Jilid 034 Halaman 3


“Apa kerjamu di sini? Menggembalakan kambing-kambing itu?”
Gembala itu berpaling kepada kambing-kambingnya. Perlahan-lahan ia menjawab,
“Ya, aku sedang menggembalakan kambingku itu.”
Laki-laki itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tidak menaruh perhatian sama sekali. Tetapi tiba-tiba salah seorang dari mereka berkata,
“Kita tebus kegagalan kita dengan daging kambing.”
Agaknya pendapat itu memang menarik perhatian kawan-kawannya. Tanpa berjanji, mereka serentak berpaling ke arah sekumpulan kambing yang sedang makan dengan asyiknya. Kambing itu tampak gemuk dan segar, sehingga hampir serentak orang-orang itu menyahut,
“Ya, kita tebus kegagalan kita dengan daging kambing.”
Gupita mengerutkan keningnya. Tetapi ia masih tetap berdiam diri. Ketika ia berpaling, maka Samekta dan Pandan Wangi sudah tidak dilihatnya lagi. Perlahan-lahan ia menarik nafas dan tiba-tiba ia tersenyum.
“He, apakah kambing-kambing itu milikmu?” bertanya salah seorang daripada orang-orang yang berwajah seram itu sambil memilin kumisnya.
“Ya,” Gupita menganggukkan kepalanya, “punyaku.”
“Aku memerlukannya. Kau tinggalkan sajalah kambing-kambing itu di sini. Biarlah kami yang memeliharanya. Kau harus menyumbang kepada perjuangan yang sedang kami lakukan ini, untuk kepentingan putera Kepala Tanah Perdikan Menoreh yang akan membuat kalian terlepas dari kekuasaan Argapati yang buas itu. Apakah kau mengerti?”
Tiba-tiba saja Gupita menggeleng. “Aku tidak mengerti,” jawabnya.
Orang-orang itu mengerutkan kening mereka. Sejenak mereka saling berpandangan. Dan sejenak kemudian mereka tertawa. Salah seorang dari mereka berkata,
“Pantas kalau kau tidak mengerti. Kau tidak perlu mengerti, gembala dungu. Sekarang, pulanglah. Tempat ini sungguh-sungguh berbahaya. Untung kedua orang berkuda itu tidak memenggal kepalamu sehingga kau masih tetap hidup. Nah, pergilah. Kalau kedua orang itu kembali maka kau pasti tidak akan dapat pulang ke rumahmu selain namamu. Mereka pergi karena mereka takut akan kedatangan kami, sehingga kamilah sebenarnya yang telah menolong nyawamu. Karena itu tinggalkanlah kambing-kambingmu untuk kami. Kami akan berterima kasih atas sumbanganmu itu. Kau sudah ikut serta membantu perjuangan kami.”
Gembala itu memandang laki-laki itu satu demi satu. Dan tiba-tiba pula jawabnya mengejutkan,
“Tidak. Aku tidak dapat memberikan kambing-kambing itu kepada kalian. Kambing-kambing itu adalah milik kami yang paling berharga.”
“He,” laki-laki berkumis dan berjambang, yang kedua tangannya telah terluka membelalakkan matanya,
“kau membantah?”
“Kambing-kambing itu adalah hakku. Kalau kau memaksa kau akan dihukum.”
“He, siapakah yang akan menghukum kami?”
“Argapati. Ki Gede Menoreh yang kini memimpin Tanah Perdikan ini.”
Orang-orang itu hampir serentak tertawa. Salah seorang dari mereka berkata,
“Ki Gede Menoreh sebentar lagi akan mati, yang kemudian akan memimpin Tanah ini adalah puteranya. Sidanti. Kau dengar?”
“Itu bukan urusanku. Tetapi kini yang berkuasa adalah Argapati. Bukan Sidanti. Justru Sidanti kini sedang melawan kekuasaan ayahnya sendiri, yang sejak kecil memberinya makan dan minum. Memberinya tempat berteduh, memberinya pakaian, dan memberinya segala-galanya yang diperlukan. Ternyata Sidanti itu kini melawannya. Ia tidak puas dengan segala macam pemberian itu, bahkan janji untuk memegang kekuasaan kelak. Ia ingin terlampau cepat dan karena keinginan yang membara di dadanya itulah maka ia telah sampai hati untuk melawan ayahnya sendiri. Mungkin pengaruh gurunyalah yang memaksanya berbuat demikian. Dan kau adalah alat-alatnya yang paling memuakkan. Kau cegat Pandan Wangi dengan caramu yang paling kasar. Untunglah bahwa Sidanti masih merasakan ikatan kekeluargaan yang tidak dapat dilupakan dengan tiba-tiba.”
“He,” Orang-orang itu terperanjat, “kau melihat hal itu?”
“Aku melihatnya. Aku menggembala tidak jauh dari tempat itu ketika hal itu terjadi. Aku bersembunyi di balik gerumbul-gerumbul, dan dinding batu. Ketika Sidanti datang dan ternyata berpihak kepada Pandan Wangi, aku diam-diam pergi. Aku merasa bahwa gadis itu dapat di selamatkan seperti yang ternyata kemudian. Kini, kau akan menebus kegagalan itu dengan merampas kambing-kambingku. Aku tidak boleh. Itu adalah hakku. Kalau kau minta, aku dapat memberimu seekor menurut pilihanku, karena aku kasihan melihat kalian kelaparan.”

Wajah-wajah yang buas itu tiba-tiba menjadi merah padam. Mereka tidak menyangka, bahwa mereka akan bertemu dengan seorang gembala yang gila, yang berani mengusik mereka, dan bahkan seolah-olah menantang mereka. Karena itu, maka salah seorang dari mereka yang tidak dapat menahan diri lagi maju beberapa langkah. Ditamparnya pipi Gupita sehingga gembala itu terhuyung-huyung beberapa langkah. Hampir saja ia terjatuh, tetapi segera ia berusaha untuk memperbaiki keseimbangannya.
“Kau tahu akibat dari penolakanmu itu, he, gembala gila?” teriak laki-laki yang menampar pipinya itu.
Gupita mengerutkan keningnya. Dengan mantap ia menjawab, “Ya.”
“Akibat itu adalah akibat yang paling buruk dapat terjadi atasmu. Kau dengar?”
“Ya. Mungkin kalian akan membunuh aku, sebab kalian lebih menghargai kambing-kambing itu daripada nyawa seseorang. Bukankah begitu?”
“Setan!” bentak laki-laki yang lain. Orang itu tidak sekedar menampar pipi Gupita, tetapi dipukulnya pelipis anak itu, sehingga sekali lagi gembala itu terhuyung-huyung beberapa langkah surut. Tetapi ia tidak juga jatuh terbanting di tanah.
“Jagalah mulutmu,” geram laki-laki itu,
“aku akan menyobeknya atau menyumbatnya dengan ujung pedang. Dengar, kau harus segera pergi. Tinggalkan kambing-kambingmu di sini. Kalau kau tidak rela, laporkanlah kepada pelindungmu, Argapati. Aku tidak takut meskipun seandainya ia akan datang kemari, dan akan mencoba menangkap kami. Kami sudah siap.”
Gupita menggelengkan kepalanya. Jawabnya,
“Tidak. Aku tidak akan melaporkan hal ini kepada siapa pun. Kalau di daerah ini masih berlaku wewenang peraturan-peraturan yang diakui, aku memang akan melaporkannya. Tetapi agaknya kalian sudah menjadi terlampau liar, sehingga kalian sudah tidak menghargai setiap peraturan yang ada. Kalian agaknya membanggakan diri kalian karena kalian berpedang di lambung. Kalau demikian, baiklah. Aku akan mempergunakan cara serupa untuk mempertahankan hakku. Aku tidak perlu menurut peraturan yang berlaku pula. Aku akan bertindak sendiri, karena kalian adalah orang-orang liar yang berdiri di luar peraturan yang mana pun juga.”
Jawaban itu benar-benar tidak disangka-sangka oleh orang-orang liar itu. Karena itu, maka darah mereka  pun segera mendidih. Laki-laki yang kekurus-kurusan agaknya benar-benar tidak dapat menahan diri lagi. Tiba-tiba saja ia mencabut pedangnya. Dengan sekuat tenaganya diayunkannya pedangnya sambil berteriak,
“Matilah kau, gembala gila.”
Tetapi ternyata gembala itu tidak dengan suka-rela menyerahkan lehernya. Bagaimanapun juga ia berusaha untuk melepaskan dirinya dari sentuhan maut. Karena itu ketika ia melihat seseorang mengayunkan pedangnya, ia pun berusaha untuk menghindar. Tetapi ketika ia mencoba melangkah surut, tiba-tiba kakinya terperosok, sehingga ia jatuh berguling. Tetapi ternyata bahwa dengan demikian ia terlepas dari ujung pedang itu, karena begitu ia terpelanting, maka pedang itu terbang secengkang dari atas kepalanya.
“Setan alas!” teriak laki-laki yang kekurus-kurusan itu. Ia terseret dua langkah oleh kekuatannya sendiri.
Gupita yang terjatuh itu segera merangkak-rangkak untuk berdiri. Ketika ia tegak di seberang parit yang dangkal, ia melihat orang-orang liar itu memandangnya dengan mata merah. Apalagi yang kekurus-kurusan, yang telah gagal menebaskan pedangnya.
“Kau tidak akan dapat lari,” geram laki-laki yang kekurus-kurusan itu.
“Kau pasti akan mati. Bangkaimu akan menjadi makanan burung-burung gagak yang berkeliaran di langit itu.”

Gupita masih berdiri di tempatnya. Dipandanginya wajah-wajah yang buas itu satu demi satu. Kemudian ia berkata,
“Sebelum terlambat, lebih baik kalian mengurungkan niat kalian. Pergilah. Kembalilah kepada Sidanti dan Argajaya. Berkatalah kepada mereka dan kepada Ki Tambak Wedi, bahwa perbuatan mereka benar-benar tidak dapat dimengerti oleh orang-orang Menoreh yang berpikiran bening. Apalagi tindakan kalian yang liar melampaui keliaran perampok-perampok di waktu malam, sebab kalian merampok di siang hari tanpa berusaha menyembunyikan diri kalian dari kekuasaan Tanah Perdikan Menoreh.”
“Tutup mulutmu!” bentak orang yang berkumis dan berjambang. “Sadarilah dengan siapa kau berhadapan.”
“Aku sadar sesadar-sadarnya. Kau pun harus sadar dengan siapa kau berhadapan. Kau orang yang tidak dikenal di sini, dan ternyata kau pun belum mengenal Tanah ini. Kau tidak dapat mengalahkan Pandan Wangi seorang diri meskipun ia hanya seorang gadis. Aku sengaja mengintai perkelahian itu. Dan kalian tidak usah ingkar sebab aku melihat sendiri. Sekarang kau berhadapan dengan salah seorang gembala yang paling dungu di atas Tanah Perdikan ini. Dengar, aku yakin bahwa kau akan dapat menilai, betapa kekuatan yang tersimpan di Tanah ini. Apakah gunanya kalian berusaha untuk membantu Sidanti kalau kalian sama sekali tidak berarti di hadapan orang-orang Menoreh.”
Darah yang telah mendidih, menjadi semakin mendidih, sehingga wajah-wajah orang-orang liar itu terasa menjadi semakin panas. Tiba-tiba salah seorang dari mereka meloncati parit itu pula dengan pedang di tangan.
“Aku akan membunuhmu. Tetapi aku tidak akan berbuat curang. Aku beri kesempatan kau melawan. Cepat, bersiaplah. Kawan-kawanku akan menjadi saksi.”
“Apakah sikapmu itu sudah kau pikirkan masak-masak?” jawab gembala itu.
“Kau pasti akan menyesal. Karena itu, berkelahilah berbareng.”
“Cepat! Aku hampir tidak dapat menahan diri lagi. Jangan berbicara lagi, supaya aku tidak segera ingin menyobek mulutmu.”
“Kau juga hanya berbicara saja. Cepat, lakukanlah.”
Panas hati laki-laki itu bukan buatan. Selangkah ia maju perlahan-lahan sambil menjulurkan pedangnya tepat ke wajah gembala yang dianggapnya gila itu sambil berkata,
“Lihat, mulutmu akan benar-benar aku sobek dengan pedang ini.”
Laki-laki itu tidak segera ingin menusukkan pedangnya dengan bersungguh-sungguh. Ia hanya ingin supaya Gupita segera melawannya. Karena itu, maka pedangnya terjulur perlahan-lahan meskipun benar-benar mengarah ke mulutnya. Tetapi ternyata laki-laki itu tidak menyangka bahwa Gupita benar-benar berbuat gila. Tanpa di sangka-sangka anak muda itu merendahkan dirinya, dan benar-benar seperti orang gila ia melecut tangan laki-laki itu dengan sekuat-kuat tenaganya. Ketika ujung cambuknya membelit pergelangan tangan lawannya, maka dengan sekuat tenaganya cambuk itu disentakkannya. Perbuatan itu benar-benar perbuatan yang tidak diduga oleh siapa pun. Namun ternyata hentakan cambuknya yang tiba-tiba serta dengan sekuat tenaga itu, membuat pedang lawannya benar-benar terlepas dan jatuh di tanah. Laki-laki itu menyeringai menahan sakit di pergelangan tangannya. Ujung cambuk yang membelit tangannya, serta tarikan yang menyentak itu telah meninggalkan jalur-jalur merah pada pergelangan tangannya.

Terdengar laki-laki itu menggeram. Matanya benar-benar menjadi semerah darah. Segera ia meloncat untuk memungut pedangnya. Tetapi sekali lagi, tanpa diduga-duga, Gupita meloncat dan menginjak hulu pedang itu dengan kakinya, sementara tangannya dengan membabi buta mengayunkan cambuknya. Anak itu benar-benar seperti kerasukan setan. Lecutan-lecutan yang menghentak-hentak langsung memukul laki-laki yang sedang membungkuk untuk memungut pedangnya, tetapi yang karena injakan kaki Gupita maka ia tidak segera dapat mengambilnya. Sementara itu, tiba-tiba saja terasa tubuhnya seolah-olah telah dirajang dengan ujung cambuk tanpa hitungan. Yang terdengar kemudian adalah sebuah jeritan yang seram bercampur-baur, dengan gemeretak gigi. Laki-laki itu berusaha untuk menghindar. Secepat-cepatnya ia meloncat mundur. Tetapi sementara ujung cambuk Gupita masih juga berhasil menyambar wajah, dan lehernya beberapa kali. Peristiwa itu benar-benar tidak dapat dibayangkan sebelumnya. Seorang gembala yang menjadi gila dan membabi buta mempertahankan haknya dengan cara yang tersendiri. Ia tidak berkelahi dengan ilmu tata bela diri yang teratur dari perguruan manapun, apalagi yang namanya sudah dikenal. Tetapi ia mempergunakan cara seperti seorang yang kerasukan setan. Kawan-kawannya yang melihat berdiri ternganga, tanpa berbuat sesuatu. Mereka seolah-olah terpukau oleh peristiwa yang belum pernah disaksikannya, sehingga justru karena itu, mereka tidak segera dapat berbuat sesuatu. Baru setelah mereka mendengar kawannya mengerang sambil mengumpat-umpat, mereka sadar apa yang telah terjadi. Salah seorang dari mereka telah menjadi sedemikian lemahnya oleh lecutan yang tidak terkendali sama sekali. Dengan demikian maka sejenak kemudian terdengar setiap mulut menggeram dengan sorot mata yang seolah-olah memancarkan api. Tetapi mata gembala itu  pun seolah-olah telah menyala pula. Giginya pun menjadi gemeretak. Sejenak dipandanginya setiap wajah yang berdiri berjajar di hadapannya. Satu demi Satu. Sedang dikeningnya mengalir titik-titik keringat membasahi wajah.
Laki-laki yang kekurus-kurusan, yang pendek berwajah mengerikan, yang bertubuh sedang dan berdahi seperti lapangan, yang berkumis dan berjambang lebat, dan yang lain-lainnya, masih terpukau di tempatnya. Namun tangan mereka menjadi gemetar seperti jantung di dada mereka yang serasa akan meledak.
Tetapi, sekali lagi orang-orang liar itu dicengkam oleh keadaan yang tidak di sangka-sangkanya. Tiba-tiba saja gembala itu meloncat dan berlari secepat dapat dilakukan meninggalkan lawan-lawannya. Yang terdengar kemudian adalah suaranya melengking,
“Aku tidak sempat melayani kalian lebih lama lagi. Lain kali kita akan bertemu. Agaknya ayahku telah berhasil menyembunyikan kambing-kambingku. Kalian tidak akan dapat menemukannya, sebab perhatian kalian terikat kepadaku.”
Namun orang-orang itu segera menyadari keadaan. Tanpa berjanji segera mereka berloncatan, berlari mengejar Gupita. Tetapi agaknya langkah Gupita cukup cepat, sehingga jarak mereka semakin lama tidak menjadi semakin dekat, tetapi justru menjadi semakin jauh.
“Kau tidak akan lepas dari tangan kami,” teriak laki-laki yang agak pendek. Tetapi ia sendiri tidak yakin bahwa hal itu dapat mereka lakukan. Sebab ternyata Gupita kini menjadi kian jauh. Anak itu ternyata cukup berpengalaman, berlari-lari di atas pematang yang basah dan licin.
“Setan alas!” yang kekurus-kurusan mengumpat. Nafasnya menjadi tersengal-sengal.
“Anak itu benar-benar anak setan.”
Akhirnya orang-orang itu berhenti mengejar. Di antara mereka mengumpat tidak habis-habisnya. Dan bahkan yang berkelahi melawan Gupita dan tubuhnya telah dirajang dengan ujung cambuk berkata,
“Anak itu harus mati. Sayang aku menjadi lengah karena aku tidak menyangka bahwa ia akan menjadi gila seperti itu.”
Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi yang berkumis dan berjambang berkata,
“Tidak. Jangan disangka ini suatu kebetulan. Aku tidak percaya bahwa gembala itu adalah seorang gembala yang dungu. Aku tidak percaya bahwa karena tingkahnya yang membabi buta itu ia mampu melakukan ini semua. Merampas pedang dan kemudian menjelajahi tubuh itu dengan ujung cambuknya. Dua kali kita telah tertipu selama kita berada di Menoreh. Aku telah tertipu oleh gadis yang bernama Pandan Wangi itu sehingga pada gerak yang pertama, kedua tanganku telah terluka. Sekarang salah seorang dan kita telah terkelabuhi pula oleh anak muda yang mengaku dirinya seorang gembala itu. Tidak. Aku tidak percaya bahwa ia sekedar seorang gembala yang dungu. Lihat, apakah kita berhasil mengejarnya? Lihat apakah kita akan dapat menemukan kambing-kambingnya lagi yang katanya telah disingkirkan oleh ayahnya? Siapakah ayahnya itu, dan kenapa kita sama sekali tidak melihat bagaimana caranya menyingkirkan kambing-kambingnya?”
Kawan-kawannya tertegun mendengar keterangan itu. Barulah kini mereka berpikir, bahwa gembala itu pasti bukan hanya sekedar seorang gembala, pasti bukan. Meskipun ia berkelahi dengan cara yang liar, namun saat-saat yang menentukan yang diambilnya, benar-benar hasil dari perhitungan yang matang.
Orang berkumis itu berkata pula,
“Apakah kau sangka suatu kebetulan pula bahwa ia terjatuh ketika kepalanya hampir tersentuh pedang yang terayun demikian derasnya? Pasti tidak.”
Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Hampir berbareng mereka bergumam, “Ya, pasti tidak.”
“Karena itu, kita harus menemukannya. Betapa cepat larinya, ia pasti tidak akan pergi terlampau jauh dari kawanan kambing-kambing itu. Dan betapa cepat lari kawanan kambing-kambing itu, pasti masih belum terlampau jauh. Dan kambing-kambing itu pasti tidak akan secerdik gembalanya, untuk bersembunyi sambil menenggang nafasnya. Seandainya kita hanya menemukan kambing-kambingnya dan tidak menemukan orangnya, biarlah kita pakai sebagai penawar kejengkelan di dalam hati.”
Kawan-kawannya mengerutkan keningnya. Tetapi mereka  pun bersetuju. Kalau terpaksa mereka tidak dapat menemukan Gupita, maka cukuplah kiranya mereka menangkap kambing-kambingnya saja.
Demikianlah, maka segera mereka berjalan kembali. Diikutinya lah jejak kawanan kambing-kambing yang telah tidak tampak lagi, lari ke balik rerumputan. Tetapi jejak-jejaknya masih dapat dilihat dengan jelas, jejak kambing itu berbondong-bondong menyeberangi jalan. Ternyata bahwa dugaan mereka benar. Kambing-kambing itu memang tidak secerdik orangnya. Kambing-kambing itu tidak dapat berusaha untuk menghilangkan atau menyembunyikan jejaknya. Tetapi yang mengejutkan mereka adalah, bahwa di belakang sekelompok jejak kambing itu terdapat jejak seseorang.
“Orang inilah yang disebut ayahnya, yang berusaha menyembunyikan kambing-kambing itu,” desis salah seorang dari mereka.
“Ya,” jawab yang lain.
“Tetapi hati-hatilah. Orang itu bukan orang kebanyakan. Seandainya benar ia seorang gembala, maka ia adalah gembala yang memiliki kekhususan. Ia adalah seorang gembala yang tangguh.”

Kawan-kawannya tidak menjawab. Mereka berusaha berjalan semakin cepat. Mereka mengharap bahwa mereka akan dapat menemukan, setidak-tidaknya beberapa ekor kambing. Sehingga dengan demikian, maka sakit hati mereka agak dapat diobati. Ternyata kambing-kambing itu sama sekali tidak menyadari apa yang sedang terjadi. Mereka tidak tahu, bahwa orang yang menggembalakannya sedang melakukan sebuah permainan yang berbahaya. Karena itulah, maka mereka pun tidak berusaha untuk berdiam diri. Beberapa ekor di antaranya, tanpa prasangka apa  pun telah mengembik sahut-menyahut.
“Sst, sst,” seorang gembala tua mencoba menenteramkan kambing-kambing itu. Tetapi ternyata tidak berhasil. Mereka masih saja mengembik-embik dan bahkan berkejar-kejaran.
“Sst, sst,” gembala tua itu menjadi berdebar-debar. Ia memang mempunyai dugaan, bahwa langkahnya akan diikuti oleh orang-orang yang tadi berkelahi melawan Gupita.
Tetapi kambing-kambing itu sama sekali tidak menghiraukannya. Beberapa ekor kambing yang masih sangat muda, berteriak-teriak memanggil induknya, dan induknya pun menyahut tidak kalah kerasnya.
“Sst, sst,” gembala tua itu masih mencoba. Tetapi ia sama sekali tidak berhasil membungkam kambing-kambingnya yang masih saja berbuat sekehendak mereka sendiri.
Tiba-tiba gembala tua itu terkejut. Ketika ia berpaling, dilihatnya beberapa wajah yang keras dan kasar menjenguk dari balik dedaunan.
“Nah, ke mana kau akan lari?” terdengar salah seorang dari mereka menggeram.
Gembala tua itu berdiri dengan lutut gemetar. Dipandanginya saja wajah-wajah yang kasar dan keras itu, tanpa dapat mengucapkan sepatah kata pun.
“Di mana Gupita?” bentak yang lain, yang kekurus-kurusan. Gembala tua itu tidak segera menyahut. Wajahnya memancarkan kecemasan dan ketakutan yang tidak terhingga. Tampak bibirnya bergerak-gerak, seperti orang kedinginan, tetapi tidak sepatah kata  pun meloncat dari mulutnya.
“Di mana Gupita?” bentak yang agak pendek.
Perlahan-lahan orang tua itu menggelengkan kepalanya. Dengan suara bergetar ia menjawab,
“Aku tidak tahu, Tuan. Bukankah tadi, Gupita ada bersama Tuan. Aku hanya sekedar bersembunyi bersama-sama dengan kambing-kambing ini.”
“Bohong! Kau pasti tahu, di mana Gupita bersembunyi.”
“Apakah ia bersembunyi?” gembala tua itu justru bertanya.
“Ya, ia lari dan bersembunyi.”
“Di mana ia bersembunyi, Tuan?”
“Ia berlari ke sana, ke arah pohon cangkring di sudut padesan, di sebelah. Kami kehilangan jejaknya, dan kami mencoba mencari saja kambing-kambingnya.”
“Ternyata Tuan lebih tahu daripada aku. Kenapa Tuan bertanya kepadaku tentang anak bengal itu?”
Sejenak orang-orang itu terbungkam. Ternyata mereka tidak dapat menjawab pertanyaan itu. Yang dapat mereka lakukan hanyalah saling berpandangan sesaat.
“Bohong!” tiba-tiba yang berdahi lebar membantah.
“Kau pasti tahu ke mana anak itu pergi. Bukankah anak itu kawanmu menggembala? Bahkan anak itu menyebutmu ayah? Apakah ia anakmu?”
“Ya, Tuan. Anak itu adalah anakku. Tetapi aku benar-benar tidak tahu ke mana ia berlari. Kami sama sekali tidak berjanji apa  pun untuk menghadapi persoalan yang tiba-tiba saja kami jumpai ini, sehingga aku tidak tahu apakah yang dikerjakan oleh anak dungu itu. Aku hanya melihat ia berada di antara Tuan, kemudian aku pergi menjauhkan kambing-kambing ini dan menjauhkan diriku sendiri.”
“Bohong, bohong! Kalau kami tidak dapat menemukan Gupita, maka kau akan kami ambil sebagai gantinya. Kau harus menanggung kesalahannya. Dan kau harus menerima hukumannya.”
“Tidak, Tuan. Jangan,” minta orang tua itu hampir merintih.
“Dan apakah sebenarnya kesalahan anak itu terhadap Tuan?”
Sekali lagi orang-orang itu tidak dapat menjawab. Bahkan pertanyaan itu terulang di dalam dada mereka,
“Apakah sebenarnya kesalahan anak itu?”

Tetapi mereka sama sekali tidak menghiraukan gema yang memantul dari dinding hati itu. Orang yang berkumis dan berjambang segera berteriak,
“Anak itu telah berani melawan kehendak kami. Kami tidak pernah gagal untuk memenuhi kehendak kami. Tetapi anak itu mencoba membantahnya, dan kau mencoba menyembunyikan kambing-kambing itu.”
“Apakah keinginan Tuan itu?”
“Kambing-kambingmu semua. Tetapi karena Gupita telah membuat kami marah, maka tuntutan kami sekarang adalah kambing-kambingmu semua dan Gupita atau kau, Kakek tua.”
“Jangan, Tuan,” sekali lagi orang tua itu merintih.
“Aku tidak peduli meskipun kau akan menangis sambil mencium ujung kakiku. Selama Gupita masih belum tertangkap, kau harus berada bersama kami. Apabila kesabaran kami kemudian habis, maka kaulah yang akan menerima hukuman kami.”
“Tetapi, tetapi aku tidak bersalah, Tuan, dan anakku  pun tidak bersalah. Anakku hanya lari dan bersembunyi. Apakah itu kesalahan yang harus dipertanggung-jawabkannya?”
“Apa?” teriak laki-laki yang tubuhnya dijalari oleh jalur-jalur bekas lecutan cambuk Gupita.
“Kau sangka anakmu hanya lari dan bersembunyi? Lihat, seluruh tubuhku menjadi merah biru.”
Orang tua itu mengerinyitkan alisnya, “Kenapa, Tuan?”
“Inilah pokal anakmu sebelum lari. Dengan membabi buta ia mencambuk tubuhku tanpa aku sangka-sangka. Kemudian ia berlari meninggalkan kami dan bersembunyi.”
“Apakah anak itu berhasil mengenai Tuan?”
“Kenapa kau bertanya, Kakek tua? Kau lihat sendiri, betapa tubuhku menjadi berjalur-jalur merah hitam.”
Orang tua itu menggeleng-gelengkan kepalanya sambil berdecik.
“Anak itu luar biasa. Aku tidak menyangka, bahwa ia mampu melakukannya. Ternyata ia memiliki keberanian berbuat.”
“Apa, apa yang kau katakan tentang anak itu? Kau heran dan kagum akan keberaniannya? Anak gila itu kemudian lari. Lari dan bersembunyi. Itukah keberanian yang kau katakan itu?” Orang itu berhenti sejenak. Nafasnya menjadi terengah-engah menahan marah. Lalu,
“Karena itu, kau harus aku tangkap. Kalau anakmu tidak segera datang, kau akan mendapat hukum cambuk seperti anakmu mencambuk aku. Bahkan sepuluh kali lipat.”
“Jangan, Tuan, jangan.”
“Aku tidak peduli. Sekarang, sebelum kami menentukan hukuman itu kau harus membawa kambing-kambingmu bersama kami. Dengan demikian kau akan mendapat keringanan hukuman sekedarnya.”
“Tetapi, tetapi,” orang tua itu berkata terpotong-potong.
“Tetapi kambing-kambing itu adalah milik kami yang paling berharga, Tuan. Kalau kambing-kambing itu Tuan ambil, kami akan kehilangan milik kami. Hidup kami akan menjadi semakin miskin, dan mungkin kami akan kehilangan sumber makan kami sekeluarga, karena kami tidak dapat menjual setiap kali untuk membeli kebutuhan-kebutuhan kami sehari-hari.”

Jawaban orang tua itu sama sekali tidak dihiraukan oleh orang-orang yang keras dan kasar itu. Mereka sama sekali tidak peduli, apakah hal itu akan menutup kemungkinan bagi keluarga orang tua itu untuk mendapat makan, atau kemungkinan apapun. Mereka hanya ingin kehendak mereka terpenuhi, meskipun sangat merugikan bagi orang lain. Karena itu orang yang kekurus-kurusan berkata,
“Jangan banyak bicara. Ikut kami bersama kambing-kambingmu.”
“Jangan, Tuan. Anak-anak dan isteriku akan menunggu aku pulang bersama dengan kambing-kambing itu. Kalau kambing-kambing itu tidak pulang, apalagi bersama aku, maka hidup mereka akan terguncang. Mereka tidak akan dapat mencari makan. Dan milik mereka yang paling berharga telah hilang pula.”
“Jangan banyak bicara!” teriak yang agak pendek.
“Kalau kau membantah sekali lagi, mulutmu akan aku remas sampai hancur.”
Orang tua itu menggigil. Wajahnya menjadi tegang. Agaknya ia masih ingin berbicara, tetapi kedua telapak tangannya menutupi mulutnya.
“Cepat!” teriak yang lain.
Tetapi orang tua itu belum beranjak dari tempatnya. Ia masih berdiri gemetar di tempatnya dengan wajah yang tegang. Kedua telapak tangannya masih saja menutup mulutnya.
“Cepat! Atau aku cambuk kau dengan pedang, he?”
Laki-laki tua itu sama sekali tidak berani berbicara, karena orang yang agak pendek itu mengancam apabila ia berbicara sepatah kata lagi, maka mulutnya akan diremas sampai hancur. Namun dalam ketegangan itu, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh derap kaki seekor kuda. Semakin lama semakin dekat. Suaranya gemeretak di atas tanah berbatu padas.
“Setan! Siapakah yang berkuda itu? Sidanti atau Argajaya atau siapa?” bertanya yang berkumis dan berjambang lebat.
Kawan-kawannya tidak segera dapat menjawab, sebab mereka  pun ingin bertanya demikian pula. Mereka hanya saling pandang memandang untuk sejenak. Lalu menggeram hampir bersamaan. Sedang derap kuda itu menjadi semakin dekat. Seolah-olah mengarah ke tempat mereka.
Tetapi agaknya kuda-kuda itu sama sekali tidak menuju ke tempat itu. Kuda itu berderap terus, meskipun agak dekat dari tempat mereka. Tetapi mereka tidak dapat melihat kuda itu, terhalang oleh pepohonan dan gerumbul-gerumbul di sekitar mereka.
“Siapakah orang itu?” sekali lagi orang berjambang itu berdesis.
“Apakah ia sengaja mencari kita di sini?”
Tak ada jawaban. Namun wajah-wajah itu menjadi semakin tegang. Dan ketegangan itu menjadi semakin tegang ketika sekali lagi mereka mendengar derap seekor kuda yang lain, seolah-olah sedang mengejar kuda yang pertama. Berpacu tidak kalah cepatnya, dan suara derap kakinya  pun gemeretak menyentuh batu-batu padas di sepanjang jalan.
“Apakah yang telah terjadi?” desis yang kekurus-kurusan.
“Apakah mereka orang-orang Pandan Wangi yang telah mendengar tentang persoalannya?”

Kawan-kawannya tidak menyahut. Tetapi ketegangan semakin mencengkam dada mereka. Meskipun derap kuda yang kedua ini  pun semakin lama menjadi semakin jauh, dan lambat laun lenyap pula dari pendengaran mereka.
“Kita harus segera kembali,” desis yang berkumis dan berjambang.
“Mungkin kita harus segera mempersiapkan diri kita. Siapa tahu, Argapati telah mulai menggerakkan orang-orang karena persoalan Pandan Wangi.”
“Marilah,” sahut yang lain. “Tetapi kita bawa orang tua ini dan kambing-kambingnya pula.”
Sejenak mereka saling memandang. Namun kemudian yang seorang lagi berkata,
“Ya, kita bawa orang tua ini beserta kambing-kambingnya.” Lalu kepada gembala tua itu ia membentak,
“Cepat, sebelum aku memenggal lehermu.”
“Tetapi, tetapi,” gembala tua itu ingin berbicara.
Tetapi suaranya terpotong, “Tutup mulutmu. Ayo bawa kambing-kambingmu segera bersama kami.”
Gembala itu berpaling. Dilihatnya kambing-kambingnya yang gemuk-gemuk sedang makan dengan asyiknya, rerumputan dan daun-daun muda pada gerumbul-gerumbul di sekitarnya, di dalam pategalan. Orang tua itu membawa kambing-kambingnya ke tempat itu untuk bersembunyi dan menyembunyikan kambing-kambing itu, tetapi ternyata orang-orang itu dapat menemukannya. Agaknya ia tidak dapat berbuat lain daripada menuruti perintah orang-orang yang buas itu. Membawa kambing-kambingnya berserta mereka. Betapapun beratnya.
Tetapi sekali lagi mereka dicengkam oleh ketegangan yang memuncak. Sekali lagi mereka mendengar derap seekor kuda, dari jurusan yang sama dari kuda-kuda yang telah mendahuluinya. Berpacu seperti angin. Cepat sekali derap itu mendekat dan lewat tidak jauh dari tempat itu.
“Gila,” geram salah seorang dari orang-orang itu.
“Kita harus melihat siapakah mereka itu. Cepat, kita keluar dari pategalan ini. Tetapi hati-hati, jangan menampakkan diri kita sebelum tahu siapakah mereka itu.”
Sejenak mereka tidak mengingat lagi kepentingan mereka dengan kambing-kambing itu. Perlahan-lahan mereka merayap ke pinggir pategalan, supaya dari atas dinding batu, mereka dapat melihat lepas menyeberang bulak yang sempit, sampai ke jalan kecil yang melintas di tengah sawah yang sempit pula. Suara kuda yang berderap itu, agaknya berasal dari jalan sempit itu. Belum lagi mereka sampai ke pinggir dinding batu, ternyata suara derap yang sudah hampir tidak terdengar lagi itu disusul oleh derap kaki-kaki kuda berikutnya. Secepat kuda-kuda yang terdahulu pula.
“Apakah artinya ini?” desis yang berdahi lebar. Kawan-kawannya tidak menyahut. Tetapi mereka merangkak semakin cepat supaya mereka dapat melihat siapakah yang sedang berkuda dengan cepatnya itu.

Ketika mereka menjengukkan kepala mereka, ternyata kuda itu telah agak lampau, sehingga mereka hanya dapat melihat punggung seseorang di atas kudanya yang berpacu secepat tatit. Nampaknya seorang anak muda dengan pakaian yang baik, dan sebilah keris di punggungnya. Sejenak keenam orang itu seolah-olah membeku. Mereka tidak melihat wajah orang berkuda itu, dan mereka tidak dapat mengenalnya. Lebih daripada itu, mereka sama sekali tidak dapat menduga, orang-orang siapakah yang berkuda berurutan dari arah dan menuju ke arah yang sama. Apakah mereka sekelompok orang-orang tertentu, ataukah mereka saling berkejaran. Wajah-wajah yang kasar itu  pun sejenak menegang. Mereka saling berpandangan, tetapi mereka tidak menemukan jawaban apa pun pada wajah-wajah yang kasar dan tegang itu. Dalam kesenyapan itu tiba-tiba yang berkumis dan berjambang menggeram,
“Kita harus segera kembali. Mungkin sesuatu segera akan terjadi di atas Tanah Perdikan ini. Mungkin Argapati tidak dapat mengendalikan diri lagi karena Pandan Wangi mengatakan apa yang telah terjadi atasnya.”
Kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Marilah. Kita memang harus segera kembali.”
“Tetapi bagaimana dengan kambing-kambing itu?”
Yang berkumis dan berjambang mengerutkan keningnya. Tetapi ia kemudian berkata,
“Kita tidak dapat menunggu lebih lama lagi. Orang-orang berkuda itu merupakan teka-teki bagi kita. Marilah, lain kali saja kita pasti akan mendapatkannya lebih banyak dari kambing-kambing itu.”
Ajakan itu ternyata merupakan yang paling baik buat melepaskan ketegangan hati mereka. Karena itu, maka ketika orang yang berjambang, dan berkumis itu meloncati pagar batu, maka yang lain  pun segera berloncatan pula tanpa berpaling lagi kepada sekawanan kambing-kambing yang sedang asik makan rerumputan. Dengan tergesa-gesa mereka berjalan beriringan menuju ke rumah Argajaya untuk mendapat penjelasan, apakah yang sudah terjadi? Apakah api di atas bukit Menoreh memang sudah mulai berkobar? Bagi mereka, apabila hal itu terjadi lebih cepat, memang lebih baik. Mereka akan segera lebih leluasa lagi untuk melakukan kehendak mereka. Merampas dan merampok, dan apa saja selain janji mereka membantu Sidanti mengalahkan Argapati.

Sementara itu, Pandan Wangi dan Samekta telah hampir sampai ke pedukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh. Dengan berdebar-debar mereka mempercepat langkah kuda-kuda mereka. Mereka ingin segera sampai kepada Argapati, supaya orang tua itu tidak terlampau cemas menunggu puterinya. Ketika mereka semakin dekat dengan padukuhan induk, hati mereka menjadi semakin berdebar-debar. Tiba-tiba saja dari balik dedaunan, mereka melihat ujung-ujung senjata berkilat-kilat. Di mulut jalan berkumpul beberapa orang pemimpin pengawal Tanah Perdikan, siap dengan segala perlengkapan perang. Bahkan beberapa ekor kuda dan perlengkapan-perlengkapan lain yang diperlukan.
“Apakah artinya ini, Paman Samekta?” bertanya Pandan Wangi.
“Ini adalah ujud dari kecemasan seorang Kepala Tanah Perdikan yang kehilangan seorang anaknya,” jawab Samekta.
“Ketika aku berangkat ayahmu berpesan, supaya aku membawamu pulang. Kalau tidak, maka pertumpahan darah akan segera terjadi.”
“Ah,” Pandan Wangi tiba berdesah, “jangan. Jangan, Paman.”
“Tergantung kepada Ki Argapati dalam menanggapi keadaan ini.”
Wajah Pandan Wangi tiba-tiba menjadi tegang. Tanpa sesadarnya dilecutnya kudanya dengan ujung kendali, sehingga kuda itu  pun meloncat, dan berlari semakin cepat.
Ketika mereka memasuki mulut padukuhan induk, maka Pandan Wangi menjadi semakin berdebar-debar karenanya. Dilihatnya ujung senjata seperti ujung batang ilalang. Bertebaran di halaman, di sisi-sisi jalan. Para pengawal Tanah Perdikan yang masih setia kepada Argapati ternyata sudah benar-benar siap melakukan tugasnya. Meskipun mereka dipersiapkan dengan tergesa-gesa, namun karena kesiagaan mereka, maka kekuatan mereka  pun cukup mendebarkan jantung.
Terasa ketegangan mencengkam dada Pandan Wangi. Sejenak kudanya terhenti ketika ia menarik kendali. Diedarkannya pandangan matanya di sekitarnya, dan dilihatnya wajah yang tegang dan menahan kemarahan. Tetapi wajah-wajah itu membayangkan kelegaan hati ketika mereka melihat Pandan Wangi datang kembali bersama utusan Ki Argapati, yang bertugas untuk menjemputnya. Tiba-tiba Pandan Wangi terkejut ketika ia mendengar suara memanggilnya,
“Pandan Wangi.”
Suara itu adalah suara yang telah sangat dikenalnya. Dan ketika ia berpaling, maka dilihatnya ayahnya berdiri tegak dengan sebatang tombak pendek di tangannya. Melihat sikap ayahnya, debar di dada Pandan Wangi terasa semakin berguncang. Ia kenal sikap itu. Ayahnya dengan tombak pendek itu di tangan, adalah pertanda bahwa ia sudah siap untuk melakukan apa pun.
“Ayah,” tiba-tiba Pandan Wangi meloncat turun dari kudanya, dan segera berlari kepada ayahnya. Seperti kanak-kanak yang mendapat perlakuan yang nakal dari kawan-kawannya, Pandan Wangi memeluk pinggang ayahnya sambil menangis tersedu-sedu.
“Apakah yang sudah terjadi, Wangi?” bertanya ayahnya. Pandan Wangi tidak menyahut. Bahkan isak tangisnya serasa semakin menyumbat dadanya.
Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Dicobanya untuk menenangkan dirinya sendiri, dan menenangkan hati puterinya.
“Jangan menangis, Wangi. Berkatalah apa yang telah terjadi denganmu. Aku telah memerintahkan Pamanmu Samekta, untuk menjemputmu dengan segala macam akibat yang dapat terjadi. Dan aku kini telah siap, apa  pun yang akan dilakukan oleh Sidanti, anak durhaka itu.”
“Tidak, Ayah, tidak,” desis Pandan Wangi di sela-sela tangisnya.
“Ayah jangan tergesa-gesa berbuat sesuatu.”
Ki Argapati mengerutkan keningnya. Dengan nada yang dalam ia bertanya, “Kenapa, Wangi?”

Sejenak Pandan Wangi tidak menyahut. Terasa isaknya semakin menyekat dadanya. Ketika ia melepaskan pelukannya, dan memandang berkeliling, dilihatnya beberapa orang pemimpin pengawal Tanah Perdikan sedang mengerumuninya. Dari wajah-wajah mereka memancarlah tekad hati yang bulat, untuk melakukan apa saja yang diperintahkan oleh Ki Argapati, Kepala Tanah Perdikan Menoreh. Terasa jantung Pandan Wangi menjadi semakin cepat berdetak. Terbayang di pelupuk matanya, apa yang dapat terjadi atas Tanah kelahiran ini. Pertumpahan darah dan pepati. Tanah yang selama ini selalu dinafasi oleh kedamaian dan ketenteraman tiba-tiba kini bergolak demikian dahsyatnya.
“Pandan Wangi,” terdengar suara Argapati, “kita sudah tidak mempunyai pilihan lain daripada ini.”
Pandan Wangi tidak segera menjawab. Tetapi titik-titik air matanya masih mengalir di pipinya.
“Apalagi apabila telah terjadi sesuatu dengan kau. Maka aku sama sekali tidak akan menunda lagi, meskipun saat purnama naik sudah berada di depan hidungku. Aku tidak akan menunggu lagi, Betapapun aku akan disebut sebagai seorang yang kehilangan sifat-sifat kejantananku, karena aku tidak memenuhi janjiku.” Argapati diam sejenak. Lalu,
“Apakah terjadi sesuatu atasmu?”
Perlahan-lahan Pandan Wangi mengangguk lemah.
“He,” wajah Argapati menjadi semakin merah.
“Katakan, apakah yang sudah terjadi, supaya hati ini menjadi semakin terbakar oleh kepastian, bahwa aku akan menghancurkannya.”
Sejenak Pandan Wangi berpaling. Dipandanginya Samekta yang kini telah berdiri di belakangnya pula. Dan sejenak kemudian ia mulai menceriterakan apa yang telah dialaminya. Ketika ia dihentikan oleh orang-orang yang tidak dikenalnya dengan wajah-wajah yang bengis dan kasar. Terdengar Argapati menggeram. Tangannya menggenggam tangkai tombaknya semakin erat. Hampir tidak sabar ia mendengarkan Pandan Wangi masih juga meneruskan ceriteranya.
“Aku bertempur dengan mereka, Ayah,” desis Pandan Wangi. “Mereka berenam berkelahi bersama-sama.”
Mata Argapati kini seakan-akan telah menyala. Dan hanya dengan susah payah ia masih berhasil menahan dirinya untuk mendengar ceritera puterinya itu. Meskipun semakin lama dadanya menjadi semakin panas dan bahkan hampir meledak karenanya.
“Tidak ada pilihan lain. Aku harus mulai sekarang, apa pun yang akan terjadi.”
“Aku belum selesai Ayah.”
“Aku sudah tahu akhir dari ceriteramu. Untung Samekta datang tepat pada waktunya, sehingga ia dapat membantumu melepaskan diri dari tangan mereka,” nada suara Argapati terlampau dalam, dan datar. Tetapi ketika ia bergerak untuk berbuat sesuatu, tangannya ditahan oleh puterinya.
“Bukan, bukan begitu, Ayah,” berkata Pandan Wangi.
Argapati mengerutkan keningnya. “Bagaimanakah akhirnya?”
Pandan Wangi berpaling kepada Samekta. Dan tanpa sesadarnya Samekta menggelengkan kepalanya dan berkata,
“Memang bukan begitu. Aku datang agak terlambat.”
“Kau terlambat?” Argapati membelalakkan matanya,
“Jadi kau tidak dapat menolongnya sama sekali.”
Samekta mengangguk. Tetapi ia menjawab,
“Aku memang terlambat Ki Gede, justru setelah Pandan Wangi mendapat pertolongan.”
Ki Gede Menoreh mengerutkan keningnya. Dan ia mendengar Samekta itu berkata seterusnya,
“Dan Pandan Wangi itu  pun terselamatkan dari kebuasan orang-orang liar itu.”
“Siapakah yang telah menolongnya?” suara Argapati seolah-olah tertahan di kerongkongannya.
“Sidanti dan Argajaya.”
“He,” Argapati terperanjat sehingga ditatapnya wajah Samekta dengan tajamnya.
“Jadi yang menolong Pandan Wangi adalah Sidanti dan Argajaya?”
Samekta menganggukkan kepalanya, “Ya, Ki Gede.”
Argapati seolah-olah tidak percaya kepada keterangan itu, sehingga kemudian ia bertanya kepada Pandan Wangi,
“Benar begitu, Wangi. Yang menolongmu adalah Sidanti dan Argajaya?”
Pandan Wangi mengangguk. Jawabnya,
“Ya, Ayah. Kakang Sidanti datang tepat pada waktunya. Pada saat aku hampir menjadi putus asa.”
“Apakah Sidanti kemudian berkelahi melawan mereka?”
“Hal itu hampir saja terjadi,” jawab Pandan Wangi.
“Tetapi agaknya Ki Tambak Wedi masih berhasil menahan mereka.”
“Tambak Wedi?” bertanya Ki Argapati.
“Jadi ia hadir juga ketika itu dan menahan Sidanti dan Argajaya supaya tidak berkelahi?”
“Ya,” jawab Pandan Wangi. “Tetapi terasa betapa dendam telah membakar hati masing-masing.”

Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Bahkan di dalam hati ia berdesah,
“Oh, kenapa Sidanti dan Argajaya? Kenapa anak itulah yang telah menolong Pandan Wangi, sehingga aku merasa berhutang budi kepada mereka? Adalah wajib bagiku untuk mengucapkan terima kasih kepada mereka karena mereka telah melepaskan anakku dari malapetaka bahkan kematian, meskipun Sidanti itu kakak seibu Pandan Wangi.”
Perlahan-lahan wajah Argapati itu menunduk. Perlahan-lahan pula ia melangkahkan kakinya sambil menjinjing tombaknya, selangkah-selangkah menuju ke mulut lorong yang membelah padukuhan induk itu. Ketika ia sudah berdiri selangkah di luar padukuhan, ia berhenti. Dilontarkannya pandangan matanya jauh-jauh ke depan, seolah-olah ingin dilihatnya langsung rumah adiknya, Argajaya.
Sekali lagi Ki Gede Menoreh menarik nafas dalam-dalam. Dalam sekali. Dan di dalam hatinya pula ia berkata,
“Apabila tidak ada Ki Tambak Wedi, maka persoalannya akan menjadi jauh berbeda.”
Lama sekali Ki Argapati tidak beranjak dari tempatnya. Tatapan matanya masih saja melekat di kejauhan. Jauh sekali, sejauh angan-angannya yang membumbung ke daerah yang tidak bertepi. Pandan Wangi merasakan, betapa benturan-benturan yang dahsyat telah terjadi di dalam dada ayahnya. Persoalannya telah mendorong ayahnya menjadi semakin jelas bahwa di Tanah ini telah hadir kekuatan-kekuatan dari luar rangkah, yang justru akan menambah kemelutnya keadaan. Tetapi ia tidak segera dapat berbuat banyak atas Sidanti dan adiknya Argajaya, apalagi setelah mereka menolong Pandan Wangi sendiri dari kehancuran mutlak, bahkan melepaskannya dari maut yang akan ditentukannya sendiri. Ki Argapati masih tegak berdiri di tempatnya. Tampaklah di dalam rongga matanya seolah-olah gelembung-gelembung udara yang bergerak-gerak. Dalam terik matahari yang membakar di siang hari, Ki Argapati merasakan betapa panasnya hati yang membara di dalam dadanya.
Beberapa orang berdiri tegak di belakangnya. Mereka telah bersiap menunggu perintah. Dan bahkan Pandan Wangi  pun kini telah berdiri selangkah di sampingnya. Sekali-sekali Pandan Wangi ikut, sekali-sekali ditatapnya wajah Ayahnya yang keras seperti batu padas serta memandang ke kejauhan, ke dalam terik sinar matahari dan di pegunungan, tidak larut oleh titik-titik air hujan, dan tidak retak dibakar terik matahari. Setiap dada menjadi berdebar-debar karenanya. Keheningan itu berpusar kepada Ki Gede Menoreh, yang dadanya sedang bergetar dengan dahsyatnya. Setiap katanya kini akan menentukan apakah yang akan terjadi di atas Bukit Menoreh itu. Apakah bukit itu akan dibakar oleh api peperangan, ataukah pengawal-pengawal yang telah siap untuk melepaskan senjata-senjatanya akan ditarik kembali ke dalam kubunya. Perlahan-lahan matahari bergeser di langit yang cerah. Semakin lama semakin condong ke Barat. Bayang-bayang dedaunan dan pepohonan mendadak semakin lama semakin panjang.
Ki Argapati masih berdiri mematung. Wajahnya menjadi basah oleh keringat yang merentul di keningnya. Kulitnya  pun kini telah menjadi semerah warna tembaga. Ki Argapati adalah seorang pemimpin yang tegas. Yang menentukan sikap tanpa ragu-ragu, apabila perhitungannya sudah menentu. Ia dapat berbuat apa saja untuk kepentingan Tanah Perdikannya. Bahkan kalau perlu kekerasan.

Tetapi dada Ki Argapati kini dibakar oleh keragu-raguan yang dahsyat. Perasaan yang hampir tidak pernah dikenalinya sebelumnya. Tetapi karena ia sadar akan akibat tindakannya kali ini, maka justru karena itulah ia menjadi ragu-ragu. Sudah tentu ia sama sekali tidak menginginkan Tanah yang dibinanya selama ini akan dimakan oleh benturan di antara mereka sendiri. Sudah tentu ia tidak ingin melihat api akan menjilat langit di atas Tanah Perdikan Menoreh, dan menelan rumah, dan lumbung-lumbung padi. Sudah tentu ia tidak ingin melihat batang-batang padi muda yang sedang menghijau di sawah-sawah akan disasak oleh kaki-kaki kuda yang mendukung orang-orang bersenjata di atas punggungnya. Dan sudah tentu hatinya akan menjadi terlampau pedih melihat air-air di parit-parit yang jernih, sejernih embun, akan berwarna merah karena dinodai oleh darah yang mengalir dari luka di dada. Ketegangan yang dahsyat telah melanda setiap jantung. Mereka menunggu, dan menunggu. Sedang Argapati masih berdiri tegak bagaikan patung yang mati. Akhirnya ketegangan itu memuncak ketika tiba-tiba Ki Argapati memalingkan wajahnya. Dipandanginya pengawal-pengawal Tanah Perdikan yang berada di belakangnya, yang tersebar di halaman-halaman, dan yang berkumpul di belakang gardu. Dipandanginya ujung-ujung senjata yang berkilat-kilat di sela-sela pepohonan, dan yang mencuat di atas dinding-dinding batu. Sejenak ia diam membisu, kemudian menarik nafas dalam-dalam. Dalam sekali. Para pemimpin pengawal yang berdiri dekat di belakangnya menjadi berdebar-debar. Mereka menduga-duga perintah apakah yang akan diterimanya. Mereka sudah tidak ada pilihan lain. Mereka tidak dapat menunggu anak harimau itu menjadi dewasa dan buas, yang kelak akan dapat menerkam mereka itu sendiri. Perlahan-lahan Ki Argapati memanggil Samekta dan beberapa orang lainnya dengan isyarat tangannya. Kemudian dipanggilnya pula Pandan Wangi mendekat. Ia tidak dapat melepaskan pertimbangan puterinya. Dan ia tidak dapat menutup kenyataan bahwa Sidanti dan Pandan Wangi adalah dua orang bersaudara yang lahir dari ibu yang sama.
Ketika orang-orang itu telah dekat sekali di samping dan di belakangnya, terdengar suaranya parau,
“Kita urungkan pertumpahan darah hari ini.”
Kata-kata itu menggetarkan setiap hati para pengawal itu. Sejenak mereka terpaku diam di tempatnya. Mereka sama sekali tidak mengharap bahwa tindakan Ki Argapati atas orang-orang yang sudah jelas melawannya itu tertunda. Beberapa pasang mata kemudian hinggap pada wajah Pandan Wangi, seolah-olah ingin berkata kepadanya, bahwa gadis itulah agaknya yang menunda tindakan yang seharusnya dilakukan oleh ayahnya. Bahkan saat ini  pun sudah agak terlambat menurut perhitungan para pengawal itu. Karena itulah, maka tidak seorang  pun yang segera beranjak dari tempatnya. Para pengawal itu masih berdiri dengan wajah dan hati yang tegang.
“Kita masih harus menunda tindakan ini,” sekali lagi mereka mendengar Ki Argapati berdesis.
Beberapa orang menundukkan kepalanya sambil menggigit bibirnya. Bahkan salah seorang dari mereka bertanya dengan suara gemetar,
“Kenapa kita masih harus menundanya Ki Gede?” Ki Gede Menoreh tidak segera menjawab. Tetapi tatapan matanya sekali lagi menembus terik matahari hinggap di kejauhan yang seolah-olah tidak bertepi.
Baru sejenak kemudian terdengar suaranya dalam,
“Aku akan memberitahukan kemudian. Tetapi jangan tinggalkan kesiap-siagaan. Besok malam, purnama akan naik. Aku akan mendapatkan kepastian, pada saat purnama itu turun, dan hilang di balik bukit.”

Para pengawal itu saling berpandangan sejenak. Besok malam memang purnama akan naik. Saat itu seolah-olah mempunyai arti yang luar biasa bagi Ki Argapati. Beberapa orang memang pernah mendengar, meskipun tidak jelas, bahwa Ki Gede Menoreh pernah berjanji bahwa mereka akan menunggu purnama naik.
“Hari itu adalah hari yang menentukan masa depan Tanah Perdikan ini,” desis Ki Gede kemudian.
Dada Pandan Wangi tiba-tiba berdesis mendengar saat yang diucapkan oleh ayahnya. Saat purnama naik, saat ayahnya akan bertemu dengan Ki Tambak Wedi. Tiba-tiba terasa bulu-bulu di seluruh tubuh gadis itu meremang. Betapa ia menjadi ngeri, membayangkan apakah yang akan terjadi dengan ayahnya pada saat yang telah ditentukannya itu. Sejenak Pandan Wangi terpukau diam karena angan-angan tentang saat yang mendebarkan jantung itu. Berbagai bayangan hilir mudik di dalam rongga matanya. Sejenak ia terkenang yang pernah diceriterakan ayahnya kepadanya, pada saat purnama naik beberapa puluh tahun yang lampau, seumur kakaknya Sidanti. Pada saat ayahnya bertempur melawan Ki Tambak Wedi untuk kehormatan nama masing-masing. Pertempuran yang dahsyat sekali, yang tidak dapat ditentukan siapakah yang akan menang dan siapakah yang akan kalah. Peristiwa itu besok malam akan terulang lagi di bawah Pucang Kembar. Ayahnya akan bertempur pula melawan Ki Tambak Wedi. Seorang lawan seorang untuk mempertaruhkan harga diri masing-masing, dalam mempertahankan sikap dan tindakan. Sepercik kecemasan telah menusuk jantung Pandan Wangi dengan tajamnya, sehingga tanpa sesadarnya gadis itu memegang dadanya. Dan tanpa sesadarnya pula Pandan Wangi menggigit bibirnya keras-keras. Sekali lagi ia merasa berdiri di persimpangan jalan yang sama-sama menuju ke dalam lembah yang gelap. Betapa sulitnya untuk memilih jalan yang akan ditempuhnya. Yang berdiri berhadapan dengan ayah kandungnya adalah kakaknya sendiri. Kakak seibu. Yang selama ini dicintainya sepenuh hati. Baru setelah ibunya itu meninggal, ia melihat seberkas noda melekat pada warna yang selama ini dianggapnya putih bersih, sebersih bunga menur.
Namun tiba-tiba Pandan Wangi itu meloncat berlari memeluk ayahnya sambil berkata di antara isak tangisnya,
“Tidak, Ayah. Jangan ditunda. Sebaiknya sekarang Ayah bertindak sebelum terlambat. Sebelum besok Ayah sampai pada saat purnama naik.”
Ki Argapati terperanjat. Sejenak ia berdiri mematung. Namun kemudian ia dapat menangkap perasaan puterinya, Pandan Wangi mencemaskan nasibnya besok apabila ia harus bertempur melawan Ki Tambak Wedi di bawah Pucang Kembar.
“Ayah jangan menunggu Ki Tambak Wedi beserta orang yang tidak kita kenal itu mendahului Ayah. Karena itu, Ayah harus melakukannya sekarang.”
Ki Argapati menahan nafasnya. Perlahan-lahan tangannya bergerak membelai rambut anaknya. Dengan nada yang berat ia berkata,
“Tidak, Wangi. Aku tidak dapat melakukannya sekarang. Aku ingin sampai pada janjiku dengan Ki Tambak Wedi. Sesudah itu, barulah aku akan melakukannya.”
“Tetapi, tetapi …………” suara Pandan Wangi patah di tengah.
“Aku tahu yang kau cemaskan, Wangi. Bagaimanakah seandainya aku tidak dapat lepas dari perkelahian itu, dan untuk seterusnya aku akan kehilangan kesempatan mempertahankan Tanah ini?”
“Ayah,” Pandan Wangi memekik kecil.
“Jangan kau cemaskan. Aku akan berusaha sebaik-baiknya agar aku masih berkesempatan untuk mempertahankan Tanah ini. Aku akan berusaha. Apabila usahaku tidak berhasil, maka demikianlah takdir yang harus aku jalani. Tetapi aku tidak menyerah tanpa melakukan sesuatu. Dan aku siap untuk melakukannya. Jangan kau cemaskan aku, Wangi.” Ki Argapati berhenti sejenak. Tatapan matanya masih jauh hinggap pada tempat yang tidak terbatas. Titik-titik keringat mengembun di kening dan dahinya.
“Tetapi Ayah harus bertindak cepat, sebelum Ki Tambak Wedi sempat mempersiapkan diri.”


Halaman 1 2 3


<<< Jilid 033                                                                                                       Jilid 035 >>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar