PANDAN WANGI masih belum menyahut. Tetapi ia mendengar seorang yang lain berkata,
“Lihat, ia
membawa sepasang pedang di lambungnya.”
Orang yang
berdiri di paling depan, yang berwajah mengerikan dengan kumis dan jambang yang
tumbuh bagaikan rumput liar di musim hujan itu tertawa.
“Ya, ya. Ia
membawa sepasang pedang di lambungnya seperti seekor ayam betina yang bertaji
di kakinya.”
Dada Pandan
Wangi menjadi semakin berdebar-debar. Sikap orang-orang yang tidak dikenalnya
itu terasa semakin memuakkan. Meskipun demikian dengan sekuat-kuat hati,
ditahankannya gelora di dalam dadanya, supaya ia tidak menimbulkan hal-hal yang
tidak diinginkan, yang justru akan menutup setiap kemungkinan untuk bertemu
dengan kakaknya. Lebih dari itu, ia tidak mau menyalakan setitik api dalam
genangan minyak seperti yang terjadi saat itu di Menoreh. Ia sejauh mungkin
akan menghindar, supaya ia tidak menjadi sebab apabila Tanah ini harus menjadi
hangus terbakar oleh api pertempuran di antara keluarga sendiri. Tetapi sikap
dan suara tertawa orang yang berdiri paling depan itu terlampau menyakitkan
hati. Meskipun demikian Pandan Wangi masih juga berkata perlahan-lahan,
“Paman, apakah
aku boleh lewat?”
“He,” orang
yang berkumis dan berjambang itu mengerutkan keningnya,
“tentu. Tentu
boleh. Tetapi siapa namamu he? Pandan Wangi? Nama itu terlampau manis. Aku
tidak menyangka bahwa di atas bukit yang berbatu padas ini ada wajah semanis
wajahmu.”
Pandan Wangi
menahan hatinya sehingga keringatnya telah membasahi seluruh pakaiannya. Hampir
saja ia menyebut dirinya sebagai puteri Kepala Tanah Perdikan. Tanah ini.
Tetapi maksud itu diurungkannya. Seandainya orang-orang ini benar-benar ingin
membuat Tanah ini menjadi kisruh, maka dengan menyebutkan dirinya ia tidak akan
mendapatkan keuntungan apa-apa. Bahkan mungkin ia akan dijadikan sebab
kekisruhan yang menyeluruh. Karena itu maka dikatupkannya saja mulutnya
rapat-rapat.
“He, Pandan
Wangi, siapakah yang sedang kau cari? Apakah kau mencari aku atau salah seorang
dari kami?” berkata orang yang berdiri paling depan itu disambut oleh suara
tertawa dari beberapa orang di belakangnya.
Pandan Wangi
tidak menjawab. Semakin lama ia menjadi semakin segan untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan orang-orang itu.
“Kau mencari
siapa, he?”
Pandan Wangi
masih tetap diam.
“Turunlah,”
berkata orang itu,
“tidak baik
berbicara dengan orang tua-tua di atas punggung kuda.”
Pandan Wangi
menjadi ragu-ragu. Orang itu benar juga. Dan apakah sikap orang-orang itu, yang
dirasakannya terlampau menyakitkan hati karena sikapnya yang kurang sopan?
Apakah sebaiknya ia meloncat turun dan minta maaf supaya segala persoalan
segera selesai dan ia diperbolehkan lewat tanpa terjadi hal-hal yang tidak
menyenangkan? Tetapi Pandan Wangi masih juga ragu-ragu.
“Turunlah,”
orang yang berdiri di paling depan itu melangkah maju semakin dekat sehingga
bulu-bulu tengkuk Pandan Wangi meremang. Sedang orang itu berkata lebih lanjut,
“Aku hanya mau
berbicara, menjawab pertanyaan-pertanyaanmu, apabila kau berlaku agak sopan
sedikit. Kalau kau berbicara dengan orang-orang yang lebih tua, jangan dari
atas punggung kuda. Apakah orang tuamu tidak pernah memberitahukan kepadamu?”
Nada suara
orang itu terasa begitu bersungguh-sungguh sehingga Pandan Wangi menjadi
semakin ragu-ragu.
“Mungkin ia
tersinggung oleh sikapku,” katanya di dalam hati,
“sehingga ia
tampak menjadi terlampau kasar.”
“Turunlah,
Ngger.” berkata orang itu pula sambil bersungut-sungut.
Dada Pandan
Wangi menjadi bergetar. Sekali lagi dipandanginya wajah orang itu. Keningnya
berkerut-merut dan alisnya hampir bertemu di atas hidungnya.
“Ia agaknya
benar-benar tersinggung,” berkata Pandan Wangi pula di dalam hatinya yang
menjadi kian berdebar-debar. Namun kemudian diputuskannya untuk memenuhi
permintaan orang itu. Turun dari kuda.
Dan Pandan
Wangi pun kemudian perlahan-lahan turun
dari kudanya. Sambil mengangguk ia berkata,
“Maaf, Paman,
apabila aku Paman anggap kurang sopan. Aku agak terlampau tergesa-gesa,
sehingga aku telah melupakan suba-sita. Sekarang apakah aku boleh lewat?”
Wajah orang
itu menjadi tegang. Tiba-tiba, tanpa disangka-sangka oleh Pandan Wangi, orang
itu membungkukkan badannya dalam-dalam. Terlampau dalam. Tetapi ternyata
tangannya meraih sesuatu di atas tanah. Dan tanpa diduga-duga pula orang itu
telah melempar kuda Pandan Wangi dengan sebutir batu sehingga kuda itu
terkejut, meringkik dan melonjak. Karena Pandan Wangi sama sekali tidak
menduganya maka kendalinya pun terlepas dari tangannya. Lemparan yang kedua
telah mendorong kuda itu meloncat berlari kencang sekali. Orang-orang yang
berdiri di tengah-tengah jalan itu dengan lincahnya berloncatan menepi,
menghindarkan diri dari injakan kaki-kaki kuda Pandan Wangi itu. Sejenak Pandan
Wangi berdiri terpaku seperti sebatang tonggak mati. Tidak ada yang segera
dikerjakannya selain berdiri tegak di tempatnya. Ia tersadar ketika kemudian
didengarnya suara tertawa meledak hampir di telinganya. Suara orang yang telah
melempar kudanya sehingga Pandan Wangi terkejut bukan buatan. Selangkah ia
mundur. Ditatapnya wajah orang yang sedang tertawa itu tajam-tajam. Pandan
Wangi itu pun menggeretakkan giginya.
Kini ia merasa tertipu oleh sikap orang itu. Apalagi kemudian orang-orang yang
lain pun tertawa pula berkepanjangan.
“Kau berhasil,
Kakang,” terdengar salah seorang berteriak.
“Kau berhasil
memetik bunga dari atas bukit karang ini, meskipun agaknya bunga itu berduri.”
Kata-kata itu
terasa menusuk perasaan Pandan Wangi terlampau dalam. Pedih sekali. Hampir saja
ia menjerit keras-keras. Tetapi tiba-tiba disadarinya, bahwa kini ia membawa
sepasang pedang di lambungnya. Ia kini bukan seorang gadis cengeng yang takut
melihat tikus berkejar-kejaran. Selangkah Pandan Wangi surut.
“Nah,
begitulah, Nak,” berkata orang yang berkumis dan berjambang itu,
“begitulah
berbicara dengan orang tua-tua. Kau harus hormat dan jangan bersikap melawan.
Bukankah kau mendengar, bahwa seorang kawanku menyebutmu sebagai bunga bukit
karang meskipun berduri? Tetapi tidak ada gunanya melawan kami. Kami adalah
orang-orang yang paling liar di atas bumi ini. Kami berbuat apa saja yang ingin
kami lakukan. Juga atasmu. Kau ternyata terlampau cantik bagi kami.”
Dada Pandan
Wangi berdesir tajam sekali mendengar kata-kata itu. Dengan tegang Pandan Wangi
berdiri tegak di atas kedua kakinya yang merenggang. Orang-orang itu kini
benar-benar nampak terlampau liar seperti yang dikatakannya sendiri. Ternyata
bahwa Pandan Wangi sama sekali belum mempunyai pengalaman yang cukup untuk
menghadapi orang-orang seperti itu. Dengan mudahnya ia dapat ditipunya sehingga
ia kehilangan kudanya. Apalagi kini ia menghadapi sikap yang paling menyakitkan
hati dari laki-laki yang kasar dan liar itu.
“Kenapa kau
diam saja Pandan Wangi?” terdengar suara orang yang berkumis dan berjambang
itu.
Pandan Wangi
sama sekali tidak menjawab, yang terdengar adalah gemeretak giginya beradu.
“Kau marah,
he?”
Tidak ada
jawaban.
“Jangan kau
sesali lagi kudamu yang telah lari itu. Aku akan mencari gantinya yang jauh
lebih baik daripadanya. Tidak hanya seekor, tetapi berapa yang kau minta.
Setidak-tidaknya kami masing-masing yang berada di sini dapat memberimu seekor
seorang.” Orang itu kemudian berpaling kepada kawan-kawannya sambil bertanya,
“Begitu,
bukan?”
Terdengar
gelak tertawa meledak di antara mereka. Salah seorang dari mereka menyahut,
“Aku akan
memberinya dua ekor.” Dan yang lain lagi mengatasi suaranya,
“Aku empat
ekor.” Sedang yang berada di sisi lain, yang kecil kurus berwajah panjang,
“Aku, berapa
saja yang dimintanya.”
Orang yang
berdiri di paling depan mengerutkan keningnya tetapi kemudian ia pun tertawa pula. Katanya,
“Nah kau
dengar. Semua bersedia memberikan berapa saja yang kau minta. Tetapi sudah
tentu bahwa kau pun harus memberikan apa
yang kami minta.” Orang itu berpaling dan berkata lagi kepada kawan-kawannya,
“Bukankah
begitu?”
“Ya. ya.
Tentu, tentu,” meledak pulalah jawaban mereka, di antara gelak tertawa yang
riuh.”
“Sikap yang
memuakkan yang pernah aku lihat,” gumam Pandan Wangi di dalam hatinya. Tetapi
mulutnya masih terkatup rapat-rapat dan giginya masih bergemeretakan.
“Nah, apakah
katamu?” bertanya orang itu pula.
“Kini letakkan
saja senjatamu. Tidak pantas seorang perempuan membawa pedang. Apalagi sepasang.
Aku kira kau akan lebih cantik apabila kau memakai pakaian yang lumrah bagi
seorang perempuan.”
Pandan Wangi
sama sekali tidak menyahut
“Jangan diam
saja,” berkata orang itu pula,
“jawablah
barang sepatah kata. Apa maumu sebenarnya. Sebab bagiku, bagi kami, biasanya
tidak pernah memperhitungkan kemauan orang lain. Aku kira juga kemauanmu tidak
akan kami perhitungkan meskipun kami ingin mendengarnya. Yang kami dengar dan
kami perhatikan adalah kemauan kami sendiri. Dan kemauan kami atasmu sudah jelas.
Aku bukan orang Menoreh. Aku datang ke tempat ini karena aku diperlukan. Maka
Menoreh harus memberikan sambutan yang sebaik-baiknya bagi kami. Penghuninya
dan terutama perempuan-perempuannya.”
Pandan Wangi
masih tetap mematung.
“Hem,”
laki-laki yang memuakkan itu menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya pula,
“Ingat, jangan
membuat kami kecewa supaya kami dapat berbuat sebaik-baiknya atas Tanah ini.
Kau harus membantu kami seperti kami akan membantu kalian. Kami memerlukan
perempuan-perempuan seperti kau. Kami akan lebih senang apabila kau memanggil
kawan-kawanmu di saat yang lain, supaya kami tidak sayang mengorbankan jiwa
kami untuk kepentingan kalian.”
Pandan Wangi
benar-benar sudah tidak tahan lagi. Sebagai seorang gadis hatinya menjadi
terlampau ngeri. Ia dapat membayangkan apa yang akan terjadi atasnya apabila ia
jatuh ke tangan orang-orang ini. Tetapi sebagai seorang gadis yang mengenakan
sepasang pedang di lambungnya, ia dapat berbuat sesuatu. Ia dapat bertahan,
meskipun seandainya ia tidak dapat melawan semua orang itu bersama-sama, maka
ia akan terbunuh. Tetapi terbunuh ternyata akan lebih baik baginya daripada
jatuh ke tangan mereka. Karena itu, maka wajah Pandan Wangi menjadi semakin
merah seperti darah. Kini kedua tangannya telah bersilang memegang hulu
sepasang pedangnya.
“He,” orang
yang berdiri di paling depan berseru, “apakah kau akan melawan?”
Pandan Wangi
tidak menjawab. Tetapi sorot matanya memancarkan kemarahan yang meluap-luap di
dadanya. Orang yang berjambang itu tertawa. Katanya,
“Jangan nakal.
Jangan bermain-main dengan senjata. Lihat, kami
pun bersenjata. Pedangmu terlampau kecil untuk melawan golok-golok kami
yang jauh lebih besar ini. Mungkin kau pernah melihat seseorang bermain pedang
dan kau ingin melakukannya. Tetapi jangan bermain-main dengan kami. Apabila
sikapmu menimbulkan kemarahan kami, maka kami akan dapat berbuat jauh lebih
liar daripada yang pernah kau bayangkan.”
Tetapi Pandan
Wangi tidak bergerak dan tidak menjawab. Bahkan darahnya kini benar-benar telah
mendidih.
“Lepaskanlah
ikat pinggangmu yang kau gantungi dengan sepasang pedang itu,” berkata orang
itu.
“Cepat. Kami
sudah tidak sabar lagi. Buanglah senjata-senjata yang tidak akan berarti sama
sekali bagimu, bagi keselamatanmu dan bagi apa
pun itu.”
Kini Pandan Wangi
telah sampai pada batas kemampuannya untuk menahan dirinya. Meskipun sebagai
seorang gadis, terasa juga bulu-bulu tengkuknya yang meremang, tetapi karena ia
bersenjata di lambung, maka terpercik tekad di dadanya untuk melawan
orang-orang itu. Ia belum tahu betapa jauh kemampuan orang-orang itu
bersama-sama. Tetapi ia harus melawan, membela dirinya dari kemungkinan yang
lebih jelek daripada mati. Hal ini pasti akan menjadi peringatan bagi
orang-orang Menoreh sendiri, bahwa mereka harus berhati-hati terhadap
orang-orang yang tidak dikenal ini. Dan bahwa mereka dapat membuat bencana yang
lebih dahsyat lagi di atas Tanah Perdikan ini. Maka ketika orang yang berkumis
dan berjambang itu kemudian maju lagi selangkah sambil tertawa seperti suara
tertawa hantu di pekuburan melihat mayat, maka Pandan Wangi selangkah lagi
surut. Namun sekejap kemudian kedua-belah tangannya telah menggenggam sepasang
pedangnya. Langkah laki-laki berjambang itu terhenti. Tampak keningnya
berkerut. Namun sejenak kemudian ia tertawa lagi. Lebih keras. Dibarengi oleh
suara tertawa orang lain di belakangnya.
“Ah, jangan
nakal, Nak,” berkata orang yang berkumis dan berjambang itu.
“Aku sudah
berpengalaman menghadapi lebih dari seratus orang gadis. Ada yang penurut, ada
yang malu-malu, dan ada juga yang keras kepala seperti kau ini. Apa kau kira
pedang mu itu akan berguna?”
Pandan Wangi
sadar, bahwa orang-orang yang berdiri di hadapannya itu benar-benar sebuas
serigala kelaparan. Karena itu maka ia harus berhati-hati. Ia tidak boleh
terpengaruh oleh kengerian yang bergetar di dalam jantungnya, jantung seorang
gadis. Tetapi ia harus tegak dengan sepasang pedangnya itu.
“Letakkan
pedangmu, Anak manis,” terdengar suara orang itu menggelitik hati. Benar-benar
mengerikan.
“Tidak kami
sangka bahwa di tanah yang keras dan di sekitar bukit padas ini dapat
berkembang bunga secantik ini. Meskipun justru karena itu maka kau menjadi
semakin cantik.”
Kini seluruh
bulu-bulu Pandan Wangi seolah-olah serentak meremang. Terasa tubuhnya menjadi
dingin dan keningnya telah basah oleh keringat. Ia tidak dapat melepaskan diri
sama sekali dari perasaan kegadisannya.
“Letakkan
senjata itu, Anak manis, letakkanlah. Kau lebih cantik tanpa membawa senjata
semacam itu. Ya, letakkanlah. Mari, Nak.”
Tangan Pandan
Wangi menjadi gemetar. Wajah-wajah itu benar-benar mengerikan sekali. Terbayang
di dalam angan-angannya kemungkinan yang paling pahit yang dapat terjadi
atasnya.
“Bagus,” desis
orang itu sambil tersenyum, “letakkanlah. Letakkan. Letakkan di situ.”
Ujung pedang
Pandan Wangi menjadi semakin tunduk. Kengerian itu telah sampai di puncaknya
dan hampir-hampir saja membuatnya kehilangan kesadaran dan pingsan. Tetapi
ketika ujung pedangnya menyentuh tanah, Tanah Kelahirannya, serasa sesuatu
menggeletar di dalam dadanya. Tiba-tiba dadanya serasa bergolak dahsyat sekali.
Terbayang di matanya, dirinya terbaring diam di atas tanah yang ditumbuhi oleh
rumput-rumput liar dan batang-batang ilalang. Terbayang wajah-wajah yang buas
itu berada di sekitarnya sambil tertawa berkepanjangan.
“Setan!”
tiba-tiba giginya gemeretak. Tanpa disangka-sangka oleh laki-laki yang
berjambang itu, maka ujung pedang Pandan Wangi terangkat kembali. Bahkan kini
terjulur lurus-lurus ke depan. Terdengar ia kemudian berkata,
“Lepaskan
niatmu. Aku akan memusnahkan kalian.”
Orang yang
berkumis dan berjambang itu mengerutkan keningnya. Kini mereka tidak tertawa
lagi. Dilihatnya mata Pandan Wangi memancarkan sinar yang begitu tajamnya
menusuk dada mereka langsung menembus ke pusat jantung. Laki-laki yang mengerikan
itu merasakan segores keheranan di dalam dadanya. Gadis ini agaknya
bersungguh-sungguh. Dan Pandan Wangi memang bersungguh-sungguh. Ia sama sekali
tidak ingin bergurau dengan orang-orang gila yang buas dan liar itu. Karena itu,
maka ia berkata pula,
“Orang-orang
seperti kalian ini benar-benar harus dimusnahkan. Kalau tidak, lain kali kalian
pasti akan berbuat serupa. Adalah penghinaan tiada taranya bagi kaumku, apabila
kalian melakukan perbuatan terkutuk itu. Apalagi apabila kalian bertemu dengan
gadis-gadis yang lemah dan sama sekali tidak mampu melawan. Bukan saja gadis
Menoreh. Tetapi di mana pun juga di muka bumi ini.”
Sejenak wajah
laki-laki berjambang dan berkumis itu menjadi tegang, namun kemudian sekali
lagi meledaklah suara tertawanya. Sambil menunjuk kepada kawan-kawannya ia
berkata,
“Apakah kau
akan memusnahkan kami semua ini?”
“Ya,” jawab
Pandan Wangi tegas.
“Hem,” orang
itu menarik nafas,
“aku semakin
senang kepadamu. Kepada seorang gadis pemberani. Tetapi ketahuilah bahwa
kedatanganku kemari atas permintaan Putera Kepala Tanah Perdikan Menoreh
beserta pamannya. Nah, dengarlah, bahwa kami di sini adalah tamu dari
orang-orang yang paling penting.”
Dada Pandan
Wangi berdesir mendengar keterangan itu. Bukan karena orang-orang itu akan
mendapat perlindungan dari kakaknya, tetapi justru dengan demikian ia mengerti,
bahwa kakaknya sudah mengundang bencana yang paling dahsyat di atas Tanah
kelahirannya sendiri. Maka dengan penuh kemarahan ia menjawab,
“Aku tidak
peduli siapakah kalian. Aku tidak peduli siapakah yang mengundang kalian.
Tetapi perbuatan terkutuk itu harus dihentikan. Perbuatan yang menentang sendi
peradaban manusia dan apalagi menentang ketentuan yang digariskan oleh Sumber
Hidup kita di dalam pergaulan antar umatnya.”
Kening orang
yang berkumis itu semakin berkerut. Tetapi ia tertawa lagi sambil berkata,
“Jangan gurui
aku. Aku bukan seorang yang terikat akan peradaban manusia. Aku bukan orang
yang mengikatkan diri kepada yang tidak pernah aku ketahui adanya. Aku hanya
menyadari adaku, akal dan kehendakku sendiri. Aku tidak pernah tergantung dan
menggantungkan diri kepada apa pun dan
siapa pun. Karena itu jangan berharap bahwa kami akan mengurungkan niat kami.”
Pandan Wangi
menggeretakkan giginya. Terdengar ia menggeram,
“Baik. Baik.
Sekarang aku pun tetap pada pendirianku.
Kalian harus dimusnahkan. Kalian ternyata adalah orang-orang yang paling
terkutuk di muka bumi. Kalian tidak saja ingin merusak Tanah kelahiran ini,
tetapi kalian ingin merusak peradaban yang tumbuh di atasnya. Ketahuilah, aku
adalah puteri Kepala Tanah Perdikan ini. Aku dapat berbuat atas nama ayahku.
Termasuk membinasakan kalian.”
Orang-orang
yang berdiri dengan sikap yang paling memuakkan itu terkejut mendengar
kata-kata Pandan Wangi itu. Sejenak mereka saling berpandangan. Namun sejenak
kemudian orang yang berkumis itu menjawab,
“Jangan
menakut-nakuti aku dengan mengaku dirimu sebagai seorang saudara perempuan dari
orang yang mengundang kami. Karena aku berkata bahwa aku diundang oleh putera
Kepala Tanah Perdikan ini, maka kini kau mengaku sebagai seorang puterinya.
Dengar. Aku tidak percaya. Aku tidak dapat kau tipu seperti kau merasa tertipu
karena kudamu lari. Sekarang kami tidak dapat kau ajak berbicara
berkepanjangan. Menyerahlah.”
Darah Pandan
Wangi kini telah benar-benar mendidih. Ia telah berhasil menindas perasaan
kegadisannya. Kini, yang tegak berdiri menghadapi orang yang liar itu adalah
Pandan Wangi, murid dan puteri Kepala Tanah Perdikan Menoreh yang sedang
menggengam sepasang senjatanya. Karena itu, maka ketika laki-laki yang
memuakkan itu melangkah selangkah maju lagi, Pandan Wangi tidak menghindar.
Bahkan ia pun menyongsongnya selangkah
maju. Sikapnya itu benar-benar mengherankan. Namun justru dengan demikian
laki-laki yang berdiri di hadapannya itu terpaksa harus berpikir. Apakah yang
telah mendorong gadis ini untuk berbuat demikian berani.
“Ia telah
berputus asa,” laki-laki itu mencoba menemukan jawabnya,
“aku harus
segera berbuat sebelum ada orang yang melihatnya.”
Maka laki-laki
itu menjadi semakin bernafsu. Wajahnya
pun menjadi merah karena darahnya yang naik sampai ke ubun-ubunnya.
Setiap kali ia menelan ludahnya. Gadis yang berdiri di hadapannya itu memang
terlampau cantik baginya. Tetapi justru karena itu, maka ia telah benar-benar
menjadi gila karenanya.
“Aku masih
memberimu kesempatan,” orang itu menggeram.
“Letakkan
senjatamu supaya kami tidak menjadi semakin buas dan liar.”
Tetapi Pandan
Wangi menjawab,
“Serahkan
lehermu. Manusia semacam kalian tidak pantas hidup di atas bumi Menoreh.”
Bagaimanapun
juga laki-laki itu merasa terhina sekali. Apalagi yang menghinanya itu adalah
seorang perempuan. Seandainya Pandan Wangi bukan seorang gadis yang cantik maka
dengan satu gerakan saja, ia ingin merontokkan tulang-tulang iganya. Tetapi
menghadapi Pandan Wangi, laki-laki itu masih merasa sayang. Betapapun dadanya
bergolak, namun ia masih berusaha untuk tidak melukainya. Karena itu maka
katanya,
“Kalau kau
tidak mau melepaskan senjatamu, maka biarlah aku yang memaksanya. Kemudian
memaksamu untuk menyerah.”
“Aku hanya
menyerah terhadap maut,” tantang Pandan Wangi.
“Bagus,” jawab
orang itu,
“tetapi aku
mempunyai cara untuk memaksamu menyerah sebelum kau mati. Aku mempunyai ilmu
yang barangkali sama sekali tidak dapat kau bayangkan. Aku dapat menyentuh
bagian-bagian tubuhmu, sehingga kau menjadi lemas dan tidak berdaya. Nah,
apakah kau akan melawan dalam keadaan yang demikian? Membunuh diri pun kau tidak akan mampu.”
Tetapi orang
itu menjadi heran. Pandan Wangi sama sekali tidak terkejut dan heran mendengar kemampuan
ilmunya. Bahkan Pandan Wangi menyahut,
“Aku tidak
peduli. Tetapi sebelum kau berhasil menyentuh tubuhku, kau atau aku pasti sudah
mati.”
“Hem, kau
benar-benar keras kepala,” orang itu menggeram.
“Kau yang
biadab,” potong Pandan Wangi.
Orang itu sudah
tidak bersabar lagi. Kecuali kecantikan Pandan Wangi yang telah membakar
jantungnya, ia merasa terhina pula. Karena itu maka ia pun segera bersiap. Selangkah ia maju lagi.
Kedua tangannya terjulur ke depan, sedang tubuhnya merendah pada lututnya. Katanya,
“Aku ingin
meminjam pedangmu, Nak.”
Pandan Wangi
tidak menjawab. Tetapi ia pun telah
berada dalam kesiagaan tertinggi. Ternyata laki-laki itu tidak membawa kawannya
untuk ikut bertempur. Laki-laki itu merasa dirinya terlampau kuat untuk melawan
seorang gadis kecil.
Meskipun
Pandan Wangi telah memegang sepasang senjatanya namun laki-laki berkumis itu
sama sekali tidak merasa perlu untuk mempergunakan goloknya. Ia ingin merampas
pedang Pandan Wangi dengan tangannya, kemudian menyentuh punggungnya dan membuatnya
tidak berdaya. Apabila demikian, maka ia akan dapat berbuat sekehendak hatinya.
Apa pun yang akan dilakukan oleh gadis itu kemudian, sama sekali bukan
tanggung-jawabnya. Biar sajalah gadis itu membunuh dirinya atau apa pun yang ingin dilakukan. Karena itu maka
sekejap kemudian, laki-laki itu melenting seperti belalang di padang
rerumputan. Cepat seperti kilat dan hampir-hampir tidak dapat dilihat dengan
mata. Kawan-kawannya berdiri saja tegak di tempatnya dengan mulut ternganga.
Tetapi mereka memang sudah mengetahui kelebihan orang yang berkumis itu. Karena
itu, tanpa mereka angkat, laki-laki berkumis itu menganggap dirinya pemimpin
dari laki-laki yang lain. Dan laki-laki yang lain pun tidak pernah menolak anggapan itu. Kali
ini pun mereka mengharap mudah-mudahan usaha laki-laki berkumis itu segera
berhasil. Dengan demikian maka mereka pun akan dapat berbuat serupa. Apalagi
sebelumnya usaha laki-laki itu memang tidak pernah gagal. Dengan demikian
ketika mereka melihat bahwa laki-laki berkumis itu sudah siap dan bahkan
kemudian segera meloncat seperti tatit, hati mereka pun menjadi berdebar-debar pula. Pandan Wangi
melihat orang berkumis itu meloncat dengan kecepatan yang tinggi. Tetapi ia
adalah murid dan sekaligus puteri Kepala Tanah Perdikan Menoreh yang baru saja
menyelesaikan ilmunya sampai pada tingkat tertinggi. Karena itu, Pandan Wangi
sama sekali tidak heran melihat loncatan laki-laki berkumis itu. Bahkan
demikian kemarahan merayapi dadanya, sehingga ia tidak terlampau banyak memberi
kesempatan kepada lawannya. Kedua tangan laki-laki berkumis itu dengan cepatnya
menerkam kedua pergelangan tangannya. Seandainya, yang menggenggam pedang itu
bukan Pandan Wangi atau seseorang yang mempunyai ilmu yang cukup, maka
pergelangan tangannya pasti akan segera disentakkan, dan pedang di dalam
genggaman itu akan terjatuh.
Tetapi
ternyata yang terjadi sama sekali tidak demikian. Meskipun pada mulanya Pandan
Wangi tampaknya berdiri saja seperti patung dan tidak sempat berbuat apa-apa,
namun pada saat terakhir, Pandan Wangi menarik kedua tangannya bersama-sama.
Hanya sejengkal. Dan ternyata, yang sejengkal itu telah membuat lawannya
berteriak mengumpat-umpat. Ternyata tangan laki-laki itu tidak menerkam
pergelangan tangan Pandan Wangi, tetapi tepat pada saat terkaman itu mencengkam
sasarannya, pada saat itulah Pandan Wangi menarik kedua tangannya, sehingga
kedua tangan laki-laki berkumis itu tepat mencengkam tajam pangkal pedang
Pandan Wangi. Kawan-kawan laki-laki itu melihat bahwa Pandan Wangi masih tetap
berdiri di tempatnya. Tetapi terhalang oleh tubuh laki-laki berkumis itu
sendiri, mereka tidak melihat apa yang sebenarnya telah terjadi. Yang mereka
lihat kemudian adalah laki-laki berkumis itu meloncat mundur sambil berteriak
kesakitan, sedang dari kedua telapak tangannya mengalir darah yang segar. Betapa
hati di setiap dada laki-laki yang berada di tempat itu bergetar dahsyat
sekali. Mereka sama sekali tidak menyangka bahwa hal itu dapat terjadi. Mereka
tidak melihat, bagaimana mungkin kedua tangan laki-laki berkumis itu terluka
bersama-sama. Karena itu, maka sejenak justru mereka terdiam seperti patung
dengan mulut yang ternganga-nganga. Mereka terkejut ketika mereka mendengar suara
laki-laki itu mengguntur,
“He, apakah
kalian buta. Cepat, kepung perempuan gila ini. Ia harus ditangkap hidup-hidup.
Ia harus menerima hukuman yang paling keji dari kita sekalian.”
Suara itu
telah membangunkan orang-orang yang sedang membeku. Segera mereka berloncatan
sambil menarik senjata masing-masing mengepung Pandan Wangi di segala arah.
Dada Pandan Wangi menjadi semakin berdebar-debar. Kini ia benar-benar harus
bertempur melawan laki-laki itu semua. Enam orang. Sedang seorang dari mereka,
yang berkumis dan berjambang itu, telah berhasil dilukainya tanpa menyerang
sama sekali. Namun, menghadapi enam orang laki-laki yang buas dan liar itu
sekaligus, bagi Pandan Wangi bukannya suatu pekerjaan yang mudah.
“He, kenapa
kalian masih menunggu?” teriak laki-laki yang terluka itu sambil menyeringai
menahan sakit. Kedua telapak tangannya yang terluka dikatupkannya dan
kadang-kadang ditiup-tiupnya untuk mengurangi pedih. Kini setiap laki-laki yang
berada di seputar Pandan Wangi telah bersiap. Satu-satu mereka melangkah maju.
Sedang Pandan Wangi masih tegak berdiri di tempatnya dengan sepasang pedangnya
yang telah diwarnai oleh darah lawannya.
“Tangkap
hidup-hidup!” teriak laki-laki berkumis itu.
“Ia harus
merasakan hukumannya. Ia harus tahu, betapa kami dapat berbuat di luar
dugaannya.”
Ketika
laki-laki di sekitarnya mulai bergerak, maka Pandan Wangi pun tidak menunggunya
lagi. Seperti kijang ia berloncatan. Begitu tiba-tiba, sehingga benar-benar
telah mengejutkan lawannya. Ketika mereka sadar, maka sebilah pedang telah
terlempar dan seorang dari antara mereka dengan wajah tegang menggenggam
pergelangan tangannya yang terluka. Tetapi hal itu, ternyata telah mengobarkan
kemarahan kawan-kawannya. Mereka segera merasa terhina. Dalam saat yang
demikian pendek, gadis itu telah berhasil melukai dua orang laki-laki dari enam
orang yang biasa melakukan petualangan tanpa dapat dihalangi. Di sini, di
sekitar bukit padas, seorang perempuan telah berhasil menitikkan darah mereka. Dengan
demikian maka mereka pun serentak
menyerang bersama-sama dari segala penjuru. Serangan itu datang seperti pusaran
air yang melibat Pandan Wangi di tengah-tengahnya. Untunglah bahwa Pandan Wangi
telah berhasil menguasai ilmu ayahnya hampir sempurna. Karena itu maka ia masih
juga dapat memberikan perlawanan yang cukup baik. Apalagi ia sudah bertekad
bahwa ia tidak akan dapat ditangkap hidup-hidup. Orang-orang itu baru akan
dapat menjamahnya apabila ia sudah menjadi mayat. Dengan demikian, maka Pandan
Wangi pun segera mengerahkan segenap
kemampuannya. Seperti sikatan. Ia menyambar-nyambar dengan sepasang pedang
tipisnya. Sekali mematuk, kemudian sebuah sabetan mendatar menyentuh kulit
lawan-lawannya.
Laki-laki yang
bertempur bersama-sama Pandan Wangi itu telah dicengkam oleh keheranan, bahwa
di daerah ini ada seorang perempuan yang mampu bertempur sedemikian dahsyatnya.
Adalah tidak lazim sama sekali, bahwa seorang perempuan menggenggam senjata,
apalagi bertempur dalam unsur gerak perkelahian yang mapan dan bahkan begitu
dahsyatnya. Namun sejenak kemudian luapan kemarahan mereka pun segera mereka tumpahkan. Mereka berkelahi
dengan segenap kekuatan yang ada pada mereka. Mereka menyerang beruntun seperti
ombak lautan. Susul-menyusul dari arah yang berbeda-beda. Pertempuran itu pun
segera meningkat semakin seru. Masing-masing telah mempergunakan setiap
kemungkinan yang ada di dalam diri mereka. Segala kemampuan dan segala macam
ilmu. Ternyata laki-laki yang bertempur bersama-sama melawan Pandan Wangi itu
pun bukanlah orang-orang kebanyakan. Ternyata mereka memiliki bekal yang cukup
sehingga mereka mendapat kehormatan memenuhi panggilan Sidanti. Dengan
demikian, ketika Pandan Wangi telah berhasil menjajagi kemampuan
lawan-lawannya, terasa debar jantungnya menjadi semakin cepat. Terasa olehnya,
bahwa kemampuan mereka bersama-sama benar-benar berbahaya baginya. Pandan Wangi
tidak akan tergetar serambut pun apabila ia harus melawan seorang demi seorang.
Tetapi kini ia harus menghadapi mereka bersama-sama. Enam orang meskipun yang
dua telah terluka. Tetapi luka itu tidak melumpuhkannya. Yang seorang masih
dapat menggenggam pedang dengan tangan kirinya, sedang yang seorang lagi, masih
mampu mempergunakan tangannya yang terluka itu, meskipun tanpa senjata. Tetapi
kelincahan dan kecepatannya bergerak, benar-benar telah mengganggu ketenangan
Pandan Wangi.
Tetapi Pandan
Wangi telah bertekad untuk bertempur sampai kemungkinan terakhir. Ia sudah
tidak dapat mundur lagi. Apalagi menyerah. Menyerah baginya akan berakibat
dahsyat sekali. Dan ia yakin bahwa akhirnya ia
pun akan mati. Mati dengan cara yang paling mengerikan. Itulah sebabnya
ia telah memeras segala kemampuan yang ada padanya. Bagaikan gumpalan asap,
pedangnya berputaran melindungi dirinya, dan yang dengan tiba-tiba saja telah
menyerang melibat lawan-lawannya. Demikianlah, maka perkelahian itu semakin
lama menjadi semakin meningkat. Ketika tubuh-tubuh mereka telah basah oleh
keringat, maka tandang mereka pun
menjadi semakin dahsyat. Sekali-sekali orang-orang yang bertempur bersama-sama
itu berhasil mengepung Pandan Wangi di dalam suatu lingkaran yang rapat. Tetapi
sesaat kemudian beberapa orang harus berloncatan menyibak karena serangan
Pandan Wangi datang bagaikan prahara. Dengan demikian maka kepungan itu pun pecah, sehingga mereka harus berhadapan
dengan Pandan Wangi dari satu arah. Sekali-sekali terdengar laki-laki yang
kedua tangannya telah terluka karena sikapnya sendiri itu menggeram. Ia
menyesal bahwa ia kurang berhati-hati. Seandainya pada saat itu ia masih dapat
menggenggam goloknya, maka perkelahian ini
pun pasti akan lebih cepat selesai. Tetapi kini perempuan itu berhasil mempertahankan
dirinya agak lebih lama. Namun setiap laki-laki itu pasti bahwa akhirnya Pandan
Wangi yang lincah itu akan jatuh ke tangan mereka.Tetapi Pandan Wangi
benar-benar tidak akan menyerah. Betapa dahsyatnya serangan-angan datang
beruntun, selalu dilawannya. Kadang-kadang ia harus membenturkan senjata karena
ia tidak sempat lagi menghindar. Namun di dalam benturan-benturan yang terjadi,
laki-laki yang garang itu pun menjadi
heran. Kekuatan Pandan Wangi benar-benar mengagumkan, meskipun ia seorang gadis.
Bagi mereka yang agak lemah, terasa getaran pada telapak tangannya, sehingga
telapak tangannya itu menjadi pedih. Bahkan ada di antara mereka yang
hampir-hampir saja kehilangan senjatanya, seandainya kawannya tidak menolong
menyelamatkannya. Pandan Wangi ternyata telah membuat setiap laki-laki yang
melawannya itu menjadi heran dan kagum. Tetapi juga kemarahan mereka menjalar
sampai ke ujung kepalanya. Bahkan kemarahan itu kemudian telah berubah pula
menjadi dendam. Dan mereka mengharap bahwa mereka akan dapat melepaskan dendam
mereka dengan cara mereka. Namun Betapapun juga Pandan Wangi mencoba memeras
tenaganya tetapi yang dilawannya adalah enam ekor serigala yang kelaparan.
Bagaimanapun juga, akhirnya Pandan Wangi merasa bahwa ia tidak akan mampu mengimbangi
kekuatan mereka bersama-sama. Ternyata mereka
pun bukan sekedar orang-orang kebanyakan yang hanya dengan kebetulan
sajalah membawa pedang di lambungnya. Ternyata enam orang itu pun adalah orang-orang yang terlatih baik.
Mungkin oleh guru-guru mereka, dan mungkin pula oleh pengalaman petualangan
mereka yang penuh dengan kekerasan yang buas dan liar. Semakin lama semakin
nampak jelas, bahwa Pandan Wangi menjadi terdesak semakin parah. Bahkan
sekali-sekali ia harus meloncat jauh-jauh mengambil jarak yang cukup untuk
melawan keenam orang yang segera memburunya, dengan senjata yang teracu-acu
kepadanya. Tetapi Pandan Wangi lebih berani menatap ujung-ujung senjata itu
daripada harus memandang setiap wajah dari laki-laki yang buas dan liar itu. Ia
lebih senang disentuh oleh ujung-ujung senjata itu, meskipun melubangi dadanya
sama sekali. Tetapi tidak disentuh oleh tangan-tangan mereka yang penuh dengan
noda dan dosa. Karena itu, betapa tenaganya menjadi jauh susut, Pandan Wangi
masih tetap melakukan perlawanan. Ketika ia melihat beberapa orang lawannya
menitikkan darah, maka seolah-olah tenaganya menjadi tumbuh kembali. Namun
hanya sesaat. Sesaat berikutnya ia merasa tenaganya seolah-olah telah terperas
habis. Dada Pandan Wangi semakin lama menjadi semakin berdebar-debar. Apakah
pada suatu saat ia benar-benar akan jatuh ke tangan orang-orang itu?
“Tidak,”
Pandan Wangi menggeram,
“apabila aku
tidak mampu melawan mereka, maka tusukan yang terakhir dari ujung pedangku
adalah menghunjam ke dalam dadaku sendiri. Biarlah aku menjadi tumbal.
Mudah-mudahan mayatku akan. menjadi peringatan bagi Kakang Sidanti, bahwa
seharusnya Tanah ini dan segala isinya tidak dikorbankannya untuk kepuasan
pribadi.”
Pandan Wangi
tersentak ketika terasa sebuah sengatan pada pundaknya. Sengatan ujung senjata
lawannya. Dengan gerak naluriah ia meloncat mundur. Pedangnya segera bergetar
melindungi dirinya. Tetapi ternyata darahnya pun kemudian menitik dari segarit
luka yang tergores di pundaknya itu. Dada Pandan Wangi berdesir tajam. Hatinya
terasa menjadi pedih jauh lebih pedih dari luka itu sendiri. Tetapi terlebih
pedih lagi ketika ia mendengar laki-laki yang kedua tangannya terluka itu
berkata lantang,
“Jangan kau
bunuh dia. Gadis itu harus ditangkap hidup-hidup.”
Gelora di dada
Pandan Wangi telah mendorongnya untuk bertempur mati-matian dengan sisa-sisa
tenaganya. Tiba-tiba ia menjadi semakin garang dan pedangnya pun menjadi semakin cepat berputaran. Sekali
ia meloncat maju dengan tiba-tiba di antara ujung-ujung senjata. Dengan serangan
yang rendah ia mematukkan senjatanya, dan ketika ia meloncat mundur terdengar
salah seorang dari keenam laki-laki itu berdesis, kemudian mengaduh pendek.
“Gila,”
Laki-laki itu menggeram, “ia melukai lambungku. Aku harus membalasnya.”
“Jangan bunuh
dia,” teriak laki-laki yang berkumis.
“Seandainya
aku tidak membunuhnya, tetapi aku harus membalas hinaan ini dengan penghinaan
yang paling memalukan.“
“Terserah
kepadamu. Tetapi ia harus tertangkap hidup-hidup.”
Pembicaraan
itu terdengar berputar-putar di telinga Pandan Wangi. Pengaruhnya jauh lebih
berat dari dentang senjata-senjata yang sedang beradu. Kengerian yang luar
biasa telah mencengkam jantung dan hatinya, sehingga sekali lagi ia mengambil
keputusan apabila memang sudah tidak mungkin lagi ia menghindar dari kekalahan,
maka ia akan menikamkan senjata untuk yang terakhir kalinya pada dadanya
sendiri langsung menghunjam jantung.
Sementara itu,
di lorong yang memanjat di dalam pedukuhan itu, Sidanti, Ki Tambak Wedi, dan
Argajaya sedang berkuda perlahan-lahan menyelusur jalan. Tidak ada tujuan yang
ingin didatanginya. Mereka hanya ingin melihat perkembangan suasana di
saat-saat terakhir. Mereka ingin melihat imbangan kekuatan yang ada di antara
mereka. Sidanti dan Argapati. Karena itu, maka perjalanan itu sama sekali tidak
dipengaruhi oleh matahari yang semakin lama semakin meninggi hampir sampai ke
puncak langit. Namun tiba-tiba mereka terperanjat. Di hadapan mereka tampak
sebuah lingkaran perkelahian. Beberapa orang telah terlibat di dalamnya.
“Siapakah mereka
itu ?” desis Sidanti. Argajaya tidak segera menyahut. Tetapi di antara
pepohonan yang jarang-jarang di pategalan dan kebun-kebun kosong, Argajaya
melihat beberapa orang yang bentuknya pernah dikenalnya.
“Mereka adalah
beberapa orang dari antara orang-orang yang kita harap bantuannya, Sidanti.”
Sidanti
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia bertanya pula, “Tetapi dengan siapa
mereka berkelahi?”
“Entahlah,” Argajaya
menggelengkan kepalanya,
“tidak begitu
jelas bagiku. Tetapi pasti seorang yang pilih tanding yang mampu berkelahi
melawan orang-orang itu. Tidak sekedar seorang lawan seorang, tetapi agaknya
beberapa orang telah terlibat di dalamnya.”
“Setan,”
Sidanti bergumam.
“Apakah
Argapati sudah mulai? Marilah kita lihat, siapakah yang telah mencoba
menyombongkan dirinya melawan orang-orang kita. Mudah-mudahan orang-orang kita
tidak mengalami apa pun juga.”
Sidanti segera
melecut kudanya, sehingga kuda itu meloncat dan berlari kencang mendekati
lingkaran perkelahian yang masih berlangsung dengan sengitnya. Tetapi tenaga
Pandan Wangi sudah semakin lama menjadi semakin lemah, meskipun lawan-lawannya
juga demikian. Namun karena lawannya berjumlah enam orang, maka kemungkinan
baginya untuk dapat melepaskan diri dari tangan laki-laki yang buas itu menjadi
semakin sempit.
Betapapun
mereka sedang dibelit oleh perkelahian yang seru, namun mereka masih sempat
mendengar derap beberapa ekor kuda mendekati mereka. Semakin lama menjadi
semakin dekat. Ternyata derap kaki-kaki kuda itu cukup berpengaruh kepada
mereka yang sedang bertempur. Salah seorang laki-laki yang sedang melawan
Pandan Wangi itu berdesis,
“Derap
kaki-kaki kuda.”
Pandan
Wangi pun mendengarnya pula. Tetapi ia
masih belum sempat berpaling untuk melihat siapakah yang datang. Ia masih sibuk
memperhatikan ujung-ujung senjata yang bertubi-tubi menyerangnya.
“Mereka
datang,” teriak salah seorang dari mereka.
“Ha,” sahut
yang lain,
“kini
sampailah akhir dari perlawananmu anak manis. Meskipun agaknya kita pun
terganggu pula sedikit, tetapi akhirnya maksud kami pun akan sampai pula.
Mereka tidak akan dapat berbuat lain daripada membantu kami menangkapmu.”
Dada Pandan
Wangi menjadi semakin berdebar-debar. Derap kaki-kaki kuda itu menjadi semakin
dekat. Tidak hanya seekor kuda. Timbullah kengerian yang tajam di dalam
dadanya. Bagaimanakah seandainya ia benar-benar jatuh ke tangan laki-laki yang
liar itu. Apalagi mereka akan mendapat kawan, orang-orang yang datang berkuda
itu meskipun Pandan Wangi masih belum sempat melihat orang-orang yang baru
datang itu. Dalam kepepatan hati, maka Pandan Wangi sampai kepada keputusannya.
Ia harus mati. Kalau ujung-ujung senjata lawannya tidak mampu membunuhnya, maka
ia akan membunuh dirinya sendiri. Karena itu, maka tiba-tiba Pandan Wangi itu
berdiri tegak sambil merentangkan tangannya yang masih menggenggam pedangnya.
Ia berharap bahwa serangan yang datang beruntun dengan tiba-tiba akan sempat
menusuk dadanya. Tetapi ternyata sikapnya itu benar-benar mengejutkan. Sebelum
ujung-ujung senjata menyentuh tubuhnya, tiba-tiba laki-laki yang kedua
tangannya telah terluka berteriak,
“Berhenti!
Berhenti! Jangan lukai dia.”
Setiap
laki-laki yang sudah siap menjulurkan pedangnya tiba-tiba tertegun. Mereka
berdiri seperti patung, meskipun pedang mereka masih terjulur lurus-lurus ke
depan.
“Sudah aku
katakan, tangkap ia hidup-hidup. Agaknya anak manis ini telah menyerah.”
Kata-kata itu
menyengat hati Pandan Wangi melampaui sengatan ujung pedang. Ternyata usahanya
untuk menyelesaikan pertempuran itu dengan lubang di dadanya tidak berhasil. Karena
itu, maka tiba-tiba ia meloncat mundur sambil berkata lantang,
“Jangan
mengharap kalian dapat menyentuh tubuhku selagi aku masih hidup.”
Laki-laki
berkumis itu mengerutkan keningnya. Katanya,
“Kau mau apa,
Pandan Wangi?”
“Kalian hanya
akan mendapatkan mayatku,” sahut Pandan Wangi tegas. Sementara itu ia telah
mengangkat pedangnya siap untuk menembus dadanya.
Tetapi
tiba-tiba mereka terkejut, ketika terdengar suara menggelegar,
“Pandan Wangi.
Apakah yang akan kau lakukan?”
Dengan gerak
naluriah Pandan Wangi berpaling. Dilihatnya di atas punggung kuda kakaknya
duduk dengan cemasnya. Sejenak kemudian Sidanti itu segera meloncat dan berlari
mendapatkan adiknya.
“Pandan Wangi,
kenapa kau?”
Pandan Wangi
memandangi kakaknya dengan sorot mata yang dipenuhi oleh keragu-raguan. Bahkan
kemudian ia melangkah surut sambil berkata,
“Jangan dekati
aku.”
Sidanti
tertegun sejenak. Ditatapnya wajah Pandan Wangi yang pucat. Keringat yang
membasahi pakaiannya dan yang kemudian dilihatnya adalah titik darah yang
menetes dari lukanya.
“Kenapa kau,
Wangi?” sekali lagi terloncat pertanyaan itu dari mulut Sidanti.
Pandan Wangi
terdiam sejenak. Ditatapnya wajah kakaknya yang kecemasan. Tetapi ia masih
dipengaruhi oleh kengerian yang sangat, sehingga ketika kakaknya maju selangkah,
ia pun mundur selangkah.
“Kau biarkan
orang-orangmu menghina aku. Bukan saja sebagai seorang puteri Kepala Tanah
Perdikan, tetapi lebih-lebih lagi aku sebagai seorang gadis.”
Dada Sidanti
berdentangan mendengar kata-kata itu. Sekilas hatinya dipengaruhi oleh
kepentinganya atas orang-orang yang kebetulan telah mencegat Pandan Wangi.
Mereka adalah orang-orang yang diperlakukannya dalam tujuan yang dianggapnya
penting. Tetapi tiba-tiba terbayang di wajah Pandan Wangi yang pucat itu
wajahnya semasa kanak-kanak. Dilihatnya wajah itu sebagai wajah Pandan Wangi
pada saat ia masih kecil. Menangis dan merajuk. Anak itu selalu minta
perlindungannya. Pada saat-saat kawan-kawannya nakal, maka gadis kecil itu
selalu berlari kepadanya sambil menangis,
“Kakang,
Kakang Sidanti. Aku dinakali.”
Setiap saat ia
menjadi marah. Setiap kali ia selalu berkata,
“Bermainlah di
sini. Siapa yang nakal, nanti aku pukul punggungnya.” Dan setiap kali Pandan
Wangi akan terdiam. Ia akan bermain di sampingnya dengan tenteram.
Tiba-tiba Sidanti
itu menggeram. Tiba-tiba saja ia memutar tubuhnya menghadap laki-laki yang liar
yang masih menggenggam pedang di tangan mereka. Tanpa diduga-duga, maka Sidanti
itu segera mencabut pedangnya sambil berteriak.
“Hai
cucurut-cucurut hina. Kalian hanya berani melawan seorang gadis kecil. Ayo
inilah Sidanti. Kalau kalian benar-benar jantan, lawanlah Sidanti. Berkelahilah
bersama-sama. Enam orang, atau panggil sepuluh orang kawanmu lagi.”
Perlahan-lahan
Sidanti melangkah maju. Matanya memancarkan api kemarahan tiada terhingga.
Pedangnya terjulur lurus ke depan.
“Ayo, siapakah
yang lebih dahulu?”
Sikapnya itu
sama sekali tidak terduga-duga. Laki-laki liar itu sama sekali tidak menyangka,
bahwa Sidanti akan bersikap demikian, justru kepada mereka. Karena itu maka
sejenak mereka berdiri saja mematung. Kemudian mereka saling berpandangan.
Namun tidak seorang pun dari mereka yang
mengerti, apakah yang seharusnya mereka kerjakan. Sedang di atas punggung kuda
masing-masing, Argajaya dan Ki Tambak Wedi
pun masih juga duduk termangu-mangu.
Dalam pada itu
masih terdengar suara Sidanti,
“Ayo, ayo,
siapa yang paling jantan di antara kalian?”
Belum ada
seorang pun yang beranjak dari
tempatnya. Tetapi laki-laki yang berkumis dan berjambang tampak mengerutkan
keningnya. Wajahnya kemudian semakin menegang, sedang kedua telapak tangannya
masih ditelakupkannya.
Namun sejenak
kemudian ia melangkah maju sambil berkata dengan suara yang gemetar,
“Apakah
maksudmu, Sidanti?”
“Jelas,
membunuh kalian bersama-sama.”
Laki-laki itu
menjadi semakin tegang. Katanya,
“Jadi kau
undang aku kemari sekedar untuk berkelahi?”
Sidanti
terdiam sejenak. Terasa sesuatu bergelora di dalam dadanya. Tetapi kemudian ia
menjawab,
“Aku memang
memerlukan kalian. Tetapi tidak untuk menghina gadis-gadis.”
“Siapakah
perempuan ini?”
“Adikku,”
sahut Sidanti pendek.
Laki-laki
berkumis itu menjadi semakin tegang. Kini dahinya menjadi berkerut-merut.
Desisnya,
“Kami tidak
tahu bahwa gadis ini adikmu.”
“Sekarang
kalian sudah tahu. Ayo, bersiaplah. Kita akan mempertahankan nama kita
masing-masing.”
“Tetapi kau
memerlukan kami untuk suatu kepentingan yang lain.”
“Aku tidak
peduli. Tetapi penghinaan bagi gadis-gadis apalagi adikku sama sekali tidak dapat
dimaafkan.”
Wajah
laki-laki itu menjadi semakin berkerut-merut. Tetapi sejenak kemudian ia
berkata,
“Aku tidak
tahu bahwa perempuan ini adalah adikmu. Semuanya sudah terlanjur terjadi.
Sekarang terserah kepadamu. Kalau benar-benar kau memutuskan untuk membersihkan
nama kita masing-masing, marilah. Aku sudah datang ke tempat ini. Aku memang
sudah membuat perhitungan. Kemungkinan yang dapat terjadi adalah, aku tidak
akan keluar lagi dari lingkungan ini.”
“Bagus,
bersiaplah.”
“Tetapi
Sidanti, jangan kau memakai alasan serupa itu. Jangan kau pergunakan kesempatan
ini sekedar untuk mengobarkan nafsumu berkelahi. Jangan kau katakan, bahwa
tidak dapat dimaafkan lagi karena kami mengganggu gadis-gadis, atau
menghinakannya. Sebutlah alasan yang lain, dan kami akan melayaninya.”
Itulah alasan
yang sebenarnya. “Kalian ternyata adalah orang-orang yang paling terkutuk.”
“Karena kami
menghina dan mengganggu gadis-gadis?”
“Ya.”
“Omong
kosong,” tiba-tiba orang yang berkumis dan terluka kedua telapak tangannya itu tertawa.
Katanya pula kemudian,
“Apakah kau
kira kami belum pernah mendengar apa yang pernah kau lakukan di Sangkal Putung?
Apakah kau sangka bahwa kami tidak tahu, apa yang kau perbuat atas Sekar
Mirah?”
Wajah Sidanti
tiba-tiba menyala semerah api. Sejenak ia justru mematung di tempatnya.
Mulutnya bergetar seperti getaran jantungnya yang semakin cepat. Tetapi tidak
sepatah kata pun yang dapat diucapkan.
Dan laki-laki
berkumis itu masih tertawa, “Nah, apa katamu tentang Sekar Mirah itu.”
Terdengar gigi
Sidanti bergemeretak. Sesaat kemudian ia menjawab dengan suara gemetar,
“Kebodohanmu
adalah bahwa kau tidak dapat melihat perbedaan di antara sikapmu dan sikapku.
Aku mencintainya. Aku mengambilnya dengan suatu cita-cita, bahwa suatu ketika
aku akan hidup bersamanya dalam lingkungan kekeluargaan yang aku junjung
tinggi. Mungkin aku termasuk seorang yang buas di dalam lingkaran pertempuran.
Aku pernah membunuh dan mencincang musuhku. Tetapi aku menghormati hubungan
yang tinggi di antara manusia di dalam hubungan kekeluargaan.”
Laki-laki
berkumis itu mengerutkan keningnya. Namun ia tertawa pula,
“Aku tidak
melihat bedanya. Kau juga tidak menghormatinya, menghormati perasaannya. Kau
berbicara tentang cita-cita dan keluarga, tetapi kau tidak berbicara tentang
perasaan orang lain. Nah, bukankah tidak ada bedanya? Aku juga tidak berbicara
tentang orang lain. Aku pun hanya sekedar menuruti keinginanku. Yang berbeda di
antara kita hanyalah keinginan kita. Kau inginkan dan kau paksa gadis itu untuk
menjadi isterimu apabila berhasil, tetapi aku hanya menginginkannya sekarang.”
Kemarahan
Sidanti benar-benar telah sampai ke puncak ubun-ubunnya. Ia benar-benar terhina
karenanya. Namun justru karena itu sekali lagi ia terbungkam. Hanya ujung
pedangnya sajalah yang bergetar semakin cepat.
“Nah apa
katamu?” berkata laki-laki berkumis itu.
“Kalau ingin
berkelahi, marilah kita berkelahi. Tetapi jangan halangi aku meskipun gadis itu
adikmu. Aku sudah terlanjur mulai. Atau barangkali kau berbaik hati,
meyerahkannya kepada kami supaya kami bersedia membantumu.”
“Cukup,
cukup!” suara itu benar-benar mengejutkan. Bukan suara Sidanti, karena mulut
Sidanti justru terkunci oleh kemarahan yang menyumbat dadanya.
Ketika mereka
serentak berpaling, maka mereka melihat Argajaya meloncat turun dari kudanya
dengan wajah yang merah padam. Digenggamnya tombaknya erat-erat. Terdengar
suaranya bergetar,
“Gadis itu
adalah kemanakanku pula. Marilah kita bertempur. Aku yakin bahwa kalian
sebentar lagi akan menjadi bangkai.”
Sekali lagi
setiap laki-laki yang berwajah liar dan buas itu menjadi heran. Keadaan
ternyata berkembang tanpa dapat dikekang lagi. Namun mereka pun tidak ingin merendahkan nama mereka.
Sehingga dengan garangnya, laki-laki yang telah terluka tangannya itu
menggeram,
“Baik, baik.
Kami tidak berkeberatan. Marilah. Enam orang di pihak kami meskipun di
antaranya telah terluka dan empat orang di pihakmu, bersama-sama dengan gadis
itu. Kita akan bertempur. Tetapi kami minta, taruhannya adalah seorang gadis
cantik yang bernama Pandan Wangi. Setuju?”
Sidanti sudah
tidak dapat menahan hatinya lagi. Penghinaan itu sudah berlebih-lebihan.
Apalagi ketika ia sadar, bahwa pamannya telah menjadi marah pula. Keenam orang
itu tidak segera dapat mengalahkan Pandan Wangi seorang diri. Apalagi apabila
mereka harus bertempur melawan dirinya dan pamannya bersama-sama. Sudah tentu
Pandan Wangi sendiri akan serta. Terlebih-lebih lagi apabila gurunya
membantunya pula. Maka membunuh keenam orang itu tidak akan memerlukan waktu
sepenginang.
Tetapi sebelum
Sidanti meloncat terdengar suara gurunya, “Sidanti. Tunggu.”
Sidanti
tertegun sejenak. Bersamaan dengan pamannya ia berpaling.
“Jangan
terburu nafsu,” berkata Ki Tambak Wedi kemudian.
“Mereka
menghina aku, Guru,” berkata Sidanti.
“Ya. Tetapi
jangan tergesa-gesa mengambil tindakan. Kita harus memperhitungkan setiap
kemungkinan dengan saksama. Aku sependapat dengan kau dan pamanmu Argajaya.
Tetapi aku tidak sependapat bahwa kalian harus bertempur di sini.”
“Di mana kami
harus bertempur?” bertanya Argajaya.
“Bukan di mana.
Tetapi perkelahian di antara kita memang harus dicegah. Kita sudah terlalu
kenyang dihantam oleh pengalaman. Kita selalu dihancurkan karena kita selalu
bertengkar dengan diri sendiri.”
“Tetapi
penghinaan itu sudah melampaui batas.”
Ki Tambak Wedi
mengerutkan keningnya. Dipandanginya wajah Pandan Wangi yang masih pucat.
Lamat-lamat dilihatnya bayangan wajah Rara Wulan pada wajah gadis itu. Dan
setitik keringat telah membasahi keningnya.
“Hem,” Ki
Tambak Wedi menarik nafas dalam-dalam.
“Persoalan itu
selalu kembali pada setiap keadaan.” desisnya di dalam hati,
“persoalan
perempuan. Sejak masa itu, sejak jauh sebelum Sidanti dilahirkan, maka
persoalan perempuan selalu saja melibatkan diri. Kemudian kegagalan Sidanti di
Sangkal Putung, di Tambak Wedi dan kini di Menoreh, persoalan itu selalu saja
ditemuinya kembali.”
Tetapi sebelum
Ki Tambak Wedi menentukan sikapnya, maka sekali lagi mereka telah dikejutkan
oleh derap kaki-kaki kuda. Sejenak mereka terdiam. Dan suasana pun menjadi hening sepi. Yang terdengar
adalah silirnya angin pegunungan menyentuh dedaunan dan suara derap kaki kuda
yang semakin lama semakin menjadi jelas.
“Hanya seekor
kuda,” desis Ki Tambak Wedi, sehingga karena itu maka ia pun tidak menjadi cemas karenanya. Ketika
tanpa dikehendakinya ia menengadahkan wajahnya, maka dilihatnya matahari telah
melampaui titik puncaknya di pusat langit. Sejenak kemudian dari balik
dedaunan, mereka melihat seekor kuda seakan-akan terbang di jalan pedukuhan.
Namun sejenak kemudian langkah kuda itu
pun diperlambat. Agaknya penunggangnya telah melihat, beberapa orang
yang berada di tempat itu. Tetapi kuda itu tidak berhenti. Semakin lama semakin
dekat dan dekat.
Ketika
terlihat oleh mereka, penunggang kuda itu, maka terdengar Pandan Wangi
berteriak memanggil,
“Paman. Paman
Samekta.”
Orang berkuda,
yang bernama Samekta itu, menghentikan kudanya. Dengan herannya ia memandang
Pandan Wangi yang masih menggenggam sepasang pedangnya. Kemudian dipandanginya
Sidanti, Argajaya, Ki Tambak Wedi, dan beberapa orang laki-laki yang kasar dan
liar itu.
“Angger Pandan
Wangi,” terdengar suaranya tertahan-tahan,
“apakah yang
telah terjadi?”
Pandan Wangi
masih berdiri di tempatnya. Sejenak ia menjadi ragu-ragu. Karena itu, sebelum
ia menjawab, maka ia pun bertanya,
“Kemanakah Paman
akan pergi?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar