Meskipun orang berkuda itu merencanakan segala macam usaha, namun Swandaru berhasil memaksakan kehendaknya sedikit demi sedikit. Akhirnya orang itu sampai pada suatu kesimpulan bahwa, ia harus melarikan diri. Ia tidak menyangka, bahwa orang bercambuk yang dikatakan oleh Kiai Damar itu benar-benar orang yang luar biasa. Semula ia menduga, bahwa anak buah Kiai Damar lah yang sama sekali tidak mampu mempertahankan diri. Tetapi setelah ia mengalami perkelahian, barulah ia sadar, bahwa lawannya memang seorang anak muda yang tangguh. Karena itu, orang itu berusaha untuk mendapat kesempatan. Setiap kali ia mencoba bergeser mendekati kudanya. Tetapi ia merasa, bahwa ia tidak akan mendapat kesempatan itu. Selagi ia melepas tali tambatan kudanya, anak muda yang gemuk itu pasti sudah berhasil menangkapnya.
“Aku harus
lari. Lari saja tanpa membawa kuda itu kembali,” katanya di dalam hati.
Tetapi malang
baginya. Ketika ia meloncat surut, kemudian berusaha melarikan diri, ternyata
ujung cambuk Swandaru telah membelit kakinya, sehingga ia pun tertelungkup. Dengan
cepatnya ia meloncat berdiri. Tetapi demikian ia tegak, tangan Swandaru telah
menerkam pergelangan tangannya dan memilinnya ke belakang, sehingga tangan itu
tidak lagi dapat mempertahankan genggaman senjatanya
Sejenak ia
menyeringai menahan sakit. Namun kemudian ia masih juga berusaha melepaskan
dirinya. Tetapi semakin kuat ia berusaha menarik tangannya, semakin kuat pula
tekanan tangan Swandaru pada pergelangannya dan sekaligus pada punggungnya,
sehingga tangannya seakan-akan patah karenanya.
“Jangan,
jangan,” ia berdesis.
”Tanganmu akan
patah. Dan kau akan kehilangan kegaranganmu.”
“Jangan.”
“Aku tidak
peduli. Aku akan membawa potongan tanganmu kembali ke barak dan menyerahkannya
kepada Sutawijaya sebagai bukti, bahwa aku telah menemukan seseorang yang
sedang mengintai barak ini.”
“Jangan.
Jangan dipatahkan tanganku.”
“Aku tidak
memerlukan tanganmu lagi.”
“Tetapi,
tetapi… aku masih memerlukannya.”
“Oh, maksudmu,
aku pun memerlukan sebelah tanganmu, atau sebaiknya kedua-duanya.”
“Jangan,
jangan.”
Swandaru
semakin menekankan tangan yang terpilin itu pada punggung orang itu sambil
mendorongnya maju.
”Tanganmu akan
patah.”
“Jangan.”
Tanpa disadari
oleh orang itu, Swandaru selalu mendorongnya semakin dekat dengan barak.
Setapak demi setapak mereka maju terus.
“Tanganmu itu
sangat berharga bagiku,” desis Swandaru.
“Jangan,
jangan.”
Swandaru
mendorongnya terus. Sehingga akhirnya mereka menjadi semakin dekat. Ketika
mereka keluar dari segerumbul perdu, mereka sampai pada sebuah lapangan rumput
yang meskipun masih juga ditumbuhi oleh batang perdu yang bergerumbul di
sana-sini, namun mereka dapat memandang ke jarak yang agak jauh. Dengan
demikian maka orang yang tangannya terpilin itu pun segera menyadari
keadaannya. Di kejauhan dilihatnya beberapa orang berjalan hilir-mudik di
halaman sebuah barak yang besar. Meskipun jarak itu masih belum dekat benar,
dan bahkan masih juga dibayangi oleh beberapa gerumbul, tetapi orang itu tahu
benar, bahwa ia telah dipaksa untuk pergi ke barak itu.
Tiba-tiba saja
orang menghentakkan tangannya. Tetapi pegangan tangan Swandaru bagaikan besi
yang menjepit pergelangannya, sehingga dengan demikian tangannya itu justru
menjadi semakin sakit karenanya.
“Jangan
mencoba melepaskan diri,” geram swandaru.
“Jangan bawa
aku ke sana.”
“Kenapa?”
“Aku tidak
mau. Aku tidak mau.”
“Baiklah,
kalau begitu kembalilah kepada orang yang menyuruhmu kemari.”
Orang itu
menjadi heran mendengar jawaban Swandaru.
”Ya,
kembalilah. Pergilah cepat. Tetapi, masih ada tetapinya,” Swandaru berhenti
sejenak,
”kedua
tanganmu harus kau tinggal.”
“Gila,” geram
orang itu.
“Apa, apa kau
bilang?“ Swandaru menekan tangan itu semakin keras.
“Tidak,
tidak.”
“Kau memang
tidak mempunyai pilihan lain. Kau harus mengikuti aku pergi ke barak itu. Kau
harus menghadap Sutawijaya dan menjawab semua pertanyaannya, sebelum tubuhmu
hancur menjadi kepingan tulang-tulang. Kau mengerti.”
Terasa tubuh
orang itu meremang. Dan Swandaru berkata terus,
”Karena itu,
jawab sajalah semua pertanyaannya sebelum ia menjadi marah. Kau mengerti? Orang
yang menjawab semua pertanyaannya dengan baik, tidak akan mengalami apa pun juga.”
Dada orang itu
menjadi berdebar-debar. Tetapi ia memang tidak mempunyai pilihan lain. Kini
tangannya telah berada di dalam genggaman jari-jari Swandaru.
“Kenapa aku
tidak melawannya sampai mati,” ia menggeram.
Swandaru yang
mendengar justru menyahut,
”Kau tidak
akan mati.”
Orang itu
menggeram, tetapi ia tidak dapat banyak berbuat. Tangannya seolah-olah sudah
tidak dapat dikuasainya sendiri. Yang terasa hanyalah sengatan-sengatan rasa
sakit yang semakin tajam. Dengan demikian, ia tidak dapat menolak ketika
Swandaru mendorongnya masuk ke halaman barak. Beberapa orang yang ada di
halaman itu tertegun dan memandanginya dengan sorot mata yang aneh. Tetapi
Swandaru terkejut ketika ia melihat Agung Sedayu sudah duduk di serambi barak
itu bersama Sutawijaya. Karena itu, maka ia pun segera bertanya,
”Kenapa kau
sudah duduk di situ, Kakang?”
Agung Sedayu
tidak segera menyahut. Tetapi ia justru bertanya,
”Itukah orang
yang berkuda bersama empat orang kawannya?”
“Ya. Aku
ketemukan ia sedang bergumul dengan kudanya.”
“Di mana kuda
itu?”
Barulah
Swandaru teringat, bahwa kuda orang itu masih terikat di semak-semak.
“He, kuda itu
bermanfaat juga bagi kita di sini,” desisnya.
”Baiklah aku
akan mengambilnya setelah orang ini aku serahkan. Tetapi bagaimana dengan kau?”
Agung sedayu
tidak menjawab. Ia hanya menunjuk seseorang yang sedang diobati oleh Kiai
Gringsing karena luka-luka di kepalanya.
“Kau apakan
orang itu?” bertanya Swandaru.
“Aku telah
mendukungnya.”
Swandaru
mengerutkan keningnya.
“Ia jatuh dari
kudanya yang gila. Agaknya kepalanya membentur sesuatu. Aku menemukannya dalam
keadaan pingsan.”
Swandaru mengumpat
perlahan-lahan. Katanya,
”Kau
menemukannya pingsan sehingga kau tidak perlu berkelahi.”
“Apakah kau
berkelahi?”
“Bertanyalah
kepada orang ini,” jawab Swandaru sambil mendorong tangan orang itu.
Orang itu
menyeringai kesakitan karena tangannya yang terpilin. Tetapi ia tidak menyahut.
“Kenapa kau
diam saja,” bentak Swandaru, ”ayo katakan.”
“Apakah yang
harus aku katakan?”
“Jawab dari
pertanyaan itu.”
“Apakah yang
ditanyakan.”
Swandaru
menjadi jengkel. Tangannya memilin tangan orang itu semakin keras, hingga orang
itu menjadi semakin kesakitan. Akhirnya ia terpaksa berkata,
”Ya, ya. Kita
sudah berkelahi sebentar.”
“Sebut, siapa
yang kalah dan siapa yang menang,” desak Swandaru.
“Anak bengal,”
desis Agung Sedayu sambil tersenyum. Bahkan Sutawijaya dan Sumangkar pun
tersenyum pula. Hanya Kiai Gringsing sajalah yang mengerutkan keningnya. Di
mana-mana Swandaru berbuat menurut kesenangannya sendiri dalam keadaan apa pun
juga.
Tetapi
Swandaru masih juga memaksanya menjawab,
“Ayo jawab.
Siapa yang menang dan siapa yang kalah.”
“Ya, ya,” orang
itu menyeringai,
”kau yang
menang. Kaulah yang menang.”
“Sebut yang
kalah.”
“Aku. Akulah
yang kalah.”
Swandaru
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
”Bagus. Kau
jujur. Kau dapat berkata sebenarnya. Karena itu, nanti untuk seterusnya kau
harus juga menjawab semua pertanyaan dengan sebenarnya. Kalau kau tidak mau
menjawab, bukan sekedar tanganmulah yang akan dipilin, tetapi kumismu, eh,
lehermu.”
Orang itu
tidak menjawab. Tetapi ketika tangan Swandaru mengendor, ia dapat melihat
satu-satu orang yang duduk di serambi.
Tetapi sekali
lagi ia terkejut ketika Swandaru bertanya,
”Nah, kalau
kau benar-benar pernah, melihat Raden Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi
Loring pasar, yang manakah orangnya.”
“Ah kau,”
Agung Sedayu-lah yang menyahut. Ia tidak tahan lagi melihat gurau Swandaru.
Sambil mengerutkan dahinya ia berkata,
”Pakaian kita
masing-masing telah menunjukkan. Meskipun seandainya ia belum pernah melihat
sekali pun.”
“Menurut
pengakuannya ia pernah melihat Raden Sutawijaya. Ia tidak percaya ketika aku
menyebut namaku Raden Sutawijaya. Katanya Raden Sutawijaya tidak segemuk aku.”
Raden
Sutawijaya tidak dapat menahan senyumnya. Karena itu ia pun kemudian berkata,
”Biarlah ia
menunjuk, siapakah di antara kami yang bernama Sutawijaya. Ia pasti akan
melihat bentuk lahiriah kita. Pakaian kita misalnya.”
Orang itu
justru menjadi ragu-ragu. Ia memang pernah melihat Raden Sutawijaya Tetapi
hanya sekilas di pusat tanah Mataram, ketika ia sengaja menyusup ke sana.
Tetapi kini ia melihat dua orang anak muda yang duduk di serambi itu, sehingga
ia menjadi ragu-ragu, meskipun menilik pakaiannya ia akan segera dapat menunjuk
siapakah yang sebenarnya Raden Sutawijaya. Tetapi justru karena Sutawijaya
sendiri berkata demikian, ia menjadi bimbang.
“Cepat, sebut
yang mana. Salah satu dari kedua anak-anak muda yang duduk itu atau aku. Tetapi
jelas, bukan salah satu dari dua orang tua-tua itu,” desak Swandaru.
Kiai Gringsing
menarik nafas dalam-dalam. Tetapi dibiarkannya saja Swandaru mengisi waktunya
dengan kelakarnya. Orang tua itu pun kembali meneliti luka-luka di kepala orang
yang terbanting dari kuda yang liar itu.
Akhirnya,
untung-untungan orang itu menunjuk Sutawijaya yang sebenarnya sambil berkata,
”Itulah Raden
Sutawijaya.”
“Bagus,” desis
Swandaru,
”kebetulan kau
menunjuk orang yang benar. Orang yang akan segera memeriksamu dengan seribu
macam pertanyaan. Nah, jawablah pertanyaannya, supaya tubuhmu tidak tersayat.
Lihat, di sini ada beberapa orang tawanan seperti kau, yang mengalami
pemeriksaan sebelumnya.”
Terasa tubuh
orang itu meremang. Tanpa sesadarnya ia memandang ke arah Swandaru menudingkan
jarinya. Dilihatnya beberapa orang yang duduk dengan lesu dan wajah yang pucat.
“Tentu akan
segera datang giliranmu,” berkata Swandaru.
Orang itu
tidak menjawab. Ketika Swandaru mendorongnya semakin maju, ia pun maju
tertatih-tatih.
“Orang ini
memerlukan pengawasan khusus,” berkata Swandaru kemudian,
”ia akan dapat
melepaskan diri dan lari kepada kawan-kawannya, apabila kita lengah.”
“Kita terpaksa
mengikatnya,” berkata Sutawijaya.
“Tidak mau,”
orang itu berteriak,
”aku bukan
seekor kuda liar.”
“Jangan
hiraukan,” berkata Sutawijaya,
”orang itu
memang harus diikat pada tiang.”
Swandaru
mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya,
”Aku kira itu
adalah cara yang terbaik agar orang ini tidak lari.”
Bagaimana pun
juga orang itu meronta-ronta, namun Swandaru mendorongnya ke sebuah tiang bambu
petung yang besar. Karena orang itu masih berteriak-teriak saja, maka
Sutawijaya pun berkata,
”Kalau orang
itu tidak mau diikat, baiklah. Tetapi sebagai jaminan bahwa ia tidak akan lari,
patahkanlah kedua kakinya.”
“Tidak mau,
tidak mau. Kalian adalah manusia yang paling kejam yang pernah aku temui.”
“Mungkin,”
sahut Sutawijaya,
”karena itu
jangan mencoba untuk membantah kemauan kami.”
Orang itu
tidak berani membantah lagi. Ia hanya dapat mengumpat-umpat di dalam hati
ketika seorang pengawal benar-benar telah mengikatnya pada sebuah tiang. Dalam
pada itu, setelah Swandaru duduk di serambi, maka ia pun bertanya kepada Agung
Sedayu,
“Bukankah
dengan cara ini tidak ada bedanya, bahwa Kiai Damar dan orang-orangnya akan
menaruh kecurigaan, seperti kalau kita menangkap saja mereka berempat?”
“Tetapi lain,”
berkata Agung Sedayu,
”dalam hal
ini, kawan-kawannya benar-benar telah melihat bahwa kuda itu menjadi liar dan
melonjak-lonjak. Mereka masih mempunyai beberapa dugaan. Penunggangnya itu
dibawa lari ke tempat yang tidak diketahui, atau kemungkinan yang sebenarnya
dapat terjadi seperti yang seorang itu.”
Swandaru
mengangguk-anggukkan kepalanya Dan Agung Sedayu berkata selanjutnya,
”Meskipun
demikian, pasti juga ada dugaan bahwa orang-orangnya itu telah jatuh ke tangan
kita di sini.”
“Orang itu
bukan orang Kiai Damar.”
“Orang siapa?”
“Kiai Damar
telah minta kepada orang lain untuk membantunya. Orang itu adalah salah seorang
dari orang-orang yang didatangkannya itu. Mungkin satu atau dua orang dari
empat orang berkuda itu adalah orang-orang Kiai Damar, tetapi yang lain bukan.”
Sutawijaya mengangguk-anggukkan
kepalanya,
”Aku
memerlukan keterangannya,” katanya.
Sejenak
kemudian Sutawijaya pun sudah berdiri. Perlahan-lahan ia melangkah mendekati
orang yang sudah diikat pada tiang itu. Sambil mengacukan ujung tombak pada
hidung orang itu ia bertanya,
”Jadi kau
bukan orang Kiai Damar?”
Orang itu
tidak segera menjawab. Dipandanginya Sutawijaya dengan tajamnya.
“O, kau baru
memandang aku? Kau ingin mengenal aku lebih baik lagi? Baiklah. Aku memang
bernama Sutawijaya. Akulah yang sudah membunuh orang-orang yang melawan
kehendak Ayahanda Pemanahan yang ingin membuka hutan ini menjadi sebuah negeri
yang besar. Mungkin memang akulah orang yang paling kejam di dunia ini.”
Sutawijaya
berhenti sejenak, lalu,
”Sekarang
jawablah, siapakah kau ini? Kalau kau bukan anak buah Kiai Damar, siapakah yang
membawamu kemari?”
Orang itu
masih berdiam diri. Dipandanginya Sutawijaya dengan tatapan mata yang aneh.
“Kau memandang
aku seperti memandang hantu,” berkata Sutawijaya.
”Matamulah
yang paling memuakkan bagiku. Karena itu, mata itukah yang akan aku ambil dari
dalam rongganya di batok kepalamu.”
Tiba-tiba saja
Sutawijaya sudah mendekat dan meraba dahinya sambil mengangkat ujung tombaknya,
”Jangan
menyesal, bahwa untuk seterusnya kau tidak akan melihat wajahmu lagi. Kau tidak
akan melihat hijaunya dedaunan dan semaraknya bunga kantil pada ujung batang
dan ranting-rantingnya. Kau tidak akan dapat pula melihat cahaya fajar yang
kemerah-merahan, membayang di ujung langit di antara gemerlapnya bintang. Kau
tidak akan melihat cahaya matahari pagi yang riang meloncat di dedaunan yang
hijau. Sekarang, tengadahkan wajahmu, aku akan mengambil kedua biji matamu.”
Ketika
Sutawijaya menekan dahinya, tiba-tiba saja orang itu berteriak,
”Jangan,
jangan.”
“Apa
peduliku?”
“Jangan. Aku
tidak mau menjadi buta.”
“Aku tidak
peduli.”
“Jangan,
jangan.”
Tiba-tiba saja
Sutawijaya mencengkam baju orang itu. Sambil mengguncangnya ia bertanya
mengejut,
”Siapa yang
membawamu kemari? Siapa yang memperbantukan kau pada Kiai Damar.”
“Ki Lurah,”
jawabnya menyentak pula.
Sambil menarik
leher baju orang itu Sutawijaya membentak lagi,
”Sebut
namanya. Atau matamu akan meloncat ke luar.”
“Kiai Telapak
Jalak.”
Sutawijaya
menarik nafas dalam-dalam. Dilepaskannya baju orang itu. Terdengar ia
menggeram,
”Ternyata
keduanya adalah orang-orang yang menerima jalur perintah yang serupa. Sama
sekali bukan kekuatan, yang terpisah seperti yang kita duga semula. Yang
seolah-olah keduanya belum saling mengenal. Sekarang semuanya menjadi semakin
jelas bagi kita.”
Orang-orang
yang mendengar keterangan itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Para pengawal
yang mengikuti Sutawijaya pun menjadi jelas pula. Semula mereka menganggap
bahwa keduanya tidak mempunyai hubungan. Bahkan mereka menganggap bahwa Kiai
Telapak Jalak dan Kiai Damar belum saling mengenal. Hanya kebetulan saja
keduanya mampu berhubungan dengan hantu-hantu Alas Mentaok. Sambil memandang
orang yang terikat itu, Sutawijaya berkata,
”Jadi sekarang
Kiai Telapak Jalak juga ada di sini?”
Orang itu
mengangguk meskipun tidak menjawab sama sekali.
“Terima kasih.
Aku mengerti, bahwa mereka akan menghancurkan barak ini dengan kekuatan yang
mereka gabungkan itu. Itulah sebabnya kami harus bersiaga sepenuhnya,” berkata
Sutawijaya.
Kemudian
kepada pengawalnya ia berkata,
”Kumpulkan
orang-orang semuanya. Mereka harus menghentikan latihan-latihan mereka. Mereka
harus mendapat penjelasan tentang keadaan yang sebenarnya. Mereka harus
mendapat penjelasan pula tentang medan yang bakal mereka hadapi, karena aku
yakin bahwa Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak tidak hanya akan sekedar
bermain-main.”
Lalu, sambil
mengacukan tombaknya di muka hidung orang yang terikat itu Sutawijaya bertanya,
”Apakah ada
orang-orang tua atau orang-orang yang terpilih.”
Orang yang
terikat itu menggelengkan kepalauya.
“Baiklah,” berkata
Sutawijaya,
”untuk
sementara aku percaya. Dan untuk sementara kau dapat beristirahat bersandar
tiang itu.”
Sutawijaya pun
kemudian meninggalkan orang yang masih terikat itu. Sejenak kemudian ia sudah
duduk di serambi bersama dengan Sumangkar dan Kiai Gringsing beserta kedua
muridnya. Dalam pada itu, maka orang-orang dari barak itu pun sudah berkumpul
pula. Para pengawal telah mencoba menjelaskan apa yang akan terjadi.
“Kami sama
sekali tidak berniat untuk menakut-nakuti kalian karena kalian memang bukan
penakut. Tetapi kalian memang lebih baik mengetahui keadaan yang sebenarnya
supaya kalian tidak terkejut karenanya, dan justru menjadi kehilangan akal.
Sejak sekarang kalian sudah harus mempersiapkan hati kalian masing-masing untuk
menghadapi keadaan yang bakal datang,” berkata salah seorang pengawal kepada
orang dari barak itu.
”Semuanya yang
bakal terjadi memang tergantung sekali kepada kalian. Kalau kalian gigih mempertahankan
diri, kalian akan selamat. Tetapi kalau kalian menyerahkan diri kalian kepada
keadaan, kepada kehendak dan keputusan lawan, maka nasib kalian pun akan berada
di tangan mereka. Kau dapat melihat beberapa contoh di sini. Orang yang
menyerahkan dirinya karena sebab apa pun, akan mengalami nasib yang tidak
menyenangkan. Karena itu, kalian tidak boleh mengalami hal itu. Kalian harus
berjuang sebaik-baiknya.”
Orang-orang
yang mendengarkan uraian pengawal itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Seakan-akan
mereka menyadari bahwa selama ini mereka telah dicengkam oleh ketakutan tanpa
arti. Dan ketakutan mereka itulah yang telah membuat mereka hidup dalam keadaan
yang sangat tertekan. Kini seakan-akan mereka menghadap kepada suatu keadaan,
yang baru, yang diletakkan di hadapan mereka. Mereka mempunyai kesempatan untuk
menentukan keadaan itu. Di serambi, Sutawijaya pun telah berbicara panjang
lebar dengan Kiai Gringsing dan Sumangkar, apakah yang sebenarnya mereka
hadapi. Kiai Telapak Jalak menurut pendengaran Sutawijaya dari para pengawalnya
adalah seorang yang memang pilih tanding. Itulah sebabnya maka mereka harus
benar-benar berhati-hati.
“Kita harus
memperhitungkan setiap kemungkinan,” berkata Kiai Gringsing,
”juga atas
kemungkinan penggunaan racun.”
“Ya.”
“Untunglah di
sini aku menemukan sejenis tumbuhkan yang dapat menawarkan racun. Berhari-hari
aku menyelidikinya, akhirnya aku berkesimpulan bahwa pohon itu memang mempunyai
kekuatan penawar.”
“Pohon apakah
itu?”
“Daunnya kecil
bersirip ganda”
“Darimana Kiai
tahu?”
“Semula aku
hanya menduga-duga. Pohon sejenis perdu itu terdapat banyak sekali di halaman
dukun yang terbunuh itu, seakan-akan sengaja telah ditanam. Dan agaknya memang
demikian. Aku tidak pasti apakah kasiatnya. Tetapi karena dukun itu mempunyai
kemampuan menawarkan racun, aku sudah berpikir ke arah itu. Apalagi, ketika di
dapur rumahnya yang kecil aku menemukan daun-daun pohon perdu itu yang sudah
kering. Yang sudah dipanasi. Aku yakin bahwa dedaunan itu mengandung kasiat.
Ternyata penyelidikanku berhasil. Dedaunan itu mempunyai kekuatan menawarkan
racun. Yang aku belum tahu, sampai berapa lama kekuatan itu tetap ada di dalam
tubuh seseorang.”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tidak heran, kalau dalam setiap kesempatan
seorang dukun seperti Kiai Gringsing itu melakukan percobaan-percobaan. Tetapi
Sutawijaya berkata,
”Hal itu pasti
akan menguntungkan sekali. Tetapi mudah-mudahan mereka tidak mempergunakan
racun. Racun adalah bahan yang sukar dibuat, sehingga hanya orang-orang penting
sajalah yang akan mempergunakannya.”
“Ya.
Mudah-mudahan. Tetapi kita harus selalu bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Persediaan yang ada padaku sudah sangat menipis. Aku sudah cemas apabila pada
suatu saat kita akan kehabisan penawarnya. Namun tiba-tiba aku telah
menemukannya.”
Demikianlah,
maka orang-orang yang berada di barak itu sudah menyiapkan diri dalam segala
kemungkinan. Ia yakin bahwa serangan yang bakal datang pasti sudah
diperhitungkan benar-benar oleh Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak.
Tetapi bahwa
ada dua orang dari antara, mereka yang hari ini tidak kembali, memang mungkin
akan menumbuhkah persoalan-persoalan baru di dalam lingkungan mereka. Tetapi
agaknya Agung Sedayu sudah mempergunakan cara yang paling baik untuk dilakukan.
Ia ingin membuat kesan, bahwa kedua orang itu sama sekali tidak ditangkap oleh
Sutawijaya dan pengawalnya. Yang terjadi seolah-olah hanyalah sekedar
kecelakaan. Sejenak kemudian maka persiapan para pengawal dan orang-orang di
barak itu pun telah ditingkatkan pula. Swandaru masih sempat melepaskan tali
kuda dari orang yang telah ditangkapnya. Tetapi kuda itu tidak dibawanya
kembali ke barak, seperti yang direncanakan. Kiai Gringsing menasehatkan agar
kuda itu dilepaskan saja. Kalau kawan-kawan orang yang tertangkap itu
menemukannya, maka mereka pasti tidak akan segera menduga, bahwa kedua kawannya
telah tertangkap. Mereka akan menyangka, bahwa keduanya mengalami kecelakaan
selama kuda-kuda itu menjadi liar. Kiai Gringsing mengharap, bahwa mereka
memperhitungkan, seandainya kawan-kawannya tertangkap, pasti beserta kudanya
sekaligus. Ternyata perhitungan Kiai Gringsing itu berhasil. Setelah dua orang,
dari keempat orang yang menyelidiki barak itu berhasil kembali ke sarang
mereka, maka mereka segera membuat rencana baru. Empat orang lain, bersama dua
orang yang sempat kembali itu telah dikirim untuk melihat keadaan dan mencari
kedua kawannya yang hilang. Tetapi mereka hanya menemukan kuda-kuda yang lepas.
Keduanya berusaha untuk kembali ke sarang mereka. Dan kedua ekor kuda itu telah
di ketemukan oleh keenam orang yang mencarinya.
“Di mana
penunggangnya?” salah seorang berdesis.
“Kuda-kuda ini
benar-benar menjadi liar,” sahut yang lain, yang melihat luka di paha kudanya.
Agaknya kuda itu telah berlari tanpa menghiraukan apa pun juga, sehingga
kakinya telah tergores sebatang ranting yang patah.
“Bagaimanakah
nasib penunggangnya?” orang-orang itu masih saja bertanya-tanya.
Namun dengan
demikian mereka tidak lagi berusaha mendekati barak dari arah yang dilalui
semula. Mereka mencari jalan lain untuk mencoba mendekat. Dengan demikian,
mereka tidak menemukan tali-tali lulup yang telah direntangkan oleh Swandaru
dan Agung Sedayu di arah depan barak.
Keenam orang
itu telah melingkar, agak jauh. Setelah, menambatkan kuda-kuda mereka, maka
mereka pun merayap mendekat. Mereka ternyata datang dari arah belakang,
sehingga dengan demikian, tidak banyaklah yang dapat mereka lihat.
“Tidak ada
pekerjaan yang khusus,” desis salah seorang dari mereka. Dari kejauhan mereka
memang melihat seseorang yang berdiri di sudut barak. Kemudian berjalan
hilir-mudik sejenak, lalu duduk di bebatur batu.
”Mungkin orang
itu memang sedang menjaga barak itu,” berkata salah seorang dari mereka.
Yang lain
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak mereka bersembunyi di balik semak-semak
sambil memperhatikan barak itu baik-baik. Mereka mencoba untuk melihat kalau
ada persiapan-persiapan khusus yang perlu mereka beritahukan kepada lurahnya.
”Bukankah
tidak ada hal-hal yang menarik perhatian,” berkata salah seorang dari mereka.
“Tidak,” yang
lain menyahut,
”Adalah
kebiasaan yang wajar bahwa satu dua orang berjaga-jaga di sekitar tempat yang
dihuni oleh orang-orang penting. Kali ini Sutawijaya, meskipun aku kira hanya
untuk waktu yang singkat. Tetapi sayang, bahwa ia tidak akan pernah kembali ke
pusat pemerintahan Tanah Mataram.”
“Apakah dengan
demikian kita tidak akan dimusnakan oleh Sultan Pajang?”
Orang yang
berbicara tentang Sutawijaya itu tersenyum,
”Memang
orang-orang Kiai Telapak Jalak tidak banyak yang mengetahui persoalan ini.
Orang-orang Kiai Damar pun sangat terbatas sekali. Tetapi kami sudah mendapat
penjelasan, bahwa Sultan Pajang menjadi sangat marah karena Mataram justru
telah dibuka menjadi sebuah negeri.”
“Siapa yang
mengatakannya?” bertanya kawannya,
”aku kira itu
mustahil sekali.”
“Tetapi aku
percaya. Kepergian Pemanahan tanpa pamit membuat Sultan Pajang marah. Dengan
terpaksa sekali ia menyerahkan Alas Mentaok yang begitu saja dibuka oleh
Pemanahan sebelum secara resmi Sultan memberikan. Jadi kemarahan Sultan Pajang
kepada Sutawijaya, putera angkatnya yang sejak kecil dipelihara dengan baik,
adalah wajar sekali.”
“Omong
kosong,” tiba-tiba orang lain lagi memotong,
”seakan-akan
kau seorang tumenggung yang mengerti benar akan persoalan itu. Kau pasti mendengar
ceritera itu dari orang ke lima, ke tujuh atau bahkan ke seratus kali dari
sumbernya. Kita memang tidak tahu apa-apa. Kita amati saja barak itu. Kita
laporkan apa yang kita lihat. Apakah Sultan Pajang akan murka atau tidak, itu
bukan persoalan, kita di sini.”
Kawan-kawannya
tersenyum. Wajah orang yang berceritera tentang Sultan Pajang itu menjadi
kemerah-merahan. Tetapi sejenak kemudian ia pun tersenyum pula. Katanya,
”Mungkin aku
mendengar dari orang yang langsung berkepentingan.”
“Uh, kau pasti
mendengar ketika aku berceritera semalam,” bantah kawannya yang memotong
pembicaraannya. Lalu,
”Aku pun hanya
mendengar dari orang lain yang sedang mengisi waktunya dengan berbicara.”
“He, apakah
aku mendengar dari kau.”
“Tentu. Kau
mendengar dari aku, dan sekarang kau menceriterakannya kembali kepadaku.
Sekarang kita tidak usah menghiraukannya lagi. Kita akan menghancurkan barak
ini. Hancur lebur menjadi abu yang paling lembut.”
Kawan-kawannya
mengangguk-angguk. Memang itulah tugas mereka. Apakah dengan demikian mereka
akan dihancurkan oleh Sultan Pajang, atau justru akan mendapat hadiah Tanah
Mataram, mereka tidak peduli.
“Apakah kita
tidak perlu melihat bagian depan dari barak ini?”
Kawannya menggelengkan
kepalanya. Jawabnya,
”Kita sudah
melihat sebagian. Kalau kuda-kuda liar tadi berlari-larian sampai ke dekat
barak ini, maka orang-orang di barak itu justru akan mengintai apakah ada
orang-orang lain yang datang. Kalau kita gagal lagi, tidak akan ada keterangan
yang akan sampai kepada Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak tentang daerah ini.”
Yang lain
tidak menyahut. Mereka memandang pemimpin kelompok yang harus membuat keputusan
terakhir.
“Kita sudah
cukup,” berkata pemimpin kelompok itu,
”kita yang
hanya merupakan kelompok kecil ini memang sebaiknya tidak melakukan hal-hal
yang sangat berbahaya. Misalnya melihat barak dari bagian depan.”
“Jadi?”
bertanya salah seorang dari mereka.
“Kita kembali
dan melaporkan apa yang telah kita lihat.”
“Nanti malam
kita akan menghancurkan semuanya itu. Kenapa Kiai Damar harus minta bantuan
kami kalau yang dihadapi hanya orang-orang malas di dalam barak itu.”
“Jangan
berkata begitu,” salah seorang menjawab,
”di antara
mereka ada orang yang tidak terkalahkan.”
“Suatu mimpi
yang menarik,” desis orang yang lain sambil tertawa.
“Coba sajalah
nanti malam. Lehermu akan terjerat oleh ujung cambuk.”
“Memang mimpi
yang buruk. Orang-orang tidak terkalahkan yang bersenjata cambuk.”
Yang lain
tidak menjawab lagi meskipun hatinya menjadi panas. Tetapi ia yakin bahwa
apabila orang-orang Kiai Telapak Jalak itu sudah mengalaminya sendiri, maka
mereka pasti akan berkata lain. Tetapi salah seorang dari orang-orang Kiai Telapak
Jalak itu masih berkata,
”Nanti malam
aku akan menangkap orang-orang bercambuk itu. Aku ingin menunjukkan kepada kalian
bahwa mereka tidak lebih dari penghuni-penghuni barak yang lain.”
Kawannya
berbicara masih tetap berdiam diri saja, meskipun hatinya mengumpat-umpat. Demikianlah,
maka sekelompok kecil orang-orang yang mengintai barak itu kemudian menarik
diri masuk ke dalam gerumbul yang lebih lebat lagi. Sejenak kemudian mereka pun
telah menghilang dan kembali kepada kuda-kuda mereka.
“Kita harus
segera memberikan laporan,” berkata pemimpin kelompok itu,
”semua jalan
sudah rata. Kita akan segera dapat menyelesaikan tugas ini. Kita harus kembali
segera ke daerah garapan kami yang sampai saat ini masih dapat kami pelihara
dengan baik. Tetapi kalau orang-orang di dalam barak ini tidak dihancurkan,
maka mereka pasti akan menyebarkan berita yang sangat merugikan bagi kita.”
Mereka pun
kemudian berloncatan ke atas punggung kuda masing-masing. Sejenak kemudian
kuda-kuda itu pun segera berderap dan menghilang di dalam rimbunnya
semak-semak. Yang sama sekali tidak mereka ketahui, bahwa sepasang mata selalu
mengikuti mereka sejak mereka datang, bersembunyi di dalam semak-semak di
belakang barak dan kemudian kembali ke kuda-kuda mereka. Setelah orang-orang
itu hilang di balik semak-semak, maka orang yang mengikuti mereka itu pun
berdiri tegak sambil menggeliat. Agaknya punggungnya terasa pegal-pegal setelah
sekian lama terbungkuk-bungkuk sambil menahan nafas.
“Nanti malam
agaknya mereka akan kembali,” desis orang itu yang tidak lain adalah Kiai
Gringsing. Kecurigaannya bahwa akan ada orang baru lagi yang menyelidiki barak
itu serta mencari kawan-kawannya ternyata benar. Ia berhasil melihat sekelompok
kecil orang-orang yang ingin melihat-lihat barak dan kesiagaannya itu.
“Untunglah
bahwa latihan-latihan sudah selesai. Kalau masih, mereka pasti mempunyai
perhitungan lain. Mereka pasti akan memperkuat pasukan mereka dan mereka akan
lebih berhati-hati. Kini yang mereka perhitungkan adalah Sutawijaya dan pengawalnya,”
katanya di dalam hati.
”Tetapi sudah
tentu Kiai Telapak Jalak sendiri akan mengambil kesimpulan lain. Agaknya Kiai
Telapak Jalak termasuk orang yang agak lebih tinggi tingkat ilmunya dari Kiai
Damar. Dan rencana mereka benar-benar bukan rencana yang tanggung-tanggung.
Memusnahkan seluruh isi barak ini sampai lumat.”
Kiai Gringsing
menarik nafas dalam-dalam. Seisi barak itu harus benar-benar bersiaga
menghadapi segala kemungkinan. Ia tidak tahu pasti, berapakah jumlah
orang-orang yang nanti malam akan menyerang barak ini. Ia juga tidak
mengetahui, ada berapa orang yang perlu diperhitungkan untuk mendapat
perlawanan khusus.
“Untunglah Adi
Sumangkar datang menjemput Swandaru dalam keadaan yang sulit dan berbahaya ini.
Kalau tidak, mungkin kami akan mengalami banyak kesulitan,” desisnya.
Kiai Gringsing
pun kemudian segera kembali ke barak. Ia segera memberitahukan apa yang
dilihatnya kepada Sutawijaya.
“Jadi nanti
malam mereka akan datang?”
“Menurut
orang-orang itu.”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia harus mempersiapkan penyambutan
sebaik-baiknya. Semua kekuatan harus dikerahkan karena mereka tidak mendapat
gambaran yang pasti dari kekuatan lawan. Yang dapat menjadi bahan pertimbangan
adalah, bahwa dua kekuatan yang ada di ujung-ujung hutan ini telah dipersatukan
untuk membinasakan isi barak ini. Setiap orang di dalam barak itu menyadari,
Sutawijaya memang tidak merahasiakan lagi apa yang akan terjadi. Bahkan sekali
lagi ia minta para pengawalnya menjelaskan semuanya itu.
“Mereka akan
membinasakan barak ini menjadi debu. Semua orang akan dibunuh tanpa ampun.
Mereka ingin melenyapkan segala macam ceritera tentang daerah ini. Kegagalan
mereka menakut-nakuti kalian sebagai hantu Alas Mentaok. Mereka menjaga agar
kegagalan itu tidak akan menjalar ke daerah-daerah lain. Dengan demikian mereka
harus menghapuskan sumber yang dapat menyebarkan ceritera itu. Yaitu kita
semua. Kita semua akan mereka bunuh. Bahkan bukan hanya laki-laki saja, tetapi
juga perempuan dan anak-anak.”
Berita itu
memang menumbuhkan ketakutan yang tiada taranya. Perempuan-perempuan mulai
menggigil memeluk anak-anak mereka yang dengan heran melihat ibunya menitikkan
air matanya.
“Kenapa kita
dahulu tersesat ke neraka ini,” keluh seorang perempuan sambil menciumi
anaknya.
Akibat yang
timbul dari ketakutan itu ternyata luar biasa. Laki-laki yang semula gemetar
mendengar ancaman itu, tiba-tiba menggeletakkan giginya melihat isterinya
menangisi anaknya yang masih bayi.
“Anak itu
tidak tahu apa-apa,” laki-laki itu menggeram di dalam hatinya.
Demikianlah
tekad yang bulat telah menggelepar, di dalam dadanya,
”Biarlah aku
mati. Tetapi perempuan dan anak-anak harus diselamatkan.”
“Nah,” berkata
para pengawal kemudian,
”sekali lagi
tergantung kepada kita di sini. Apakah kita akan menyerahkan leher kita, leher
isteri tercinta dan anak-anak tersayang kepada serigala-serigala yang buas itu,
atau kita masih berusaha untuk mempertahankan diri dan mempertahankan
nilai-nilai kemanusiaan.”
Demikianlah,
ancaman itu justru telah menumbuhkan, kebulatan tekad bagi setiap lakì-laki di
barak itu untuk mempertahankan dirinya. Mereka telah menemukan kesadaran,
berbuat sesuatu atau tidak, mereka akan dibinasakan. Diam pun mereka akan
dibinasakan juga. Dari pada mati berpeluk tangan, lebih baik mati bertolak
pinggang. Dengan demikian, maka setiap orang kemudian menyatakan dirinya untuk
ikut di dalam perlawanan. Bahkan orang tua-tua pun telah menyatakan
kesediaannya. Seorang yang berambut seputih kapas mengacukan tangannya sambil
berkata,
”Aku pun
pernah menjadi pengawal padesanku. Aku pernah berlatih mempergunakan senjata.
Berilah aku senjata. Aku akan berkelahi.“
Para pengawal
mengangguk-anggukkan kepala. Tetapi menurut pembagian tugas yang telah mereka
perbincangkan, orang-orang tua akan menjaga pintu-pintu barak. Mereka baru akan
berkelahi di dalam perlawanan yang terakhir, apabila ada satu dua orang lawan
yang berhasil menembus pertahanan dan sengaja akan melakukan perbuatan terkutuk
dan tidak berperikemanusiaan terhadap perempuan dan anak-anak. Bahkan salah
seorang pengawal berkata kepada perempuan yang mendukung anak-anak mereka,
”Bukan saja
laki-laki, tetapi setiap ibu yang mendukung anaknya pun pasti akan
mempertahankan anak-anaknya dengan cara apa pun.”
Demikianlah
seisi barak itu pun benar-benar telah dibakar oleh kesiagaan tertinggi dengan
tekad yang membara di dalam hati. Mereka sadar, bahwa laki-laki adalah tempat
bergantung bagi seluruh keluarga, juga di dalam keadaan yang paling gawat,
sehingga sepantasnyalah laki-laki mempertaruhkan nyawa mereka untuk anak dan
isteri.
“Kita menunggu
sampai hari menjadi gelap,” berkata Sutawijaya.
”Kita tidak
tahu, apakah di sekeliling kita tidak ada satu dua orang yang sedang mengintai
kita.”
Ketika senja
sudah turun, ternyata bahwa Sutawijaya pun telah mengirimkan beberapa orang ke
sekeliling barak itu untuk melihat saat-saat lawan mereka mendekati barak.
Mereka harus segera mengirimkan tanda dengan panah sendaren apabila keadaan
sudah meningkat menjadi semakin gawat.
“Aku ikut
dengan kalian,” berkata Swandaru.
“Kau tetap di
sini,” berkata Sutawijaya,
”kita akan
memperhitungkan setiap persoalan yang timbul.”
Swandaru tidak
segera menjawab. Tetapi dipandanginya Agung Sedayu dengan tatapan mata yang
gelisah.
“Kenapa?”
bertanya Kiai Gringsing.
Agung Sedayu
justru tersenyum. Katanya,
”Kenapa tidak
kau katakan saja supaya para pengawas itu tidak terperosok ke dalam
pasanganmu?”
“Apa yang
sudah kau lakukan?” bertanya gurunya.
“Kami memasang
perangkap. Kami telah merentangkan tali-tali lulup di semak-semak sebelah.”
“Kenapa kau
pasang tali-tali itu?”
“Kami ingin
menahan laju orang-orang yang menyerang barak ini.”
Kiai Gringsing
menarik nafas dalam-dalam. Tetapi seperti Sutawijaya dan Sumangkar, ia pun
tersenyum.
”Agaknya
perangkapmu itu pula yang telah menjerat kaki-kaki kuda yang menjadi liar itu.”
“Ya. Tetapi
aku cemas, bahwa justru pengawas kita sendiri yang terjerat kakinya. Karena
itu, aku akan ikut serta dan menunjukkan jerat-jerat yang telah kami pasang.”
Tetapi
Sutawijaya menggeleng,
”Tidak. Asal
saja mereka sudah mengetahuinya, mereka akan berhati-hati. Mereka akan selalu
mengingat-ingat di mana mereka menemukan jerat.”
Swandaru
mengangguk. Tetapi ia masih tetap mencemaskan para pengawas. Kalau mereka
tergesa-gesa mundur apabila lawan sudah mendekat, maka mereka tidak akan lagi
dapat mengingat tali-tali yang terentang itu. Tetapi Swandaru tidak dapat
berbuat lain. Sutawijaya telah memutuskan mengirim tiga orang pengawas yang
terpisah. Mereka hanya sekedar memberikan tanda-tanda. Tetapi mereka sendiri
harus segera bergabung dengan induk pasukan. Demikianlah, maka ketiga orang itu
pun segera berpencar setelah Swandaru menunjukkan kepada mereka, di mana ia
merentangkan tali-tali lulup. Bahkan ada di antaranya yang diikat berganda.
Sepeninggal
orang-orang itu, gelap malam telah menyelubungi barak yang terpencil itu,
Sutawijaya pun kemudian memerintahkan setiap kelompok yang sudah disusun mulai
menyiapkan dirinya. Mereka harus siap di segala saat. Karena itu, maka
senjata-senjata mereka tidak boleh terpisah lagi dari tangan masing-masing. Selain
tiga orang yang memencar, Sutawijaya juga meletakkan beberapa orang pengawas
dekat di luar halaman barak itu. Seandainya para pengawas yang berpencar itu
tidak berhasil melihat gerakan lawan, dan tiba-tiba saja mereka telah berada di
dekat halaman, maka masih ada juga yang sempat memberikan tanda bagi
orang-orang yang sudah siap menunggu itu. Demikianlah, sekejap demi sekejap,
malam merayap semakin dalam. Gelap yang menjadi semakin pekat telah membatasi
jarak pandangan orang-orang yang ada di serambi barak. Apalagi malam itu, di
serambi sama sekali tidak dipasang lampu minyak seperti biasa. Tetapi kali ini
lampu minyak yang biasanya tergantung di serambi telah digantungkan pada
sebatang pohon di sudut halaman dan yang lain di mulut regol butulan yang
tertutup rapat. Bahkan lampu di dalam barak pun seakan-akan tidak sempat
menembus lubang-lubang dinding karena memang sengaja diredupkan, dan bahkan
ditutup dengan helai-helai daun pisang. Tetapi dalam pada itu, di serambi dan
di segala sudut barak, setiap laki-laki telah siap menghadapi kemungkinan yang
dapat terjadi.
“Kalau kalian
bingung menghadapi seseorang, apakah ia lawan atau bukan, sebutlah kata-kata
sandi yang sudah kita tentukan. Kalau orang itu tidak menjawab, maka ia pasti
lawan yang harus kita hadapi,” berkata para pengawal.
Semua orang di
dalam barak itu sudah mengenal kata-kata sandi yang harus mereka ucapkan.
Mereka tidak boleh melupakannya agar tidak menimbulkan salah paham di antara
kawan sendiri.
Di langit
perlahan-lahan bintang gemintang bergeser ke Barat. Angin malam yang sejuk
berhembus di sela-sela dedaunan mengusap wajah-wajah yang tegang di sekitar
barak itu. Derik bilalang di daun ilalang terdengar sahut-menyahut tidak
putus-putusnya.
“Kalian dapat
menunggu sambil beristirahat,” berkata salah seorang pengawal yang memimpin
sekelompak kecil laki-laki penghuni barak itu, ”duduklah. Berbuatlah seenaknya
seperti tidak akan terjadi apa-apa, meskipun dalam kesiap-siagaan. Kita akan
mendapat tanda apabila bahaya itu sebenarnya akan datang.”
Seorang laki-laki
muda tiba-tiba menjawab,
”Mereka akan
datang dekat tengah malam.”
“Darimana kau
tahu?” bertanya pengawal itu.
“Demikianlah
kebiasaan mereka. Selagi mereka masih bermain hantu-hantuan, mereka datang
dekat tengah malam. Aku kira kali ini pun mereka akan datang dekat tengah
malam.”
“Memang masuk
akal. Mereka tidak akan dapat meninggalkan kebiasaan mereka yang sudah
berlangsung lama. Di daerah Selatan, hantu-hantu itu juga keluar dekat tengah
malam. Kami pun pernah terjebak dalam kepercayaan atas hantu-hantu itu,
meskipun kami ragu-ragu. Tetapi sekarang kami yakin, bahwa yang terjadi di
daerah Selatan tidak banyak bedanya dengan daerah ini. Agaknya kedatangan
laki-laki yang bersenjata cambuk bersama dua orang anaknya itu sangat
menentukan bagi daerah ini dan bahkan ujung-ujung yang lain dari daerah yang
sedang dibuka ini.”
“Ya,
orang-orang itulah yang dengan caranya yang kadang-kadang aneh dan tidak kami
mengerti, akhirnya mengungkapkan semuanya yang selama ini masih gelap bagi kami
di sini. Hantu-hantu, jerangkong, kuda semberani, dan segala macam lagi. Tetapi
kini kami sudah berdiri berhadapan dalam keadaan yang pasti. Apa pun yang akan
terjadi.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar