Jilid 065 Halaman 1


KEDUA anak-anak muda itu sama sekali tidak menyahut. Tetapi keduanya hanya menundukkan kepalanya saja, meskipun keduanya dapat mengerti, bahwa yang dikatakan oleh gurunya itu memang bukan sekedar persoalan yang tidak bersungguh-sungguh yang dapat sekedar didengarkannya sambil berbaring. Namun demikian keduanya tidak dapat segera menanggapinya. Tetapi Kiai Gringsing pun memang tidak memerlukan jawaban. Ia hanya sekedar memberi bahan pertimbangan bagi anak-anak itu agar dikemukakannya kepada orang tuanya. Tetapi Swandaru ternyata bertanya,
“Apakah ayah dan ibu harus pergi menempuh jarak sejauh itu, Guru?”
“Ya. Terutama ayahmu. Tetapi karena perjalanan yang sulit, maka agaknya ibumu tidak usah ikut pun tidak akan menimbulkan persoalan apa pun. Selain Nyai Gede Argapati juga sudah tidak ada lagi, Ki Gede pun akan menyadari, betapa sulitnya perjalanan seorang perempuan melintasi Alas Mentaok, yang meskipun sebagian sudah dibuka. Menyeberangi Kali Opak dan menghadapi kerusuhan yang dapat timbul di sepanjang jalan. Karena setiap saat dapat tumbuh kelompok-kelompok penyamun yang mengganggu jalan di daerah yang berhutan-hutan. Apalagi daerah yang semakin ramai, tetapi belum dilengkapi dengan jalur-jalur jalan yang memadai.”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mengerti, bahwa hal itu memang harus dilakukan dan ayahnya pun harus tidak berkeberatan. Tetapi yang menjadi persoalan kemudian adalah, apakah dalam keadaan yang semakin gawat, ayahnya dapat meninggalkan Sangkal Putung.
“Tetapi Untara, seorang senapati yang bertanggung jawab di daerah Selatan ini sempat juga memikirkan kebutuhan manusiawi. Sebagai seorang laki-laki, ia akan sampai juga pada suatu saat, bahwa ia harus hidup bersama dengan seorang isteri,” berkata Swandaru di dalam hatinya. Namun kemudian,
“Tetapi ia tidak perlu meninggalkan tugasnya.”
Tetapi Swandaru tidak mengatakan persoalan itu. Waktunya masih cukup panjang. Setelah bulan depan. Setelah Untara benar-benar kawin, sehingga ayahnya akan sempat menghadiri perkawinan itu. Demikianlah, ternyata bahwa Untara tidak sekeras yang dibayangkan oleh Agung Sedayu sebelumnya. Ternyata ia menerima adiknya dengan baik, setiap Agung Sedayu berkunjung kepadanya bahkan sekali-sekali bersama-sama dengan Swandaru.
“He, kau masih saja bulat,” berkata Untara ketika Swandaru datang untuk pertama kalinya ke Jati Anom.
Swandaru tertawa.
“Tetapi kau jadi bertambah pendek,” Untara meneruskan.
“Mungkin,” jawab Swandaru,
“aku memang bertambah pendek. Tetapi Kakang Untara bertambah tampan. Aku belum pernah melihat Kakang Untara berpakaian serasi sekarang.”
“Ah.”
“Semakin dekat dengan hari-hari yang mendebarkan itu, Kakang Untara harus lebih banyak mesu diri. Berpuasa dan banyak memberi kepada orang lain, agar kelak Kakang Untara mendapat seorang anak yang seperti dicita-citakan.”

Untara tertawa. Selama di Sangkal Putung ia mengenal Swandaru sebagai seorang anak muda yang terbuka hatinya, suka bergurau, tetapi hatinya sekeras batu. Namun ternyata, hubungan yang akrab antara Untara dan adiknya, apalagi dengan Swandaru, menimbulkan ketidak-puasan bagi sebagian perwiranya. Kebencian mereka kepada Agung Sedayu masih saja melekat di hati mereka. Terutama perwira yang pernah dikalahkan di dalam perkelahian di tengah sawah oleh Agung Sedayu. Tetapi Untara adalah seorang senapati yang sangat berpengaruh bagi mereka, sehingga tidak seorang pun yang dengan terang-terangan berani menentangnya. Saat perkawinan Untara itu pun semakin lama menjadi semakin dekat. Sebagai seorang senapati, maka para perwira tinggi di Pajang, mau tidak mau harus memperhatikan hari yang penting bagi jalur kehidupan Untara itu. Karena itu, maka Jati Anom pun untuk beberapa saat menjadi pusat perhatian bagi pemimpin pemerintahan di Pajang. Yang akan dirayakan adalah seorang senapati besar, sedang yang memangku perhelatan yang akan berlangsung adalah Widura, pengganti ayah ibunya, juga seorang bekas prajurit Pajang yang namanya dikenal sejak perlawanan yang sangat berat menghadapi tekanan Tohpati di Sangkal Putung.
Namun dalam pada itu, selagi orang-orang di Jati Anom sibuk menghadapi hari yang besar bagi Untara, yang menjadi semakin dekat, Agung Sedayu dan Swandaru yang sedang berada di luar padukuhannya terkejut, ketika dijumpainya seorang yang berdiri di tengah jalan menghentikan langkahnya. Menilik pakaiannya, ia bukan orang Sangkal Putung, bukan pula dari padukuhan di sekitamya. Pakaiannya yang kotor dan kumal menunjukkan, bahwa ia telah menempuh suatu perjalanan yang jauh. Namun dua pasang mata yang tajam itu, melihat di balik bajunya, sebilah keris yang dianggar di lambungnya.
“Bukankah Ki Sanak yang bernama Agung Sedayu dan Swandaru Geni,” bertanya orang itu.
Agung Sedayu dan Swandaru tidak segera menyahut. Namun akhirnya hampir berbareng mereka berkata lantang,
“Wanakerti.”
Orang itu membuka tudung kepalanya. Sambil tersenyum ia berkata,
“Kalian masih mengenal aku.”
Sambil menepuk pundaknya Agung Sedayu menyahut,
“Wajahmu hampir tidak aku kenal karena debu yang melekat. Tetapi aku tidak lupa warna suaramu.”
Wanakerti tertawa.
“Marilah, datanglah ke rumahku. Bukankah kau memang mencari kami berdua?”
Wanakerti menggelengkan kepalanya. Jawabnya,
“Aku memang mencari kalian berdua. Tetapi aku tidak akan singgah ke Kademangan Sangkal Putung.”
“Kenapa?”
Wanakerti tidak segera menjawab. Keragu-raguan membayang pada sorot matanya. Namun kemudian ia berkata,
“Apakah aku masih berhadapan dengan Agung Sedayu dan Swandaru yang dahulu.”
Kedua anak muda itu mengerutkan keningnya. Yang menyahut adalah Agung Sedayu,
“Kaulah yang terasa asing bagiku. Kenapa tiba-tiba saja kau bertanya demikian?”
Wanakerti tersenyum. Jawabnya kemudian,
“Jika demikian, kalian masih tetap Agung Sedayu dan Swandaru yang aku kenal dan yang dikenal baik oleh Raden Sutawijaya.”
“Kau mengemban tugas dari Raden Sutawijaya?” Agung Sedayu langsung menyentuh persoalan yang dibawa oleh Wanakerti.
Wanakerti menganggukkan kepalanya.
“Apakah kau akan mengatakan kepadaku?”
“Ya. Hanya Agung Sedayu-lah yang dapat menjawabnya dengan tepat jika dikehendakinya.”
“Kau aneh,” desis Agung Sedayu.
“Maksudku, aku hanya ingin berhati-hati.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia mencoba mengerti, kenapa Wanakerti menjadi sangat berhati-hati terhadapnya setelah ia berada di Sangkal Putung.
“Baiklah,” berkata Agung Sedayu, kemudian,
“aku akan menjawab pertanyaan-pertanyaanmu kalau aku mengerti.”
“Kau tentu mengerti,” Wanakerti tersenyum.
Agung Sedayu mencoba tersenyum pula betapa pun hambarnya.
“Agung Sedayu,” berkata Wanakerti,
“aku hanya ingin mendapat kepastian, apakah Untara benar-benar akan kawin?”
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun ia pun mengangguk-anggukkan kepalanya sambil menjawab,
“Kau tentu sudah mendengarnya.”
“Ya. Aku memang mendengar ceritera, bahwa Untara akan segera kawin. Karena itu aku akan meyakinkannya.”
“Kau terlampau teliti. Maksudku Raden Sutawijaya.”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian,
“Kau tentu sudah mendapat bahan yang lengkap dari hari perkawinan itu.”
“Aku memang harus mendapat bahan yang lengkap. Jika aku kembali ke Mataram, aku harus memberikan perincian yang sekecil-kecilnya dari perkawinan itu. Dan aku mengharapkan dapat memenuhi tugas itu. Karena itu, aku menemuimu.”
Agung Sedayu mengerutkan keningnya.
“Bagiku kau adalah seorang yang paling dekat dengan Untara, dan kau adalah orang yang sudah aku kenal dan mengenal aku dan Raden Sutawijaya.”
“Apakah yang sebenarnya ingin kau ketahui? Hari perkawinannya atau siapakah isterinya?”
“Kedua-duanya, dan kenapa Untara kawin dengan puteri Rangga Parasta?”
“O, jadi kau sudah tahu, dengan siapa Kakang Untara akan kawin?” Aku juga sudah mendengar, bahwa isteri Kakang Untara bernama Tundunsari, puteri Rangga Parasta. Tetapi aku tidak tahu apakah sebabnya? Menurut paman Widura, isteri Kakang Untara sebaiknya adalah seorang gadis yang mengerti tentang Kakang Untara, sabar, dan luruh. Menurut pendapatku, Tundunsari memenuhi syarat itu, sehingga agaknya Paman Widura lah yang telah menghubungkannya.”
Wanakerti mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia bertanya,
“Memang mungkin suatu kebetulan. Tetapi Rangga Parasta adalah salah seorang yang tidak pernah sesuai jalan pikirannya dengan Ki Gede Pemanahan, hampir di segala hal.”
“Ah,” desis Agung Sedayu dan Swandaru hampir berbareng.
“Tanggapan itu agaknya sudah terlampau jauh,” sahut Agung Sedayu
“Barangkali Kakang Untara tidak pernah memikirkannya,” sambung Swandaru.
“Memang mungkin sekali. Untara mungkin tidak pernah memikirkan hal itu. Tetapi siapakah yang menempatkan Untara pada tempat yang akan menjadi pusat persoalan itulah yang ingin aku ketahui.”
Agung Sedayu menggeleng-gelengkan kepalanya. Katanya,
“Itu pun tidak ada hubungannya apa-apa. Tentu Paman Widura yang menjadi penghubung. Mungkin Paman Widura sama sekali tidak menghiraukan persoalan-persoalan semacam itu.”
Wanakerti tersenyum. Katanya,
“Widura adalah bekas seorang pemimpin prajurit Pajang.”
“Jadi kau menyangka, bahwa bukan saja kebetulan kalau Paman Widura memilih Tundunsari bagi isteri Kakang Untara?”
“Mungkin bukan Widura sendiri. Aku sangka pasti ada perantara yang lain yang telah mempertemukan Widura dengan Rangga Parasta.”
“Aku tahu. Paman Widura mengenal Rangga Parasta dengan baik. Mungkin dalam suatu kunjungan atau dalam suatu pembicaraan masalah itu tersentuh, sehingga terbukalah jalan bagi persoalan itu untuk seterusnya.”
Wanakerti mengangguk-angguk. Katanya,
“Memang mungkin. Tetapi kemungkinan yang aku katakan, bukan mustahil. Seseorang yang ingin menyeret langsung Untara ke dalam persoalan yang gawat ini dengan mempergunakan hubungan yang paling erat di dalam hidup seseorang. Kau tentu sudah tahu, bahwa banyak prajurit yang tidak senang melihat perkembangan Mataram. Mereka merindukan Pajang yang besar. Tetapi mereka kehilangan harapan karena sifat Sultan Pajang yang dengan perlahan-lahan telah berubah dari perjuangan yang gigih untuk mencapai cita-citanya kepada kemukten yang berlebih-lebihan sekarang ini. Namun mereka tidak ingin melihat orang lainlah yang akan dapat meneruskan perjuangan Pajang untuk mencapai kebesarannya, meskipun pusat pemerintahan itu kelak akan berganti nama.”
“Ki Wanakerti,” bertanya Agung Sedayu,
“apakah kira-kira demikian juga yang dikatakan oleh Raden Sutawijaya, jika aku langsung menjumpainya?”

Tiba-tiba saja wajah Wanakerti menegang. Namun sejenak kemudian ia tertawa,
“Memang mungkin tidak tepat seperti yang aku katakan. Agaknya kau memang seorang anak muda yang tangkas. Kau agaknya menangkap sikapku sendiri terselip di antara kata-kataku. Namun demikian, sikap Raden Sutawijaya tidak akan jauh berbeda.”
“Kau sudah mengambil kesimpulan, Ki Wanakerti,” berkata Swandaru.
“Agaknya Raden Sutawijaya belum mengambil kesimpulan sejauh itu.”
Wanakerti mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Aku keliru. Ternyata aku berbicara dengan murid-murid Truna Podang. Tetapi pada dasarnya, tugas itu memang harus aku jalankan.”
“Aku percaya, bahwa Raden Sutawijaya ingin mendapat bahan pertimbangan tentang perkawinan Kakang Untara dengan Tundunsari. Tetapi belum mengambil sikap seperti yang kau katakan.”
Wanakerti mengangguk-anggukkan kepalanya sambil tersenyum. Ternyata ia berhadapan dengan anak-anak muda yang berpikir dengan tangkas, seperti ketangkasan mereka dalam olah kanuragan. Karena itu, maka katanya kemudian,
“Baiklah. Aku akan surut beberapa langkah. Aku akan membatasi pertanyaanku dengan pertanyaan-pertanyaanku yang pertama. Apakah perkawinan Untara dengan puteri Rangga Parasta itu hanya suatu kebetulan atau ada seseorang yang sengaja menjerat Untara ke dalam suatu sikap yang keras terhadap Mataram?”
“Ki Wanakerti,” berkata Agung Sedayu,
“aku yakin, bahwa Kakang Untara bukan anak-anak lagi. Ia adalah seorang senapati yang sudah dewasa. Senapati yang mempunyai sikap yang masak. Jika ia sudah menempatkan dirinya di bawah perintah Sultan Pajang, ia akan menjalankannya, menjadi atau tidak menjadi menantu Rangga Parasta. Tetapi kalau Kakang Untara bersikap lunak terhadap Mataram, ia akan tetap bersikap demikian. Jika kemudian ada perkembangan sikapnya, itu sama sekali bukan karena ia memperisteri puteri Rangga Parasta, tetapi itu adalah perkembangan nalarnya sendiri.”
Ki Wanakerti mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya,
“Ya, aku mengerti. Tetapi kalian tidak boleh mengabaikan pengaruh seorang perempuan di dalam jalan kehidupan kita. Mungkin karena kalian belum kawin sajalah kalian tidak menyadari betapa pentingnya. Kau lihat, apa yang terjadi dengan Sultan Pajang sekarang ini?”
“Kau berkata lagi tentang sikapmu sendiri.”
“O, maaf. Tetapi baiklah. Mudah-mudahan tanggapanmu terhadap Untara tepat. Kau adalah adiknya dan kau pasti mengenal sifat-sifatnya.”
“Aku yakin. Demikian juga sikap Paman Widura.”
Wanakerti mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu,
“Jadi tepatnya kapan Untara akan kawin?”

Agung Sedayu dan Swandaru saling berpandangan sejenak. Mereka tampak ragu-ragu untuk menjawab.
“Aku tidak akan berbuat apa-apa,” berkata Wanakerti.
“Juga Raden Sutawijaya tidak akan berbuat apa-apa. Kami hanya ingin tahu. Maaf, apakah perkawinan inilah yang sebenarnya meningkatkan kesibukan pasukan Pajang di Jati Anom?”
“O,” Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya,
“aku mengerti. Baiklah. Perkawinan akan berlangsung sepuluh hari lagi. Tentu kehadiran para prajurit di Jati Anom adalah karena perkawinan Kakang Untara. Bukan karena perkawinan itu sekedar sebagai alasan yang tersamar untuk meningkatkan kegiatan para prajurit Pajang yang sedang menghadapi Mataram, atau katakanlah, bahwa selagi Untara kawin, pasukan yang sudah dipersiapkan akan maju mendekat ke Mataram, bahkan lebih jelek lagi dari itu, menyerang Mataram.”
Wajah Wanakerti menegang sejenak. Namun sekali lagi ia tersenyum dan berkata,
“Terima kasih. Beruntunglah, bahwa aku berbicara dengan anak-anak muda yang dewasa. Aku kira bahan-bahan yang harus aku kumpulkan untuk sementara sudah cukup.”
“Apakah Ki Wanakerti benar-benar tidak akan singgah ke rumahku?” bertanya Swandaru.
“Terima kasih. Lain kali aku akan singgah. Sekarang aku harus secepatnya kembali. Raden Sutawijaya menunggu keteranganku.”
Agung Sedayu dan Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun Swandaru masih juga berkata,
“Ki Wanakerti. Guru, eh maksudku Ki Truna Podang akan senang sekali menerimamu, jika kau mau singgah.”
“Maaf, sampaikan kepada Kiai Gringsing, bukankah gurumu bernama Kiai Gringsing?” sahut Wanakerti.
“Bahkan kali ini aku tidak akan dapat singgah.”
“Sayang sekali. Jika Ki Wanakerti dapat bertemu, maka setidak-tidaknya guru akan teringat kepada hutan yang lebat itu dan mungkin kau akan mendengar pertanyaannya, bagaimana sikapmu dan sikap Raden Sutawijaya terhadap Pangeran Benawa.”
“Ah,” sekali lagi wajah Wanakerti menegang. Tetapi ia pun tersenyum pula sambil berkata,
“Pangeran Benawa adalah seorang yang baik menurut Raden Sutawijaya. Terlalu baik.” Namun kemudian Wanakerti berkata,
“Sudahlah. Lain kali kita berbicara banyak tentang Pajang, tentang Sultan Adiwijaya, tentang Pangeran Benawa.”
“Dan tentang Raden Sutawijaya sendiri,” potong Agung Sedayu.
“Ya, tentang Raden Sutawijaya sendiri,” Wanakerti mengangguk-angguk.
“Sekarang aku minta diri. Aku menunggu kalian sejak pagi di bawah pohon randu itu. Aku yakin, bahwa suatu saat kalian akan keluar dari padukuhan.”
“Kebetulan sekali. Bagaimana kalau aku tidak keluar juga?”
“Terpaksa sekali aku berjalan melalui regol kademangan. Tetapi aku memang tidak ingin singgah. Maaf. Sekarang aku minta diri.”
“Apakah kau tidak membawa tunggangan?”
Wanakerti tidak menjawab, tetapi ia tersenyum.
Agung Sedayu dan Swandaru tersenyum. Bahkan Swandaru berkata,
“Aku tahu, kau sembunyikan kudamu, atau seseorang menunggumu di tempat lain sambil menunggui kudamu. Apakah kau sekarang menjadi petugas sandi dari Mataram?”
“Ah,” Wanakerti berdesis. Tetapi ia tidak menjawab selain senyumnya yang masih saja tampak di bibir.
“Hati-hatilah. Jangan kau sesorah di simpang empat, ‘inilah petugas sandi dari Mataram,’ supaya orang-orang itu tahu bahwa kau seorang petugas sandi.”
“Ah,” Agung Sedayu lah yang kemudian menggamit Swandaru.
“Terima kasih,” berkata Wanakerti sambil masih saja tersenyum.
“Aku minta diri.”

Demikianlah, maka Wanakerti pun segera meninggalkan Agung Sedayu dan Swandaru yang masih termangu-mangu untuk sesaat. Namun ketika Wanakerti menjadi semakin jauh, maka Agung Sedayu pun berkata,
“Marilah kita kembali. Kita beritahukan kedatangannya kepada guru.”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia masih memandang Wanakerti yang berjalan semakin lama seakan-akan menjadi semakin cepat. Desisnya,
“Di mana kudanya ditinggalkan?”
“Tentu agak jauh. Tetapi biarlah. Kita sekarang menemui guru.”
Keduanya pun kemudian segera kembali ke Kademangan. Yang pertama-tama mereka beritahu tentang kehadiran Wanakerti adalah Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, Kiai Gringsing kemudian berkata,
“Ternyata ketegangan yang ada antara Mataram dan Pajang semakin lama semakin meningkat, meskipun masih belum sampai pada tingkat yang mengkhawatirkan. Tetapi agaknya Mataram pun selalu bercuriga seperti juga para prajurit di Pajang.”
“Setiap orang membuat terjemahan sendiri mengenai keadaan yang berkembang,” sahut Agung Sedayu.
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan Sumangkar pun berkata,
“Mungkin sekedar suatu sikap berhati-hati.”
“Ya,” berkata Swandaru,
“tetapi agak berlebih-lebihan.”
Kedua orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka memang membayangkan hubungan batin yang semakin renggang telah terjadi antara Sultan Pajang dengan putera angkatnya, Raden Sutawijaya. Keduanya tidak dapat menemukan jalan yang menghindarkan mereka dari ketegangan itu.
“Tetapi Mataram tidak akan berbuat sesuatu lebih dahulu,” berkata Kiai Gringsing.
“Kecuali Mataram memang belum siap, aku kira para pemimpin di Mataram masih menaruh hormat kepada Sultan Pajang, meskipun ternyata mereka tidak lagi dapat bekerja bersama.”
Kedua muridnya mengangguk-anggukkan kepala. Mereka pun berpendapat, bahwa Sutawijaya tidak akan mengambil sikap yang keras terhadap Pajang jika tidak terpaksa. Namun mereka pun sadar, bahwa yang menentukan bukan saja Sutawijaya. Orang-orang yang langsung berada di lingkungan keprajuritan dapat memancing suasana, sehingga pada suatu saat, tidak ada jalan lain yang dapat ditempuh selain kekerasan. Demikian juga agaknya para prajurit Pajang. Mereka tidak ingin menunggu Mataram menjadi kuat. Bahkan beberapa orang di antara mereka berpendapat, Mataram harus dihancurkan segera sebelum berkembang.

Tetapi pemimpin tertinggi dari kedua daerah yang semakin lama menjadi semakin jauh itu masih selalu mencoba mengekang diri, agar mereka tidak terperosok ke dalam pertentangan yang semakin dalam. Meskipun demikian, Kiai Gringsing dan murid-muridnya serta Ki Sumangkar tidak menganggap perlu menyampaikan hal itu kepada Untara. Dengan demikian akan dapat menimbulkan ketegangan perasaan justru menjelang hari perkawinannya. Karena mereka berpendapat, Mataram tidak akan berbuat kasar. Namun demikian, memang mungkin sekali ada orang yang berusaha memancing di air keruh, atau sengaja menimbulkan kesan tentang hubungan yang semakin jelek antara Pajang dan Mataram. Orang-orang yang licik seperti Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak, dapat saja berbuat sesuatu yang dapat menumbuhkan kesan seakan-akan pihak-pihak yang sedang dibakar oleh ketegangan itulah yang telah berbuat. Bahkan mungkin orang-orang Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak yang kecewa atas kegagalan mereka, sengaja membuat keributan di sekitar Jati Anom dan menyebut dirinya orang-orang dari Mataram, sehingga dengan demikian, mereka akan dapat mengambil keuntungan dari pertentangan yang akan terjadi.
“Apakah kita dapat berbuat sesuatu, Guru?” bertanya Swandaru.
“Mungkin kita dapat berbuat sesuatu,” jawab gurunya.
“Dalam saat-saat perkawinan itu, kita pasti akan hadir. Nah kita dapat berhati-hati menanggapi setiap persoalan. Di tempat itu tentu akan penuh dengan perwira dari Pajang kawan-kawan Untara. Jika penjagaan tidak cukup baik, memang mungkin sekali timbul persoalan yang tidak kita kehendaki dari orang-orang yang sengaja akan mengambil keuntungan dari suasana yang memburuk itu.”
“Bagaimanapun juga, kita harus berhati-hati. Kita adalah orang-orang yang berdiri di luar pertentangan itu sendiri, “berkata Sumangkar,
“sehingga kita dapat memandang persoalannya dari jarak yang cukup.”
Kedua murid Kiai Gringsing itu mengangguk-angguk. Mereka mengerti apa yang sebaiknya mereka lakukan, dan mereka pun telah menyediakan diri mereka untuk melihat setiap kemungkinan yang tidak diharapkan selama perkawinan Senapati Pajang yang berkuasa di daerah Selatan ini berlangsung, apalagi di dalam kemelutnya ketegangan yang semakin memuncak.
Demikianlah, semakin dekat dengan hari-hari perkawinan, Widura yang akan menjadi orang tua Untara, menjadi semakin sibuk. Rumahnya menjadi semakin ramai oleh orang-orang yang mulai menyiapkan segala sesuatu. Dari rumah itulah, Untara akan berangkat ke rumah mempelai perempuan beberapa hari sebelum hari perkawinan. Dan pada hari yang kelima, di rumah Widura itulah akan diselenggarakan upacara menerima sepasang pengantin itu oleh orang tua penganten laki-laki yang akan dilakukan oleh Widura.

Hari-hari yang menegangkan adalah justru pada hari kelima. Pada hari upacara sepasaran dan menjemput pengantin itulah, kemungkinan-kemungkinan dapat terjadi, karena justru rumah Untara di Jati Anom, sedang mempelai perempuan, putera Rangga Parasta, berada jauh di belakang garis tegang antara Pajang dan Mataram, karena Rangga Parasta tinggal di Pengging. Tetapi Rangga Parasta sendiri jarang sekali berada di rumahnya. Ia hampir selalu berada di Pajang karena setiap saat ia diperlukan oleh pimpinan tertinggi pemerintahan di Pajang. Demikianlah, maka menjelang keberangkatan Untara ke Pengging beberapa hari menjelang hari perkawinan itu, Agung Sedayu sudah berada di Jati Anom. Sebagai seorang saudara muda, ia ikut sibuk menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan. Bahkan Swandaru pun ternyata bersedia tinggal bersamanya di rumah Widura untuk mengawaninya.
“Kenapa kau tidak tinggal di rumahmu sendiri?” bertanya Swandaru.
“Bukankah rumahmu cukup besar. Bahkan seandainya Untara merayakan perkawinannya di rumahnya itu pun agaknya pantas juga, karena rumah itu cukup baik.”
“Rumah itu kini dipergunakan untuk kepentingan prajurit Pajang. Apalagi Paman Widura yang mewakili ayah dan ibu minta Untara tinggal di sini. Agaknya Paman Widura ingin sekali-sekali menyelenggarakan perhelatan, karena anak-anaknya sendiri masih terlalu muda untuk kawin.”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia dapat mengerti, bahwa Untara seorang senapati besar dari Pajang itu, pasti akan merelakan rumahnya untuk kepentingan para prajurit, meskipun ia sendiri membutuhkannya.
“Jadi, bagaimana dengan kau kelak?” tiba-tiba saja Swandaru bertanya.
“Bagaimana dengan aku?”
“Ya, jika kau kawin kelak, dan rumah itu masih saja ditempati para prajurit.”
“Mereka tidak akan tinggal di rumah itu untuk selamanya. Aku juga tidak tahu, di mana Kakang Untara akan tinggal setelah ia kawin. Apakah ia akan tinggal bersama-sama dengan para perwira itu, atau ia akan tinggal bersama Paman Widura.”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak bertanya lagi. Dalam pada itu, rumah Widura menjadi semakin sibuk. Untara sudah meninggalkan rumahnya sendiri yang dihuni oleh para perwira dan tinggal bersama Widura. Tugasnya sehari-hari telah diserahkannya kepada perwira yang tertua kedudukan dan umurnya. Tetapi hal-hal yang penting masih tetap ditanganinya sendiri.
“Kau sudah harus mulai mengurangi makan dan minum,” gurau Swandaru yang juga tinggal bersama Agung Sedayu di rumah Widura menjelang hari perkawinan itu.
Untara tertawa, jawabnya,
“Aku harus makan dan minum lebih banyak lagi, supaya aku kelihatan agak gemuk. Kalau kau kelak kawin, maka setahun sebelumnya kau harus sudah mengurangi makan dan minum supaya kau sedikit ramping karenanya.”

Keduanya tertawa. Agung Sedayu yang ada di antara mereka pun tertawa pula. Namun di dalam hati Agung Sedayu melihat perubahan, meskipun perlahan-lahan, pada diri kakaknya. Sebelum kakaknya berbicara tentang kawin, wajahnya selalu bersungguh-sungguh dan hampir tidak pernah tersenyum, apalagi tertawa. Tetapi kini ia sudah dapat bergurau. Tiba-tiba terngiang kata-kata Wanakerti di telinganya,
“Mungkin karena kalian belum kawin sajalah kalian tidak menyadari betapa pengaruhnya,” dan sebelumnya,
“Tetapi kalian tidak boleh mengabaikan pengaruh seorang perempuan di dalam jalan kehidupan kita.”
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Belum lagi Untara kawin, pengaruh itu sudah nampak padanya. Apalagi kelak, jika setiap hari Untara akan bergaul dengan isterinya. Jika isterinya mempunyai sikap tertentu, sikap itu pasti akan berpengaruh betapapun kecilnya.
“Tergantung kepada sifat seorang perempuan,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya.
“Ia dapat berpengaruh baik dan dapat berpengaruh kurang baik, bahkan dapat menjadi buruk.”
Dan tiba-tiba saja terbersit suatu pertanyaan di dalam dirinya,
“Bagaimana dengan Sekar Mirah?”
Agung Sedayu mencoba untuk menilai gadis Sangkal Putung itu. Namun sebelum ia menemukan sesuatu padanya, terdengar Untara berkata,
“Aku berterima kasih jika kalian mau tinggal di sini selama aku berada di Pengging. Menjelang hari kelima setelah hari perkawinan, Paman Widura pasti sibuk sekali. Apakah kalian bersedia?”
“Tentu,” sahut Swandaru,
“aku senang tinggal di sini, asal dapur Paman Widura masih terus berasap. Tetapi jika api sudah padam, aku akan segera kembali ke Sangkal Putung.”
Sekali lagi mereka tertawa. Dan Swandaru pun kemudian berkata,
“Guru akan datang juga bersama Ki Sumangkar pada hari kelima itu. Mereka akan datang bersama ayah, ibu, dan Sekar Mirah. Mereka akan ikut merayakan upacara ngunduh penganten pada hari kelima itu.”
“Tentu. Paman Widura dengan resmi sudah mengundang mereka. Tetapi sudah tentu, bahwa mereka tidak akan datang tepat pada hari sepasaran itu. Kami mengharap mereka datang sehari atau dua hari sebelumnya.”
“Ayah terlampau sibuk. Tetapi mungkin guru dan Ki Sumangkar.”
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekilas tampak sesuatu membayang di wajahnya, namun ia pun kemudian tersenyum,
“Beberapa orang prajurit akan ikut membantu Paman Widura pula. Jika tidak, Paman Widura pasti akan terlalu lelah.”

Agung Sedayu dan Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun mereka pun dapat menangkap ungkapan yang terloncat dari keterangan itu. Bahkan rumah ini memang memerlukan pengamanan yang sebaik-baiknya menjelang hari-hari yang akan menjadi sangat ramai itu. Para prajurit yang akan berada di halaman rumah ini tentu bukan sekedar membantu memasang tarub dan membuat pagar-pagar batas di halaman. Agaknya Untara pun mengetahui, bahwa Agung Sedayu dan Swandaru yang memiliki ketajaman daya tangkap itu dapat mengerti maksud kata-katanya, sehingga karena itu, maka Untara pun tersenyum sambil berkata,
“Bukankah Paman Widura memang perlu dibantu?”
“Ya, ya,” sahut Agung Sedayu,
“Paman Widura memang perlu dibantu oleh para prajurit, meskipun anak-anak muda Jati Anom cukup banyak yang pandai memasang tarub.”
Untara tertawa. Agung Sedayu dan Swandaru pun tertawa pula.
“Itulah sulitnya,” berkata Untara kemudian.
“Sebenarnya aku lebih senang hidup dalam suasana yang wajar. Jika kalian kawin, tidak banyak orang akan mempersoalkan. Dan sudah barang tentu tidak banyak orang yang berniat untuk berbuat sesuatu. Tetapi itulah kesulitanku. Aku harus memperhatikan banyak segi yang mungkin dapat terjadi.”
“Itu pun wajar,” sahut Swandaru,
“setiap persoalan mempunyai neracanya masing-masing. Ada yang baik ada yang buruk. Ada yang menguntungkan ada yang justru merepotkan. Demikian juga yang akan terjadi dengan Kakang Untara. Jika aku kawin, tidak akan ada sekelompok perwira yang akan mengiringi aku, tidak ada sepasukan kehormatan yang akan berjalan di depanku dan tidak akan ada salam selamat dari Sultan Pajang. Tetapi aku juga tidak perlu mengawasi setiap sudut rumahku, karena tidak akan ada kemungkinan gangguan apa pun juga, selain dari laki-laki yang kebetulan jatuh cinta kepada bakal isteriku.”
Untara tertawa semakin keras, sehingga beberapa orang yang sedang sibuk di halaman berpaling kepadanya. Untara nampaknya memang gembira sekali menjelang hari perkawinannya itu.
“Selama ini Kakang Untara selalu bergulat dengan tugas-tugas keprajuritannya,“ berkata Agung Sedayu di dalam hati.
“Sekarang ia dapat melupakan tugas-tugas itu sejenak, sehingga ia sempat bergurau dan tertawa dengan bebas tanpa diganggu oleh perkembangan keamanan dan ketegangan yang semakin meningkat di perbatasan Alas Mentaok.”
Namun dalam pada itu, selagi mereka bergurau dan tertawa berkepanjangan di pendapa, seseorang naik dengan tergesa-gesa. Meskipun ia tidak berpakaian seorang prajurit, tetapi menilik sikapnya, orang itu pasti seorang petugas sandi yang diperbantukan kepada Widura di dalam perhelatan itu.
“Ki Untara,” ia berkata dengan suara yang dalam,
“ada sekelompok orang memasuki padukuhan Jati Anom.”
“Siapa menurut dugaanmu?”
“Kami belum mendapat kepastian, tetapi kami kira mereka datang dari Mataram.”
“Mataram,” Untara mengerutkan keningnya, sedang Agung Sedayu dan Swandaru pun terkejut pula karenanya.
“Apakah kau sudah melaporkan kepada pimpinan yang aku serahi tugas pengamanan daerah ini?
“Tidak. Mereka bukan sepasukan prajurit bersenjata.”
“Jadi?”
“Sepasukan prajurit sudah siap di sekitar jalan masuk ke padukuhan ini. Tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa.”
“Apa yang mereka lakukan?”
“Mereka adalah sekelompok orang yang membawa lima atau enam buah jodang yang dihiasi dengan janur-janur kuning. Mereka menuju ke rumah ini.”
“Jodang? Dari mana kau bilang? Dari Mataram?” Untara menjadi tegang sejenak.
“Mungkin. Tetapi kami belum mendapat kepastian.”
“Apakah para penjaga regol tidak menghentikan mereka dan bertanya tentang mereka?”
“Ya, sedang dilakukan.”

Untara menjadi berdebar-debar. Karena itu, maka ia pun segera berkata,
“Kemasi pendapa ini. Bentangkan tikar yang baik. Jika benar mereka datang dari Mataram, mereka adalah tamu-tamu terhormat.” Untara berhenti sejenak, lalu katanya kepada Agung Sedayu,
“Aku akan membenahi pakaian, dan panggillah Paman Widura.”
Agung Sedayu pun kemudian bergeser. Ketika Swandaru akan ikut pula, Untara mencegahnya,
“Kau di sini. Sebelum Paman Widura datang, temuilah jika mereka naik ke pendapa. Kau mewakili aku sampai aku selesai.”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Karena itu, ketika Agung Sedayu pergi mencari Widura dan Untara masuk ke ruang dalam, Swandaru masih tetap berada di pendapa. Bahkan ia turut membantu membentangkan tikar yang lebih baik dari yang mereka pakai sehari-hari. Sejenak kemudian, orang-orang yang tinggal di sebelah-menyebelah yang dilalui oleh iring-iringan itu pun saling berdesakan di pinggir jalan yang menghubungkan jalan-jalan padukuhan di Kademangan Jati Anom. Orang-orang dari Banyu Asri pun dengan terheran-heran melihat sekelompok orang-orang dalam pakaian kebesaran dan kelengkapan yang sangat baik membawa beberapa buah jodang yang dihias sebaik-baiknya pula dengan janur kuning dan kain berwarna.
“Tentu hadiah dari Sultan Pajang untuk Untara,” desis seseorang.
“Anak Ki Sadewa itu ternyata bernasib baik. Ia mempunyai kedudukan yang terpandang dan mendapat perhatian khusus dari Sultan.”
Tidak seorang pun yang menjawab. Tetapi pakaian kebesaran yang dipakai oleh orang-orang yang membawa jodang itu sangat mempesona. Seakan-akan orang-orang itu sedang mengikuti upacara terbesar di Istana Pajang. Meskipun demikian, pakaian kebesaran yang mengagumkan itu ternyata telah kotor oleh debu. Tampaknya mereka sudah menempuh jalan yang panjang sebelum mereka memasuki Kademangan Jati Anom. Ternyata pula, bahwa di antara iring-iringan itu terdapat beberapa pengawal bersenjata, untuk menjaga agar barang-barang itu tidak dirampas oleh orang-orang jahat di sepanjang jalan. Dengan dikawal oleh para prajurit Pajang yang bertugas di Kademangan Jati Anom, maka iring-iringan itu pun menuju ke rumah Widura yang sedang sibuk.
Widura yang diberi tahu oleh Agung Sedayu pun dengan tergesa-gesa membenahi pakaiannya. Tetapi justru karena itu, ia tidak segera mengerti siapakah yang sebenarnya telah datang itu.
“Dari mana?” bertanya Widura sekali lagi.
“Apakah aku tidak salah dengar?”
“Dari Mataram, menurut keterangan orang yang menyampaikan berita itu kepada Kakang Untara.”
“Mataram, maksudmu dari Raden Sutawijaya?”
“Masih belum jelas, Paman.”

Widura mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian segera pergi ke pendapa. Widura menjadi semakin berdebar-debar, ketika dua orang prajurit datang menemuinya. Hampir berbisik salah seorang berkata,
“Mereka benar-benar datang dari Mataram.”
Widura menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
“Siapakah yang telah menyampaikan berita perkawinan Untara kepada Raden Sutawijaya?”
Prajurit-prajurit itu menggelengkan kepalanya.
“Di mana mereka sekarang?” bertanya Widura pula.
“Sebentar lagi mereka akan memasuki halaman ini. Kini mereka sudah menyelusuri jalan padukuhan ini. Agaknya mereka sudah melampaui simpang empat dan gardu penjagaan itu.”
Widura mengerutkan keningnya. Sejenak ia merenung. Apakah sebenarnya yang telah menggerakkan orang-orang Mataram mengirimkan sekelompok orang-orangnya dengan membawa beberapa buah jodang? Apakah di dalam jodang itu berisi barang-barang untuk kelengkapan pengantin atau barang-barang lain? Selagi Widura masih termangu-mangu, maka tampaklah iring-iringan itu mendekati regol rumahnya, sehingga karena itu, maka dengan tergopoh-gopoh ia pun segera menyongsongnya diikuti oleh Agung Sedayu dan Swandaru.
Widura terperanjat, ketika ia memandang wajah orang yang berjalan di paling depan sambil tersenyum kepadanya. Orang itu dikenalnya benar-benar. Ia adalah kawan di dalam perjuangan menegakkan Pajang selagi Demak mulai runtuh.
“Ki Lurah Branjangan?” tanpa sesadarnya ia berdesis.
Orang yang dipanggilnya Ki Lurah Branjangan itu tertawa. Katanya,
“Kau masih ingat kepadaku Kakang Widura. Memang, para prajurit waktu itu memanggil aku Branjangan.”
“Tentu, aku tidak akan lupa kepadamu.”
Orang itu masih tertawa. Katanya,
“Aku masih tetap tidak dapat berkembang. Pendek, kecil, dan seperti ini.”
“Tetapi kau benar-benar seekor burung branjangan. Lincah dan lebih dari itu tidak terkendali.”
Ki Lurah Branjangan dan mereka yang mendengarnya tertawa. Agung Sedayu dan Swandaru pun tersenyum pula.
“Marilah, marilah,” baru Widura sadar, bahwa ia harus mempersilahkan tamunya.
Tamunya tertawa pula. Katanya,
“Aku kira kau akan menerima aku di halaman.”
“Marilah, silahkan.” Lalu dipersilahkannya pula para pengiringnya,
“Marilah Ki Sanak, silahkanlah naik ke pendapa.”
Ki Lurah Branjangan bersama kawan-kawannya pun segera naik ke pendapa. Beberapa orang prajurit Pajang yang mengawal mereka dari ujung kademangan segera memencar dan duduk di halaman, di bawah rimbunnya pepohonan. Mereka yang naik ke pendapa itu pun segera dipersilahkan duduk setelah mereka meletakkan jodang-jodang yang mereka bawa dihiasi dengan kain beraneka warna dan ditutup pula dengan kain lurik berwarna cerah. Setelah mereka duduk melingkar di atas tikar yang putih, yang baru saja dibentangkan di pendapa itu, maka Widura segera bertanya tentang keselamatan perjalanan mereka.
“Perjalanan yang melelahkan,” jawab Ki Lurah Branjangan,
“tetapi kami semuanya selamat.”
“Kedatangan kalian sangat mengejutkan. Apalagi aku mendengar keterangan, bahwa kalian datang dari Mataram, bukan dari Pajang.”
Ki Lurah Branjangan mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia berkata,
“Ya, aku memang datang dari Mataram.”
“Aku menjadi lebih terkejut lagi, bahwa yang memimpin iring-iringan dari Mataram itu adalah kau, Ki Lurah Branjangan.”
“O, kenapa kau terkejut?”

Widura tidak segera menyahut. Sejenak ia mencoba merenungi tamunya dan mengenang beberapa waktu yang lampau selagi mereka bersama-sama berada dalam satu medan menghadapi keretakan yang terjadi setelah Demak pecah. Tetapi Widura tidak ingin mempersoalkannya selagi tamunya baru saja duduk. Ia tidak ingin merusak seluruh suasana dari pertemuan itu, meskipun ia termasuk salah seorang perwira Pajang yang tidak mengambil sikap yang tajam terhadap persoalan Mataram.
Karena itu, maka Widura itu pun berkata,
“Ah, baiklah kita tidak berbicara tentang kau. Tetapi aku ingin berbicara tentang jodang-jodang itu.”
Ki Lurah Branjangan tertawa, seperti biasanya ia adalah seorang yang suka tertawa,
“Aku mendapat perintah dari Raden Sutawijaya untuk membawa jodang-jodang itu kemari. He, di mana Ki Untara?”
Widura mengerutkan keningnya. Ketika ia berpaling kepada Agung Sedayu, maka kemanakannya itu berkata,
“Kakang Untara baru masuk ke dalam biliknya. Sebentar lagi ia akan datang.”
“Ke bilik pengantin?” Ki Lurah Branjangan tertawa. Namun tiba-tiba suara tertawanya terputus,
“Siapakah anak muda ini?”
“Kemanakanku, adik Untara. Dan yang seorang adalah sahabatnya, putera Ki Demang di Sangkal Putung.”
Ki Lurah Branjangan memandang Agung Sedayu dan Swandaru berganti-ganti. Ada kesan yang khusus terbayang di wajahnya. Sejenak kemudian sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata,
“Baru sekarang aku berkesempatan bertemu muka dengan anak muda yang bernama Agung Sedayu dan Swandaru.”
Widura mengerutkan keningnya. Tanpa sesadarnya ia Bertanya,
“Apakah kau pernah mengenal namanya?”
“Hampir semua orang Mataram mengenal namanya. Agung Sedayu, Swandaru, Kiai Gringsing, dan Ki Sumangkar.”
“Ah,” Agung Sedayu segera menyahut,
“adalah kebetulan kami lewat bagian hutan yang sedang dibuka itu. Dan adalah kebetulan, bahwa Raden Sutawijaya hadir pada daerah penebangan yang sulit. Sebelum itu, aku sudah mengenal Raden Sutawijaya justru di sini. Di garis perang antara Sangkal Putung dan Jati Anom pada saat Tohpati masih berada di sekitar daerah ini.”
Branjangan mengangguk-anggukkan kepalanya,
“Tetapi kita belum pernah bertemu. Ketika Ki Widura mendapat tugas di daerah Selatan, aku justru pergi ke Timur. Tetapi daerah Timur tidak seberat yang dihadapi oleh pasukan di daerah Selatan ini.”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu Ki Lurah itu berkata pula,
“Karena itu aku baru mendengar namamu, ketika aku sudah berada di Mataram. Setiap mulut menyebut namamu. Apalagi Wanakerti.”
“Terima kasih. Tetapi barangkali pujian itu agak berlebih-lebihan. Aku tidak berbuat apa-apa di Mataram.”
Ki Lurah Branjangan tertawa. Lalu katanya,
“Baiklah. Kau memang rendah hati. Kawanmu yang gemuk itu pun menjadi buah bibir. Setiap orang menjadi heran, meskipun tubuhnya gemuk, namun lincahnya melampaui kijang di medan pertempuran.”
“Kami tidak bertempur,” potong Swandaru.
“Memang kami pernah bermain hantu-hantuan. Tetapi itu bukan pertempuran.”
Sekali lagi Ki Lurah Branjangan tertawa. Katanya,
“Baiklah. Sekarang aku sempat memperkenalkan diriku. Orang-orang menyebutku Branjangan. Tetapi namaku bukan itu. Salah pamanmu Widura. Ialah yang pertama-tama menyebutku Branjangan. Kalau kau ingin mengetahui, namaku yang sebenarnya adalah Mudal. Eh, nama yang sebenarnya lebih jelek dari nama yang diberikan oleh pamanmu. Karena itu, aku lebih senang dipanggil Ki Lurah Branjangan daripada Ki Lurah Mudal.”

Agung Sedayu dan Swandaru tertawa pula. Ternyata orang yang bertubuh pendek dan kecil ini senang juga berkelakar. Namun tiba-tiba Branjangan bertanya,
“He, di mana Ki Untara? Bukankah pengantin perempuannya belum ada di sini.”
“Tentu belum. Perkawinan belum berlangsung.”
“Syukurlah. Jadi aku masih belum terlambat,” sahut Branjangan.
“Tetapi, kenapa ia lama sekali belum juga keluar dari biliknya?”
Dan tiba-tiba saja terdengar suara Untara,
“Selamat datang Ki Lurah Branjangan.”
Ki Lurah Branjangan berpaling. Dilihatnya Untara sudah berdiri di muka pintu,
“Ha, inilah pengantinnya. Alangkah tampannya Ki Untara sekarang, menjelang hari perkawinannya.”
Untara tersenyum. Jawabnya,
“Aku berpakaian rapi bukan karena aku akan kawin lusa. Tetapi aku harus menghormati tamu-tamuku dengan pakaian kebesaran yang mengagumkan.”
“Ah,” Ki Lurah Branjangan tertawa pula. Sambil mengangguk dalam-dalam, ia kemudian berkata,
“Aku sekedar mengemban tugas dari Raden Sutawijaya di Mataram.”
Untara mengangguk-angguk. Kemudian ia pun duduk di hadapan Ki Lurah Branjangan, di samping pamannya, Widura.
“Aku tidak mengira, bahwa akan ada utusan dari Mataram menjelang perkawinanku. Dan aku tidak mengira, bahwa Ki Lurah Branjangan akan datang pula hari ini.”
Ki Lurah Branjangan mengerutkan keningnya. Ia sadar, bahwa baik Untara mau pun Widura menjadi heran, bahwa tiba-tiba saja ia menjadi seorang utusan dari Mataram. Tetapi ia tidak akan mempersoalkannya lebih dahulu seperti yang dikehendaki Widura. Lebih baik mempersoalkan jodang-jodang itu dahulu daripada dirinya sendiri. Karena itu, setelah mereka berbicara sejenak, tentang perjalanan Ki Lurah Branjangan dari Mataram, maka ia pun berkata,
“Ki Untara. Kali ini aku adalah utusan Raden Sutawijaya yang direstui oleh ayahandanya Ki Gede Pemanahan, untuk menyampaikan beberapa buah kenang-kenangan, atau katakanlah sumbangan, bagi hari perkawinanmu. Raden Sutawijaya dan Ki Gede Pemanahan minta maaf, bahwa keduanya tidak dapat hadir, baik di hari perkawinanmu di Pengging beberapa hari mendatang, maupun dalam upacara sepekan di rumah ini.”
Untara menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya,
“Aku menjadi sangat berbesar hati. Hampir di luar kemungkinan yang aku perhitungkan, bahwa Raden Sutawijaya dan ayahandanya Ki Gede Pemanahan masih juga ingat kepadaku. Apalagi aku sengaja tidak memohon kehadiran mereka berdua, karena di dalam suasana prihatin ini, kami tidak akan menyelenggarakan upacara selengkapnya. Semuanya asal dapat terlaksana dengan syah sesuai dengan keharusan dan kepercayaan kita.”
“Ya,” Branjangan mengangguk-angguk,
“ternyata kau bijaksana.” Branjangan berhenti sejenak, lalu,
“Juga aku mendapat pesan dari Ki Gede Pemanahan, agar menyampaikan salam dan ucapan selamat kepada bakal ayah mertuamu, Rangga Parasta. Juga kepadanya, Ki Gede Pemanahan minta maaf, bahwa Ki Gede tidak dapat menghadiri perkawinan puterinya.”

Dada Untara berdesir mendengarnya. Ia tahu benar, kedua orang itu mempunyai sikap yang hampir berlawanan. Apalagi ketika Ki Gede Pemanahan mengambil sikap yang tajam terhadap Sultan Pajang dengan meninggalkan istana dan kembali ke Sela, bahkan kemudian langsung membuka Alas Mentaok sebelum mendapat persetujuan resmi dari Sultan Adiwijaya. Tetapi Untara mencoba untuk menyembunyikan perasaannya agar tidak menampakkan kesan di wajahnya. Bahkan kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata,
“Ya, ya. Aku akan menyampaikannya. Rangga Parasta pasti akan senang sekali mendapat pesan dari Ki Gede, meskipun Ki Gede Pemanahan tidak dapat hadir.”
Ki Lurah Branjangan mengangguk-anggukkan kepalanya. Dicobanya untuk menangkap kesan di wajah Untara, tetapi yang tampak kemudian adalah sebuah senyum yang cerah.
“Demikianlah,” berkata Branjangan pula,
“aku datang untuk menyerahkan isi dari jodang-jodang ini. Barangkali dapat kau pergunakan pada hari perkawinanmu. Jangan dinilai ujud barang-barangnya yang barangkali tidak berharga, tetapi keinginan Raden Sutawijaya untuk memberikan tanda kekeluargaan bagimu.”
“Aku mengucapkan beribu-ribu terima kasih. Harap kau sampaikan kepada Raden Sutawijaya, bahwa aku menerima dengan sepenuh hati.”


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar