“Apa kerjamu di sini? Menggembalakan kambing-kambing itu?”
Gembala itu
berpaling kepada kambing-kambingnya. Perlahan-lahan ia menjawab,
“Ya, aku
sedang menggembalakan kambingku itu.”
Laki-laki itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tidak menaruh perhatian sama sekali. Tetapi
tiba-tiba salah seorang dari mereka berkata,
“Kita tebus
kegagalan kita dengan daging kambing.”
Agaknya
pendapat itu memang menarik perhatian kawan-kawannya. Tanpa berjanji, mereka
serentak berpaling ke arah sekumpulan kambing yang sedang makan dengan
asyiknya. Kambing itu tampak gemuk dan segar, sehingga hampir serentak
orang-orang itu menyahut,
“Ya, kita
tebus kegagalan kita dengan daging kambing.”
Gupita
mengerutkan keningnya. Tetapi ia masih tetap berdiam diri. Ketika ia berpaling,
maka Samekta dan Pandan Wangi sudah tidak dilihatnya lagi. Perlahan-lahan ia
menarik nafas dan tiba-tiba ia tersenyum.
“He, apakah
kambing-kambing itu milikmu?” bertanya salah seorang daripada orang-orang yang
berwajah seram itu sambil memilin kumisnya.
“Ya,” Gupita
menganggukkan kepalanya, “punyaku.”
“Aku
memerlukannya. Kau tinggalkan sajalah kambing-kambing itu di sini. Biarlah kami
yang memeliharanya. Kau harus menyumbang kepada perjuangan yang sedang kami
lakukan ini, untuk kepentingan putera Kepala Tanah Perdikan Menoreh yang akan
membuat kalian terlepas dari kekuasaan Argapati yang buas itu. Apakah kau
mengerti?”
Tiba-tiba saja
Gupita menggeleng. “Aku tidak mengerti,” jawabnya.
Orang-orang
itu mengerutkan kening mereka. Sejenak mereka saling berpandangan. Dan sejenak
kemudian mereka tertawa. Salah seorang dari mereka berkata,
“Pantas kalau
kau tidak mengerti. Kau tidak perlu mengerti, gembala dungu. Sekarang,
pulanglah. Tempat ini sungguh-sungguh berbahaya. Untung kedua orang berkuda itu
tidak memenggal kepalamu sehingga kau masih tetap hidup. Nah, pergilah. Kalau
kedua orang itu kembali maka kau pasti tidak akan dapat pulang ke rumahmu selain
namamu. Mereka pergi karena mereka takut akan kedatangan kami, sehingga kamilah
sebenarnya yang telah menolong nyawamu. Karena itu tinggalkanlah
kambing-kambingmu untuk kami. Kami akan berterima kasih atas sumbanganmu itu.
Kau sudah ikut serta membantu perjuangan kami.”
Gembala itu
memandang laki-laki itu satu demi satu. Dan tiba-tiba pula jawabnya
mengejutkan,
“Tidak. Aku
tidak dapat memberikan kambing-kambing itu kepada kalian. Kambing-kambing itu
adalah milik kami yang paling berharga.”
“He,” laki-laki
berkumis dan berjambang, yang kedua tangannya telah terluka membelalakkan
matanya,
“kau
membantah?”
“Kambing-kambing
itu adalah hakku. Kalau kau memaksa kau akan dihukum.”
“He, siapakah
yang akan menghukum kami?”
“Argapati. Ki
Gede Menoreh yang kini memimpin Tanah Perdikan ini.”
Orang-orang
itu hampir serentak tertawa. Salah seorang dari mereka berkata,
“Ki Gede
Menoreh sebentar lagi akan mati, yang kemudian akan memimpin Tanah ini adalah
puteranya. Sidanti. Kau dengar?”
“Itu bukan
urusanku. Tetapi kini yang berkuasa adalah Argapati. Bukan Sidanti. Justru
Sidanti kini sedang melawan kekuasaan ayahnya sendiri, yang sejak kecil
memberinya makan dan minum. Memberinya tempat berteduh, memberinya pakaian, dan
memberinya segala-galanya yang diperlukan. Ternyata Sidanti itu kini
melawannya. Ia tidak puas dengan segala macam pemberian itu, bahkan janji untuk
memegang kekuasaan kelak. Ia ingin terlampau cepat dan karena keinginan yang
membara di dadanya itulah maka ia telah sampai hati untuk melawan ayahnya sendiri.
Mungkin pengaruh gurunyalah yang memaksanya berbuat demikian. Dan kau adalah
alat-alatnya yang paling memuakkan. Kau cegat Pandan Wangi dengan caramu yang
paling kasar. Untunglah bahwa Sidanti masih merasakan ikatan kekeluargaan yang
tidak dapat dilupakan dengan tiba-tiba.”
“He,”
Orang-orang itu terperanjat, “kau melihat hal itu?”
“Aku
melihatnya. Aku menggembala tidak jauh dari tempat itu ketika hal itu terjadi.
Aku bersembunyi di balik gerumbul-gerumbul, dan dinding batu. Ketika Sidanti
datang dan ternyata berpihak kepada Pandan Wangi, aku diam-diam pergi. Aku
merasa bahwa gadis itu dapat di selamatkan seperti yang ternyata kemudian.
Kini, kau akan menebus kegagalan itu dengan merampas kambing-kambingku. Aku
tidak boleh. Itu adalah hakku. Kalau kau minta, aku dapat memberimu seekor
menurut pilihanku, karena aku kasihan melihat kalian kelaparan.”
Wajah-wajah
yang buas itu tiba-tiba menjadi merah padam. Mereka tidak menyangka, bahwa
mereka akan bertemu dengan seorang gembala yang gila, yang berani mengusik
mereka, dan bahkan seolah-olah menantang mereka. Karena itu, maka salah seorang
dari mereka yang tidak dapat menahan diri lagi maju beberapa langkah.
Ditamparnya pipi Gupita sehingga gembala itu terhuyung-huyung beberapa langkah.
Hampir saja ia terjatuh, tetapi segera ia berusaha untuk memperbaiki
keseimbangannya.
“Kau tahu
akibat dari penolakanmu itu, he, gembala gila?” teriak laki-laki yang menampar
pipinya itu.
Gupita
mengerutkan keningnya. Dengan mantap ia menjawab, “Ya.”
“Akibat itu
adalah akibat yang paling buruk dapat terjadi atasmu. Kau dengar?”
“Ya. Mungkin
kalian akan membunuh aku, sebab kalian lebih menghargai kambing-kambing itu
daripada nyawa seseorang. Bukankah begitu?”
“Setan!”
bentak laki-laki yang lain. Orang itu tidak sekedar menampar pipi Gupita,
tetapi dipukulnya pelipis anak itu, sehingga sekali lagi gembala itu
terhuyung-huyung beberapa langkah surut. Tetapi ia tidak juga jatuh terbanting
di tanah.
“Jagalah
mulutmu,” geram laki-laki itu,
“aku akan
menyobeknya atau menyumbatnya dengan ujung pedang. Dengar, kau harus segera
pergi. Tinggalkan kambing-kambingmu di sini. Kalau kau tidak rela, laporkanlah
kepada pelindungmu, Argapati. Aku tidak takut meskipun seandainya ia akan
datang kemari, dan akan mencoba menangkap kami. Kami sudah siap.”
Gupita menggelengkan
kepalanya. Jawabnya,
“Tidak. Aku
tidak akan melaporkan hal ini kepada siapa pun. Kalau di daerah ini masih
berlaku wewenang peraturan-peraturan yang diakui, aku memang akan
melaporkannya. Tetapi agaknya kalian sudah menjadi terlampau liar, sehingga
kalian sudah tidak menghargai setiap peraturan yang ada. Kalian agaknya
membanggakan diri kalian karena kalian berpedang di lambung. Kalau demikian,
baiklah. Aku akan mempergunakan cara serupa untuk mempertahankan hakku. Aku
tidak perlu menurut peraturan yang berlaku pula. Aku akan bertindak sendiri,
karena kalian adalah orang-orang liar yang berdiri di luar peraturan yang mana
pun juga.”
Jawaban itu
benar-benar tidak disangka-sangka oleh orang-orang liar itu. Karena itu, maka
darah mereka pun segera mendidih.
Laki-laki yang kekurus-kurusan agaknya benar-benar tidak dapat menahan diri
lagi. Tiba-tiba saja ia mencabut pedangnya. Dengan sekuat tenaganya diayunkannya
pedangnya sambil berteriak,
“Matilah kau,
gembala gila.”
Tetapi
ternyata gembala itu tidak dengan suka-rela menyerahkan lehernya. Bagaimanapun
juga ia berusaha untuk melepaskan dirinya dari sentuhan maut. Karena itu ketika
ia melihat seseorang mengayunkan pedangnya, ia pun berusaha untuk menghindar.
Tetapi ketika ia mencoba melangkah surut, tiba-tiba kakinya terperosok,
sehingga ia jatuh berguling. Tetapi ternyata bahwa dengan demikian ia terlepas
dari ujung pedang itu, karena begitu ia terpelanting, maka pedang itu terbang
secengkang dari atas kepalanya.
“Setan alas!”
teriak laki-laki yang kekurus-kurusan itu. Ia terseret dua langkah oleh
kekuatannya sendiri.
Gupita yang
terjatuh itu segera merangkak-rangkak untuk berdiri. Ketika ia tegak di
seberang parit yang dangkal, ia melihat orang-orang liar itu memandangnya
dengan mata merah. Apalagi yang kekurus-kurusan, yang telah gagal menebaskan
pedangnya.
“Kau tidak
akan dapat lari,” geram laki-laki yang kekurus-kurusan itu.
“Kau pasti
akan mati. Bangkaimu akan menjadi makanan burung-burung gagak yang berkeliaran
di langit itu.”
Gupita masih
berdiri di tempatnya. Dipandanginya wajah-wajah yang buas itu satu demi satu.
Kemudian ia berkata,
“Sebelum
terlambat, lebih baik kalian mengurungkan niat kalian. Pergilah. Kembalilah
kepada Sidanti dan Argajaya. Berkatalah kepada mereka dan kepada Ki Tambak
Wedi, bahwa perbuatan mereka benar-benar tidak dapat dimengerti oleh
orang-orang Menoreh yang berpikiran bening. Apalagi tindakan kalian yang liar
melampaui keliaran perampok-perampok di waktu malam, sebab kalian merampok di
siang hari tanpa berusaha menyembunyikan diri kalian dari kekuasaan Tanah
Perdikan Menoreh.”
“Tutup
mulutmu!” bentak orang yang berkumis dan berjambang. “Sadarilah dengan siapa
kau berhadapan.”
“Aku sadar
sesadar-sadarnya. Kau pun harus sadar dengan siapa kau berhadapan. Kau orang
yang tidak dikenal di sini, dan ternyata kau pun belum mengenal Tanah ini. Kau
tidak dapat mengalahkan Pandan Wangi seorang diri meskipun ia hanya seorang
gadis. Aku sengaja mengintai perkelahian itu. Dan kalian tidak usah ingkar
sebab aku melihat sendiri. Sekarang kau berhadapan dengan salah seorang gembala
yang paling dungu di atas Tanah Perdikan ini. Dengar, aku yakin bahwa kau akan
dapat menilai, betapa kekuatan yang tersimpan di Tanah ini. Apakah gunanya
kalian berusaha untuk membantu Sidanti kalau kalian sama sekali tidak berarti
di hadapan orang-orang Menoreh.”
Darah yang
telah mendidih, menjadi semakin mendidih, sehingga wajah-wajah orang-orang liar
itu terasa menjadi semakin panas. Tiba-tiba salah seorang dari mereka meloncati
parit itu pula dengan pedang di tangan.
“Aku akan
membunuhmu. Tetapi aku tidak akan berbuat curang. Aku beri kesempatan kau
melawan. Cepat, bersiaplah. Kawan-kawanku akan menjadi saksi.”
“Apakah
sikapmu itu sudah kau pikirkan masak-masak?” jawab gembala itu.
“Kau pasti
akan menyesal. Karena itu, berkelahilah berbareng.”
“Cepat! Aku
hampir tidak dapat menahan diri lagi. Jangan berbicara lagi, supaya aku tidak
segera ingin menyobek mulutmu.”
“Kau juga
hanya berbicara saja. Cepat, lakukanlah.”
Panas hati
laki-laki itu bukan buatan. Selangkah ia maju perlahan-lahan sambil menjulurkan
pedangnya tepat ke wajah gembala yang dianggapnya gila itu sambil berkata,
“Lihat,
mulutmu akan benar-benar aku sobek dengan pedang ini.”
Laki-laki itu
tidak segera ingin menusukkan pedangnya dengan bersungguh-sungguh. Ia hanya
ingin supaya Gupita segera melawannya. Karena itu, maka pedangnya terjulur
perlahan-lahan meskipun benar-benar mengarah ke mulutnya. Tetapi ternyata
laki-laki itu tidak menyangka bahwa Gupita benar-benar berbuat gila. Tanpa di
sangka-sangka anak muda itu merendahkan dirinya, dan benar-benar seperti orang
gila ia melecut tangan laki-laki itu dengan sekuat-kuat tenaganya. Ketika ujung
cambuknya membelit pergelangan tangan lawannya, maka dengan sekuat tenaganya
cambuk itu disentakkannya. Perbuatan itu benar-benar perbuatan yang tidak
diduga oleh siapa pun. Namun ternyata hentakan cambuknya yang tiba-tiba serta
dengan sekuat tenaga itu, membuat pedang lawannya benar-benar terlepas dan
jatuh di tanah. Laki-laki itu menyeringai menahan sakit di pergelangan
tangannya. Ujung cambuk yang membelit tangannya, serta tarikan yang menyentak
itu telah meninggalkan jalur-jalur merah pada pergelangan tangannya.
Terdengar
laki-laki itu menggeram. Matanya benar-benar menjadi semerah darah. Segera ia
meloncat untuk memungut pedangnya. Tetapi sekali lagi, tanpa diduga-duga,
Gupita meloncat dan menginjak hulu pedang itu dengan kakinya, sementara
tangannya dengan membabi buta mengayunkan cambuknya. Anak itu benar-benar
seperti kerasukan setan. Lecutan-lecutan yang menghentak-hentak langsung
memukul laki-laki yang sedang membungkuk untuk memungut pedangnya, tetapi yang
karena injakan kaki Gupita maka ia tidak segera dapat mengambilnya. Sementara
itu, tiba-tiba saja terasa tubuhnya seolah-olah telah dirajang dengan ujung
cambuk tanpa hitungan. Yang terdengar kemudian adalah sebuah jeritan yang seram
bercampur-baur, dengan gemeretak gigi. Laki-laki itu berusaha untuk menghindar.
Secepat-cepatnya ia meloncat mundur. Tetapi sementara ujung cambuk Gupita masih
juga berhasil menyambar wajah, dan lehernya beberapa kali. Peristiwa itu
benar-benar tidak dapat dibayangkan sebelumnya. Seorang gembala yang menjadi
gila dan membabi buta mempertahankan haknya dengan cara yang tersendiri. Ia
tidak berkelahi dengan ilmu tata bela diri yang teratur dari perguruan manapun,
apalagi yang namanya sudah dikenal. Tetapi ia mempergunakan cara seperti
seorang yang kerasukan setan. Kawan-kawannya yang melihat berdiri ternganga,
tanpa berbuat sesuatu. Mereka seolah-olah terpukau oleh peristiwa yang belum
pernah disaksikannya, sehingga justru karena itu, mereka tidak segera dapat
berbuat sesuatu. Baru setelah mereka mendengar kawannya mengerang sambil
mengumpat-umpat, mereka sadar apa yang telah terjadi. Salah seorang dari mereka
telah menjadi sedemikian lemahnya oleh lecutan yang tidak terkendali sama
sekali. Dengan demikian maka sejenak kemudian terdengar setiap mulut menggeram
dengan sorot mata yang seolah-olah memancarkan api. Tetapi mata gembala
itu pun seolah-olah telah menyala pula.
Giginya pun menjadi gemeretak. Sejenak dipandanginya setiap wajah yang berdiri
berjajar di hadapannya. Satu demi Satu. Sedang dikeningnya mengalir titik-titik
keringat membasahi wajah.
Laki-laki yang
kekurus-kurusan, yang pendek berwajah mengerikan, yang bertubuh sedang dan
berdahi seperti lapangan, yang berkumis dan berjambang lebat, dan yang
lain-lainnya, masih terpukau di tempatnya. Namun tangan mereka menjadi gemetar
seperti jantung di dada mereka yang serasa akan meledak.
Tetapi, sekali
lagi orang-orang liar itu dicengkam oleh keadaan yang tidak di
sangka-sangkanya. Tiba-tiba saja gembala itu meloncat dan berlari secepat dapat
dilakukan meninggalkan lawan-lawannya. Yang terdengar kemudian adalah suaranya
melengking,
“Aku tidak
sempat melayani kalian lebih lama lagi. Lain kali kita akan bertemu. Agaknya
ayahku telah berhasil menyembunyikan kambing-kambingku. Kalian tidak akan dapat
menemukannya, sebab perhatian kalian terikat kepadaku.”
Namun
orang-orang itu segera menyadari keadaan. Tanpa berjanji segera mereka
berloncatan, berlari mengejar Gupita. Tetapi agaknya langkah Gupita cukup
cepat, sehingga jarak mereka semakin lama tidak menjadi semakin dekat, tetapi
justru menjadi semakin jauh.
“Kau tidak
akan lepas dari tangan kami,” teriak laki-laki yang agak pendek. Tetapi ia
sendiri tidak yakin bahwa hal itu dapat mereka lakukan. Sebab ternyata Gupita
kini menjadi kian jauh. Anak itu ternyata cukup berpengalaman, berlari-lari di
atas pematang yang basah dan licin.
“Setan alas!”
yang kekurus-kurusan mengumpat. Nafasnya menjadi tersengal-sengal.
“Anak itu
benar-benar anak setan.”
Akhirnya
orang-orang itu berhenti mengejar. Di antara mereka mengumpat tidak
habis-habisnya. Dan bahkan yang berkelahi melawan Gupita dan tubuhnya telah
dirajang dengan ujung cambuk berkata,
“Anak itu
harus mati. Sayang aku menjadi lengah karena aku tidak menyangka bahwa ia akan
menjadi gila seperti itu.”
Kawan-kawannya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi yang berkumis dan berjambang berkata,
“Tidak. Jangan
disangka ini suatu kebetulan. Aku tidak percaya bahwa gembala itu adalah
seorang gembala yang dungu. Aku tidak percaya bahwa karena tingkahnya yang
membabi buta itu ia mampu melakukan ini semua. Merampas pedang dan kemudian
menjelajahi tubuh itu dengan ujung cambuknya. Dua kali kita telah tertipu
selama kita berada di Menoreh. Aku telah tertipu oleh gadis yang bernama Pandan
Wangi itu sehingga pada gerak yang pertama, kedua tanganku telah terluka.
Sekarang salah seorang dan kita telah terkelabuhi pula oleh anak muda yang
mengaku dirinya seorang gembala itu. Tidak. Aku tidak percaya bahwa ia sekedar
seorang gembala yang dungu. Lihat, apakah kita berhasil mengejarnya? Lihat
apakah kita akan dapat menemukan kambing-kambingnya lagi yang katanya telah
disingkirkan oleh ayahnya? Siapakah ayahnya itu, dan kenapa kita sama sekali
tidak melihat bagaimana caranya menyingkirkan kambing-kambingnya?”
Kawan-kawannya
tertegun mendengar keterangan itu. Barulah kini mereka berpikir, bahwa gembala
itu pasti bukan hanya sekedar seorang gembala, pasti bukan. Meskipun ia
berkelahi dengan cara yang liar, namun saat-saat yang menentukan yang
diambilnya, benar-benar hasil dari perhitungan yang matang.
Orang berkumis
itu berkata pula,
“Apakah kau
sangka suatu kebetulan pula bahwa ia terjatuh ketika kepalanya hampir tersentuh
pedang yang terayun demikian derasnya? Pasti tidak.”
Kawan-kawannya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Hampir berbareng mereka bergumam, “Ya, pasti
tidak.”
“Karena itu,
kita harus menemukannya. Betapa cepat larinya, ia pasti tidak akan pergi
terlampau jauh dari kawanan kambing-kambing itu. Dan betapa cepat lari kawanan
kambing-kambing itu, pasti masih belum terlampau jauh. Dan kambing-kambing itu
pasti tidak akan secerdik gembalanya, untuk bersembunyi sambil menenggang nafasnya.
Seandainya kita hanya menemukan kambing-kambingnya dan tidak menemukan
orangnya, biarlah kita pakai sebagai penawar kejengkelan di dalam hati.”
Kawan-kawannya
mengerutkan keningnya. Tetapi mereka pun
bersetuju. Kalau terpaksa mereka tidak dapat menemukan Gupita, maka cukuplah
kiranya mereka menangkap kambing-kambingnya saja.
Demikianlah,
maka segera mereka berjalan kembali. Diikutinya lah jejak kawanan
kambing-kambing yang telah tidak tampak lagi, lari ke balik rerumputan. Tetapi
jejak-jejaknya masih dapat dilihat dengan jelas, jejak kambing itu
berbondong-bondong menyeberangi jalan. Ternyata bahwa dugaan mereka benar.
Kambing-kambing itu memang tidak secerdik orangnya. Kambing-kambing itu tidak
dapat berusaha untuk menghilangkan atau menyembunyikan jejaknya. Tetapi yang
mengejutkan mereka adalah, bahwa di belakang sekelompok jejak kambing itu
terdapat jejak seseorang.
“Orang inilah
yang disebut ayahnya, yang berusaha menyembunyikan kambing-kambing itu,” desis
salah seorang dari mereka.
“Ya,” jawab
yang lain.
“Tetapi
hati-hatilah. Orang itu bukan orang kebanyakan. Seandainya benar ia seorang
gembala, maka ia adalah gembala yang memiliki kekhususan. Ia adalah seorang
gembala yang tangguh.”
Kawan-kawannya
tidak menjawab. Mereka berusaha berjalan semakin cepat. Mereka mengharap bahwa
mereka akan dapat menemukan, setidak-tidaknya beberapa ekor kambing. Sehingga
dengan demikian, maka sakit hati mereka agak dapat diobati. Ternyata
kambing-kambing itu sama sekali tidak menyadari apa yang sedang terjadi. Mereka
tidak tahu, bahwa orang yang menggembalakannya sedang melakukan sebuah
permainan yang berbahaya. Karena itulah, maka mereka pun tidak berusaha untuk
berdiam diri. Beberapa ekor di antaranya, tanpa prasangka apa pun telah mengembik sahut-menyahut.
“Sst, sst,”
seorang gembala tua mencoba menenteramkan kambing-kambing itu. Tetapi ternyata
tidak berhasil. Mereka masih saja mengembik-embik dan bahkan berkejar-kejaran.
“Sst, sst,”
gembala tua itu menjadi berdebar-debar. Ia memang mempunyai dugaan, bahwa
langkahnya akan diikuti oleh orang-orang yang tadi berkelahi melawan Gupita.
Tetapi
kambing-kambing itu sama sekali tidak menghiraukannya. Beberapa ekor kambing
yang masih sangat muda, berteriak-teriak memanggil induknya, dan induknya pun
menyahut tidak kalah kerasnya.
“Sst, sst,”
gembala tua itu masih mencoba. Tetapi ia sama sekali tidak berhasil membungkam
kambing-kambingnya yang masih saja berbuat sekehendak mereka sendiri.
Tiba-tiba
gembala tua itu terkejut. Ketika ia berpaling, dilihatnya beberapa wajah yang
keras dan kasar menjenguk dari balik dedaunan.
“Nah, ke mana
kau akan lari?” terdengar salah seorang dari mereka menggeram.
Gembala tua
itu berdiri dengan lutut gemetar. Dipandanginya saja wajah-wajah yang kasar dan
keras itu, tanpa dapat mengucapkan sepatah kata pun.
“Di mana
Gupita?” bentak yang lain, yang kekurus-kurusan. Gembala tua itu tidak segera
menyahut. Wajahnya memancarkan kecemasan dan ketakutan yang tidak terhingga.
Tampak bibirnya bergerak-gerak, seperti orang kedinginan, tetapi tidak sepatah
kata pun meloncat dari mulutnya.
“Di mana
Gupita?” bentak yang agak pendek.
Perlahan-lahan
orang tua itu menggelengkan kepalanya. Dengan suara bergetar ia menjawab,
“Aku tidak
tahu, Tuan. Bukankah tadi, Gupita ada bersama Tuan. Aku hanya sekedar
bersembunyi bersama-sama dengan kambing-kambing ini.”
“Bohong! Kau
pasti tahu, di mana Gupita bersembunyi.”
“Apakah ia
bersembunyi?” gembala tua itu justru bertanya.
“Ya, ia lari
dan bersembunyi.”
“Di mana ia
bersembunyi, Tuan?”
“Ia berlari ke
sana, ke arah pohon cangkring di sudut padesan, di sebelah. Kami kehilangan
jejaknya, dan kami mencoba mencari saja kambing-kambingnya.”
“Ternyata Tuan
lebih tahu daripada aku. Kenapa Tuan bertanya kepadaku tentang anak bengal
itu?”
Sejenak
orang-orang itu terbungkam. Ternyata mereka tidak dapat menjawab pertanyaan
itu. Yang dapat mereka lakukan hanyalah saling berpandangan sesaat.
“Bohong!”
tiba-tiba yang berdahi lebar membantah.
“Kau pasti
tahu ke mana anak itu pergi. Bukankah anak itu kawanmu menggembala? Bahkan anak
itu menyebutmu ayah? Apakah ia anakmu?”
“Ya, Tuan.
Anak itu adalah anakku. Tetapi aku benar-benar tidak tahu ke mana ia berlari.
Kami sama sekali tidak berjanji apa pun
untuk menghadapi persoalan yang tiba-tiba saja kami jumpai ini, sehingga aku
tidak tahu apakah yang dikerjakan oleh anak dungu itu. Aku hanya melihat ia
berada di antara Tuan, kemudian aku pergi menjauhkan kambing-kambing ini dan
menjauhkan diriku sendiri.”
“Bohong,
bohong! Kalau kami tidak dapat menemukan Gupita, maka kau akan kami ambil sebagai
gantinya. Kau harus menanggung kesalahannya. Dan kau harus menerima
hukumannya.”
“Tidak, Tuan.
Jangan,” minta orang tua itu hampir merintih.
“Dan apakah
sebenarnya kesalahan anak itu terhadap Tuan?”
Sekali lagi
orang-orang itu tidak dapat menjawab. Bahkan pertanyaan itu terulang di dalam
dada mereka,
“Apakah
sebenarnya kesalahan anak itu?”
Tetapi mereka
sama sekali tidak menghiraukan gema yang memantul dari dinding hati itu. Orang
yang berkumis dan berjambang segera berteriak,
“Anak itu
telah berani melawan kehendak kami. Kami tidak pernah gagal untuk memenuhi
kehendak kami. Tetapi anak itu mencoba membantahnya, dan kau mencoba
menyembunyikan kambing-kambing itu.”
“Apakah
keinginan Tuan itu?”
“Kambing-kambingmu
semua. Tetapi karena Gupita telah membuat kami marah, maka tuntutan kami
sekarang adalah kambing-kambingmu semua dan Gupita atau kau, Kakek tua.”
“Jangan,
Tuan,” sekali lagi orang tua itu merintih.
“Aku tidak
peduli meskipun kau akan menangis sambil mencium ujung kakiku. Selama Gupita
masih belum tertangkap, kau harus berada bersama kami. Apabila kesabaran kami
kemudian habis, maka kaulah yang akan menerima hukuman kami.”
“Tetapi,
tetapi aku tidak bersalah, Tuan, dan anakku
pun tidak bersalah. Anakku hanya lari dan bersembunyi. Apakah itu
kesalahan yang harus dipertanggung-jawabkannya?”
“Apa?” teriak
laki-laki yang tubuhnya dijalari oleh jalur-jalur bekas lecutan cambuk Gupita.
“Kau sangka
anakmu hanya lari dan bersembunyi? Lihat, seluruh tubuhku menjadi merah biru.”
Orang tua itu
mengerinyitkan alisnya, “Kenapa, Tuan?”
“Inilah pokal
anakmu sebelum lari. Dengan membabi buta ia mencambuk tubuhku tanpa aku
sangka-sangka. Kemudian ia berlari meninggalkan kami dan bersembunyi.”
“Apakah anak
itu berhasil mengenai Tuan?”
“Kenapa kau
bertanya, Kakek tua? Kau lihat sendiri, betapa tubuhku menjadi berjalur-jalur
merah hitam.”
Orang tua itu
menggeleng-gelengkan kepalanya sambil berdecik.
“Anak itu luar
biasa. Aku tidak menyangka, bahwa ia mampu melakukannya. Ternyata ia memiliki
keberanian berbuat.”
“Apa, apa yang
kau katakan tentang anak itu? Kau heran dan kagum akan keberaniannya? Anak gila
itu kemudian lari. Lari dan bersembunyi. Itukah keberanian yang kau katakan
itu?” Orang itu berhenti sejenak. Nafasnya menjadi terengah-engah menahan
marah. Lalu,
“Karena itu,
kau harus aku tangkap. Kalau anakmu tidak segera datang, kau akan mendapat
hukum cambuk seperti anakmu mencambuk aku. Bahkan sepuluh kali lipat.”
“Jangan, Tuan,
jangan.”
“Aku tidak
peduli. Sekarang, sebelum kami menentukan hukuman itu kau harus membawa
kambing-kambingmu bersama kami. Dengan demikian kau akan mendapat keringanan
hukuman sekedarnya.”
“Tetapi,
tetapi,” orang tua itu berkata terpotong-potong.
“Tetapi
kambing-kambing itu adalah milik kami yang paling berharga, Tuan. Kalau
kambing-kambing itu Tuan ambil, kami akan kehilangan milik kami. Hidup kami
akan menjadi semakin miskin, dan mungkin kami akan kehilangan sumber makan kami
sekeluarga, karena kami tidak dapat menjual setiap kali untuk membeli
kebutuhan-kebutuhan kami sehari-hari.”
Jawaban orang
tua itu sama sekali tidak dihiraukan oleh orang-orang yang keras dan kasar itu.
Mereka sama sekali tidak peduli, apakah hal itu akan menutup kemungkinan bagi
keluarga orang tua itu untuk mendapat makan, atau kemungkinan apapun. Mereka
hanya ingin kehendak mereka terpenuhi, meskipun sangat merugikan bagi orang
lain. Karena itu orang yang kekurus-kurusan berkata,
“Jangan banyak
bicara. Ikut kami bersama kambing-kambingmu.”
“Jangan, Tuan.
Anak-anak dan isteriku akan menunggu aku pulang bersama dengan kambing-kambing
itu. Kalau kambing-kambing itu tidak pulang, apalagi bersama aku, maka hidup
mereka akan terguncang. Mereka tidak akan dapat mencari makan. Dan milik mereka
yang paling berharga telah hilang pula.”
“Jangan banyak
bicara!” teriak yang agak pendek.
“Kalau kau
membantah sekali lagi, mulutmu akan aku remas sampai hancur.”
Orang tua itu
menggigil. Wajahnya menjadi tegang. Agaknya ia masih ingin berbicara, tetapi
kedua telapak tangannya menutupi mulutnya.
“Cepat!”
teriak yang lain.
Tetapi orang
tua itu belum beranjak dari tempatnya. Ia masih berdiri gemetar di tempatnya
dengan wajah yang tegang. Kedua telapak tangannya masih saja menutup mulutnya.
“Cepat! Atau
aku cambuk kau dengan pedang, he?”
Laki-laki tua
itu sama sekali tidak berani berbicara, karena orang yang agak pendek itu
mengancam apabila ia berbicara sepatah kata lagi, maka mulutnya akan diremas
sampai hancur. Namun dalam ketegangan itu, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh
derap kaki seekor kuda. Semakin lama semakin dekat. Suaranya gemeretak di atas
tanah berbatu padas.
“Setan!
Siapakah yang berkuda itu? Sidanti atau Argajaya atau siapa?” bertanya yang
berkumis dan berjambang lebat.
Kawan-kawannya
tidak segera dapat menjawab, sebab mereka
pun ingin bertanya demikian pula. Mereka hanya saling pandang memandang
untuk sejenak. Lalu menggeram hampir bersamaan. Sedang derap kuda itu menjadi
semakin dekat. Seolah-olah mengarah ke tempat mereka.
Tetapi agaknya
kuda-kuda itu sama sekali tidak menuju ke tempat itu. Kuda itu berderap terus,
meskipun agak dekat dari tempat mereka. Tetapi mereka tidak dapat melihat kuda
itu, terhalang oleh pepohonan dan gerumbul-gerumbul di sekitar mereka.
“Siapakah
orang itu?” sekali lagi orang berjambang itu berdesis.
“Apakah ia
sengaja mencari kita di sini?”
Tak ada jawaban.
Namun wajah-wajah itu menjadi semakin tegang. Dan ketegangan itu menjadi
semakin tegang ketika sekali lagi mereka mendengar derap seekor kuda yang lain,
seolah-olah sedang mengejar kuda yang pertama. Berpacu tidak kalah cepatnya,
dan suara derap kakinya pun gemeretak
menyentuh batu-batu padas di sepanjang jalan.
“Apakah yang
telah terjadi?” desis yang kekurus-kurusan.
“Apakah mereka
orang-orang Pandan Wangi yang telah mendengar tentang persoalannya?”
Kawan-kawannya
tidak menyahut. Tetapi ketegangan semakin mencengkam dada mereka. Meskipun
derap kuda yang kedua ini pun semakin
lama menjadi semakin jauh, dan lambat laun lenyap pula dari pendengaran mereka.
“Kita harus
segera kembali,” desis yang berkumis dan berjambang.
“Mungkin kita
harus segera mempersiapkan diri kita. Siapa tahu, Argapati telah mulai
menggerakkan orang-orang karena persoalan Pandan Wangi.”
“Marilah,”
sahut yang lain. “Tetapi kita bawa orang tua ini dan kambing-kambingnya pula.”
Sejenak mereka
saling memandang. Namun kemudian yang seorang lagi berkata,
“Ya, kita bawa
orang tua ini beserta kambing-kambingnya.” Lalu kepada gembala tua itu ia
membentak,
“Cepat,
sebelum aku memenggal lehermu.”
“Tetapi,
tetapi,” gembala tua itu ingin berbicara.
Tetapi
suaranya terpotong, “Tutup mulutmu. Ayo bawa kambing-kambingmu segera bersama
kami.”
Gembala itu
berpaling. Dilihatnya kambing-kambingnya yang gemuk-gemuk sedang makan dengan
asyiknya, rerumputan dan daun-daun muda pada gerumbul-gerumbul di sekitarnya,
di dalam pategalan. Orang tua itu membawa kambing-kambingnya ke tempat itu
untuk bersembunyi dan menyembunyikan kambing-kambing itu, tetapi ternyata
orang-orang itu dapat menemukannya. Agaknya ia tidak dapat berbuat lain
daripada menuruti perintah orang-orang yang buas itu. Membawa kambing-kambingnya
berserta mereka. Betapapun beratnya.
Tetapi sekali
lagi mereka dicengkam oleh ketegangan yang memuncak. Sekali lagi mereka
mendengar derap seekor kuda, dari jurusan yang sama dari kuda-kuda yang telah
mendahuluinya. Berpacu seperti angin. Cepat sekali derap itu mendekat dan lewat
tidak jauh dari tempat itu.
“Gila,” geram
salah seorang dari orang-orang itu.
“Kita harus
melihat siapakah mereka itu. Cepat, kita keluar dari pategalan ini. Tetapi
hati-hati, jangan menampakkan diri kita sebelum tahu siapakah mereka itu.”
Sejenak mereka
tidak mengingat lagi kepentingan mereka dengan kambing-kambing itu.
Perlahan-lahan mereka merayap ke pinggir pategalan, supaya dari atas dinding
batu, mereka dapat melihat lepas menyeberang bulak yang sempit, sampai ke jalan
kecil yang melintas di tengah sawah yang sempit pula. Suara kuda yang berderap
itu, agaknya berasal dari jalan sempit itu. Belum lagi mereka sampai ke pinggir
dinding batu, ternyata suara derap yang sudah hampir tidak terdengar lagi itu
disusul oleh derap kaki-kaki kuda berikutnya. Secepat kuda-kuda yang terdahulu
pula.
“Apakah
artinya ini?” desis yang berdahi lebar. Kawan-kawannya tidak menyahut. Tetapi
mereka merangkak semakin cepat supaya mereka dapat melihat siapakah yang sedang
berkuda dengan cepatnya itu.
Ketika mereka
menjengukkan kepala mereka, ternyata kuda itu telah agak lampau, sehingga
mereka hanya dapat melihat punggung seseorang di atas kudanya yang berpacu
secepat tatit. Nampaknya seorang anak muda dengan pakaian yang baik, dan
sebilah keris di punggungnya. Sejenak keenam orang itu seolah-olah membeku.
Mereka tidak melihat wajah orang berkuda itu, dan mereka tidak dapat
mengenalnya. Lebih daripada itu, mereka sama sekali tidak dapat menduga,
orang-orang siapakah yang berkuda berurutan dari arah dan menuju ke arah yang
sama. Apakah mereka sekelompok orang-orang tertentu, ataukah mereka saling
berkejaran. Wajah-wajah yang kasar itu
pun sejenak menegang. Mereka saling berpandangan, tetapi mereka tidak
menemukan jawaban apa pun pada wajah-wajah yang kasar dan tegang itu. Dalam
kesenyapan itu tiba-tiba yang berkumis dan berjambang menggeram,
“Kita harus
segera kembali. Mungkin sesuatu segera akan terjadi di atas Tanah Perdikan ini.
Mungkin Argapati tidak dapat mengendalikan diri lagi karena Pandan Wangi
mengatakan apa yang telah terjadi atasnya.”
Kawannya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Marilah. Kita memang harus segera
kembali.”
“Tetapi
bagaimana dengan kambing-kambing itu?”
Yang berkumis
dan berjambang mengerutkan keningnya. Tetapi ia kemudian berkata,
“Kita tidak
dapat menunggu lebih lama lagi. Orang-orang berkuda itu merupakan teka-teki
bagi kita. Marilah, lain kali saja kita pasti akan mendapatkannya lebih banyak
dari kambing-kambing itu.”
Ajakan itu
ternyata merupakan yang paling baik buat melepaskan ketegangan hati mereka.
Karena itu, maka ketika orang yang berjambang, dan berkumis itu meloncati pagar
batu, maka yang lain pun segera
berloncatan pula tanpa berpaling lagi kepada sekawanan kambing-kambing yang
sedang asik makan rerumputan. Dengan tergesa-gesa mereka berjalan beriringan
menuju ke rumah Argajaya untuk mendapat penjelasan, apakah yang sudah terjadi?
Apakah api di atas bukit Menoreh memang sudah mulai berkobar? Bagi mereka,
apabila hal itu terjadi lebih cepat, memang lebih baik. Mereka akan segera
lebih leluasa lagi untuk melakukan kehendak mereka. Merampas dan merampok, dan
apa saja selain janji mereka membantu Sidanti mengalahkan Argapati.
Sementara itu,
Pandan Wangi dan Samekta telah hampir sampai ke pedukuhan induk Tanah Perdikan
Menoreh. Dengan berdebar-debar mereka mempercepat langkah kuda-kuda mereka.
Mereka ingin segera sampai kepada Argapati, supaya orang tua itu tidak
terlampau cemas menunggu puterinya. Ketika mereka semakin dekat dengan
padukuhan induk, hati mereka menjadi semakin berdebar-debar. Tiba-tiba saja
dari balik dedaunan, mereka melihat ujung-ujung senjata berkilat-kilat. Di
mulut jalan berkumpul beberapa orang pemimpin pengawal Tanah Perdikan, siap
dengan segala perlengkapan perang. Bahkan beberapa ekor kuda dan
perlengkapan-perlengkapan lain yang diperlukan.
“Apakah
artinya ini, Paman Samekta?” bertanya Pandan Wangi.
“Ini adalah
ujud dari kecemasan seorang Kepala Tanah Perdikan yang kehilangan seorang
anaknya,” jawab Samekta.
“Ketika aku
berangkat ayahmu berpesan, supaya aku membawamu pulang. Kalau tidak, maka
pertumpahan darah akan segera terjadi.”
“Ah,” Pandan
Wangi tiba berdesah, “jangan. Jangan, Paman.”
“Tergantung
kepada Ki Argapati dalam menanggapi keadaan ini.”
Wajah Pandan
Wangi tiba-tiba menjadi tegang. Tanpa sesadarnya dilecutnya kudanya dengan
ujung kendali, sehingga kuda itu pun
meloncat, dan berlari semakin cepat.
Ketika mereka
memasuki mulut padukuhan induk, maka Pandan Wangi menjadi semakin
berdebar-debar karenanya. Dilihatnya ujung senjata seperti ujung batang
ilalang. Bertebaran di halaman, di sisi-sisi jalan. Para pengawal Tanah
Perdikan yang masih setia kepada Argapati ternyata sudah benar-benar siap
melakukan tugasnya. Meskipun mereka dipersiapkan dengan tergesa-gesa, namun
karena kesiagaan mereka, maka kekuatan mereka
pun cukup mendebarkan jantung.
Terasa
ketegangan mencengkam dada Pandan Wangi. Sejenak kudanya terhenti ketika ia
menarik kendali. Diedarkannya pandangan matanya di sekitarnya, dan dilihatnya
wajah yang tegang dan menahan kemarahan. Tetapi wajah-wajah itu membayangkan
kelegaan hati ketika mereka melihat Pandan Wangi datang kembali bersama utusan
Ki Argapati, yang bertugas untuk menjemputnya. Tiba-tiba Pandan Wangi terkejut
ketika ia mendengar suara memanggilnya,
“Pandan Wangi.”
Suara itu
adalah suara yang telah sangat dikenalnya. Dan ketika ia berpaling, maka
dilihatnya ayahnya berdiri tegak dengan sebatang tombak pendek di tangannya. Melihat
sikap ayahnya, debar di dada Pandan Wangi terasa semakin berguncang. Ia kenal
sikap itu. Ayahnya dengan tombak pendek itu di tangan, adalah pertanda bahwa ia
sudah siap untuk melakukan apa pun.
“Ayah,”
tiba-tiba Pandan Wangi meloncat turun dari kudanya, dan segera berlari kepada
ayahnya. Seperti kanak-kanak yang mendapat perlakuan yang nakal dari
kawan-kawannya, Pandan Wangi memeluk pinggang ayahnya sambil menangis
tersedu-sedu.
“Apakah yang
sudah terjadi, Wangi?” bertanya ayahnya. Pandan Wangi tidak menyahut. Bahkan
isak tangisnya serasa semakin menyumbat dadanya.
Ki Argapati
menarik nafas dalam-dalam. Dicobanya untuk menenangkan dirinya sendiri, dan
menenangkan hati puterinya.
“Jangan
menangis, Wangi. Berkatalah apa yang telah terjadi denganmu. Aku telah
memerintahkan Pamanmu Samekta, untuk menjemputmu dengan segala macam akibat
yang dapat terjadi. Dan aku kini telah siap, apa pun yang akan dilakukan oleh Sidanti, anak
durhaka itu.”
“Tidak, Ayah,
tidak,” desis Pandan Wangi di sela-sela tangisnya.
“Ayah jangan
tergesa-gesa berbuat sesuatu.”
Ki Argapati
mengerutkan keningnya. Dengan nada yang dalam ia bertanya, “Kenapa, Wangi?”
Sejenak Pandan
Wangi tidak menyahut. Terasa isaknya semakin menyekat dadanya. Ketika ia
melepaskan pelukannya, dan memandang berkeliling, dilihatnya beberapa orang
pemimpin pengawal Tanah Perdikan sedang mengerumuninya. Dari wajah-wajah mereka
memancarlah tekad hati yang bulat, untuk melakukan apa saja yang diperintahkan
oleh Ki Argapati, Kepala Tanah Perdikan Menoreh. Terasa jantung Pandan Wangi
menjadi semakin cepat berdetak. Terbayang di pelupuk matanya, apa yang dapat
terjadi atas Tanah kelahiran ini. Pertumpahan darah dan pepati. Tanah yang
selama ini selalu dinafasi oleh kedamaian dan ketenteraman tiba-tiba kini
bergolak demikian dahsyatnya.
“Pandan
Wangi,” terdengar suara Argapati, “kita sudah tidak mempunyai pilihan lain
daripada ini.”
Pandan Wangi
tidak segera menjawab. Tetapi titik-titik air matanya masih mengalir di
pipinya.
“Apalagi
apabila telah terjadi sesuatu dengan kau. Maka aku sama sekali tidak akan
menunda lagi, meskipun saat purnama naik sudah berada di depan hidungku. Aku
tidak akan menunggu lagi, Betapapun aku akan disebut sebagai seorang yang
kehilangan sifat-sifat kejantananku, karena aku tidak memenuhi janjiku.”
Argapati diam sejenak. Lalu,
“Apakah
terjadi sesuatu atasmu?”
Perlahan-lahan
Pandan Wangi mengangguk lemah.
“He,” wajah Argapati
menjadi semakin merah.
“Katakan,
apakah yang sudah terjadi, supaya hati ini menjadi semakin terbakar oleh
kepastian, bahwa aku akan menghancurkannya.”
Sejenak Pandan
Wangi berpaling. Dipandanginya Samekta yang kini telah berdiri di belakangnya
pula. Dan sejenak kemudian ia mulai menceriterakan apa yang telah dialaminya.
Ketika ia dihentikan oleh orang-orang yang tidak dikenalnya dengan wajah-wajah
yang bengis dan kasar. Terdengar Argapati menggeram. Tangannya menggenggam
tangkai tombaknya semakin erat. Hampir tidak sabar ia mendengarkan Pandan Wangi
masih juga meneruskan ceriteranya.
“Aku bertempur
dengan mereka, Ayah,” desis Pandan Wangi. “Mereka berenam berkelahi
bersama-sama.”
Mata Argapati
kini seakan-akan telah menyala. Dan hanya dengan susah payah ia masih berhasil
menahan dirinya untuk mendengar ceritera puterinya itu. Meskipun semakin lama
dadanya menjadi semakin panas dan bahkan hampir meledak karenanya.
“Tidak ada
pilihan lain. Aku harus mulai sekarang, apa pun yang akan terjadi.”
“Aku belum
selesai Ayah.”
“Aku sudah
tahu akhir dari ceriteramu. Untung Samekta datang tepat pada waktunya, sehingga
ia dapat membantumu melepaskan diri dari tangan mereka,” nada suara Argapati
terlampau dalam, dan datar. Tetapi ketika ia bergerak untuk berbuat sesuatu,
tangannya ditahan oleh puterinya.
“Bukan, bukan
begitu, Ayah,” berkata Pandan Wangi.
Argapati
mengerutkan keningnya. “Bagaimanakah akhirnya?”
Pandan Wangi
berpaling kepada Samekta. Dan tanpa sesadarnya Samekta menggelengkan kepalanya
dan berkata,
“Memang bukan
begitu. Aku datang agak terlambat.”
“Kau
terlambat?” Argapati membelalakkan matanya,
“Jadi kau
tidak dapat menolongnya sama sekali.”
Samekta mengangguk.
Tetapi ia menjawab,
“Aku memang
terlambat Ki Gede, justru setelah Pandan Wangi mendapat pertolongan.”
Ki Gede
Menoreh mengerutkan keningnya. Dan ia mendengar Samekta itu berkata seterusnya,
“Dan Pandan
Wangi itu pun terselamatkan dari
kebuasan orang-orang liar itu.”
“Siapakah yang
telah menolongnya?” suara Argapati seolah-olah tertahan di kerongkongannya.
“Sidanti dan
Argajaya.”
“He,” Argapati
terperanjat sehingga ditatapnya wajah Samekta dengan tajamnya.
“Jadi yang
menolong Pandan Wangi adalah Sidanti dan Argajaya?”
Samekta
menganggukkan kepalanya, “Ya, Ki Gede.”
Argapati
seolah-olah tidak percaya kepada keterangan itu, sehingga kemudian ia bertanya
kepada Pandan Wangi,
“Benar begitu,
Wangi. Yang menolongmu adalah Sidanti dan Argajaya?”
Pandan Wangi
mengangguk. Jawabnya,
“Ya, Ayah.
Kakang Sidanti datang tepat pada waktunya. Pada saat aku hampir menjadi putus
asa.”
“Apakah
Sidanti kemudian berkelahi melawan mereka?”
“Hal itu
hampir saja terjadi,” jawab Pandan Wangi.
“Tetapi
agaknya Ki Tambak Wedi masih berhasil menahan mereka.”
“Tambak Wedi?”
bertanya Ki Argapati.
“Jadi ia hadir
juga ketika itu dan menahan Sidanti dan Argajaya supaya tidak berkelahi?”
“Ya,” jawab
Pandan Wangi. “Tetapi terasa betapa dendam telah membakar hati masing-masing.”
Ki Argapati
menarik nafas dalam-dalam. Bahkan di dalam hati ia berdesah,
“Oh, kenapa
Sidanti dan Argajaya? Kenapa anak itulah yang telah menolong Pandan Wangi,
sehingga aku merasa berhutang budi kepada mereka? Adalah wajib bagiku untuk
mengucapkan terima kasih kepada mereka karena mereka telah melepaskan anakku
dari malapetaka bahkan kematian, meskipun Sidanti itu kakak seibu Pandan
Wangi.”
Perlahan-lahan
wajah Argapati itu menunduk. Perlahan-lahan pula ia melangkahkan kakinya sambil
menjinjing tombaknya, selangkah-selangkah menuju ke mulut lorong yang membelah
padukuhan induk itu. Ketika ia sudah berdiri selangkah di luar padukuhan, ia
berhenti. Dilontarkannya pandangan matanya jauh-jauh ke depan, seolah-olah
ingin dilihatnya langsung rumah adiknya, Argajaya.
Sekali lagi Ki
Gede Menoreh menarik nafas dalam-dalam. Dalam sekali. Dan di dalam hatinya pula
ia berkata,
“Apabila tidak
ada Ki Tambak Wedi, maka persoalannya akan menjadi jauh berbeda.”
Lama sekali Ki
Argapati tidak beranjak dari tempatnya. Tatapan matanya masih saja melekat di
kejauhan. Jauh sekali, sejauh angan-angannya yang membumbung ke daerah yang
tidak bertepi. Pandan Wangi merasakan, betapa benturan-benturan yang dahsyat
telah terjadi di dalam dada ayahnya. Persoalannya telah mendorong ayahnya
menjadi semakin jelas bahwa di Tanah ini telah hadir kekuatan-kekuatan dari
luar rangkah, yang justru akan menambah kemelutnya keadaan. Tetapi ia tidak
segera dapat berbuat banyak atas Sidanti dan adiknya Argajaya, apalagi setelah
mereka menolong Pandan Wangi sendiri dari kehancuran mutlak, bahkan
melepaskannya dari maut yang akan ditentukannya sendiri. Ki Argapati masih
tegak berdiri di tempatnya. Tampaklah di dalam rongga matanya seolah-olah
gelembung-gelembung udara yang bergerak-gerak. Dalam terik matahari yang
membakar di siang hari, Ki Argapati merasakan betapa panasnya hati yang membara
di dalam dadanya.
Beberapa orang
berdiri tegak di belakangnya. Mereka telah bersiap menunggu perintah. Dan
bahkan Pandan Wangi pun kini telah
berdiri selangkah di sampingnya. Sekali-sekali Pandan Wangi ikut, sekali-sekali
ditatapnya wajah Ayahnya yang keras seperti batu padas serta memandang ke
kejauhan, ke dalam terik sinar matahari dan di pegunungan, tidak larut oleh
titik-titik air hujan, dan tidak retak dibakar terik matahari. Setiap dada
menjadi berdebar-debar karenanya. Keheningan itu berpusar kepada Ki Gede
Menoreh, yang dadanya sedang bergetar dengan dahsyatnya. Setiap katanya kini
akan menentukan apakah yang akan terjadi di atas Bukit Menoreh itu. Apakah
bukit itu akan dibakar oleh api peperangan, ataukah pengawal-pengawal yang telah
siap untuk melepaskan senjata-senjatanya akan ditarik kembali ke dalam kubunya.
Perlahan-lahan matahari bergeser di langit yang cerah. Semakin lama semakin
condong ke Barat. Bayang-bayang dedaunan dan pepohonan mendadak semakin lama
semakin panjang.
Ki Argapati
masih berdiri mematung. Wajahnya menjadi basah oleh keringat yang merentul di
keningnya. Kulitnya pun kini telah
menjadi semerah warna tembaga. Ki Argapati adalah seorang pemimpin yang tegas.
Yang menentukan sikap tanpa ragu-ragu, apabila perhitungannya sudah menentu. Ia
dapat berbuat apa saja untuk kepentingan Tanah Perdikannya. Bahkan kalau perlu
kekerasan.
Tetapi dada Ki
Argapati kini dibakar oleh keragu-raguan yang dahsyat. Perasaan yang hampir
tidak pernah dikenalinya sebelumnya. Tetapi karena ia sadar akan akibat
tindakannya kali ini, maka justru karena itulah ia menjadi ragu-ragu. Sudah
tentu ia sama sekali tidak menginginkan Tanah yang dibinanya selama ini akan
dimakan oleh benturan di antara mereka sendiri. Sudah tentu ia tidak ingin melihat
api akan menjilat langit di atas Tanah Perdikan Menoreh, dan menelan rumah, dan
lumbung-lumbung padi. Sudah tentu ia tidak ingin melihat batang-batang padi
muda yang sedang menghijau di sawah-sawah akan disasak oleh kaki-kaki kuda yang
mendukung orang-orang bersenjata di atas punggungnya. Dan sudah tentu hatinya
akan menjadi terlampau pedih melihat air-air di parit-parit yang jernih,
sejernih embun, akan berwarna merah karena dinodai oleh darah yang mengalir
dari luka di dada. Ketegangan yang dahsyat telah melanda setiap jantung. Mereka
menunggu, dan menunggu. Sedang Argapati masih berdiri tegak bagaikan patung
yang mati. Akhirnya ketegangan itu memuncak ketika tiba-tiba Ki Argapati
memalingkan wajahnya. Dipandanginya pengawal-pengawal Tanah Perdikan yang
berada di belakangnya, yang tersebar di halaman-halaman, dan yang berkumpul di
belakang gardu. Dipandanginya ujung-ujung senjata yang berkilat-kilat di
sela-sela pepohonan, dan yang mencuat di atas dinding-dinding batu. Sejenak ia
diam membisu, kemudian menarik nafas dalam-dalam. Dalam sekali. Para pemimpin
pengawal yang berdiri dekat di belakangnya menjadi berdebar-debar. Mereka
menduga-duga perintah apakah yang akan diterimanya. Mereka sudah tidak ada
pilihan lain. Mereka tidak dapat menunggu anak harimau itu menjadi dewasa dan
buas, yang kelak akan dapat menerkam mereka itu sendiri. Perlahan-lahan Ki
Argapati memanggil Samekta dan beberapa orang lainnya dengan isyarat tangannya.
Kemudian dipanggilnya pula Pandan Wangi mendekat. Ia tidak dapat melepaskan
pertimbangan puterinya. Dan ia tidak dapat menutup kenyataan bahwa Sidanti dan
Pandan Wangi adalah dua orang bersaudara yang lahir dari ibu yang sama.
Ketika
orang-orang itu telah dekat sekali di samping dan di belakangnya, terdengar
suaranya parau,
“Kita urungkan
pertumpahan darah hari ini.”
Kata-kata itu
menggetarkan setiap hati para pengawal itu. Sejenak mereka terpaku diam di
tempatnya. Mereka sama sekali tidak mengharap bahwa tindakan Ki Argapati atas
orang-orang yang sudah jelas melawannya itu tertunda. Beberapa pasang mata
kemudian hinggap pada wajah Pandan Wangi, seolah-olah ingin berkata kepadanya,
bahwa gadis itulah agaknya yang menunda tindakan yang seharusnya dilakukan oleh
ayahnya. Bahkan saat ini pun sudah agak
terlambat menurut perhitungan para pengawal itu. Karena itulah, maka tidak
seorang pun yang segera beranjak dari
tempatnya. Para pengawal itu masih berdiri dengan wajah dan hati yang tegang.
“Kita masih
harus menunda tindakan ini,” sekali lagi mereka mendengar Ki Argapati berdesis.
Beberapa orang
menundukkan kepalanya sambil menggigit bibirnya. Bahkan salah seorang dari
mereka bertanya dengan suara gemetar,
“Kenapa kita
masih harus menundanya Ki Gede?” Ki Gede Menoreh tidak segera menjawab. Tetapi
tatapan matanya sekali lagi menembus terik matahari hinggap di kejauhan yang
seolah-olah tidak bertepi.
Baru sejenak
kemudian terdengar suaranya dalam,
“Aku akan
memberitahukan kemudian. Tetapi jangan tinggalkan kesiap-siagaan. Besok malam,
purnama akan naik. Aku akan mendapatkan kepastian, pada saat purnama itu turun,
dan hilang di balik bukit.”
Para pengawal
itu saling berpandangan sejenak. Besok malam memang purnama akan naik. Saat itu
seolah-olah mempunyai arti yang luar biasa bagi Ki Argapati. Beberapa orang
memang pernah mendengar, meskipun tidak jelas, bahwa Ki Gede Menoreh pernah
berjanji bahwa mereka akan menunggu purnama naik.
“Hari itu
adalah hari yang menentukan masa depan Tanah Perdikan ini,” desis Ki Gede
kemudian.
Dada Pandan
Wangi tiba-tiba berdesis mendengar saat yang diucapkan oleh ayahnya. Saat
purnama naik, saat ayahnya akan bertemu dengan Ki Tambak Wedi. Tiba-tiba terasa
bulu-bulu di seluruh tubuh gadis itu meremang. Betapa ia menjadi ngeri,
membayangkan apakah yang akan terjadi dengan ayahnya pada saat yang telah
ditentukannya itu. Sejenak Pandan Wangi terpukau diam karena angan-angan
tentang saat yang mendebarkan jantung itu. Berbagai bayangan hilir mudik di
dalam rongga matanya. Sejenak ia terkenang yang pernah diceriterakan ayahnya
kepadanya, pada saat purnama naik beberapa puluh tahun yang lampau, seumur
kakaknya Sidanti. Pada saat ayahnya bertempur melawan Ki Tambak Wedi untuk
kehormatan nama masing-masing. Pertempuran yang dahsyat sekali, yang tidak
dapat ditentukan siapakah yang akan menang dan siapakah yang akan kalah. Peristiwa
itu besok malam akan terulang lagi di bawah Pucang Kembar. Ayahnya akan
bertempur pula melawan Ki Tambak Wedi. Seorang lawan seorang untuk
mempertaruhkan harga diri masing-masing, dalam mempertahankan sikap dan
tindakan. Sepercik kecemasan telah menusuk jantung Pandan Wangi dengan
tajamnya, sehingga tanpa sesadarnya gadis itu memegang dadanya. Dan tanpa
sesadarnya pula Pandan Wangi menggigit bibirnya keras-keras. Sekali lagi ia
merasa berdiri di persimpangan jalan yang sama-sama menuju ke dalam lembah yang
gelap. Betapa sulitnya untuk memilih jalan yang akan ditempuhnya. Yang berdiri
berhadapan dengan ayah kandungnya adalah kakaknya sendiri. Kakak seibu. Yang
selama ini dicintainya sepenuh hati. Baru setelah ibunya itu meninggal, ia
melihat seberkas noda melekat pada warna yang selama ini dianggapnya putih
bersih, sebersih bunga menur.
Namun
tiba-tiba Pandan Wangi itu meloncat berlari memeluk ayahnya sambil berkata di
antara isak tangisnya,
“Tidak, Ayah.
Jangan ditunda. Sebaiknya sekarang Ayah bertindak sebelum terlambat. Sebelum
besok Ayah sampai pada saat purnama naik.”
Ki Argapati
terperanjat. Sejenak ia berdiri mematung. Namun kemudian ia dapat menangkap
perasaan puterinya, Pandan Wangi mencemaskan nasibnya besok apabila ia harus
bertempur melawan Ki Tambak Wedi di bawah Pucang Kembar.
“Ayah jangan
menunggu Ki Tambak Wedi beserta orang yang tidak kita kenal itu mendahului
Ayah. Karena itu, Ayah harus melakukannya sekarang.”
Ki Argapati
menahan nafasnya. Perlahan-lahan tangannya bergerak membelai rambut anaknya.
Dengan nada yang berat ia berkata,
“Tidak, Wangi.
Aku tidak dapat melakukannya sekarang. Aku ingin sampai pada janjiku dengan Ki
Tambak Wedi. Sesudah itu, barulah aku akan melakukannya.”
“Tetapi,
tetapi …………” suara Pandan Wangi patah di tengah.
“Aku tahu yang
kau cemaskan, Wangi. Bagaimanakah seandainya aku tidak dapat lepas dari
perkelahian itu, dan untuk seterusnya aku akan kehilangan kesempatan
mempertahankan Tanah ini?”
“Ayah,” Pandan
Wangi memekik kecil.
“Jangan kau
cemaskan. Aku akan berusaha sebaik-baiknya agar aku masih berkesempatan untuk
mempertahankan Tanah ini. Aku akan berusaha. Apabila usahaku tidak berhasil,
maka demikianlah takdir yang harus aku jalani. Tetapi aku tidak menyerah tanpa
melakukan sesuatu. Dan aku siap untuk melakukannya. Jangan kau cemaskan aku,
Wangi.” Ki Argapati berhenti sejenak. Tatapan matanya masih jauh hinggap pada
tempat yang tidak terbatas. Titik-titik keringat mengembun di kening dan
dahinya.
“Tetapi Ayah
harus bertindak cepat, sebelum Ki Tambak Wedi sempat mempersiapkan diri.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar