Jilid 021 Halaman 3



Sesaat kemudian, dengan hati yang trenyuh Wuranta melangkahkan kakinya meninggalkan pintu bilik di belakang rumah itu sambil membetulkan baju dan ikat kepalanya. Sementara itu ia bergumam di dalam hatinya,
“Maafkan aku bibi. Aku telah membuat kau ketakutan.”
Wuranta tahu benar bahwa Alap-alap Jalatunda pasti sedang mengawasinya. Karena itu, maka ia pun harus tetap berhati-hati. Kini ia akan menuju ke rumahnya sendiri. Seperti pesan Kiai Gringsing yang dikenalnya dengan nama Ki Tanu Metir, maka Agung Sedayu, Swandaru, dan Ki Tanu Metir akan berada di rumah itu. Wuranta  pun kemudian dengan hati yang berdebar-debar meninggalkan halaman rumah Agung Sedayu. Ketika ia menginjakkan kakinya di atas jalan yang membelah pedukuhannya, maka sekali ia berpaling. Halaman rumah itu tampak gelap. Dan ia tidak melihat seorang  pun di dalamnya. Tetapi ia yakin bahwa Alap-alap Jalatunda sedang mengintainya. Perlahan-lahan ia melangkahkan kakinya di atas jalan yang berbatu-batu. Selangkah demi selangkah. Suara gemerisik kakinya terdengar beruntun di tengah-tengah sepinya malam. Sekali-sakali angin yang kencang bertiup menggerakkan daun-daunan yang hijau. Tetapi sejenak kemudian sepi kembali. Akhirnya Wuranta itu sampai pula ke muka rumahnya. Sejenak ia ragu-ragu. Apakah Alap-alap Jalatunda tidak akan mengintai rumahnya itu pula? Tetapi mudah-mudahan orang itu tidak berhasil melihat ruangan-ruangan di dalam rumahnya dari celah-celah dinding. Perlahan-lahan ia melangkah masuk ke dalam halaman. Hatinya yang berdebar-debar selalu saja mengusik perasaannya. Tetapi ia melangkah terus. Wuranta tidak menuju ke pintu depan rumahnya. Anak muda itu berjalan di sisi pendapa dan membelok lewat di samping gandok. Kemudian perlahan-lahan ia mengetuk pintu belakang.
“Siapa?” ia mendengar seseorang menyapa.
“Wuranta,” jawabnya.
Sejenak kemudian pintu itu pun terbuka dan anak muda itu hilang ditelan ke dalamnya.

Alap-alap Jalatunda yang selalu mengintainya menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa seolah-olah tugasnya telah selesai. Ia hanya mendapat kewajiban untuk melihat apakah Wuranta menemui Agung Sedayu atau tidak. Ternyata apa yang dilihatnya sama sekali tidak menumbuhkan kecurigaannya atas anak muda Jati Anom itu. Bahkan ia senang melihat cara anak muda itu mengetahui Agung Sedayu masih berada di rumahnya atau tidak. Karena itu, maka Alap-alap Jalatunda merasa bahwa tidak ada lagi gunanya ia terlalu lama berada di Jati Anom.
“Aku akan mendahuluinya,” katanya di dalam hati.
“Besok kalau Wuranta sampai padepokan Ki Tambak Wedi, aku harus sudah berada di sana supaya aku tidak mendapat kesan, bahwa malam ini aku telah mengikutinya. Mungkin ia masih akan singgah ke rumahnya sendiri. Biarlah, itu tidak penting bagi tugasku.”
Alap-alap Jalatunda itu  pun segera melangkah dengan hati-hati untuk meninggalkan Jati Anom. Ia tidak memperhatikan apa yang terjadi seterusnya di rumah Wuranta. Dan ia sama sekali tidak tahu, bahwa Agung Sedayu dan kawan-kawannya telah menunggu Wuranta di dalam rumahnya untuk mendapatkan beberapa macam ceritera tentang lereng Gunung Merapi.
“Tidak banyak yang dapat aku lihat sehari ini,” berkata Wuranta.
“Waktumu hanya sedikit,” sahut Ki Tanu Metir,
“tetapi tidak berarti bahwa kau telah gagal. Bukankah kau besok akan kembali lagi?”
“Tidak besok Kiai,” jawab Wuranta, “malam ini.”
Ki Tanu Metir, Agung Sedayu dan Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kemudian terdengar Agung Sedayu bertanya,
“Apakah kita akan pergi bersama Wuranta malam ini Kiai?”
“Jangan,” jawab Ki Tanu Metir.
“Kita sama sekali belum mendapat gambaran bagaimana kita harus mendekati rumah tempat Sidanti menyembunyikan Sekar Mirah. Bagaimana cara kita memasuki padepokan Ki Tambak Wedi dan bahkan Wuranta belum melihat dimanakah rumah tempat Sekar Mirah itu berada.”
“Apakah kita masih harus menunggu lagi?” sahut Swandaru.
“Ya,” jawab Kiai Gringsing, “kita harus lebih banyak mendapat petunjuk.”
“Kita menunggu sampai Sekar Mirah mengalami nasib yang paling buruk dalam hidupnya?” bertanya Agung Sedayu.
Ki Tanu Metir menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
“Tentu tidak. Tetapi kita pun tidak akan mempercepat nasib yang paling buruk itu menimpanya. Bukankah begitu? Kalau kita dengan tergesa-gesa melakukan usaha ini, dan akhirnya usaha kita dapat diketahui oleh mereka, bukankah itu hanya berarti mempercepat bencana yang menimpa Sekar Mirah?”
“Waktu itu tidak dapat kita perkirakan. Mungkin hari ini Sekar Mirah telah kehilangan segala-galanya”
“Tidak,” tiba-tiba Wuranta menyela.
“Apakah kau tahu?” bertanya Swandaru
“Menurut Alap-alap Jalantunda, Sidanti adalah seorang pengecut di hadapan gadis-gadis, sehingga Sidanti membiarkan saja Sekar Mirah sampai sekarang di dalam penyimpanan. Bahkan apabila ada kesempatan Alap-alap Jalatunda itu sendirilah yang berbahaya bagi Sekar Mirah. Tetapi menurut keadaan yang aku lihat, Alap-alap Jalatunda tidak akan dengan begitu saja berani menembus pengawasan Sidanti.”

Mereka kemudian terdiam sejenak. Persoalan yang mereka hadapi adalah persoalan yang benar-benar mendebarkan jantung. Bencana yang setiap saat dapat menimpa Sekar Mirah adalah bencana pula buat kedua anak-anak muda murid Kiai Gringsing itu. Tetapi mereka tidak dapat mengingkari kenyataan yang mereka hadapi, bahwa Sekar Mirah kini berada di dalam lingkungan yang penuh dengan bahaya. Seolah-olah gadis itu berada di dalam suatu rumah yang dipagari dengan ujung tombak dan pedang.
“Kita tidak boleh menuruti perasaan saja tanpa pertimbangan nalar, Ngger,” berkata Ki Tanu Metir kemudian.
“Dengan demikian kita akan dapat terjerumus ke dalam suatu keadaan yang tidak kita kehendaki, sedang dengan demikian Sekar Mirah  pun tidak akan dapat kita selamatkan.”
Agung Sedayu dan Swandaru tidak menjawab. Mereka melihat segala macam kesulitan dan bahaya dengan darah yang mendidih. Tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Yang terdengar kemudian adalah gemeretak gigi Swandaru dan Agung Sedayu menggeram.
“Angger Wuranta,” berkata Ki Tanu Metir,
“Angger telah mendapatkan suatu kesempatan yang baik. Mudah-mudahan kesempatan itu akan berkembang sehingga Angger segera dapat melihat tempat Sekar Mirah disembunyikan dan jalan yang akan dapat kita lalui. Ternyata Angger dapat melakukan tugas Angger sebaik-baiknya sehingga tidak anehlah bagi Angger untuk mendapat kepercayaan yang lebih banyak lagi, Tetapi jangan kehilangan kewaspadaan. Untuk waktu yang agak lama maka Angger pasti selalu di dalam pengawasan Sidanti. Karena itu jangan sekali-sekali datang kembali ke rumah Agung Sedayu. Kalau Angger mendapat kesempatan pulang ke Jati Anom, datang sajalah ke rumah Angger dan meninggalkan pesan di sini.”
Wuranta mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia menyadari bahaya yang timbul apabila kali ini Ki Tanu Mtetir tidak memperingatkannya bahwa Alap-alap Jalatunda sedang mengikutinya.

Dalam pada itu Alap-alap Jalatunda telah bersiap untuk meninggalkan Jati Anom. Ia melangkah perlahan-lahan menyusuri jalan kademangan. Diamat-amatinya regol demi regol seperti belum pernah dilihat sebelumnya. Dengan langkah yang ringan ia melintasi tikungan demi tikungan. Alap-alap Jalatunda itu kemudian berhenti sejenak di simpang empat induk kademangan. Diawasi jalan yang lurus di hadapannya silang menyilang. Satu arah jalan itu akan sampai ke rumah Agung Sedayu, sedang ketiga arah yang lain akan menebar ke segala bagian kademangan. Pada jalan itu kemudian bercabang-cabang jalan-jalan yang lebih kecil menyusup ke segenap sudut. Sejenak Alap-alap itu berdiri diam di sudut perapatan itu. Disandarkannya tubuhnya pada dinding batu hampir setinggi dedeg dan pengawenya. Tetapi tiba-tiba Alap-alap itu dikejutkan oleh derap kaki beberapa ekor kuda. Dengan sigapnya ia meloncat ke atas dinding batu dan bersembunyi di antara daun-daun pepohonan yang rimbun. Dengan hati yang berdebar-debar ia menunggu, derap kaki kuda siapakah yang bergemeretak di sepanjang jalan kademangan di larut malam ini. Tetapi Alap-alap Jalatunda menjadi kecewa. Suara kaki-kaki kuda itu seakan-akan patah di tengah-tengah. Hilang dan tidak berderap di bawah tempatnya berlindung.
“Setan,” Alap-alap itu mengumpat, “siapakah yang berkuda di malam begini?”
Tetapi suara derap kuda itu seakan-akan lenyap begitu saja. Yang didengar oleh Alap-alap Jalatunda kemudian adalah desir angin malam terhempas di dedaunan dan dinding-dinding batu. Di kejauhan suara cengkerik bersahut-sahutan dengan derik bilalang.
“Apakah aku mendengar derap kaki hantu ataukah telingaku yang telah menjadi rusak,” gumam Alap-alap Jalatunda itu seorang diri.
Tetapi ia yakin bahwa ia telah mendengar derap kaki kuda. Bahkan menurut perhitungannya tidak hanya seekor kuda, tetapi paling sedikit tiga. Hati Alap-alap Jalatunda menjadi tidak tenteram. Ia tidak dapat melupakan suara derap kaki-kaki kuda itu. Karena itu, maka hatinya mendesak semakin kuat untuk mencari, di manakah kuda-kuda itu berhenti. Dengan hati-hati Alap-alap itu  pun kemudian meloncat turun ke dalam halaman rumah di sisi jalan. Halaman yang gelap oleh tanaman yang liar. Di sana-sini masih terdapat gerumbul-gerumbul dan rumpun-rumpun bambu. Alap-alap Jalatunda itu  pun segera menyelusup di antara rumpun-rumpun bambu dan gerumbul-gerumbul di halaman. Terbungkuk-bungkuk ia berjalan ke arah suara kaki-kaki kuda itu menghilang. Tiba-tiba ia teringat bahwa arah itu adalah arah rumah Untara.
“Setan,” desisnya,
“apakah mereka itu Agung Sedayu dengan kawan-kawannya atau bahkan Untara sendiri.”
Keinginannya menjadi semakin mendesak. Dan ia menyuruk semakin cepat ke arah rumah Agung Sedayu. Seakan-akan ia mendapat kepastian bahwa kuda-kuda itu telah masuk ke dalam halaman rumah itu. Ketika ia sampai di halaman di samping halaman Agung Sedayu, maka ia  pun menjadi semakin hati-hati. Beberapa saat ia berdiri saja di bawah dinding di halaman seberang. Diperhatikan keadaan dengan saksama. Tiba-tiba dadanya berdesir ketika ia mendengar suara ringkik kuda di halaman rumah Agung Sedayu. Kemudian ia mendengar suara orang yang sedang bercakap-cakap di dalam rumah. Tetapi ia tidak dapat menangkap kata-kata yang diucapkan.
“Demit itu agaknya,” Alap-alap itu mengumpat di dalam hati.
“Agung Sedayu atau bukan, tetapi mereka ternyata lebih dari seorang. Kalau mereka bukan Agung Sedayu, maka sedikit-dikitnya rumah itu berisi empat orang bersama Agung Sedayu.”
Alap-alap Jalatunda itu kemudian tidak menunggu lebih lama lagi. Segera ia beringsut meninggalkan halaman itu untuk kembali ke lereng Gunung Merapi. Setidak-tidaknya ia telah menyelesaikan tugasnya mengawasi Wuranta. Dan kini tanpa disengaja ia telah melihat beberapa ekor kuda masuk ke dalam halaman rumah Agung Sedayu. Dengan demikian apabila mereka turun dari lereng Merapi, mereka harus memperhitungkan keadaan itu. Mereka tidak dapat turun seenaknya, berdua, bertiga atau bahkan seorang diri. Dengan sedikit keterangan itu, Alap-alap Jalatunda meninggalkan Jati Anom. Bahkan ia ingin tahu, apakah besok Wuranta dapat juga membuat laporan tentang kuda-kuda itu. Karena itu maka Alap-alap Jalatunda tidak sempat melihat apa yang terjadi sesudah itu di Jati Anom.

Ternyata ketiga orang berkuda itu adalah utusan Untara. Mereka harus mendahului pasukannya yang segera akan sampai pula di Jati Anom besok. Mereka harus mengetahui apakah Jati Anom sudah siap menerima mereka. Apakah di Jati Anom tidak ada bahaya yang dapat mencelakakan pasukannya. Ketiga orang berkuda itu kemudian diterima oleh perempuan yang menunggui rumah Agung Sedayu. Diceriterakannya apa saja yang baru saja dialaminya. Diceriterakannya tentang seorang laki-laki yang wajahnya tertutup oleh ikat kepala tanpa baju dan mengancamnya dengan pedang.
“Apakah orang itu kini mencari Agung Sedayu,” bertanya salah seorang dari orang-orang berkuda itu.
“Aku tidak tahu,” jawab perempuan itu.
“Tetapi aku tidak mengatakan kemana Agung Sedayu pergi, dan orang itu tidak menanyakannya pula.”
“Tetapi kau mengatakan bahwa Agung Sedayu hari ini masih di kademangan ini?” bertanya orang berkuda itu.
“Aku kehilangan akal ketika orang itu mengancam akan membunuh anakku.”
Orang-orang berkuda itu terdiam. Sejenak kemudian salah seorang dari mereka bertanya,
“Di manakah Agung Sedayu sekarang?”
Perempuan itu ragu-ragu sejenak. Ia sama sekali belum mengenal laki-laki berkuda itu. Karena itu, maka ia tidak segera menjawab.
“Kau mencurigai kami pula?” bertanya salah seorang dari mereka.
Perempuan itu masih juga berdiam diri.
“Adalah sewajarnya kau mencurigai kami. Tetapi biarlah kami mencoba mendapatkan kepercayaan darimu. Aku tahu dari Ki Untara tentang rumah ini. Bahwa ada seorang perempuan yang menunggui rumah ini. Aku mengetahui dari Ki Untara pula, bahwa Agung Sedayu datang ke rumah ini dengan kedua orang kawannya. Seorang bertubuh gemuk bernama Swandaru dan seorang lagi telah agak lanjut usia. Bukankah begitu?”
Perempuan itu menganggukkan kepalanya.
“Apakah kau masih ragu-ragu. Kalau kau mengenal kelengkapan prajurit, maka melihat pakaianku kau akan segera mengenal bahwa aku seorang prajurit.”
Perempuan yang tidak banyak mengetahui seluk-beluk keprajuritan itu sama sekali tidak dapat segera membedakan pakaian seorang prajurit dan bukan. Tetapi keterangan orang itu tentang Agung Sedayu memberinya sedikit kepercayaan. Dalam tanggapannya, ia melihat beberapa perbedaan yang tidak dapat dikatakannya, antara orang-orang ini dan orang-orang lereng Merapi yang satu dua pernah dilihatnya berkeliaran di Jati Anom.
“Jadi apakah Tuan-tuan ini prajurit Pajang?”
“Ya, aku adalah prajurit Pajang yang datang dari Sangkal Putung.”
Sejenak perempuan itu mematung. Diawasinya prajurit-prajurit Pajang itu dengan seksama seolah-olah hendak meyakinkan diri bahwa ia berhadapan dengan orang-orang yang tidak berbahaya.
Para prajurit Pajang itu  pun sengaja berdiam diri. Dibiarkannya perempuan itu menilai diri mereka.
Akhirnya perempuan itu berkata, “Aku sendiri tidak tahu kemana Angger Agung Sedayu pergi.”
Prajurit-prajurit itu mengerutkan keningnya. Sejenak mereka saling berpandangan. Tetapi perempuan itu masih memberi keterangan
“Angger Agung Sedayu hanya meninggalkan sekeping papan, yang hanya boleh aku tunjukkan kepada orang-orang yang tidak mencurigakan.”
“He?” ketiga prajurit itu menjadi heran. Apakah arti papan itu bagi mereka?

Mereka menjadi bertanya-tanya di dalam hati ketika perempuan itu pergi dan mengambil sepotong papan bekas sebuah peti yang rusak. Di atas papan itu terlukis beberapa buah coretan dengan enjet, perlengkapan makan sirih. Tiba-tiba wajah para prajurit itu menjadi cerah. Adalah menjadi kebiasaan mereka untuk memberikan beberapa tanda arah apabila mereka sedang bepergian. Orang-orang yang berjalan kemudian akan mengenal kemana orang-orang yang terdahulu pergi. Tanda-tanda demikian hanyalah dikenal oleh kelompok-kelompok atau prajurit-prajurit dari satu lingkungan tertentu menurut perjanjian mereka masing-masing. Dan tanda yang dilukis dengan enjet itu jelas bagi mereka, arah yang ditempuh oleh Agung Sedayu.
“Hem,” desis salah seorang prajurit itu,
“ternyata Adi Agung Sedayu cukup berhati-hati. Tanda itu tidak akan dapat dikenal selain oleh prajurit Pajang khsusus yang berada di Sangkal Putung.”
Perempuan itu hanya mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Baiklah,” berkata prajurit-prajurit itu,
“kami akan menyusulnya. Mungkin ada sesuatu yang penting yang dapat kami perbincangkan dengan mereka.”
“Silahkan,” berkata perempuan itu.
Sejenak kemudian para prajurit itu  pun segera meninggalkan rumah Agung Sedayu mengikuti petunjuk pada lukisan enjet itu. Mereka menuju ke barat dan pada tempat yang ditentukan mereka membelok ke kiri. Beberapa langkah sekali lagi mereka membelok ke kiri dan sampailah mereka pada suatu regol tiga halaman dari ujung jalan. Regol itu adalah regol halaman rumah Wuranta. Mereka yang berada dalam rumah itu terkejut ketika mereka mendengar derap kaki kuda memasuki halaman. Dengan hati-hati Wuranta turun ke halaman belakang. Dari celah dedaunan dilihatnya tiga bayangan turun dari kuda-kuda mereka. Wuranta segera masuk kembali ke dalam rumahnya dan memberitahukan apa yang dilihatnya. Tiga orang berkuda kini berada di halaman depan. Sejenak Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Kemudian katanya,
“Akulah yang akan melihatnya. Seandainya Alap-alap Jalatunda berada di halaman dan mengintai rumah ini maka ia tidak akan mengenal aku. Kalau ketiga orang yang datang itu justru atas petunjuk Alap-alap Jalatunda, maka kita harus mengubah setiap rencana. Orang itu tidak akan kita lepaskan dan kita akan menghadapi jumlah yang lebih besar besuk.”

Agung Sedayu dan Swandaru tidak menjawab. Tetapi mereka berdiri tegang di muka pintu ketika Ki Tanu Metir dengan hati-hati keluar lewat pintu belakang. Orang tua itu adalah seorang yang memiliki beberapa kelebihan dari orang kebanyakan. Itulah sebabnya, maka ia berhasil mendekati ketiga penunggang kuda itu tanpa mereka ketahui. Dengan penuh perhatian Ki Tanu Metir melihat ketiganya mendekati pendapa.Perlahan-lahan mereka naik dan perlahan-lahan pula mereka mengetuk pintu. Tiba-tiba Kiai Gringsing menarik napas dalam-dalam. Menurut pengamatannya, ketiga orang itu adalah prajurit-prajurit dari Sangkal Putung. Karena itu, orang tua itu  pun segera mendekatinya. Kini, ketiga prajurit itulah yang terkejut, karena tiba-tiba saja mereka melihat sesosok tubuh telah berdiri di ujung pendapa. Dengan serta-merta mereka meraba hulu pedang masing-masing. Terdengar salah seorang bertanya,
“Siapa?”
“Akulah yang bertanya,” sahut Ki Tanu Metir,
“siapakah kalian bertiga?”
Ketiga prajurit yang mendengar sapa itu menarik napas dalam-dalam. Suara itu pernah dikenalnya. Suara Ki Tanu Metir.
“Oh,” desis salah seorang dari mereka,
“adakah itu Ki Tanu Metir?”
“Ya.”
“Kami adalah prajurit-prajurit yang datang dari Sangkal Putung.”
“Pakaianmu telah memperkenalkan dirimu. Marilah masuk lewat pintu belakang,” berkata Ki Tanu Metir perlahan-lahan.
“Kenapa lewat pintu belakang?”
“Rumah ini mungkin mendapat pengawasan dari orang-orang lereng Merapi. Tetapi menurut perhitunganku, orang-orang itu telah meninggalkan halaman ini. Masuklah, dan berbicaralah dengan Agung Sedayu. Aku mempunyai pekerjaan di sini. Aku harus meyakinkan diri, bahwa tak seorang pun yang melihat kehadiranmu di rumah ini supaya Wuranta menjadi korban kesalahan yang telah aku buat.”
“Apakah yang telah Kiai lakukan?”
“Masuklah lewat pintu belakang.”

Ketiganya  pun kemudian berjalan lewat pintu belakang masuk ke dalam rumah. Sementara itu Kiai Gringsing tinggal di luar dan dengan kemampuan yang ada padanya, diselidikinya seluruh halaman rumah itu. Tetapi telinganya sama sekali tidak menangkap suara apapun. Ia tidak mendengar nafas seseorang, dan ia tidak melihat gerak-gerak yang mencurigakan.
“Kalau Alap-alap itu masih berada di sini, ia tidak akan luput dari pengawasanku,” desis orang tua itu di dalam hatinya. Meskipun demikian, ia tidak puas dengan pengamatannya di halaman itu. Dengan gerak yang lincah secepat tatit ia meloncat ke luar halaman dan melihat setiap kemungkinan dengan penuh perhatian. Kiai Gringsing tidak mau menduga-duga, apakah Alap-alap Jalatunda masih berada di tempat itu atau tidak. Ia harus dapat meyakinkan dirinya. Ia tidak mau mengorbankan Wuranta yang dengan tulus telah bersedia membantu mereka. Karena itu maka usahanya untuk meyakinkan diri itu  pun tidak terbatas di sekitar halaman rumah Wuranta, tetapi ia berjalan cepat-cepat menyusur jalan menuju lereng Merapi. Akhirnya yang dicari oleh Ki Tanu Metir itu diketemukannya juga. Samar-samar ia melihat sebuah bayangan meninggalkan Jati Anom. Orang itu adalah Alap-alap Jalatunda.
“Hem,” desah Ki Tanu Metir di dalam hatinya.
“Menilik jarak yang telah ditempuh, agaknya orang ini telah pergi tanpa melihat kehadiran ketiga prajurit dari Pajang. Seandainya ia melihat juga, tetapi ia tidak tahu bahwa ketiganya telah masuk ke halaman rumah Wuranta.”
Dengan demikian hati Ki Tanu Metir itu  pun menjadi tenteram. Ia tidak mencemaskan lagi nasib Wuranta besok apabila ia kembali ke lereng Merapi. Sebab apabila Alap-alap Jalatunda melihat ketiga prajurit Pajang itu menemui Agung Sedayu di rumah Wuranta, maka mereka pasti tidak akan mempercayai lagi anak muda Jati Anom itu. Dengan demikian maka nasib Wuranta  pun akan tersangkut di ujung pedang. Ketika Ki Tanu Metir itu kembali ke rumah Wuranta, maka dilihatnya ketiga prajurit Pajang itu sedang berbincang dengan asyiknya. Mereka agaknya sedang membicarakan masalah tentang Jati Anom.
“Marilah Kiai,” Agung Sedayu mempersilahkan. Dan duduklah Ki Tanu Metir kini di antara mereka.
“Ki Untara minta aku melihat kademangan ini Kiai,” berkata salah seorang prajurit-prajurit itu. Ia akan masuk besok bersama pasukannya.
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian kepada Wuranta ia berkata,
“Angger harus dapat menyesuaikan diri. Sebenarnya kami ingin segera mengetahui tempat Sekar Mirah disembunyikan, supaya kami dapat menempuh suatu cara yang cepat pula untuk membebaskannya. Kami ingin membebaskan gadis itu sebelum Angger Untara memukul lereng Merapi dengan pasukannya.”
Wuranta mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Selain daripada itu,” berkata Ki Tanu Metir,
“kita tidak boleh menunggu Sidanti menghubungi daerah asalnya. Kedatangan Argajaya akan dapat memberikan cara baru baginya dalam usahanya menentang Pajang. Argajaya akan dapat memberi nasihat kepada Sidanti untuk menghubungi ayahnya. Dan ayahnya pasti tidak akan keberatan mengirimkan sepasukan segelar sepapan untuk kepentingan anaknya.”
Wuranta masih mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi usaha yang harus dilakukan bukanlah usaha yang mudah. Ia tidak akan dapat langsung bertanya di mana Sekar Mirah. Tetapi ia akan dapat berbuat demikian lewat Alap-alap Jalatunda yang sudah menceriterakan lebih dulu tentang gadis itu. Meskipun demikian ia tidak boleh tergesa-gesa melakukan pekerjaannya.

Melihat wajah Wuranta yang tegang agaknya Ki Tanu Metir dapat meraba perasaannya, sehingga kemudian katanya,
“Angger, memang pekerjaan itu bukanlah pekerjaan yang mudah. Pekerjaan itu adalah pekerjaan yang sukar dan harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Mudah-mudahan Angger dapat melakukannya dengan baik.”
Wuranta mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya,
“Aku akan coba Kiai. Tetapi sekarang aku tidak banyak mempunyai waktu lagi. Aku harus segera kembali ke lereng Merapi. Aku harus sampai pada saat fajar menyingsing. Tetapi agaknya aku akan terlambat. Mudah-mudahan keterlambatan sedikit itu tidak menjadi soal bagi pekerjaanku.”
“Mudah-mudahan, Ngger,” sahut Kiai Gringsing.
“Tetapi Angger jangan kehilangan kewaspadaan. Katakan saja apa yang Angger lihat di sini. Angger melihat ketiga prajurit datang ke Jati Anom. Bahkan mereka datang ke rumah Angger. Mungkin atas petunjuk Agung Sedayu. Untunglah Angger dapat melarikan diri. Tetapi prajurit itu segera pergi.”
Wuranta mengangguk-anggukkkan kepalanya. Tetapi ia bertanya,
“Kenapa aku harus mengatakan kehadiran ketiga prajurit ini?”
“Kalau laporanmu sama atau setidak-tidaknya mirip dengan laporan Alap-alap jalatunda, maka kau pasti akan dapat kepercayaan lebih banyak.”
“Tetapi apakah dengan demikian tidak akan merugikan ketiga prajurit ini Kiai?”
“Apakah kerugiannya? Besok pasukan Untara datang. Berita itu pasti didengar oleh Sidanti. Ia pasti mempunyai orang-orang yang bertugas untuk mengawasi keadaan. Seperti kau, tetapi satu sama lain tidak saling diperkenalkan.”
Wuranta mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Kemudian ia pun minta diri untuk segera kembali ke lereng Merapi. Ia akan berusaha datang tepat pada waktunya, atau pun kalau terlambat, maka kelambatannya tidak akan terlampau panjang. Kiai Gringsing dan kawan-kawanya  pun kemudian melepaskan Wuranta itu pergi dengan berbagai pesan. Dada Kiai Gringsing  pun kadang-kadang berdesir melihat langkah Wuranta meninggalkan halaman rumahnya. Ia menyadari betapa besar bahayanya pekerjaan yang kini sedang dilakukan oleh Wuranta itu.
“Mudah-mudahan Tuhan melindunginya,” desisnya di dalam hati.

Dengan tergesa-gesa kemudian Wuranta berjalan meninggalkan Jati Anom. Ia ingin sampai ke padepokan Ki Tambak Wedi sebelum fajar. Tetapi menilik waktu yang seolah-olah berlari terlampau cepat, maka Wuranta itu  pun merasa bahwa kedatangannya pasti akan terlambat.
“Tetapi keterlambatanku pasti tidak akan terlampau banyak,” anak muda itu mencoba menenteramkan hatinya sendiri.
Tanpa disengaja maka langkahnya  pun menjadi kian cepat. Angin pegunungan yang bertiup perlahan-lahan telah memberinya kesegaran. Beberapa lama Wuranta di perjalanan, tidak dirasakannya. Tetapi tiba-tiba saja dilihatnya remang-remang pepohonan di sisi jalan. Ketika ia berpaling, maka dilihatnya langit di sebelah timur telah diwarnai oleh cahaya fajar yang kemerah-merahan.
“Hem,” desah Wuranta,
“hampir fajar. Tetapi apabila benar kata Ki Tanu Metir bahwa Alap-alap Jalatunda mengikutiku, maka ia akan dapat banyak berceritera. Ia akan dapat mengatakan bahwa aku telah berkelahi melawan seseorang. Kemudian ia akan dapat berceritera pula tentang tiga ekor kuda.”
Perjalanan Wuranta menjadi kian mendaki. Ia telah sampai di lereng-lereng Gunung Merapi. Beberapa pedukuhan yang sepi telah dilampaui, dan kini ia telah melampaui hutan-hutan yang tidak begitu lebat. Meskipun demikian di dalam hutan itu masih juga berkeliaran harimau dan babi hutan. Tetapi yang paling mengerikan adalah gerombolan anjing-anjing liar yang jumlahnya tidak terhitung lagi. Sejenak kemudian maka ujung-ujung pepohonan telah menjadi kemerah-merahan pula. Disusul oleh warna kuning yang cerah.
“Hari telah pagi,” berkata Wuranta kepada diri sendiri.
Namun dengan demikian ia dapat melihat dengan jelas segala sudut-sudut jalan menuju ke padepokan Tambak Wedi. Ketika ia menjadi semakin dekat, kembali dilihatnya beberapa pucuk senjata di belakang batu-batu besar, di tikungan-tikungan, dan di sisi-sisi jalan. Penjagaan yang ketat memagari padepokan itu. Penajagaan itu bukan saja untuk menjaga setiap kemungkinan, tetapi dengan demikian maka Ki Tambak Wedi tetap memelihara suasana dan keadaan perang. Penjagaan itu memberi pekerjaan bagi orang-orang Jipang dan orang-orang Tambak Wedi yang berkeliaran dalam jumlah yang cukup besar. Tanpa penjagaan itu, maka mereka akan mempunyai terlampau banyak kesempatan untuk duduk termenung. Kesempatan untuk memikirkan diri sendiri dan kesempatan untuk bertengkar satu dengan yang lain. Tetapi kesiap-siagaan yang selalu dibangun oleh Ki Tambak Wedi dapat mencengkam seluruh perhatian mereka. Seolah-olah Untara dan prajurit-prajurit Pajang telah berada di muka hidung mereka. Dengan demikian mereka tidak mendapat kesempatan untuk berpikir tentang diri sendiri, tentang kesulitan-kesulitan yang mereka alami dan tentang hari depan mereka yang gelap. Mereka tidak mendapat kesempatan untuk bertengkar satu dengan yang lain berebut berbagai macam persoalan.

Setiap orang yang berada dalam dipenjagaan itu memandangi Wuranta dengan curiga. Tetapi kemudian mereka membiarkannya lewat. Anak muda Jati Anom itu adalah anak muda yang kemarin dibawa oleh Sidanti, dan kemudian berjalan meninggalkan padepokan ini bersama Alap-alap Jalatunda. Matahari di atas cakrawala  pun merayap semakin tinggi. Cahayanya yang menyangkut di ujung gunung merapi seakan-akan telah membakar puncak itu sehingga berwarna merah membara. Dalam pada itu maka padepokan Tambak Wedi itu  pun menjadi semakin dekat. Setelah melampaui beberapa lapis penjagaan maka akhirnya Wuranta sampai ke jantung padepokan Tambak Wedi. Anak muda itu langsung menuju ke rumah yang kemarin pertama-tama dimasuki bersama Sidanti dan Alap-alap Jalatunda. Dada Wuranta berdesir melihat Alap-alap yang masih sangat muda itu. Matanya benar-benar seperti mata burung Alap-alap. Anak itu tampaknya telah rapi benar. Agaknya ia telah sempat mandi dan membenahi pakaiannya. Tidak ada tanda-tanda bahwa semalam ia pergi mengikutinya ke Jati Anom.
“Hem, kau Wuranta,” sapa Sidanti.
Sekali lagi dada Wuranta berdesir. Ia tidak tahu tanggapan Sidanti yang sebenarnya kepadanya pagi ini. Apakah murid Ki Tambak Wedi itu akan menerimanya dengan baik, atau telah disiapkannya tali gantungan untuknya.
“Duduklah,” berkata Sidanti itu pula mempersilakan Wuranta duduk bersamanya di atas sebuah tikar pandan yang putih.
“Kau datang terlampau siang,” berkata Sidanti.
“Ya, Tuan,” sahut Wuranta.
“Ada beberapa sebab yang menghambat kedatanganku.”
“Minumlah, kemudian ceriterakanlah apa yang kau lihat di Jati Anom.”
Wuranta menelan ludahnya. Seakan-akan ia sedang duduk di hadapan seorang jaksa yang sedang memeriksa perkaranya. Ia tidak tahu hukuman apakah yang kemudian akan dijatuhkan atasnya. Seteguk ia minum air hangat yang sudah terhidang di hadapannya. Diraihnya segumpa gula kelapa. Ia mencoba untuk menenangkan hatinya, tetapi ketika air hangat itu diangkatnya, maka ia merasa beberapa tetes tertumpah menyiram kakinya. Ternyata lengannya masih juga gemetar. Tetapi ketika lehernya telah menjadi basah, maka ia menjadi agak tenang.
“Apakah perjalananmu menyenangkan? Berkata Sidanti tiba-tiba.
Wuranta menggeser duduknya, membetulkan pedangnya yang mencuat ke belakang. Sekali ia menarik nafas dalam-dalam, lalu jawabnya,
“Ya, tuan. Perjalanan kali ini benar-benar menyenangkan.”
“Ceriterakanlah apa yang kau lihat dan apa yang kau dengar?”
“Aku tidak hanya sekedar melihat dan mendengar, Tuan” jawab Wuranta,
“tetapi aku hampir mati di perjalanan.”
“Kenapa?” Sidanti terkejut.
Tetapi Wuranta melihat bahwa sebenarnya Sidanti hanya berpura-pura saja.
“Alap-alap itu pasti sudah berceritera tentang Ki Tanu Metir yang sudah mencegat perjalananku,” katanya di dalam hati.

Wuranta itu  pun kemudian berceritera tentang apa saja yang dilakukannya. Berkelahi dengan seseorang laki-laki yang tidak dikenalnya yang mencegat perjalanannya. Kemudian menggertak perempuan tua yang menunggui rumah Agung Sedayu dan yang terakhir tentang tiga orang penunggang kuda yang datang ke Jati Anom. Sidanti dan Alap-alap Jalatunda mendengarkan dengan penuh minat. Seakan-akan apa yang didengarnya itu belum pernah diketahuinya lebih dahulu. Kadang-kadang wajah mereka berkerut-merut, kadang-kadang menjadi tegang.
“Setan,” desis Wuranta di dalam hatinya,
“mereka benar-benar licik.” Tetapi tiba-tiba ia menyadari keadaan dirinya sendiri.
“Dan aku pun harus berbuat licik seperti mereka pula.”
Ketika Wuranta selesai berceritera maka Sidanti  pun kemudian mengangguk-anggukan kepalanya. Dipandanginya Alap-alap Jalatunda sekilas, lalu katanya,
“Kau benar-benar hebat. Siapakah kira-kira laki-laki yang menyerangmu?”
Wuranta tidak segera menjawab. Ia  pun memandangi Alap-alap Jalatunda sekilas. Baru kemudian ia menjawab sambil menggeleng,
“Aku tidak tahu, Tuan. Sebenarnya aku ingin bertanya kepada Tuan, siapakah yang telah mencegat aku di perjalanan itu?”
Sidanti mengerutkan keningnya. Tetapi tiba-tiba ia tersenyum,
“Kau menyangka bahwa aku telah memasang seseorang untuk mencegatmu? Apakah gunanya? Kalau aku ingin membunuhmu, sekarang aku dapat melakukannya.”
Wuranta mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab.
“Jadi, kau benar-benar tidak mengetahuinya?”
“Benar, Tuan,” jawab Wuranta.
“Maaf bahwa aku memang menyangka bahwa Tuan ingin mengetahui sedikit tentang diriku dengan mengirimkan seseorang mencegat perjalananku, meskipun Tuan tidak benar-benar ingin membunuhku.”
“Memang masuk akal,” sahut Sidanti,
“tetapi aku tidak melakukannya.”
Wuranta mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak segera mengucapkan sesuatu.
Yang bertanya kemudian adalah Alap-alap Jalatunda,
“Lalu bagaimana dengan tiga orang berkuda itu?”
“Mereka hampir membunuhku,” sahut Wuranta.
“Bohong!” desis Alap-alap Jalatunda.
“Apakah kau seorang anak muda yang pilih tanding dan dapat mengalahkan tiga orang prajurit Pajang?”

Dada Wuranta berdesir mendengar pertanyaan itu. Sebenarnyalah bahwa ia tidak akan dapat melepaskan diri dari tiga orang prajurit Pajang seandainya mereka benar-benar ingin membunuhnya. Tetapi ceriteranya telah diucapkannya, bahwa ia melepaskan diri dari ketiganya. Tetapi tiba-tiba Wuranta itu  pun tersenyum. Wajahnya yang tegang menjadi kemerah-merahan. Beruntung bahwa ia segera dapat menguasai perasaannya.
“Bagaimana?” desak Alap-alap Jalatunda.
“Aku memang dapat melepaskan diri dari mereka. Sebagaimana Tuan lihat, aku selamat sampai di sini.”
“Apakah kau mampu melawan mereka bertiga?” bertanya Sidanti.
Wuranta menggeleng. Senyumnya masih saja melekat di bibirnya.
“Lalu bagaimana?” Alap-alap Jalatunda hampir mebentak.
Wuranta berusaha sekuat-kuatnya menguasai perasaannya. Sambil tersenyum ia menjawab,
“Sudah aku katakan, aku melepaskan diri dari mereka”
“Sesudah kau bertempur melawan mereka, atau sesudah kau membunuh ketiganya?”
Wuranta masih tersenyum. Perlahan-lahan ia menjawab,
“Justru sebelum mereka melihat aku.”
“Gila!” Alap-alap Jalatunda berteriak. Tetapi terdengar Sidanti tertawa terbahak-bahak.
“Kau memang seorang pengecut. Seorang pengecut yang suka sekali membual.”
Wuranta tidak segera menjawab. Tetapi ia menjadi berlega hati ketika Sidanti mentertawakannya. Alap-alap Jalatunda itu  pun tertawa pula sambil berkata,
“Sebenarnya kau cukup mampu untuk berkelahi. Kau dapat mengusir laki-laki yang menyerangmu. Tetapi kau benar-benar seorang pengecut.”
Wuranta mengerutkan keningnya. Dengan serta-merta ia bertanya,
“Darimana Tuan tahu bahwa aku mampu berkelahi?”
Kini Alap-alap Jalatunda yang terbungkam. Sejenak ia menjadi bingung. Tetapi sejenak kemudian ia pun menjawab,
“Bukankah kau sendiri mengatakannya bahwa kau mampu mengusir laki-laki yang tak kau kenal itu?”
Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, Wuranta bergumam,
“Apakah aku tadi berkata begitu?”
“Ya, kau mengatakannya.”
“Dan Tuan tidak menganggap bahwa kali ini aku  pun hanya membual saja?”
Sekali lagi Sidanti tertawa. Katanya,
“Aku memerlukan seseorang seperti kau. Pengecut sekaligus pembual.”

Wuranta  pun tersenyum. Ia melihat beberapa orang kemudian masuk ke dalam ruang itu pula. Wajah mereka diliputi oleh berbagai pertanyaan. Mereka melihat Sidanti tertawa berkepanjangan dan Alap-alap Jalatunda  pun tertawa-tawa pula.
“Apa yang kalian tertawakan?” bertanya Sanakeling.
“Pengecut ini,” jawab Sidanti. Kemudian ia berkata kepada Wuranta,
“Pergilah, kau boleh beristirahat. Kau akan mempunyai pekerjaan yang serupa untuk saat-saat mendatang. Tetapi apakah kau masih berani datang ke Jati Anom apalagi apabila ketiga prajurit itu mengetahui rumahmu?”
“Sejak lama Agung Sedayu melihat rumahku. Mungkin ketiga prajurit itu adalah sraya Agung Sedayu untuk menangkapku.”
“Jangan membual lagi,” potong Sidanti.
“Agung Sedayu tidak memerlukan orang lain untuk memenggal lehermu.”
“Tetapi ternyata ia tidak berani datang ke rumahku?”
“Anak muda Jati Anom. Adik Untara itu segan mengotori tangannya dengan darah kelinci.”
Wajah Wuranta sesaat menjadi kemerah-merahan. Bagaimanapun juga sebagai seorang anak muda, ia merasa tersinggung oleh berbagai hinaan yang diucapkan oleh Sidanti berturut-turut. Tetapi segera ia menyadari kewajibannya, sehingga sekali lagi ia terpaksa menekan perasaannya.
Wuranta terkejut ketika ia mendengar Sidanti bertanya,
“Apakah kau marah?”
Wuranta memaksa dirinya untuk tersenyum.
“Tidak, Tuan. Tetapi aku ingin suatu ketika dapat mengalahkan Agung Sedayu.”
Sidanti tertawa. Kemudian katanya,
“Pergilah. Kalau kau lelah, beristirahatlah.”
“Baik, Tuan” sahut Wuranta,
“tetapi aku ingin menjelaskan kepada Tuan, bahwa untuk seterusnya, meskipun pasukan Untara telah berada di sekitar Jati Anom, aku tidak takut untuk turun. Jati Anom adalah kampung halamanku. Kenapa aku menjadi takut pulang? Aku mengenal semua jalan-jalan dan lorong-lorong. Aku kenal segenap sudut-sudutnya, rumpun-rumpun bambu yang lebat dan tempat-tempat yang lain untuk bersembunyi.”
“Aku sudah menyangka,” potong Sidanti
“Apa yang sudah Tuan sangka?”
“Ceriteramu pasti hanya berkisar pada tempat persembunyian, tempat untuk melarikan diri dan sebagainya. Kau tidak akan berceritera tentang kemungkinan yang lain, misalnya membinasakan mereka, mencegat mereka atau perbuatan-perbuatan serupa.”
Wuranta tersenyum, Betapapun hatinya menjadi kecut.
“Pergilah,” berkata Sidanti,
“kau mendapat kesempatan untuk beristirahat, melihat-lihat tempat ini bersama Alap-alap Jalatunda.”

Wuranta menganggukkan kepalanya. Ia melihat kewaspadaan pada sikap dan kata-kata Sidanti. Ia pun menyadari bahwa Alap-alap Jalatunda pasti mendapat tugas untuk mengawasinya selama ia berada di padepokan Tambak Wedi. Wuranta kemudian meninggalkan tempat itu. Di halaman ia sejenak menunggu Alap-alap Jalatunda yang masih berada di dalam.
“Bagaimana menurut pertimbanganmu, Alap-alap Jalatunda?” bertanya Sidanti.
“Ia berkata sebenarnya.”
“Ya, aku juga percaya kepadanya. Bodoh, berterus-terang tetapi licik dan pembual.”
“Orang yang demikian dapat kita pergunakan untuk sementara. Tetapi sifat pembualnya adalah sifat yang berbahaya,” sahut Sanakeling.
“Ya, kita pergunakan untuk waktu yang tertentu. Akan datang saatnya, anak itu kita lemparkan ke dalam jurang. Tetapi sekarang ia akan bermanfaat. Nanti malam ia harus turun kembali ke Jati Anom melihat perkembangan daerah itu. Bagaimanakah dengan ketiga orang berkuda yang semalam datang ke kademangan itu,” berkata Sidanti.
Alap-alap Jalatunda mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi sambil bersungut-sungut ia bertanya,
“Apakah aku mendapat tugas untuk mengikutinya lagi?”
Sidanti tertawa sambil menggelengkan kepalanya.
“Tidak. Tidak. Nanti malam kau dapat tidur nyenyak di gubugmu.”
Alap-alap Jalatunda tidak berkata sepatah kata  pun lagi. Ditinggalkannya ruangan itu langsung turun ke halaman. Ditemuinya Wuranta yang telah agak lama menunggunya.
“Apakah kau mau tidur?” bertanya Alap-alap Jalatunda.
Wuranta menggelengkan kepalanya,
“Tidak, aku harus berprihatin supaya niatku dapat terlaksana.”
“Apakah niat itu?”
“Sederhana,” jawab Wuranta, “menjadi demang dan beristri cantik.”
Tiba-tiba Alap-alap Jalatunda itu tertawa terbahak-bahak.
“O, dapurmu,” katanya. “Seorang Demang harus orang yang berani.”
“Kelak aku akan menjadi orang yang berani juga.”
“Mudah-mudahan kau akan dapat menjadi seorang Demang,” gumam Alap-alap Jalatunda.
“Dan beristri cantik, supaya aku dapat juga beranak seorang gadis yang cantik, seperti yang kau katakan.”
“Anak Demang Sangkal Putung itu?”
“Kalau aku menjadi seorang Demang, maka pantaslah aku menjadi menantu seorang demang pula.”
“Huh!” tiba-tiba Alap-alap Jalatunda meludah.
“Sebelum kau mimpi mendapatkan gadis itu, lehermu telah patah.”
“Kenapa?”
“Kau berani melawan aku?”
Wuranta tersenyum.
“Jangan marah, Tuan. Aku belum pernah melihat gadis itu. Bagaimana aku dapat jatuh cinta kepadanya? Bukankah bukan hanya Demang Sangkal Putung saja yang beranak seorang gadis?”

Alap-alap Jalatunda menelan ludahnya.
“Tuan,” tiba-tiba Wuranta berbisik, seakan-akan ia takut suaranya didengar orang lain,
“apakah gadis itu cantik?”
Alap-alap Jalatunda berpaling. Ditatapnya wajah Wuranta dengan tajamnya. Dengan nada yang datar ia menggeram,
“Kau benar menginginkannya?”
“Ah, aku tidak gila, Tuan. Gadis itu adalah milik Sidanti. Bagaimana aku berani berangan-angan?”
“Omong kosong. Tak seorang  pun yang memilikinya di sini. Siapa yang dahulu mendapatkannya, ialah yang memiliki, meskipun hanya sesaat, dan meskipun sesudah itu digantung, tetapi puaslah rasanya.”
Dada Wuranta berdesir mendengar kata-kata Alap-alap Jalatunda itu, tetapi ia tidak menyahut.
Tiba-tiba Alap-alap itu berkata,
“Apakah kau ingin melihatnya?”
“Bagaimana aku bisa melihat tuan? Bukankah ia berada di dalam ruangan tertutup? Apakah aku dapat masuk ke dalamnya?”
Alap-alap Jalatunda tertawa mendengar pertanyaan Wuranta. Katanya,
“Kau memang bodoh. Apakah seorang gadis yang disembunyikan itu siang malam berada di dalam biliknya? Apakah sekali-sekali ia tidak memerlukan air?”
“Air untuk minum maksud Tuan?” bertanya Wuranta.
“O,” tertawa Alap-alap Jalatunda semakin menjadi.
“Seorang perempuan yang sudah dewasa tidak dapat berpisah dengan air. Tidak saja untuk minum, tetapi untuk mencuci misalnya.”
“O, ya, ya,” cepat-cepat Wuranta menyahut.
“Demikian juga Sekar Mirah. Ia tidak harus berada di dalam biliknya setiap saat. Gadis itu diperbolehkan keluar asalkan tidak terlampau jauh. Ke sumur atau ke kali misalnya, lalu kemudian masuk kembali ke rumah yang khusus dipergunakan untuk menyimpannya. Tetapi ia tidak pernah terlepas dari pengawasan. Dan seandainya gadis itu mencoba untuk lari, maka meskipun ia berhasil meninggalkan halaman itu, maka ia tidak dapat keluar dari padepokan ini.”

Wuranta mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya,
“Jadi, bagaimanakah aku dapat melihatnya?”
“Hampir setiap pagi ia mencuci pakaian yang ada padanya. Pakaian yang hanya selembar dua lembar itu, setelah ia mendapat pinjaman dari perempuan-perempuan di padepokan ini.”
“Kenapa setiap hari dicucinya?”
“Aku rasa bukan karena pakaian itu menjadi kotor. Tetapi gadis itulah yang ingin keluar dari dalam bilik yang sempit itu. Mencuci baginya adalah alasan yang paling baik. Mungkin juga ke pakiwan atau bahkan ke sungai.”
“Siapakah yang harus mengawasi gadis apabila ia pergi ke sungai?”
“Tentu saja para penjaga”
Wuranta mengerutkan keningnya. Bagaimana mungkin seseorang dapat hidup dalam keadaan demikian. Tetapi keadaan itu adalah keadaan yang dipaksakan atas gadis itu, sehingga Betapapun juga, maka ia tidak akan dapat menolaknya.
“Baiklah, Tuan,” berkata Wuranta kemudian,
“kalau aku mendapat kesempatan, maka aku  pun ingin melihatnya.”
“Marilah,” sahut Alap-alap Jalatunda. Tetapi ia kemudian mengerutkan keningnya sambil berkata,
“Kau ingin mencoba bermain api?”
“Oh,” kini Wuranta-lah yang tertawa,
“aku hanya ingin melihatnya karena Tuan mengajak. Percayalah bahwa aku tidak akan berani berbuat apa pun selain memandanginya dari kejauhan. Betapapun cantiknya gadis itu, tetapi aku hanya akan mendapat kesempatan untuk memandanginya.”
Sejenak Alap-alap Jalatunda terdiam. Sekali ia berpaling memandangi wajah Wuranta dengan penuh kecurigaan. Tetapi kemudian ia berkata,
“Jangan mencoba berbuat gila. Nyawamu berada di ujung rambutmu. Pedepokan ini bukan tanah nenek-moyangmu, dan kau belum menjadi seorang demang di Jati Anom.”
Sekali lagi Wuranta tertawa. Katanya,
“Tuan benar-benar seorang pencemburu. Kelak kalau Tuan sudah beristri, maka tak seorang  pun yang boleh memandangi istri Tuan.”

Kening Alap-alap Jalatunda itu  pun menjadi semakin berkerut-merut. Sejenak ia terbungkam, tetapi kemudian ia  pun tersenyum dan berkata,
“Mungkin kau benar Wuranta. Aku  pun tersenyum juga akhirnya mendengar kata-katamu itu.”
Keduanya  pun kemudian terdiam. Mereka berjalan menyusur jalan padepokan yang tidak terlampau lebar. Sekali-sekali mereka berpapasan dengan beberapa laki-laki bersenjata. Laki-laki yang berwajah keras dan kasar, berkumis tebal, berjambang dan berjanggut. Rambut mereka kadang-kadang tidak tersusun rapi, bahkan kadang-kadang begitu saja berjuntai di bawah ikat kepala. Bulu kuduk Wuranta kadang-kadang menjadi meremang. Laki-laki itu adalah laki-laki yang selama ini hidup dalam pengembaraan. Mereka seakan-akan tidak pernah mengecap kenikmatan hidup berumah tangga. Bahkan sampai saat ini dan sampai kapan hal itu masih berlangsung terus.
“Prajurit-prajurit Pajang di Sangkal Putung dan yang akan datang di Jati Anom  pun seakan-akan hidup dalam pengembaraan,” gumam Wuranta dalam hatinya.
“Tetapi mereka memiliki kebanggaan. Mereka memiliki harapan bagi masa depan yang jauh. Seandainya tidak untuk dirinya sendiri, tetapi untuk anak keturunan mereka.”
Wuranta menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia terperanjat ketika Alap-alap Jalatunda menyapanya,
“He, kenapa kau?”
Wuranta mencoba tersenyum, “Tidak apa-apa,” jawabnya.
“Apakah kau masih memikirkan gadis itu?”
“Apakah Tuan menyangka begitu?”
Alap-alap Jalatunda  pun tersenyum pula. Bahkan kemudian ia  pun mengumpat,
“Gila, kau.”
Kembali mereka berdua saling berdiam diri. Langkah mereka satu-satu di atas jalan berbatu menumbuhkan suara gemerisik perlahan-lahan.
Tiba-tiba Alap-alap Jalatunda berhenti. Digamitnya Wuranta sambil berbisik,
“He, apakah kau melihat seseorang berjalan lewat jalan samping itu?”

Wuranta  pun segera berpaling memandang ke arah pandang Alap-alap Jalatunda. Tiba-tiba dilihatnya seorang gadis berjalan seorang diri menyelusur lorong sempit itu.
“Itukah dia?” bertanya Wuranta.
Alap-alap Jalatunda mengangguk.
“Ya, itulah Sekar Mirah.”
“Kemana dia?”
“Jalan itu menuju ke sungai”
“Apakah gadis itu dapat pergi dengan bebas ke sungai? Apakah dengan demikian ia tidak berusaha melarikan diri?”
“Apakah gadis itu kau sangka dapat meloncat dinding padepokan ini? Seandainya ia dapat maka para penjaga di sekitar padepokan ini akan menangkapnya. Jangan pula dilupakan bahwa beberapa orang akan selalu mengawasinya.”
“Di mana para pengawas itu?”
“Mereka tidak semata-mata mengawasinya. Dan pengawasan itu  pun tidak akan terlampau ketat seperti seandainya yang ditahan itu Agung Sedayu.”
Wuranta mengangguk-anggukkan kepalanya. Apa yang dikatakan oleh Alap-alap Jalatunda itu dapat dimengertinya. Memang agaknya bagi seorang gadis, pasti akan amat sulit mencoba keluar dari dinding padepokan yang cukup tinggi seperti sebuah benteng yang sangat rapat. Bahkan di sana-sini di dalam dinding itu tumbuh rumpun-rumpun bambu ori yang rapat. Apalagi sungai itu mengalir membelah padepokan. Sehingga sungai itu  pun berada dalam lingkungan dinding-dinding padepokan itu pula. Meskipun demikian, ada sesuatu yang ingin diketahuinya, sehingga Wuranta itu  pun bertanya,
“Tuan, jika Sekar Mirah itu pergi ke sungai, apakah ia tidak akan mendapat kesempatan untuk melarikan diri?”
“Sungai itu berada di padepokan.”
“Tetapi bukankah ia dapat menyusur aliran sungai itu, ke hulu atau ke udik, kemudian keluar dari dinding yang mengelilingi padepokan ini?”
Alap-alap Jalatunda menggeleng, katanya,
“Aku tidak tahu siapakah yang membuat padepokan ini. Tapi apa yang kau tanyakan itu agaknya telah dipikirkan pula oleh orang-orang yang membuatnya.”
“Bagaimana?” bertanya Wuranta.
“Di perbatasan sungai ini masuk dan keluar padepokan, dinding padepokan ini telah dibuat terlampau rendah kemudian digalinya dasar sungai seperti sebuah terowongan. Dengan demikian maka air akan menutup seluruh lubang masuk dan keluar dari padepokan ini. Tak ada selubang jarum pun berada di atas permukaan air. Apabila seseorang akan berusaha keluar atau masuk lewat sungai ini, maka ia harus menyelam untuk waktu yang cukup lama. Nah, apakah hal yang demikian itu akan dapat dilakukan oleh Sekar Mirah? Seorang yang cakap berenang dan menyelam  pun akan ragu-ragu untuk melakukannya, seandainya ia belum mengenal betul keadaan padepokan ini. Mereka pasti menyangka bahwa genangan air itu akan masuk ke dalam pusaran.”

Wuranta mengangguk-anggukan kepalanya. Sebenarnya ingin benar ia melihat ujung sungai itu pada sisi-sisi padepokan. Tetapi ia tidak dapat langsung mengutarakannya. Tiba-tiba Wuranta itu terperanjat ketika sekali lagi Alap-alap Jalatunda menggamitnya sambil bertanya,
“He, gadis itu sudah hampir tidak tampak lagi.”
“Lalu bagaimana maksud Tuan?”
“Aku selalu menunggunya di muka rumah yang diperuntukkan baginya pada saat-saat begini, apabila aku tidak sedang bertugas.”
“Apakah Tuan sudah mengenalnya?”
Alap-alap Jalatunda menggelengkan kepalanya.
“Aku tidak berani menegurnya.”
“Takut kepada Sidanti?”
“Persetan anak iblis itu. Kenapa aku takut kepadanya?”
“Jadi, kepada siapa Tuan takut?”
“Aku tidak pernah merasa takut kepada Sidanti kini. Mungkin beberapa saat berselang aku ketakutan mendengar namanya. Tetapi aku sudah mencoba untuk mempersiapkan diri melawannya. Meskipun aku tidak berguru lagi kepada seseorang. Tetapi cara-cara yang pernah dipesankan kepadaku aku lakukan dengan baik dan teratur. Apalagi kini, aku mempunyai waktu yang cukup untuk meningkatkan ilmuku. Sedang Sidanti tidak pernah melakukannya.”
“Jadi, bagaimana?”


Halaman 1 2 3


<<< Jilid 020                                                                                                       Jilid 022 >>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar