dalam pada itu, maka hilanglah segenap keragu-raguannya.
Ia tidak dapat lagi bergantung pada anak itu, kepada Sidanti. Bahkan meskipun
seandainya Sidanti menemukan masa-masa yang maju dan gemilang, maka masa-masa
yang demikian adalah masa-masanya sendiri. Masa-masa yang dimilikinya sendiri.
Bukan masa-masa yang akan diperuntukkannya. Bahkan dirinya pun bagi Sidanti,
pasti hanya akan dipergunakan untuk kepentingan anak muda itu. Sebagai
pendorong dan penuntun menjelang hari-hari yang akan lebih terang, bagi
Sidanti. Tetapi kini Sidanti sudah tidak ada di Sangkal Putung lagi. Sidanti
telah hilang dari halaman rumahnya. Ia mendengar beberapa orang berkata
kepadanya, seandainya perkelahian di antara Agung Sedayu dan Sidanti itu
dilakukan dengan jujur, maka sudah pasti Sidanti tidak akan memenangkannya.
Tetapi tiba-tiba Sidanti telah berbuat curang. Tetapi karena itulah maka
Swandaru pun menjadi terlibat pula ke dalamnya.
Sekar Mirah
yang kemudian bekerja di dapur itu pun tidak dapat segera menggeser
perasaannya. Agung Sedayu tampaknya telah berubah. Ia kini tampak segar dan
gembira. Dihari-hari yang lewat, Agung Sedayu hampir tak pernah keluar dari
pringgitan. Baru sejak akhir-akhir ini seringkali ia tampak berjalan-jalan di
halaman. Namun wajahnya masih saja selalu dibayangi oleh kemuraman dan
keragu-raguan. Tetapi kini sudah tidak lagi. Wajah itu menjadi cerah. Dan Sekar
Mirah tidak dapat mengingkari dirinya lagi. Ia telah tertarik pada wajah itu.
Wajah yang tampak lebih halus dan lunak dari wajah Sidanti. Tetapi apakah api
yang menyala di dada Sedayu itu sedahsyat api yang menyala di dada Sidanti?
Hari itu
Sangkal Putung tidak mendapat perubahan apa-apa. seperti hari-hari yang lain,
para petugas sibuk dengan kewajibannya. Gardu-gardu masih berisi
penjaga-penjaga yang mengawasi keadaan. Dan warung di ujung desa masih juga
ramai dikunjungi para pembeli dan penjual yang tidak berani pergi ke tempat
yang lebih jauh. Untara kini telah menjadi lebih baik. Ia telah dapat turun ke halaman
dan melihat laskar Pajang melakukan tugasnya. Satu-satu Untara menanyakan
kepada mereka, nama mereka dan rumah tempat tinggal mereka. Keluarga mereka dan
segala sesuatu yang berhubungan dengan mereka itu sebagai seorang prajurit dan
sebagai manusia. Ketika Untara itu bertanya kepada seorang yang berwajah keras
dan berjanggut tebal, maka didengarnya jawaban,
“Aku beranak
sebelas tuan”
“Sebelas”
Untara terkejut,
“Dimana
sekarang mereka tinggal?”
“Pengging”
“Kau berasal
dari Pengging?”
“Ya” jawab
orang itu.
Untara
meninggalkannya. Sebelas orang. Dan sebelas orang itu semua beserta ibunya
menunggunya di rumah. Menunggu orang yang berjanggut tebal itu pulang.
“Hem” Untara
menggeram. Katanya dalam hati,
“Persoalan
Macan Kepatihan harus cepat selesai. Kalau tidak, maka persoalan ini akan
berlarut-larut. Waktu yang akan dipakai untuk merampungkan persoalan ini tidak
terbatas pada bilangan minggu, bulan dan bahkan tahun”
Tetapi Untara
harus menunggu punggungnya sembuh benar-benar. Kalau kekuatannya telah pulih
kembali, maka ia akan memimpin langsung laskar ini bersama Widura. Mereka tidak
boleh hanya menunggu saja, namun mereka harus bergerak, menusuk dijantung
pertahanan dan tempat persembunyian mereka.
Ada pun Agung
Sedayu dan Swandaru sejak hari itu adalah murid Ki Tanu Metir. Mereka sudah
tidak lagi dibingungkan oleh orang yang berkerudung kain gringsing. Namun Ki
Tanu Metir sendiri itu pun masih membawa teka-teki pula bagi mereka. Apakah
sebenarnya ia seorang dukun tua saja? Seorang dukun yang tidak mempunyai
kepentingan langsung dengan Agung Sedayu atau Untara atau Widura atau Swandaru?,
namun Agung Sedayu dan Swandaru sama sekali tidak mempersulit diri mereka.
Mereka ingin mendapat ilmu dari orang tua itu. Dan ia akan memanfaatkan ilmu
itu kelak. Sejak hari itu, maka Swandaru dan Agung Sedayu telah mulai dengan
hari pertama mereka berguru. Ki Tanu Metir membawa mereka ke sungai yang agak
jauh dari Sangkal Putung. Di sanalah mereka mendapat beberapa petunjuk dari Ki
Tanu Metir. Petunjuk-petunjuk untuk memulai dengan pelajaran-pelajaran
jasmaniah. Mereka harus mendengarkan petunjuk-petunjuk itu dan mencoba
mengertinya. Agung Sedayu mendengarkan setiap kata-kata Ki Tanu Metir dengan
seksama. Dicobanya untuk mengerti dan dicobanya untuk mencernakannya. Namun
Swandaru merasa waktu itu terbuang-buang. Baginya lebih baik Ki Tanu Metir
langsung mengajarnya dengan unsur-unsur gerak daripada harus mendengarkannya
berbicara saja tentang beberapa hal yang penting untuk masa depannya. Tetapi Ki
Tanu Metir itu berbicara terus, dan ia masih harus mendengarkannya.
“Anak-anakku”
berkata Ki Tanu Metir,
“Apa yang akan
kalian dapat, hendaknya akan dapat bermanfaat bagi masa-masa mendatang. Bukan
saja bagi kalian berdua, tetapi juga bagi beberapa lingkungan kalian. Ilmu yang
akan kalian pelajari adalah sekedar alat. Alat itu tidak selalu harus
dipergunakan dalam setiap kesempatan dan keadaan. Tetapi alat hanya akan
dipergunakan pada kemungkinan yang paling tepat”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya sedang Swandaru memandangi percikan-percikan air
yang mengalir di bawah batu-batu tempat duduk mereka.
“Hari ini
adalah hari yang pertama bagi kalian” berkata Ki Tanu Metir itu,
“Dan dihari
pertama kalian harus yakini, bahwa alat yang akan kalian terima bukanlah alat
yang terbaik. Katakanlah bahwa alat ini adalah alat yang paling jelek. Alat
yang hanya akan dipergunakan apabila sudah tidak ada alat lain, yang dapat
kalian pakai. Namun jangan pula mencari sebab, sehingga kalian terdorong pada
kemungkinan untuk mempergunakan alat ini. Ingat-ingatlah, alat ini adalah alat
yang paling jelek yang kau miliki. Alat yang paling baik adalah alat yang telah
ada di dalam dirimu. Kasih sayang di antara sesama dan pegangan-pegangan yang
kalian dapat dari ibadah kalian kepada Tuhan. Ingatlah ini. Janganlah dengan
alat ini kalian mengorbankan apa yang sudah kalian miliki itu”
Kembali Agung
Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya dan Swandaru masih saja memandangi
percikan air di bawah tempat duduk mereka.
“Apakah kalian
mengerti kata-kataku?” bertanya Ki Tanu Metir itu kemudian.
“Ya Kiai”
sahut Agung Sedayu dan Swandaru hampir bersamaan.
“Bagus” berkata
Ki Tanu Metir kemudian,
“Ingat, jangan
sesorangan. Jangan salah langkah. Bahkan tak ada seorang pun di dunia ini yang
paling menang. Suatu ketika seseorang pasti akan dikalahkan oleh yang lain, dan
yang lain itu akan dikalahkan pula orang yang lain lagi. Lebih baik kalian tak
pernah mempergunakan ilmu ini sepanjang hidupmu, daripada setiap kali kau
terpaksa melakukannya. Namun kalian dengan ini mengemban tugas-tugas
kemanusiaan yang wajib kalian tegakkan. Sudah tentu tanpa mengorbankan segi
kemanusiaan yang lain”
Kembali Agung
Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya dan kali ini pun Swandaru
mengangguk-angguk pula.
“Nah, kita
kembali ke kademangan” berkata Ki Tanu Metir
Swandaru
terkejut. Jadi hanya inilah pelajaran pertama yang akan diterimanya? Ia tidak
sabar lagi. Sidanti dapat datang nanti sore atau besok atau lusa. Apakah ia
telah dapat mencapai ilmu yang diharapkannya? Ki Tanu Metir pun meihat
perubahan wajah Swandaru. Dilihatnya Swandaru itu memandanginya dengan penuh
keheranan. Karena itu maka Ki Tanu Metir itu pun bertanya,
“Kenapa
ngger?”
Swandaru
mengangkat alisnya. Kemudian jawabnya,
“Jadi hanya
inikah yang Kiai berikan hari ini?”
“Ya”
“Kenapa hanya
duduk-duduk begini kita harus pergi jauh-jauh dari rumah?”
Ki Tanu Metir
memandang Swandaru dengan heran. Anak itu sama sekali belum dapat menyesuaikan
dirinya sebagai seorang murid terhadap gurunya. Namun Ki Tanu Metir tidak
menjadi kecewa karenanya. Sedikit demi sedikit ia harus menuntun muridnya yang
aneh itu.
“Swandaru”
berkata Ki Tanu Metir,
“Lebih baik
kita mengambil tempat yang jauh daripada kita dilihat orang. Bagiku tidak akan
menguntungkan bila sebelum kita mulai apa-apa orang-orang sudah meributkan
perbuatan kita. Mungkin hanya seorang dua orang sajalah yang mengetahuinya,
namun sampai sehari maka hal itu pasti sudah akan sumebar ke segenap sudut
kademangan. Dan setiap orang akan menilaimu setiap hari. Hari ini kau dapat
berbuat apa, dan besok kau akan dapat berbuat apa lagi”
“Baik Kiai”
jawab Swandaru,
“Aku
sependapat. Tetapi marilah segera kita mulai. Apabila besok atau lusa aku
bertemu dengan Sidanti, maka aku tidak lagi memerlukan pertolongan orang lain
untuk melawannya”
Ki Tanu Metir
terkejut mendengar kata-kata itu. Namun kemudian ia pun tersenyum. Jawabnya,
“Angger,
ketahuilah, bahwa untuk membentuk seseorang menjadi seorang Sidanti, itu
diperlukan waktu bukan sehari dua hari. Tetapi setahun dua tahun. Bahkan lebih.
Tergantung juga kepada orang-orang itu sendiri. Kalau ia mampu, maka ia akan
menjadi lebih cepat terbentuk. Tetapi tidak dalam sehari dua hari. Apalagi kau
harus menyusul orang lain yang jauh lebih dulu daripadamu. Bukankah dengan
demikian kau memerlukan waktu yang lama?”
Alangkah
kecewanya Swandaru mendengar kata-kata Ki Tanu Metir itu. Ia memang pernah
mendengar, bahwa berguru kepada seseorang diperlukan waktu yang lama. Tetapi
kalau setiap kesempatan dipergunakan sebaik-baiknya maka waktu itu pasti akan
dapat diperpendek. Seperti saat ini misalnya, mereka hanya duduk-duduk saja
diterik matahari, sesudah itu pulang kembali kekademangan. Bukankah dengan
demikian mereka hanya membuang-buang waktu saja. Besoknya mereka akan
kehilangan waktu pula. Lusa dan seterusnya. Tetapi Swandaru itu tidak
berkata-kata lagi. Ketika Ki Tanu Metir dan Agung Sedayu telah berdiri, ia pun
segera berdiri pula. Namun Ki Tanu Metirlah yang masih berkata lagi, katanya,
“Swandaru, kau
tidak perlu tergesa-gesa, asal untuk seterusnya kau bekerja dengan tekun, maka
mudah-mudahan kau akan segera dapat menyusul Sidanti itu”
“Ya Kiai”
sahut Swandaru kesal. Ia telah membayangkan sejak semalam dirinya menjadi
seorang yang perkasa melampaui Sidanti, bahkan melampaui keperkasaan Tohpati.
Tetapi ia masih harus menunda keinginan itu. Bahkan sama sekali ia belum
mendapat apa-apa dihari pertama, kecuali nasehat-nasehat saja.
Ia tersadar ketika
Ki Tanu Metir itu berkata pula,
“Marilah kita
pulang”
“Marilah Kiai”
sahut Swandaru kosong.
Tetapi sekali
lagi Swandaru heran. Ki Tanu Metir itu malahan pergi ke tengah sungai sambil
mengajak mereka,
“Mari ikuti
aku”
Swandaru dan
Agung Sedayu menjadi ragu-ragu sejenak. Kalau orang tua itu mengajaknya pulang,
mengapa ia malahan pergi ke tengah, dan tidak berjalan menyusur tanggul seperti
semula.
Tetapi Agung
Sedayu segera mengerti maksud orang tua itu. Ia pun kemudian mengikutinya
meloncat dari batu ke batu menyusul Ki Tanu Metir.
“Bukankah
sungai ini nanti akan sampai di pinggir desa Sangkal Putung dan sidatannya akan
lewat sebelah halaman rumahmu Swandaru?” bertanya Ki Tanu Metir.
“Ya” jawab
Swandaru yang berdiri di tepian.
“Karena itu,
marilah kita mengambil jalan memintas, lewat sungai ini maka kita akan lebih
cepat sampai”
“Ah” desah
Swandaru,
“Aku lebih
senang menyusur tanggul ini”
Ki Tanu Metir
tertawa. Agung Sedayu pun tersenyum pula. agaknya Swandaru benar-benar tidak
tahu maksud gurunya, sehingga karena itu, maka Agung Sedayu berkata,
“Swandaru,
mari kita bermain kejar-kejaran di atas batu-batu ini”
Swandaru
menggeleng malas. Ia semakin kesal karenanya. Waktunya telah banyak terbuang.
Apakah mereka masih harus bermain seperti anak-anak.
Tetapi kembali
Agung Sedayu mengajaknya sambil tertawa,
“Swandaru,
lihatlah betapa Ki Tanu Metir meloncat dari batu ke batu. Marilah”
Kembali
Swandaru menggeleng. Katanya dalam hati,
“Akh, apa lagi
kerja orang tua itu. Bukankah lebih baik memberitahukan kepada kita, apa yang
harus kita lakukan? Unsur-unsur gerak, satu atau dua, untuk diulang-ulang”
Tetapi dengan
demikian Agung Sedayu pun menjadi kesal pula. Swandaru benar-benar tidak segera
tahu maksud orang lain tanpa diberitahukannya sejelas-jelasnya. Seperti juga
sifatnya sendiri yang selalu terbuka dan terus terang. Karena itu, maka Agung Sedayu
itu pun terpaksa berkata,
“Swandaru, kau
ikut berlatih atau tidak?”
Swandaru
terkejut.
“Berlatih?”
ulangnya, “Berlatih apa?”
“Inilah
latihan pertama yang harus kita lakukan”
“Oh” Swandaru
itu tertegun sesaat. Kemudian dilihatnya Ki Tanu Metir meneruskan
perjalanannya. Meloncat dari satu batu ke batu yang lain dengan lincahnya tanpa
menyentuh air sedikit pun juga. Bahkan sekali-sekali diloncatinya batu-batu
yang kecil dan goyah. Namun batu-batu itu seakan-akan bergerak pun tidak.
Sesaat
Swandaru terpaku di tempatnya. Dilihatnya Ki Tanu Metir meloncat-loncat seperti
orang sedang menari. Di belakangnya menyusul Agung Sedayu. Dengan hati-hati
anak muda itu meloncat pula dari batu ke batu. Namun tampaklah betapa ia masih
harus memperhitungkan setiap langkahnya. Dicobanya mengikuti apa yang telah
dilakukan oleh Ki Tanu Metir. Namun sekali-sekali ia masih harus berhenti
menjaga kesetimbangan tubuhnya. Tiba-tiba Swandaru itu pun tertawa,
digaruk-garuknya kepalanya sambil bergumam,
“Alangkah
bodohnya aku. Aku tidak segera tahu maksud orang tua itu”
Maka dengan
serta-merta Swandaru itu pun berteriak,
“Tunggu, aku
ikut serta”
Ki Tanu Metir
itu pun segera berhenti. Demikian juga Agung Sedayu. Mereka bersama-sama
berpaling dan dilihatnya Swandaru Geni meloncat ke atas sebuah batu yang besar.
Tubuhnya yang bulat itu meluncur dari tebing sungai dan mencoba berdiri di atas
batu itu. Sesaat ia masih harus mengatur keseimbangannya, namun kemudian ia
tertawa sambil berkata,
“Tunggulah,
aku akan segera sampai ke tempatmu kakang Sedayu”
Swandaru itu
pun segera mulai dengan loncatan-loncatannya. Dari satu batu ke batu yang lain.
Dicobanya juga meloncati batu-batu yang telah tersentuh kaki Ki Tanu Metir.
Namun sekali-sekali batu-batu itu terguncang dan Swandaru terpaksa berpegangan
pada batu-batu yang lain. Bahkan satu kali ia tergelincir dan jatuh masuk ke dalam
air.
“Gila”
gumamnya seorang diri. Pakaiannya menjadi basah kuyup. Dengan wajah bersungut-sungut
ia muncul dari dalam air seperti seekor tikus kehujanan.
Agung Sedayu
dan Ki Tanu Metir tidak dapat menahan tawa mereka. Ketika Swandaru kemudian
bangkit dan berdiri di atas sebuah batu maka Ki Tanu Metir berkata,
“Bukan
apa-apa. kau hanya jatuh ke dalam air”
“Ya, tidak
apa-apa” sahut Swandaru kesal.
Tetapi
tiba-tiba ia mengumpat ketika Ki Tanu Metir berkata,
“Ulangi.
Ulangi sekali lagi”
“Kenapa aku
harus mengulangi. Apakah Ki Tanu Metir ingin melihat aku sekali lagi jatuh ke dalam
air?”
“Tidak” jawab
Ki Tanu Metir,
“Latihan ini
adalah latihan dasar. Sekedar menghangatkan tubuh. Karena itu, maka angger
harus dapat melakukannya.”
Swandaru
bersungguh-sungguh. Dilangkahinya kembali beberapa batu yang sudah
dilampauinya. Dan sekali lagi meloncat ke jurusan Agung Sedayu. Namun kali ini
pun Swandaru masih belum dapat berdiri dengan tegak pada batu yang telah
menggelincirkannya. Namun kali ini ia tidak jatuh bulat-bulat ke dalam air.
Setelah beberapa saat ia bertahan atas keseimbangannya, maka terpaksa ia harus
terjun kembali. Namun ia dapat tegak di atas kakinya, meskipun di dalam air
juga.
“Bukan main”
Swandaru itu mengeluh. Apalagi ketika Ki Tanu Metir minta ia mengulanginya satu
kali lagi.
Swandaru
terpaksa mengulangi sekali lagi. Kali ini ia benar-benar memperhitungkan setiap
langkahnya. Dengan hati-hati ia meloncat dari satu batu ke batu berikutnya. Dan
ketika ia meloncat ke batu yang itu-itu juga, maka ia menahan nafasnya.
Dijaganya keseimbangan tubuhnya benar-benar dan ditapakkannya kakinya pada
ujung jari-jarinya, dalam pemusatan perhatian yang bulat. Swandaru menarik
nafas panjang ketika untuk yang ketiga kalinya ia berhasil. Tubuhnya
seakan-akan menjadi bertambah ringan, dan keseimbangannya serasa menjadi lebih
baik. Ia tidak tahu apakah sebabnya hal itu dapat terjadi,
“Mungkin
karena aku telah melakukannya tiga kali berturut-turut” katanya dalam hati.
Tetapi ia
tidak dapat terlalu lama tegak berdiri menikmati kemenangannya yang pertama
itu. Ketika ia mengangkat wajahnya, dilihatnya Ki Tanu Metir berkata,
“Marilah,
teruskan perjalanan ini sampai ke ujung desa Sangkal Putung”
Agung Sedayu
pun kemudian berputar dan melanjutkan loncatan-loncatannya. Namun ketika suatu
kali, dilompatinya sebuah batu yang sedikit goyah, maka batu itu pun bergerak sedikit
ke samping, dan kini Agung Sedayu lah yang terbanting dipermukaan air. Swandaru
terkejut, namun kemudian ia tertawa terbahak-bahak,
“Nah,
rasakanlah. Aku sudah lebih dahulu mandi. Kakang pun harus mandi pula”
Ki Tanu Metir
pun berhenti pula, dilihatnya Agung Sedayu bangkit dari dalam air sambil
tertawa. Kainnya, bajunya, ikat kepalanya menjadi basah kuyup. Perlahan-lahan
ia berdiri dan dikibaskannya pakaiannya yang dilekati pasir sungai.
“Hem” desis
Swandaru,
“Memang segar
kakang, mandi dengan segenap pakaiannya”
Agung Sedayu
tersenyum. Katanya,
“Kau nanti
juga harus melampaui batu ini Swandaru”
“He” Swandaru
mengerutkan keningnya. Dilihatnya batu yang telah menjatuhkan Agung Sedayu itu.
Batu yang seakan-akan bergoyang-goyang digerakkan arus sungai yang tidak
seberapa deras.
“Ah” katanya
dalam hati,
“Bagaimana
mungkin”
Sesaat
kemudian dilihatnya Agung Sedayu telah siap untuk mengulangi langkahnya tanpa
mendapat perintah dari Ki Tanu Metir. Ia tahu benar, bahwa setiap kesalahan
harus dibetulkannya. Dipusatkannya segenap perhatiannya. Dengan wajah yang
tegang ditatapnya batu itu. Kemudian ditahankannya nafasnya dan dengan sepenuh
hasrat ia meloncati kembali batu-batu itu sehingga akhirnya sampailah ia kepada
batu yang agak goyah itu. Namun kali ini ia berbuat cepat sekali. Bahkan
kakinya seakan-akan tidak berpijak pada batu itu. Batu itu hanya disentuhnya
saja. Sedang kakinya yang lain segera meloncat ke batu yang lain pula. Batu itu
pun bergerak pula sedikit. Namun Agung Sedayu telah meloncat lebih lanjut,
sehingga kali ini Agung Sedayu selamat sampai ke batu berikutnya. Agung Sedayu
itu pun kemudian berhenti. Kini ia melihat Swandaru yang semakin lama menjadi
semakin dekat. Ketika ia sampai ke batu yang goyah itu, maka ia bergumam di
dalam hati,
“Aku sudah
bersedia, dan aku tidak akan jatuh lagi ke dalam sungai”
Tetapi
ternyata ia salah sangka. Batu itu adalah batu yang goyah. Sehingga karenanya,
maka ketika ia meloncat ke atasnya, sekali lagi ia terguncang dan kehilangan
keseimbangan. Meskipun ia berusaha untuk meloncat ke batu yang lain, namun
ternyata ia tidak berhasil. Tetapi Swandaru kali ini tidak mau jatuh sendiri ke
dalam air. Agung Sedayu yang menunggunya sambil tertawa tiba-tiba terkejut.
Dengan tidak disangka-sangka tangan Swandaru meraih pundaknya, dan jatuhlah
mereka berdua ke dalam air bersama-sama. Ketika mereka muncul lagi dari
permukaan air, maka mereka tidak dapat menahan gelak tawa mereka yang seperti
meledak dari dada.
Ki Tanu Metir
yang melihat mereka bergumul di dalam air itu pun tertawa pula terkekeh-kekeh,
sampai tubuhnya terguncang-guncang. Demikian asyiknya ia tertawa dan melihat
murid-muridnya yang basah kuyup, sehingga Ki Tanu Metir itu tidak melihat bahwa
beberapa orang melihatnya dengan pandangan yang tajam. Mereka sama sekali tak
mengetahuinya, apa yang dilakukan oleh kedua anak-anak muda itu. Tiba-tiba batu
tempat Ki Tanu Metir berdiri berguncang, dan hampir saja Ki Tanu Metir
kehilangan keseimbangan. Secepat kilat ia sempat berpaling dan memandangi orang
orang di tepi sungai itu. Tetapi sekejap kemudian tiba-tiba Ki Tanu Metir pun
terhuyung-huyung dan jatuh pula ke dalam air. Agung Sedayu dan Swandaru
terkejut. Ki Tanu Metir itu pun terpelanting jatuh. Tetapi segera mereka
terlihat beberapa orang di tepi sungai itu tertawa terbahak-bahak. Seseorang di
antaranya masih memegang sebutir batu, sedang orang yang lain berkata,
“lemparanmu
tepat kakang.”
Mata Agung
Sedayu dan Swandaru terbelalak melihat orang-orang itu, seorang di antaranya
adalah orang yang bertubuh tinggi tegap, berkumis melintang. Di tangannya
tergenggam sebatang tongkat besi baja putih dengan kepala kekuning-kuningan
berbentuk sebuah tengkorak.
Hampir saja
Swandaru berdesis. Tetapi untunglah ia dapat menahan diri. Namun hatinya
berteriak,
“Macan
Kepatihan”
Agung Sedayu
pun berdiri tegak tak bergerak. Tetapi tiba-tiba mereka berdua terkejut ketika
mendengar Ki Tanu Metir berkata, “E, tole tolonglah. Tolonglah aku berdiri.”
Sesaat mereka
heran melihat Ki Tanu Metir tertatih-tatih berusaha untuk berdiri. Namun
sekali-sekali ia tergelincir kembali. Tubuhnya benar-benar menggigil dan dengan
terbata-bata ia berteriak-teriak sambil melambaikan tangannya.
Agung Sedayu
cepat menangkap maksud Ki Tanu Metir. Orang tua itu telah menjadi seorang tua
yang tak berdaya. Karena itu segera ia berlari dan menolong Kiai Gringsing yang
sedang menggigil. Diangkatnya orang tua itu berdiri dan didudukkannya di atas
sebuah batu yang besar. Sedangkan Swandaru melihat perbuatan Sedayu itu dengan
herannya. Kenapa orang tua itu harus ditolongnya berdiri dan harus dipapah ke
atas sebuah batu yang besar? Bukankah orang tua itu pula yang besar? Bukankah
orang tua itu pula yang telah memaksanya meloncat-loncat dan memberi mereka
beberapa contoh untuk melakukannya? Namun Swandaru tidak bertanya apa pun juga.
Ia pun perlahan-lahan berjalan mendekati Ki Tanu Metir. Ia semakin heran ketika
dilihatnya orang tua itu menyeringai kesakitan. Ia sendiri telah tiga kali
jatuh terpelanting, namun ia tidak merasa apa-apa. Orang tua itu baru sekali
jatuh. Tetapi ia telah tampak sedemikian payahnya.
Tetapi ia
menarik nafas ketika ia mendengar orang tua itu berbisik,
“Jangan
terjadi bentrokan dengan orang-orang itu sekarang”
“Oh” desahnya.
Sekali dilayangkannya pandangan matanya ke tebing dan kemudian dipandanginya orang
tua yang duduk kedinginan di atas batu itu.
Tetapi
Swandaru kini telah mengerti maksud Ki Tanu Metir itu. Dan mereka berdua, Agung
Sedayu dan Swandaru pun kemudian mengerti pula, bahwa sebenarnya Ki Tanu Metir
pasti akan mampu mempertahankan keseimbangannya seandainya yang hadir di
pinggir kali itu Ki Tambak Wedi, tetapi orang tua itu pasti mempunyai
pertimbangan lain sehingga ia tidak mau terlibat dalam bentrokan dengan Tohpati
dan beberapa kawannya saat ini.
“He!”
tiba-tiba mereka mendengar seseorang di antara orang-orang yang berdiri di
tebing itu berteriak,
“Siapakah
kalian?”
Ki Tanu Metir
memandangi mereka dengan wajah ketakutan. Kemudian jawabnya gemetar,
“Kami
orang-orang Benda tuan”
“Apa kerja
kalian di sini?”
“Kami sedang
menyelusur air sawah tuan. Dan kami berhenti sejenak untuk mandi”
Orang-orang
itu tertawa. Kata salah seorang dari mereka itu,
“Apakah kalian
biasa mandi dengan seluruh pakaian kalian?”
“Tidak tuan.
Salah seorang anak itu tergelincir, namun rupa-rupanya ia tidak mau melihat
kawannya masih tetap kering”
Kembali mereka
tertawa. dan kembali terdengar salah seorang berteriak,
“Apakah
benar-benar kalian hanya menyusuri air?”
“Ya tuan”
sahut Ki Tanu Metir,
“Tetapi
siapakah tuan-tuan ini?”
“Kami dari
Sangkal Putung” sahut orang yang bertongkat baja putih itu.
Swandaru
menjadi berdebar-debar. Ia pernah bertemu muka dengan Macan Kepatihan itu,
selagi Tohpati itu bertempur melawan Sidanti dan Widura. tetapi pertemuan itu
hanya sekejap dan Tohpati waktu itu sedang disibukkan oleh perkelahian itu.
Sehingga agaknya Tohpati itu kurang mengenalnya.
Ki Tanu Metir
kemudian bertanya pula,
“Apakah yang
akan tuan lakukan di sini?”
“Hem. Aku
ingin mendapat beras, apakah orang-orang Benda mempunyai persediaan cukup?”
Ki Tanu Metir
mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia menggeleng. Jawabnya perlahan-lahan,
“Ah, tuan
telah memeras semua persediaan kami. Beberapa orang Pajang yang berada di
Sangkal Putung itu? Setiap minggu kami harus menyerahkan berbakul-bakul beras,
sehingga kami sendiri akan menjadi kelaparan karenanya”
Tohpati itu
tertawa. Kemudian katanya,
“Bukankah
dengan demikian kalian membantu perjuangan kami melawan orang-orang Jipang?”
“Bagi kami
tuan, sudah tentu lebih penting makan kami sehari-hari”
Macan
Kepatihan mengerutkan keningnya. Dipandangnya ketiga orang yang berada di bawah
tebing itu berganti-ganti. Kemudian katanya,
“He, apakah
anak-anak muda itu tidak mau ikut bergabung dengan kami untuk melawan laskar
Macan Kepatihan?”
Ki Tanu Metir
menggeleng,
“Mereka adalah
cucu-cucuku. Biarlah mereka menikmati ketentraman hidup di rumah. Apakah
keuntungan kami apabila anak-anak muda itu turut bertempur?”
“Anak-anak
muda seluruh kademangan Sangkal Putung bangkit serentak. Mereka telah
menyumbangkan tenaga mereka untuk kemenangan Pajang. Apakah cucu-cucumu itu
tidak ikut serta he?”
“Sudah aku
katakan buat apa mereka ikut bertempur? Dan apakah sebenarnya keuntungan
orang-orang Pajang dan orang-orang Jipang yang kini saling bertentangan?”
“Kami sedang
mempertahankan pendirian kami masing-masing. Kami tidak senang melihat
pengikut-pengikut Arya Penangsang berkeliaran”
“Mungkin
pimpinan tuan tidak senang melihat Arya Penangsang. Tetapi apakah perlunya
pertengkaran itu berlarut-larut terus? Sejak Arya Penangsang terbunuh, maka
persoalan kalian sebenarnya telah selesai”
“Siapa yang
bilang he, pak tua?”
Ki Tanu Metir
tertawa. Kemudian katanya,
“Lima enam
hari yang lalu, kawan-kawan tuan datang ke pondokku. Seorang bertubuh sedang,
masih sangat muda dan tampan. Dikawani oleh seorang yang sudah menginjak
setengah umur. Namun wajahnya menunjukkan kewibawaan yang tinggi. Namanya
Untara dan Widura”
Macan
Kepatihan mengerutkan keningnya. Kemudian ia bertanya,
“Apakah yang
mereka lakukan dipondokmu?”
“Apakah
tuan-tuan kenal mereka?”
“Tentu” sahut
Macan Kepatihan,
“Untara adalah
senopati laskar Pajang di daerah ini. Di kaki-kaki gunung Merapi. Sedang paman
Widura adalah pimpinan laskar Pajang di Sangkal Putung”
“Oh, jadi
mereka adalah pemimpin-pemimpin tuan?”
Macan
Kepatihan menggigit bibirnya. Adalah tidak senang mendengar pertanyaan itu.
Tetapi ia terpaksa menjawab,
“Ya, apa yang
mereka lakukan?”
“Pertama,
mereka mencari beras seperti tuan, mereka telah membawa sepuluh bakul beras.
Apakah tuan tidak mendapat bagian dari yang sepuluh bakul itu sehingga tuan
terpaksa mencari sendiri?”
Tohpati
terdiam sesaat. Tetapi kemudian jawabnya,
“Kau
benar-benar orang tua yang bodoh. Berapa ratus orang Pajang yang berada di
Sangkal Putung. Sepuluh bakul beras hanya cukup untuk tiga hari, paling lama
lima hari. Nah, apakah yang akan kami makan besok, lusa dan seterusnya?”
“Dari
desa-desa lain tuan akan dapat mengambil beras pula. Tetapi itu tidak penting.
Yang penting pemimpin-pemimpin tuan itu berkata kepadaku bahwa sebenarnya
mereka telah jemu bertempur”
“Tidak” sahut
Macan Kepatihan.
“Apa yang
tidak, tuan? Apakah tuan tidak bertanya bahwa pemimpin-pemimpn tuan pernah
berkata demikian? Atau apakah tuan tidak percaya bahwa orang-orang Jipang juga
jenuh bertempur? Atau tuan tidak percaya bahwa setiap orang sudah jemu melihat
pertempuran?”
“Aku tidak
percaya bahwa pemimpin-pemimpin Pajang berkata demikian. Aku juga tidak percaya
bahwa orang-orang Jipang telah jemu bertempur pula. Dan aku juga tidak percaya
bahwa setiap orang sudah jemu melihat pertempuran.”
“Jadi jelasnya
tuan tidak percaya kepadaku?”
“Bukan.
Mungkin orang Pajang berkata kepadamu. Tetapi mereka tidak berkata yang
sebenarnya.”
“Mereka
berbohong? Apakah gunanya?”
“Orang-orang
Jipang pun tidak pernah merasa jemu bertempur. Mereka sedang memperjuangkan
sebuah cita-cita. Dan cita-cita itu akan mereka bawa mati.”
“Cita-cita?
Bertanya Ki Tanu Metir,
“apakah
sebenarnya cita-cita itu bagi orang Jipang? Apakah mereka akan menghidupkan
kembali dan meletakkan Arya Jipang yang sudah gugur itu apabila mereka sudah
berhasil? Tuan. Apakah tuan tidak sependapat dengan pemimpin-pemimpin tuan?
Bahwa sebenarnya di antara mereka dan orang-orang Jipang itu tidak terdapat
soal-soal yang tidak perlu melibatkan mereka dalam pertentangan yang
berlarut-larut? Pemimpin-pemimpin tuan itu berkata, bahwa orang-orang Jipang
yang sekarang masih mengangkat senjata, sebenarnya hanyalah orang-orang yang
keras hati dalam kesetiakawanan mereka. Kalau mereka setia pada cita-cita
mereka semula, maka cita-cita itu tidak akan dapat terlaksana. Apa pun yang
akan mereka lakukan. Seandainya orang-orang Pajang akhirnya dapat mereka
tumpas, namun trah Sekar Seda Lepen, dasar dari perjuangan Arya Penangsang
telah punah. Tak ada orang yang dapat menempatkan diri sebagai penerus
cita-cita itu. Tak ada orang yang dapat menamakan diri trah Sekar Seda Lepen.”
“Tetapi itu
adalah perjuangan menuntut keadilan. Siapakah yang membunuh Sekar Seda Lepen?
Kalau Sekar Seda Lepen tidak terbunuh, apakah Arya Penangsang tidak akan naik
ke atas tahta?”
“Ya,ya. Pemimpin
tuan juga mengatakan dasar tuntutan orang-orang Jipang itu, sekarang tuan juga
mengatakan.
“Oh” Tohpati
mengusap kumisnya. Hampir-hampir ia lupa, bahwa ia mengaku sebagai orang
Sangkal Putung.
Tetapi tak
seorang pun tahu pasti, apa yang terjadi dengan Sekar Seda Lepen. Terdengar Ki
Tanu Metir meneruskan,
“dan semua itu
telah lampau. Kalau kita tenggelam dalam urut-urutan dendam, kapan kita akan
berhenti berkelahi sesama kita?”
Tohpati
terdiam. Sesaat sambil mengurut-urut kumisnya yang tebal melintang. Di dalam
hatinya timbullah berbagai pertanyaan tentang orang tua yang mengaku berasal
dari padukuhan Benda itu. Macan Kepatihan sama sekali tidak dapat mengerti,
kenapa orang-orang dari Benda dapat berkata-kata seperti yang diucapkan oleh
orang tua itu.
“Mungkin
orang-orang Widura, atau Widura sendiri pernah berkata demikian seperti yang
dikatakannya tadi.” Berkata Tohpati dalam hatinya. Kemudian suara di dalam
hatinya itu berkata pula,
“Apakah
benar-benar Widura dan Untara sudah jemu bertempur?” Tohpati kemudian
menggelengkan kepalanya ketika di dalam hatinya terbetik suatu pertanyaan,
“Apakah
orang-orang Jipang tidak jemu bertempur? Kapankah pertempuran itu akan
berakhir?”
“Tidak”
kata-kata orang itu dibantahnya sendiri di dalam hatinya pula,
“Aku tidak akan
pernah jemu bertempur. Syukurlah kalau orang-orang Pajang telah menjadi jemu.
Itu adalah pertanda pertama bahwa mereka telah sampai ke tepi jurang kehancuran
mereka.”
Tetapi Tohpati
itu terkejut ketika Ki Tanu Metir berkata pula,
“Nah, Tuan.
Kalau tuan tidak sedang mengejar-ngejar orang Jipang, maka tuan akan dapat
hidup di dalam lingkungan keluarga tuan. Di dalam lingkungan anak istri tuan
kalau tuan sudah punya. Kalau tidak, maka ibu tuan dan ayah tuan tidak akan
selalu menunggu tuan diambang pintu halaman”
“Kami bukan laki-laki
cengeng” sahut Tohpati,
“Setiap
perjuangan memerlukan pengorbanan. Kau pun harus mengorbankan berasmu untuk
perjuangan ini. Nanti siang aku akan segera datang ke Benda untuk mengambil
beras itu”
“Jangan tuan,
jangan hari ini. Tuan pasti akan kecewa, sebab perempuan-perempuan kami belum
menumbuk padi. Besok atau lusa baru tuan dapat datang mengambilnya”
“Aku perlu
hari ini. Katakan kepada penduduk Benda, bahwa laskar Pajang tidak dapat
menunda kebutuhannya. Siapa yang tidak tunduk kepada setiap perintah laskar
Pajang, maka ia akan dihabisi jiwanya. Kau dengar?”
“Huh, tuan
menakut-nakuti kami. Laskar Jipang pun tidak mengancam sekasar itu, tuan.
Apakah tuan sedang bersenda gurau?”
Tohpati
tersenyum di dalam hati. Kalau ia dapat memisahkan laskar Pajang dari kekuatan
rakyat yang mendukungnya, maka kekuatan Pajang pasti akan berkurang.
Setidak-tidaknya di Sangkal Putung. Karena itu, maka jawabnya,
“Persetan
dengan laskar Jipang. Apakah mereka juga sering mengambil beras ke padukuhan
Benda?”
“Ya tuan,
kadang-kadang. Tetapi mereka tidak pernah mengancam seperti tuan”
“Jipang
ternyata sedang berusaha mendekatkan dirinya kepada orang-orang padesan untuk
mendapat dukungan. Tetapi Pajang lah yang berkuasa atas kalian, sehingga kalian
tidak bebas membantah perintahnya”
Mata Agung
Sedayu dan Swandaru yang sejak tadi duduk mematung, tiba-tiba memancarkan
kemarahannya yang selama ini ditahan di dalam hatinya. Mereka tidak dapat
mendengar fitnahan yang sedemikian tajamnya atas laskar Pajang yang berada di
Sangkal Putung. Tetapi sebelum mereka berbuat sesuatu, maka dengan isyarat
tangan yang disembunyikan di balik batu, Ki Tanu Metir telah mencegah mereka
berbuat sesuatu.
Dalam pada
itu, maka terdengar Ki Tanu Metir itu berkata pula,
“Nah, itulah tuan.
Kalau kalian, tuan-tuan tidak saling bertentangan, maka tuan-tuan tidak perlu
berebut pengaruh atas rakyat padesan. Tuan-tuan dapat berbuat banyak untuk
orang-orang kecil seperti kami ini”
“Tidak
mungkin. Mereka bertentangan kepentingan. Kami orang-orang Pajang akan
mempertahankan kemenangan kami, meskipun kami tahu, bahwa tuntutan Arya
Penangsang itu adil”
Mendengar
kebohongan itu, hampir-hampir Swandaru dan Agung Sedayu tidak dapat menguasai
diri. Tetapi sekali lagi Ki Tanu Metir memberinya isyarat.
“Ya,
katakanlah bahwa tuntutan Arya Penangsang itu adil. Tetapi garis keturunan yang
sekarang memegang kekuasaan atas Demak telah patah. Putra-putra Sultan
Trenggana telah hampir punah pula. Pangeran Prawata telah dibunuh oleh Arya
Penangsang. Sunan Hadiri dari Kalinyamat. Kemudian yang terakhir tetapi gagal
adalah Adipati Jipang. Katakanlah bahwa Arya Penangsang sedang berjuang menuntut
warisan. Lalu, apakah Adipati Hadiwijaya di Pajang harus dengan rela hati
menyerahkan lehernya untuk dipancung? Sedang Hadiwijaya itu sama sekali tidak
tahu menahu tentang terbunuhnya Sekar Seda Lepen. Bukankah Adipati Pajang pun
merasa, bahwa kini sedang memperjuangkan keadilan? Nah tuan, selama keadilan
itu dilihat dari sudut yang berbeda-beda, maka keadilan itu sendiri tidak akan
dapat serupa bentuknya. Karena itu maka yang paling baik adalah apa yang
dikatakan pemimpin tuan. Menjemukan. Pertentangan yang berlarut-larut adalah
menjemukan sekali. Pertentangan itu tidak akan dapat memberikan apa-apa kepada
kami. Kepada orang-orang kecil. Bahkan hanya akan menguras lumbung-lumbung
kami. Beras-beras kami dan hidup kami akan menjadi semakin kering. Tetapi kalau
tuan tidak saling bertentangan menimbang dendam di hati, maka kami akan dapat
bekerja dengan baik, dengan tenang, dengan tentram. Dan tuan-tuan yang
bijaksana akan dapat menuntun kami, tidak dalam olah senjata, tidak dalam
bermain pedang dan tombak, tetapi dalam olah tetanen dan kebutuhan kami
sehari-hari”
Macan
Kepatihan terdiam pula sesaat. Kata-kata itu benar-benar menyentuh sudut
hatinya. Tetapi tiba-tiba terdengar orang yang berdiri di sampingnya,
Sanakeling, tertawa terbahak-bahak. Katanya,
“He pak tua.
Darimana kau dengar uraian yang melingkar-lingkar itu?”
Ki Tanu Metir
memandang orang yang berdiri di samping Macan Kepatihan itu. Kemudian jawabnya,
“Sebagian aku
dengar dari pemimpin-pemimpin tuan sendiri. Dari orang yang bernama Widura dan
yang lain bernama Untara”
Sekali lagi
Macan Kepatihan mengerutkan keningnya. Kalau Widura dan Untara berpendirian
demikian, maka apakah sebenarnya yang telah mendorong mereka, orang-orang
Pajang dan orang-orang Jipang saling berbunuhan? Namun kembali Sanakeling
berkata, “Mungkin pemimpin-pemimpin kami sedang berputus asa karena mereka
tidak segera berhasil menguasai keadaan di sini, begitu?”
Swandaru dan
Agung Sedayu menjadi benar-benar muak mendengar percakapan itu. Mereka menjadi
heran, kenapa Ki Tanu Metir masih juga telaten berbicara dengan Macan
Kepatihan. Apalagi orang yang berdiri di sampingnya itu.
Yang paling
sukar untuk mengendalikan dirinya adalah Swandaru. Hampir-hampir ia berteriak
memaki-maki. Untunglah bahwa Agung Sedayu yang agaknya lebih tenang
menggamitnya. Agung Sedayu yang sejak masa anak-anaknya selalu menghindari
bentrokan-bentrokan, ternyata berpengaruh juga sampai saat ini. Meskipun
alasannya telah berbeda. Dahulu Agung Sedayu menghindari setiap bentrokan
dengan siapa pun juga karena ia takut mengalami. Tetapi sekarang, ia
menghindari bentrokan karena pertimbangan lain. Kali ini gurunya tidak
mengijinkannya. Kebiasaannya untuk menghindari setiap pertentangan pada masa
kecilnya ternyata membantu memperliat hatinya, menambah kesabarannya. Karena
ini, apalagi di samping gurunya, ia sama sekali tidak takut bertempur dengan
beberapa orang yang berada di atas tebing. Namun gurunya mengisyaratkan
kepadanya untuk tetap tenang dan menghindari betrokan. Meskipun Agung Sedayu
tidak tahu benar alasan gurunya, namun ia mematuhinya.
Ki Tanu Metir
yang mendengar kata-kata orang yang berdiri di samping Macan Kepatihan menjadi
seakan-akan terkejut. Kemudian sambil mengangkat kepalanya ia bertanya,
“Apakah
pemimpin-pemimpin kalian benar-benar berputus asa?”
“Tentu” sahut
Sanakeling,
“Kalau tidak,
maka ia pasti tidak akan mengigau seperti itu. Perang adalah kewajiban seorang
prajurit. Jadi apabila ada seorang prajurit yang tidak mau berperang, maka ia
adalah seorang prajurit yang tak bernilai”
“Oh, jadi
apabila keadaan Pajang dan Jipang telah menjadi baik kembali, maka apakah
Adipati Pajang akan memecat semua prajuritnya?”
“Ah, orang tua
yang bodoh. Tentu tidak. Negara yang tidak mempunyai prajurit maka negara itu
akan tidak berarti. Setiap saat lawan mereka akan dengan senang hati merampok
segala miliknya”
“Oh, jadi
apabila peperangan yang satu sudah selesai, maka setiap negara perlu membuat
persoalan dengan negara lain?”
“He, kenapa?”
“Prajurit dan
perang adalah satu, menurut tuan yang di samping itu”
Macan
Kepatihan tertawa. Sanakeling akhirnya tertawa juga.
“Alangkah
bodohnya pertanyaan itu” gumam Sanakeling. Tetapi Macan Kepatihan menggelengkan
kepalanya. Gumamnya,
“Tidak.
Pertanyaan itu bukan pertanyaan yang bodoh. Ia telah mengambil kesimpulan yang
tepat dari kata-katamu sendiri”
“Tetapi
maksudku bukan begitu kakang. Maksudku, setiap prajurit harus bersedia
berperang, tidak boleh jemu”
“Jelaskan
kepada orang tua itu, jangan kepadaku” potong Macan Kepatihan.
“Oh”
Sanakeling mengerutkan keningnya. Dipandangnya orang tua yang duduk di atas
batu dibawah. Kakinya berjuntai terendam di dalam arus sungai yang tidak
sedemikian keras. Tiba-tiba wajah Sanakeling menjadi tegang. Dan dengan
bersungguh-sungguh ia berkata,
“Marilah kita
tinggalkan orang tua gila itu”
Sanakeling
tidak menunggu jawaban Macan Kepatihan. Segera ia memutar tubuhnya dan berjalan
menjauhi tebing sungai itu bersama beberapa orang yang lain. Namun ketika Macan
Kepatihan akan beranjak pergi, maka Ki Tanu Metir itu memanggilnya,
“Tuan”
katanya, “Tunggulah sebentar”
Macan
Kepatihan berhenti. Ditatapnya wajah Ki Tanu Metir yang kedinginan. Katanya,
“Ada apa
kakek?”
“Tuan, apakah
nanti tuan akan datang kepadukuhan kami?”
“Tentu.
Prajurit Pajang tidak dapat menunggu lebih dari saat yang telah ditentukannya
sendiri. Orang yang mencoba menghambat perintahnya, maka ia akan dibinasakan”
“Tuan” berkata
Ki Tanu Metir, “Berapa tahun peperangan ini akan berakhir?”
“Kenapa?”
“Aku ingin
menghitung umurku dengan kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi, tuan. Kalau
peperangan ini masih akan berlangsung lama maka aku akan melihat padukuhanku
benar-benar menjadi kering, dan anak cucuku pasti akan mati kelaparan. Sebab
beras-beras kami akan selalu mengalir keluar padukuhan kami. Sekali harus kami
serahkan kepada tuan. Kepada laskar Pajang. Sekali yang lain kepada laskar
Jipang”
“Kenapa kau
beri juga beras kepada orang-orang Jipang?”
“Mereka datang
dengan senjata di tangan tuan. Apakah yang dapat kami lakukan? Baik orang
Pajang maupun orang Jipang. Dan sebenarnyalah pemimpin-pemimpin tuan menjadi
jemu berperang. Apakah tuan tidak? Seorang prajurit Pajang pernah berkata
kepadaku, bahwa ketika ia berangkat ke medan perang, anaknya baru berumur tiga
hari. Anak yang lahir dari istrinya tercinta, setelah mereka hampir sepuluh
tahun kawin. Prajurit itu berkata ‘Kalau aku pulang nanti, anakku pasti sudah
besar. Tetapi ia pasti takut melihat wajahku yang setiap hari menjadi semakin
buas karena bau darah’. Tuan, benarkah demikian? Apakah prajurit yang selalu
berada di peperangan menjadi buas, eh, maksudku keras?”
Tohpati
melangkah kembali ke tebing sungai itu. Ia tertarik mendengar kata-kata Ki Tanu
Metir. Pertanyaan yang didengarnya itu benar-benar telah menyentuh hatinya. Dan
tanpa setahunya ia menganggukkan kepalanya,
“Ya. Mungkin
prajurit itu benar. Setiap hari seorang prajurit dihadapkan pada saat-saat yang
tegang dan melihat kekerasan”
“Apakah tuan
tidak berpendapat bahwa ketegangan dan kekerasan itu sebaiknya berakhir?”
Tohpati
tiba-tiba mengerutkan keningnya. Dan dengan serta-merta ia melangkah surut. Ia
tidak mau mendengarkan pertanyaan-pertanyaan orang tua itu mebih banyak lagi.
Pertanyaan-pertanyaan yang mengetuk dinding hatinya. Dinding hati seorang
manusia yang kebetulan menjadi seorang prajurit. Seorang manusia yang kebetulan
memiliki senjata di tangannya dan sedang memperjuangkan kehendak dan cita-cita
dengan senjata itu. Bahkan mencoba memaksakan kehendak itu kepada orang lain
dengan tajam senjatanya, baik atau tidak baik menurut penilaian orang lain. Tohpati
kini tidak mau mendengarkan lagi Ki Tanu Metir memanggilnya. Cepat ia berputar
dan melangkah pergi meninggalkan orang tua yang duduk berjuntai di atas batu.
Beberapa langkah daripadanya berdiri Sanakeling bertolak pinggang. Di
sampingnya dua orang kawannya sedang mengais-ngais tanah dengan ujung
pedangnnya.
“Kenapa orang
tua gila itu masih saja dilayani” gumam Sanakeling.
Macan
Kepatihan tidak menjawab. Ia berpaling sejenak, namun ia berjalan terus sambil
menundukkan wajahnya. Sanakeling pun kemudian berjalan pula di belakangnya
bersama kedua orang yang berdiri di sampingnya. Dikejauhan tiga orang berjalan
mendekati mereka dan berjalan dalam rombongan itu pula. Dan mereka masih
mendapat kawan seorang lagi. Seorang anak muda yang bermata tajam, setajam mata
burung alap-alap. Mereka adalah orang-orang yang harus mengawasi keadaan selama
Tohpati berhenti di tepi sungai. Untunglah bahwa Alap-alap Jalatunda tidak
turut menjenguk ke dalam sungai itu. Apabila demikian, maka ia pasti tidak akan
melupakan Agung Sedayu.
Sepeninggal
Macan Kepatihan, Swandaru tidak sabar lagi, sehingga dengan serta-merta ia
bertanya,
“Kiai, Tohpati
itu ternyata telah datang ke hadapan Kiai. Kenapa orang itu tidak saja Kiai
tangkap? Tidakkah dengan demikian maka pertempuran yang Kiai katakan menjemukan
itu akan segera berakhir?”
“Tidak mungkin
ngger. Apakah kita bertiga akan mampu menangkapnya?”
“Kenapa tidak?
Bukankah mereka hanya berempat atau lima orang? Kiai sendiri pasti akan mampu
melakukannya”
“Mungkin aku
mampu mengalahkan lima orang itu. Tetapi bagaimana dengan kalian? Lihatlah,
apakah mereka benar-benar hanya berlima?”
“Bukankah aku
masih dapat menghitung demikian baik?” sahut Swandaru dengan nada tinggi.
“Belum tentu.
Coba, tengoklah sekarang”
Swandaru
menjadi ingin membuktikan kebenaran kata-kata Ki Tanu Metir. Karena itu segera
ia meloncat berlari ke tebing. Dengan tergesa-gesa ia mendaki tebing, dan
dengan hati-hati ia mencoba mengintip Macan Kepatihan yang sudah berjalan agak
jauh. Ketika dilihatnya rombongan itu, Swandaru menarik nafas dalam-dalam.
Ternyata Ki Tanu Metir benar. Mereka tidak hanya berlima atau berenam. Tetapi
sekarang rombongan itu menjadi tidak kurang dari sepuluh orang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar