Jilid 059 Halaman 1


SESEORANG bergumam di dalam hatinya
“Setan” ternyata anak Pemanahan itu lebih biadab dari orang-orang Kiai Damar. Mereka lebih kejam dari Kiai Damar sendiri.
Terasa seakan-akan detak jantung di dalam dada mereka menjadi semakin keras, seperti bunyi bedug yang dipukul sekuat tenaga. Dalam pada itu, Sutawijaya yang duduk di belakang serambi masih saja berdiam diri. Namun kemudian ia pun berkata kepada seorang pengawalnya,
“Bawa orang ini menyingkir. Jangan kau kembalikan kepada kawannya.”
“Jadi, ke mana orang ini kami bawa?” bertanya pengawalnya.
Sutawijaya merenung sejenak. Lalu
“Bungkus orang itu dengan kainnya, dan angkatlah ke dalam barak. Baringkan ia di sudut yang agak terpisah.”
“Aku dapat berjalan sendiri tuan,” berkata orang berdahi lebar itu.
“Tentu. Kau tentu dapat berjalan sendiri. Tetapi aku menghendaki, kau diangkat di atas pundak salah seorang pengawalku.”
Sura Mudal itu tidak dapat membantah lagi. Ia kini tahu juga maksud Raden Sutawijaya, yang ingin menakut-nakuti kawannya agar mereka menyangka, bahwa ia sendiri sudah tidak berdaya, atau bahkan sudah mati. Sura Mudal yang masih cukup kuat itu pun kemudian dibungkus dengan kain panjangnya. Meskipun cukup berat, namun ia pun kemudian diangkat di atas pundak salah seorang pengawal Sutawijaya.
“Kakekku tidak pernah mendukungku begini,” desis pengawal yang membawanya.
Sura Mudal sendiri hampir saja tersenyum. Tetapi kemudian ia menyeringai karena luka-lukanya yang terasa sakit tersentuh tangan pengawal yang mengangkatnya itu. Apalagi ia menjadi terlampau sesak untuk bernafas karena kain panjangnya menutup seluruh tubuh dan kepalanya.

Ternyata Sura Mudal yang dibungkus dengan kain panjangnya sendiri itu membuat kawannya hampir pingsan karenanya. Mereka melihat orang berdahi lebar itu dengan lemahnya tersangkut di pundak seorang pengawal yang membawanya langsung masuk ke dalam barak. Di bawah tangga pengawal itu berdesis kepada kawannya yang menjaga tawanan yang lain,
“Jangan ada yang dapat melihat orang ini.”
Kawannya menganggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab. Beberapa orang dari orang-orang yang terluka itu seolah-olah merasa tubuhnya menjadi semakin sakit dan pedih karena luka-lukanya. Mereka merasa bahwa nasib mereka menjadi terlampau buruk. Mereka ternyata jatuh di tangan orang yang paling kejam yang pernah mereka temui, meski pun selama ini mereka hidup di dalam lingkungan yang seakan-akan liar.
“Orang-orang yang merasa dirinya beradab itu pun mampu melakukan kebuasan yang paling liar,” desis mereka.
Dalam pada itu, Sutawijaya masih duduk di belakang gardu. Beberapa saat ia merenung pula. Namun kemudian ia berkata,
“Di daerah Selatan perlu juga untuk mendapat perlindungan. Tetapi kita tidak mendapat kesempatan untuk pergi saat ini. Daerah ini perlu mendapat perlindungan khusus untuk sementara.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan Sutawijaya berkata selanjutnya,
“Kalau di daerah ini ada Kiai Damar, di daerah Selatan ada seorang dukun yang bernama Kiai Tapak Jalak.”
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Ia sudah pernah mendengar nama Kiai Telapak Jalak. Ia pernah mendengar beberapa orang peronda yang datang ke rumah Kiai Damar menyebut nama itu Kiai Telapak Jalak, seorang dukun pula seperti Kiai Damar di daerah Selatan. Namun dengan demikian Kiai Gringsing pun dapat menduga bahwa tugas Kiai Telapak Jalak, tidak lebih dan tidak kurang adalah sama dengan tugas Kiai Damar di daerah ini. Dengan demikian, maka pasti ada orang yang lebih tinggi lagi dari keduanya. Mungkin orang yang berjambang lebat seperti dikatakan oleh orang berdahi lebar yang bernama Sura Mudal itu.

Karena Kiai Gringsing tidak menyahut, maka Sutawijaya pun berkata pula,
“Agaknya baik Kiai Damar maupun Kiai Telapak Jalak telah berusaha untuk membuat dirinya disaput oleh rahasia. Kelebihan-kelebihan yang tidak masuk akal. Dengan demikian ia akan dapat mempengaruhi sikap bawahannya terhadapnya. Ternyata bukan orang-orang di dalam barak ini sajalah yang telah ditakut-takutinya. Tetapi orang-orangnya sendiri pun telah dikelabuinya. Bagaimana mungkin Sura Mudal berpendapat dan mempercayainya bahwa Kiai Damar pernah berganti. Entah secara wadag entah secara halus. Kalau Sura Mudal mengatakan bahwa Kiai Damar pernah mati dan hidup lagi, maka sudah pasti hal itu di maksudkan untuk memperkuat anggapan anak buahnya, bahwa Kiai Damar benar-benar seorang yang luar biasa. Yang mengerti apa yang tidak dimengerti oleh orang lain, yang mengenal apa yang tidak dikenal oleh orang lain.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya,
“Ternyata usahanya itu sedikit banyak dapat berhasil. Ia berhasil menguasai orang-orangnya dan menggerakkannya di daerah hutan yang sedang dibuka ini.”
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ketika ia berpaling, memandang wajah Ki Sumangkar, dilihatnya kerut-merut yang dalam tergores di keningnya. Tetapi Sutawijaya tidak menegurnya. Ia mengerti, apa yang dipikirkan oleh orang tua itu. Orang tua itu adalah seorang penghuni Kepatihan Jipang. Bahkan seorang saudara seperguruan dengan Patih Mantahun, Patih yang sangat taat dan setia kepada Adipati Jipang, Arya Penangsang. Arya Penangsang yang telah dibunuhnya, dibunuh oleh Sutawijaya dengan ujung tombak. Karena pembunuhan itulah maka Pemanahan mendapat Tanah Matatam. Tanah yang kini sedang dibuka. Tetapi Sutawijaya percaya, bagaimana pun juga perasaan pedih dan sakit tersangkut di hati orang tua itu, namun kini Sumangkar bukan orang yang berdiri berseberangan dengan usahanya membuka tanah ini, sebagai hadiah karena kematian Arya Penangsang. Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Meski pun ia tidak tahu pasti apa yang tersimpan di dalam setiap dada, namun ia percaya, bahwa tanggapannya itu tidak begitu jauh dari kebenaran.

Untuk sejenak, kembali mereka terlempar dalam kebekuan. Masing-masing menerawangi angan-angan sendiri dalam warna yang berbeda-beda. Sutawijaya pulalah yang pertama-tama berbicara di antara mereka.
“Baiklah. Untuk selanjutnya kita tidak dapat duduk berdiam diri saja. Kita harus bersiap menghadapi kemungkinan lain yang dapat terjadi.”
Seperti orang-orang yang terbangun dari tidurnya, maka yang lain pun kemudian mengangguk-anggukkan kepala. Ketika Sutawijaya berdiri, maka Kiai Gringsing dan murid-muridnya serta Sumangkar pun berdiri pula.
“Bagaimana dengan orang-orang di barak ini?” bertanya Sutawijaya kemudian kepada pemimpin pengawas yang terluka itu.
“Apa maksud Tuan?”
“Setelah mereka menyadari, bahwa selama ini mereka telah diperdayakan oleh hantu-hantuan itu?”
“Mereka marah, Tuan. Hampir saja orang-orang yang terluka itu mereka cincang.”
“Bagus,” desis Sutawijaya. Dan pemimpin pengawas itu menjadi heran karenanya. Namun Sutawijaya segera melanjutkannya,
“Kita harus memanfaatkan mereka. Aku tidak yakin bahwa sebenarnya mereka penakut. Mungkin mereka merasa tidak akan dapat berbuat apa-apa terhadap hantu-hantu. Tetapi terhadap orang-orang yang menjadikan dirinya hantu, mereka tidak akan takut.”
“Ya, Tuan,” pemimpin pengawas itu menganggu-anggukkan kepalanya, “aku kira begitu.”
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian kepada Truna Podang ia berkata,
“Marilah, kita mencoba menjajagi perasaan mereka. Bagaimana pendapatmu kalau kita membuat sepasukan prajurit yang dapat mengawal diri mereka sendiri. Maksudku, kita jadikan setiap orang di sini prajurit yang akan menjaga barak ini seisinya.”
“Bagus, Tuan. Aku akan membantu.”
“Yang penting, mereka harus bangun. Mereka harus sadar, bahwa selama ini mereka telah terbius oleh mimpi buruk yang memalukan,” berkata Sutawijaya kemudian.
“Kita harus berterus terang bahwa menurut perhitungan kita, barak ini akan dilanda oleh arus kemarahan Kiai Damar yang pasti akan membawa kawannya yang lain. Mungkin Kiai Telapak Jalak, bahkan mungkin orang yang setingkat lebih tinggi daripadanya. Bukan sekedar lebih tinggi kedudukan di dalam tata urutan mereka, tetapi juga lebih tinggi ilmunya.”

Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Apakah kau sependapat?”
“Tentu,” jawab Truna Podang,
“aku kira tidak ada jalan yang lebih baik.”
“Marilah,” ajak Sutawijaya,
“kita harus segera mulai. Siapa tahu, mereka akan datang hari ini, siang atau malam.”
Mereka pun kemudian bergerak dan berjalan ke serambi depan barak itu. Ketika orang-orang yang terluka melihat Sutawijaya, maka rasa-rasanya darah mereka sudah membeku. Apalagi ketika Sutawijaya berdiri di tangga di sisi mereka. Sejenak Sutawijaya berdiri mematung. Dipandanginya orang-orang yang terbaring itu. Satu demi satu. Setiap sentuhan tatapan matanya, serasa menikam langsung ke pusat jantung.
“Siapa berikutnya?” bertanya Sutawijaya. Tubuh-tubuh yang tidak berdaya itu kini menggigil karenanya. Serasa tajamnya ujung duri cangkring telah menyentuh kulit.
“Adalah suatu kebodohan,” berkata Sutawijaya
“bahwa akhirnya orang berdahi lebar itu berbicara juga tentang dirinya, tentang Kiai Damar, tentang orang yang tinggi kekar dan berkumis, dan tentang bermacam-macam lagi. Ternyata ia bukan seorang laki-laki jantan. Sebelum tubuhnya arang kranjang, ia sudah berceritera tanpa diminta,“ Sutawijaya berhenti sejenak.
“Tetapi sudah terlambat,” ia meneruskan,
“ia tidak sempat menyelesaikan ceriteranya ketika tiba-tiba ia pingsan. Mungkin ia sudah mati sekarang.”
Sekali lagi Sutawijaya berhenti. Dipandanginya orang-orang itu kembali dari orang yang pertama. Satu demi satu.
“Apakah kalian juga akan berbuat serupa? Sebaiknya kalian memilih sebelum semuanya terlanjur terjadi atas diri kalian. Berbicara sebelum tubuh kalian hancur, atau diam sampai mati sebagai seorang laki-laki. Adalah tidak pantas sekali bahwa setelah kulitnya tersayat-sayat, barulah ia mencoba berbicara.”
Kata-kata Sutawijaya benar-benar telah mengerutkan kulit mereka. Dengan demikian maka setiap orang berusaha menghindari sentuhan mata Sutawijaya yang bagaikan bara itu.
“Ayo, siapa lagi?” bertanya Sutawijaya.

Serambi itu justru menjadi sepi. Sepi sekali.
“Baiklah. Aku lelah sekali saat ini. Nanti, apabila aku sudah jemu berbicara, aku akan mengambil salah seorang dari kalian. Dan orang itulah yang harus berbicara, atau berteriak-teriak kesakitan.”
Sutawijaya tidak menghiraukan orang-orang yang menggigil itu lagi. Ia pun kemudian berjalan ke tengah-tengah serambi. Kemudian ia pun duduk pula bersama dengan Kiai Gringsing, murid-muridnya, dan Sumangkar serta pemimpin pengawas yang terluka itu.
“Bagaimana kita akan mulai?” bertanya Sutawijaya.
“Apakah orang-orang itu kita kumpulkan, kemudian salah seorang dari kita sesorah di hadapan mereka?”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Aku kira tidak ada jalan lain”
Sutawijaya termenung sejenak. Namun tiba-tiba ia berkata,
“Aku akan meminjam seorang dari tawanan itu.”
“Untuk apa?” bertanya Kiai Gringsing.
Sutawijaya tidak segera menyahut. Namun wajahnya menjadi terang. Secercah senyum yang kecil membayang di bibirnya. Tiba-tiba putera Pemanahan itu memanggil salah seorang pengawalnya. Katanya,
“Ambil salah seorang dari orang-orang yang terluka itu. Yang paling baik dari mereka.” Lalu pada Kiai Gringsing ia bertanya,
“Yang manakah yang tidak terlampau parah lukanya, Kiai?”
Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Sekali lagi ia tidak dapat segera menangkap maksud Sutawijaya. Namun kini Kiai Gringsing menyadari, bahwa Sutawijaya tidak akan berbuat seperti apa yang dikatakannya. Ia hanya sekedar menakut-nakuti seperti hantu-hantu yang menakut-nakuti orang-orang dibarak ini. Karena itu, maka tanpa mencemaskan nasibnya, ia menunjuk salah seorang dari mereka.
“Ambillah orang yang pendek, agak gemuk itu,” berkata Kiai Gringsing kemudian.
Namun baru saja para pengawal mendekatinya, orang itu sudah meronta-ronta. Sekuat tenaga ia berteriak-teriak
“Jangan aku, jangan aku. Ambil yang lain.”
Tetapi para pengawal itu tidak menghiraukannya. Ditariknya orang itu dari antara kawannya dan dibawanya menghadap Sutawijaya.
“Bawa orang itu ke halaman” perintah Sutawijaya. Meskipun orang itu meronta-ronta, tetapi ia tidak berdaya untuk menghindar. Oleh dua orang pengawal ia dibawa ke halaman.

Sutawijaya pun kemudian turun ke halaman diikuti oleh beberapa orang dan beberapa pengawal.
“He, orang-orang di dalam Barak,” berkata Sutawijaya lantang
“apakah kalian tidak ingin melihat hantu ini?”
Orang-orang di dalam barak menjadi heran.
“Hantu adalah mahluk halus yang tidak kasat mata dan tidak tersentuh tangan. Tetapi hantu yang sudah kamanungsan seperti ini, tidak ubahnya seperti kita. Tubuhnya dapat diraba, dan dari nadinya dapat menitik darah yang merah seperti darah kita. Kalau kalian ingin membuktikan, kalian akan mendapat kesempatan.”
“O, tidak, tidak,” orang pendek itu berteriak-teriak.
Beberapa orang di barak itu saling berpandangan. Dan mereka mendengar Sutawijaya berkata,
“Selama ini ternyata kalian telah menjadi bahan permainan mereka. Kalian diperbodoh dan ternyata kalian benar-benar menjadi ketakutan. Dan orang yang memperbodoh kalian dan menakut-nakuti kalian adalah orang ini.”
Orang-orang dibarak itu menjadi semakin berdebar-debar.
“Kemarilah. Lihatlah orang ini.”
Beberapa orang yang menyimpan dendam di dalam hati mereka, mulai bertanya-tanya apakah yang dapat mereka lakukan.
“Sekarang orang ini sudah berada di tangan kita. Apakah kalian tidak ingin berbuat sesuatu, setelah kalian menjadi bahan tertawaan mereka.”
Kebencian dan dendam yang semula mulai mengendap, tiba-tiba telah terungkat kembali, sehingga beberapa orang mulai bergerak turun ke halaman. Yang semula duduk di sekitar halaman pun seorang demi seorang telah berdiri pula.
“Mendekatlah. Mendekatlah. Lihatlah tampangnya baik-baik.”
“Jangan, jangan,” orang itu berteriak-teriak pula.
Tetapi Sutawijaya tidak menghiraukannya. Ia kini berdiri di tengah-tengah halaman di hadapan orang yang berteriak-teriak itu. Bahkan dengan mengangkat wajahnya Sutawijaya melambaikan tangannya kepada orang-orang yang masih ragu-ragu di dalam barak.
“Kemarilah. Jangan ragu-ragu.”

Orang-orang itu pun kemudian turun pula ke halaman. Mereka mengerumuni Sutawijaya yang berjalan hilir-mudik.
“Nah, apakah semuanya sudah berdiri di sini?” bertanya Sutawijaya kemudian.
Tetapi tidak ada yang menjawab.
“Baiklah. Meski pun seandainya belum seluruhnya maka sebagian terbesar telah ada di sini. Nah, sekarang apakah yang sebaiknya kita perbuat? Apakah kalian dengan senang hati menerima perlakuan hantu-hantu gila ini atas kalian selama ini?”
Tidak ada jawaban. Wajah-wajah itu masih tampak ragu-ragu. Beberapa orang di antara mereka hanyalah saling berpandangan tanpa berbuat sesuatu. Dan Sutawijaya meneruskan,
“Apakah kalian tidak ingin berbuat sesuatu setelah kalian dipermainkan oleh mereka? Atau kalian merasa bahwa memang sepantasnya kalian diperlakukan demikian?”
“Tidak!” tiba-tiba salah seorang dari mereka berteriak.
“Bagus,” sahut Sutawijaya “sudah tentu tidak. Bagaimana yang lain?”
“Tidak. Kami tidak rela dihinakan.”
Sutawijaya tertawa. Katanya,
“Kejantanan kalian sudah mulai terangkat. Ayo, apakah sebaiknya yang kita lakukan?”
“Hukum orang itu,” desis salah seorang dari mereka, meskipun masih ragu-ragu.
“Ya, hukum orang itu,” yang lain menyahut.
“Hukum picis,” tiba-tiba salah seorang yang lain berteriak.
“Ya, hukum picis.”
“Hukum picis.”
Kemudian hampir setiap mulut berteriak menuntut orang itu dihukum picis.
Orang yang terluka, yang masih dipegangi oleh dua orang pengawal itu mulai meronta-ronta. Wajahnya sudah menjadi seputih kapas, dan nafasnya seakan-akan sudah tinggal menyangkut di ujung hidungnya.
“Jangan, jangan” teriaknya. Tetapi tubuhnya sudah mulai menggigil. Ia tidak dapat berdiri sendiri, sehingga ia harus dijaga agar tidak roboh di tanah.
“Apakah kalian merasa bahwa selama ini kalian menjadi permainan orang-orang yang menyebut dirinya hantu?”
“Ya, mereka telah mempermainkan kami.”
“Bagus. Kalian akan dapat melepaskan dendam kalian. Kalian adalah laki-laki yang tidak mau dihinakan.”
“Ya, serahkan kepada kami.”
“Tentu. Kami akan membantu kalian,” Sutawijaya mengangguk-angguk.
“Kami berkepentingan pula atas hantu-hantu itu. Kami berbangga hati karena kami melihat, bahwa sebenarnya kalian bukan penakut seperti yang kami sangka semula. Dan kini kalian telah menunjukkan bahwa kalian pun memiliki harga diri yang tinggi.”

Orang-orang yang berdiri mengelilingi Sutawijaya dan orang yang terluka itu terdiam sejenak. Mereka mendengarkan kata-kata Sutawijaya dengan saksama. Dalam pada itu, Kiai Gringsing, Sumangkar, Agung Sedayu, dan Swandaru masih berdiri termangu-mangu di tempatnya. Pemimpin pengawas yang terluka, yang berdiri di tangga bersandar tiang menjadi berdebar-debar pula karenanya. Sementara itu Sutawijaya berkata pula,
“Pada saatnya kalian akan dapat mengadili orang-orang yang telah menghinakan kalian. Seperti orang ini, ia harus mendapat hukuman sepantasnya.”
“Ya, ia harus dihukum,” orang-orang itu bersahut-sahutan.
“Tetapi,” Sutawijaya kemudian berkata,
“tidak adillah kiranya kalau hanya orang ini seorang diri. Masih ada yang lain yang juga berbuat serupa seperti orang ini. Orang-orang yang berada di serambi itu.”
“Mereka juga. Mereka juga,” orang-orang itu berteriak-teriak.
“Ya, mereka juga.”
“Ambil mereka. Kita ikat di halaman ini.”
“Ya, ambil mereka.”
“Tunggu,” suara Sutawijaya mengatasi, sehingga orang-orang itu terdiam karenanya.
“Kita akan menghukum mereka yang bersalah, tetapi kita harus adil. Karena itu, bukan saja orang ini dan orang-orang yang berada di serambi itu. Tetapi semua yang terlibat di dalam kesalahan.”
Suasana tiba-tiba menjadi hening. Wajah-wajah yang merah oleh kemarahan yang sudah mulai terungkat itu pun menjadi terheran-heran.
“Dengar,” berkata Sutawijaya,
“selain orang-orang yang telah berhasil kita tawan ini, ternyata masih banyak lagi orang-orang yang terlibat di dalam kesalahan itu. Kita harus berusaha menghukum semuanya. Karena itu, kita harus menangkap mereka. Orang-orang yang ada di barak ini pun akan kita hukum. Kalau perlu hukum picis. Semuanya. Tetapi tentu tidak sekarang. Kami masih ingin mendapatkan yang lain. Orang-orang ini dapat kita pergunakan sebagai umpan untuk memancing mereka.”

Orang-orang di sekitar Sutawijaya itu pun menjadi semakin diam.
“Aku bangga bahwa kalian mempunyai harga diri dan keberanian, sehingga kalian ingin menghukum mereka. Tetapi keberanian itu pasti bukan sekedar terbatas untuk menjatuhkan hukuman, sudah tentu bukan sekedar terhadap orang-orang yang sudah berada di tangan kita. Tetapi kalian pasti akan berusaha menangkap orang-orang yang bersalah itu lebih banyak lagi.”
Orang-orang itu menjadi termangu-mangu. Beberapa di antara mereka saling berpandangan. Dan mereka mendengar Sutawijaya berkata,
“Marilah kita tunjukkan bahwa kita memang mempunyai harga diri.”
Orang-orang yang mendengar kata-kata Sutawijaya itu seakan-akan membeku di tempatnya. Kini samar-samar mereka telah dapat menangkap maksud Putera Ki Gede Pemanahan itu, sehingga beberapa orang telah menundukkan kepala. Sementara Sutawijaya masih berkata lantang,
“Apa yang telah terjadi sekarang ini, ternyata belum merupakan akhir dari persoalan kita. Kita baru dapat menemukan bulu-bulunya saja, tetapi kita belum berhasil menangkap otak dari persoalan seluruhnya. Kita belum menemukan siapakah sebenarnya yang telah menghinakan kita. Juga kita belum mengerti, apakah maksud mereka sebenarnya? Aku mencoba untuk mendapat keterangan dari seorang di antara mereka. Tetapi aku tidak mendapatkan apa-apa daripadanya. Ia tidak banyak mengetahui tentang dirinya sendiri. Meski pun ia dilecuti dengan ranting-ranting cangkring sampai mati sekali pun keterangan yang kita perlukan tidak akan dapat diberikannya, karena ia memang tidak mengerti. Yang dikatakan hanyalah Kiai Damar, orang-orangnya dan orang berkumis yang sering mengunjungi dukun itu. Selebihnya ia tidak dapat berkata apa-apa. Meski pun aku akan memeras keterangan satu demi satu dari orang-orang itu, tetapi kesimpulan yang dapat kita ambil sekarang adalah, di balik belukar di dalam hutan itu masih bersembunyi beberapa orang yang tidak kita kenal. Ingat, beberapa orang. Bukan beberapa sosok hantu. Mereka pasti masih akan datang lagi ke barak ini. Entah mereka masih ingin disebut hantu dan mengenakan pakaian hantu-hantu itu, atau mereka datang dengan wajar sebagai manusia seperti kita. Tetapi kita sudah tahu, bahwa mereka adalah manusia-manusia. Mereka akan datang untuk menuntut dendam yang membakar hati mereka, karena mereka telah kehilangan beberapa orang kawan. Atau mereka ingin membunuh kawan mereka yang ada di sini dan tidak dapat diharapkan lagi di dalam perjuangan mereka. Bagi mereka, kawan-kawan yang memang sudah tidak dapat dipergunakan lagi itu, memang lebih baik dibinasakan sama sekali daripada membuka rahasia yang betapa pun kecilnya.”

Ketika Sutawijaya berhenti sejenak, maka orang-orang yang berdiri mengitarinya telah menundukkan kepala sambil berkata kepada diri sendiri,
“Jadi, apakah yang selama ini telah aku lakukan di sini?”
Sementara itu Sutawijaya berkata,
“Jika kalian sependapat, kalian harus sadar, bahwa kalian benar-benar telah dipermainkan tidak oleh hantu-hantu tetapi oleh sesama kita. Orang-orang ini ternyata masih belum puas. Mereka masih akan datang. Mungkin kali ini mereka akan berterus-terang kepada kita, bahwa mereka ingin menghancurkan kita secara manusia. Tidak lagi melalui samaran yang hampir berhasil itu.”
Orang-orang yang mendengarnya mengangguk-anggukkan kepala. Dan Sutawijaya tiba-tiba bertanya,
“Kalau benar mereka datang dengan pakaian wajar seperti kita, bukan dengan samaran mereka, apakah yang akan kita kerjakan? Apa kita akan masuk dengan tergesa-gesa ke dalam barak dan selimut hingga menutup kepala?”
Tidak ada seorang pun yang menjawab.
“Jadi bagaimana? Apakah yang akan kita lakukan Diam saja seperti sekarang?”
Masih belum ada jawaban.
“Jadi kita sudah melupakan harga diri kita karena kita segan berbuat sesuatu yang lebih besar daripada mencincang orang-orang yang tidak berarti dan lebih-lebih lagi sudah tidak berdaya? Nah, jawablah. Kalau kalian tetap berdiam diri seperti sekarang, aku pun tidak akan berkeberatan. Tetapi aku akan segera minta diri. Kedua orang tua dan anak-anaknya ini akan ikut bersama aku. Kamilah yang akan mencari sarang mereka di tengah-tengah hutan. Tetapi kalau kami berselisih jalan, dan mereka datang ke barak ini, sama sekali bukan salah kami.”
Sejenak kegelisahan membayang di wajah orang-orang itu. Mereka menjadi tegang ketika Sutawijaya bertanya lagi,
“Jawablah. Apakah kalian akan berbuat sesuatu atau sekedar berdiam diri begini?”
Dalam keragu-raguan terdengar seseorang berkata,
“Kami akan berbuat sesuatu.”
Suara yang agaknya ragu-ragu itu ternyata telah menggerakkan setiap hati. Belum lagi Sutawijaya bertanya, beberapa orang telah berteriak,
“Kami tidak akan berdiam diri. Kami akan berbuat sesuatu untuk mempertahankan diri. Kami akan berkelahi.”
Sutawijaya tidak segera menyahut. Dibiarkannya suara-suara itu menggelepar sampai tuntas.
Ketika tidak ada lagi yang berteriak-teriak, maka Sutawijaya lah yang berkata,
“Bagus, terima kasih, itulah namanya laki-laki jantan. Kalian harus membela diri, membela hak kalian. Kalian harus mempertahankan milik kalian, termasuk jiwa kalian,” Sutawijaya berhenti sejenak.
“Jika demikian, kalian sama sekali tidak memerlukan orang sakit-sakitan ini. Biarlah mereka terbaring di serambi sampai saatnya kita mengambil keputusan tentang mereka. Sekarang kita menunggu. Menunggu orang-orang yang tidak puas dengan peristiwa yang baru saja terjadi ini. Mereka pasti akan datang dengan jumlah yang lebih besar. Apalagi apabila mereka tahu, bahwa aku berada di tempat ini. Aku adalah sasaran yang menyenangkan sekali bagi mereka. Tetapi apabila mereka datang, dan berhasil menguasai daerah ini pasti bukan sekedar aku sajalah yang akan mereka cincang.”

Semua orang mengangguk-anggukkan kepalanya. Kiai Gringsing dan kedua muridnya, serta Sumangkar pun mengangguk-angguk pula. Mereka memuji di dalam hati kecakapan Sutawijaya mempengaruhi orang-orang di dalam barak itu sehingga mereka menyadari kedudukan mereka.
“Jika demikian,” berkata Sutawijaya,
“persiapkan diri kalian sejak sekarang. Kalian harus memiliki senjata apabila kalian benar-benar ingin berjuang untuk daerah yang telah kalian buka. Kalian harus bersedia dan bersiap menghadapi apa pun juga, termasuk pertempuran. Kalian harus bersiap untuk berkelahi, sehingga karena itu, siapkanlah senjata apa pun juga.”
Orang-orang itu menjadi termangu-mangu sejenak. Mereka tidak segera meyakini kata-kata itu sebagai suatu sikap yang harus dilakukan dalam suasana yang gawat itu.
Karena itu, maka Sutawijaya pun mengulanginya,
“Apakah yang kalian tunggu? Apakah baru kemudian apabila mereka telah datang menyerang kalian baru berusaha mendapatkan senjata? Sekarang, carilah senjata apa saja. Pedang, parang, kapak, tombak dan apa saja. Cobalah kalian mengenal senjata kalian dengan baik, sehingga apabila diperlukan kalian tidak akan canggung lagi mempergunakannya. Sebab kalian akan berhadapan dengan manusia seperti kita yang juga memegang senjata. Mereka pun berusaha untuk mempergunakan seniata mereka pula terhadap kita. Apakah kalian mengerti? Jika kalian mengerti, mulailah sekarang, kemudian kembalilah ke halaman ini.”
Sejenak mereka masih termangu-mangu. Namun sejenak kemudian, ketika salah seorang dari mereka bergerak, maka orang-orang itu pun segera berlari-larian mencari senjata apa saja yang dapat mereka ketemukan. Seperti yang dikatakan oleh Sutawijaya, mereka memegang parang, pedang, kapak, tombak dan apa saja.
Sejenak kemudian mereka telah berada di halaman itu kembali dengan senjata masing-masing. Mereka yang tidak mendapatkan senjata apa saja, telah membawa sepotong kayu atau pemukul kentongan atau selumbat kelapa. Sutawijaya tersenyum melihat orang-orang yang berlari-larian. Sambil mendekati Kiai Gringsing ia berkata,
“Aku mengharap kita berhasil. Kalau benar akan datang serangan yang lebih besar, mereka akan sangat berpengaruh, setidak-tidaknya mereka akan menyusutkan keberanian lawan betapa pun tabahnya.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Tetapi kita tidak dapat mengumpulkan mereka.”
“Tentu tidak. Aku membawa beberapa orang pengawal, selain aku sendiri. Di sini ada Truna Podang bersama anak-anaknya, dan ada pula Paman Sumangkar. Apakah kita sama sekali tidak berbuat sesuatu.”
Kiai Gringsing mengangguk-angguk.
“Kita pencar orang-orang kita. Masing-masing disertai orang-orang dari barak ini. Bagaimana pun juga mereka pasti akan berpengaruh.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya,
“Kita akan memberikan beberapa petunjuk, agar mereka dapat menghadapi lawan dengan teratur. Justru tidak mengganggu para pengawal dan kita masing-masing.”

Sekali lagi Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Dalam pada itu orang-orang dari barak itu sudah mengelilingi Sutawijaya kembali. Dengan menengadahkan kepalanya Sutawijaya berkata,
“Nah, kalian ternyata merupakan prajurit-prajurit yang gagah berani. Mungkin ada di antara kalian yang sama sekali belum pernah mengalami pertempuran. Karena itu, biarlah orang-orangku memberikan beberapa petunjuk kepada kalian. Mereka akan memberikan beberapa macam cara melakukan pertempuran di dalam kelompok-kelompok. Masing-masing tidak dapat berjuang sendiri-sendiri tanpa menghiraukan kawannya. Hanya orang-orang yang khusus sajalah yang dapat melepaskan diri dari ikatan kesatuannya. Misalnya para senapati di peperangan yang besar, yang karena tugasnya ia harus berada di sembarang tempat yang memerlukannya. Atau orang-orang yang khusus ditunjuk di dalam benturan kelompok-kelompok kecil.
Orang-orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Nah, mulailah,” berkata Sutawijaya yang kemudian memanggil pemimpin pengawalnya.
“Serahkanlah mereka kepada anak buahmu agar mereka mendapatkan gambaran, apa yang harus mereka kerjakan apabila benar-benar akan terjadi pertempuran. Sebab menurut perhitungan kita, mereka masih akan kembali dengan kekuatan yang lebih besar lagi.”
Demikianlah maka para pengawal itu telah melakukan tugas masing-masing. Orang-orang di dalam barak itu dibagi dalam kelompok-kelmpok kecil yang masing-masing dipimpin oleh seorang pengawal. Mereka mendapat beberapa petunjuk dan tuntunan, apa yang harus mereka lakukan apabila mereka terlibat dalam pertempuran yang seru.
“Yang penting,” berkata salah seorang dari para pengawal itu,
“kalian tidak boleh kehilangan akal dan menjadi kebingungan. Jika terjadi demikian, maka kalian sudah menjadi separo kalah. Kalian harus tetap sadar, dan mempergunakan nalar untuk mempertahankan diri.”

Orang-orang itu pun mengangguk-anggukkan kepala. Dengan penuh minat mereka mengikuti semua petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh para pengawal. Bagaimana mereka menghadapi lawan. Bagaimana mereka harus bekerja bersama, menyelamatkan kawan mereka yang agaknya lemah dan terdesak. Berusaha menyediakan satu dua orang yang terlepas dari ikatan perkelahian lawan, apalagi apabila jumlahnya lebih banyak. Orang-orang itulah yang harus bertindak apabila ada di antara mereka yang benar-benar memerlukan pertolongan. Sementara para pengawal itu memberikan beberapa pengertian tentang pertempuran di dalam kelompok-kelompok kecil, maka Sutawijaya-lah yang menunggui orang-orang yang terluka bersama Kiai Gringsing dan Sumangkar, sementara Agung Sedayu dan Swandaru melihat-lihat bagaimana orang-orang yang selama ini selalu dicengkam oleh ketakutan itu mencoba membentuk diri mereka menjadi pengawal-pengawal buat diri mereka sendiri. Tetapi melihat niat yang mantap terpancar di wajah mereka, maka para pengawal itu pun menjadi semakin mantap pula. Mereka akan dapat banyak membantu apabila jumlah lawan nanti jika mereka benar-benar datang, banyak pula.
“Kalau hari ini mereka tidak menyerang, maka orang-orang itu akan mendapat kesempatan menerima beberapa petunjuk untuk mempergunakan senjata,” berkata Sutawijaya kemudian.
“Hal itu agaknya perlu juga bagi mereka. Mereka sama sekali belum pernah mempergunakan senjata-senjata itu untuk bertempur. Bertempur yang sebenarnya.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Seperti Sutawijaya ia juga memperhitungkan bahwa orang-orang yang tersembunyi di balik pepohonan itu pasti akan melakukan sesuatu. Mungkin untuk sekedar membalas dendam sakit hati, tetapi juga mungkin sekali untuk membatasi berita kegagalan mereka di daerah ini. Kehadiran Sutawijaya yang pasti mereka ketahui, karena orang-orang mereka seakan tersebar di setiap punggung pepohonan, akan menarik perhatian mereka. Apalagi mereka mengetahui, bahwa pengawal Sutawijaya kali ini tidak begitu banyak.
“Angger,” berkata Kiai Gringsing kemudian,
“sebenarnya kami di sini tidak merasa cemas akan diri kami. Tetapi apabila mereka benar-benar berusaha untuk berbuat sesuatu terhadap angger Sutawijaya dengan jumlah kekuatan yang tidak seimbang, maka apakah angger tidak sebaiknya mengirimkan beberapa orang untuk memberitahukan semua keadaan di daerah ini kepada Ayahanda Ki Gede Pe manahan?”
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi perasaannya yang tajam menangkap keragu-raguan yang tersirat di dalam kata-kata dan tatapan mata Kiai Gringsing. Karena itu ia menjawab,
“Kiai, naluri keprajuritanku mengatakan kepadaku, bahwa daerah ini agaknya sudah terkepung rapat-rapat. Seolah-olah aku melihat orang itu bersembunyi di balik pepohonan, menunggu satu dua orang pengawal lewat.”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya ia pun melihat di dalam firasatnya, bahwa memang tempat itu selalu diawasi oleh beberapa orang. Tetapi sudah tentu, bahwa kepungan itu bukan tidak mungkin untuk diterobos. Namun demikian orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang sulit bagi para pengawal itu untuk berusaha menerobos kepungan. Kecuali kalau ia sendiri dan Sumangkar-lah yang berangkat. Tetapi berat juga rasanya meninggalkan daerah yang seakan-akan telah menjadi terpencil ini. Yang akan datang pasti bukan hanya Kiai Damar seorang diri di antara anak buahnya. Setelah ia dikalahkan oleh Sumangkar, maka orang itu pasti membuat penilaian lain. Karena itu, baik Kiai Gringsing, maupun Sutawijaya akhirnya meletakkan kepercayaan mereka kepada apa yang ada di tempat itu. Beberapa pengawal pilihan, dua orang murid Kiai Gringsing, di samping Kiai Gringsing sendiri dan Sumangkar. Kedua orang tua itu adalah orang yang memiliki beberapa kelebihan yang tidak dimiliki oleh orang lain. Dan kemudian Sutawijaya sendiri.
“Mudah-mudahan orang di dalam barak itu justru tidak mengganggu,” katanya di dalam hati.
Namun demikian Sutawijaya masih tetap mempunyai keyakinan, bahwa ia akan dapat mengatasi setiap kesulitan yang bakal timbul di daerah itu. Dalam pada itu, beberapa orang yang telah mendapat petunjuk dari para pengawal itu pun mendapat sedikit gambaran, apakah yang sebaiknya mereka lakukan apabila mereka harus berkelahi di dalam kelompok-kelompok. Mereka tidak dapat berkelahi menurut selera masing-masing. Mereka harus mengingat kesatuan masing-masing, sehingga mereka akan merasa diri mereka satu.
“Ingat,” berkata salah seorang pengawal,
“setiap orang di dalam kelompok masing-masing tidak ubahnya anggota badan sendiri. Meskipun kalian mempergunakan tangan di dalam perkelahian, tetapi punggung kalian harus dijaga jangan sampai terluka.”
Orang-orang itu mengangguk-anggukkan kepala. Ketika para pengawal menganggap penjelasan mereka sudah cukup, maka orang-orang itu pun kemudian beristirahat di sekitar barak. Mereka masih juga memperbincangkan apa yang mereka dengar dari para pengawal. Bahkan ada satu dua orang di antara mereka yang mencoba-coba senjatanya. Mereka yang hanya membawa sepotong kayu, berusaha untuk mendapatkan senjata yang lebih baik. Tetapi selagi mereka sibuk dengan persoalan masing-masing, halaman barak itu telah digetarkan oleh derap kaki-kaki kuda. Sutawijaya dan orang-orang yang ada di serambi pun segera meloncat berdiri dengan senjata siap di tangan.

Namun yang datang hanyalah tiga orang. Tiga orang yang tidak dikenal. Mereka memasuki halaman barak itu dengan mengangkat tangan mereka tinggi-tinggi. Sutawijaya mengerutkan keningnya. Diiringi oleh Kiai Gringsing dan Sumangkar mereka turun dan menyongsong orang-orang berkuda itu.
“Siapakah kalian?” bertanya Sutawijaya. Orang-orang itu memandang Sutawijaya dengan tajamnya.
Jawab salah seorang dari mereka,
“Kami adalah utusan Prabu Mataram Kajiman.”
“Jangan keras kepala,” Swandaru lah yang menyahut. Tetapi Agung Sedayu menggamitnya, sehingga Swandaru terdiam.
“Turunlah dari kudamu,” berkata Sutawijaya.
“Aku adalah utusan Maharaja yang Besar. Aku berhak berbicara di atas punggung kuda.”
Sutawijaya mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia berpaling dan berkata kepada Kiai Gringsing,
“Mereka tidak perlu dilayani. Aku tidak akan berbicara dengan orang-orang yang tidak mengenal sopan.”
“Jangan sombong. Kau harus menghormati Raja Besar dari Mataram Lama.”
“Aku Putera Sultan Hadiwijaya yang kekuasaannya meliputi Alas Mentaok. Turun dari kudamu. Atau, pergi dari halaman ini.”
Sejenak ketiga orang itu saling berpandangan. Bagaimanapun juga mereka menjaga harga diri mereka, namun wibawa Sutawijaya telah memaksanya mempertimbangkan sikapnya.
“Baiklah,” berkata salah seorang dari mereka,
“aku akan turun, tetapi sama sekali bukan karena kekuasaanmu. Aku melimpahkan kemurahan hati Raja Agung di Mataram.”
Sutawijaya mengatupkan giginya rapat-rapat. Darah mudanya mulai menjadi panas. Namun ia masih berusaha menahan hati. Di dalam persoalan yang masih diliputi teka-teki ini ia harus berhati-hati. Apalagi menyangkut seluruh isi barak ini.
Karena itu, Sutawijaya tidak menjawab. Dipandanginya ketiga orang itu berganti-ganti. Kemudian setelah ketiganya berdiri ditanah. Sutawijaya berkata
“Cepat katakan, apakah keperluanmu.”
“Aku adalah utusan dari Raja Besar di Mataram” berkata salah seorang dari mereka.
Ternyata Swandarulah yang sudah tidak dapat mengendalikan dirinya lagi. Tiba-tiba saja ia berkata,
“Masih juga kau menyebut Kerajaan Mataram Kajiman di dalam keadaan ini? Kerajaan Kiai Damar barangkali?”
Sekali lagi Agung Sedayu menggamitnya dan berbisik,
“Biarlah ia menyelesaikan kata-katanya.”
Swandaru menelan ludahnya. Dengan susah payah ia mencoba mengendapkan perasaannya.

Namun dengan demikian, Sutawijaya yang jantungnya sudah mulai menggelegak itu pun justru telah mereda. Bahkan ia berpaling memandang Swandaru yang wajahnya menjadi merah padam.
“Aku tidak dapat mendengarnya,” desis Swandaru,
“telingaku serasa terbakar.”
Sutawijaya mengerutkan keningnya. Namun tampak sekilas senyum di bibirnya, meski pun hampir saja ia sendiri tidak dapat mengendalikan dirinya pula.
“Nah,” berkata Sutawjaya yang justru menjadi agak tenang,
“cepat, katakan maksudmu.”
“Aku mendapat perintah dari Maharaja di Mataram.”
Hampir saja Swandaru melangkah maju sambil berteriak. Tetapi Agung Sedayu sudah mendahului menahannya sambil berdesis,
“Sst.”
Nafas Swandaru menjadi terengah-engah dan keringatnya telah membasahi seluruh tubuhnya.
“Kenapa kau yang menjadi begitu gelisah?” bisik Agung Sedayu.
Swandaru mengerutkan keningnya.
Dalam pada itu salah seorang dari ketiga utusan itu berkata,
“Yang pertama kami menyampaikan limpahan kebaikan budi Sri Baginda, bahwa kami diperkenankan menemui kalian di sini.”
Sutawijaya yang menahan hati menggeram. Sementara dada Swandaru hampir meledak. Sedangkan Kiai Gringsing dan Sumangkar hanya dapat menarik nafas dalam-dalam mendengar kata-kata itu. Ketika Kiai Gringsing berpaling, ia mengerutkan keningnya. Dilihatnya wajah Swahdaru yang merah padam menahan hati.
Selangkah Kiai Gringsing mendekati Swandaru, dan kemudian berbisik,
“Bukan kaulah yang harus menanggapinya.”
“Aku tidak tahan, Guru. Apakah mereka tidak mengakui semua yang sudah terjadi semalam, beberapa hari yang lalu dan semuanya yang pernah terjadi?”
“Tenanglah,” desis gurunya.
Swandaru menarik nafas dalam-dalam, seolah-olah ia ingin mengendapkan perasaannya yang bergejolak.

Ketiga orang berkuda itu perhatiannya justru tertuju Kepada Swandaru. Sambil memandanginya dengan tajam, salah seorang dari mereka berkata,
“Kalian harus mendengarkan titah Maharaja Mataram sebaik-baiknya. Kalau kalian berbicara di antara kalian, maka kalian akan mendapat hukuman yang seberat-beratnya.”
Swandaru benar-benar tidak dapat menahan hati. Bukan saja Swandaru, tetapi kata-katanya yang terakhir itu sudah mengguncang perasaan Agung Sedayu pula. Tetapi sebelum keduanya berkata sesuatu, ternyata Sutawijaya pun sudah sampai pada batas kesabarannya, sehingga tiba-tiba saja ia membentak,
“Berbicaralah wajar. Jangan mengigau seperti orang gila. Kami bukan tikus-tikus yang dapat kau takut-takuti dengan tingkah laku orang tidak waras itu. Ingat, kau berhadapan dengan Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar, Putera Sultan Pajang. Kalau kau tidak segera menyampaikan maksud kedatanganmu, aku akan memerintahkan kepada pengawalku untuk menangkap kalian. Kalian sama sekali tidak bernilai sebagai utusan yang bebas untuk datang dan pergi. Tetapi kalian adalah brandal-brandal licik yang tidak berguna sama sekali bagiku. Kini bicaralah, selagi aku masih mempunyai belas kasihan.”
Sutawijaya memandang ketiga orang itu dengan sorot mata yang seakan-akan membara.
“Aku tahu kau pasti diajar untuk menumbuhkan wibawa pada sikap dan kata-katamu. Tetapi karena kalian orang-orang kerdil, maka kalian tidak akan dapat melakukannya, selain mirip dengan cucurut yang mohon belas kasihan karena kebodohanmu itu. Kau mengerti?”
Tiba-tiba saja ketiga orang itu menjadi pucat. Usahanya untuk membangunkan wibawa di dalam diri mereka, ternyata dapat disebut dengan tepat oleh Sutawijaya, sehingga dengan demikian, hati mereka justru susut dengan tiba-tiba. Namun demikian, meski pun dengan kaki gemetar, salah seorang dari mereka masih mencoba berkata,
“Baiklah. Aku akan menyampaikan titah itu.”
“Tutup mulutmu!” bentak Sutawijaya.
“Kalau kau masih berbuat gila, aku sobek mulutmu. Aku tidak takut apa pun juga. Aku sudah bertekad menumpas kalian. Seandainya aku membunuh kalian bertiga, aku tidak akan menyesal dan gentar karena pembalasan kawanmu. Jangan mengharap kau dapat kami perlakukan sebagai duta yang terhormat dan berharga untuk dilindungi.”
Wajah mereka rnenjadi semakin pucat. Dan seorang yang lain berkata,
“Baik, baik. Aku akan berkata seperti pesan yang harus aku sampaikan kepadamu, eh kepada Tuan, eh, kepadamu.”
“Cepat.”
“Kami, kami mendapat tugas untuk mohon, eh, minta agar kawan kami diserahkan kepada kami sekarang.”
“Apa? Kami harus menyerahkan orang-orang itu kepadamu sekarang juga?”

Pertanyaan Sutawijaya itu ternyata telah menggetarkan hati ketiga orang berkuda itu. Betapa mereka berusaha membesarkan diri mereka sendiri, namun kebesaran Sutawijaya agaknya memang menyilaukan mereka.
“Coba ulangi,” berkata Sutawijaya seperti kepada anak-anak yang gelisah karena berbuat suatu kesalahan.
“Ulangi!” Sutawijaya membentak.
“Ya, ya. Kami mendapat tugas untuk membawa kawan-kawan kami yang ada di barak ini.”
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya sambil bertanya,
“Dan kau sudah siap untuk melakukannya?”
Orang-orang itu menjadi ragu-ragu.
“Apakah kalian sudah siap membawa kawan mereka yang terluka itu?”
“Coba katakan, bagaimana kalian akan membawa mereka. Mereka terluka parah. Mereka tidak dapat berjalan sendiri. Sedangkan kalian hanya bertiga.”
Pertanyaan itu sederhana sekali. Sama sekali tidak menyangkut persoalan-persoalan yang mendalam tentang penyerahan orang-orang itu. Pertanyaan itu hanya sekedar tentang cara membawa mereka. Namun ketiga orang itu benar-benar menjadi bingung.
“Kenapa kalian bingung?” bertanya Sutawijaya pula.
“Bukankah dari sarangmu kau sudah berniat untuk mengambil mereka, dan dengan demikian semuanya sudah kalian atur sebaik-baiknya? Bahkan kalian sempat mencoba menakut-nakuti kami di sini dengan cara orang kerdil itu?”
Ketiga orang itu tidak segera menjawab.
“Ayo katakan. Kalau kalian dapat membawa mereka dengan cara yang wajar bagi seorang kawan aku akan memberikan mereka kepadamu sekarang.”
Orang-orang itu masih kebingungan. Namun salah seorang dari mereka berkata,
“Kalau memang diperkenankan, kami akan kembali kepada kawan kami untuk mengambil mereka kemari.”
Sutawijaya mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tertawa pendek,
“Ternyata hantu-hantu Alas Mentaok pandai juga mencari akal. Tetapi sayang, aku tidak setuju.”

Ketiga orang itu termangu-mangu sejenak, tetapi mereka tidak segera berkata sesuatu.
“Baiklah,” berkata Sutawijaya,
“katakan kepada pemimpinmu bahwa aku, Sutawijaya, yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar, berkeberatan menyerahkan orang-orang yang sudah jatuh ke tangan kami kepada kalian.”
Wajah ketiga orang itu menegang sejenak. Dan mereka mendengar Sutawijaya berkata,
“Sekarang pulanglah. Kembalilah kepada orang yang menyuruhmu kemari dan yang mengajarimu bagaimana menjadi seorang besar. Tetapi jiwa yang kerdil akan tetap memancar pada sikap yang kerdil pula.”
Ketiga orang itu saling berpandangan sejenak. Namun mereka tidak segera beranjak dari tempatnya.
“Cepat perpi, selagi kalian masih sempat? Atau kalian ingin melihat kawanmu yang hampir mati di serambi itu? Tetapi jika kalian mendekati mereka, maka kalian tidak akan dapat keluar lagi dari halaman ini.”
Ketiga orang itu masih berdiri termangu-mangu.
“Apakah masih ada yang akan kalian katakan?” bertanya Sutawijaya.


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar