Jilid 064 Halaman 2


Dengan nafas terengah-engah Ki Demang di Semangkak langsung naik ke pendapa mendapatkan Ki Demang di Sangkal Putung sambil berkata,
“Maaf Ki Demang. Kami agak terlambat. Untunglah semuanya belum terjadi.”
Ternyata Wita mendengar kata-kata Ki Demang di Semangkak itu dan langsung menyahut,
“Semuanya tetap akan terjadi.”
Wajah Ki Demang di Semangkak menjadi merah padam. Dengan nada yang keras ia berkata,
“Wita. Apakah kau sudah gila?”
“Mungkin Ki Demang. Mungkin kami memang sudah gila. Tetapi kami tidak akan surut.”
“Gila. Kalian telah melakukan kesalahan yang besar sekali. Aku akan mencegah kalian dengan cara apapun.”
“Seperti yang aku katakan kepada Ki Demang di Sangkal Putung, jangan menghilangkan sikap hormat kami kepada orang tua-tua. Menepilah. Cepat.”
“Tidak” teriak Ki Demang di Semangkak,
“aku tidak akan menepi. Kalau kalian akan berbuat gila, akulah korban yang pertama.”
Anak-anak Sangkal Putung itu menjadi semakin tegang. Sejenak mereka tercenung melihat sikap Ki Demang Semangkak yang ternyata justru lebih keras dari sikap Ki Demang di Sangkal Putung.
Tetapi nalar anak-anak itu benar-benar sudah menjadi butek. Karena itu, maka salah seorang dari mereka berteriak,
“Kami tidak peduli. Siapapun korban yang pertama. Jika seseorang mencoba menghalangi kami, maka kami akan bertindak.”
“Ayo, lakukan. Lakukanlah” teriak Ki Demang yang menjadi sangat marah.
Tetapi Ki Demang Sangkal Putung menjadi cemas. Jika suasana bertambah panas, dan terjadi sesuatu di antara mereka, maka Kademangan Sangkal Putung lah yang akan menjadi korban. Mungkin anak-anak itu benar-benar akan membakar rumah ini. Dan jika demikian, maka sulitlah untuk mencoba mengendalikan anak-anak Sangkal Putung sendiri.
Karena itu. maka ia masih mencoba menengahi,
“Tunggulah. Aku minta kita berbicara.”
“Mereka tidak dapat diajak berbicara lagi” geram Ki Demang di Semangkak.
“Aku akan mengatakan sekali lagi kepada mereka, bahwa rumah ini tidak saja didiami oleh Swandaru. Aku, isteriku dan seorang anak gadisku. Mereka tidak tahu menahu tentang tingkah laku Swandaru. Karena itu, jangan membuat mereka menjadi ketakutan.”

Tiba-tiba Wita mengerutkan keningnya. Kata-kata Ki Demang itu justru membuka persoalan baru baginya, sehingga tanpa diduga-duga ia berkata,
“Apakah mereka ada di rumah?”
Tanpa prasangka jelek, Ki Demang menjawab,
“Ya, mereka ketakutan di belakang.”
“Terima kasih. Aku akan mengambil Sekar Mirah”
“He?” Ki Demang di Sangkal Putung, Ki Demang Semangkak dan semua orang yang mendengar kata-kata itu terkejut bukan kepalang.
“Jangan terkejut” berkata Wita,
“aku memerlukan Sekar Mirah.”
“Kenapa dengan Sekar Mirah?” bertanya Ki Demang.
“Sebelum Swandaru datang menjemput adiknya Sekar Mirah tidak akan aku lepaskan.”
“Gila, itu lebih gila lagi” Ki Demang di Semangkak masih berteriak,
“sudah aku katakan. Aku akan menghalangi kegilaan kalian. Biarlah aku menjadi korban yang pertama. Kalian sudah cukup banyak membuat aku sakit hati, membuat aku pening dan gelisah. Sekarang ini adalah puncak dari kegilaan kalian.”
“Jangan menghinakan diri sendiri Ki Demang” berkata Wita,
“kami tetap pada pendirian kami. Jika Swandaru tidak ada, kami memerlukan Sekar Mirah..”
Suasana yang tegang menjadi semakin tegang. Tiba-tiba saja seorang anak muda yang lain berteriak,
“Bawa gadis itu.”
Hampir berbareng beberapa orang menyahut,
“Ya. Bawa gadis itu. Bawa gadis itu.”
“Diam. Diam” teriak Ki Demang di Semangkak.
Tetapi justru anak-anak muda itu mendesak maju ke tangga. Bahkan beberapa orang yang semula berdiri di pinggir halaman, melangkah pula mendekat sambil berteriak,
“Ya, bawa gadis itu.”

Suasana menjadi semakin panas. Ki Jagabaya Semangkak yang tidak banyak berbicara seperti kebiasaannya sehari, melangkah maju dengan wajah yang membara. Tiba-tiba saja ia memutar kerisnya sambil berteriak,
“Kalian, kalian akan melawan aku?”
Anak-anak muda Semangkak itu terhenti sejenak, namun kemudian Wita berteriak pula,
“Menepilah Ki Jagabaya. Aku hanya memerlukan gadis itu, agar Swandaru lah yang kelak menjemputnya.”
Orang-orang tua yang marah di pendapa itu justru terbungkam. Tetapi mereka tentu tidak akan membiarkan semuanya itu berlangsung, apapun yang akan terjadi atas diri mereka. Karena itu, tanpa berjanji, mereka pun mulai bergerak melebar, seakan-akan ingin menahan arus gelombang yang menghantam tebing. Tetapi anak-anak muda Semangkak itu bagaikan sedang mabuk tuak. Tidak ada cara untuk menahan mereka. Namun demikian, tiba-tiba semua orang yang ada di halaman itu tergetar ketika mereka mendengar suara seorang gadis yang melengking,
“Aku setuju.”
Suara itu benar-benar telah mengejutkan setiap telinga yang mendengarnya, Apalagi ketika mereka kemudian melihat Sekar Mirah naik ke pendapa dari arah samping.
“Mirah” desis Ki Demang Sangkal Putung.
“Aku sependapat dengan usul Wita. Biarlah ia membawa aku. Atau laki-laki yang manapun juga dari Semangkak.”
“Mirah” wajah Ki Demang menjadi merah,
“Tetapi aku mempunyai syarat.”
“Apa syaratmu” Wita berteriak.
“Hanya laki-laki yang mampu memaksa aku dengan kekerasan yang dapat membawa aku ke Semangkak. Tetapi laki-laki itu harus laki-laki jantan, yang berani bertindak atas tanggung jawabnya sendiri.”
Halaman itu bagaikan dicengkam oleh kesenyapan yang tajam. Setiap orang menahan nafasnya sambil memandang Sekar Mirah yang berdiri di tengah-tengah pendapa, dalam cahaya samar-samar lampu minyak.
“Mirah” terdengar suara lain berdesis. Agaknya Sumangkar yang mengikuti peristiwa itu menjadi cemas pula.
Sekar Mirah hanya berpaling, tetapi ia tidak surut. Bahkan ia berkata selanjutnya,
“Nah, laki-laki Semangkak yang manakah yang akan membawa aku serta?”

Setiap orang masih saja terheran-heran. Mereka sama sekali belum mengetahui maksud Sekar Mirah itu, sementara Sumangkar hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Ternyata perasaan Sekar Mirah pun telah terlanjur menyala seperti anak-anak Semangkak yang datang ke rumahnya itu. Ki Demang di Sangkal Putung pun kemudian menyadari, bahwa ia sudah berbuat suatu kesalahan. Yang selama ini diperhatikan dan dijaganya agar tidak melonjak adalah perasaan anak-anak mudanya, Atas usaha Swandaru, anak-anak muda itu dapat dikendalikan. Tetapi Ki Demang dan para bebahu Sangkal Putung agaknya telah lupa, bahwa disamping anak-anak muda itu masih ada seorang lagi yang perlu diperhatikan. Orang itu adalah anak gadisnya, Sekar Mirah. Tetapi kini sudah terlambat. Sekar Mirah sudah berada di pendapa. Bahkan telah menantang anak-anak muda Semangkak yang datang ke rumahnya. Dalam pada itu anak-anak muda Semangkak masih dicengkam oleh keheranan. Mereka belum tahu pasti maksud Sekar Mirah. Karena itu, maka Wita pun bertanya pula
“Jelaskan madsudmu Mirah.”
“Baik” Sekar Mirah mendekat tanpa ragu-ragu. Ternyata bahwa pakaian Sekar Mirah membuat anak-anak muda Semangkak semakin heran. Sekar Mirah berpakaian seperti seorang laki-laki. Meskipun ia tidak memakai ikat kepala, tetapi rambutnya telah disanggulnya tinggi-tinggi dan diikatnya erat-erat.
“Wita” berkata Sekar Mirah,
“kau sudah beberapa lama berada di Sangkal Putung. Tentu tidak akan kami duga, bahwa kau pada suatu saat akan datang membawa kawan-kawanmu. Tetapi itu sudah terjadi. Sekarang, kita lanjutkan persetujuan kita. Kalau kau mau membawa aku, bawalah. Tetapi syaratnya, kalau kau dapat mengalahkan aku.”
Wajah Wita menjadi merah sesaat. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa ia mendapat tantangan dari seorang gadis. Dari Sekar Mirah. Dan apalagi ketika Sekar Mirah melanjutkan,
“Jika kau menang, taruhannya adalah diriku. Apapun yang akan kau perbuat, Karena aku adalah barang taruhan. Tetapi kalau kau kalah, bawa kawan-kawanmu pergi. Kau setuju?”
Wita masih berdiri tegang. Di Semangkak ia terhitung anak muda yang mempunyai kelebihan dari kawan-kawannya diantara beberapa orang yang lain yang tidak banyak jumlahnya, tetapi yang justru tidak mau membantunya saat ini.
“Kenapa kau diam saja Wita” desak Sekar Mirah.
Tetapi Wita masih berdiri termangu-mangu. Dalam pada itu Ki Demang Sangkal Putung lah yang bergeser mendekati Sekar Mirah sambil berdesis,
“Kau sudah gila Mirah.”
Sekar Mirah justru tersenyum sambil berbisik,
“Terpaksa ayah. Jika tidak demikian, aku kira keadaan akan menjadi semakin buruk. Mereka tidak dapat diajak berbicara lagi.”
Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Berbeda dengan Ki Demang Sangkal Putung, maka Ki Demang di Semangkak serta bebahu lainnya berdiri saja terheran-heran. Ia tidak mengerti, apakah Sekar Mirah itu bersungguh-sungguh atau suatu cara penyelesaian yang tidak dimengertinya.

Tetapi agaknya gadis itu bersungguh-sungguh. Ternyata ia berkata,
“Ayo, siapakah yang akan mewakili kalian jika bukan Wita. Aku memberi kesempatan kepada tiga orang anak-anak muda dari Semangkak. Mereka harus berkelahi seorang demi seorang, justru untuk menghormati harga diri kalian. Kemudian kita masing-masing harus memenuhi perjanjian yang telah kita buat, Kalau aku kalah, akulah taruhannya, meskipun aku harus menjadi juru masak atau pekatik kuda sekalipun. Tetapi kalau kalian kalah, kalian harus pergi,” Sekar Mirah berhenti sejenak. Beberapa langkah ia maju mendekati anak-anak muda Semangkak yang sudah mulai naik tangga pendapa,
“Cepat, tentukan wakil-wakil kalian.”
Wita yang ragu-ragu berdiri saja di tempatnya. Dipandanginya Sekar Mirah dengan tatapan mata yang hampir tidak berkedip. Ketika gadis itu berdiri beberapa langkah di hadapannya, ternyata bahwa gadis itu memang terlalu cantik.
Selagi Wita masih ragu-ragu, tiba-tiba saja terdengar suara di belakang,
“Baik. Aku terima perjanjian itu. Aku akan mewakili kawan-kawanku.”
“Nah, aku sudah menemukan lawan” berkata Sekar Mirah
”Masih ada kesempatan bagi dua orang.”
“Gila” teriak Wita,
“tetapi kalau itu yang kau kehendaki, baiklah. Aku menjadi orang ketiga, dan masih ada kesempatan bagi orang kedua.”
Seorang anak muda jangkung mengacukan tangannya. Katanya,
“Aku orang kedua itu.”
Ketiganya memang anak-anak terpandang di Semangkak. Mereka adalah anak muda yang paling menyulitkan pimpinan Kademangan. Dan kini mereka pulalah yang akan mewakili kawan-kawannya mencoba mengalahkan Sekar Mirah dan membawanya ke Semangkak.
“Bagus” berkata Sekar Mirah kemudian,
“minggirlah yang lain. Kita membuat arena, Kalian harus berdiri mengelilingi arena itu dan tidak boleh ikut campur di dalam perkelahian, karena kalian sudah diwakili. Aku percaya bahwa mulut anak-anak muda Semangkak masih dapat dipercaya. Kalian masih cukup jantan untuk menepati janji kalian sendiri.”

Sekar Mirah seakan-akan tidak menghiraukan apapun lagi. Ia langsung berjalan menerobos anak-anak muda Semangkak yang masih berdiri di tangga pendapa Tetapi justru dengan demikian mereka telah menyibak dengan sendirinya.
“Marilah.” ajak Sekar Mirah,
“lingkari arena yang kita buat di halaman ini. Tanpa tali dan tanpa gawar. Kita melakukan sayembara tanding.”
Tiba-tiba saja halaman itu telah dicengkam oleh ketegangan yang lain. Bukan karena anak-anak Semangkak akan membakar rumah itu, tetapi perhatian mereka kini justru terpusat pada seorang gadis yang berpakaian seperti orang laki-laki berdiri bertolak pinggang di tengah-tengah halaman Kademangan Sangkal Putung.
“Ki Demang” desis Demang Semangkak,
“bagaimana dengan gadismu itu?”
Ki Demang di Sangkal Putung hanya menarik nafas dalam-dalam. Bagaimanapun juga ia mencemaskan nasib Sekar Mirah. Ia menyesal bahwa ia telah melupakan gadisnya itu, sehingga menghadapi kedatangan anak-anak muda dari Semangkak, ia tidak berpesan apapun juga kepadanya.
“Kini Sekar Mirah sudah mengatakan suatu ketentuan. Adalah menjadi sifatnya bahwa ia tidak akan menarik kata-katanya” berkata Ki Demang Sangkal Putung itu dengan nada yang datar.
“Tetapi” sahut Ki Demang di Semangkak,
“apakah ia tidak memikirkan akibatnya? Mungkin ia masih mengharap bahwa anak-anak Semangkak itu menghargai kegadisannya dan bersifat jantan. Tetapi mereka adalah anak-anak bengal yang tidak berperasaan lagi. Apakah kau tidak mencoba untuk mencegahnya sebelum terlambat? Anak-anak itu pasti akan memperlakukannya seperti yang dikatakannya itu. Bukan sekedar juru masak, atau pekatik kuda, tetapi pasti lebih dari itu. Tebusannya adalah Swandaru sendiri.
“Mudah-mudahan ia dapat menjaga dirinya” desis Ki Demang Sangkal Putung,
“aku harus menghargai kata-katanya. Jika tidak, ia akan berbuat aneh-aneh. Meskipun ia seorang gadis, tetapi jiwanya sekeras batu padas. Dan ia ingin bersikap jantan meskipun kadang-kadang tidak mengena sasarannya.”
“Tetapi masih belum terlanjur.”
“Terlambat” desis Ki Demang Sangkal Putung.

Keduanya dan para bebahu kedua Kademangan itu kini berdiri tegak seperti tonggak. Namun tiba-tiba Ki Demang Sangkal Putung maju menyibakkan anak-anak muda Semangkak yang telah mengelilingi sebuah arena yang cukup luas di dalam gelap yang samar-samar. Sinar lampu minyak di pendapa tidak begitu terasa pengaruhnya, meskipun memberikan bayangan yang kemerah-merahan. Ki Demang dan para bebahu dari kedua Kademangan itu pun kemudian berdiri mengelilingi arena itu pula. Yang berdiri di tengah-tengah lingkaran itu adalah Sekar Mirah dan seorang anak muda Semangkak. Anak muda yang berwajah keras dan bertubuh kekar meskipun tidak begitu tinggi. Rambutnya yang mencuat dari ikat kepalanya yang tidak mapan, bergayutan di belakang telinganya. Bahkan seperti segumpal ijuk yang tidak terpelihara.
“Aku akan memboyongmu” desisnya. Kawan-kawannya yang semula tegang, tiba-tiba tertawa melihat tingkah lakunya. Bahkan anak itu berkata selanjutnya,
“Kau terlalu cantik untuk menjadi juru dang atau juru pengangsu. Apalagi pekatik kuda. Kau akan menjadi pekatikku saja.”
Sekali lagi suara tertawa meledak di sekitar arena itu.
“Kau tentu tidak akan menyesal atas perjanjian yang kau buat sendiri.” berkata anak muda itu lebih lanjut, lalu,
“tetapi kau memang cantik. Aku tidak mengerti, kenapa kau membuat semacam sayembara tanding. Apakah kau sebenarnya memang ingin memilih salah seorang diantara kami tetapi jalan inilah yang dapat kau tempuh?”
Suara tertawa anak-anak muda Semangkak itu bagai meledak. Dan anak muda itu bagaikan mabuk mendengar suara kawan-kawannya, sehingga ia menjadi semakin berani,
“Nah, sekarang katakanlah bahwa kau sudah kalah. Aku akan membawamu pulang ke Semangkak. Aku akan berhenti berkelahi hampir setiap hari aku lakukan. Aku akan tinggal di rumah peninggalan ayah dan ibuku yang kini dipakai oleh ibu tiriku. Aku akan merampasnya kembali dan memberikannya kepadamu.”
Ketika suara tertawa mengguruh, Ki Demang di Sangkal Putung sempat menilai anak muda yang seperti kehilangan keseimbangan itu. Ternyata ia mempunyai ibu tiri. Itulah agaknya yang telah menggoncangkan sendi-sendi ketenangan hidup berkeluarga. Dan anak itu mencari pelarian ke tempat yang keliru.
“Kenapa kau diam saja?” anak itu menjadi semakin berani. Selangkah ia maju,
“Sayang sekali, kalau aku harus berkelahi melawan gadis semanis kau. Apakah kau benar-benar bermaksud berkelahi dalam arti berkelahi?”
Suara tertawa bagaikan menggetarkan rumah Kademangan. Tetapi suara itu tiba-tiba terputus ketika anak muda yang ada di arena itu mengaduh tertahan. Ternyata Sekar Mirah telah menampar pipinya ketika anak muda itu menjadi semakin dekat.
“Oh” anak muda itu meloncat mundur,
“kau memukul?”
Sekar Mirah tidak menyahut. Tetapi ia menjadi muak melihat tingkah lakunya. Anak muda itu maju selangkah sambil berkata,
“Jadi kau betul-betul ingin berkelahi? Apakah kau sudah berlatih bantingan?”

Sebelum anak-anak muda yang lain sempat tertawa, sekali lagi tangan Sekar Mirah telah melekat di pipinya. Kali ini agak lebih keras sehingga anak muda itu menyeringai sambil mengusapnya
“Bukan main” ia mulai menjadi tegang,
“kau ingin berkelahi sungguh-sungguh? Baik. Aku akan melayanimu. Aku sering berkelahi dengan seribu macam cara Aku mempelajari olah kanuragan. Aku sering bantingan dan binten. Aku mampu menguasai tangan dan kakiku baik-baik. Dan aku akan menaklukkan kau tanpa menyakitimu.”
Tetapi sekali lagi sebuah pukulan mengenai bukan saja pipinya, tetapi kini pelipisnya sehingga ia terdorong beberapa langkah surut. Kawan-kawannya yang semula selalu tertawa kini mulai mengerutkan kening. Ternyata bahwa gadis yang bernama Sekar Mirah itu tidak sekedar bermain-main. Ia ingin benar-benar berkelahi. Karena itu, mereka pun mulai bersungguh-sungguh. Demikianlah, anak muda yang mulai benar-benar merasa sakit itu tidak lagi menganggap Sekar Mirah sebagai golek kayu yang dapat disela-sela. Karena itu, iapun kini maju dengan berhati-hati.
“Mulailah” geram Sekar Mirah,
“jangan menganggap aku seekor tikus jika kau seekor kucing. Tetapi aku adalah Sekar Mirah.”
Anak muda itu memang sudah mulai bersungguh-sungguh. Tetapi kepalanya sudah menjadi pening karena pukulan tangan Sekar Mirah di pelipisnya itu. Tetapi anak muda dari Semangkak itu benar-benar telah berniat untuk menundukkan Sekar Mirah yang meskipun agak galak, tetapi cantik. Karena itu, maka dengan kening yang berkerut-merut ia melangkah mendekatinya. Sekar Mirah sama sekali tidak beranjak dari tempatnya. Bahkan ditengadahkannya dadanya sambil bertolak pinggang.
“Gila” anak muda yang kini berdiri di hadapannya itu berdesis. Digeleng-gelengkannya kepalanya untuk mengusir perasaannya yang kisruh melihat sikap Sekar Mirah yang menantang itu.
“Kenapa kau masih diam saja?” bertanya Sekar Mirah,
“atau aku yang harus mulai?”

Anak muda itu seolah-olah mulai tersadar dari mimpi indahnya. Yang berdiri dihadapannya tidak kurang dari seekor macan betina yang dapat mencengkamnya dengan kuku-kukunya yang tajam. Dengan demikian maka anak muda itu pun segera mempersiapkan dirinya. Ia tidak mau didahului, diterkam oleh Sekar Mirah. Lebih baik ialah yang meloncat menerkamnya dan membantingnya di tanah. Jika ia sudah tidak berdaya, maka ia akan dapat membawanya pulang. Sejenak kemudian anak muda itu mengambil ancang-ancang. Kemudian tanpa mengucapkan sepatah katapun. lagi, iapun meloncat sambil mengembangkan tangannya menerkam Sekar Mirah sambil berkata didalam hati,
“Aku tidak peduli apa saja yang akan dikatakan oleh kawan-kawanku. Aku akan menerkamnya seperti menerkam seekor kijang. Hal itu sudah dikehendaki oleh gadis itu sendiri.”
Namun yang terjadi adalah diluar dugaannya. Ketika kedua tangannya yang berkembang itu hampir menyentuh tubuh Sekar Mirah, maka dengan tangkasnya Sekar Mirah bergeser selangkah ke samping. Kemudian didorongnya anak muda yang masih terayun oleh kekuatannya sendiri itu, sehingga dua kekuatan yang tergabung itu seakan-akan telah melemparkannya dengan kerasnya. Anak muda itu sama sekali tidak dapat menjaga keseimbangannya. Seperti menyuruk ia meluncur dan jatuh terjerambab. Adalah diluar dugaan bahwa kepalanya telah membentur tangga pendapa yang pertama ketika kawan-kawannya justru menyibak melihat ia seakan-akan sedang menyerudukkan kepalanya. Masih terdengar ia mengaduh perlahan-lahan. Tetapi sejenak kemudian ia pun menjadi pingsan.
Wita berdiri termangu-mangu. Demikian juga anak-anak muda Semangkak yang lain. Bahkan bebahu Sangkal Putung sendiri terheran-heran melihat ketangkasan Sekar Mirah itu. Apalagi ternyata bahwa anak muda Semangkak itu tidak segera dapat bangkit lagi. Beberapa orang kawannya pun segera mengerumuninya dan mengguncang-guncangnya. Tetapi untuk beberapa lama anak muda itu tetap diam.
“Nah” suara Sekar Mirah telah menyobek ketegangan itu,
“apakah aku harus menunggu ia sadar, atau aku akan melayani orang kedua?”
Tidak segera ada jawaban. Dan karena itu maka Sekar Mirah lah yang mengambil keputusan,
“Bangunkan kawanmu yang pingsan itu. Marilah, kita isi waktu kita dengan orang kedua.”
Tetapi masih tidak ada jawaban.
“Ayo, siapa yang menyatakan dirinya orang kedua di dalam sayembara ini?”

Tidak seorang pun yang menampakkan dirinya. Sekar Mirah berdiri termangu-mangu. Diedarkannya tatapan matanya yang tajam berkeliling. Tetapi karena belum ada. yang memasuki arena, maka sekali lagi Sekar Mirah berkata,
“Cepat. Mumpung belum terlampau malam.”
Sekar Mirah berpaling ketika ia mendengar sedikit ribut di belakangnya. Ketika ia memperhatikan tempat itu, dilihatnya beberapa anak muda Semangkak sedang mendorong kawannya.
“Bukankah kau yang menyatakan diri menjadi orang kedua” desis salah seorang dari mereka.
“Majulah. Tangkaplah gadis itu dan bawalah pulang ke Semangkak.”
Tetapi anak muda jangkung yang didorong-dorongnya itu tidak juga mau maju. Sekar Mirah dapat mengenali anak muda itu, betapapun lemahnya cahaya lampu di pendapa. Karena itu maka katanya,
“Nah, bukankah kau yang akan bertaruh kini?”
Tetapi anak muda itu menggeleng,
“Tidak. Aku tidak.”
“Bukankah kau sudah menyatakan dirimu?”
“Tidak. Tidak pantas aku berkelahi dengan perempuan.”
“Kenapa?” bertanya Sekar Mirah.
“Tidak adil.”
“Apa yang tidak adil?”
“Jika aku menang, hal itu dianggap biasa, Laki-laki menang atas seorang perempuan. Tetapi kalau aku kalah, memalukan sekali.”
“Tidak peduli. Kalau kau mau berkelahi, mari.”
Tetapi laki-laki itu menggeleng. Wita yang berdiri termangu-mangu tiba-tiba menggeretakkan giginya. Sambil melangkah maju ia menggeram,
“Minggir, biarlah aku selesaikan perempuan ini. Aku tidak peduli kata orang. Dan aku tidak peduli taruhan apa yang akan aku terima. Tetapi perempuan ini sudah menyatakan diri sebagai tebusan. Aku akan menganggapnya berhadapan sendiri dengan Swandaru. Jangan menyesal kalau aku benar-benar akan berkelahi seperti aku berkelahi melawan Swandaru.”
Sekar Mirah mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sama sekali tidak gentar. Bahkan dengan serta-merta ia bertanya,
“Bukankah kau dengan mudah dapat dikalahkan oleh kakang Swandaru?”
“Persetan, aku belum siap. Seperti kawanku yang kau kalahkan itu sebenarnya hanya karena ia tidak siap menghadapi kenyataan ini. Ia terlampau menganggap kau sebagai seorang gadis sombong yang kesurupan.”

Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Tetapi ia pun dapat mengerti bahwa lawannya yang pingsan itu menganggapnya tidak lebih dari seorang gadis yang keras kepala, sehingga karena itu ia kurang berhati-hati menghadapinya. Tetapi kali ini lawannya tidak akan dapat didorongnya begitu saja sehingga kepalanya membentur tangga. Lawannya yang terakhir ini pasti akan berusaha menentukan keadaan, jika lawannya itu menang, maka ia akan menjadi taruhan dan hanya dapat diambil oleh Swandaru sendiri. Dengan demikian Sekar Mirah pun bersiaga sebaik-baiknya. Ia tidak mau menjadi korban janjinya sendiri. Namun ia sudah dapat menduga, bahwa lawannya jauh berada di bawah kemampuan kakaknya Swandaru. Itulah sebabnya, maka Sekar Mirah berani menjadikan dirinya sebagai taruhan didalam perkelahian ini. Sejenak kemudian Wita yang melangkah semakin dekat berkata dengan lantang,
“Bersiaplah. Sebentar lagi kau akan berada di Semangkak.”
Sekar Mirah tidak menyahut. Ditatapnya tangan Wita dengan tajamnya. Ternyata bahwa Wita pun tidak menunggu jawaban Sekar Mirah. Tangan itu segera bergerak menyerang Sekar Mirah. Agaknya Wita benar-benar tidak bermain-main. Serangannya datang dengan derasnya menyambar kening Sekar Mirah. Sekar Mirah terkejut mendapat serangan yang langsung mengarah ke keningnya. Namun itu baginya merupakan pertanda bahwa Wita tidak lagi bermain-main. Ia benar-benar ingin menjatuhkannya. Bukan saja untuk membawanya sebagai tanggungan, sampai saatnya Swandaru datang mengambilnya, yang tentu tidak akan diberikannya begitu saja, tetapi Wita tentu ingin juga memperbaiki nama anak-anak muda Semangkak yang tercemar oleh kekalahan kawannya dalam waktu yang terlalu singkat. Apalagi kawannya yang kedua menjadi berkerut terlampau kecil, setelah ia melihat kekalahan orang yang pertama. Tetapi Sekar Mirah adalah seorang gadis yang memiliki bekal terlampau banyak untuk sekedar melawan Wita. Meskipun Sekar Mirah cukup berhati-hati, namun segera tampak pada setiap orang yang menyaksikan, bahwa Sekar Mirah adalah lawan yang berat bagi Wita.
Sambil mengelakkan serangan pertama. Sekar Mirah pun telah menyerang lambung Wita. Tetapi Wita masih sempat menggeliat dan mengelakkan serangan itu, meskipun ia hampir kehilangan keseimbangan. Apalagi ternyata Sekar Mirah melihat kelemahan sesaat itu, sehingga ia meloncat memburunya. Tetapi Wita menyadari kelemahannya, sehingga karena itu, ia justru berguling sama sekali untuk menjauhi lawannya. Dengan lincahnya ia melenting dan berdiri tegak sambil menyilangkan tangannya di dadanya. Tetapi ia terkejut bukan buatan, bahwa begitu ia tegak, tangan Sekar Mirah telah mendorongnya. Kali ini Wita tidak dapat bertahan lagi. Dorongan Sekar Mirah itu telah melemparkannya jatuh terlentang, meskipun dengan cepatnya ia berhasil meloncat berdiri.

Namun dengan demikian, hampir setiap orang sudah dapat menilai kemampuan dari kedua orang yang sedang-berkelahi itu. Dengan dada berdebar-debar anak-anak muda Semangkak menyaksikan kelanjutan yang akan berlangsung. Hanya dengan keajaiban sajalah Wita akan dapat bertahan terus, apalagi memenangkan perkelahian itu. Dalam pada itu, Ki Demang di Sangkal Putung menarik nafas dalam-dalam. Ternyata bahwa Sekar Mirah yang keras hati itu, mampu juga menahan diri. Ia tidak dengan serta merta mengalahkan lawannya, apalagi membuatnya terluka parah. Dengan demikian ia tidak membakar perasaan anak-anak muda Semangkak yang memang sedang panas itu. Agaknya Sekar Mirah kali ini berusaha mengalahkan lawannya dengan hati-hati. Sementara itu, Swandaru, Agung Sedayu dan beberapa orang kawannya tidak lagi berada di kandang. Selagi halaman Kademangan itu diriuhkan oleh suara tertawa dan teriakan-akan liar anak-anak muda Semangkak, sebelum Sekar Mirah mulai berkelahi, anak-anak Semangkak yang tersebar di halaman berlari-larian ingin melihat apa yang terjadi di halaman. Swandaru dan Agung Sedayu beserta kawan-kawannya, yang merasa tidak akan mendapat pengawasan lagi, segera turun dari kandang dan dengan hati-hati menyelinap didalam kegelapan. Tetapi ternyata bahwa mereka tidak dapat melihat apa yang terjadi di halaman karena anak-anak Semangkak telah melingkari arena sehingga mereka pun segera berusaha memanjat sebatang pohon. Dari atas dahan mereka berhasil menyaksikan, bagaimana Sekar Mirah berkelahi melawan Wita.
Agung Sedayu menyaksikan perkelahian itu dengan dada berdebar-debar. Bukan karena la mencemaskan Sekar Mirah, bahwa ia akan dapat dikalahkan oleh Wita, tetapi justru karena perasaan Sekar Mirah sendiri yang melonjak-lonjak, yang akan dapat membuat suasana lebih memburuk. Demikianlah perkelahian itu berlangsung semakin seru. Tetapi Wita hampir tidak mendapat kesempatan sama sekali untuk berbuat sesuatu. Semakin lama serangan Sekar Mirah menjadi semakin cepat, meskipun tidak berbahaya. Namun demikian, kadang-kadang wajah Wita menjadi merah padam, apabila beberapa kali ia harus jatuh berguling-guling. Ia tidak menyangka sama sekali bahwa adik Swandaru itu ternyata benar-benar memiliki kemampuan berkelahi. Bahkan kemampuannya berada di atasnya. Tetapi alangkah memalukan sekali kalau ia harus menyerah. Karena itu, Wita menjadi semakin bernafsu. Di kerahkan semua tenaga untuk mencoba memenangkan perkelahian Itu. Namun ia sama sekali tidak mempunyai harapan apapun. Karena itu, timbullah sifatnya yang licik. Ia harus berusaha membangkitkan kemarahan anak-anak Semangkak sebelum ia berhasil dikalahkan. Dengan demikian, ia tidak akan terlampau terhina oleh kekalahan itu. Ia tidak memikirkan akibat apa yang akan dapat timbul dari kelicikannya itu.
Sesaat berikutnya Wita masih berkelahi. Meskipun ia selalu terdesak mundur, namun ia ingin membuat kesan, bahwa ia sengaja menjauhi lawannya. Setiap kali ia siap untuk menyerang, tetapi serangan itu diurungkannya. Melihat sikap Wita, Sekar Mirah menjadi termangu-mangu. Ia memang tidak ingin menghinakan anak Semangkak itu dihadapan kawan-kawannya dengan berlebih-lebihan. Ia tidak ingin membuat Wita semakin mendendam. Karena itu, ia pun mengurangi tekanannya dan mencoba mengerti maksud lawannya.
Tetapi keadaan itu telah dimanfaatkan oleh Wita yang kemudian meloncat surut sambil berkata,
“Ternyata tidak ada untungnya aku berkelahi melawan perempuan.”

Sekar Mirah pun terhenti pula Dengan dahi yang berkerut-merut ia memandang Wita dengan tajamnya. Namun ia tidak akan menyangka sama sekali kalau Wita kemudian berteriak,
“He anak-anak Semangkak. Aku tidak mau berkelahi lagi dengan perempuan. Beberapa langkah lagi aku pasti akan dapat menjatuhkannya. Tetapi aku tentu akan ditertawakan orang. Jika aku menang, memang tidak akan ada seorang pun yang mengagumi, tetapi jika aku mengalah, disangkanya aku dapat dikalahkan oleh perempuan. Apalagi jika aku benar-benar kalah. Kali ini aku masih mempunyai belas kasihan kepadanya. Aku sadar, jika gadis itu aku bawa ke Semangkak, akibatnya tidak akan baik baginya dan bagi kita sendiri. Karena itu, jangan hiraukan dia, cari Swandaru sampai ketemu. Kalau perlu, bakar saja rumah ini.”
“Tunggu” Sekar Mirah yang mendengar kata-kata Wita itu terkejut. Bahkan Ki Demang dan bebahu dari kedua Kademangan itupun terkejut pula,
“kau licik. Kau kalah, tetapi kau tidak mau mengakui karena kau ingin mengingkari perjanjian yang sudah kita setujui bersama. Semula aku masih mempunyai harga diri.”
“Aku masih mempunyai harga diri. Karena itu aku tidak mau berkelahi melawan perempuan.”
“Tidak. Mari kita teruskan. Kita tepati perjanjian kita. Kalau perlu, kita yakini kemenangan yang terjadi. Kita berkelahi dengan senjata. Kita tentukan siapa yang mati diantara kita. Dengan demikian tidak akan ada yang dapat ditipu lagi, siapa yang sebenarnya kalah dan menang.”
Tantangan Sekar Mirah itu benar-benar mendebarkan jantung. Agaknya gadis itu benar-benar telah kehilangan kesabaran. Ia merasa telah diingkari oleh anak Semangkak itu. Sehingga dengan demikian usahanya untuk mencapai penyelesaian tanpa menimbulkan korban tidak dapat dilakukannya. Bahkan Wita telah dengan licik menghindari akhir dari perkelahian ini. Kemarahan itu tidak dapat ditahankannya lagi, sehingga karena Wita masih termangu-mangu, Sekar Mirah mendesaknya,
“Ayo. Kita tegaskan. Siapa yang kalah dan siapa yang menang dengan taruhan nyawa. Tidak saja taruhan wadagku dan sikap jantanmu.”

Wita masih termangu-mangu. Namun ternyata bahwa ia benar-benar seorang anak muda yang licik, sehingga dengan tidak malu-malu sama sekali ia menjawab,
“Aku tidak peduli, tetapi berkelahi dengan perempuan benar-benar telah merendahkan derajatku.” Lalu katanya kepada kawan-kawannya,
“Ayo, jangan hiraukan perempuan kesurupan itu. Kita cari Swandaru. Tetapi kalau perempuan itu menghalangi, terserah kepada kalian. Apakah kalian akan menangkapnya beramai-ramai atau akan melumpuhkannya, terserah kepada kalian.”
Darah Sekar Mirah serasa mendidih karenanya. Jika saat itu ia membawa pedang, maka ia pasti sudah mencabut pedangnya. Tetapi karena la tidak menduga, bahwa lawannya adalah orang yang licik, maka ia tidak bersenjata karenanya. Dalam kekalutan itu Sekar Mirah teringat kepada gurunya. Tentu gurunya tidak akan mengijinkan jika ia mempergunakan senjata. Apalagi senjata tongkat berkepala tengkorak itu. Namun ia mengharap juga gurunya berbuat sesuatu untuk meredakan suasana. Atau bahkan memerintahkannya bertempur sama sekali. Sekar Mirah tahu bahwa di halaman rumahnya ada dua orang tua yang pasti tidak akan terlawan. Kiai Gringsing dan Sumangkar. Ia tahu pula bahwa kedua Demang dan bebahu kedua Kademangan itu pasti tidak akan membiarkan anak-anak Semangkak itu berbuat liar. Selain mereka masih ada juga Swandaru, Agung Sedayu dan beberapa orang anak muda Sangkal Putung yang terpilih didalam kandang. Tetapi Sekar Mirah pun tahu, bahwa bukan penyelesaian dengan cara itulah yang dikehendaki. Namun demikian, apabila keadaan memaksa, apaboleh buat. Dalam pada itu wajah-wajah anak Semangkak telah menjadi tegang, seperti wajah Ki Demang dan bebahu dari kedua Kademangan itu. Bahkan Ki Jagabaya dari Semangkak sendiri telah menjadi gelisah dan Sesekali menatap wajah Ki Demang di Semangkak, seolah-olah menunggu jatuhnya perintah.
Dalam ketegangan itu sekali lagi terdengar suara Wita,
“Ayo, jangan termangu-mangu. Kita sudah memutuskan untuk mengambil Swandaru, apapun yang akan terjadi.”
Swandaru sendiri telah menjadi gemetar. Bukan karena ketakutan Tetapi kemarahan yang menghentak-hentak dadanya, hampir tidak tertahankan lagi jika setiap kali Agung Sedayu tidak menggamitnya. Hampir saja ia meloncat turun dari dahan yang rendah itu. Namun Agung Sedayu masih berhasil mencegahnya. Tunggu. Kita lihat perkembangan keadaan.”
Dalam ketegangan itu, tiba-tiba halaman rumah Ki Demang Sangkal Putung itu digetarkan oleh suara tertawa yang berkepanjangan. Semua orang yang berada di halaman itu berpaling. Di dalam keremangan cahaya pelita, seseorang naik ke pendapa sambil tertawa, diiringi oleh beberapa anak muda yang kemudian berdiri saja di tangga. Bersama mereka telah datang pula ayah Wita dan adiknya yang masih kecil itu.

Dada Wita berdesir melihat kehadiran mereka. Ia tidak segera mengetahui maksud kehadiran orang yang tertawa itu, apalagi bersama ayah dan adiknya. Ki Demang di Semangkak serta bebahunya berdiri termangu-mangu sambil menahan gelora di dada masing-masing.
“Orang itulah yang telah membuat onar” bisik Ki Jagabaya ke telinga Ki Demang.
“Ya, ialah yang telah mengajari anak-anak Semangkak berkelahi. Kehadirannya akan menambah keruh suasana. Jika ia membela anak yang telah dilatihnya itu, suasana akan bertambah buruk. Apalagi ia membawa beberapa orang anak muda pula, yang agaknya justru lebih matang dari anak-anak ini.”
“Ya. Mereka adalah murid-muridnya terdekat.”
Ki Demang di Semangkak menjadi semakin tegang.
Tetapi ia sudah bertekad untuk mencegah kegilaan anak-anak muda Kademangannya. Apapun yang akan terjadi dan apapun yang akan dikatakan orang atasnya, ia tetap akan berkelahi melawan anak-anak yang sudah tidak dapat dicegahnya dengan kata-kata. Ia yakin bahwa orang-orang Sangkal Putung itupun pasti akan membantunya, meskipun Ki Demang di Semangkak itu menjadi heran, kenapa anak-anak-muda Sangkal Putung tidak seorang pun yang nampak. Menilik kemampuan Sekar Mirah, seorang gadis, maka kemampuan anak-anak mudanya pasti akan menggetarkan jantung. Tetapi Ki Demang pun menduga, bahwa anak-anak itu dengan sengaja telah disingkirkan sekedar untuk menghindari bentrokan. Bukan karena anak-anak Sangkal Putung menjadi ketakutan dan bersembunyi.
Suara tertawa itupun semakin mereda. Bahkan kemudian berhenti dengan tiba-tiba. Sambil bertolak pinggang orang itu kemudian bertanya,
“He, mana Wita?”
Wita berdiri termangu-mangu di tempatnya.
“Ha, jangan bersembunyi. Kemari. Kemari.” Wita masih berdiri mematung di tempatnya.
“Wita, kemari. Ini ayahmu mencarimu.” Wita sama sekali tidak beranjak.
“Ternyata kau benar-benar seorang anak muda yang berani. Kau tidak mau dihinakan oleh Swandaru, dan sekarang kau datang untuk menuntut balas.”
Kata-kata itu benar-benar telah menegangkan jantung Swandaru yang meskipun amat-lamat, dapat mendengarnya juga. Tetapi sekali lagi Agung Sedayu menggamitnya.
“Aku bunuh orang gila itu” desis Swandaru.
“Tunggu” sahut Agung Sedayu.

Dalam pada itu orang yang berdiri di bibir pendapa berkata lagi,
“Tetapi sayang, bahwa kau bukan seorang laki-laki jantan. Kau hanya berani melakukan pembalasan beramai-ramai seperti nonton wayang beber. Tetapi kau tidak berani menengadahkan dadamu” orang itu berhenti sejenak, lalu,
“apalagi setelah aku melihat kekalahanmu dari Sekar Mirah. Aku menjadi sangat malu.”
Wajah Wita. menjadi merah padam. Dengan serta-merta ia menjawab,
“Aku belum kalah.”
Orang itu tertawa meledak sehingga tubuhnya terguncang-guncang. Katanya ketika suara tertawanya mereda,
“Kau dapat menipu adikmu yang kecil itu. Tetapi kau tidak dapat menipu aku. Kau kalah. Kalah mutlak” tiba-tiba suaranya meninggi dan bersungguh-sungguh,
“Wita, aku tidak malu karena kau kalah. Adalah wajar kalau kau kalah, kalah karena bekalmu terlampau sedikit dibandingkan dengan gadis itu. Tetapi yang membuat aku sangat malu adalah bahwa kau justru tidak mau mengakui kekalahan itu” Lalu suaranya bertambah keras, bahkan membentak-bentak,
“Ternyata kau sudah gila. Kau sama sekali tidak dapat dianggap seorang yang baik didalam segala hal. Selagi kau sudah kalah mutlak, kau masih mengelak, dan menganjurkan membakar rumah ini. Itu gila, gila sekali” ia berhenti sejenak. Suaranya menjadi bergetar, karena ia berusaha menahan perasaannya yang meluap-luap.
”Kedatanganmu ke Sangkal Putung bersama tikus-tikus dungu itu sudah membuat aku sangat kecewa. Itukah hasil yang kalian peroleh dari ajaran-ajaran olah kanuragan yang aku berikan? Aku mengakui, bahwa aku tidak menilik kau seorang demi seorang dari segi sikap dan sifat. Tetapi bukan maksudku agar kau memusuhi tetangga-tetangga Kademangan dengan sikap yang bodoh” orang itu berhenti sejenak, lalu,
“kalian membuat aku kehilangan kesempatan untuk menang kali ini. Ketika ayah Wita menyusul aku di perjudian, aku sebenarnya sedang berada di atas angin. Aku sedang menanjak mendekap kemenangan demi kemenangan. Tiba-tiba saja aku harus berhenti. Dan tentu aku kehilangan kesempatan. Jika aku mulai lagi, mungkin aku akan kalah” lalu suaranya hampir berteriak,
“Kalianlah yang gila. Wita dan kawan-kawannya itu sudah gila. Aku tidak dapat memberikan kalian mencoba mengganggu Sangkal Putung. Karena itu aku korbankan kemenangan-kemenangan yang akan aku dapatkan dari perjudian itu. Aku tidak ingin melihat atau mendengar kebodohan kalian. Meskipun aku penjudi, pemabuk, penyabung ayam, tetapi aku tidak mau bersikap licik dan pengecut. Dan kalian adalah anak-anak yang paling bodoh di seluruh muka bumi. Kenapa kalian tidak pernah berpikir kenapa kalian tidak menjumpai seorang anak muda pun dari Sangkal Putung? Alangkah bodohnya. Alangkah sombongnya kalian dan otak kalian memang sudah membeku. Aku adalah bekas seorang prajurit. Karena umurku aku tidak lagi berada di kesatuanku. Aku pernah ikut bertempur melawan Tohpati di Sangkal Putung dibawah pimpinan Ki Widura dan Ki Untara. Kalau anak-anak Sangkal Putung ingin melawan, kalian dapat ditumpas seperti pasukan Tohpati. Mengerti? Mengerti? He?” orang itu telah berteriak-teriak tidak menentu karena kemarahan yang memuncak. Dan tiba-tiba saja suaranya merendah,
“Ayo… kalian kembali ke Semangkak. Wita sudah membuat perjanjian, jika ia kalah dari Sekar Mirah, kalian akan dibawanya kembali. Dan Wita sudah kalah. Mutlak. Tiga Wita bersama-sama tidak akan menang atas Sekar Mirah. Ayo, cepat pulang, atau aku akan memukul kalian seorang demi seorang.”

Ketika orang itu berhenti berbicara, maka halaman itu tiba-tiba saja menjadi sepi. Semua mata terpancang kepadanya dan kepada anak-anak muda yang berdiri di tangga di hadapannya. Karena tidak ada seorang pun yang berbicara maka bekas prajurit itu pulalah yang memecah kesenyapan,
“Kenapa kalian berdiri bingung di situ. Ayo pulang, kataku. Aku datang bersama kawan-kawanmu yang masih dapat berpikir jernih dan tidak mau bersama kalian berbuat gila di Sangkal Putung ini. Apakah aku harus memaksa dengan kekerasan atau aku akan membiarkan kalian menjadi endog pangamun-amun di Sangkal Putung, karena orang-orang dan anak-anak muda di Sangkal Putung menjadi muak melihat kebodohan kalian?”
Anak-anak muda itu masih termangu-mangu.
“Aku akan menghitung sampai tiga. Satu, dua…” Ternyata anak-anak muda Semangkak itu mulai bergerak surut tanpa mereka sadari Bahkan Wita pun mundur selangkah. Lalu, bekas prajurit itu melanjutkan, “Tiga.”
Seperti air surut, anak-anak muda Semangkak itu bergerak. mundur. Namun mereka masih mendengar bekas prajurit itu berkata,
“Nah, bagus. Kita pulang bersama-sama. Ikuti aku. Kalau ada yang berani berbuat sesuatu, aku patahkan tangannya” Lalu orang itu berpaling kepada bebahu Kademangan Sangkal Putung dan Semangkak,
“Maaf Ki Demang berdua. Biarlah aku giring kambing-kambing bodoh ini kembali ke Semangkak. Mereka sudah merampas kesempatanku untuk menang lebih banyak. Jika aku kembali ke perjudian, mungkin aku akan kalah. Seandainya ayah Wita tidak mencari aku dan aku tidak perlu meninggalkan perjudian, mungkin besok aku sudah menjadi serang yang kaya raya.”
“Terima kasih atas pengorbananmu” jawab Ki Demang di Semangkak,
“Mudah-mudahan anak-anak asuhanmu itu tidak menjadi bengal lagi.”
“Aku akan mengawasinya baik-baik.” Demikianlah maka bekas prajurit itu telah menggiring anak-anak Semangkak kembali ke Kademangan mereka. Mereka tidak dapat berbuat lain daripada mematuhi perintah itu. Bagaimanapun juga mereka harus memperhitungkan jumlah lawan mereka yang semakin banyak. Dan lawan yang terutama adalah kawan-kawan mereka sendiri dari Semangkak yang justru mereka segani bersama bekas prajurit yang selama ini mereka anggap sebagai guru mereka. Dengan dada yang berdebar-debar anak Semangkak itu melangkah perlahan-lahan meninggalkan Kademangan. Apapun yang bergejolak di dalam hati, namun mereka harus kembali ke Semangkak.
Wita yang berjalan di paling depan menundukkan kepalanya. Iapun harus mundur meskipun hatinya sebenarnya memberontak. Ia ingin melihat Kademangan Sangkal Putung menjadi bosah baseh dan menemukan Swandaru yang bersembunyi ketakutan. Ia ingin mengikat anak yang gemuk bulat itu dan memukuli perutnya dan pipinya yang gembung.

Tetapi pengasuhnya didalam olah kanuragan telah mencegahnya dan menggiring mereka kembali dengan kecewa.
“Kami gagal kali ini” desis Wita,
“orang itu menggagalkan rencana yang sudah kami susun baik-baik.”
Kawannya tidak menyahut. Tetapi kawannya itu sudah mulai ragu-ragu, jika seandainya niat itu diteruskan, apakah tidak akan timbul akibat-akibat lain yang lebih buruk. Sebenarnyalah memang ada beberapa tanggapan dari anak-anak muda Semangkak itu. Ada yang berkata didalam hatinya,
“Untunglah bahwa segala sesuatunya belum terlanjur.” Tetapi ada yang mengumpat,
“Gila orang itu. Kenapa kami dicegahnya? Jika tidak, kami akan mendapatkan umpan yang menyenangkan sekali. Seekor kelinci gemuk dan seorang gadis cantik sekaligus. Jika kami beramai-ramai menangkapnya, menyeretnya ke Semangkak, tidak akan ada yang menyalahkan kami.” Meskipun timbul juga persoalan didalam hatinya,
“Bagaimana jika anak-anak Sangkal Putung marah dan menyusulnya?”
“Persetan” dijawabnya sendiri jika anak-anak Sangkal Putung mempunyai keberanian, ia pasti sudah menyongsong kedatangan kami karena mereka pasti sudah mendengar sebelumnya. Jagabaya Sangkal Putung itu pasti sudah memberitahukan kepada anak-anak Sangkal Putung, dan mereka hanya berani bersembunyi. Adalah omong kosong bahwa mereka ikut bertempur melawan pasukan Tohpati saat itu.”
Namun belum lagi angan-angannya itu berakhir, anak-anak muda Semangkak yang sudah sampai di pintu gerbang Kademangan induk, terkejut bukan kepalang ketika mereka melihat beberapa orang anak muda berdiri di dalam kegelapan. Mereka hanya melihat bayangan mereka di bawah cahaya lampu minyak di emper gardu.
“Gila, ada juga anak muda yang berani menampakkan diri” desis Wita didalam hati. Tanpa sesadarnya ia berpaling. Di ujung belakang iring-iringan anak-anak Semangkak itu terdapat pengasuhnya didalam olah kanuragan, dan kawan-kawannya dari Semangkak yang memang agak mereka segani,
“Jika tidak ada mereka, anak-anak Sangkal Putung yang ada di gardu itu dapat menjadi sasaran yang menyenangkan setelah kami dikecewakan habis-habisan.”
Wita hanya dapat menggeretakkan giginya. Tetapi rasa-rasanya tangannya memang menjadi gatal. Bahkan ia berkata kepada diri sendiri,
“Apaboleh buat. Apakah aku dapat menyeret salah seorang dari mereka tanpa ribut-ribut?’

Namun ternyata anak-anak muda Sangkal Putung yang melihat iring-iringan itu lewat, segera menyingkir menepi, Mereka meloncati parit di luar padukuhan dan berdiri di seberang parit. Tetapi, dada anak-anak Semangkak itu tiba-tiba bergetar dahsyat sekali. Ketika mereka keluar dari padukuhan itu, barulah mereka melihat suatu kenyataan tentang anak-anak muda Sangkal Putung. Yang berdiri diluar padesan, di seberang parit itu, bukannya sekedar anak-anak muda yang dilihatnya pada cahaya lampu minyak di gardu di sudut halaman, sehingga apabila timbul niat salah seorang dari mereka untuk membakar gardu itu, maka niat itu harus dipikirkannya berulang kali Ketika mereka mula-mula memandang ke dalam gelap, setelah mereka melintasi sinar pelita di gardu, mereka menjadi termangu-mangu seakan-akan mereka melihat tanaman di sawah, di luar padesan itu tumbuh demikian rapatnya setinggi tubuh manusia. Bahkan hampir seperti sebuah dinding yang membujur di sebelah parit.


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar