Jilid 021 Halaman 1


SEKALI lagi Sidanti tersenyum. Betapapun dadanya bergolak karena lepasnya Agung Sedayu, namun terhadap anak muda Jati Anom ini ia ingin bersikap baik, sebagai permulaan dari hubungannya dengan anak-anak muda di kademangan ini.
“Ia menjadi ketakutan, Paman. Mungkin aku dapat menolongnya.”
“Apakah pedulimu atas pengecut itu?”
Sidanti mengerutkan keningnya. Kemudian katanya,
“Hubungan yang baik antara kita dan anak-anak muda Jati Anom akan berakibat baik, Paman.”
Argajaya menggeram. Namun ia tidak menjawab. Meskipun demikian pandangan matanya yang tajam seolah-olah telah menghunjam menembus jantung Wuranta.
“Wuranta,” berkata Sidanti kepada anak Jati Anom itu,
“apakah kau menyangka bahwa suatu ketika Agung Sedayu akan kembali kemari?”
“Itu adalah hal yang mungkin sekali, Tuan. Bahkan mungkin tidak akan terlampau lama lagi. Hari ini, siang, atau malam nanti.”
“Lalu bagaimana dengan kau?”
Wuranta terdiam sejenak. Kemudian desisnya perlahan-lahan,
“Agung Sedayu melihat aku datang bersama Tuan-tuan. Aku sangka ia pasti mendendamku.”
“Lalu?”
“Aku harus bersembunyi, Tuan.”
Sidanti mengerutkan keningnya. Sejenak ia berpikir. Dan ia tiba-tiba bertanya,
“Apakah kau ingin ikut aku?”
Pertanyaan itu adalah pertanyaan yang ditunggu-tunggunya. Tetapi meskipun demikian Wuranta tidak segera menjawab. Wajahnya tampak ragu-ragu.
“Buat apa kau bawa anak itu?” bertanya Argajaya.
“Apa salahnya kita menolongnya, Paman. Mungkin anak muda ini dapat membantu kita.”
“Hanya seorang pemberani yang bermanfaat bagi kita. Bukan seorang pengecut. Seandainya daerah ini kelak, seperti diduga oleh Ki Tambak Wedi, akan menjadi landasan bagi Untara untuk meloncat ke padepokan di lereng Gunung Merapi itu, maka anak semacam itu tidak akan bermanfaat.”
“Tidak, Paman. Mungkin ia akan berguna kelak.”
“Buat apa? Ia tidak akan berani menginjak tanah ini kembali. Kalau kita memerlukan seorang anak muda yang dapat memberi kita beberapa keterangan, ia harus seorang anak yang berani. Berani berada di kampung halamannya untuk menyampaikan sesuatu kepada kita. Tetapi anak ini? Biar sajalah ia mampus dibunuh Agung Sedayu.”
Sidanti menegangkan wajahnya sejenak. Namun kemudian ia tertawa. Katanya,
“Paman adalah seorang pengawal yang berani. Karena itulah Paman merasa muak melihat seorang yang berada di dalam ketakutan. Tetapi adalah jauh berbeda, Paman dan anak muda Jati Anom ini.”

Wuranta memperhatikan pembicaraan tentang dirinya yang berlangsung di hadapan hidungnya, dengan demikian ia  pun mampunyai penilaian atas kedua orang itu. Argajaya adalah seorang pemberani yang lugu. Yang terlampau percaya pada kekuatan diri. Sedang Sidanti adalah seorang iblis yang licik. Keduanya pasti akan sangat berbahaya baginya. Bahkan disadarinya, bahwa kepercayaan Sidanti kepadanya itu  pun harus diterima dengan sangat hati-hati. Namun bagaimanapun juga ia melihat kebenaran anggapan keduanya. Argajaya  pun mempunyai alasan yang kuat untuk menolaknya. Karena itu, maka ia menyesal, bahwa ia telah bersikap terlampau takut menghadapi keadaan. Tetapi semuanya telah terlanjur. Ia harus dapat memanfaatkan apa yang masih dipunyainya sekarang.
Yang bertanya kepadanya kemudian adalah Sidanti,
“Wuranta. Apakah kau ingin turut aku?”
Kembali Wuranta terdiam.
“Kau akan tinggal bersama pasukanku di padepokan guruku. Mungkin kau akan mengalami hal-hal yang baru, yang dapat merubah sikapmu itu.”
Dengan ragu-ragu Wuranta kemudian bertanya,
“Lalu apakah tugasku di sana, Tuan?”
“Huh,” Argajaya berdesah,
“hanya orang-orang yang terlampau bodoh yang bertanya demikian.”
“Ya,” sahut Sidanti,
“ternyata kau memang agak terlampau bodoh. Tetapi tak apalah. Sebenarnya melihat wajahmu aku mempunyai harapan, bahwa kau akan berguna bagi kami, tetapi agaknya otakmu terlampau tumpul untuk wajah yang cerah itu.”
Sekali lagi dada Wuranta berdesir. Kembali ia membuat kesalahan. Namun agaknya ia masih mempunyai harapan ketika Sidanti berkata,
“Yang pertama kau ucapkan adalah kesanggupan. Mungkin kau harus berbuat sesuatu yang dapat membahayakan jiwamu. Bukankah kami terdiri dari prajurit-prajurit yang sedang memperjuangkan suatu cita-cita?”
“Tak akan ia ketahui apakah yang kau sebut cita-cita itu Sidanti. Baginya tak akan dimengerti, apakah arti Pajang dan Jipang. Apakah arti perjuangan Ki Tambak Wedi menentang kekuasaan Pajang sekarang ini. Untuk apa dan bagaimana?”
Sidanti terdiam. Tiba-tiba anak muda itu merenungi wajah pamannya. Di dalam hati kecilnya sendiri terbersit suatu pertanyaan,
“Apakah pamannya mengetahuinya? Apakah pamannya menyadari, bahwa di padepokan gurunya sekarang ada dua pihak yang mempunyai pancadan yang berbeda menghadapi Pajang? Dan apakah pamannya sendiri menyadari sepenuhnya, untuk apa ia berjuang? Untuk apa Ki Tambak Wedi menentang Pajang?”

Sebenarnya Sidanti sendiri telah beberapa lama berusaha mencari alasan yang tepat yang dapat dipergunakannya untuk membenarkan sikapnya menentang Pajang. Tetapi ia tidak dapat menemukannya. Sementara ia dapat memuaskan dirinya dengan alasan yang dicari-carinya. Mungkin ia dapat mengatakan kepada orang lain, bahwa ternyata Pajang berbuat sewenang-wenang. Pajang sebenarnya tidak berhak untuk melintir kedudukan Demak, merajai hampir seluruh pulau Jawa. Mungkin ia dapat berpura-pura membenarkan sikap Arya Penangsang dari Jipang. Tetapi ia tidak dapat berbuat demikian kepada diri sendiri. Ia tidak dapat berkata bahwa Pajang tidak berhak mewarisi kekuasaan Demak. Ia tidak dapat mengatakan kepada dirinya sendiri bahwa Pajang berbuat sewenang-wenang. Beberapa usaha dari bupati-bupati di sepanjang pesisir untuk melepaskan diri dari kekuasaan Demak setelah Demak jatuh, tidak dapat disejajarkan dengan usahanya itu. Meskipun dari segi kekuatan dan jumlah prajurit yang akan dapat dihimpunnya Sidanti tidak perlu cemas. Di belakangnya terbentang suatu daerah yang luas di Pegunungan Menoreh. Sisa-sisa kekuatan Jipang dan pengaruh Ki Tambak Wedi di sekitar lereng Merapi. Bupati-bupati di pesisir pasti tidak akan dapat berbuat seperti apa yang dilakukan oleh sisa-sisa prajurit Jipang yang putus asa itu. Sidanti yang kebingungan itu hanya dapat menemukan jawaban yang sama sekali tidak dikehendakinya. Meskipun demikian setiap kali terdengar suara yang tidak diinginkannya itu, suara dari relung yang jauh di dasar hatinya, bahwa pemberontakan ini hanya sekedar didorong oleh nafsu, ketamakan, dendam, dan kebencian. Inikah cita-cita? Nafsu untuk berkuasa dan kedudukan yang baik dengan cepat, ketamakan yang berlebih-lebihan, dendam yang menyala-nyala di dalam dadanya karena kegagalan-kegagalannya selama ini. Sementara itu hatinya dibakar oleh kebencian yang hampir-hampir tidak dapat terkendali lagi.
Wuranta, anak muda Jati Anom masih berdiri di mukanya dengan wajah termangu-mangu. Kata-kata Argajaya benar-benar telah mencemaskannya. Ia melihat orang itu sebagai seseorang yang banyak harus mendapat perhatiannya. Orang itu pada saat pertama telah tidak menyenanginya. Maka bahaya daripadanya adalah bahaya yang pasti akan menjadi paling besar. Karena Sidanti dan Wuranta masih juga berdiam diri, maka Argajaya-lah yang berkata pula,
“Nah, Sidanti tanyakanlah, untuk apa ia ikut ke padepokan Ki Tambak Wedi. Kau akan tahu dan kau akan dapat mengukur sampai di mana tingkat kecerdasan otaknya.”
Sidanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Dalam kebimbangan terdengar ia bertanya,
“Ya, untuk apa kau ingin ikut bersama kami, Wuranta?”

Pertanyaan itu telah mendebarkan jantung Wuranta. Untuk masuk ke padepokan Ki Tambak Wedi memang bukan pekerjaan yang mudah. Ia harus berhati-hati menilai pertanyaan itu. Ia tidak akan dapat menjawab dengan alasan yang dibuat-buatnya seolah-olah ia memihak kepada Jipang untuk menentang Pajang. Alasan yang terlampau dibuat-buatnya pasti akan menimbulkan kecurigaan atas mereka berdua setelah mereka kecewa terhadapnya karena kebodohannya. Karena itu maka dicobanya untuk menghindari jawaban atas pertanyaan itu, katanya,
“Bukankah Tuan yang telah menawarkan kepadaku untuk turut ke padepokan lereng Merapi?”
Argajaya mengerutkan keningnya.
“Gila,” desisnya.
“Agaknya kau pandai juga berbantah. Tetapi jawaban itu hanya menambah keyakinanku bahwa kau benar-benar anak yang bodoh.” Kemudian kepada Sidanti ia berkata,
“Lepaskan keinginanmu untuk membawanya.”
Tetapi agaknya Sidanti berpendirian lain. Tenyata anak muda itu tertawa,
“Jawabanmu benar,” katanya,
“memang akulah yang telah menawarkan kepadamu apakah kau ingin turut dengan aku ke lereng Merapi.”
“Lalu bagaimana maksudmu, Sidanti?”
“Aku bawa orang ini, Paman. Mungkin justru kebodohannya itu akan dapat membantu kami dalam beberapa kepentingan yang sesuai dengan sifatnya itu.”
“Terserahlah kepadamu, Sidanti. Mungkin juga ia dapat membantu mengambil air di pancuran atau memanjat kelapa di kebun-kebun.”
Sidanti mengangguk-angguk sambil berkata,
“Mungkin, Paman, tetapi mungkin juga untuk kepentingan yang lain.”
Argajaya tidak mau berdebat lagi dengan kemenakannya. Ia merasa bahwa Sidanti lebih banyak berwenang dari padanya. Karena itu maka katanya kemudian,
“Aku akan kembali.”
“Baiklah, Paman. Kita kembali ke padepokan.” Kemudian kepada orang-orangnya ia berkata,
“Kita kembali sekarang.”

Argajaya tidak menunggu mereka. Segera ia melangkahkan kakinya mendahului berjalan ke arah Barat, memunggungi matahari yang sedang memanjat lebih tinggi menghadap lereng Merapi yang ujungnya menjadi kemerah-merahan seperti sedang terbakar. Dari mulutnya mengepul asap yang putih, membumbung tinggi, namun kemudian menghambur karena sentuhan angin pagi. Orang-orang Sidanti itu  pun kemudian berjalan pula menyusul Argajaya di belakangnya, sedang Sidanti berjalan paling belakang bersama Wuranta. Ketika mereka meninggalkan tlatah Jati Anom maka bertanyalah Sidanti,
“Kau benar-benar ingin meninggalkan kampung halamanmu?”
Wuranta memandangi wajah Sidanti dengan heran. Denga hati-hati ia bertanya,
“Kenapa meninggalkan, Tuan? Apakah aku kelak tidak akan dapat kembali lagi?”
“Tentu. Kau tentu akan kembali. Bahkan hari ini kau dapat juga kembali ke kademangan ini.”
Wuranta heran mendengar jawaban Sidanti itu. Hari ini ia dapat kembali ke Kademangan Jati Anom, apakah maksudnya? Tetapi ia tidak segera menjawab atau bertanya. Ia menunggu Sidanti itu menyatakan maksudnya. Ia harus sangat berhati-hati menghadapi anak muda yang tampaknya selalu tersenyum-senyum saja ini. Namun di balik wajahnya yang terang itu, Wuranta merasakan sifat-sifat yang tidak dapat dijajaginya.
“Wuranta,” berkata Sidanti itu kemudian,
“kembali atau tidak kembali ke Jati Anom itu sangat tergantung kepadamu sendiri. Kepergianmu ke lereng Merapi ini, meskipun berdasarkan atas tawaranku, tetapi aku terdorong oleh keinginanku melindungimu karena kau takut terhadap Agung Sedayu.”
“O,” Wuranta hanya mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Apabila kau suatu ketika merasa berani datang kembali ke kampung halamanmu, apakah keberatannya?”
“Tentu,” sahut Wuranta dengan wajah yang bersungguh-sungguh,
“aku tentu berani datang kembali ke kedemangan ini.”
“Kenapa kau sekarang takut kami tinggalkan?”
“Aku dapat kembali di malam hari, Tuan. Meskipun seandainya Agung Sedayu ada di rumahnya, maka aku akan dapat memilih jalan yang tak mungkin dilihatnya. Meskipun kami sama-sama anak Jati Anom, namun beberapa bulan terakhir Agung Sedayu tidak ada di rumah. Ia tidak melihat keadaan terakhir dari kampung halamannya, sehingga sudah tentu aku lebih mengenalnya, apalagi di malam hari dan lebih-lebih lagi apabila aku bersenjata seperti Agung Sedayu.”
“Kau ingin membawa pedang seperti aku?”
“Aku memang pernah belajar bermain pedang.”
“Siapakah yang mengajarimu?”
Wuranta mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia berkata,
“Justru ayah Agung Sedayu semasa hidupnya.”
“Ki Sadewa?” Sidanti terkejut.
Wuranta mengangguk.
“Jadi kau murid Ki Sadewa?”
“Tidak sepenuhnya, Tuan. Aku belum menjadi muridnya. Ki Sadewa agaknya ingin melihat apakah aku mampu menjadi muridnya. Tetapi sampai saat meninggalnya, aku tidak pernah dijadikannya muridnya. Mungkin pengaruh yang demikian itulah yang menyebabkan aku takut terhadap anak-anak Ki Sadewa. Apalagi dengan Untara. Kalau ia yang datang dengan tiba-tiba saat ini, mungkin aka sudah mati membeku.”

Sidanti mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia mempunyai penilaian yang agak berbeda terhadap Wuranta yang disangkanya sekedar anak yang terlampau bodoh. Mungkin otak anak muda itu memang tidak terlampau baik sehingga Ki Sadewa tidak meneruskan maksudnya untuk menuntun anak itu, apalagi menjadikan muridnya. Tetapi mungkin pula karena sebab-sebab lain. Kali ini Wuranta berusaha untuk mencuri pusaka yang terdapat di dalam rumah Agung Sedayu.
“Mudah-mudahan sifat anak itu tidak terlalu baik. Dengan demikian aku akan dapat mempergunakannya untuk kepentingan yang barangkali sesuai dengan sifatnya yang tidak baik itu,” pikir Sidanti sambil melangkahkan kakinya di samping Wuranta.
Tiba-tiba Sidanti itu bertanya,
“Kalau kau membawa pedang apakah kau berani melawan Agung Sedayu seorang melawan seorang?”
Wuranta terdiam sejenak. Sekali lagi ia membuat penilaian atas pertanyaan-pertanyaan Sidanti. Dan kali ini ia menjawab,
“Sebenarnya belum tentu aku dapat dikalahkan, Tuan. Tetapi aku merasa bahwa Agung Sedayu adalah anak Ki Sadewa. Sebenarnya aku tidak hanya belajar kepada Ki Sadewa sendiri, Tuan. Aku juga belajar kepada tetangga-tetangga yang lain, bahkan anak-anak muda di Jati Anom ini menganggap aku melampaui diri mereka. Tak ada seorang  pun yang berani melawan aku berkelahi.”
“Bagaimana dengan Untara dan Agung Sedayu?”
“O,” Wuranta menelan ludahnya. Ia harus memainkan peranannya, cukup baik. Kalau tidak, anak muda yang dihadapi itu agaknya cukup tajam untuk menangkap kesalahan-kesalahan yang kecil sekalipun.
“Keduanya itu terkecuali, Tuan.”
Sidanti tersenyum. Ia mendapat kesan baru pada anak muda Jati Anom itu. Dan ia tidak menyembunyikan kesannya. Katanya,
“Kau anak muda yang sombong. Tetapi aku tidak yakin bahwa kau dapat memenuhi sepersepuluh dari kata-katamu itu.”
“Kenapa, Tuan?” sahut Wuranta dengan tiba-tiba sehingga langkahnya terhenti.
“Kenapa tidak?”
“Kau berani kembali ke Jati Anom sekarang?”
“O,” Wuranta terdiam. Sementara itu Sidanti tertawa.
“Jangan sekarang, Tuan.”
“Baik. Nanti malam?”
“Tentu, Tuan, apakah sebabnya aku tidak berani.”
“Wuranta,” berkata Sidanti,
“kau akan menjadi kawanku yang terpercaya kalau kau dapat melakukan pekerjaan yang akan aku berikan kepadamu.”
“Pekerjaan apakah itu, Tuan?”
“Tidak terlalu sulit. Kau hanya akan mondar-mandir saja. Dari padepokanku ke Jati Anom dan sebaliknya.”
“Untuk apa, Tuan?”
“Apakah anak-anak muda di Jati Anom menaruh kepercayaan kepadamu?”
“Tentu, Tuan,” sahut Wuranta.
“Aku adalah tetua anak-anak muda di sini meskipun tidak dinyatakan secara resmi. Memang ada satu dua anak yang tidak mau tunduk kepadaku dan kepada sebagian besar dari anak-anak muda Jati Anom, tetapi dalam kesempatan seperti sekarang ini, mereka pasti akan segera aku singkirkan.”
“Singkirkan bagaimana?” bertanya Sidanti.
Wuranta mengerutkan keningnya, jawabnya,
“Aku pernah juga melakukannya, Tuan. Aku bunuh anak yang melawan kehendakku beberapa hari yang lalu.”

Kini Sidanti tersenyum di dalam hati. Ia menemukan seorang anak muda yang menyenangkan. Pengecut, sombong, pendendam, pembual, dan licik. Namun Sidanti bukan anak kemarin sore untuk segera mempercayainya. Sidanti cukup berhati-hati menghadapi anak-anak muda yang baru saja dikenalnya. Terhadap Wuranta ini  pun Sidanti cukup waspada meskipun tidak tampak pada wajah serta sikapnya. Meskipun seakan-akan ia dapat mempercayai setiap kata-kata Wuranta, namun setiap kali Sidanti itu mempersoalkannya di dalam hatinya. Perjalanan mereka itu  pun semakin lama menjadi semakin dekat dengan padepokan Ki Tambak Wedi di lereng Merapi. Mereka kini telah melewati Randu Lanang. Dan beberapa ratus langkah lagi mereka telah memasuki tlatah padepokan Ki Tambak Wedi. Namun yang beberapa ratus langkah itu terdiri dari jurang-jurang yang curam, tebing yang terjal di antara hutan yang membujur di lereng-lereng Gunung Merapi.
“Inilah padepokan kami,” berkata Sidanti kepada Wuranta ketika mereka melihat sebuah padepokan di antara rimbunnya dedaunan dan dikitari oleh hutan-hutau yang tipis.
“Di sinilah aku berprihatin selama bertahun-tahun membentuk diri di bawah pimpinan Ki Tambak Wedi. Dan kini sebagian dari prajurit Jipang pun berada di sana pula.”
Wuranta mengangguk-anggukkan kepalanya. Ketika ia melihat berkeliling, maka hatinya menjadi berdebar-debar. Setiap kali ia melihat ujung tombak mencuat dari balik batu-batu dan dari belakang pepohonan. Beberapa kali pula ia melihat dua orang yang asyik duduk di atas sebongkah batu. Namun ternyata bahwa kedua orang itu adalah dua orang di antara para pengawas yang bertebaran.
“Penjagaan di sini cukup baik,” desis Wuranta di dalam hati.
“Alangkah sulitnya untuk dapat masuk tanpa diketahui meskipun malam hari.”
Tetapi Wuranta tidak segera menjadi putus asa melihat kerapatan penjagaan itu. Ia yakin, bahwa di suatu tempat, akan dapat diketemukan tempat-tempat yang lemah dari penjagaan itu.
“Apakah yang sedang kau renungkan,” tiba-tiba Wuranta terkejut mendengar pertanyaan Sidanti.
“Tidak apa-apa,” sahut Wuranta,
“tetapi aku heran apakah di tempat ini dapat diperoleh makan yang cukup bagi seluruh isi padepokan?”
“Pertanyaanmu yang pertama-tama berhubung dengan tempat ini adalah soal makan. Kenapa?”

Wuranta tidak segera menjawab. Ternyata setiap kata-katanya mendapat penilaian cukup cermat.
“Kenapa kau tidak bertanya tentang kekuatan yang tersimpan di dalam padepokan ini? Atau siapa saja yang tinggal di padepokan ini sekarang. Atau di mana saja kami menempatkan para penjaga kami?”
Wuranta tiba-tiba tersenyum. Katanya,
“Itu tidak menarik perhatianku, Tuan. Aku adalah seorang petani. Ketika aku melihat tanah di lereng ini, aku segera menyangka bahwa di sini tidak banyak dibangun tanah-tanah persawahan meskipun aku melihat parit yang mengalirkan air yang cukup.
“Kau salah Wuranta,” jawab Sidanti,
“agak di bagian atas kau akan melihat sawah yang bertingkat-tingkat. Sebuah air terjun yang cukup besar dan kebun-kebun salak yang luas. Nanti kau akan menyaksikan sendiri, bahwa padepokan ini tidak kalah ramainya dengan Kademangan Jati Anom. Tetapi bagi kaum dagang, padepokan kami tidak menarik perhatian. Tidak seperti Jati Anom yang reja. Apalagi Sangkal Putung yang merupakan persimpangan jalan bagi para pedagang keliling. Sehingga setiap kali orang-orang kami harus turun menukarkan hasil bumi kami dengan orang-orang di bawah kaki Gunung Merapi. Dengan Kademangan Jati Anom misalnya. Tetapi kalau kau bertanya tentang pande besi, maka pande besi kami jauh lebih baik dari pande besi di mana pun. Lebih baik dan lebih banyak. Pande besi Sendang Gabus yang terbunuh itu  pun bukan seorang yang mengagumkan di daerah kami, daerah Tambak Wedi.”
“Nama apakah sebenarnya Tambak Wedi itu, Tuan?”
“Nama tempat. Padepokan kami adalah Padepokan Tambak Wedi. Orang yang bertanggung jawab atas padepokan kami kemudian disebut orang Ki Tambak Wedi.”
Wuranta mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali lagi ia mengedarkan pandangan matanya menebar ke sekitar Padepokan Tambak Wedi. Ternyata memang tanah itu adalah tanah yang subur. Adalah di luar dugaannya bahwa padepokan setinggi itu ternyata berpenduduk cukup padat. Kini padepokan itu menjadi semakin padat karena orang-orang Jipang di bawah pimpinan Sanakeling berada di sana pula. Sejenak kemudian maka mereka  pun telah memasuki Padepokan Tambak Wedi itu. Mereka menyusup sebuah regol yang besar pada dinding padepokan yang tebal, kuat dan tinggi. Dinding batu hitam yang diatur cukup baik melingkar seputar padepokan yang ramai.
“Dinding ini  pun merupakan sebuah persoalan,” desis Wuranta di dalam hatinya.
“Apakah seseorang akan dapat meloncati dinding setinggi ini? Mudah-mudahan ada bagian-bagian yang setidak-tidaknya mungkin dapat dipanjat.”

Tetapi Wuranta kemudian tidak mendapat kesempatan lagi untuk berangan-angan. Segera ia sampai ke sebuah rumah yang cukup besar. Sidanti membawanya masuk ke dalam rumah itu. Dan di dalam rumah itu ditemuinya para pemimpin yang lain. Sanakeling, Alap-alap Jalatunda, dan yang lain-lain. Dengan canggung Wuranta duduk di antara mereka, di antara orang-orang yang belum dikenalnya. Dengan demikian maka ia harus menjadi lebih berhati-hati. Setiap katanya harus dipertimbangkannya masak-masak supaya ia tidak terjerumus dalam kesulitan. Beberapa orang dari mereka menerima kedatangan Wuranta dengan sikap acuh tak acuh. Ada yang sama sekali tidak memperhatikannya lagi seperti Argajaya. Kehadiran Wuranta bagi mereka sama sekali tidak berarti apa-apa. Tetapi ada juga di antara mereka yang menyambutnya dengan ramah. Hubungan yang baik dengan Jati Anom akan sangat menguntungkan mereka. Terutama dalam segi kekuatan. Setidak-tidaknya Jati Anom jangan sampai menjadi pangkalan yang baik bagi Untara seperti Sangkal Putung. Kalau anak-anak mudanya tidak membantu, maka kedudukan Untara  pun tidak akan sekuat kedudukan Widura di Sangkal Putung. Demikian jugalah harapan Sidanti. Ia mengharap Wuranta dapat membantunya, membuat Jati Anom benteng pertama bagi pertahanan Tambak Wedi. Tetapi dalam waktu yang pendek ini dia belum dapat mengirimkan pasukannya ke Jati Anom karena berbagai pertimbangan. Terutama pertimbangan tentang kekuatan yang belum mencukupi untuk dibagi-bagi. Kalau ia menempatkan sebagian dari kekuatannya di Jati Anom, maka kekuatannya itu pasti tidak akan dapat melawan seandainya Untara datang dengan prajurit segelar-sepapan. Sedangkan menurut perhitungannya, maka kedatangan Untara pasti tidak akan terlalu lama lagi. Maka yang dapat dikerjakannya sekarang adalah mempengaruhi anak-anak muda Jati Anom, supaya mereka tidak dapat bekerja bersama dengan orang-orang Pajang, meskipun Untara dan Agung Sedayu sendiri berasal dari Jati Anom.
Wuranta adalah salah seorang dari anak-anak muda Jati Anom yang akan dijadikannya alat untuk itu. Karena itu, maka setelah mereka duduk bersama sejenak, maka diajaknya kemudian Wuranta berjalan-jalan di dalam padepokan itu. Ditunjukannya beberapa bagian dari kekuatannya di Padepokan Tambak Wedi itu. Diberitahukannya beberapa nama yang dapat menggetarkan dada anak muda Jati Anom itu. Tetapi sampai demikian jauh, Sidanti masih tetap menyimpan rahasia-rahasia yang penting. Ia masih belum dapat mempercayai anak muda yang baru saja dibawanya itu.
“Apakah yang menarik perhatianmu, Wuranta?” bertanya Sidanti kemudian.
“Tuan,” jawab Wuranta, “padesan yang di tengah-tengahnya dibelah oleh sebuah sungai adalah padesan yang baik. Kehidupan di atasnya pasti diliputi oleh suasana tenteram dan damai seperti padukuhan ini. Apalagi menurut penglihatan sepintas, padukuhan ini  pun dikelilingi oleh jalan yang cukup lebar. Bukankah begitu?”
“Memang padesan ini dibelah oleh sebuah sungai,” sahut Sidanti.
“Tetapi tidak dikelilingi penuh oleh jalan seperti yang kau maksud. Di sisi Timur dan Utara memang membujur jalan yang cukup lebar. Di sisi Barat sebuah jalan sempit, tetapi di sisi Selatan padepokan ini berbatasan dengan sebuah pategalan.”
Wuranta mengangguk-anggukkan kepalanya, tetapi ia tidak segera bertanya.
“Kau memang seorang petani yang tekun,” berkata Sidanti.
“Perhatianmu yang pertama-tama tertuju pada sungai, jalan dan parit. Apakah kau tidak tertarik kepada hal-hal yang lain?”
“Tentu, Tuan,” jawab Wuranta,
“aku tertarik juga akan kekuatan prajurit di Tambak Wedi ini. Aku tertarik kepada ketabahan hati mereka.”
“Apakah kau tidak ingin menjadi seorang prajurit? Bukankah kau sudah pernah belajar bermain pedang?”
“Tentu, Tuan, aku ingin menjadi seorang prajurit yang baik. Seperti Tuan, misalnya.”
Sidanti tertawa.
“Kau pasti akan dapat menjadi seorang prajurit yang baik.”
Wuranta tertawa pula. Katanya,
“Tuan berolok-olok.”

Sidanti masih juga tertawa, tetapi ia tidak menjawab kata-kata Wuranta itu. Sejenak ia berdiam diri sambil melangkah mengelilingi padepokannya yang cukup luas. Setiap kali mereka bertemu dengan beberapa orang laki-laki yang garang dengan pedang di lambung masing-masing.
“Hem,” desah Wuranta di dalam hatinya,
“padukuhan ini penuh dengan senjata yang siap menyambut pasukan Pajang apabila mereka datang kemari. Alangkah sulitnya untuk mencapai padepokan ini. Di antara cerung-cerung jurang dan tebing, pasukan Tambak Wedi mendapat kesempatan yang cukup banyak untuk menyambut pasukan Pajang apabila mereka merayap naik.”
“Wuranta,” tiba-tiba Sidanti berkata,
“kau dapat mencoba membantu kami apabila kau mau. Tetapi kau harus yakin bahwa kami akan dapat mengenyahkan kekuasaan Pajang, setidak-tidaknya untuk sementara dari tlatah di sekitar Gunung Merapi. Pengaruh Ki Tambak Wedi cukup luas di sini. Sekarang baru dihimpunnya orang-orang yang percaya kepada kekuatannya. Orang-orang dari segenap sudut daerah ini. Orang-orang dari Prambanan, Mayungan, Pucangan, Asem Gede, bahkan kelak pasti dari daerah yang lebih jauh, Wanakerta dan Mangir. Sedang aku sendiri adalah Putera Kepala Tanah Perdikan Menoreh yang luas. Semuanya itu akan merupakan landasan yang kuat untuk melawan Pajang yang kini agaknya harus menghadapi kekuatan para bupati di Pesisir Utara. Suatu ketika pasukan Pajang akan menjadi semakin lemah, sedang kita menjadi semakin kuat. Suatu ketika maka Untara dan Widura pasti akan ditarik kembali untuk menghadapi pemberontakan di sebelah timur kekuasaan Demak lama. Nah, dalam pada itu kami akan dapat membangun kekuatan. Kau tahu, bahwa Jati Anom akan dapat menjadi benteng yang kuat dari kekuasaan Ki Tambak Wedi di sini? Kelak Jati Anom pasti akan menjadi pintu gerbang yang ramai dari suatu daerah yang besar yang dapat menyaingi Pajang sekarang ini. Sebentar lagi Paman Argajaya akan kembali ke Menoreh. Paman akan segera kembali membawa kekuatan yang lebih besar dari kekuatan Pajang di daerah ini, sementara itu kita akan membangun terus. Dalam pada itu, bantuan anak-anak muda Jati Anom sangat kami harapkan. Kami tidak akan melupakan jasa-jasa yang telah kalian berikan. Terutama kau apabila kau mampu menghubungi anak-anak muda sebayamu.”

Wuranta mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mendengar sebuah rencana yang besar dari seorang putera kepala Tanah Perdikan. Ia percaya bahwa Sidanti dapat mengerahkan tenaga manusia cukup banyak dari tanah pegunungan Menoreh. Ia percaya bahwa di tanah yang garang seperti Menoreh, pasti telah dilahirkan laki-laki yang kuat dan garang pula, yang sesuai benar dengan tugas seorang prajurit dalam keadaan seperti Sidanti dan Argajaya kini. Dan ia dapat juga mempercayainya bahwa pengaruh Ki Tambak Wedi memang cukup luas di daerah lereng Gunung Merapi. Beberapa-orang terkenal yang tersebar di beberapa daerah telah mengakuinya sebagai seorang guru dalam olah kanuragan dan kebatinan. Sejenak kemudian mereka  pun saling berdiam diri. Sekali-sekali Sidanti mencoba memandang wajah anak muda Jati Anom itu. Tetapi Sidanti tidak segera mendapat kesan sesuatu pada wajah itu. Namun sejenak kemudian Sidanti mendengar Wuranta itu bergumam,
“Bukan main.”
“Apa yang bukan main?”
“Tuan, dan Ki Tambak Wedi. Apakah kelak Tuan akan dapat menjadi Sultan?”
Sidanti tertawa semakin keras. Katanya,
“Tidak setiap orang dapat menjadi Sultan. Tetapi siapa tahu, bahwa suatu ketika aku mendapatkan tombak Kangjeng Kiai Pleret atau sepasang keris Nagasasra dan Sabuk Inten atau keris yang keramat Kiai Sengkelat.”
“Apakah pengaruh senjata-senjata itu?” bertanya Wuranta.
“Senjata-senjata itu adalah senjata-senjata kebesaran. Senjata itu mempunyai pengaruh atas orang-orang yang memilikinya.”
Wuranta mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia memang pernah mendengar bahwa pernah terjadi perjuangan yang dahsyat untuk memperebutkan keris-keris Kiai Nagasasra dan Sabuk Inten. Tetapi ia tidak membuat tanggapan sepatah kata pun.
“Nah, pikirkanlah Wuranta. Mungkin kau akan dapat menjadi seorang demang atau seorang kepala tanah perdikan seperti ayahku. Tetapi apakah kau berani pulang ke Jati Anom?”
“Kenapa tidak, Tuan?”
“Kalau bertemu dengan Agung Sedayu?”
“Sudah aku katakan, Tuan. Aku akan datang malam hari, sehingga kemungkinan untuk bertemu dengan Agung Sedayu dapat dihindari.”
“Bagaimana mungkin kau dapat bertemu dengan anak-anak muda yang lain?”
“Aku kunjungi rumahnya masing-masing. Kalau aku sudah mempunyai cukup kawan, maka aku akan dapat menyingkirkan Agung Sedayu.”
“Kalau Untara datang bersama pasukannya?”
“Kami akan menyingkir.”
“Jangan. Biarlah kalian tinggal di rumah kalian masing-masing. Kalian akan merupakan pembantu yang baik. Kalian dapat memberitahukan kepada kami apa saja yang telah dilakukan oleh Untara. Tidak perlu kau sendiri, sebab Agung Sedayu telah pernah melihat kau datang bersama aku. Kau dapat menempatkan beberapa orang di Jati Anom. Dari mereka kau akan mendapatkan beberapa keterangan yang akan kau bawa kemari.”
Wuranta mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Bagaimana?”
“Akan aku coba, Tuan,” sahut Wuranta.
Sidanti tersenyum. Tetapi senyumnya itu sangat meragukan hati Wuranta. Ia tidak dapat menduga tepat arti daripada senyumnya itu.
“Apakah kau masih ingin berjalan-jalan?” tiba-tiba Sidanti bertanya.
“Ya, Tuan. Di manakah sawah yang bertingkat-tingkat itu?” bertanya Wuranta.
“Perhatianmu sebagian besar masih tertuju pada sawah dan parit. Tetapi baiklah. Marilah kita kembali, kau akan mendapat kawan yang baik.”

Wuranta mengangguk-anggukkan kepalanya. Diikutinya Sidanti berjalan kembali ke banjar ke tempat para pemimpin laskar di Padepokan Tambak Wedi. Kemudian dipanggilnya seorang anak muda yang sebaya dengan Wuranta. Alap-alap Jalatunda.
“Adi,” berkata Sidanti kepada Alap-alap itu.
“Kau mendapat seorang kawan. Kawan dari Jati Anom yang bersedia membantu perjuangan kita. Ia ingin melihat-lihat daerah padepokan ini. Tetapi perhatiannya sebagian besar tertarik pada sawah dan parit-parit. Nah, bawalah ia berjalan-jalan supaya ia mengenal daerah ini dengan baik.”
Alap-alap Jalatunda memandangi Wuranta sejenak. Matanya yang tajam telah menumbuhkan berbagai pertanyaan di hati Wuranta. Tetapi betapa tajam mata anak muda itu, namun anak muda ini pasti tidak selicik Sidanti.
“Baiklah,” jawab Alap-alap Jalatunda dengan ragu.
“Marilah, ke mana kau ingin berjalan-jalan?”
Terasa bahwa anak muda yang disebut bernama Alap-alap Jalatunda ini agak terlampau kasar. Namun Wuranta tidak akan dapat menolaknya.
“Pergilah, dan bawalah ke mana kau suka,” berkata Sidanti kemudian.
Keduanya  pun kemudian melangkah keluar. Tetapi belum lagi mereka meninggalkan halaman, terdengar Sidanti memanggil Alap-alap Jalatunda. Ketika mereka sudah berhadapan di muka pintu, maka Sidanti  pun berbisik perlahan,
“Jangan kau anggap anak muda itu seperti seekor kelinci yang bodoh. Ternyata ia cerdik melampaui kancil. Awasi dan ingat-ingat apa saja yang ingin dilihatnya.”
Tiba-tiba Alap-alap Jalatunda tersenyum,
“Apakah maksudmu, aku harus menyelesaikannya dan melemparkannya ke sawah atau ke sungai?”
“Jangan. Kita harus mendapatkan kepastian, apakah ia dapat kita pergunakan atau tidak.”
Kembali Alap-alap Jalatunda tersenyum. Katanya,
“Hanya itu pesanmu?”
“Ya, dan tumbuhkan kekagumannya atas kekuatan kita.”
Alap-alap Jalatunda  pun kemudian membawa Wuranta berjalan berkeliling padepokan. Seperti yang dikatakannya, Wuranta ingin melihat sawah yang bertingkat-tingkat dan parit yang membelah sawah dan padepokan mereka. Tetapi hampir seluruh padepokan dijelajahinya, namun belum juga ditemukannya apa yang dicari. Jalan untuk memasuki padepokan itu.
“Aku tidak boleh tergesa-gesa,” katanya di dalam hati.
“Kalau mereka mencurigai aku, maka selesailah tugasku. Mungkin kepalaku besok akan ditemukan oleh Agung Sedayu di muka rumahnya.”
Akhirnya mereka  pun kembali ke tempat para pemimpin. Kembali Wuranta duduk dengan kaku di tengah-tengah orang yang belum begitu dikenalnya. Sementara itu ia mendengar Sidanti berkata,
“Wuranta, kau akan segera menerima tugasmu setelah kau sehari berada di antara kita. Tugas yang masih sangat ringan. Malam nanti kau harus turun kembali ke Jati Anom. Lihat apakah yang terjadi di sana, dan coba lihat, apakah Agung Sedayu masih di sana pula.”

Wuranta menjadi berdebar-debar mendengar perintah itu. Ia tidak dapat meraba tepat maksud Sidanti. Ia melihat anak muda itu tersenyum. Dan senyumnya memancarkan seribu satu macam kemungkinan. Karena Wuranta tidak segera menjawab, maka berkatalah Sidanti,
“Bagaimana, apakah kau sanggup melakukannya? Kau tidak perlu takut terhadap siapa pun. Kau harus belajar berani menghadapi bahaya apabila kau benar-benar ingin menjadi seorang prajurit yang baik. Kau dapat mengatakan kepada kawan-kawanmu di Jati Anom tentang apa yang kau lihat di sini. Kekuatan Tambak Wedi tidak akan dapat digoyahkan hanya oleh kekuatan Untara. Kalau seluruh prajurit Pajang di sepanjang pantai utara dan di seluruh daerah Bang Wetan ditarik, mungkin Tambak Wedi dapat bedah. Itu pun baru suatu kemungkinan. Apalagi sebentar lagi kalau prajurit dari Menoreh sudah datang. Maka tidak akan ada kekuatan yang dapat memasuki daerah Tambak Wedi. Semuanya pasti akan hancur selagi mereka mencoba memanjat tebing Gunung Merapi ini.”
Wuranta masih berdiam diri. Tetapi terasa detak jantungnya menjadi semakin keras memukul dinding dadanya.
“Nah, pergilah. Kalau kau masih belum berani bertemu dengan Agung Sedayu, maka tugasmu hanyalah melihat apakah ia masih berada di Jati Anom.”
Wuranta tidak akan dapat terus-menerus berdiam diri tanpa menanggapi perintah itu. Karena itu maka kemudian jawabnya per-lahan-lahan,
“Baiklah, tuan. Aku akan pergi ke Jati Anom.”
Sidanti tertawa.
“Kenapa kau ragu-ragu? Kau takut?”
“Tidak, Tuan,” sahut Wuranta.
“Baik,” tetapi Sidanti masih tertawa,
“kalau kau berangkat senja nanti, maka besok pagi-pagi kau sudah kembali kemari. Kau akan langsung memberitahukan tugasmu itu kepadaku. Apakah yang telah terjadi di Jati Anom dan apakah Agung Sedayu masih berada di tempat itu.”
“Baik, Tuan,” sahut Wuranta.
“Hubungi anak-anak muda yang dapat mengerti apa yang akan kau katakan kepada mereka. Kepada yang berkeras kepala kau dapat memberikan gambaran bahwa Tambak Wedi akan mampu menggilas Jati Anom apabila dikehendaki. Mereka yang menentang akan hancur, sedang mereka yang memilih perjuangan kami akan menikmati kemenangan.”
“Baik, Tuan.”
“Nah, sekarang beristirahatlah. Berangkatlah senja nanti. Kau tidak perlu menemui aku lagi.” Kemudian kepada salah seorang yang berada di tempat itu Sidanti berkata,
“Tempatkan anak muda ini di rumah Kakek Kriya.”

Wuranta  pun kemudian dibawa pergi. Ke pondokan yang diperuntukkannya. Ia harus beristirahat sejenak supaya senja nanti ia dapat melakukan tugasnya. Berjalan kembali ke Jati Anom dan pagi-pagi besok ia harus sudah menghadap Sidanti. Sepeninggal Wuranta, Sidanti melihat Argajaya berdiri sambil bergumam,
“Buat apa kau pelihara anak gila itu. Apa pula gunanya kau bawa ia berkeliling padepokan ini kemudian kau lepaskan kembali ke Jati Anom?”
Sidanti tersenyum, jawabnya,
“Sudah aku katakan, Paman. Ia akan merupakan alat yang baik untuk menakut-nakuti anak-anak muda Jati Anom. Sedangkan kalau anak itu seperti yang dikatakannya, mempunyai pengaruh yang baik, maka ia akan dapat menjadi jembatan untuk mengenal anak-anak muda yang lain.”
“Kau terlalu percaya kepadanya,” berkata Sanakeling.
“Apakah kau yakin bahwa ia tidak akan berkhianat?”
“Sidanti tidak akan sebodoh itu,” sahut Sidanti.
“Aku ingin melihat, apakah ia tidak sekedar alat Agung Sedayu atau Untara untuk menjebak dan memasukkan orang-orangnya kemari. Karena itu maka aku minta nanti senja apabila ia pergi, Adi Alap-alap Jalatunda mengikutinya. Lihatlah, apakah ia berhubungan dengan Agung Sedayu atau tidak. Kalau ia menemui Agung Sedayu, maka anak itu besok akan tergantung di ujung Kademangan Jati Anom. Mayatnya akan tergantung-gantung selama seminggu sebelum kita memaksa orang-orang Jati Anom mengambil dan menguburkannya.”
Sanakeling mengangguk-anggukkan kepalanya. Argajaya yang sudah melangkahkan kakinya, tertegun dan berpaling kepada Sidanti. Katanya,
“Kau telah membuang waktu untuk mengurus anak bodoh itu. Tetapi ada juga baiknya kau mengirimkan seseorang untuk melihatnya.”
Sidanti tidak menjawab. Ketika ia melihat wajah Alap-alap Jalatunda, maka dilihatnya anak muda itu tertawa sambil berkata,
“Aku tidak saja ingin menggantungnya di ujung Kademangan, bahkan aku ingin menggantung Agung Sedayu itu sendiri.”
“Jangan sombong,” desis Sidanti,
“kau hanya mengamat-amati anak itu. Kalau ia memasuki rumah Agung Sedayu, cobalah lihat, tetapi hati-hati supaya bukan lehermu yang dijerat oleh Agung Sedayu, apakah Wuranta menemui Agung Sedayu atau seorang perempuan tua di rumah itu yang diakunya sebagai bibinya? Kalau ia menemui Agung Sedayu, maka semuanya sudah jelas. Kau tidak usah berbuat apa-apa. Tinggalkan saja ia pergi supaya kau tidak mati dibunuh oleh adik Untara itu. Besok anak itu akan datang kemari lagi untuk menyerahkan lehernya.”
“Aku sendiri dapat menyelesaikannya, Kakang,” berkata Alap-alap Jalatunda.
“Kurang menyenangkan. Kita bersama-sama akan membuat perhitungan dengan anak itu.”
“Tetapi,” berkata Sanakeling,
“apakah rahasia Tambak Wedi dengan demikian sudah diketahui oleh Agung Sedayu?”
“Tak ada yang dapat dikatakan tentang padepokan ini selain kekuatan yang tangguh. Ia tidak melihat suatu kelemahan pun. Aku belum tahu, rahasia apa yang sebenarnya disembunyikannya di balik keinginannya untuk melihat sawah-sawah dan sungai di daerah ini.”
Sanakeling mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian kepada Alap-alap Jalatunda ia berpesan,
“Hati-hatilah kau, supaya bukan kau yang tergantung di ujung Kademangan Jati Anom.”
Alap-alap Jalatunda tertawa mendengar pesan Sanakeling. Pesan itu terdengar sebagai suatu ucapan sendau-gurau saja. Hatinya menjadi gembira mendapat suatu pekerjaan yang baginya dapat memberi kesegaran setelah beberapa lama ia duduk saja terkantuk-kantuk di padepokan itu. Kerjanya hanya berjalan hilir mudik, atau memberi beberapa petunjuk kepada para prajurit dan orang-orang baru yang berasal dari daerah sekitar padepokan itu, atau orang-orang yang datang dari berbagai daerah karena pengaruh nama Ki Tambak Wedi atas keluarga mereka atau orang-orang yang mereka hormati.

Tetapi kini ia harus mengikuti seorang anak muda dari Jati Anom itu. Mengawasi dan kemudian berbuat sesuatu apabila perlu. Namun dalam pada itu terdengar Argajaya berkata,
“Jadi kalau kali ini anak Jati Anom itu tidak menjumpai Agung Sedayu, kau akan mempercayainya untuk seterusnya?”
“Bukan berarti begitu, Paman,” jawab Sidanti.
“Untuk seterusnya  pun anak itu perlu diawasi. Baru setelah terbukti kesetiaannya, maka sedikit demi sedikit ia akan dapat dilepaskan.”
“Tidak banyak gunanya,” gumam Argajaya.
“Anak itu tidak akan banyak memberikan apa-apa kepada kita. Pada saat kau dapat suatu keyakinan bahwa ia dapat dipercaya, maka Untara sudah berada di hadapan hidungmu.”
“Pada saat yang demikian kita memerlukan bantuan anak-anak muda Jati Anom. Setidak-tidaknya mereka tidak membantu pasukan Untara. Tidak menyediakan makan bagi mereka, apalagi memberikan bahan-bahannya.”
“Untara dapat berbuat dengan kekerasan.”
“Itulah yang kita inginkan. Anak-anak muda itu akan merupakan minyak di dalam bumbung bambu. Kalau kita mampu menyalakan, maka meledaklah bumbung itu.”
Argajaya tidak menjawab. Kemudian ia meneruskan langkahnya keluar dari dalam bilik itu. Meskipun demikian ia bergumam,
“Kalau tekadmu telah bulat untuk melawan Pajang, sebaiknya kau mengambil orang-orangmu dari Menoreh.”
Sidanti tidak menjawab, karena Argajaya  pun tidak berhenti. Sejenak kemudian orang itu telah hilang di balik pintu. Sanakeling dan Alap-alap Jalatunda  pun kemudian meninggalkan bilik itu pula. Sekali lagi Sidanti berpesan kepada Alap-alap muda itu,
“Jaga, jangan sampai ia mengetahui bahwa kau mengikutinya supaya ia berbuat seperti yang dikehendakinya.”
“Apakah ia berangkat senja nanti sebelum malam?”
“Kau takut dilihatnya?”
Alap-alap Jalatunda mengerutkan keningnya, kemudian jawabnya,
“Sebelum gelap adalah sangat sulit untuk mengikutinya tanpa diketahuinya.”
“Usahakan agar ia berangkat setelah matahari turun di bawah cakrawala.”
Alap-alap Jalatunda tidak menjawab. Tetapi ia berjalan terus meninggalkan ruangan itu di belakang Sanakeling. Ketika mereka sampai ke halaman, Sanakeling masih mencoba memperingatkan Alap-alap Jalatunda,
“Hati-hatilah kau, Alap-alap kecil.”
Alap-alap Jalatunda mempercepat langkahnya. Desisnya,
“Apa sulitnya pekerjaan itu? Kalau anak itu berbuat yang aneh-aneh aku tidak perlu menunggu besok. Malam nanti anak itu akan aku gantung di ujung Kademangan Jati Anom.”
“Jangan membuat perkara. Turuti saja kata-kata Sidanti, anak gila itu. Dengan demikian kita tidak akan banyak menemui kesulitan di sini.”
“Mau apa saja dia terhadapku? Aku tidak takut terhadap murid Tambak Wedi itu.”
“Kau memang terlampau sombong. Kau masih belum dapat menyamainya meskipun kau berlatih seorang diri hampir setiap malam. Kau sangka Sidanti itu tidak berbuat sesuatu untuk mempertinggi ilmunya?”
“Tidak,” sahut Alap-alap Jalatunda,
“ia hanya menunggui bilik gadis itu saja siang dan malam. Tetapi ia pengecut. Ia tidak berani masuk.”
Sanakeling berpaling memandangi wajah Alap-alap Jalatunda. Kemudian katanya,
“Jangan hiraukan gadis itu. Tetapi jangan pula berbuat sesuatu yang merugikan kedudukan kita di sini. Sementara kita harus menerima saja keadaan ini. Kalau anak Jati Anom itu benar-benar menemui Agung Sedayu, katakan saja hal itu kepada Sidanti, jangan kau lakukan sendiri hukuman atasnya.”
Alap-alap Jalatunda tidak menjawab.
“Beristirahatlah,” berkata Sanakeling,
“kau malam nanti akan berjalan sepanjang malam.”
“Baiklah,” jawab Alap-alap itu, yang kemudian berjalan ke pondoknya yang didiaminya dengan beberapa orang anak buahnya.

Senja itu Alap-alap Jalatunda telah menyiapkan diri mondar-mandir di jalan kecil di tengah-tengah padepokan itu. Pedang di lambungnya berkali-kali dirabanya, seakan-akan tangannya sudah terlampau gatal untuk mempergunakan. Dengan gelisah ia mengawasi regol halaman rumah tempat Wuranta beristirahat. Kalau-kalau anak Jati Anom itu berangkat menunaikan perintah Sidanti. Tetapi akhirnya ia tidak sabar lagi. Alap-alap Jalatunda itulah yang kemudian mendatangi pondokan Wuranta.
“Kau akan pergi sekarang?” bertanya Alap-alap itu.
“Ya, sebentar lagi,” sahut Wuranta. “Sekarang telah senja.”
“Masih terlampau siang. Sebaiknya kau berangkat sesudah gelap.”
“Kenapa?”
“Tak seorang  pun melihatmu kecuali para penjaga. Mungkin ada orang-orang yang sengaja memata-matai padepokan ini. Mereka akan melihatmu dan mungkin kau akan mendapat bahaya di perjalanan.”
Wuranta mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Baiklah,” katanya, “aku akan berangkat sesudah gelap.”
Mendengar jawaban Wuranta itu maka Alap-alap Jalatunda tersenyum di dalam hati. Kalau anak itu bersedia berangkat sesudah gelap, maka pekerjaannya tidak akan terlampau sulit. Ia merasa bahwa ia pasti jauh lebih berpengalaman dari anak muda yang bernama Wuranta itu, sehingga ia akan mendapat banyak kesempatan untuk melakukan tugasnya. Ketika kemudian matahari menjadi semakin rendah, dan tenggelam di balik punggung Gunung Merapi, maka lereng di sebelah timur itu  pun menjadi semakin suram. Warna kemerah-merahan yang berpencaran di langit  pun semakin lama semakin pudar, sehingga akhirnya perlahan-lahan kabut yang hitam turun menyelimuti lereng Gunung Merapi itu. Ketika seseorang menyalakan pelita di dalam bilik itu, maka berkata Alap-alap Jalatunda,
“Hari telah mulai gelap. Apakah kau sudah siap untuk berangkat?”
“Aku sudah siap sejak tadi,” sahut Wuranta.
Alap-alap Jalatunda mengerutkan keningnya, tetapi kemudian dipaksakannya bibirnya tersenyum,
“Baik. Marilah aku antar kau sampai ke perbatasan.”
“Aku berani berjalan sendiri.”
Sekali lagi Alap-alap Jalatunda mengerutkan keningnya. Tetapi sekali lagi pula ia memaksa bibirnya untuk tersenyum,
“Kau memang berani. Tetapi supaya tidak menimbulkan salah paham dengan para penjaga yang belum mengenalmu dengan baik.”
Wuranta mengangguk-anggukkan kepalanya. Alasan itu memang masuk di akalnya. Karena itu maka jawabnya,
“Terima kasih.”
“Apakah kau juga memerlukan senjata?” bertanya Alap-alap Jalatunda.
Wuranta berpikir sejenak. Lalu jawabnya,
“Aku memang memerlukannya. Apakah kau mempunyai senjata rangkap?”
“Setiap orang mempunyai senjata rangkap di sini. Bahkan setiap orang apabila dikehendaki dapat membawa tiga atau empat pedang sekaligus. Pande besi di padepokan ini melimpah ruah.”
“Terima kasih. Apakah kau dapat memberi aku sebuah pedang yang tidak terlampau besar?”
Alap-alap Jahtunda mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian jawabnya,
“Marilah kita berangkat. Aku akan mengambil sebilah pedang untukmu sambil berjalan.”

Keduanya  pun kemudian berangkat meninggalkan rumah itu. Ketika mereka sampai di gardu dekat regol halaman rumah itu, Alap-alap Jalatunda berkata kepada salah seorang penjaganya,
“Beri aku pedangmu itu. Kau akan dapat mengambilnya lagi.”
Orang itu diam termangu-mangu. Tetapi Alap-alap Jalatunda berkata lagi,
“Berikan pedangmu itu. Cepat! Dengan wrangkanya.”
Orang itu tidak menjawab. Tetapi dilepaskannya pedang beserta wrangkanya, dan diserahkannya kepada Alap-alap Jalatunda.
“Terima kasih,” berkata Alap-alap Jalatunda sambil menyerahkan pedang itu kepada Wuranta.
“Anak muda ini adalah anak muda yang berasal dari Jati Anom. Ia adalah kawan kita. Kenalilah baik-baik.”
Orang-orang di dalam gardu itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian keduanya meneruskan perjalanan mereka. Di sepanjang jalan itu, Alap-alap Jalatunda masih sempat berceritera tentang Padepokan Tambak Wedi. Berceritera tentang dirinya dan tentang orang-orang Jipang yang berada di padepokan itu.
“Kekuatan Tambak Wedi benar-benar di luar dugaanku,” berkata Wuranta.
“Alangkah besar pengaruh Ki Tambak Wedi, sehingga ia mampu mengumpulkan sekian banyak laki-laki yang siap untuk bertempur di pihaknya.”
“Huh,” Alap-alap Jalatunda mencibirkan bibirnya,
“omong kosong. Siapakah yang berkata demikian?”
“Sidanti. Bahkan Sidanti akan dapat mengambil kekuatan yang tidak terhingga dari Bukit Menoreh.”
“Anak itu memang seorang pembual. Sejak kita berada di sini ia berkata, bahwa ia akan dapat menyusun kekuatan yang tidak akan dapat terkalahkan.”
“Bukankah kekuatan itu kini telah terbentuk?”
“Kekuatan ini adalah kekuatanku. Mereka adalah orang-orang Jipang yang setia kepadaku. Sepeninggal Tohpati, tak ada orang lain yang dapat mereka percaya selain aku.”
Wuranta mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun di dalam kepalanya menjalar suatu pengertian baru, bahwa para pemimpin di padepokan itu ternyata saling berebut pengaruh.
“Jadi siapakah sebenarnya yang berkuasa di sini?”
Alap-alap Jalatunda terdiam sejenak. Pertanyaan itu sukar dijawabnya. Namun kemudian katanya,
“Akulah yang berkuasa atas orang-orang Jipang. Tetapi karena Sidanti di sini adalah tuan rumah, maka aku wajib menghormatinya. Ia adalah murid Ki Tambak Wedi. Seorang yang memiliki padepokan ini.”
Wuranta masih mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali lagi ia bertanya,
“Bagaimanakah hubungan Sidanti dengan orang-orang Jipang yang berada di bawah pimpinanmu itu?”
Sekali lagi Alap-alap Jalatunda mendapat pertanyaan yang sulit. Tetapi akhirnya ia menjawab,
“Orang-orang Jipang di sini menghormatinya. Bukan karena anak itu sendiri, tetapi karena gurunya, Ki Tambak Wedi.”
Wuranta terdiam sejenak. Tiba-tiba teringat olehnya, bahwa Sidanti telah membawa lari seorang gadis Sangkal Putung. Adik Swandaru seperti yang diceriterakan kepadanya. Karena itu maka tiba-tiba timbullah keinginannya untuk bertanya,
“Apakah Sidanti telah beristri?”
Alap-alap Jalatunda mengerutkan keningnya.
“Belum,” jawabnya.
“Ia adalah laki-laki pengecut. Ia menyimpan seorang gadis di padepokan ini. Tetapi ia tidak berani mendekatinya. Kalau gadis itu dibiarkannya saja, maka ia akan menyesal. Akulah nanti yang akan mendapatkannya.” Alap-alap itu kemudian tertawa terbahak-bahak, sehingga beberapa orang yang sedang berjaga-jaga di tepi jalan menjadi terkejut karenanya. Namun tiba-tiba ia berhenti tertawa dan berkata,
“He, sampai ke mana aku mengantarmu?”
Wuranta tertegun mendengar pertanyaan itu sehingga keduanya tiba-tiba saja berhenti. Sejenak Wuranta memandangi wajah Alap-alap Jalatunda, dan sejenak kemudian ia berkata,
“Terserahlah kepadamu. Tetapi agaknya kau sudah berjalan terlampau jauh.”
Alap-alap Jalatuda mengerutkan keningnya. Katanya,
“Kita sudah berjalan sampai beberapa puluh langkah dari regol padepokan. Tetapi kau masih belum lepas dari lingkaran pengawasan orang-orangku. Marilah, aku antar kau beberapa puluh langkah lagi sampai penjagaan yang terakhir.”


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar