Tetapi Agung Sedayu tetap membisu. Dan Demang itu pun kemudian tidak berkata-kata lagi, setelah mereka naik ke pendapa. Demikian mereka naik ke pendapa, dada Agung Sedayu pun berdesir tajam. Dilihatnya di pendapa itu, terbaring beberapa orang laki-laki yang sedang nyenyak tidur. Di bawah cahaya lampu minyak, tampaklah wajah-wajah mereka yang keras tajam. Sedang beberapa orang di antaranya tumbuh janggut, jambang dan kumis yang lebat di wajah-wajah mereka. Mereka terbaring berjajar-jajar di atas tikar selapis. Namun tampaklah betapa nyenyak mereka itu. Sedang di sudut pendapa Agung Sedayu melihat beberapa tangkai tombak dan di dinding-dinding tersangkut pedang perisai dan keris. Pemandangan yang bagi Agung Sedayu benar-benar tidak sedap. Laki-laki berwajah keras dan senjata-senjata. Dan tiba-tiba saja teringat pula olehnya, bahwa di pinggangnya pun terselip sebilah keris. Ia tidak tahu, apakah keris itu akan berguna baginya, atau malahan berbahaya baginya. Tetapi kakaknya memintanya untuk membawa keris itu. Dengan tidak berkata-kata lagi mereka menyeberangi pendapa, menuju ke pringgitan. Di pringgitan itu dilihatnya sebuah warana yang memisahkan sebuah ruangan kecil. Di ruangan kecil itulah Widura sedang tidur pula.
“Di situlah
adi Widura sedang beristirahat” berkata demang itu. Dan tiba-tiba saja dada
Sedayu menjadi berdebar-debar. Apakah kata paman Widura itu, kalau dilihatnya
ia datang di saat-saat yang begini.
Demang itu pun
berbisik pula,
“Duduklah
ngger. Biarlah aku sendiri yang membangunkannya”
Namun Widura
adalah seorang prajurit terlatih. Karena itu meskipun ia tertidur nyenyak,
namun telinganya dapat bekerja dengan baiknya. Sehingga demang Sangkal Putung
itu sebenarnya tidak perlu membangunkannya. Sejenak mereka berdua masuk, dan
pintu pringgitan itu bergerit meskipun perlahan-lahan, Widura telah terbangun
karenanya. Namun ia tidak segera bangkit. Ia ingin tahu, siapakah yang datang
ke pringgitan itu. Tetapi ketika didengarnya suara Ki Demang, maka
hampir-hampir saja ia tidur kembali kalau tidak segera disadarinya, bahwa
kecuali pak Demang ada orang lain. Bukan dari anak buahnya.
Ketika Ki
Demang itu berjalan perlahan-lahan dan hati-hati supaya tidak megejutkan orang
yang dibangunkannya, dan menjengukkan kepalanya dari sisi warana, Demang itu
tersenyum asam,
“Hem”
desisnya,
“Ternyata aku
tidak perlu membangunkan adi”
Widura sudah
duduk di sisi ranjangnya ketika Demang Sangkal Putung itu menjenguknya,
“apakah ada
seorang tamu yang ingin menemui aku?” bertanya Widura.
“Ya adi” jawab
Demang Sangkal Putung,
“Demikian
pentingnya sehingga tak sabar lagi menunggu esok”
“Siapa?”
bertanya Widura.
“Angger Agung
Sedayu” jawab Demang.
“Agung
Sedayu?” Widura terkejut, dan segera ia bangun dari pembaringannya, sebuah
bale-bale bambu. Dengan tergesa-gesa ia melangkah keluar. Ketika dilihatnya
Agung Sedayu duduk terkantuk-kantuk hampir ia tidak percaya. Desisnya,
“Kau Sedayu”.
Sedayu
mengangguk. Jawabnya,
“Ya paman” .
“Sendiri?”
pertanyaan itulah yang bertama-tama dilontarkannya.
“Ya paman”
jawab Sedayu pula.
Namun
terpancarlah keheranan di wajah Widura. Seakan-akan ia tidak percaya bahwa
Agung Sedayu datang seorang diri. Ditebarkannya pandangannya berkeliling. Tak
ada orang lain.
Widura pun
segera duduk di hadapan anak itu dengan penuh pertanyaan di dalam dadanya. Dan
Sedayu pun tidak menunggu pamannya itu bertanya kepadanya. Katanya,
“Paman, aku
disuruh kakang Untara untuk menemui paman sebelum fajar”
“Untara?”
bertanya Widura dengan kening yang terangkat. Sebab pasti ada sesuatu hal yang
memaksa, sehingga Agung Sedayu lah yang datang kepadanya. Apalagi Widura telah
mengenal anak itu baik-baik, sebaik ia mengenal anaknya sendiri.
“Dimana
kakakmu?”
“Nantilah aku
ceriterakan paman” jawab Agung Sedayu, seakan-akan ia adalah seorang yang cakap
dalam menanggapi setiap persoalan.
“Ada yang
lebih penting dari kakang Untara”
“Oh” sahut
pamannya, “Apakah itu?”
Maka Agung
Sedayu menyampaikan berita yang pernah didengarnya dari mulut kakaknya dan
orang aneh yang menamakan dirinya Kiai Gringsing, meskipun ia sama sekali belum
menceriterakan apa-apa tentang orang bertopeng itu. Widura mendengarkan berita
itu dengan penuh minat. Diperhatikannya kata demi kata yang keluar dari mulut
Sedayu. Dan tiba-tiba ia bertanya,
“Kenapa Untara
sendiri tidak datang kemari? Apakah anak itu sudah harus kembali ke Pajang?”
“Belum paman”
sahut Sedayu,
“Kakang Untara
masih akan tinggal di rumah. Tugasnya di sekitar Jati Anom belum selesai” Dan
dengan serba singkat diceriterakannya bagaimana mereka berdua dicegat oleh pande
besi Sendang Gabus, Alap-alap Jalatunda dan dua orang kawannya, sehingga Untara
terluka karenanya. Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun sempat juga ia
bertanya,
“Kau dan
kakakmu bertempur berpasangan?”
Agung Sedayu
menggerutu di dalam hatinya. Pamannya masih saja suka menggodanya. Tanpa
disengaja ia menoleh, memandangi wajah Demang Sangkal Putung yang tegang itu.
Ia tidak akan dapat berbohong kepada pamannya, namun ia malu mengakuinya di
hadapan orang lain. Pamannya melihat kesulitan itu, maka segera ia bertanya,
“Adakah Untara
akan segera menyusul?”
“Aku tidak
tahu paman” jawab Sedayu,
“Luka itu
agaknya parah juga”
“Baiklah”
berkata Widura itu kemudian,
“Kami sangat
berterima kasih kepadamu dan kepada Untara. Waktu kita tinggal sedikit. Lain kali
kau dapat berceritera tentang perjalananmu itu lebih panjang lagi. Kami pasti
akan sangat senang mendengarkannya. Tetapi sekarang aku menghadapi pekerjaan
yang berat” Lalu kepada demang Sangkal Putung itu Widura berkata,
“Kakang
Demang. Persoalannya pasti akan menyangkut kademangan ini pula. Lumbung padi
dan palawija serta segala kekayaan kita harus kita selamatkan. Persediaan
makanan itu sangat berarti bagi kita dan bagi sisa-sisa laskar Penangsang itu.
Karena itu, apakah kakang Demang bersedia menyerahkan Jagabaya dan anak buahnya
kepada kami untuk bersama-sama mempertahankan lumbung itu?”
“Tentu adi”
jawab Demang itu,
“Sebab apabila
lumbung itu lenyap, kami pun akan kelaparan, isteri-isteri kami dan anak-anak
kami. Dan dengan demikian kami pun tidak akan dapat membantu perbekalan untuk
Pajang”
“Terima kasih
kakang” sahut Widura,
“Siapkan
mereka. Jangan dipergunakan tanda-tanda. Kita harus bersiap dengan diam-diam
supaya laskar Penangsang itu tidak mengetahui persiapan kita. Tempatkan mereka
di halaman banjar desa. Aku akan menyiapkan orang-orangku. Segera kita akan
bersama-sama mengambil keputusan, apa yang akan kita jalankan”
Sangkal Putung
yang diam itu, kemudian seakan-akan terbangun dari tidurnya. Hilir mudiklah
laki-laki bersenjata di jalan-jalan desa. Tak ada sebuah tengara pun yang
terdengar. Dari jauh desa itu masih nampak dipeluk mimpi. Namun sebenarnya desa
Sangkal Putung itu telah dicengkam oleh kegelisahan. Sesaat kemudian beberapa
orang laki-laki yang tegap-tegap, para pemimpin kelompok telah berkumpul di
pringgitan itu. Seorang laki-laki berkumis panjang, seorang yang lain,
rambutnya yang panjang dibiarkan terurai dibawah ikat kepalanya. Namun beberapa
orang yang lain tampak tenang-tenang dan berpakaian rapi. Melihat beberapa
orang yang keras dan kasar itu, Agung Sedayu menjadi kecewa. Disangkanya laskar
Pajang adalah orang-orang yang halus, tampan dan bersih seperti kakaknya. Tidak
disangkanya bahwa di dalam laskar Pajang itu pun ada di antaranya orang-orang
yang mirip bentuknya seperti pande besi Sendang Gabus. Widura dengan tenang
mengulangi keterangan-keterangan dan berita yang disampaikan Sedayu kepada
mereka. Satu demi satu dan telah pula ditambahnya dengan
kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi atas Sangkal Putung itu. Sesaat
kemudian pringgitan itu menjadi sepi. Masing-masing sedang mencoba merenungkan
dan membayangkan apa yang akan terjadi. Dan tiba-tiba kesepian itu dipecahkan
oleh suara seorang yang sudah setengah umur duduk di sudut ruang itu. Katanya,
“adakah Ki
Lurah sependapat dengan aku, bahwa laskar Penangsang itu adalah laskar yang
beberapa hari yang lampau berkeliaran di Karang Anom?”
“Ya” Widura
mengangguk,
“Aku
sependapat”
“Kalau demikian”
orang itu meneruskan,
“Laskar itu
dipimpin langsung oleh Macan Kepatihan Jipang”.
Semua orang
serentak menoleh kepada orang itu, dan kemudian memandang wajah Widura seperti
minta penjelasan. Widura pun kemudian menjawab,
“Aku kira
demikian. Laskar itu dipimpin oleh Tohpati, yang juga disebut Macan Kepatihan,
kemanakan Patih Mantahun”
Terdengar
beberapa orang menggeram, dan berkata salah seorang,
“Laskar di
Karang Anom telah bergerak ke timur. Tidak ke barat”
“Sekarang
ternyata, gerakan itu adalah sebuah cara dari mereka untuk mengelabuhi kita.
Dan kita pun agaknya hampir-hampir saja ditelan oleh macan yang cerdik itu.
Untunglah Untara ada di Jati Anom. Dan untunglah bahwa Sedayu sempat
menyampaikan berita itu kepada kita”
Semua mata pun
kemudian memandang Sedayu dengan penuh ucapan terima kasih. Mereka mendapat
kesempatan membela diri sebelum mereka diterkam oleh Macan Kepatihan yang
cerdik itu.
“Kalau angger
Untara sekarang ada di sini” desis orang setengar umur di sudut itu.
“Kenapa?”
bertanya yang lain.
“Macan itu
tidak akan berbahaya” jawab orang sengah umur itu. Beberapa orang mengangguk-anggukkan
kepalanya. Namun salah seorang dari mereka, seorang yang berwajah tampan dan
bergelang akar dipergelangan kirinya tampak tersenyum. Senyum yang aneh. Agung
Sedayu melihat senyum itu, dan tiba-tiba hatinya menjadi tidak tenang.
Yang berkata kemudian
adalah Widura,
“Kita tidak
akan menunggu mereka. Kita sambut mereka di prapatan Pandean. Kita pagari desa
ini dengan benteng pendem. Karena agaknya laskar mereka lebih besar, maka
mereka kita sergap sebelum mereka menyadari kehadiran kita”.
Orang-orang
itu pun mengangguk-angguk. Dan tiba-tiba berkatalah orang setengah umur itu,
“Meskipun
angger Untara tidak di sini, bukankah telah dikirim adiknya untuk menjinakkan
Macan Kepatihan itu?”
Dada Agung
Sedayu seperti akan meledak mendengar kata-kata orang setengah umur itu.
Bukankah dengan demikian berarti ia harus berhadapan dengan Macan Kepatihan
itu? Meskipun Agung Sedayu belum pernah melihat orang yang bernama Tohpati dan
bergelar Macan Kepatihan, namun mendengar namanya saja, Agung Sedayu sudah hampir
pingsan. Apalagi kalau ia harus melawannya. Lututnya tiba-tiba menjadi gemetar,
ketika beberapa orang mengangguk-angguk dan bergumam,
“Tak ada
bedanya. Untara atau adiknya”. Dengan tidak disadarinya, Sedayu memandangi
wajah pamannya, seperti seekor anak ayam yang minta perlindungan pada induknya.
Widura melihat
tatapan mata Sedayu yang penuh kecemasan itu. Karena itu ia tersenyum, dan
dengan tenangnya ia berkata,
“Sedayu, kami
akan berterima kasih sekali apabila kau memenuhi permintaan itu. Tetapi aku kira,
kau telah cukup berjasa kepada kami dengan kehadiranmu ini” Kemudian kepada
orang-orangnya Widura berkata,
“Agung Sedayu
baru saja menempuh perjalanan yang berat. Berdua dengan Untara, anak ini
terpaksa bertempur melawan pande besi Sendang Gabus dan Alap-alap Jalatunda
sekaligus beserta dua orang kawannya. Karena itu, biarlah ia beristirahat”
Orang setengah
umur itu menjadi kecewa. Demikian pula agaknya beberapa orang lain. Terdengar
seorang di antara mereka berkata,
“Lalu siapakah
yang akan berhadapan dengan Macan yang garang itu?”
Kata-kata itu
adalah suatu pengakuan atas kesaktian Macan Kepatihan, sehingga mereka menjadi
cemas karenanya. Yang menjawab pertanyaan itu adalah Widura,
“Karena aku
yang bertanggung jawab atas kalian dan daerah ini, maka aku mencoba melawan
Tohpati yang sakti itu”
“Tetapi kalau
kakang Widura terikat dalam pertempuran melawan Macan Kepatihan, siapakah yang
akan memimpin kami?” bertanya yang lain.
Widura
terdiam. Tugasnya sedemikian berat, sehingga tidak segera dapat menjawab pertanyaan
itu. Tiba-tiba anak muda yang berwajah tampan dan bergelang akar di tangannya
itu berkata,
“Apakah aku
diperkenankan melawan Macan Kepatihan itu?”
Semua orang
memandang kepadanya dengan penuh pertanyaan. Anak itu masih muda. Tidak saja
muda umurnya, namun anak itu pun belum lama menggabungkan dirinya pada laskar
Pajang yang dipimpin oleh Widura itu. Namun memang di beberapa pertempuran
tampaklah ia melampaui ketrampilan kawan-kawannya sehingga dalam waktu yang
singkat anak itu telah diangkat menjadi salah seorang pemimpin kelompok
anak-anak muda dalam laskar Widura itu. Widura pun tidak segera menjawab. Ia
memang melihat kelebihan anak muda itu. Dan dikenalnya anak muda yang bernama
Sidanti itu sebagai salah seorang murid dari Ki Tambak Wedi dari lereng gunung
Merapi. Karena Widura ridak segera menjawab, Sidanti itu mendesaknya, katanya,
“Kakang
Widura, berilah aku ijin. Aku akan mencoba apakah nama yang menakutkan itu
sebanding dengan kesaktiannya”
Widura menatap
mata anak muda itu. Dilihatnya tekad yang menyala. Widura yang telah
berpengalaman itu melihat keberanian yang teguh terpancar pada wajah Sidanti.
Maka meskipun dengan agak ragu-ragu ia berkata,
“Aku akan
selalu memberikan kesempatan kepada kalian. Tetapi ketahuilah bahwa Tohpati itu
benar-benar orang yang luar biasa. Ia dapat bertempur seperti hantu yang tak
tersentuh tangan. Namun ia dapat menerkam, benar-benar segarang harimau belang”
“Ya” jawab
Sidanti,
“Aku pernah
mendengar ceritera itu. Tubuh Tohpati dapat berubah menjadi asap dan bernyawa
rangkap. Tetapi selama asap itu masih kasat mata, akan aku coba untuk
menangkapnya”
Widura
mengangguk-angguk. Ia pun pernah mendengar, bahwa Ki Tambak Wedi memiliki
kesaktian yang luar biasa pula. Bahkan demikian saktinya, sehingga orang
menyebutnya dapat menangkap angin. Apakah Sidanti juga mampu menangkap asap?
Kemudian
berkata Widura itu,
“Terserahlah
kepadamu Sidanti. Aku akan memberimu kesempatan” Meskipun demikian Widura tidak
sampai hati melepaskannya sendiri, maka katanya kepada dua orang lain,
“Hudaya dan
Citra Gati. Tugasmu adalah mengawasi keadaan Sidanti. Berilah kesempatan
kepadanya untuk melawan Macan Kepatihan itu, namun apabila keadaan tak
menguntungkan baginya, jangan biarkan macan itu mengganas. Berusahalah
bertempur tidak terlalu jauh daripadanya”
Hudaya,
laki-laki yang hampir diseluruh wajahnya ditumbuhi rambut, tertawa lirih.
Matanya yang bulat tajam, memandang Sidanti seperti tak mau melepaskannya.
Katanya,
“Baiklah.
Tetapi anak muda, jangan bermain-main dengan harimau itu”
“Baiklah
kakang” jawab Sidanti.
Citra Gati,
orang setengah umur yang mengharap kehadiran Untara itu pun tersenyum, katanya,
“Baiklah. Aku
sudah lama tidak melihat perkelahian yang berarti. Mudah-mudahan Angger Sidanti
dapat menyelesaikan pekerjaannya”
Sidanti tersenyum.
Namun wajah yang tampan itu rasa-rasanya begitu menakutkan bagi Agung Sedayu.
Mungkin terpengaruh oleh keberanian anak muda itu, atau mungkin karena Agung
Sedayu sendiri tak memiliki keberanian untuk melakukannya. Bahkan menyebut nama
Tohpati itu pun ia tak berani. Ia terkejut ketika Sidanti itu tiba-tiba saja
berkata kepadanya,
“Adi Sedayu,
biarlah aku mencoba melakukan pekerjaan yang seharusnya dipercayakan kepadamu.
Mudah-mudahan aku dapat melaksanakannya dengan baik. Bukankah begitu?”
Agung Sedayu
menjadi bingung, namun akhirnya ia menganggukkan kepalanya tanpa sepatah kata
pun yang dapat diucapkan. Sidanti menarik keningnya. Ia kini tidak tersenyum.
Sikap Agung Sedayu dianggapnya terlalu sombong. Katanya kemudian,
“Jangan
tersinggung adi. Bukankah kau terlalu lelah setelah bertempur melawan pande
besi Sendang Gabus dan Alap-alap yang cengeng itu. Nah, sekarang biarlah aku
melawan Macan Kepatihan yang garang, yang sekaligus akan dapat menelan lebih
dari sepuluh Alap-alap macam Pratanda itu”
Kembali dada
Sedayu berdesir. Sama sekali ia tidak merasa tersinggung dan sama sekali ia
tidak bermaksud apa-apa. Dengan demikian Agung Sedayu menjadi semakin
berdebar-debar. Sehingga anak muda itu semakin tidak tahu apa yang harus
dilakukan. Widura melihat keadaan itu. Maka katanya,
“Jangan
berprasangka Sidanti. Sedayu adalah seorang anak pendiam. Memang tabiatnya
berbuat demikian. Ia tidak tersinggung dan sama sekali tidak bermaksud
menyombongkan diri”.
Tetapi Sidanti
masih belum puas. Jawabnya,
“Adakah
Sidanti tidak cukup berharga untuk mendapat jawaban dengan kata-kata, tidak
hanya sekedar menganggukkan kepala. Jangan dinilai Sidanti sama harganya dengan
Alap-alap Jalatunda”
Semua yang
mendengar kata-kata itu menarik keningnya. Seorang yang berkumis lebat menyahut,
“Sudahlah
Sidanti, tidak baik kita ribut-ribut hanya karena salah paham”
“Aku tidak
mulai” jawab Sidanti.
Sedayu menjadi
semakin gemetar. Sama sekali tak diduganya bahwa anak yang tampan dan
tersenyum-senyum itu adalah seorang yang mudah sekali, ya, mudah sekali
tersinggung perasaannya. Untunglah bahwa ruangan itu tidak terlalu terang,
sehingga tak seorang pun yang sempat melihat wajah Sedayu yang pucat. Orang-orang
yang hadir di ruangan itu, yang sejak semula telah merasa berhutang budi kepada
Agung Sedayu, menilai sikapnya sebagai sikap yang dewasa. Agung Sedayu sama
sekali tidak melayani kemarahan Sidanti. Karena itu beberapa orang menjadi
semakin kagum karenanya. Orang yang berkumis lebat dan bertubuh raksasa
meneruskan kata-katanya,
“Kau salah paham
Sidanti. Sudahlah jangan mengada-ada”
Sedayu
mendengar kata-kata itu. Kata-kata yang diucapkan oleh orang yang bertubuh
kasar kaku. Namun ucapannya menunjukkan kematangan dan kehalusan budinya.
Tetapi orang yang setengah umur dan bernama Citra Gati bersikap lain. Desisnya
meskipun hanya perlahan-lahan,
“Sidanti. Kau
masih belum mengalahkan Macan Kepatihan itu. Jangan terlalu pagi mimpi menjadi
pahlawan”
Sidanti
mengerling kepada Citra Gati. Kemudian hampir kepada semua yang hadir. Agaknya
mereka berpihak kepada Agung Sedayu. Karena itu tiba-tiba Sidanti tersenyum.
Senyum yang aneh. Karena di balik senyum itu tersimpan bibit-bibit
ketidak-senangannya kepada Agung Sedayu. Widura yang tidak mau membiarkan
keadaan itu berlarut-larut segera berkata,
“Adakah kita
akan menyergap laskar Kepatihan ataukah kita ingin ribut-ribut soal yang sama
sekali tak berarti? Cepat tinggalkan tempat ini. Bersiaplah dengan anak buah
kalian masing-masing. Kita segera berangkat. Kita harus mencapai simpang empat
Pandean lebih dahulu”.
Widura tidak
menunggu lebih lama lagi. Ia mendapat kesan kurang menyenangkan dari pertemuan
ini. Karena itu ia sengaja mendahului, berdiri dan melangkah keluar sambil
berkata,
“Beristirahatlah
di pembaringanku Sedayu”
Orang-orang
lain pun segera mengikutinya. Satu-satu mereka melangkah keluar ruangan. Yang
terakhir adalah demang Sangkal Putung. Diperlukannya menghampiri Agung Sedayu
sambil berbisik,
“Terima kasih
ngger, kami penduduk Sangkal Putung tak akan pernah melupakan jasa angger kali
ini. Mudah-mudahan kami dapat membebaskan diri dari cengkraman Macan Kepatihan
itu. Kami tidak akan mengganggu ketentraman istrirahatmu anakmas. Namun apabila
terpaksa, aku akan mengirimkan seorang yang akan memberitahukan kepadamu,
apakah ada di antara kita yang mampu melawan Macan Kepatihan itu. Kalau tak
seorang pun yang mampu melawannya, jangan angger biarkan kami. Kami masih mohon
perlindunganmu”.
Agung Sedayu
tidak tahu, apakah yang akan dikatakan. Tetapi ia tidak akan berdiam diri, atau
menjawabnya dengan anggukan kepala saja. Ia takut kalau-kalau Demang Sangkal
Putung itu pun akan salah mengerti dan menyangkanya anak muda yang benar-benar
sombong. Karena itu, tanpa setahunya sendiri, ia menjawab terbata-bata,
“Ya, ya, Bapak
Demang”
Agaknya
jawaban itu telah cukup membesarkan hati Demang Sangkal Putung itu. Dengan
tersenyum ia mengangguk dalam-dalam. Katanya,
“Terima kasih
anakmas”
Maka pergilah
demang itu dengan hati yang lapang. Dilampauinya halaman rumahnya dan
ditemuinya Jagabaya Sangkal Putung. Diberinya orang itu beberapa keterangan dan
besiaplah kemudian anak-anak muda Sangkal Putung. Mereka siap dengan keteguhan
hati, menyelamatkan desa mereka, lumbung-lumbung mereka dan mempertahankan
dearah mereka dari sergapan laskar Macan Kepatihan. Sebab apabila mereka tidak
berhasil, maka untuk masa yang panjang Sangkal Putung akan mengalami paceklik.
Yang berdiri di paling depan adalah anak muda yang bulat kokoh meskipun tidak
begitu tinggi. Dengan mata yang berseri-seri ia menimang-nimang senjatanya.
Sabuah pedang bertangkai gading. Anak itu adalah anak Demang Sangkal Putung.
Swandaru. Namun agaknya anak muda itu tidak puas dengan namanya, maka
ditambahnya sendiri menjadi Swandaru Geni.
“Ayah” ia
bertanya kepada ayahnya,
“adakah Macan
Kepatihan itu sangat menakutkan?”
“Ia adalah
seorang yang sangat sakti nDaru” jawab ayahnya.
Swandaru
tertawa. Memang anak itu selalu tertawa, sedang di dadanya selalu tersimpan
keinginan dan cita-cita yang tanpa batas. Katanya,
“Apakah ukuran
kesaktian seseorang? Apakah Macan Kepatihan itu kebal? Biarlah aku nanti
mencoba melawannya”
Demang Sangkal
Putung menggelengkan kepalanya. Jawabnya,
“Dalam laskar
Adi Widura, seseorang telah menempati dirinya sebagai lawannya”.
“Siapa?”
bertanya anak muda itu.
“Angger
Sidanti” jawab ayahnya.
Swandaru
mengerutkan keningnya. Ia tidak begitu suka kepada Sidanti. Tetapi ia tidak
berani melawan anak itu. Sebab ia pernah ditampar pipinya. Ketika ia akan
membalas, tiba-tiba saja tangannya telah terpilin ke belakang. Sidanti dapat
bergerak secepat tatit. Tetapi Swandaru tidak puas dengan nasibnya itu. Ia sama
sekali tidak senang atas perlakuan Sidanti kepadanya.
“Sidanti lebih
tua beberapa tahun dari aku” pikirnya,
“Nanti pada
umurku setua Sidanti sekarang, aku harus sudah melampauinya” Dan Swandaru
ternyata tidak tinggal diam. Dengan tekun ia selalu berusaha menambah ilmunya.
Tetapi anak muda itu tidak pernah mengetahuinya bahwa Sidanti pun dengan
pesatnya maju. Dengan teratur anak muda itu selalu mendapat bimbingan dari
gurunya, Ki Tambak Wedi, meskipun tidak setiap hari. Dimana ada Sidanti berada
bersama laskar Widura, maka gurunya selalu datang kepadanya. Sepekan atau
sepuluh hari sekali. Sedang menurut pikiran Swandaru yang sederhana itu,
apabila ia berlatih terus, maka ilmunya pun akan masak dengan sendirinya.
Sedang bekal dari ilmunya itu diterimanya dari ayahnya, dari beberapa orang
sedesanya yang semuanya itu tidak ada yang melampaui, bahkan menyamai pun
tidak, dengan Sidanti sendiri. Meskipun demikian, Swandaru telah membawa bekal
dalam tubuhnya yang gemuk itu. Anak muda itu tenaganya bukan main. Dan ia
bangga pada kekuatannya itu. Setiap pagi ia berusaha menambah kekuatannya
dengan mengangkat apa saja yang dijumpainya. Batu-batu besar, kayu-kayuan dan
bahkan seekor anak kerbau. Dan kini anak Demang Sangkal Putung itu bersama
beberapa kawan-kawannya telah siap untuk bersama-sama dengan laskar Widura
menghadapi laskar Macan Kepatihan yang berusaha merebut perbekalan mereka. Pada
saat ayam jantan berkokok untuk yang terakhir kalinya, laskar Widura bersama-sama
anak-anak muda Sangkal Putung itu pun mulai bergerak. Dengan cepat mereka
berjalan ke Pandean. Seperti rencana semula, maka laskar itu pun segera
menyembunyikan diri di belakang puntuk-puntuk, parit dan pepohonan. Dengan hati
yang tegang mereka menunggu.
Sidanti duduk
bersandar sebatang pohon aren. Tangannya yang bergelang akar itu membelai
senjatanya, sebatang tombak pendek, dengan ujung tajam di kedua sisinya.
Manggala. Dan dinamainya senjatanya itu Kiai Muncar. Senjata pemberian gurunya,
yang selama ini dibangga-banggakan. Pada tangkai senjatanya itu terukir gambar
dua ekor ular yang saling membelit. Sedang pada kedua buah kepalanya yang
bertolak belakang, terjulurlah lidah ular itu. Dan lidah ular itulah kedua mata
nenggala yang bernama Kiai Muncar itu. Anak muda itu pun menunggu dengan hati
yang tegang. Yang berada di dalam kepalanya adalah Macan Kepatihan yang namanya
ditakuti hampir di seluruh Jipang dan Pajang. Sekali-sekali dipandanginya
senjatanya, seakan-akan ia bertanya kepadanya,
“Apakah kau
akan mampu melawan senjata Tohpati yang mengerikan itu?”
Dari gurunya
Sidanti pernah mendengar, bahwa Tohpati yang bergelar Macan Kepatihan itu
bersenjata sebuah tongkat baja putih. Di ujung tongkat itu terdapat sebuah
logam yang dinamainya besi kuning, berbentuk tengkorak. Karena itu maka Ki
Tambak Wedi yang agaknya telah mempersiapkan muridnya untuk melawan Tohpati
itu, dan membekalinya dengan senjata yang tak kalah dahsyatnya. Pada suatu kali
Ki Tambak Wedi itu pernah berkata kepada muridnya,
“Sidanti, di
Jipang, sepeninggal arya Penangsang dan Patih Mantahun, maka orang yang
ditakuti adalah Tohpati. Karena itu, bila kau dapat menangkapnya hidup atau
mati, maka namamu pun akan segera di tempatkan tepat di bawah nama Sutawijaya.
Sedang Sutawijaya itu bukanlah seorang yang perlu ditakuti pula. Apalagi putera
adipati Pajang itu sendiri. Kelak apabila kau telah mendapat kesempatan yang
baik dalam tataran keprajuritan di Pajang, maka bukanlah pekerjaan yang sulit
bagimu untuk menyingkirkan Sutawijaya. Biarlah Pemanahan, Penjawi dan Juru
Mertani kelak menjadi urusanku”
Sidanti
tersenyum. Terbayang di dalam angan-angannya sebuah jalan lurus ke istana
Pajang meskipun jauh. Tiba-tiba Sidanti terkejut ketika ia mendengar gemerisik
di belakangnya. Ketika menoleh dilihatnya Swandaru berjalan terbungkuk-bungkuk
kepadanya.
“Apa kerjamu?”
bertanya Sidanti berbisik.
Swandaru duduk
di sampingnya, dan dijawabnya lirih,
“Mencarimu.
Kau akan melawan Macan Kepatihan?”
Sidanti
mengangguk
“Sendiri?”
Kembali
Sidanti mengangguk.
“Aku ikut”
minta Swandaru
“Jangan gila”
desisi Sidanti.
“Kenapa?”
“Kita tidak
sedang bermain kucing-kucingan, tetapi kita akan menentukan hidup mati bagi
Sangkal Putung”
“Aku tahu,
karena itu Tohpati harus mati. Kita keroyok berdua”
“Jangan
mengigau. Kembali kekelompokmu”
“Aku di sini”
bantah Swandaru.
Sidanti
menjadi tidak senang. Karena itu ia membentak perlahan-lahan,
“Kembali. Atau
aku tampar mulutmu”
Swandaru
mengerutkan keningnya. Ia tidak mau ditampar untuk kedua kalinya. Karena itu ia
pun diam. Tiba-tiba mereka terkejut ketika mereka mendengar suara burung kulik.
Itulah pertanda bahwa laskar Macan Kepatihan telah dilihat oleh pengawas.
“Kembali
kekelompokmu” Sidanti mengulangi, dan Swandaru pun segera merangkak ke
kelompoknya.
Widura telah
berdiri di balik sebatang pohon yang berdiri di dekat perapatan. Dari kelokan
jalan di ujung bulak yang pendek ia melihat serombongan orang berjalan ke
Sangkal Putung. Namun mereka tidak melewati jalan di simpang empat itu. Mereka
segera meloncati parit, dan menyusur pematang, memotong langsung menuju Sangkal
Putung.
“Mereka
menyusuri pematang” bisik Ki Demang.
Widura tidak
segera menjawab. Tetapi tampaklah ia sedang berpikir. Tiba-tiba ia mendengar
suara burung kulik untuk kedua kalinya. Karena itu katanya,
“Bukan induk
pasukan. Itulah cara Macan Kepatihan memancing lawannya ke arah yang keliru”
Demang Sangkal
Putung mengerutkan keningnya. Gumamnya,
“Macan yang
cerdik”
“Macan itu
memang berotak terang” sahut Widura.
“Rombongan itu
akan menyerang dari arah utara. Mereka menyangka bahwa kita masih belum tahu
akan kedatangannya. Apabila kemudian laskarku dan anak-anak muda Sangkal Putung
menyongsongnya ke utara, maka induk pasukannya akan datang, dan melanda Sangkal
Putung dari jurusan ini”
Ki Demang
mengangguk-angguk. Tetapi timbullah persoalan di dalam dadanya, karena itu ia
bertanya,
“Kita menunggu
induk pasukan?”
“Ya, “jawab
Widura.
”Bagaimanakah
dengan orang-orang yang memintas di atas pematang itu?”
Widura
berpikir sejenak,
“Sedang aku
pikirkan” katanya. Dan sesaat kemudian ia memanggil selah seorang anak buahnya,
“Sonya”
katanya. Ketika yang dipanggil telah berdiri di sampingnya,
“Adakah kau
masih jagoan lari?”
Sonya
memandang Widura dengan penuh pertanyaan. Tetapi ia menunggu sampai Widura
memberinya penjelasan.
“Pancinglah
orang-orang itu”
“Apa yang
harus aku lakukan?” bertanya orang itu.
Widura mengerutkan
alisnya. Kemudian katanya,
“Mudah-mudahan
berhasil”. Widura itu berhenti sesaat. Kemudian dilanjutkannya,
“Muncullah
dari dalam parit. Berteriaklah memanggil mereka seakan-akan mereka adalah orang
Sangkal Putung. Apabila mereka telah berhenti, beritahukan kepada mereka, bahwa
kau melihat laskar datang untuk menyerang Sangkal Putung. Aku harap mereka
menjadi ragu-ragu. Nah sesudah itu kau akan mengatakan kepada mereka hal yang
sebenarnya. Laskar penyerang itu telah membagi kekuatannya. Yang memintas itu
adalah laskar pancingan, dan yang lain akan menyusul. Seterusnya kau harus
berlari ke Sangkal Putung. Bunyikan tanda bahaya”.
Sonya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tahu bahwa tugasnya tidak seberat harus
bertempur melawan mereka,
“Apa
selanjutnya?” ia bertanya.
“Serahkan
kepada kami” jawab Widura.
Sonya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan Widura masih memberinya beberapa petunjuk
dan penjelasan. Ia hanya harus berlari ke Sangkal Putung. Selebihnya tidak.
Meskipun demikian, apabila rencana itu meleset, maka ada juga bahayanya.
“Sekarang?”
bertanya orang itu.
“Ya, cepat,
sebelum mereka terlampau jauh ketengah persawahan” sahut Widura.
Sonya itu pun
kemudian merangkak, dan melompat ke dalam parit. Setelah ia menyusur parit itu
beberapa puluh tombak, maka diangkatnya kepalanya sambil berteriak nyaring,
“Hei, siapa
itu. Adakah kalian orang-orang Sangkal Putung?”
Di dalam
kesepian ujung malam suara itu melengking seperti membentur gunung Merapi.
Orang-orang yang berjalan di pematang itu pun mendengar suaranya. Serentak
mereka berhenti dan memandang ke arah suara itu. Pada saat itulah Sonya
meloncat dari dalam parit sambil mengulangi pertanyaannya. Rombongan yang tak
begitu besar itu pun berhenti. Mereka tegak berjajar di pematang seperti wayang
sedang di simping. Sesaat mereka saling berpandangan. Apalagi kemudian ketika
mereka mendengar suara Sonya berteriak,
“Hei dengar,
desa kalian akan mendapat serangan. Lihat sebentar lagi laskar itu akan datang”
Orang-orang
dalam rombongan itu pun saling bertanya-tanya. Siapakah orang yang
berteriak-teriak itu. Adakah ia orang Sangkal Putung? Tetapi bagaimanapun juga,
ternyata bahwa orang itu telah melihat induk pasukannya. Dalam keadaan yang
tiba-tiba itu, pemimpin rombongan tidak segera dapat mengambil keputusan.
Sesaat mereka masih tegak di atas pematang itu. Bahkan terdengar salah seorang
di antara mereka bergumam sesama,
“Siapakah
dia?”
Kawannya
menggeleng, jawabnya,
“Entahlah,
tetapi ia melihat induk pasukan”
“Berbahaya”
sahut yang lain.
“Ya” akhirnya
pemimpin pasukan itu pun berkata,
“Tangkap orang
gila itu”
Dua orang dari
rombongan itu kemudian melangkah kembali. Mereka segera mendekati Sonya. Sedang
yang lain masih diam mematung.
Widura melihat
pertunjukan itu dengan hati yang tegang. Setidak-tidaknya, waktu mereka
terulur. Apabila induk pasukan itu muncul dan terlibat dalam pertempuran dengan
laskarnya, maka rombongan itu pasti akan kembali. Namun apabila tidak, maka ia
harus mengambil kebijaksanaan lain. Sebagian laskarnya harus dikirim kembali,
dan melawan rombongan kecil pecahan laskar Macan Kepatihan itu. Ketika Sonya
melihat dua orang datang kepadanya, maka katanya di dalam hati,
“Tepat juga
dugaan Ki Widura. Aku harus berlomba lari” Tetapi Sonya tidak menunggu orang
itu menjadi terlalu dekat. Tiba-tiba ia berteriak,
“Hei, ternyata
kalian bukan orang Sangkal Putung. Kalau begitu kalian adalah laskar Jipang
yang akan mencoba memancing pertempuran di sebelah utara Sangkal Putung. Sedang
laskar yang datang kemudian adalah induk pasukan.”
“Siapa kau?”
tiba-tiba terdengar salah seorang dari rombongan orang-orang itu bertanya.
Sonya tidak
menjawab. Tetapi dipenuhinya perintah Widura yang terakhir. Segera ia meloncat
dan berlari kembali ke Sangkal Putung. Dua orang yang akan menangkapnya itu pun
mengejarnya. Namun ketika Sonya berlari lewat perapatan dan kedua orang itu
mengejarnya terus, tiba-tiba saja keduanya terbanting jatuh dan tidak bangun
kembali. Pemimpin rombongan itu menjadi heran. Dari jarak yang agak jauh,
mereka hanya melihat bayangan orang-orangnya itu berlari dan kemudian tiba-tiba
saja lenyap seperti ditelan perapatan. Kawan-kawan mereka pun melihat kedua
orang itu hilang. Karena itu mereka menjadi heran. Sedang Sonya yang sedang
berlari itu berlari terus. Sekali ia menoleh, dan pengejar-pengejarnya tidak
dilihatnya lagi. Meskipun demikian, karena ia tidak mendapat perintah lain,
maka ia pun berlari terus ke Sangkal Putung. Pada saat itu, cahaya yang merah
telah membayang di timur. Bersamaan dengan munculnya sebuah rombongan lain dari
balik tikungan. Demikian orang-orang itu tampak dimata Widura, demikian ia
meraba hulu pedangnya.
“Hem”
geramnya,
“Itulah induk
pasukan mereka”
Demang Sangkal
Putung itu pun mengangguk-angguk. Dilihatnya serombongan orang berjalan tak
teratur, seperti habis menonton tayub. Namun disadarinya, bahwa mereka adalah
prajurit-prajurit Jipang yang tak kalah nilainya dari prajurit-prajurit Pajang.
Hanya karena kekalahan-kekalahan yang berturut-turut dialami adipatinya,
sehingga gugur, maka tekad mereka sudah tidak sebulat sebelumnya. Pemimpin
rombongan itu, seorang anak muda yang bertubuh tinggi berdada bidang dan kekar
terkejut ketika dilihatnya pecahan laskarnya masih tegak di pematang. Dan dengan
serta merta ia berteriak,
“Hei, kenapa
kalian masih di sana?”
Pemimpin
rombongan itu pun menjadi bimbang. Sebelum ia menjawab terdengarlah tanda
bahaya bergema di kademangan Sangkal Putung. Kentong titir.
“Gila” umpat
anak muda itu.
“Cepat, capai
Sangkal Putung lebih dahulu sebelum kami”
“Mereka telah
melihat kita. Kami dan kalian. Seseorang dari mereka mengetahui dengan pasti,
bahwa induk pasukan akan menyusul” jawab pemimpin rombongan itu dari tengah
sawah.
Anak muda yang
jangkung itu berpikir sejenak,
“Dari mana kau
tahu?”
“Baru saja ia
berlari ke Sangkal Putung sambil berteriak-teriak tentang laskar pecahan ini
dan induk pasukan” Sahut yang di pematang.
“Gila. Kenapa
tidak kalian tangkap?”
“Kami sudah
berusaha. Tetapi gagal”
Rombongan itu
tiba-tiba berhenti. Pemimpinnya, anak muda yang tidak lain adalah kemenakan
patih Jipang Mantahun, yang bernama Tohpati dan bergelar Macan Kepatihan itu
mengerutkan keningnya.
“Berhenti di
tempat kalian!” teriak Tohpati. Kemudian dengan seksama ia melihat jalan yang
terbentang di hadapannya. Jalan itu sepi, namun kesepian itu terasa tegang.
Macan Kepatihan adalah seorang yang cerdas dan cermat di setiap garis
peperangan. Karena itu tiba-tiba ia berkata nyaring kepada yang masih tegak di
pematang,
“Jalan terus,
kami pun akan mengikuti jalanmu itu”
“Bukan main”
desis Widura sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Anak itu
cerdik seperti demit”
Demang Sangkal
Putung itu pun menggeleng-geleng pula. Katanya,
“Apakah yang
akan kita lakukan?”
Widura sadar
bahwa ia harus bertindak cepat. Karena itu ia berkata,
“Kita harus
cepat mulai, sebelum jarak di antara laskar kita dan laskar Tohpati itu menjadi
semakin jauh. Sebagian rencana kita sudah gagal, namun sebagian besar belum.
Kita pasti akan dapat mencapai hasil seperti apabila mereka berjalan tepat di
muka hidung kita”
Widura segera
mencabut pedangnya. Kemudian dilemparkannya sebuah kerikil kepada seseorang di
sampingnya sebagai perintah. Kemudian terdengarlah bunyi burung tuhu
berturut-turut tiga kali. Semua anak buahnya menjadi tegang. Mereka sudah harus
bersiap untuk menyergap. Namun jarak kedua pasukan itu, masih belum terlalu
dekat. Tetapi mereka sadar, bahwa laskar Macan Kepatihan itu tidak akan lewat
di simpang empat.
Kepada Ki
Demang, Widura berkata,
“Bapak Demang,
bawalah anak-anak Sangkal Putung langsung memotong laskar mereka yang terpisah.
Mereka pasti akan kembali dan berusaha membantu induk pasukannya. Pecahan itu
pasti bukan orang-orang pilihan. Mereka hanya dipakai sekedar untuk mengelabuhi
lawan-lawannya”.
Ki Demang
mengangguk-angguk. Sementara itu Widura melemparkan kerikil untuk kedua
kalinya. Dan kembali terdengar bunyi burung tuhu berturut-turut tiga kali.
Sindanti
tersenyum. Ia pun telah tegak di belakang pohon aren itu. Ketika ia mendengar
aba-aba untuk kedua kalinya, anak muda itu tidak menunggu lebih lama lagi.
Perintah untuk menyerang itu disambutnya dengan sebuah loncatan dan dengan
cepat ia menghambur lari langsung ke arah Macan Kepatihan. Tohpati terkejut
mendengar bunyi burung tuhu. Otaknya yang terang segera mengenal, bahwa yang
didengarnya itu sama sekali bukan bunyi burung yang sebenarnya. Karena itu ia
pun segera berteriak nyaring,
“Siapkan
senjata kalian!”
Tetapi anak
buahnya tidak menyangka bahwa mereka akan segera menerima sergapan. Mereka
masih mengira bahwa kedatangannya baru diketahui oleh seorang pengawas saja.
Namun tiba-tiba saja di hadapan mereka, muncul laskar Widura berloncatan dari
balik-balik pohon dan parit-parit. Karena itu sebagian mereka menjadi gugup.
Tetapi karena mereka adalah prajurit-prajurit yang berpengalaman, segera mereka
dapat menguasai diri mereka, dan dengan tangkasnya mereka mencabut
senjata-senjata mereka.
Macan
Kepatihan itu menjadi sangat marah. Ternyata kehadirannya kali ini telah
diketahui benar oleh lawannya. Karena itu maka segera ia berteriak nyaring,
katanya,
“Bagus, kalian
ternyata menyambut kedatangan kami. Ayo, majulah!”
Kedua laskar
itu pun menjadi semakin dekat. Tetapi laskar Widura lebih mapan dari lawannya.
Mereka sudah lama bersiap untuk bertempur, sedang laskar Tohpati itu harus
mempersiapkan diri dengan tergesa-gesa. Tetapi Tohpati tidak menjadi bingung,
bahkan terdengar ia memberi aba-aba kepada pecahan laskarnya,
“Jangan
kembali, langsung ke jantung Sangkal Putung. Bakar setiap rumah yang ada di
sana dan bunuh semua orang!”
Widura sadar
bahwa itu adalah suatu cara untuk memecah perhatian lawannya. Karena itu ia pun
berteriak pula,
“Swandaru,
cagah mereka. Kekuatan itu sama sekali tidak berarti, yang lain tetap pada
rencana!”
Swandaru pun
segera meloncat dari persembunyiannya. Dengan tangkasnya ia memutar pedang
bertangkai gading di tangannya. Terdengarlah anak itu berkata,
“Ayah, apa
yang harus aku lakukan sekarang?”
“Kau dengar
perintah pamanmu Widura?” sahut ayahnya.
“Adakah Macan
Kepatihan itu di sana?” bertanya anak itu pula.
“Tak ada waktu
untuk meributkannya” potong ayahnya, “Pergilah segera”
Swandaru yang
gemuk itu pun kemudian berlari, seperti roda yang menggelinding di tanah-tanah
yang becek. Sambil mengangkat pedangnya tinggi-tinggi ia berteriak-teriak
seperti sedang menghalau burung pipit yang mencuri padi di sawah.
Kawan-kawannya yang melihat Swandaru itu pun segera berlari menyusulnya.
Seperti Swandaru, mereka berteriak-teriak pula memekakkan telinga. Meskipun
demikian, namun anak-anak muda Sangkal Putung itu bukan anak-anak yang hanya
pandai berteriak-teriak saja. Sejak keadaan antara Pajang dan Jipang kian
memburuk, mereka telah menentukan sikap. Dibawah asuhan-asuhan
pemimpin-pemimpin kademangan, mereka melatih diri dengan tekun. Apalagi ketika
kemudian datang Widura berserta laskarnya. Anak-anak itu pun menjadi semakin
bernafsu melatih diri. Karena itu, maka mereka pun mempunyai cukup kemampuan
untuk menggerak-gerakkan senjata-senjata mereka. Namun demikian, Widura tidak
melepaskan anak-anak itu, dibawah pimpinan Swandaru, Jagabaya dan kemudian
demang Sangkal Putung itu sendiri, melakukan perlawanan terhadap laskar Jipang
yang terlatih itu, meskipun hanya sebagian kecil dan bukan orang-orang pilihan.
Karena itu, maka beberapa orangnya pun diperintahkannya untuk membantu mereka,
serta untuk menjaga agar tekad anak-anak itu tidak goyah karena
kekalahan-kekalahan kecil.
Tohpati, yang
mendengar aba-aba Widura itu pun menggertakkan giginya. Percayalah ia kini,
bahwa Widura tidak akan mudah ditipunya. Rencananya yang sudah disusun
masak-masak itu, ternyata dapat diruntuhkan oleh Widura. Bahkan usahanya yang
terakhir, mempengaruhi tekad perlawanan musuhnya itu pun dapat dipatahkan pula
oleh pengaruh kata-kata Widura itu. Karena itu, maka kesempatan yang pendek itu
pun dipergunakannya baik-baik. Semula ia akan menarik suatu garis datar
langsung menghadapi laskar lawannya. Tetapi laskar Widura itu pun laskar yang
cukup masak. Kelambatan Tohpati yang hanya sesaat, karena kebingungan beberapa
orang pimpinan kelompoknya, telah merubah keseimbangan antara mereka. Beberapa
orang anak buah Widura telah berhasil melampaui garis yang akan dibuat oleh
Macan kepatihan itu, untuk kemudian merangsang dari lambung. Tetapi Tohpati
tidak pula kalah cekatan. Segera ia menarik sebagian laskarnya ke satu sisi,
dan dibuatnya sebuah garis pertahanan yang lengkung. Wulan Punanggal. Widura
masih menyaksikan aba-aba Tohpati dan kelincahan laskarnya.
“Luar biasa”
desisnya,
“Apakah
kira-kira yang dapat dilakukan oleh gurunya, Mantahun dimasa hidupnya?”
Kemudian
Widura itu pun melihat, betapa lincahnya Sidanti menyusup di antara kesibukan
laskar kedua belah pihak yang sudah mulai terlibat dalam pertempuran. Anak muda
itu langsung menghampiri Tohpati yang masih tegak memandang berkeliling. Dengan
cermat ia mengawasi keadaan medan, dipelajarinya kedudukan laskarnya dan
kedudukan laskar lawannya. Dilihatnya pula pecahan laskarnya di tengah-tengah
sawah yang juga sudah melakukan perlawanan terhadap anak-anak muda Sangkal
Putung yang melanda mereka itu seperti banjir. Dengan semangat yang
menyala-nyala anak-anak muda itu bertempur. Ternyata, meskipun Swandaru harus
berhadapan dengan prajurit-prajurit Jipang, namun kekuatannya benar-benar
berpengaruh atas pertempuran itu. Ayunan pedangnya benar-benar mengerikan.
Setiap usaha untuk menangkisnya, maka akibatnya adalah pedang lawannya itu
terpental jatuh. Tohpati terkejut ketika ia melihat seseorang melompat ke hadapannya
sambil tersenyum. Kemudian terdengar orang itu berkata,
“Selamat pagi Tohpati.
Bukankah kau yang bernama Tohpati dan bergelar Macan Kepatihan?”
Tohpati mengerutkan
keningnya. Jawabnya,
“Apa maumu?”
“Aneh” sahut
orang itu, yang tidak lain adalah Sidanti.
“Kita berada
di dalam pertempuran”
“Bagus” seru
Tohpati.
“Mana paman
widura?”
“Aku akan
mewakilinya” jawab Sidanti.
Tohpati masih
tetap acuh tak acuh. Ia mencoba mencari Widura di antara laskar lawannya.
Sebelum pecah perselisihan Jipang dan Pajang, Widura telah dikenalnya. Dan kini
ia ingin mencoba, apakah Widura masih segarang seperti pada masa-masa
lampaunya.
“Siapa yang
kau cari?” tiba-tiba terdengar suara Sidanti.
“Pergilah!”
bentak Tohpati.
“Orang yang
pertama-tama akan aku bunuh adalah paman widura. Aku tidak ada waktu berkelahi
dengan kelinci-kelinci macam kau”. Sementara itu tangan kiri Tohpati itu
melambai kecil. Dan meloncatlah seorang anak buahnya ke sisinya.
“Selesaikan
anak ini” katanya.
Orang itu tak
menunggu perintah untuk kedua kalinya. Hiruk pikuk pertempuran di sekitar
mereka tak banyak memberi mereka waktu. Karena itu, maka anak buah Tohpati itu
pun segera menyerang Sidanti dengan sebuah tusukan pedang. Tetapi tiba-tiba
mata Tohpati itu pun terbeliak. Yang dilihatnya, dengan suatu gerakan yang
hampir tak tampak oleh mata, Sidanti telah memiringkan tubuhnya, dan dengan
satu gerakan yang tak terduga-duga tangan kirinya telah berhasil menyobek perut
lawannya dengan senjatanya. Terdengar orang itu berteriak nyaring, dan kemudian
tubuhnya terbanting di tanah.
“Hadiah yang
tak menyenangkan” desis Sidanti.
Wajah Macan
Kepatihan itu pun menjadi merah. Ditatapnya muka Sidanti. Tampaklah anak muda
itu tersenyum. Sementara itu langit pun telah menjadi semakin cerah. Cahaya
matahari pagi tampak seakan-akan berloncat-loncatan di ujung-ujung senjata. Dan
karena itulah maka kemudian Tohpati melihat senjata yang tajam pada ujung
pangkalnya di tangan Sidanti itu. Tohpati itu pun terkejut. Terdengarlah ia
menggeram parau,
“Tambak Wedi”
Sidanti masih
tersenyum. Jawabnya,
“Kau kenal
nama itu?”
“Ya” sahut
Macan Kepatihan.
“Aku kenal Ki
Tambak Wedi, aku kira kau adalah salah seorang muridnya”
Sidanti
mengangguk,
“Kau benar”
katanya.
“Bagus!” seru
Tohpati,
“Tambak Wedi
telah mengkhianati pamanku. Orang itu adalah sahabat paman Mantahun. Namun
ketika terjadi bentrokan antara Jipang dan Pajang ia mengingkari
persahabatannya. Bahkan kini muridnya di tempatkannya di pihak Pajang”
“Jangan
merajuk” jawab Sidanti.
“Guruku
melihat, bahwa tak ada gunanya memihak Jipang, sebab Jipang pasti akan hancur”
“Pamanku pun
berkata demikian” potong Tohpati cepat-cepat.
“Orang semacam
Tambak Wedi pasti tidak akan mempunyai kesetiaan pada suatu sikap. Kau pernah
melihat batang ilalang? Nah, itulah dia. Bila angin bertiup ke utara, maka
tunduklah ia ke arah angin itu, bila angin kemudian berputar ke selatan, batang
ilalang itu pun berputar pula”
“Cukup” teriak
Sidanti. Betapa tersinggung mendengar kata-kata Tohpati. Karena itu ia pun
segera bersiap dengan nenggala yang dinamainya Kiai Muncar.
“Senjata itu
ada di tanganmu sekarang” berkata Tohpati pula,
“Nah, aku
ingin melihat, apakah kau dapat mempergunakannya”.
Sidanti tidak
menunggu lebih lama lagi. Dengan cepatnya ia menyerang dengan senjata yang
dahsyat itu. Tetapi yang diserang kini adalah Macan Kepatihan. Meskipun
demikian Tohpati itu pun terkejut pula melihat kecepatan gerak lawannya. Tetapi
Tohpati adalah seorang prajurit yang berpengalaman dalam pertempuran bersama
dan dalam perkelahian perseorangan. Karena itu serangan Sidanti itu sama sekali
tidak mencemaskannya. Sesaat kemudian kedua orang itu telah terlibat dalam
suatu pertempuran yang sengit. Sidanti benar-benar dapat memanfaatkan kedua
tajam senjatanya di ujung dan pangkalnya itu. Nanggala itu berputar seperti
baling-baling, kemudian mematuk-matuk seperti seekor ular naga yang sedang
marah. Sekali-sekali dengan satu ujung, namun tiba-tiba dengan sebuah putaran
yang cepat, ujung yang lainnya menusuk pula dengan dahsyatnya. Benar-benar
seperti sepasang ular naga yang garang. Tetapi senjata Tohpati tidak kalah
mengerikan. Tongkat baja yang gemerlapan dibawah cahaya matahari pagi,
seakan-akan dari tongkat itu berloncatan butiran-butiran mutiara dan menghambur
di sekitar tempat perkelahian itu. Dan di ujung cahaya yang putih mengkilap itu
tampaklah leretan-leretan kuning seperti seekor lebah raksasa yang
berterbangan. Apabila lebah kuning itu berhasil hinggap di tubuh lawannya, maka
akibatnya adalah maut. Itulah kepala tongkat Tohpati, yang dibuatnya dari besi
kuning berbentuk tengkorak kecil. Tohpati dan Sidanti adalah dua anak muda yang
sebaya. Kedua-duanya mempunyai bekal yang cukup dan mempunyai nafsu yang
sama-sama berkobar di dalam dada masing-masing. Di sekitar mereka pun
pertempuran menjadi semakin seru. Widura dengan penuh kesungguhan memimpin anak
buahnya hampir disemua tempat. Orang itu dapat menyusup di segala titik
pertempuran. Karena itulah maka anak buahnya menjadi berbesar hati, sebab
setiap kali dilihatnya pemimpin mereka yang perkasa itu ada di sampingnya.
Di tengah
sawah, laskar pecahan yang memisahkan diri dari induk pasukannya itu pun bertempur
dengan sengitnya. Anak-anak muda Sangkal Putung benar-benar mengamuk
sejadi-jadinya. Mereka merasa bahwa hari depan mereka, bahkan hari depan
kampung halamannya sedang terancam. Apabila mereka kali ini gagal
mempertahankannya, maka untuk seterusnya mereka akan kehilangan masa depan
mereka. Sebab akibat dari kehancuran kampung halamannya kali ini, akan panjang
sekali. Kesedihan, kemelaratan, paceklik yang panjang karena lumbung-lumbung
mereka akan habis dirampas dan banyak penderitaan-penderitaan yang lain.
Ibu-ibu mereka, istri-istri mereka dan adik-adik mereka akan menjadi korban
pula karenanya. Meskipun demikian, lawan-lawan mereka adalah prajurit-prajurit
yang terlatih. Itulah sebabnya, maka kadang-kadang mereka menjumpai
perlawanan-perlawanan yang tak mereka duga-duga. Untunglah bahwa di antara
mereka terdapat orang-orang yang berpengalaman pula. Jagabaya Sangkal Putung,
yang meskipun sudah agak lanjut umurnya, namun ia adalah bekas prajurit Demak
yang baik. Demang mereka yang penuh dengan tanggung jawab ada pula di antara
mereka. Meskipun betapa berat hati, Demang itu melihat darah yang harus
tertumpah. Namun akhirnya disadarinya, bahwa pada suatu saat pedang di
tangannya harus diayunkan, apabila kebenaran dan haknya telah terancam. Apalagi
ada pula di antara mereka, beberapa orang anak buah Widura yang dapat memimpin
mereka dalam keadaan-keadaan sulit. Tohpati yang terikat dalam pertempuran
dengan Sidanti menggeram marah. Kesempatannya untuk memperhatikan keadaan medan
sangat terbatas. Sesaat-sesaat ia melihat juga Widura berloncatan kian kemari
hampir di seluruh daerah pertempuran, namun ia tidak dapat mengimbanginya.
Karena itu, maka kemarahannya semakin memuncak. Sehingga kemudian dengan tenaga
sepenuhnya ia bertempur untuk segera menghancurkan lawannya. Sidanti pun
kemudian memeras tenaganya dalam perlawanannya atas Macan Kepatihan itu. Namun
kemudian terasa, betapa garangnya harimau yang namanya ditakuti oleh hampir
setiap orang Jipang dan Pajang. Betapa Sidanti mendapat tempaan tak henti-hentinya
oleh gurunya, namun kini ternyata, bahwa kesaktiannya belum dapat melampaui,
bahkan menyamai pun tidak, atas Macan yang garang itu. Sedikit demi sedikit
Sidanti merasa, bahwa lebah kuning itu semakin lama semakin dekat dengan
kulitnya. Bahkan sekali-sekali telah terasa sentuhan angin yang tajam, yang
dilontarkan oleh gerak besi kuning yang berbentuk tengkorak itu.
“Setan”
Sidanti menggeram. Ia mengumpat tak habis-habisnya di dalam hati. Ternyata
Macan Kepatihan itu benar-benar melampaui dugaannya. Orang itu benar-benar
dapat bergerak demikian cepatnya, sehingga orang menyebutnya – Tohpati dapat
berubah menjadi asap.
Meskipun
demikian, betapa pun garangnya Macan Kepatihan itu, namun tidaklah terlalu
mudah untuk mengalahkan Sidanti. Anak muda murid Ki Tambak Wedi itu adalah anak
yang tidak lekas berputus asa. Dikerahkannya segenap kemampuan yang ada padanya
untuk tetap melawan Macan Kepatihan itu betapa pun berbahayanya. Tetapi ia
tidak akan dapat memungkiri kenyataan. Bahaya maut semakin lama semakin mendekat.
Tongkat baja putih berkepala kuning itu kian lama kian cepat seperti nyamuk
yang berputar-putar di telinganya. Karena itu, maka kemudian Sidanti terpaksa
beberapa kali melangkah surut, semakin lama semakin dalam di belakang garis
semula. Widura melihat kesulitan Sidanti. Tetapi ia tidak mencemaskannya. Sebab
di samping anak muda itu bertempur Hudaya dan Citra Gati. Orang-orang tua yang
dapat dipercaya untuk setidak-tidaknya meringankan tekanan Macan Kepatihan atas
murid Ki Tambak Wedi itu. Ia sendiri masih tetap berputar-putar di sepanjang
garis pertempuran. Karena itulah maka kemudian tampak, bahwa laskar Widura
berada dalam keadaan yang lebih baik dari lawannya. Hudaya pun kemudian melihat
kesulitan Sidanti. Adalah menjadi kewajibannya untuk ikut serta memikul
kesulitan itu. Karena itu segera ia meloncat, melepaskan lawan-lawannya dan
menyerahkannya kepada beberapa orang lain. Dengan garangnya orang yang hampir
di seluruh wajahnya ditumbuhi rambut itu menerjunkan diri dalam lingkaran
pertempuran antara Sidanti dan Tohpati. Dengan sebuah tombak pendek ia
menyerang sambil berteriak,
“Sudah aku
katakan Sidanti, Macan ini tidak dapat diajak bermain-main”
Melihat lawan
yang baru itu Tohpati menggeram. Kemarahannya telah membakar segenap syarafnya.
Dengan geramnya ia memjawab,
“Ayo majulah,
kenapa Widura tidak kau bawa serta”
Hudaya
tertawa. Laki-laki itu sendiri tidak tahu kenapa ia tertawa. Namun di dalam
hatinya tumbuhlah kebimbangan atas usahanya membantu Sidanti. Dengan penuh
kesadaraan ia berusaha mengusir setiap anggapan yang pernah didengarnya tentang
Macan Kepatihan itu, namun ketika sekali tombaknya tersentuh tongkat baja putih
itu, Hudaya berkata di dalam hatinya,
“Pantaslah
orang ini disebut Macan Kepatihan. Sentuhan senjatanya terasa seperti membekukan
segenap urat darah” Walau pun demikian, Hudaya adalah seorang prajurit. Karena
itu, bagaimanapun juga keadaanya, namun ia harus berjuang.
Melihat Hudaya
telah melibatkan diri dalam perkelahian itu, Citra Gati tersenyum.
“Hem,”
desisnya
“alangkah sombongnya
murid Ki Tambak Wedi. Namun akhirnya orang-orang tua juga harus ikut menghadang
bahaya. Kalau, ya kalau, Untara ada di antara kita.” Tetapi Citra Gati pun
tidak sampai hati membiarkan mereka berdua mengalami bencana. Karena itu ia
segera menyelinap di antara anak-anak buah di dalam kelompoknya. Katanya,
“Kita yakin
atas kemenangan kita, majulah.”
Kemudian Citra
Gati itu pun berdiri di dalam lingkaran pertempuran itu. Dengan tangkasnya ia
berloncatan di sela-sela senjata lawannya. Dengan sebuah pedang ia mencoba
untuk melawan Tohpati bersama-sama dengan Hudaya dan Sidanti.
Tetapi anak
buah Macan Kepatihan itu pun tidak membiarkan pemimpin mereka mengalami cedera
karena beberapa orang telah bertempur bersama-sama melawannya. Karena itu
dengan serta merta dua orang lain pun segera melibatkan dirinya pula. Sehingga
dengan demikian, keseimbangan perkelahian antara Sidanti dan Tohpati masih juga
belum berubah. Sebab Hudaya dan Citra Gati mau tidak mau harus berusaha
memusnahkan setiap serangan dari kedua orang Jipang itu. Karena itulah maka
kesempatan untuk membantu tidak sedemikian banyak seperti yang diharapkan.
Demikian agaknya orang-orang Jipang itu pun telah bersiap pula apabila
pemimpinnya mengalami peristiwa semacam itu. Keadaan Sidanti pun semakin lama
semakin menjadi sulit. Hudaya dan Citra Gati bahkan kemudian tak dapat
diharapkannya lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar