“BEBAHU Kademangan Semangkak agaknya telah mengalami kesulitan mengendalikan anak-anak mudanya. Tetapi masih juga dapat dicoba” berkata paman Wita,
“Biarlah Ki
Jagabaya pergi ke Semangkak.”
“Aku akan ikut
serta” berkata paman Wita.
“Baiklah.
Kalau begitu, pergilah ke rumah Ki Jagabaya, dan bawalah ia ke Semangkak.
Katakan bahwa kau telah menemui aku di sini.”
“Baiklah Ki
Demang.”
“Aku akan
berusaha agar anak-anak Sangkal Putung tidak mengimbanginya.”
“Terima kasih.
Aku akan segera pergi ke rumah Ki Jagabaya. Mudah-mudahan ia ada di rumah.”
Demikianlah,
sepeninggal paman Wita, Ki Demang dengan prihatin mencoba mencari jalan, agar
benturan antara anak-anak muda itu dapat dihindarkan. Namun demikian Ki Demang
pun merasa, bahwa sulitlah kiranya untuk menekan perasaan anak-anak muda di
Sangkal Putung.
“Kita harus
berusaha” berkata Ki Demang kemudian,
“dan sebagian
besar dari masalah ini terletak di tanganmu Swandaru.”
Swandaru tidak
segera menyahut.
“Kau harus
berhasil menguasai mereka sebelum anak-anak Semangkak itu datang.”
“Apa yang
sebaiknya aku lakukan ayah?”
“Kau harus
menyingkirkan anak-anak muda Sangkal Putung.”
“Jadi kita
akan mengungsi?”
Pertanyaan itu
benar-benar sulit untuk menjawabnya. Memang dalam menghadapi keadaan ini,
perasaan dan nalar tidak dapat selalu sejalan. Sebagai suatu Kademangan yang
besar dan kuat, anak-anak muda Sangkal Putung pasti merasa terhina apabila
mereka harus lari dan bersembunyi karena kedatangan anak-anak Semangkak Tetapi
menurut pertimbangan nalar, perkelahian yang demikian biasanya akan membawa
akibat yang berlarut-larut.
“Memang sulit”
tiba-tiba Ki Demang berdesis,
“tetapi aku
ingin bahwa benturan itu dapat terhindar tanpa merendahkan diri kalian. Aku
tahu, bahwa anak-anak muda Sangkal Putung tidak mau di sebut lari, licik atau
apalagi takut.”
Swandaru dan
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Tetapi kita
harus menemukan jalan itu” berkata Ki Demang kemudian.
Agung Sedayu
dan Swandaru masih saja mengangguk-angguk. Dan tiba-tiba saja Agung Sedayu
berkata,
“Kita bersembunyi
meskipun tidak lari.”
“Maksudmu?”
“Beberapa
orang saja diantara kita akan berada di Kademangan. Kita bersembunyi di atap
kandang. Kita melihat apa yang akan dilakukan oleh anak-anak Semangkak apabila
bebahu Kademangan mereka tidak dapat mencegah mereka. Kalau mereka dapat diajak
berbicara syukurlah. Ki Demang dan Ki Jagabaya setelah pulang dari Semangkak
akan berbicara dengan mereka. Baru apabila hal itu tidak mungkin dilakukan,
kami, beberapa orang anak-anak muda akan mencoba mengusir mereka. Hanya beberapa
saja, supaya perasaan kami dapat dikendalikan. Kalau jumlah kami terlalu besar,
maka kami akan kehilangan kemampuan untuk mengendalikan diri, karena pengaruh
orang banyak. Didalam suatu lingkungan yang besar, kita akan dapat kehilangan
kepribadian.”
Swandaru
merenung sejenak. Ditatapnya wajah ayahnya yang berkerut-merut. Agaknya Ki
Demang sedang mencoba merenungkan kata-kata Agung Sedayu itu.
“Jadi
maksudmu, anak-anak muda Sangkal Putung jangan berbuat apa-apa?” bertanya
Swandaru.
“Ya. Kecuali
beberapa orang yang justru sudah berpikir dewasa.”
Ki Demang lah
yang kemudian menyahut,
“Tetapi ada
juga bahayanya. Jika mereka tidak dapat diajak berbicara, apa yang akan kita
lakukan dengan beberapa orang itu? Apalagi kalau mereka menganggap bahwa
anak-anak Sangkal Putung lari ketakutan, dan mereka berbuat diluar dugaan”
“Misalnya?”
“Mungkin
angan-anganku terlampau berlebih-lebihan. Tetapi kalau mereka membakar rumah
ini?”
Agung Sedayu
mengangguk-angguk. Jawabnya,
“Memang dapat
saja terjadi. Ledakan kemarahan yang tidak menemukan sasaran memang akan dapat
menimbulkan bencana diluar dugaan. Tetapi sebelumnya kita memang harus
memperhitungkan dengan cermat. Yang akan tinggal di Kademangan adalah beberapa
anak muda yang bukan saja dewasa cara berpikir, tetapi juga cara bertindak. Aku
dan Swandaru akan tetap berada di sini. Kita masih memerlukan lima orang anak
muda lagi.”
“Hanya
bertujuh?”
“Aku kira
sudah cukup. Kalau kami mengalami kesulitan, untuk sementara Ki Sumangkar dan
guru akan berusaha memperlambat usaha anak-anak Semangkak itu, sementara salah
seorang diantara kami akan membunyikan tanda untuk memanggil beberapa orang,
hanya beberapa orang tertentu. Demikian berturut-turut, dengan tanda yang
berbeda-beda.”
“Tampaknya
terlampau sulit untuk dijalankan.”
“Aku yakin,
bahwa kita akan dapat melakukannva. Susunan kesatuan pengawal yang masih ada di
Sangkal Putung sangat menguntungkan. Kita menghubungi pemimpin-pemimpin
kelompok. Mereka harus bertanggung jawab atas anak buah masing-masing.”
Swandaru
menarik nafas. Katanya,
“Aneh sekali.
Selama ini kita memanggil pemimpin-pemimpin kelompok untuk menyiapkan para
pengawal apabila ada musuh mendatang, kini kita berbuat sebaliknya. Kita
mengumpulkan para pengawal untuk menyingkir.”
“Sesekali.
Memang ada kalanya siput berjalan mundur.”
Swandaru
menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ayahnya berkata,
“Swandaru.
Ternyata pendapat angger Agung Sedayu itu baik. Cobalah kita lakukan. Aku pada
dasarnya tidak menghendaki terjadi bentrokan antara anak-anak muda dari satu
Kademangan dengan Kademangan yang lain. Itu hanya akan membuang-buang tenaga
dan terlebih-lebih lagi, kita kehilangan ikatan kekeluargaan yang justru harus
kita bina.
Swandaru pun
kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“baiklah. Aku
akan memanggil mereka, para pemimpin kelompok.”
Tetapi
Swandaru tidak memanggil mereka dengan kentongan di Kademangan. Tanpa mengajak
Agung Sedayu ia pergi ke Banjar, dan memanggil para pemimpin kelompok pengawal
dengan pertanda kentongan dari banjar. Setiap anak muda Sangkal Putung dapat
membedakan suara kentongan di banjar Kademangan, karena kentongan itu termasuk
salah satu dari beberapa kentongan terbesar yang ada di Sangkal Putung dengan
warna nada khusus. Ternyata suara kentongan itu telah mengejutkan beberapa
orang anak muda. Apalagi mereka yang dengan curiga mengikuti peristiwa yang
terjadi semalam.
“Apakah kita
akan bertindak sesuatu?” bertanya salah seorang dari anak-anak muda itu.
“Kita pergi ke
Banjar.”
Ternyata di
banjar Swandaru mengumpulkan para pemimpin kelompok di ruangan dalam. Ia
memberikan penjelasan khusus dan terperinci, agar mereka tidak melakukan
kesalahan yang akibatnya justru bertentangan dengan yang mereka kehendaki
sebenarnya.
“Apakah kalian
sudah cukup jelas?” bertanya Swandaru kemudian.
“Ya.” sahut mereka
hampir berbareng,
“cukup jelas.”
“Kita
menghindari benturan jasmaniah. Itu tidak baik dan sama sekali tidak
bermanfaat.”
“Kami
mengerti.”
“Lima orang
yang aku sebutkan, ikut aku ke Kademangan. Mudah-mudahan tidak terjadi
sesuatu.”
Para pemimpin
kelompok itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun ikatan mereka tidak
seerat pada saat-saat Tohpati ada di depan hidung mereka, namun ternyata bahwa
para pemimpin kelompok itu masih mampu menghubungi anak buahnya. Tetapi tugas
mereka bertambah. Mereka harus mengatur juga anak-anak muda yang masih belum
terikat didalam kelompok-kelompok pengawal. Namun demikian, agaknya anak-anak
muda yang pernah menjadi pengawal Kademangan Sangkal Putung di saat-saat yang
gawat itu, masih mempunyai pengaruh yang kuat pada anak-anak muda yang sedang
menyusul tumbuh di bawah mereka selapis.
Dalam pada
itu, paman Wita bersama Ki Jagabaya dengan tergesa-gesa pergi ke Semangkak.
Mereka bermaksud langsung pergi menemui bebahu Kademangan Semangkak. Tetapi
diluar dugaan, ketika mereka memasuki gerbang padukuhan Semangkak tiba-tiba
saja mereka berpapasan dengan segerombol anak-anak muda. Diantara mereka
terdapat Wita.
“Paman?” wajah
Wita menjadi tegang. Pamannya pun menjadi berdebar-debar Juga, Dipandanginya
Wita yang berada diantara kawan-kawannya, anak-anak muda yang tampaknya sedang
dibius oleh dendam yang tidak mereka mengerti sebab yang sebenarnya. Sejenak
suasana menjadi tegang. Kawan-kawan Wita berdiri termangu-mangu. Sesekali
mereka memandang wajah Wita yang berkerut-merut kemudian memandang wajah orang
yang mereka jumpai itu.
Baru kemudian
Wita bertanya,
“Paman akan
kemana?”
Paman Wita
menjadi bingung sejenak. Tetapi ia menemukan jawaban juga,
“Aku akan
menemui ayahmu.”
“Untuk apa?”
“Aku agak
cemas, kau pagi-pagi sekali sudah meninggalkan rumah kami. Jangan-angan ayahmu
menjadi salah paham tentang kau.”
“Aku dapat
mengatakan persoalanku kepada ayah, bahwa paman tidak apa-apa.”
“Tetapi boleh
jadi ayahmu menganggap bahwa kau tidak mau mengatakan persoalan yang
sebenarnya. Karena itu, aku akan menemuinya, supaya ayahmu tidak marah
kepadaku.”
“Tidak usah.
Paman tidak usah pergi ke rumah.”
“Kenapa?”
“Sebaiknya
paman tidak usah menemui ayah atau ibu atau siapapun juga.”
“Aku tidak
mengerti Wita.”
“Maaf paman.
Kami persilahkan paman kembali. Kami sedang sibuk di sini.”
“O” paman Wita
memandang anak-anak Semangkak itu dengan dada yang berdebar-debar. Tampak
wajah-wajah muda yang tegang, tetapi membayangkan pergolakan didalam diri
mereka. Ada sesuatu yang bergejolak didalam hati mereka. Gejolak yang
seakan-akan terbendung, sehingga pada suatu saat memerlukan penyaluran.
“Betapa
dahsyatnya tenaga yang tersimpan didalam diri mereka” berkata paman Wita
didalam hatinya, “kalau saja tenaga yang sedahsyat itu dapat disalurkan. Maka
tenaga yang dahsyat itu pasti akan dapat membangkitkan kerja yang besar bagi
Semangkak.”
Tetapi paman
Wita tidak mendapat kesempatan, karena Wita berkata,
“Paman, kami
persilahkan paman kembali.” Wita berhenti sejenak, lalu sambil memandang Ki
Jagabaya, Wita berkata,
“Ki Jagabaya
dari Sangkal Putung pun akan kami persilahkan kembali ke Sangkal Putung. Kami
tidak dapat menerima paman dan Ki Jagabaya dalam keadaan ini.”
“Kenapa. dan
apakah yang akan kalian lakukan?”
“Tidak ada
apa-apa paman Kami sedang mengerahkan tenaga anak muda Semangkak untuk
membangun jalan-jalan yang sudah terlampau jelek.”
“Alangkah
baiknya jika demikian. Lakukanlah. Tetapi aku akan menemui ayahmu.”
“Tidak usah.
Paman harus kembali ke Sangkal Putung.”
Paman Wita
menarik nafas dalam-dalam. Kedua orang Sangkal Putung itu adalah orang tua yang
cukup berpengalaman, sehingga mereka merasa, dalam keadaan yang demikian,
mereka tidak akan dapat memaksakan kehendak mereka. Karena itu, maka Ki
Jagabaya pun kemudian berkata
”Baiklah.
Kalau kalian tidak mengijinkan kami memasuki daerah Semangkak, kami akan segera
kembali.”
Paman Wita
mengerutkan keningnya. Tetapi ketika ia memandang tatapan mata Ki Jagabaya,
seolah-olah ia dapat membaca isi hatinya
”Kita mencari
jalan lain.”
Karena itu,
paman Wita pun kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata,
“Baiklah.
Baiklah, kami akan kembali ke Sangkal Putung.”
“Terima kasih.
Paman dan Ki Jagabaya memang harus kembali ke Sangkal Putung, Tetapi kami ingin
memberikan penghormatan kepada paman dan Ki Jagabaya”
“Maksudmu?”
bertanya paman Wita,
“Sebentar lagi
matahari akan segera turun dan tenggelam. Kami ingin mengantar paman berdua.”
“He?” wajah
paman Wita menjadi merah
“Paman kami
persilahkan menunggu sejenak. Kita akan pergi bersama-sama.”
“Gila” teriak
paman Wita,
“kau jangan
asal berkata saja Wita.”
“Maaf paman.
Kami justru ingin berbuat baik. Kami ingin mengantar paman dan Ki Jagabaya.”
“Itu tidak
sopan. Itu perbuatan gila-gilaan. Aku mengerti maksudmu. Jangan kau kira aku
anak kecil yang dungu.”
Wita mengangguk-anggukkan
kepalanya. Sejenak ia berpaling memandang wajah kawan-kawannya. Dan hampir berbareng
kawan-kawannya berkata,
“Kau benar
Wita.”
“Nah, bukankah
kawan-kawanku bersedia juga mengantar paman nanti? Tetapi nanti sore paman. Dan
bukankah paman tidak akan terlalu lama menunggu.”
Wajah paman
Wita menjadi semakin tegang. Seharian ia telah berjalan hilir mudik, di
padukuhannya sendiri dan di Semangkak. Tetapi tiba-tiba anak-anak muda
Semangkak itu telah menahannya. Dalam pada itu Ki Jagabaya pun menjadi marah
bukan buatan. Tetapi ia masih berusaha menahan dirinya. Adalah tidak pantas
apabila ia harus bertengkar dengan anak-anak. Apalagi apabila ia harus
mempergunakan kekerasan. Karena itu, untuk sesaat ia tidak menyahut. Ia sedang
mencari akal, untuk melepaskan diri dari tangan anak-anak muda yang sedang
dibakar oleh dendam di hatinya,
“Sudahlah”
berkata Wita kemudian,
“paman dan Ki
Jagabaya tidak usah memikirkan keadaan kami anak-anak muda di Semangkak maupun
di Sangkal Putung. Kami sudah cukup dewasa untuk menentukan sikap kami sendiri.”
“Baiklah”
berkata Ki Jagabaya,
“kalian memang
sudah cukup dewasa, Tetapi kenapa kalian harus menahan kami berdua? Apakah
hubungannya dengan perbaikan jalan itu?”
Wita
mengerutkan keningnya. Tetapi iapun menjawab,
“Memang tidak
ada. Tetapi maaf, kami terpaksa melakukannya. Kami sudah membuat suatu rencana.
Dan Ki Jagabaya jangan merusak rencana kami itu.”
Terasa darah
Ki Jagabaya semakin cepat mengalir. Kalau saja ia tidak selalu berusaha
menyadari dirinya, bahwa ia berhadapan dengan anak-anak, maka ia pasti telah
berusaha untuk membebaskan diri tanpa menghiraukan akibatnya. Tetapi,
berhadapan dengan anak-anak muda yang sedang marah pula dibakar oleh dendam dan
sakit hati, ia harus membuat pertimbangan-pertimbangan lain, Pertimbangan orang
tua. Dalam pada itu Wita berkata selanjutnya,
“Kami
mengharap agar paman dan Ki Jagabaya tidak berusaha mengganggu kami. Kami
memang tidak akan memperbaiki jalan. Tentu paman berdua sudah mengetahuinya,
dan tentu kedatangan paman dan Ki Jagabaya ada hubungannya dengan masalah
tersebut meskipun barangkali baru menduga-duga.”
Benar-benar
diluar dugaan paman Wita, ketika Ki Jagabaya kemudian berdesah sambil berkata,
“Apaboleh
buat.”
“Terima kasih
atas sikap paman yang baik itu. Sekarang paman kami persilahkan singgah di
rumah salah seorang kawan kami di ujung desa.”
Ki Jagabaya
menarik nafas dalam-dalam. Sambil berpaling kepada paman Wita ia berkata,
“Kita tidak
usah membuat ribut-ribut disini. Sebentar lagi senja akan datang.”
“Tetapi ……?”
bertanya paman Wita. Namun suaranya tertahan ketika dilihatnya mata anak-anak
muda itu bagaikan menyala
“Tidak
bijaksana kita bertegang terhadap anak-anak.” Paman Wita akhirnya mengangguk,
“Baiklah jika
Ki Jagabaya memutuskan demikian.”
“Sekali lagi
kami mengucapkan terima kasih” lalu Wita itupun berkata kepada kawannya,
“bawa keduanya
untuk singgah ke rumahmu sebentar. Ajaklah dua orang untuk mengawaninya agar Ki
Jagabaya dan paman mempunyai teman bercakap-cakap.”
Ki Jagabaya
mengerutkan keningnya. Ternyata anak-anak itu cukup berhati-hati, sehingga
mereka perlu mengirimkan dua orang untuk mengawasinya, selain anak muda yang
mempunyai rumah itu sendiri. Tetapi jalan yang dicari Ki Jagabaya semakin jelas
tampak olehnya. Baginya, tiga anak-anak muda itu tidak akan begitu sulit untuk
menerobosnya, apalagi berdua dengan paman Wita. Demikianlah maka mereka berlima
berjalan memasuki halaman rumah di ujung desa. Rumah yang tampaknya begitu sepi
dan kotor.
“Inilah
rumahku” berkata anak muda yang membawanya,
“rumah ini sudah
lama kosong. Rumah ini sebenarnya rumah kakek. Tetapi kakek telah meninggal.”
“Dimana ayah
dan ibumu?”
“Ayah dan
ibuku berada di rumah ayah sendiri Akulah yang menunggu rumah ini.”
“Sendiri?”
“Ya sendiri.”
“Bagaimana kau
makan sehari-hari?”
“Rumah ayah
tidak begitu jauh. Aku makan di rumah. Ayah berada di ujung yang lain dari desa
ini.”
“O” Ki
Jagabaya mengangguk-angguk.
Tetapi ia
mengerutkan keningnya ketika mereka memasuki rumah itu. Perkakas rumah yang
tidak teratur, bumbung berserakan disana-sini. Dan yang membuat Ki Jagabaya dan
paman Wita menjadi berdebar-debar adalah bau tuak yang memenuhi ruangan. Sambil
menarik nafas dalam-dalam Ki Jagabaya berkata,
“inikah
agaknya tempat yang dipergunakan oleh anak-anak muda Semangkak untuk berkumpul,
duduk-duduk dan berbicara tentang macam-macam hal dimalam hari?”
“Ya, justru
karena rumahku kosong.”
Ki Jagabaya
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Tetapi tidak
semua anak-anak Semangkak sering datang kemari. Anak-anak yang merasa dirinya
piyayi tidak pernah sudi menginjak rumahku yang jelek ini. Mereka adalah
anak-anak muda yang merasa dirinya terlalu bersih.”
Ki Jagabaya
masih mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Silahkan
duduk” anak muda itu mempersilahkan. Ki Jagabaya dan paman Wita pun segera
memasuki bagian dalam dari rumah itu. Terasa seakan-akan nafas mereka menjadi
sesak oleh udara yang lembab.
“Aku akan
duduk di serambi saja” berkata Ki Jagabaya.
“Maaf Ki
Jagabaya” jawab anak muda yang mempunyai rumah itu,
“aku biasa
menerima tamu di ruang dalam.”
Ki Jagabaya
menarik nafas. Tetapi ia tidak membantah.
Demikianlah
mereka duduk di ruang dalam yang gelap. Terasa sinar matahari yang semakin
rendah tidak lagi dapat menerobos masuk pintu yang rendah untuk mencapai bagian
dalam rumah yang kotor itu, sehingga bau tuak semakin menusuk hidung.
“Apakah kalian
minum tuak?” tiba-tiba Ki Jagabaya bertanya.
Anak-anak muda
itu tertawa. Salah seorang dari mereka menjawab.
”Setiap
laki-laki pantas minum tuak.”
“Dan kalian
adalah laki-laki.”
“Ya. Kami
minum tuak.” ketiga anak-anak muda itu tertawa.
Tanpa
disadarinya terasa bulu-bulu tengkuk paman Wita meremang. Ini adalah gambaran
hidup Wita sendiri di padukuhannya, sehingga ayahnya mengirimkannya ke Sangkal
Putung. Tetapi justru karena itu, maka kini tumbuhlah persoalan yang gawat
antara kedua padukuhan itu. Ki Jagabaya pun kemudian hanya mengangguk-anggukkan
kepalanya saja. Tetapi ia tidak bertanya lagi. Dipandanginya saja
dinding-dinding yang memutari ruangan itu. Kotor dan penuh dengan sarang
laba-laba. Tetapi Ki Jagabaya tidak menunjukkan sikap yang dapat menimbulkan
kecurigaan. Ia duduk saja sambil mengangguk-angguk. Ketika anak-anak itu
menawarkan tuak kepadanya, tiba-tiba saja ia tersenyum,
“Masih ada?”
Paman Wita
terkejut mendengar pertanyaan itu. Apalagi ketika ia melihat wajah Ki Jagabaya
yang tersenyum-senyum ketika anak-anak muda itu memandanginya dengan heran
pula.
“He” berkata
Ki Jagabaya lebih lanjut, “masih ada?”
“Apakah Ki
Jagabaya benar-benar menghendaki?”
Ki Jagabaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Ya, sejak
semalam aku tidak minum tuak.”
“Jadi
benar-benar Ki Jagabaya mau minum?”
“Tetapi aku
hanya mau minum tuak yang baik.”
“O tentu Ki
Jagabaya. Kami pun tidak mau minum tuak yang jelek.”
“Baik. Baik.
Terima kasih.”
Anak-anak muda
itu saling berpandangan sejenak. Tiba-tiba salah seorang dari mereka berdiri
dan masuk ke ruang sebelah. Ketika ia keluar dijinjingnya sebuah bumbung besar
berisi tuak dan beberapa bumbung-bumbung kecil.
“Marilah Ki
Jagabaya” anak muda itu memberikan sebuah bumbung kecil kepada Ki Jagabaya dan
kemudian menuangi bumbung itu dengan tuak.
Ki Jagabaya
tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi sambil mengangkat
bumbung itu di hidungnya ia berkata,
“Ah. Ini tuak
untuk anak-anak. Bukan tuak untuk seorang laki-laki.”
“Kenapa?”
Ki Jagabaya pun
kemudian mencicipi tuak itu,
“Tidak ada
rasanya sama sekali. Hanya manis saja.”
“Ah” ketiga
anak-anak muda itu hampir berbareng berdesah. Salah seorang berkata,
“Tuak ini tuak
yang baik.”
Wajah Ki
Jagabaya menjadi berkerut merut. Tetapi ia masih memegang bumbung berisi tuak
itu,
“Silahkan Ki
Jagabaya.”
Ki Jagabaya
tidak segera meminumnya. Katanya pula,
“Seperti minum
legen mentah. Manis dan menghilangkan haus.”
“Tentu tidak.”
anak-anak muda itu saling berpandangan. Tiba-tiba salah seorang dari mereka
menuang tuak itu ke dalam bumbungnya sendiri. Satu kali teguk isi bumbung itu
telah kering.
“Benar-benar
tuak malang. Tuak itu sudah disimpan lama sekali. Apakah masih kurang keras
bagi Ki Jagabaya.”
Ki Jagabaya
mengangguk-angguk.
Tetapi anak
muda itu telah menuang tuak itu sekali lagi ke bumbungnya sendiri. Bahkan
anak-anak yang lain pun berbuat serupa pula. Mereka kemudian meneguk isi
bumbung itu sampai habis Tetapi mereka mengisinya pula demikian berkali-kali,
sehingga lambat laun kepala mereka menjadi pening. Selagi mereka sibuk, dengan
diam-diam, tanpa diketahui oleh anak-anak itu, Ki Jagabaya telah membuang isi
bumbungnya ke lantai yang terbuat dari tanah. Kemudian ia berpura-pura meneguk
tuak itu sampai bumbungnya kering.
“Benar-benar” tiba-tiba
ia berkata,
“tuak ini
memang tuak yang baik. Tetapi bagiku tidak ubahnya seperti legen, seperti yang
sudah aku katakan. Mari isi bumbungku lagi.
Anak-anak itu
telah menuang bumbung tuak itu pula ke dalam bumbung Ki Jagabaya, tetapi mereka
tidak lupa menuang ke dalam bumbungnya sendiri. Sementara Ki Jagabaya membuang
tuak itu ke sudut ruangan, anak-anak muda itu sudah menghabiskan beberapa
bumbung lagi.
“Cukup”
berkata salah seorang dari mereka, “kepalaku pening.”
Yang, lain pun
mengangguk-angguk. Tetapi mereka masih memegang bumbung-bumbung kecil di tangan
mereka. Ketika mereka hampir meletakkan bumbung-bumbung kecil itu, Ki Jagabaya
telah mengacungkan bumbungnya sekali lagi sambil berkata,
“Beri aku
lagi. Sebumbung penuh. Tuak semanis legen ini memang enak. Tetapi tidak
memuaskan.”
Sambil
terhuyung-huyung anak yang memegang bumbung tuak itu mengisi bumbung Ki
Jagabaya tidak saja menjadi penuh, tetapi bahkan melimpah-limpah. Sambil
tertawa ia berkata,
“Ki Jagabaya
juga seorang peminum yang baik. Mari, mari kita minum bersama-sama.
Sekali lagi
dan sekali lagi anak-anak itu mengisi bumbungnya. Mereka meneguk tuak tanpa
ragu-ragu lagi, seperti yang selalu mereka lakukan. Ki Jagabaya memandang
anak-anak muda itu dengan tegangnya. Akhirnya ketiga anak-anak muda itu menjadi
mabuk dan terkapar sambil mengigau tanpa arah.
“Mereka
menjadi mabuk” berkata Ki Jagabaya, “kita harus segera pergi.”
“Ya Kita
tinggalkan rumah lembab ini. Kita segera kembali ke Sangkal Putung”
“Tidak. Kita
pergi ke Kademangan Semangkak.” Dengan hati-hati Ki Jagabaya itu menjengukkan
kepalanya. Ketika halaman itu ternyata sepi, maka ia pun segera mengajak paman
Wita segera keluar. Namun ia masih sempat mendengar anak muda itu mengigau,
“Kita bunuh
saja Swandaru yang gila itu.”
Dalam pada itu
Ki Jagabaya pun segera meninggalkan halaman rumah itu diikuti oleh paman Wita.
Dengan hati-hati mereka keluar regol dan kemudian hampir berlari-lari mereka
melintas sebuah simpang tiga dan kemudian hilang masuk ke jalan sempit.
Meskipun masih
belum senja, tetapi jalan sempit itu sudah sunyi. Dengan demikian Ki Jagabaya
dapat berjalan cepat-cepat menuju ke Kademangan. Kedatangan Ki Jagabaya Sangkal
Putung itu benar-benar telah mengejutkan. Semula mereka menyangka, bahwa Ki
Jagabaya itu sedang mengejar seseorang yang akan ditangkapnya. Tetapi orang itu
orang Semangkak. Namun akhirnya dahi Demang Semangkak itu menjadi tegang,
ketika ia mendengar keterangan Ki Jagabaya mengenai anak-anak muda mereka.
“Huh, kami
memang hampir menjadi gila dibuatnya” desis Ki Demang Semangkak.
Ki Jagabaya
dari Sangkal Putung dan paman Wita mengangguk-angguk. Mereka menyadari
kesulitan yang dihadapi oleh Ki Demang di Semangkak.
“Mereka telah
bersiap untuk berangkat” berkata Ki Jagabaya.
“Tidak semua
anak-anak muda bersikap seperti mereka” berkata Ki Demang,
“tetapi karena
yang lain tidak suka keributan, mereka tidak berbuat apa-apa. Bahkan mereka
seakan-akan telah menyingkir dari pergaulan yang suram itu.”
“Kita dapat
mencegah mereka” berkata seorang bebahu Kademangan Semangkak
”aku akan
memanggil anak-anak muda yang lain, yang tidak sependapat dengan mereka”
“Ah” Ki Demang
berdesah,
“tentu
akibatnya tidak menyenangkan. Mereka bahkan akan berkelahi sesama anak-anak
Semangkak.”
“Itu lebih
baik daripada mereka dihancurkan oleh anak-anak muda Sangkal Putung.”
“Aku akan
berusaha agar anak-anak muda Sangkal Putung tidak melibatkan diri.”
“Bagaimana
mungkin. Anak-anak Semangkak akan datang ke Sangkal Putung.” Ki Demang berpikir
sejenak,
“anak-anak itu
memang harus dicegah. Tetapi tidak bijaksana kalau anak-anak kita harus saling
berkelahi. Aku akan mencoba sekali lagi.”
Tetapi bebahu
Kademangan itu menggelengkan kepalanya,
“Apakah hal
itu mungkin?”
“Aku akan
mencoba. Aku akan memanggil Ki Jagabaya di Semangkak.”
“Silahkan Ki
Demang” berkata Ki Jagabaya di Sangkal Putung,
“aku akan
mendahului. Semuanya terserah kepada kebijaksanaan Ki Demang. Kita mengutamakan
keselamatan anak-anak kita. Keselamatan badaniah dan keselamatan rohaniah.”
“Ya. Kita
memang bertanggung jawab. Orang-orang tua mereka pun harus bertanggung jawab.
Kesalahan anak-anak muda itu sebagian adalah kesalahan orang-orang tua pula.”
“Baiklah.
Sebelum terjadi sesuatu, aku harus berada di Sangkal Putung.”
“Silahkan. Aku
juga akan segera berbuat sesuatu.” Ki Jagabaya dan paman Wita pun segera
meninggalkan Kademangan. Mereka mengambil jalan lain sehingga mereka tidak
berpapasan lagi dengan anak-anak muda Semangkak yang semakin lama menjadi
semakin banyak menjelang senja.
Dengan
tergesa-gesa Ki Jagabaya meloncati parit kemudian menyelusuri pematang kembali
ke Sangkal Putung.
“Bekas
prajurit yang mengajari anak-anak itu olah kanuragan juga sedang dicari oleh
kakang Santa” berkata paman Wita,
“mudah-mudahan
ia dapat membantu mencegah persoalan ini”
“Mudah-mudahan”
gumam Ki Jagabaya sambil melangkah lebih cepat lagi.
Dalam pada
itu, anak-anak yang berkumpul di regol padukuhan Semangkak menjadi gelisah
ketika matahari menjadi semakin rendah. Mereka seakan-akan tidak sabar lagi
menunggu.
“Ki Jagabaya
sudah terlalu lama menunggu” berkata salah seorang dari mereka hampir diluar
sadarnya.
“Biar saja.
Sesekali duduk termenung di Kademangan tetangga bersama anak-anak muda.”
“Bagaimana
dengan pamanmu, Wita?” bertanya salah seorang kawannya.
“Ia selalu
ingin mencampuri persoalanku. Mudah-mudahan ia menjadi jera, dan tidak lagi
merasa lebih berpengaruh atasku dari ayahku sendiri.”
Kawannya
tertawa. Ia akan mengumpat-umpat sepekan tidak ada habis-habisnya. Tetapi
kasihan juga kalau ia menjadi sasaran kemarahan anak-anak Sangkal Putung besok
atau lusa.
“Salahnya
sendiri. Tetapi anak-anak Sangkal Putung pasti tidak akan berani berbuat
apa-apa lagi. Mereka harus menyadari, bahwa Sangkal Putung bukan Kademangan
terkuat di daerah Selatan ini. Mungkin di saat Tohpati berkeliaran di sini,
Sangkal Putung menjadi sasaran. Tetapi itu bukan berarti bahwa anak-anak muda
Sangkal Putung menjadi sekuat prajurit-prajurit Pajang. Dan itu bukan berarti
bahwa anak-anak Semangkak tidak berbuat apa-apa waktu itu.”
“Sekarang kita
akan membuktikan. Kita akan merusak semua gardu di Sangkal Putung, dan memecah
semua kentongan. Swandaru harus menyadari, bahwa ia adalah seorang anak muda
biasa. Bukan seorang pahlawan besar yang pantas membanggakan diri.” gumam salah
seorang dari mereka meskipun ia tidak mengenal Swandaru dari dekat.
Ketika
matahari menjadi semakin rendah, salah seorang dari anak-anak muda itu berkata,
“Senja itu
telah datang. Marilah kita bersiap. Kita sudah terlalu lama duduk di sini.”
“Ambil Ki Jagabaya
dan paman” berkata Wita,
“kita bawa
mereka bersama. Mereka akan menyaksikan anak-anak muda kebanggaan mereka itu
lari lintang pukang melihat kedatangan kita.”
Demikianlah
dua orang anak muda pergi ke rumah di ujung desa untuk mengambil Ki Jagabaya
dan paman Wita.
Tetapi ketika
mereka sampai ke rumah itu, mereka menjadi terkejut. Ternyata yang mereka
jumpai adalah ketiga kawan-kawan mereka yang sedang tidur karena mabuk tuak.
“Gila” teriak
salah seorang dari kedua anak-anak muda itu,
“mereka mabuk
tuak.”
“Mari, kita
bangunkan mereka. Ki Jagabaya pasti sudah lari.”
Dengan susah
payah maka ketiga anak-anak muda itu dibangunkan. Tetapi karena kesadaran
mereka masih belum pulih kembali, maka yang mereka ucapkan pun tidak lebih dari
sebuah igauan yang tidak menentu.
“Kalian sudah
gila” bentak kawannya,
“dimana Ki Jagabaya
dan paman Wita itu?”
Anak-anak muda
yang baru terbangun itu menggelengkan kepalanya.
“Kalian yang
menunggui mereka di sini.”
Perlahan-lahan
ingatan anak-anak yang mabuk itu merayapi otaknya kembali. Meskipun masih kabur
namun mereka mulai teringat kepada Ki Jagabaya dan paman Wita Karena itu maka
dengan wajah yang tegang salah seorang dari mereka bertanya,
“Ya, dimana Ki
Jagabaya?”
“Lari” sahut
yang lain,
“ia pasti
lari. Licik sekali. Ia membuat kita mabuk.”
“Bodoh. Bodoh
sekali. Kalian telah mabuk dan membiarkan Ki Jagabaya Sangkal Putung bersama
paman Wita itu pergi.”
“Mereka akan
segera memberitahukan hal ini kepada anak-anak muda Sangkal Putung sehingga
mereka sempat mempersiapkan diri.”
“Gila. Mari
kita segera kembali ke regol. Kita harus berangkat sekarang.”
Demikianlah
anak-anak muda itu berlari-lari pergi ke regol padukuhan mereka. Dengan
tergesa-gesa mereka memberitahukan bahwa Ki Jagabaya dan paman Wita telah pergi
tanpa diketahui oleh anak-anak yang menjaganya, karena mereka telah mabuk.
“Berbahaya
sekali” desis Wita,
“jika mereka
mencapai Sangkal Putung, maka anak-anak muda Sangkal Putung sempat
mempersiapkan diri.”
“Kalau begitu
kita harus segera berangkat. Meskipun Ki Jagabaya datang lebih dahulu dari
kita, tetapi mereka pasti belum sempat mengadakan persiapan apapun untuk
menyambut kedatangan kita. Sementara itu kita sudah dapat membuat mereka
terkejut dengan membakar gardu-gardu dan menghajar siapapun yang kita jumpai.”
“Mereka masih
harus terpencar-pencar. Jika mereka sempat berkumpul, mereka akan dapat
menyusun kekuatan.”
Demikianlah,
maka anak-anak muda itu memutuskan untuk segera berangkat. Seperti orang yang
pergi berperang, mereka membawa bermacam-macam senjata.
Beberapa orang
yang melihat mereka meninggalkan padukuhan Semangkak menjadi berdebar-debar.
Tetapi mereka hanya dapat saling bertanya apakah yang akan dilakukan oleh
anak-anak muda itu. Sementara itu, Ki Demang di Semangkak setelah memanggil Ki
Jagabaya dengan tergesa-gesa pergi pula di regol padukuhan Semangkak. Tetapi
ternyata anak-anak Semangkak telah berangkat. Mereka tidak dapat mencegahnya
lagi. karena mereka datang terlambat beberapa saat.
“Kenapa mereka
tidak menunggu senja?” bertanya Ki Demang kepada diri sendiri. Menurut Ki
Jagabaya di Sangkal Putung, anak-anak itu akan berangkat setelah senja.
Tetapi ketika
Ki Demang menengadahkan wajahnya ke langit, maka matahari telah hampir
kehilangan sinarnya. Senja memang sudah mulai turun perlahan-lahan.
“Jadi
bagaimana sebaiknya Ki Jagabaya?” bertanya Ki Demang kemudian.
“Kita menyusul
mereka.”
Ki Demang
mengangguk-anggukkan kepalanya Desisnya,
“Ya, kita
menyusul mereka.”
Dengan
demikian, maka Ki Demang bersama Ki Jagabaya diiringi oleh beberapa-bebahu yang
lain pergi menyusul anak-anak muda dari Semangkak itu. Kali ini mereka harus
benar-benar berhasil mencegah mereka. Kalau tidak, maka keadaan anak-anak muda
mereka justru akan menjadi semakin parah. Dalam pada itu, anak-anak muda
Semangkak itupun dengan tergesa-gesa pula pergi ke Sangkal Putung. Bahkan
kadang-kadang mereka berlari-lari kecil melintasi bulak, menyusur pematang. Beberapa
orang yang masih berada di sawah melihat iring-iringan itu dengan hati yang
berdebar-debar. Didalam hati mereka bertanya,
“Apalagi yang
akan dilakukan oleh anak-anak itu?”
Namun mereka
hanya dapat memandang iring-iringan itu dari kejauhan dan dengan hati yang
cemas.
Sementara itu,
Sangkal Putung telah mempersiapkan diri menyambut kedatangan anak-anak
Semangkak dengan caranya. Tidak ada seorang anak muda pun yang tampak, Yang ada
di Kademangan adalah Ki Demang Sangkal Putung dan beberapa orang bebahu. Kiai
Gringsing dan Ki Sumangkar sengaja berada didalam gandok, karena langsung atau
tidak langsung, Kiai Gringsing mempunyai hubungan dengan Swandaru. Meskipun Ki
Demang sendiri adalah ayah Swandaru. tetapi dalam kedudukannya sebagai Demang
Sangkal Putung, ia tidak dapat ingkar akan tugasnya, menghadapi kemungkinan
yang manapun juga yang dapat terjadi. Namun dalam pada itu, Agung Sedayu,
Swandaru dan beberapa orang anak muda terpilih, bersembunyi di atas kandang.
Jika keadaan memaksa, maka mereka pun tidak akan dapat membiarkannya. Sedang di
dalam rumah Ki Demang masih ada seorang lagi yang dapat membantu mereka apabila
diperlukan. Sekar Mirah. Tetapi bagi Sumangkar, jika tidak memaksa sekali,
Sekar Mirah lebih baik berada di dapur daripada ikut didalam keributan itu. Yang
datang lebih dahulu ke Kademangan itu adalah Ki Jagabaya bersama paman Wita.
Mereka dapat sekedar memberikan gambaran apa yang akan dilakukan oleh anak-anak
Semangkak itu.
Ki Demang menarik
nafas dalam-dalam. Katanya,
“Memang
terlampau sulit untuk mengendalikan anak-anak yang sudah terlanjur lepas dari
ikatan kepribadian kita yang sebenarnya lembut. Kita memang harus
berhati-hati.”
“Kalau mereka
mengetahui aku melepaskan diri, maka mereka pasti akan segera menyusul.”
Belum lagi Ki
Demang menjawab, maka seorang pengawas datang dengan tergesa-gesa melaporkan,
bahwa anak-anak muda Semangkak telah datang.
“Bersembunyilah.
Untung kami sempat memberikan penjelasan kepada anak-anak muda dan menenangkan
penduduk. Biarlah aku menerimanya. Mereka pasti akan langsung menuju kemari
mencari Swandaru.” berkata Ki Demang.
“Bagaimana
jika mereka keras kepala dan tidak mau mendengarkan penjelasan Ki Demang?”
Ki Demang
mengangkat bahunya. Sejenak ia memandang Ki Jagabaya, kemudian orang-orang yang
ada di sekitamya. Baru kemudian ia menjawab,
“Kita
mengharap mereka akan mendengar penjelasan-penjelasan.”
“Syukurlah
kalau pimpinan Kademangan Semangkak sendiri berhasil mencegah mereka.”
“Mereka sudah
diambang pintu Sangkal Putung.” Ki Jagabaya menarik nafas dalam-dalam. Kalau
pimpinan Kademangannya sendiri tidak dihiraukannya, apalagi pimpinan Kademangan
tetangga, terlebih-lebih anak-anak itu memang merasa mempunyai persoalan dengan
Sangkal Putung.
Dalam kebimbangan
itu Ki Demang berkata sekali lagi kepada anak muda yang mengawasi anak-anak
Semangkak itu,
“Bersembunyilah.
Kawan-kawanmu ada di kandang.”
“Baiklah”
desis anak itu.
Baru saja ia
hilang dari pendapa, terdengar dikejauhan suara anak-anak muda yang berteriak-teriak
tidak menentu. Berteriak-teriak seperti orang yang sedang mengejar tupai.
“Serahkan
Swandaru. Serahkan Swandaru. Kalau tidak, Sangkal Putung menjadi lautan api.”
Yang mendengar
teriakan-akan itu menjadi ngeri juga. Anak-anak muda dalam jumlah yang besar
beriring-iringan sambil berteriak-teriak di sepanjang jalan Sangkal Putung.
“Mereka
datang” desis Ki Demang.
Ki Jagabaya
hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab.
Dalam pada
itu, anak-anak muda Semangkak yang datang di Sangkal Putung itu merasa, bahwa
kehadirannya tidak di ketahui oleh anak-anak muda Sangkal Putung, ternyata
tidak ada seorang pun yang menahan kedatangan mereka. Namun ketika mereka masuk
lebih dalam, dan tidak seorang pun yang mereka jumpai di gardu-gardu atau
dimanapun, mereka mulai curiga. Bahkan salah seorang dari mereka berkata,
“Pengecut.
Ternyata anak-anak Sangkal Putung yang merasa dirinya mampu melawan pasukan
Tohpati ketika itu, kini hanya berani menyembunyikan diri. Tidak seorang pun
berani keluar dari rumahnya.”
“Kita langsung
pergi ke rumah Swandaru.”
“Ya, kita
langsung pergi ke Kademangan. Kita temui Ki Demang dan kita minta Swandaru.
Kalau Ki Demang tidak mau memberikan, kita jadikan Kademangan Sangkal Putung
karang abang”
“Ya, kita
jadikan Ki Demang tanggungan, sebelum kita mendapatkan Swandaru yang sombong
itu.”
“Akulah yang
akan mengurus Kademangan Sangkal Putung.” berkata Wita memotong kata-kata
kawan-kawannya.
Kawan-kawannya
pun tidak menyahut lagi. Dengan tergesa-gesa mereka pergi ke Kademangan.
Sepanjang jalan yang sudah mulai gelap mereka sama sekali tidak menjumpai
seorang pun. Bukan saja anak-anak muda, tetapi seakan-akan Sangkal Putung itu
telah berubah menjadi sebuah kuburan yang besar. Sepi. Sementara itu, Ki Demang
di Semangkak berlari-lari menyusul anak-anak mudanya yang telah berangkat
mendahului waktu yang diperkirakan. Mereka menjadi cemas, kalau sesuatu telah
terjadi. Jika mereka terlambat, maka semuanya hanya akan dapat disesali. Namun
selagi ia masih berlari-lari di tengah sawah, anak-anak muda Semangkak telah
memasuki halaman Kademangan Sangkal Putung. Beberapa orang segera memancar di
halaman, di kebun belakang dan yang lain mendekati pendapa. Ki Demang di
Sangkal Putung menjadi berdebar-debar juga. Kali ini ia tidak menghadapi
pasukan Tohpati. Tetapi yang datang adalah anak-anak muda dari Semangkak.
Anak-anak muda yang justru sedang tumbuh.
Seperti senja
yang menjadi gelap, maka masa depan anak-anak muda itu pun menjadi gelap. Jika
mereka hanya dicengkam oleh kesibukan yang tidak berarti apa-apa itu, maka hari
depan mereka, bahkan hari depan Semangkak pasti akan suram. Ketika anak-anak
muda Semangkak itu berdiri dibawah tangga pendapa Kademangan, maka seseorang
telah menyalakan lampu di pendapa itu.
“Ki Demang di
Sangkal Putung” berkata Wita yang agaknya telah menjadi pemimpin anak-anak
Semangkak,
“kami ingin
berbicara sedikit.”
Ki Demang
menjadi semakin berdebar-debar. Tetapi iapun kemudian berdiri dan berjalan ke
tangga pendapa diiringi oleh Ki Jagabaya dan para bebahu. Juga paman Wita
mengikutinya dengan cemas.
“Ya, aku
memang sedang menunggu kalian” berkata Ki Demang.
Dengan wajah
yang tegang mereka memandang Ki Jagabaya dan paman Wita yang sudah berada di
pendapa itu pula.
“Paman dan Ki
Jagabaya sudah ada disini” desis Wita.
“Ya, maaf
bahwa kami terpaksa mendahului..”
“Kalian sudah
membujuk anak-anak yang menunggui kalian untuk minum tuak dan menjadi mabuk.”
“Merekalah
yang memaksa aku minum tuak.”
“Bohong”
teriak anak yang baru saja sadar dari mabuknya itu.
“Sudahlah” berkata
Wita,
“sekarang kami
akan segera saja menyampaikan keperluan kami.”
Ki Demang
mengangguk-anggukkan kepalanya
“Serahkan
Swandaru.”
Ki Demang
menarik nafas dalam-dalam. Sejenak ia memandang Ki Jagabaya. Namun Ki Jagabaya
tidak sedang memandangnya.
“Anak-anak”
berkata Ki Demang kemudian,
“Aku sedang
digelisahkan oleh anakku itu. Ia tidak ada di rumah sejak siang hari”
“Bohong”
teriak Wita,
“ternyata Ki
Jagabaya telah menyuruhnya bersembunyi. Sekarang, tunjukkan kepada kami, dimana
anak itu bersembunyi. Kami hanya memerlukan Swandaru. Tetapi jika kami tidak
menemukannya, kami akan berbuat atas siapa saja.”
Ki Demang
menjadi semakin cemas melihat wajah-wajah yang tegang itu. Seakan-akan mereka
sudah tidak mau lagi mendengarkan kata-kata orang lain. Namun demikian Ki
Demang masih mencoba berkata,
“Sudah aku
katakan bahwa Swandaru pergi. Mungkin ia sudah menduga bahwa kalian akan
datang. Karena itu, iapun telah pergi meninggalkan rumah ini.”
“Bohong, aku
tidak percaya” teriak Wita,
“aku minta
Swandaru diserahkan.”
“Bakar saja
rumahnya” teriak salah seorang dari anak-anak muda itu.
Ki Demang
mengerutkan keningnya. Tetapi Wita pun berpaling kepadanya dan memberikan
isyarat agar anak itu diam.
“Wita” berkata
Ki Demang kemudian,
“sebenarnya
kita dapat membatasi persoalan ini. Yang kecil memang dapat kita tiup-tiup
menjadi besar. Tetapi jika kita berkeinginan, maka yang besar pun dapat kita
jadikan kecil.”
“Aku tidak
akan berbicara. Yang kami tuntut, serahkan Swandaru. Hanya itu.”
“Cobalah,
bayangkan kembali apa yang terjadi. Apakah yang terjadi itu cukup besar untuk
mengorbankan jalinan kekeluargaan antara Semangkak dan Sangkal Putung.”
“Cukup, cukup”
teriak Wita,
“aku hormati
orang tua-tua. Tetapi jika ia mencoba menghalang-halangi aku, apa boleh buat.”
Kata-kata itu
benar-benar menyakitkan hati. Tetapi Ki Demang adalah orang tua yang mencoba
mengerti jalan pikiran anak-anak muda yang sesat sekalipun. Maka katanya,
“Tidak baik
kita terlalu memanjakan perasaan kita. Cobalah, dengarkan kata-kataku.”
“Tidak. Sudah
cukup banyak. Serahkan Swandaru.” Ki Jagabaya menarik nafas dalam-dalam.
Apalagi ketika lagi seorang yang berkata”
“Bakar setiap
gardu yang ada di Sangkal Putung. Bakar rumah ini jika Swandaru tidak kita
ketemukan.”
“Membakar
sebuah bangunan akibatnya akan luas sekali” berkata Ki Demang,
“bukan saja
orang-orang tertentu, tetapi seluruh keluarganya akan menderita. Anakku bukan
saja Swandaru. Tetapi aku mempunyai keluarga yang lain yang tidak tahu menahu.”
“Cukup, cukup.
Jangan membujuk.”
“Aku tidak
membujuk. Jika ada sesuatu yang kalian anggap salah, aku minta maaf bagi
Swandaru. Tetapi marilah, duduklah. Semuanya atau sebagian yang dapat kalian
anggap mewakili kalian. Kita dapat berbicara dengan baik.”
“Tidak. Tidak.
Aku tidak mau berbicara lagi.”
“Cobalah sebentar.
Apa salahnya kita mempergunakan akal dari sekedar perasaan. Kalian adalah
anak-anak muda. Sedang gadis-gadis yang menolak kawin pun kadang-kadang dapat
juga diajak berbicara dengan nalar. Tentu kalian, laki-laki Semangkak, dapat
juga berbicara dengan nalar yang bening.
“Diam, diam”
Wita membentak
”Ki Demang.
Jangan membuat kami, anak-anak muda, kehilangan sikap hormat kami kepadamu dan
kepada orang-orang tua di Sangkal Putung. Tunjukkanlah kepada kami dimana
Swandaru dan anak-anak muda Sangkal Putung bersembunyi”
“Silahkan.
Marilah, aku mengharap kalian duduk sejenak.”
“Tidak. Tidak”
teriak Wita semakin keras untuk mengatasi sentuhan kata-kata Ki Demang.
Sementara kawan-kawannya mulai berteriak pula,
“Tangkap
Demang Sangkal Putung”
“Ki Demang”
berkata Wita,
“kalau Ki
Demang tidak mau menunjukkan, maaf, kami akan mencarinya sendiri ke dalam rumah
ini.”
Ki Demang
menarik nafas dalam-dalam.
“Minggirlah Ki
Demang. Kami akan memasuki rumah ini untuk mencari Swandaru. Hanya Swandaru.”
“Itu tidak
sopan” berkata Ki Demang.
“Kami tidak
peduli. Kami memaksa untuk memasuki rumah ini meskipun Ki Demang berkeberatan.”
“Kita tidak
usah minta ijin kepadanya” teriak anak muda yang lain.
Suasana
semakin meningkat tegang. Ki Demang masih berdiri di tempatnya. Anak-anak yang
sedang dibakar oleh perasaannya, di dalam kumpulan orang banyak, memang
terlampau sulit untuk diajak berbicara. Tetapi ia tidak akan dapat berbuat
dengan kekerasan, karena akibatnya akan menambah keadaan menjadi semakin parah.
Dalam
ketegangan itu, tiba-tiba terdengar suara di regol halaman,
“Tunggu,
tunggu.”
Semua orang
berpaling kepadanya. Ternyata Ki Demang di Semangkak diikuti oleh Ki Jagabaya
beserta beberapa orang bebahu datang dengan tergesa-gesa.
“Mereka
datang” seorang kawan Wita berbisik.
“Aku tidak
peduli” desis Wita.
“Ya, kita
tidak peduli.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar