Dengan nafas terengah-engah Ki Demang di Semangkak langsung naik ke pendapa mendapatkan Ki Demang di Sangkal Putung sambil berkata,
“Maaf Ki
Demang. Kami agak terlambat. Untunglah semuanya belum terjadi.”
Ternyata Wita
mendengar kata-kata Ki Demang di Semangkak itu dan langsung menyahut,
“Semuanya
tetap akan terjadi.”
Wajah Ki
Demang di Semangkak menjadi merah padam. Dengan nada yang keras ia berkata,
“Wita. Apakah
kau sudah gila?”
“Mungkin Ki
Demang. Mungkin kami memang sudah gila. Tetapi kami tidak akan surut.”
“Gila. Kalian
telah melakukan kesalahan yang besar sekali. Aku akan mencegah kalian dengan
cara apapun.”
“Seperti yang
aku katakan kepada Ki Demang di Sangkal Putung, jangan menghilangkan sikap
hormat kami kepada orang tua-tua. Menepilah. Cepat.”
“Tidak” teriak
Ki Demang di Semangkak,
“aku tidak
akan menepi. Kalau kalian akan berbuat gila, akulah korban yang pertama.”
Anak-anak Sangkal
Putung itu menjadi semakin tegang. Sejenak mereka tercenung melihat sikap Ki
Demang Semangkak yang ternyata justru lebih keras dari sikap Ki Demang di
Sangkal Putung.
Tetapi nalar
anak-anak itu benar-benar sudah menjadi butek. Karena itu, maka salah seorang
dari mereka berteriak,
“Kami tidak
peduli. Siapapun korban yang pertama. Jika seseorang mencoba menghalangi kami,
maka kami akan bertindak.”
“Ayo, lakukan.
Lakukanlah” teriak Ki Demang yang menjadi sangat marah.
Tetapi Ki
Demang Sangkal Putung menjadi cemas. Jika suasana bertambah panas, dan terjadi
sesuatu di antara mereka, maka Kademangan Sangkal Putung lah yang akan menjadi
korban. Mungkin anak-anak itu benar-benar akan membakar rumah ini. Dan jika
demikian, maka sulitlah untuk mencoba mengendalikan anak-anak Sangkal Putung
sendiri.
Karena itu. maka
ia masih mencoba menengahi,
“Tunggulah.
Aku minta kita berbicara.”
“Mereka tidak
dapat diajak berbicara lagi” geram Ki Demang di Semangkak.
“Aku akan
mengatakan sekali lagi kepada mereka, bahwa rumah ini tidak saja didiami oleh
Swandaru. Aku, isteriku dan seorang anak gadisku. Mereka tidak tahu menahu
tentang tingkah laku Swandaru. Karena itu, jangan membuat mereka menjadi
ketakutan.”
Tiba-tiba Wita
mengerutkan keningnya. Kata-kata Ki Demang itu justru membuka persoalan baru
baginya, sehingga tanpa diduga-duga ia berkata,
“Apakah mereka
ada di rumah?”
Tanpa prasangka
jelek, Ki Demang menjawab,
“Ya, mereka
ketakutan di belakang.”
“Terima kasih.
Aku akan mengambil Sekar Mirah”
“He?” Ki
Demang di Sangkal Putung, Ki Demang Semangkak dan semua orang yang mendengar
kata-kata itu terkejut bukan kepalang.
“Jangan
terkejut” berkata Wita,
“aku
memerlukan Sekar Mirah.”
“Kenapa dengan
Sekar Mirah?” bertanya Ki Demang.
“Sebelum
Swandaru datang menjemput adiknya Sekar Mirah tidak akan aku lepaskan.”
“Gila, itu
lebih gila lagi” Ki Demang di Semangkak masih berteriak,
“sudah aku
katakan. Aku akan menghalangi kegilaan kalian. Biarlah aku menjadi korban yang
pertama. Kalian sudah cukup banyak membuat aku sakit hati, membuat aku pening
dan gelisah. Sekarang ini adalah puncak dari kegilaan kalian.”
“Jangan
menghinakan diri sendiri Ki Demang” berkata Wita,
“kami tetap
pada pendirian kami. Jika Swandaru tidak ada, kami memerlukan Sekar Mirah..”
Suasana yang
tegang menjadi semakin tegang. Tiba-tiba saja seorang anak muda yang lain
berteriak,
“Bawa gadis
itu.”
Hampir berbareng
beberapa orang menyahut,
“Ya. Bawa
gadis itu. Bawa gadis itu.”
“Diam. Diam”
teriak Ki Demang di Semangkak.
Tetapi justru
anak-anak muda itu mendesak maju ke tangga. Bahkan beberapa orang yang semula
berdiri di pinggir halaman, melangkah pula mendekat sambil berteriak,
“Ya, bawa
gadis itu.”
Suasana
menjadi semakin panas. Ki Jagabaya Semangkak yang tidak banyak berbicara
seperti kebiasaannya sehari, melangkah maju dengan wajah yang membara.
Tiba-tiba saja ia memutar kerisnya sambil berteriak,
“Kalian,
kalian akan melawan aku?”
Anak-anak muda
Semangkak itu terhenti sejenak, namun kemudian Wita berteriak pula,
“Menepilah Ki
Jagabaya. Aku hanya memerlukan gadis itu, agar Swandaru lah yang kelak
menjemputnya.”
Orang-orang
tua yang marah di pendapa itu justru terbungkam. Tetapi mereka tentu tidak akan
membiarkan semuanya itu berlangsung, apapun yang akan terjadi atas diri mereka.
Karena itu, tanpa berjanji, mereka pun mulai bergerak melebar, seakan-akan
ingin menahan arus gelombang yang menghantam tebing. Tetapi anak-anak muda
Semangkak itu bagaikan sedang mabuk tuak. Tidak ada cara untuk menahan mereka. Namun
demikian, tiba-tiba semua orang yang ada di halaman itu tergetar ketika mereka
mendengar suara seorang gadis yang melengking,
“Aku setuju.”
Suara itu
benar-benar telah mengejutkan setiap telinga yang mendengarnya, Apalagi ketika
mereka kemudian melihat Sekar Mirah naik ke pendapa dari arah samping.
“Mirah” desis
Ki Demang Sangkal Putung.
“Aku
sependapat dengan usul Wita. Biarlah ia membawa aku. Atau laki-laki yang
manapun juga dari Semangkak.”
“Mirah” wajah
Ki Demang menjadi merah,
“Tetapi aku
mempunyai syarat.”
“Apa syaratmu”
Wita berteriak.
“Hanya
laki-laki yang mampu memaksa aku dengan kekerasan yang dapat membawa aku ke
Semangkak. Tetapi laki-laki itu harus laki-laki jantan, yang berani bertindak
atas tanggung jawabnya sendiri.”
Halaman itu
bagaikan dicengkam oleh kesenyapan yang tajam. Setiap orang menahan nafasnya
sambil memandang Sekar Mirah yang berdiri di tengah-tengah pendapa, dalam
cahaya samar-samar lampu minyak.
“Mirah”
terdengar suara lain berdesis. Agaknya Sumangkar yang mengikuti peristiwa itu
menjadi cemas pula.
Sekar Mirah
hanya berpaling, tetapi ia tidak surut. Bahkan ia berkata selanjutnya,
“Nah,
laki-laki Semangkak yang manakah yang akan membawa aku serta?”
Setiap orang
masih saja terheran-heran. Mereka sama sekali belum mengetahui maksud Sekar
Mirah itu, sementara Sumangkar hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Ternyata
perasaan Sekar Mirah pun telah terlanjur menyala seperti anak-anak Semangkak
yang datang ke rumahnya itu. Ki Demang di Sangkal Putung pun kemudian
menyadari, bahwa ia sudah berbuat suatu kesalahan. Yang selama ini diperhatikan
dan dijaganya agar tidak melonjak adalah perasaan anak-anak mudanya, Atas usaha
Swandaru, anak-anak muda itu dapat dikendalikan. Tetapi Ki Demang dan para
bebahu Sangkal Putung agaknya telah lupa, bahwa disamping anak-anak muda itu
masih ada seorang lagi yang perlu diperhatikan. Orang itu adalah anak gadisnya,
Sekar Mirah. Tetapi kini sudah terlambat. Sekar Mirah sudah berada di pendapa.
Bahkan telah menantang anak-anak muda Semangkak yang datang ke rumahnya. Dalam
pada itu anak-anak muda Semangkak masih dicengkam oleh keheranan. Mereka belum
tahu pasti maksud Sekar Mirah. Karena itu, maka Wita pun bertanya pula
“Jelaskan
madsudmu Mirah.”
“Baik” Sekar
Mirah mendekat tanpa ragu-ragu. Ternyata bahwa pakaian Sekar Mirah membuat
anak-anak muda Semangkak semakin heran. Sekar Mirah berpakaian seperti seorang
laki-laki. Meskipun ia tidak memakai ikat kepala, tetapi rambutnya telah
disanggulnya tinggi-tinggi dan diikatnya erat-erat.
“Wita” berkata
Sekar Mirah,
“kau sudah
beberapa lama berada di Sangkal Putung. Tentu tidak akan kami duga, bahwa kau
pada suatu saat akan datang membawa kawan-kawanmu. Tetapi itu sudah terjadi.
Sekarang, kita lanjutkan persetujuan kita. Kalau kau mau membawa aku, bawalah.
Tetapi syaratnya, kalau kau dapat mengalahkan aku.”
Wajah Wita
menjadi merah sesaat. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa ia mendapat
tantangan dari seorang gadis. Dari Sekar Mirah. Dan apalagi ketika Sekar Mirah
melanjutkan,
“Jika kau
menang, taruhannya adalah diriku. Apapun yang akan kau perbuat, Karena aku
adalah barang taruhan. Tetapi kalau kau kalah, bawa kawan-kawanmu pergi. Kau
setuju?”
Wita masih
berdiri tegang. Di Semangkak ia terhitung anak muda yang mempunyai kelebihan
dari kawan-kawannya diantara beberapa orang yang lain yang tidak banyak
jumlahnya, tetapi yang justru tidak mau membantunya saat ini.
“Kenapa kau
diam saja Wita” desak Sekar Mirah.
Tetapi Wita
masih berdiri termangu-mangu. Dalam pada itu Ki Demang Sangkal Putung lah yang
bergeser mendekati Sekar Mirah sambil berdesis,
“Kau sudah
gila Mirah.”
Sekar Mirah justru
tersenyum sambil berbisik,
“Terpaksa
ayah. Jika tidak demikian, aku kira keadaan akan menjadi semakin buruk. Mereka
tidak dapat diajak berbicara lagi.”
Ki Demang
menarik nafas dalam-dalam. Berbeda dengan Ki Demang Sangkal Putung, maka Ki
Demang di Semangkak serta bebahu lainnya berdiri saja terheran-heran. Ia tidak
mengerti, apakah Sekar Mirah itu bersungguh-sungguh atau suatu cara
penyelesaian yang tidak dimengertinya.
Tetapi agaknya
gadis itu bersungguh-sungguh. Ternyata ia berkata,
“Ayo, siapakah
yang akan mewakili kalian jika bukan Wita. Aku memberi kesempatan kepada tiga
orang anak-anak muda dari Semangkak. Mereka harus berkelahi seorang demi
seorang, justru untuk menghormati harga diri kalian. Kemudian kita
masing-masing harus memenuhi perjanjian yang telah kita buat, Kalau aku kalah,
akulah taruhannya, meskipun aku harus menjadi juru masak atau pekatik kuda
sekalipun. Tetapi kalau kalian kalah, kalian harus pergi,” Sekar Mirah berhenti
sejenak. Beberapa langkah ia maju mendekati anak-anak muda Semangkak yang sudah
mulai naik tangga pendapa,
“Cepat,
tentukan wakil-wakil kalian.”
Wita yang
ragu-ragu berdiri saja di tempatnya. Dipandanginya Sekar Mirah dengan tatapan
mata yang hampir tidak berkedip. Ketika gadis itu berdiri beberapa langkah di
hadapannya, ternyata bahwa gadis itu memang terlalu cantik.
Selagi Wita
masih ragu-ragu, tiba-tiba saja terdengar suara di belakang,
“Baik. Aku
terima perjanjian itu. Aku akan mewakili kawan-kawanku.”
“Nah, aku
sudah menemukan lawan” berkata Sekar Mirah
”Masih ada
kesempatan bagi dua orang.”
“Gila” teriak
Wita,
“tetapi kalau
itu yang kau kehendaki, baiklah. Aku menjadi orang ketiga, dan masih ada
kesempatan bagi orang kedua.”
Seorang anak
muda jangkung mengacukan tangannya. Katanya,
“Aku orang
kedua itu.”
Ketiganya
memang anak-anak terpandang di Semangkak. Mereka adalah anak muda yang paling
menyulitkan pimpinan Kademangan. Dan kini mereka pulalah yang akan mewakili
kawan-kawannya mencoba mengalahkan Sekar Mirah dan membawanya ke Semangkak.
“Bagus”
berkata Sekar Mirah kemudian,
“minggirlah
yang lain. Kita membuat arena, Kalian harus berdiri mengelilingi arena itu dan
tidak boleh ikut campur di dalam perkelahian, karena kalian sudah diwakili. Aku
percaya bahwa mulut anak-anak muda Semangkak masih dapat dipercaya. Kalian
masih cukup jantan untuk menepati janji kalian sendiri.”
Sekar Mirah
seakan-akan tidak menghiraukan apapun lagi. Ia langsung berjalan menerobos
anak-anak muda Semangkak yang masih berdiri di tangga pendapa Tetapi justru
dengan demikian mereka telah menyibak dengan sendirinya.
“Marilah.”
ajak Sekar Mirah,
“lingkari
arena yang kita buat di halaman ini. Tanpa tali dan tanpa gawar. Kita melakukan
sayembara tanding.”
Tiba-tiba saja
halaman itu telah dicengkam oleh ketegangan yang lain. Bukan karena anak-anak
Semangkak akan membakar rumah itu, tetapi perhatian mereka kini justru terpusat
pada seorang gadis yang berpakaian seperti orang laki-laki berdiri bertolak
pinggang di tengah-tengah halaman Kademangan Sangkal Putung.
“Ki Demang”
desis Demang Semangkak,
“bagaimana
dengan gadismu itu?”
Ki Demang di
Sangkal Putung hanya menarik nafas dalam-dalam. Bagaimanapun juga ia
mencemaskan nasib Sekar Mirah. Ia menyesal bahwa ia telah melupakan gadisnya
itu, sehingga menghadapi kedatangan anak-anak muda dari Semangkak, ia tidak
berpesan apapun juga kepadanya.
“Kini Sekar
Mirah sudah mengatakan suatu ketentuan. Adalah menjadi sifatnya bahwa ia tidak
akan menarik kata-katanya” berkata Ki Demang Sangkal Putung itu dengan nada
yang datar.
“Tetapi” sahut
Ki Demang di Semangkak,
“apakah ia
tidak memikirkan akibatnya? Mungkin ia masih mengharap bahwa anak-anak
Semangkak itu menghargai kegadisannya dan bersifat jantan. Tetapi mereka adalah
anak-anak bengal yang tidak berperasaan lagi. Apakah kau tidak mencoba untuk
mencegahnya sebelum terlambat? Anak-anak itu pasti akan memperlakukannya
seperti yang dikatakannya itu. Bukan sekedar juru masak, atau pekatik kuda,
tetapi pasti lebih dari itu. Tebusannya adalah Swandaru sendiri.
“Mudah-mudahan
ia dapat menjaga dirinya” desis Ki Demang Sangkal Putung,
“aku harus
menghargai kata-katanya. Jika tidak, ia akan berbuat aneh-aneh. Meskipun ia
seorang gadis, tetapi jiwanya sekeras batu padas. Dan ia ingin bersikap jantan
meskipun kadang-kadang tidak mengena sasarannya.”
“Tetapi masih
belum terlanjur.”
“Terlambat”
desis Ki Demang Sangkal Putung.
Keduanya dan
para bebahu kedua Kademangan itu kini berdiri tegak seperti tonggak. Namun
tiba-tiba Ki Demang Sangkal Putung maju menyibakkan anak-anak muda Semangkak
yang telah mengelilingi sebuah arena yang cukup luas di dalam gelap yang
samar-samar. Sinar lampu minyak di pendapa tidak begitu terasa pengaruhnya,
meskipun memberikan bayangan yang kemerah-merahan. Ki Demang dan para bebahu
dari kedua Kademangan itu pun kemudian berdiri mengelilingi arena itu pula.
Yang berdiri di tengah-tengah lingkaran itu adalah Sekar Mirah dan seorang anak
muda Semangkak. Anak muda yang berwajah keras dan bertubuh kekar meskipun tidak
begitu tinggi. Rambutnya yang mencuat dari ikat kepalanya yang tidak mapan,
bergayutan di belakang telinganya. Bahkan seperti segumpal ijuk yang tidak
terpelihara.
“Aku akan
memboyongmu” desisnya. Kawan-kawannya yang semula tegang, tiba-tiba tertawa
melihat tingkah lakunya. Bahkan anak itu berkata selanjutnya,
“Kau terlalu
cantik untuk menjadi juru dang atau juru pengangsu. Apalagi pekatik kuda. Kau
akan menjadi pekatikku saja.”
Sekali lagi
suara tertawa meledak di sekitar arena itu.
“Kau tentu
tidak akan menyesal atas perjanjian yang kau buat sendiri.” berkata anak muda
itu lebih lanjut, lalu,
“tetapi kau
memang cantik. Aku tidak mengerti, kenapa kau membuat semacam sayembara
tanding. Apakah kau sebenarnya memang ingin memilih salah seorang diantara kami
tetapi jalan inilah yang dapat kau tempuh?”
Suara tertawa
anak-anak muda Semangkak itu bagai meledak. Dan anak muda itu bagaikan mabuk
mendengar suara kawan-kawannya, sehingga ia menjadi semakin berani,
“Nah, sekarang
katakanlah bahwa kau sudah kalah. Aku akan membawamu pulang ke Semangkak. Aku
akan berhenti berkelahi hampir setiap hari aku lakukan. Aku akan tinggal di
rumah peninggalan ayah dan ibuku yang kini dipakai oleh ibu tiriku. Aku akan
merampasnya kembali dan memberikannya kepadamu.”
Ketika suara
tertawa mengguruh, Ki Demang di Sangkal Putung sempat menilai anak muda yang
seperti kehilangan keseimbangan itu. Ternyata ia mempunyai ibu tiri. Itulah
agaknya yang telah menggoncangkan sendi-sendi ketenangan hidup berkeluarga. Dan
anak itu mencari pelarian ke tempat yang keliru.
“Kenapa kau
diam saja?” anak itu menjadi semakin berani. Selangkah ia maju,
“Sayang
sekali, kalau aku harus berkelahi melawan gadis semanis kau. Apakah kau
benar-benar bermaksud berkelahi dalam arti berkelahi?”
Suara tertawa
bagaikan menggetarkan rumah Kademangan. Tetapi suara itu tiba-tiba terputus
ketika anak muda yang ada di arena itu mengaduh tertahan. Ternyata Sekar Mirah
telah menampar pipinya ketika anak muda itu menjadi semakin dekat.
“Oh” anak muda
itu meloncat mundur,
“kau memukul?”
Sekar Mirah
tidak menyahut. Tetapi ia menjadi muak melihat tingkah lakunya. Anak muda itu
maju selangkah sambil berkata,
“Jadi kau
betul-betul ingin berkelahi? Apakah kau sudah berlatih bantingan?”
Sebelum
anak-anak muda yang lain sempat tertawa, sekali lagi tangan Sekar Mirah telah
melekat di pipinya. Kali ini agak lebih keras sehingga anak muda itu
menyeringai sambil mengusapnya
“Bukan main”
ia mulai menjadi tegang,
“kau ingin
berkelahi sungguh-sungguh? Baik. Aku akan melayanimu. Aku sering berkelahi
dengan seribu macam cara Aku mempelajari olah kanuragan. Aku sering bantingan
dan binten. Aku mampu menguasai tangan dan kakiku baik-baik. Dan aku akan
menaklukkan kau tanpa menyakitimu.”
Tetapi sekali
lagi sebuah pukulan mengenai bukan saja pipinya, tetapi kini pelipisnya
sehingga ia terdorong beberapa langkah surut. Kawan-kawannya yang semula selalu
tertawa kini mulai mengerutkan kening. Ternyata bahwa gadis yang bernama Sekar
Mirah itu tidak sekedar bermain-main. Ia ingin benar-benar berkelahi. Karena
itu, mereka pun mulai bersungguh-sungguh. Demikianlah, anak muda yang mulai
benar-benar merasa sakit itu tidak lagi menganggap Sekar Mirah sebagai golek
kayu yang dapat disela-sela. Karena itu, iapun kini maju dengan berhati-hati.
“Mulailah”
geram Sekar Mirah,
“jangan
menganggap aku seekor tikus jika kau seekor kucing. Tetapi aku adalah Sekar
Mirah.”
Anak muda itu
memang sudah mulai bersungguh-sungguh. Tetapi kepalanya sudah menjadi pening
karena pukulan tangan Sekar Mirah di pelipisnya itu. Tetapi anak muda dari
Semangkak itu benar-benar telah berniat untuk menundukkan Sekar Mirah yang
meskipun agak galak, tetapi cantik. Karena itu, maka dengan kening yang
berkerut-merut ia melangkah mendekatinya. Sekar Mirah sama sekali tidak
beranjak dari tempatnya. Bahkan ditengadahkannya dadanya sambil bertolak
pinggang.
“Gila” anak
muda yang kini berdiri di hadapannya itu berdesis. Digeleng-gelengkannya
kepalanya untuk mengusir perasaannya yang kisruh melihat sikap Sekar Mirah yang
menantang itu.
“Kenapa kau
masih diam saja?” bertanya Sekar Mirah,
“atau aku yang
harus mulai?”
Anak muda itu
seolah-olah mulai tersadar dari mimpi indahnya. Yang berdiri dihadapannya tidak
kurang dari seekor macan betina yang dapat mencengkamnya dengan kuku-kukunya
yang tajam. Dengan demikian maka anak muda itu pun segera mempersiapkan
dirinya. Ia tidak mau didahului, diterkam oleh Sekar Mirah. Lebih baik ialah
yang meloncat menerkamnya dan membantingnya di tanah. Jika ia sudah tidak
berdaya, maka ia akan dapat membawanya pulang. Sejenak kemudian anak muda itu
mengambil ancang-ancang. Kemudian tanpa mengucapkan sepatah katapun. lagi,
iapun meloncat sambil mengembangkan tangannya menerkam Sekar Mirah sambil
berkata didalam hati,
“Aku tidak
peduli apa saja yang akan dikatakan oleh kawan-kawanku. Aku akan menerkamnya
seperti menerkam seekor kijang. Hal itu sudah dikehendaki oleh gadis itu
sendiri.”
Namun yang
terjadi adalah diluar dugaannya. Ketika kedua tangannya yang berkembang itu
hampir menyentuh tubuh Sekar Mirah, maka dengan tangkasnya Sekar Mirah bergeser
selangkah ke samping. Kemudian didorongnya anak muda yang masih terayun oleh
kekuatannya sendiri itu, sehingga dua kekuatan yang tergabung itu seakan-akan
telah melemparkannya dengan kerasnya. Anak muda itu sama sekali tidak dapat
menjaga keseimbangannya. Seperti menyuruk ia meluncur dan jatuh terjerambab.
Adalah diluar dugaan bahwa kepalanya telah membentur tangga pendapa yang
pertama ketika kawan-kawannya justru menyibak melihat ia seakan-akan sedang
menyerudukkan kepalanya. Masih terdengar ia mengaduh perlahan-lahan. Tetapi
sejenak kemudian ia pun menjadi pingsan.
Wita berdiri
termangu-mangu. Demikian juga anak-anak muda Semangkak yang lain. Bahkan bebahu
Sangkal Putung sendiri terheran-heran melihat ketangkasan Sekar Mirah itu.
Apalagi ternyata bahwa anak muda Semangkak itu tidak segera dapat bangkit lagi.
Beberapa orang kawannya pun segera mengerumuninya dan mengguncang-guncangnya.
Tetapi untuk beberapa lama anak muda itu tetap diam.
“Nah” suara
Sekar Mirah telah menyobek ketegangan itu,
“apakah aku
harus menunggu ia sadar, atau aku akan melayani orang kedua?”
Tidak segera
ada jawaban. Dan karena itu maka Sekar Mirah lah yang mengambil keputusan,
“Bangunkan
kawanmu yang pingsan itu. Marilah, kita isi waktu kita dengan orang kedua.”
Tetapi masih
tidak ada jawaban.
“Ayo, siapa
yang menyatakan dirinya orang kedua di dalam sayembara ini?”
Tidak seorang
pun yang menampakkan dirinya. Sekar Mirah berdiri termangu-mangu. Diedarkannya
tatapan matanya yang tajam berkeliling. Tetapi karena belum ada. yang memasuki
arena, maka sekali lagi Sekar Mirah berkata,
“Cepat.
Mumpung belum terlampau malam.”
Sekar Mirah
berpaling ketika ia mendengar sedikit ribut di belakangnya. Ketika ia
memperhatikan tempat itu, dilihatnya beberapa anak muda Semangkak sedang
mendorong kawannya.
“Bukankah kau
yang menyatakan diri menjadi orang kedua” desis salah seorang dari mereka.
“Majulah.
Tangkaplah gadis itu dan bawalah pulang ke Semangkak.”
Tetapi anak
muda jangkung yang didorong-dorongnya itu tidak juga mau maju. Sekar Mirah
dapat mengenali anak muda itu, betapapun lemahnya cahaya lampu di pendapa.
Karena itu maka katanya,
“Nah, bukankah
kau yang akan bertaruh kini?”
Tetapi anak
muda itu menggeleng,
“Tidak. Aku
tidak.”
“Bukankah kau
sudah menyatakan dirimu?”
“Tidak. Tidak
pantas aku berkelahi dengan perempuan.”
“Kenapa?”
bertanya Sekar Mirah.
“Tidak adil.”
“Apa yang
tidak adil?”
“Jika aku
menang, hal itu dianggap biasa, Laki-laki menang atas seorang perempuan. Tetapi
kalau aku kalah, memalukan sekali.”
“Tidak peduli.
Kalau kau mau berkelahi, mari.”
Tetapi
laki-laki itu menggeleng. Wita yang berdiri termangu-mangu tiba-tiba
menggeretakkan giginya. Sambil melangkah maju ia menggeram,
“Minggir,
biarlah aku selesaikan perempuan ini. Aku tidak peduli kata orang. Dan aku
tidak peduli taruhan apa yang akan aku terima. Tetapi perempuan ini sudah
menyatakan diri sebagai tebusan. Aku akan menganggapnya berhadapan sendiri
dengan Swandaru. Jangan menyesal kalau aku benar-benar akan berkelahi seperti
aku berkelahi melawan Swandaru.”
Sekar Mirah
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sama sekali tidak gentar. Bahkan dengan
serta-merta ia bertanya,
“Bukankah kau
dengan mudah dapat dikalahkan oleh kakang Swandaru?”
“Persetan, aku
belum siap. Seperti kawanku yang kau kalahkan itu sebenarnya hanya karena ia
tidak siap menghadapi kenyataan ini. Ia terlampau menganggap kau sebagai
seorang gadis sombong yang kesurupan.”
Sekar Mirah
mengerutkan keningnya. Tetapi ia pun dapat mengerti bahwa lawannya yang pingsan
itu menganggapnya tidak lebih dari seorang gadis yang keras kepala, sehingga
karena itu ia kurang berhati-hati menghadapinya. Tetapi kali ini lawannya tidak
akan dapat didorongnya begitu saja sehingga kepalanya membentur tangga.
Lawannya yang terakhir ini pasti akan berusaha menentukan keadaan, jika
lawannya itu menang, maka ia akan menjadi taruhan dan hanya dapat diambil oleh
Swandaru sendiri. Dengan demikian Sekar Mirah pun bersiaga sebaik-baiknya. Ia
tidak mau menjadi korban janjinya sendiri. Namun ia sudah dapat menduga, bahwa
lawannya jauh berada di bawah kemampuan kakaknya Swandaru. Itulah sebabnya,
maka Sekar Mirah berani menjadikan dirinya sebagai taruhan didalam perkelahian
ini. Sejenak kemudian Wita yang melangkah semakin dekat berkata dengan lantang,
“Bersiaplah.
Sebentar lagi kau akan berada di Semangkak.”
Sekar Mirah
tidak menyahut. Ditatapnya tangan Wita dengan tajamnya. Ternyata bahwa Wita pun
tidak menunggu jawaban Sekar Mirah. Tangan itu segera bergerak menyerang Sekar
Mirah. Agaknya Wita benar-benar tidak bermain-main. Serangannya datang dengan
derasnya menyambar kening Sekar Mirah. Sekar Mirah terkejut mendapat serangan
yang langsung mengarah ke keningnya. Namun itu baginya merupakan pertanda bahwa
Wita tidak lagi bermain-main. Ia benar-benar ingin menjatuhkannya. Bukan saja
untuk membawanya sebagai tanggungan, sampai saatnya Swandaru datang
mengambilnya, yang tentu tidak akan diberikannya begitu saja, tetapi Wita tentu
ingin juga memperbaiki nama anak-anak muda Semangkak yang tercemar oleh
kekalahan kawannya dalam waktu yang terlalu singkat. Apalagi kawannya yang
kedua menjadi berkerut terlampau kecil, setelah ia melihat kekalahan orang yang
pertama. Tetapi Sekar Mirah adalah seorang gadis yang memiliki bekal terlampau
banyak untuk sekedar melawan Wita. Meskipun Sekar Mirah cukup berhati-hati,
namun segera tampak pada setiap orang yang menyaksikan, bahwa Sekar Mirah
adalah lawan yang berat bagi Wita.
Sambil
mengelakkan serangan pertama. Sekar Mirah pun telah menyerang lambung Wita. Tetapi
Wita masih sempat menggeliat dan mengelakkan serangan itu, meskipun ia hampir
kehilangan keseimbangan. Apalagi ternyata Sekar Mirah melihat kelemahan sesaat
itu, sehingga ia meloncat memburunya. Tetapi Wita menyadari kelemahannya,
sehingga karena itu, ia justru berguling sama sekali untuk menjauhi lawannya.
Dengan lincahnya ia melenting dan berdiri tegak sambil menyilangkan tangannya
di dadanya. Tetapi ia terkejut bukan buatan, bahwa begitu ia tegak, tangan
Sekar Mirah telah mendorongnya. Kali ini Wita tidak dapat bertahan lagi.
Dorongan Sekar Mirah itu telah melemparkannya jatuh terlentang, meskipun dengan
cepatnya ia berhasil meloncat berdiri.
Namun dengan
demikian, hampir setiap orang sudah dapat menilai kemampuan dari kedua orang
yang sedang-berkelahi itu. Dengan dada berdebar-debar anak-anak muda Semangkak
menyaksikan kelanjutan yang akan berlangsung. Hanya dengan keajaiban sajalah
Wita akan dapat bertahan terus, apalagi memenangkan perkelahian itu. Dalam pada
itu, Ki Demang di Sangkal Putung menarik nafas dalam-dalam. Ternyata bahwa
Sekar Mirah yang keras hati itu, mampu juga menahan diri. Ia tidak dengan serta
merta mengalahkan lawannya, apalagi membuatnya terluka parah. Dengan demikian
ia tidak membakar perasaan anak-anak muda Semangkak yang memang sedang panas
itu. Agaknya Sekar Mirah kali ini berusaha mengalahkan lawannya dengan
hati-hati. Sementara itu, Swandaru, Agung Sedayu dan beberapa orang kawannya
tidak lagi berada di kandang. Selagi halaman Kademangan itu diriuhkan oleh
suara tertawa dan teriakan-akan liar anak-anak muda Semangkak, sebelum Sekar
Mirah mulai berkelahi, anak-anak Semangkak yang tersebar di halaman
berlari-larian ingin melihat apa yang terjadi di halaman. Swandaru dan Agung
Sedayu beserta kawan-kawannya, yang merasa tidak akan mendapat pengawasan lagi,
segera turun dari kandang dan dengan hati-hati menyelinap didalam kegelapan.
Tetapi ternyata bahwa mereka tidak dapat melihat apa yang terjadi di halaman
karena anak-anak Semangkak telah melingkari arena sehingga mereka pun segera
berusaha memanjat sebatang pohon. Dari atas dahan mereka berhasil menyaksikan,
bagaimana Sekar Mirah berkelahi melawan Wita.
Agung Sedayu
menyaksikan perkelahian itu dengan dada berdebar-debar. Bukan karena la
mencemaskan Sekar Mirah, bahwa ia akan dapat dikalahkan oleh Wita, tetapi
justru karena perasaan Sekar Mirah sendiri yang melonjak-lonjak, yang akan
dapat membuat suasana lebih memburuk. Demikianlah perkelahian itu berlangsung
semakin seru. Tetapi Wita hampir tidak mendapat kesempatan sama sekali untuk
berbuat sesuatu. Semakin lama serangan Sekar Mirah menjadi semakin cepat,
meskipun tidak berbahaya. Namun demikian, kadang-kadang wajah Wita menjadi
merah padam, apabila beberapa kali ia harus jatuh berguling-guling. Ia tidak
menyangka sama sekali bahwa adik Swandaru itu ternyata benar-benar memiliki
kemampuan berkelahi. Bahkan kemampuannya berada di atasnya. Tetapi alangkah
memalukan sekali kalau ia harus menyerah. Karena itu, Wita menjadi semakin
bernafsu. Di kerahkan semua tenaga untuk mencoba memenangkan perkelahian Itu.
Namun ia sama sekali tidak mempunyai harapan apapun. Karena itu, timbullah
sifatnya yang licik. Ia harus berusaha membangkitkan kemarahan anak-anak
Semangkak sebelum ia berhasil dikalahkan. Dengan demikian, ia tidak akan
terlampau terhina oleh kekalahan itu. Ia tidak memikirkan akibat apa yang akan
dapat timbul dari kelicikannya itu.
Sesaat
berikutnya Wita masih berkelahi. Meskipun ia selalu terdesak mundur, namun ia
ingin membuat kesan, bahwa ia sengaja menjauhi lawannya. Setiap kali ia siap
untuk menyerang, tetapi serangan itu diurungkannya. Melihat sikap Wita, Sekar
Mirah menjadi termangu-mangu. Ia memang tidak ingin menghinakan anak Semangkak
itu dihadapan kawan-kawannya dengan berlebih-lebihan. Ia tidak ingin membuat
Wita semakin mendendam. Karena itu, ia pun mengurangi tekanannya dan mencoba
mengerti maksud lawannya.
Tetapi keadaan
itu telah dimanfaatkan oleh Wita yang kemudian meloncat surut sambil berkata,
“Ternyata
tidak ada untungnya aku berkelahi melawan perempuan.”
Sekar Mirah
pun terhenti pula Dengan dahi yang berkerut-merut ia memandang Wita dengan
tajamnya. Namun ia tidak akan menyangka sama sekali kalau Wita kemudian
berteriak,
“He anak-anak
Semangkak. Aku tidak mau berkelahi lagi dengan perempuan. Beberapa langkah lagi
aku pasti akan dapat menjatuhkannya. Tetapi aku tentu akan ditertawakan orang.
Jika aku menang, memang tidak akan ada seorang pun yang mengagumi, tetapi jika
aku mengalah, disangkanya aku dapat dikalahkan oleh perempuan. Apalagi jika aku
benar-benar kalah. Kali ini aku masih mempunyai belas kasihan kepadanya. Aku
sadar, jika gadis itu aku bawa ke Semangkak, akibatnya tidak akan baik baginya
dan bagi kita sendiri. Karena itu, jangan hiraukan dia, cari Swandaru sampai
ketemu. Kalau perlu, bakar saja rumah ini.”
“Tunggu” Sekar
Mirah yang mendengar kata-kata Wita itu terkejut. Bahkan Ki Demang dan bebahu
dari kedua Kademangan itupun terkejut pula,
“kau licik.
Kau kalah, tetapi kau tidak mau mengakui karena kau ingin mengingkari
perjanjian yang sudah kita setujui bersama. Semula aku masih mempunyai harga
diri.”
“Aku masih
mempunyai harga diri. Karena itu aku tidak mau berkelahi melawan perempuan.”
“Tidak. Mari
kita teruskan. Kita tepati perjanjian kita. Kalau perlu, kita yakini kemenangan
yang terjadi. Kita berkelahi dengan senjata. Kita tentukan siapa yang mati
diantara kita. Dengan demikian tidak akan ada yang dapat ditipu lagi, siapa
yang sebenarnya kalah dan menang.”
Tantangan
Sekar Mirah itu benar-benar mendebarkan jantung. Agaknya gadis itu benar-benar telah
kehilangan kesabaran. Ia merasa telah diingkari oleh anak Semangkak itu. Sehingga
dengan demikian usahanya untuk mencapai penyelesaian tanpa menimbulkan korban
tidak dapat dilakukannya. Bahkan Wita telah dengan licik menghindari akhir dari
perkelahian ini. Kemarahan itu tidak dapat ditahankannya lagi, sehingga karena
Wita masih termangu-mangu, Sekar Mirah mendesaknya,
“Ayo. Kita
tegaskan. Siapa yang kalah dan siapa yang menang dengan taruhan nyawa. Tidak
saja taruhan wadagku dan sikap jantanmu.”
Wita masih
termangu-mangu. Namun ternyata bahwa ia benar-benar seorang anak muda yang
licik, sehingga dengan tidak malu-malu sama sekali ia menjawab,
“Aku tidak
peduli, tetapi berkelahi dengan perempuan benar-benar telah merendahkan
derajatku.” Lalu katanya kepada kawan-kawannya,
“Ayo, jangan
hiraukan perempuan kesurupan itu. Kita cari Swandaru. Tetapi kalau perempuan
itu menghalangi, terserah kepada kalian. Apakah kalian akan menangkapnya
beramai-ramai atau akan melumpuhkannya, terserah kepada kalian.”
Darah Sekar
Mirah serasa mendidih karenanya. Jika saat itu ia membawa pedang, maka ia pasti
sudah mencabut pedangnya. Tetapi karena la tidak menduga, bahwa lawannya adalah
orang yang licik, maka ia tidak bersenjata karenanya. Dalam kekalutan itu Sekar
Mirah teringat kepada gurunya. Tentu gurunya tidak akan mengijinkan jika ia
mempergunakan senjata. Apalagi senjata tongkat berkepala tengkorak itu. Namun
ia mengharap juga gurunya berbuat sesuatu untuk meredakan suasana. Atau bahkan
memerintahkannya bertempur sama sekali. Sekar Mirah tahu bahwa di halaman
rumahnya ada dua orang tua yang pasti tidak akan terlawan. Kiai Gringsing dan
Sumangkar. Ia tahu pula bahwa kedua Demang dan bebahu kedua Kademangan itu
pasti tidak akan membiarkan anak-anak Semangkak itu berbuat liar. Selain mereka
masih ada juga Swandaru, Agung Sedayu dan beberapa orang anak muda Sangkal
Putung yang terpilih didalam kandang. Tetapi Sekar Mirah pun tahu, bahwa bukan
penyelesaian dengan cara itulah yang dikehendaki. Namun demikian, apabila keadaan
memaksa, apaboleh buat. Dalam pada itu wajah-wajah anak Semangkak telah menjadi
tegang, seperti wajah Ki Demang dan bebahu dari kedua Kademangan itu. Bahkan Ki
Jagabaya dari Semangkak sendiri telah menjadi gelisah dan Sesekali menatap
wajah Ki Demang di Semangkak, seolah-olah menunggu jatuhnya perintah.
Dalam
ketegangan itu sekali lagi terdengar suara Wita,
“Ayo, jangan
termangu-mangu. Kita sudah memutuskan untuk mengambil Swandaru, apapun yang
akan terjadi.”
Swandaru
sendiri telah menjadi gemetar. Bukan karena ketakutan Tetapi kemarahan yang
menghentak-hentak dadanya, hampir tidak tertahankan lagi jika setiap kali Agung
Sedayu tidak menggamitnya. Hampir saja ia meloncat turun dari dahan yang rendah
itu. Namun Agung Sedayu masih berhasil mencegahnya. Tunggu. Kita lihat
perkembangan keadaan.”
Dalam
ketegangan itu, tiba-tiba halaman rumah Ki Demang Sangkal Putung itu digetarkan
oleh suara tertawa yang berkepanjangan. Semua orang yang berada di halaman itu
berpaling. Di dalam keremangan cahaya pelita, seseorang naik ke pendapa sambil
tertawa, diiringi oleh beberapa anak muda yang kemudian berdiri saja di tangga.
Bersama mereka telah datang pula ayah Wita dan adiknya yang masih kecil itu.
Dada Wita
berdesir melihat kehadiran mereka. Ia tidak segera mengetahui maksud kehadiran
orang yang tertawa itu, apalagi bersama ayah dan adiknya. Ki Demang di
Semangkak serta bebahunya berdiri termangu-mangu sambil menahan gelora di dada
masing-masing.
“Orang itulah
yang telah membuat onar” bisik Ki Jagabaya ke telinga Ki Demang.
“Ya, ialah
yang telah mengajari anak-anak Semangkak berkelahi. Kehadirannya akan menambah
keruh suasana. Jika ia membela anak yang telah dilatihnya itu, suasana akan
bertambah buruk. Apalagi ia membawa beberapa orang anak muda pula, yang agaknya
justru lebih matang dari anak-anak ini.”
“Ya. Mereka
adalah murid-muridnya terdekat.”
Ki Demang di
Semangkak menjadi semakin tegang.
Tetapi ia
sudah bertekad untuk mencegah kegilaan anak-anak muda Kademangannya. Apapun
yang akan terjadi dan apapun yang akan dikatakan orang atasnya, ia tetap akan
berkelahi melawan anak-anak yang sudah tidak dapat dicegahnya dengan kata-kata.
Ia yakin bahwa orang-orang Sangkal Putung itupun pasti akan membantunya,
meskipun Ki Demang di Semangkak itu menjadi heran, kenapa anak-anak-muda
Sangkal Putung tidak seorang pun yang nampak. Menilik kemampuan Sekar Mirah,
seorang gadis, maka kemampuan anak-anak mudanya pasti akan menggetarkan
jantung. Tetapi Ki Demang pun menduga, bahwa anak-anak itu dengan sengaja telah
disingkirkan sekedar untuk menghindari bentrokan. Bukan karena anak-anak
Sangkal Putung menjadi ketakutan dan bersembunyi.
Suara tertawa itupun
semakin mereda. Bahkan kemudian berhenti dengan tiba-tiba. Sambil bertolak
pinggang orang itu kemudian bertanya,
“He, mana
Wita?”
Wita berdiri
termangu-mangu di tempatnya.
“Ha, jangan
bersembunyi. Kemari. Kemari.” Wita masih berdiri mematung di tempatnya.
“Wita, kemari.
Ini ayahmu mencarimu.” Wita sama sekali tidak beranjak.
“Ternyata kau
benar-benar seorang anak muda yang berani. Kau tidak mau dihinakan oleh
Swandaru, dan sekarang kau datang untuk menuntut balas.”
Kata-kata itu
benar-benar telah menegangkan jantung Swandaru yang meskipun amat-lamat, dapat
mendengarnya juga. Tetapi sekali lagi Agung Sedayu menggamitnya.
“Aku bunuh orang
gila itu” desis Swandaru.
“Tunggu” sahut
Agung Sedayu.
Dalam pada itu
orang yang berdiri di bibir pendapa berkata lagi,
“Tetapi
sayang, bahwa kau bukan seorang laki-laki jantan. Kau hanya berani melakukan
pembalasan beramai-ramai seperti nonton wayang beber. Tetapi kau tidak berani
menengadahkan dadamu” orang itu berhenti sejenak, lalu,
“apalagi
setelah aku melihat kekalahanmu dari Sekar Mirah. Aku menjadi sangat malu.”
Wajah Wita.
menjadi merah padam. Dengan serta-merta ia menjawab,
“Aku belum kalah.”
Orang itu
tertawa meledak sehingga tubuhnya terguncang-guncang. Katanya ketika suara
tertawanya mereda,
“Kau dapat
menipu adikmu yang kecil itu. Tetapi kau tidak dapat menipu aku. Kau kalah.
Kalah mutlak” tiba-tiba suaranya meninggi dan bersungguh-sungguh,
“Wita, aku
tidak malu karena kau kalah. Adalah wajar kalau kau kalah, kalah karena bekalmu
terlampau sedikit dibandingkan dengan gadis itu. Tetapi yang membuat aku sangat
malu adalah bahwa kau justru tidak mau mengakui kekalahan itu” Lalu suaranya bertambah
keras, bahkan membentak-bentak,
“Ternyata kau
sudah gila. Kau sama sekali tidak dapat dianggap seorang yang baik didalam
segala hal. Selagi kau sudah kalah mutlak, kau masih mengelak, dan menganjurkan
membakar rumah ini. Itu gila, gila sekali” ia berhenti sejenak. Suaranya
menjadi bergetar, karena ia berusaha menahan perasaannya yang meluap-luap.
”Kedatanganmu
ke Sangkal Putung bersama tikus-tikus dungu itu sudah membuat aku sangat
kecewa. Itukah hasil yang kalian peroleh dari ajaran-ajaran olah kanuragan yang
aku berikan? Aku mengakui, bahwa aku tidak menilik kau seorang demi seorang
dari segi sikap dan sifat. Tetapi bukan maksudku agar kau memusuhi
tetangga-tetangga Kademangan dengan sikap yang bodoh” orang itu berhenti
sejenak, lalu,
“kalian membuat
aku kehilangan kesempatan untuk menang kali ini. Ketika ayah Wita menyusul aku
di perjudian, aku sebenarnya sedang berada di atas angin. Aku sedang menanjak
mendekap kemenangan demi kemenangan. Tiba-tiba saja aku harus berhenti. Dan
tentu aku kehilangan kesempatan. Jika aku mulai lagi, mungkin aku akan kalah” lalu
suaranya hampir berteriak,
“Kalianlah
yang gila. Wita dan kawan-kawannya itu sudah gila. Aku tidak dapat memberikan
kalian mencoba mengganggu Sangkal Putung. Karena itu aku korbankan kemenangan-kemenangan
yang akan aku dapatkan dari perjudian itu. Aku tidak ingin melihat atau
mendengar kebodohan kalian. Meskipun aku penjudi, pemabuk, penyabung ayam,
tetapi aku tidak mau bersikap licik dan pengecut. Dan kalian adalah anak-anak
yang paling bodoh di seluruh muka bumi. Kenapa kalian tidak pernah berpikir
kenapa kalian tidak menjumpai seorang anak muda pun dari Sangkal Putung?
Alangkah bodohnya. Alangkah sombongnya kalian dan otak kalian memang sudah
membeku. Aku adalah bekas seorang prajurit. Karena umurku aku tidak lagi berada
di kesatuanku. Aku pernah ikut bertempur melawan Tohpati di Sangkal Putung
dibawah pimpinan Ki Widura dan Ki Untara. Kalau anak-anak Sangkal Putung ingin
melawan, kalian dapat ditumpas seperti pasukan Tohpati. Mengerti? Mengerti?
He?” orang itu telah berteriak-teriak tidak menentu karena kemarahan yang
memuncak. Dan tiba-tiba saja suaranya merendah,
“Ayo… kalian
kembali ke Semangkak. Wita sudah membuat perjanjian, jika ia kalah dari Sekar
Mirah, kalian akan dibawanya kembali. Dan Wita sudah kalah. Mutlak. Tiga Wita
bersama-sama tidak akan menang atas Sekar Mirah. Ayo, cepat pulang, atau aku
akan memukul kalian seorang demi seorang.”
Ketika orang
itu berhenti berbicara, maka halaman itu tiba-tiba saja menjadi sepi. Semua
mata terpancang kepadanya dan kepada anak-anak muda yang berdiri di tangga di hadapannya.
Karena tidak ada seorang pun yang berbicara maka bekas prajurit itu pulalah
yang memecah kesenyapan,
“Kenapa kalian
berdiri bingung di situ. Ayo pulang, kataku. Aku datang bersama kawan-kawanmu
yang masih dapat berpikir jernih dan tidak mau bersama kalian berbuat gila di
Sangkal Putung ini. Apakah aku harus memaksa dengan kekerasan atau aku akan
membiarkan kalian menjadi endog pangamun-amun di Sangkal Putung, karena orang-orang
dan anak-anak muda di Sangkal Putung menjadi muak melihat kebodohan kalian?”
Anak-anak muda
itu masih termangu-mangu.
“Aku akan
menghitung sampai tiga. Satu, dua…” Ternyata anak-anak muda Semangkak itu mulai
bergerak surut tanpa mereka sadari Bahkan Wita pun mundur selangkah. Lalu,
bekas prajurit itu melanjutkan, “Tiga.”
Seperti air
surut, anak-anak muda Semangkak itu bergerak. mundur. Namun mereka masih mendengar
bekas prajurit itu berkata,
“Nah, bagus.
Kita pulang bersama-sama. Ikuti aku. Kalau ada yang berani berbuat sesuatu, aku
patahkan tangannya” Lalu orang itu berpaling kepada bebahu Kademangan Sangkal
Putung dan Semangkak,
“Maaf Ki
Demang berdua. Biarlah aku giring kambing-kambing bodoh ini kembali ke
Semangkak. Mereka sudah merampas kesempatanku untuk menang lebih banyak. Jika
aku kembali ke perjudian, mungkin aku akan kalah. Seandainya ayah Wita tidak
mencari aku dan aku tidak perlu meninggalkan perjudian, mungkin besok aku sudah
menjadi serang yang kaya raya.”
“Terima kasih
atas pengorbananmu” jawab Ki Demang di Semangkak,
“Mudah-mudahan
anak-anak asuhanmu itu tidak menjadi bengal lagi.”
“Aku akan
mengawasinya baik-baik.” Demikianlah maka bekas prajurit itu telah menggiring
anak-anak Semangkak kembali ke Kademangan mereka. Mereka tidak dapat berbuat
lain daripada mematuhi perintah itu. Bagaimanapun juga mereka harus
memperhitungkan jumlah lawan mereka yang semakin banyak. Dan lawan yang
terutama adalah kawan-kawan mereka sendiri dari Semangkak yang justru mereka
segani bersama bekas prajurit yang selama ini mereka anggap sebagai guru
mereka. Dengan dada yang berdebar-debar anak Semangkak itu melangkah
perlahan-lahan meninggalkan Kademangan. Apapun yang bergejolak di dalam hati,
namun mereka harus kembali ke Semangkak.
Wita yang
berjalan di paling depan menundukkan kepalanya. Iapun harus mundur meskipun
hatinya sebenarnya memberontak. Ia ingin melihat Kademangan Sangkal Putung
menjadi bosah baseh dan menemukan Swandaru yang bersembunyi ketakutan. Ia ingin
mengikat anak yang gemuk bulat itu dan memukuli perutnya dan pipinya yang
gembung.
Tetapi
pengasuhnya didalam olah kanuragan telah mencegahnya dan menggiring mereka
kembali dengan kecewa.
“Kami gagal
kali ini” desis Wita,
“orang itu
menggagalkan rencana yang sudah kami susun baik-baik.”
Kawannya tidak
menyahut. Tetapi kawannya itu sudah mulai ragu-ragu, jika seandainya niat itu
diteruskan, apakah tidak akan timbul akibat-akibat lain yang lebih buruk. Sebenarnyalah
memang ada beberapa tanggapan dari anak-anak muda Semangkak itu. Ada yang
berkata didalam hatinya,
“Untunglah
bahwa segala sesuatunya belum terlanjur.” Tetapi ada yang mengumpat,
“Gila orang
itu. Kenapa kami dicegahnya? Jika tidak, kami akan mendapatkan umpan yang
menyenangkan sekali. Seekor kelinci gemuk dan seorang gadis cantik sekaligus.
Jika kami beramai-ramai menangkapnya, menyeretnya ke Semangkak, tidak akan ada
yang menyalahkan kami.” Meskipun timbul juga persoalan didalam hatinya,
“Bagaimana
jika anak-anak Sangkal Putung marah dan menyusulnya?”
“Persetan”
dijawabnya sendiri jika anak-anak Sangkal Putung mempunyai keberanian, ia pasti
sudah menyongsong kedatangan kami karena mereka pasti sudah mendengar
sebelumnya. Jagabaya Sangkal Putung itu pasti sudah memberitahukan kepada
anak-anak Sangkal Putung, dan mereka hanya berani bersembunyi. Adalah omong
kosong bahwa mereka ikut bertempur melawan pasukan Tohpati saat itu.”
Namun belum
lagi angan-angannya itu berakhir, anak-anak muda Semangkak yang sudah sampai di
pintu gerbang Kademangan induk, terkejut bukan kepalang ketika mereka melihat
beberapa orang anak muda berdiri di dalam kegelapan. Mereka hanya melihat
bayangan mereka di bawah cahaya lampu minyak di emper gardu.
“Gila, ada
juga anak muda yang berani menampakkan diri” desis Wita didalam hati. Tanpa
sesadarnya ia berpaling. Di ujung belakang iring-iringan anak-anak Semangkak
itu terdapat pengasuhnya didalam olah kanuragan, dan kawan-kawannya dari
Semangkak yang memang agak mereka segani,
“Jika tidak
ada mereka, anak-anak Sangkal Putung yang ada di gardu itu dapat menjadi
sasaran yang menyenangkan setelah kami dikecewakan habis-habisan.”
Wita hanya
dapat menggeretakkan giginya. Tetapi rasa-rasanya tangannya memang menjadi
gatal. Bahkan ia berkata kepada diri sendiri,
“Apaboleh
buat. Apakah aku dapat menyeret salah seorang dari mereka tanpa ribut-ribut?’
Namun ternyata
anak-anak muda Sangkal Putung yang melihat iring-iringan itu lewat, segera
menyingkir menepi, Mereka meloncati parit di luar padukuhan dan berdiri di
seberang parit. Tetapi, dada anak-anak Semangkak itu tiba-tiba bergetar dahsyat
sekali. Ketika mereka keluar dari padukuhan itu, barulah mereka melihat suatu
kenyataan tentang anak-anak muda Sangkal Putung. Yang berdiri diluar padesan,
di seberang parit itu, bukannya sekedar anak-anak muda yang dilihatnya pada
cahaya lampu minyak di gardu di sudut halaman, sehingga apabila timbul niat
salah seorang dari mereka untuk membakar gardu itu, maka niat itu harus
dipikirkannya berulang kali Ketika mereka mula-mula memandang ke dalam gelap,
setelah mereka melintasi sinar pelita di gardu, mereka menjadi termangu-mangu seakan-akan
mereka melihat tanaman di sawah, di luar padesan itu tumbuh demikian rapatnya
setinggi tubuh manusia. Bahkan hampir seperti sebuah dinding yang membujur di sebelah
parit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar