Jilid 064 Halaman 1


“BEBAHU Kademangan Semangkak agaknya telah mengalami kesulitan mengendalikan anak-anak mudanya. Tetapi masih juga dapat dicoba” berkata paman Wita,
“Biarlah Ki Jagabaya pergi ke Semangkak.”
“Aku akan ikut serta” berkata paman Wita.
“Baiklah. Kalau begitu, pergilah ke rumah Ki Jagabaya, dan bawalah ia ke Semangkak. Katakan bahwa kau telah menemui aku di sini.”
“Baiklah Ki Demang.”
“Aku akan berusaha agar anak-anak Sangkal Putung tidak mengimbanginya.”
“Terima kasih. Aku akan segera pergi ke rumah Ki Jagabaya. Mudah-mudahan ia ada di rumah.”
Demikianlah, sepeninggal paman Wita, Ki Demang dengan prihatin mencoba mencari jalan, agar benturan antara anak-anak muda itu dapat dihindarkan. Namun demikian Ki Demang pun merasa, bahwa sulitlah kiranya untuk menekan perasaan anak-anak muda di Sangkal Putung.
“Kita harus berusaha” berkata Ki Demang kemudian,
“dan sebagian besar dari masalah ini terletak di tanganmu Swandaru.”
Swandaru tidak segera menyahut.
“Kau harus berhasil menguasai mereka sebelum anak-anak Semangkak itu datang.”
“Apa yang sebaiknya aku lakukan ayah?”
“Kau harus menyingkirkan anak-anak muda Sangkal Putung.”
“Jadi kita akan mengungsi?”
Pertanyaan itu benar-benar sulit untuk menjawabnya. Memang dalam menghadapi keadaan ini, perasaan dan nalar tidak dapat selalu sejalan. Sebagai suatu Kademangan yang besar dan kuat, anak-anak muda Sangkal Putung pasti merasa terhina apabila mereka harus lari dan bersembunyi karena kedatangan anak-anak Semangkak Tetapi menurut pertimbangan nalar, perkelahian yang demikian biasanya akan membawa akibat yang berlarut-larut.
“Memang sulit” tiba-tiba Ki Demang berdesis,
“tetapi aku ingin bahwa benturan itu dapat terhindar tanpa merendahkan diri kalian. Aku tahu, bahwa anak-anak muda Sangkal Putung tidak mau di sebut lari, licik atau apalagi takut.”

Swandaru dan Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Tetapi kita harus menemukan jalan itu” berkata Ki Demang kemudian.
Agung Sedayu dan Swandaru masih saja mengangguk-angguk. Dan tiba-tiba saja Agung Sedayu berkata,
“Kita bersembunyi meskipun tidak lari.”
“Maksudmu?”
“Beberapa orang saja diantara kita akan berada di Kademangan. Kita bersembunyi di atap kandang. Kita melihat apa yang akan dilakukan oleh anak-anak Semangkak apabila bebahu Kademangan mereka tidak dapat mencegah mereka. Kalau mereka dapat diajak berbicara syukurlah. Ki Demang dan Ki Jagabaya setelah pulang dari Semangkak akan berbicara dengan mereka. Baru apabila hal itu tidak mungkin dilakukan, kami, beberapa orang anak-anak muda akan mencoba mengusir mereka. Hanya beberapa saja, supaya perasaan kami dapat dikendalikan. Kalau jumlah kami terlalu besar, maka kami akan kehilangan kemampuan untuk mengendalikan diri, karena pengaruh orang banyak. Didalam suatu lingkungan yang besar, kita akan dapat kehilangan kepribadian.”
Swandaru merenung sejenak. Ditatapnya wajah ayahnya yang berkerut-merut. Agaknya Ki Demang sedang mencoba merenungkan kata-kata Agung Sedayu itu.
“Jadi maksudmu, anak-anak muda Sangkal Putung jangan berbuat apa-apa?” bertanya Swandaru.
“Ya. Kecuali beberapa orang yang justru sudah berpikir dewasa.”
Ki Demang lah yang kemudian menyahut,
“Tetapi ada juga bahayanya. Jika mereka tidak dapat diajak berbicara, apa yang akan kita lakukan dengan beberapa orang itu? Apalagi kalau mereka menganggap bahwa anak-anak Sangkal Putung lari ketakutan, dan mereka berbuat diluar dugaan”
“Misalnya?”
“Mungkin angan-anganku terlampau berlebih-lebihan. Tetapi kalau mereka membakar rumah ini?”
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Jawabnya,
“Memang dapat saja terjadi. Ledakan kemarahan yang tidak menemukan sasaran memang akan dapat menimbulkan bencana diluar dugaan. Tetapi sebelumnya kita memang harus memperhitungkan dengan cermat. Yang akan tinggal di Kademangan adalah beberapa anak muda yang bukan saja dewasa cara berpikir, tetapi juga cara bertindak. Aku dan Swandaru akan tetap berada di sini. Kita masih memerlukan lima orang anak muda lagi.”
“Hanya bertujuh?”
“Aku kira sudah cukup. Kalau kami mengalami kesulitan, untuk sementara Ki Sumangkar dan guru akan berusaha memperlambat usaha anak-anak Semangkak itu, sementara salah seorang diantara kami akan membunyikan tanda untuk memanggil beberapa orang, hanya beberapa orang tertentu. Demikian berturut-turut, dengan tanda yang berbeda-beda.”
“Tampaknya terlampau sulit untuk dijalankan.”
“Aku yakin, bahwa kita akan dapat melakukannva. Susunan kesatuan pengawal yang masih ada di Sangkal Putung sangat menguntungkan. Kita menghubungi pemimpin-pemimpin kelompok. Mereka harus bertanggung jawab atas anak buah masing-masing.”
Swandaru menarik nafas. Katanya,
“Aneh sekali. Selama ini kita memanggil pemimpin-pemimpin kelompok untuk menyiapkan para pengawal apabila ada musuh mendatang, kini kita berbuat sebaliknya. Kita mengumpulkan para pengawal untuk menyingkir.”
“Sesekali. Memang ada kalanya siput berjalan mundur.”
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ayahnya berkata,
“Swandaru. Ternyata pendapat angger Agung Sedayu itu baik. Cobalah kita lakukan. Aku pada dasarnya tidak menghendaki terjadi bentrokan antara anak-anak muda dari satu Kademangan dengan Kademangan yang lain. Itu hanya akan membuang-buang tenaga dan terlebih-lebih lagi, kita kehilangan ikatan kekeluargaan yang justru harus kita bina.
Swandaru pun kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“baiklah. Aku akan memanggil mereka, para pemimpin kelompok.”

Tetapi Swandaru tidak memanggil mereka dengan kentongan di Kademangan. Tanpa mengajak Agung Sedayu ia pergi ke Banjar, dan memanggil para pemimpin kelompok pengawal dengan pertanda kentongan dari banjar. Setiap anak muda Sangkal Putung dapat membedakan suara kentongan di banjar Kademangan, karena kentongan itu termasuk salah satu dari beberapa kentongan terbesar yang ada di Sangkal Putung dengan warna nada khusus. Ternyata suara kentongan itu telah mengejutkan beberapa orang anak muda. Apalagi mereka yang dengan curiga mengikuti peristiwa yang terjadi semalam.
“Apakah kita akan bertindak sesuatu?” bertanya salah seorang dari anak-anak muda itu.
“Kita pergi ke Banjar.”
Ternyata di banjar Swandaru mengumpulkan para pemimpin kelompok di ruangan dalam. Ia memberikan penjelasan khusus dan terperinci, agar mereka tidak melakukan kesalahan yang akibatnya justru bertentangan dengan yang mereka kehendaki sebenarnya.
“Apakah kalian sudah cukup jelas?” bertanya Swandaru kemudian.
“Ya.” sahut mereka hampir berbareng,
“cukup jelas.”
“Kita menghindari benturan jasmaniah. Itu tidak baik dan sama sekali tidak bermanfaat.”
“Kami mengerti.”
“Lima orang yang aku sebutkan, ikut aku ke Kademangan. Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu.”
Para pemimpin kelompok itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun ikatan mereka tidak seerat pada saat-saat Tohpati ada di depan hidung mereka, namun ternyata bahwa para pemimpin kelompok itu masih mampu menghubungi anak buahnya. Tetapi tugas mereka bertambah. Mereka harus mengatur juga anak-anak muda yang masih belum terikat didalam kelompok-kelompok pengawal. Namun demikian, agaknya anak-anak muda yang pernah menjadi pengawal Kademangan Sangkal Putung di saat-saat yang gawat itu, masih mempunyai pengaruh yang kuat pada anak-anak muda yang sedang menyusul tumbuh di bawah mereka selapis.

Dalam pada itu, paman Wita bersama Ki Jagabaya dengan tergesa-gesa pergi ke Semangkak. Mereka bermaksud langsung pergi menemui bebahu Kademangan Semangkak. Tetapi diluar dugaan, ketika mereka memasuki gerbang padukuhan Semangkak tiba-tiba saja mereka berpapasan dengan segerombol anak-anak muda. Diantara mereka terdapat Wita.
“Paman?” wajah Wita menjadi tegang. Pamannya pun menjadi berdebar-debar Juga, Dipandanginya Wita yang berada diantara kawan-kawannya, anak-anak muda yang tampaknya sedang dibius oleh dendam yang tidak mereka mengerti sebab yang sebenarnya. Sejenak suasana menjadi tegang. Kawan-kawan Wita berdiri termangu-mangu. Sesekali mereka memandang wajah Wita yang berkerut-merut kemudian memandang wajah orang yang mereka jumpai itu.
Baru kemudian Wita bertanya,
“Paman akan kemana?”
Paman Wita menjadi bingung sejenak. Tetapi ia menemukan jawaban juga,
“Aku akan menemui ayahmu.”
“Untuk apa?”
“Aku agak cemas, kau pagi-pagi sekali sudah meninggalkan rumah kami. Jangan-angan ayahmu menjadi salah paham tentang kau.”
“Aku dapat mengatakan persoalanku kepada ayah, bahwa paman tidak apa-apa.”
“Tetapi boleh jadi ayahmu menganggap bahwa kau tidak mau mengatakan persoalan yang sebenarnya. Karena itu, aku akan menemuinya, supaya ayahmu tidak marah kepadaku.”
“Tidak usah. Paman tidak usah pergi ke rumah.”
“Kenapa?”
“Sebaiknya paman tidak usah menemui ayah atau ibu atau siapapun juga.”
“Aku tidak mengerti Wita.”
“Maaf paman. Kami persilahkan paman kembali. Kami sedang sibuk di sini.”
“O” paman Wita memandang anak-anak Semangkak itu dengan dada yang berdebar-debar. Tampak wajah-wajah muda yang tegang, tetapi membayangkan pergolakan didalam diri mereka. Ada sesuatu yang bergejolak didalam hati mereka. Gejolak yang seakan-akan terbendung, sehingga pada suatu saat memerlukan penyaluran.
“Betapa dahsyatnya tenaga yang tersimpan didalam diri mereka” berkata paman Wita didalam hatinya, “kalau saja tenaga yang sedahsyat itu dapat disalurkan. Maka tenaga yang dahsyat itu pasti akan dapat membangkitkan kerja yang besar bagi Semangkak.”
Tetapi paman Wita tidak mendapat kesempatan, karena Wita berkata,
“Paman, kami persilahkan paman kembali.” Wita berhenti sejenak, lalu sambil memandang Ki Jagabaya, Wita berkata,
“Ki Jagabaya dari Sangkal Putung pun akan kami persilahkan kembali ke Sangkal Putung. Kami tidak dapat menerima paman dan Ki Jagabaya dalam keadaan ini.”
“Kenapa. dan apakah yang akan kalian lakukan?”
“Tidak ada apa-apa paman Kami sedang mengerahkan tenaga anak muda Semangkak untuk membangun jalan-jalan yang sudah terlampau jelek.”
“Alangkah baiknya jika demikian. Lakukanlah. Tetapi aku akan menemui ayahmu.”
“Tidak usah. Paman harus kembali ke Sangkal Putung.”

Paman Wita menarik nafas dalam-dalam. Kedua orang Sangkal Putung itu adalah orang tua yang cukup berpengalaman, sehingga mereka merasa, dalam keadaan yang demikian, mereka tidak akan dapat memaksakan kehendak mereka. Karena itu, maka Ki Jagabaya pun kemudian berkata
”Baiklah. Kalau kalian tidak mengijinkan kami memasuki daerah Semangkak, kami akan segera kembali.”
Paman Wita mengerutkan keningnya. Tetapi ketika ia memandang tatapan mata Ki Jagabaya, seolah-olah ia dapat membaca isi hatinya
”Kita mencari jalan lain.”
Karena itu, paman Wita pun kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata,
“Baiklah. Baiklah, kami akan kembali ke Sangkal Putung.”
“Terima kasih. Paman dan Ki Jagabaya memang harus kembali ke Sangkal Putung, Tetapi kami ingin memberikan penghormatan kepada paman dan Ki Jagabaya”
“Maksudmu?” bertanya paman Wita,
“Sebentar lagi matahari akan segera turun dan tenggelam. Kami ingin mengantar paman berdua.”
“He?” wajah paman Wita menjadi merah
“Paman kami persilahkan menunggu sejenak. Kita akan pergi bersama-sama.”
“Gila” teriak paman Wita,
“kau jangan asal berkata saja Wita.”
“Maaf paman. Kami justru ingin berbuat baik. Kami ingin mengantar paman dan Ki Jagabaya.”
“Itu tidak sopan. Itu perbuatan gila-gilaan. Aku mengerti maksudmu. Jangan kau kira aku anak kecil yang dungu.”
Wita mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak ia berpaling memandang wajah kawan-kawannya. Dan hampir berbareng kawan-kawannya berkata,
“Kau benar Wita.”
“Nah, bukankah kawan-kawanku bersedia juga mengantar paman nanti? Tetapi nanti sore paman. Dan bukankah paman tidak akan terlalu lama menunggu.”
Wajah paman Wita menjadi semakin tegang. Seharian ia telah berjalan hilir mudik, di padukuhannya sendiri dan di Semangkak. Tetapi tiba-tiba anak-anak muda Semangkak itu telah menahannya. Dalam pada itu Ki Jagabaya pun menjadi marah bukan buatan. Tetapi ia masih berusaha menahan dirinya. Adalah tidak pantas apabila ia harus bertengkar dengan anak-anak. Apalagi apabila ia harus mempergunakan kekerasan. Karena itu, untuk sesaat ia tidak menyahut. Ia sedang mencari akal, untuk melepaskan diri dari tangan anak-anak muda yang sedang dibakar oleh dendam di hatinya,
“Sudahlah” berkata Wita kemudian,
“paman dan Ki Jagabaya tidak usah memikirkan keadaan kami anak-anak muda di Semangkak maupun di Sangkal Putung. Kami sudah cukup dewasa untuk menentukan sikap kami sendiri.”
“Baiklah” berkata Ki Jagabaya,
“kalian memang sudah cukup dewasa, Tetapi kenapa kalian harus menahan kami berdua? Apakah hubungannya dengan perbaikan jalan itu?”
Wita mengerutkan keningnya. Tetapi iapun menjawab,
“Memang tidak ada. Tetapi maaf, kami terpaksa melakukannya. Kami sudah membuat suatu rencana. Dan Ki Jagabaya jangan merusak rencana kami itu.”

Terasa darah Ki Jagabaya semakin cepat mengalir. Kalau saja ia tidak selalu berusaha menyadari dirinya, bahwa ia berhadapan dengan anak-anak, maka ia pasti telah berusaha untuk membebaskan diri tanpa menghiraukan akibatnya. Tetapi, berhadapan dengan anak-anak muda yang sedang marah pula dibakar oleh dendam dan sakit hati, ia harus membuat pertimbangan-pertimbangan lain, Pertimbangan orang tua. Dalam pada itu Wita berkata selanjutnya,
“Kami mengharap agar paman dan Ki Jagabaya tidak berusaha mengganggu kami. Kami memang tidak akan memperbaiki jalan. Tentu paman berdua sudah mengetahuinya, dan tentu kedatangan paman dan Ki Jagabaya ada hubungannya dengan masalah tersebut meskipun barangkali baru menduga-duga.”
Benar-benar diluar dugaan paman Wita, ketika Ki Jagabaya kemudian berdesah sambil berkata,
“Apaboleh buat.”
“Terima kasih atas sikap paman yang baik itu. Sekarang paman kami persilahkan singgah di rumah salah seorang kawan kami di ujung desa.”
Ki Jagabaya menarik nafas dalam-dalam. Sambil berpaling kepada paman Wita ia berkata,
“Kita tidak usah membuat ribut-ribut disini. Sebentar lagi senja akan datang.”
“Tetapi ……?” bertanya paman Wita. Namun suaranya tertahan ketika dilihatnya mata anak-anak muda itu bagaikan menyala
“Tidak bijaksana kita bertegang terhadap anak-anak.” Paman Wita akhirnya mengangguk,
“Baiklah jika Ki Jagabaya memutuskan demikian.”
“Sekali lagi kami mengucapkan terima kasih” lalu Wita itupun berkata kepada kawannya,
“bawa keduanya untuk singgah ke rumahmu sebentar. Ajaklah dua orang untuk mengawaninya agar Ki Jagabaya dan paman mempunyai teman bercakap-cakap.”
Ki Jagabaya mengerutkan keningnya. Ternyata anak-anak itu cukup berhati-hati, sehingga mereka perlu mengirimkan dua orang untuk mengawasinya, selain anak muda yang mempunyai rumah itu sendiri. Tetapi jalan yang dicari Ki Jagabaya semakin jelas tampak olehnya. Baginya, tiga anak-anak muda itu tidak akan begitu sulit untuk menerobosnya, apalagi berdua dengan paman Wita. Demikianlah maka mereka berlima berjalan memasuki halaman rumah di ujung desa. Rumah yang tampaknya begitu sepi dan kotor.
“Inilah rumahku” berkata anak muda yang membawanya,
“rumah ini sudah lama kosong. Rumah ini sebenarnya rumah kakek. Tetapi kakek telah meninggal.”
“Dimana ayah dan ibumu?”
“Ayah dan ibuku berada di rumah ayah sendiri Akulah yang menunggu rumah ini.”
“Sendiri?”
“Ya sendiri.”
“Bagaimana kau makan sehari-hari?”
“Rumah ayah tidak begitu jauh. Aku makan di rumah. Ayah berada di ujung yang lain dari desa ini.”
“O” Ki Jagabaya mengangguk-angguk.

Tetapi ia mengerutkan keningnya ketika mereka memasuki rumah itu. Perkakas rumah yang tidak teratur, bumbung berserakan disana-sini. Dan yang membuat Ki Jagabaya dan paman Wita menjadi berdebar-debar adalah bau tuak yang memenuhi ruangan. Sambil menarik nafas dalam-dalam Ki Jagabaya berkata,
“inikah agaknya tempat yang dipergunakan oleh anak-anak muda Semangkak untuk berkumpul, duduk-duduk dan berbicara tentang macam-macam hal dimalam hari?”
“Ya, justru karena rumahku kosong.”
Ki Jagabaya mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Tetapi tidak semua anak-anak Semangkak sering datang kemari. Anak-anak yang merasa dirinya piyayi tidak pernah sudi menginjak rumahku yang jelek ini. Mereka adalah anak-anak muda yang merasa dirinya terlalu bersih.”
Ki Jagabaya masih mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Silahkan duduk” anak muda itu mempersilahkan. Ki Jagabaya dan paman Wita pun segera memasuki bagian dalam dari rumah itu. Terasa seakan-akan nafas mereka menjadi sesak oleh udara yang lembab.
“Aku akan duduk di serambi saja” berkata Ki Jagabaya.
“Maaf Ki Jagabaya” jawab anak muda yang mempunyai rumah itu,
“aku biasa menerima tamu di ruang dalam.”
Ki Jagabaya menarik nafas. Tetapi ia tidak membantah.
Demikianlah mereka duduk di ruang dalam yang gelap. Terasa sinar matahari yang semakin rendah tidak lagi dapat menerobos masuk pintu yang rendah untuk mencapai bagian dalam rumah yang kotor itu, sehingga bau tuak semakin menusuk hidung.
“Apakah kalian minum tuak?” tiba-tiba Ki Jagabaya bertanya.
Anak-anak muda itu tertawa. Salah seorang dari mereka menjawab.
”Setiap laki-laki pantas minum tuak.”
“Dan kalian adalah laki-laki.”
“Ya. Kami minum tuak.” ketiga anak-anak muda itu tertawa.

Tanpa disadarinya terasa bulu-bulu tengkuk paman Wita meremang. Ini adalah gambaran hidup Wita sendiri di padukuhannya, sehingga ayahnya mengirimkannya ke Sangkal Putung. Tetapi justru karena itu, maka kini tumbuhlah persoalan yang gawat antara kedua padukuhan itu. Ki Jagabaya pun kemudian hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Tetapi ia tidak bertanya lagi. Dipandanginya saja dinding-dinding yang memutari ruangan itu. Kotor dan penuh dengan sarang laba-laba. Tetapi Ki Jagabaya tidak menunjukkan sikap yang dapat menimbulkan kecurigaan. Ia duduk saja sambil mengangguk-angguk. Ketika anak-anak itu menawarkan tuak kepadanya, tiba-tiba saja ia tersenyum,
“Masih ada?”
Paman Wita terkejut mendengar pertanyaan itu. Apalagi ketika ia melihat wajah Ki Jagabaya yang tersenyum-senyum ketika anak-anak muda itu memandanginya dengan heran pula.
“He” berkata Ki Jagabaya lebih lanjut, “masih ada?”
“Apakah Ki Jagabaya benar-benar menghendaki?”
Ki Jagabaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Ya, sejak semalam aku tidak minum tuak.”
“Jadi benar-benar Ki Jagabaya mau minum?”
“Tetapi aku hanya mau minum tuak yang baik.”
“O tentu Ki Jagabaya. Kami pun tidak mau minum tuak yang jelek.”
“Baik. Baik. Terima kasih.”
Anak-anak muda itu saling berpandangan sejenak. Tiba-tiba salah seorang dari mereka berdiri dan masuk ke ruang sebelah. Ketika ia keluar dijinjingnya sebuah bumbung besar berisi tuak dan beberapa bumbung-bumbung kecil.
“Marilah Ki Jagabaya” anak muda itu memberikan sebuah bumbung kecil kepada Ki Jagabaya dan kemudian menuangi bumbung itu dengan tuak.
Ki Jagabaya tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi sambil mengangkat bumbung itu di hidungnya ia berkata,
“Ah. Ini tuak untuk anak-anak. Bukan tuak untuk seorang laki-laki.”
“Kenapa?”
Ki Jagabaya pun kemudian mencicipi tuak itu,
“Tidak ada rasanya sama sekali. Hanya manis saja.”
“Ah” ketiga anak-anak muda itu hampir berbareng berdesah. Salah seorang berkata,
“Tuak ini tuak yang baik.”
Wajah Ki Jagabaya menjadi berkerut merut. Tetapi ia masih memegang bumbung berisi tuak itu,
“Silahkan Ki Jagabaya.”
Ki Jagabaya tidak segera meminumnya. Katanya pula,
“Seperti minum legen mentah. Manis dan menghilangkan haus.”
“Tentu tidak.” anak-anak muda itu saling berpandangan. Tiba-tiba salah seorang dari mereka menuang tuak itu ke dalam bumbungnya sendiri. Satu kali teguk isi bumbung itu telah kering.
“Benar-benar tuak malang. Tuak itu sudah disimpan lama sekali. Apakah masih kurang keras bagi Ki Jagabaya.”
Ki Jagabaya mengangguk-angguk.

Tetapi anak muda itu telah menuang tuak itu sekali lagi ke bumbungnya sendiri. Bahkan anak-anak yang lain pun berbuat serupa pula. Mereka kemudian meneguk isi bumbung itu sampai habis Tetapi mereka mengisinya pula demikian berkali-kali, sehingga lambat laun kepala mereka menjadi pening. Selagi mereka sibuk, dengan diam-diam, tanpa diketahui oleh anak-anak itu, Ki Jagabaya telah membuang isi bumbungnya ke lantai yang terbuat dari tanah. Kemudian ia berpura-pura meneguk tuak itu sampai bumbungnya kering.
“Benar-benar” tiba-tiba ia berkata,
“tuak ini memang tuak yang baik. Tetapi bagiku tidak ubahnya seperti legen, seperti yang sudah aku katakan. Mari isi bumbungku lagi.
Anak-anak itu telah menuang bumbung tuak itu pula ke dalam bumbung Ki Jagabaya, tetapi mereka tidak lupa menuang ke dalam bumbungnya sendiri. Sementara Ki Jagabaya membuang tuak itu ke sudut ruangan, anak-anak muda itu sudah menghabiskan beberapa bumbung lagi.
“Cukup” berkata salah seorang dari mereka, “kepalaku pening.”
Yang, lain pun mengangguk-angguk. Tetapi mereka masih memegang bumbung-bumbung kecil di tangan mereka. Ketika mereka hampir meletakkan bumbung-bumbung kecil itu, Ki Jagabaya telah mengacungkan bumbungnya sekali lagi sambil berkata,
“Beri aku lagi. Sebumbung penuh. Tuak semanis legen ini memang enak. Tetapi tidak memuaskan.”
Sambil terhuyung-huyung anak yang memegang bumbung tuak itu mengisi bumbung Ki Jagabaya tidak saja menjadi penuh, tetapi bahkan melimpah-limpah. Sambil tertawa ia berkata,
“Ki Jagabaya juga seorang peminum yang baik. Mari, mari kita minum bersama-sama.
Sekali lagi dan sekali lagi anak-anak itu mengisi bumbungnya. Mereka meneguk tuak tanpa ragu-ragu lagi, seperti yang selalu mereka lakukan. Ki Jagabaya memandang anak-anak muda itu dengan tegangnya. Akhirnya ketiga anak-anak muda itu menjadi mabuk dan terkapar sambil mengigau tanpa arah.
“Mereka menjadi mabuk” berkata Ki Jagabaya, “kita harus segera pergi.”
“Ya Kita tinggalkan rumah lembab ini. Kita segera kembali ke Sangkal Putung”
“Tidak. Kita pergi ke Kademangan Semangkak.” Dengan hati-hati Ki Jagabaya itu menjengukkan kepalanya. Ketika halaman itu ternyata sepi, maka ia pun segera mengajak paman Wita segera keluar. Namun ia masih sempat mendengar anak muda itu mengigau,
“Kita bunuh saja Swandaru yang gila itu.”

Dalam pada itu Ki Jagabaya pun segera meninggalkan halaman rumah itu diikuti oleh paman Wita. Dengan hati-hati mereka keluar regol dan kemudian hampir berlari-lari mereka melintas sebuah simpang tiga dan kemudian hilang masuk ke jalan sempit.
Meskipun masih belum senja, tetapi jalan sempit itu sudah sunyi. Dengan demikian Ki Jagabaya dapat berjalan cepat-cepat menuju ke Kademangan. Kedatangan Ki Jagabaya Sangkal Putung itu benar-benar telah mengejutkan. Semula mereka menyangka, bahwa Ki Jagabaya itu sedang mengejar seseorang yang akan ditangkapnya. Tetapi orang itu orang Semangkak. Namun akhirnya dahi Demang Semangkak itu menjadi tegang, ketika ia mendengar keterangan Ki Jagabaya mengenai anak-anak muda mereka.
“Huh, kami memang hampir menjadi gila dibuatnya” desis Ki Demang Semangkak.
Ki Jagabaya dari Sangkal Putung dan paman Wita mengangguk-angguk. Mereka menyadari kesulitan yang dihadapi oleh Ki Demang di Semangkak.
“Mereka telah bersiap untuk berangkat” berkata Ki Jagabaya.
“Tidak semua anak-anak muda bersikap seperti mereka” berkata Ki Demang,
“tetapi karena yang lain tidak suka keributan, mereka tidak berbuat apa-apa. Bahkan mereka seakan-akan telah menyingkir dari pergaulan yang suram itu.”
“Kita dapat mencegah mereka” berkata seorang bebahu Kademangan Semangkak
”aku akan memanggil anak-anak muda yang lain, yang tidak sependapat dengan mereka”
“Ah” Ki Demang berdesah,
“tentu akibatnya tidak menyenangkan. Mereka bahkan akan berkelahi sesama anak-anak Semangkak.”
“Itu lebih baik daripada mereka dihancurkan oleh anak-anak muda Sangkal Putung.”
“Aku akan berusaha agar anak-anak muda Sangkal Putung tidak melibatkan diri.”
“Bagaimana mungkin. Anak-anak Semangkak akan datang ke Sangkal Putung.” Ki Demang berpikir sejenak,
“anak-anak itu memang harus dicegah. Tetapi tidak bijaksana kalau anak-anak kita harus saling berkelahi. Aku akan mencoba sekali lagi.”
Tetapi bebahu Kademangan itu menggelengkan kepalanya,
“Apakah hal itu mungkin?”
“Aku akan mencoba. Aku akan memanggil Ki Jagabaya di Semangkak.”
“Silahkan Ki Demang” berkata Ki Jagabaya di Sangkal Putung,
“aku akan mendahului. Semuanya terserah kepada kebijaksanaan Ki Demang. Kita mengutamakan keselamatan anak-anak kita. Keselamatan badaniah dan keselamatan rohaniah.”
“Ya. Kita memang bertanggung jawab. Orang-orang tua mereka pun harus bertanggung jawab. Kesalahan anak-anak muda itu sebagian adalah kesalahan orang-orang tua pula.”
“Baiklah. Sebelum terjadi sesuatu, aku harus berada di Sangkal Putung.”
“Silahkan. Aku juga akan segera berbuat sesuatu.” Ki Jagabaya dan paman Wita pun segera meninggalkan Kademangan. Mereka mengambil jalan lain sehingga mereka tidak berpapasan lagi dengan anak-anak muda Semangkak yang semakin lama menjadi semakin banyak menjelang senja.

Dengan tergesa-gesa Ki Jagabaya meloncati parit kemudian menyelusuri pematang kembali ke Sangkal Putung.
“Bekas prajurit yang mengajari anak-anak itu olah kanuragan juga sedang dicari oleh kakang Santa” berkata paman Wita,
“mudah-mudahan ia dapat membantu mencegah persoalan ini”
“Mudah-mudahan” gumam Ki Jagabaya sambil melangkah lebih cepat lagi.
Dalam pada itu, anak-anak yang berkumpul di regol padukuhan Semangkak menjadi gelisah ketika matahari menjadi semakin rendah. Mereka seakan-akan tidak sabar lagi menunggu.
“Ki Jagabaya sudah terlalu lama menunggu” berkata salah seorang dari mereka hampir diluar sadarnya.
“Biar saja. Sesekali duduk termenung di Kademangan tetangga bersama anak-anak muda.”
“Bagaimana dengan pamanmu, Wita?” bertanya salah seorang kawannya.
“Ia selalu ingin mencampuri persoalanku. Mudah-mudahan ia menjadi jera, dan tidak lagi merasa lebih berpengaruh atasku dari ayahku sendiri.”
Kawannya tertawa. Ia akan mengumpat-umpat sepekan tidak ada habis-habisnya. Tetapi kasihan juga kalau ia menjadi sasaran kemarahan anak-anak Sangkal Putung besok atau lusa.
“Salahnya sendiri. Tetapi anak-anak Sangkal Putung pasti tidak akan berani berbuat apa-apa lagi. Mereka harus menyadari, bahwa Sangkal Putung bukan Kademangan terkuat di daerah Selatan ini. Mungkin di saat Tohpati berkeliaran di sini, Sangkal Putung menjadi sasaran. Tetapi itu bukan berarti bahwa anak-anak muda Sangkal Putung menjadi sekuat prajurit-prajurit Pajang. Dan itu bukan berarti bahwa anak-anak Semangkak tidak berbuat apa-apa waktu itu.”
“Sekarang kita akan membuktikan. Kita akan merusak semua gardu di Sangkal Putung, dan memecah semua kentongan. Swandaru harus menyadari, bahwa ia adalah seorang anak muda biasa. Bukan seorang pahlawan besar yang pantas membanggakan diri.” gumam salah seorang dari mereka meskipun ia tidak mengenal Swandaru dari dekat.
Ketika matahari menjadi semakin rendah, salah seorang dari anak-anak muda itu berkata,
“Senja itu telah datang. Marilah kita bersiap. Kita sudah terlalu lama duduk di sini.”
“Ambil Ki Jagabaya dan paman” berkata Wita,
“kita bawa mereka bersama. Mereka akan menyaksikan anak-anak muda kebanggaan mereka itu lari lintang pukang melihat kedatangan kita.”
Demikianlah dua orang anak muda pergi ke rumah di ujung desa untuk mengambil Ki Jagabaya dan paman Wita.

Tetapi ketika mereka sampai ke rumah itu, mereka menjadi terkejut. Ternyata yang mereka jumpai adalah ketiga kawan-kawan mereka yang sedang tidur karena mabuk tuak.
“Gila” teriak salah seorang dari kedua anak-anak muda itu,
“mereka mabuk tuak.”
“Mari, kita bangunkan mereka. Ki Jagabaya pasti sudah lari.”
Dengan susah payah maka ketiga anak-anak muda itu dibangunkan. Tetapi karena kesadaran mereka masih belum pulih kembali, maka yang mereka ucapkan pun tidak lebih dari sebuah igauan yang tidak menentu.
“Kalian sudah gila” bentak kawannya,
“dimana Ki Jagabaya dan paman Wita itu?”
Anak-anak muda yang baru terbangun itu menggelengkan kepalanya.
“Kalian yang menunggui mereka di sini.”
Perlahan-lahan ingatan anak-anak yang mabuk itu merayapi otaknya kembali. Meskipun masih kabur namun mereka mulai teringat kepada Ki Jagabaya dan paman Wita Karena itu maka dengan wajah yang tegang salah seorang dari mereka bertanya,
“Ya, dimana Ki Jagabaya?”
“Lari” sahut yang lain,
“ia pasti lari. Licik sekali. Ia membuat kita mabuk.”
“Bodoh. Bodoh sekali. Kalian telah mabuk dan membiarkan Ki Jagabaya Sangkal Putung bersama paman Wita itu pergi.”
“Mereka akan segera memberitahukan hal ini kepada anak-anak muda Sangkal Putung sehingga mereka sempat mempersiapkan diri.”
“Gila. Mari kita segera kembali ke regol. Kita harus berangkat sekarang.”
Demikianlah anak-anak muda itu berlari-lari pergi ke regol padukuhan mereka. Dengan tergesa-gesa mereka memberitahukan bahwa Ki Jagabaya dan paman Wita telah pergi tanpa diketahui oleh anak-anak yang menjaganya, karena mereka telah mabuk.
“Berbahaya sekali” desis Wita,
“jika mereka mencapai Sangkal Putung, maka anak-anak muda Sangkal Putung sempat mempersiapkan diri.”
“Kalau begitu kita harus segera berangkat. Meskipun Ki Jagabaya datang lebih dahulu dari kita, tetapi mereka pasti belum sempat mengadakan persiapan apapun untuk menyambut kedatangan kita. Sementara itu kita sudah dapat membuat mereka terkejut dengan membakar gardu-gardu dan menghajar siapapun yang kita jumpai.”
“Mereka masih harus terpencar-pencar. Jika mereka sempat berkumpul, mereka akan dapat menyusun kekuatan.”
Demikianlah, maka anak-anak muda itu memutuskan untuk segera berangkat. Seperti orang yang pergi berperang, mereka membawa bermacam-macam senjata.

Beberapa orang yang melihat mereka meninggalkan padukuhan Semangkak menjadi berdebar-debar. Tetapi mereka hanya dapat saling bertanya apakah yang akan dilakukan oleh anak-anak muda itu. Sementara itu, Ki Demang di Semangkak setelah memanggil Ki Jagabaya dengan tergesa-gesa pergi pula di regol padukuhan Semangkak. Tetapi ternyata anak-anak Semangkak telah berangkat. Mereka tidak dapat mencegahnya lagi. karena mereka datang terlambat beberapa saat.
“Kenapa mereka tidak menunggu senja?” bertanya Ki Demang kepada diri sendiri. Menurut Ki Jagabaya di Sangkal Putung, anak-anak itu akan berangkat setelah senja.
Tetapi ketika Ki Demang menengadahkan wajahnya ke langit, maka matahari telah hampir kehilangan sinarnya. Senja memang sudah mulai turun perlahan-lahan.
“Jadi bagaimana sebaiknya Ki Jagabaya?” bertanya Ki Demang kemudian.
“Kita menyusul mereka.”
Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya Desisnya,
“Ya, kita menyusul mereka.”
Dengan demikian, maka Ki Demang bersama Ki Jagabaya diiringi oleh beberapa-bebahu yang lain pergi menyusul anak-anak muda dari Semangkak itu. Kali ini mereka harus benar-benar berhasil mencegah mereka. Kalau tidak, maka keadaan anak-anak muda mereka justru akan menjadi semakin parah. Dalam pada itu, anak-anak muda Semangkak itupun dengan tergesa-gesa pula pergi ke Sangkal Putung. Bahkan kadang-kadang mereka berlari-lari kecil melintasi bulak, menyusur pematang. Beberapa orang yang masih berada di sawah melihat iring-iringan itu dengan hati yang berdebar-debar. Didalam hati mereka bertanya,
“Apalagi yang akan dilakukan oleh anak-anak itu?”
Namun mereka hanya dapat memandang iring-iringan itu dari kejauhan dan dengan hati yang cemas.

Sementara itu, Sangkal Putung telah mempersiapkan diri menyambut kedatangan anak-anak Semangkak dengan caranya. Tidak ada seorang anak muda pun yang tampak, Yang ada di Kademangan adalah Ki Demang Sangkal Putung dan beberapa orang bebahu. Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar sengaja berada didalam gandok, karena langsung atau tidak langsung, Kiai Gringsing mempunyai hubungan dengan Swandaru. Meskipun Ki Demang sendiri adalah ayah Swandaru. tetapi dalam kedudukannya sebagai Demang Sangkal Putung, ia tidak dapat ingkar akan tugasnya, menghadapi kemungkinan yang manapun juga yang dapat terjadi. Namun dalam pada itu, Agung Sedayu, Swandaru dan beberapa orang anak muda terpilih, bersembunyi di atas kandang. Jika keadaan memaksa, maka mereka pun tidak akan dapat membiarkannya. Sedang di dalam rumah Ki Demang masih ada seorang lagi yang dapat membantu mereka apabila diperlukan. Sekar Mirah. Tetapi bagi Sumangkar, jika tidak memaksa sekali, Sekar Mirah lebih baik berada di dapur daripada ikut didalam keributan itu. Yang datang lebih dahulu ke Kademangan itu adalah Ki Jagabaya bersama paman Wita. Mereka dapat sekedar memberikan gambaran apa yang akan dilakukan oleh anak-anak Semangkak itu.
Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
“Memang terlampau sulit untuk mengendalikan anak-anak yang sudah terlanjur lepas dari ikatan kepribadian kita yang sebenarnya lembut. Kita memang harus berhati-hati.”
“Kalau mereka mengetahui aku melepaskan diri, maka mereka pasti akan segera menyusul.”
Belum lagi Ki Demang menjawab, maka seorang pengawas datang dengan tergesa-gesa melaporkan, bahwa anak-anak muda Semangkak telah datang.
“Bersembunyilah. Untung kami sempat memberikan penjelasan kepada anak-anak muda dan menenangkan penduduk. Biarlah aku menerimanya. Mereka pasti akan langsung menuju kemari mencari Swandaru.” berkata Ki Demang.
“Bagaimana jika mereka keras kepala dan tidak mau mendengarkan penjelasan Ki Demang?”
Ki Demang mengangkat bahunya. Sejenak ia memandang Ki Jagabaya, kemudian orang-orang yang ada di sekitamya. Baru kemudian ia menjawab,
“Kita mengharap mereka akan mendengar penjelasan-penjelasan.”
“Syukurlah kalau pimpinan Kademangan Semangkak sendiri berhasil mencegah mereka.”
“Mereka sudah diambang pintu Sangkal Putung.” Ki Jagabaya menarik nafas dalam-dalam. Kalau pimpinan Kademangannya sendiri tidak dihiraukannya, apalagi pimpinan Kademangan tetangga, terlebih-lebih anak-anak itu memang merasa mempunyai persoalan dengan Sangkal Putung.

Dalam kebimbangan itu Ki Demang berkata sekali lagi kepada anak muda yang mengawasi anak-anak Semangkak itu,
“Bersembunyilah. Kawan-kawanmu ada di kandang.”
“Baiklah” desis anak itu.
Baru saja ia hilang dari pendapa, terdengar dikejauhan suara anak-anak muda yang berteriak-teriak tidak menentu. Berteriak-teriak seperti orang yang sedang mengejar tupai.
“Serahkan Swandaru. Serahkan Swandaru. Kalau tidak, Sangkal Putung menjadi lautan api.”
Yang mendengar teriakan-akan itu menjadi ngeri juga. Anak-anak muda dalam jumlah yang besar beriring-iringan sambil berteriak-teriak di sepanjang jalan Sangkal Putung.
“Mereka datang” desis Ki Demang.
Ki Jagabaya hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab.
Dalam pada itu, anak-anak muda Semangkak yang datang di Sangkal Putung itu merasa, bahwa kehadirannya tidak di ketahui oleh anak-anak muda Sangkal Putung, ternyata tidak ada seorang pun yang menahan kedatangan mereka. Namun ketika mereka masuk lebih dalam, dan tidak seorang pun yang mereka jumpai di gardu-gardu atau dimanapun, mereka mulai curiga. Bahkan salah seorang dari mereka berkata,
“Pengecut. Ternyata anak-anak Sangkal Putung yang merasa dirinya mampu melawan pasukan Tohpati ketika itu, kini hanya berani menyembunyikan diri. Tidak seorang pun berani keluar dari rumahnya.”
“Kita langsung pergi ke rumah Swandaru.”
“Ya, kita langsung pergi ke Kademangan. Kita temui Ki Demang dan kita minta Swandaru. Kalau Ki Demang tidak mau memberikan, kita jadikan Kademangan Sangkal Putung karang abang”
“Ya, kita jadikan Ki Demang tanggungan, sebelum kita mendapatkan Swandaru yang sombong itu.”
“Akulah yang akan mengurus Kademangan Sangkal Putung.” berkata Wita memotong kata-kata kawan-kawannya.

Kawan-kawannya pun tidak menyahut lagi. Dengan tergesa-gesa mereka pergi ke Kademangan. Sepanjang jalan yang sudah mulai gelap mereka sama sekali tidak menjumpai seorang pun. Bukan saja anak-anak muda, tetapi seakan-akan Sangkal Putung itu telah berubah menjadi sebuah kuburan yang besar. Sepi. Sementara itu, Ki Demang di Semangkak berlari-lari menyusul anak-anak mudanya yang telah berangkat mendahului waktu yang diperkirakan. Mereka menjadi cemas, kalau sesuatu telah terjadi. Jika mereka terlambat, maka semuanya hanya akan dapat disesali. Namun selagi ia masih berlari-lari di tengah sawah, anak-anak muda Semangkak telah memasuki halaman Kademangan Sangkal Putung. Beberapa orang segera memancar di halaman, di kebun belakang dan yang lain mendekati pendapa. Ki Demang di Sangkal Putung menjadi berdebar-debar juga. Kali ini ia tidak menghadapi pasukan Tohpati. Tetapi yang datang adalah anak-anak muda dari Semangkak. Anak-anak muda yang justru sedang tumbuh.
Seperti senja yang menjadi gelap, maka masa depan anak-anak muda itu pun menjadi gelap. Jika mereka hanya dicengkam oleh kesibukan yang tidak berarti apa-apa itu, maka hari depan mereka, bahkan hari depan Semangkak pasti akan suram. Ketika anak-anak muda Semangkak itu berdiri dibawah tangga pendapa Kademangan, maka seseorang telah menyalakan lampu di pendapa itu.
“Ki Demang di Sangkal Putung” berkata Wita yang agaknya telah menjadi pemimpin anak-anak Semangkak,
“kami ingin berbicara sedikit.”
Ki Demang menjadi semakin berdebar-debar. Tetapi iapun kemudian berdiri dan berjalan ke tangga pendapa diiringi oleh Ki Jagabaya dan para bebahu. Juga paman Wita mengikutinya dengan cemas.
“Ya, aku memang sedang menunggu kalian” berkata Ki Demang.
Dengan wajah yang tegang mereka memandang Ki Jagabaya dan paman Wita yang sudah berada di pendapa itu pula.
“Paman dan Ki Jagabaya sudah ada disini” desis Wita.
“Ya, maaf bahwa kami terpaksa mendahului..”
“Kalian sudah membujuk anak-anak yang menunggui kalian untuk minum tuak dan menjadi mabuk.”
“Merekalah yang memaksa aku minum tuak.”
“Bohong” teriak anak yang baru saja sadar dari mabuknya itu.
“Sudahlah” berkata Wita,
“sekarang kami akan segera saja menyampaikan keperluan kami.”
Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya
“Serahkan Swandaru.”

Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Sejenak ia memandang Ki Jagabaya. Namun Ki Jagabaya tidak sedang memandangnya.
“Anak-anak” berkata Ki Demang kemudian,
“Aku sedang digelisahkan oleh anakku itu. Ia tidak ada di rumah sejak siang hari”
“Bohong” teriak Wita,
“ternyata Ki Jagabaya telah menyuruhnya bersembunyi. Sekarang, tunjukkan kepada kami, dimana anak itu bersembunyi. Kami hanya memerlukan Swandaru. Tetapi jika kami tidak menemukannya, kami akan berbuat atas siapa saja.”
Ki Demang menjadi semakin cemas melihat wajah-wajah yang tegang itu. Seakan-akan mereka sudah tidak mau lagi mendengarkan kata-kata orang lain. Namun demikian Ki Demang masih mencoba berkata,
“Sudah aku katakan bahwa Swandaru pergi. Mungkin ia sudah menduga bahwa kalian akan datang. Karena itu, iapun telah pergi meninggalkan rumah ini.”
“Bohong, aku tidak percaya” teriak Wita,
“aku minta Swandaru diserahkan.”
“Bakar saja rumahnya” teriak salah seorang dari anak-anak muda itu.
Ki Demang mengerutkan keningnya. Tetapi Wita pun berpaling kepadanya dan memberikan isyarat agar anak itu diam.
“Wita” berkata Ki Demang kemudian,
“sebenarnya kita dapat membatasi persoalan ini. Yang kecil memang dapat kita tiup-tiup menjadi besar. Tetapi jika kita berkeinginan, maka yang besar pun dapat kita jadikan kecil.”
“Aku tidak akan berbicara. Yang kami tuntut, serahkan Swandaru. Hanya itu.”
“Cobalah, bayangkan kembali apa yang terjadi. Apakah yang terjadi itu cukup besar untuk mengorbankan jalinan kekeluargaan antara Semangkak dan Sangkal Putung.”
“Cukup, cukup” teriak Wita,
“aku hormati orang tua-tua. Tetapi jika ia mencoba menghalang-halangi aku, apa boleh buat.”
Kata-kata itu benar-benar menyakitkan hati. Tetapi Ki Demang adalah orang tua yang mencoba mengerti jalan pikiran anak-anak muda yang sesat sekalipun. Maka katanya,
“Tidak baik kita terlalu memanjakan perasaan kita. Cobalah, dengarkan kata-kataku.”
“Tidak. Sudah cukup banyak. Serahkan Swandaru.” Ki Jagabaya menarik nafas dalam-dalam. Apalagi ketika lagi seorang yang berkata”
“Bakar setiap gardu yang ada di Sangkal Putung. Bakar rumah ini jika Swandaru tidak kita ketemukan.”
“Membakar sebuah bangunan akibatnya akan luas sekali” berkata Ki Demang,
“bukan saja orang-orang tertentu, tetapi seluruh keluarganya akan menderita. Anakku bukan saja Swandaru. Tetapi aku mempunyai keluarga yang lain yang tidak tahu menahu.”
“Cukup, cukup. Jangan membujuk.”
“Aku tidak membujuk. Jika ada sesuatu yang kalian anggap salah, aku minta maaf bagi Swandaru. Tetapi marilah, duduklah. Semuanya atau sebagian yang dapat kalian anggap mewakili kalian. Kita dapat berbicara dengan baik.”
“Tidak. Tidak. Aku tidak mau berbicara lagi.”
“Cobalah sebentar. Apa salahnya kita mempergunakan akal dari sekedar perasaan. Kalian adalah anak-anak muda. Sedang gadis-gadis yang menolak kawin pun kadang-kadang dapat juga diajak berbicara dengan nalar. Tentu kalian, laki-laki Semangkak, dapat juga berbicara dengan nalar yang bening.
“Diam, diam” Wita membentak
”Ki Demang. Jangan membuat kami, anak-anak muda, kehilangan sikap hormat kami kepadamu dan kepada orang-orang tua di Sangkal Putung. Tunjukkanlah kepada kami dimana Swandaru dan anak-anak muda Sangkal Putung bersembunyi”
“Silahkan. Marilah, aku mengharap kalian duduk sejenak.”
“Tidak. Tidak” teriak Wita semakin keras untuk mengatasi sentuhan kata-kata Ki Demang. Sementara kawan-kawannya mulai berteriak pula,
“Tangkap Demang Sangkal Putung”
“Ki Demang” berkata Wita,
“kalau Ki Demang tidak mau menunjukkan, maaf, kami akan mencarinya sendiri ke dalam rumah ini.”

Ki Demang menarik nafas dalam-dalam.
“Minggirlah Ki Demang. Kami akan memasuki rumah ini untuk mencari Swandaru. Hanya Swandaru.”
“Itu tidak sopan” berkata Ki Demang.
“Kami tidak peduli. Kami memaksa untuk memasuki rumah ini meskipun Ki Demang berkeberatan.”
“Kita tidak usah minta ijin kepadanya” teriak anak muda yang lain.
Suasana semakin meningkat tegang. Ki Demang masih berdiri di tempatnya. Anak-anak yang sedang dibakar oleh perasaannya, di dalam kumpulan orang banyak, memang terlampau sulit untuk diajak berbicara. Tetapi ia tidak akan dapat berbuat dengan kekerasan, karena akibatnya akan menambah keadaan menjadi semakin parah.
Dalam ketegangan itu, tiba-tiba terdengar suara di regol halaman,
“Tunggu, tunggu.”
Semua orang berpaling kepadanya. Ternyata Ki Demang di Semangkak diikuti oleh Ki Jagabaya beserta beberapa orang bebahu datang dengan tergesa-gesa.
“Mereka datang” seorang kawan Wita berbisik.
“Aku tidak peduli” desis Wita.
“Ya, kita tidak peduli.”


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar