SEKALI lagi Sidanti tersenyum. Betapapun dadanya bergolak karena lepasnya Agung Sedayu, namun terhadap anak muda Jati Anom ini ia ingin bersikap baik, sebagai permulaan dari hubungannya dengan anak-anak muda di kademangan ini.
“Ia menjadi
ketakutan, Paman. Mungkin aku dapat menolongnya.”
“Apakah
pedulimu atas pengecut itu?”
Sidanti
mengerutkan keningnya. Kemudian katanya,
“Hubungan yang
baik antara kita dan anak-anak muda Jati Anom akan berakibat baik, Paman.”
Argajaya
menggeram. Namun ia tidak menjawab. Meskipun demikian pandangan matanya yang
tajam seolah-olah telah menghunjam menembus jantung Wuranta.
“Wuranta,”
berkata Sidanti kepada anak Jati Anom itu,
“apakah kau
menyangka bahwa suatu ketika Agung Sedayu akan kembali kemari?”
“Itu adalah
hal yang mungkin sekali, Tuan. Bahkan mungkin tidak akan terlampau lama lagi.
Hari ini, siang, atau malam nanti.”
“Lalu
bagaimana dengan kau?”
Wuranta
terdiam sejenak. Kemudian desisnya perlahan-lahan,
“Agung Sedayu
melihat aku datang bersama Tuan-tuan. Aku sangka ia pasti mendendamku.”
“Lalu?”
“Aku harus
bersembunyi, Tuan.”
Sidanti
mengerutkan keningnya. Sejenak ia berpikir. Dan ia tiba-tiba bertanya,
“Apakah kau
ingin ikut aku?”
Pertanyaan itu
adalah pertanyaan yang ditunggu-tunggunya. Tetapi meskipun demikian Wuranta
tidak segera menjawab. Wajahnya tampak ragu-ragu.
“Buat apa kau
bawa anak itu?” bertanya Argajaya.
“Apa salahnya
kita menolongnya, Paman. Mungkin anak muda ini dapat membantu kita.”
“Hanya seorang
pemberani yang bermanfaat bagi kita. Bukan seorang pengecut. Seandainya daerah
ini kelak, seperti diduga oleh Ki Tambak Wedi, akan menjadi landasan bagi
Untara untuk meloncat ke padepokan di lereng Gunung Merapi itu, maka anak
semacam itu tidak akan bermanfaat.”
“Tidak, Paman.
Mungkin ia akan berguna kelak.”
“Buat apa? Ia
tidak akan berani menginjak tanah ini kembali. Kalau kita memerlukan seorang
anak muda yang dapat memberi kita beberapa keterangan, ia harus seorang anak
yang berani. Berani berada di kampung halamannya untuk menyampaikan sesuatu
kepada kita. Tetapi anak ini? Biar sajalah ia mampus dibunuh Agung Sedayu.”
Sidanti
menegangkan wajahnya sejenak. Namun kemudian ia tertawa. Katanya,
“Paman adalah
seorang pengawal yang berani. Karena itulah Paman merasa muak melihat seorang
yang berada di dalam ketakutan. Tetapi adalah jauh berbeda, Paman dan anak muda
Jati Anom ini.”
Wuranta
memperhatikan pembicaraan tentang dirinya yang berlangsung di hadapan
hidungnya, dengan demikian ia pun
mampunyai penilaian atas kedua orang itu. Argajaya adalah seorang pemberani
yang lugu. Yang terlampau percaya pada kekuatan diri. Sedang Sidanti adalah
seorang iblis yang licik. Keduanya pasti akan sangat berbahaya baginya. Bahkan
disadarinya, bahwa kepercayaan Sidanti kepadanya itu pun harus diterima dengan sangat hati-hati.
Namun bagaimanapun juga ia melihat kebenaran anggapan keduanya. Argajaya pun mempunyai alasan yang kuat untuk
menolaknya. Karena itu, maka ia menyesal, bahwa ia telah bersikap terlampau
takut menghadapi keadaan. Tetapi semuanya telah terlanjur. Ia harus dapat
memanfaatkan apa yang masih dipunyainya sekarang.
Yang bertanya
kepadanya kemudian adalah Sidanti,
“Wuranta.
Apakah kau ingin turut aku?”
Kembali
Wuranta terdiam.
“Kau akan
tinggal bersama pasukanku di padepokan guruku. Mungkin kau akan mengalami
hal-hal yang baru, yang dapat merubah sikapmu itu.”
Dengan ragu-ragu
Wuranta kemudian bertanya,
“Lalu apakah
tugasku di sana, Tuan?”
“Huh,”
Argajaya berdesah,
“hanya
orang-orang yang terlampau bodoh yang bertanya demikian.”
“Ya,” sahut
Sidanti,
“ternyata kau
memang agak terlampau bodoh. Tetapi tak apalah. Sebenarnya melihat wajahmu aku
mempunyai harapan, bahwa kau akan berguna bagi kami, tetapi agaknya otakmu
terlampau tumpul untuk wajah yang cerah itu.”
Sekali lagi
dada Wuranta berdesir. Kembali ia membuat kesalahan. Namun agaknya ia masih
mempunyai harapan ketika Sidanti berkata,
“Yang pertama
kau ucapkan adalah kesanggupan. Mungkin kau harus berbuat sesuatu yang dapat
membahayakan jiwamu. Bukankah kami terdiri dari prajurit-prajurit yang sedang
memperjuangkan suatu cita-cita?”
“Tak akan ia
ketahui apakah yang kau sebut cita-cita itu Sidanti. Baginya tak akan
dimengerti, apakah arti Pajang dan Jipang. Apakah arti perjuangan Ki Tambak
Wedi menentang kekuasaan Pajang sekarang ini. Untuk apa dan bagaimana?”
Sidanti
terdiam. Tiba-tiba anak muda itu merenungi wajah pamannya. Di dalam hati
kecilnya sendiri terbersit suatu pertanyaan,
“Apakah
pamannya mengetahuinya? Apakah pamannya menyadari, bahwa di padepokan gurunya
sekarang ada dua pihak yang mempunyai pancadan yang berbeda menghadapi Pajang?
Dan apakah pamannya sendiri menyadari sepenuhnya, untuk apa ia berjuang? Untuk
apa Ki Tambak Wedi menentang Pajang?”
Sebenarnya
Sidanti sendiri telah beberapa lama berusaha mencari alasan yang tepat yang
dapat dipergunakannya untuk membenarkan sikapnya menentang Pajang. Tetapi ia
tidak dapat menemukannya. Sementara ia dapat memuaskan dirinya dengan alasan
yang dicari-carinya. Mungkin ia dapat mengatakan kepada orang lain, bahwa
ternyata Pajang berbuat sewenang-wenang. Pajang sebenarnya tidak berhak untuk
melintir kedudukan Demak, merajai hampir seluruh pulau Jawa. Mungkin ia dapat
berpura-pura membenarkan sikap Arya Penangsang dari Jipang. Tetapi ia tidak
dapat berbuat demikian kepada diri sendiri. Ia tidak dapat berkata bahwa Pajang
tidak berhak mewarisi kekuasaan Demak. Ia tidak dapat mengatakan kepada dirinya
sendiri bahwa Pajang berbuat sewenang-wenang. Beberapa usaha dari bupati-bupati
di sepanjang pesisir untuk melepaskan diri dari kekuasaan Demak setelah Demak
jatuh, tidak dapat disejajarkan dengan usahanya itu. Meskipun dari segi
kekuatan dan jumlah prajurit yang akan dapat dihimpunnya Sidanti tidak perlu
cemas. Di belakangnya terbentang suatu daerah yang luas di Pegunungan Menoreh.
Sisa-sisa kekuatan Jipang dan pengaruh Ki Tambak Wedi di sekitar lereng Merapi.
Bupati-bupati di pesisir pasti tidak akan dapat berbuat seperti apa yang
dilakukan oleh sisa-sisa prajurit Jipang yang putus asa itu. Sidanti yang
kebingungan itu hanya dapat menemukan jawaban yang sama sekali tidak
dikehendakinya. Meskipun demikian setiap kali terdengar suara yang tidak
diinginkannya itu, suara dari relung yang jauh di dasar hatinya, bahwa
pemberontakan ini hanya sekedar didorong oleh nafsu, ketamakan, dendam, dan
kebencian. Inikah cita-cita? Nafsu untuk berkuasa dan kedudukan yang baik
dengan cepat, ketamakan yang berlebih-lebihan, dendam yang menyala-nyala di
dalam dadanya karena kegagalan-kegagalannya selama ini. Sementara itu hatinya
dibakar oleh kebencian yang hampir-hampir tidak dapat terkendali lagi.
Wuranta, anak
muda Jati Anom masih berdiri di mukanya dengan wajah termangu-mangu. Kata-kata
Argajaya benar-benar telah mencemaskannya. Ia melihat orang itu sebagai
seseorang yang banyak harus mendapat perhatiannya. Orang itu pada saat pertama
telah tidak menyenanginya. Maka bahaya daripadanya adalah bahaya yang pasti
akan menjadi paling besar. Karena Sidanti dan Wuranta masih juga berdiam diri,
maka Argajaya-lah yang berkata pula,
“Nah, Sidanti
tanyakanlah, untuk apa ia ikut ke padepokan Ki Tambak Wedi. Kau akan tahu dan
kau akan dapat mengukur sampai di mana tingkat kecerdasan otaknya.”
Sidanti
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dalam kebimbangan terdengar ia bertanya,
“Ya, untuk apa
kau ingin ikut bersama kami, Wuranta?”
Pertanyaan itu
telah mendebarkan jantung Wuranta. Untuk masuk ke padepokan Ki Tambak Wedi
memang bukan pekerjaan yang mudah. Ia harus berhati-hati menilai pertanyaan
itu. Ia tidak akan dapat menjawab dengan alasan yang dibuat-buatnya seolah-olah
ia memihak kepada Jipang untuk menentang Pajang. Alasan yang terlampau
dibuat-buatnya pasti akan menimbulkan kecurigaan atas mereka berdua setelah
mereka kecewa terhadapnya karena kebodohannya. Karena itu maka dicobanya untuk
menghindari jawaban atas pertanyaan itu, katanya,
“Bukankah Tuan
yang telah menawarkan kepadaku untuk turut ke padepokan lereng Merapi?”
Argajaya
mengerutkan keningnya.
“Gila,” desisnya.
“Agaknya kau
pandai juga berbantah. Tetapi jawaban itu hanya menambah keyakinanku bahwa kau
benar-benar anak yang bodoh.” Kemudian kepada Sidanti ia berkata,
“Lepaskan
keinginanmu untuk membawanya.”
Tetapi agaknya
Sidanti berpendirian lain. Tenyata anak muda itu tertawa,
“Jawabanmu
benar,” katanya,
“memang akulah
yang telah menawarkan kepadamu apakah kau ingin turut dengan aku ke lereng
Merapi.”
“Lalu
bagaimana maksudmu, Sidanti?”
“Aku bawa
orang ini, Paman. Mungkin justru kebodohannya itu akan dapat membantu kami
dalam beberapa kepentingan yang sesuai dengan sifatnya itu.”
“Terserahlah
kepadamu, Sidanti. Mungkin juga ia dapat membantu mengambil air di pancuran
atau memanjat kelapa di kebun-kebun.”
Sidanti mengangguk-angguk
sambil berkata,
“Mungkin,
Paman, tetapi mungkin juga untuk kepentingan yang lain.”
Argajaya tidak
mau berdebat lagi dengan kemenakannya. Ia merasa bahwa Sidanti lebih banyak
berwenang dari padanya. Karena itu maka katanya kemudian,
“Aku akan
kembali.”
“Baiklah,
Paman. Kita kembali ke padepokan.” Kemudian kepada orang-orangnya ia berkata,
“Kita kembali
sekarang.”
Argajaya tidak
menunggu mereka. Segera ia melangkahkan kakinya mendahului berjalan ke arah
Barat, memunggungi matahari yang sedang memanjat lebih tinggi menghadap lereng
Merapi yang ujungnya menjadi kemerah-merahan seperti sedang terbakar. Dari
mulutnya mengepul asap yang putih, membumbung tinggi, namun kemudian menghambur
karena sentuhan angin pagi. Orang-orang Sidanti itu pun kemudian berjalan pula menyusul Argajaya
di belakangnya, sedang Sidanti berjalan paling belakang bersama Wuranta. Ketika
mereka meninggalkan tlatah Jati Anom maka bertanyalah Sidanti,
“Kau
benar-benar ingin meninggalkan kampung halamanmu?”
Wuranta
memandangi wajah Sidanti dengan heran. Denga hati-hati ia bertanya,
“Kenapa
meninggalkan, Tuan? Apakah aku kelak tidak akan dapat kembali lagi?”
“Tentu. Kau
tentu akan kembali. Bahkan hari ini kau dapat juga kembali ke kademangan ini.”
Wuranta heran
mendengar jawaban Sidanti itu. Hari ini ia dapat kembali ke Kademangan Jati
Anom, apakah maksudnya? Tetapi ia tidak segera menjawab atau bertanya. Ia
menunggu Sidanti itu menyatakan maksudnya. Ia harus sangat berhati-hati
menghadapi anak muda yang tampaknya selalu tersenyum-senyum saja ini. Namun di
balik wajahnya yang terang itu, Wuranta merasakan sifat-sifat yang tidak dapat
dijajaginya.
“Wuranta,”
berkata Sidanti itu kemudian,
“kembali atau
tidak kembali ke Jati Anom itu sangat tergantung kepadamu sendiri. Kepergianmu
ke lereng Merapi ini, meskipun berdasarkan atas tawaranku, tetapi aku terdorong
oleh keinginanku melindungimu karena kau takut terhadap Agung Sedayu.”
“O,” Wuranta
hanya mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Apabila kau
suatu ketika merasa berani datang kembali ke kampung halamanmu, apakah
keberatannya?”
“Tentu,” sahut
Wuranta dengan wajah yang bersungguh-sungguh,
“aku tentu
berani datang kembali ke kedemangan ini.”
“Kenapa kau
sekarang takut kami tinggalkan?”
“Aku dapat
kembali di malam hari, Tuan. Meskipun seandainya Agung Sedayu ada di rumahnya,
maka aku akan dapat memilih jalan yang tak mungkin dilihatnya. Meskipun kami
sama-sama anak Jati Anom, namun beberapa bulan terakhir Agung Sedayu tidak ada
di rumah. Ia tidak melihat keadaan terakhir dari kampung halamannya, sehingga
sudah tentu aku lebih mengenalnya, apalagi di malam hari dan lebih-lebih lagi
apabila aku bersenjata seperti Agung Sedayu.”
“Kau ingin
membawa pedang seperti aku?”
“Aku memang
pernah belajar bermain pedang.”
“Siapakah yang
mengajarimu?”
Wuranta
mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia berkata,
“Justru ayah
Agung Sedayu semasa hidupnya.”
“Ki Sadewa?”
Sidanti terkejut.
Wuranta
mengangguk.
“Jadi kau murid
Ki Sadewa?”
“Tidak
sepenuhnya, Tuan. Aku belum menjadi muridnya. Ki Sadewa agaknya ingin melihat
apakah aku mampu menjadi muridnya. Tetapi sampai saat meninggalnya, aku tidak
pernah dijadikannya muridnya. Mungkin pengaruh yang demikian itulah yang menyebabkan
aku takut terhadap anak-anak Ki Sadewa. Apalagi dengan Untara. Kalau ia yang
datang dengan tiba-tiba saat ini, mungkin aka sudah mati membeku.”
Sidanti
mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia mempunyai penilaian yang agak berbeda
terhadap Wuranta yang disangkanya sekedar anak yang terlampau bodoh. Mungkin
otak anak muda itu memang tidak terlampau baik sehingga Ki Sadewa tidak
meneruskan maksudnya untuk menuntun anak itu, apalagi menjadikan muridnya. Tetapi
mungkin pula karena sebab-sebab lain. Kali ini Wuranta berusaha untuk mencuri
pusaka yang terdapat di dalam rumah Agung Sedayu.
“Mudah-mudahan
sifat anak itu tidak terlalu baik. Dengan demikian aku akan dapat
mempergunakannya untuk kepentingan yang barangkali sesuai dengan sifatnya yang
tidak baik itu,” pikir Sidanti sambil melangkahkan kakinya di samping Wuranta.
Tiba-tiba
Sidanti itu bertanya,
“Kalau kau
membawa pedang apakah kau berani melawan Agung Sedayu seorang melawan seorang?”
Wuranta
terdiam sejenak. Sekali lagi ia membuat penilaian atas pertanyaan-pertanyaan
Sidanti. Dan kali ini ia menjawab,
“Sebenarnya
belum tentu aku dapat dikalahkan, Tuan. Tetapi aku merasa bahwa Agung Sedayu
adalah anak Ki Sadewa. Sebenarnya aku tidak hanya belajar kepada Ki Sadewa
sendiri, Tuan. Aku juga belajar kepada tetangga-tetangga yang lain, bahkan
anak-anak muda di Jati Anom ini menganggap aku melampaui diri mereka. Tak ada
seorang pun yang berani melawan aku
berkelahi.”
“Bagaimana
dengan Untara dan Agung Sedayu?”
“O,” Wuranta
menelan ludahnya. Ia harus memainkan peranannya, cukup baik. Kalau tidak, anak
muda yang dihadapi itu agaknya cukup tajam untuk menangkap kesalahan-kesalahan
yang kecil sekalipun.
“Keduanya itu
terkecuali, Tuan.”
Sidanti
tersenyum. Ia mendapat kesan baru pada anak muda Jati Anom itu. Dan ia tidak menyembunyikan
kesannya. Katanya,
“Kau anak muda
yang sombong. Tetapi aku tidak yakin bahwa kau dapat memenuhi sepersepuluh dari
kata-katamu itu.”
“Kenapa,
Tuan?” sahut Wuranta dengan tiba-tiba sehingga langkahnya terhenti.
“Kenapa
tidak?”
“Kau berani
kembali ke Jati Anom sekarang?”
“O,” Wuranta
terdiam. Sementara itu Sidanti tertawa.
“Jangan
sekarang, Tuan.”
“Baik. Nanti
malam?”
“Tentu, Tuan,
apakah sebabnya aku tidak berani.”
“Wuranta,”
berkata Sidanti,
“kau akan
menjadi kawanku yang terpercaya kalau kau dapat melakukan pekerjaan yang akan
aku berikan kepadamu.”
“Pekerjaan
apakah itu, Tuan?”
“Tidak terlalu
sulit. Kau hanya akan mondar-mandir saja. Dari padepokanku ke Jati Anom dan
sebaliknya.”
“Untuk apa,
Tuan?”
“Apakah
anak-anak muda di Jati Anom menaruh kepercayaan kepadamu?”
“Tentu, Tuan,”
sahut Wuranta.
“Aku adalah
tetua anak-anak muda di sini meskipun tidak dinyatakan secara resmi. Memang ada
satu dua anak yang tidak mau tunduk kepadaku dan kepada sebagian besar dari
anak-anak muda Jati Anom, tetapi dalam kesempatan seperti sekarang ini, mereka
pasti akan segera aku singkirkan.”
“Singkirkan
bagaimana?” bertanya Sidanti.
Wuranta mengerutkan
keningnya, jawabnya,
“Aku pernah
juga melakukannya, Tuan. Aku bunuh anak yang melawan kehendakku beberapa hari
yang lalu.”
Kini Sidanti
tersenyum di dalam hati. Ia menemukan seorang anak muda yang menyenangkan.
Pengecut, sombong, pendendam, pembual, dan licik. Namun Sidanti bukan anak
kemarin sore untuk segera mempercayainya. Sidanti cukup berhati-hati menghadapi
anak-anak muda yang baru saja dikenalnya. Terhadap Wuranta ini pun Sidanti cukup waspada meskipun tidak
tampak pada wajah serta sikapnya. Meskipun seakan-akan ia dapat mempercayai
setiap kata-kata Wuranta, namun setiap kali Sidanti itu mempersoalkannya di
dalam hatinya. Perjalanan mereka itu pun
semakin lama menjadi semakin dekat dengan padepokan Ki Tambak Wedi di lereng
Merapi. Mereka kini telah melewati Randu Lanang. Dan beberapa ratus langkah
lagi mereka telah memasuki tlatah padepokan Ki Tambak Wedi. Namun yang beberapa
ratus langkah itu terdiri dari jurang-jurang yang curam, tebing yang terjal di
antara hutan yang membujur di lereng-lereng Gunung Merapi.
“Inilah
padepokan kami,” berkata Sidanti kepada Wuranta ketika mereka melihat sebuah
padepokan di antara rimbunnya dedaunan dan dikitari oleh hutan-hutau yang
tipis.
“Di sinilah
aku berprihatin selama bertahun-tahun membentuk diri di bawah pimpinan Ki
Tambak Wedi. Dan kini sebagian dari prajurit Jipang pun berada di sana pula.”
Wuranta
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ketika ia melihat berkeliling, maka hatinya
menjadi berdebar-debar. Setiap kali ia melihat ujung tombak mencuat dari balik
batu-batu dan dari belakang pepohonan. Beberapa kali pula ia melihat dua orang
yang asyik duduk di atas sebongkah batu. Namun ternyata bahwa kedua orang itu
adalah dua orang di antara para pengawas yang bertebaran.
“Penjagaan di
sini cukup baik,” desis Wuranta di dalam hati.
“Alangkah
sulitnya untuk dapat masuk tanpa diketahui meskipun malam hari.”
Tetapi Wuranta
tidak segera menjadi putus asa melihat kerapatan penjagaan itu. Ia yakin, bahwa
di suatu tempat, akan dapat diketemukan tempat-tempat yang lemah dari penjagaan
itu.
“Apakah yang
sedang kau renungkan,” tiba-tiba Wuranta terkejut mendengar pertanyaan Sidanti.
“Tidak
apa-apa,” sahut Wuranta,
“tetapi aku
heran apakah di tempat ini dapat diperoleh makan yang cukup bagi seluruh isi
padepokan?”
“Pertanyaanmu
yang pertama-tama berhubung dengan tempat ini adalah soal makan. Kenapa?”
Wuranta tidak
segera menjawab. Ternyata setiap kata-katanya mendapat penilaian cukup cermat.
“Kenapa kau
tidak bertanya tentang kekuatan yang tersimpan di dalam padepokan ini? Atau
siapa saja yang tinggal di padepokan ini sekarang. Atau di mana saja kami
menempatkan para penjaga kami?”
Wuranta
tiba-tiba tersenyum. Katanya,
“Itu tidak
menarik perhatianku, Tuan. Aku adalah seorang petani. Ketika aku melihat tanah
di lereng ini, aku segera menyangka bahwa di sini tidak banyak dibangun
tanah-tanah persawahan meskipun aku melihat parit yang mengalirkan air yang
cukup.
“Kau salah
Wuranta,” jawab Sidanti,
“agak di
bagian atas kau akan melihat sawah yang bertingkat-tingkat. Sebuah air terjun
yang cukup besar dan kebun-kebun salak yang luas. Nanti kau akan menyaksikan
sendiri, bahwa padepokan ini tidak kalah ramainya dengan Kademangan Jati Anom.
Tetapi bagi kaum dagang, padepokan kami tidak menarik perhatian. Tidak seperti
Jati Anom yang reja. Apalagi Sangkal Putung yang merupakan persimpangan jalan
bagi para pedagang keliling. Sehingga setiap kali orang-orang kami harus turun
menukarkan hasil bumi kami dengan orang-orang di bawah kaki Gunung Merapi.
Dengan Kademangan Jati Anom misalnya. Tetapi kalau kau bertanya tentang pande
besi, maka pande besi kami jauh lebih baik dari pande besi di mana pun. Lebih
baik dan lebih banyak. Pande besi Sendang Gabus yang terbunuh itu pun bukan seorang yang mengagumkan di daerah
kami, daerah Tambak Wedi.”
“Nama apakah
sebenarnya Tambak Wedi itu, Tuan?”
“Nama tempat.
Padepokan kami adalah Padepokan Tambak Wedi. Orang yang bertanggung jawab atas
padepokan kami kemudian disebut orang Ki Tambak Wedi.”
Wuranta
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali lagi ia mengedarkan pandangan matanya
menebar ke sekitar Padepokan Tambak Wedi. Ternyata memang tanah itu adalah
tanah yang subur. Adalah di luar dugaannya bahwa padepokan setinggi itu
ternyata berpenduduk cukup padat. Kini padepokan itu menjadi semakin padat
karena orang-orang Jipang di bawah pimpinan Sanakeling berada di sana pula. Sejenak
kemudian maka mereka pun telah memasuki
Padepokan Tambak Wedi itu. Mereka menyusup sebuah regol yang besar pada dinding
padepokan yang tebal, kuat dan tinggi. Dinding batu hitam yang diatur cukup
baik melingkar seputar padepokan yang ramai.
“Dinding
ini pun merupakan sebuah persoalan,” desis
Wuranta di dalam hatinya.
“Apakah
seseorang akan dapat meloncati dinding setinggi ini? Mudah-mudahan ada
bagian-bagian yang setidak-tidaknya mungkin dapat dipanjat.”
Tetapi Wuranta
kemudian tidak mendapat kesempatan lagi untuk berangan-angan. Segera ia sampai
ke sebuah rumah yang cukup besar. Sidanti membawanya masuk ke dalam rumah itu.
Dan di dalam rumah itu ditemuinya para pemimpin yang lain. Sanakeling,
Alap-alap Jalatunda, dan yang lain-lain. Dengan canggung Wuranta duduk di
antara mereka, di antara orang-orang yang belum dikenalnya. Dengan demikian
maka ia harus menjadi lebih berhati-hati. Setiap katanya harus
dipertimbangkannya masak-masak supaya ia tidak terjerumus dalam kesulitan. Beberapa
orang dari mereka menerima kedatangan Wuranta dengan sikap acuh tak acuh. Ada
yang sama sekali tidak memperhatikannya lagi seperti Argajaya. Kehadiran
Wuranta bagi mereka sama sekali tidak berarti apa-apa. Tetapi ada juga di
antara mereka yang menyambutnya dengan ramah. Hubungan yang baik dengan Jati
Anom akan sangat menguntungkan mereka. Terutama dalam segi kekuatan.
Setidak-tidaknya Jati Anom jangan sampai menjadi pangkalan yang baik bagi
Untara seperti Sangkal Putung. Kalau anak-anak mudanya tidak membantu, maka
kedudukan Untara pun tidak akan sekuat
kedudukan Widura di Sangkal Putung. Demikian jugalah harapan Sidanti. Ia
mengharap Wuranta dapat membantunya, membuat Jati Anom benteng pertama bagi
pertahanan Tambak Wedi. Tetapi dalam waktu yang pendek ini dia belum dapat
mengirimkan pasukannya ke Jati Anom karena berbagai pertimbangan. Terutama
pertimbangan tentang kekuatan yang belum mencukupi untuk dibagi-bagi. Kalau ia
menempatkan sebagian dari kekuatannya di Jati Anom, maka kekuatannya itu pasti
tidak akan dapat melawan seandainya Untara datang dengan prajurit
segelar-sepapan. Sedangkan menurut perhitungannya, maka kedatangan Untara pasti
tidak akan terlalu lama lagi. Maka yang dapat dikerjakannya sekarang adalah
mempengaruhi anak-anak muda Jati Anom, supaya mereka tidak dapat bekerja
bersama dengan orang-orang Pajang, meskipun Untara dan Agung Sedayu sendiri
berasal dari Jati Anom.
Wuranta adalah
salah seorang dari anak-anak muda Jati Anom yang akan dijadikannya alat untuk
itu. Karena itu, maka setelah mereka duduk bersama sejenak, maka diajaknya
kemudian Wuranta berjalan-jalan di dalam padepokan itu. Ditunjukannya beberapa
bagian dari kekuatannya di Padepokan Tambak Wedi itu. Diberitahukannya beberapa
nama yang dapat menggetarkan dada anak muda Jati Anom itu. Tetapi sampai
demikian jauh, Sidanti masih tetap menyimpan rahasia-rahasia yang penting. Ia
masih belum dapat mempercayai anak muda yang baru saja dibawanya itu.
“Apakah yang
menarik perhatianmu, Wuranta?” bertanya Sidanti kemudian.
“Tuan,” jawab
Wuranta, “padesan yang di tengah-tengahnya dibelah oleh sebuah sungai adalah
padesan yang baik. Kehidupan di atasnya pasti diliputi oleh suasana tenteram
dan damai seperti padukuhan ini. Apalagi menurut penglihatan sepintas,
padukuhan ini pun dikelilingi oleh jalan
yang cukup lebar. Bukankah begitu?”
“Memang padesan
ini dibelah oleh sebuah sungai,” sahut Sidanti.
“Tetapi tidak
dikelilingi penuh oleh jalan seperti yang kau maksud. Di sisi Timur dan Utara
memang membujur jalan yang cukup lebar. Di sisi Barat sebuah jalan sempit,
tetapi di sisi Selatan padepokan ini berbatasan dengan sebuah pategalan.”
Wuranta
mengangguk-anggukkan kepalanya, tetapi ia tidak segera bertanya.
“Kau memang
seorang petani yang tekun,” berkata Sidanti.
“Perhatianmu
yang pertama-tama tertuju pada sungai, jalan dan parit. Apakah kau tidak tertarik
kepada hal-hal yang lain?”
“Tentu, Tuan,”
jawab Wuranta,
“aku tertarik
juga akan kekuatan prajurit di Tambak Wedi ini. Aku tertarik kepada ketabahan
hati mereka.”
“Apakah kau
tidak ingin menjadi seorang prajurit? Bukankah kau sudah pernah belajar bermain
pedang?”
“Tentu, Tuan,
aku ingin menjadi seorang prajurit yang baik. Seperti Tuan, misalnya.”
Sidanti
tertawa.
“Kau pasti
akan dapat menjadi seorang prajurit yang baik.”
Wuranta tertawa
pula. Katanya,
“Tuan
berolok-olok.”
Sidanti masih
juga tertawa, tetapi ia tidak menjawab kata-kata Wuranta itu. Sejenak ia
berdiam diri sambil melangkah mengelilingi padepokannya yang cukup luas. Setiap
kali mereka bertemu dengan beberapa orang laki-laki yang garang dengan pedang
di lambung masing-masing.
“Hem,” desah
Wuranta di dalam hatinya,
“padukuhan ini
penuh dengan senjata yang siap menyambut pasukan Pajang apabila mereka datang
kemari. Alangkah sulitnya untuk mencapai padepokan ini. Di antara cerung-cerung
jurang dan tebing, pasukan Tambak Wedi mendapat kesempatan yang cukup banyak
untuk menyambut pasukan Pajang apabila mereka merayap naik.”
“Wuranta,”
tiba-tiba Sidanti berkata,
“kau dapat
mencoba membantu kami apabila kau mau. Tetapi kau harus yakin bahwa kami akan
dapat mengenyahkan kekuasaan Pajang, setidak-tidaknya untuk sementara dari
tlatah di sekitar Gunung Merapi. Pengaruh Ki Tambak Wedi cukup luas di sini.
Sekarang baru dihimpunnya orang-orang yang percaya kepada kekuatannya.
Orang-orang dari segenap sudut daerah ini. Orang-orang dari Prambanan, Mayungan,
Pucangan, Asem Gede, bahkan kelak pasti dari daerah yang lebih jauh, Wanakerta
dan Mangir. Sedang aku sendiri adalah Putera Kepala Tanah Perdikan Menoreh yang
luas. Semuanya itu akan merupakan landasan yang kuat untuk melawan Pajang yang
kini agaknya harus menghadapi kekuatan para bupati di Pesisir Utara. Suatu
ketika pasukan Pajang akan menjadi semakin lemah, sedang kita menjadi semakin
kuat. Suatu ketika maka Untara dan Widura pasti akan ditarik kembali untuk
menghadapi pemberontakan di sebelah timur kekuasaan Demak lama. Nah, dalam pada
itu kami akan dapat membangun kekuatan. Kau tahu, bahwa Jati Anom akan dapat
menjadi benteng yang kuat dari kekuasaan Ki Tambak Wedi di sini? Kelak Jati
Anom pasti akan menjadi pintu gerbang yang ramai dari suatu daerah yang besar
yang dapat menyaingi Pajang sekarang ini. Sebentar lagi Paman Argajaya akan
kembali ke Menoreh. Paman akan segera kembali membawa kekuatan yang lebih besar
dari kekuatan Pajang di daerah ini, sementara itu kita akan membangun terus.
Dalam pada itu, bantuan anak-anak muda Jati Anom sangat kami harapkan. Kami
tidak akan melupakan jasa-jasa yang telah kalian berikan. Terutama kau apabila
kau mampu menghubungi anak-anak muda sebayamu.”
Wuranta
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mendengar sebuah rencana yang besar dari
seorang putera kepala Tanah Perdikan. Ia percaya bahwa Sidanti dapat
mengerahkan tenaga manusia cukup banyak dari tanah pegunungan Menoreh. Ia
percaya bahwa di tanah yang garang seperti Menoreh, pasti telah dilahirkan
laki-laki yang kuat dan garang pula, yang sesuai benar dengan tugas seorang
prajurit dalam keadaan seperti Sidanti dan Argajaya kini. Dan ia dapat juga
mempercayainya bahwa pengaruh Ki Tambak Wedi memang cukup luas di daerah lereng
Gunung Merapi. Beberapa-orang terkenal yang tersebar di beberapa daerah telah
mengakuinya sebagai seorang guru dalam olah kanuragan dan kebatinan. Sejenak
kemudian mereka pun saling berdiam diri.
Sekali-sekali Sidanti mencoba memandang wajah anak muda Jati Anom itu. Tetapi
Sidanti tidak segera mendapat kesan sesuatu pada wajah itu. Namun sejenak
kemudian Sidanti mendengar Wuranta itu bergumam,
“Bukan main.”
“Apa yang
bukan main?”
“Tuan, dan Ki
Tambak Wedi. Apakah kelak Tuan akan dapat menjadi Sultan?”
Sidanti tertawa
semakin keras. Katanya,
“Tidak setiap
orang dapat menjadi Sultan. Tetapi siapa tahu, bahwa suatu ketika aku
mendapatkan tombak Kangjeng Kiai Pleret atau sepasang keris Nagasasra dan Sabuk
Inten atau keris yang keramat Kiai Sengkelat.”
“Apakah
pengaruh senjata-senjata itu?” bertanya Wuranta.
“Senjata-senjata
itu adalah senjata-senjata kebesaran. Senjata itu mempunyai pengaruh atas
orang-orang yang memilikinya.”
Wuranta
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia memang pernah mendengar bahwa pernah terjadi
perjuangan yang dahsyat untuk memperebutkan keris-keris Kiai Nagasasra dan
Sabuk Inten. Tetapi ia tidak membuat tanggapan sepatah kata pun.
“Nah,
pikirkanlah Wuranta. Mungkin kau akan dapat menjadi seorang demang atau seorang
kepala tanah perdikan seperti ayahku. Tetapi apakah kau berani pulang ke Jati
Anom?”
“Kenapa tidak,
Tuan?”
“Kalau bertemu
dengan Agung Sedayu?”
“Sudah aku
katakan, Tuan. Aku akan datang malam hari, sehingga kemungkinan untuk bertemu
dengan Agung Sedayu dapat dihindari.”
“Bagaimana
mungkin kau dapat bertemu dengan anak-anak muda yang lain?”
“Aku kunjungi
rumahnya masing-masing. Kalau aku sudah mempunyai cukup kawan, maka aku akan
dapat menyingkirkan Agung Sedayu.”
“Kalau Untara
datang bersama pasukannya?”
“Kami akan
menyingkir.”
“Jangan.
Biarlah kalian tinggal di rumah kalian masing-masing. Kalian akan merupakan
pembantu yang baik. Kalian dapat memberitahukan kepada kami apa saja yang telah
dilakukan oleh Untara. Tidak perlu kau sendiri, sebab Agung Sedayu telah pernah
melihat kau datang bersama aku. Kau dapat menempatkan beberapa orang di Jati
Anom. Dari mereka kau akan mendapatkan beberapa keterangan yang akan kau bawa
kemari.”
Wuranta
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Bagaimana?”
“Akan aku
coba, Tuan,” sahut Wuranta.
Sidanti
tersenyum. Tetapi senyumnya itu sangat meragukan hati Wuranta. Ia tidak dapat
menduga tepat arti daripada senyumnya itu.
“Apakah kau
masih ingin berjalan-jalan?” tiba-tiba Sidanti bertanya.
“Ya, Tuan. Di
manakah sawah yang bertingkat-tingkat itu?” bertanya Wuranta.
“Perhatianmu
sebagian besar masih tertuju pada sawah dan parit. Tetapi baiklah. Marilah kita
kembali, kau akan mendapat kawan yang baik.”
Wuranta
mengangguk-anggukkan kepalanya. Diikutinya Sidanti berjalan kembali ke banjar
ke tempat para pemimpin laskar di Padepokan Tambak Wedi. Kemudian dipanggilnya
seorang anak muda yang sebaya dengan Wuranta. Alap-alap Jalatunda.
“Adi,” berkata
Sidanti kepada Alap-alap itu.
“Kau mendapat
seorang kawan. Kawan dari Jati Anom yang bersedia membantu perjuangan kita. Ia
ingin melihat-lihat daerah padepokan ini. Tetapi perhatiannya sebagian besar
tertarik pada sawah dan parit-parit. Nah, bawalah ia berjalan-jalan supaya ia
mengenal daerah ini dengan baik.”
Alap-alap
Jalatunda memandangi Wuranta sejenak. Matanya yang tajam telah menumbuhkan
berbagai pertanyaan di hati Wuranta. Tetapi betapa tajam mata anak muda itu,
namun anak muda ini pasti tidak selicik Sidanti.
“Baiklah,”
jawab Alap-alap Jalatunda dengan ragu.
“Marilah, ke
mana kau ingin berjalan-jalan?”
Terasa bahwa
anak muda yang disebut bernama Alap-alap Jalatunda ini agak terlampau kasar.
Namun Wuranta tidak akan dapat menolaknya.
“Pergilah, dan
bawalah ke mana kau suka,” berkata Sidanti kemudian.
Keduanya pun kemudian melangkah keluar. Tetapi belum
lagi mereka meninggalkan halaman, terdengar Sidanti memanggil Alap-alap
Jalatunda. Ketika mereka sudah berhadapan di muka pintu, maka Sidanti pun berbisik perlahan,
“Jangan kau
anggap anak muda itu seperti seekor kelinci yang bodoh. Ternyata ia cerdik
melampaui kancil. Awasi dan ingat-ingat apa saja yang ingin dilihatnya.”
Tiba-tiba
Alap-alap Jalatunda tersenyum,
“Apakah
maksudmu, aku harus menyelesaikannya dan melemparkannya ke sawah atau ke
sungai?”
“Jangan. Kita
harus mendapatkan kepastian, apakah ia dapat kita pergunakan atau tidak.”
Kembali
Alap-alap Jalatunda tersenyum. Katanya,
“Hanya itu
pesanmu?”
“Ya, dan
tumbuhkan kekagumannya atas kekuatan kita.”
Alap-alap
Jalatunda pun kemudian membawa Wuranta
berjalan berkeliling padepokan. Seperti yang dikatakannya, Wuranta ingin
melihat sawah yang bertingkat-tingkat dan parit yang membelah sawah dan
padepokan mereka. Tetapi hampir seluruh padepokan dijelajahinya, namun belum
juga ditemukannya apa yang dicari. Jalan untuk memasuki padepokan itu.
“Aku tidak
boleh tergesa-gesa,” katanya di dalam hati.
“Kalau mereka mencurigai
aku, maka selesailah tugasku. Mungkin kepalaku besok akan ditemukan oleh Agung
Sedayu di muka rumahnya.”
Akhirnya
mereka pun kembali ke tempat para
pemimpin. Kembali Wuranta duduk dengan kaku di tengah-tengah orang yang belum
begitu dikenalnya. Sementara itu ia mendengar Sidanti berkata,
“Wuranta, kau
akan segera menerima tugasmu setelah kau sehari berada di antara kita. Tugas
yang masih sangat ringan. Malam nanti kau harus turun kembali ke Jati Anom.
Lihat apakah yang terjadi di sana, dan coba lihat, apakah Agung Sedayu masih di
sana pula.”
Wuranta
menjadi berdebar-debar mendengar perintah itu. Ia tidak dapat meraba tepat
maksud Sidanti. Ia melihat anak muda itu tersenyum. Dan senyumnya memancarkan
seribu satu macam kemungkinan. Karena Wuranta tidak segera menjawab, maka
berkatalah Sidanti,
“Bagaimana,
apakah kau sanggup melakukannya? Kau tidak perlu takut terhadap siapa pun. Kau
harus belajar berani menghadapi bahaya apabila kau benar-benar ingin menjadi
seorang prajurit yang baik. Kau dapat mengatakan kepada kawan-kawanmu di Jati
Anom tentang apa yang kau lihat di sini. Kekuatan Tambak Wedi tidak akan dapat
digoyahkan hanya oleh kekuatan Untara. Kalau seluruh prajurit Pajang di
sepanjang pantai utara dan di seluruh daerah Bang Wetan ditarik, mungkin Tambak
Wedi dapat bedah. Itu pun baru suatu kemungkinan. Apalagi sebentar lagi kalau
prajurit dari Menoreh sudah datang. Maka tidak akan ada kekuatan yang dapat
memasuki daerah Tambak Wedi. Semuanya pasti akan hancur selagi mereka mencoba
memanjat tebing Gunung Merapi ini.”
Wuranta masih
berdiam diri. Tetapi terasa detak jantungnya menjadi semakin keras memukul
dinding dadanya.
“Nah,
pergilah. Kalau kau masih belum berani bertemu dengan Agung Sedayu, maka
tugasmu hanyalah melihat apakah ia masih berada di Jati Anom.”
Wuranta tidak
akan dapat terus-menerus berdiam diri tanpa menanggapi perintah itu. Karena itu
maka kemudian jawabnya per-lahan-lahan,
“Baiklah,
tuan. Aku akan pergi ke Jati Anom.”
Sidanti
tertawa.
“Kenapa kau
ragu-ragu? Kau takut?”
“Tidak, Tuan,”
sahut Wuranta.
“Baik,” tetapi
Sidanti masih tertawa,
“kalau kau
berangkat senja nanti, maka besok pagi-pagi kau sudah kembali kemari. Kau akan
langsung memberitahukan tugasmu itu kepadaku. Apakah yang telah terjadi di Jati
Anom dan apakah Agung Sedayu masih berada di tempat itu.”
“Baik, Tuan,”
sahut Wuranta.
“Hubungi
anak-anak muda yang dapat mengerti apa yang akan kau katakan kepada mereka.
Kepada yang berkeras kepala kau dapat memberikan gambaran bahwa Tambak Wedi
akan mampu menggilas Jati Anom apabila dikehendaki. Mereka yang menentang akan
hancur, sedang mereka yang memilih perjuangan kami akan menikmati kemenangan.”
“Baik, Tuan.”
“Nah, sekarang
beristirahatlah. Berangkatlah senja nanti. Kau tidak perlu menemui aku lagi.”
Kemudian kepada salah seorang yang berada di tempat itu Sidanti berkata,
“Tempatkan
anak muda ini di rumah Kakek Kriya.”
Wuranta pun kemudian dibawa pergi. Ke pondokan yang
diperuntukkannya. Ia harus beristirahat sejenak supaya senja nanti ia dapat
melakukan tugasnya. Berjalan kembali ke Jati Anom dan pagi-pagi besok ia harus
sudah menghadap Sidanti. Sepeninggal Wuranta, Sidanti melihat Argajaya berdiri
sambil bergumam,
“Buat apa kau
pelihara anak gila itu. Apa pula gunanya kau bawa ia berkeliling padepokan ini
kemudian kau lepaskan kembali ke Jati Anom?”
Sidanti
tersenyum, jawabnya,
“Sudah aku
katakan, Paman. Ia akan merupakan alat yang baik untuk menakut-nakuti anak-anak
muda Jati Anom. Sedangkan kalau anak itu seperti yang dikatakannya, mempunyai
pengaruh yang baik, maka ia akan dapat menjadi jembatan untuk mengenal
anak-anak muda yang lain.”
“Kau terlalu
percaya kepadanya,” berkata Sanakeling.
“Apakah kau
yakin bahwa ia tidak akan berkhianat?”
“Sidanti tidak
akan sebodoh itu,” sahut Sidanti.
“Aku ingin
melihat, apakah ia tidak sekedar alat Agung Sedayu atau Untara untuk menjebak
dan memasukkan orang-orangnya kemari. Karena itu maka aku minta nanti senja
apabila ia pergi, Adi Alap-alap Jalatunda mengikutinya. Lihatlah, apakah ia
berhubungan dengan Agung Sedayu atau tidak. Kalau ia menemui Agung Sedayu, maka
anak itu besok akan tergantung di ujung Kademangan Jati Anom. Mayatnya akan
tergantung-gantung selama seminggu sebelum kita memaksa orang-orang Jati Anom
mengambil dan menguburkannya.”
Sanakeling
mengangguk-anggukkan kepalanya. Argajaya yang sudah melangkahkan kakinya,
tertegun dan berpaling kepada Sidanti. Katanya,
“Kau telah
membuang waktu untuk mengurus anak bodoh itu. Tetapi ada juga baiknya kau
mengirimkan seseorang untuk melihatnya.”
Sidanti tidak
menjawab. Ketika ia melihat wajah Alap-alap Jalatunda, maka dilihatnya anak muda
itu tertawa sambil berkata,
“Aku tidak
saja ingin menggantungnya di ujung Kademangan, bahkan aku ingin menggantung
Agung Sedayu itu sendiri.”
“Jangan
sombong,” desis Sidanti,
“kau hanya
mengamat-amati anak itu. Kalau ia memasuki rumah Agung Sedayu, cobalah lihat,
tetapi hati-hati supaya bukan lehermu yang dijerat oleh Agung Sedayu, apakah
Wuranta menemui Agung Sedayu atau seorang perempuan tua di rumah itu yang
diakunya sebagai bibinya? Kalau ia menemui Agung Sedayu, maka semuanya sudah
jelas. Kau tidak usah berbuat apa-apa. Tinggalkan saja ia pergi supaya kau
tidak mati dibunuh oleh adik Untara itu. Besok anak itu akan datang kemari lagi
untuk menyerahkan lehernya.”
“Aku sendiri
dapat menyelesaikannya, Kakang,” berkata Alap-alap Jalatunda.
“Kurang
menyenangkan. Kita bersama-sama akan membuat perhitungan dengan anak itu.”
“Tetapi,” berkata
Sanakeling,
“apakah
rahasia Tambak Wedi dengan demikian sudah diketahui oleh Agung Sedayu?”
“Tak ada yang
dapat dikatakan tentang padepokan ini selain kekuatan yang tangguh. Ia tidak
melihat suatu kelemahan pun. Aku belum tahu, rahasia apa yang sebenarnya
disembunyikannya di balik keinginannya untuk melihat sawah-sawah dan sungai di
daerah ini.”
Sanakeling
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian kepada Alap-alap Jalatunda ia
berpesan,
“Hati-hatilah
kau, supaya bukan kau yang tergantung di ujung Kademangan Jati Anom.”
Alap-alap
Jalatunda tertawa mendengar pesan Sanakeling. Pesan itu terdengar sebagai suatu
ucapan sendau-gurau saja. Hatinya menjadi gembira mendapat suatu pekerjaan yang
baginya dapat memberi kesegaran setelah beberapa lama ia duduk saja
terkantuk-kantuk di padepokan itu. Kerjanya hanya berjalan hilir mudik, atau
memberi beberapa petunjuk kepada para prajurit dan orang-orang baru yang
berasal dari daerah sekitar padepokan itu, atau orang-orang yang datang dari
berbagai daerah karena pengaruh nama Ki Tambak Wedi atas keluarga mereka atau
orang-orang yang mereka hormati.
Tetapi kini ia
harus mengikuti seorang anak muda dari Jati Anom itu. Mengawasi dan kemudian
berbuat sesuatu apabila perlu. Namun dalam pada itu terdengar Argajaya berkata,
“Jadi kalau
kali ini anak Jati Anom itu tidak menjumpai Agung Sedayu, kau akan
mempercayainya untuk seterusnya?”
“Bukan berarti
begitu, Paman,” jawab Sidanti.
“Untuk
seterusnya pun anak itu perlu diawasi.
Baru setelah terbukti kesetiaannya, maka sedikit demi sedikit ia akan dapat
dilepaskan.”
“Tidak banyak
gunanya,” gumam Argajaya.
“Anak itu
tidak akan banyak memberikan apa-apa kepada kita. Pada saat kau dapat suatu
keyakinan bahwa ia dapat dipercaya, maka Untara sudah berada di hadapan
hidungmu.”
“Pada saat
yang demikian kita memerlukan bantuan anak-anak muda Jati Anom.
Setidak-tidaknya mereka tidak membantu pasukan Untara. Tidak menyediakan makan
bagi mereka, apalagi memberikan bahan-bahannya.”
“Untara dapat
berbuat dengan kekerasan.”
“Itulah yang
kita inginkan. Anak-anak muda itu akan merupakan minyak di dalam bumbung bambu.
Kalau kita mampu menyalakan, maka meledaklah bumbung itu.”
Argajaya tidak
menjawab. Kemudian ia meneruskan langkahnya keluar dari dalam bilik itu.
Meskipun demikian ia bergumam,
“Kalau tekadmu
telah bulat untuk melawan Pajang, sebaiknya kau mengambil orang-orangmu dari
Menoreh.”
Sidanti tidak
menjawab, karena Argajaya pun tidak
berhenti. Sejenak kemudian orang itu telah hilang di balik pintu. Sanakeling
dan Alap-alap Jalatunda pun kemudian
meninggalkan bilik itu pula. Sekali lagi Sidanti berpesan kepada Alap-alap muda
itu,
“Jaga, jangan
sampai ia mengetahui bahwa kau mengikutinya supaya ia berbuat seperti yang
dikehendakinya.”
“Apakah ia
berangkat senja nanti sebelum malam?”
“Kau takut
dilihatnya?”
Alap-alap
Jalatunda mengerutkan keningnya, kemudian jawabnya,
“Sebelum gelap
adalah sangat sulit untuk mengikutinya tanpa diketahuinya.”
“Usahakan agar
ia berangkat setelah matahari turun di bawah cakrawala.”
Alap-alap
Jalatunda tidak menjawab. Tetapi ia berjalan terus meninggalkan ruangan itu di
belakang Sanakeling. Ketika mereka sampai ke halaman, Sanakeling masih mencoba
memperingatkan Alap-alap Jalatunda,
“Hati-hatilah
kau, Alap-alap kecil.”
Alap-alap
Jalatunda mempercepat langkahnya. Desisnya,
“Apa sulitnya
pekerjaan itu? Kalau anak itu berbuat yang aneh-aneh aku tidak perlu menunggu
besok. Malam nanti anak itu akan aku gantung di ujung Kademangan Jati Anom.”
“Jangan
membuat perkara. Turuti saja kata-kata Sidanti, anak gila itu. Dengan demikian
kita tidak akan banyak menemui kesulitan di sini.”
“Mau apa saja
dia terhadapku? Aku tidak takut terhadap murid Tambak Wedi itu.”
“Kau memang
terlampau sombong. Kau masih belum dapat menyamainya meskipun kau berlatih
seorang diri hampir setiap malam. Kau sangka Sidanti itu tidak berbuat sesuatu
untuk mempertinggi ilmunya?”
“Tidak,” sahut
Alap-alap Jalatunda,
“ia hanya
menunggui bilik gadis itu saja siang dan malam. Tetapi ia pengecut. Ia tidak
berani masuk.”
Sanakeling
berpaling memandangi wajah Alap-alap Jalatunda. Kemudian katanya,
“Jangan
hiraukan gadis itu. Tetapi jangan pula berbuat sesuatu yang merugikan kedudukan
kita di sini. Sementara kita harus menerima saja keadaan ini. Kalau anak Jati
Anom itu benar-benar menemui Agung Sedayu, katakan saja hal itu kepada Sidanti,
jangan kau lakukan sendiri hukuman atasnya.”
Alap-alap
Jalatunda tidak menjawab.
“Beristirahatlah,”
berkata Sanakeling,
“kau malam
nanti akan berjalan sepanjang malam.”
“Baiklah,”
jawab Alap-alap itu, yang kemudian berjalan ke pondoknya yang didiaminya dengan
beberapa orang anak buahnya.
Senja itu
Alap-alap Jalatunda telah menyiapkan diri mondar-mandir di jalan kecil di
tengah-tengah padepokan itu. Pedang di lambungnya berkali-kali dirabanya,
seakan-akan tangannya sudah terlampau gatal untuk mempergunakan. Dengan gelisah
ia mengawasi regol halaman rumah tempat Wuranta beristirahat. Kalau-kalau anak
Jati Anom itu berangkat menunaikan perintah Sidanti. Tetapi akhirnya ia tidak
sabar lagi. Alap-alap Jalatunda itulah yang kemudian mendatangi pondokan
Wuranta.
“Kau akan
pergi sekarang?” bertanya Alap-alap itu.
“Ya, sebentar
lagi,” sahut Wuranta. “Sekarang telah senja.”
“Masih
terlampau siang. Sebaiknya kau berangkat sesudah gelap.”
“Kenapa?”
“Tak
seorang pun melihatmu kecuali para
penjaga. Mungkin ada orang-orang yang sengaja memata-matai padepokan ini.
Mereka akan melihatmu dan mungkin kau akan mendapat bahaya di perjalanan.”
Wuranta mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“Baiklah,”
katanya, “aku akan berangkat sesudah gelap.”
Mendengar
jawaban Wuranta itu maka Alap-alap Jalatunda tersenyum di dalam hati. Kalau
anak itu bersedia berangkat sesudah gelap, maka pekerjaannya tidak akan
terlampau sulit. Ia merasa bahwa ia pasti jauh lebih berpengalaman dari anak
muda yang bernama Wuranta itu, sehingga ia akan mendapat banyak kesempatan
untuk melakukan tugasnya. Ketika kemudian matahari menjadi semakin rendah, dan
tenggelam di balik punggung Gunung Merapi, maka lereng di sebelah timur
itu pun menjadi semakin suram. Warna
kemerah-merahan yang berpencaran di langit
pun semakin lama semakin pudar, sehingga akhirnya perlahan-lahan kabut
yang hitam turun menyelimuti lereng Gunung Merapi itu. Ketika seseorang
menyalakan pelita di dalam bilik itu, maka berkata Alap-alap Jalatunda,
“Hari telah
mulai gelap. Apakah kau sudah siap untuk berangkat?”
“Aku sudah
siap sejak tadi,” sahut Wuranta.
Alap-alap
Jalatunda mengerutkan keningnya, tetapi kemudian dipaksakannya bibirnya
tersenyum,
“Baik. Marilah
aku antar kau sampai ke perbatasan.”
“Aku berani
berjalan sendiri.”
Sekali lagi
Alap-alap Jalatunda mengerutkan keningnya. Tetapi sekali lagi pula ia memaksa
bibirnya untuk tersenyum,
“Kau memang
berani. Tetapi supaya tidak menimbulkan salah paham dengan para penjaga yang
belum mengenalmu dengan baik.”
Wuranta
mengangguk-anggukkan kepalanya. Alasan itu memang masuk di akalnya. Karena itu
maka jawabnya,
“Terima
kasih.”
“Apakah kau
juga memerlukan senjata?” bertanya Alap-alap Jalatunda.
Wuranta berpikir
sejenak. Lalu jawabnya,
“Aku memang
memerlukannya. Apakah kau mempunyai senjata rangkap?”
“Setiap orang
mempunyai senjata rangkap di sini. Bahkan setiap orang apabila dikehendaki
dapat membawa tiga atau empat pedang sekaligus. Pande besi di padepokan ini
melimpah ruah.”
“Terima kasih.
Apakah kau dapat memberi aku sebuah pedang yang tidak terlampau besar?”
Alap-alap
Jahtunda mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian jawabnya,
“Marilah kita
berangkat. Aku akan mengambil sebilah pedang untukmu sambil berjalan.”
Keduanya pun kemudian berangkat meninggalkan rumah
itu. Ketika mereka sampai di gardu dekat regol halaman rumah itu, Alap-alap
Jalatunda berkata kepada salah seorang penjaganya,
“Beri aku pedangmu
itu. Kau akan dapat mengambilnya lagi.”
Orang itu diam
termangu-mangu. Tetapi Alap-alap Jalatunda berkata lagi,
“Berikan
pedangmu itu. Cepat! Dengan wrangkanya.”
Orang itu
tidak menjawab. Tetapi dilepaskannya pedang beserta wrangkanya, dan diserahkannya
kepada Alap-alap Jalatunda.
“Terima
kasih,” berkata Alap-alap Jalatunda sambil menyerahkan pedang itu kepada
Wuranta.
“Anak muda ini
adalah anak muda yang berasal dari Jati Anom. Ia adalah kawan kita. Kenalilah
baik-baik.”
Orang-orang di
dalam gardu itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian keduanya meneruskan
perjalanan mereka. Di sepanjang jalan itu, Alap-alap Jalatunda masih sempat
berceritera tentang Padepokan Tambak Wedi. Berceritera tentang dirinya dan
tentang orang-orang Jipang yang berada di padepokan itu.
“Kekuatan
Tambak Wedi benar-benar di luar dugaanku,” berkata Wuranta.
“Alangkah
besar pengaruh Ki Tambak Wedi, sehingga ia mampu mengumpulkan sekian banyak
laki-laki yang siap untuk bertempur di pihaknya.”
“Huh,”
Alap-alap Jalatunda mencibirkan bibirnya,
“omong kosong.
Siapakah yang berkata demikian?”
“Sidanti.
Bahkan Sidanti akan dapat mengambil kekuatan yang tidak terhingga dari Bukit
Menoreh.”
“Anak itu
memang seorang pembual. Sejak kita berada di sini ia berkata, bahwa ia akan
dapat menyusun kekuatan yang tidak akan dapat terkalahkan.”
“Bukankah
kekuatan itu kini telah terbentuk?”
“Kekuatan ini
adalah kekuatanku. Mereka adalah orang-orang Jipang yang setia kepadaku.
Sepeninggal Tohpati, tak ada orang lain yang dapat mereka percaya selain aku.”
Wuranta
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun di dalam kepalanya menjalar suatu
pengertian baru, bahwa para pemimpin di padepokan itu ternyata saling berebut
pengaruh.
“Jadi siapakah
sebenarnya yang berkuasa di sini?”
Alap-alap
Jalatunda terdiam sejenak. Pertanyaan itu sukar dijawabnya. Namun kemudian
katanya,
“Akulah yang
berkuasa atas orang-orang Jipang. Tetapi karena Sidanti di sini adalah tuan
rumah, maka aku wajib menghormatinya. Ia adalah murid Ki Tambak Wedi. Seorang
yang memiliki padepokan ini.”
Wuranta masih
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali lagi ia bertanya,
“Bagaimanakah
hubungan Sidanti dengan orang-orang Jipang yang berada di bawah pimpinanmu
itu?”
Sekali lagi
Alap-alap Jalatunda mendapat pertanyaan yang sulit. Tetapi akhirnya ia menjawab,
“Orang-orang
Jipang di sini menghormatinya. Bukan karena anak itu sendiri, tetapi karena
gurunya, Ki Tambak Wedi.”
Wuranta
terdiam sejenak. Tiba-tiba teringat olehnya, bahwa Sidanti telah membawa lari
seorang gadis Sangkal Putung. Adik Swandaru seperti yang diceriterakan
kepadanya. Karena itu maka tiba-tiba timbullah keinginannya untuk bertanya,
“Apakah
Sidanti telah beristri?”
Alap-alap Jalatunda
mengerutkan keningnya.
“Belum,”
jawabnya.
“Ia adalah
laki-laki pengecut. Ia menyimpan seorang gadis di padepokan ini. Tetapi ia
tidak berani mendekatinya. Kalau gadis itu dibiarkannya saja, maka ia akan
menyesal. Akulah nanti yang akan mendapatkannya.” Alap-alap itu kemudian
tertawa terbahak-bahak, sehingga beberapa orang yang sedang berjaga-jaga di
tepi jalan menjadi terkejut karenanya. Namun tiba-tiba ia berhenti tertawa dan
berkata,
“He, sampai ke
mana aku mengantarmu?”
Wuranta
tertegun mendengar pertanyaan itu sehingga keduanya tiba-tiba saja berhenti.
Sejenak Wuranta memandangi wajah Alap-alap Jalatunda, dan sejenak kemudian ia
berkata,
“Terserahlah
kepadamu. Tetapi agaknya kau sudah berjalan terlampau jauh.”
Alap-alap
Jalatuda mengerutkan keningnya. Katanya,
“Kita sudah
berjalan sampai beberapa puluh langkah dari regol padepokan. Tetapi kau masih
belum lepas dari lingkaran pengawasan orang-orangku. Marilah, aku antar kau
beberapa puluh langkah lagi sampai penjagaan yang terakhir.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar