Jilid 059 Halaman 3


Meskipun orang berkuda itu merencanakan segala macam usaha, namun Swandaru berhasil memaksakan kehendaknya sedikit demi sedikit. Akhirnya orang itu sampai pada suatu kesimpulan bahwa, ia harus melarikan diri. Ia tidak menyangka, bahwa orang bercambuk yang dikatakan oleh Kiai Damar itu benar-benar orang yang luar biasa. Semula ia menduga, bahwa anak buah Kiai Damar lah yang sama sekali tidak mampu mempertahankan diri. Tetapi setelah ia mengalami perkelahian, barulah ia sadar, bahwa lawannya memang seorang anak muda yang tangguh. Karena itu, orang itu berusaha untuk mendapat kesempatan. Setiap kali ia mencoba bergeser mendekati kudanya. Tetapi ia merasa, bahwa ia tidak akan mendapat kesempatan itu. Selagi ia melepas tali tambatan kudanya, anak muda yang gemuk itu pasti sudah berhasil menangkapnya.
“Aku harus lari. Lari saja tanpa membawa kuda itu kembali,” katanya di dalam hati.
Tetapi malang baginya. Ketika ia meloncat surut, kemudian berusaha melarikan diri, ternyata ujung cambuk Swandaru telah membelit kakinya, sehingga ia pun tertelungkup. Dengan cepatnya ia meloncat berdiri. Tetapi demikian ia tegak, tangan Swandaru telah menerkam pergelangan tangannya dan memilinnya ke belakang, sehingga tangan itu tidak lagi dapat mempertahankan genggaman senjatanya

Sejenak ia menyeringai menahan sakit. Namun kemudian ia masih juga berusaha melepaskan dirinya. Tetapi semakin kuat ia berusaha menarik tangannya, semakin kuat pula tekanan tangan Swandaru pada pergelangannya dan sekaligus pada punggungnya, sehingga tangannya seakan-akan patah karenanya.
“Jangan, jangan,” ia berdesis.
”Tanganmu akan patah. Dan kau akan kehilangan kegaranganmu.”
“Jangan.”
“Aku tidak peduli. Aku akan membawa potongan tanganmu kembali ke barak dan menyerahkannya kepada Sutawijaya sebagai bukti, bahwa aku telah menemukan seseorang yang sedang mengintai barak ini.”
“Jangan. Jangan dipatahkan tanganku.”
“Aku tidak memerlukan tanganmu lagi.”
“Tetapi, tetapi… aku masih memerlukannya.”
“Oh, maksudmu, aku pun memerlukan sebelah tanganmu, atau sebaiknya kedua-duanya.”
“Jangan, jangan.”
Swandaru semakin menekankan tangan yang terpilin itu pada punggung orang itu sambil mendorongnya maju.
”Tanganmu akan patah.”
“Jangan.”
Tanpa disadari oleh orang itu, Swandaru selalu mendorongnya semakin dekat dengan barak. Setapak demi setapak mereka maju terus.
“Tanganmu itu sangat berharga bagiku,” desis Swandaru.
“Jangan, jangan.”
Swandaru mendorongnya terus. Sehingga akhirnya mereka menjadi semakin dekat. Ketika mereka keluar dari segerumbul perdu, mereka sampai pada sebuah lapangan rumput yang meskipun masih juga ditumbuhi oleh batang perdu yang bergerumbul di sana-sini, namun mereka dapat memandang ke jarak yang agak jauh. Dengan demikian maka orang yang tangannya terpilin itu pun segera menyadari keadaannya. Di kejauhan dilihatnya beberapa orang berjalan hilir-mudik di halaman sebuah barak yang besar. Meskipun jarak itu masih belum dekat benar, dan bahkan masih juga dibayangi oleh beberapa gerumbul, tetapi orang itu tahu benar, bahwa ia telah dipaksa untuk pergi ke barak itu.

Tiba-tiba saja orang menghentakkan tangannya. Tetapi pegangan tangan Swandaru bagaikan besi yang menjepit pergelangannya, sehingga dengan demikian tangannya itu justru menjadi semakin sakit karenanya.
“Jangan mencoba melepaskan diri,” geram swandaru.
“Jangan bawa aku ke sana.”
“Kenapa?”
“Aku tidak mau. Aku tidak mau.”
“Baiklah, kalau begitu kembalilah kepada orang yang menyuruhmu kemari.”
Orang itu menjadi heran mendengar jawaban Swandaru.
”Ya, kembalilah. Pergilah cepat. Tetapi, masih ada tetapinya,” Swandaru berhenti sejenak,
”kedua tanganmu harus kau tinggal.”
“Gila,” geram orang itu.
“Apa, apa kau bilang?“ Swandaru menekan tangan itu semakin keras.
“Tidak, tidak.”
“Kau memang tidak mempunyai pilihan lain. Kau harus mengikuti aku pergi ke barak itu. Kau harus menghadap Sutawijaya dan menjawab semua pertanyaannya, sebelum tubuhmu hancur menjadi kepingan tulang-tulang. Kau mengerti.”
Terasa tubuh orang itu meremang. Dan Swandaru berkata terus,
”Karena itu, jawab sajalah semua pertanyaannya sebelum ia menjadi marah. Kau mengerti? Orang yang menjawab semua pertanyaannya dengan baik, tidak akan mengalami apa pun juga.”
Dada orang itu menjadi berdebar-debar. Tetapi ia memang tidak mempunyai pilihan lain. Kini tangannya telah berada di dalam genggaman jari-jari Swandaru.
“Kenapa aku tidak melawannya sampai mati,” ia menggeram.
Swandaru yang mendengar justru menyahut,
”Kau tidak akan mati.”

Orang itu menggeram, tetapi ia tidak dapat banyak berbuat. Tangannya seolah-olah sudah tidak dapat dikuasainya sendiri. Yang terasa hanyalah sengatan-sengatan rasa sakit yang semakin tajam. Dengan demikian, ia tidak dapat menolak ketika Swandaru mendorongnya masuk ke halaman barak. Beberapa orang yang ada di halaman itu tertegun dan memandanginya dengan sorot mata yang aneh. Tetapi Swandaru terkejut ketika ia melihat Agung Sedayu sudah duduk di serambi barak itu bersama Sutawijaya. Karena itu, maka ia pun segera bertanya,
”Kenapa kau sudah duduk di situ, Kakang?”
Agung Sedayu tidak segera menyahut. Tetapi ia justru bertanya,
”Itukah orang yang berkuda bersama empat orang kawannya?”
“Ya. Aku ketemukan ia sedang bergumul dengan kudanya.”
“Di mana kuda itu?”
Barulah Swandaru teringat, bahwa kuda orang itu masih terikat di semak-semak.
“He, kuda itu bermanfaat juga bagi kita di sini,” desisnya.
”Baiklah aku akan mengambilnya setelah orang ini aku serahkan. Tetapi bagaimana dengan kau?”
Agung sedayu tidak menjawab. Ia hanya menunjuk seseorang yang sedang diobati oleh Kiai Gringsing karena luka-luka di kepalanya.
“Kau apakan orang itu?” bertanya Swandaru.
“Aku telah mendukungnya.”
Swandaru mengerutkan keningnya.
“Ia jatuh dari kudanya yang gila. Agaknya kepalanya membentur sesuatu. Aku menemukannya dalam keadaan pingsan.”
Swandaru mengumpat perlahan-lahan. Katanya,
”Kau menemukannya pingsan sehingga kau tidak perlu berkelahi.”
“Apakah kau berkelahi?”
“Bertanyalah kepada orang ini,” jawab Swandaru sambil mendorong tangan orang itu.

Orang itu menyeringai kesakitan karena tangannya yang terpilin. Tetapi ia tidak menyahut.
“Kenapa kau diam saja,” bentak Swandaru, ”ayo katakan.”
“Apakah yang harus aku katakan?”
“Jawab dari pertanyaan itu.”
“Apakah yang ditanyakan.”
Swandaru menjadi jengkel. Tangannya memilin tangan orang itu semakin keras, hingga orang itu menjadi semakin kesakitan. Akhirnya ia terpaksa berkata,
”Ya, ya. Kita sudah berkelahi sebentar.”
“Sebut, siapa yang kalah dan siapa yang menang,” desak Swandaru.
“Anak bengal,” desis Agung Sedayu sambil tersenyum. Bahkan Sutawijaya dan Sumangkar pun tersenyum pula. Hanya Kiai Gringsing sajalah yang mengerutkan keningnya. Di mana-mana Swandaru berbuat menurut kesenangannya sendiri dalam keadaan apa pun juga.
Tetapi Swandaru masih juga memaksanya menjawab,
“Ayo jawab. Siapa yang menang dan siapa yang kalah.”
“Ya, ya,” orang itu menyeringai,
”kau yang menang. Kaulah yang menang.”
“Sebut yang kalah.”
“Aku. Akulah yang kalah.”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
”Bagus. Kau jujur. Kau dapat berkata sebenarnya. Karena itu, nanti untuk seterusnya kau harus juga menjawab semua pertanyaan dengan sebenarnya. Kalau kau tidak mau menjawab, bukan sekedar tanganmulah yang akan dipilin, tetapi kumismu, eh, lehermu.”
Orang itu tidak menjawab. Tetapi ketika tangan Swandaru mengendor, ia dapat melihat satu-satu orang yang duduk di serambi.
Tetapi sekali lagi ia terkejut ketika Swandaru bertanya,
”Nah, kalau kau benar-benar pernah, melihat Raden Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi Loring pasar, yang manakah orangnya.”
“Ah kau,” Agung Sedayu-lah yang menyahut. Ia tidak tahan lagi melihat gurau Swandaru. Sambil mengerutkan dahinya ia berkata,
”Pakaian kita masing-masing telah menunjukkan. Meskipun seandainya ia belum pernah melihat sekali pun.”
“Menurut pengakuannya ia pernah melihat Raden Sutawijaya. Ia tidak percaya ketika aku menyebut namaku Raden Sutawijaya. Katanya Raden Sutawijaya tidak segemuk aku.”
Raden Sutawijaya tidak dapat menahan senyumnya. Karena itu ia pun kemudian berkata,
”Biarlah ia menunjuk, siapakah di antara kami yang bernama Sutawijaya. Ia pasti akan melihat bentuk lahiriah kita. Pakaian kita misalnya.”

Orang itu justru menjadi ragu-ragu. Ia memang pernah melihat Raden Sutawijaya Tetapi hanya sekilas di pusat tanah Mataram, ketika ia sengaja menyusup ke sana. Tetapi kini ia melihat dua orang anak muda yang duduk di serambi itu, sehingga ia menjadi ragu-ragu, meskipun menilik pakaiannya ia akan segera dapat menunjuk siapakah yang sebenarnya Raden Sutawijaya. Tetapi justru karena Sutawijaya sendiri berkata demikian, ia menjadi bimbang.
“Cepat, sebut yang mana. Salah satu dari kedua anak-anak muda yang duduk itu atau aku. Tetapi jelas, bukan salah satu dari dua orang tua-tua itu,” desak Swandaru.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Tetapi dibiarkannya saja Swandaru mengisi waktunya dengan kelakarnya. Orang tua itu pun kembali meneliti luka-luka di kepala orang yang terbanting dari kuda yang liar itu.
Akhirnya, untung-untungan orang itu menunjuk Sutawijaya yang sebenarnya sambil berkata,
”Itulah Raden Sutawijaya.”
“Bagus,” desis Swandaru,
”kebetulan kau menunjuk orang yang benar. Orang yang akan segera memeriksamu dengan seribu macam pertanyaan. Nah, jawablah pertanyaannya, supaya tubuhmu tidak tersayat. Lihat, di sini ada beberapa orang tawanan seperti kau, yang mengalami pemeriksaan sebelumnya.”
Terasa tubuh orang itu meremang. Tanpa sesadarnya ia memandang ke arah Swandaru menudingkan jarinya. Dilihatnya beberapa orang yang duduk dengan lesu dan wajah yang pucat.
“Tentu akan segera datang giliranmu,” berkata Swandaru.
Orang itu tidak menjawab. Ketika Swandaru mendorongnya semakin maju, ia pun maju tertatih-tatih.
“Orang ini memerlukan pengawasan khusus,” berkata Swandaru kemudian,
”ia akan dapat melepaskan diri dan lari kepada kawan-kawannya, apabila kita lengah.”
“Kita terpaksa mengikatnya,” berkata Sutawijaya.
“Tidak mau,” orang itu berteriak,
”aku bukan seekor kuda liar.”
“Jangan hiraukan,” berkata Sutawijaya,
”orang itu memang harus diikat pada tiang.”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya,
”Aku kira itu adalah cara yang terbaik agar orang ini tidak lari.”

Bagaimana pun juga orang itu meronta-ronta, namun Swandaru mendorongnya ke sebuah tiang bambu petung yang besar. Karena orang itu masih berteriak-teriak saja, maka Sutawijaya pun berkata,
”Kalau orang itu tidak mau diikat, baiklah. Tetapi sebagai jaminan bahwa ia tidak akan lari, patahkanlah kedua kakinya.”
“Tidak mau, tidak mau. Kalian adalah manusia yang paling kejam yang pernah aku temui.”
“Mungkin,” sahut Sutawijaya,
”karena itu jangan mencoba untuk membantah kemauan kami.”
Orang itu tidak berani membantah lagi. Ia hanya dapat mengumpat-umpat di dalam hati ketika seorang pengawal benar-benar telah mengikatnya pada sebuah tiang. Dalam pada itu, setelah Swandaru duduk di serambi, maka ia pun bertanya kepada Agung Sedayu,
“Bukankah dengan cara ini tidak ada bedanya, bahwa Kiai Damar dan orang-orangnya akan menaruh kecurigaan, seperti kalau kita menangkap saja mereka berempat?”
“Tetapi lain,” berkata Agung Sedayu,
”dalam hal ini, kawan-kawannya benar-benar telah melihat bahwa kuda itu menjadi liar dan melonjak-lonjak. Mereka masih mempunyai beberapa dugaan. Penunggangnya itu dibawa lari ke tempat yang tidak diketahui, atau kemungkinan yang sebenarnya dapat terjadi seperti yang seorang itu.”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya Dan Agung Sedayu berkata selanjutnya,
”Meskipun demikian, pasti juga ada dugaan bahwa orang-orangnya itu telah jatuh ke tangan kita di sini.”
“Orang itu bukan orang Kiai Damar.”
“Orang siapa?”
“Kiai Damar telah minta kepada orang lain untuk membantunya. Orang itu adalah salah seorang dari orang-orang yang didatangkannya itu. Mungkin satu atau dua orang dari empat orang berkuda itu adalah orang-orang Kiai Damar, tetapi yang lain bukan.”
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya,
”Aku memerlukan keterangannya,” katanya.

Sejenak kemudian Sutawijaya pun sudah berdiri. Perlahan-lahan ia melangkah mendekati orang yang sudah diikat pada tiang itu. Sambil mengacukan ujung tombak pada hidung orang itu ia bertanya,
”Jadi kau bukan orang Kiai Damar?”
Orang itu tidak segera menjawab. Dipandanginya Sutawijaya dengan tajamnya.
“O, kau baru memandang aku? Kau ingin mengenal aku lebih baik lagi? Baiklah. Aku memang bernama Sutawijaya. Akulah yang sudah membunuh orang-orang yang melawan kehendak Ayahanda Pemanahan yang ingin membuka hutan ini menjadi sebuah negeri yang besar. Mungkin memang akulah orang yang paling kejam di dunia ini.”
Sutawijaya berhenti sejenak, lalu,
”Sekarang jawablah, siapakah kau ini? Kalau kau bukan anak buah Kiai Damar, siapakah yang membawamu kemari?”
Orang itu masih berdiam diri. Dipandanginya Sutawijaya dengan tatapan mata yang aneh.
“Kau memandang aku seperti memandang hantu,” berkata Sutawijaya.
”Matamulah yang paling memuakkan bagiku. Karena itu, mata itukah yang akan aku ambil dari dalam rongganya di batok kepalamu.”
Tiba-tiba saja Sutawijaya sudah mendekat dan meraba dahinya sambil mengangkat ujung tombaknya,
”Jangan menyesal, bahwa untuk seterusnya kau tidak akan melihat wajahmu lagi. Kau tidak akan melihat hijaunya dedaunan dan semaraknya bunga kantil pada ujung batang dan ranting-rantingnya. Kau tidak akan dapat pula melihat cahaya fajar yang kemerah-merahan, membayang di ujung langit di antara gemerlapnya bintang. Kau tidak akan melihat cahaya matahari pagi yang riang meloncat di dedaunan yang hijau. Sekarang, tengadahkan wajahmu, aku akan mengambil kedua biji matamu.”
Ketika Sutawijaya menekan dahinya, tiba-tiba saja orang itu berteriak,
”Jangan, jangan.”
“Apa peduliku?”
“Jangan. Aku tidak mau menjadi buta.”
“Aku tidak peduli.”
“Jangan, jangan.”
Tiba-tiba saja Sutawijaya mencengkam baju orang itu. Sambil mengguncangnya ia bertanya mengejut,
”Siapa yang membawamu kemari? Siapa yang memperbantukan kau pada Kiai Damar.”
“Ki Lurah,” jawabnya menyentak pula.
Sambil menarik leher baju orang itu Sutawijaya membentak lagi,
”Sebut namanya. Atau matamu akan meloncat ke luar.”
“Kiai Telapak Jalak.”
Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Dilepaskannya baju orang itu. Terdengar ia menggeram,
”Ternyata keduanya adalah orang-orang yang menerima jalur perintah yang serupa. Sama sekali bukan kekuatan, yang terpisah seperti yang kita duga semula. Yang seolah-olah keduanya belum saling mengenal. Sekarang semuanya menjadi semakin jelas bagi kita.”

Orang-orang yang mendengar keterangan itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Para pengawal yang mengikuti Sutawijaya pun menjadi jelas pula. Semula mereka menganggap bahwa keduanya tidak mempunyai hubungan. Bahkan mereka menganggap bahwa Kiai Telapak Jalak dan Kiai Damar belum saling mengenal. Hanya kebetulan saja keduanya mampu berhubungan dengan hantu-hantu Alas Mentaok. Sambil memandang orang yang terikat itu, Sutawijaya berkata,
”Jadi sekarang Kiai Telapak Jalak juga ada di sini?”
Orang itu mengangguk meskipun tidak menjawab sama sekali.
“Terima kasih. Aku mengerti, bahwa mereka akan menghancurkan barak ini dengan kekuatan yang mereka gabungkan itu. Itulah sebabnya kami harus bersiaga sepenuhnya,” berkata Sutawijaya.
Kemudian kepada pengawalnya ia berkata,
”Kumpulkan orang-orang semuanya. Mereka harus menghentikan latihan-latihan mereka. Mereka harus mendapat penjelasan tentang keadaan yang sebenarnya. Mereka harus mendapat penjelasan pula tentang medan yang bakal mereka hadapi, karena aku yakin bahwa Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak tidak hanya akan sekedar bermain-main.”
Lalu, sambil mengacukan tombaknya di muka hidung orang yang terikat itu Sutawijaya bertanya,
”Apakah ada orang-orang tua atau orang-orang yang terpilih.”
Orang yang terikat itu menggelengkan kepalauya.
“Baiklah,” berkata Sutawijaya,
”untuk sementara aku percaya. Dan untuk sementara kau dapat beristirahat bersandar tiang itu.”
Sutawijaya pun kemudian meninggalkan orang yang masih terikat itu. Sejenak kemudian ia sudah duduk di serambi bersama dengan Sumangkar dan Kiai Gringsing beserta kedua muridnya. Dalam pada itu, maka orang-orang dari barak itu pun sudah berkumpul pula. Para pengawal telah mencoba menjelaskan apa yang akan terjadi.
“Kami sama sekali tidak berniat untuk menakut-nakuti kalian karena kalian memang bukan penakut. Tetapi kalian memang lebih baik mengetahui keadaan yang sebenarnya supaya kalian tidak terkejut karenanya, dan justru menjadi kehilangan akal. Sejak sekarang kalian sudah harus mempersiapkan hati kalian masing-masing untuk menghadapi keadaan yang bakal datang,” berkata salah seorang pengawal kepada orang dari barak itu.
”Semuanya yang bakal terjadi memang tergantung sekali kepada kalian. Kalau kalian gigih mempertahankan diri, kalian akan selamat. Tetapi kalau kalian menyerahkan diri kalian kepada keadaan, kepada kehendak dan keputusan lawan, maka nasib kalian pun akan berada di tangan mereka. Kau dapat melihat beberapa contoh di sini. Orang yang menyerahkan dirinya karena sebab apa pun, akan mengalami nasib yang tidak menyenangkan. Karena itu, kalian tidak boleh mengalami hal itu. Kalian harus berjuang sebaik-baiknya.”

Orang-orang yang mendengarkan uraian pengawal itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Seakan-akan mereka menyadari bahwa selama ini mereka telah dicengkam oleh ketakutan tanpa arti. Dan ketakutan mereka itulah yang telah membuat mereka hidup dalam keadaan yang sangat tertekan. Kini seakan-akan mereka menghadap kepada suatu keadaan, yang baru, yang diletakkan di hadapan mereka. Mereka mempunyai kesempatan untuk menentukan keadaan itu. Di serambi, Sutawijaya pun telah berbicara panjang lebar dengan Kiai Gringsing dan Sumangkar, apakah yang sebenarnya mereka hadapi. Kiai Telapak Jalak menurut pendengaran Sutawijaya dari para pengawalnya adalah seorang yang memang pilih tanding. Itulah sebabnya maka mereka harus benar-benar berhati-hati.
“Kita harus memperhitungkan setiap kemungkinan,” berkata Kiai Gringsing,
”juga atas kemungkinan penggunaan racun.”
“Ya.”
“Untunglah di sini aku menemukan sejenis tumbuhkan yang dapat menawarkan racun. Berhari-hari aku menyelidikinya, akhirnya aku berkesimpulan bahwa pohon itu memang mempunyai kekuatan penawar.”
“Pohon apakah itu?”
“Daunnya kecil bersirip ganda”
“Darimana Kiai tahu?”
“Semula aku hanya menduga-duga. Pohon sejenis perdu itu terdapat banyak sekali di halaman dukun yang terbunuh itu, seakan-akan sengaja telah ditanam. Dan agaknya memang demikian. Aku tidak pasti apakah kasiatnya. Tetapi karena dukun itu mempunyai kemampuan menawarkan racun, aku sudah berpikir ke arah itu. Apalagi, ketika di dapur rumahnya yang kecil aku menemukan daun-daun pohon perdu itu yang sudah kering. Yang sudah dipanasi. Aku yakin bahwa dedaunan itu mengandung kasiat. Ternyata penyelidikanku berhasil. Dedaunan itu mempunyai kekuatan menawarkan racun. Yang aku belum tahu, sampai berapa lama kekuatan itu tetap ada di dalam tubuh seseorang.”
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tidak heran, kalau dalam setiap kesempatan seorang dukun seperti Kiai Gringsing itu melakukan percobaan-percobaan. Tetapi Sutawijaya berkata,
”Hal itu pasti akan menguntungkan sekali. Tetapi mudah-mudahan mereka tidak mempergunakan racun. Racun adalah bahan yang sukar dibuat, sehingga hanya orang-orang penting sajalah yang akan mempergunakannya.”
“Ya. Mudah-mudahan. Tetapi kita harus selalu bersiap menghadapi segala kemungkinan. Persediaan yang ada padaku sudah sangat menipis. Aku sudah cemas apabila pada suatu saat kita akan kehabisan penawarnya. Namun tiba-tiba aku telah menemukannya.”
Demikianlah, maka orang-orang yang berada di barak itu sudah menyiapkan diri dalam segala kemungkinan. Ia yakin bahwa serangan yang bakal datang pasti sudah diperhitungkan benar-benar oleh Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak.

Tetapi bahwa ada dua orang dari antara, mereka yang hari ini tidak kembali, memang mungkin akan menumbuhkah persoalan-persoalan baru di dalam lingkungan mereka. Tetapi agaknya Agung Sedayu sudah mempergunakan cara yang paling baik untuk dilakukan. Ia ingin membuat kesan, bahwa kedua orang itu sama sekali tidak ditangkap oleh Sutawijaya dan pengawalnya. Yang terjadi seolah-olah hanyalah sekedar kecelakaan. Sejenak kemudian maka persiapan para pengawal dan orang-orang di barak itu pun telah ditingkatkan pula. Swandaru masih sempat melepaskan tali kuda dari orang yang telah ditangkapnya. Tetapi kuda itu tidak dibawanya kembali ke barak, seperti yang direncanakan. Kiai Gringsing menasehatkan agar kuda itu dilepaskan saja. Kalau kawan-kawan orang yang tertangkap itu menemukannya, maka mereka pasti tidak akan segera menduga, bahwa kedua kawannya telah tertangkap. Mereka akan menyangka, bahwa keduanya mengalami kecelakaan selama kuda-kuda itu menjadi liar. Kiai Gringsing mengharap, bahwa mereka memperhitungkan, seandainya kawan-kawannya tertangkap, pasti beserta kudanya sekaligus. Ternyata perhitungan Kiai Gringsing itu berhasil. Setelah dua orang, dari keempat orang yang menyelidiki barak itu berhasil kembali ke sarang mereka, maka mereka segera membuat rencana baru. Empat orang lain, bersama dua orang yang sempat kembali itu telah dikirim untuk melihat keadaan dan mencari kedua kawannya yang hilang. Tetapi mereka hanya menemukan kuda-kuda yang lepas. Keduanya berusaha untuk kembali ke sarang mereka. Dan kedua ekor kuda itu telah di ketemukan oleh keenam orang yang mencarinya.
“Di mana penunggangnya?” salah seorang berdesis.
“Kuda-kuda ini benar-benar menjadi liar,” sahut yang lain, yang melihat luka di paha kudanya. Agaknya kuda itu telah berlari tanpa menghiraukan apa pun juga, sehingga kakinya telah tergores sebatang ranting yang patah.
“Bagaimanakah nasib penunggangnya?” orang-orang itu masih saja bertanya-tanya.
Namun dengan demikian mereka tidak lagi berusaha mendekati barak dari arah yang dilalui semula. Mereka mencari jalan lain untuk mencoba mendekat. Dengan demikian, mereka tidak menemukan tali-tali lulup yang telah direntangkan oleh Swandaru dan Agung Sedayu di arah depan barak.
Keenam orang itu telah melingkar, agak jauh. Setelah, menambatkan kuda-kuda mereka, maka mereka pun merayap mendekat. Mereka ternyata datang dari arah belakang, sehingga dengan demikian, tidak banyaklah yang dapat mereka lihat.
“Tidak ada pekerjaan yang khusus,” desis salah seorang dari mereka. Dari kejauhan mereka memang melihat seseorang yang berdiri di sudut barak. Kemudian berjalan hilir-mudik sejenak, lalu duduk di bebatur batu.
”Mungkin orang itu memang sedang menjaga barak itu,” berkata salah seorang dari mereka.
Yang lain mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak mereka bersembunyi di balik semak-semak sambil memperhatikan barak itu baik-baik. Mereka mencoba untuk melihat kalau ada persiapan-persiapan khusus yang perlu mereka beritahukan kepada lurahnya.
”Bukankah tidak ada hal-hal yang menarik perhatian,” berkata salah seorang dari mereka.
“Tidak,” yang lain menyahut,
”Adalah kebiasaan yang wajar bahwa satu dua orang berjaga-jaga di sekitar tempat yang dihuni oleh orang-orang penting. Kali ini Sutawijaya, meskipun aku kira hanya untuk waktu yang singkat. Tetapi sayang, bahwa ia tidak akan pernah kembali ke pusat pemerintahan Tanah Mataram.”
“Apakah dengan demikian kita tidak akan dimusnakan oleh Sultan Pajang?”
Orang yang berbicara tentang Sutawijaya itu tersenyum,
”Memang orang-orang Kiai Telapak Jalak tidak banyak yang mengetahui persoalan ini. Orang-orang Kiai Damar pun sangat terbatas sekali. Tetapi kami sudah mendapat penjelasan, bahwa Sultan Pajang menjadi sangat marah karena Mataram justru telah dibuka menjadi sebuah negeri.”
“Siapa yang mengatakannya?” bertanya kawannya,
”aku kira itu mustahil sekali.”
“Tetapi aku percaya. Kepergian Pemanahan tanpa pamit membuat Sultan Pajang marah. Dengan terpaksa sekali ia menyerahkan Alas Mentaok yang begitu saja dibuka oleh Pemanahan sebelum secara resmi Sultan memberikan. Jadi kemarahan Sultan Pajang kepada Sutawijaya, putera angkatnya yang sejak kecil dipelihara dengan baik, adalah wajar sekali.”
“Omong kosong,” tiba-tiba orang lain lagi memotong,
”seakan-akan kau seorang tumenggung yang mengerti benar akan persoalan itu. Kau pasti mendengar ceritera itu dari orang ke lima, ke tujuh atau bahkan ke seratus kali dari sumbernya. Kita memang tidak tahu apa-apa. Kita amati saja barak itu. Kita laporkan apa yang kita lihat. Apakah Sultan Pajang akan murka atau tidak, itu bukan persoalan, kita di sini.”

Kawan-kawannya tersenyum. Wajah orang yang berceritera tentang Sultan Pajang itu menjadi kemerah-merahan. Tetapi sejenak kemudian ia pun tersenyum pula. Katanya,
”Mungkin aku mendengar dari orang yang langsung berkepentingan.”
“Uh, kau pasti mendengar ketika aku berceritera semalam,” bantah kawannya yang memotong pembicaraannya. Lalu,
”Aku pun hanya mendengar dari orang lain yang sedang mengisi waktunya dengan berbicara.”
“He, apakah aku mendengar dari kau.”
“Tentu. Kau mendengar dari aku, dan sekarang kau menceriterakannya kembali kepadaku. Sekarang kita tidak usah menghiraukannya lagi. Kita akan menghancurkan barak ini. Hancur lebur menjadi abu yang paling lembut.”
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Memang itulah tugas mereka. Apakah dengan demikian mereka akan dihancurkan oleh Sultan Pajang, atau justru akan mendapat hadiah Tanah Mataram, mereka tidak peduli.
“Apakah kita tidak perlu melihat bagian depan dari barak ini?”
Kawannya menggelengkan kepalanya. Jawabnya,
”Kita sudah melihat sebagian. Kalau kuda-kuda liar tadi berlari-larian sampai ke dekat barak ini, maka orang-orang di barak itu justru akan mengintai apakah ada orang-orang lain yang datang. Kalau kita gagal lagi, tidak akan ada keterangan yang akan sampai kepada Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak tentang daerah ini.”
Yang lain tidak menyahut. Mereka memandang pemimpin kelompok yang harus membuat keputusan terakhir.
“Kita sudah cukup,” berkata pemimpin kelompok itu,
”kita yang hanya merupakan kelompok kecil ini memang sebaiknya tidak melakukan hal-hal yang sangat berbahaya. Misalnya melihat barak dari bagian depan.”
“Jadi?” bertanya salah seorang dari mereka.
“Kita kembali dan melaporkan apa yang telah kita lihat.”
“Nanti malam kita akan menghancurkan semuanya itu. Kenapa Kiai Damar harus minta bantuan kami kalau yang dihadapi hanya orang-orang malas di dalam barak itu.”
“Jangan berkata begitu,” salah seorang menjawab,
”di antara mereka ada orang yang tidak terkalahkan.”
“Suatu mimpi yang menarik,” desis orang yang lain sambil tertawa.
“Coba sajalah nanti malam. Lehermu akan terjerat oleh ujung cambuk.”
“Memang mimpi yang buruk. Orang-orang tidak terkalahkan yang bersenjata cambuk.”

Yang lain tidak menjawab lagi meskipun hatinya menjadi panas. Tetapi ia yakin bahwa apabila orang-orang Kiai Telapak Jalak itu sudah mengalaminya sendiri, maka mereka pasti akan berkata lain. Tetapi salah seorang dari orang-orang Kiai Telapak Jalak itu masih berkata,
”Nanti malam aku akan menangkap orang-orang bercambuk itu. Aku ingin menunjukkan kepada kalian bahwa mereka tidak lebih dari penghuni-penghuni barak yang lain.”
Kawannya berbicara masih tetap berdiam diri saja, meskipun hatinya mengumpat-umpat. Demikianlah, maka sekelompok kecil orang-orang yang mengintai barak itu kemudian menarik diri masuk ke dalam gerumbul yang lebih lebat lagi. Sejenak kemudian mereka pun telah menghilang dan kembali kepada kuda-kuda mereka.
“Kita harus segera memberikan laporan,” berkata pemimpin kelompok itu,
”semua jalan sudah rata. Kita akan segera dapat menyelesaikan tugas ini. Kita harus kembali segera ke daerah garapan kami yang sampai saat ini masih dapat kami pelihara dengan baik. Tetapi kalau orang-orang di dalam barak ini tidak dihancurkan, maka mereka pasti akan menyebarkan berita yang sangat merugikan bagi kita.”
Mereka pun kemudian berloncatan ke atas punggung kuda masing-masing. Sejenak kemudian kuda-kuda itu pun segera berderap dan menghilang di dalam rimbunnya semak-semak. Yang sama sekali tidak mereka ketahui, bahwa sepasang mata selalu mengikuti mereka sejak mereka datang, bersembunyi di dalam semak-semak di belakang barak dan kemudian kembali ke kuda-kuda mereka. Setelah orang-orang itu hilang di balik semak-semak, maka orang yang mengikuti mereka itu pun berdiri tegak sambil menggeliat. Agaknya punggungnya terasa pegal-pegal setelah sekian lama terbungkuk-bungkuk sambil menahan nafas.
“Nanti malam agaknya mereka akan kembali,” desis orang itu yang tidak lain adalah Kiai Gringsing. Kecurigaannya bahwa akan ada orang baru lagi yang menyelidiki barak itu serta mencari kawan-kawannya ternyata benar. Ia berhasil melihat sekelompok kecil orang-orang yang ingin melihat-lihat barak dan kesiagaannya itu.
“Untunglah bahwa latihan-latihan sudah selesai. Kalau masih, mereka pasti mempunyai perhitungan lain. Mereka pasti akan memperkuat pasukan mereka dan mereka akan lebih berhati-hati. Kini yang mereka perhitungkan adalah Sutawijaya dan pengawalnya,” katanya di dalam hati.
”Tetapi sudah tentu Kiai Telapak Jalak sendiri akan mengambil kesimpulan lain. Agaknya Kiai Telapak Jalak termasuk orang yang agak lebih tinggi tingkat ilmunya dari Kiai Damar. Dan rencana mereka benar-benar bukan rencana yang tanggung-tanggung. Memusnahkan seluruh isi barak ini sampai lumat.”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Seisi barak itu harus benar-benar bersiaga menghadapi segala kemungkinan. Ia tidak tahu pasti, berapakah jumlah orang-orang yang nanti malam akan menyerang barak ini. Ia juga tidak mengetahui, ada berapa orang yang perlu diperhitungkan untuk mendapat perlawanan khusus.
“Untunglah Adi Sumangkar datang menjemput Swandaru dalam keadaan yang sulit dan berbahaya ini. Kalau tidak, mungkin kami akan mengalami banyak kesulitan,” desisnya.
Kiai Gringsing pun kemudian segera kembali ke barak. Ia segera memberitahukan apa yang dilihatnya kepada Sutawijaya.
“Jadi nanti malam mereka akan datang?”
“Menurut orang-orang itu.”
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia harus mempersiapkan penyambutan sebaik-baiknya. Semua kekuatan harus dikerahkan karena mereka tidak mendapat gambaran yang pasti dari kekuatan lawan. Yang dapat menjadi bahan pertimbangan adalah, bahwa dua kekuatan yang ada di ujung-ujung hutan ini telah dipersatukan untuk membinasakan isi barak ini. Setiap orang di dalam barak itu menyadari, Sutawijaya memang tidak merahasiakan lagi apa yang akan terjadi. Bahkan sekali lagi ia minta para pengawalnya menjelaskan semuanya itu.
“Mereka akan membinasakan barak ini menjadi debu. Semua orang akan dibunuh tanpa ampun. Mereka ingin melenyapkan segala macam ceritera tentang daerah ini. Kegagalan mereka menakut-nakuti kalian sebagai hantu Alas Mentaok. Mereka menjaga agar kegagalan itu tidak akan menjalar ke daerah-daerah lain. Dengan demikian mereka harus menghapuskan sumber yang dapat menyebarkan ceritera itu. Yaitu kita semua. Kita semua akan mereka bunuh. Bahkan bukan hanya laki-laki saja, tetapi juga perempuan dan anak-anak.”
Berita itu memang menumbuhkan ketakutan yang tiada taranya. Perempuan-perempuan mulai menggigil memeluk anak-anak mereka yang dengan heran melihat ibunya menitikkan air matanya.
“Kenapa kita dahulu tersesat ke neraka ini,” keluh seorang perempuan sambil menciumi anaknya.
Akibat yang timbul dari ketakutan itu ternyata luar biasa. Laki-laki yang semula gemetar mendengar ancaman itu, tiba-tiba menggeletakkan giginya melihat isterinya menangisi anaknya yang masih bayi.
“Anak itu tidak tahu apa-apa,” laki-laki itu menggeram di dalam hatinya.
Demikianlah tekad yang bulat telah menggelepar, di dalam dadanya,
”Biarlah aku mati. Tetapi perempuan dan anak-anak harus diselamatkan.”
“Nah,” berkata para pengawal kemudian,
”sekali lagi tergantung kepada kita di sini. Apakah kita akan menyerahkan leher kita, leher isteri tercinta dan anak-anak tersayang kepada serigala-serigala yang buas itu, atau kita masih berusaha untuk mempertahankan diri dan mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan.”

Demikianlah, ancaman itu justru telah menumbuhkan, kebulatan tekad bagi setiap lakì-laki di barak itu untuk mempertahankan dirinya. Mereka telah menemukan kesadaran, berbuat sesuatu atau tidak, mereka akan dibinasakan. Diam pun mereka akan dibinasakan juga. Dari pada mati berpeluk tangan, lebih baik mati bertolak pinggang. Dengan demikian, maka setiap orang kemudian menyatakan dirinya untuk ikut di dalam perlawanan. Bahkan orang tua-tua pun telah menyatakan kesediaannya. Seorang yang berambut seputih kapas mengacukan tangannya sambil berkata,
”Aku pun pernah menjadi pengawal padesanku. Aku pernah berlatih mempergunakan senjata. Berilah aku senjata. Aku akan berkelahi.“
Para pengawal mengangguk-anggukkan kepala. Tetapi menurut pembagian tugas yang telah mereka perbincangkan, orang-orang tua akan menjaga pintu-pintu barak. Mereka baru akan berkelahi di dalam perlawanan yang terakhir, apabila ada satu dua orang lawan yang berhasil menembus pertahanan dan sengaja akan melakukan perbuatan terkutuk dan tidak berperikemanusiaan terhadap perempuan dan anak-anak. Bahkan salah seorang pengawal berkata kepada perempuan yang mendukung anak-anak mereka,
”Bukan saja laki-laki, tetapi setiap ibu yang mendukung anaknya pun pasti akan mempertahankan anak-anaknya dengan cara apa pun.”
Demikianlah seisi barak itu pun benar-benar telah dibakar oleh kesiagaan tertinggi dengan tekad yang membara di dalam hati. Mereka sadar, bahwa laki-laki adalah tempat bergantung bagi seluruh keluarga, juga di dalam keadaan yang paling gawat, sehingga sepantasnyalah laki-laki mempertaruhkan nyawa mereka untuk anak dan isteri.
“Kita menunggu sampai hari menjadi gelap,” berkata Sutawijaya.
”Kita tidak tahu, apakah di sekeliling kita tidak ada satu dua orang yang sedang mengintai kita.”

Ketika senja sudah turun, ternyata bahwa Sutawijaya pun telah mengirimkan beberapa orang ke sekeliling barak itu untuk melihat saat-saat lawan mereka mendekati barak. Mereka harus segera mengirimkan tanda dengan panah sendaren apabila keadaan sudah meningkat menjadi semakin gawat.
“Aku ikut dengan kalian,” berkata Swandaru.
“Kau tetap di sini,” berkata Sutawijaya,
”kita akan memperhitungkan setiap persoalan yang timbul.”
Swandaru tidak segera menjawab. Tetapi dipandanginya Agung Sedayu dengan tatapan mata yang gelisah.
“Kenapa?” bertanya Kiai Gringsing.
Agung Sedayu justru tersenyum. Katanya,
”Kenapa tidak kau katakan saja supaya para pengawas itu tidak terperosok ke dalam pasanganmu?”
“Apa yang sudah kau lakukan?” bertanya gurunya.
“Kami memasang perangkap. Kami telah merentangkan tali-tali lulup di semak-semak sebelah.”
“Kenapa kau pasang tali-tali itu?”
“Kami ingin menahan laju orang-orang yang menyerang barak ini.”
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Tetapi seperti Sutawijaya dan Sumangkar, ia pun tersenyum.
”Agaknya perangkapmu itu pula yang telah menjerat kaki-kaki kuda yang menjadi liar itu.”
“Ya. Tetapi aku cemas, bahwa justru pengawas kita sendiri yang terjerat kakinya. Karena itu, aku akan ikut serta dan menunjukkan jerat-jerat yang telah kami pasang.”
Tetapi Sutawijaya menggeleng,
”Tidak. Asal saja mereka sudah mengetahuinya, mereka akan berhati-hati. Mereka akan selalu mengingat-ingat di mana mereka menemukan jerat.”
Swandaru mengangguk. Tetapi ia masih tetap mencemaskan para pengawas. Kalau mereka tergesa-gesa mundur apabila lawan sudah mendekat, maka mereka tidak akan lagi dapat mengingat tali-tali yang terentang itu. Tetapi Swandaru tidak dapat berbuat lain. Sutawijaya telah memutuskan mengirim tiga orang pengawas yang terpisah. Mereka hanya sekedar memberikan tanda-tanda. Tetapi mereka sendiri harus segera bergabung dengan induk pasukan. Demikianlah, maka ketiga orang itu pun segera berpencar setelah Swandaru menunjukkan kepada mereka, di mana ia merentangkan tali-tali lulup. Bahkan ada di antaranya yang diikat berganda.

Sepeninggal orang-orang itu, gelap malam telah menyelubungi barak yang terpencil itu, Sutawijaya pun kemudian memerintahkan setiap kelompok yang sudah disusun mulai menyiapkan dirinya. Mereka harus siap di segala saat. Karena itu, maka senjata-senjata mereka tidak boleh terpisah lagi dari tangan masing-masing. Selain tiga orang yang memencar, Sutawijaya juga meletakkan beberapa orang pengawas dekat di luar halaman barak itu. Seandainya para pengawas yang berpencar itu tidak berhasil melihat gerakan lawan, dan tiba-tiba saja mereka telah berada di dekat halaman, maka masih ada juga yang sempat memberikan tanda bagi orang-orang yang sudah siap menunggu itu. Demikianlah, sekejap demi sekejap, malam merayap semakin dalam. Gelap yang menjadi semakin pekat telah membatasi jarak pandangan orang-orang yang ada di serambi barak. Apalagi malam itu, di serambi sama sekali tidak dipasang lampu minyak seperti biasa. Tetapi kali ini lampu minyak yang biasanya tergantung di serambi telah digantungkan pada sebatang pohon di sudut halaman dan yang lain di mulut regol butulan yang tertutup rapat. Bahkan lampu di dalam barak pun seakan-akan tidak sempat menembus lubang-lubang dinding karena memang sengaja diredupkan, dan bahkan ditutup dengan helai-helai daun pisang. Tetapi dalam pada itu, di serambi dan di segala sudut barak, setiap laki-laki telah siap menghadapi kemungkinan yang dapat terjadi.
“Kalau kalian bingung menghadapi seseorang, apakah ia lawan atau bukan, sebutlah kata-kata sandi yang sudah kita tentukan. Kalau orang itu tidak menjawab, maka ia pasti lawan yang harus kita hadapi,” berkata para pengawal.
Semua orang di dalam barak itu sudah mengenal kata-kata sandi yang harus mereka ucapkan. Mereka tidak boleh melupakannya agar tidak menimbulkan salah paham di antara kawan sendiri.
Di langit perlahan-lahan bintang gemintang bergeser ke Barat. Angin malam yang sejuk berhembus di sela-sela dedaunan mengusap wajah-wajah yang tegang di sekitar barak itu. Derik bilalang di daun ilalang terdengar sahut-menyahut tidak putus-putusnya.
“Kalian dapat menunggu sambil beristirahat,” berkata salah seorang pengawal yang memimpin sekelompak kecil laki-laki penghuni barak itu, ”duduklah. Berbuatlah seenaknya seperti tidak akan terjadi apa-apa, meskipun dalam kesiap-siagaan. Kita akan mendapat tanda apabila bahaya itu sebenarnya akan datang.”
Seorang laki-laki muda tiba-tiba menjawab,
”Mereka akan datang dekat tengah malam.”
“Darimana kau tahu?” bertanya pengawal itu.
“Demikianlah kebiasaan mereka. Selagi mereka masih bermain hantu-hantuan, mereka datang dekat tengah malam. Aku kira kali ini pun mereka akan datang dekat tengah malam.”
“Memang masuk akal. Mereka tidak akan dapat meninggalkan kebiasaan mereka yang sudah berlangsung lama. Di daerah Selatan, hantu-hantu itu juga keluar dekat tengah malam. Kami pun pernah terjebak dalam kepercayaan atas hantu-hantu itu, meskipun kami ragu-ragu. Tetapi sekarang kami yakin, bahwa yang terjadi di daerah Selatan tidak banyak bedanya dengan daerah ini. Agaknya kedatangan laki-laki yang bersenjata cambuk bersama dua orang anaknya itu sangat menentukan bagi daerah ini dan bahkan ujung-ujung yang lain dari daerah yang sedang dibuka ini.”
“Ya, orang-orang itulah yang dengan caranya yang kadang-kadang aneh dan tidak kami mengerti, akhirnya mengungkapkan semuanya yang selama ini masih gelap bagi kami di sini. Hantu-hantu, jerangkong, kuda semberani, dan segala macam lagi. Tetapi kini kami sudah berdiri berhadapan dalam keadaan yang pasti. Apa pun yang akan terjadi.”


Halaman 1 2 3


<<< Jilid 058                                                                                                       Jilid 060 >>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar